5
Soma terus berlari meninggalkan Lembah
Batu Ular. Wajahnya menegang. Bukannya lelah
karena terus berlari, melainkan ngeri melihat apa
yang baru saja dialaminya. Dalam keadaan demi-
kian, mendadak saja..."
"Tunggu, Sobat! Mengapa kau terbirit-birit
seperti ini? Ada apa?"
Dari arah samping terdengar teriakan. Na-
mun pemuda itu tak peduli. Malah larinya sema-
kin dipercepat, tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Hup!"
Soma kali ini harus menghentikan larinya.
Di depannya telah menghadang seorang gadis
berpakaian tambalan dan compang-camping. Be-
runtung sekali gadis itu tadi sedikit di depan So-
ma. Kalau tidak, jangan harap dapat mengejar
pemuda yang tengah mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencana'.
Melihat gadis cantik berpakaian tambal-
tambalan di hadapannya, mata Soma kontan ter-
belalak lebar. Rasa takutnya akan muncul kakek
tua berpakaian tambal-tambalan tadi, kembali
menguasai hatinya.
"Minggir...! Jangan ganggu aku lagi! Biar-
pun kau berubah menjadi kadal, menjadi monyet,
atau menjadi gadis secantik apa pun, aku tak su-
di meladeni permainan anak-anakmu, Badut
Tua!" geram Soma sengit.
"Eh, eh...! Kau bilang aku 'Badut Tua'?"
bentak gadis cantik berpakaian tambal-tambalan
itu tersinggung.
"Yah...! Siapa lagi badut tua itu kalau bu-
kan kau! Minggir! Jangan ganggu aku lagi!"
Soma yang dijuluki orang Siluman Ular Pu-
tih nekat menerjang gadis cantik yang dicurigai
jelmaan orang tua bercaping pandan. Namun, ga-
dis ini mana mau diperlakukan seperti itu. Ha-
tinya yang merasa tersinggung atas ucapan pe-
muda itu tadi cepat menghadang langkah Soma
kembali,
"Kau mau apa? Mau menakut-nakutiku
dengan permainan anak-anakmu? Aku tak sudi.
Lebih baik beri aku jalan! Minggir!"
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
mengernyitkan alis matanya yang tebal dalam-
dalam. Di samping kesal oleh makian-makian ta-
di, diam-diam juga merasa heran melihat diri So-
ma. Meski belum pernah bertemu pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo ini, namun kabar
yang tersiar tentang munculnya seorang pendekar
muda yang bergelar Siluman Ular Putih, telah
terdengar juga olehnya. Dan ciri-ciri pendekar
muda itu, mirip benar dengan pemuda ini....
"Kau sebenarnya kenapa? Mengapa kau
takut sekali bertemu denganku?" tanya gadis itu,
mulai melunak nada bicaranya.
"Siapa yang takut?" sergah Soma Gusar.
"Kalau tidak takut, mengapa lari terbirit-
birit seperti tadi. Ada apa?" tanya gadis itu heran.
Soma menautkan kedua alis matanya da-
lam-dalam. Matanya yang agak kebiru-biruan,
memandangi gadis cantik di hadapannya seksa-
ma.
"Mengapa dia tidak mengeluarkan ilmu si-
hirnya? Kok, malah menertawakanku?" gumam
Soma, lirih.
"Eh, ngaco! Siapa yang jadi tukang sihir?
Justru melihat tingkahmu yang aneh inilah aku
jadi geli."
"Jadi..., jadi? Kau..., kau bukan tukang si-
hir itu? Maksudku, bukan kakek tua bercaping
pandan yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Ih...! Omonganmu semakin ngelantur ti-
dak karuan. Siapa kakek tua bercaping pandan
yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Benarkah? Ja..., jadi kau..., kau bukan
Raja Penyihir itu?" ulang Soma.
"Hik hik hik...! Sudah kubilang, aku bukan
Raja Penyihir yang kau maksudkan. Apa kau tadi
bertemu orang tua itu? Pantas saja tingkahmu ja-
di begini!" kata gadis itu sambil memamerkan se-
nyumnya dan melangkah mendekati.
Soma alias Siluman Ular Putih mundur be-
berapa langkah. Matanya masih membayangkan
perasaan ngeri kalau-kalau gadis cantik di hada-
pannya memang benar Raja Penyihir.
"Sudah, ah! Aku pikir ada apa. Selamat
tinggal!" kata gadis cantik itu masih diiringi se-
nyum.
Sehabis berkata begitu, gadis cantik berba-
ju tambal-tambalan itu pun cepat menjejakkan
kedua kakinya, meninggalkan hutan bambu. Na-
mun baru beberapa langkah, Soma sudah berke-
lebat dan cepat menghadangnya.
"Tunggu dulu! Kalau kau bukan Raja Pe-
nyihir itu, lantas siapa?" kejar Soma.
"Bilang saja kau mau berkenalan dengan-
ku. Pakai berlagak segala!" cibir gadis itu mele-
cehkan.
"Eh, eh...! Aku bukannya berlagak. Tadi
aku benar-benar bertemu Raja Penyihir itu," tu-
kas Soma gelagapan. Tanpa sadar tangannya su-
dah menggaruk-garuk rambut kepala.
"Oh,.. "
Hanya itu yang keluar dari mulut gadis
cantik ini. Padahal, sebenarnya Soma mengha-
rapkan lebih.
"Aku senang sekali berkenalan denganmu.
Namaku Soma," kata Soma mulai dapat mengen-
dalikan perasaannya.
"Siapa?"
"Soma," ulang pemuda itu.
"Tidak! Maksudku siapa yang nanya?" tu-
kas gadis ini diiringi senyum menggoda.
"Eh, eh, eh...! Kau mau mempermainkan
aku, ya? Bilang dong, siapa namamu?" sungut
Soma kesal.
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
tersenyum-senyum menggoda.
"Namaku.... Sal..., Salindri," jelas gadis itu
dengan nada suara menggemaskan.
"Oh...! Lembut sekali namamu.... Pas sekali
dengan orangnya," puji Soma seraya mengang-
guk-angguk.
Duh! Wanita mana yang tidak senang dipu-
ji seorang pemuda tampan? Meski gadis berbaju
tambal-tambalan yang ternyata bernama Salindri
ini hanya tersenyum-senyum menggoda, namun
dalam hatinya pun mulai mengagumi ketampa-
nan pemuda di hadapannya. Dan di saat sedang
mengagumi murid Eyang Begawan Kamasetyo ini,
tiba-tiba....
"Hura, hura...!"
"Heh?!"
Sebuah teriakan terdengar dari arah barat,
menyentak kesadaran Salindri.
Tanpa banyak pikir lagi Salindri segera
menjejakkan kakinya meninggalkan tempat itu,
tanpa menghiraukan Soma sama sekali
"Eh, tunggu dulu! Mengapa kau lari seperti
dikejar setan?"
Siluman Ular Putih cepat berkelebat me-
nyusul langkah gadis itu. Dalam waktu yang tidak
lama gadis itu dapat disusul.
***
Salindri terus mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru. Tidak mungkin telinganya salah
dengar. Teriakan tadi adalah sebagai isyarat ka-
lau keamanan anggota Pengemis Tongkat Hitam
sedang dalam keadaan bahaya.
"Ada apa, sih? Kok, kau nampak seperti
orang linglung?" tanya Soma tak dapat menahan
rasa herannya.
"Kau tadi mendengar teriakan seseorang?"
Salindri malah balik bertanya.
"Aku.... Aku.... Ya! Tadi aku mendengar te-
riakan seseorang. Apa kau sedang mencari orang
yang berteriak itu?"
"Ya," sahut Salindri singkat.
Gadis itu kini memperhatikan semak-
semak di depannya. Tampak sangat mencuriga-
kan. Dan belum sempat Salindri bergerak untuk
melihat apa yang ada di balik semak, mendadak
terdengar erangan seseorang.
Tanpa banyak pikir lagi, Salindri meloncat
ke balik semak itu. Dan benar saja! Ternyata di
balik semak tengah terbaring seorang pemuda
berbaju tambal-tambalan yang sama persis den-
gan pakaian gadis itu. Keadaannya sangat men-
cemaskan. Tangan kanannya buntung, mengelua-
rkan banyak darah segar. Wajahnya pucat pasi,
Bibirnya bergetar-getar hebat, menahan nyeri
yang menusuk ulu hati. Pengemis muda itu tidak
lain salah seorang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam yang selamat dari tangan-tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi di puncak Gu-
nung Merapi, saat Pengemis Penjelajah dijadikan
sasaran untuk mengadu tenaga dalam!
"Paniti! Apa yang terjadi denganmu?!" sen-
tak Salindri yang mengenali pemuda ini kaget bu-
kan kepalang. Buru-buru jari-jari tangannya yang
lentik menotok pangkal lengan pengemis muda
itu hingga darah yang mengucur terhenti.
"Kau mengenal pemuda ini, Sobat?" tanya
Soma, yang tahu-tahu telah berdiri di samping
Salindri.
"Iya. Dia adalah salah seorang anggota
Pengemis Tongkat Hitam yang diketuai ayahku,"
jelas Salindri tanpa mengalihkan perhatian pada
pemuda tampan di sampingnya. Jari-jari tangan-
nya yang mungil kembali bergerak menotok ke
tengkuk pengemis muda itu hingga tersadar.
"Oh...! Kau.... Kau Nona Salindri," desah
pengemis muda bernama Paniti dengan susah
payah begitu matanya terbuka.
"Iya. Aku Salindri. Mengapa kau bisa terlu-
ka seperti ini? Siapa yang telah melakukannya?"
sahut Salindri.
"Raj..., Raja Golok. Dan..., dan Denok Supi
di puncak Gunung Merapi. Me..., mereka juga te-
lah menahan Kakang Respati, si..., si Pengemis
Penjelajah," jelas Paniti dengan napas tersengal
menjelang ajal
"Lantas, bagaimana Respati, Paniti?" tanya
Salindri mulai kalap,
"Mungkin..., mungkin telah tewas...,
ohh...!" keluh Paniti memanjang. Kepalanya ter-
kulai ke kiri dan tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Salindri menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat.
"Partai Pengemis Tongkat Hitam tidak per-
nah berselisih paham dengan mereka. Tapi men-
gapa mereka mulai menurunkan tangan keji pada
anggota-anggota Pengemis Tongkat Hitam? Aku
harus menuntut balas atas kematian saudara-
saudara satu golongan!" desis Salindri, penuh
kemarahan.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Tapi, apa tidak
sebaiknya kita kubur saja kawanmu ini?!" timpal
Soma.
Salindri mendongak ke atas. Tak sepatah
kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar-getar.
Soma yang dijuluki Siluman Ular Putih
mengerti kesedihan gadis itu. Maka tanpa banyak
cakap lagi pemuda ini mulai menggali tanah di
sekitarnya, menggunakan tongkat hitam milik
Paniti.
Karena mengerahkan tenaga dalamnya,
beberapa saat kemudian, Soma telah membuat
Hang kabur buat pengemis muda itu.
Namun ketika Soma hendak mengangkat
tubuh pengemis muda yang telah membeku itu,
tiba-tiba saja pandangannya yang tajam menang-
kap dua kelebatan bayangan yang melintas di ha-
dapannya menuju ke puncak Gunung Merapi.
Yang satu berpakaian merah dengan rambut di-
kuncir ke belakang. Sedang di sampingnya seo-
rang laki-laki bertubuh tegap dengan mengena-
kan pakaian serba putih.
Sejenak Soma mengamati kedua orang di
depan sana dengan seksama. Namun karena te-
rangnya sinar rembulan malam itu agak terhalang
oleh rimbunnya hutan bambu, membuat Soma
sulit sekali mengenali. Pemuda ini hanya melihat
gerakan kedua kaki orang itu yang sangat cepat.
Malah dalam waktu tidak lama, bayangan tubuh
kedua orang itu pun lenyap di antara rimbunnya
hutan bambu di depan sana.
"Siapa mereka, Soma?" tanya Salindri, mu-
lai memanggil nama pemuda itu.
Soma mengangkat kedua bahunya.
"Mana aku tahu?" sahut pemuda tampan
ini kalem.
Salindri memberengut. Tak puas dengan
jawaban Soma.
"Lho? Kok, malah cemberut? Sungguh aku
tidak tahu siapa mereka. Tapi kalau kau masih
penasaran, nanti kita bisa mengikutinya setelah
menguburkan mayat temanmu ini," tukas Soma.
Salindri diam tak menyahut. Diam-diam
hatinya semakin mengagumi pemuda tampan di
hadapannya. Ketika Soma mulai meletakkan
mayat Paniti ke dalam lubang kubur, Salindri pun
segera membantu.
***
Kalau saja Soma tahu siapa kedua bayan-
gan orang itu, terutama sekali gadis cantik yang
berpakaian merah-merah, pasti akan mengejar.
Gadis berpakaian merah-merah itu tidak lain dari
Ratih. Sedang di sampingnya berlari seorang laki-
laki berpakaian putih-putih.
Laki-laki itu tidak begitu tinggi, namun
bentuk tubuhnya tegap. Wajahnya putih bersih
tanpa kumis dan jenggot. Sebilah gagang pedang
nampak tersembul di balik punggungnya.
Dan di saat orang itu tengah berlari ken-
cang menuju ke puncak Gunung Merapi, menda-
dak terdengar pekik-pekik ketakutan yang da-
tangnya dari sebelah utara. Laki-laki itu cepat
menarik lengan Ratih. Segera mereka berbelok ke
arah utara, untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu sampai di tempat kejadian, mata
kedua orang itu langsung terbelalak lebar. Tam-
pak di hadapan mereka sesosok tubuh tinggi be-
sar dengan kulit hitam legam telah menghadang.
Sedang di kanan-kiri raksasa hitam itu beberapa
orang pengemis berpakaian tambal-tambalan ten-
gah lari tunggang langgang, lalu menghilang di
balik kegelapan malam.
Seketika itu juga Ratih dan laki-laki di se-
belahnya menghentikan langkah. Wajah gadis itu
bahkan menjadi pucat pasi. Belum pernah ia me-
lihat makhluk mengerikan dengan taring-taring
panjang itu. Namun, rupanya, tidak demikian
dengan laki-laki tua di sebelahnya. Dan agaknya
raksasa hitam tinggi besar di hadapannya itu su-
dah cukup dikenalnya.
"Lekaslah kembali ke wujudmu semula,
Raja Penyihir! Apa kau lupa, siapa aku?" teriak
laki-laki berpakaian putih ini lantang.
Ratih sebentar memandang raksasa hitam
tinggi besar di hadapannya dengan sinar mata
ngeri. Sebentar kemudian tatapannya beralih pa-
da laki-laki di sebelahnya.
"Romo mengenal raksasa hitam ini?" tanya
Ratih kurang percaya.
Laki-laki tua yang ternyata ayahnya Ratih
ini menganggukkan kepalanya.
"Siapa kau?! Apakah kau teman dari jem-
bel-jembel angkuh itu?"
Terdengar suara raksasa hitam besar itu.
Suaranya berat, menggema di seputar lembah.
"Aku Gagak Seto, Paman dari Pendekar Ku-
jang Emas! Dan aku Tumenggung Kerajaan Mata-
ram!" teriak lelaki berusia lima puluh tahun lebih
itu lantang.
"Hmm...!" raksasa hitam tinggi besar itu
mendengus. Suaranya tetap menggema memenu-
hi lembah.
"Lekaslah kau kembali ke wujudmu, Raja
Penyihir!" teriak laki-laki berpakaian putih-putih
bernama Gagak Seto.
Raksasa hitam tinggi besar yang tidak lain
Raja Penyihir perlahan-lahan menyusutkan tu-
buhnya. Dan dalam waktu tidak lama, raksasa hi-
tam tinggi besar itu mulai berubah menjadi kakek
tua bercaping pandan!
"Selamat berjumpa kembali, Ki Damar Su-
to!" sapa Gagak Seto ramah.
"Diam! Aku tak suka peradatan macam be-
gini!" bentak Raja Penyihir yang ternyata bernama
Ki Damar Suto itu, galak.
Gagak Seto yang sangat dihormati di ka-
langan keratonpun nampak tidak tersinggung
oleh ucapan kasar Raja Penyihir. Namun tidak
demikian dengan Ratih....
"Jaga mulutmu yang lancang, Orang Tua!
Atau ku robek-robek mulutmu dengan pedangku,
he!" bentak Ratih berani.
Gagak Seto cemas sekali. Ia takut kalau
Raja Penyihir yang aneh ini akan murka.
"Diam dulu, Ratih! Biarkan Romomu yang
bicara!" bisik Gagak Seto lirih.
Ratih memberengut kesal. Namun toh, di-
turutinya juga perintah romonya.
"He he he...! Ucapan putrimu yang cantik
jelita ini sungguh membuat telingaku memerah,
Gagak Seto. Kalau kau tidak dapat memberi bebe-
rapa keterangan padaku, jangan salahkan kalau
aku terpaksa sedikit memberi pelajaran padamu!"
"Katakanlah! Barangkali aku dapat mem-
beri keterangan padamu," ujar Gagak Seto kalem.
"He he he...! Tidak terlalu sulit pertanyaan-
ku untuk dijawab, Gagak Seto. Pertama, apakah
kau tahu di mana calon muridku berada?"
"Ah...! Pertanyaanmu aneh sekali, Ki. Mana
aku tak tahu. Jangankan untuk memberi kete-
rangan di mana calon muridmu itu berada, men-
getahui orangnya pun aku belum."
"Satu! Pertanyaanku belum dijawab dengan
baik. Kalau kau tidak juga dapat menjawab per-
tanyaanku yang kedua ini, terpaksa sekali aku
harus menghajarmu!" ancam Raja Penyihir tak
sabar.
