1
Malam
ini bulan bulat penuh perlahan naik ke
garis
edarnya. Cahayanya terang keperakan dikelilingi
kerlip
berjuta bintang di angkasa. Segumpal awan pu-
tih
pun perlahan tertiup angin. Kini tiada lagi awan
bergulung
di angkasa biru. Indah sekali purnama kali
ini.
"Hauuungng...!"
Namun
keindahan itu mendadak robek oleh
beberapa
lolongan anjing hutan. Suaranya melengking
tinggi
saling bersahutan. Begitu mengiriskan. Semen-
tara
bulan di atas sana seolah ikut merinding. Dan
puncak
Bukit Menjangan pun dipenuhi oleh gema lo-
longan
yang saling sambut.
Di
bawah sebuah pohon beringin tua di salah
satu
sisi bukit itu, tepatnya di pinggiran makam tua,
satu
sosok bertubuh kurus tengah duduk berada di
pinggiran
makam. Suasana yang mengerikan seperti
itu,
sedikit pun tidak mempengaruhi kekhusukan so-
sok
yang ternyata seorang lelaki kurus berwajah tirus.
Di
atas akar-akar pohon beringin yang bertonjolan liar,
laki-laki
itu terus berkomat-kamit. Entah membaca
mantra
apa.
Wajah
tirus lelaki yang sudah dimakan usia ini
menegang.
Sepasang matanya sesekali melirik ke arah
papan
nisan. Rambut putihnya pun sesekali pula ter-
gerai
tertiup angin. Usianya kira-kira tujuh puluh ta-
hunan.
Tubuhnya yang tinggi kurus terbalut pakaian
hitam
kedodoran sampai lutut.
Di
samping lelaki itu berdiri sebuah jerangkong.
Kepalanya
terbuat dari tempurung kelapa. Kedua tan-
gannya
maupun badannya terbuat dari kayu berbalut
kain
putih. Bagian depan tempurung dihias mirip wa-
jah
manusia. Sementara kakinya yang hanya satu me-
nancap
ke dalam tanah. Tinggi jerangkong tidak ku-
rang
dari sepanjang lengan orang dewasa.
Melihat
papan nisan yang sudah lapuk dan
gompal
di sana-sini, jelas kalau usia makam itu sudah
sangat
tua. Pada papan nisan terdapat tulisan ‘KI
DADUNG
KAWUK alias PENGHUNI ALAM MAUT’ yang
masih
terlihat jelas.
Selang
beberapa saat, wajah tirus lelaki ini se-
makin
menegang. Sekujur tubuhnya bergetar hebat.
Kedua
bibir pucatnya pun terus berkemik-kemik. Se-
pasang
matanya mencorong tajam, memandangi gun-
dukan
tanah merah di hadapannya.
Mendadak,
tanah kuburan itu pun bergetar.
Mula-mula
perlahan saja, namun tiba-tiba saja berge-
tar
hebat. Sementara tubuh lelaki berwajah tirus itu
telah
dibasahi keringat dingin. Sepasang matanya yang
mencorong
tajam terus saja memandangi gundukan
tanah
merah di hadapannya. Sedangkan tangan ka-
nannya
terus menambahkan butiran-butiran keme-
nyan
ke dalam pedupaan di sampingnya. Api
dalam
pedupaan
sejenak meliuk-liuk tinggi. Dan wangi ke-
menyan
dari dalam pedupaan yang disertai asap putih
makin
menyesakkan dada.
Begitu
asap menipis kembali, getaran tanah
makam
tua itu telah sampai pada puncaknya. Pada
saat
yang sama angin kencang yang entah dari mana
datangnya
tiba-tiba bertiup kencang. Bahkan dua
buah
pohon beringin tua yang menjulang tinggi bagai
dua
raksasa malam berguncang. Daun-daunnya tak
kuasa
bertahan dan segera beterbangan.
Seiring
getaran yang menghebat, mendadak se-
leret
asap kuning keluar dari bagian kepala kuburan!
Seperti
memiliki mata, ujung asap kuning itu pun me-
lesat
dan masuk ke dalam kepala jerangkong di samp-
ing
lelaki kurus itu.
Blassss!
Seketika
itu juga tanah kubur jadi tenang kem-
bali.
Demikian pula dua batang pohon beringin yang
tak
bergerak-gerak lagi. Bersamaan dengan itu, angin
kencang
pun berhenti bertiup.
Si
lelaki tirus tersenyum. Sepasang matanya
berkilat-kilat
aneh melirik ke arah jerangkong di sam-
pingnya.
Kepalanya mengangguk-angguk, menyiratkan
kegembiraan.
"Bagus,
bagus! Akhirnya kau mau keluar juga!"
desis
si lelaki.
Begitu
kemasukan asap kuning dari dalam ta-
nah
kuburan tadi, jerangkong itu pun bergetar keras.
Kepala
tempurungnya bergoyang-goyang, seolah-olah
menyahuti
ucapan si lelaki tirus tadi.
Si
lelaki tirus memutar tubuhnya, menghadap
benda
aneh di samping. Senyumnya tampak tersungg-
ing
di bibir. Lalu dikeluarkannya secarik kertas dari
dalam
saku baju. Sejenak dibukanya lipatan kertas, la-
lu
diletakkan di depan jerangkong di hadapannya. Dari
pedupaan,
diambilnya arang agak panjang dan lang-
sung
diikatkan di tangan kanan jerangkong itu dengan
tali.
Cara mengikat arang itu pun persis seperti orang
akan
menulis.
Kini
semuanya telah beres. Lelaki berwajah ti-
rus
itu tidak lagi membuat gerakan. Hanya sepasang
matanya
saja terus memandangi sosok jerangkong di
hadapannya
dengan sinar tajam.
"Jerangkong!
Roh Ki Dadung Kawuk yang ber-
gelar
Penghuni Alam Maut-kah yang masuk ke dalam
tubuhmu?"
tanya lelaki berwajah tirus.
Tidak
sepatah kata pun keluar dari jerangkong
itu.
Namun perlahan-lahan arang yang terdapat di
tangan
kanannya bergerak-gerak di atas kertas putih
di
hadapannya.
Sementara
lelaki tirus itu menyunggingkan se-
nyum
senang, ketika coretan-coretan ranting kayu di
kertas
itu jelas tertulis kata 'Ya'.
"Bagus,
bagus! Ternyata kau memang roh
Penghuni
Alam Maut. Aku senang sekali. Ha ha...!" ka-
ta
lelaki be wajah tirus di antara tawanya yang berge-
lak.
Memang
sewaktu masih hidupnya, Penghuni
Alam
Maut menghirup otak mayat yang digalinya.
Dengan
cara itu, ilmu 'Darah Mayat' yang ditekuninya
kian
mantap saja! Dan pada saat itu hanya beberapa
orang
pendekar golongan putih saja yang dapat me-
nandingi
ilmu hitam Penghuni Alam Maut itu. Salah
satunya
adalah tokoh bernama Eyang Bromo!
"Perkenalkan!
Aku adalah Iblis Pemanggil Roh
dari
Lembah Duka. Aku memanggilmu agar kau sudi
menolongku,"
lanjut lelaki tirus yang ternyata berjuluk
Iblis
Pemanggil Roh.
Jerangkong
yang berisi roh Penghuni Alam
Maut
kembali menggerakkan tangannya membuat co-
retan.
Kini jelas terlihat tulisan 'Ya'. Dan berarti, roh
Penghuni
Alam Maut bersedia menjalankan perintah
Iblis
Pemanggil Roh.
"Bagus,
bagus! Aku memang sudah menduga
demikian!"
kata Iblis Pemanggil Roh. "Sekarang kau
harus
membantuku untuk membunuh beberapa tokoh
sakti
di dunia persilatan. Pertama, kau harus membu-
nuh
orang tua sakti yang bergelar Malaikat Kaki Seri-
bu!
Karena, dialah orang yang telah membunuh guru-
ku
yang berjuluk Iblis Tanpa Tanding. Dan mengingat
kau
masih terhitung kakak seperguruan guruku, kau
tentu
tidak keberatan, bukan?"
Iblis
Pemanggil Roh sejenak menghentikan bi-
caranya.
Sepasang matanya tajam memperhatikan je-
rangkong
di depannya.
"Sedang
tugas yang kedua, kau harus dapat
membunuh
seorang pemuda sakti yang akhir-akhir ini
menggegerkan
dunia persilatan. Namanya, aku belum
begitu
kenal. Tapi ia dijuluki orang Siluman Ular Putih.
Nah
sekarang, kukira cukup dua tugas penting itu du-
lu
yang harus kau laksanakan! Tapi sebelum aku me-
lepasmu,
terlebih dahulu aku ingin meyakinkan. Apa-
kah
kau masih mampu menggunakan pukulan maut
mu 'Darah Mayat', seperti waktu masih hidup
dulu?
Nah,
cobalah pukul roboh dua pohon beringin tua di
belakangmu
ini! Cepat laksanakan!"
Sehabis
berkata begitu, Iblis Pemanggil Roh se-
gera
mengambil arang di tangan kanan jerangkong dan
membuangnya.
Lalu, hamparan kertas putih itu pun
segera
dilipat kembali, dan dimasukkan ke dalam saku
baju.
Tanpa banyak cakap lagi, jerangkong itu segera
diputar
hingga menghadap ke kedua batang pohon be-
ringin
tua. Dan begitu Iblis Pemanggil Roh menggerak-
kan
tangan jerangkong itu ke depan dua kali....
Wesss!
Wesss!
Aneh
sekali! Dari kedua tangan jerangkong
mendadak
keluar dua leret sinar kuning ke arah dua
batang
pohon beringin di depan.
Bummm!
Bummm...!!!
Terdengar
dua kali letusan hebat di udara. Ke-
dua
pohon beringin bergoyang-goyang sebentar, lalu
terdengar
suara berderak. Kemudian diakhiri bunyi
benturan
keras sekali yang memecah keheningan ma-
lam,
pohon-pohon itu ambruk menciptakan kepulan
debu
yang membubung tinggi.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa bergelak sambil
mengangguk-angguk
penuh keyakinan.
"Bagus,
bagus! Sekarang cepat laksanakan tu-
gasmu,
Jerangkong! Oh ya, Jerangkong? Aku lupa be-
lum
memberitahukan tempat tinggal Malaikat Kaki Se-
ribu.
Sekarang, kau harus menuju ke timur! Nanti ka-
lau
sudah sampai di Gunung Ungaran, kau pasti akan
menemukan
sebuah bukit. Nah, di Bukit Menjangan
itulah
Malaikat Kaki Seribu tinggal bersama murid-
muridnya,"
ujar Iblis Pemanggil Roh.
Jerangkong
memutar tubuhnya. Kemudian
dengan
cara yang aneh sekali, tahu-tahu ia telah me-
lenting
tinggi ke udara. Begitu ujung tubuh bagian ba-
wahnya
menyentuh tanah, tubuhnya kembali melent-
ing
ke udara dan lenyap di kegelapan malam.
Iblis
Pemanggil Roh sekali lagi tertawa bergelak.
Dan
setelah tawanya reda, tokoh sesat itu pun duduk
bersila
di depan makam Penghuni Alam Maut. Seben-
tar
kemudian matanya telah terpejam. Kedua bibirnya
berkemik-kemik
memberi petunjuk-petunjuk yang
sangat
dibutuhkan Roh Iblis Penggali Kubur!
2
Berpuluh-puluh
tahun lalu, antara Malaikat
Kaki
Seribu dan Iblis Pemanggil Roh memang pernah
terjadi
silang sengketa. Hal itu terjadi karena Iblis Pe-
manggil
Roh telah menculik Winarsih, salah seorang
murid
Malaikat Kaki Seribu yang merupakan Ketua
Perguruan
Kaki Angin.
