SATU
Langkah
terayun menyongsong fajar
Ombak
bergulung menabur karang
Jerit
anak gembala terngiang
Membelah
pagi nan gersang...
“Sialan!
Jelek...!” makian keras terdengar di antara bait-bait syair yang mengalun dari
mulut seorang pemuda di atas sebongkah batu hitam di pinggir jalan.
Pemuda
berkulit agak kehitaman dengan wajah penuh goresan luka menghentikan alunan
bait-bait syairnya. Kepalanya menoleh dan memandang seorang laki-laki tua yang
berdiri tidak jauh darinya. Beberapa orang yang berlalu-lalang di jalan itu
tidak menggubris sama sekali.
“Tidak
adakah pekerjaan lain, Kumbara?” nada suara laki-laki tua itu terdengar
ketus.
“Aku
seorang penyair, Ki Ampar. Hanya itu satu-satunya pekerjaanku,” sahut pemuda
itu lembut.
“Desa ini
bukan tempatnya penyair! Semua orang bekerja keras untuk hidup. Apa syair-syair
bututmu bisa memberi makan, memberi sandang, dan segala macam keperluan
hidupmu?! Kau harus bekerja, Kumbara. Lihat sekelilingmu! Lihat semua orang
yang ada di sekitarmu!” agak keras suara Ki Ampar.
Pemuda berkulit hitam yang kini dinasehati itu diam
saja. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya. Sebentar ditatapnya
Ki Ampar agak tajam, lalu melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.
Gending
pengantin bertalu merdu
Wajah-wajah
ceria menyambut
Adakah
hati semanis madu...?
Menyapa
embun nan lembut...
“Dasar
penyair edan!” rutuk Ki Ampar bersungut-sungut.
Sementara
pemuda yang bernama Kumbara itu terus melangkah sambil mengalunkan bait-bait
syairnya. Beberapa orang desa yang kebetulan berpapasan, langsung mencibir.
Anak-anak bertelanjang dada, berlarian, merubung, dan menyorakinya. Tapi
Kumbara kelihatan acuh saja, bahkan semakin bersemangat melantunkan bait-bait
syairnya.
Orang-orang
tua menarik anak mereka yang merubungi Kumbara. Sedangkan pemuda itu hanya
memandanginya saja dengan sinar mata sayu. Hanya sekejap saja keceriaan
terpancar di wajahnya, kemudian berganti dengan kemurungan yang menyaput
wajahnya kembali.
“Kalau
membaca syair, sana di gunung! Biar monyet-monyet terhibur!” bentak seorang
perempuan tua yang kainnya kedodoran.
“Mending
kalau bagus! Suaranya saja persis burung gagak!” sambung seorang perempuan
lainnya mencibir.
Kumbara
memandangi orang-orang yang mencibir mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Sinar
matanya redup dan sayu. Bibirnya terkatup rapat. Dengan lesu, dia berbalik dan
melangkah pergi. Caci-maki dan segala macam rutukan terdengar di sekitarnya.
Pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk.
“Minggir...!
Minggir...!”
Tiba-tiba
saja terdengar suara-suara keras berteriak, disertai suara derap langkah kaki
kuda. Kumbara menghentikan langkahnya, dan kembali membalikkan tubuhnya. Pada
saat itu, empat orang penunggang kuda menerobos kerumunan orang desa yang
tengah mencaci-maki Kumbara. Orang-orang desa itu segera menyingkir memberi
jalan.
Kumbara
memandangi empat orang penunggang kuda itu. Sinar matanya terlihat sayu, namun
memancarkan sesuatu yang sukar untuk dikatakan. Seorang penunggang kuda
melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu
kepandaian cukup tinggi. Langkahnya tegap menghampiri Kumbara.
“Sudah
berapa kali aku bilang, jangan kembali lagi ke sini!” bentak orang berwajah
kasar dengan tubuh tegap berotot itu.
“Desa ini
tempatku dilahirkan. Mengapa aku tidak boleh hidup di sini? Aku tidak pernah
menyakiti orang lain,” sahut Kumbara.
“Sudah,
jangan banyak omong! Ayo cepat pergi, sebelum kurusak mukamu!” bentak orang
berwajah kasar itu.
“Sekalipun
kalian bunuh, aku tidak akan pergi dari desa ini!” dengus Kumbara tegas.
Belum
lagi hilang kata-kata Kumbara dari pendengaran, orang berwajah kasar itu
melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya. Cambuk berwarna hitam pekat dengan
ujungnya berbentuk ekor kuda itu langsung dihentakkan dengan kuat.
Ctar!
“Akh!”
Kumbara memekik menahan sakit.
Cambuk
itu mendarat tepat di wajah Kumbara. Darah langsung merembes keluar dari kulit
wajah yang sobek. Tapi Kumbara tetap berdiri tegak dengan sorot mata yang
tajam. Laki-laki bertubuh kekar dan memegang cambuk itu kembali mengangkat
senjata itu tinggi-tinggi ke udara.
“Tunggu!”
tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Laki-laki
bertubuh tegap itu menghentikan ayunan cambuknya. Dia menoleh ke belakang dan
langsung membalikkan tubuhnya, kemudian membungkuk di hadapan seorang pemuda
yang usianya mungkin sebaya dengan Kumbara.
Pemuda
itu duduk di atas punggung kuda putih, diapit dua orang berbadan tinggi besar
dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya demikian tajam.
Bibirnya tipis, dan selalu menyunggingkan senyuman. Sikapnya terlihat angkuh,
apalagi saat memamerkan ilmu meringankan tubuhnya ketika melompat turun dari
kudanya. Ringan sekali gerakannya, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun
kakinya mendarat tepat di depan Kumbara.
“Sebenarnya
aku tidak ingin menyakitimu, kalau kau sedikit lunak,” kata pemuda itu.
Suaranya terdengar lembut, namun mengandung arti yang sangat dalam.
Kumbara
tidak menyahut. Namun pandangan matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola
mata pemuda tampan di depannya. Dia tahu kalau pemuda itu sangat berpengaruh
dan berkuasa di desa ini. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa. Meskipun
masih muda, dia seorang saudagar yang amat kaya dan sangat berpengaruh. Hampir
seluruh tanah di desa ini miliknya. Semua orang di Desa Komering Ilir ini
menyebutnya Raden Glagah. Padahal, pemuda itu bukan keturunan bangsawan!
“Pergilah,
sebelum orang-orangku habis kesabarannya,” sambung Raden Glagah.
“Kau
memang sangat berkuasa di sini. Baik...! Aku pergi, tapi akan kembali membuat
perhitungan pada kalian semua!” sahut Kumbara tegas.
Laki-laki
yang memegang cambuk langsung mengangkat senjatanya dan siap menghantam
Kumbara. Tapi Raden Glagah cepat-cepat merentangkan tangannya untuk mencegah.
Kumbara hanya menatap tajam, kemudian berbalik, dan langsung melangkah
pergi.
“Huh!
Anak itu sudah berani kurang ajar, Raden!” dengus laki-laki berwajah kasar itu
seraya menurunkan cambuknya, lalu membelitkannya kembali di pinggang.
“Biarkan
saja dia pergi,” kata Raden Glagah kalem.
“Tapi dia
sudah berani mengancam.”
“Dia cuma
penyair miskin, tidak punya kekuatan apa-apa. Sudahlah, Naraka! Sebaiknya kita
lanjutkan saja perjalanan. Waktu kita sudah terhambat hanya untuk mengurusi
orang gila saja.”
Raden
Glagah berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Naraka mengikuti. Empat
ekor kuda pun kembali berpacu cepat membelah jalan Desa Komering Ilir, menuju
arah selatan. Penduduk desa yang menyaksikan semua kejadian itu, menarik napas
lega. Mereka memang sudah tidak suka lagi terhadap Kumbara. Mereka berharap
agar penyair gila itu benar-benar meninggalkan desa dan tidak kembali
lagi.
Di antara
penduduk Desa Komering Ilir itu, terlihat Ki Ampar. Laki-laki tua yang menjabat
kepala desa itu hanya diam. Matanya memandang lurus ke punggung Kumbara yang
melangkah gontai meninggalkan desa kelahirannya.
“Kumbara...
Kalau saja kau ikuti semua kata-kataku, pasti nasibmu tidak semalang ini...”
desah Ki Ampar dalam hati. “Malang benar nasibmu, Kumbara...”
***
Waktu
terus berjalan, namun terasa lambat. Kumbara berhenti melangkah setelah sampai
di tepi sungai besar yang berair keruh kecoklatan. Sungai itu menjadi pembatas
antara Desa Komering Ilir dengan Desa Sindang Laga. Kumbara berdiri mematung
memandang ke seberang sungai.
“Kalau
saja aku punya ilmu silat, sudah kuhajar mereka semua!” gumam Kumbara
memberengut.
Tangannya
terangkat menyentuh luka di wajahnya. Dia meringis merasakan perih pada
lukanya. Darah sudah mulai mengering. Dan memang, luka itu hanya menyobek
kulitnya saja. Tidak seberapa parah, tapi cukup menyakitkan. Lebih-lebih hati
pemuda itu. Begitu sakit terbalut dendam.
Sebuah
sampan terapung di tengah-tengah sungai. Di atas sampan itu duduk seorang
perempuan tua dengan baju kumal penuh tambalan. Kumbara memperhatikan perempuan
tua itu yang tengah mengayuh sampan. Sepertinya sampan itu sengaja diarahkan ke
tepi. Kumbara masih terus memperhatikan sampai sampan itu benar-benar menepi di
depannya.
Perempuan
tua itu melompat keluar dari sampannya, dan menariknya ke tepi. Tapi sampan itu
tidak juga bergerak. Tanpa pikir panjang lagi, Kumbara bergegas menghampiri dan
segera membantu perempuan tua itu menarik sampan ke tepi.
“Terima
kasih,” ucap perempuan tua itu setelah sampannya berada di daratan.
“Sama-sama,
Nek,” sahut Kumbara.
Perempuan
tua itu merayapi wajah Kumbara yang penuh bekas luka goresan. Keningnya yang
berkerut, semakin dalam kerutannya melihat luka di wajah Kumbara. Darah kering
masih menempel jelas, dan tampaknya luka itu masih baru.
“Ada apa
dengan diriku, Nek?” tanya Kumbara jengah dipandangi terus seperti itu.
“Siapa
yang melukai mukamu?” tanya perempuan tua itu tanpa menjawab pertanyaan
Kumbara.
“Ah!
Hanya tergores ranting, Nek,” sahut Kumbara berdusta.
“Coba
kulihat.”
Kumbara
mau menolak, tapi perempuan tua itu sudah menjulurkan tangannya memeriksa luka
di wajah pemuda itu. Kumbara hanya diam saja. Terdengar suara berdecak dari
bibir perempuan tua itu. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih,
menggeleng-geleng.
“Tidak
parah, tapi akan meninggalkan bekas yang tidak akan hilang seumur hidup,” kata
perempuan tua itu seperti bicara pada diri sendiri.
“Nenek
mau ke mana?” Kumbara mengalihkan perhatian perempuan tua itu.
“Ke Desa
Komering Ilir,” sahut perempuan tua itu. “Kau sendiri?”
Kumbara
tidak segera menjawab. Kepalanya kemudian menggeleng beberapa kali. Sinar
matanya kini redup tanpa cahaya sedikit pun. Kembali perempuan tua itu
memandanginya.
“Kalau
kau tidak punya tujuan, sebaiknya ikut aku saja. Cucuku pasti bersedia menerima
kedatanganmu. Kau anak yang baik,” kata perempuan tua itu lembut
suaranya.
“Terima
kasih, Nek,” ucap Kumbara bernada menolak.
“Jangan
sungkan, anak muda. Meskipun aku dan cucuku hidup serba kekurangan, tapi kau
bisa tinggal bersama kami,” desak perempuan tua itu.
“Cucu
Nenek tinggal di Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara.
“Benar.”
“Ah!
Tidak usah, Nek. Permisi.”
Kumbara
cepat melangkah pergi. Sementara perempuan tua yang memakai baju kumal penuh
tambalan itu semakin heran saja. Dipandanginya pemuda itu dengan benak
bertanya-tanya. Kemudian dia melangkah pergi setelah Kumbara berjalan cukup
jauh. Namun kepalanya terus dipenuhi berbagai macam pertanyaan akan sikap
Kumbara yang dirasanya sangat aneh itu.
***
Senja mulai merayap turun. Kesibukan di Desa Komering Ilir berangsur-angsur reda. Sebagian penduduk sudah meninggalkan pekerjaannya masing-masing. Seorang perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan berjalan tertatih-tatih, dibantu sebatang tongkat berkeluk dari bahan kayu hitam. Perempuan tua itulah yang bertemu Kumbara di tepi sungai tadi.
Langkahnya
agak terseok menuju sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan beratapkan
daun rumbia. Seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan muncul dari
dalam rumah itu, tepat di saat perempuan tua itu tiba di depan pintu. Laki-laki
muda bertubuh kurus tampak terkejut.
“Nenek...!”
serunya terkejut.
Pemuda
itu segera membantunya berjalan dan membawanya masuk ke dalam. Sebuah kursi
kayu berdebu kini jadi tempat duduk perempuan tua itu. Sebuah pelita kecil dari
minyak jarak tergantung di tengah-tengah ruangan yang sempit. Cahayanya begitu
redup seolah-olah hendak padam.
“Kenapa
tidak memberi kabar dulu kalau ingin datang?” nada suara pemuda kurus itu
seperti menyesal. “Nenek kan bisa titip pesan pada penduduk yang pergi ke Desa
Sindang Laga?”
“Aku
belum jompo, Baruna!” sahut perempuan tua itu yang dikenal oleh seluruh
penduduk Desa Komering Ilir dengan nama Nek Selong.
“Tapi,
paling tidak aku bisa menjemputnya di tepi sungai, Nek.”
“Sudah
ada yang membantuku menarik sampan ke tepi.”
“Siapa?”
“Ah, aku
lupa menanyakan namanya. Tapi dia sangat baik, membantuku tanpa kuminta.
Sayang, pemuda itu tidak bersedia kuajak singgah ke sini.”
“Sayang
sekali. Padahal, dia bisa singgah di sini. Atau kalau dia mau bisa juga tinggal
beberapa hari di sini.”
“Aku juga
sudah menawarkan begitu. Tapi....”
“Kenapa,
Nek?”
“Dia
kelihatan sangat aneh. Begitu kukatakan bahwa cucuku tinggal di sini, dia
langsung pergi begitu saja.”
Baruna
diam merenung.
“Yang aku
heran, mukanya penuh luka. Aku sempat memeriksa luka-lukanya. Sepertinya
terkena sayatan senjata yang mengandung racun ringan, tapi tidak mematikan.
Hanya saja akan membuat cacat kulitnya seumur hidup,” kata Nek Selong setengah
bergumam.
“Benar
itu, Nek...?!” Baruna kelihatan terkejut.
“Iya.
Kenapa kau kaget?”
“Tidak
ada orang lain yang mukanya penuh goresan, kecuali Kumbara. Dia orang malas
yang bisanya hanya membaca syair. Hhh...! Tapi kasihan juga, Nek. Hidupnya
sebatang kara, tidak punya tempat tinggal, dan... Yaaahhh...! Begitulah kalau
semua orang sudah tidak menyukainya. Paling-paling aku hanya bisa merasa
kasihan saja,” kata Baruna pelan.
“Jadi,
dia juga penduduk desa ini?” Nek Selong ingin menegaskan.
“Ya, tapi
sekarang tidak lagi. Raden Glagah sudah mengusirnya. Kumbara dianggap biang
kekacauan dan selalu menimbulkan keresahan. Padahal, dia tidak pernah melakukan
perbuatan yang meresahkan. Apalagi sampai merugikan orang lain. Entahlah! Aku
sendiri tidak mengerti, kenapa semua orang membenci dan menjauhinya seperti
melihat anjing buduk berpenyakitan.”
“Kumbara...,”
Nek Selong bergumam pelan.
“Ada apa,
Nek?” tanya Baruna.
“Ah,
tidak. Oh, ya. Bagaimana dengan kemajuan olah kanuraganmu?” Nek Selong
mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan,
Nek. Tapi...,” wajah Baruna berubah mendung.
“Ada
apa?” tanya Nek Selong. “Kau mendapat kesulitan?”
“Kesulitan
dalam latihan tidak ada, Nek. Hanya ini....”
“Apa?”
“Badanku,
kenapa tidak menjadi kekar juga? Padahal aku selalu giat berlatih. Semua jurus
yang Nenek ajarkan sudah aku kuasai penuh,” nada suara Baruna terdengar
mengeluh.
“Kau
menyesal dengan badanmu yang kurus kerempeng itu, Baruna?”
“Aku
ingin seperti pemuda lainnya, Nek. Punya badan kekar, berisi dan otot menonjol.
Aku pasti bisa bekerja pada Raden Glagah, dan tidak terus-terusan hidup miskin,
selalu kekurangan! Semua orang selalu menganggapku lemah, dan tidak ada yang
mau mempekerjakanku,” keluh Baruna.
“Baruna...,
Baruna. Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengeluh dan menyesali diri.
Lagi pula aku mengajarkan jurus-jurus olah kanuragan bukan untuk bekerja jadi
tukang pukul! Lebih-lebih buat Raden Glagah. Lebih baik kau tetap kurus begitu
daripada buang tenaga buat orang macam Raden Glagah!”
“Nek!
Semua orang di sini selalu menginginkan begitu. Mereka merasa bangga kalau bisa
bekerja pada Raden Glagah.”
“Mereka
semua tolol!” agak keras suara Nek Selong.
“Nek...,
mengapa Nenek selalu menganggap semua orang di sini tolol? Kenapa Nenek tidak
mengijinkan aku bekerja pada Raden Glagah? Kenapa, Nek...?”
Nek
Selong tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, kemudian bangkit
berdiri. Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua itu kemudian merebahkan diri di
atas balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.
“Bangunkan
aku tengah malam nanti. Aku ingin lihat, sampai di mana kau menguasai
jurus-jurus yang telah kuturunkan,” pesan Nek Selong.
“Baik,
Nek,” sahut Baruna lirih.
Baruna
masih duduk diam memandang keluar dari pintu yang terbuka. Saat itu, di luar
sana kegelapan sudah menyelimuti seluruh Desa Komering Ilir. Baruna benar-benar
tidak mengerti. Setiap kali dia menanyakan perihal itu, neneknya selalu
menghindar. Macam-macam dugaan dan pertanyaan muncul. Dan semuanya tidak ada
yang bisa terjawab. Baruna hanya bisa menyimpannya di dalam hati.
***
DUA
“Hup!
Yaaah...!”
Glar...!
Sebongkah
batu sebesar kerbau berwarna hitam pekat, hancur berkeping-keping disertai
suara ledakan menggelegar. Di antara kepulan debu dan reruntuhan batu itu,
tampak seorang pemuda bertubuh kurus kerempeng berdiri tegak. Kedua tangannya
terentang ke depan. Perlahan-lahan tangan yang kurus bagai tulang terbalut
kulit itu bergerak turun. Kemudian tubuhnya berbalik, menghadap pada seorang perempuan
tua berbaju kumal penuh tambalan.
“Bagus!
Kau telah menguasai jurus ‘Pukulan Tapak Geledek’ dengan baik, Baruna,” kata
perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu, yang tak lain adalah Nenek
Selong.
Pemuda
kurus kerempeng yang memang ternyata Baruna itu melangkah mendekati. Keringat
masih membasahi wajah dan tubuhnya. Dada yang kurus dengan tulang-tulang
bersembulan, bergerak turun naik tidak teratur. Di tengah malam buta seperti
ini, mereka berdua berada di tengah-tengah hutan dekat Desa Komering Ilir,
tempat Baruna berlatih ilmu-ilmu olah kanuragan hampir tiap malam.
“Nek,
boleh aku tanya sesuatu?” nada suara Baruna terdengar berharap.
“Katakan,”
sahut Nek Selong.
