Ribuan
ular emas di dalam kubangan lo-
rong
bawah tanah Istana Ular Emas semakin
mendekati
Siluman Ular Putih dan Angkin Pem-
bawa
Maut. Malah ada beberapa ekor ular emas
yang
kembali menggigit kaki. Maka tanpa ampun
lagi
darah segar kembali mengucur, membuat kaki
terasa
nyeri bukan main.
Soma
dan Angkin Pembawa Maut meringis
menahan
sakit. Si gadis memejamkan matanya
rapat-rapat.
Kedua bibirnya kembali berkemik-
kemik
melantunkan tembang-tembang kesukaan-
nya
sewaktu masih kecil. Seolah-olah tidak dipe-
dulikannya
lagi gigitan-gigitan ular emas yang
mengerubungi
tubuh mereka. (Untuk mengetahui,
mengapa
Siluman Ular Putih dan Angkin Pembawa
Maut
berada dalam kobakan bawah tanah di Ista-
na
Ular Emas, baca episode: "Istana Ular Emas").
Kini
perlahan-lahan pemuda gondrong ber-
pakaian
rompi dan celana bersisik putih kepera-
kan
itu mulai mengeluarkan anak panah bercakra
kembar
yang merupakan senjata pusakanya un-
tuk
menghadapi serangan ular-ular emas di hada-
pannya.
Aneh sekali senjata andalan pemuda mu-
rid
Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu
itu.
Seperti namanya, senjata pusaka itu memang
berbentuk
anak panah. Pada bagian ujungnya
yang
melengkung ke atas berbentuk kepala ular.
Di
kanan kiri kepala ular itu terdapat dua buah
cakra
kembar terbuat dari lempengan baja murni.
Taringnya
yang mencuat lurus ke depan, terbuat
dari
besi baja putih murni. Mirip sebuah pisau.
Sedang
pada bagian badan anak panah yang ber-
bentuk
badan ular terdapat pula dua buah lubang
mirip
lubang suling.
Dan
hebatnya lagi, begitu senjata pusaka
itu
tergenggam di tangan Soma, mendadak saja
hawa
dingin yang bukan alang kepalang mulai
memenuhi
sekitarnya. Gadis cantik dengan ram-
but
terurai sebahu yang duduk di sampingnya
sempat
pula membuka kedua kelopak matanya.
Sekujur
tubuh seketika menggigil kedinginan!
"Senjata
apakah itu, Soma?" tanya Angkin
Pembawa
Maut dengan mata membelalak penuh
kagum.
Soma
tidak menyahut. Malah didekatkan-
nya
lubang-lubang senjata pusakanya yang mirip
lubang
suling ke dekat bibir. Dan mulai ia me-
niupnya.
Tulit...
tut... tut.... Tulit...!
Ternyata,
ular-ular emas itu kontan diam
terpaku
di tempatnya, tak lagi menyerang dua ca-
lon
korbannya. Malah mereka menggoyang-
goyangkan
kepala sambil melelet-leletkan lidah-
nya,
mengikuti suara lembut dari alunan senjata
di
tangan Soma!
Angkin
Pembawa Maut yang tadinya sudah
pasrah
dan putus asa terhadap serangan-
serangan
ular-ular emas tadi, kini seolah menda-
pat
semangat baru untuk menikmati hidup kem-
bali.
Dengan perlahan-lahan dihampirinya ular-
ular
emas itu. Kemudian satu persatu binatang
melata
yang terdiam itu ditangkap dan dibeset pe-
rutnya
untuk diambil hatinya yang berwarna hijau
tua,
lalu dimakannya.
Gadis
cantik itu tersenyum senang. Kepa-
lanya
sedikit berpaling ke arah Soma yang tengah
asyik
meniup senjata pusakanya. Setelah diperha-
tikan
sekian lama, Angkin Pembawa Maut telah
mendapat
satu cara untuk membagi sebagian dari
hati
ular emas itu di tangannya.
Ternyata
biar bagaimanapun pendeknya
alunan
lagu yang dimainkan, tetap saja Soma ha-
rus
menghela napasnya. Maka pas dalam keadaan
demikian,
Angkin Pembawa Maut cepat meman-
faatkan
waktu yang pendek itu untuk menjejalkan
hati
ular-ular emas itu ke mulut Soma.
Dan
untuk memakan hati ular emas yang
amis
itu memang bukanlah sesuatu yang mudah.
Apalagi,
Siluman Ular Putih tidak boleh menahan
alunan
merdu dari senjata pusaka di tangannya
terlalu
lama, agar ular-ular emas beringas itu ti-
dak
lagi menyerang.
Begitu
melihat Angkin Pembawa Maut me-
nyodorkan
hati ular emas di tangannya ke dekat
mulutnya,
Soma buru-buru menelannya. Sehing-
ga,
ia hanya sebentar saja kehilangan waktu un-
tuk
meniup senjata anehnya kembali.
Maka
dalam waktu yang tidak lama, kedua
anak
muda itu pun telah memakan banyak hati
ular
emas. Dan dengan sendirinya tenaga dalam
Angkin
Pembawa Maut mulai pulih seperti sedia-
kala.
Malah tenaga dalamnya terasa bertambah
beberapa
kali lipat. Sementara perlahan-lahan
Soma
merasakan totokan Bunda Kurawa di pung-
gungnya
pun mulai punah. Sehingga, tubuh ba-
gian
bawahnya dapat digerakkan dengan leluasa!
"Angkin!
Aku mulai dapat menggerakkan
bagian
bawah tubuhku!" sorak Soma, girang bu-
kan
main.
"Benarkah?"
sahut gadis cantik itu dengan
mata
berbinar. "Aku..., aku sendiri rasa-rasanya
juga
sudah dapat menggunakan kepandaianku la-
gi
berkat hati ular emas ini, Soma."
"Ah...!
Kalau begitu sebaiknya cepat ting-
galkan
tempat terkutuk ini! Aku sudah muak me-
lihat
bangkai-bangkai ular ini. Hayo, lekas,
Ang-
kin!"
ajak Siluman Ular Putih.
"Baik!
Baik! Tapi, sebaiknya kau terus me-
niup
senjata aneh mu agar ular-ular emas itu
ti-
dak
lagi menyerang!" usul Angkin Pembawa Maut.
"Tapi...
tapi, sebaiknya lewat sebelah mana,
Angkin?
Jangan-jangan di luar sana Bunda Kura-
wa
dan murid-muridnya sudah menunggu keda-
tangan
kita?" tukas Soma cemas.
"Hm...,
ya! Aku mengerti. Tapi, sebaiknya
cepat
keluar dari kubangan maut ini terlebih da-
hulu,
Soma!"
"Baik"
Tanpa
banyak cakap lagi, Siluman Ular Pu-
tih
dan Angkin Pembawa Maut segera menjejakkan
kedua
kakinya dengan menggunakan ilmu merin-
gankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi.
Tubuh mereka kontan melayang, dan ak-
hirnya
mendarat di bibir kubangan.
Sejenak
Soma melongokkan kepalanya ke
bawah. Pemuda ini langsung bergidik ngeri. Dili-
hatnya
di bawah kubangan sana berpuluh-puluh
ular
emas yang mati terbeset perutnya kini tengah
menjadi
santapan kawan-kawannya.
"Soma!
Lekas kita tinggalkan tempat ini!"
ajak
Angkin Pembawa Maut, sedikit berteriak.
Kepala
Soma terangguk-angguk. Senjata
pusakanya
yang masih tergenggam di tangan ka-
nan
buru-buru diselipkan ke pinggang. Kemudian
dengan
mengikuti langkah Angkin Pembawa Maut,
Siluman
Ular Putih segera melangkah lebar.
Begitu
Angkin Pembawa Maut membuka
pintu
batu di hadapannya, maka tampaklah se-
buah
lorong kecil yang entah menembus ke mana.
Namun
gadis itu terus meneruskan langkahnya
masuk
ke dalam lorong.
Keadaan
lorong memang cukup gelap. Le-
barnya
pun hanya cukup untuk seorang. Angkin
Pembawa
Maut tahu kalau, itulah satu-satunya ja-
lan
tembus menuju halaman belakang Istana Ular
Emas.
"Sebenarnya
lorong ini akan tembus ke
mana,
Angkin?" tanya Soma ingin tahu.
"Sebentar
lagi kita akan sampai di halaman
belakang
Istana Ular Emas ini."
"Hm...,
begitu," sahut pemuda gondrong di
belakang
Angkin Pembawa maut.
Angkin
Pembawa Maut terus saja menyu-
suri
lorong. Dan akhirnya samar-samar mereka
melihat
tampak seberkas cahaya dari balik sebuah
lubang
di kejauhan sana. Dengan perasaan se-
nang
bukan main, si gadis mempercepat langkah-
nya
menuju cahaya samar-samar di depannya.
Selang
beberapa saat, kedua anak muda
itu
pun sampai di depan sebuah mulut lorong
yang
tembus di halaman belakang Istana Ular
Emas.
Tanpa banyak pikir panjang lagi mereka
pun
bergegas keluar. Namun baru saja menjejak-
kan
kakinya di luar lorong, mendadak....
"Hebat!
Hebat! Tak kusangka kalian dapat
lolos
dari Ular-Ular Emasku. Tapi, jangan harap
kalian
dapat keluar dari Istana Ular Emas ini den-
gan
selamat! Bersiaplah menerima kematian ka-
lian
hari ini!"
***
Soma
dan Angkin Pembawa Maut terkejut
bukan
main ketika tahu-tahu telah berlompatan
beberapa
sosok tubuh ramping berpakaian kuning
keemasan.
Orang yang menegur barusan adalah
seorang
perempuan cantik berusia kira-kira lima
puluh
lima tahun. Meski demikian, wajahnya ma-
sih
tetap kelihatan cantik seperti baru berusia tiga
puluh
tahun saja. Kulit wajahnya putih bersih.
Sepasang
matanya tajam. Hidungnya mancung.
Bibirnya
tipis berwarna merah. Rambutnya yang
hitam
panjang digelung ke atas. Sedang tubuh
tinggi
semampainya dibalut dengan pakaian indah
terbuat
dari sutera berwarna kuning keemasan.
Dan
kini perempuan cantik yang tidak lain Bunda
Kurawa
berdiri tegak di antara beberapa orang
muridnya.
Lagaknya bak seorang ratu yang ingin
mengadili
bawahannya.
"Bunda!
Buat apa menghadang kami? Toh,
di
antara kita sudah tidak ada hubungan guru dan
murid!"
seru Angkin Pembawa Maut, bernada
khawatir.
Sehabis
berkata begitu Angkin Pembawa
Maut
pun segera mendekatkan kepalanya ke telin-
ga
Soma.
"Cepat
tinggalkan tempat ini, Soma! Jan-
gan
hiraukan aku!" ujar si gadis.
Soma
tersenyum nakal seraya menggaruk-
garuk
kepala.
"Mendengar
gertak sambal cecurut tua itu,
mengapa
mesti takut, Angkin? Justru seharusnya
kau
bersyukur dapat keluar dari kubangan manu-
sia
berhati ular macam nenek-nenek cantik itu,
Angkin!"
Merah
padam wajah Bunda Kurawa men-
dengar
ejekan si pemuda. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak
pertanda wanita cantik pemilik Istana
Ular
Emas itu tak dapat lagi mengendalikan ama-
rahnya.
"Kematian
sudah di depan mata masih bisa
jual
lagak di depanku!" dengus Bunda Kurawa sa-
rat
ancaman.
Tangan
kanan wanita ini segera memberi
isyarat
pada beberapa orang muridnya untuk se-
gera
menyerang Soma dan Angkin Pembawa Maut.
Maka
seketika tidak kurang dari dua puluh orang
murid
Istana Ular Emas segera melolos pedang di
pinggang,
langsung menyerang Soma dan Angkin
Pembawa
Maut.
"Dasar
Manusia Pengecut! Manusia Berhati
Ular!
Beraninya main keroyokan lewat tangan mu-
rid-muridnya.
Memalukan sekali! Memalukan!
Tampangnya
saja yang sok alim. Padahal hatinya
lebih
busuk daripada perampok tengik sekalipun!"
rutuk
Soma seraya berkelebat cepat di antara gu-
lungan-gulungan
pedang yang menyerangnya.
Namun
anehnya Bunda Kurawa yang licik
tidak
ikut menyerang Soma. Ia malah menyerang
hebat
pada Angkin Pembawa Maut. Tentu saja ga-
dis
cantik yang mulai jatuh hati pada Siluman
Ular
Putin kewalahan bukan main menghadapi se-
rangan-serangan
bekas gurunya. Meski kesak-
tiannya
telah pulih seperti sediakala, dan bahkan
tenaga
dalamnya bertambah beberapa kali lipat,
tetap
saja berada di bawah angin.
Melihat
itu Soma geram bukan main. Na-
mun,
ia sendiri juga tidak mudah untuk keluar
dari
gempuran murid-murid Istana Ular Emas.
Maka
segera dikeluarkannya jurus sakti
'Terjangan
Maut Ular Putih'. Tangan kirinya yang
sudah
menjadi putih terang siap pula melancar-
kan
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Sedang tan-
gan
kanannya yang berwarna merah menyala su-
dah
terangkum pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.
"Menyingkir
kalian semua! Aku tidak ada
urusan
dengan kalian!" bentak Soma.
Beberapa
orang murid Istana Ular Emas
yang
mengeroyok Siluman Ular Putih mana mau
menuruti
perintah itu? Malah mereka semakin
memperhebat
serangan. Dan ini tentu saja mem-
buat
Siluman Ular Putih jadi geram bukan main.