Malaikat
Kaki Seribu lantas melakukan penca-
rian
Iblis Pemanggil Roh di Lembah Duka. Sesam-
painya
di sana, Ketua Perguruan Kaki Angin itu tak
menemukan
orang yang telah menculik putrinya. Na-
mun
yang membuatnya terpukul, ternyata Winarsih te-
lah
menjadi pemuas nafsu. Dan memiliki seorang bayi
perempuan
mungil. Agaknya, gadis itu telah dijadikan
istri
secara paksa oleh Iblis Pemanggil Roh.
Tentu
saja Malaikat Kaki Seribu jadi murka
mendapati
Winarsih telah diperistri secara paksa oleh
Iblis
Pemanggil Roh. Maka begitu Iblis Pemanggil Roh
muncul
di Lembah Duka, terjadilah pertarungan. Le-
wat
beberapa jurus, lelaki berwajah tirus itu dapat di-
kalahkan
oleh Malaikat Kaki Seribu. Namun pada saat
riwayat
Iblis Pemanggil Roh hampir tamat, mendadak
muncul
Iblis Tanpa Tanding yang merupakan guru si
lelaki
tirus. Maka kembali terjadi pertarungan.
Pertarungan
yang hampir mencelakakan Malai-
kat
Kaki Seribu, akhirnya berakhir. Malaikat Kaki Se-
ribu
pun dapat melenyapkan Iblis Pemanggil Roh.
Melihat
gurunya tewas di tangan musuh besar-
nya,
Iblis Pemanggil Roh pun mengamuk hebat. Un-
tungnya,
Malaikat Kaki Seribu dapat mengatasinya
dengan
mudah. Sehingga, akhirnya Iblis Pemanggil
Roh
melarikan diri.
Malaikat
Kaki Seribu segera membawa Winar-
sih
beserta bayi mungilnya ke Perguruan Kaki Angin.
Namun
sayangnya umur wanita itu tidak lama setelah
sempat
mengenyam suasana damai Perguruan Kaki
Angin
tak lebih dari satu minggu. Maka sejak itu pula-
lah
bayi Winarsih sepenuhnya berada dalam tanggung
jawab
Malaikat Kaki Seribu, hingga tumbuh jadi seo-
rang
gadis cantik jelita!
Kini
di usianya di ambang senja, Malaikat Kaki
Seribu
lebih banyak menghabiskan waktu dalam ruang
semadi.
Semua urusan dalam Perguruan Kaki Angin
diserahkan
pada murid tercintanya yang sudah diang-
gap
seperti anak kandung sendiri. Dia adalah gadis
cantik
anak Winarsih yang diberi nama Pulasari!
Meski
usianya terbilang masih muda, namun
Pulasari
jelas mampu menangani urusan Perguruan
Kaki
Angin. Baik urusan dalam maupun urusan luar
perguruan
itu. Tak heran bila Malaikat Kaki Seribu be-
gitu
menyayangi putri angkatnya.
Kali
ini Pulasari tengah menjalankan tugasnya
di
luar perguruan. Malaikat Kaki Seribu memintanya
untuk
menghadapi pesta pernikahan anak salah seo-
rang
sahabatnya, Pendekar Bintang Emas di Puncak
Gunung
Lawu. Namun, sudah dua hari dua malam Pu-
lasari
belum pulang ke Lembah Tegal Arum, tempat
Perguruan
Kaki Angin bermarkas. Hal ini tentu saja
membuat
lelaki tua itu gelisah.
Di
ruang pendopo, Malaikat Kaki Seribu tam-
pak
gelisah sekali menunggu kedatangan Pulasari.
Berkali-kali
kepalanya melongok ke halaman depan.
Namun
orang yang diharapkan belum juga menam-
pakkan
batang hidungnya. Dihelanya napas panjang.
Keningnya
berkerut. Sementara delapan orang murid
Perguruan
Kaki Angin yang bersimpuh di lantai ikut-
ikutan
gelisah.
"Sebaiknya
Guru jangan terlalu merisaukan ke-
selamatan
Adik Pulasari. Kukira kepandaian Adik Pu-
lasari
sudah cukup tinggi untuk menjaga diri," cetus
salah
seorang murid Perguruan Kaki Angin yang du-
duk
paling depan penuh hormat.
"Benar,
Guru. Kukira Kakang Permono betul.
Kepandaian
Adik Pulasari sudah cukup tinggi untuk
sekadar
menjaga diri. Bahkan berkali-kali kami dapat
dikalahkannya,
Guru," timpal lainnya.
Malaikat
Kaki Seribu mengangguk-angguk. De-
sah nafasnya
terdengar agak keras, pertanda sangat
menggelisahkan
keselamatan putri angkatnya.
"Ya
ya ya...! Memang kepandaian Pulasari su-
dah
cukup untuk sekadar menjaga diri. Tapi biar ba-
gaimanapun,
aku tetap merisaukan keselamatannya,"
kata
orang tua itu.
Wajah
Ketua Perguruan Kaki Angin tampak
demikian
murung. Sepasang matanya yang mencorong
tajam
menyiratkan kehebatan tenaga dalamnya.
Ber-
kali-kali
matanya melirik ke halaman depan.
Sebenarnya,
usia Malaikat Kaki Seribu belum
terlalu
tua. Paling baru enam puluh tahun. Tapi entah
mengapa,
wajahnya tampak lebih tua daripada usia
yang
sebenarnya. Rambutnya yang panjang berwarna
putih
digelung ke atas. Di kepalanya tampak melingkar
ikat
kepala warna putih. Sedang tubuh tinggi kurus-
nya
dibalut pakaian ketat warna kuning muda.
"Baiklah.
Kukira ucapan kalian semua benar.
Buat
apa aku terlalu merisaukan keselamatan Pulasa-
ri?
Toh, mati dan hidup manusia di tangan Tuhan. Se-
karang,
sebaiknya kalian lekas tidur. Jangan lupa!
Dua
di antara kalian harus berjaga!" ujar Malaikat Ka-
ki
Seribu lagi.
Sehabis
berkata begitu, Malaikat Kaki Seribu
segera
beranjak dari tempat duduk. Tanpa banyak ca-
kap
lagi, orang tua itu pun masuk ke dalam ruang se-
belah.
Sedangkan beberapa orang murid Perguruan
Kaki
Angin tampak memperhatikan gurunya sebelum
akhirnya
menghilang di balik pintu.
"Sekarang
giliran siapa yang berjaga?" tanya
murid
yang tadi dipanggil Permono, kembali buka sua-
ra.
"Kakang
Turonggo dan Adi Bono, Kakang," sa-
hut
seorang murid.
"Nah,
sekarang Adi Turonggo dan Adi Bono le-
kas
berjaga di pos kalian!" ujar Permono lagi.
Permono
adalah murid tertua di Perguruan Ka-
ki
Angin. Bila Pulasari keluar, maka pemuda berusia
dua
puluh empat tahun itulah yang menangani semua
urusan
dalam perguruan. Sikapnya cukup wibawa.
Sehingga,
membuat Malaikat Kaki Seribu menyayan-
ginya.
Bahkan pula dihormati oleh adik-adik sepergu-
ruannya.
"Baiklah,
Kakang," sahut pemuda yang berna-
ma
Turonggo dan Bono hampir bersamaan.
Sehabis
berkata begitu, kedua murid itu berge-
gas
keluar dari pendopo. Sedang Permono dan kelima
orang
adik seperguruan lainnya masih di tempatnya.
***
Malam
yang makin merayap dengan udara din-
gin
terasa dingin menusuk kulit, membuat orang lebih
suka
meringkuk di balik selimut. Namun beberapa
orang
murid Perguruan Kaki Angin masih berkumpul
di
ruang pendopo. Sembari bermain dam-daman, me-
reka
terus mengobrol tak karuan.
"Ah...!
Aku sudah ngantuk. Aku tidur dulu ya,"
kata
Permono setelah menguap lebar.
"Iya,
ah! Aku juga sudah ngantuk. Main dam-
damannya
diteruskan besok saja, Kang!" kata salah
seorang
adik seperguruan Permono.
"Bereskan
dam-damannya, Lindu," ujar Permo-
no.
Murid
yang dipanggil Lindu segera membersih-
kan
ruangan pendopo. Sedang kelima murid lainnya
sudah
masuk ke kamar masing-masing. Dan di saat
tengah
membersihkan ruang pendopo, mendadak..
"Aaa...!"
"Heh...?!"
Lindu
kontan tersentak kaget mendengar suar
lengking
kematian yang datangnya dari halaman depan
pendopo!
Sejenak
keningnya berkerut dalam-dalam. Se-
kali
lagi terdengar lengking kematian yang datangnya
dari
halaman depan pendopo! Malah kemudian....
"Teman-teman!
Bantu aku menghadapi Je...."
Bukkk!
Bukkk!
"Aughhh...!!!"
Lindu
sempat melihat Bono berlari sambil ber-
teriak-teriak.
Namun tiba-tiba jeritan terhenti seiring
dengan
tubuhnya yang roboh. Lindu tak buang-buang
waktu
lagi. Sekali kakinya menjejak lantai pendopo,
sosok
tinggi kekarnya telah tegak di halaman depan
pendopo
diikuti beberapa murid lainnya. Dan apa yang
dilihat,
benar-benar membuat amarah Lindu mengge-
legak.
Ternyata Bono dan Turonggo telah tewas!
Dada
mereka jebol berwarna kekuningan. Tam-
pak
darah segar membasahi lobang telinga, hidung,
dan
sela-sela bibir!
"Setan
alas! Siapa berani menebar maut di Per-
guruan
Kak...."
Sebelum
bicara Lindu selesai tiba-tiba melesat
seleret
sinar kuning dari samping.
"Awas
dari samping...!"
Lindu
terkesiap bukan main begitu menoleh ke
samping.
Sinar kuning yang disertai hawa dingin siap
menghantam
tubuhnya. Secepatnya dia membuang
tubuh
ke samping.
"Hup...!"
Crass...!
"Aaah...!"
Sayang,
gerakan Lindu kalah cepat dibanding
sinar
kuning yang menyerangnya! Tak urung, bahunya
masih
sempat terkena. Seketika itu bahu kanannya
pun
hancur. Tampak asap kuning tipis mengepul dari
luka!
Lindu
meringis menahan sakit setelah berhenti
bergulingan.
Perlahan-lahan hawa dingin yang bukan
main
mulai meresap dalam darahnya! Sekujur tubuh-
nya
pun mulai berwarna kekuningan!
Lindu
terkesiap bukan main. Tak disangka ka-
lau
sinar kuning itu akan berakibat demikian mengi-
riskan.
Dan lebih kagetnya lagi ketika pemuda itu me-
lihat
sebuah benda aneh telah tegak di depannya. So-
sok
aneh itu mempunyai kepala dari tempurung kela-
pa!
Sekujur badannya terbuat dari kayu berbalut kain
putih!
"Je....
Jerangkong...?!" desis Lindu tak percaya
kalau
sosok benda aneh itulah yang telah mencelaka-
kan
dirinya dan juga Bono serta Turonggo.
Layaknya
sebuah benda mati, benda aneh yang
tak
lain Jerangkong itu tak mengeluarkan sepatah ka-
ta
pun. Hanya tangan kanannya saja yang digerakkan
dari
atas ke bawah. Namun, akibatnya hebat bukan
main.
Dari tangan kayunya mendadak melesat seleret
sinar
kuning ke arah Lindu!
Wesss!
Sulit
sekali rasanya Lindu, menghindar dari se-
rangan
maut itu. Apalagi dalam jarak demikian dekat-
nya.
Sedang tubuhnya sendiri pun terasa sulit dige-
rakkan.
Sementara racun sudah mulai menjalari tu-
buhnya!
"Aaakh...!"
Lindu
memekik menyayat. Beberapa orang te-
mannya
yang sejak tadi berdiri di tempat itu hanya
terpaku
saja. Apalagi, jarak mereka memang cukup
jauh.
Tubuh Lindu tampak terpental beberapa tombak
ke
belakang! Dadanya yang terkena sambaran sinar
kuning
dari sosok aneh itu langsung jebol! Darah segar
berwarna
kekuningan keluar dari lukanya! Dan begitu
tubuh
terjatuh ke tanah, tubuh tinggi kekarnya pun
tak
bergerak lagi. Tewas!