“Terus
terang, untuk apa sebenarnya aku mempelajari ilmu olah kanuragan ini? Sedangkan
Nenek sendiri tidak pernah mengijinkan aku untuk menggunakannya. Semua yang
kupelajari selama ini sepertinya jadi sia-sia saja. Apa sebenarnya maksud
Nenek?” Baruna langsung menumpahkan ganjalan yang berada dalam hatinya.
“Semua
yang aku ajarkan padamu hanya untuk menjaga diri, Baruna. Ilmu olah kanuragan
dan ilmu-ilmu kesaktian bukan untuk jago-jagoan! Apalagi untuk melakukan
sesuatu yang dapat merugikan orang lain, bahkan memperkaya diri sendiri,” sahut
Nek Selong tenang.
Baruna
kelihatan tidak puas dengan jawaban yang diberikan Nek Selong.
“Dengar,
Baruna! Semua ilmu yang telah kau kuasai itu adalah ilmu turunan dari
leluhurmu. Tidak ada yang memilikinya selain keluarga kita. Dan kau sendiri
adalah keturunan yang terakhir. Aku tidak ingin ilmu warisan ini hilang. Itulah
sebabnya selalu kutekankan agar kau berlatih keras dan menguasai semuanya
dengan baik,” sambung Nek Selong lembut nada suaranya.
“Pasti
bukan itu maksud sebenarnya!” gerutu Baruna tetap merasa tidak puas. “Nenek
menyembunyikan sesuatu! Terus terang saja, Nek...,” desak Baruna ingin
tahu.
“Tidak
ada yang kusembunyikan,” kata Nek Selong. Pandangan matanya tajam menatap
langsung ke bola mata pemuda di depannya.
“Nenek
bohong!”
“Baruna...,
kapan aku pernah berbohong padamu?”
“Nenek
selalu menghindar kalau aku bicara tentang Raden Glagah. Apa itu bukan bohong
namanya? Nenek menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh kuketahui. Kenapa Nenek
lakukan itu? Apakah Raden Glagah musuh Nenek?” desak Baruna.
Nek
Selong tidak langsung menjawab. Kata-kata Baruna yang begitu lancar bagai air
sungai mengalir dari pegunungan itu, langsung menyentuh hatinya. Beberapa kali
ditariknya napas panjang, seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya yang
mendadak terasa sesak.
Sedangkan
Baruna sendiri telah bertekad untuk mengetahui semua yang disembunyikan Nek
Selong selama ini. Malam ini dia harus bisa mendesak perempuan tua itu. Pemuda
itu sudah tidak tahan lagi menyimpan ganjalan terpendam dalam hati. Dia yakin
kalau Nek Selong menyembunyikan sesuatu. Terutama yang berhubungan dengan Raden
Glagah.
“Aku
sudah cukup dewasa, Nek. Usiaku sudah hampir dua puluh satu tahun. Untuk apa
aku menguasai semua ilmu yang Nenek berikan, kalau tidak ada tujuan yang pasti?
Katakan yang sebenarnya, Nek,” desak Baruna penuh harap.
Nek
Selong masih diam membisu. Sekali lagi dia menarik napas panjang, kemudian
berbalik. Langkahnya terayun pelan mendekati sebongkah batu ceper di bawah
pohon beringin tua. Nek Selong duduk bersila di atas batu itu. Baruna mendekati
dan duduk bersila di depannya. Pandangan matanya masih mengharapkan agar
neneknya bersedia mengatakan apa yang disembunyikannya selama ini. Kemudian
untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja.
“Kau
memang sudah dewasa, Baruna. Aku lupa, kalau cucuku sudah berusia hampir dua
puluh satu tahun...,” kata Nenek Selong pelan, memecah kebisuan diantara
mereka.
Baruna
diam. Hatinya mulai gembira karena Nek Selong sudah mulai berkata seperti apa
yang diharapkannya selama ini. Pemuda itu menunggu dengan sabar.
“Maafkan
kalau selama ini aku telah menggelisahkan hatimu. Tapi bukan itu maksudku,
Baruna. Memang sengaja kusimpan rahasia ini sampai kau benar-benar dewasa dan
mampu menerimanya dengan hati bersih dan lapang,” sambung Nek Selong tetap
pelan suaranya.
“Apa pun
yang akan Nenek katakan, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” kata
Baruna.
“Dengar
baik-baik, cucuku....”
Baruna
tetap menunggu dengan sabar. Sudah lama dia mengharapkan agar neneknya mau
terbuka dan tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Sementara Nek Selong
masih diam mencari kata-kata yang tepat. Sepertinya dia begitu berat untuk mengatakan
rahasia hidup cucunya.
“Dulu,
sebelum kau lahir. Desa Komering Ilir merupakan sebuah desa yang damai dan
tentram. Tapi semua itu berubah setelah kedatangan seorang saudagar kaya yang
membeli hampir separuh tanah penduduk desa ini. Semua itu memang sering
terjadi, dan tidak menimbulkan kejadian apa-apa.
Namun
belakangan semuanya berubah menjadi bencana. Saudagar itu memaksa seluruh
penduduk untuk menjual tanah kepadanya dengan cara-cara keji. Bahkan Kepala
Desa Komering Ilir sendiri tewas karena tidak bersedia menyerahkan tanahnya...,”
Nek Selong menghentikan ucapannya sebentar sambil menarik napas
panjang-panjang.
“Teruskan,
Nek,” desak Baruna mulai tidak sabaran.
“Tewasnya
Kepala Desa Komering Ilir menimbulkan kemarahan penduduk. Tapi mereka tidak
punya daya dan kekuatan. Saudagar itu memiliki tukang-tukang pukul yang sangat
kejam. Bertahun-tahun mereka menguasai Desa Komering Ilir, hingga suatu hari
datang seorang pemuda tampan dan gagah. Dia menumpas semua perlakuan saudagar
itu. Seluruh penduduk sangat berterima kasih, tapi pemuda tampan itu pergi
tanpa diketahui,” kembali Nek Selong menghentikan ceritanya.
“Lalu,
apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Baruna.
“Setelah
pemuda yang membebaskan penduduk dari tekanan saudagar kaya itu pergi, datang
seorang laki-laki muda yang mengaku putra saudagar yang telah tewas itu.
Langsung dikuasainya seluruh desa ini, dan diangkatlah kepala desa yang baru.
Sikapnya memang mengundang simpatik, sehingga seluruh penduduk menerimanya
dengan baik. Pemuda itu mengembalikan tanah-tanah penduduk yang dulu telah
dibeli paksa oleh ayahnya.”
“Apakah
dia itu Raden Glagah, Nek?” tebak Baruna tidak sabar.
“Benar!
Pemuda itu adalah Raden Glagah,” sahut Nek Selong. “Sedangkan kepala desa yang
terbunuh itu adalah kakekmu sendiri, adik kandungku.”
“Ohhh...,”
Baruna mendesah lirih.
“Pada
saat itu, aku punya pikiran untuk membawa ayah dan ibumu yang tengah mengandung
meninggalkan desa ini. Tapi ayahmu tidak mau mendengar kata-kataku. Dia kembali
ke desa ini dan menuntut balas atas kematian ayahnya. Tapi malang! Orang-orang
Raden Glagah berhasil membunuhnya. Ibumu sangat terpukul dan akhirnya
meninggal. Pada waktu itu kau baru berusia setahun, Baruna.”
Baruna
terdiam. Entah apa yang ada di dalam kepala dan hatinya saat ini.
“Aku
sengaja membesarkanmu di sini, karena tanah ini adalah tanah kelahiranmu.
Tentunya agar kau tahu, bahwa yang terjadi di sini semuanya hanya kepalsuan
belaka...,” sambung Nek Selong.
“Kalau
begitu, Raden Glagah sebenarnya sudah tua ya, Nek?” tanya Baruna polos.
“Benar,
Baruna. Dia dapat kelihatan tetap muda dan seperti berusia dua puluh lima
tahun, karena memiliki ilmu hitam. Setiap bulan purnama dipersembahkan seorang
pemuda gagah pada dewa sesembahannya agar dirinya tetap muda dan berumur
panjang,” jelas Nek Selong.
“Aku
mengerti sekarang, kenapa Nenek menginginkan aku tetap kurus. Ini dilakukan
supaya Raden Glagah tidak menunjuk aku untuk korbannya. Begitu kan, Nek?”
Baruna cepat tanggap.
“Kau
cerdas, Baruna.”
“Tapi
kenapa aku bisa tetap kurus kerempeng begini, Nek?” tanya Baruna tidak
puas.
“Setiap
pagi kau minum ramuanku, bukan?”
“Iya.”
“Sengaja
kubuat ramuan itu untuk menjaga agar kau tetap kurus kerempeng, tapi memiliki
tenaga luar dan tenaga dalam tinggi. Tubuhmu dapat kembali normal seperti
pemuda lain kalau kau minum penolak ramuanku. Tapi itu nanti, Baruna. Belum
saatnya sekarang ini.”
“Aku
mengerti, Nek. Mulai sekarang aku tidak akan mengeluh lagi.”
“Bagus!
Memang itu yang kuharapkan,” sambung Nek Selong.
Baruna
tersenyum, namun terasa sekali kalau senyumnya itu hambar dan dipaksakan.
Pemuda itu bangkit berdiri. Nek Selong juga melompat turun dari atas batu. Saat
itu pagi telah menjelang. Matahari mulai menampakkan cahayanya di ufuk
timur.
“Baruna....”
“Ya,
Nek.”
“Kau
tetap ingin bekerja pada Raden Glagah?” tanya Nek Selong memancing.
“Tidak!”
sahut Baruna tegas.
“Kau
ingin balas dendam?” tanya Nek Selong lagi.
“Percuma
saja, Nek. Balas dendam bukan penyeIesaian yang baik. Nenek kan sering berkata
demikian padaku,” jawab Baruna lagi. Namun nada suaranya terasa getir.
Nek
Selong mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Bibirnya yang keriput
menyunggingkan senyuman. Kakinya terayun melangkah. Sementara Baruna ikut
melangkah di samping perempuan tua itu. Namun di dalam benak Baruna, tersimpan
berbagai macam rencana.
***
Hari
terus berganti sejalan dengan peredaran waktu. Keadaan Desa Komering Ilir
terlihat tenang. Penduduk tidak lagi merasa terganggu oleh alunan syair-syair
Kumbara. Hingga pada suatu malam yang hening dan pekat tanpa cahaya bulan,
suasana tenang itu pecah oleh jeritan yang menyayat.
Jeritan
itu datang dari sebuah rumah besar yang paling megah di Desa Komering Ilir.
Suasana rumah yang semula tenang dan sunyi, seketika itu jadi gempar. Beberapa
orang berlarian keluar dari rumah besar itu. Mereka menuju arah terdengarnya
jeritan tadi.
Terlihat
tiga orang tergeletak bersimbah darah, tepat di ambang pintu gerbang rumah
besar itu. Mereka yang berdatangan itu terkejut, dan langsung berkerumun.
Tampak seorang pemuda berwajah tampan menyeruak di antara kerumunan itu,
diikuti empat orang laki-laki berwajah kasar. Laki-laki tampan itu tidak lain
dari Raden Glagah. Seorang pemuda bertubuh tegap dengan golok terselip di pinggang,
menghampiri dengan tubuh agak membungkuk hormat.
“Ada
apa?” tanya Raden Glagah.
“Hamba
menemukan ini pada salah satu korban, Raden,” kata pemuda itu seraya memberikan
secarik daun lontar.
Raden
Glagah menerima dan membaca baris-baris tulisan di atas secarik daun lontar
itu. Wajahnya langsung merah padam, gerahamnya bergemeletuk. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling. Semua orang yang rata-rata membawa senjata itu
hanya memandang tidak mengerti.
“Naraka...!”
panggil Raden Glagah.
Seorang
laki-laki tinggi tegap dengan wajah kasar penuh berewok datang mendekati. Raden
Glagah memberikan daun lontar itu, dan Naraka menerimanya. Langsung dibacanya
tulisan di dalam daun lontar itu. Sementara Raden Glagah berbalik, lalu
melangkah pergi.
“Ada apa,
Kakang Naraka?” tanya Carika.
“Syair...,”
sahut Naraka pelan seraya meremas daun lontar.
“Syair...?!”
semua orang yang berkerumun di situ terkejut heran.
“Mustahil...!”
desis Balika, saudara muda Naraka.
Semua
orang yang ada di situ menduga-duga. Tiga orang tewas, tepat di pintu gerbang.
Ada secarik daun lontar tergeletak di atas salah satu tubuh yang tewas. Daun
lontar itu bertuliskan bait-bait syair yang bernada mengancam. Mereka semua
tahu kalau beberapa hari yang lalu Raden Glagah telah mengusir Kumbara, pemuda
penyair yang miskin dan malang.
Orang
yang ada di situ memang rata-rata masih muda. Tapi mereka tidak tahu persis
sebabnya, mengapa Raden Glagah begitu membenci Kumbara si Penyair itu. Bahkan
hampir semua penduduk Desa Komering Ilir ini juga tidak menyukainya. Hanya
Raden Glagah dan empat saudara, Naraka, Carika, Balika, dan Mandaka, saja yang
tahu sebab-sebabnya.
Naraka
memerintahkan kepada orang yang berkerumun untuk menguburkan tiga mayat itu.
Mereka yang memang bekerja menjaga keamanan di rumah besar bagai istana milik
Raden Glagah itu, segera melaksanakan perintah Naraka. Mereka tahu kalau Naraka
dan tiga orang adiknya adalah pengawal pribadi Raden Glagah. Empat bersaudara
itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
“Naraka...!”
terdengar teriakan keras memanggil.
Naraka
bergegas melangkah diikuti adik-adiknya. Raden Glagah berdiri bertolak pinggang
di tangga depan istananya. Empat bersaudara itu segera membungkuk hormat,
begitu tiba di depan laki-laki yang kelihatan masih muda itu.
“Perintahkan
anak buahmu mencari penyair keparat itu!” perintah Raden Glagah.
“Hamba
laksanakan, Raden,” sahut Naraka.
“Aku
minta secepatnya kau bawa kemari! Hidup atau mati!”
“Secepatnya
hamba laksanakan, Raden,” sahut Naraka lagi.
Raden
Glagah membalikkan tubuhnya dan segera melangkah masuk ke dalam istana.
Sementara Naraka dan ketiga adiknya bergegas mengatur anak buahnya untuk
mencari Kumbara si Penyair. Dalam waktu yang tidak berapa lama, beberapa ekor
kuda bergerak cepat keluar dari pintu gerbang bangunan megah itu.
Sementara
Raden Glagah segera menuju ke kamar peristirahatannya. Seorang wanita muda
berwajah cantik tergolek di atas pembaringan. Wanita itu melemparkan senyum,
namun senyumnya sirna begitu melihat wajah Raden Glagah terlihat murung.
“Ada apa,
Raden?” tanya wanita itu lembut.
“Tidak
ada apa-apa. Hanya ada orang gila telah menewaskan tiga orang pekerjaku!” sahut
Raden Glagah seraya naik ke atas pembaringan itu.
“Siapa?”
tanya wanita cantik itu sambil melingkarkan tangannya ke punggung Raden
Glagah.
“Kau
tidak perlu cemas, Manis. Orang-orangku pasti bisa mengatasinya,” Raden Glagah
mencoba menghibur. Padahal saat itu hatinya juga perlu dihibur.
“Aku
tidak khawatir, selama Raden ada di sini.”
Raden Glagah
tersenyum. Dia membalikkan tubuhnya dan langsung dipeluknya wanita itu.
Perlahan-lahan tubuh mereka rebah. Tak terdengar lagi kata-kata. Kamar besar
dan indah itu jadi sunyi. Hanya sesekali terdengar erangan lirih diselingi
desahan napas memburu. Sementara di luar sana, Naraka dan adik-adiknya masih
sibuk mengatur penjagaan dan pencarian terhadap Kumbara.
***
Peristiwa
malam itu membuat Raden Glagah jadi gelisah. Lebih-lebih anak buahnya belum
berhasil menemukan Kumbara. Dan malam-malam berikutnya, selalu terjadi
pembunuhan secara misterius. Satu dua orang selalu terbunuh! Tidak ketinggalan,
daun lontar bertuliskan bait-bait syair selalu terdapat pada tubuh
korban.
Tiga
malam berturut-turut selalu jatuh korban secara misterius. Raden Glagah semakin
diliputi kegelisahan. Maka berita tentang pembunuhan misterius itu cepat
menyebar ke telinga para penduduk Desa Komering Ilir. Mereka yang pernah
membenci dan mengusir Kumbara, dicekam perasaan takut. Pendeknya, kecemasan dan
perasaan takut menyelimuti hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir.
Sementara
itu, Baruna yang mengetahui tentang terjadinya beberapa pembunuhan selama tiga
malam berturut-turut terlihat tenang-tenang saja. Sikapnya tidak peduli,
meskipun hampir seluruh penduduk membicarakannya. Rata-rata mereka dicekam
perasaan cemas yang amat sangat, takut kalau-kalau ikut jadi sasaran pembalasan
Kumbara si Penyair Maut. Ya..., penduduk Desa Komering Ilir telah memberi
julukan tambahan pada Kumbara. Penyair Maut...!
Siang itu
langit tampak cerah, tak terlihat awan sedikit pun bergantung di angkasa.
Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar seluruh makhluk di
permukaan bumi. Tidak begitu jauh dari Desa Komering Ilir, tepatnya di sebuah
bukit yang bernama Bukit Halu, seorang pemuda berkulit agak kehitaman dan
dengan wajah penuh luka goresan duduk di bawah pohon rindang.
Dari
bibir pemuda itu meluncur bait-bait syair dan berirama. Dialah Kumbara si
Penyair Maut yang kini tengah menjadi momok menakutkan bagi penduduk Desa
Komering Ilir. Pandangan matanya tidak lepas ke arah sepasang burung yang
bercumbu di dahan.
“Ah...,
betapa bahagianya kau. Andai saja aku bebas lepas sepertimu, selalu riang tanpa
harus memikul beban...,” Kumbara mendesah lirih.
Pemuda
itu bangkit berdiri. Dan begitu kakinya akan terayun melangkah, tiba-tiba
terdengar derap kaki beberapa ekor kuda menuju ke arahnya. Kumbara mengurungkan
langkahnya. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat beberapa kuda berpacu
cepat mendekatinya. Dia mengenali salah seorang dari penunggang kuda itu, yang
ternyata adalah Balika, salah seorang kepercayaan Raden Glagah. Dan tentu saja
yang ikut dengan Balika adalah orang-orang Raden Glagah.
Kumbara
terheran-heran, karena sekitar lima belas orang berkuda itu serentak
berlompatan mengurung. Sedangkan Balika masih tetap berada di punggung kudanya.
Kumbara sedikit terperanjat juga begitu semua orang yang mengurungnya telah
mencabut golok semua.
“Kumbara!
Sebaiknya kau menyerah saja, dan jangan melakukan perlawanan!” kata Balika
lantang.
“Ada apa
ini? Kenapa aku harus menyerah?” tanya Kumbara keheranan.
“Jangan
pura-pura bodoh, Penyair Maut! Sekarang juga kau ikut aku, atau kau mati di
sini!” bentak Balika.
“Apa
salahku? Aku tidak melakukan apa-apa? Sudah kuturuti perintah Raden Glagah
untuk tidak kembali lagi ke Desa Komering Ilir. Mengapa Tuan Balika mau
menangkapku?” Kumbara semakin kebingungan tidak mengerti.
“Huh! Kau
pikir aku bisa dikelabui dengan sikap tololmu itu, Kumbara! Setelah kau bunuh
orang-orangku, sekarang pura-pura tidak tahu!” geram Balika sengit.
“Aku...?
Aku membunuh...?!” Kumbara semakin terperanjat kebingungan.
“Tangkap
dia! Kalau melawan, bunuh saja!” perintah Balika keras.
“Eh,
tunggu...!”