"Kau curang sekali, Raja Penyihir! Mau
seenaknya saja memaksakan keinginanmu. Kalau
Romoku tidak tahu, kau mau apa?!" tantang Ra-
tih sengit.
"Sudahlah, Ratih! Biarkan Raja Penyihir bi-
cara!" ujar Gagak Seto pada putrinya.
Ratih cemberut. Matanya yang indah me-
mandang Raja Penyihir penuh kebencian.
"He he he...! Benar! Benar sekali apa yang
kau katakan. Rupanya kau cukup bijaksana...,
Raja Penyihir tertawa-tawa senang. "Nah! Dengar
pertanyaanku yang kedua, Gagak Seto. Calon
murid yang sedang kucari-cari mempunyai ke-
pandaian silat yang tinggi. Bahkan bisa berubah
wujud menjadi Siluman Ular Putih. Apakah kau
tahu, siapa nama pemuda itu. Siapa nama gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya?" beron-
dong Raja Penyihir sekaligus.
Gagak Seto bingung sekali. Jangankan un-
tuk mengetahui siapa guru dan tempat tinggal
pemuda yang dimaksudkan Raja Penyihir. Men-
genal orangnya pun, belum. Lantas, bagaimana
dapat memberi keterangan pada Raja Penyihir?!
"Aku tahu nama pemuda itu!" kata Ratih
tiba-tiba.
"Siapa?" tanya Raja Penyihir, hampir ber-
samaan dengan Gagak Seto.
"Soma!" kata Ratih, seraya mengangkat bi-
birnya sinis.
"Kau tidak berbohong?" tukas Raja Penyi-
hir, masih belum percaya.
"Tidak ada gunanya berbohong. Aku sudah
beberapa kali bertemu dengan pemuda sinting
itu."
"Baik! Kalau begitu, kau pun tahu siapa
nama gurunya. Dan, di mana tempat tinggalnya,
bukan? Nah! Sekarang, katakanlah, Anak Manis!"
kata Raja Penyihir kegirangan.
Kali ini gantian Ratih yang kebingungan.
Meski sudah beberapa kali bertemu Soma yang
diam-diam mulai mengusik hatinya, tapi mana
tahu nama guru pemuda itu? Apalagi tempat
tinggalnya?
"Aku..., aku...! Aku..., aku hanya mengenal
namanya saja," jawab Ratih gelagapan.
"Tidak mungkin! Kau pasti tahu, siapa gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya!" desak
Raja Penyihir tidak mau tahu kesulitan Ratih dan
Gagak Seto.
"Sungguh aku tidak tahu...," jawab Ratih
gelagapan.
"Baiklah. Kalau kau masih belum mau
memberi keterangan padaku, terpaksa sekali aku
harus menggebukmu."
Raja Penyihir bersiap-siap mengerahkan
kekuatan sihirnya. Bibirnya yang kehitaman mu-
lai berkemik-kemik.
Sementara Gagak Seto berdiri dengan kaki
tegang di tempatnya.
Ratih celingukan, tak tahu apa yang harus
diperbuat...
Pada saat Raja Penyihir mulai mengerah-
kan kekuatan batinnya, tiba-tiba saja....
"Huaaa ha ha...! Siapa sudi jadi calon mu-
ridmu, Badut Tua! Kau pikir, kau dapat menga-
lahkan aku dengan permainan anak-anakmu itu,
he?! Jangan mimpi Badut Tua!"
Ketiga orang itu dikejutkan oleh tawa se-
seorang yang sangat melecehkan Raja Penyihir.
Raja Penyihir menggeram penuh kemara-
han. Bibirnya tidak lagi berkemik-kemik. Hanya
pandangan matanya saja yang tajam memperha-
tikan semak-semak di depannya.
***
Soma dan Salindri cepat keluar dari tempat
persembunyiannya. Seperti yang telah disepakati,
begitu kedua orang itu selesai menguburkan
mayat pengemis muda anggota Pengemis Tongkat
Hitam, kedua anak muda itu langsung mengikuti
bayangan merah-merah dan putih yang tadi me-
lintas di hadapannya.
Dan ketika sampai di luar hutan bambu,
hati Soma jadi tersentak ketika melihat bayangan
merah yang ternyata Ratih. Dan gadis itu sudah
sangat dikenalnya. Namun, pemuda itu tak men-
genal, siapa laki-laki bertubuh tegap di samping
gadis itu. Dan ketika Raja Penyihir menyebut-
nyebut tentang dirinya, Soma jadi tidak tahan lagi
untuk tidak keluar dari tempat persembunyian-
nya.
Sebenarnya kalau saja Soma yang bergelar
Siluman Ular Putih tidak terlambat sampai di
tempat itu, tentu akan terkejut mendengar pen-
gakuan orang di samping Ratih. Karena laki-laki
itu sebenarnya masih terhitung paman dari Pen-
dekar Kujang Emas, ayahnya! Sayang, pemuda ini
hanya mendengar buntut dari percakapan mereka
yang menyinggung-nyinggung tentang dirinya.
Sehingga ia tidak mengenal, siapa laki-laki beru-
sia lima puluh lima tahunan di samping Ratih.
"Ha ha ha...! Mengapa kau melotot seperti
melihat setan gondrong saja, Badut Tua? Ayo, ke-
jar aku! Katanya kau ingin menjadikan aku mu-
ridmu!" tantang Soma menggoda.
Dan sehabis berkata begitu, Soma pun se-
gera menggandeng lengan Salindri meninggalkan
tempat itu.
Raja Penyihir geram bukan main. Tanpa
mempedulikan Ratih dan Gagak Seto lagi segera
dikejarnya Soma. Namun sayangnya ilmu merin-
gankan tubuh orang tua bercaping pandan itu ti-
daklah sehebat Soma. Sehingga, ia dapat diper-
mainkan Soma dengan mudah.
"Ayo, Badut Tua! Kejar aku! Mengapa letoi
amat? Apa kau tadi habis berkencan dengan ular-
ularmu, ya?" celoteh Soma sambil terus meng-
gandeng gadis cantik di sampingnya.
Ratih yang melihat Soma menggandeng ga-
dis cantik berpakaian tambal-tambalan yang be-
lum dikenalnya, entah mengapa jadi gusar sekali.
Tanpa sadar gerahamnya bergemelutuk penuh
kemarahan.
"Aku harus mengejarnya, Romo."
Ratih cepat menjejakkan kedua kakinya
meninggalkan ayahnya. Namun sayangnya tangan
Gagak Seto keburu menangkap lengannya.
"Jangan, Ratih! Terlalu berbahaya. Lagi pu-
la, buat apa mengejar mereka? Urusan kita sendi-
ri dengan Manusia Rambut Merah pun belum
beres. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tapi...."
"Sudahlah, Ratih! Jangan banyak memban-
tah! Turuti saja kata-kata Romo!"
Gagak Seto cepat meraih lengan putrinya.
Langsung diajaknya gadis itu naik ke puncak Gu-
nung Merapi yang menjulang tinggi di hadapan-
nya.
Sedang Ratih hanya dapat memberengut
kesal. Matanya terus memperhatikan Soma yang
sedang menggoda Raja Penyihir dengan sinar ma-
ta cemburu! Sebenarnya hatinya juga gemas,
mengapa ayahnya mesti menyusulnya?
Memang semula Gagak Seto sendiri yang
menyuruh putri tunggalnya itu untuk menyelidiki
keberadaan Manusia Rambut Merah. Namun se-
telah menunggu beberapa saat, Ratih belum juga
pulang memberi laporan, Tumenggung Kerajaan
Mataram ini jadi mencemaskan keselamatan pu-
trinya. Dan tanpa diiringi satu orang prajurit pun,
dan dengan berpakaian biasa, ia menyusul pu-
trinya. Kebetulan sekali, mereka bertemu di Lem-
bah Klidung. Sebuah lembah yang membentang
antara kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindo-
ro. Dari lembah inilah ayah dan anak itu melaku-
kan perjalanan menuju ke puncak Gunung Mera-
pi!
6
Pertempuran di puncak Gunung Merapi
antara para datuk sesat dari empat penjuru angin
terlihat makin seru. Meski dikeroyok tiga orang
saingan utamanya, rupanya Algojo Dan Timur
masih mampu bertahan dengan mengandalkan
pukulan 'Badai Gurun Pasir' dan pukulan
'Pemecah Bumi'. Namun lambat laun disadari ka-
lau begini terus-menerus sudah pasti akan roboh
juga.
"Tunggu...! Apakah begini cara kalian un-
tuk menentukan datuk sesat nomor satu di anta-
ra kita?!" bentak Algojo Dari Timur menyindir, se-
telah baru saja dapat meloloskan diri dari gempu-
ran-gempuran ketiga orang saingan utamanya
dengan cara melompat tinggi keluar dan kancah
pertempuran.
"Aku paling benci melihat orang pongah
sepertimu, Setan Botak. Secara langsung maupun
tidak, omonganmu tadi sangat merendahkan ka-
mi. Lantas, apakah cara ini salah?" tukas Denok
Supi, segera maju selangkah. Agaknya menjadi
juru bicara kedua orang temannya.
"Salah besar kalau kalian mengatakan aku
pongah. Apa tindakan kalian selama ini di dunia
persilatan tidak demikian? Ayo jawab, Denok!"
dengus Algojo Dari Timur memojokkan.
Denok Supi yang merasa dipojokkan jadi
terdiam. Hanya matanya saja yang melotot me-
mandang ke arah Algojo Dari Timur.
"Siapa peduli?! Bagaimanapun juga kau te-
lah merendahkan Kami. Kalau kami menge-
royokmu, apa yang dapat kau perbuat?!" bentak
Raja Golok Dari Utara.
"Tidak ada pilihan kecuali terus melawan!
Hanya aku menyayangkan, tak kusangka datuk-
datuk sesat yang berjuluk Raja Golok Dari Utara,
Raja Racun Dari Selatan, dan kan Denok Supi,
ternyata mempunyai watak demikian rendah.
Memalukan!" teriak Algojo Dari Timur.
Meski juga digolongkan sebagai datuk sesat
yang merajai di daerah timur, namun sebenarnya
Algojo Dan Timur paling benci melihat cara-cara
licik yang sering dilakukan golongan hitam.
Hanya karena tindakannya yang kejam ketika
menumpas musuh-musuhnya demi kepentingan
pribadinya, baik dari golongan putih maupun go-
longan hitam itu sendiri, maka tak heran kalau ia
mendapat julukan Algojo Dari Timur!
"Jangan sok alim, Setan Botak! Semua
orang di dunia persilatan tahu, siapa dirimu. Pa-
kai berkhotbah segala!" cibir Denok Supi sengit.
"Buat apa kita berdebat dengan manusia
satu ini? Lebih baik enyahkan saja biar urusan
cepat selesai!" teriak Raja Racun Dari Selatan
dengan suara sember.
"Betul! Mari kita cincang setan gundul ini
ramai-ramai, Kawan!" teriak Raja Golok Dari Uta-
ra tak sabar.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Golok
pun kembali menyerang Algojo Dari Timur hebat.
Gerakan golok di tangan kanannya menyambar-
nyambar ganas mengurung pertahanan lawannya.
Melihat Raja Golok Dari Utara telah men-
dahului menyerang, Raja Racun Dari Selatan dan
Denok Supi pun tidak mau ketinggalan. Dengan
jurus-jurus andalan, mereka kembali menggem-
pur Algojo Dari Timur.
Bukan main hebatnya serangan ketiga to-
koh sesat itu. Dan ini membuat Algojo Dari Timur
benar-benar kewalahan. Andai saja ketiganya ma-
ju satu persatu, belum tentu dapat merobohkan
tokoh sesat dari timur itu. Namun kali ini uru-
sannya sudah lain. Mau tidak mau, Algojo Dari
Timur harus menghadapi mereka. Dan entah su-
dah berapa kali tubuhnya yang tinggi besar itu
terpaksa berjumpalitan ke sana kemari menghin-
dari bacokan-bacokan golok Raja Golok Dari Uta-
ra dan jepitan gunting di tangan Denok Supi.
Sekarang pada jurus yang kesebelas, Algojo
Dari Timur benar-benar mati kutu. Bacokan golok
di tangan Raja Golok yang datang dari depan
sungguh sulit dihindari. Belum lagi serangan
gunting Denok Supi yang datangnya dari samping
kiri. Mau berkelit ke samping kanan, jelas tidak
mungkin. Karena di sana ada Raja Racun yang
siap dengan pukulan 'Telapak Kelabang Hitam'-
nya.
"Hyaaat!"
"Hyaaat...!"
Cring!
Algojo Dari Timur nekat menangkis golok di
tangan Raja Golok Dari Utara dengan parang pan-
jangnya. Sedang serangan Denok Supi yang da-
tang dari kiri hanya dihindari dengan berkelit ke
samping kanan. Sangat berbahaya sekali sebe-
narnya. Karena di samping kanan, Raja Racun
Dari Selatan siap dengan pukulan 'Telapak Kela-
bang Hitam'. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa Algojo
Dari Timur langsung terlempar beberapa tombak
ke belakang begitu pukulan 'Telapak Kelabang Hi-
tam' Raja Racun Dari Selatan menghantam pung-
gungnya. Seketika itu juga, wajah Algojo Dari Ti-
mur menjadi pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar
hebat, pertanda mengalami luka dalam cukup
lumayan. Untung saja tadi tubuhnya yang terke-
na pukulan sempat dilindungi tenaga dalam. Se-
hingga tidak begitu membahayakan keselamatan-
nya.
"Hoeeekh...!"
Algojo Dari Timur muntahkan darah segar.
Dadanya terasa sesak akibat racun kelabang hi-
tam yang bersarang di tubuhnya mulai bekerja.
Buru-buru tangannya merogoh saku, mengambil
obat pulung yang langsung ditelannya. Kemudian
dengan tertatih-tatih dicoba bangun.
"Ha ha ha...! Bersiap-siaplah menemui ib-
lis-iblis gentayangan di dasar neraka, Setan Bo-
tak!" teriak Raja Golok Dari Utara sebelum berge-
rak ke depan dengan golok di tangan.
Tentu saja Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan tak mau kalah. Dengan jurus-jurus an-
dalan, kedua orang tokoh sesat itu pun kembali
menerjang ganas Algojo Dari Timur yang sudah
terluka.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Algojo Dari Timur kali ini benar-benar ne-
kat ingin mengadu nyawa. Parang panjangnya
yang siap menangkis golok di tangan Raja Golok,
sekaligus menangkis gunting di tangan Denok
Supi. Sedang serangan Raja Racun yang mengan-
dalkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam',
siap dihadapi dengan pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir'.
Namun belum sempat serangan-serangan
ketiga tokoh sesat itu sampai di dekat tubuh Algo-
jo Dari Timur, mendadak tanah tempat berpijak
bergetar-getar hebat. Selang beberapa kejap ke-
mudian....
Brolll!
"Heh?!"
Tanah yang bergetar-getar hebat itu men-
dadak membuncah tinggi ke udara. Dan bersa-
maan dengan itu nampak sesosok bayangan me-
rah menyala muncul dari dasar bumi, dan men-
darat manis. Begitu ringannya hingga tak menim-
bulkan suara sedikit pun saat mendarat tak jauh
dari Algojo Dari Timur berdiri!
Orang yang baru datang bertubuh tinggi
besar. Pakaiannya berwarna merah darah. Ma-
tanya besar, demikian pula hidungnya. Sedang
rambut, alis mata, kumis, dan jenggotnya pun
berwarna merah menyala!
"Ma.... Manusia Rambut Merah...!" pekik
keempat tokoh sesat dunia persilatan itu hampir
berbarengan.
***
"Ha ha ha...! Tidak salah lagi! Memang aku-
lah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," kata
sosok yang memang Manusia Rambut Merah ter-
tawa mengakak. Suara beratnya yang sarat tena-
ga dalam menggema ke segenap penjuru. "Kuden-
gar di sini akan diadakan pemilihan tokoh sesat
di dunia persilatan? Lantas, mengapa kalian tidak
memanggilku? Apa kalian pikir, ilmu kalian
mampu menandingi ilmuku, he?!"
"Aku tidak pernah menganggap kau masuk
dalam hitungan kami. Untuk itu, lekaslah pulang
ke sarangmu di Hutan Sawo Kembar sebelum go-
lokku merajam tubuhmu!" bentak Raja Golok ga-
rang.
Walau tadi sempat ciut nyalinya melihat
ilmu Manusia Rambut Merah yang baru saja dipe-
ragakan, namun karena sikap congkaknya yang
berlebihan membuat Raja Golok Dari Utara me-
mandang rendah.
"Kau terlalu memandang rendah padaku,
Raja Golok! Karena kau telah berani lancang ber-
kata demikian, maka kau pulalah orang pertama
yang akan kugebuk," desis Manusia Rambut Me-
rah penuh kemarahan.
"Majulah! Jangan hanya pintar mengumbar
suara saja!" tantang Raja Golok Dan Utara, nekat.
"Setan alas! Jangan salahkan kalau aku
sedikit kasar menggebukmu, Raja Golok!"
Manusia Rambut Merah cepat melolos
cambuk pusakanya dari pinggang. Seketika dis-
erangnya Raja Golok dengan lecutan cambuknya.
Ctarrr...!
Ctarrr...!
Cambuk hitam itu cepat meliuk-liuk me-
nyerang tubuh Raja Golok Dari Utara.
Tokoh sesat dari utara ini tersenyum men-
gejek. Golok mautnya segera digerakkan ke de-
pan, memapak serangan cambuk Manusia Ram-
but Merah.
Prattt!