"Keparat!
Siapa yang menyuruhmu membunuhi
murid-murid
Perguruan Kaki Angin, Jerangkong?!" te-
riak
Permono yang telah berada tak jauh dari tempat
itu.
Dari
jarak jauh, tadi Permono sempat melihat
seleret
sinar kuning yang keluar dari tangan kanan Je-
rangkong
yang membuat Lindu tewas.
Dan
seperti tadi, Jerangkong pun tidak berka-
ta-kata.
Hanya kedua tangannya yang bergerak menye-
rang
murid-murid Perguruan Kaki Angin yang kini te-
lah
mengurung dirinya.
Wesss!
Wesss!
"Aakh...!"
"Aaakh...!"
Kembali
dua sinar kuning dari tangan kayu Je-
rangkong
meluruk cepat. Dan tanpa ampun lagi, dua
orang
murid Perguruan Kaki Angin memekik setinggi
langit
begitu terkena sambaran sinar kuning dari tan-
gan
Jerangkong. Tubuh mereka kontan terpental bebe-
rapa
tombak ke belakang, dan langsung ambruk tak
dapat
bangun lagi. Perut mereka langsung jebol! Darah
segar
berhamburan membasahi pakaian biru-biru me-
reka.
Melihat
kematian kedua adik seperguruannya,
Permono
dan yang lainnya terbelalak lebar. Seolah me-
reka
tidak percaya kalau dalam satu gebrakan saja
dua
orang dapat dirobohkan hanya oleh sosok benda
aneh
itu.
"Keparat!
Kau harus merasakan pukulan maut
'Pulung
Geni'!" bentak Permono lagi penuh kemarahan.
Tangan
kanan lelaki ini yang sudah gatal ingin
menghajar
Jerangkong, cepat membuat beberapa gera-
kan
dengan kuda-kuda kokoh. Begitu kedua tangan-
nya
menghentak....
Wesss...!
Seketika
seleret sinar merah menyala melesat
dari telapak
tangan kanan Permono. Pada saat yang
sama,
Jerangkong pun menggerakkan kedua tangan-
nya
kembali. Maka, seleret sinar kuning pun kembali
melesat.
Lalu....
Blarrr...!!!
Terdengar
satu letusan hebat di udara mencip-
takan
bunga api dan kepulan asap tebal. Dari kepulan
asap,
tampak Jerangkong itu terjajar setindak ke bela-
kang.
Sedang tubuh Permono dan kedua orang teman-
nya
terpental beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh
keras
di tanah tanpa dapat bangun lagi! Sekujur badan
mereka
berwarna kuning. Tampak darah segar keluar
dari
lobang telinga, hidung, dan sela-sela bibir! Tak
ada
gerakan di tubuh mereka. Mungkin langsung te-
was!
"Bagus,
bagus! Sekarang cepatlah cari musuh
besarku
yang berjuluk Malaikat Kaki Seribu, Jerang-
kong!"
Sayup-sayup
terdengar satu suara halus seperti
bisikan
angin malam, bernada perintah pada Jerang-
kong
yang masih berdiam tegak tak bergerak di tempat
pertarungan.
Dan baru saja Jerangkong hendak berge-
rak
ke arah bangunan perguruan....
"Jahanam!
Siapa yang menyuruhmu menebar
maut
di Perguruan Kaki Angin, Jerangkong?!"
Mendadak
terdengar bentakan keras menggele-
gar
yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan
kuning.
Sebentar saja di depan Jerangkong telah ber-
diri
seorang lelaki tua berbaju kuning.
Seperti
biasa, si Jerangkong tak berkata sepa-
tah
kata pun! Hanya kedua tangannya saja yang dige-
rakkan
sedemikian rupa ke arah sosok tinggi kurus
berbaju
kuning yang tak lain Malaikat Kaki Seribu.
Dan
bersamaan dengan melesatnya sinar kuning dari
tangan
kayu Jerangkong....
"Bagus,
bagus! Memang itulah musuh besarku
si
Malaikat Kaki Seribu. Lekas singkirkan bangkotan
tua
itu, Jerangkong!"
Kembali
terdengar suara halus yang ditujukan
pada
si Jerangkong. Suara yang tak lain berasal dari
Iblis
Pemanggil Roh!
3
Kening
Malaikat Kaki Seribu berkerut dalam.
Bukan
saja heran melihat pembantaian terhadap kede-
lapan
orang muridnya, melainkan samar-samar telin-
ganya
juga mendengar suara halus yang memerintah-
kan
Jerangkong untuk membunuhnya. Dan dia yakin
itu
adalah suara musuh besarnya yang tak lain Iblis
Pemanggil
Roh!
"Hm...!
Rupanya kau suruhan manusia sesat
Iblis
Pemanggil Roh, Jerangkong?" gumam Malaikat
Kaki
Seribu. "Arwah siapa kau sebenarnya ini, Jerang-
kong?
Mengapa kau mau disuruh Iblis Pemanggil
Roh?!"
tanya Malaikat Kaki Seribu, nyaris mendesis.
Tidak
sepatah kata pun yang keluar dari mulut
Jerangkong.
Malah dengan gerakan-gerakan kaku, dia
melipatgandakan
tenaga dalamnya. Begitu kedua tan-
gannya
mengibas, seketika melesat sinar kuning ke
arah
Malaikat Kaki Seribu.
Wesss!
Wesss!
Melihat
sinar kuning berkeredepan yang mele-
sat
dari tangan kayu Jerangkong, kening Malaikat Kaki
Seribu
makin berkerut dalam. Apalagi ia juga merasa-
kan
angin dingin berkesiur. Secepatnya lelaki tua ber-
baju
kuning ini meloncat tinggi ke udara.
"Hm...!
Kalau tidak salah, ini pukulan maut
'Darah
Mayat' milik Penghuni Alam Maut Jadi, benar!
Kau
pasti arwah mendiang Penghuni Alam Maut!" duga
Malaikat
Kaki Seribu, ketika masih di udara.
Tetap
saja si Jerangkong tidak bersuara sedikit
pun!
Bahkan begitu serangan pertamanya gagal, kem-
bali
kedua tangan kayunya digerakkan ke depan. Maka
dua
leret sinar kuning melesat menyerang Malaikat
Kaki
Seribu yang baru saja mendarat.
Malaikat
Kaki Seribu tahu kalau sinar kuning
itu
sangat berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya
diangkat.
Begitu menghentak ke depan seleret sinar
merah
menyala meluncur dari kedua telapak tangan-
nya.
Bummm...!!!
Satu
letusan hebat langsung mengguncang
udara
begitu sinar kuning milik si Jerangkong bertemu
sinar
merah Malaikat Kaki Seribu. Bumi bergetar, seo-
lah
terjadi gempa. Ranting-ranting pohon berderak.
Malah
sebagian layu dan berguguran. Tubuh tinggi ku-
rus
Malaikat Kaki Seribu pun terhuyung-huyung bebe-
rapa
langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Tam-
pak
darah segar membasahi sudut-sudut bibir, per-
tanda
tengah terluka dalam! Sedang sosok Jerangkong
di
hadapannya hanya bergoyang-goyang sebentar!
Malaikat
Kaki Seribu tahu kalau tenaga dalam-
nya
kalah. Dari benturan barusan, dua tingkat di ba-
wahnya
dibanding tenaga dalam si Jerangkong! Dan
begitu
serangan kembali datang jurus-jurus andalan-
nya
yang bernama 'Kaki Angin' dikeluarkan!
Sesuai
julukan, kedua kaki tokoh pertama dari
Perguruan
Kaki Angin, dapat bergerak cepat laksana
angin.
Begitu cepatnya bergerak, sehingga seperti be-
robah
menjadi banyak sekali. Dan saat serangan-
serangan
Jerangkong mulai mendekati tubuhnya, kaki
kanannya
segera diangkat. Bersamaan dengan tangki-
san
ini, Malaikat Kaki Seribu pun cepat putar kakinya
sedemikian
rupa dalam kecepatan luar biasa!
Wesss!
Plakkk!
Kaki
kiri Malaikat Kaki Seribu membentur tan-
gan
kayu Jerangkong. Namun akibatnya, kaki kirinya
terasa
nyeri bukan main. Kakinya tadi seperti mem-
bentur
lempengan baja saja. Bahkan benturan tadi,
tubuhnya
pun sempat limbung.
Kesempatan
ini tidak disia-siakan si Jerang-
kong.
Seperti memiliki mata saja, kedua tangan kayu si
Jerangkong
kembali bergerak-gerak menggempur Ma-
laikat
Kaki Seribu! Tangan kanannya digunakan untuk
menyodok
dada, sedang tangan kirinya siap melontar-
kan
pukulan maut 'Darah Mayat'!
Hebat
bukan main serangan-serangan Jerang-
kong
kali ini. Bahkan sebelum serangan-serangan itu
mengenai
sasaran, terlebih dahulu meluncur angin
dingin
bukan main!
Malaikat
Kaki Seribu tentu tidak ingin dirinya
terkecoh.
Ketua Perguruan Kaki Angin ini sudah san-
gat
banyak makan asam garam dunia persilatan. Ia ta-
hu,
serangan tangan kanan Jerangkong yang menyo-
dok
dadanya itulah merupakan serangan yang sesung-
guhnya.
Sedang serangan tangan kirinya yang men-
gandung
pukulan 'Darah Mayat' hanyalah pancingan
saja.
Wutt...!
Dan
seperti yang telah diduga, ternyata seran-
gan
tangan kanan si Jerangkong memang merupakan
serangan
yang sesungguhnya. Untung saja, Malaikat
Kaki
Seribu segera memiringkan tubuhnya ke samp-
ing.
Sehingga jotosan tangan Jerangkong hanya men-
genai
tempat kosong! Sedang pukulan tangan kiri Je-
rangkong
terus menerabas ke depan, langsung meng-
hantam
pohon mangga yang tumbuh rindang di hala-
man
depan Perguruan Kaki Angin.
Brakkk!
Pohon
mangga besar itu bergoyang-goyang se-
bentar
begitu terkena pukulan 'Darah Mayat' milik Je-
rangkong.
Selang beberapa saat, terdengar suara ber-
derak
ketika pohon mangga itu tumbang dan jatuh
berdebam
ke tanah. Seketika itu debu-debu membu-
bung
memenuhi tempat itu!
"Hup!"
Malaikat
Kaki Seribu cepat menyingkir ke tem-
pat
yang terang. Namun baru saja meloncat keluar dari
kubangan
debu yang membubung tinggi, mendadak
sosok
Jerangkong telah menghadang langkahnya. Le-
laki
tua ini benar-benar tidak menyangka
kalau ilmu
meringankan
tubuh si Jerangkong demikian hebat.
Begitu
berhadapan dengan Malaikat Kaki Seri-
bu,
si Jerangkong kembali menggerakkan kedua tan-
gan
kayunya, menyerang Malaikat Kaki Seribu. Kini ia
tidak
lagi menggunakan jurus-jurus maut, melainkan
melepaskan
dua leret sinar kuning yang begitu cepat
penuh
ancaman.
Malaikat
Kaki Seribu mengeluh. Tak mungkin
serangan
maut itu dihindarinya. Apalagi dalam jarak
yang
demikian dekatnya! Tidak ada pilihan lain, ter-
paksa
dipapakinya pukulan 'Darah Mayat' si Jerang-
kong.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, kedua te-
lapak
tangannya segera didorongkan ke depan.
Wesss!
Wesss!
Blarrr...!!!
Sekali
lagi terdengar letusan hebat di udara
akibat
pertemuan dua tenaga dalam tingkat tinggi tadi!
Bumi
bergetar! Debu-debu beterbangan tersapu angin
pukulan
kedua orang itu. Daun-daun mangga hangus
terbakar!