Padahal
ia ingin secepatnya membantu Angkin
Pembawa
Maut dalam menghadapi Bunda Kurawa!
"Baik!
Baik! Kalau begitu kalian memang
tidak
tahu diuntung. Nih, makanlah jari-jari tan-
ganku!"
Saat
itu juga Soma mendorongkan telapak
tangan
kirinya ke depan. Seketika itu juga berke-
lebat
seleret sinar putih terang yang diiringi berke-
siurnya
hawa dingin ke arah murid-murid Istana
Ular
Emas.
"Hip!"
Beberapa
orang murid Istana Ular Emas
cepat
menggabungkan tenaga dalam. Dan bersa-
maan
tangan mereka menghentak.
Wesss!
Seleret
sinar kuning berbau amis bukan
kepalang
meluruk cepat, memapaki seleret sinar
putih
terang dari telapak tangan kiri Siluman Ular
Putih.
Lalu....
Blaaarrr...!
Terdengar
letusan hebat di udara saat ter-
jadi
benturan dua buah kekuatan. Siluman Ular
Putih
terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Darah
segar langsung membasahi sudut-sudut bi-
birnya.
Sementara beberapa orang murid Istana
Ular
Emas terpental laksana daun kering tertiup
angin.
Bunda
Kurawa geram bukan main. Untuk
menjalankan
rencana liciknya, tokoh dari Istana
Ular
Emas ini segera mengeluarkan jurus-jurus
saktinya.
Kedua tangannya yang telah berubah
menjadi
kuning sampai ke pangkal, cepat bergerak
ke
depan.
Splassh...!
Maka
tampaklah sinar kuning keemasan
dari
kedua telapak tangan Bunda Kurawa, melu-
ruk
ke tubuh Angkin Pembawa Maut itulah puku-
lan
sakti 'Ular Emas' yang telah dilatihnya selama
lebih
dari dua puluh tahun.
Angkin
Pembawa Maut cepat mengempos
tubuhnya,
meloncat tinggi ke udara menghindari
serangan
sehingga sinar kuning keemasan yang
menebarkan
bau amis itu terus meluruk ke bela-
kang.
Dan....
Blaarrr...!
Dinding-dinding
batu cadas yang terkena
pukulan
sakti 'Ular Emas' kontan hancur berkep-
ing-keping.
Bumi bergetar bagai ada gempa. Po-
hon-pohon
berkesiur, terkena angin sambarannya.
Sementara
itu begitu serangannya hanya
mengenai
dinding-dinding batu cadas, Bunda Ku-
rawa
pun berkelebat cepat bukan main. Jari-jari
tangannya
telah terkembang, siap menghantam
beberapa
jalan darah di tubuh lawannya.
Angkin
Pembawa Maut terkesiap dengan
paras
pucat pasi. Ia sangat tahu jurus apa yang
tengah
dikeluarkan bekas gurunya yang tidak lain
dari
jurus sakti 'Ular Emas Menggusur Bulan'.
Dan
belum sempat dia berbuat sesuatu tahu-tahu
totokan
jari tangan Bunda Kurawa telah mendarat
telak
di punggungnya.
Tukkk!
Seketika
itu juga tubuh Angkin Pembawa
Maut
limbung dan ambruk di tanah. Tubuhnya
yang
terkena totokan tadi tak dapat digerakkan la-
gi!
Begitu
mendarat, Bunda Kurawa cepat
menjambak
rambut Angkin Pembawa Maut. Se-
hingga,
tubuh gadis itu terangkat tinggi-tinggi
dengan
mulut meringis kesakitan.
"Hentikan
pertempuran!" bentak Bunda
Kurawa.
Siluman
Ular Putih kaget bukan alang ke-
palang
melihat Angkin Pembawa Maut tertawan
oleh
Bunda Kurawa. Geram bukan main hatinya.
Tak
mungkin ia dapat menolong Angkin Pembawa
Maut
selain menggeram penuh kemarahan.
"Manusia
culas! Lepaskan Angkin! Siapa
pun
juga tidak boleh mengganggu Angkin!" bentak
Soma,
sarat kemarahan.
"Keparat!
Kedudukanmu saat ini tidak pan-
tas
memerintah, Bocah! Akulah yang berkuasa di
tempat
ini. Dan, aku pulalah yang berhak meng-
hukum
murid bejat ku ini! Mau kubunuh sekali-
pun
kamu mau apa?!" dengus Bunda Kurawa.
Memang,
bagaimanapun, wanita ini merasa
jerih
menghadapi pemuda sakti yang bergelar Si-
luman
Ular Putih sehingga tidak berani mengang-
gap
enteng. Apalagi ia dan muridnya pernah diha-
jar
oleh pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu kemarin malam.
"Demi
Tuhan! Kalau kau berani menyentuh
gadis
itu seujung rambut pun, akan ku obrak-
abrik
istanamu!" teriak Siluman Ular Putih penuh
kemarahan.
"Sebelum
kau melaksanakan niatmu, kepa-
la
gadismu ini akan kuhancurkan terlebih dahulu.
Apa
kau tidak sayang melihat gadismu yang cantik
ini
mati dalam usia muda?" tukas Bunda Kurawa,
tak
kalah gertak. Tangan kanannya yang terkepal
erat-erat
siap meremukkan batok kepala Angkin
Pembawa
Maut.
Soma
menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat.
Se sepasang mata birunya terus mencorong
memandangi
Bunda Kurawa penuh kemarahan.
"Jangan
hiraukan aku, Soma! Lekas ting-
galkan
tempat ini! Aku..., aku pasti akan me...,
menyertaimu.
Mungkin di hari penitisan kita nan-
ti.
Lekas tinggalkan tempat ini, Soma! Aku..., aku
me...
menyayangi mu...."
Soma
menggeleng-gelengkan kepala lemah.
Hatinya
trenyuh mendengar ucapan gadis cantik
itu.
Maka diam-diam pun mulai dikerahkannya
kekuatan
batin!
"Bunda
Kurawa! Apa kau masih memban-
del
tidak mau melepaskan Angkin Pembawa Maut?
Apa
kau lupa kalau murid yang tengah kau ancam
adalah
murid kesayangan mu?" bentak Soma den-
gan
suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan
pikiran
Bunda Kurawa.
Wanita
setengah baya ini terkesiap kaget
dengan
mata terbelalak liar. Sebentar dipandan-
ginya
pemuda gondrong di hadapannya. Sebentar
kemudian
pandangannya beralih pada Angkin
Pembawa
Maut dalam cengkeraman tangannya.
Pegangan
tangannya pun mulai mengendur. Ke-
dua
lututnya goyah. Namun hal itu hanya seben-
tar.
Karena ternyata, Bunda Kurawa pun memang
ahli
dalam ilmu sihir. Maka buru-buru kekuatan
sihirnya
dikerahkan.
"Kunyuk
gondrong! Rupanya kau pintar ju-
ga
bermain sulap! Jangan dikira aku tidak dapat
memunahkan
ilmu sihir mu, Bocah?" bentak Bun-
da
Kurawa berusaha mematahkan kekuatan sihir
Siluman
Ular Putih. "Sekarang kalau ingin gadis-
mu
yang cantik ini selamat, sebaiknya turuti saja
kata-kataku!
Aku ada sedikit tawaran menarik un-
tukmu."
"Tawaran?
Tawaran apa?!" tukas murid
Eyang
Begawan Kamasetyo, sengit
"Mudah.
Mudah sekali. Coba kau perhati-
kan
lembah di balik bukit depan sana baik-baik!"
Soma
menuruti apa yang diucapkan Bunda
Kurawa.
Memang, di balik keremangan malam ter-
lihat
sebuah lembah luas tertutup bukit kecil. Lalu
dengan
perasaan bingung Siluman Ular Putih
kembali
berpaling ke arah Bunda Kurawa.
"Itulah
yang dinamakan Lembah Kodok Pe-
rak,"
tunjuk Bunda Kurawa, sebelum Soma angkat
bicara.
"Salah satu penghalang utamaku untuk
menguasai
dunia persilatan adalah Tiga Jenggot,
Empat
Brewok dan Tujuh Kumis yang tinggal di
lembah
itu. Terus terang, mereka adalah orang-
orang
yang paling ditakuti golongan kami. Maka,
kalau
belum mampu menundukkan orang-orang
Lembah
Kodok Perak, kami golongan Ular Emas
belum
merasa puas. Dan untuk menundukkan
mereka,
tidak ada pilihan lain. Aku harus mencari
orang
gagah untuk mencuri Kitab Kodok Perak
Sakti.
Setelah kami dapat mempelajarinya baru
kami
dapat menundukkan mereka."
Soma
hanya tertawa dingin sambil mengga-
ruk-garuk
kepalanya.
"Buat
apa kau jelaskan hal itu padaku ka-
lau
akhirnya aku tidak sudi menuruti tawaran gi-
lamu
ini?" katanya kalem.
Bunda
Kurawa tersenyum licik.
"Pemuda
sontoloyo! Aku tidak yakin kalau
kau
sebagai seorang pendekar gagah yang berotak
cerdas
belum mengerti maksud kata-kataku tadi.
Terus
terang saja kukatakan padamu. Kalau kau
masih
menginginkan gadismu ini selamat, pergilah
ke
Lembah Kodok Perak untuk mencuri Kitab Ko-
dok
Perak Sakti. Kalau kau keberatan, jangan ha-
rap
dapat melihat Angkin lagi. Kau paham, Bo-
cah?"
"Jangkrik
buntung! Apa dari sekian banyak
muridmu
yang cantik ini salah satu tidak ada yang
berani
masuk ke dalam Lembah Kodok Perak?
Mengapa
malah menyuruhku?"
"Jangan
banyak tanya lagi, Bocah! Jika di
antara
golongan kami ada yang mempunyai ke-
pandaian
untuk mengambilnya, buat apa menyu-
ruhmu
lagi? Aku hanya menginginkan jawabanmu
saja.
Kau mau pergi ke Lembah Kodok Perak atau
tidak?
Dan tentunya kau tahu, keselamatan ga-
dismu
ini hanya tergantung dari jawabanmu kali
ini!"
Soma
menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat.
Hampir saja amarahnya, tidak dapat diken-
dalikan
kalau tidak mengingat akan keselamatan
Angkin
Pembawa Maut. Walau hatinya panas ingin
menghajar
Bunda Kurawa dan murid-muridnya,
namun
tetap saja tidak berdaya.
"Bocah
tolol! Mengapa kau tidak lekas ting-
galkan
tempat ini? Apa kau ingin melihat kepala
gadismu
yang cantik ini hancur, he?!" bentak
Bunda
Kurawa penuh kelicikan.
Tangan
kanan Bunda Kurawa yang sudah
berubah
menjadi kuning keemasan kembali me-
nodong
di atas ubun-ubun kepala Angkin Pemba-
wa
Maut. Sekali gerak saja, jangankan batok kepa-
la
manusia, batu sebesar gajah pun akan hancur
berkeping-keping
terkena pukulan 'Ular Emas'
Bunda
Kurawa!
Siluman
Ular Putih bingung bukan main.
Kalau
menurutkan perasaan, pemuda ini ingin
mengamuk
saja. Namun bila mengingat keselama-
tan
Angkin Pembawa Maut, Soma harus berpikir
lebih
panjang lagi. Bagaimanapun juga, keselama-
tan
gadis itu sangat dikhawatirkannya.
"Jangan
kau turuti kata-kata manusia
sundal
ini, Soma! Sebaiknya cepat tinggalkan
tempat
ini! Jangan hiraukan aku lagi! Cepatlah,
Soma!
Aku mohon! Demi Tuhan aku mohon, So-
ma!
Aku... aku me... menyayangi mu...,"
tangis
Angkin
Pembawa Maut memelaskan.
Soma
menggeleng-geleng. Hatinya trenyuh
bukan
main
"Tidak,
Angkin! Kau tenang-tenang sajalah
di
sini Angkin. Doakan saja aku dapat mencuri ki-
tab
yang diinginkan wanita itu!" ujar
Soma, lalu
kembali
menatap Bunda Kurawa. "Hm.... Apa ja-
minan
mu kalau ternyata kau tidak menepati
omongan
mu, Bunda Kurawa?"
"Maksudmu?"
"Kalau
aku dapat mencuri Kitab Kodok Pe-
rak
Sakti, apa kau masih menawan Angkin Pem-
bawa
Maut?"
Bunda
Kurawa tersenyum penuh keme-
nangan.
Sepasang matanya yang jeli jelas menam-
pakkan
kelicikannya. Soma mengeluh. Ia tahu,
apa
arti sorot mala wanita cantik di hadapannya.
"Jangan
khawatir! Aku pasti akan menepati
kata-kataku.
Murid-muridkulah saksinya," tegas
Bunda
Kurawa.
"Baik.
Kali ini terpaksa aku pegang omon-
gan
mu, Bunda Kurawa. Tapi kalau sampai tidak
menepati
janji, jangan salahkan kalau aku terpak-
sa
mengobrak-abrik istanamu itu. Termasuk, se-
mua
penghuninya. Selamat tinggal, Angkin! Jaga-
lah
dirimu baik-baik!"
Sehabis
berkata begitu, Siluman Ular Putih
segera
berkelebat cepat. Angkin Pembawa Maut
yang
melihat kesanggupan Soma mencuri Kitab
Kodok
Perak Sakti hanya mencucurkan air ma-
tanya,
tak kuasa berbuat apa-apa, kecuali mende-
sah
lirih.
"Ba...
Baik, Soma. Kudoakan agar kau ber-
hasil
mencuri Kitab Kodok Perak Sakti...."