Golok di tangan tokoh bertubuh pendek itu
berhasil memapak serangan. Namun anehnya,
cambuk itu masih utuh seperti sediakala. Sama
sekali tidak rusak akibat babatan goloknya. Bah-
kan tangan Raja Golok sendirilah yang merasa
kesemutan akibat tangkisannya tadi.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan lecutan
cambukku, Raja Golok," ejek Manusia Rambut
Merah yang bernama asli Jarkasi ini.
Ctar!
Ctar!
Dua kali cambuk di tangan Ki Jarkasi
menghajar tubuh Raja Golok Dari Utara tanpa
dapat dihindari lagi.
"Augh...!"
Raja Golok Dari Utara memekik setinggi
langit. Tubuhnya yang terkena cambuk langsung
memerah. Sambil berdiri sempoyongan, matanya
memandang Manusia Rambut Merah beringas.
"Teman-teman! Ayo, kita cincang iblis me-
rah ini ramai-ramai!" teriak Raja Golok Dan Utara
pada teman-temannya.
Denok Supi dan Raja Racun Dari Selatan
cepat bergerak ke depan. Mereka langsung me-
nyerang Manusia Rambut Merah dengan ganas.
Sedang Algojo Dari Timur yang tadi mendapat lu-
ka parah akibat pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' tengah duduk bersemadi untuk me-
mulihkan luka dalamnya.
"Kalian ini benar-benar tidak tahu diri! Apa
kalian pikir dapat mengalahkan aku, he?!" bentak
Ki Jarkasi angkuh.
"Jangan banyak bacot! Lihat saja, bagai-
mana nanti kami mencincang tubuhmu Manusia
Rambut Merah!" balas Denok Supi merasa pena-
saran melihat Raja Golok Dari Utara dapat cedera
dalam sekali gebrakan.
"Bagus, bagus! Aku jadi ingin melihat, apa-
kah kalian ini pantas mendapat julukan datuk-
datuk sesat yang tersohor di dunia persilatan ini!"
ejek Manusia Rambut Merah.
Kali ini Ki Jarkasi tidak memberi hati lagi
terhadap ketiga pengeroyoknya. Tanpa banyak
membuang-buang waktu lagi, Manusia Rambut
Merah menghentak tangan kirinya ke depan. Ma-
ka seketika itu juga serangkum angin dingin me-
luruk menyerang Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan, Dan bersamaan dengan itu, kembali
cambuk di tangan kanannya melecut di udara.
Ctarrr!
Ctarrr!
Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, dan
Raja Racun kalang kabut menghadapi dua seran-
gan itu. Namun sebagai seorang tokoh sesat yang
sudah banyak makan asam garam, mereka tidak
gugup. Dengan sedikit miringkan tubuhnya ke ki-
ri, Denok Supi pun dapat menghindari pukulan
'Kelabang Geni'. Sementara Raja Racun Dari Sela-
tan dan Raja Golok Dari Utara memberanikan diri
menangkis serangan cambuk dan pukulan
'Kelabang Geni'.
Plakkk!
Plakkk!
Blarrr...!
Manusia Rambut Merah yang tenaga da-
lamnya terbagi-bagi dalam serangannya jadi ter-
huyung-huyung akibat benturan tenaga dalam
barusan. Namun untungnya tidak sampai mem-
bahayakan keselamatannya.
"He he he...! Rupanya hanya segini keheba-
tan Manusia Rambut Merah yang kesohor itu!"
ejek Raja Racun Dari Selatan dengan suara semb-
er.
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Jelas, ia paling tidak senang dilecehi orang. Maka
segera cambuknya diselipkan lagi ke pinggang.
"Jangan berbangga dulu, Raja Racun! Apa
kau belum merasakan ilmu 'Wejangan Iblis'-ku?!"
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Ma-
nusia Rambut Merah! Sejengkal pun aku tak
mundur?!" tantang Raja Racun Dari Selatan.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek sambil
memasang kuda-kuda. Kedua tangannya yang
siap mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang ba-
ru saja disempurnakan di gua pantai utara ber-
sama gurunya Jerangkong Hidup, telah berubah
menjadi merah menyala!
"Bersiap-siaplah kalian merasakan keheba-
tan ilmuku ini, Kawan! "Hyaaat...!"
Seleret sinar merah menyala seketika ke-
luar dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah begitu dihentakkan.
Raja Racun Dari Selatan tidak berani me-
mandang rendah kehebatan pukulan 'Wejangan
Iblis'. Ia yang sudah cukup pengalaman tahu ka-
lau pukulan Manusia Rambut Merah mengan-
dung racun keji. Setelah membuat kuda-kuda,
cepat dipapakinya dengan pukulan 'Telapak Tan-
gan Kelabang Hitam'.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Blarrr...!
Hebat bukan main akibat pertemuan dua
tenaga dalam di udara barusan. Tanah di sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pohon-pohon pun men-
jadi layu. Sementara Manusia Rambut Merah
nampak tenang-tenang saja di tempatnya. Sedikit
pun tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga
dalam tadi.
Dan rupanya tidak demikian dengan Raja
Racun Dari Selatan. Tubuhnya langsung terpental
ke belakang begitu benturan terjadi. Dan seketika
itu juga wajahnya pucat pasi. Darah segar pun
membasahi bibirnya.
"He he he...! Apa kalian belum juga mau
mengakui kehebatan ilmuku? Ayo, siapa lagi yang
mau maju!" tantang Ki Jarkasi pongah.
"Heh! Kau hanya mengandalkan pukulan
mautmu saja. Apa kau berani menghadapi kami
berdua dengan senjata cambukmu itu?" tukas Ra-
ja Golok Dari Utara belum juga mau mengalah.
"Apa bedanya? Toh aku dapat mengalah-
kan kalian. Dan aku pulalah yang pantas menda-
pat julukan datuk nomor satu di dunia persilatan
ini," sahut Manusia Rambut Merah bangga.
"Aku mau mengakuimu sebagai datuk no-
mor satu di dunia persilatan, asal kau dapat
mengalahkan kami dengan menggunakan cam-
bukmu itu, Manusia Rambut Merah!" kata Raja
Golok Dari Utara masih membandel.
"Baik, baik! Kuterima tantanganmu ini. Ta-
pi, ingat! Kalau kau masih bertanya macam-
macam, terpaksa aku akan mengirim nyawamu
ke neraka. Tahu?!" geram Ki Jarkasi jengkel.
"Majulah! Aku hanya ingin menjajal kehe-
batan cambukmu saja!" ujar Raja Golok Dari Uta-
ra.
Manusia Rambut Merah kesal. Tangannya
yang kekar cepat melolos kembali cambuknya.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, segera dis-
erangnya Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Ctarrr!
Ctarrr!
Meski dikeroyok begitu, cambuk Manusia
Rambut Merah tetap dapat mengurung pertaha-
nan Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara. Per-
lahan namun pasti, Ki Jarkasi terus mendesak
kedua orang tokoh sesat dari barat dan utara itu
hingga tidak dapat membalas serangan sama se-
kali.
Ctarrr!
Ctarrr!
"Aaakh...!"
"Auuhh...!"
Dua kali cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah melecut menyengat tubuh Denok Supi
dan Raja Golok Dari Utara hingga tersentak dan
jatuh ke tanah. Mereka kontan memekik setinggi
langit. Tubuh yang terkena cambuk langsung
memerah.
"He he he...! Kalau saja kalian bukan satu
golongan, sudah pasti akan kukirim nyawa anjing
kalian ke neraka! Tahu?!" hardik Ki Jarkasi ga-
rang.
Denok Supi dan Raja Golok saling berpan-
dangan. Kini kedua orang itu tidak lagi bernafsu
melanjutkan pertarungan. Mereka hanya bisa di-
am membisu di tempatnya.
"Bagus! Bagus! Mulai hari ini kalian be-
rempat harus mengakui aku sebagai datuk sesat
nomor satu di empat penjuru mata angin. Siapa
yang berani menentang keputusanku ini, berarti
mati!" teriak Ki Jarkasi angkuh.
"Dan satu lagi! Cepat cari keterangan ten-
tang seorang pemuda yang dapat menjelma men-
jadi Siluman Ular Putih! Syukur kalau kalian da-
pat menghabisinya sekalian. Kalau tidak, cepat
beri laporan padaku! Mengerti?!"
"Baik!" sahut para tokoh sesat yang bi-
asanya berpenampilan garang itu, patuh.
"Nah! Sekarang enyahlah kalian dari hada-
panku!" perintah Manusia Rambut Merah ang-
kuh.
"Baik!"
Para tokoh sesat itu serempak bangkit.
Demikian pula Algojo Dari Timur yang masih ter-
luka dalam. Namun belum sempat mereka berge-
rak dari tempatnya....
"Tunggu...! Kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini, Manusia Rambut Merah! Aku akan
membuat perhitungan denganmu!"
Mendadak dari arah utara puncak Gunung
Merapi terdengar seseorang berteriak-teriak lan-
tang, menantang Manusia Rambut Merah!
***
Di hadapan Manusia Rambut Merah dan
keempat orang tokoh sesat yang telah ditakluk-
kannya, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih
dan seorang gadis berpakaian merah-merah. Me-
reka tak lain Gagak Seto dan Ratih, putrinya.
Manusia Rambut Merah mendengus. Ma-
tanya yang memerah memandangi Gagak Seto
dan gadis itu dengan tatapan congkak!
"Lihatlah! Bagaimana caranya aku meng-
hajar orang-orang yang mencari mati di tempat
ini," kata Ki Jarkasi pada keempat orang tokoh
sesat ini, tanpa sekedip pun menoleh.
Keempat tokoh sesat yang semula bermak-
sud meninggalkan puncak Gunung Merapi jadi
mengurungkan niatnya. Dan tanpa diperintah
pun, mereka telah mengurung Gagak Seto dan
Ratih.
"Lagakmu sombong sekali, Manusia Ram-
but Merah! Aku datang kemari bukannya ingin
menangkapmu. Melainkan ingin mencabut nyawa
anjingmu atas meninggalnya keponakanku, Pen-
dekar Kujang Emas tahun lalu!"
"Ha ha ha...! Mengapa kau tidak bawa ke-
mari Pendekar Pedang Kilat buana sekalian, biar
masalah ini cepat selesai?!" kata Manusia Rambut
Merah di antara tawanya yang menggema ke seki-
tarnya.
"Tidak perlu aku membawa-bawa beliau
kemari. Aku sendiri, Gagak Seto cukup mampu
mengirim nyawa anjingmu ke neraka!" tantang
Gagak Seto, berani.
Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari pinggang.
Sret!
Ratih yang melihat ayahnya sudah menca-
but pedang pun cepat mencabut pedangnya pula.
Gadis ini siap membantu ayahnya menghadapi
Manusia Rambut Merah.
"Cepat keluarkan semua kepandaian kalian
kalau benar-benar ingin mencari mati!" tantang Ki
Jarkasi mengejek.
"Kunyuk merah besar kepala! Terimalah
kematianmu hari ini! Hyaaat....!" teriak Ratih
sambil meluruk deras. Pedang di tangan kanan-
nya telah menyambar-nyambar ganas.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Dan tiba-
tiba jubah merahnya dikebutkan sekali. Maka se-
ketika itu juga serangkum angin dingin meluruk
deras.
"Ah...!"
Ratih memekik. Tubuhnya yang terkena
sambaran angin kebutan Manusia Rambut Merah
langsung terlempar ke belakang.
Dan Gagak Seto cepat menyerang, begitu
melihat putrinya yang terpental ke belakang dike-
jar Manusia Rambut Merah. Hebat sekali seran-
gan pedang Tumenggung Kerajaan Mataram ini,
karena telah mengeluarkan jurus andalannya.
"Hyaaat...! Hyaaat...!"
Gagak Seto semakin mempercepat seran-
gannya. Ia yang cukup tahu kehebatan musuh-
nya, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Te-
rus digempuri Manusia Rambut Merah dengan
hebat.
Untuk beberapa saat, Gagak Seto cukup
dapat merepotkan Manusia Rambut Merah. Na-
mun setelah Ki Jarkasi mencabut cambuknya,
perlahan-lahan ayahnya Ratih ini mulai terdesak.
Ratih yang tadi sempat merasakan keli-
haian Manusia Rambut Merah dalam segebrakan
saja, cepat kembali maju menyerang dengan pe-
dangnya.
Ctarrr!
Ctarrr!
Beberapa kali cambuk di tangan Manusia
Rambut Merah menyengat udara. Dan beberapa
kali pula tubuh Gagak Seto dan Ratih tersengat
lidah cambuk. Seketika itu juga pakaian yang di-
kenakan mereka koyak di sana sini. Sementara
bagian tubuh yang terkena lecutan tampak me-
merah!
Manusia Rambut Merah tertawa terbahak-
bahak. Lecutan-lecutan cambuknya terdengar
makin menggiriskan.
"Biar lebih enak kita bertarung, bagaimana
kalau putrimu yang cantik ini diamankan dulu,
Gagak Seto?"
Sebelum kata-kata habis, Ki Jarkasi berke-
lebat cepat. Dan tahu-tahu tangannya terjulur
menotok pundak Ratih yang belum bisa mengua-
sai keadaannya.
Tuk!
"Aaah...!"
Ratih mengeluh. Tubuhnya yang terkena
totokan langsung ambruk ke tanah.
"Demi Tuhan! Kalau kau mengganggu pu-
triku, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ma-
nusia Rambut Merah!" pekik Gagak Seto kalap
bukan main melihat putri tunggalnya dapat di-
lumpuhkan Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Begitu
berbalik, lecutan-lecutan cambuknya kembali
bergerak cepat.
Ctarrr! Ctarrr!
Mendapat serangan demikian, Gagak Seto
kewalahan bukan main. Dan kini tubuhnya telah
terkurung lecutan-lecutan cambuk Manusia
Rambut Merah. Bahkan entah sudah beberapa
kali tubuhnya yang memerah tersengat cambuk.
Untung saja ia masih dapat bertahan. Beberapa
kali tubuhnya melompat ke belakang sehingga
keadaannya tak semakin parah.
Ki Jarkasi geram bukan main. Ia sudah ti-
dak sabar ingin merobohkan Gagak Seto. Maka
lecutan-lecutan cambuknya makin dipercepat.
Sementara tangan kirinya telah berubah merah
menyala, siap melancarkan pukulan 'Kelabang
Geni'.
Ctarrr!
Ctarrr!
"Hyaaat...!"
Kali ini serangan-serangan Manusia Ram-
but Merah sungguh hebat bukan main. Diiringi
lecutan-lecutan cambuknya yang menggiriskan,
tangan kiri Ki Jarkasi melontarkan pukulan
maut.
Wesss!
Gagak Seto memutar pedangnya, menang-
kis lecutan-lecutan cambuk di tangan kanan Ma-
nusia Rambut Merah. Pada saat yang sama tan-
gan kiri Manusia Rambut Merah berkelebat ke
depan.
Seketika itu juga, wajah Gagak Seto pucat
pasi berkesiurnya angin dingin yang datang da-
lam jarak yang demikian dekat rasa-rasanya sulit
sekali dihindari. Apalagi tubuhnya sendiri pun
sempat bergetar hebat, setelah menangkis seran-
gan cambuk.
"Romo! Awas...!" teriak Ratih kalang kabut.
Wesss...!
Namun tiba-tiba saja seleret sinar putih te-
rang yang entah dari mana datangnya, menghan-
tam pukulan 'Kelabang Geni' yang dilontarkan
Manusia Rambut Merah.
Blarrr...!
Terdengar suara berdentum keras sekali,
akibat benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi
di udara. Tanah di sekitar puncak Gunung Merapi
bergetar hebat. Pohon-pohon pun menjadi layu!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
lebar. Tubuhnya yang tinggi besar sempat berge-
tar hebat akibat benturan tenaga dalam barusan.
Dan sekarang di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan dengan celana dan rompi
bersisik warna putih keperakan.
Tubuh pemuda itu tinggi kekar. Kulit wa-
jahnya putih bersih. Matanya yang agak kebiru-
biruan bersinar tajam seperti mata rajawali. Se-
dang rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sebuah rajahan bergambar ular putih di
dada kanan, nampak terlihat dari rompinya yang
terbuka tanpa kancing.
Sementara di belakang pemuda yang masih
tersenyum-senyum nakal memandang Manusia
Rambut Merah, berdiri seorang gadis cantik ber-
pakaian tambal-tambalan. Di samping gadis ini
berdiri pula seorang lelaki tua bertubuh tinggi ku-
rus yang juga mengenakan pakaian tambal-
tambalan. Sedang jauh di belakangnya nampak
terlihat seorang lelaki tua bercaping pandan ten-
gah terseok-seok menaiki puncak Gunung Mera-
pi.
"Siluman Ular Putih...!" teriak Ratih kegi-
rangan setelah tahu siapa pemuda tampan yang
telah menyelamatkan nyawa ayahnya.
Mendengar disebutnya Siluman Ular Putin
yang sedang diperbincangkan banyak orang, se-
ketika itu juga Manusia Rambut Merah dan juga
semua orang yang berada di puncak Gunung Me-
rapi jadi terkejut bukan main. Mereka semua ti-
dak menyangka kalau orang yang dijuluki Silu-
man Ular Putih ternyata masih muda
"Kaukah orang yang bergelar Siluman Ular
Putih?!" desis Manusia Rambut Merah garang,
begitu melihat orang yang dicari-carinya telah
menampakkan batang hidungnya.
"Kalau iya, kau mau apa?!" tukas Soma
acuh tak acuh.
Ki Jarkasi melotot lebar. Saking marahnya,
ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Soma tidak mempedulikannya. Malah ke-
palanya berpaling ke arah Ratih.
"Selamat bertemu kembali, Kawanku Yang
Cantik! Kenapa kau hanya tiduran saja di situ?
Apa kau lebih senang melihat nyawa orang me-
layang sambil tiduran begitu?" sapa Soma alias
Siluman Ular Putih kalem tanpa menghiraukan
kemarahan Manusia Rambut Merah.