Tapi
salah seorang pengepungnya sudah melompat hendak meringkus. Kumbara terperangah
melihat golok yang melayang ke arah kepalanya. Tanpa disadari, dia merunduk.
Maka tebasan golok itu lewat di atas kepalanya. Orang itu terkejut karena
tebasannya berhasil dihindari.
Dengan
cepat tangan kirinya menghentak menyodok ke arah dada. Kembali Balika dan anak
buahnya terperanjat. Ternyata Kumbara berhasil mengelakkannya hanya dengan
menggeser kakinya ke kiri. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanan
Kumbara mendorong ke depan dengan tenaga penuh. Dorongan yang tak terduga itu,
tidak sempat dihindari. Maka orang yang hendak meringkusnya terpekik kaget.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
“Setan
keparat! Rupanya kau punya simpanan juga, Penyair Maut!” geram Balika
menyaksikan seorang anak buahnya terkena sodokan tangan kanan Kumbara.
“Oh...,
maaf.... Maaf, Tuan. Aku...,” Kumbara tergagap.
“Kau
harus mampus, Kumbara! Hiyaaat...!”
Balika
langsung melompat cepat dari punggung kudanya. Kumbara terkesiap, tubuhnya
gemetaran begitu hebatnya. Dan pada saat jari-jari tangan Balika yang
mengembang hendak mencengkeram sudah demikian dekat, tubuh Kumbara melorot
jatuh ke tanah. Terkaman Balika hanya lewat di atas tubuhnya. Tentu saja hal
ini membuat Balika semakin geram. Kumbara dianggap benar-benar mempunyai ilmu
kepandaian yang selama ini disimpannya.
“Monyet!
Keparat...!” geram Balika merasa dipermainkan.
“Ampun,
Tuan Balika.... Ampun...,” rintih Kumbara tetap berlutut menyembah memohon
ampun. Seluruh tubuhnya tampak gemetar.
“Edan!
Masih juga kau berpura-pura, heh!” bentak Balika semakin gusar melihat sikap
Kumbara.
Sret!
Cring...!
Gemetaran
Kumbara bertambah keras begitu Balika mencabut pedangnya yang tergantung di
pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya matahari.
Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuh Kumbara.
“Mampus
kau! Hiyaaat...!” teriak Balika keras.
Bagaikan
kilat, Balika melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Kumbara.
Pemuda yang wajahnya penuh luka goresan itu ternganga dengan mata membeliak
lebar. Tubuhnya semakin keras gemetar. Napasnya terasa berhenti ketika mata
pedang Balika hampir menyentuh lehernya. Semua orang yang berada di situ sudah
menyangka leher Kumbara bakal buntung. Tapi...
Tring!
“Heh...!”
Balika
tersentak kaget bukan main. Pedangnya terpental pada saat hampir memenggal
leher Kumbara. Seluruh persendian tangannya bergetar kesemutan. Balika langsung
melompat mundur. Sedangkan Kumbara tetap berlutut dengan tangan merapat di
depan hidung. Lima belas orang bersenjata golok yang menyaksikan semua kejadian
itu terperanjat. Kumbara sendiri terlihat seperti tidak mengerti dengan apa
yang baru saja terjadi.
***
TIGA
Balika
benar-benar tidak mengerti. Pedangnya seperti membentur suatu benda yang amat
keras melebihi baja. Padahal dia tadi begitu yakin kalau kepala Kumbara bakal
buntung terbabat pedangnya. Tapi, yang terjadi justru pedangnya terpental dan
tulang-tulang tangannya seperti rontok.
Sementara
Kumbara sendiri masih tetap berlutut tidak bergeming sedikit pun. Balika mulai
bertanya-tanya, apakah Kumbara si Penyair Maut itu punya ilmu kebal? Balika
memeriksa mata pedangnya. Seketika itu juga dia terperanjat hingga melompat dua
langkah ke belakang. Matanya membeliak lebar melihat mata pedangnya gompal
cukup lebar.
“Kumbara!
Kau benar-benar setan keparat! Ayo, bangun! Jangan pura-pura tolol! Ayo kita
bertarung sampai mampus!” keras suara Balika.
“Ampun,
Tuan Balika. Jangan bunuh aku.... Aku janji akan meninggalkan Desa Komering
Ilir sejauh-jauhnya,” ratap Kumbara memohon.
“Keparat!”
geram Balika memuncak amarahnya. Balika berteriak keras sambil melesat cepat
bagaikan kilat, sedangkan ujung pedangnya menusuk ke arah dada. Kembali Kumbara
pucat wajahnya. Dan begitu ujung pedang Balika hampir menembus dada si Penyair
itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak.
“Ugh!”
Balika mengeluh pendek, dan tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak.
Tiga kali
Balika bergulingan di tanah. Sementara itu, lima belas orang anak buahnya hanya
ternganga menyaksikan kejadian yang sangat di luar dugaan itu. Balika melompat
bangkit berdiri. Bola matanya membeliak lebar begitu melihat di samping Kumbara
sudah berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang terurai. Pemuda itu
memakai baju rompi putih. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung menonjol
keluar dari balik punggungnya.
“Bangunlah,
Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.
Kumbara
mengangkat kepalanya dan menoleh. Hatinya terkesiap begitu mengetahui di
sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tampan yang menepuk halus pundaknya.
Kumbara bangkit berdiri, namun matanya masih menatap penuh keheranan. Sementara
Balika menggeram sengit melihat kemunculan pemuda asing yang tidak
dikenalnya.
“Tikus
busuk! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!” bentak Balika sengit.
“Hm...,
kotor sekali kata-katamu, Kisanak,” tenang suara pemuda berbaju rompi putih
itu, namun nada suaranya mengandung kejengkelan.
“Sebaiknya
kau enyah dari sini, sebelum pedangku yang bicara!” bentak Balika kasar.
“Pedang
yang mana...?”
Balika
terperanjat, karena baru sadar kalau pedangnya sudah tidak ada lagi di tangan.
Seketika itu juga wajahnya berubah pucat, tapi sebentar kemudian memerah. Entah
bagaimana kejadiannya, tahu-tahu pedang Balika telah berada di tangan pemuda
berbaju rompi itu. Kejadian yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata
biasa.
“Nih,
kukembalikan pedangmu!”
Pemuda
itu melemparkan pedang yang sudah gompal. Ujung pedang itu menancap sedikit ke
tanah, tepat di ujung kaki Balika. Orang kepercayaan Raden Glagah itu meraih
gagang pedangnya, dan berusaha mencabutnya.
Tapi dia
terkejut bukan main, karena pedangnya tidak tercabut. Balika mengerahkan tenaga
dalamnya, tapi pedang itu tetap tertanam kuat di tanah. Balika menyadari kalau
pemuda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, dan pasti berada jauh di atasnya.
Jadi, jelaslah kalau Kumbara tadi bukannya hendak melawan, tapi pemuda berbaju
rompi itulah yang menggagalkan setiap serangannya. Menyadari semua itu, Balika
cepat melompat naik ke punggung kudanya. Dia tidak mempedulikan pedangnya lagi
yang masih tertancap di tanah.
“Persoalan
ini belum selesai, bangsat!” maki Balika begitu berada di punggung
kudanya.
Setelah
berkata demikian, Balika segera menggebah kudanya dengan cepat. Lima belas
orang anak buahnya bergegas naik ke punggung kudanya masing-masing. Mereka
segera memacu cepat kudanya meninggalkan Lereng Bukit Halu itu. Sementara
Kumbara bangkit berdiri memandangi kepergian orang-orang yang hampir
menewaskannya.
“Oh,
terima kasih..., terima kasih. Tuan telah menyelamatkan nyawaku,” ucap Kumbara
terbungkuk-bungkuk.
“Siapa
mereka? Kenapa ingin membunuhmu?” tanya pemuda berbaju rompi putih itu.
“Maaf,
Tuan....”
“Rangga,
panggil saja aku Rangga.”
“Sebaiknya
Tuan Rangga segera meninggalkan tempat ini. Mereka sangat kejam, dan pasti akan
datang kembali untuk membunuh Tuan,” kata Kumbara agak bergetar suaranya.
“Hm...,”
pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerutkan keningnya.
“Aku
berterima kasih sekali Tuan telah menyelamatkan nyawaku, tapi...,” Kumbara
tidak melanjutkan katakatanya.
“Kenapa?”
tanya Rangga ingin tahu.
“Ah...,
memang sudah nasibku. Mungkin memang sudah ditakdirkan kalau aku harus mati di
ujung pedang mereka...,” nada suara Kumbara terdengar pasrah.
“Kelihatannya
kau putus asa sekali. Dan tadi kulihat, sama sekali kau tidak melawan mereka.
Tapi kenapa mereka ingin membunuhmu?” selidik Rangga penuh rasa ingin
tahu.
“Aku
tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka datang dan ingin membunuhku,” sahut Kumbara
pelan.
“Aneh...!
Kelihatannya mereka bukan perampok. Dan kau sendiri..., maaf, tidak ada sesuatu
yang mereka bisa dapatkan darimu,” Rangga seakan tidak percaya.
Kumbara
hanya diam saja. Diayunkan kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon yang
rindang. Kemudian dia duduk di atas akar besar yang menyembul keluar dari dalam
tanah. Sedangkan Rangga memperhatikan apa yang diperbuat Kumbara. Pendekar
Rajawali Sakti merasa yakin kalau ada sesuatu pada diri laki-laki yang wajahnya
penuh luka goresan itu.
Melihat
bekas-bekas luka pada wajah Kumbara, Rangga jadi semakin ingin tahu. Dia tidak
percaya kalau orang-orang tadi ingin membunuh tanpa sebab yang pasti. Jelas
mereka bukan perampok yang kecewa karena korbannya tidak memiliki harta.
Pakaian mereka bukan seperti perampok, terlalu mewah dan rapih. Lebih-lebih
orang yang hampir memenggal leher Kumbara. Pakaiannya terbuat dari bahan sutra
halus, yang tentunya mahal harganya. Rangga jadi semakin ingin tahu saja. Dia
melangkah mendekati Kumbara dan duduk di sampingnya.
***
Sementara
itu, Balika dan lima belas orang anak buahnya sudah sampai di Desa Komering
Ilir. Mereka langsung menuju ke bangunan besar bagai istana yang dikelilingi
pagar tembok menyerupai benteng kokoh. Balika baru menghentikan lari kudanya
setelah tiba di dalam pagar tembok tinggi dan kokoh itu.
Balika
segera melompat turun dari punggung kudanya, lalu bergegas berlari menaiki
anak-anak tangga depan bangunan megah itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya
tertahan, karena bersamaan dengan itu ketiga saudaranya muncul. Tiga orang yang
baru keluar itu terkejut melihat keadaan Balika yang nampak kotor berdebu,
keringat bercucuran dan napasnya terengah-engah.
“Ada apa,
Balika? Kenapa keadaanmu seperti ini? Dan.... Eh! Mana pedangmu?” tanya Naraka
terkejut ketika melihat sarung pedang adiknya kosong.
“Uh,
celaka...! Celaka, Kakang! Hampir saja aku mati,” sahut Balika masih terengah
napasnya
“Ceritakan,
apa yang terjadi padamu?” desak Carika.
“Aku
bertemu dengan si Penyair Maut dan berusaha menangkapnya. Tapi dia melawan
dan....”
“Teruskan!”
pinta Naraka agak terkejut.
“Dia
tidak sendiri, Kakang. Dia bersama dengan temannya yang sangat tangguh. Aku
dibuat babak belur, bahkan pedangku berhasil dirampasnya,” sambung
Balika.
“Kumbara...,
keparat!” geram Naraka.
“Siapa
temannya, Kakang Balika?” tanya Mandaka.
“Aku
tidak tahu siapa. Sepertinya dia orang asing, bukan penduduk Desa Komering Ilir
ini,” sahut Balika.
“Kau
bertarung dengan temannya, atau dengan Kumbara?” Carika ingin ketegasan.
“Semula
aku bertarung dengan Kumbara. Dia kebal, Kakang. Pedangku sampai gompal begitu
menebas lehernya. Tapi temannya juga lebih tangguh lagi. Dia bergerak bagai
siluman, tidak ketahuan arahnya,” jelas Balika. Tentu saja ditambah dengan
karangannya sendiri. “Aku berusaha mengalahkannya, tapi mereka memang tangguh!
Aku tidak mampu menghadapinya sendiri.”
“Tapi
bukankah kau bawa lima belas orang anak buahmu?” celetuk Mandaka.
“Benar!
Tapi, aku saja tidak mampu menghadapinya, apalagi tikus-tikus tidak berguna
itu. Bisa-bisa mereka semua mati konyol kalau kukerahkan semua,” Balika
menyombong.
“Kau
terlalu berani, Balika. Lain kali jangan menghadapi sendiri. Kehilangan
beberapa orang bukan masalah, yang penting keparat itu mampus,” dengus
Naraka.
“Tindakan
Balika benar...!”
Empat
orang bersaudara itu terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
Mereka serentak menoleh, dan membungkuk saat melihat Raden Glagah tahu-tahu
sudah berada di belakang. Raden Glagah melangkah mendekati.
“Mulai
sekarang, kita harus bisa menghemat tenaga. Satu nyawa sangat berarti. Yang
kita hadapi sekarang bukan orang sembarangan! Bahkan nyawa kita sendiri
terancam,” kata Raden Glagah.
“Raden,
apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Naraka meminta petunjuk.
“Naraka,
dan kau, Balika. Bawa beberapa orang. Tangkap Kumbara dan temannya itu.
Sedangkan kau, Carika dan Mandaka, perintahkan seluruh penduduk desa untuk
selalu siaga. Laporkan setiap ada pendatang baru. Biar aku sendiri yang akan
menanganinya,” perintah Raden Glagah.
Empat
bersaudara itu segera membungkuk dan melangkah pergi. Raden Glagah berbalik,
segera melangkah masuk kembali ke dalam istananya. Sebentar kemudian, tampak
Naraka, Balika, dan sekitar dua puluh orang sudah bergerak keluar menunggang
kuda. Sedangkan Carika dan Mandaka melaksanakan tugasnya, memberi tahu penduduk
agar waspada dan melaporkan setiap ada pendatang baru.
***
Sementara
itu, di Bukit Halu, Rangga dan Kumbara masih duduk di bawah pohon rindang.
Rangga masih belum dapat mengerti akan kejadian tadi. Tapi mendengar cerita
Kumbara, hati Pendekar Rajawali Sakti itu tergugah. Hanya yang masih menjadi
pertanyaan besar adalah sikap penduduk Desa Komering Ilir terhadap pemuda yang
penuh luka goresan pada wajahnya itu.
Memang
tadi Rangga sempat mendengar Kumbara membacakan syair-syairnya dari tempat
tidak berapa jauh. Dan dia mengetahui semua yang terjadi. Kalau bukan karena
Pendekar Rajawali Sakti, mungkin nyawa Kumbara sudah meninggalkan raganya.
Kumbara sendiri tidak tahu, mulai kapan munculnya pertolongan Rangga itu.
“Rasanya
sukar dipercaya...,” gumam Rangga pelan, seolah-olah bicara pada dirinya
sendiri.
“Kenyataannya
memang begitu, Rangga,” Kumbara menimpali. Kini dia sudah tidak lagi menyebut
Tuan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu memang yang diharapkan Rangga, yang
selalu sederhana, tidak suka sanjungan.
“Aku
heran padamu, Kumbara. Sudah tahu semua penduduk Desa Komering Ilir ini
membencimu, bahkan orang yang paling berpengaruh pun juga membencimu, tapi kau
sendiri tidak berusaha untuk mencari tahu sebabnya,” sambung Rangga tetap
bernada bergumam.
“Percuma,
tidak ada seorang pun yang mau bicara padaku. Mereka hanya mencela, mencaci,
dan mengusirku. Ah, biarlah.... Memang itu sudah takdirku untuk jadi orang yang
selalu dihina,” suara Kumbara bernada mengeluh.
“Sekarang,
setelah mereka ingin membunuhmu, apa kau akan tinggal diam?”
Kumbara
tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh ke depan. Pertanyaan Rangga
tadi tidak mudah dijawab. Dia tahu kalau orang-orang yang hampir saja
membunuhnya bukan orang sembarangan. Tapi sungguh disadari kalau dirinya tidak
mampu berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali pergi
sejauh-jauhnya dari Desa Komering Ilir. Namun itu pun belum tentu bisa
menyelamatkan dirinya dari kematian.
“Kau
harus melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Rangga memberi dorongan semangat.
“Apa yang
harus kulakukan?” lesu suara Kumbara.
“Pokoknya
berbuat sesuatu! Paling tidak mencari tahu, mengapa seluruh penduduk Desa
Komering Ilir membencimu!” Rangga terus mendorong semangat Kumbara.
“Tidak
mungkin...!” desah Kumbara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku hanya
seorang penyair miskin, yang tidak punya kepandaian apa-apa. Sedangkan
mereka....”
Rangga
mengamati wajah yang murung itu. Hatinya merasa iba juga melihat Kumbara yang
begitu lemah dan pasrah menerima nasib dirinya. Belum pernah Pendekar Rajawali
Sakti menemukan orang sepasrah Kumbara yang menerima nasib malangnya tanpa
melakukan sesuatu.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki
kuda dari kejauhan. Telinganya yang setajam rajawali, langsung mendengar suara
itu. Sedangkan Kumbara tetap memandang kosong ke depan, sama sekali tidak
mendengar suara kaki kuda yang semakin jelas.
“Mereka
datang lagi,” desis Rangga.
“Apa...?!”
Kumbara terlonjak kaget.
“Hm...,
jumlah mereka begitu banyak...,” gumam Rangga.
“Oh, Yang
Maha Agung..., habislah riwayatku kali ini...,” gumam Kumbara mendesah
lirih.
Seluruh
wajah pemuda itu seketika terlihat pucat pasi. Tubuhnya gemetaran, keringat
dingin mengucur deras di wajahnya. Sementara Rangga sudah bangkit berdiri.
Pandangannya tajam menatap ke arah kaki Bukit Halu ini. Tampak di antara
pepohonan, terlihat beberapa orang berkuda mendaki bukit. Jelas kalau mereka
itu menuju ke arahnya.
“Kumbara,
cepat tinggalkan tempat ini!” kata Rangga.
“Ke
mana?” tanya Kumbara lesu. Saat itu dia tidak bisa lagi berpikir. Rasa takut
yang amat sangat, membuat otaknya sukar diajak berpikir.
Rangga
tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya tubuh Kumbara, dan langsung melesat
cepat bagai kilat. Kumbara sempat terpekik ngeri. Sekejap mata saja, Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah lenyap membawa Kumbara dalam kepitannya.
Tidak
lama berselang, Naraka dan Balika serta beberapa orang berkuda lainnya telah
tiba di tempat itu. Mereka menghentikan kudanya tepat di tempat Balika sempat
bertarung tadi. Mereka tentu saja tidak mendapatkan apa-apa, karena Kumbara dan
Rangga telah meninggalkan tempat itu.
“Mana...?”
tanya Naraka.
“Tadi di
sini, Kakang. Sungguh...!” sahut Balika.
Balika
segera melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas dia menghampiri sebilah
pedang yang masih tertancap di tanah. Naraka mengenali kalau pedang itu milik
adiknya. Balika berusaha menarik keluar pedang itu. Dia masih ingat kalau
pedang itu tertanam kuat. Seketika dikerahkan penuh tenaga dalamnya. Namun
begitu dibetot, pedang itu dengan mudah tertarik keluar! Akibatnya Balika
terpental karena menarik dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.
Terdengar
suara tertawa cekikikan tertahan. Balika bersungut-sungut merasa ditertawakan.
Dia memang terjungkal jatuh duduk. Sedangkan Naraka hanya tersenyum-senyum
saja. Balika menggerutu sambil bangkit berdiri. Dipandangi sejenak pedangnya,
lalu dimasukkan ke dalam sarungnya.