Dan
karena saking tidak tahannya mena-
han
perasaan hatinya, gadis cantik itu pun menu-
rut
saja ketika salah seorang kakak seperguruan-
nya
menyeretnya ke dalam kamar tahanan!
***
2
Langit
angkasa raya masih kelam. Cahaya
bulan
dan kerlip berjuta bintang tampak tertutup
awan
tebal, membuat suasana makin dikuasai ke-
gelapan.
Dari
balik kegelapan malam Siluman Ular
Putih
terus berlari cepat keluar dari halaman Ista-
na
Ular Emas. Hanya dalam beberapa jejakan ka-
ki, pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
itu pun telah sampai di pinggir parit lebar
berisi
ribuan ular emas. Sejenak kepalanya diga-
ruk-garuk.
Matanya jelalatan mencari-cari akal
bagaimana
cara melompat keluar dari parit di ha-
dapannya.
Dan mendadak, pandang matanya ter-
tumbuk
pada serumpun pohon bambu tak jauh
dari
tempatnya berdiri.
"Ah...!
Mengapa aku tidak menggunakan
pohon
bambu itu untuk menyeberang seperti yang
telah
dilakukan orang tua pendek berkulit hitam
legam
tempo hari?" desah Soma seraya menepuk
jidatnya
sendiri.
Orang
tua pendek berkulit hitam legam
yang
dimaksudkan pemuda gondrong itu tidak
lain
dari Ki Sorogompo yang telah diselamatkan
dari
tiang gantungan kemarin siang.
Maka
sehabis berkata begitu Soma lantas
berlari
mendekati rumpun pohon bambu di de-
pannya.
Dan dengan menggunakan telapak tangan
kanannya,
segera dirobohkannya sebatang pohon
bambu
di depannya.
Krakkk...!
Terdengar
suara berderak dari batang po-
hon
bambu yang terkena pukulan telapak tangan
Soma.
Dan batang pohon bambu itu pun jatuh
meliuk
ke seberang parit. Soma sedikit mendorong
ke
samping agar batang pohon bambu jatuh tepat
di
atas tanggul seberang parit.
Kemudian
dengan sedikit mengerahkan il-
mu
meringankan tubuhnya, Siluman Ular Putih
segera
meniti batang pohon bambu itu. Dan se-
bentar
saja, kedua kakinya mendarat mulus di
tanggul
seberang tanpa menimbulkan sedikit sua-
ra
pun!
Sesampainya
di tanggul seberang, Soma
bukannya
langsung berkelebat meninggalkan
Lembah
Kuripan melainkan memperhatikan seje-
nak
gedung Istana Ular Emas dengan hati cemas.
"Jangan
khawatir, Angkin! Tenang-
tenanglah
di situ! Aku akan berusaha mengambil
Kitab
Kodok Perak Sakti di Lembah Kodok Perak
dan
kembali lagi ke Istana Ular Emas," bisiknya.
Baru
kemudian, Soma kembali berkelebat
meninggalkan
Lembah Kuripan. Gerakan kedua
kakinya
tampak aneh sekali, seperti orang berjalan
biasa.
Namun dalam beberapa kejapan mata saja,
bayangan
tubuhnya telah lenyap di antara kegela-
pan
malam!
***
Siang
itu matahari terasa panas memang-
gang
bumi. Tanah merah tampak pecah berpetak-
petak
seperti tak kuasa menahan sinar matahari
di
musim kemarau panjang. Rumput-rumput liar
meranggas
mati. Ranting-ranting pohon jati gun-
dul.
Daun-daunnya rontok berserakan di bawah-
nya.
Di
bawah terik sinar matahari yang me-
manggang
bumi, tampak dari arah barat seorang
pemuda
berpakaian putih keperakan tengah berla-
ri
kencang melalui jalan setapak di pinggiran hu-
tan
jati. Gerakannya ringan sekali. Laksana seekor
capung,
pemuda berambut gondrong yang tidak
lain
Soma alias Siluman Ular Putih terus melesat
ke
timur, menuju Lembah Kodok Perak. Dan
anehnya
kala kedua kakinya menjejak tanah, de-
bu-debu
di sepanjang jalan setapak tidak beter-
bangan!
Demikian pula daun-daun jati kering yang
terpijak
kakinya pun tidak menimbulkan suara
sedikit
pun. Jelas, ilmu meringankan tubuh pe-
muda
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah
mencapai
tingkat tinggi.
Trangng!
"Heaaa...!"
Namun
ketika pemuda itu sampai di se-
buah
pengkolan di luar hutan jati, mendadak te-
linganya
yang tajam mendengar dentingan senjata
beradu
dan bentakan garang beberapa orang. Se-
ketika
lari cepatnya dihentikan. Telinganya sema-
kin
dipertajam. Dan ternyata memang benar. Sua-
ra-suara
bentakan dan berdentingannya senjata
beradu
itu datangnya dari sebelah kanan, di luar
hutan
pohon jati.
"Rupanya
di luar hutan sana sedang ada
pertarungan.
Coba kulihat sebentar," gumam So-
ma
dalam hati.
Kedua
kaki si pemuda pun kembali berge-
rak
aneh, menuju luar hutan jati sebelah kanan.
Gerakan
kedua kakinya memang seperti orang
berjalan
biasa. Namun anehnya dalam waktu yang
tidak
lama, ia telah sampai di sebuah tanggul di
luar
hutan pohon jati.
Cring!
Cring!
Soma
terkesiap kaget. Sepasang mata bi-
runya
terbelalak lebar. Di bawah lampingan tem-
patnya
berpijak tampak seorang gadis cantik ber-
pakaian
putih-putih tengah bertarung melawan ti-
ga
orang laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan
sepasang
pedang putih tergenggam di tangan. Ju-
rus-jurus
yang dimainkan gadis cantik itu aneh
sekali.
Belum lagi gulungan-gulungan rambutnya
yang
tak kalah ganas dibanding sepasang pedang
di
tangannya. Namun meski telah mengeluarkan
jurus-jurus
andalannya, tetap saja keadaannya
terdesak
hebat. Bahkan beberapa kali ruyung baja
di
tangan salah seorang pengeroyoknya hampir sa-
ja
mengenai tubuhnya.
"Ah...!
Bukankah gadis cantik itu Aryani,
Putri
tunggal Lowo Kuru alias Pendekar Kelelawar
Putih?!"
gumam Soma kaget bukan main ketika
mengenali
gadis cantik itu. "Ah, iya?! Mengapa aku
jadi
lupa begini? Dan sepasang pedang putih itu
pasti
Pedang Kelelawar Putih. Yah! Aku tidak
mungkin
pangling dengan sepasang pedang sakti
itu.
Juga, gadis cantik pemiliknya itu!"
Soma
tidak sempat berpikir panjang lagi.
Melihat
gadis cantik yang ternyata Aryani putri
Lowo
Kuru dalam bahaya itu, tubuhnya segera
berkelebat
turun. Kedua telapak tangannya yang
telah
berubah menjadi putih terang hingga sampai
ke
pangkal siap melancarkan pukulan sakti
'Tenaga
Inti Bumi'!
"Sungguh
tidak tahu malu! Cecurut-
cecurut
tua bau tanah beraninya main keroyok.
Jangan
khawatir, Aryani! Aku datang membantu-
mu!"
Kedua
telapak tangan Soma yang sudah
berubah
menjadi putih terang hingga sampai ke
pangkal
cepat menghentak ke arah ketiga orang
pengeroyok
Aryani.
Wesss!
Sebelum
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'
Siluman
Ular Putih mengenai sasaran didahului
pula
oleh angin dingin yang meluruk cepat ke arah
tiga
orang pengeroyok Aryani!
Ketiga
orang itu terkesiap kaget. Buru-buru
mereka
lemparkan tubuh ke kanan dan kiri,
menghindari
serangan Soma.
"Terima
kasih, Siluman Ular Putih. Tak ku-
sangka
kita akan bertemu di sini," ucap Aryani,
berbinar-binar
matanya melihat kehadiran Silu-
man
Ular Putih. Semangatnya yang semula ciut
menghadapi
ketiga orang pengeroyoknya, kini
kembali
berkobar-kobar.
"Aryani!
Mengapa kau kelayapan sampai
kemari?
Apa kau ini kurang kerjaan, he? Mengapa
kau
tinggalkan perguruanmu yang masih kocar-
kacir?!"
tegur Soma alis Siluman Ular Putih.
"Kau
selalu begitu! Setiap bertemu aku
pasti
marah-marah! Hayo, sekarang bantu aku
mencincang
Tiga Setan Ruyung Baja ini dulu!
Awas,
jangan sampai lolos! Nanti baru ku jelaskan,
mengapa
aku bentrok dengan ketiga kecoak tua
ini,"
kata Aryani bersungut-sungut.
"Baik!
Tapi harus ada imbalannya!"
"Apa?"
"Kau
harus mau mencarikan kutu ram-
butku!"
seloroh Soma.
"Ah...!
Kau ini...! Dalam keadaan seperti ini
saja
masih sempat bercanda! Hayo, lekas bantu
aku
menghajar tiga kecoak tua ini!"
"Baik"
Aryani
langsung mengempos tenaganya.
Tubuhnya
berkelebat cepat begitu melihat tiga la-
wannya
yang berjuluk Tiga Setan Ruyung Baja te-
lah
bangkit berdiri. Sepasang Pedang Kelelawar
Putih
warisan Lowo Kuru telah pula diputar-putar
sedemikian
rupa, seolah menciptakan pertahanan
yang
kokoh.
Sementara
Soma telah pula berkelebat,
membantu
serangan.
"Hm...!
Jadi, kalian tiga monyet tua yang
bergelar
Tiga Setan Ruyung Baja? Ah.... Tapi aku
melihat
kalian hanyalah sebagai tiga orang pemain
ketoprak
kesasar," ejek Soma sambil menyerang.
"Setan
Alas! Jaga bacotmu, Bocah Edan!
Huh!
Rupanya kau belum tahu, sedang berhada-
pan
dengan siapa, he?!" bentak satu dari Tiga Se-
tan
Ruyung Baja yang berkumis melintang. "Aku,
Ki
Gagak Ireng, tak segan-segan melenyapkan
orang
yang sok usil. Dua temanku Ki Jlampring
dan
Ki Suketpitu adalah dua orang beringas yang
haus
darah!"
"Wah
wah...! Gertakan mu boleh juga, mo-
nyet
berkumis, Bocah Edan!" teriak lelaki berku-
mis
itu penuh kemarahan.
Ruyung
baja di tangan kanan si kumis pun
cepat
menyerang murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Bersamaan itu, kedua orang temannya
mengalihkan
perhatian dari Aryani. Mereka lang-
sung
menyerang ganas Siluman Ular Putih.
Sambil
tersenyum nakal, Soma mulai men-
gerahkan
jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular
Putih'.
Telapak tangan kanannya pun mulai beru-
bah
merah menyala penuh pukulan sakti 'Tenaga
Inti
Api'. Sedang tangan kirinya yang telah beru-
bah
menjadi putih terang telah disiapi pukulan
sakti
'Tenaga Inti Bumi'.
"Ciaaat...!"
Dalam
sekejapan saja, Soma telah mener-
jang
Tiga Setan Ruyung Baja. Belum lagi amukan
Aryani
alias Bidadari Kecil. Dengan jurus-jurus
'Sumur
Kematian' serta gulungan-gulungan ram-
butnya
yang tak kalah hebat dengan sepasang pe-
dang
putih di tangan, si gadis pun langsung bantu
menyerang
ketiga orang musuhnya.
Kali
ini Tiga Setan Ruyung Baja benar-
benar
kewalahan. Apalagi ketika tadi mendengar
kalau
pemuda gondrong yang membantu Aryani
adalah
Siluman Ular Putih. Dari sini mereka tahu
kalau
pemuda itu adalah seorang pendekar muda
yang
akhir-akhir ini menggemparkan dunia persi-
latan.
Akibatnya, nyali ketiga orang tokoh sesat
dari
Gunung Tidar itu mulai ciut. Sepasang mata
mereka
mulai mencari-cari kesempatan untuk me-
larikan
diri.
"Jangan
biarkan ketiga kecoak tua ini ka-
bur,
Soma! Mereka harus membayar kontan atas
nyawa
lima orang murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih
yang mereka bantai!" teriak Aryani geram.
"Oh
begitu...," sahut Siluman Ular Putih
masih
diiringi senyum nakalnya.
Kedua
telapak tangan Soma yang memben-
tuk
kepala ular terus mendesak hebat musuh-
musuhnya.
Beberapa kali patukan-patukan tan-
gannya
hampir saja meremukkan tubuh Tiga Se-
tan
Ruyung Baja.
Namun,
rupanya kepandaian ketiga tokoh
sesat
ini boleh juga. Dengan menggunakan ruyung
baja,
berkali-kali mereka mampu mementahkan
serangan
Siluman Ular Putih. Namun sayangnya,
mereka
belum mampu balas serangan
Menyadari
serangannya belum memperoleh
hasil,
Aryani jadi geram sekali. Gerakan pedang-
nya
semakin dipercepat. Gulungan-gulungan ram-
butnya
yang mendadak berubah kaku laksana ba-
ja
hitam tak henti-hentinya mendesak musuhnya.
Wesss!
Wesss!
Bahkan
tebasan-tebasan pedang di tangan
si
gadis pun bagaikan tidak putus-putusnya men-
cari
sasaran di tubuh lelaki yang dikenal sebagai
Ki
Jlampring.
Wutt!
Wuttt!