"Putriku tertotok."
Gagak Seto yang baru saja diselamatkan
nyawanya oleh Soma segera menyahuti sambil
menghampiri putrinya untuk melepaskan toto-
kan.
"Oh...! Jadi Ratih itu putrimu ya, Orang
Tua? Pantas saja wajahnya cantik sekali. Habis,
ayahnya ganteng, sih! Tidak seperti kunyuk me-
rah itu!" tunjuk Soma pada Manusia Rambut Me-
rah. "Untung saja ayahmu bukan kunyuk merah
itu. Kalau iya, bukannya tidak mungkin gigimu
pun merah. Hik hik hik...! Mengerikan sekali!"
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Belum pernah seumur hidupnya ia direndahkan
seperti itu. Apalagi yang merendahkannya hanya
seorang pemuda kemarin sore!
"Bocah sinting! Apa kau belum tahu berha-
dapan dengan siapa?!" bentak Manusia Rambut
Merah garang.
"Kau...?! Ha ha ha...!" Soma tertawa. Tan-
gan kanannya membungkam ke mulut. "Melihat
ciri-cirimu, kau pasti orang yang bergelar Kunyuk
Besar Berambut Merah, bukan? Kebetulan sekali.
Aku memang sedikit ada urusan denganmu."
Bukan main marahnya Ki Jarkasi. Tanpa
disadarinya kedua telapak tangannya hingga ke
pangkal lengan telah berubah menjadi merah me-
nyala, siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Tunggu dulu, Kunyuk Merah! Aku hanya
ingin mendengar pengakuanmu, sebelum menco-
pot nyawamu dari tubuhmu! Apa benar kau yang
telah membunuh Mahesa, Pendekar Kujang Emas
itu?"
"Kalau iya, kau mau apa, Bocah Edan?!"
tantang Manusia Rambut Merah kalap.
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, ketahuilah.
Aku adalah putra tunggal Mahesa, si Pendekar
Kujang Emas itu. Dan mengenai kedatanganku
kemari, telah kukatakan tadi. Ingin mencopot
nyawamu. Aku pikir, masa hidupnya di alam
mayapada ini sudah habis. Nah! Sekarang ber-
siaplah menerima kematianmu, Kunyuk Merah!"
Meski mengucapkan kata-kata itu dengan
gayanya yang ugal-ugalan, namun sebenarnya da-
lam diri pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu berkecamuk dendam membara.
Beberapa orang yang ada di tempat itu
sempat membelalakkan mata lebar, begitu men-
dengar pengakuan Soma. Termasuk Salindri. Na-
mun kekagetan gadis itu hanya sebentar saja.
Apalagi telinganya tadi mendengar percakapan
Soma dengan Ratih begitu mesranya. Dan entah
mengapa, hatinya jadi panas sekali.
"Ja..., jadi kau anak Mahesa, Anak Muda?"
tanya Gagak Seto agak gugup.
"Benar, Orang Tua. Ada apa? Nampaknya
kau terkejut sekali?" tanya Soma enteng.
"Ketahuilah, Anak Muda! Aku sebenarnya
masih terhitung paman tiri dari ayahmu. Dan ke-
datanganku kemari bersama putriku ini, tidak
lain ingin menuntut balas atas kematian Mahesa
beberapa tahun yang lalu," jelas Gagak Seto.
"Oh...! Benarkah?" mata Soma terbelalak
lebar-lebar, seolah-olah tidak mempercayai omon-
gan orang berpakaian putih-putih di hadapannya.
"Benar, Anak Muda. Aku, Gagak Seto, me-
mang masih terhitung paman tiri ayahmu. Dan
kalau tidak salah, namamu Soma, bukan? Ratih
sudah beberapa kali bercerita padaku. Katanya,
kalian sudah saling kenal..."
"Benar, Pam..., eh! Eyang!" ralat Soma ce-
pat. Diam-diam hatinya senang sekali, karena ti-
dak menyangka masih mempunyai seorang pa-
man dari almarhum ayahnya. Mahesa, yang lebih
terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Benar, Soma. Meski usiaku belum terlalu
tua, aku memang masih terhitung eyangmu,"
tambah Gagak Seto lagi senang.
"Hm...," Soma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. "Kalau begitu aku harus memanggil pu-
trimu Bibik Ratih dong?" gumam si pemuda se-
perti pada diri sendiri.
"Boleh! Boleh! Memang Ratih masih terhi-
tung bibikmu! Tapi, sudahlah! Ngobrolnya nanti
saja!" kata Gagak Seto seraya memberi isyarat ke
arah Manusia Rambut Merah yang sudah bersiap-
siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Kau bilang akan mencopot nyawaku, Bo-
cah Edan? Apa kau punya nyawa rangkap se-
hingga berani berkata selancang itu?!" geram Ki
Jarkasi gusar. "Kalau begitu, terimalah pukulan
'Kelabang Geni'. Hyaaat...!"
Wesss...!
Seleret sinar merah menyala meluruk dari
kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah ke
arah Soma.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu tiba, Kunyuk Merah!"
Soma mengangkat kedua tangannya. Seke-
tika itu juga, seleret sinar putih terang berkeredep
melesat dari kedua telapak tangannya, memapaki
pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss!
Blarrr...!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi itu.
Tanah di puncak Gunung Merapi bagai dilanda
gempa. Pohon-pohon menjadi layu seketika.
Tubuh Soma sendiri pun bergetar hebat
akibat pertemuan dua tenaga dalam itu. Sedang
tubuh Manusia Rambut Merah sempat tergoyang-
goyang dengan kedua kaki melesak ke dalam ta-
nah. Hal ini, menandakan kalau tenaga dalam
mereka hanya berselisih sedikit. Namun, masih
unggul murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sementara Salindri yang saat itu kurang
waspada karena gemas melihat tingkah laku So-
ma pada Ratih tadi, hampir saja terkena samba-
ran angin akibat benturan dua tenaga dalam tadi.
Untung saja, tubuhnya segera ditarik oleh laki-
laki tua berpakaian tambalan di sebelahnya.
"Apa kau ingin mencari mampus di sini,
Salindri?! Mengapa kau tidak berusaha menying-
kir?!" bentak lelaki tua itu kesal, setelah berhasil
mengamankan Salindri.
Salindri memberengut. Entah mengapa ga-
dis itu jadi cepat sekali naik darah.
"Sudahlah, Ayah! Apa Ayah tidak ingin ce-
pat-cepat menghajar Raja Golok dan Denok Supi
yang telah membantai murid-murid anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam?" sergah Salindri, yang ter-
nyata putri laki-laki berpakaian pengemis itu.
Begitu laki-laki yang merupakan Ketua
Pengemis Tongkat Hitam dan bernama Ki Samiaji
ini diingatkan akan kematian murid-muridnya,
langsung saja menggeram penuh kemarahan. Dan
tanpa banyak cakap lagi, tongkat hitamnya pun
telah menyambar-nyambar ganas menyerang Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi
"Iblis-iblis tua tak tahu malu! Aku datang
menuntut balas atas kematian murid-murid ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Bersiap-siaplah ka-
lian semua menerima kematianmu hari ini!" teriak
Ki Samiaji garang di antara gulungan-gulungan
hitam tongkatnya yang terus mendesak Raja Go-
lok Dari Utara dan Denok Supi.
Sebenarnya, Ki Samiaji enggan berurusan
dengan Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Tapi berhubung mendapat laporan salah seorang
muridnya yang terlepas dari tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi, terpaksa seba-
gai Ketua Pengemis Tongkat Hitam ia harus turun
tangan. Sedang salah seorang pengemis lainnya
yang selamat dari tangan kedua iblis tua itu, mati
di tengah perjalanan setelah ditemukan Soma dan
Salindri. Kebetulan sekali letak markas Pengemis
Tongkat Hitam dengan puncak Gunung Merapi ti-
dak begitu jauh. Maka diiringi dua puluh orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam, Ki Samiaji pun
bergerak ke puncak Gunung Merapi
Dan kini kedua puluh orang anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam yang tadi diperintahkan
bersembunyi di lereng selatan pun mulai bergerak
menyerang Raja Golok Dari Utara dan Denok Su-
pi, begitu Ki Samiaji bersuit beberapa kali.
Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi ke-
walahan bukan main, menghadapi serangan-
serangan Ki Samiaji yang dibantu Salindri dan
dua puluh orang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam. Bahkan mereka nyaris tidak dapat memba-
las serangan. Perlahan namun pasti kedua iblis
tua itu semakin terdesak hebat.
"Kawan-kawan! Cepat bantu menumpas
jembel-jembel busuk ini!" teriak Raja Golok Dari
Utara kepada Raja Racun Dari Selatan dan Algojo
Dari Timur.
"Kalau saja tidak memandang kalian seba-
gai orang-orang satu golongan, malas aku mem-
bantumu," gerutu Raja Racun Dari Selatan den-
gan suara sember.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Racun
Dari Selatan pun cepat menerjang ke arena perta-
rungan dengan pukulan-pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'.
Dalam waktu yang tidak lama, empat orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam itu pun sudah
tergeletak di tanah dengan sekujur tubuh meng-
hitam terkena pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'.
Sementara, Algojo Dari Timur nampak ra-
gu-ragu untuk membantu ketiga orang kawannya.
Sebenarnya, bukannya ia tidak mau membantu.
Tapi, berhubung telah terluka dalam akibat dike-
royok tiga orang kawannya, Algojo Dari Timur jadi
sakit hati. Namun di saat tokoh sesat dari timur
ini ragu-ragu dengan apa yang akan diperbuat.
Wesss...!
Tiba-tiba saja angin dingin berkesiur me-
nyerang ke arah Algojo Dari Timur, secepat kilat
tubuhnya dilempar ke samping kiri. Begitu mena-
tap ke arah pembokong barusan, tokoh sesat dari
timur itu langsung mengenali. Pembokong itu ti-
dak lain dari orang tua bercaping pandan yang
berjuluk Raja Penyihir!
"He he he...! Gerakanmu cepat sekali. Pan-
tas saja, kau mendapat julukan Algojo Dari Ti-
mur," celoteh orang tua bercaping pandan, seo-
lah-olah merasa tidak bersalah atas perbuatan
curangnya barusan.
Ibarat harimau dicolek pantatnya, Algojo
Dari Timur pun menggeram penuh kemarahan.
"Raja Penyihir! Di antara kita tidak ada si-
lang sengketa. Mengapa kau membokongku? Apa
kau pikir aku takut menghadapi ilmu sihirmu?!"
dengus Algojo Dari Timur.
"He he he...! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Toh, kau dan ketiga orang
kawanmu tetap sama saja. Sama-sama dari go-
longan sesat, golongan orang yang suka membuat
onar di dunia. Buat apa bersilat lidah?"
"Keparat! Rasakan pembalasanku ini!
Heaaa...!" teriak Algojo Dari Timur, seraya meng-
hentakkan dua telapak tangannya yang telah be-
rubah putih menyilaukan mata hingga ke pangkal
lengannya. Namun dengan gerakan lincah, Raja
Penyihir cepat melompat ke udara. Dan....
Wesss...!
Blarrr...!
Batu gunung sebesar kerbau yang berada
di belakang Raja Penyihir tadi hancur berkeping-
keping begitu terkena pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir' milik Algojo Dari Timur.
Orang tua bercaping pandan itu mengge-
leng-geleng takjub.
Melihat serangan pertamanya gagal, Algojo
Dari Timur jadi murka. Tangan kanannya cepat
melolos parang panjang dari balik punggungnya.
Dan langsung diserangnya Raja Penyihir dengan
hebat.
Gagak Seto dan Ratih yang semula ber-
maksud ingin membantu Soma, jadi mengurung-
kan niatnya. Ternyata pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu dapat mengatasi Manusia
Rambut Merah, musuh besarnya. Namun ketika
melihat beberapa orang anggota Pengemis Tong-
kat Hitam mulai jatuh bergelimpangan dengan
sekujur tubuh menghitam, Gagak Seto pun jadi
menggeram penuh kemarahan.
"Ayo, lekas kita bantu Ketua Pengemis
Tongkat Hitam itu, Ratih!" ajak Gagak Seto kepa-
da putrinya.
Dan sehabis berkata begitu, tanpa banyak
cakap lagi Tumenggung Kerajaan Mataram itu
langsung menerjang Raja Racun dengan pedang-
nya.
Ratih memberengut. Bukannya tidak mau
membantu Ketua Pengemis Tongkat Hitam, na-
mun entah mengapa begitu melihat keakraban
Soma dengan Salindri, ia jadi geram. Bahkan
membenci gadis berpakaian compang-camping
itu.
"Ayo, Bibik Ratih? Mengapa kau tidak mau
membantu ayahmu menghadapi tua bangka itu?!"
teriak Soma, yang tengah sibuk menghadapi Ma-
nusia Rambut Merah itu. Pemuda itu tak bermak-
sud menggoda, saat memanggil Ratih dengan se-
butan 'bibik'.
"Sekali lagi kau menyebutku Bibik Ratih,
kucongkel kedua bola matamu, Soma!" sahut Ra-
tih kesal.
"Habis aku harus bilang bagaimana? Orang
kenyataannya kau bibikku kok?" omel Siluman
Ular Putih.
"Cerewet!" sungut Ratih kesal, namun toh
akhirnya mau juga membantu ayahnya mengha-
dapi Raja Racun Dari Selatan.
Soma lega. Sekarang pemuda ini dapat
menghadapi Manusia Rambut Merah dengan te-
nang.
Ki Jarkasi gusar bukan main. Hampir de-
lapan jurus lebih tapi ia belum mampu meroboh-
kan musuhnya. Jangankan merobohkan. Me-
nyentuh seujung rambutnya pun belum.
"Hyaaat...!"
Ctarrr! Ctarrr!
Diiringi bentakan keras, Manusia Rambut
Merah melecutkan cambuknya yang menggi-
riskan. Sementara tangan kirinya telah berubah
menjadi merah menyala hingga ke pangkal len-
gan, siap melancarkan pukulan1 'Wejangan Iblis'
yang telah disempurnakan bersama gurunya di
gua Pantai Utara.
"Jangan terlalu bernafsu, Kunyuk Merah!
Aku jadi takut. Kulihat rambut merahmu berdiri
seperti landak saja. Hih...! Ngeri," ejek Soma sem-
bari berloncatan ke sana kemari, menghindari le-
cutan-lecutan cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah.
Tubuh pemuda ini meliuk-liuk di antara
kelebatan cambuk Manusia Rambut Merah. Se-
dang kedua tangannya yang berbentuk kepala
ular pun telah memainkan jurus-jurus sakti 'Ular
Kembar Mengejar Mangsa'. Sehingga perlahan
namun pasti, Siluman Ular Putih mulai mendesak
Ki Jarkasi. Dan untuk mempertajam serangan-
serangannya, cepat dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Manusia Rambut Merah menggereng penuh
kemarahan. Padahal jurus-jurus andalannya te-
lah dikeluarkan. Namun, tetap saja terdesak he-
bat. Mendadak telapak tangan kirinya yang telah
berwarna merah menyala cepat dilontarkan ke
tubuh Soma.
Wesss!
Seketika seleret sinar merah menyala mele-
sat dari telapak tangan kiri Ki Jarkasi.
Tidak ada pilihan lain. Soma yang sedang
sibuk menghindari lecutan-lecutan cambuk Ma-
nusia Rambut Merah harus cepat memapak se-
rangan dengan pukulan 'Inti Bumi'. Seketika tan-
gannya menghentak ke depan.
"Hyaaat...!"
Blarrr...!
Seleret sinar putih terang berkeredepan da-
ri kedua telapak tangan Soma yang memapak pu-
kulan 'Kelabang Geni' menimbulkan ledakan dah-
syat. Tampak tubuh tinggi besar Manusia Rambut
Merah terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Tanah di sekitar puncak Gunung Mera-
pi pun bergetar-getar hebat. Pohon-pohon layu
bagai terbakar.
Sementara itu tubuh Soma sendiri pun ter-
getar dengan kedua kaki melesak beberapa ram-
but ke dalam tanah. Namun, mulutnya tetap me-
nyunggingkan senyum nakal. Kemudian sembari
ngoceh tidak karuan, cepat diloloskannya senjata
andalannya. Anak Panah Bercakra Kembar!
Maka seketika itu juga, hawa dingin yang
bukan alang kepalang memenuhi kancah pertem-
puran! Beberapa orang Pengemis Tongkat Hitam
yang berkepandaian rendah langsung menggigil
kedinginan! Malah tiga orang pengemis berpa-
kaian tambal-tambalan segera duduk bersemadi!
"Ayo, maju! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatanmu. Jangan-jangan nama besarmu
hanyalah kosong belaka! Ayo, maju!" teriak Soma.
Siluman Ular Putih tak henti-hentinya
mengejek. Kaki kirinya ditekuk seperti orang du-
duk. Sedang kaki kanannya disilangkan ke kaki
kirinya. Sementara anak panah senjata andalan-
nya digunakan untuk menunjuk-nunjuk Manusia
Rambut Merah. Persis nenek-nenek sedang me-
marahi cucunya.
Manusia Rambut Merah menggeram penuh
kemarahan. Cambuk di tangan kanannya dipu-
tar-putar di atas kepala. Saat itu juga, serangkum
angin kencang berkesiur meluruk sebelum cam-
buknya bergerak maju.
"Sudahlah! Ayo, kalau mau menyerang
aku! Pakai bertingkah macam-macam lagi!" ejek
Soma.
Pemuda ini cepat menggeser kaki kirinya
sedikit ke kanan, menghindari sambaran angin
kencang Manusia Rambut Merah. Namun kea-
daannya masih tetap duduk ongkang-ongkang
kaki seperti tadi!