Sedang pohon-pohon yang tidak terkena
sambaran
pukulan barusan sempat bergoyang-goyang
terkena
angin sambaran.
Tubuh
tinggi kurus Malaikat Kaki Seribu pun
kembali
terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Wajahnya pucat pasi. Darah segar tampak kem-
bali
membasahi mulut keriputnya. Jelas, luka dalam
orang
pertama dari Perguruan Kaki Angin ini makin
gawat
saja.
Sementara
sosok aneh Jerangkong hanya sem-
pat
bergoyang-goyang sebentar! Sama sekali tidak ada
pengaruh
apa-apa akibat bentrokan tadi.
Kini
melihat musuh besar Iblis Pemanggil Roh
tampak
semakin tak berdaya, layaknya seorang manu-
sia
saja, sosok Jerangkong kembali menerjang! Tangan
kanannya
dihantamkan ke depan. Sedang tangan ki-
rinya
siap melontarkan pukulan 'Darah Mayat'.
Tidak
ada pilihan lain, Malaikat Kaki Seribu
terpaksa
kembali harus menahan serangan Jerang-
kong.
"Uh...!"
Namun
sayang sekali. Gerakan tangan Malaikat
Kaki
Seribu kalah cepat dibanding gerakan-gerakan
tangan
si Jerangkong. Maka begitu terjadi bentrokan
dua
tenaga dalam di udara, tanpa diduga-duga sama
sekali
tangan kanan Jerangkong berputar sedemikian
rupa.
Langsung dihujamkan ke ubun-ubun kepala Ma-
laikat
Kaki Seribu!
Crokkk!
"Aaa...!"
Seketika
itu darah segar beserta isi kepala Ma-
laikat
Kaki Seribu berhamburan keluar! Tubuh tinggi
kurus
lelaki itu melorot jatuh. Dan begitu ambruk ke
tanah,
tubuhnya tidak lagi bergerak-gerak. Tewas!
"Bagus,
bagus! Kau telah menjalankan tugasmu
dengan
baik, Jerangkong! Sekarang cepat kembali ke
tempatmu
semula! Temui aku di puncak Bukit Men-
jangan!
Kutunggu kau di atas makammu!"
Tiba-tiba
kembali terdengar suara halus bak ti-
upan
angin malam yang memerintahkan Jerangkong
untuk
kembali ke tempatnya semula. Sosok aneh itu
sejenak
berbalik. Kemudian dengan gerakan aneh, ta-
hu-tahu
sosoknya telah berkelebat cepat meninggalkan
halaman
depan Perguruan Kaki Angin.
4
Matahari
pagi baru saja mengintip malu-malu
dengan
sinarnya yang kuning keemasan di ufuk timur
sana.
Satu-dua bintang masih bergelantungan di ang-
kasa
biru. Sementara angin dingin masih menusuk ku-
lit.
Beberapa burung jalak terdengar riuh saling sahut
ditingkahi
oleh beberapa ekor di sekitarnya yang ten-
gah
berkelahi sambil beterbangan.
Di
atas sebuah cabang pohon besar, seorang
pemuda
gondrong berpakaian rompi dengan celana
bersisik
warna putih keperakan tengah menikmati ti-
durnya
yang nyaman. Suara-suara gaduh burung jalak
yang
sedang bertengkar sama sekali tidak membuat ti-
durnya
terganggu. Malah senyum tipisnya tampak ter-
kembang
di bibir. Entah mimpi apa yang membuat
pemuda
gondrong itu senyum-senyum dalam tidurnya.
Kedua
tangannya disedekapkan di depan dada. Sedang
kepalanya
bersandar pada celah-celah pohon.
Tiba-tiba
di antara riuhnya kicauan burung-
burung
jalak terdengar pula suara bergemerincing
yang
berisik bukan main. Sejenak burung-burung ja-
lak
itu berhenti berkicau dengan mata memandang ke
bawah.
Di
bawah sana, tampak seorang lelaki tua renta
tengah
berjalan santai di jalan setapak. Tangan ka-
nannya
memegang lonceng kecil yang terus digerak-
gerakkan
sehingga menimbulkan bunyi bergemerinc-
ing.
Orang tua renta berpakaian putih-putih itu terus
menyusuri
jalan di pinggir Hutan Sawo Kembar.
Namun
entah kenapa, tiba-tiba saja orang tua
itu
berhenti melangkah. Kepalanya mendongak ke
atas,
memperhatikan beberapa burung jalak yang ten-
gah
bercanda di udara. Dan entah mengapa pula, bu-
rung-burung
jalak itu pun seperti terpaku. Lalu mere-
ka
terbang jauh ke angkasa biru, membentuk titik-titik
hitam.
Pada
saat mendongak ke atas, maka tampaklah
kalau
raut wajah lelaki tua renta itu demikian bersih.
Sepasang
matanya yang tajam bersinar terang. Sedang
rambutnya
yang putih panjang dibiarkan meriap di
bahu.
Perhatian
laki-laki tua renta itu kini tidak lagi
tertuju
pada beberapa burung jalak yang sudah lenyap
di
ufuk barat sana, melainkan ke arah jalan yang hen-
dak
dilaluinya sembari gerak-gerakkan lonceng kecil di
tangan
kanan. Dan sambil menggerakkan lonceng
langkahnya
pun dilanjutkan.
Klinting!
Klinting!
Bergemerincing lonceng di tangan si tua ini
kembali
memenuhi tempat itu. Bahkan tanpa mempe-
dulikan
sekitarnya orang tua renta itu mulai memba-
cakan
bait-bait syairnya.
Oleh
seluruh isi alam hatimu tak terpuaskan.
Oh,
kegilaanku. Mereka yang mengembara bo-
lak-balik
gurun.
Akan
sia-sia!
Hanya
diri yang bisa menghancurkan;
Pesona
jahat dunia, itulah tenaga yang tak kita
kenal.
Gosok
sampai cerlang penglihatanmu!
Terang;
Adalah
tanda kehidupan dan ombakmu harus
senantiasa
bergelora.
Di
manakah akal dan wahyu berselisih paham?
Iman
akan sesaat...
Sejenak
lelaki tua itu menghentikan sajaknya.
Keningnya
berkerut-kerut. Entah lupa dengan bait-bait
sajaknya,
entah tidak. Yang jelas, kini kepalanya ten-
gah
menengadah memandang angkasa biru. Selang
beberapa
saat, kembali lonceng di tangan kanannya
digerak-gerakkan.
Klinting!
Klinting!
Sementara
itu pemuda di atas pohon yang ti-
durnya
terganggu jadi jengkel sekali oleh suara klint-
ing-klinting
dari lonceng di tangan lelaki tua renta ini.
Perlahan-lahan
pemuda gondrong yang memiliki raja-
han
bergambar ular putih di dada itu pun mulai men-
gucek-ngucek
dan mengerjap-ngerjapkan kedua bola
matanya
yang masih sepet. Lalu, kepalanya pun me-
longok
ke bawah.
"Hm...!
Tua bangka kurang kerjaan! Pagi-pagi
sudah
mengganggu tidurku saja," omel pemuda yang
tak
lain Soma alias Siluman Ular Putih, jengkel bukan
main.
Andai
saja tahu siapa lelaki tua itu, sudah pasti
Soma
tidak mungkin berani berkata selancang ini. Ka-
rena
lelaki bertubuh ringkih seperti tak bertenaga itu
adalah
salah seorang tokoh sakti tua di dunia persila-
tan.
Usianya sudah sangat tua. Mungkin hampir men-
capai
sembilan puluh tahun. Sesuai kebiasaannya da-
lam
membaca syair yang tak mengenal waktu dan
tempat,
maka di dunia persilatan akan mencatat kalau
ada
seorang tokoh berjuluk Penyair Sinting! Cukup
aneh
memang. Tapi bukannya syair-syairnya yang mir-
ing,
melainkan tingkah lakunya yang di luar kewaja-
ran.
Namun
kali ini Soma yang merasa jengkel ter-
ganggu
tidurnya, tidak sempat berpikir sejauh itu. Apa
kata
hati pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo
itulah
yang dituruti. Maka begitu lelaki tua itu berjalan
terseok-seok
di bawah pohon sawo tempatnya tertidur,
Soma
pun segera meloncat turun.
"Suara
lonceng itu yang mengganggu tidurku.
Biar
kurebut dan ku buang saja. Habis perkara!" gu-
mam
Soma jengkel.
Ketika
kedua kaki Siluman Ular Putih mendarat
manis
di hadapan Penyair Sinting, sedikit pun tidak
membuat
debu-debu beterbangan! Jelas, ilmu merin-
gankan
tubuh pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo
itu sudah sangat tinggi!
Sedang
Penyair Sinting tampak tenang-tenang
saja
begitu tangan pemuda itu menjulurkan ke depan
untuk
meraih lonceng kecil.
"Heh...?!"
Soma
kaget setengah mati ketika meraih lon-
ceng
kecil di tangan Penyair Sinting. Betapa tidak. Ter-
nyata,
sedikit pun lonceng itu tidak bergeming dari
tempatnya!
Soma
penasaran sekali. Sementara lelaki renta
di
hadapannya masih tenang-tenang saja. Malah se-
nyum
nakalnya tersungging di bibir. Sedikit pun tidak
tampak
kalau ia tengah mengerahkan tenaga dalam.
Dan
kini, Penyair Sinting malah mendongak,
memperhatikan
beberapa ekor burung jalak hitam
yang
beterbangan bebas di angkasa. Kedua bibirnya
berkemik-kemik
seperti hendak membacakan bait-bait
sajaknya.
Pengetahuan
punya dua sayap.
Pendapat
cuma punya satu sayap.
Pendapat
mengurangi dan membatasi pener-
bangan.
Burung
dengan satu sayap akan cepat jatuh.
Dia
cuma mampu terbang dengan dua-tiga kali
kepakkan
sayap.
Burung,
Pendapat, jatuh, dan bangun.
Terbang
dengan satu sayap, dengan harapan
mencapai
sarang.
Namun
apabila ia bebas dari Pendapat, Penge-
tahuan
akan menunjukkan wajahnya padanya.
Dan
burung satu sayap akan menjadi dua
sayap.
Lalu
ia kembangkan sayapnya, tegak dan lurus
berjalan.
Tak
jatuh telentang ataupun tertelungkup.
Dia
terbang membubung tinggi dengan dua
sayap.
Seperti
para malaikat yang tak pernah luput se-
dikit
pun.
Soma
menggumam tak jelas. Malah mungkin
menggerutu.
Hatinya kesal sekali dipermalukan seperti
itu.
Apalagi oleh lelaki renta yang tampak ringkih tak
bertenaga!
Dan yang lebih menggemaskan, lelaki di
hadapannya
ini malah enak-enakan membacakan bait-
bait
sajaknya!
Si
pemuda pun jadi geram bukan main. Saat
itu
juga tenaga dalamnya dikerahkan. Bahkan dengan
kedua
tangannya dibetotnya kuat-kuat lonceng di tan-
gan
Penyair Sinting! Namun anehnya, tetap saja lon-
ceng
itu tak bergeming sedikit pun! Malah saking
kuatnya
Soma mengerahkan tenaga dalam....
Brut!
Brut! Brut...!
Angin
dalam perut Soma tak bisa dikendalikan
lagi.
Tanpa permisi angin berhawa busuk itu keluar
dari
lobang pantatnya,
"He...
he... he...!"
Penyair
Sinting terkekeh senang. Tangan ki-
rinya
mengibas-ngibas di depan hidung. Tangan ka-
nannya
yang memegang lonceng cepat diputar balik ke
belakang.
Dan....
Ting!
Telak
sekali lonceng di tangan kanan Penyair
Sinting
mendarat di batok kepala Soma hingga merin-
gis
kesakitan. Untung saja Penyair Sinting tidak men-
gerahkan
tenaga dalam. Jadi, murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu hanya merasa sakit kulit luarnya saja.
"Anak
muda! Kau tak ubahnya seperti anak bu-
rung!
Baru bisa belajar terbang saja, sudah berani jual
lagak.