“Kadal
buduk! Setan belang...!” Balika mengumpat habis-habisan.
“Kau
membuang-buang waktu percuma saja, Balika. Tidak ada siapa-siapa di sini,” kata
Naraka mulai tidak percaya dengan cerita adiknya.
“Tadi
mereka di sini, Kakang. Tanya saja mereka!” sahut Balika menunjuk
orang-orangnya yang tadi ikut serta.
“Benar,
kalian bertemu Kumbara di sini?” tanya Naraka pada orang-orang yang ditunjuk
Balika.
“Benar,
Gusti,” sahut mereka serempak.
“Kalian
tidak bohong?” Naraka jadi tidak percaya.
“Ini
buktinya, Kakang!” dengus Balika geram karena kakaknya tidak percaya.
Balika
kembali mencabut pedangnya, menunjukkan gompalan pada mata pedang itu. Naraka
sempat mengernyitkan alisnya melihat pedang itu gompal cukup besar. Padahal,
pedang Balika terbuat dari bahan yang amat keras. Baja sekalipun tidak akan
mampu membuat gompal seperti itu.
“Dan
ini...!”
Balika
mengeluarkan selembar daun lontar dari balik bajunya. Daun lontar itu berisikan
bait-bait syair yang ditemukannya tertinggal di tanah, dan jelas kalau itu
milik Kumbara. Sesaat Naraka bimbang melihat bukti-bukti yang ditunjukkan
adiknya.
“Mereka
pasti belum jauh dari sini, Kakang!” kata Balika lagi seraya memasukkan pedang
ke dalam sarungnya kembali. Diremasnya daun lontar itu hingga lumat, dan
dicampakkannya dengan hati jengkel.
Balika
melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar dia memandang kakaknya.
“Ayo kita
kejar mereka, Kakang!” seru Balika bersemangat.
“Sebaiknya
kembali saja ke Desa Komering Ilir,” sahut Naraka.
“Tapi...,”
Balika ingin menolak.
“Balika!
Kalau si Penyair Maut itu memang digdaya seperti katamu, dia pasti kembali lagi
ke desa! Kita tunggu saja di sana. Jangan buang-buang tenaga dan waktu
percuma,” kata Naraka.
Balika
tidak bisa menjawab. Dia tetap tidak menggebah kudanya meskipun Naraka sudah
menjalankan kudanya. Naraka menoleh dan menghentikan kudanya.
“Ayo,
Balika!” seru Naraka.
“Aku akan
mencarinya, Kakang!” tegas Balika.
“Mau cari
ke mana?”
“Pokoknya
aku harus mencarinya!”
Balika
langsung menggebah kudanya cepat. Naraka memerintahkan pada lima belas orang
untuk mengikuti Balika. Tanpa membantah sedikit pun, lima belas orang itu
segera memacu kudanya menyusul Balika. Sedangkan Naraka kembali ke Desa
Komering Ilir bersama sisa orang-orangnya.
***
EMPAT
Malam
telah menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Komering Ilir. Beberapa orang
bersenjata masih terlihat di jalan-jalan dan sudut-sudut pelosok desa itu.
Sementara seluruh penduduk telah mengunci pintu rumahnya masing-masing. Sejak
Carika dan Mandaka mengumumkan keadaan gawat, seluruh penduduk Desa Komering
Ilir semakin dicekam rasa takut.
Malam
terus merayap kian larut. Hawa kematian seolah-olah menyelimuti Desa Komering
Ilir. Anak buah Raden Glagah yang mendapat tugas jaga malam ini, ciut juga
nyalinya jika harus tugas seorang diri. Mereka membentuk kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari empat atau lima orang. Setiap saat mereka dicekam
perasaan cemas. Setiap saat, maut mungkin dapat datang menjemput. Pembunuh
misterius yang selalu meninggalkan daun lontar bertuliskan bait-bait syair,
dapat datang setiap saat, dan menghilang cepat bagaikan siluman. Mengerang
secara tiba-tiba, lalu menghilang bagai setan. Hal ini membuat seluruh orang
yang bertugas malam ini semakin dicekam kegelisahan.
Di saat
seluruh penduduk Desa Komering Ilir dicekam perasaan takut yang amat sangat,
terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menyelinap dari satu rumah ke
rumah lainnya. Sebentar bayangan itu berhenti berlindung dari cahaya bulan.
Cahaya matanya terlihat berkilat meneliti setiap keadaan. Tubuhnya kemudian
bergerak cepat menuju rumah yang paling besar dan megah di Desa Komering Ilir
ini.
Slap!
Bayangan
hitam itu melesat cepat melompati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Hanya
sekali lesatan saja, sudah hinggap di atas atap bangunan besar dan megah itu.
Sebentar direbahkan dirinya merapat di atap. Telinganya ditempelkan lekat-lekat
pada atap bangunan bagai istana itu.
“Hm...,
itu Naraka,” orang itu bergumam dalam hati.
Pandangannya
langsung tertuju pada Naraka yang tengah duduk sendiri di taman belakang
bangunan bagai istana itu. Bagaikan seekor burung elang hendak menerkam mangsa,
orang itu berkelebat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di depan Naraka.
“Heh...!”
Naraka tersentak kaget.
Belum
lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba orang yang mengenakan baju serba hitam
dengan tutup kepala hitam pula itu, mendorong kedua tangannya ke depan.
Duk!
“Hugh...!”
Naraka mengeluh pendek.
Seketika
itu juga tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Dengan keras,
punggungnya menghantam sebuah pohon yang cukup besar. Naraka ambruk ke tanah
dengan tubuh membungkuk. Dadanya terasa sesak, sukar untuk bernapas. Matanya
berkunang-kunang. Dan belum lagi sempat mengatur napasnya, satu tendangan keras
menghantam tubuh Naraka.
Naraka
bergulingan beberapa kali. Tendangan itu sangat keras dan mengandung tenaga
dalam cukup tinggi. Tulang iga laki-laki berwajah kasar itu seperti remuk.
Begitu tubuhnya membentur dinding tembok, Naraka segera melompat bangun.
Sebentar digeleng-gelengkan kepala, dan ditariknya napas dalam-dalam. Kelopak
matanya agak menyipit melihat seorang laki-laki bertubuh kecil berdiri di
depannya.
Belum
sempat Naraka mengenali wajah orang itu, mendadak satu serangan cepat terarah
kepadanya. Buru-buru Naraka menggeser kakinya ke samping, dan melayangkan
pukulannya ke arah dada. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang itu melentingkan
tubuh sebelum serangan Naraka sampai padanya.
“Hey...!”
seru Naraka terkejut.
Secepat
kilat Naraka melesat ke atas, dan hinggap di atas atap. Pada saat itu, masih
sempat dilihatnya bayangan hitam berkelebat keluar dari bangunan istana ini.
Naraka cepat melentingkan tubuhnya disertai pengerahan ilmu meringankan
tubuh.
“Hup!”
Dua kali
Naraka berputar di udara, dan melewati kepala orang berbaju serba hitam itu.
Dengan manis, laki-laki berwajah kasar itu mendarat tepat di depan orang itu.
Langsung dikirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah orang
berbaju hitam.
“Uts!”
Orang
berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, lalu tangannya
terangkat menghantam tangan Naraka yang mendorong ke depan.
Trak!
“Akh!” Naraka
memekik tertahan, buru-buru ditarik kembali tangannya.
Tulang
tangan Naraka seperti patah ketika berbenturan dengan tangan orang itu. Naraka
melompat mundur satu tindak, tapi seketika itu juga satu pukulan menggeledek
terarah padanya. Belum juga Naraka dapat berkelit, pukulan orang itu kembali
menghantam dadanya.
“Akh...!”
Naraka memekik keras.
Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam dinding tembok benteng.
Sebentar Naraka menggeliat, lalu merosot ke bawah. Tampak orang berbaju hitam
itu bersiap-siap akan menyerang kembali, tapi pada saat itu beberapa orang
berlarian sambil menghunus golok.
“Sial!
Hup...!”
Hanya
sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu telah lenyap ditelan kegelapan
malam. Dan pada saat orang-orang itu sampai di tempat Naraka tergeletak,
terdengar satu jeritan panjang melengking. Sebagian segera memburu ke arah
jeritan itu, dan sebagian lagi membantu Naraka berdiri.
“Kakang
Naraka, ada apa...?”
Carika
dan Mandaka berlarian menghampiri.
“Cepat,
kejar orang itu. Dia pasti belum jauh!” seru Naraka agak tersengal. “Hugh...!”
Naraka memuntahkan darah kental kehitaman.
Mandaka
segera membantu kakaknya, sementara Carika melompat cepat diikuti sekitar enam
orang bersenjata golok terhunus. Mandaka, dibantu empat orang anak buahnya
membawa Naraka meninggalkan tempat itu. Tampak sekali kalau keadaan Naraka
begitu payah. Napasnya pun kembang kempis tersengal. Dua kali dia memuntahkan
darah kental kehitaman.
Sementara
malam terus merayap semakin larut. Beberapa orang terlihat menggotong tiga
sosok tubuh berlumuran darah. Di antara mereka, terlihat Carika. Rupanya orang
berbaju serba hitam itu berhasil menewaskan tiga orang yang berjaga di bagian
belakang benteng bangunan bagai istana itu.
Malam
masih menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Komering Ilir. Carika dan Mandaka
bersama sekitar tiga puluh orang keluar dari pintu gerbang benteng yang
mengelilingi bangunan megah bagai istana kecil itu. Namun ketika mereka belum
jauh meninggalkan pintu gerbang, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat
memotong.
“Hei...!”
seru Carika terkejut.
Pada saat
yang bersamaan, secercah cahaya keperakan melesat ke arah rombongan itu. Carika
kontan melesat, maka cahaya keperakan itu melesat di bawah tubuhnya. Tapi laju
cahaya keperakan tidak berhenti sampai di situ karena langsung menghajar orang
yang kebetulan tepat dibelakang Carika.
“Aaa...!”
Satu
jeritan melengking terdengar disusul dengan ambruknya salah seorang anak buah
Mandaka. Tampak sebilah pisau kecil berwarna keperakan tertancap dalam di
dadanya.
“Menyebar...!”
seru Mandaka keras.
Tiga
puluh orang pengikutnya segera membentuk kelompok menjadi lima bagian, lalu
menyebar mengikuti perintah Mandaka. Sementara itu Mandaka sendiri segera
menggebah kudanya mengikuti arah kepergian kakaknya yang mengejar orang berbaju
hitam itu. Mandaka masih sempat melihat Carika berkelebat cepat dan menghilang
di balik salah satu rumah penduduk.
“Hup!”
Mandaka
langsung melompat dari punggung kudanya. Tapi belum juga kakinya menyentuh
tanah, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Mandaka tidak
sempat lagi menghindar. Tubuhnya tak urung terjungkal keras, dan dadanya
mendadak jadi sesak.
Belum
lagi Mandaka mampu bangkit, bayangan hitam itu berbalik seraya tangannya
berkelebat cepat melontarkan sebuah benda keperakan. Mandaka buru-buru
menjatuhkan tubuhnya, sehingga benda keperakan berbentuk pisau kecil tipis itu
menancap di tanah. Bergegas Mandaka melompat bangkit.
Sret!
Mandaka
mencabut goloknya yang melengkung ke atas, lalu disilangkan di depan dada.
Matanya agak menyipit berusaha melihat wajah orang di depannya. Tapi malam
begitu pekat, apalagi tidak ada cahaya bulan sedikit pun yang menerangi. Belum
lagi Mandaka dapat melihat wajah orang itu, tiba-tiba orang berbaju hitam itu
melesat cepat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.
“Hup!
Hiyaaa...!”
Mandaka
melompat ke samping seraya mengibaskan goloknya ke depan. Sukar diduga!
Bagaikan kilat, orang berbaju hitam itu melesat ke atas, lalu kakinya mendupak
pundak Mandaka. Mandaka hanya mampu mengeluh pendek. Tubuhnya terdorong
beberapa langkah ke samping. Tulang bahunya seperti patah dan terasa nyeri
menyengat.
“Modar!”
Sambil
berteriak keras, orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka begitu kakinya
mendarat di tanah. Mandaka terkesiap. Buru-buru diegoskan tubuhnya ke kanan,
lalu goloknya dikibaskan ke depan disertai tenaga dalam penuh. Begitu cepat
kejadian itu. Mandaka mengira tangan orang berbaju hitam itu bakal buntung
terbabat goloknya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya! Mandaka memekik keras
dan tubuhnya terpental ke belakang.
Sukar
dipercaya. Dari balik lengan baju orang itu, tiba-tiba saja keluar sebilah
senjata seperti pedang pendek tipis. Golok Mandaka terpotong jadi dua bagian
begitu membentur senjata yang keluar dari balik lengan baju. Dan tangan kiri
orang berbaju hitam itu menggedor dada Mandaka dengan keras.
“Hoegh...!”
Mandaka
memuntahkan darah kental kehitaman. Dadanya terasa remuk, dan napasnya sukar
diatur. Belum lagi Mandaka bisa bangkit, orang berbaju hitam itu sudah kembali
melompat menyerangnya. Mandaka terperangah, tidak mampu lagi berkelit.
“Hiyaaa...!”
Tepat
pada saat ujung senjata orang itu hampir merobek dada Mandaka, sebuah bayangan
melesat cepat memapak serangan itu. Orang berbaju hitam itu terkejut, lalu
buru-buru menarik pulang serangannya sambil melompat mundur. Dia mendengus
melihat Carika tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Mandaka. Pedang panjang
melintang di depan dada.
“Uh!
Untung kau cepat datang, Kakang,” kata Mandaka tersengal sambil berusaha
bangkit berdiri. Dibuang goloknya yang tinggal setengah lagi.
Begitu
mampu bangkit berdiri, Mandaka mencabut dua buah senjata trisula dari balik
bajunya. Senjata berbentuk lonjoran besi berwarna kuning dan bermata tiga itu
tergenggam erat di tangan kanan dan kirinya. Mandaka menyeka sisa darah dari
mulut dengan punggung tangannya.
“Bagus!
Berarti bisa kudapatkan dua nyawa sekaligus!” dengus orang berbaju hitam itu
dingin. Suaranya berat dan terdengar datar.
“Siapa
kau?” bentak Carika bertanya.
Belum
sempat orang itu menjawab, sekitar dua puluh orang berkuda datang menghampiri.
Orang itu mendengus kesal, lalu tangan kanannya berkelebat cepat. Secarik daun
lontar melesat bagai panah, langsung mengarah pada Carika. Selagi Carika
menangkap daun lontar itu, orang berbaju hitam melesat pergi bagai kilat.
“Hei...!”
Carika tersentak.
Belum
juga Carika melompat mengejar, bayangan orang itu telah lebih dulu lenyap.
Carika melihat pada daun lontar di tangannya. Matanya membeliak lebar melihat
bait-bait syair tertera pada daun lontar itu.
“Penyair
Maut,” desis Carika pelan.
Carika
bergegas melompat ke arah perginya orang berbaju hitam tadi. Mandaka
memerintahkan sepuluh orang yang baru datang untuk mengikuti Carika. Dia
sendiri kemudian naik ke punggung kudanya. Segera kuda itu digebah cepat dengan
arah memutar diikuti sekitar lima belas orang yang berdatangan bagai semut
mencium gula. Mandaka masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.
***
Sementara
itu, di sebuah rumah kecil dan reyot dari bilik bambu, seorang perempuan tua
tengah duduk memandang ke depan. Bajunya yang longgar dan kumal penuh tambalan,
meriap dipermainkan angin malam yang dingin. Pandangannya tidak berkedip.
Sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
Pandangan
wanita tua yang ternyata adalah Nek Selong itu beralih pada beberapa orang
berkuda. Keningnya sedikit berkerut begitu mengenali orang yang berkuda paling
depan. Orang itu adalah Mandaka. Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan
rumah kecil reyot itu.
“Gusti
Mandaka...,” Nek Selong buru-buru bangkit berdiri.
“Malam-malam
begini belum tidur juga, Nek Selong?” tanya Mandaka.
“Belum,
Gusti. Belum mengantuk...,” sahut Nek Selong.
“Hm...,
kau lihat seseorang lewat di sini, Nek?” tanya Mandaka.
“Tidak,
Gusti. Sejak tadi hamba duduk di sini, tak seorang pun yang lewat, kecuali
peronda,” sahut Nek Selong.
“Baiklah,
Nek. Dan sebaiknya Nenek masuk saja. Orang gila itu kembali beraksi dan
membunuh banyak orang,” jelas Mandaka.
“Oh...!”
Nek Selong kelihatan terkejut
“Cepatlah
masuk, Nek. Aku tidak ingin ada korban lagi,” perintah Mandaka tegas.
“Baik...
baik, Gusti.”
Nek
Selong bergegas melangkah masuk ke dalam gubuknya. Perempuan tua itu segera
menutup pintu, tapi tidak terlalu rapat. Diintipnya Mandaka dan orang-orangnya
yang bergerak pergi. Perempuan tua itu masih memperhatikan meskipun rombongan
kecil berkuda itu sudah jauh pergi.
“Nek...”
“Oh!” Nek
Selong terperanjat, kontan berbalik. Dia menarik napas lega melihat Baruna
sudah berada di dekatnya. “Dari mana saja kau?”
“Latihan,”
sahut Baruna.
“Dari
sore tadi tidak pulang. Aku cemas, tahu...!” rungut Nek Selong.
“Maaf,
Nek. Aku cuma pergi dan latihan di tempat biasa,” jawab Baruna kalem.
“Kau
tidak ke sana, Baruna! Aku tahu kau pergi bukan untuk latihan!”
Baruna
tersentak kaget. Dipandanginya wajah wanita tua itu dalam-dalam. Memang diakui,
kalau dia tidak pergi berlatih malam ini. Dan yang pasti, Nek Selong telah
pergi ke tempat mereka biasa berlatih ilmu olah kanuragan.
“Katakan
terus terang, dari mana kau?” desak Nek Selong.
Baruna
tidak langsung menjawab, tapi malah menarik napas panjang dan melangkah
menghampiri dipan kayu. Direbahkannya tubuhnya di atas dipan itu. Sementara Nek
Selong mengunci pintu, kemudian duduk di kursi tidak jauh dari dipan itu.
“Kau
tahu, Baruna. Si Penyair Maut semakin ganas. Tadi baru saja Gusti Mandaka ke
sini. Kebetulan aku ada di luar,” kata Nek Selong memberitahu.
Baruna
tetap diam.
“Aku cemas
bukan apa-apa, Baruna. Hanya aku tidak ingin mereka salah menuduh karena kau
setiap hari keluar malam. Aku tidak khawatir kalau kau bertemu si Penyair Maut
itu. Hanya yang kucemaskan, mereka bisa berbuat sembrono dengan menuduhmu
sebagai si Penyair Maut,” lanjut Nek Selong mengutarakan kecemasannya.
Baruna
tetap diam. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit pondok itu. Napasnya
teratur lembut. Titik-titik keringat terlihat bagai mutiara di dadanya yang
bergerak turun naik.
“Kau
dengar, Baruna...?”
“Dengar,
Nek,” sahut Baruna mendesah pelan.
“Mulai
malam ini, aku melarangmu keluar rumah!” tegas kata-kata Nek Selong.
Baruna
terperanjat dan langsung menoleh menatap langsung ke bola mata perempuan tua
itu. Ingin dipastikan kesungguhan kata-kata yang baru didengarnya dari neneknya
itu.
“Nek, aku
keluar hanya untuk berlatih. Lain tidak. Lagi pula tidak ada yang tahu, mengapa
aku harus takut? Tidak perlu cemas, Nek. Aku bisa menjaga diri,” kata Baruna
meyakinkan hati perempuan tua itu.
“Jangan
membodohi aku, Baruna! Kau tidak berlatih setiap malam!” dengus Nek
Selong.
“Aku
berlatih, Nek!” Baruna berusaha meyakinkan.
“Di mana?