Ki
Jlampring cepat memutar ruyung ba-
janya
memapak serangan Aryani. Sekali ruyung
bajanya
berkelit di antara gulungan-gulungan
rambut
dan tebasan-tebasan pedang gadis cantik
itu.
Saat
itu pula Aryani menambah tenaga da-
lamnya.
Sekali menggerakkan pedang di tangan
kanannya....
Tak!
"Huk?!"
Ruyung
baja di tangan Ki Jlampring pun
terpental!
Lelaki ini terkejut bukan main. Bahkan
telapak
tangan kanannya terasa panas, pertanda
tenaga
dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-
wah
lawannya. Dan belum sempat ruyung bajanya
yang
terpental digerakkan ke belakang, tahu-tahu
gulungan
hitam rambut Aryani kembali mengan-
cam
batok kepalanya!
Wuuttt...!
Paras
Ki Jlampring jadi pucat pasi. Tak
mungkin
serangan Aryani dihindari. Ia hanya
sempat
melihat gulungan rambut Aryani yang ke-
ras
laksana gulungan baja hitam sebelum akhir-
nya....
Prakkk!
"Aaakh...!"
Gulungan
rambut hitam Aryani tepat men-
darat
di batok kepala Ki Jlampring. Tanpa ampun
lagi
kepala salah satu tokoh sesat dari Gunung Ti-
dar
itu remuk. Darah merah beserta otaknya seke-
tika
berhamburan. Sepasang matanya membeliak
liar,
sebelum akhirnya jatuh berkelojotan ke tanah
dan
tidak bergerak-gerak lagi!
"Heaaat...!"
Sehabis
menghabisi nyawa salah seorang
Tiga
Setan Ruyung Baja, Aryani kembali berkele-
bat
menerjang salah seorang pengeroyok Siluman
Ular
Putih. Sementara Soma tampak tidak begitu
bernafsu
menghadapi kedua orang musuhnya. Ka-
lau
saja pemuda gondrong itu mau bukan musta-
hil
sudah dari tadi nyawa mereka melayang.
Melihat
hal ini Aryani sangat geram. Ia
yang
memang bermaksud menghabisi tiga orang
yang
telah mengacau di perguruan Kelelawar Pu-
tih,
jadi tidak dapat mengendalikan amarahnya la-
gi.
Tebasan-tebasan pedangnya dan gulungan-
gulungan
rambut hitamnya makin bergerak meng-
giriskan.
Dan....
Cras!
Prakkk!
"Aaa...!"
Hanya
dalam waktu kurang dari tiga jurus,
dua
orang dari Tiga Setan Ruyung Baja pun am-
bruk
ke tanah dengan batok kepala remuk!
***
"Hei?
Kau kesurupan setan sawah, ya?
Mengapa
kejam sekali membantai mereka?" tegur
Siluman
Ular Putih, kurang senang melihat kebe-
ringasan
Aryani.
"Jangan
banyak cincong, Soma! Hutang
nyawa
harus dibayar nyawa! Ketiga kecoak tua ini
telah
membantai lima orang murid Perguruan Ke-
lelawar
Putih. Aku sebagai ketua Perguruan Kele-
lawar
Putih merasa terhina sekali. Dan penghi-
naan
itu harus ditebus!" bentak Aryani galak.
Soma
berdecak-decak ngeri melihat kega-
nasan
Aryani. Sebentar mata birunya memperha-
tikan
ketiga mayat yang bergelimpangan di tanah,
lalu
beralih pada Aryani dengan sinar mata heran.
"Aku
heran, mengapa sedikit pun kau tidak
mempunyai
rasa welas asih, Aryani?! Kalau saja
ayahmu
tahu apa yang telah kau perbuat di sini,
tentu
akan marah," cetus Siluman Ular Putih.
Aryani
tidak mempedulikan ocehan Soma,
kecuali
hanya membesut darah yang membasahi
sepasang
pedangnya pada baju hitam salah seo-
rang
musuhnya. Lalu dimasukkannya sepasang
Pedang
Kelelawar Putih kembali ke sarungnya.
"Sebenarnya
kenapa kau jadi demikian ke-
ji?"
tegur Siluman Ular Putih lagi.
"Aku
jengkel. Jengkel sekali! Juga padamu
yang
cerewet! Kalau saja kau bukan temanku, su-
dah
pasti kuremukkan batok kepalamu!" jawab
Aryani
ketus.
Sekali
lagi Soma berdecak-decak heran. La-
lu
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimanapun
juga kau tidak bol..."
"Jangan
cerewet!" potong Aryani, "Justru di
samping
aku mengejar musuh-musuh Perguruan
Kelelawar
Putih, aku ada sedikit kabar buruk un-
tukmu!
Tapi, kau malah cerewet seperti nenek-
nenek
kehilangan sirih!"
"Hey...?
Kabar buruk apa, Aryani?" tanya
Soma
heran.
"Makanya
jangan cerewet!" sentak Aryani
lagi,
masih menampakkan kejengkelannya. "Du-
duklah
dulu!"
"Hm...."
Soma
mengangkat kedua bahunya, seraya
tersenyum
kecut. Lalu tanpa banyak cakap lagi,
pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo
itu pun meletakkan pantatnya di rerumpu-
tan
kering.
Aryani
pun segera meletakkan pantatnya di
depan
Soma. Wajahnya masih menampakkan ke-
kesalan
hatinya.
"Kau
sedang dikejar-kejar banyak tokoh
sakti
dunia persilatan!" kata Aryani, membuat
Soma
terbeliak kaget.
"Hey....
Ada urusan apa denganku? Menga-
pa
mereka mengejar-ngejarku?" tukas si pemuda.
"Entahlah!
Tapi yang pasti, Teratai Emas-
lah
yang telah membujuk mereka sehingga mau
membantu.
Meski Istana Ular Emas dimusuhi ba-
nyak
tokoh sakti dunia persilatan, terutama sekali
dari
golongan putih, namun diam-diam Teratai
Emas
mempunyai hubungan yang baik dengan li-
ma
ketua partai ternama. Bukan saja perguruan
Tengkorak
Serigala dan Ular Merah yang sudah
dapat
dibujuknya, bahkan tiga partai lainnya pun
juga
sudah siap membantu. Hati-hatilah kalau
kau
bertemu mereka nanti! Sekarang sampai di
sini
dulu keteranganku. Karena masih ada urusan
lain,
terpaksa aku tidak dapat membantu. Selamat
tinggal!"
jelas Aryani.
Aryani
cepat melompat bangun. Dan seke-
tika
tubuhnya sudah berkelebat meninggalkan Si-
luman
Ular Putih.
Soma
menggaruk-garuk kepala. Sepasang
mata
birunya tak henti-hentinya memperhatikan
bayangan
putih di hadapannya hingga menghilang
di
sebuah tikungan. Lalu dengan perasaan masih
dibalut
kebingungan, pemuda berambut gondrong
itu
cepat melompat bangun.
"Ah...!
Aku sendiri juga menyesal tidak da-
pat
membantumu, Aryani" gumam Soma dalam
hati,
sebelum akhirnya berkelebat cepat menuju
Lembah
Kodok Perak.
***
3
Di
kaki langit sebelah timur, matahari me-
mantulkan
sinar merah jingganya. Ayam jantan
liar
mengumandangkan kokoknya yang gagah,
menyapa
hari di pagi muda. Gumpalan awan putih
laksana
kapas berarak-arak di cakrawala. Semen-
tara,
tiupan angin bebukitan terasa semakin me-
nambah
indahnya pagi ini.
Jauh
di luar pinggiran hutan jati, tampak
berkelebat
cepat sesosok bayangan merah darah
menuju
sebuah gubuk yang terletak di pinggir ja-
lan.
Gubuk yang ala kadarnya itu biasa dijadikan
tempat
bersinggah para pencari kayu bakar mau-
pun
para pemburu bila kemalaman. Ukurannya
tidak
terlalu besar. Paling hanya pas untuk tidur
empat
atau lima orang. Tiang-tiang penyangganya
terbuat
dari batang-batang kayu. Atapnya terbuat
dari
rumput-rumput kering yang ditata sedemi-
kian
rupa.
Begitu
berhenti berkelebat di depan gubuk,
bayangan
merah yang ternyata seorang lelaki ting-
gi
tegap berpakaian merah darah itu mengedarkan
pandangannya.
Wajahnya menegang. Rahangnya
bertonjolan.
Rambutnya gondrong sebatas bahu.
Keningnya
diikat oleh kain berwarna merah.
Usianya
kira-kira lima puluh tahun.
Dari
sikapnya, lelaki setengah baya ini
tampak
gelisah sekali. Lalu sepasang matanya
memperhatikan
ke dalam gubuk.
"Jahanam!
Rupanya mereka belum da-
tang!"
desis orang bertubuh tinggi besar itu tak
sabar.
Lelaki
itu masih berdiri tegak di depan gu-
buk.
Keningnya berkerut-kerut. Lalu dengan ra-
hang
menggembung penuh kemarahan, kakinya
melangkah
mendekati gubuk, pantatnya langsung
dihenyakkan
di depan, dan duduk menunggu. Ke-
palanya
sesekali melongok ke kanan kiri jalan,
namun
apa yang diharapkan belum juga nampak.
Selang
beberapa saat, dari arah timur tam-
pak
berkelebat sesosok bayangan hitam menuju
ke
gubuk. Sementara jauh di sebelah selatan,
tampak
pula dua sosok bayangan berpakaian kun-
ing
tengah berkelebat melewati pematang sawah.
Arahnya
juga menuju ke arah gubuk.
"Bedebah!
Akhirnya mereka datang juga!"
dengus
lelaki berpakaian merah darah di dekat
gubuk
masih menunjukkan kejengkelan.
"Ha
ha ha...! Rupanya Iblis Kelabang Merah
paling
getol dengan urusan macam begini. Mana
teman-teman
yang lain?"
Sebuah
suara berisi tenaga dalam tinggi
terdengar
kasar, memenuhi lataran tandus pinggi-
ran
hutan jati. Dan belum hilang gaungnya, tahu-
tahu
di depan lelaki tua bertubuh tinggi
besar
yang
bergelar Iblis Kelabang Merah berdiri satu
sosok
lelaki berpakaian serba hitam. Gerakan ke-
dua
kakinya ringan sekali! Sama sekali tidak me-
nimbulkan
suara saat menjejak tanah kering di
depan
gubuk. Jelas ilmu meringankan tubuhnya
sudah
mencapai tingkat tinggi!
Wajah
lelaki berpakaian hitam-hitam yang
kini
tegak di hadapan Iblis Kelabang Merah itu ti-
rus.
Rambutnya gondrong awut-awutan. Sepasang
matanya
mencorong tajam, pertanda tenaga da-
lamnya
sudah mencapai tingkat tinggi! Usianya ki-
ra-kira
empat puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi
kurus.
Di tangan kanannya tergenggam senjata
toya
berwarna hitam. Dan sesuai senjata di tan-
gan,
ia adalah Ketua Perguruan Toya Hitam. Nama
aslinya
jarang sekali diketahui orang. Tapi di du-
nia
persilatan, siapa yang tak kenal dengan Raja
Toya?!
Mendengar
ucapan Raja Toya yang berpe-
rangai
kasar, Iblis Kelabang Merah hanya menge-
rutkan
jidatnya. Sepasang matanya yang memerah
terus
terpaku pada sosok tinggi kurus di hada-
pannya.
"Nada
bicaramu sungguh memerahkan te-
lingaku,
Raja Toya! Kalau saja kau bukan kawan-
ku,
sudah pasti ular-ular merahku kusuruh
menggerogoti
tubuh kurus keringmu!" desis Iblis
Kelabang
Merah, sengit.
Entah
kapan mengambilnya, tahu-tahu di
tangan
kanan Iblis Kelabang Merah telah tergeng-
gam
dua ekor ular merah sebesar ibu jari tangan
manusia
dewasa!
"Ha
ha ha...! Kau pikir aku takut mengha-
dapi
ular-ular merahmu, he?!" dengus Raja Toya
tak
kalah sengit. "Tapi, mengapa kau hanya sendi-
rian?
Mana teman-teman lainnya?"
Iblis
Kelabang Merah mendengus.
"Hm....
Rupanya telingamu sudah budek.
Sehingga
kedatangan Julung Pucut dan Julung
Kencono
tidak terdengar?"
Mata
Raja Toya melotot gusar. Namun ke-
tika
mendengar langkah-langkah halus di bela-
kangnya,
kepalanya segera berpaling ke belakang.
Pada
saat yang sama, di hadapan Raja
Toya
dan Iblis Kelabang Merah telah berdiri dua
sosok
laki-laki berjubah kuning. Baik bentuk tu-
buh,
paras maupun rambut mereka yang gon-
drong
dikuncir ke belakang benar-benar sulit di-
bedakan.
Hanya nama sajalah yang membedakan
orang
kembar ini. Mereka masing-masing bernama
Ki
Julung Pucut dan Julung Kencono. Tapi mereka
lebih
terkenal sebagai Sepasang Iblis Kembar Dari
Gunung
Srandil!
"Apa
kalian sudah lama di sini?" tanya
yang
bernama Ki Julung Pucut, kalem saja.
"Pakai
tanya segala!" jawab Iblis Kelabang
Merah
geram. "Aku sudah hampir karatan, tahu?!"
"Lantas,
mengapa si cantik Teratai Emas
tidak
muncul kemari?" timpal Ki Julung Kencono
heran.
Raja
Toya dan Iblis Kelabang Merah hanya
mendengus
seraya mengangkat kedua bahu.