"Di...! Ih...! Kok main angin-anginan begini?
Apa kau tidak takut masuk angin, Kunyuk Me-
rah? Kudengar kau tidak mempunyai bini. Lan-
tas, siapa yang akan mengerokimu nanti?"
"Bocah edan! Belum puas aku kalau belum
meneguk darah anjingmu! Hyaaat!"
Manusia Rambut Merah benar-benar mur-
ka. Cambuk di tangan kanannya makin berkele-
bat cepat mengurung pertahanan Soma. Hebat
bukan main serangannya.
Ctarrr!
Ctarrr!
Namun Soma sama sekali tidak ciut nya-
linya melihat liukan-liukan cambuk di tangan to-
koh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu. Malah
tingkahnya makin ugal-ugalan. Sambil ngoceh ti-
dak karuan, Siluman Ular Putih berloncatan ke
sana kemari menghindari lecutan-lecutan cam-
buk. Tindakannya pun terlihat seperti orang
main-main. Lecutan cambuk itu hanya ditangkis
bila perlu saja.
"Ayo, Kunyuk Merah! Kejar aku...! Kejar
daku! Kau kutangkap!" ejek Soma habis-habisan.
Mulutnya yang nakal mulai bernyanyi-nyanyi ke-
girangan.
Ki Jarkasi kini sadar. Meski musuhnya
masih muda, namun tidak berani memandang
ringan lagi. Maka segera dikeluarkannya ilmu an-
dalannya. Kedua kakinya segera ditekuk keba-
wah. Sedang kedua tangannya ditangkupkan ke
atas seperti orang menyembah. Itulah salah satu
pembuka jurus sakti 'Wejangan Iblis'.
"Eh eh eh...! Apa yang kau lakukan, Ku-
nyuk Merah? Kok, nungging-nungging seperti itu?
Apa mau buang hajat? Hei, jangan di sini. Sana,
pergi! Pergi!" kata, Soma seraya mengibas-
ngibaskan senjata anehnya mengusir pergi Manu-
sia Rambut Merah.
Namun mendadak saja Soma mengerutkan
keningnya dalam-dalam, saat melihat kedua tan-
gan Manusia Rambut Merah telah berubah men-
jadi merah darah sampai ke pangkal lengan. Dan
begitu tangannya yang menelungkup itu diturun-
kan, seketika itu juga berkesiur angin panas dis-
ertai bau amis yang bukan alang kepalang!
"Eh, eh...!"
Hampir saja Siluman Ular Putih tidak ta-
han dibuatnya. Namun untung saja cepat tersa-
dar. Cepat tubuhnya digulingkan ke kiri.
Serangan Manusia Rambut Merah lewat
beberapa jengkal di samping Soma. Sementara si-
nar merah yang menebarkan bau amis terus me-
nerabas.
"Aaah...!"
Akibatnya dua orang pengemis berpakaian
tambal-tambalan langsung terpental disertai pe-
kikan setinggi langit. Tubuhnya yang terkena se-
rangan nyasar itu langsung hangus terbakar, tak
dapat bergerak-gerak lagi!
"Keparat...! Kau harus bertanggung jawab
atas nyawa dua orang pengemis itu, Kunyuk Me-
rah!" geram Soma penuh kemarahan.
Pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara.
Tangan kanannya cepat melemparkan senjata
mustikanya ke arah Manusia Rambut Merah. Se-
mentara tangan kirinya cepat melontarkan puku-
lan 'Inti Bumi'
"Hyaaat! Hyaaat...!"
Wesss!
Wesss!
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih kali ini. Bagai anak panah yang lepas dari
busur, senjata pusakanya langsung melesat me-
nyerang dengan kecepatan sulit diikuti pandan-
gan mata. Sementara satu sinar putih terang yang
berkeredep menyusul di belakangnya, tak jauh
dari senjata anak panah itu!
Menghadapi serangan yang demikian he-
bat, Manusia Rambut Merah cepat melempar tu-
buhnya ke samping kanan. Senjata pusaka Pe-
muda itu berhasil dihindari. Dan bersamaan den-
gan itu, tangan kirinya yang makin berwarna me-
rah darah cepat menyambut pukulan 'Inti Bumi'
Siluman Ular Putih.
Wesss!
Blarrr...!
Terdengar benturan keras di udara. Tubuh
Soma bergetar hebat akibat bentrokan tenaga da-
lam barusan. Wajahnya menegang. Bibirnya ber-
kemik-kemik penuh kemarahan.
Sementara pada saat yang sama, senjata
anak panah Siluman Ular Putih yang tadi luput
mengenai sasaran, entah mendapat tenaga gaib
dari mana, tahu-tahu telah membalik. Kini kem-
bali menyerang Manusia Rambut Merah dengan
kecepatan luar biasa!
Mata Manusia Rambut Merah melotot le-
bar-lebar. Saking marahnya, ia tidak sempat
mengeluarkan kata-kata lagi. Kedua kakinya yang
melesak ke dalam tanah, tahu-tahu telah mence-
lat tinggi ke udara. Cambuk di tangan kanannya
kini mulai menegang penuh berisi tenaga dalam.
Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, Ki
Jarkasi terus menyerang Soma hebat, sekaligus
menghindari serangan anak panah.
Sementara itu pertarungan di tempat lain
pun tak kalah seru dibandingkan pertarungan
Soma melawan Manusia Rambut Merah. Ki Sa-
miaji yang bertempur hebat melawan Raja Golok
Dari Utara, merasa penasaran sekali. Setelah, se-
kian jurus berlangsung, musuhnya belum juga di-
robohkan. Demikian juga Gagak Seto yang ber-
tempur hebat melawan Raja Racun. Sedang Sa-
lindri dan Ratih, nampak agak sungkan harus
saling bahu membahu menghadapi Denok Supi.
Padahal, mereka telah dibantu sebelas orang ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Namun tetap be-
lum mampu melumpuhkan tokoh sesat dari barat
itu.
Sementara itu Raja Penyihir yang mengha-
dapi Algojo Dari Timur telah mengeluarkan ilmu-
ilmu sihirnya. Dan ini membuat tokoh sesat dari
timur itu mulai gentar. Apalagi setelah Raja Pe-
nyihir berubah wujud menjadi raksasa hitam
mengerikan.
Tentu saja Algojo Dari Timur jadi ciut nya-
linya. Menghadapi Raja Penyihir dalam bentuk as-
linya saja, ia sudah kewalahan. Apalagi kini
menghadapi raksasa hitam jelmaan orang tua
bercaping pandan itu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Algojo Dan Timur pun segera mengambil
langkah seribu. Tubuhnya berkelebat cepat, me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi
Raksasa hitam jelmaan Raja Penyihir
hanya tertawa-tawa berkakakan. Kemudian per-
lahan-lahan puluhan tubuhnya menciut kembali
menjelma menjadi orang tua bercaping pandan.
"Ha ha ha...! Baru segitu saja sudah lari
tunggang langgang!" omel orang tua bercaping
pandan itu di antara suara tawanya yang berge-
lak. "Eh..., eh! Tapi, mana bocah sinting calon
muridku?"
Raja Penyihir celingukkan ke sana kemari
mencari-cari Soma. Dan ketika dilihatnya pemuda
yang sedang dicarinya sedang bertempur hebat
melawan Manusia Rambut Merah, buru-buru ia
meloncat mendekati kancah pertarungan, dan
duduk ongkang-ongkang kaki menonton jalannya
pertarungan. Sesekali mulutnya bersorak-sorak
kegirangan menyaksikan calon muridnya dapat
mengerjai lawannya dengan sikap ugal-ugalan.
"Ayo, Calon Muridku! Gebuk pantatnya!
Jambak rambutnya sampai protol. Cabuti semua
bulu kumis dan jenggotnya yang merah itu. Seka-
lian alis matanya, biar jadi memedi sawah!" teriak
Raja Penyihir kegirangan.
"Baik, baik! Akan kulakukan semua perin-
tahmu, sebelum aku mengirim nyawanya pada
Raja Akhirat, Orang Tua. Tapi ngomong-ngomong,
siapa yang sudi menjadi muridmu?" teriak Soma
menanggapi ocehan Raja Penyihir sambil berta-
rung.
"Eh eh eh...! Jadi kau membangkang tidak
mau menjadi muridku, ya?!" teriak orang tua itu
gusar.
Sekarang Raja Penyihir tidak lagi duduk
ongkang-ongkang kaki seperti tadi, melainkan
sudah berdiri berkacak pinggang di luar kancah
pertarungan.
Kali ini Soma tidak lagi menanggapi. Perha-
tiannya kini dipusatkan kepada Manusia Rambut
Merah untuk melaksanakan apa yang baru saja
diperintahkan Raja Penyihir. Segera pemuda ini
memasang kuda-kuda, siap memainkan jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
"Kunyuk Merah! Bersiap-siaplah kujadikan
memedi sawah seperti yang dikatakan orang tua
sinting itu!" ancam Soma, langsung mencelat
tinggi ke udara menyerang Manusia Rambut Me-
rah.
Ki Jarkasi menggerutukkan gerahamnya
kuat-kuat. Kedua tangannya yang telah berubah
merah menyala hingga ke pangkal lengan siap
menyambut serangan.
Siluman Ular Putih bukannya mengendur-
kan serangannya, malah semakin mempercepat
gerakan kedua tangannya. Begitu Manusia Ram-
but Merah melepas pukulan 'Wejangan Iblis'-nya
yang menebarkan bau amis, Soma segera me-
nangkisnya dengan pukulan 'Inti Bumi'-nya. In-
ilah siasatnya untuk mengerjai Ki Jarkasi.
Wesss...!
Bllarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat akibat perte-
muan dua kekuatan tenaga dalam tinggi.
Manusia Rambut Merah terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Soma
sendiri hanya tergetar saja. Dan di saat Ki Jarkasi
belum sempat berbuat apa-apa, tangan kanan
pemuda ini cepat bergerak ke depan mencabut
rontok kumis laki-laki tinggi besar itu.
"Augh...!" pekik Manusia Rambut Merah
melengking. Kumisnya yang tercabut tadi lang-
sung memerah, mengeluarkan darah segar.
Soma tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
Orang tua bercaping pandan yang semula
sangat gusar dengan penolakan Soma, kini mulai
tertawa-tawa senang.
"Nah, nah...! Itu hadiahnya, karena kau te-
lah lancang membunuh Pendekar Kujang Emas,
ayahku!" celoteh Soma. "Sekarang, lihatlah seran-
gan berikutnya! Mungkin bukan saja rambutmu
yang rontok. Malah, bisa juga nyawamu yang me-
layang. Hati-hatilah, Kunyuk Merah!"
Geraham Ki Jarkasi bergemelutuk. Tiba-
tiba saja tubuhnya diputar cepat sekali seperti
gasing. Seketika itu juga, tanah di puncak Gu-
nung Merapi itu membuncah tinggi, ke udara.
Dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu tubuhnya
telah amblas ke dalam bumi!
"Eh...! Mau ngapain? Kok, malah main pe-
tak umpet?" tanya Soma, heran. Namun ketika
menyadari kalau Manusia Rambut Merah adalah
guru Prameswara yang dapat amblas bumi itu,
pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.
"Awas, Bocah Edan! Ia mulai menyerang-
mu!" teriak Raja Penyihir memperingatkan.
Memang benar apa yang dikatakan orang
tua bercaping pandan itu. Tanah tempat Manusia
Rambut Merah amblas bumi tadi mulai bergerak-
gerak cepat mendekati. Soma menunggunya se-
bentar. Dan begitu tanah yang bergerak-gerak di
bawahnya makin dekat, buru-buru Siluman Ular
Putih melompat tinggi ke udara.
Seperti yang telah diduga ketika mengha-
dapi Prameswara, Manusia Rambut Merah pasti
akan muncul kembali ke udara dan melancarkan
serangan mautnya. Dan ternyata perhitungan
pemuda ini benar. Begitu tanah di bawahnya
membuncah, langsung dikirimkannya pukulan
'Inti Bumi' dan 'Inti Api' secara bersamaan pada
bayangan merah yang baru muncul dari dalam
tanah dengan sebuah serangan berupa sinar me-
rah darah.
Wesss! Wesss!
Dua leret sinar putih terang berkeredepan
dan merah menyala dari kedua telapak tangan
Soma, cepat menghantam seleret sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah. Akibatnya....
Blarrr...!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam kedua orang itu kali ini, karena sama-sama
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Beberapa orang yang sedang bertempur
pun dapat merasakan hawa panas akibat perte-
muan dua tenaga dalam tadi. Namun, itu hanya
sebentar. Setelah hawa panas itu menghilang,
mereka kembali melanjutkan pertarungan.
Sementara itu Manusia Rambut Merah
yang sempat terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang langsung memuntahkan darah segar.
Jelas, Ki Jarkasi menderita luka dalam yang cu-
kup lumayan. Mendapati kenyataan ini, hatinya
jadi gusar sekali. Apalagi ketika melihat ketiga da-
tuk sesat yang telah menjadi anak buahnya mulai
terdesak hebat oleh musuh-musuhnya.
Sedang Algojo Dari Timur pun sudah tak
terlihat lagi batang hidungnya.
Pada saat itu pula Denok Supi tengah
mengamuk hebat dengan jarum-jarum beracun-
nya. Seketika itu juga, beberapa orang pengemis
berpakaian tambal-tambalan jatuh bergelimpan-
gan ke tanah, tak mampu bangun lagi. Mati! Na-
mun Denok Supi sendiri pun harus menebusnya
dengan mahal. Ia harus merelakan tangan kirinya
yang buntung akibat terbabat pedang di tangan
Gagak Seto yang turun membantu putrinya.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang
kurang menguntungkan. Tanpa banyak pikir pan-
jang lagi Manusia Rambut Merah yang sudah ter-
luka parah langsung berbalik. Begitu kaki kanan-
nya ke tanah, tubuhnya berkelebat cepat dan le-
nyap dalam kegelapan malam.
"Hei...! Kunyuk Merah mau lari ke mana
kau?!" teriak Soma gusar.
Pemuda ini tak menyangka kalau musuh
besarnya akan lari meninggalkannya. Maka sece-
patnya kakinya menjejak tanah dan berkelebat
mengejar. Namun baru beberapa langkah me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja sebuah
bayangan hitam memanjang telah melibat leher-
nya!
"Heit...! Tunggu dulu! Kau tidak boleh me-
ninggalkan tempat ini begitu saja! Aku harus
mendengar kesanggupanmu. Maukah kau menja-
di muridku?!" cegah Raja Penyihir tanpa mempe-
dulikan kemarahan Soma.
"Ya, ampun! Kau lihat! Musuh besar yang
telah membunuh ayahku melarikan diri. Aku be-
lum puas kalau belum membunuhnya, Orang
Tua! Tapi mengapa kau menghalang-halangi
langkahku?" maki Soma gusar bukan main. Ke-
dua tangannya bergerak-gerak, membabat putus
bayangan hitam yang memanjang. Namun aneh-
nya, bayangan hitam yang mengikat lehernya ma-
lah semakin kencang mencekik lehernya.
"He he he...! Kau tidak mungkin dapat
memutuskan 'Tali Gaib'-ku, Bocah Edan!" ejek
orang tua bercaping pandan itu di antara suara
tawanya.
"Orang tua! Sebenarnya apa yang kau in-
ginkan?" bentak Soma kewalahan tak dapat me-
mutuskan 'Tali Gaib' buatan Raja Penyihir.
"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku
hanya ingin tanya apakah kau mau menjadi mu-
ridku? Tapi kalau seandainya saja menolak, tak
mungkin aku mau melepaskan 'Tali Gaib'-ku.
Ayo, sekarang jawab! Bersediakah menjadi mu-
ridku?"
"Tapi..., tapi, aku harus menyelesaikan
masalahku dulu dengan Kunyuk Merah itu,
Orang Tua," sergah Soma kesal.
"Baik. Aku akan melepaskanmu. Asal mu-
lai sekarang, kau harus memanggilku guru. Mau
kan?"
"Baik, Orang Tua," sahut Soma kesal.
"Guru! Panggil aku guru, tahu!"
"Ba..., baik, Guru!" ulang Soma ragu-ragu.
Orang tua bercaping pandan itu tertawa-
tawa kegirangan. Lalu, dilepaskannya 'Tali Gaib'-
nya yang mengikat leher Soma.
"Nah! Sekarang kau boleh mengejar musuh
besarmu itu. Mungkin ia lari ke tempat pertapaan
gurunya di gua Pantai Utara, tak jauh dari Hutan
Asem Arang," jelas Raja Penyihir, membuat keka-
lutan Soma sedikit berkurang.
"Baik, Guru! Sekarang juga aku akan men-
gejarnya ke sana!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun segera
berkelebat cepat meninggalkan puncak Gunung
Merapi.
"Tunggu dulu, Muridku! Aku juga masih
punya urusan barang satu jurus dengan si tua
bangka Jerangkong Hidup itu," teriak Raja Penyi-
hir lantang.
Soma yang sedang kesal karena musuh be-
sarnya kabur, tidak mempedulikan ocehan calon
gurunya. Pemuda itu terus saja berlari kencang,
meninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Murid sinting! Murid sunting...!" maki Raja
Penyihir sambil membanting-banting kaki kanan-
nya kesal.
Sementara itu pertempuran di puncak Gu-
nung Merapi masih berjalan seru. Meski tangan
kanan Denok Supi buntung, namun masih bisa
mendesak lawan-lawannya hebat. Ratih dan Sa-
lindri kewalahan bukan main. Entah sudah bera-
pa kali kedua gadis cantik itu terpaksa berjumpa-
litan di udara menghindari jarum-jarum hijau
yang berkeredepan milik Denok Supi.
Serrr!
Serrr!