Di mana kau berlatih?”
Baruna
tidak menjawab. Kembali dipalingkan mukanya menatap langit-langit yang hitam.
“Jangan-jangan
kau sendiri yang jadi pembunuh misterius itu, Baruna,” tebak Nek Selong
langsung.
“Nek...!”
Baruna terkejut. Seketika itu juga dia bangkit, lalu duduk di tepi dipan.
“Menyesal
aku menceritakan perihal keluargamu, Baruna. Memang sudah kuduga, kau pasti
akan membalas dendam. Sayang, jalan yang kau tempuh tidak kusukai,” suara Nek
Selong terdengar lirih bernada penyesalan.
“Aku...,
aku tidak melakukan apa-apa! Sungguh, Nek. Aku...."
“Berapa
orang korbanmu malam ini?” potong Nek Selong cepat.
“Korban...?
Korban apa?”
“Kau
masih juga berpura-pura, Baruna. Padahal sekarang ini banyak jiwa yang
terancam. Bahkan orang yang tidak bersalah juga terancam jiwanya karena perbuatanmu!”
“Aku
tidak mengerti maksud Nenek...?”
“Ah,
sudahlah! Sekarang tidurlah. Besok, kau harus ikut aku ke Bukit Halu.”
“Mau apa
ke sana?”
“Kau
harus minta maaf di depan makam ayahmu. Kau sudah berbuat salah, membalas
dendam dengan cara memfitnah orang lain!”
“Nek...!”
Tapi Nek
Selong tidak ingin lagi mendengar bantahan dari cucunya. Dia segera bangkit dan
melangkah masuk ke kamar tidurnya. Baruna membanting keras tubuhnya ke dipan.
Terdengar keluhan panjang dan berat. Sementara malam semakin bertambah larut
Masih terdengar langkah kaki manusia dan derap kaki kuda sesekali di luar sana.
Orang-orang Raden Glagah masih tetap berusaha mencari si Penyair Maut yang
malam ini kembali beraksi meminta korban jiwa.
***
LIMA
Siang itu
matahari bersinar amat terik. Di bagian timur lereng Bukit Halu terlihat Rangga
duduk bersila di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Daun-daunnya lebat
melindungi Rangga dari sengatan matahari. Tidak jauh di depannya terlihat
Kumbara tengah membalik dua ekor kelinci panggang yang ditangkapnya pagi
tadi.
“Sudah
matang. Mau makan sekarang?” Kumbara menawarkan seraya bangkit dan melangkah
mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Makan
saja. Aku belum lapar,” tolak Rangga halus.
Kumbara
mengangkat bahunya, kemudian duduk di depan pemuda berbaju rompi putih itu.
Mulai dimakannya daging kelinci panggang itu, sedangkan satunya lagi diletakkan
di atas daun pisang di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu
memperhatikannya. Kumbara menghentikan makannya, karena merasa jengah
dipandangi terus.
“Ada apa?
Kenapa kau memandangku seperti itu?” tegur Kumbara jengah.
“Ke mana
kau semalam?” tanya Rangga langsung.
“Tidak ke
mana-mana,” sahut Kumbara terlihat terkejut.
“Aku
tidak melihatmu di goa, dan kau pulang menjelang fajar,” kata Rangga datar nada
suaranya.
Kumbara
diam tidak menyahut. Selera makannya seperti hilang seketika. Diletakkan daging
kelinci panggang yang baru termakan sedikit di atas daun pisang.
“Aku
mencarimu di sekitar goa sampai ke Desa Komering Ilir,” lanjut Rangga.
Kumbara
tampak terkejut sekali. Dia sampai menatap dalam-dalam ke mata Pendekar
Rajawali Sakti itu.
“Kumbara!
Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi nyawamu sekarang ini
terancam. Semalam ada kejadian lagi yang meminta korban nyawa. Mereka semua
menuduhmu sebagai pelakunya. Si Penyair Maut... Hh! Nama yang indah...” kata
Rangga mengemukakan hasil penyelidikannya di Desa Komering Ilir.
“Biarkan
saja mereka menyangka begitu, Rangga. Aku tidak peduli!” dengus Kumbara
sinis.
“Kau juga
tidak peduli dengan nyawamu?”
“Aku
sudah mati puluhan tahun lalu!”
“Kau bisa
saja berkata begitu, Kumbara. Tapi kau tidak bisa berpaling dari kenyataan. Aku
tidak menyuruh atau mengajarkan untuk membalas dendam....”
“Jangan
ungkit-ungkit lagi masa laluku, Rangga!” selak Kumbara keras.
“Masa
lalu bagian dari kehidupanmu, Kumbara. Kau tidak bisa selamanya menutup mata
dan hatimu. Aku tahu, di dalam lubuk hatimu tersimpan bara dendam yang membara.
Kau tidak puas karena keluargamu habis terbantai, dan seluruh kekayaan
keluargamu dikuasai orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu, termakan hasutan
hingga membencimu. Kau salah, Kumbara! Penduduk Desa Komering Ilir bukannya
tidak tahu, tapi menutupi perasaan dirinya sendiri. Mereka sengaja bersikap
demikian karena takut kau akan kembali menguasai Desa Komering Ilir dan
menuntut kembali hak-hakmu. Tapi tidak semua begitu, Kumbara. Masih banyak
penduduk Desa Komering Ilir yang menaruh simpati padamu, bahkan mereka ingin
membantumu. Tapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan! Sedangkan kau
sendiri kelihatan tidak peduli! Bahkan kelihatannya diam saja terhadap
keangkaramurkaan yang telah menguasai dan memendammu di lembah kenistaan yang
amat dalam,” panjang lebar Rangga membakar semangat Kumbara yang telah
padam.
“Dari
mana kau tahu semua itu?” tanya Kumbara.
“Seorang
tua yang selalu memperhatikanmu,” sahut Rangga kalem.
“Siapa?”
desak Kumbara.
“Ki
Ampar.”
“Ki
Ampar...,” desak Kumbara lirih. Kumbara memang tidak menyangkal, kalau Ki Ampar
selalu memperhatikannya. Tidak pernah Ki Ampar mengusir atau mencaci dirinya.
Bahkan selalu menyuruhnya untuk bekerja dan membangkitkan semangatnya. Meskipun
sikap Ki Ampar padanya terlihat kasar, tapi Kumbara bisa mengerti maksudnya.
Hanya saja tidak pernah ditanggapi, karena dia sudah bertekad untuk mengubur
semua masa lalunya yang pahit. Dia tidak ingin menggali semua yang sudah
dikuburnya dalam-dalam.
“Banyak
yang diceritakan Ki Ampar tentang dirimu, masa lalumu, dan malapetaka yang
menimpa seluruh keluargamu. Juga tentang keadaan Desa Komering Ilir sekarang
ini. Meskipun seorang kepala desa, tapi Ki Ampar tidak punya hak untuk mengatur
desanya. Ki Ampar sendiri merasa kalau dia hanya dijadikan boneka yang hanya
dapat mengikuti perintah dalang. Dia sangat mengharapkanmu, Kumbara. Juga
orang-orang tua yang merana dan tertekan hidupnya. Hanya kau satu-satunya yang
bisa membangun kembali Desa Komering Ilir,” Rangga tidak putus asa
membangkitkan semangat si Penyair itu.
“Sudahlah,
Rangga. Aku hargai rasa simpatimu. Lihatlah mukaku ini. Mereka telah merusak
mukaku!” kata Kumbara.
“Dan kau
diam saja, tidak berbuat sesuatu?” nada suara Rangga terdengar sinis.
“Mereka
terlalu kuat, Rangga. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penyair lemah
seperti aku ini?”
Rangga
langsung diam. Memang diakui kalau Kumbara seorang laki-laki lemah yang tidak
memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Selama beberapa hari ini, Kumbara
memang tidak pernah menunjukkan dirinya seorang laki-laki kuat dan perkasa.
Sehari-hari kerjanya hanya membuat syair dan membacakannya pada pohon, burung,
tupai, atau apa saja yang bersedia mendengarkannya. Tapi Rangga tidak percaya
kalau Kumbara benar-benar seorang yang lemah.
Beberapa
malam ini Kumbara selalu menghilang dari dalam goa tempat tinggal mereka.
Bahkan Rangga pernah mencoba untuk mengetahui dengan pura-pura tidur. Tapi
sialnya dia tertidur benar! Akibatnya dia tidak tahu apa yang dilakukan Kumbara
pada malam hari. Seperti semalam, Rangga merasa dirinya begitu mengantuk, tapi
berusaha ditahan. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sempat tertidur beberapa saat.
Tapi begitu terjaga, dia tidak lagi mendapatkan Kumbara di tempatnya.
Pendekar
Rajawali Sakti itu berusaha mencari. Tapi tanpa disadari, dia mencari sampai ke
Desa Komering Ilir. Kebetulan malam itu terjadi peristiwa menggemparkan.
Beberapa orang tewas terbunuh, bahkan Naraka dan Mandaka terluka cukup parah.
Rangga memang tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya, kalau saja tidak
singgah ke rumah Ki Ampar. Dari laki-laki tua itulah semua peristiwa yang telah
dan yang kini sedang terjadi dapat diketahuinya.
***
Rangga
tetap tidak percaya terhadap pengakuan Kumbara yang mengatakan keluar malam
hanya untuk mencari wangsit dalam mencipta syair-syairnya. Dia sudah mengetahui
kalau pembunuh misterius yang berkeliaran di malam hari itu selalu meninggalkan
secarik daun lontar berisikan bait-bait syair.
Sementara
seluruh penduduk Desa Komering Ilir hanya tahu, kalau orang yang pandai membuat
syair hanya Kumbara. Tidak ada orang lain yang bisa membuat syair.
Dan
jelas, kalau semua orang pasti menyangka Kumbaralah si Penyair Maut yang selalu
muncul pada malam hari dan meminta banyak korban nyawa.
Dugaan
itu semakin kuat, karena mereka yang menjadi sasaran adalah anak buah Raden
Glagah. Tidak seorang penduduk pun menjadi sasaran, meskipun mereka selalu
membenci dan mengusir Kumbara. Keanehan inilah yang menjadi beban pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan keanehan itu semakin jelas setelah Rangga bertemu
dengan Ki Ampar. Dari Kepala Desa Komering Ilir itulah dia tahu latar belakang
kehidupan Kumbara.
Rangga
tidak dapat menyalahkan Kumbara jika ingin membalas dendam. Sebab, rumah yang
ditempati Raden Glagah sebenarnya milik Kumbara. Dialah pewaris tunggal dari
saudagar kaya yang menguasai hampir seluruh desa ini. Sedangkan kedatangan
Raden Glagah yang mengaku putra saudagar itu sebenarnya bohong belaka!
Raden
Glagah sebenarnya adalah musuh besarnya. Kumbara sengaja dicampakkan dengan
disebarkannya fitnah keji agar seluruh penduduk Desa Komering Ilir membenci si
Penyair itu. Tapi semua perbuatan Raden Glagah diketahui oleh Ki Ampar. Raden
Glagah sengaja memberi kedudukan kepada laki-laki tua itu agar tidak
membocorkan rahasianya.
Malam ini
Rangga sengaja datang ke Desa Komering Ilir dan menginap di rumah Ki Ampar.
Ingin dibuktikan, siapa si Penyair Maut itu sesungguhnya. Kumbara, atau orang
lain yang mungkin saja memanfaatkan situasi ini. Entah untuk maksud apa. Yang
jelas, Rangga sudah bertekad untuk membongkar semuanya malam ini juga.
Bagusnya, rencana itu didukung penuh oleh Ki Ampar, yang memang sudah muak
dengan tingkah Raden Glagah yang semakin merajalela saja. Bahkan kini telah
menguasai desa-desa lain yang bertetangga dengan Desa Komering Ilir!
“Kelihatannya
malam ini tidak akan terjadi sesuatu, Den Rangga,” kata Ki Ampar yang
menemani.
“Mungkin.
Ini sudah hampir tengah malam,” sahut Rangga tidak lepas mengamati keadaan di
luar dari celah jendela.
“Apakah
Kumbara tahu kalau kau sengaja datang ke sini?” tanya Ki Ampar.
“Tidak!
Tadi aku hanya bilang akan pergi ke desa seberang sungai,” sahut Rangga.
“Masalahnya, kalau kubilang akan membeli bekal makanan di sini, dia pasti tidak
mau makan.”
“Kasihan
anak itu. Seumur hidupnya selalu menderita,” desah Ki Ampar bergumam.
“Ya...,
kalau saja dia mempelajari ilmu olah kanuragan, pasti tidak akan begitu,”
Rangga jadi ikut bergumam. “Heran juga, kenapa dia justru mempelajari
syair-syair...?”
“Memang
hanya itu yang ditinggalkan orang tuanya.”
Rangga
memalingkan mukanya menatap Ki Ampar yang duduk di samping kanannya.
“Orang
tuanya sebetulnya baik. Dia mengerti dengan bakat Kumbara yang suka akan syair.
Sejak kecil, sampai berusia sepuluh tahun, Kumbara selalu mempelajari buku-buku
sastra. Sedikit pun dia tidak tertarik pada ilmu olah kanuragan.”
“Sampai
terjadi musibah itu?” Rangga ingin kejelasan.
“Ya!
Sampai seluruh keluarganya terbunuh oleh Raden Glagah, Kumbara tetap tidak
berminat mempelajari ilmu olah kanuragan. Malah semakin giat menekuni sastra,
dan mampu menciptakan syair.”
“Aneh
juga, ya...,” gumam Rangga pelan. Kembali diperhatikannya keadaan di
luar.
“Manusia
memang tidak ada yang sama, Den Rangga.”
“Memang.”
“Begitu
juga dengan kehidupan ini. Desa Komering Ilir yang semula tenang dan damai,
berubah kacau terselimut hawa kematian. Semua itu terjadi sejak Raden Glagah
muncul.”
Rangga
diam. Matanya tidak berkedip mengintip keluar.
“Orang-orang
yang mencoba menentangnya selalu dibunuh! Bahkan seluruh keluarganya
dibinasakan.
Termasuk
keluarga kepala desa yang terdahulu. Hhh..., untung saja seorang anak kepala
desa masih hidup. Kini dia diasuh oleh neneknya yang tinggal di desa seberang
sungai. Tapi..., ya begitu. Kehidupannya sungguh memprihatinkan,” sambung Ki
Ampar.
“Siapa
yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga.
“Apa aku
belum menceritakannya padamu, Den?”
“Belum.”
“Peristiwanya
sudah lama, kira-kira dua puluh satu tahun yang lalu. Anak itu juga belum
lahir, masih berada di dalam kandungan. Istri kepala desa itu berhasil
diselamatkan dan tiba di desa seberang sungai. Kabarnya dia sempat melahirkan
sebelum meninggal. Tapi suaminya mati dibunuh orang-orang Raden Glagah. Aku
tahu siapa anak itu, dan juga neneknya. Tapi aku tidak pernah menceritakannya
pada orang lain.”
“Kenapa?”
“Kalau
Raden Glagah tahu, pasti anak itu dibunuh. Juga neneknya! Sedangkan orang-orang
di desa ini tidak ada yang dapat kupercayai. Mereka semua ular berkepala dua,
mengikuti saja asal bisa hidup berkecukupan. Sikap seperti itu memang sudah ada
sejak berdirinya desa ini, dan tidak mudah untuk menghilangkannya,” nada suara
Ki Ampar sedikit mengeluh.
“Aneh
juga. Kenapa tidak ada yang tahu?”
“Anak itu
lahir di desa seberang sungai, dan baru kembali setelah usianya sekitar lima
tahun. Tidak ada yang tahu dan mengenal neneknya, apalagi dia sendiri. Aku
tidak tahu, apa maksudnya perempuan tua itu membawa kembali cucunya sampai
sekarang.”
“Hmmm...,”
Rangga bergumam.
Ki Ampar
diam. Dihirup sisa kopinya yang tinggal sedikit. Pandangannya tertuju pada
Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatannya sedang berpikir.
“Ada yang
dipikirkan, Den?” tanya Ki Ampar.
“Ya. Aku
jadi punya pikiran lain, Ki,” desah Rangga.
“Maksud
Den Rangga?”
“Ada
kemungkinan bukan Kumbara yang melakukan, tapi orang lain yang memanfaatkan
posisi Kumbara dalam hal ini. Bisa saja sengaja diletakkan daun lontar berisi
bait syair agar semua orang menyangka Kumbara yang melakukannya,” kata Rangga
menduga-duga.
“Kau
mencurigai anak kepala desa itu?”
“Siapa
saja, Ki. Yang merasa sakit hati dan dendam pada Raden Glagah.”
“Kalau
Baruna, rasanya tidak mungkin. Dia bertubuh kurus kerempeng. Sedangkan neneknya
sudah tua dan sakit-sakitan. Kalau orang lain... Siapa...?”
“Ki,
mengapa Raden Glagah tidak membunuh Kumbara?” tanya Rangga beralih.
“Raden
Glagah menganggap Kumbara bukan ancaman karena tidak menyukai ilmu olah
kanuragan. Sengaja hidupnya dibuat miskin dan sengsara agar jadi contoh bagi
seluruh penduduk. Siapa yang membangkang, nasib keturunannya akan sama dengan
Kumbara. Terhina, papa, dan tidak berdaya!”
“Hebat!
Cerdik juga dia,” gumam Rangga mendesis.
“Itulah
sebabnya, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir ini tidak ada yang berani
dan menuruti saja perintah Raden Glagah. Bahkan menganggap Kumbara sebagai
pembawa sial dan bencana yang harus disingkirkan.”
“Dan yang
pasti, semua itu ulah Raden Glagah, bukan?”
“Benar,
Den. Memang anak buah Raden Glagahlah yang meniupkan kabar bohong tentang
Kumbara yang dikatakan sebagai si Penyair pembawa bencana.”
“Hebat...!”
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba
saja mereka dikejutkan oleh suara teriakan melengking tinggi. Dan beberapa saat
kemudian, terdengar suara pertarungan. Rumah Ki Ampar memang tidak berapa jauh
dari bangunan besar bagai istana itu. Rangga yang memperhatikan keluar langsung
dapat melihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Namun suara pertarungan
berhenti, disusul suara-suara bernada memerintah.
“Aku
pergi dulu, Ki,” kata Rangga cepat-cepat.
“Hati-hati,
Den.”
Rangga
segera melompat ke pintu. Sebentar diintipnya keadaan di luar, kemudian melesat
cepat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Ki Ampar bergegas menutup
pintu rumahnya kembali.
Ilmu
meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sempurna sekali. Dia
berlompatan bagaikan kilat, sehingga sukar diikuti mata biasa. Hanya
bayangannya saja yang berkelebat seperti hantu. Pandangannya tidak lepas ke
arah sosok hitam yang berkelebatan menyelinap di tempat-tempat gelap.
“Berhenti...!”
Rangga terkejut
ketika mendengar bentakan keras menggelegar. Dan orang berbaju serba hitam itu
berhenti seketika. Saat itu juga berkelebat sebuah bayangan hijau yang langsung
menghadang orang berbaju serba hitam itu. Wajahnya cukup tampan. Bentuk
tubuhnya pun sangat bagus, tegap dan berisi.
“Raden
Glagah..., rupanya kau tidak sabaran ingin cepat-cepat ke neraka juga,” kata
orang berbaju hitam itu sinis.
Sementara
Rangga sudah berlindung di atas dahan pohon dengan jarak yang cukup terlindung.
Dengan mengerahkan ilmu ‘Tatar Netra’, dan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’,
dapat terlihat serta terdengar jelas semua percakapan dan kejadian di depannya.
Rangga agak berkerut juga melihat orang berbaju hitam itu. Suaranya terdengar
berat dan besar, seperti dibuat-buat. Sedangkan bentuk tubuhnya begitu kecil,
dan bisa dikatakan kurus. Seperti bukan tubuh seorang laki-laki. Tapi dari
suaranya, jelas kalau dia laki-laki.