"Kalian
ini cerewet amat! Apa kalian juga
ingin
ikut-ikutan membantu Teratai Emas mem-
bantai
pendekar muda yang bergelar Siluman Ular
Putih?!"
sentak Iblis Kelabang Merah."
"Apa
kalian pikir, hanya kalian saja yang
mampu
membantai Siluman Ular Putih?" sergah
Ki
Julung Pucut ketus.
"Sudahlah!
Mengapa kalian jadi bersitegang
begini?!"
lerai Raja Toya.
"Pokoknya
sekarang tunggu saja Teratai
Emas!
Kalau misalnya wanita cantik itu tidak
muncul,
terpaksa kita harus mencari pem... "
"Auuungng...!"
Belum
sempat Raja Toya menyelesaikan
ucapannya,
mendadak mereka dikejutkan oleh su-
ara
auman serigala yang entah dari mana datang-
nya.
Begitu keras sehingga memenuhi dataran
tandus
di luar hutan jati. Agaknya suara auman
itu
dialiri tenaga dalam tingkat tinggi!
Tanpa
diketahui mereka, tahu-tahu tak
jauh
dari tempat itu telah berdiri seorang laki-laki
bertubuh
kurus kering. Saking kurusnya, mem-
buat
sosoknya yang berbalut kain putih menyeru-
pai
tengkorak! Wajahnya tirus kepucatan dengan
tulang-tulang
pipi bertonjolan. Hidungnya kecil
melesak
ke dalam. Sepasang matanya mencorong,
menyembunyikan
kekejaman luar biasa. Meski
demikian,
sepasang matanya yang mencorong itu
jelas
berisi tenaga dalam tinggi sekali! Lebih dari
itu,
ilmu meringankan tubuhnya pun sudah men-
capai
tingkat yang sulit sekali diukur! Buktinya
saja,
kedatangannya sampai saat ini tidak diketa-
hui
keempat orang yang sejak tadi ada di sini.
"Benar!
Aku setuju dengan pendapat Raja
Toya.
Kalau memang Teratai Emas tidak muncul
kemari,
tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa harus
mencari
pemuda itu," cetus sosok kurus kering
berbalut
kain putih yang langsung menyerobot
pembicaraan.
Bukan
main kagetnya keempat orang itu.
Mereka
semua tidak menyangka kalau sang em-
punya
suara auman itu telah berada di bela-
kangnya.
Sebab suara auman itu tadi seperti ter-
dengar
jauh di depan sana! Maka seketika itu juga
keempat
orang itu segera berpaling ke belakang.
"Te...
Tengkorak Serigala!" sebut keempat
orang
itu hampir berbarengan. Sepasang mata me-
reka
pun terbelalak lebar, seolah tidak percaya
dengan
apa yang dilihat.
Sosok
bertubuh kurus kering itu memang
berjuluk
Tengkorak Serigala. Ia adalah salah seo-
rang
tokoh sesat yang sangat ditakuti di dunia
persilatan
saat itu. Dan melihat kekagetan keem-
pat
orang kawannya, Tengkorak Serigala hanya
mengangguk-anggukkan
angkuh. Sedang tongkat
putih
berkepala tengkorak serigala di tangan ka-
nannya
diketuk-ketukkan ke tanah. Meski hanya
mengetuk-ngetuk
perlahan seperti orang main-
main,
namun akibatnya membuat tanah di seki-
tarnya
bergetar hebat!
Lagi-lagi
keempat orang itu terkesiap kaget.
Namun
Iblis Kelabang Merah yang berperangai ka-
sar
cepat dapat menyembunyikan kekagetannya.
"Setan
alas! Kau terlalu berlagak di hada-
panku,
Tengkorak Serigala?! Apa kau pikir aku ta-
kut
dengan nama besarmu, he?! Orang lain boleh
takut
padamu. Tapi aku, jangan dikira takut
menghadapimu!"
bentaknya, garang.
Tengkorak
Serigala tersenyum dingin. Se-
pasang
matanya yang mencorong tampak semakin
mengerikan.
Agaknya tokoh sesat yang konon be-
rasal
dari Lembah Kematian itu tak dapat lagi
mengendalikan
amarahnya.
"Rupanya
kau mempunyai nyawa rangkap,
Iblis
Kelabang Merah! Apa kau belum pernah me-
rasakan
Tongkat Serigalaku?!" desis Tengkorak
Serigala.
Tangan kanannya yang memegang tong-
kat
putih berkepala tengkorak serigala siap dige-
rakkan
untuk menyerang Iblis Kelabang Merah.
"Heh...?"
Namun
belum sempat tokoh sesat dari
Lembah
Kematian itu bertindak, mendadak tong-
kat
putihnya tidak dapat digerakkan! Begitu ma-
tanya
melirik, ternyata tongkat putihnya menem-
pel
di toya milik Raja Toya!
"Edan!"
Tengkorak
Serigala gusar bukan main. Se-
pasang
matanya yang mencorong itu kini menatap
Raja
Toya penuh kemarahan. Sedang tangan ki-
rinya
siap pula melancarkan pukulan maut ke da-
da
lelaki bersenjata toya itu.
"Sabar,
Tengkorak Serigala! Coba perhati-
kan
baik-baik pemuda gendeng di sana itu! Jan-
gan-jangan,
pemuda itulah yang dimaksudkan Te-
ratai
Emas," bisik Raja Toya seraya menunjukkan
ujung
toyanya ke arah yang dimaksudkan.
"Hm..,,"
gumam Tengkorak Serigala, tak je-
las.
Tangan
kirinya yang siap melancarkan pu-
kulan
maut ke dada Raja Toya terhenti di udara.
Sedang
matanya yang mencorong kini mengikuti
ke
arah mana ujung toya itu ditujukan
Dan
ternyata memang benar. Di ujung ja-
lan
berdebu sana, tampak seorang pemuda gon-
drong
berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih
keperakan tengah jalan lenggang kangkung
seenaknya
tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
Dan
sembari terus bersiul-siul kecil, pemuda yang
memiliki
rajahan kecil bergambar ular putih di da-
danya
itu terus melangkah di jalan berdebu, tepat
di
depan kelima orang tokoh sesat ini.
"Hm...!
Menilik ciri-ciri yang telah dicerita-
kan
Teratai Emas, pasti pemuda sinting itulah
yang
bergelar Siluman Ular Putih. Coba perhati-
kan
baik-baik!" bisik Iblis Kelabang Merah.
"Heran!
Apa dunia sekarang ini sudah ter-
balik?
Biasanya hanya perempuan saja yang suka
kasak-kusuk.
Tapi, kenapa sekarang laki-laki juga
ikut-ikutan
latah seperti perempuan? Heran! He-
ran...,"
celoteh pemuda gondrong itu, entah ditu-
jukan
pada siapa.
Kelima
orang tokoh sesat itu terkesiap. Me-
reka
tidak menyangka kalau kasak-kusuk barusan
terdengar
pemuda gondrong di hadapannya. Lebih
dari
itu, mereka itu merasa tersindir dengan apa
yang
diucapkan si pemuda.
"Bocah
sinting! Hentikan langkahmu!" ben-
tak
Iblis Kelabang Merah gusar.
"Eh
eh eh...! Ada apa ini? Mengapa kau
menyuruhku
berhenti, Orang Tua?" sahut pemuda
gondrong
yang tidak lain Soma alias Siluman Ular
Putih,
pura-pura terkejut. Dan begitu langkahnya
terhenti,
sepasang matanya terus memperhatikan
kelima
orang tokoh sesat di hadapannya heran.
"Jangan
berlagak pilon! Apa maksud uca-
panmu
barusan, he?!" bentak Iblis Kelabang Me-
rah
garang.
"Lho...?
Kenapa kalian jadi uring-uringan
begini?
Tadi samar-samar kudengar pada kasak-
kusuk
beberapa ekor nyamuk hutan? Apakah sa-
lah
kalau aku menanggapinya?" tukas Soma see-
nak
dengkul.
Bukan
main marahnya kelima orang tokoh
sesat
itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa ter-
sindir
dikatakan sebagai nyamuk hutan.
"Jaga
mulutmu, Bocah Edan! Apa kau be-
lum
tahu berhadapan dengan siapa, he?.'" bentak
Iblis
Kelabang Merah garang.
"Heh...!"
Disertai
dengusan menggetarkan, Iblis Ke-
labang
Merah menjejakkan kakinya ke tanah. Dan
tahu-tahu,
tubuh tinggi besarnya telah mendarat
di
hadapan Soma. Sementara keempat orang to-
koh
sesat yang sebenarnya memang sedang men-
cari-cari
Siluman Ular Putih tak mau ketinggalan.
Sebentar
saja, mereka telah mengurung Soma?
Sedangkan
Soma bersiul-siul kecil. Sebelah
tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Setan
Alas! Kau berani bertindak ayal-
ayalan
di hadapan kami, he?! Apa kau sudah bo-
san
hidup?!" Lagi-lagi Iblis Kelabang Merah yang
berperangi
kasar itu membentak Soma garang.
"Sungguh
aku tak mengerti. Sebenarnya
apa
sih yang kalian inginkan? Apa kalian mengin-
ginkan
harta? Kalau memang iya, sungguh sayang
kalian
salah mengincar mangsa. Aku bukanlah
orang
kaya. Memang, paman ku dulu juragan sa-
pi.
Kaya lagi. Tapi sayang, semua hartanya ludes
diganyang
perampok. Dan menurut keterangan
paman
ku, wajah-wajah rampok itu mirip kalian!"
celoteh
Soma makin jadi.
"Kunyuk
gondrong! Sebutkan namamu se-
belum
aku mencabut nyawa busukmu!" bentak Ki
Julung
Pucut, tak dapat lagi mengendalikan ama-
rahnya.
"Kau
menanyakan siapa aku, Orang Tua?
Aku,
ya aku. Mengapa kalian meributkan siapa
aku?
Toh, aku sendiri juga tidak meributkan siapa
aku."
"Setan
Alas! Makanlah kelabang-kelabang
merahku.
Kunyuk Gondrong!" bentak Iblis Kela-
bang
Merah gusar bukan main. Tangan kanannya
cepat
menyusup ke saku bajunya mengambil dua
ekor
kelabang merah. Namun belum sempat tan-
gannya
bergerak kembali....
"Tunggu,
Iblis Kelabang Merah!" cegah Raja
Toya.
"Kunyuk gondrong ini memang layak menja-
di
santapan kelabang-kelabang merahmu. Tapi
menilik
ciri-cirinya, dialah yang bergelar Siluman
Ular
Putih."
Raja
Toya sejenak memalingkan kepalanya
ke
arah Soma.
"Hey,
Bocah! Kaukah Bocah gendeng yang
bergelar
Siluman Ular Putih itu?"
"Ah...!
Kalian ini selalu saja meributkan
aku.
Sebenarnya, ada apa kalian mencari-cari Si-
luman
Ular Putih?"
"Atas
permintaan seseorang, kami berlima
memang
ingin membalas sakit hati sahabat kami.
Bahkan
kalau perlu, melenyapkan Siluman Ular
Putih
dari muka bumi ini! Nah agar kami tak salah
menjatuhkan
tangan, kau sendiri siapa sebenar-
nya?
Mengapa tidak berani menyebutkan nama-
mu?"
Soma
tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak
ke atas dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Disebutkan
juga tidak akan ada artinya.
Karena
memang akulah orang yang kalian cari-
cari!"
"Sudah
kuduga!" terabas Tengkorak Seriga-
la.
"Kalau
sudah menduga, lantas mengapa
mesti
buang-buang waktu?" timpal Iblis Kelabang
Merah.
"Mari, kita cincang bocah edan ini ramai-
ramai!
Heaa...!"
Disertai
teriakan merobek angkasa, Iblis
Kelabang
Merah pun mendahului kawan-
kawannya
menyerang Siluman Ular Putih. Tangan
kanannya
yang masih memegang dua ekor kela-
bang
merah cepat bergerak ke depan. Paling tidak
agar
kelabang-kelabang merah itu lebih leluasa
mematuk
tubuh musuhnya. Sedang tangan ki-
rinya
siap pula mencengkeram dada Siluman Ular
Putih.
"Hiaaattt...!"
Melihat
Iblis Kelabang Merah telah berge-
rak
mendahului, keempat tokoh sesat lainnya pun
tidak
mau ketinggalan. Seperti orang berlomba,
masing-masing
segera menyerang hebat Siluman
Ular
Putih. Meski belum bisa mengukur kepan-
daian
si pemuda namun keempat tokoh sesat itu
sudah
langsung menyerang dengan senjata! Teng-
korak
Serigala menyerang dengan tongkat putih
berkepala
tengkorak serigala. Raja Toya mengan-
dalkan
senjatanya yang berupa toya hitam. Sedang
Sepasang
Iblis Kembar Dari Gunung Srandil me-
nyerang
dari arah belakang dengan senjata ber-
bentuk
cemeti panjang berekor sembilan!
Hebat
bukan main serangan-serangan me-
reka.
Laksana banjir bandang yang memporak-
porandakan
apa saja, tubuh Siluman Ular Putih
seperti
terhimpit lima kekuatan dahsyat dari lima
jurusan!
Bukan mustahil kalau dalam satu gebra-
kan
saja, tubuh pemuda gondrong murid Eyang
Begawan
Kamasetyo itu akan jadi korban.
Tentu
saja Siluman Ular Putih tidak meng-
hendaki
hal demikian. Melihat serangan-serangan
kelima
orang pengeroyoknya, tidak tanggung-
tanggung
langsung dikeluarkan jurus-jurus sak-
tinya
'Terjangan Maut Ular Putih'. Tangan kanan-
nya
telah berubah menjadi merah menyala penuh
pukulan
sakti 'Tenaga Inti Api'. Sedang tangan ki-
rinya
yang telah berubah menjadi putih terang
hingga
ke pangkal lengan, penuh pukulan sakti
'Tenaga
Inti Bumi'.