Bukan main kagetnya Ratih dan Salindri
melihat sinar hijau berkeredep yang demikian ba-
nyaknya. Tak mungkin mereka dapat menghin-
dar. Namun, mendadak saja serangkum angin
dingin lagi-lagi memukul rontok jarum-jarum hi-
jau milik Denok Supi.
"Lagi-lagi kau yang menghalang-halangi se-
rangan-seranganku, Gagak Seto!" bentak Denok
Supi penuh kemarahan. Tangan kanannya cepat
menyebar jarum-jarum hijaunya ke arah Gagak
Seto.
Gagak Seto yang saat itu sedang sibuk
menghadapi serangan-serangan Raja Racun Dari
Selatan hanya tersenyum. Dengan sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi tegapnya telah mencelat ke udara menghin-
dari serangan-serangan jarum hijau milik Denok
Supi. Pada saat melayang-layang seperti itu, tan-
gan kiri yang telah berubah menjadi kuning hing-
ga sampai ke pangkal lengan, cepat didorong ke
depan memapak pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' milik Raja Racun Dari Selatan. Se-
dang tangan kanannya cepat memutar pedang
sedemikian rupa, menangkis jarum-jarum hijau
Denok Supi yang masih terus meluruk cepat.
Wesss! Wesss!
Serrr! Serrr!
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras di udara. Tubuh
Gagak Seto yang masih melayang-layang di udara
bergetar hebat, dan langsung mencelat tinggi ke
udara akibat bentrok dengan pukulan 'Telapak
Tangan Kelabang Hitam' milik Raja Racun Dari
Selatan. Kalau saja tidak membagi serangannya,
belum tentu paman tiri Pendekar Kujang Emas
dapat dibuatnya sempoyongan seperti itu oleh Ra-
ja Racun Dari Selatan. Buktinya, meski sesekali
membantu teman-temannya yang terdesak hebat
oleh musuh-musuhnya, toh tetap saja Raja Racun
Dari Selatan belum mampu merobohkannya.
Dan di saat tubuhnya mencelat tinggi ke
udara itu, Gagak Seto kembali memainkan jurus
saktinya 'Pedang Sakti Bintang Emas'. Tubuhnya
yang semula melayang-layang di udara, cepat
menukik tajam menyerang Denok Supi dengan
kecepatan mengagumkan.
"Ah...!" pekik Denok Supi tertahan.
Namun, bukan berarti tokoh sesat dari ba-
rat ini jadi gugup. Begitu melihat pedang di tan-
gan Gagak Seto berkelebat hendak menusuk
ubun-ubun kepalanya, wanita genit ini cepat me-
lempar tubuhnya ke samping sambil kembali me-
nyebar jarum-jarum racunnya.
Sedang Raja Racun Dari Selatan yang me-
lihat kawannya kewalahan, segera menerjang be-
gitu pendekar dari Keraton Mataram itu menje-
jakkan kedua kakinya di tanah.
Namun belum sempat Raja Racun Dari Se-
latan melaksanakan niatnya, mendadak Ratih
dan Salindri telah menerjang dengan pedang di
tangan. Sehingga, tokoh sesat dari selatan itu ter-
paksa mengalihkan serangan ke arah dua lawan
barunya.
Sementara itu, meski Ki Samiaji dibantu
kedua puluh orang muridnya yang kini hanya
tinggal empat orang, masih saja belum mampu
mengatasi serangan-serangan Raja Golok Dari
Utara. Bahkan keadaannya dan empat orang mu-
ridnya sangat mengkhawatirkan. Sedang untuk
meminta bantuan Gagak Seto maupun muridnya,
jelas tidak mungkin. Karena mereka sama-sama
tengah sibuk bertarung.
"Raja Penyihir!"
Begitu Ki Samiaji melihat Raja Penyihir
yang sedang ngoceh tak karuan karena kesal di
tinggal kabur Soma, cepat berteriak memanggil
orang tua bercaping pandan itu.
"Cepat bantu kami menghajar iblis-iblis
tengik ini, Raja Penyihir!" teriak Ki Samiaji.
Raja Penyihir langsung menoleh. Matanya
yang lebar memperhatikan jalannya pertempuran
itu sebentar. Lucu sekali sebenarnya. Karena,
orang tua aneh itu nampak ogah-ogahan.
Ki Samiaji yang melihat ulah Raja Penyihir
jadi cemas. Namun belum sempat mengeluarkan
teriakannya kembali....
"Tahan senjata! Siapapun yang tidak me-
nuruti perintahku, aku tidak segan-segan lagi me-
lemparkan tubuh kalian dari puncak Gunung Me-
rapi ini!" bentak Raja Penyihir dengan suara ber-
getar aneh, menyerang jalan pikiran semua orang
yang berada di puncak Gunung Merapi.
Ajaib sekali! Begitu mendengar bentakan
Raja Penyihir, entah mengapa tiba-tiba saja se-
mua orang yang berada di puncak Gunung Mera-
pi menghentikan serangan. Semula, tubuh mere-
ka sempat bergetar hebat seperti ada kekuatan
gaib yang membuat tubuh sulit digerakkan. Dan
akhirnya, tidak bisa digerak-gerakkan sama seka-
li!
Semua orang yang ada di sini sama-sama
terbelalak seolah tidak mempercayai apa yang di-
alami. Dan dari mata yang terbelalak lebar, wajah
Denok Supi, Raja Racun Dari Selatan dan Raja
Golok Dari Utara kontan menjadi pucat pasi!
"Bagus! Bagus! Rupanya kalian anak-
anakku yang penurut semua!" ujar Raja Penyihir.
"Nah, sekarang dengar! Kalian bertiga, Iblis-iblis
Tengik! Hari ini nyawa tengik kalian kuampuni.
Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku
berubah!" hardik Raja Pengemis garang, tidak lagi
dipenuhi kekuatan batinnya.
Semua orang yang ada di sini kembali ter-
belalak lebar, seolah-olah tidak percaya kalau tu-
buh kaku mereka dapat kembali digerakkan da-
lam waktu yang demikian singkat. Dan begitu da-
pat bergerak, Denok Supi, Raja Golok Dari Utara
maupun Raja Racun Dari Selatan pun segera ber-
kelebat meninggalkan tempat itu.
"Raja Penyihir! Mengapa kau biarkan kabur
iblis-iblis keji itu?!" tanya Ki Samiaji kecewa bu-
kan main melihat musuh yang telah membantai
banyak murid-muridnya dibiarkan pergi begitu
saja.
"Itu bukan urusanku!" sahut orang tua
aneh bergelar Raja Penyihir itu galak. "Gara-gara
mengurus kalian, aku jadi ketinggalan beberapa
langkah oleh calon muridku itu!"
Sehabis berkata demikian, Raja Penyihir
cepat berkelebat menyusul muridnya.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Gagak
Seto...," ucap Ki Samiaji. Nada suaranya kaku se-
kali.
"Jangan terlalu berbasa-basi, Samiaji! Su-
dah sewajarnya kita penghuni alam mayapada ini
harus saling tolong-menolong, saling kasih men-
gasihi," sergah Gagak Seto kalem.
Ki Samiaji hanya bisa mengangguk-
angguk. Namun wajahnya yang menegang tetap
saja masih menyimpan kesedihan dan kekesalan.
Sementara itu Ratih dan Salindri yang tadi
melihat Soma telah berlari turun gunung menge-
jar Manusia Rambut Merah, hanya bisa membe-
rengut kesal. Mata mereka tak henti-hentinya te-
rus memandangi ke arah lenyapnya bayangan
pemuda tadi.
"Romo! Apakah kita tidak menyusulnya?"
tanya Ratih pada ayahnya tiba-tiba.
Gagak Seto tersenyum. Ia maklum, apa
yang tengah dialami putrinya.
"Romo kira, Soma tidak kesulitan mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya,
Anakku! Sebaiknya, kita pulang saja ke kota raja
untuk memperdalam ilmu silatmu. Lain kali, baru
kau boleh melanjutkan pengembaraanmu," ujar
Gagak Seto arif.
Ratih makin memberengut kesal.
"Aku pamit dulu, Samiaji. Lain kali kalau
ke kotaraja, singgahlah ke rumah kami! Selamat
tinggal!" ucap Gagak Seto lagi, seraya meraih len-
gan putrinya. Dan mereka segera berkelebat me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Tentu saja, Gagak Seto!" ujar Ki Samiaji
seraya mengangguk-angguk.
Kemudian ketika bayangan Gagak Seto dan
putrinya telah berkelebat di antara kegelapan ma-
lam, Ki Samiaji pun segera perintahkan keempat
orang murid dan putrinya untuk mengubur mayat
murid-muridnya yang lain.
7
Manusia Rambut Merah terus berlari ken-
cang meninggalkan puncak Gunung Merapi.
Hampir setengah malaman Ki Jarkasi berlari ken-
cang menuju utara, yang tidak lain ingin mene-
mukan Jerangkong Hidup gurunya di gua karang
di Pantai Utara!
Pagi itu matahari baru saja menampakkan
sinarnya yang merah kekuning emasan di ufuk
timur. Ramainya kicau burung camar yang ter-
bang menuju laut lepas semakin memantapkan
lahirnya pagi hari itu.
Ki Jarkasi tengah berlari kencang mende-
kati batu karang berbentuk pedang di pinggir
pantai. Begitu langkahnya terhenti pada jarak
dua tombak di depan batu karang, kepalanya ce-
lingukan sebentar. Sepertinya ia takut kalau ada
orang lain yang melihat perbuatannya. Dan belum
juga Manusia Rambut Merah melangkah kemba-
li....
"Manusia Rambut Merah keparat! Berhari-
hari aku mencarimu, tapi baru sekarang unjuk
gigi, he?!"
Manusia Rambut Merah tersentak kaget
saat terdengar bentakan dari belakang. Tubuhnya
cepat diputar. Tahu-tahu di depannya telah berdi-
ri seseorang berpakaian biru-biru dengan cadar
penutup wajahnya yang juga berwarna biru. Di
tangan kanannya tergenggam sebilah pedang.
"Perempuan Bercadar Biru...!" desis Manu-
sia Rambut Merah, sedikit lega.
"Bagus! Kalau masih ingat aku. Sekarang
aku mau tanya, mana muridku?! Lekas kembali-
kan!" bentak tokoh wanita dari Pulau Karimunja-
wa ini garang.
"Ha ha ha...! Sayang! Sayang sekali, mu-
ridmu yang cantik telah menjadi bangkai, Perem-
puan Bercadar Biru!" sahut Manusia Rambut Me-
rah, bernada mengejek.
"Anjing kurap budukan! Aku harus menun-
tut balas atas kematian muridku," pekik Perem-
puan Bercadar Biru itu kalap. Langsung tubuh-
nya meluruk. Tangan kanan yang memegang pe-
dang panjang itu telah berkelebat cepat menye-
rang Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi menarik ujung bibirnya. Meski
sebenarnya sedang terluka parah, namun gerakan
tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu terlihat
masih lincah saat berloncatan kesana kemari
menghindari serangan.
"Lebih baik kau bunuh diri saja, Perem-
puan Bercadar Biru! Kau tak mungkin dapat
mengalahkanku. Pergilah! Sana...!"
Sehabis berkata demikian, Ki Jarkasi ber-
kelebat mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba tela-
pak tangan kanannya dihantamkan ke punggung
Perempuan Bercadar Biru. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Perempuan Bercadar Biru terjajar beberapa
tombak ke samping kanan. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar, pertanda isi dadanya ter-
guncang.
"Demi kehormatan muridku, aku akan
mengadu nyawa denganmu Manusia Rambut Me-
rah!" desis Perempuan Bercadar Biru.
Tokoh dari Pulau Karimunjawa itu nekat
menerjang Manusia Rambut Merah, mengguna-
kan jurus-jurus andalannya. Namun sayang yang
dihadapinya kali ini bukanlah tokoh silat kemarin
sore. Manusia Rambut Merah adalah tokoh ber-
kepandaian sangat tinggi. Sehingga wajar saja ka-
lau serangan-serangan perempuan itu mudah se-
kali dimentahkan. Bahkan telapak tangan kanan
Ki Jarkasi yang telah memerah, siap mengirimkan
pukulan kejinya ke dada Perempuan Bercadar Bi-
ru.
Wesss!
Perempuan Bercadar Biru memekik terta-
han. Tak mungkin lagi serangan Manusia Rambut
Merah dihindari. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Kini yang bisa dilakukan hanya memejamkan ma-
ta. Pasrah! Namun di saat yang paling genting ba-
gi keselamatannya, tiba-tiba saja....
Wesss!
Seleret sinar putih terang berkeredep yang
entah dari mana datangnya, langsung memapaki
pukulan 'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut
Merah!
Blarrr...!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
liar. Tubuhnya yang tinggi kekar terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang dengan
darah segar membasahi bibirnya.
"Ha ha ha...! Selamat berjumpa kembali,
Kunyuk Merah! Dan juga kau, Perempuan Berca-
dar Biru! Tapi, berhubung aku sedang mendapat
tugas dari Raja Akhirat untuk mencabut nyawa
Kunyuk Merah ini, terpaksa aku harus menyele-
saikan tugasku dulu," kata seorang pemuda tam-
pan bercelana dan berompi putih keperakan ber-
sisik, yang tadi menahan pukulan 'Kelabang Geni'
milik Manusia Rambut Merah. Pemuda itu tak
lain memang Siluman Ular Putih.
Dan sehabis berkata begitu, Soma yang
sudah geram sekali langsung melesat, menyerang
Manusia Rambut Merah. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'
Dukkk! Dukkk!
"Augh...!" jerit Manusia Rambut Merah se-
tinggi langit.
Tokoh sesat ini memang sudah luka parah
setelah bertarung dengan Siluman Ular Putih se-
belumnya. Jadi, mana mungkin dapat menangkis
serangan-serangan. Maka tanpa ampun lagi tu-
buh tinggi besarnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Soma tidak mau mempedulikan lagi kea-
daan Ki Jarkasi yang sudah terluka parah dan te-
rus saja menyerang dengan hebat. Namun baru
beberapa jurus menyerang, mendadak tanah di
sekitar tempat itu bergetar-getar hebat. Dan....
Brolll!
Tidak lama kemudian, tanah yang berge-
rak-gerak telah membuncah tinggi ke udara ber-
sama munculnya sesosok bayangan putih-putih
dari dalam tanah.
"Guru...!" teriak Manusia Rambut Merah
yang sudah kepayahan. Hatinya kini sedikit lega,
saat melihat kehadiran satu sosok kurus kering
berwajah mengerikan.
Laki-laki berusia sangat tua itu hanya
mendengus. Aneh sekali suaranya. Kedua bibir-
nya pun sama sekali tidak bergerak-gerak.
Manusia Rambut Merah yang melihat ke-
datangan laki-laki menyeramkan yang memang
gurunya itu langsung kembali timbul semangat-
nya. Dengan tertawa-tawa sumbang segera me-
nyerang Soma. Dan ternyata, sosok berjuluk Je-
rangkong Hidup itu sendiri pun turut pula mem-
bantu muridnya.
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tangan kanannya cepat mencabut ke-
luar senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar. Maka seketika itu juga hawa dingin
menggigit tulang menebar ke sekitarnya. Bahkan
Perempuan Bercadar Biru yang berdiri di sudut
batu karang langsung menggigil kedinginan!
Dan begitu merasakan angin dingin berke-
siur menyerang tubuhnya, Soma langsung meng-
genjot kedua kakinya ke tanah. Di saat tubuhnya
melayang-layang tinggi, cepat senjata pusakanya
dilemparkan ke arah Manusia Rambut Merah.
Sedang tangan kirinya yang telah memutih hingga
ke pangkal lengan, siap pula mengirimkan puku-
lan 'Inti Bumi'
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih ini. Bagai anak panah yang lepas dari bu-
sur, senjata pusaka pemuda itu melesat menye-
rang Ki Jarkasi dengan kecepatan sulit sekali di-
ikuti pandangan mata. Sementara, satu sinar pu-
tih terang berkeredep dari tangan kirinya menyu-
sul di belakang, tak jauh dari senjata anak panah
itu!
Meski dengan susah payah, Manusia Ram-
but Merah cepat menggulingkan tubuhnya ke
samping, menghindari serangan anak panah. Se-
mentara Jerangkong Hidup memapak pukulan
'Inti Bumi' dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss!
Blarrr...!
Terdengar benturan keras akibat perte-
muan dua tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh Si-
luman Ular Putih terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya menegang. Bibir-
nya berkemik-kemik penuh kemarahan.
Pada saat ini, laksana sebuah rencong,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar yang tadi
luput mengenai sasaran, entah mendapat tenaga
gaib dari mana, tiba-tiba saja telah berputar balik
ke arah Soma. Dan si pemuda yang sedang ter-
huyung-huyung cepat menangkapnya.
Tap!
Begitu senjata pusaka itu telah kembali di
tangan, Siluman Ular Putih pun kembali melem-
parkannya diiringi sinar putih terang yang berke-
redep menyerang Manusia Rambut Merah dan gu-
runya.
Ki Jarkasi dan Jerangkong Hidup hanya
tersenyum mengejek. Dan dengan gerakan-
gerakan kedua kaki dan tangan yang cepat, murid
dan guru itu pun dapat mematahkan serangan,
sekaligus menyerang balik.
Kini perlahan namun pasti, Soma mulai
terdesak hebat. Jangankan untuk membalas se-
rangan. Untuk menghindari saja susah sekali.
Bahkan entah sudah berapa kali tubuhnya yang
tinggi tegap itu harus jumpalitan di udara, meng-
hindari serangan-serangan kedua iblis itu.
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pada akhirnya, serangan Manusia Rambut
Merah dan Jerangkong Hidup dapat mendarat te-
lak di tubuh Soma. Seketika itu juga tubuh pe-
muda ini terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Huaaah,..!"