Tapi, baiklah! Melihat ciri-ciri mu, pasti kau
pemuda
dungu bergelar Siluman Ular Putih. Aku jadi
ingin
buktikan, apakah kau pantas menyandang ge-
larmu,"
ejek Penyair Sinting.
Habis
berkata begitu, lelaki tua itu pun segera
menarik
ke belakang lonceng di tangan kanan. Semen-
tara
tangan kiri dipentangkan lebar ke samping, seper-
ti
orang mau menampar.
Soma
tersentak kaget. Sungguh tidak disangka
kalau
orang tua renta di hadapannya mengenal julu-
kannya.
Namun karena merasa jengkel dipermainkan,
membuat
amarah murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang
bergelar Siluman Ular Putih itu tidak dapat di-
kendalikan.
"Heaaa...!
Disertai
bentakan nyaring, tahu-tahu lonceng
di
tangan Penyair Sinting telah berkelebat cepat me-
nyerang
batok kepala Soma. Sedangkan tangan ka-
nannya
menampar dari samping.
Soma
tercekat. Karena belum sempat serangan-
serangan
Penyair Sinting mengenai sasaran, terlebih
dahulu
terasa sambaran angin dingin menyerang tu-
buhnya.
Secepatnya dikeluarkan jurus 'Terjangan
Maut
Ular Putih'. Lalu bagaikan kilat tubuhnya segera
berkelebat
di antara gulungan-gulungan lonceng di
tangan
Penyair Sinting. Kedua telapak tangannya yang
membentuk
kepala ular sesekali menyelinap menotok
tubuh
ringkih lelaki tua itu. Penyair Sinting terkekeh
senang.
"Sudah
kuduga! Kau pasti murid atau cucu Adi
Begawan
Kamasetyo. Bukankah jurus yang sedang
kau
pamerkan bernama 'Terjangan Maut Ular Putih'?"
Siluman
Ular Putih melompat mundur seraya
menghentikan
serangan dengan wajah kaget. Bukan
saja
kaget melihat serangan-serangannya dapat dihin-
dari
Penyair Sinting dengan mudah, melainkan juga
karena
Penyair Sinting juga mengenal jurus-jurusnya.
Bahkan
lelaki tua ini pun mengenal Eyang Begawan
Kamasetyo.
Saat itu pula sepasang mata birunya
memperhatikan
orang tua renta di hadapannya sek-
sama.
"Kalau
orang tua renta ini mengenal jurusku
dan
juga mengenal Eyang Begawan Kamasetyo, sudah
pasti
ia sudah cukup mengenal eyang guruku. Lalu,
siapakah
lelaki renta yang suka membacakan bait-bait
sajak
ini? Ah...! Jangan-jangan orang tua renta di ha-
dapanku
ini salah seorang sahabat eyangku. Ya, dia
pasti
Penyair Sinting!" gumam Soma dalam
hati geli-
sah.
"Hey,
Bocah Dungu! Mengapa kau memandangi
aku
seperti orang linglung?! Hayo lekas keluarkan ju-
rus-jurus
andalanmu! Aku ingin lihat, apa kau sang-
gup
menghadapi jurusku 'Orang Gila Bersyair'," tegur
Penyair
Sinting, jumawa.
Habis
berkata begitu, lelaki ringkih ini segera
merentangkan
kedua tangannya seperti orang sedang
membaca
syair. Sedang mulutnya pun mulai mengoceh
tidak
karuan.
Soma
tetap diam di tempatnya. Kini, ia mulai
menaruh
rasa hormat pada orang tua renta di hada-
pannya.
"Maafkan kekasaran sikapku tadi, Orang Tua!
Aku
benar-benar khilaf. Aku tidak mengira kalau kau
adalah
sahabat eyangku," ucap Soma seraya mena-
kupkan
kedua telapak tangan ke depan hidung penuh
hormat.
Penyair
Sinting menggerutu kesal. Sepasang
matanya
yang mencorong terus memandang tajam.
"Siapa?
Siapa yang suruh kau bersikap meng-
hormat
padaku, heh?! Mau aku teman eyangmu, kek.
Mau
tidak, kek. Siapa peduli?! Pokoknya aku ingin li-
hat,
apa kau sanggup menghadapi jurus 'Orang Gila
Bersyair'
andalanku?" tukas si tua sinting itu.
"Tapi,
Orang Tua...."
"Sudah
jangan banyak cincong!" bentak Penyair
Sinting,
memotong. "Cepat keluarkan ajian 'Titisan Si-
luman
Ular Putih'mu. Aku ingin lihat. Cepat!"
"Aku
tidak berani bersikap kurang ajar, Orang
Tua.
Ibu dan eyangku akan marah besar kalau aku
bersikap
kurang ajar padamu," tolak Siluman Ular Pu-
tih,
halus.
"Siapa
suruh punya ibu dan eyang sebawel
itu?!
Hayo lekas hadapi aku! Kalau tidak, biar ku pak-
sa
kau untuk keluarkan ilmu andalanmu itu. Awas, li-
hat
serangan! Heaaat...!"
Dikawal
sebuah teriakan keras, Penyair Sinting
membuka
serangan kembali. Sambil mengoceh tidak
karuan,
kedua tangannya digerak-gerakkan mirip
orang
tengah membaca syair! Akibatnya, sebelum se-
rangan
sesungguhnya datang, Soma terlebih dahulu
merasakan
hawa dingin menyambar-nyambar. Bah-
kan,
si pemuda pun merasakan gendang telinganya
mau
pecah mendengar ocehan Penyair Sinting yang
ternyata
disertai tenaga dalam tinggi.
Namun
Soma tetap tenang saja. Ia hanya sedi-
kit
mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi gen-
dang
telinganya.
Melihat
tindakan Soma yang tanpa perlawanan,
membuat
Penyair Sinting jengkel. Namun serangan-
serangan
itu justru malah makin diperhebat. Akibat-
nya....
Bukkk!
Bukkk!
Berkali-kali
pukulan-pukulan dan tamparan
tangan
Penyair Sinting telak menghajar tubuh Siluman
Ular
Putih. Nyatanya, Soma tetap tidak berani bersikap
kurang
ajar. Namun tentu saja tubuhnya tak ingin te-
rus
menerus mendapat bogem mentah. Makanya, ia
hanya
berjumpalitan ke sana kemari untuk menghin-
dari
serangan-serangan Penyair Sinting.
Wesss!
Wesss!
Soma
terus berjumpalitan, tanpa sedikit pun
berkeinginan
untuk membalas. Dan itu membuatnya
berkali-kali
berguling-gulingan ke sana kemari. Bah-
kan
tidak jarang pula lonceng di tangan kanan Penyair
Sinting
menghajar tubuhnya.
Dan
yang menjengkelkan Siluman Ular Putih,
ternyata
serangan-serangan Penyair Sinting bukannya
mereda.
Malah, semakin menghebat. Namun kendati
merasa
geram, Soma masih belum berani membalas.
Prakkk!
Prakkk!
Dua
kali lonceng kecil di tangan Penyair Sinting
mendarat
di batok kepala Siluman Ular Putih, sampai
meringis
kesakitan. Meski serangan-serangan lelaki
tua
itu disertai tenaga dalam, namun tetap saja cukup
membuat
kepalanya berdenyut. Bahkan sekujur tu-
buhnya
sudah babak belur.
Begitu
kepalanya terkena hajaran lonceng, Si-
luman
Ular Putih cepat membuang tubuhnya ke samp-
ing.
Sedangkan Penyair Sinting malah terkekeh senang
sambil
terus mencecar hebat lawannya.
"Mau
terus menghindar, kek! Mau tidak mem-
balas
seranganku, kek! Bukan urusanku. Yang pent-
ing,
tanganku yang sudah gatal-gatal ingin menghajar
orang
harus dituruti. Kebetulan sekali kau korbannya,
Anak
Muda. Awas, jaga kepalamu!" oceh si orang tua
ringkih
yang ternyata berkepandaian tinggi ini.
Penyair
Sinting terkekeh senang. Tangan ka-
nannya
yang memegang lonceng kembali bergerak ce-
pat,
menyerang batok kepala Siluman Ular Putih.
"Hup!"
Soma
kembali harus berguling-gulingan ke
samping.
Dalam hatinya terus menggerutu kesal. Me-
mang
baru kali ini sikap ugal-ugalannya diuji.
"Jangkrik
buntung! Babi ngepet! Tak kusangka
kalau
orang tua renta ini berotak kurang waras. Sudah
aku
mengalah, eh... malah menyerangku habis-
habisan...,"
gerutu Soma dalam hati kesal.
"He
he he...! Bagus! Rupanya gerakanmu cukup
gesit
juga, Anak Muda. Kau memang pantas jadi murid
Adi
Begawan Kamasetyo. Tapi jangan harap aku tega
membiarkan
mu lolos dari gebukan loncengku. Aku
belum
puas kalau belum menghajar pantatmu sampai
biru!"
ceracau Penyair Sinting sambil terus menyerang
Siluman
Ular Putih dengan senjata anehnya.
"Dasar
manusia sinting! Aku bisa babak belur
di
tangannya. Tidak ada pilihan lain. Daripada aku di-
marahi
ibu dan eyangku, lebih baik aku kabur saja,"
gumam
Soma dalam hati.
Habis
menggumam begitu, Siluman Ular Putih
dengan
gerakan cepat berguling-gulingan ke samping.
Begitu
lolos dari serangan-serangan Penyair Sinting,
kakinya
segera menjejak ke tanah, lalu berkelebat ce-
pat
meninggalkan tempat itu.
"Hey....
Hey! Mau lari ke mana kau, Bocah? Kau
tidak
boleh meninggalkan ku seenak perutmu! Kau be-
lum
memamerkan ilmu bututmu ajian 'Titisan Siluman
Ular
Putih'! Hayo, lekas hentikan langkahmu!"
Saat
itu juga, Penyair Sinting menutulkan ke-
dua
kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkelebat
cepat,
mengejar Siluman Ular Putih. Gerakan kedua
kakinya
ini aneh sekali. Tampaknya seperti orang ber-
jalan
biasa. Namun anehnya, dalam beberapa saat tu-
buhnya
telah berdiri tegak di hadapan Siluman Ular
Putih.
"He
he he...! Kau tidak boleh lolos dari gebu-
kanku,
Bocah! Kau boleh pamerkan ajian 'Titisan Si-
luman
Ular Putih' baru boleh meninggalkan ku. Hayo
lekas
keluarkan ilmu bututmu itu, Bocah!" hardik Pe-
nyair
Sinting jengkel.
Soma
menggerutu kesal. Padahal, tadi ilmu lari
cepat
'Menjangan Kencono' telah dikerahkan. Namun
anehnya,
orang tua renta yang tampak ringkih itu
mampu
mengejarnya!
"Hm...!
Sungguh hebat ilmu meringankan tu-
buh
orang tua renta ini," puji Soma dalam hati.
"Bocah
dungu! Apa kau tuli? Hayo, lekas kelua-
rkan
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'! Mengapa ma-
lah
memandangi aku seperti itu?!" bentak Penyair Sint-
ing
gemas.
"Kau
ini sungguh keterlaluan, Orang Tua! Aku
sudah
mengalah, tapi kau tetap saja memaksaku," ge-
rutu
Soma kesal.
Penyair
Sinting terkekeh. Ia senang sekali meli-
hat
sepasang mata biru Soma yang berkilat-kilat.
"Keterlaluan
atau tidak keterlaluan, itu kan
hanya
menurut omonganmu saja! Tapi, sudahlah! Aku
tidak
ingin bersilat lidah denganmu! Sekarang lekas
kau
keluarkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' yang
kau
agung-agungkan itu!" ejek Penyair Sinting kesal.
Soma
menggerendeng. Hatinya panas juga.
Berkali-kali
orang tua di hadapannya itu menyebut-
nyebut
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Bahkan ber-
kali-kali
pula mengejek kalau ajian itu hanya ajian bu-
tut
saja.