“Petualanganmu
sudah cukup, Penyair Maut!” desis Raden Glagah sinis.
“Memang,
setelah kau terbang ke neraka!” sahut orang itu tidak kalah sinisnya.
“Kita
lihat, siapa yang masih bisa tertawa esok pagi!”
Setelah
berkata demikian, Raden Glagah segera membuka jurus. Sedangkan orang berbaju
hitam itu masih kelihatan tenang tidak bergeming sedikit pun.
“Hiya...!”
Sambil
berteriak keras, Raden Glagah melompat mengirimkan jurus-jurus mautnya. Orang
berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping menghindari serangan
Raden Glagah. Dan dengan cepat disodokkan tangannya ke arah lambung. Tapi Raden
Glagah bisa menghindarinya dengan mudah. Mereka langsung terlibat dalam
pertempuran sengit. Masing-masing menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Pertarungan berjalan cepat, dan tanpa menggunakan senjata satu pun. Namun
begitu, sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal.
Sementara
di tempat yang cukup tersembunyi, Rangga memperhatikan jalannya pertarungan
dengan mata tidak berkedip. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus-jurus
dilalui cepat. Raden Glagah mencabut senjatanya, tepat pada jurus ke tiga
puluh. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih tetap bertangan kosong.
Kelihatannya dia tidak membawa sepucuk senjata pun.
“Hm...,
terlalu berbahaya kalau dia tidak menggunakan senjata juga,” gumam Rangga dalam
persembunyiannya.
Dan
dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang terbukti. Baru saja dia bergumam
demikian, terlihat orang berbaju hitam itu mulai terdesak. Dan pada satu
serangan berikut, ujung pedang Raden Glagah meluruk cepat ke arah dada, setelah
tendangannya berhasil mendarat di tubuh orang berbaju hitam itu.
“Celaka...!”
desis Rangga.
Tapi yang
terjadi sungguh mengejutkan. Orang berbaju hitam itu mengangkat tangan kanannya
cepat. Maka dari balik lengan bajunya keluar sepucuk senjata berbentuk pedang
pendek tipis. Langsung diputarnya pedang itu untuk melindungi dadanya.
Trang!
Raden
Glagah tersentak kaget, kontan melompat mundur dua tindak ke belakang.
Sedangkan orang berbaju hitam itu pun melompat dua tindak ke belakang. Rupanya
benturan senjata bertenaga dalam cukup tinggi, membuat tangan mereka seperti
kaku. Kini mereka berdiri tegak, seakan-akan hendak mengukur tingginya
tingkatan kepandaian masing-masing.
Pada saat
itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat Tidak berapa lama berselang muncul
sekitar lima puluh orang berkuda dari empat jurusan. Mereka serentak mengepung
dan menghunus senjata masing-masing.
“Ha ha
ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.
Orang-orang
yang baru saja berdatangan itu langsung berlompatan dan mengepung orang berbaju
hitam. Di antara mereka terlihat empat bersaudara kepercayaan Raden Glagah.
Orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya perlahan-lahan. Tatapan matanya
tajam memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
Sementara
Rangga memperhatikan, ia merasa iba melihat orang berbaju hitam itu tidak
mempunyai peluang untuk dapat menerobos kepungan rapat itu. Tapi Rangga tetap
diam, tidak ingin ikut campur dulu. Dia ingin mengetahui tindakan orang berbaju
hitam itu.
“Penyair
Maut! Sebaiknya kau menyerah! Tidak ada lagi kesempatan lolos buatmu!” kata
Raden Glagah merasa menang.
“Huh!”
orang berbaju hitam itu hanya mendengus saja.
Perlahan-lahan
tangannya terangkat ke depan, lalu menyatu rapat. Dengan tubuh sedikit
membungkuk, diputar kakinya. Tatapan matanya tajam menusuk, memperhatikan
setiap gerak orang yang mengepungnya.
Cring!
Pedang
tipis sepanjang lengan itu terbelah menjadi dua. Kini di tangan orang berbaju
hitam itu tergenggam sepasang pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanpa
banyak berpikir lagi, dengan cepat dia berputar sambil berteriak nyaring.
“Yeaaah...!”
***
ENAM
Gerakan
orang berbaju hitam itu cepat luar biasa. Dengan tubuh berputar dan kedua
tangan merentang, dicobanya membuka kepungan orang-orang itu. Jerit pekik
melengking terdengar saling sambut, disusul tersuruknya beberapa tubuh
bersimbah darah.
Kejadian yang
begitu cepat dan tak terduga itu membuat Raden Glagah tersentak kaget. Dalam
sekejap mata saja, sudah enam orang anak buahnya terbujur tak bernyawa. Raden
Glagah langsung memerintahkan untuk menyerang.
“Serang...!”
Pertarungan
tidak seimbang sulit dielakkan lagi Orang berbaju serba hitam itu terkurung
rapat, di antara kelebatan senjata tajam yang siap mengoyak tubuhnya. Beberapa
jurus berlalu cepat. Sedangkan orang berbaju hitam itu mulai kelihatan
kerepotan menghadapi serangan yang datang bagai gelombang. Serangan yang tiada
henti-hentinya, terus mengalir dari segala penjuru. Tidak ada kesempatan lagi
untuk meloloskan diri.
Beberapa
kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Tapi sampai sejauh itu, belum
ada senjata yang menyentuh kulitnya. Sementara empat saudara kepercayaan Raden
Glagah sudah ikut terjun dalam kancah pertarungan. Hal ini membuat orang
berbaju hitam itu semakin kewalahan.
“Mampus
kau! Hiyaaa...!” tiba-tiba Naraka berteriak keras.
Bagaikan
kilat, senjatanya berkelebat membabat ke arah dada. Orang berbaju hitam itu
mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tebasan Naraka pun luput dari sasaran. Tapi
belum juga sempat menarik kembali tubuhnya, datang lagi serangan dari Balika.
Dan kali ini tidak dapat dihindari lagi, meskipun telah berusaha
berkelit.
“Akh!”
orang berbaju hitam itu memekik tertahan.
Darah
mengucur dari bahu kirinya. Pada saat tubuhnya limbung, satu tendangan keras
Carika membuatnya terjajar ke belakang. Pada saat itu, Mandaka dan Naraka
melompat bersamaan sambil menghunus senjata mereka. Sudah dapat dipastikan
kalau orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut itu akan tewas
terhunjam dua senjata yang meluruk deras ke arahnya.
Tapi pada
saat yang kritis itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai
kilat. Bayangan itu langsung memapak serangan dua bersaudara tadi, dan cepat
menyambar tubuh si Penyair Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar
diikuti pandangan mata. Sekejap saja tubuh si Penyair Maut telah lenyap dari
kepungan. Raden Glagah dan empat orang bersaudara pengikut setianya jadi
bengong.
“Cepat!
Kejar...!” seru Raden Glagah begitu sadar dari keterkejutannya.
Naraka
dan ketiga adiknya serentak melompat mengejar, diikuti anak buahnya yang segera
berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara Raden Glagah
menggerutu karena orang yang selama ini telah banyak menewaskan anak buahnya
lolos pada saat maut sudah berada di depannya.
***
Saat itu,
orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut berusaha berontak dari
kepitan ketiak seorang laki-laki muda berbaju rompi putih. Namun pemuda itu
tidak memperdulikannya, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih
berkelebatan dari pohon ke pohon.
“Lepaskan...!”
bentak orang berbaju hitam itu memberontak.
Pemuda
berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung, berhenti berlari
setelah tiba di tengah hutan Bukit Halu. Segera dilepaskan kepitannya, maka
tubuh terbungkus baju hitam itu jatuh terguling di tanah. Dia bersungut-sungut
sambil bangkit berdiri.
“Kadal!
Keparat kau!” umpat orang berbaju hitam itu menggerutu.
“Kau
hampir saja mati, Kisanak,” kata pemuda berbaju rompi putih itu kalem.
“Aku
tidak butuh pertolonganmu!”
“Aku
tahu, tapi kau hampir mati tadi.”
“Huh!
Siapa kau?”
“Namaku
Rangga, dan dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti,” pemuda berbaju rompi
putih itu memperkenalkan diri.
“Aku
tidak kenal kau! Kenapa menolongku?” suara orang berbaju hitam itu masih
terdengar ketus.
“Akan
kujelaskan jika kau mau membuka topengmu,” sahut Rangga kalem.
Orang
berbaju hitam itu tidak menyahut, malah mundur dua langkah ke belakang. Dari
balik kain yang menyelubungi kepala dan wajahnya, terlihat sinar mata yang
tajam penuh kecurigaan.
“Jangan
coba-coba menipuku, Kisanak. Kau pasti orang suruhan Raden Glagah!” kata orang
berbaju hitam itu ketus.
“Aku
tidak kenal dengan Raden Glagah! Aku menolongmu dari maut hanya karena
kebetulan lewat saja, kulihat kau butuh pertolongan,” kata Rangga masih
kalem.
“Apa
buktinya kalau kau bukan orang suruhan Raden Glagah?” nada suara orang itu
masih bernada curiga.
“Tidak
ada bukti, tapi kau dapat mempercayai aku.”
“Maaf,
aku tidak dapat memenuhi permintaanmu.”
Setelah
berkata demikian, orang berbaju hitam itu menggenjot tubuhnya. Tapi yang
terjadi adalah di luar dugaannya sama sekali. Dia malah terguling! Orang itu
buru-buru bangkit berdiri dan kelihatan terkejut. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti hanya tersenyum saja.
“Kau
memang masih dapat bergerak dan bicara dalam keadaan sadar penuh, tapi tidak
bisa lagi menggunakan semua ilmumu,” kata Rangga tetap tenang suaranya.
“Keparat!
Apa yang kau lakukan padaku?” bentak orang itu geram.
“Hanya
menotok pusat kekuatan tenaga dalammu saja,” sahut Rangga tetap tenang.
“Bajingan...!”
desis orang itu marah bukan main.
Dia tahu
kalau tenaganya tidak ada lagi, dan benar-benar tidak punya daya sama sekali.
Pusat kekuatan tenaga dalamnya sudah tertotok. Totokan itu dapat terbuka hanya
jika dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu tenaga dalam sempurna. Tapi, tidak
banyak orang yang dapat memiliki ilmu totokan, mampu melumpuhkan tenaga dalam
seseorang.
Orang
berbaju hitam itu mencoba menyalurkan hawa murni, tapi akhirnya malah
menggerutu. Dia tidak mampu lagi menyalurkan hawa murni. Rupanya bukan saja
pusat tenaga dalamnya yang tertotok, tapi juga pusat penyaluran hawa murni ikut
lumpuh.
“Aku
mengaku kalah, Kisanak. Tapi ini bukan berarti kemenangan buatmu!” kata orang
itu dengan menahan geram.
“Tidak
ada yang menang ataupun kalah. Aku tahu, kau memiliki ilmu olah kanuragan yang
cukup tinggi, jadi terpaksa hanya dengan jalan itu dapat melumpuhkanmu. Totokan
biasa sangat mudah bagimu untuk membukanya kembali. Hawa murni yang tersimpan
di dalam tubuhmu sangat besar. Hanya karena kau kurang melatihnya, sehingga
belum berkembang,” jelas Rangga.
“Heh! Kau
tahu semua itu...?!” orang itu semakin terkejut, dan tidak bisa disembunyikan
lagi.
“Aku
dapat merasakannya ketika kau meronta, mencoba melepaskan diri tadi,” sahut
Rangga tetap kalem.
“Kau
hebat, Kisanak. Kau pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi,” puji orang itu
tulus.
“Lumayan.
Yang penting cukup untuk menjaga diri dari orang-orang yang suka pamer
kekuatan,” sahut Rangga.
Orang
berbaju hitam dan bertopeng dari kain hitam itu diam beberapa saat. Tampaknya
dia sedang berpikir keras dan menimbang-nimbang. Perlahan-lahan tangannya
terangkat ke atas kepala, lalu ditariknya tutup kepala yang menyelubungi
seluruh kepala dan wajahnya.
Rangga
terkesiap begitu selubung kepala orang itu terbuka seluruhnya. Mulutnya
ternganga lebar, dengan mata tidak berkedip memandang. Sedangkan orang berbaju
hitam itu hanya berdiri tegak. Pandangannya lurus ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti.
“Kau
terkejut, Kisanak?”
“Aku
tidak mengenalmu, tapi gambaran wajahmu serta bentuk tubuhmu pernah kudengar,”
sahut Ranga datar.
“Aku
memang Baruna, cucu tunggal Nek Selong,” orang berbaju hitam itu mengakui siapa
dirinya sebenarnya.
“Hm...,
ya aku ingat, kau bernama Baruna. Orang yang menceritakan tentang dirimu pernah
juga menyebut nama Baruna.”
“Kau
sudah tahu siapa diriku. Nah! Sekarang bebaskan aku,” kata Baruna tegas.
“Untuk
apa?”
“Urusan
kita belum selesai, Kisanak. Malam ini juga kita harus bertarung sampai salah
satu di antara kita ada yang tewas. Dan yang pasti aku akan membunuhmu!”
“Kenapa?”
“Karena
kau satu-satunya orang yang mengetahui siapa diriku yang sebenarnya!” tegas
jawaban Baruna.
“Baik,
aku terima tantanganmu. Tapi kau harus berjanji!” sahut Rangga juga
tegas.
“Apa?”
“Mulai
malam ini, jangan lagi menggunakan nama Penyair Maut!”
Orang
berbaju hitam yang ternyata adalah Baruna itu langsung diam. Kembali dia
menatap tajam dan mencari sesuatu di dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti
itu. Syarat yang diajukan Rangga sebenarnya tidak begitu berat. Tapi memang
selama ini Baruna menjadi manusia misterius yang selalu meminta korban nyawa
dari orang-orangnya Raden Glagah. Hanya saja tindakan yang berdasarkan dendam
untuk membalas kematian seluruh keluarganya itu telah menjerat orang yang tak
bersalah menjadi tertuduh.
“Aku
tidak pernah menggunakan nama itu!” sahut Baruna.
“Semua
orang tahu, kalau yang berkeliaran mencari korban nyawa adalah si Penyair Maut.
Bahkan Raden Glagah sendiri menyebutmu si Penyair Maut. Kau selalu meninggalkan
secarik daun lontar bertuliskan bait-bait syair bernoda darah.”
Baruna
kembali terdiam.
“Kenapa
kau lakukan itu, Baruna?” tanya Rangga bernada mendesak.
“Apa
pedulimu?” dengus Baruna.
“Tentu
saja aku peduli, karena kau telah merugikan seseorang yang tidak berdosa sama
sekali! Bahkan kini nyawanya terancam!” sahut Rangga tegas.
“Oh....
Jadi kau muncul atas nama Kumbara si Penyair itu?”
“Benar!”
“Aku
memang sengaja meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait syair. Memang
ingin kualihkan perhatian mereka pada Kumbara, karena aku tahu dia tidak ada
lagi di desa ini.”
“Kau
salah, Baruna. Kumbara belum jauh meninggalkan desa kelahirannya. Bahkan dia
hampir mati karena ulahmu yang menggunakan namanya!”
“Apa...?!”
Baruna kelihatan terkejut.
“Orang-orang
Raden Glagah hampir membunuhnya.”
“Biadab!
Benar-benar keparat mereka!” geram Baruna mendesis.
“Semua
itu tidak akan pernah terjadi jika kau tidak menggunakan namanya. Aku tidak
berpikiran buruk tentang niatmu, tapi apa yang kau lakukan sangat tidak terpuji
bagiku. Kau ingin leluasa bergerak untuk menumpas orang-orang yang telah
membunuh keluargamu dengan menggunakan nama orang lain. Tapi kau tidak
menghiraukan akibatnya pada orang yang telah kau gunakan namanya untuk
kepentingan dirimu sendiri. Hhh...! Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan
pikiranmu, Baruna...,” kata Rangga panjang lebar.
Baruna
hanya diam saja. Semua kata-kata yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti
membuat Baruna diam membisu. Kata-kata itu sangat mengena di hatinya. Baruna
memang masih hijau dan belum berpengalaman dalam dunia kaum persilatan. Selama
ini dia hanya melakukan semua yang ada di kepalanya saja, tanpa memikirkan
akibatnya. Baruna mengakui kalau hanya mengikuti kata hatinya saja yang
terbalut dendam selama hidupnya.
Rangga
melangkah menghampiri. Tangannya bergerak cepat menotok bagian perut, tepat di
bawah tali pusar Baruna. Seketika itu juga Baruna merasakan adanya aliran hawa
panas menyebar dari pusarnya. Pemuda kurus kerempeng itu sadar kalau sekarang
dia sudah kembali normal.
“Sebentar
lagi pagi. Kau tidak pulang?” kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi cukup
lama itu.
“Kisanak,
kau tahu di mana Kumbara?” tanya Baruna tidak mempedulikan teguran
Rangga.
“Untuk
apa kau tanyakan itu?” Rangga juga balik bertanya.
“Aku
harus meminta maaf padanya. Aku sadar, kalau perbuatanku salah dan membahayakan
dirinya. Sekarang aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Kau bersedia
membawaku untuk menemuinya, Kisanak?”
“Dengan
senang hati. Ayolah! Sebelum matahari benar-benar terbit.”
“Terima
kasih, Kisanak.”
***
TUJUH
Kumbara
duduk diam tanpa berkata-kata, begitu mendengar pengakuan Baruna yang gamblang
dan penuh penyesalan. Saat ini dia tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya.
Apalagi untuk menentukan sikapnya. Penuturan Baruna yang bernada penuh
penyesalan itu membuat Kumbara tersentuh hatinya.
“Aku
menyesal, aku tidak pernah berpikir sampai ke situ, Kumbara,” kata
Baruna.
“Hhh...!”
Kumbara hanya menarik napas panjang saja.
Sementara
itu Rangga hanya memperhatikan tanpa bicara sedikit pun, dan tidak ingin
mencampuri persoalan pribadi kedua orang itu. Dia sudah senang melihat Baruna
menyadari semua kesalahannya.
“Aku akan
terus merasa berdosa jika kau tidak memaafkanku, Kumbara,” kata Baruna
lagi.
“Lupakan,”
desah Kumbara pelan.
“Kau
memaafkan aku, Kumbara?”
Kumbara
tersenyum, kemudian bangkit menghampiri Baruna. Sesaat dipandangi pemuda kurus
kerempeng itu, lalu dipeluknya dengan erat penuh haru. Baruna tersentak sejenak,
kemudian melingkarkan tangannya memeluk Kumbara. Saat itu Pendekar Rajawali
Sakti menarik napas lega dan tersenyum lebar.
Agak lama
juga mereka saling berpelukan, kemudian sama-sama melepaskan diri. Beberapa
saat masih belum ada yang bicara, hanya sinar mata mereka saja yang banyak
mengeluarkan kata-kata. Kumbara kembali melangkah mundur dan duduk di tempatnya
semula, pada sebatang pohon besar yang tumbang. Sedangkan Baruna juga duduk di
atas sebongkah batu.
“Aku
tahu, siapa-siapa saja yang selalu mengusir dan mencaci-maki aku. Aku juga tahu
kalau mereka berbuat begitu bukan dari hati nurani sendiri,” kata Kumbara
setelah lama terdiam.
“Benar!
Mereka berbuat begitu untuk menunjukkan kesetiaan pada Raden Glagah. Mereka
tidak akan membencimu lagi jika Raden Glagah terusir dari Desa Komering Ilir,”
sambung Baruna.
“Kau
sudah melakukannya, Baruna.”
“Tapi aku
tidak mampu menghadapinya seorang diri. Mereka begitu kuat, dan banyak
jumlahnya,” Baruna mengakui terus terang.
“Kau
sudah banyak berbuat, dan jumlah mereka pun sudah berkurang!” selak Rangga ikut
campur.
“Hanya
orang-orang yang tidak berguna saja. Aku belum mampu menghadapi biangnya,”
Baruna mengakui dengan jujur.