"Hyaaatt...!"
Siluman
Ular Putih membentak nyaring,
sebelum
kedua tangannya bergerak cepat di anta-
ra
gulungan senjata-senjata lawannya. Namun ti-
dak
seperti dugaan mereka, pemuda itu bukannya
menyerang
ketiga pengeroyok yang ada di depan-
nya,
melainkan menyerang Sepasang Iblis Kembar
Dari
Gunung Srandil. Dengan sekali putar tubuh-
nya,
tahu-tahu kedua telapak tangannya yang
membentuk
kepala ular telah mengancam dada
kedua
lelaki kembar di belakangnya.
"Heh...?!"
Sepasang
Iblis Kembar Dari Gunung Sran-
dil
terkesiap kaget, tidak menyangka akan menjadi
serangan
pertama Siluman Ular Putih. Dan dalam
jarak
yang demikian dekat, tentu saja cemeti pan-
jang
di tangan mereka jadi kehilangan ruang ge-
rak!
Dan belum sempat salah seorang memapak
serangan,
patukan kedua telapak tangan Siluman
Ular
Putih telah mendarat telak di dada kedua Ib-
lis
Kembar Dari Gunung Srandil.
Tukkk!
Tukkk!
"Aaakhh...!"
Kedua
lelaki kembar itu memekik nyaring.
Dada
mereka yang terkena patukan tangan Silu-
man
Ular Putih terasa mau jebol!
Meski
demikian lelaki kembar yang berna-
ma
Ki Julung Pucut tidak sampai terpental seperti
adiknya.
Begitu tubuhnya tersentak ke belakang,
kontan
cemeti berekor sembilannya digerakkan
dari
atas ke bawah. Dia bermaksud menotok sem-
bilan
jalan darah kematian di tubuh Siluman Ular
Putih.
"Uts...!Sial...!
"
Siluman
Ular Putih terkesiap kaget. Ia ti-
dak
mengira akan mendapat serangan balik demi-
kian
hebatnya. Belum lagi serangan-serangan ke-
tiga
orang pengeroyok lain yang datang dari bela-
kang.
Tanpa banyak membuang waktu pemuda ini
cepat
membuang tubuhnya ke belakang. Na-
mun....
Ctarrr!
"Aaakh...!"
Sayang,
meski Siluman Ular Putih telah
melempar
tubuhnya demikian rupa, tetap saja da-
danya
terkena lecutan cemeti berekor sembilan di
tangan
Ki Julung Pucut! Bahkan tongkat putih mi-
lik
Tengkorak Serigala pun mendarat telak di da-
danya.
Bukk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kembali
Siluman Ular Putih memekik ter-
tahan.
Tanpa ampun lagi, tubuhnya jatuh bergul-
ing-gulingan
ke samping. Wajahnya pucat pasi.
Darah
segar tampak membasahi sudut-sudut bi-
birnya.
Sedang iganya yang terkena sodokan tong-
kat
tadi terasa mau remuk! Belum lagi lecutan
cemeti
berekor sembilan di tangan Ki Julung Pu-
cut
yang terasa perih bukan main.
Siluman
Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya
penuh kemarahan. Dan karena tidak da-
pat
mengendalikan amarahnya, mendadak rambut
kepalanya
telah berubah menjadi ratusan ular pu-
tih
liar dengan kepala terangkat tinggi-tinggi!
"Heh...?!"
Kelima
orang tokoh sesat yang mengeroyok
Siluman
Ular Putih terkesiap kaget. Sepasang ma-
ta
mereka membeliak liar. Apa yang terlihat benar-
benar
mengerikan. Dan sejenak pula, mereka
menghentikan
serangan.
"Hup!"
Tentu
saja kesempatan itu tidak disia-
siakan
Siluman Ular Putih untuk segera meloncat
bangun.
Sembari meloncat demikian, cepat senjata
andalannya
yang berupa Anak Panah Bercakra
Kembar
dikeluarkan. Maka seketika itu juga, hawa
dingin
yang bukan kepalang telah memenuhi tem-
pat
itu!
Lagi-lagi
kelima orang pengeroyok Siluman
Ular
Putih terkesiap kaget. Sepasang mata mereka
memandang
penuh kagum pada senjata aneh di
tangan
si pemuda. Segera mereka mengerahkan
tenaga
dalam untuk mengusir hawa dingin yang
ditebarkan senjata aneh di tangan Siluman Ular
Putih.
"Hebat!
Kau memang pantas mendapat ju-
lukan
Siluman Ular Putih, Bocah! Tapi sayang,
nama
besarmu akan tamat hari ini!" kata Raja
Toya,
membuyarkan kekagetan keempat teman-
nya.
"Ah...!
Kalian selalu saja meributkan aku.
Sampai
soal kematian pun, kalian tetap saja meri-
butkannya.
Heran! Heran! Apa tidak ada kerjaan
lain
selain meributkanku?!" kata Soma alias Silu-
man
Ular Putin seenak perutnya.
"Jahanam!
Buat apa bicara panjang lebar
dengan
bocah sinting ini?! Mari, sebaiknya cincang
bocah
sinting ini ramai-ramai!" geram Ki Julung
Kencono
penuh kemarahan.
Sehabis
berkata begitu, Ki Julung Kencono
yang
tadi sempat merasakan kehebatan patukan
tangan
Siluman Ular Putih cepat menggerakkan
cemeti
berekor sembilannya. Arah serangannya
adalah
beberapa jalan darah kematian di tubuh
pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo!
Siluman
Ular Putih tersenyum kecut. Ia
sadar,
untuk mengatasi keroyokan kelima orang
tokoh
sesat yang berkepandaian tinggi itu bukan-
lah
satu hal yang mudah. Namun, bagaimanapun
juga
pemuda ini tetap tidak mau lari meninggal-
kan
arena pertarungan. Padahal, bahaya maut
menghadang
di depan mata!
"Hip!"
Begitu
melihat serangan Ki Julung Kenco-
no,
Siluman Ular Putih yang cepat mengeluarkan
jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Tangan
kanannya yang memegang senjata pusaka
itu
terlihat semakin berubah menjadi merah me-
nyala!
Sedang tangan kirinya pun makin putih te-
rang
menyilaukan mata.
"Heaaa...!"
Disertai
teriakan garang, Soma mendo-
rongkan
telapak tangan kanannya yang penuh
pukulan
sakti 'Tenaga Inti Api' ke depan. Maka,
seketika
itu senjata anak panah di tangan kanan-
nya
melesat cepat ke depan. Bersamaan dengan
itu,
seleret sinar merah menyala dari telapak tan-
gan
kanannya, terus menerabas dada Ki Julung
Kencono.
Sedang tangan kirinya yang telah meru-
bah
menjadi putih terang menyilaukan mata, su-
dah
menghentak ke depan. Dilepaskannya puku-
lan
saktinya 'Tenaga Inti Bumi' ke arah Tengkorak
Serigala
dan Raja Toya!
Wesss!
Wesss!
Hebat
bukan main serangan-serangan Si-
luman
Ular Putih kali ini! Ki Julung Kencono men-
geluarkan
keringat dingin. Ia tidak sempat lagi
berpikir
bagaimana harus menyerang musuh mu-
danya,
kalau ingin selamat.
"Hup!"
Maka
begitu melihat serangan-serangan Si-
luman
Ular Putih yang demikian hebatnya, Ki Ju-
lung
Kencono pun cepat melempar tubuhnya ke
samping.
Sehingga, seleret sinar merah menyala
dari
telapak tangan Siluman Ular Putih hanya
mengenai
tempat kosong.
Namun,
alangkah terkejutnya Ki Julung
Kencono
ketika melihat senjata anak panah itu ti-
ba-tiba
membelok cepat dan kembali menyerang
dirinya!
Sama, sekali tidak disangka kalau senjata
pusaka
itu akan melesat demikian rupa! Maka
tanpa
ampun lagi....
Clep!
"Aughhh....!
Dada
kanan Ki Julung Kencono kontan ter-
tancap
mata pisau di ujung kepala senjata aneh
itu,
tanpa dapat berkelit sedikit pun. Ia memekik
setinggi
langit. Matanya membeliak lebar. Tangan
kanannya
mendekap senjata pusaka itu dan men-
cabutnya.
Namun begitu senjata aneh itu tercabut
keluar
dari dada, tubuh tinggi kekarnya ambruk
ke
tanah, tak dapat bergerak-gerak lagi. Mati.
"Jahanam!
Kau membunuh kembaran ku,
Bocah!"
pekik Ki Julung Pucut penuh kemarahan.
Sejenak
matanya membeliak liar meman-
dangi
saudara kembarnya.
Kemudian
dengan kemarahan meluap, Ki
Julung
Pucut pun segera menerjang Siluman Ular
Putih
garang!
Siluman
Ular Putih yang tengah kewalahan
menghadapi
serangan begitu pukulan sakti
'Tenaga
Inti Bumi' dapat dimentahkan Tengkorak
Serigala
dan Raja Toya dengan mudah, kini makin
kewalahan
setelah Ki Julung Pucut ikut mener-
jang.
Meski telah mengerahkan jurus-jurus maut
'Terjangan
Maut Ular Putih', tetap saja belum
mampu
menghadapi gempuran-gempuran keem-
pat
orang pengeroyoknya. Untung saja tadi senjata
pusakanya
sempat dipungut kembali dari tangan
Ki
Julung Kencono, sehingga dapat digunakan un-
tuk
menghadapi gempuran-gempuran keempat
orang
pengeroyoknya.
Namun,
bagaimanapun juga keempat orang
pengeroyoknya
itu bukanlah tokoh-tokoh semba-
rangan.
Maka dalam sepuluh jurus kemudian, Si-
luman
Ular Putih benar-benar berada di bawah
angin.
Jangankan untuk membalas. Untuk meng-
hindar
saja, rasanya tidak sanggup! Bahkan tak
jarang
pula sekujur tubuhnya terkena hantaman-
hantaman
senjata di tangan para pengeroyoknya!
Keadaan
ini tentu saja sangat membahaya-
kan
bagi keselamatan Siluman Ular Putih. Kalau
saja
dibiarkan barang beberapa jurus lagi, bukan
mustahil
pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo
itu tewas. Namun di saat yang paling genting
bagi
keselamatan Siluman Ular Putih, mendadak
berkelebat
berpuluh-puluh sinar kuning keemasan
ke
arah empat orang pengeroyok Siluman Ular Pu-
tih!
Bukan
main kagetnya hati keempat orang
pengeroyok
Siluman Ular Putih. Seketika itu juga
mereka
menghentikan serangan, dan sibuk me-
nangkis
sinar kuning keemasan yang menyerang
sekujur
tubuh mereka.
Werrr!
Werrr!
Cring!
Cring!
Sekali
lagi, keempat orang pengeroyok Si-
luman
Ular Putih terpekik kaget. Ternyata sinar
kuning
keemasan itu tidak lain adalah jarum-
jarum
emas!
"Mengapa
kalian memusuhi kami! Bukan-
kah
kalian semua murid Istana Ular Emas?!"
***
4
Empat
pasang mata para pengeroyok Silu-
man
Ular Putih terbeliak liar. Kini di belakang pe-
muda
sakti itu telah berdiri tegak lima orang gadis
cantik
berpakaian kuning keemasan. Mereka itu-
lah
yang tadi menyerang dengan jarum-jarum
emas
ke arah empat tokoh sesat itu.
"Kami
tidak bermaksud memusuhi kalian
tapi
hanya ingin melindungi pemuda itu untuk
beberapa
saat," jelas salah seorang gadis yang pal-
ing
cantik, dingin
Gadis
cantik itu kira-kira berusia dua pu-
luh
dua tahun. Rambutnya panjang dibiarkan ter-
gerai
di bahu. Sepasang matanya jeli. Hidungnya
tipis.
Bibirnya pun tipis dengan bentuk dagu runc-
ing.
Sedang tubuhnya yang tinggi ramping terbalut
pakaian
ketat warna kuning keemasan
"Setan
Cantik! Kau bicara terlalu berbelit-
belit.
Bukankah kalian berlima terhitung masih
saudara
seperguruan dengan Teratai Emas? Lan-
tas,
mengapa kalian menghalang-halangi kami un-
tuk
membunuh pemuda sinting itu. Padahal, kami
sedang
menjalankan permintaan Teratai Emas?"
sergah
Iblis Kelabang Merah.
"Sudah
kukatakan, kami tidak bermaksud
menghalang-halangi
maksud kalian. Namun ber-
hubung
kami masih punya sedikit urusan dengan
pemuda
itu, maka kali ini terpaksa kami harus
melindunginya,"
kilah Setan Cantik, lalu berpaling
ke
arah Siluman Ular Putih. "Siluman Ular Putih!
Mengapa
kau masih belum berangkat ke Lembah
Kodok
Perak? Bahkan malah bentrok dengan
keempat
orang tua ini segala!"
Siluman
Ular Putih tersenyum tipis. Sepa-
sang
mata birunya terus memandangi kelima
orang
gadis cantik di hadapannya tanpa berkedip.
"Hm...!
Mau bentrok dengan lima ekor
nyamuk
hutan ini kek, mau ribut dengan Setan
Langit
kek, apa pedulimu?" cibir Siluman Ular Pu-
tih,
kesal. "Dan, ingat! Hanya karena Angkin ma-
sih
berada dalam cengkeraman tangan nenek-
nenek
peot Bunda Kurawa itulah terpaksa aku
menuruti
kemauan kalian. Oh, iya mengapa kalian
mengikutiku?