"Baik!
Kalau memang itu yang kau inginkan,
Orang
Tua! Tapi, jangan salahkan aku kalau nanti se-
dikit
kurang ajar padamu," sahut Soma kesal.
Penyair
Sinting terkekeh senang. Meski usianya
di
ambang senja, namun memang paling senang men-
gadu
kepandaian dengan siapa pun juga. Maka begitu
bertemu
Siluman Ular Putih, penyakit lamanya kam-
buh.
Begitu
Soma merapalkan ajian 'Titisan Siluman
Ular
Putih' perlahan-lahan sekujur tubuhnya pun mu-
lai
diselimuti asap putih tipis. Sehingga, bayangan
tinggi
kekarnya pun tidak kelihatan sama sekali! Dan
ketika
asap tebal yang menyelimuti sekujur tubuhnya
sirna
tertiup angin, maka seketika itu juga....
"Gggggeeerrr...!!!"
Mendengar
gerengan barusan, Penyair Sinting
justru
terkekeh. Samar-samar dari sisa-sisa asap putih
yang
menyelimuti tubuh Soma, kini tampak sesosok
bayangan
putih panjang sebesar pohon kelapa! Sepa-
sang
matanya berwarna merah menyala dengan taring-
taring
runcing! Itulah sosok Siluman Ular Putih!
"Ggggeeerrr...!!!"
Sejenak
Siluman Ular Putih menggeliat-
geliatkan
tubuhnya. Terkadang badannya yang me-
nyembul
ke atas, terkadang kepalanya yang mendon-
gak
tinggi-tinggi. Lalu dengan gerakan gesit sekali, ta-
hu-tahu
ular raksasa ini telah menerjang hebat! Angin
kencang
berkesiur! Ranting-ranting pohon sawo di hu-
tan
itu bergoyang-goyang terkena angin sambarannya!
Sembari
terkekeh-kekeh senang, Penyair Sint-
ing
cepat membuka jurus-jurus andalan 'Orang Gila
Bersyair'.
Kedua tangannya segera dipentangkan lebar-
lebar.
Mulutnya tak henti-hentinya mengoceh tidak ka-
ruan.
Meski hanya ocehan-ocehan biasa, namun sebe-
narnya
bisa memecahkan gendang telinga lawan yang
tenaga
dalamnya rendah.
Namun
anehnya, kali ini Siluman Ular Putih
sekali
tak terpengaruh ocehan Penyair Sinting yang
penuh
tenaga dalam tingkat tinggi! Melihat hal itu ken-
ing
Penyair Sinting berkerut dalam. Kini dipahami ka-
lau
tubuh Siluman Ular Putih kebal. Maka begitu me-
lihat
ular raksasa itu menyerang, tubuhnya segera
berkelebat
cepat.
Wesss!
Wesss!
Terkaman
sosok memanjang Siluman Ular Pu-
tih
hanya mengenai tempat kosong. Tubuhnya yang
besar
menghantam tanah berdebu. Seketika itu debu-
debu
membubung tinggi memenuhi tempat pertempu-
ran.
"Ggggeeeerrr...!!!"
Siluman
Ular Putih menggereng hebat. Suara
gerengannya
menggema sampai jauh ke sudut-sudut
hutan.
Lalu seketika murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu
menerjang garang. Angin kencang berkesiur mengi-
ringi
serangannya.
"Hup!"
Penyair
Sinting cepat berkelebat di antara
bayangan
sosok panjang Siluman Ular Putih. Tangan
kanan
yang memegang lonceng berkali-kali menghan-
tam
telak tubuh Siluman Ular Putih!
Bukkk!
Bukkk!
Namun,
Siluman Ular Putih hanya sedikit
menggeliat.
Padahal, hantaman lonceng tadi penuh te-
naga
dalam tingkat tinggi. Batu sebesar gajah pun
akan
hancur berkeping-keping terkena hantaman ba-
rusan.
Namun anehnya tubuh Siluman Ular Putih te-
tap
seperti semula! Jangankan hancur berkeping-
keping,
terluka pun tidak!
Kini
Siluman Ular Putih kembali menerjang he-
bat.
Terkaman-terkaman dan kibasan-kibasan ekornya
terus
mencari sasaran. Debu-debu kembali membu-
bung
tinggi kala serangan-serangan Siluman Ular Pu-
tih
hanya mengenai tanah.
Penyair
Sinting terkekeh senang. Namun diam-
diam
mulai disiapkannya pukulan maut 'Pancar
Surya'!
Dan saat tenaga dalamnya dikerahkan, maka
seketika
itu kedua telapak tangannya mulai berobah
menjadi
putih berkilauan hingga ke pangkal lengan!
Dan
secepat kilat kedua telapak tangannya didorong-
kan
ke depan!
Wesss!
Wesss!
Seketika
dua leret sinar putih berkilauan dari
pukulan
'Pancar Surya' meluruk deras ke arah Silu-
man
Ular Putih. Lalu....
Bukkk!
Bukkk!
Tubuh
Siluman Ular Putih yang masih me-
layang-layang
di udara terpental beberapa tombak ke
belakang.
Debu-debu kembali membubung tinggi begi-
tu
tubuhnya menghantam tanah! Samar-samar dari
debu
yang bergulung-gulung, tampak sosok meman-
jang
Siluman Ular Putih tengah menggeliat-geliat. Se-
pasang
matanya mencorong tajam. Lalu....
"Ggggrrr...!"
Dengan
gerakan cepat luar biasa, kembali Si-
luman
Ular Putih menerjang Penyair Sinting hebat.
Terkaman-terkaman
dan kibasan-kibasan ekornya
makin mengiriskan. Jangankan tubuh kurus kering
Penyair
Sinting, tubuh gajah pun akan remuk bila ter-
kena
sambarannya.
"Hiaaat...!"
Begitu
melihat serangan-serangan Siluman Ular
Putih,
Penyair Sinting pun kembali bergerak. Tubuh-
nya
berkelebat di antara gulungan-gulungan serangan
Siluman
Ular Putih.
"Kau
memang hebat, Siluman Ular Putih. Puku-
lan
'Pancar Surya'-ku pun tidak mampu melukai tu-
buhmu!
Tapi, apa kau sanggup menahan totokan-
totokan
'Jari-jari Suci' milikku? Jangankan tubuh ular
jejadian
sepertimu. Tubuh gajah pun akan kaku tak
dapat
bergerak begitu terkena totokan 'Jari-jari Suci'-
ku!"
Habis
berkata begitu, sejenak Penyair Sinting
mengawasi
bagian-bagian tubuh Siluman Ular Putih
dengan
seksama. Setelah merasa yakin, lelaki tua ini
berkelebat
cepat. Jari-jari kedua tangannya yang ber-
warna
putih berkilau bergerak cepat seperti hendak
menotok.
Lalu....
Tukkk!
Tukkk!
Benar
saja dua kali totokan jari-jari tangan Pe-
nyair
Sinting tahu-tahu telah mendarat di tengkuk ke-
pala
Siluman Ular Putih. Maka saat itu juga, kepala
ular
raksasa itu terkulai lemas dan jatuh ke tanah!
Sementara
begitu mendarat di tanah dengan
gerakan
manis, bukan main senangnya Penyair Sinting
melihat
hasil kerjanya. Ternyata, Siluman Ular Putih
dapat
dilumpuhkan dengan totokan 'Jari-jari Suci' mi-
liknya!
"He
he he.... Chiaaa...!"
Sambil
terkekeh-kekeh senang, lelaki tua itu
kembali
berkelebat. Jari-jari tangannya kembali mele-
pas
cepat totokan ke punggung dan ekor Siluman Ular
Putih.
Tuk!
Tuk!
Saat
itu pula, tubuh Siluman Ular Putih tak
berdaya
di tanah! Lalu seketika asap putih tipis pun
kembali
bergulung-gulung menyelimuti sekujur tu-
buhnya
ketika asap tebal yang menyelimuti sirna ter-
tiup
angin, maka yang tampak adalah seorang pemuda
berambut
gondrong berpakaian rompi dan celana ber-
sisik
putih keperakan tengah terkapar tak berdaya di
tanah!
"He
he he...! Akhirnya kau kalah juga di tan-
ganku,
Bocah! Ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' me-
mang
hebat. Tapi, masih jauh lebih hebat dibanding
totokan
'Jari-jari Suci'-ku, Bocah! Selamat tinggal! Aku
pergi
dulu. Lain kali aku pasti akan menguji keheba-
tanmu
lagi!"
Penyair
Sinting terkekeh senang. Kedua ka-
kinya
cepat menutul ke tanah. Dan sembari bersiul-
siul
senang, ditinggalkannya tempat itu.
"Orang
tua! Bebaskan dulu totokanku!" teriak
Soma
geram bukan main.
Tapi,
Penyair Sinting malah terus berkelebat
cepat.
Gerakan kedua kakinya memang seperti me-
langkah
biasa. Namun anehnya dalam waktu singkat,
sosok
tinggi kurusnya telah lenyap di tikungan depan
sana.
Siluman
Ular Putih menggerendeng penuh ke-
marahan.
Saat itu tubuhnya memang masih telentang
tak
berdaya di tanah. Dan kebetulan sekali, sinar ma-
tahari
tepat menerpa wajahnya. Soma kesal bukan
main.
Matanya terasa pedih terus bersitatap dengan
sinar
matahari! Sedang tubuhnya masih kaku tak da-
pat
digerakkan!
"Alamak!
Pantas saja aku tadi malam bermimpi
jelek.
Tak tahunya mau mengalami nasib seperti ini...!"
umpatnya
dalam hati.
Sementara
itu samar-samar Soma masih me-
nangkap
suara Penyair Sinting yang tengah membaca-
kan
bait-bait sajaknya!
5
Hampir
setengah harian Soma masih menggele-
tak
tak berdaya di tanah berdebu. Sinar matahari tak
henti-hentinya
menjilati wajah dan tubuhnya. Dan tak
henti-hentinya
ia menggerendeng dalam hati.
Baru
ketika matahari sudah sedikit condong di
ufuk
barat perlahan-lahan Soma dapat menggerak-
gerakkan
tangannya. Diam-diam pun kembali tenaga
dalamnya
dikerahkan untuk memunahkan totokan
Penyair
Sinting.
Selang
beberapa saat, Soma dapat terbebas dari
seluruh
totokan. Dengan gerakan masih kaku, pemuda
ini
bangkit berdiri. Kini, sekujur tubuhnya terasa peg-
al-pegal
ketika punggungnya diliukkan ke kanan kiri
Kretek!
Kretek!
Terdengar
tulang-tulang dalam tubuh Soma
saling
berkeretakan. Sedikit pemuda ini merasa lega.
Tulang-tulang
dalam tubuhnya sudah tidak kaku lagi
seperti
tadi. Lalu sejenak, pandangan matanya beredar
ke
sekitar hutan itu.
Semilir
angin membuat pemuda gondrong ber-
gelar
Siluman Ular Putih itu senang berlama-lama di
sini.
Perlahan-lahan dihirupnya udara sebanyak-
banyaknya,
lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Kini
dadanya
terasa segar.
Sejenak.
pemuda itu memandang Ke depan.
Dan
seketika kakinya menjejak tanah. Maka seketika
tubuhnya
melesat cepat. Dan kini yang tinggal hanya
titik
bayangan putih kecil di kejauhan sana.
***
Di
ufuk sebelah barat sana matahari mulai re-
bah
dalam pangkuannya. Cahayanya yang berwarna
merah
tembaga sebagian memoles langit sebelah barat,
sebagian
pula memoles atap markas Perguruan Kaki
Angin
di Lembah Tegal Arum.
Dalam
terpaan lembut sore itu, seorang pemu-
da
tampan dengan rambut gondrong sebahu tengah
berdiri
tegak tak bergerak di bawah rindangnya sebuah
pohon
mangga. Usianya kira-kira delapan belas tahun.