Kembali
mereka semua terdiam. Agak lama juga mereka tidak ada yang membuka suara.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Rangga bangkit berdiri dan melayangkan
pandangannya ke arah Desa Komering Ilir. Sebenarnya dia tidak ingin terlibat
terlalu jauh. Tapi melihat keadaan dua orang pemuda yang tampak tidak berdaya
menghadapi mereka yang telah membuatnya sengsara, hatinya tidak mungkin berdiam
diri begitu saja.
“Aku akan
membantu kalian,” kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.
“Oh!
Benarkah...?” seru Baruna gembira.
Rangga
berbalik dan mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Wajah Baruna dan
Kumbara jadi cerah. Lebih-lebih Baruna yang mengerti ilmu olah kanuragan. Dia
tahu betul kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Sudah dirasakan sebagian ilmu olah kanuragan pendekar muda itu.
“Aku
bersedia setiap saat!” sahut Baruna tegas.
“Bagaimana
denganmu, Kumbara?” tanya Rangga tanpa bermaksud mengecilkan kehadiran
Kumbara.
“Yaaah...,
paling-paling aku hanya bisa jadi penonton,” sahut Kumbara tanpa merasa
berkecil hati.
“Kau bisa
melakukan sesuatu, Kumbara,” kata Baruna.
“Apa yang
bisa aku lakukan?”
“Kau
temui Ki Ampar. Aku tahu kalau Ki Ampar tidak pernah membencimu. Katakan
padanya kalau aku dan Pendekar Rajawali Sakti akan memorak-porandakan kejayaan
Raden Glagah. Katakan pada Ki Ampar agar secepatnya menyusun kekuatan untuk
membantu kami,” kata Baruna memberi tugas.
“Tugasmu
kelihatannya lebih berat, Kumbara,” selak Rangga.
“Benar,
karena kau pasti sulit meyakinkan penduduk,” sambung Baruna.
“Aku akan
coba!” sahut Kumbara bersemangat.
“Bagus!”
sambut Rangga tersenyum senang.
“Kapan
kita mulai?” tanya Kumbara.
“Sebaiknya
besok saja. Akan kuselidiki dulu kekuatan mereka,” sahut Baruna. “Sampai
sekarang mereka belum tahu siapa Penyair Maut yang sebenarnya. Dengan demikian
aku bisa bebas berkeliaran tanpa ada seorang pun yang mencurigai.”
“Kutunggu
beritamu besok,” kata Rangga.
“Kalau
begitu, aku kembali dulu. Matahari sudah terbit. Nenekku pasti sudah gelisah,”
kata Baruna pamitan.
“Sampai
besok, Baruna!” kata Kumbara.
“Kita
pasti bisa membebaskan Komering Ilir dari tangan jahat!” sambut Baruna
yakin.
“Tentu.”
***
Sementara
itu, Nek Selong yang tidak tidur semalaman semakin gelisah karena cucunya belum
juga pulang pagi begini. Perempuan tua itu membuka pintu rumahnya, dan seketika
matanya membeliak lebar. Di depan rumahnya sudah berdiri Raden Glagah, empat
saudara pengikut setianya, dan puluhan orang bersenjata golok.
“Nek
Selong, apa cucumu ada di rumah?” tanya Naraka dengan suara yang berat dan
kasar.
“Oh...,
eh...,” Nek Selong tergagap, tidak dapat segera menjawab.
“Jawab,
Nek Selong! Di mana Baruna!” bentak Carika.
“Dia...,
dia...,” Nek Selong mulai menyadari keadaan. Dia jadi cemas karena Raden Glagah
dan orang-orangnya langsung menanyakan Baruna.
“Dia
tidak ada di rumah, bukan? Di mana?!” bentak Naraka lagi.
“Men...,
mencari kayu di hutan,” jawab Nek Selong.
“Pagi-pagi
begini? Aku lihat kayu bakarmu masih banyak,” Naraka tidak percaya.
Nek
Selong tidak dapat memberi alasan lagi. Baruna memang tidak ada di rumah sejak
semalam. Perasaan cemas mulai menjalari seluruh tubuhnya. Perempuan tua itu
menyadari keadaannya. Perlahan-lahan ketenangan menjalari dirinya. Dia harus
siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Karman...!”
seru Naraka keras.
Seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun datang terbungkuk-bungkuk.
“Katakan
pada perempuan tua ini, apa yang kau lihat semalam!” tegas Naraka.
“Ampun,
Gusti. Hamba.... melihat Baruna keluar dari rumah membawa bungkusan kain hitam,
kemudian pergi ke dalam hutan. Hamba..., hamba mengikuti. Di sana dia mengganti
pakaiannya, lalu kembali lagi ke desa dengan cepat. Selanjutnya hamba tidak
tahu lagi, Gusti,” kata Karman takut-takut.
Nek
Selong menatap laki-laki tua tetangganya itu. Hatinya bergolak dan darahnya
mendidih mendengar penuturan Karman. Memang sudah diduga kalau cucunyalah yang
selama ini membuat keresahan di dalam lingkungan kekuasaan Raden Glagah.
“Hhh...!
Ternyata cucumu punya kebolehan juga, Nek Selong,” kata Raden Glagah
sinis.
“Ampun,
Raden. Hamba tidak tahu...,” kata Nek Selong masih berusaha menutupi. “Setahu
hamba, Baruna tidak pemah belajar ilmu olah kanuragan.”
“Oh, ya?
Lalu apa tujuanmu membawa Baruna setiap malam ke dalam hutan, lalu kembali
menjelang fajar?” tetap sinis nada suara Raden Glagah.
Nek
Selong tidak dapat menjawab. Terkejut juga dia mendengar kata-kata Raden
Glagah. Sungguh tidak disangka kalau selama ini semua yang dilakukannya selalu
mendapat perhatian dari Raden Glagah. Nek Selong masih bersikap waspada
meskipun kelihatannya ketakutan setengah mati. Namun sinar matanya sudah tajam,
lebih-lebih memandang Karman.
“Awas
kepala, Nek Selong...!” tiba-tiba Naraka membentak keras.
Seketika
itu juga dicabut senjatanya dan dikibaskannya cepat ke arah kepala Nek Selong.
Sesaat perempuan tua itu terkesiap. Dengan gerakan sedikit, ditarik kepalanya
ke belakang. Tebasan Naraka lewat di depan wajahnya.
“Bagus...!”
dengus Raden Glagah. “Rupanya kau punya isi juga, perempuan tua!”
Nek
Selong mengumpat dalam hati. Rupanya serangan Naraka hanya bersifat mencoba
saja. Nek Selong menyadari kalau kedoknya sudah terbuka sekarang. Tiba-tiba
saja perempuan tua itu melesat ke atas, dan menjebol atap rumahnya.
“Hiyaaa...!”
Raden
Glagah langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan cepat mengirimkan dua
pukulan beruntun. Nek Selong memutar tubuhnya menghindari pukulan yang
mengandung tenaga dalam sangat tinggi itu, kemudian dengan manis mendarat di
tanah, tepat pada lingkaran orang-orang Raden Glagah. Pada saat yang sama,
Raden Glagah juga mendarat dengan manis.
“Tidak
kusangka! Ternyata di daerah kekuasaanku ada tikus yang menggerogoti
lumbungku,” kata Raden Glagah sinis.
“Kau yang
menggerogoti lumbung kami, perampok busuk!” dengus Nek Selong tidak lagi
berbasa-basi.
“Ha ha
ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak bahak.
“Biarkan
kami yang membereskan perempuan tua laknat itu, Raden,” kata Naraka.
“Hm...,”
Raden Glagah bergumam, kemudian melangkah mundur dua tindak.
Naraka
dan ketiga adiknya melompat ke depan. Empat bersaudara itu segera mengepung
dari empat jurusan. Nek Selong memutar tubuhnya perlahan-lahan. Matanya tajam
menatap satu-persatu orang yang mengepungnya. Gerahamnya bergemeletuk saat
matanya menatap Karman.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba
saja Nek Selong berteriak keras, dan tangannya bergerak cepat mengebut ke arah
Karman. Sebuah pisau kecil keperakan melesat cepat bagaikan kilat. Pisau itu
tidak terbendung lagi, kontan menghunjam dada Karman.
“Aaa...!”
Karman memekik keras.
Belum
sempat semua orang menyadari, tahu-tahu Nek Selong sudah melompat menerjang
Naraka. Tentu saja Naraka terkesiap. Namun dengan cepat dia melompat mundur ke
belakang sambil mengibaskan senjatanya ke depan. Nek Selong melentingkan
tubuhnya sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah Carika.
“Hup!”
Carika
membanting tubuhnya ke tanah, dan kakinya terangkat mengirimkan satu tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi. Nek Selong kembali melentingkan tubuhnya. Kali
ini yang jadi sasaran adalah Mandaka. Tapi belum sempat menerjang saudara
bungsu itu, Naraka sudah melompat sambil mengibaskan senjatanya.
“Hyaaa...!”
“Uts!”
Nek
Selong mengurungkan serangannya. Diputar tubuhnya menghindari tebasan senjata
Naraka. Dan begitu kakinya menjejak tanah, satu serangan cepat dilancarkan ke
arah dada Naraka. Namun pada saat itu, Balika menerjang sambil mengayunkan
senjatanya. Nek Selong segera menarik serangannya pada Naraka, dan memutar
tubuhnya memapak serangan Balika.
Pada saat
itu, Carika melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah pinggang. Nek Selong
tidak mampu lagi berkelit. Senjata Carika merobek pinggangnya cukup lebar. Darah
pun mengucur tanpa dapat dibendung lagi. Nek Selong terhuyung-huyung dengan
tangan kanan menekap luka pada pinggangnya.
“Huh!”
Nek Selong mendengus.
“Ha ha
ha...!” Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.
Pada saat
itu, hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir sudah berkerumun pada jarak
yang cukup jauh. Mereka ingin menyaksikan Nek Selong mempertahankan nyawanya
dari orang-orang Raden Glagah. Tak dapat dikatakan, bagaimana air muka mereka
pada saat itu. Tapi Ki Ampar yang berada di antara mereka, memandang Nek Selong
dengan sinar mata penuh iba dan hati bergetar.
“Bunuh
dia!” seru Raden Glagah keras.
Seketika
itu juga empat bersaudara berlompatan menyerang Nek Selong dari empat
arah.
Perempuan
tua itu memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya terentang lebar. Dan pada
tangannya terlihat seberkas cahaya keperakan. Nek Selong memutar tubuhnya
cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang berputar bagai
gasing.
Trang!
Trang!
Terdengar
senjata beradu. Tampak Naraka dan Carika terpental. Sedangkan Balika dan
Mandaka serempak melompat mundur. Naraka dan Carika terperanjat begitu melihat
senjatanya terpenggal jadi dua bagian. Sementara Nek Selong sudah berdiri
tegak. Tangan kanan dan kirinya menggenggam pedang pendek berwarna keperakan.
Pedangnya sangat tipis, dan bentuk serta ukurannya serupa seperti yang dimiliki
Baruna.
“Setan
belang! Kau tangguh juga rupanya, perempuan edan!” geram Raden Glagah.
“Hhh...!”
Nek Selong hanya mendengus saja.
“Mampus
kau! Hiyaaa...!”
Raden
Glagah tidak bisa lagi menyimpan kemarahannya. Bagaikan kilat, diterjangnya
perempuan tua itu sambil menghunus pedangnya. Nek Selong mengangkat senjatanya
memapak tusukan pedang Raden Glagah, sedangkan senjata di tangan kirinya
ditusuk ke arah perut.
Raden
Glagah menggenjot tubuhnya ke atas, dengan pedangnya dibenturkan pada senjata
di tangan Nek Selong. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, kaki Raden
Glagah berputar cepat ke arah dada. Nek Selong terkesiap sesaat. Buru-buru
ditarik mundur tubuhnya. Namun Raden Glagah malah berputar di udara, dan tangan
kirinya menghajar punggung Nek Selong.
“Akh!”
Nek Selong memekik tertahan.
Tubuhnya
terdorong keras ke depan. Tepat pada saat itu, Mandaka melompat sambil
menusukkan senjatanya ke depan. Saat itu Nek Selong tidak mungkin lagi bisa
berkelit. Ujung senjata Mandaka kontan menancap di dadanya hingga tembus ke
punggung. Nek Selong menjerit melengking tinggi. Tapi pada saat yang sama,
ditusukkan pedang tipisnya ke tubuh Mandaka sebelum orang itu sempat melompat
mundur.
“Aaa...!”
Mandaka menjerit melengking.
Sesaat
dua orang itu masih berdiri tegak dengan tangan memegangi tangkai senjata
masing-masing yang terbenam di tubuh lawan masing-masing. Dengan sisa
tenaganya, Nek Selong mengayunkan senjata yang sebuah lagi dan ditancapkan ke
leher Mandaka.
Beberapa
saat kemudian, tubuh mereka ambruk dan menggelepar di tanah. Darah mengucur
deras dari tubuh yang tertancap senjata lawan masing-masing. Naraka dan kedua
adiknya terkejut melihat saudara bungsu mereka tewas bersama dengan Nek Selong.
Kalau saja Raden Glagah tidak segera mencegah, mungkin tubuh Nek Selong hancur
kena amukan tiga bersaudara itu. Mereka hanya bisa memandang dengan sinar mata
sukar diartikan dengan kata-kata.
“Tinggalkan
tempat ini!” perintah Raden Glagah.
Dua orang
bergegas menggotong tubuh Mandaka. Raden Glagah melompat ke punggung kudanya
yang dibawa seorang anak buahnya. Tiga bersaudara pengikut setianya juga segera
naik ke punggung kudanya masing-masing. Tanpa ada yang berkata-kata, segera
ditinggalkan tempat itu. Membiarkan saja tubuh Nek Selong menggeletak tidak
bernyawa lagi.
Pada saat
itu, dari kerumunan orang-orang, melesat sesosok tubuh hitam yang langsung
menyambar tubuh Nek Selong. Begitu cepatnya melesat, sehingga tidak ada yang
menyadari kalau tubuh Nek Selong sudah lenyap dari pandangan mata. Rombongan
Raden Glagah yang belum jauh meninggalkan tempat itu, juga sempat
melongo.
“Setan
belang...!” geram Raden Glagah yang menyaksikan kejadian itu.
“Dia
pasti Baruna!” dengus Naraka.
“Kejar!
Bunuh keparat itu!” perintah Raden Glagah.
Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Naraka dan kedua adiknya segera menggebah kudanya ke
arah bayangan hitam itu melesat pergi sambil membawa Nek Selong yang sudah
tidak bernyawa lagi. Dua puluh orang bersenjata golok, mengikutinya dari
belakang. Sedangkan Raden Glagah segera memacu kudanya kembali menuju ke
istananya. Masih ada sekitar tiga puluh orang lagi pengikutnya yang kini
bersamanya kembali ke satu-satunya bangunan besar di Desa Komering Ilir.
Para
penduduk Desa Komering Ilir segera masuk kembali ke dalam rumah mereka
masing-masing. Sementara Ki Ampar dan beberapa orang tua serta sebagian anak
mudah masih tetap berkumpul. Ki Ampar berkata sesuatu dengan singkat. Kemudian,
mereka yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, bergegas berjalan
mengikuti Ki Ampar. Entah apa yang mereka rencanakan.
***
DELAPAN
Rangga
dan Kumbara terkejut melihat Baruna datang tiba-tiba. Tangannya membopong
seseorang yang berlumuran darah dengan golok tertanam dalam di dadanya. Baruna
langsung jatuh berlutut begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si
Penyair itu. Tubuh di dalam pondongannya jatuh menggeletak di depannya.
“Nek
Selong...!” seru Kumbara tersentak begitu mengenali perempuan tua yang jatuh
dari pondongan Baruna.
“Apa yang
terjadi?” tanya Rangga.
“Mereka
mengeroyok nenekku...,” sahut Baruna tersendat.
“Biadab!”
desis Kumbara.
“Aku
memang yang salah, tidak mendengar peringatannya. Nenek sudah memperingatkan
aku...,” rintih Baruna lirih.
“Maafkan
aku, Nek....”
“Baruna,
tidak ada gunanya kau menangis. Nenekmu tidak akan kembali lagi dengan hanya
menangis,” kata Rangga mencoba menghibur.
“Semua
kesalahanku, Rangga. Aku yang bersalah...!”
“Tidak,
Baruna! Kau tidak bersalah. Kau tengah berjuang, dan perjuangan itu membutuhkan
korban. Nenekmu meninggal karena mendukung perjuanganmu. Seharusnya kau bangga,
bukan malah menangisinya macam anak kecil,” kata Rangga membangkitkan semangat
pemuda itu kembali.
“Oh,
Nek...”
“Hapus
air matamu, Baruna. Kita harus menguburkan dulu nenekmu, kemudian menghancurkan
Raden Glagah,” kata Rangga lagi.
“Mereka
memang harus dihancurkan! Mereka harus menebus kematian nenekku!” kata Baruna
menggeram marah.
“Jangan
nodai kesucian perjuanganmu dengan dendam, Baruna. Tekadkan dirimu untuk
membela kebenaran dan keadilan. Singkirkanlah kemarahan dan dendam dari hatimu.
Perjuanganmu suci, dan Yang Maha Kuasa akan merestui perjuanganmu. Tidak
sepantasnya perjuangan ini kau nodai dengan api dendam dan amarah,” kata-kata
Rangga meluncur bagai air yang menyejukkan hati yang panas.
“Rangga...,
begitu luhur jiwamu,” desah Baruna.
“Bangkitlah.
Tekadkan kembali hatimu dalam perjuangan yang suci,” kata Rangga lagi
membangkitkan semangat pemuda itu.
“Maafkan
aku, Rangga.”
“Ah,
sudahlah. Mari kita kuburkan nenekmu.”
Baruna
kembali bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh neneknya tercinta. Sementara
Kumbara dan Rangga melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar dan
rindang. Mereka kemudian menggali lubang di bawah pohon itu. Baruna meletakkan
neneknya di tempat yang teduh, kemudian membantu kedua sahabatnya itu menggali
lubang untuk peristirahatan neneknya yang terakhir. Mereka bekerja tanpa
berkata-kata. Lebih-lebih Baruna. Sepertinya dia tidak pernah merasa lelah, dan
terus menggali sampai mendapatkan kedalaman yang cukup.
Mereka
mengubur Nek Selong dengan khidmat dan penuh haru. Tak ada yang membuka suara
sedikit pun. Sementara cahaya matahari terasa redup, seolah-olah turut berduka
atas kematian perempuan tua yang malang, demi membela cucu satu-satunya. Sampai
selesai mereka menguburkan Nek Selong, masih tidak ada yang membuka suara.
Baruna terlihat berdiri kaku di samping pusara yang masih baru itu.
Pandangannya tidak berkedip menatap batu nisan.
“Aku
janji, pengorbanan ini tidak akan sia-sia,” kata Baruna mendesis pelan.
“Baruna...!”
tiba-tiba Rangga menyentuh bahunya.
Baruna
menoleh, lalu kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti memandang lurus ke arah barat. Sementara Kumbara hanya
memperhatikan saja dengan sinar mata tidak mengerti.
“Itu
pasti mereka!” desis Baruna.
“Tunggu
saja di sini,” kata Rangga.
“Bagaimana
dengan aku?” tanya Kumbara.
Mereka
seperti baru teringat kalau Kumbara tidak mengerti ilmu olah kanuragan sama
sekali. Sesaat Baruna dan Rangga saling berpandangan. Dan belum lagi mereka
mendapatkan kata sepakat, dari arah barat muncul beberapa orang berkuda yang
langsung menuju ke tempat itu.
“Mau apa
kalian datang ke sini?” bentak Baruna begitu Naraka, Carika, Balika, serta
beberapa orang pengikutnya sudah dekat di depannya.
“Jangan
berlagak bodoh, Baruna. Aku tahu kau adalah si Penyair Maut yang telah
meresahkan seluruh penduduk Desa Komering Ilir!” bentak Naraka.