Soma menggeram penuh kemarahan. Tan-
pa disadari saat amarahnya tidak dapat dikenda-
likan, tiba-tiba saja sekujur tubuh pemuda ini
mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga pada
akhirnya, bayangan tubuhnya tidak kelihatan
sama sekali! Dan saat asap putih tipis itu menghi-
lang tertiup angin, tiba-tiba saja dari asap putih
tipis itu terlihat bayangan sesosok ular putih se-
besar pohon kelapa, tengah menggeliat-geliat he-
bat!
"Gggeeerrr...!"
"Siluman Ular Putih...!" desis Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup hampir
berbarengan.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendadak mencelat
tinggi ke udara, langsung menerjang Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup.
Di lain tempat, Perempuan Bercadar Biru
membelalakkan matanya lebar-lebar. Wanita yang
berdiri menggigil di sudut batu karang dengan
wajah pucat ini benar-benar dibuat terkejut bu-
kan main. Tidak disangka sama sekali kalau pe-
muda sinting yang pernah menggodanya di luar
Hutan Sawo Kembar ternyata Siluman Ular Putih
yang saat ini jadi buah bibir kalangan persilatan.
"Sungguh tidak kusangka kalau pemuda
sinting ini yang mendapatkan julukan Siluman
Ular Putih...," desah Perempuan Bercadar Biru,
penuh kagum.
Sepasang mata wanita ini yang tersem-
bunyi di balik cadar biru penutup wajahnya, tak
henti-hentinya terus mengikuti pertarungan hi-
dup mati di hadapannya. Betapa dilihatnya Silu-
man Ular Putih sudah pula membelit tubuh Ma-
nusia Rambut Merah dengan mulut siap meren-
cah. Selang beberapa saat lamanya kemudian....
"Aaa...!"
Terdengarlah lengking kematian Manusia
Rambut Merah yang telah dilempar keluar dari
kancah pertarungan dengan sekujur tubuh terca-
bik-cabik mengerikan. Sedangkan pada saat itu,
tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun terlempar
pula, setelah sebelumnya ketika tengah memang-
sa Manusia Rambut Merah, Jerangkong Hidup
menghantamnya dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendesis hebat. Tu-
buhnya yang terlempar keluar kancah pertarun-
gan cepat menggeliat ke belakang siap kembali
menerjang Jerangkong Hidup. Namun sebelum
tubuhnya bergerak....
"Bagus, Muridku! Ternyata kau sudah da-
pat menggebuk Kunyuk Merah itu sampai mam-
pus. Sekarang kau minggirlah! Si tua bangka Je-
rangkong Hidup ini giliranku."
Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang
menegur Siluman Ular Putih. Dan tahu-tahu, di
tengah-tengah antara Siluman Ular Putih dan Je-
rangkong Hidup berdiri seorang laki-laki tua ber-
caping pandan.
"Tua bangka Raja Penyihir! Kau rupanya!
Hm.... Majulah sekalian kalau ingin mampus!"
bentak Jerangkong Hidup tanpa menggerak-
gerakkan bibirnya sama sekali.
"Tunggu dulu, Jerangkong Hidup! Di anta-
ra kita memang masih ada urusan. Tapi, tunggu
dulu ya! Aku harus mengamankan muridku ini."
Sehabis berkata begitu, orang tua bercap-
ing pandan yang memang Raja Penyihir telah
menggerakkan tangan kanannya ke depan. Dan
dari telapaknya tiba-tiba meluncur bayangan hi-
tam memanjang dan langsung mengikat tubuh Si-
luman Ular Putin! Lalu, saat itu juga tubuhnya
meluruk, menyerang Jerangkong Hidup.
Siluman Ular Putih menggeliat-geliat hebat.
Seketika itu juga sekujur tubuhnya mulai diseli-
muti asap putih tipis, hingga jadi tidak kelihatan
sama sekali. Dan saat asap putih tipis tersapu
angin tampak seorang pemuda tampan bercelana
dan rompi bersisik warna putih keperakan tengah
memegangi dadanya menahan sakit. Sementara
darah segar tampak telah membasahi bibir pe-
muda itu akibat pukulan 'Kelabang Geni' milik
Jerangkong Hidup tadi
"Hukk! Hukkk! Sial! Sial! Bagaimana aku
harus melarikan diri dari orang tua itu?! Rupanya
orang tua itu telah mengikatku dengan 'Tali Gaib'.
Huh!" gerutu Soma kesal. Dan lebih kesalnya lagi
ketika melihat pangkal 'Tali Gaib' itu diikat pada
kaki kiri Raja Penyihir yang sedang bertempur
hebat melawan Jerangkong Hidup.
"Aku sumpahin mampus di tangan Jerang-
kong Hidup kau, Orang Tua!" omel Soma kesal.
Raja Penyihir tidak mempedulikan ocehan
Soma. Saat itu, ilmu-ilmu sihirnya sedang dike-
rahkan.
Rupanya, Soma sendiri pun juga tidak mau
mempedulikan orang tua itu. Ia hanya berjalan
tertatih-tatih, mendekati Perempuan Bercadar Bi-
ru. Namun anehnya, layaknya sebuah karet, 'Tali
Gaib' terasa agak menjerat langkahnya. Dan lebih
anehnya lagi, kaki kiri Raja Penyihir sama sekali
tidak terpengaruh tarikan Soma. Kaki itu tetap
saja dapat bergerak lincah, seperti tidak terbebani
apa-apa!
"Hai!" sapa Soma pada Perempuan Berca-
dar Biru. "Bagaimana dengan luka-lukamu? Sa-
kit, ya?"
Perempuan Bercadar Biru meringis kesaki-
tan seraya menganggukkan kepala. Namun dari
pandangan matanya, ia sangat mengagumi pe-
muda di hadapannya yang bergelar Siluman Ular
Putih.
"Sama!" sahut Soma mulai kambuh penya-
kitnya.
Lalu tanpa permisi lagi, pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo pun sudah menotok
beberapa jalan darah di bagian punggung Perem-
puan Bercadar Biru. Sehingga akhirnya, rasa sa-
kit wanita itu sedikit berkurang.
"Terima kasih. Lagi-lagi kau yang meno-
longku," ucap Perempuan Bercadar Biru sedikit
mulai lega.
"Lho...? Siapa dulu penolongnya?!" kata
Soma jumawa, seraya mengacungkan ibu jarinya
dan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Se..., sebenarnya aku ingin membunuh
Manusia Rambut Merah. Tapi, sayang. Aku tidak
bisa," ungkap Perempuan Bercadar Biru.
"Lho...! Jelas tidak bisa dong. Aku sendiri
saja hampir mampus di tangannya. Apalagi, ada
bangkotan tua Jerangkong Hidup itu. Kunyuk
Merah itu jadi besar kepala saja. Tapi, sudahlah!
Aku ingin lihat, bagaimana orang tua sinting Raja
Penyihir itu digebuk Jerangkong Hidup!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun mema-
lingkan wajahnya ke arah pertarungan.
Tampak saat itu Raja Penyihir tengah ter-
tawa bergelak-gelak melihat 'Tali Gaib'-nya berha-
sil melibat leher Jerangkong Hidup!
Seketika itu juga, orang tua bercaping
pandan itu, menggerak-gerakkan 'Tali Gaib'-nya
ke sana kemari, membentur-benturkan tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup ke batu-batu cadas, diser-
tai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Jrot! Jrot!
"Aaa...!"
Disertai lengkingan panjang, Jerangkong
Hidup tewas dengan tubuh hancur. Serpihan-
serpihan tubuhnya berceceran di tanah disertai
percikan darah.
"Eh...!" desah Soma.
Pemuda ini menarik mundur dadanya. Ke-
dua alis matanya bertautan tajam. Kepalanya
menggeleng-geleng heran.
"Wah wah wah...! Ternyata sumpahku tak
mempan, Orang Tua! Kau masih hidup!" lanjut Si-
luman Ular Putih penuh kagum.
Tak disangka, 'Tali Gaib' milik Raja Penyi-
hir demikian hebat.
Raja Penyihir tertawa bergelak-gelak. Ma-
tanya yang lebar sejenak memandangi tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup yang hancur berantakan di
dinding-dinding batu cadas. Kemudian, cepat di-
gabungkannya kembali 'Tali Gaib' di tangan ka-
nannya dengan 'Tali Gaib' yang mengikat di kaki
kirinya.
"Ha ha ha...! Sumpah apa pun kalau keluar
dari mulut baumu, tak bakalan mempan. Apa kau
ingin kusumpahi?" tukas Raja Penyihir.
"Terima kasih! Buang saja sumpahmu ke
laut sana!" kata Soma seraya menggelengkan ke-
palanya kuat-kuat.
"Nah! Kalau begitu, cepat ikut aku ke Gu-
nung Tidar! Ayo!" ajak orang tua bercaping pan-
dan itu, cepat menarik 'Tali Gaib'-nya kuat-kuat.
Aneh sekali! Seketika tubuh Soma lang-
sung tersentak ke depan mengikuti tarikan. Ke-
mudian sambil tertawa-tawa senang, Raja Penyi-
hir terus menyeret 'Tali Gaib' yang mengikat leher
pemuda itu.
"Tunggu, Orang Tua! Leherku sakit sekali!"
teriak Soma.
Raja Penyihir tidak mempedulikannya.
Sambil bersiul-siul kecil terus diseretnya Soma
tanpa ampun.
Sementara itu Perempuan Bercadar Biru
hanya menggeleng-geleng saja, sebelum akhirnya
berkelebat meninggalkan tempat yang baru saja
dinodai darah tokoh-tokoh sesat berhati iblis.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Soma terus berlari meninggalkan Lembah
Batu Ular. Wajahnya menegang. Bukannya lelah
karena terus berlari, melainkan ngeri melihat apa
yang baru saja dialaminya. Dalam keadaan demi-
kian, mendadak saja..."
"Tunggu, Sobat! Mengapa kau terbirit-birit
seperti ini? Ada apa?"
Dari arah samping terdengar teriakan. Na-
mun pemuda itu tak peduli. Malah larinya sema-
kin dipercepat, tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Hup!"
Soma kali ini harus menghentikan larinya.
Di depannya telah menghadang seorang gadis
berpakaian tambalan dan compang-camping. Be-
runtung sekali gadis itu tadi sedikit di depan So-
ma. Kalau tidak, jangan harap dapat mengejar
pemuda yang tengah mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencana'.
Melihat gadis cantik berpakaian tambal-
tambalan di hadapannya, mata Soma kontan ter-
belalak lebar. Rasa takutnya akan muncul kakek
tua berpakaian tambal-tambalan tadi, kembali
menguasai hatinya.
"Minggir...! Jangan ganggu aku lagi! Biar-
pun kau berubah menjadi kadal, menjadi monyet,
atau menjadi gadis secantik apa pun, aku tak su-
di meladeni permainan anak-anakmu, Badut
Tua!" geram Soma sengit.
"Eh, eh...! Kau bilang aku 'Badut Tua'?"
bentak gadis cantik berpakaian tambal-tambalan
itu tersinggung.
"Yah...! Siapa lagi badut tua itu kalau bu-
kan kau! Minggir! Jangan ganggu aku lagi!"
Soma yang dijuluki orang Siluman Ular Pu-
tih nekat menerjang gadis cantik yang dicurigai
jelmaan orang tua bercaping pandan. Namun, ga-
dis ini mana mau diperlakukan seperti itu. Ha-
tinya yang merasa tersinggung atas ucapan pe-
muda itu tadi cepat menghadang langkah Soma
kembali,
"Kau mau apa? Mau menakut-nakutiku
dengan permainan anak-anakmu? Aku tak sudi.
Lebih baik beri aku jalan! Minggir!"
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
mengernyitkan alis matanya yang tebal dalam-
dalam. Di samping kesal oleh makian-makian ta-
di, diam-diam juga merasa heran melihat diri So-
ma. Meski belum pernah bertemu pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo ini, namun kabar
yang tersiar tentang munculnya seorang pendekar
muda yang bergelar Siluman Ular Putih, telah
terdengar juga olehnya. Dan ciri-ciri pendekar
muda itu, mirip benar dengan pemuda ini....
"Kau sebenarnya kenapa? Mengapa kau
takut sekali bertemu denganku?" tanya gadis itu,
mulai melunak nada bicaranya.
"Siapa yang takut?" sergah Soma Gusar.
"Kalau tidak takut, mengapa lari terbirit-
birit seperti tadi. Ada apa?" tanya gadis itu heran.
Soma menautkan kedua alis matanya da-
lam-dalam. Matanya yang agak kebiru-biruan,
memandangi gadis cantik di hadapannya seksa-
ma.
"Mengapa dia tidak mengeluarkan ilmu si-
hirnya? Kok, malah menertawakanku?" gumam
Soma, lirih.
"Eh, ngaco! Siapa yang jadi tukang sihir?
Justru melihat tingkahmu yang aneh inilah aku
jadi geli."
"Jadi..., jadi? Kau..., kau bukan tukang si-
hir itu? Maksudku, bukan kakek tua bercaping
pandan yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Ih...! Omonganmu semakin ngelantur ti-
dak karuan. Siapa kakek tua bercaping pandan
yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Benarkah? Ja..., jadi kau..., kau bukan
Raja Penyihir itu?" ulang Soma.
"Hik hik hik...! Sudah kubilang, aku bukan
Raja Penyihir yang kau maksudkan. Apa kau tadi
bertemu orang tua itu? Pantas saja tingkahmu ja-
di begini!" kata gadis itu sambil memamerkan se-
nyumnya dan melangkah mendekati.
Soma alias Siluman Ular Putih mundur be-
berapa langkah. Matanya masih membayangkan
perasaan ngeri kalau-kalau gadis cantik di hada-
pannya memang benar Raja Penyihir.
"Sudah, ah! Aku pikir ada apa. Selamat
tinggal!" kata gadis cantik itu masih diiringi se-
nyum.
Sehabis berkata begitu, gadis cantik berba-
ju tambal-tambalan itu pun cepat menjejakkan
kedua kakinya, meninggalkan hutan bambu. Na-
mun baru beberapa langkah, Soma sudah berke-
lebat dan cepat menghadangnya.
"Tunggu dulu! Kalau kau bukan Raja Pe-
nyihir itu, lantas siapa?" kejar Soma.
"Bilang saja kau mau berkenalan dengan-
ku. Pakai berlagak segala!" cibir gadis itu mele-
cehkan.
"Eh, eh...! Aku bukannya berlagak. Tadi
aku benar-benar bertemu Raja Penyihir itu," tu-
kas Soma gelagapan. Tanpa sadar tangannya su-
dah menggaruk-garuk rambut kepala.
"Oh,.. "
Hanya itu yang keluar dari mulut gadis
cantik ini. Padahal, sebenarnya Soma mengha-
rapkan lebih.
"Aku senang sekali berkenalan denganmu.
Namaku Soma," kata Soma mulai dapat mengen-
dalikan perasaannya.
"Siapa?"
"Soma," ulang pemuda itu.
"Tidak! Maksudku siapa yang nanya?" tu-
kas gadis ini diiringi senyum menggoda.
"Eh, eh, eh...! Kau mau mempermainkan
aku, ya? Bilang dong, siapa namamu?" sungut
Soma kesal.
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
tersenyum-senyum menggoda.
"Namaku.... Sal..., Salindri," jelas gadis itu
dengan nada suara menggemaskan.
"Oh...! Lembut sekali namamu.... Pas sekali
dengan orangnya," puji Soma seraya mengang-
guk-angguk.
Duh! Wanita mana yang tidak senang dipu-
ji seorang pemuda tampan? Meski gadis berbaju
tambal-tambalan yang ternyata bernama Salindri
ini hanya tersenyum-senyum menggoda, namun
dalam hatinya pun mulai mengagumi ketampa-
nan pemuda di hadapannya. Dan di saat sedang
mengagumi murid Eyang Begawan Kamasetyo ini,
tiba-tiba....
"Hura, hura...!"
"Heh?!"
Sebuah teriakan terdengar dari arah barat,
menyentak kesadaran Salindri.
Tanpa banyak pikir lagi Salindri segera
menjejakkan kakinya meninggalkan tempat itu,
tanpa menghiraukan Soma sama sekali
"Eh, tunggu dulu! Mengapa kau lari seperti
dikejar setan?"
Siluman Ular Putih cepat berkelebat me-
nyusul langkah gadis itu. Dalam waktu yang tidak
lama gadis itu dapat disusul.
***
Salindri terus mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru. Tidak mungkin telinganya salah
dengar. Teriakan tadi adalah sebagai isyarat ka-
lau keamanan anggota Pengemis Tongkat Hitam
sedang dalam keadaan bahaya.
"Ada apa, sih? Kok, kau nampak seperti
orang linglung?" tanya Soma tak dapat menahan
rasa herannya.
"Kau tadi mendengar teriakan seseorang?"
Salindri malah balik bertanya.
"Aku.... Aku.... Ya! Tadi aku mendengar te-
riakan seseorang. Apa kau sedang mencari orang
yang berteriak itu?"
"Ya," sahut Salindri singkat.
Gadis itu kini memperhatikan semak-
semak di depannya. Tampak sangat mencuriga-
kan. Dan belum sempat Salindri bergerak untuk
melihat apa yang ada di balik semak, mendadak
terdengar erangan seseorang.
Tanpa banyak pikir lagi, Salindri meloncat
ke balik semak itu. Dan benar saja! Ternyata di
balik semak tengah terbaring seorang pemuda
berbaju tambal-tambalan yang sama persis den-
gan pakaian gadis itu. Keadaannya sangat men-
cemaskan. Tangan kanannya buntung, mengelua-
rkan banyak darah segar. Wajahnya pucat pasi,
Bibirnya bergetar-getar hebat, menahan nyeri
yang menusuk ulu hati. Pengemis muda itu tidak
lain salah seorang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam yang selamat dari tangan-tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi di puncak Gu-
nung Merapi, saat Pengemis Penjelajah dijadikan
sasaran untuk mengadu tenaga dalam!