Apa kalian pikir, aku sudi menerima
pertolonganmu."
"Sudah
kuduga, kau pasti akan berkata
demikian!
Tapi, apa kau masih ingat perjanjian ki-
ta?"
Soma
mendengus kesal. Bagaimanapun, ia
tidak
ingin berhutang budi dengan murid-murid
Istana
Ular Emas yang hanya akan menjerat di-
rinya
dalam permainan licik Bunda Kurawa!
"Setan
Cantik! Cepat enyahkan empat ga-
dis
temanmu itu dari hadapanku! Aku sebagai
seorang
laki-laki sejati mana sudi menerima ban-
tuan
maupun perlindungan kalian?!" bentak Silu-
man
Ular Putih.
"Hm...!
Kalau saja Bunda Kurawa tidak se-
dang
membutuhkan tenagamu, sudah pasti kuro-
bek-robek
mulut lancang mu itu, Kunyuk Gon-
drong!"
dengus Setan Cantik.
"Sudahlah,
Mbakyu Setan Cantik! Tidak
ada
gunanya bicara panjang lebar dengan pemuda
sinting
itu. Mungkin saja ia sudah lupa kalau
Angkin
Pembawa Maut masih berada dalam ceng-
keraman
kita," ujar salah seorang gadis cantik
murid
Istana Ular Emas, kesal.
Pemuda
gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu menyunggingkan senyum. "Aku le-
bih
suka mati daripada menerima bantuan ka-
lian."
"Lantas,
bagaimana dengan Kitab Kodok
Perak
Sakti yang telah kau janjikan pada kami?"
tukas
Setan Cantik lagi.
"Ya,
tergantung dari kesudahan pertempu-
ranku
di sini nanti," sahut Soma seenaknya.
"Apa
kau sudah tidak memperhatikan ke-
selamatan
Angkin Pembawa Maut lagi, Kunyuk
Gondrong?"
"Dalam
keadaan seperti ini, kukira aku
hanya
dapat memasrahkan keselamatan Angkin
Pembawa
Maut pada kebijaksanaan Bunda Kura-
wa.
Lantas, mengapa aku harus repot-repot memi-
kirkan
kejadian yang belum tentu terjadi? Toh,
Angkin
Pembawa Maut sendiri juga sudah memak-
lumi
keadaanku."
"Siluman
Ular Putih....!" panggil Setan Can-
tik,
agak mereda nada suaranya. "Sebenarnya ka-
mi
golongan Ular Emas belum pernah mengalah
pada
siapa pun. Tapi kali ini dengan sangat ter-
paksa
kami harus mengalah juga padamu. Baik-
lah....
Meski kau tidak menginginkan bantuan, ta-
pi
kami tetap akan terus menolongmu."
"Setan
Cantik! Meski nama besar Istana
Ular
Emas sangat ditakuti di dunia persilatan, tapi
jangan
harap aku takut dengan golongan mu. Jika
kalian
masih bersikeras ingin mencampuri uru-
sanku
di sini, jangan salahkan kalau aku terpaksa
harus
bertarung dengan kalian!"
"Siluman
Ular Putih! Lihatlah keadaanmu
sekarang!
Apa kau pikir dengan kepandaianmu
sekarang
akan mampu mengatasi keempat orang
pengeroyok
mu?" cibir Setan Cantik.
"Dasar
manusia-manusia sontoloyo! Pakai
berkhotbah
lagi! Lekas, enyah kalian dari hada-
panku!
Atau harapan kalian untuk mendapatkan
Kitab
Kodok Perak Sakti dari Lembah Kodok Perak
akan
hilang he?!" bentak murid Eyang Begawan
Kamasetyo
kesal.
"Baiklah!
Jika memang betul nasibmu akan
tewas
di tempat ini, siapa pun juga tidak akan da-
pat
menolongmu. Tapi jika memang peruntungan
mu masih bagus jangan lupa Kitab Kodok Perak
Sakti
yang telah dijanjikan pada kami harus kau
dapatkan!"
Sehabis
berkata begitu, Setan Cantik pun
kembali
menyimpan pedang ular emasnya ke da-
lam
warangka seraya mengibaskan lengan ba-
junya.
Melihat isyarat itu, maka tanpa banyak ca-
kap
lagi keempat orang adik seperguruan Setan
Cantik
pun segera menyimpan pedang ular kem-
bali.
Dan mereka segera berkelebat cepat mening-
galkan
tempat itu, mengikuti Setan Cantik yang
telah
lebih dulu berkelebat.
Soma
hanya menggeleng-geleng. Sepasang
mata
birunya terus memperhatikan kelima sosok
gadis
berpakaian kuning keemasan di kejauhan
sana.
Ketika akhirnya bayangan mereka menghi-
lang
di sebuah tikungan depan sana, baru pan-
dangan
si pemuda beralih pada empat lelaki yang
tadi
mengeroyoknya.
***
"Ha
ha ha...! Sungguh tolol! Baru kali ini
kulihat
pemuda ada setolol ini. Kalau saja mau
menerima
bantuan kelima orang murid Istana Ular
Emas
tadi, mungkin kau masih dapat meninggal-
kan
tempat ini dengan selamat. Tapi sekarang,
jangan
harap kau dapat selamat dari lubang ke-
matian,
Bocah!" ejek Raja Toya dengan tawa berge-
lak.
Soma
tersenyum tipis. Meski sadar bahaya
maut
masih menghadang di depan mata, tapi si-
kapnya
masih ugal-ugalan. Malah kini mulai ber-
siul-siul
kecil seenaknya.
"Kalian
jangan terlalu jumawa dulu, Orang
Tua!
Pemenang dari pertarungan kita belum jelas.
Sebetulnya
aku masih ada sedikit urusan di Lem-
bah
Kodok Perak. Dan aku pun sudah siap me-
nantikan
kedatangan kalian di sana. Tapi seka-
rang
ini, lain persoalannya. Hanya gara-gara ka-
lian
urusanku jadi kacau. Jika saja aku dapat lo-
los
dari kepungan ini, awas! Tunggulah pembala-
sanku
nanti!"
"Jangan
bermimpi, Bocah! Hari ini adalah
hari
kematianmu. Bersiap-siaplah menemui Raja
Akhirat,"
ancam Iblis Kelabang Merah, angkuh.
Sehabis
berkata begitu, Iblis Kelabang Me-
rah
cepat menerjang Siluman Ular Putih ganas.
Dua
ekor ular merah di tangan kanannya meliuk-
liuk,
berusaha mematuk tubuh Soma. Pada saat
yang
sama, ketiga orang pengeroyok Siluman Ular
Putih
ikut pula menerjang. Bahkan serangan-
serangan
mereka kali ini melebihi kehebatan se-
rangan
yang pertama. Hebatnya lagi sebelum sem-
pat
senjata-senjata di tangan mereka mengenai
sasaran,
terlebih dahulu telah berkesiur angin ke-
ras
menyerang tubuh Siluman Ular Putih!
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya
kuat-kuat. Disadari betul, sekali saja len-
gah
nyawanya lah taruhannya! Maka saat itu pula
Soma
mengerahkan segenap kepandaiannya. Sen-
jata
pusaka di tangan kanannya bergerak-gerak
menggiriskan.
Malah bak sebuah rencong senjata
itu
sesekali melesat cepat menyerang para penge-
royoknya.
Dan begitu luput dari sasaran, Siluman
Ular
Putih pun cepat menangkap kembali senjata
pusakanya
yang bisa memutar balik ke tempat
asalnya!
Di
samping itu, kedua telapak tangan So-
ma
yang telah berubah menjadi putih terang dan
merah
menyala hingga ke pangkal, sesekali mele-
paskan
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' dan
'Tenaga
Inti Api'-nya. Namun sayang, berkali-kali
pula
serangan balik Siluman Ular Putih dapat di-
mentahkan
para pengeroyoknya.
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu, Bo-
cah!
Biar tidak menyesal sebelum bertemu Raja
Akhirat!"
ejek Raja Toya.
Siluman
Ular Putih menggerutu dalam ha-
ti.
Keadaannya kali ini benar-benar sangat
mengkhawatirkan.
Gempuran-gempuran keempat
orang
pengeroyoknya bukan saja teramat memba-
hayakan
bagi keselamatan jiwanya, melainkan ju-
ga
cukup menggetar-getaran tanah di sekitar are-
na
pertempuran! Daun-daun jati rontok terkena
sambaran
angin pukulan! Malah ada beberapa ba-
tang
pohon jati yang tumbang, terkena pukulan
nyasar.
Lebih
dari itu, pakaian Siluman Ular Putih
pun
sudah tampak compang-camping tidak ka-
ruan
terkena gebukan-gebukan toya di tangan Ra-
ja
Toya maupun tongkat putih di tangan Tengko-
rak
Serigala. Belum lagi cemeti ekor sembilan mi-
lik
Ki Julung Pucut, dan juga dua ekor ular merah
peliharaan
Iblis Kelabang Merah yang tak mungkin
dapat
dipandang sebelah mata. Soma yang biasa
bersikap
ugal-ugalan kini tampak demikian tegang
menghadapi
gempuran-gempuran empat penge-
royoknya.
Sulit
rasanya si pemuda keluar dari ke-
pungan
keempat orang pengeroyoknya yang telah
mengurung
di segenap penjuru angin! Diam-diam
Siluman
Ular Putih mengeluh dalam hati.
Wesss!
Wesss!
Namun
dalam keadaan terdesak seperti itu,
Siluman
Ular Putih jadi nekat. Tak ada pilihan
lain,
sehingga terpaksa harus keluar dari kepun-
gan.
Dan begitu salah satu serangan hampir me-
nyentuh
tubuhnya, cepat dilontarkan nya pukulan
sakti
'Tenaga Inti Bumi' ke arah Raja Toya. Kare-
na,
hanya tokoh sesat itu sajalah yang keadaan-
nya
kurang menguntungkan.
Seleret
sinar putih terang dari telapak tan-
gan
kiri Siluman Ular Putih meluruk ke arah tu-
buh
tinggi kekar Raja Toya. Dan seperti yang telah
diperhitungkan,
Raja Toya pasti akan berkelit
menghindar.
Bersamaan
itu, serangan-serangan ketiga
orang
tokoh sesat lainnya bertubi-tubi berdatan-
gan.
Angin dingin berkesiuran menerpa sekujur
tubuh
Siluman Ular Putih, sebelum serangan-
serangan
itu mengenai sasaran!
Tanpa
banyak pikir panjang lagi, Siluman
Ular
Putih segera meloncat tinggi. Begitu di udara,
dilontarkan
nya pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'
ke
arah tiga orang pengeroyok di belakangnya.
Bed!
Bed!
Siluman
Ular Putih berputaran beberapa
kali
di udara. Begitu tubuhnya meluruk, tangan
kanan
cepat diraihnya ujung toya di tangan Raja
Toya!
Wuttt...!
Raja
Toya terkesiap bukan main. Sungguh
tidak
disangka kalau Siluman Ular Putih akan ber-
tindak
demikian nekat. Tentu saja toyanya tidak
ingin
direbut. Maka dengan gerakan yang sulit di-
terka, Raja
Toya cepat memutar toyanya sedemi-
kian
rupa.
Wettt!
Siluman
Ular Putih tersenyum senang.
Memang,
itulah yang diinginkannya! Begitu toya di
tangan
Raja Toya terlihat berkelebat cepat mema-
pak
tubuhnya, kedua lututnya segera ditekuk.
Tap!
"Hup!"
Wesss!
Mengagumkan
sekali! Dengan gerakan luar
biasa
cepat, kedua telapak kaki Soma mampu
mendarat
di pangkal toya! Lalu seketika itu pula
Siluman
Ular Putih cepat menutulkan kedua tela-
pak
kakinya untuk melesat ke belakang.
Sebenarnya
apa yang dilakukan Siluman
Ular
Putih itu terlalu berbahaya bagi keselama-
tannya.
Salah perhitungan sedikit saja, bukan ti-
dak
mustahil nyawa akan lenyap.
Manis
sekali Siluman Ular Putih mendarat
di
tanah. Kedua matanya menatap tajam para
pengeroyoknya
yang hanya berdecak kagum.
Semula
mereka mengira kalau tubuh Silu-
man
Ular Putih bakal terkena gebukan toya di
tangan
Raja Toya. Namun, rupanya apa yang di-
perkirakan
tidak menjadi kenyataan.
Senyum
nakal kini menghias di bibir pe-
muda
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu.
Namun, meski demikian diam-diam, ajian pa-
mungkasnya
mulai dikerahkan 'Titisan Siluman
Ular
Putih'!
Sejenak
Siluman Ular Putih mendongak ke
atas.
Kedua bibirnya berkemik-kemik, merapal
ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'! Selang beberapa
saat,
tampak tubuh tinggi kekarnya mulai dipenu-
hi
uap putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan
tubuh
pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu tidak kelihatan sama sekali tertu-
tup
uap putih!
Sementara
di tempatnya, keempat orang
pengeroyok
Siluman Ular Putih masih terpaku.
Sepasang
mata mereka tak berkedip melihat apa
yang
tengah dilakukan musuh mudanya. Dan be-
lum
sempat hilang rasa heran keempat orang pen-
geroyok
Siluman Ular Putih itu, mendadak....
Ggggeeerrr...!
Bukan
main terkejutnya hati keempat to-
koh
sesat itu. Apa yang dilihatnya benar-benar
membuat
sepasang mata mereka kontan terbeliak.