Wajahnya
berbentuk lonjong kekanak-kanakan. Tu-
buhnya
tinggi kekar, terbalut pakaian rompi dan cela-
na
bersisik warna putih keperakan. Pada dadanya
tampak
rajahan bergambar ular putih kecil dari rom-
pinya
yang terbuka tanpa kancing. Sedang sepasang
mata
birunya terus memperhatikan bangunan besar di
hadapannya
dengan kening berkerut.
Pemuda
bergelang akar bahar yang tidak lain
Soma
alias Siluman Ular Putih merasa heran dengan
keadaan
bangunan gedung di hadapannya yang terli-
hat
lengang. Selain sepasang matanya yang terus
memperhatikan
suasana dalam bangunan itu, diam-
diam
pendengarannya pun mulai dipasang. Namun
anehnya,
bangunan itu seperti tidak berpenghuni.
"Heran!"
desis pemuda itu dalam hati. "Menga-
pa
bangunan sebesar ini tidak berpenghuni? Menilik
keadaannya,
bangunan itu sepertinya cukup terawat.
Tapi
mengapa aku tidak mendengar tarikan atau desa-
han
napas penghuninya?"
Siluman
Ular Putih makin dalam mengerutkan
kening.
Seperti biasa, tangan kanannya pun lantas
menggaruk-garuk
kepala. Memang, bila tengah kebin-
gungan,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu selalu
bertingkah
laku demikian. Kemudian entah siapa yang
menuntun
langkah kakinya, perlahan-lahan mulai di-
dekatinya
bangunan di hadapannya.
Pintu
gerbang depan bangunan itu telah terle-
wati.
Suasana dalam ruangan tampak sepi-sepi saja.
Namun
ketika Siluman Ular Putih hendak meneruskan
langkahnya....
"Ohh...!"
Soma
mendesah kaget. Di hadapannya terlihat
beberapa
mayat. Pemuda bergelimpangan di halaman
depan
bangunan. Ada yang tewas dengan kepala pe-
cah.
Ada yang perutnya jebol. Ada pula yang dadanya
hancur.
Tanpa
sadar, Soma jadi bergidik melihat bekas
pembantaian
di depannya. Darah merah kering tam-
pak
berserakan menodai tempat itu. Perlahan-lahan
langkahnya
pun diteruskan. Dan matanya langsung
membentur
dinding depan pendopo bangunan yang
bertuliskan;
'Markas Perguruan Kaki Angin'.
"Ah...!
Jadi di sini merupakan Markas Pergu-
ruan
Kaki Angin?" desah Soma tak mengerti. "Lantas?
Siapa
orang yang telah keji menebar maut di tempat
ini?"
Sekali
lagi Soma menggaruk-garuk kepalanya.
Bingung.
Di kejauhan sana tampak sesosok mayat
berpakaian
kuning tengah tergeletak tak jauh dari mu-
lut
pendopo. Perlahan pemuda ini meneruskan lang-
kahnya
mendekati mayat itu yang diduga adalah orang
pertama
dari Perguruan Kaki Angin. Sebab hanya
mayat
berpakaian kuning itulah yang paling tua
usianya.
Jadi, bisa jadi mayat orang tua itulah pemilik
Perguruan
Kaki Angin!
Sejenak
Siluman Ular Putih berdiri tegak di ha-
dapan
mayat sosok berpakaian kuning. Keadaan orang
tua
itu pun sangat mengenaskan. Dadanya jebol. Ba-
nyak
darah kering menodai pakaian kuningnya. Perla-
han-lahan
Soma mulai menekuk kedua lututnya. Dite-
litinya
mayat itu seksama. Namun di saat tengah me-
meriksa,
tiba-tiba pendengarannya yang tajam men-
dengar
langkah-langkah halus memasuki halaman de-
pan
bangunan.
"Hm...!
Jangan-jangan orang di belakangku itu-
lah
yang telah menebar maut di tempat ini?" gumam
Soma
dalam hati.
Baru
saja Soma menggumam seperti itu, men-
dadak....
"Iblis...!
Pasti kaulah yang telah membunuh
ayahku,
Malaikat Kaki Seribu beserta murid-muridnya!
Demi
Tuhan, aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Terdengar
bentakan garang dari seseorang yang
diiringi
berkesiurnya hawa dingin yang menyerang mu-
rid
Eyang Begawan Kamasetyo!
Wessss!
Dengan
gerakan enak sekali, Siluman Ular Pu-
tih
sedikit menggeser duduknya ke samping. Maka se-
leret
sinar merah menyala yang datangnya dari bela-
kang
terus menerabas ke depan, lalu menghantam
tiang
soko guru bangunan perguruan hingga roboh.
Kepala
Soma cepat berpaling ke belakang den-
gan
kening berkerut penuh keheranan!
Siapakah
sosok penyerang Siluman Ular Putih?
Di
hadapan Siluman Ular Putih kini telah berdi-
ri
seorang gadis cantik berusia sekitar delapan belas
tahun.
Rambutnya hitam panjang dikuncir ke bela-
kang.
Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang ma-
tanya
lebar bersinar jeli. Hidungnya mancung. Pas se-
kali
dengan bentuk bibirnya yang merah tipis dan ben-
tuk
dagunya yang runcing. Sedang tubuhnya yang
tinggi
ramping dengan kulit putih bersih terbalut pa-
kaian
ketat warna kuning.
Soma
jadi semakin tak mengerti, karena gadis
cantik
di hadapannya tahu-tahu menuduhnya sebagai
pembunuh
di tempat ini. Bahkan sebelum pemuda ini
melakukan
bantahan, si gadis telah menyerangnya.
Makanya
begitu habis menghindar, Siluman Ular Putih
cuma
terlongong bengong.
"Bedebah!
Jangan harap kau lolos dari lubang
kematianmu,
Kunyuk Gondrong! Nih, makanlah puku-
lan
'Pulung Geni'-ku!"
Dengan
kemarahan membludak, si gadis mem-
buka
kedua telapak tangannya yang berwarna merah
menyala
di pinggang. Dan begitu didorongkan ke de-
pan,
seketika dua larik sinar merah menyala meluncur
dari
kedua telapak tangannya.
"Eh
eh eh...! Jangan sembarangan saja main
tuduh.
Aku kebetulan lewat sini. Dan ketika kutemu-
kan
mayat-mayat ini aku segera memeriksanya!" teriak
Siluman
Ular Putih seraya berkelit ke samping.
Baru
saja Siluman Ular Putih menegakkan tu-
buhnya,
si gadis telah kembali menghentakkan kedua
tangannya.
Maka sekali lagi dua larik sinar merah me-
nyala
melesat dari kedua telapak tangan.
Brakkk!
Brakkk!
Dua
buah tiang besar penyangga bangunan ro-
boh
terkena sinar merah yang tak mengenai sasaran
sesungguhnya.
Suara bergemuruh terdengar mengirin-
gi
runtuhnya bagian bangunan perguruan
Si
gadis geram bukan main melihat serangan-
nya
selalu menemui kegagalan. Kini ia tak lagi berusa-
ha
menyerang. Sepasang matanya mencorong tajam,
menatap
pemuda gondrong di hadapannya. Lalu den-
gan
air mata berlinang, gadis itu segera menghambur
ke
arah mayat yang berbaju kuning yang tak lain
mayat
Malaikat Kaki Seribu.
"Ayaaahh...!"
Tangis
gadis yang tak lain Pulasari tak dapat
ditahan
lagi begitu berada dekat mayat Malaikat Kaki
Seribu.
Sambil mengumbar isak tangisnya, dipeluknya
mayat
lelaki yang merupakan ayah angkatnya.
"Ma...
maafkan aku, Ayah! Terpaksa aku pu-
lang
terlambat. Pa.... Paman Pendekar Bintang Emas
meminta
ku untuk menginap barang satu-dua malam.
Sebenarnya
aku keberatan, Ayah. Tapi, Paman Pende-
kar
Bintang Emas terus memaksa. Sehingga, aku pu-
lang
terlambat...," ucap gadis itu memelaskan. "Tapi,
demi
Tuhan aku tidak menyangka semuanya akan be-
gini....
Aku tidak menyangka, kau dan juga saudara-
saudara seperguruanku akan tewas secara menge-
naskan.
Oh...! Demi Tuhan! Aku bersumpah, Ayah!
Akan
kubalaskan sakit hatimu! Juga sakit hati sauda-
ra-saudara
seperguruanku! Sekarang tenangkanlah
kau
di alam akhirat, Ayah...!"
Kini
tangis Pulasari mulai sedikit mereda. Na-
mun
sepasang matanya yang indah makin berkilat-
kilat
penuh kemarahan. Perlahan-lahan pula gadis itu
beranjak
dari tempatnya.
"Kau
jangan salah sangka, Nona! Aku bukanlah
pembunuh
ayahmu maupun murid-murid Perguruan
Kaki
Angin ini. Seperti yang telah ku jelaskan tadi, aku
hanya
kebetulan lewat sini. Lalu aku merasa heran
dengan
keadaan padepokan ini. Namun ketika aku
masuk,
di halaman depan padepokanmu ini kulihat
banyak
sekali mayat berserakan," jelas Siluman Ular
Putih
membela diri.
"Cih...!
Memalukan! Mana ada maling mau
mengaku!"
desis Pulasari tak dapat lagi menahan ama-
rahnya
yang menggelegak.
Kedua
tangannya yang sudah gatal ingin
menghajar
pemuda gondrong di hadapannya segera
mainkan
jurus 'Kaki Angin'. Tangan kanannya diang-
kat
tinggi-tinggi ke udara. Tangan kirinya dipentang-
kan
lurus ke depan. Dengan cara itu Pulasari mulai
buka
serangan.
"Hyaaat...!"
Dengan
bentakan nyaring segera menerjang
Soma.
Tangan kanannya digunakan untuk menotok
ubun-ubun kepala si pemuda. Sementara tangan ki-
rinya
digunakan untuk menotok ulu hati!
Hebat
bukan main serangan gadis itu kali ini.
Bahkan
sebelum serangannya datang terlebih dahulu
berkesiur
angin dingin menerpa tubuh Soma. Seran-
gan-serangan
kedua telapak tangan Pulasari yang
menggunakan
pukulan 'Pulung Geni' agaknya tidak
boleh
dianggap enteng. Sedangkan gerakan sepasang
kakinya
cepat luar biasa laksana angin!
"Ah...!
Kau ini bagaimana, sih?! Demi Tuhan
aku
bukan yang membunuh Malaikat Kaki Seribu be-
serta
murid-muridnya. Kalau tidak percaya, apa kau
tidak
melihat kalau darah yang menempel di baju
mayat-mayat
itu sudah mengering?!" sanggah Soma
sambil
berloncatan ke sana kemari menghindari seran-
gan.
Biar bagaimanapun, ia tak ingin menjatuhkan
tangan
sembarangan.
Pulasari
sejenak menghentikan serangan den-
gan
sikap meragu. Sepasang matanya yang jeli melirik
ke
arah mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman
depan
padepokan. Memang benar kalau darah mayat-
mayat
itu sudah mengering.
"Hm...!
Kau pikir aku bodoh?! Memang darah
mayat-mayat
itu sudah kering. Tapi aku tak peduli.
Kau
yang pertama kulihat di sini. Maka tak ada alasan
lagi.
Kaulah si pembunuh itu!"
"Ya,
ampun! Mesti dengan cara apa aku menje-
laskannya
padamu, Nona?" kata Soma kebingungan
sambil,
garuk-garuk kepala.
"Dengan
nyawa busukmu!" Habis berkata begi-
tu,
Pulasari pun kembali melanjutkan serangan. Kedua
telapak
tangannya yang telah berobah menjadi merah
menyala
hingga ke pangkal lengan segera membuat ge-
rakan.
Lalu tiba-tiba tubuhnya yang tinggi ramping se-
gera
mencelat tinggi ke udara. Tangan kanannya te-
rangkat
siap menjebol ubun-ubun kepala. Sedangkan
tangan
kirinya siap mencengkeram ulu hati Soma!