“Kalian
yang telah membuat sengsara seluruh penduduk desa! Kalian perampok! Seharusnya
kalian yang enyah dari Desa Komering Ilir!” balas Baruna sengit.
“Ha ha
ha...!” Naraka tertawa terbahak-bahak.
“Gembel
busuk sudah berani bertingkah!” dengus Carika.
“Hajar
mereka!” perintah Balika.
Puluhan
orang yang berada di belakang tiga bersaudara itu langsung melompat dari
punggung kudanya masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera
menyerang dengan senjata terhunus. Baruna tidak lagi berlaku sungkan-sungkan.
Langsung dikeluarkan senjatanya berupa pedang pendek kembar tipis, yang selalu
tersembunyi di balik lengan bajunya.
Baruna
mengamuk bagaikan banteng terluka. Pedangnya berkelebatan cepat menyambar
setiap orang yang mendekatinya. Sementara Rangga tidak luput dari serangan
orang-orang itu. Dia bertarung sambil melindungi Kumbara yang tidak bisa berbuat
apa-apa. Pekik pertempuran bergema ditingkahi dengan jerit kematian saling
susul. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan bersimbah darah.
Tiga
saudara yang menyaksikan orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi dua orang
yang memiliki kepandaian tinggi itu langsung melompat turun dalam kancah
pertempuran. Naraka dan Carika mengeroyok Baruna, sedangkan Balika menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hmmm...,
aku harus selalu mendekati Kumbara. Kelihatannya dia memang tidak bisa ilmu
olah kanuragan,” gumam Balika yang mulai mendapatkan titik kelemahan
lawannya.
Balika
segera mengarahkan serangannya ke arah Kumbara yang selalu berada di belakang
Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terpecah
perhatiannya. Di satu pihak harus menghadang setiap gempuran penyerangnya,
sedangkan di pihak lain harus melindungi Kumbara dari serangan Balika.
“Hhh!
Rupanya dia tahu kalau Kumbara tidak bisa bertarung,” dengus Rangga dalam
hati.
Sret!
Rangga
terpaksa mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga seberkas cahaya biru
terpancar terang membuat semua orang yang mengurungnya terpana. Demikian juga
dengan Balika. Sesaat dia tidak berbuat apa-apa, melihat pamor pedang yang
begitu dahsyat dan dapat memancarkan cahaya biru berkilau menyilaukan
mata.
“Yaaat...!”
Sambil
berteriak keras melengking, Rangga cepat mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke
kiri. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Hanya sekali kibas saja,
lima orang menggeletak roboh tak bernyawa. Balika tersentak kaget. Buru-buru
dia melompat mundur tiga tindak. Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada.
Dengan pedang Rajawali Sakti di tangan, Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan
malaikat pencabut nyawa yang siap mengantarkan nyawa siapa saja ke
neraka.
Cahaya
terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti rupanya berpengaruh
juga pada pertarungan Baruna. Mereka semua segera menghentikan pertarungannya,
dan memandang Rangga dengan mata tidak berkedip. Hati mereka mendadak jadi
bergetar melihat pamor pedang di tangan Rangga.
“Hup!”
Kesempatan
ini dipergunakan Baruna untuk melompat ke samping Rangga. Dia memang sudah
kewalahan menghadapi sekian banyak orang ditambah Naraka dan Carika yang
memiliki ilmu cukup tinggi tingkatannya.
“Cepat,
tinggalkan tempat ini! Sebelum berubah pikiranku!” bentak Rangga. Suaranya
dingin menggetarkan.
Tiga
bersaudara yang sudah berdiri berdampingan, saling berpandangan. Hati mereka
merasa ciut juga melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Betapa
tidak? Hanya satu kali gerakan tangan saja, lima orang kontan menggeletak tak
bernyawa lagi. Dan cahaya pedang itu membuat mereka harus berpikir seribu kali
untuk menghadapinya.
Tanpa
berkata apa-apa lagi, ketiga saudara itu melompat naik ke punggung kudanya
masing-masing. Namun mereka belum juga menggebah kudanya. Sementara orang-orang
yang masih hidup, mulai bergerak mundur mendekati kudanya masing-masing. Hampir
separuh dari mereka telah tewas dengan tubuh bersimbah darah.
“Kali ini
kalian boleh menang, tapi aku belum kalah!” kata Naraka lantang.
Cring!
Rangga
memasukkan kembali pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Seketika itu
juga cahaya biru lenyap dari pandangan mata. Namun sikap Pendekar Rajawali
Sakti itu masih kelihatan angker.
“Dan kau,
Kisanak!” Naraka menunjuk Rangga. “Kau berhutang banyak nyawa!”
“Aku
Pendekar Rajawali Sakti, akan datang mengusir majikanmu!” kata Rangga
lantang.
Naraka
memutar kudanya, diikuti kedua saudaranya. Pada saat ketiga bersaudara itu
menggebah kudanya, sisa pengikutnya segera melompat naik ke punggung kudanya
masing-masing, kemudian melarikannya cepat. Sedangkan Rangga masih berdiri
tegak. Di sampingnya Baruna dan Kumbara. Mereka memandangi kepergian
orang-orang itu dengan mata tidak berkedip.
“Kenapa
kau biarkan mereka pergi, Rangga?” tanya Baruna, setelah ketiga bersaudara dan
anak buahnya tidak terlihat lagi.
“Mereka
hanya kroco. Yang kita inginkan biangnya!” sahut Rangga tegas.
“Tapi
mereka yang kejam. Terutama si Naraka itu!” balas Kumbara.
“Mereka
berbuat kejam karena ada yang memerintah. Orang yang memerintah itulah yang
harus dicari.”
“Raden
Glagah terlalu tangguh, Rangga,” nada suara Baruna terdengar mengeluh.
“Aku yang
akan menghadapinya. Orang yang tangguh tidak akan bersembunyi di balik ketiak
orang lain! Percayalah! Raden Glagah tidak setangguh yang kalian duga,” balas
Rangga meyakinkan.
“Terserah
kau, Rangga. Aku masih sanggup menghadapi tiga bersaudara itu, tapi kalau
menghadapi Raden Glagah..., rasanya belum mampu,” Baruna mengakui jujur.
“Kita
lihat saja nanti, siapa yang unggul.”
“Aku
percaya, kau pasti mampu menandingi Raden Glagah. Senjatamu sangat dahsyat! Kau
pasti seorang pendekar yang sangat tangguh dan digdaya. Aku percaya padamu,
Rangga,” kata Baruna.
“Terima
kasih,” ucap Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mengayunkan langkahnya. Kumbara dan Baruna mengikuti, dan
mensejajarkan langkah di samping Rangga. Tak ada lagi yang bicara. Mereka tahu
kalau arah yang dituju kini adalah Desa Komering Ilir. Hanya Kumbara yang
kelihatannya gelisah. Dia sadar kalau akan menghadapi satu bahaya yang tidak
pernah terbayangkan selama hidupnya.
“Kita ke
Desa Komering Ilir?” tanya Kumbara agak bergetar suaranya. Dia tahu, tapi masih
juga bertanya.
“Ya,”
sahut Rangga seraya menoleh.
“Kenapa,
Kumbara?” tanya Baruna.
“Tidak
apa-apa,” sahut Kumbara cepat-cepat.
“Kau
tidak perlu ikut bertarung, Kumbara. Kau cukup menunggu saja di rumah Ki
Ampar,” kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti pemuda penyair itu.
“Aku
memang tidak bisa apa-apa,” pelan suara Kumbara.
Belum
juga Rangga membuka suara kembali, muncul Ki Ampar dan tiga puluh orang
laki-laki. Mereka semuanya menunggang kuda. Rangga, Baruna, dan Kumbara
menghentikan langkahnya. Ki Ampar segera turun dari kudanya begitu tiba di
depan ketiga orang itu. Laki-laki tua itu membungkuk memberi hormat.
“Mereka
melipatgandakan penjagaan, Den Rangga,” kata Ki Ampar memberi tahu tanpa
diminta.
“Hm.
Kalau begitu aku akan membuka jalan lebih dulu,” kata Rangga.
“Aku
ikut!” seru Baruna.
“Baiklah,”
Rangga tidak bisa menolak.
“Tolong,
Ki. Jangan sampai mereka mengambil kesempatan mendekati Kumbara.”
“Jangan
khawatir, Den,” sahut Ki Ampar.
Saat itu
juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Baruna tidak mau ketinggalan.
Langsung dilentingkan tubuhnya mengejar Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan
Ki Ampar memerintahkan penduduk desanya yang tidak menyukai Raden Glagah untuk
segera mengikuti kedua orang pendekar itu. Dia kemudian membawa Kumbara ke desa
melalui jalan lain.
***
Siang itu
udara sangat panas, sepanas suasana di sebuah bangunan besar bagai istana di
Desa Komering Ilir. Rangga mengamuk dengan pedang Rajawali Sakti di tangan.
Cahaya biru berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang coba-coba
mendekatinya. Sementara Baruna menghadapi pengeroyoknya tidak kalah
ganas.
Jerit dan
pekik kematian berbaur menjadi satu dengan suara denting senjata beradu.
Teriakan-teriakan keras pertempuran membahana. Api yang lama terpendam di Desa
Komering Ilir, hari ini berkobar menyala. Desa yang semula tenang, kini
bersimbah darah dari orang-orang serakah dan haus akan kedudukan serta harta
benda dunia.
Rangga
melentingkan tubuhnya ketika melihat tiga bersaudara tengah mengeroyok Baruna.
Dan pada saat itu, Ki Ampar bersama penduduk Desa Komering Ilir yang merasa
tidak senang terhadap tingkah perbuatan Raden Glagah dan pengikutnya, datang
menyerbu. Mereka langsung terjun dalam kancah pertempuran membawa senjata
bermacam ragam.
Naraka
dan kedua adiknya terkejut, tapi tidak bisa berbuat banyak karena Pendekar
Rajawali Sakti sudah menerjangnya. Mereka jumpalitan menghindari kibasan pedang
yang memancarkan cahaya biru berkilau itu. Sedangkan Baruna semakin
bersemangat, bertempur bagai singa terluka.
“Aaa...!”
Balika menjerit keras ketika pedang Rangga membabat buntung tangannya.
Belum
lagi Balika sempat melompat mundur, satu tendangan keras bertenaga dalam penuh
menghunjam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh, dan langsung disambut
oleh beberapa penduduk yang segera mencincangnya. Kematian Balika yang begitu
tragis, membuat Naraka dan Carika semakin bergetar hatinya.
“Rangga!
Biar mereka bagianku!” kata Baruna seraya melompat menerjang Naraka dan
Carika.
Rangga
tidak dapat lagi mencegah. Dimasukkan kembali pedang pusakanya. Matanya tajam
meneliti setiap orang yang tengah bertempur di halaman depan rumah besar ini.
Tatapan matanya tertumbuk pada seorang laki-laki berbaju putih yang melesat
cepat ke atas atap.
“Hup!”
Pendekar
Rajawali Sakti itu cepat melesat, dan hinggap dengan manis di atas atap.
Laki-laki berwajah tampan mengenakan baju putih bersih itu terkesiap.
“Mau
pergi ke mana, Raden Glagah?” tanya Rangga dingin suaranya.
“Phuih!
Kau pikir aku takut menghadapimu?” dengus Raden Glagah seraya menyemburkan
ludahnya.
“Kalau
begitu, kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu,” kata Rangga
lagi.
“Aku
belum kalah!”
“Lihat!
Semua penduduk tidak ada lagi yang mendukungmu. Dan orang-orangmu tidak ada
lagi yang bisa diandalkan. Mereka akan mampus jika tidak kau perintahkan mereka
untuk berhenti melawan.”
“Biarkan
mereka mampus semua, aku tidak peduli!”
“Kau
terlalu tamak, Raden Glagah. Sadarlah, kejayaanmu sudah berakhir. Penduduk yang
kau tekan selama ini, akan menentukan hukuman buatmu.”
“Jangan
coba-coba mengguruiku, gembel busuk! Hiyaaa...!”
Raden
Glagah segera melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga
memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan
Raden Glagah lewat sedikit di samping tubuh Rangga. Secepat itu pula, tangan
Rangga menyodok ke arah perut.
“Hup!”
Plak!
Raden
Glagah menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya, kemudian langsung
memberikan satu tendangan menyamping yang keras dan cepat. Rangga mengibaskan
tangannya menghalau tendangan itu ke samping, dan cepat mengangkat
lututnya.
“Hugh!”
Raden Glagah tidak bisa lagi menghindari hantaman lutut Pendekar Rajawali
Sakti. Dia mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk sedikit.
Pada saat
itu pula Rangga melayangkan pukulan keras ke wajah Raden Glagah. Pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa lagi dihindari. Raden Glagah
memekik keras, dan kepalanya terdongak ke atas.
Namun
dengan cepat dia melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Darah mengucur dari
pelipis yang sobek. Dari mulutnya keluar darah segar. Raden Glagah menyeka
darah yang mengalir dari mulutnya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
“Phuih!”
Sret!
Raden
Glagah mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Digerak-gerakkan
pedangnya di depan dada, kemudian dia berteriak keras sambil melompat
menerjang. Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari tusukan pedang
Raden Glagah. Tangan kirinya cepat menghentak ke depan.
Plak!
Raden
Glagah kembali memekik keras begitu tangan kiri Rangga menghantam pergelangan
tangannya. Buru-buru ditarik kembali pedangnya. Tapi belum juga benar-benar
menarik pulang senjatanya, Rangga mengangkat tangan kanannya, dan menjepit
pedang itu dengan dua jari.
“Hih!”
Raden
Glagah berusaha mencabut pedangnya dari jepitan jari tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Namun meskipun telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, pedangnya
tidak bergeming sedikit pun. Seluruh paras wajahnya memerah, karena seluruh
tenaga dalamnya telah dikerahkan sampai batas kemampuan yang dimilikinya.
“Hiya...!”
Rangga
menghentakkan tangan kanan sambil membuka jepitannya. Raden Glagah tersentak
kaget, dan tubuhnya terdorong keras ke belakang. Tanpa dapat dicegah lagi,
Raden Glagah meluruk deras ke bawah. Saat itu juga Rangga melesat mengejar, dan
kakinya bergerak cepat menghantam dada laki-laki yang masih kelihatan muda
itu.
“Akh!”
Raden Glagah menjerit keras.
Tanpa
dapat dicegah lagi, tubuh Raden Glagah menghantam tanah dengan keras. Beberapa
kali dia bergulingan, lalu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun
berdirinya sudah tidak sempurna lagi. Beberapa kali dia hampir jatuh terguling,
tapi tetap berusaha berdiri.
“Setan!
Kubunuh kau, keparat...!” geram Raden Glagah.
Dua kali
Raden Glagah menyemburkan ludahnya yang kental. Dengan sisa-sisa kekuatannya,
Raden Glagah berlari cepat sambil menusukkan pedangnya ke depan. Rangga berdiri
tegak menanti serangan laki-laki itu. Dan pada saat ujung pedang Raden Glagah
hampir menyentuh dadanya.
“Hap!”
Tap!
Rangga
menjepit ujung pedang itu dengan kedua telapak tangannya. Raden Glagah berusaha
menarik pedangnya sekuat tenaga, tapi tubuhnya malah bergetar hebat. Bahkan
kini tulang-tulang tangannya seperti rontok.
Pada saat
itu, terlihat Kumbara berlari sambil membawa golok. Dengan satu teriakan keras,
dihantamkan golok itu ke punggung Raden Glagah.
“Kumbara,
jangan!” seru Rangga terkejut.
Tapi
peringatan Rangga terlambat. Golok itu membelah punggung Raden Glagah sangat
dalam. Dan sekali lagi Kumbara menghantamkan goloknya ke kepala laki-laki yang
telah menyengsarakan hidupnya selama ini. Raden Glagah menjerit melengking
tinggi. Darah muncrat dari luka-luka akibat bacokan Kumbara.
Rangga
melepaskan jepitannya pada pedang Raden Glagah. Seketika itu juga, laki-laki
yang masih kelihatan muda meskipun usianya sudah mencapai lebih dari lima puluh
tahun itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh
dan kepalanya.
“Mampus
kau, keparat...!” jerit Kumbara keras.
“Aaa...!”
Raden Glagah menjerit melengking.
Golok di
tangan Kumbara menghunjam dalam di dada Raden Glagah. Kumbara berlutut di
samping tubuh Raden Glagah yang tidak bergerak-gerak lagi. Tangan Kumbara
bergetar melepaskan golok yang berlumuran darah. Rangga menghampiri dan menepuk
pundaknya.
“Aku sudah membunuhnya...,” lirih dan bergetar suara Kumbara.
“Kumbara,”
pelan suara Rangga.
Kumbara
bangkit berdiri dan berbalik menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya
yang berlumuran darah bergetar hebat. Tubuhnya menggigil bagai terserang demam.
Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar seolah-olah ingin mengucapkan
sesuatu.
“Aku...,
aku belum pernah membunuh...,” kata Kumbara gemetar.
“Kau
tidak membunuh, Kumbara. Kau melenyapkan keangkaramurkaan,” kata Rangga.
“Tapi....”
“Aku
mengerti perasaanmu, Kumbara. Tapi kau bukan pembunuh! Semua yang kau lakukan
adalah benar. Bukan manusia yang kau bunuh, tapi keangkaramurkaan,” kata Rangga
mencoba menenangkan hati penyair muda itu.
Sementara
itu pertarungan berhenti seketika dengan tewasnya Raden Glagah. Sisa anak buah
Raden Glagah serentak menyerah. Sedangkan Baruna sudah menyelesaikan
pertarungannya melawan Naraka dan Carika. Tubuh dua bersaudara itu sudah tidak
lagi berbentuk, karena dicincang penduduk yang meluapkan dendam yang terpendam
di hati mereka.
“Yang
Maha Agung, ampunilah segala dosa-dosaku...,” rintih Kumbara lirih.
Kumbara
membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat yang
seharusnya menjadi miliknya. Rangga memandangi sesaat, lalu melangkah mengejar
Kumbara. Disejajarkan langkahnya di samping pemuda yang tengah dirundung
kekalutan di hatinya. Kumbara memang seorang pemuda yang sangat polos, dan
bersih dari gelimang darah. Hatinya begitu terpukul setelah menyadari bahwa
dirinya telah membunuh orang, meskipun orang itu memang pantas menerima
ganjarannya.
“Kumbara...,”
Rangga berusaha bicara.
“Biarkan
aku pergi, Rangga,” selak Kumbara tegas.
“Kau akan
pergi ke mana?” tanya Rangga.
“Ke mana
saja aku melangkah bersama bait-bait syairku,” sahut Kumbara terus saja
berjalan.
Rangga
menghentikan langkahnya, sedangkan Kumbara terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Terdengar alunan bait-bait syair bernada lirih mengiringi langkahnya. Semua
penduduk Desa Komering Ilir yang selama ini membencinya, hanya bisa memandang
dengan hati diliputi perasaan bersalah.
Rangga
menarik napas panjang. Hatinya begitu tersentuh melihat sikap Kumbara. Belum
pernah dilihat sebelumnya orang yang begitu merasa bersalah ketika pertama kali
menewaskan orang. Dan Rangga sendiri tidak tahu, apakah kehidupan yang dijalani
selama ini salah atau benar. Kehidupan yang keras, dan selalu bergelimang
darah.
“Hhh...!
Aku seorang pendekar. Hanya di ujung pedanglah keadilan dan keangkaramurkaan
bisa tegak dan tertumpas,” desah Rangga dalam hati.
Setelah
mengambil keputusan, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat cepat bagaikan
kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap saja. Dalam sekejap mata saja
bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti pergi
untuk menunaikan tugasnya kembali, memerangi keangkaramurkaan. Tentu dengan
mengembara, menjelajah rimba persilatan yang keras.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
SEPASANG RAJAWALI
SEPASANG RAJAWALI
Emoticon