Tampak
dari balik asap putih tipis di hadapan me-
reka
terlihat sesosok tubuh panjang berwarna pu-
tih
sebesar pohon kelapa! Sepasang matanya ber-
warna
merah saga! Kedua taringnya mengerikan.
"Si...
Siluman Ular Putih!" desis keempat
tokoh
sesat itu penuh kagum.
Sepasang
mata merah saga Siluman Ular
Putih
memandangi keempat orang musuhnya, seo-
lah-olah
sebagai jawaban atas keterkejutan mere-
ka.
Wuttt!
Dan
belum sempat ada yang bertindak, ti-
ba-tiba
sosok panjang sebesar kelapa itu telah me-
lesat
cepat menyerang keempat orang musuhnya!
Kecepatan
lesatannya sungguh mengagumkan.
Belum
sempat taring-taring Siluman Ular Putih
mengenai
sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur
angin
yang bukan main kencangnya!
Gggeeerrr...!
"Hup!"
"Hiaaah...!"
Buru-buru
keempat orang pengeroyok Si-
luman
Ular Putih melempar tubuh masing-masing
ke
kanan dan kiri, sehingga, selamatlah mereka
dari
terkaman ular raksasa itu.
Begitu
serangan pertama tidak membawa
hasil,
Siluman Ular Putih cepat mengibaskan
ekornya
ketika keempat pengeroyoknya baru saja
bangkit.
Sekali lagi, tanpa banyak pikir panjang
para
tokoh sesat itu kembali melempar tubuh
masing-masing
ke kanan dan kiri.
Buk!
Terdengar
suara yang keras bukan main
sewaktu
tubuh sosok panjang Siluman Ular Putih
mendarat
di tanah. Dan seketika itu juga di seki-
tar
arena pertempuran bergetar hebat! Debu-debu
beterbangan
memenuhi tempat itu.
Untuk
sementara waktu, keempat orang
tokoh
sesat itu cukup aman dari bahaya maut.
Dan
kini mereka saling berpandangan, seolah ten-
gah
menyusun rencana lewat tatapan mata untuk
dapat
menundukkan Siluman Ular Putih.
"Hiaaa...!"
"Shaaa...!"
Begitu
mendapat kata sepakat, maka
Tengkorak
Serigala dan Ki Julung Pucut menye-
rang
dari arah depan. Sedang Raja Toya dan Iblis
Kelabang
Merah segera menyerang dari belakang.
Bahkan
untuk mempertajam serangan, Iblis Kela-
bang
Merah telah menyimpan kembali kedua ekor
ular
merahnya ke balik saku jubahnya, dan cepat
mengeluarkan
pedang merah dari balik punggung.
Lalu
seketika itu pula pedangnya digerakkan bebe-
rapa
kali ke tubuh Siluman Ular Putih! Sementara
pada
saat yang sama toya milik Raja Toya pun
menderu
dahsyat. Dan
Crakk!
Crakkk!
Bukkk!
Bukkk!
Dua
kali pedang Iblis Kelabang Merah dan
toya
Raja Toya tepat mengenai tubuh Siluman
Ular
Putih. Namun anehnya senjata mereka seper-
ti
membentur lempengan baja yang kuat bukan
main!
Bahkan telapak tangan kedua orang itu te-
rasa
kesemutan!
"Setan
Alas! Ternyata ular jahanam ini
kebal
senjata tajam!" gerutu Iblis Kelabang Merah
penuh
keterkejutan.
"Heaaa...!
Crak!
Crak!
Sehabis
berkata begitu, Iblis Kelabang Me-
rah
pun kembali membacokkan pedangnya bebe-
rapa
kali ke tubuh Siluman Ular Putih, hasilnya
tetap
sama saja. Jangankan dapat membabat bun-
tung,
untuk melukai kulit tubuh Siluman Ular Pu-
tih
saja tak mampu.
"Jahanam!
Benar-benar jahanam! Ternyata
tubuhnya
kebal senjata tajam. Ah...! Bagaimana
ini?"
keluh Iblis Kelabang Merah, nyaris putus asa.
"Coba
kalian serang dengan pukulan-
pukulan
maut! Sementara itu, aku dan Tengkorak
Serigala
akan mencoba mencari letak kelemahan-
nya!"
teriak Ki Julung Pucut lantang.
"Baik!"
sahut Raja Toya dan Iblis Kelabang
Merah
hampir bersamaan.
Maka
tanpa banyak cakap lagi, kedua
orang
itu pun segera mengerahkan pukulan-
pukulan
maut. Kini, kedua tangan Raja Toya mu-
lai
berubah menjadi hitam legam sampai ke pang-
kal.
Sedang kedua telapak tangan Iblis Kelabang
Merah
telah berubah menjadi merah darah penuh
racun-racun
keji kelabang merah!
"Nih,
makanlah pukulan maut ku Racun
Kelabang
Merah! Heaaa...!" teriak Iblis Kelabang
Merah
garang, sambil menghentakkan kedua tan-
gannya.
Seketika
itu, seleret sinar merah menyala
dari
kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah
melabrak
sosok tubuh memanjang Siluman Ular
Putih.
Bersamaan itu, Raja Toya pun telah melon-
tarkan
pukulan mautnya 'Gelap Sekati'!
Wesss!
Wesss!
Bukkk!
Bukkk!
"Grrhhh...!"
Siluman
Ular Putih meraung hebat. Tu-
buhnya
terpental beberapa tombak ke samping.
Debu-debu
beterbangan menutupi sosok panjang-
nya.
Ditempatnya Raja Toya dan Iblis Kelabang
Merah
tertawa-tawa senang melihat hasil pukulan
mereka
tadi.
"Graghhh...!"
"Heh?"
Namun
mendadak terdengar gerengan he-
bat
Siluman Ular Putih. Seketika itu juga Raja
Toya
dan Iblis Kelabang Merah menghentikan sua-
ra
tawa, melihat sosok Siluman Ular Putih masih
utuh
seperti semula! Sedikit pun kulit tubuhnya
tidak
mengalami kekurangan satu apa.
"Ah...!
Tak mungkin! Tak mungkin tubuh-
nya
kebal terhadap pukulan 'Gelap Sekati'-ku!" te-
riak
Raja Toya tak percaya. Padahal tadi telah di-
bayangkan
kalau tubuh Siluman Ular Putih akan
hancur
berkeping-keping. Tapi, apa yang dilihat-
nya
kali ini benar-benar membuat matanya terbe-
lalak
lebar! Seketika itu juga nyali Raja Toya lu-
mer!
"Ah...!
Bagaimana ini? Sungguh aku tidak
mengerti,
mengapa pukulan 'Racun Kelabang Me-
rah'
tidak berpengaruh sama sekali! Padahal tadi
aku
telah kerahkan sepenuhnya tenaga dalamku!"
desis
Iblis Kelabang Merah, tak kalah herannya
dengan
Raja Toya.
Walaupun
belum sempat mengerahkan
ajian,
namun tak urung Ki Julung Pucut dan
Tengkorak
Serigala sampai terlonjak dari tempat-
nya
berdiri saking herannya. Apalagi ketika meli-
hat
sepasang mata Siluman Ular Putih mencorong
beringasan
ke arah empat orang pengeroyoknya.
Mereka
benar-benar tak habis pikir.
"Hm...!
Tak mungkin sekujur tubuh Silu-
man
Ular Putih ini kebal terhadap senjata tajam
maupun
pukulan maut. Pasti ada kelemahannya!"
gumam
Tengkorak Serigala seraya dengan kening
berkerut
dalam. "Hm...! Mungkin letak kelemahan
Siluman
Ular Putih adalah sepasang matanya."
Sehabis
berpikir demikian, Tengkorak Seri-
gala
menoleh ke arah teman-temannya.
"Mari
kita serang matanya, Kawan-kawan!
Barangkali
itulah letak kelemahannya!"
"Hm...!
Bisa jadi! Sebab, orang yang paling
sakti
sekalipun tak mungkin bisa melindungi ba-
gian
matanya," sahut Ki Julung Pucut.
"Ya...,
itu kalau manusia. Tapi yang sedang
kita
hadapi ini kan ular!" sergah Ki Julung Pucut,
kurang
sependapat.
"Meski
demikian, bagaimanapun juga Si-
luman
Ular Putih adalah jelmaan kunyuk gon-
drong
itu tadi!" sahut Ki Julung Pucut tidak mau
kalah.
"Sudahlah!
Aku kira tidak ada jeleknya ka-
lau
mencoba menyerang bagian mata. Hayo lekas
bertindak!
Mumpung ular jejadian itu belum me-
nyerang!"
kata Raja Toya melerai.
Mendengar
perdebatan, Siluman Ular Putih
hanya
menggereng beberapa kali. Suaranya cukup
membuat
nyali keempat orang musuhnya tergetar.
Juga
membuat tanah di sekitar pertempuran ber-
getar!
Dan layaknya seorang manusia saja ular
raksasa
itu tiba-tiba mendahului menyerang. Ke-
dua
taringnya tampak demikian menggiriskan.
Sementara
kibasan-kibasan ekor pun makin cepat
luar
biasa.
Keempat
orang tokoh sesat itu kontan ko-
car-kacir.
Namun hal itu berlangsung tidak lama.
Kini
dengan senjata di tangan, keempat penge-
royok
itu mulai melancarkan serangan. Raja Toya
dan
Iblis Kelabang Merah masih menyerang bagian
belakang.
Sedang Tengkorak Serigala dan Ki Ju-
lung
Pucut tetap menyerang bagian depan. Namun
mereka
sama-sama mengincar sepasang mata Si-
luman
Ular Putih.
Weesss!
Weesss!
Cemeti
panjang berekor sembilan di tangan
Ki
Julung Pucut meliuk-liuk mengerikan di depan
mata
Siluman Ular Putih. Beberapa kali ular rak-
sasa
jelmaan Soma itu mengeluarkan gerengan se-
raya
menangkis dengan bagian belakang kepa-
lanya.
Wesss!
Kali
ini cemeti panjang berekor sembilan di
tangan
Ki Julung Pucut bergerak meliuk demikian
cepat,
begitu salah satu ujungnya tertangkis kepa-
la
bagian belakang Siluman Ular Putih. Sasaran-
nya
adalah sepasang mata Siluman Ular Putih!
"Graghhrr...!"
Siluman
Ular Putih menggereng setinggi
langit,
membuat tanah di sekitar arena pertempu-
ran
bergetar hebat!
Namun
belum sempat dua ujung cemeti di
tangan
Ki Julung Pucut mengenai sasaran, tiba-
tiba....
Wesss!
Pletak!
Uap
putih tebal tahu-tahu menutupi seku-
jur
tubuh Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan
itu
dua ujung cemeti di tangan Ki Julung Pucut
terpental
ke belakang, begitu membentur uap pu-
tih
tebal yang menyelimuti Siluman Ular Putih!
"Heh...?!"
Ki
Julung Pucut melongo, heran dengan
kejadian
di depan matanya. Sementara itu uap pu-
tih
tebal semakin menyelimuti tubuh Siluman Ular
Putih.
Di lain tempat ketiga orang tokoh sesat
lainnya
hanya berdiri terkesima.
"Ah...!
Ilmu apa lagi yang akan dikeluarkan
Kunyuk
Gondrong itu?" desis Ki Julung Pucut.
Sepasang
mata lelaki ini tak berkedip me-
mandangi
uap putih tebal di depannya. Dan belum
sempat
hilang keterkejutannya, mendadak samar-
samar
sepasang matanya melihat sesosok pemuda
berambut
gondrong dengan pakaian rompi dan ce-
lana
bersisik warna putih keperakan tengah men-
gurut-urut
belakang kepalanya. Mungkin akibat
terkena
cambukan cemeti di tangan Ki Julung Pu-
cut
tadi! Wajahnya pun tampak pucat pasi. Di su-
dut-sudut
bibirnya tampak darah segar mengalir
keluar!
Sosok yang tak lain Soma ini tampak mulai
kepayahan.
Diam-diam
Ki Julung Pucut dan ketiga
orang
temannya merasa girang, karena kemenan-
gan
hampir di depan mata.
"Heaaa...!"
Maka
disertai teriakan menggelegar keem-
pat
orang itu serentak menyerang Siluman Ular
Putih.
Siluman
Ular Putih melihat serangan
keempat
pengeroyoknya dengan sepasang mata
membelalak
lebar. Parasnya terlihat makin pias!
Pemuda
ini telah benar-benar parah. Segalanya
kini
diserahkan pada Yang Maha Tunggal. Apalagi,
memang
sulit rasanya menghindar.
Slap!
Tras!
Trak! Trang! Plak!
Namun
di saat yang mengkhawatirkan bagi
Soma,
seleret sinar putih yang entah datang dari
mana
tahu-tahu telah menangkis keempat senjata
di
tangan para tokoh sesat itu.
Empat
senjata di tangan para pengeroyok
Siluman
Ular Putih berpentalan ke belakang den-
gan
tubuh tergetar hebat! Namun untungnya me-
reka
masih dapat mempertahankan senjata mas-
ing-masing.
Sehingga, tidak sampai terlepas dari
genggamannya.
"Manusia-manusia
Laknat! Tiada jemu juga
kalian
menebar dosa di muka bumi ini!"
"Kau...!
Siapa kau? Mengapa berani main
gila
di hadapan kami?!" bentak Iblis Kelabang Me-
rah.
Sepasang
mata lelaki ini menatap liar so-
sok
tinggi kurus yang kini telah berdiri tegak tak
jauh
dari tempat pertempuran! Ketiga temannya
pun
terkesiap kaget dengan mata terbelalak.
***
Emoticon