"Huh...!
Kenapa nasib sial menghantui ku te-
rus?
Hampir seharian aku tersiksa karena tertotok dan
terpanggang
panasnya matahari, kini malah dituduh
sebagai
pembunuh keji...! Sial-sial! Pantas saja tadi
malam
aku mimpi jelek!" gerutu Soma dalam hati kes-
al.
Namun
tentu saja Siluman Ular Putih tak sudi
membiarkan
dirinya dijadikan bulan-bulanan seran-
gan-serangan
Pulasari. Maka begitu serangan-
serangan
si gadis hampir mengenai tubuhnya, Soma
berkelebat
cepat. Tubuhnya berkelit-kelit lincah di an-
tara
serangan-serangan Pulasari.
Memasuki
jurus ketiga puluh enam, Pulasari
jadi
jengkel bukan main. Dan kecurigaannya terhadap
pemuda
gondrong di hadapannya pun makin bertam-
bah.
"Meski
kesaktianmu setinggi langit, aku Pulasa-
ri,
tak akan takut menghadapimu, Kunyuk Gondrong!"
dengus
si gadis.
"Oh...!
Jadi namamu Pulasari?" ujar Siluman
Ular
Putih seraya mengangguk-angguk. "Baik, baik!
Aku
juga ingin mengenalkan diri. Namaku Soma. Aku
pengembara
miskin lagi bodoh. Tapi, aku senang sekali
berkenalan
denganmu! Apalagi, wajahmu pun cantik.
Rugi
kalau menampik perkenalan mu!"
"Pemuda
edan! Siapa sudi berkenalan dengan-
mu?!"
geram Pulasari bukan main marahnya.
Si
gadis merasa dipermainkan oleh pemuda
gondrong
di hadapannya. Maka dengan kemarahan
meluap,
kembali diserangnya Siluman Ular Putih den-
gan
garang.
"Lho
lho lho...? Kok malah jadi begini urusan-
nya?
Bukankah kau yang terlebih dahulu memperke-
nalkan
diri? Lalu, mengapa malah marah-marah sete-
lah
aku memperkenalkan diri?!" tukas Soma pura-pura
bersikap
bodoh.
Kemudian
ketika serangan-serangan Pulasari
mulai
mendekati tubuhnya, Soma cepat berkelit ke
samping.
Sambil bergerak demikian, tangan kanannya
berkelebat
ke arah punggung Pulasari yang kini telan-
jur
lewat di sisi.
Tukkk!
Tepat
sekali totokan jari tangan Siluman Ular
Putih
mendarat di punggung Pulasari. Akibatnya, seke-
tika
itu tubuh si gadis kaku tak dapat digerakkan!
Pulasari
geram bukan main. Sepasang matanya
membelalak
liar. Sungguh sama sekali tidak dikira ka-
lau
hanya dalam satu gebrakan dirinya dapat dilum-
puhkan
oleh pemuda gondrong di hadapannya.
"Jangan
sering-sering melototi aku, ah! Nanti
matamu
malah bisa loncat keluar!" goda Soma.
Pulasari mengerutkan
gerahamnya kuat-kuat.
Sepasang
matanya yang indah makin membelalak liar.
"Kenapa
sih kau senang melototi aku? Atau...
jangan-jangan
kau mulai naksir aku, ya?" goda Soma
lagi
Kepala
si pemuda bergerak-gerak sedemikian
rupa,
mengawasi gadis cantik di hadapannya. Lalu di-
elus-elus
rambutnya ke belakang, seperti orang tengah
merapikan
rambut.
"Bagaimana?
Cukup tampan kan aku?" ledek
Soma,
senang sekali melihat rona merah di pipi Pula-
sari.
Pulasari
menggeram penuh kemarahan. Rona
merah
di pipinya tampak makin kentara. Memang ha-
rus
diakui, pemuda gondrong di hadapannya cukup
tampan.
Dan tak dipungkiri sifat kewanitaannya pun
tergoda.
Namun karena tengah mengalami guncangan
batin
melihat ayahnya dan saudara-saudara pergu-
ruannya
terbunuh secara keji, Pulasari pun menutup
rasa
terpesonanya.
"Kunyuk
gondrong tak tahu malu! Belum puas
aku
kalau belum merobek-robek mulutmu yang lan-
cang
ini!" bentak si gadis, sambil mengenyahkan pera-
saan
yang menggoda hatinya.
"Apa
ini berarti fitnahanmu tadi dicabut, se-
hingga
kau ingin mencium... eh salah! Maksudku, kau
ingin
merobek-robek mulutku?" tanya Soma pura-pura
berlagak
pilon.
"Bedebah!
Kau mempermainkan aku, Kunyuk
Gondrong!
Hayo lekas lepaskan totokanku. Dan kita
bisa
bertanding sampai ada yang mampus!" teriak Pu-
lasari
tak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Kalau
saja
tidak tertotok, sudah pasti gadis ini akan segera
melontarkan
pukulan 'Pulung Geni'. Namun kali ini
niatnya
hanya dapat tersimpan dalam hati.
"Ya,
sudah. Kalau kau masih menuduhku de-
mikian.
Yang penting, aku tidak! Kau dengar itu, Pula-
sari? Aku tidak pernah membunuh ayahmu maupun
saudara-saudara
seperguruanmu! Titik!" tandas Soma.
Habis
berkata begitu, lalu Siluman Ular Putih
mendongak.
Dilihatnya awan hitam tebal yang sesekali
diiringi
kilat menyambar-nyambar ganas tengah bergu-
lung-gulung
di angkasa.
"Hm...
mau hujan," lanjut pemuda gondrong
murid
Eyang Begawan Kamasetyo seperti berkata pada
diri
sendiri. "Yah.... Daripada meladeni omongan gadis
keras
kepala, lebih baik aku beristirahat barang seje-
nak.
Toh, sebentar lagi juga malam."
Tanpa
banyak cakap lagi, Soma segera berjalan
menuju
ke pendopo. Dan si pemuda nangkring see-
naknya
di atas reruntuhan tiang soko guru pendopo.
Pulasari
jengkel bukan main. Diam-diam sepa-
sang
mata jelinya melirik ke atas. Memang benar, se-
bentar
lagi hujan akan turun. Dan hatinya jadi gelisah
sekali.
"Ah...!
Bagaimana ini?" gumam Pulasari dalam
hati.
"Mungkinkah pemuda sinting itu yang telah
membunuh
Ayah dan saudara-saudara sepergurua-
nku?
Melihat kesaktiannya yang tinggi, bukan musta-
hil
pembunuhnya adalah si kunyuk gondrong itu. Tapi,
mengapa
ia tidak membunuhku? Toh kalau mau, bu-
kanlah
hal yang sulit untuk dilakukan. Ibarat memba-
likkan
telapak tangan saja. Ah! Bagaimana ini?"
"Bagaimana?
Apa kau lebih senang bermain
hujan-hujanan
di situ daripada ngobrol bersamaku di
sini?"
goda Soma lagi.
Geraham
Pulasari berkerutuk menahan geram.
Tentu
saja ia tidak ingin bermain hujan-hujanan. Tapi
dalam
keadaan tertotok seperti itu, bagaimana mung-
kin
ia dapat berjalan ke pendopo?
"Soma! Benarkah
kau tidak membunuh Ayah
dan
saudara-saudara seperguruanku?" tanya Pulasari
tiba-tiba.
"Hm...!
Mendengar nada bicaramu, sepertinya
kau
mulai ragu-ragu, Pulasari. Aku senang sekali me-
lihat
perubahan mu. Dan lebih senang lagi, kalau kau
mau
jadi sahabatku."
"Cerewet!
Katakan saja! Kau pembunuh Ayah
dan
saudara-saudara seperguruanku atau tidak?!" po-
tong
Pulasari cepat.
"Lho...?
Tadi kan sudah aku bilang kalau aku
bukan
pembunuh Ayah dan saudara-saudara sepergu-
ruanmu?
Masa' kau tidak mendengar, sih?" kata Soma
diiringi
senyum nakal terukir di bibir.
Pulasari
mendengus kesal. Sepasang matanya
masih
menatap Soma penuh kebencian. Namun terus
terang,
kini dalam hatinya mulai ragu-ragu.
"Lantas
kalau bukan kau, siapa pembunuh
Ayah
dan saudara-saudara seperguruanku yang sebe-
narnya?"
"Tadi
aku kan sedang menyelidikinya. Tapi,
kaulah
yang membuat urusan jadi begini!" tukas Soma
enteng,
"Tapi ngomong-ngomong, apa kau sudah mulai
berobah
pikiran? Maksudku, apa kau sudah tidak lagi
menuduhku
sebagai pembunuh?"
"Tidak
segampang itu, tahu?!" sun gut Pulasari
kesal.
"Ya,
sudah! Tapi, setidak-tidaknya kau pasti
mau
jadi sahabatku."
Kening
Pulasari berkerut dalam. Namun tiba-
tiba
sepasang matanya berkilat-kilat gembira.
"Tidak
gampang, tahu! Ada syaratnya!" kata Pu-
lasari
tetap dengan suara ketus.
"Baik,
baik! Aku setuju. Siapa sih, yang tidak
mau
jadi sahabat seorang gadis cantik sepertimu? Ta-
pi,
syaratnya jangan berat-berat, ya!" sahut Soma
menggoda.
Meski
bicaranya masih ketus, tapi Soma dapat
melihat
kalau sepasang mata indah Pulasari tadi sem-
pat
berkilat-kilat penuh kegembiraan.
Melihat itu, si
pemuda
jadi agak curiga. Namun, sikap curiganya te-
tap
tidak ditunjukkan.
"Jadi,
kau mau menerima syarat ku, Kunyuk
Gondrong?"
lanjut Pulasari.
"Asal
kau tidak lagi menyebutku kunyuk gon-
drong,
aku pasti akan menyetujui syarat-syaratmu,"
sahut
Soma hati-hati.
"Baiklah,
Soma. Sekarang laksanakan syarat
ku
yang pertama!" ujar Pulasari.
"Apa?"
tanya Soma.
"Lepaskan
totokanku terlebih dahulu!"
"Tapi....
Tapi... kau tidak akan menyerangku la-
gi,
kan?" Soma ragu-ragu, namun cepat meloncat tu-
run.
Kini
Siluman Ular Putih berjalan mendekati Pu-
lasari.
Baru lima langkah, mendadak langkahnya ter-
henti.
Langsung dipandanginya Pulasari penuh curiga.
"Tidak,"
kata Pulasari.
"Janji,
ya?"
"Iya!"
Soma
tersenyum senang. Kembali ia berjalan
mendekati
Pulasari. Kemudian dengan sekali totok,
maka
pengaruh totokan di tubuh Pulasari pun punah.
"Nah!
Sekarang katakan, syarat yang kedua!"
ujar
Siluman Ular Putih.
Pulasari
tidak langsung menjawab. Sejenak se-
pasang
matanya terus perhatikan mayat ayahnya dan
kedelapan
orang saudara seperguruannya. Lalu seben-
tar
kemudian matanya merembang. Perlahan-lahan
butir-butir
air bening meluncur dari sudut-sudut ma-
tanya.
"Lho?
Kok, malah menangis? Apa syaratmu
hanya
itu?" tanya Soma.
Pulasari
melotot gusar.
"Sekarang,
lekas kau kubur mayat ayahku dan
kedelapan
orang saudara seperguruanku ini!" ujar Pu-
lasari
ketus.
"Sendiri?!"
Soma membelalakkan matanya le-
bar.
"Ya
sendiri!"
"Hm...!"
Soma garuk-garuk kepala. "Lalu, apa
syarat
yang ketiga?"
"Kau
harus mencari pembunuh Ayah dan sau-
dara-saudara
seperguruanku yang sebenarnya!"
"Baik,
baik. Tanpa diminta pun, aku pasti akan
membantumu!
Asal kau mau mencium mulutku dulu
seperti
yang kau katakan tadi!"
"Apa?!"
Emoticon