"Paniti! Apa yang terjadi denganmu?!" sen-
tak Salindri yang mengenali pemuda ini kaget bu-
kan kepalang. Buru-buru jari-jari tangannya yang
lentik menotok pangkal lengan pengemis muda
itu hingga darah yang mengucur terhenti.
"Kau mengenal pemuda ini, Sobat?" tanya
Soma, yang tahu-tahu telah berdiri di samping
Salindri.
"Iya. Dia adalah salah seorang anggota
Pengemis Tongkat Hitam yang diketuai ayahku,"
jelas Salindri tanpa mengalihkan perhatian pada
pemuda tampan di sampingnya. Jari-jari tangan-
nya yang mungil kembali bergerak menotok ke
tengkuk pengemis muda itu hingga tersadar.
"Oh...! Kau.... Kau Nona Salindri," desah
pengemis muda bernama Paniti dengan susah
payah begitu matanya terbuka.
"Iya. Aku Salindri. Mengapa kau bisa terlu-
ka seperti ini? Siapa yang telah melakukannya?"
sahut Salindri.
"Raj..., Raja Golok. Dan..., dan Denok Supi
di puncak Gunung Merapi. Me..., mereka juga te-
lah menahan Kakang Respati, si..., si Pengemis
Penjelajah," jelas Paniti dengan napas tersengal
menjelang ajal
"Lantas, bagaimana Respati, Paniti?" tanya
Salindri mulai kalap,
"Mungkin..., mungkin telah tewas...,
ohh...!" keluh Paniti memanjang. Kepalanya ter-
kulai ke kiri dan tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Salindri menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat.
"Partai Pengemis Tongkat Hitam tidak per-
nah berselisih paham dengan mereka. Tapi men-
gapa mereka mulai menurunkan tangan keji pada
anggota-anggota Pengemis Tongkat Hitam? Aku
harus menuntut balas atas kematian saudara-
saudara satu golongan!" desis Salindri, penuh
kemarahan.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Tapi, apa tidak
sebaiknya kita kubur saja kawanmu ini?!" timpal
Soma.
Salindri mendongak ke atas. Tak sepatah
kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar-getar.
Soma yang dijuluki Siluman Ular Putih
mengerti kesedihan gadis itu. Maka tanpa banyak
cakap lagi pemuda ini mulai menggali tanah di
sekitarnya, menggunakan tongkat hitam milik
Paniti.
Karena mengerahkan tenaga dalamnya,
beberapa saat kemudian, Soma telah membuat
Hang kabur buat pengemis muda itu.
Namun ketika Soma hendak mengangkat
tubuh pengemis muda yang telah membeku itu,
tiba-tiba saja pandangannya yang tajam menang-
kap dua kelebatan bayangan yang melintas di ha-
dapannya menuju ke puncak Gunung Merapi.
Yang satu berpakaian merah dengan rambut di-
kuncir ke belakang. Sedang di sampingnya seo-
rang laki-laki bertubuh tegap dengan mengena-
kan pakaian serba putih.
Sejenak Soma mengamati kedua orang di
depan sana dengan seksama. Namun karena te-
rangnya sinar rembulan malam itu agak terhalang
oleh rimbunnya hutan bambu, membuat Soma
sulit sekali mengenali. Pemuda ini hanya melihat
gerakan kedua kaki orang itu yang sangat cepat.
Malah dalam waktu tidak lama, bayangan tubuh
kedua orang itu pun lenyap di antara rimbunnya
hutan bambu di depan sana.
"Siapa mereka, Soma?" tanya Salindri, mu-
lai memanggil nama pemuda itu.
Soma mengangkat kedua bahunya.
"Mana aku tahu?" sahut pemuda tampan
ini kalem.
Salindri memberengut. Tak puas dengan
jawaban Soma.
"Lho? Kok, malah cemberut? Sungguh aku
tidak tahu siapa mereka. Tapi kalau kau masih
penasaran, nanti kita bisa mengikutinya setelah
menguburkan mayat temanmu ini," tukas Soma.
Salindri diam tak menyahut. Diam-diam
hatinya semakin mengagumi pemuda tampan di
hadapannya. Ketika Soma mulai meletakkan
mayat Paniti ke dalam lubang kubur, Salindri pun
segera membantu.
***
Kalau saja Soma tahu siapa kedua bayan-
gan orang itu, terutama sekali gadis cantik yang
berpakaian merah-merah, pasti akan mengejar.
Gadis berpakaian merah-merah itu tidak lain dari
Ratih. Sedang di sampingnya berlari seorang laki-
laki berpakaian putih-putih.
Laki-laki itu tidak begitu tinggi, namun
bentuk tubuhnya tegap. Wajahnya putih bersih
tanpa kumis dan jenggot. Sebilah gagang pedang
nampak tersembul di balik punggungnya.
Dan di saat orang itu tengah berlari ken-
cang menuju ke puncak Gunung Merapi, menda-
dak terdengar pekik-pekik ketakutan yang da-
tangnya dari sebelah utara. Laki-laki itu cepat
menarik lengan Ratih. Segera mereka berbelok ke
arah utara, untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu sampai di tempat kejadian, mata
kedua orang itu langsung terbelalak lebar. Tam-
pak di hadapan mereka sesosok tubuh tinggi be-
sar dengan kulit hitam legam telah menghadang.
Sedang di kanan-kiri raksasa hitam itu beberapa
orang pengemis berpakaian tambal-tambalan ten-
gah lari tunggang langgang, lalu menghilang di
balik kegelapan malam.
Seketika itu juga Ratih dan laki-laki di se-
belahnya menghentikan langkah. Wajah gadis itu
bahkan menjadi pucat pasi. Belum pernah ia me-
lihat makhluk mengerikan dengan taring-taring
panjang itu. Namun, rupanya, tidak demikian
dengan laki-laki tua di sebelahnya. Dan agaknya
raksasa hitam tinggi besar di hadapannya itu su-
dah cukup dikenalnya.
"Lekaslah kembali ke wujudmu semula,
Raja Penyihir! Apa kau lupa, siapa aku?" teriak
laki-laki berpakaian putih ini lantang.
Ratih sebentar memandang raksasa hitam
tinggi besar di hadapannya dengan sinar mata
ngeri. Sebentar kemudian tatapannya beralih pa-
da laki-laki di sebelahnya.
"Romo mengenal raksasa hitam ini?" tanya
Ratih kurang percaya.
Laki-laki tua yang ternyata ayahnya Ratih
ini menganggukkan kepalanya.
"Siapa kau?! Apakah kau teman dari jem-
bel-jembel angkuh itu?"
Terdengar suara raksasa hitam besar itu.
Suaranya berat, menggema di seputar lembah.
"Aku Gagak Seto, Paman dari Pendekar Ku-
jang Emas! Dan aku Tumenggung Kerajaan Mata-
ram!" teriak lelaki berusia lima puluh tahun lebih
itu lantang.
"Hmm...!" raksasa hitam tinggi besar itu
mendengus. Suaranya tetap menggema memenu-
hi lembah.
"Lekaslah kau kembali ke wujudmu, Raja
Penyihir!" teriak laki-laki berpakaian putih-putih
bernama Gagak Seto.
Raksasa hitam tinggi besar yang tidak lain
Raja Penyihir perlahan-lahan menyusutkan tu-
buhnya. Dan dalam waktu tidak lama, raksasa hi-
tam tinggi besar itu mulai berubah menjadi kakek
tua bercaping pandan!
"Selamat berjumpa kembali, Ki Damar Su-
to!" sapa Gagak Seto ramah.
"Diam! Aku tak suka peradatan macam be-
gini!" bentak Raja Penyihir yang ternyata bernama
Ki Damar Suto itu, galak.
Gagak Seto yang sangat dihormati di ka-
langan keratonpun nampak tidak tersinggung
oleh ucapan kasar Raja Penyihir. Namun tidak
demikian dengan Ratih....
"Jaga mulutmu yang lancang, Orang Tua!
Atau ku robek-robek mulutmu dengan pedangku,
he!" bentak Ratih berani.
Gagak Seto cemas sekali. Ia takut kalau
Raja Penyihir yang aneh ini akan murka.
"Diam dulu, Ratih! Biarkan Romomu yang
bicara!" bisik Gagak Seto lirih.
Ratih memberengut kesal. Namun toh, di-
turutinya juga perintah romonya.
"He he he...! Ucapan putrimu yang cantik
jelita ini sungguh membuat telingaku memerah,
Gagak Seto. Kalau kau tidak dapat memberi bebe-
rapa keterangan padaku, jangan salahkan kalau
aku terpaksa sedikit memberi pelajaran padamu!"
"Katakanlah! Barangkali aku dapat mem-
beri keterangan padamu," ujar Gagak Seto kalem.
"He he he...! Tidak terlalu sulit pertanyaan-
ku untuk dijawab, Gagak Seto. Pertama, apakah
kau tahu di mana calon muridku berada?"
"Ah...! Pertanyaanmu aneh sekali, Ki. Mana
aku tak tahu. Jangankan untuk memberi kete-
rangan di mana calon muridmu itu berada, men-
getahui orangnya pun aku belum."
"Satu! Pertanyaanku belum dijawab dengan
baik. Kalau kau tidak juga dapat menjawab per-
tanyaanku yang kedua ini, terpaksa sekali aku
harus menghajarmu!" ancam Raja Penyihir tak
sabar.
"Kau curang sekali, Raja Penyihir! Mau
seenaknya saja memaksakan keinginanmu. Kalau
Romoku tidak tahu, kau mau apa?!" tantang Ra-
tih sengit.
"Sudahlah, Ratih! Biarkan Raja Penyihir bi-
cara!" ujar Gagak Seto pada putrinya.
Ratih cemberut. Matanya yang indah me-
mandang Raja Penyihir penuh kebencian.
"He he he...! Benar! Benar sekali apa yang
kau katakan. Rupanya kau cukup bijaksana...,
Raja Penyihir tertawa-tawa senang. "Nah! Dengar
pertanyaanku yang kedua, Gagak Seto. Calon
murid yang sedang kucari-cari mempunyai ke-
pandaian silat yang tinggi. Bahkan bisa berubah
wujud menjadi Siluman Ular Putih. Apakah kau
tahu, siapa nama pemuda itu. Siapa nama gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya?" beron-
dong Raja Penyihir sekaligus.
Gagak Seto bingung sekali. Jangankan un-
tuk mengetahui siapa guru dan tempat tinggal
pemuda yang dimaksudkan Raja Penyihir. Men-
genal orangnya pun, belum. Lantas, bagaimana
dapat memberi keterangan pada Raja Penyihir?!
"Aku tahu nama pemuda itu!" kata Ratih
tiba-tiba.
"Siapa?" tanya Raja Penyihir, hampir ber-
samaan dengan Gagak Seto.
"Soma!" kata Ratih, seraya mengangkat bi-
birnya sinis.
"Kau tidak berbohong?" tukas Raja Penyi-
hir, masih belum percaya.
"Tidak ada gunanya berbohong. Aku sudah
beberapa kali bertemu dengan pemuda sinting
itu."
"Baik! Kalau begitu, kau pun tahu siapa
nama gurunya. Dan, di mana tempat tinggalnya,
bukan? Nah! Sekarang, katakanlah, Anak Manis!"
kata Raja Penyihir kegirangan.
Kali ini gantian Ratih yang kebingungan.
Meski sudah beberapa kali bertemu Soma yang
diam-diam mulai mengusik hatinya, tapi mana
tahu nama guru pemuda itu? Apalagi tempat
tinggalnya?
"Aku..., aku...! Aku..., aku hanya mengenal
namanya saja," jawab Ratih gelagapan.
"Tidak mungkin! Kau pasti tahu, siapa gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya!" desak
Raja Penyihir tidak mau tahu kesulitan Ratih dan
Gagak Seto.
"Sungguh aku tidak tahu...," jawab Ratih
gelagapan.
"Baiklah. Kalau kau masih belum mau
memberi keterangan padaku, terpaksa sekali aku
harus menggebukmu."
Raja Penyihir bersiap-siap mengerahkan
kekuatan sihirnya. Bibirnya yang kehitaman mu-
lai berkemik-kemik.
Sementara Gagak Seto berdiri dengan kaki
tegang di tempatnya.
Ratih celingukan, tak tahu apa yang harus
diperbuat...
Pada saat Raja Penyihir mulai mengerah-
kan kekuatan batinnya, tiba-tiba saja....
"Huaaa ha ha...! Siapa sudi jadi calon mu-
ridmu, Badut Tua! Kau pikir, kau dapat menga-
lahkan aku dengan permainan anak-anakmu itu,
he?! Jangan mimpi Badut Tua!"
Ketiga orang itu dikejutkan oleh tawa se-
seorang yang sangat melecehkan Raja Penyihir.
Raja Penyihir menggeram penuh kemara-
han. Bibirnya tidak lagi berkemik-kemik. Hanya
pandangan matanya saja yang tajam memperha-
tikan semak-semak di depannya.
***
Soma dan Salindri cepat keluar dari tempat
persembunyiannya. Seperti yang telah disepakati,
begitu kedua orang itu selesai menguburkan
mayat pengemis muda anggota Pengemis Tongkat
Hitam, kedua anak muda itu langsung mengikuti
bayangan merah-merah dan putih yang tadi me-
lintas di hadapannya.
Dan ketika sampai di luar hutan bambu,
hati Soma jadi tersentak ketika melihat bayangan
merah yang ternyata Ratih. Dan gadis itu sudah
sangat dikenalnya. Namun, pemuda itu tak men-
genal, siapa laki-laki bertubuh tegap di samping
gadis itu. Dan ketika Raja Penyihir menyebut-
nyebut tentang dirinya, Soma jadi tidak tahan lagi
untuk tidak keluar dari tempat persembunyian-
nya.
Sebenarnya kalau saja Soma yang bergelar
Siluman Ular Putih tidak terlambat sampai di
tempat itu, tentu akan terkejut mendengar pen-
gakuan orang di samping Ratih. Karena laki-laki
itu sebenarnya masih terhitung paman dari Pen-
dekar Kujang Emas, ayahnya! Sayang, pemuda ini
hanya mendengar buntut dari percakapan mereka
yang menyinggung-nyinggung tentang dirinya.
Sehingga ia tidak mengenal, siapa laki-laki beru-
sia lima puluh lima tahunan di samping Ratih.
"Ha ha ha...! Mengapa kau melotot seperti
melihat setan gondrong saja, Badut Tua? Ayo, ke-
jar aku! Katanya kau ingin menjadikan aku mu-
ridmu!" tantang Soma menggoda.
Dan sehabis berkata begitu, Soma pun se-
gera menggandeng lengan Salindri meninggalkan
tempat itu.
Raja Penyihir geram bukan main. Tanpa
mempedulikan Ratih dan Gagak Seto lagi segera
dikejarnya Soma. Namun sayangnya ilmu merin-
gankan tubuh orang tua bercaping pandan itu ti-
daklah sehebat Soma. Sehingga, ia dapat diper-
mainkan Soma dengan mudah.
"Ayo, Badut Tua! Kejar aku! Mengapa letoi
amat? Apa kau tadi habis berkencan dengan ular-
ularmu, ya?" celoteh Soma sambil terus meng-
gandeng gadis cantik di sampingnya.
Ratih yang melihat Soma menggandeng ga-
dis cantik berpakaian tambal-tambalan yang be-
lum dikenalnya, entah mengapa jadi gusar sekali.
Tanpa sadar gerahamnya bergemelutuk penuh
kemarahan.
"Aku harus mengejarnya, Romo."
Ratih cepat menjejakkan kedua kakinya
meninggalkan ayahnya. Namun sayangnya tangan
Gagak Seto keburu menangkap lengannya.
"Jangan, Ratih! Terlalu berbahaya. Lagi pu-
la, buat apa mengejar mereka? Urusan kita sendi-
ri dengan Manusia Rambut Merah pun belum
beres. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tapi...."
"Sudahlah, Ratih! Jangan banyak memban-
tah! Turuti saja kata-kata Romo!"
Gagak Seto cepat meraih lengan putrinya.
Langsung diajaknya gadis itu naik ke puncak Gu-
nung Merapi yang menjulang tinggi di hadapan-
nya.
Sedang Ratih hanya dapat memberengut
kesal. Matanya terus memperhatikan Soma yang
sedang menggoda Raja Penyihir dengan sinar ma-
ta cemburu! Sebenarnya hatinya juga gemas,
mengapa ayahnya mesti menyusulnya?
Memang semula Gagak Seto sendiri yang
menyuruh putri tunggalnya itu untuk menyelidiki
keberadaan Manusia Rambut Merah. Namun se-
telah menunggu beberapa saat, Ratih belum juga
pulang memberi laporan, Tumenggung Kerajaan
Mataram ini jadi mencemaskan keselamatan pu-
trinya. Dan tanpa diiringi satu orang prajurit pun,
dan dengan berpakaian biasa, ia menyusul pu-
trinya. Kebetulan sekali, mereka bertemu di Lem-
bah Klidung. Sebuah lembah yang membentang
antara kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindo-
ro. Dari lembah inilah ayah dan anak itu melaku-
kan perjalanan menuju ke puncak Gunung Mera-
pi!
6
Pertempuran di puncak Gunung Merapi
antara para datuk sesat dari empat penjuru angin
terlihat makin seru. Meski dikeroyok tiga orang
saingan utamanya, rupanya Algojo Dan Timur
masih mampu bertahan dengan mengandalkan
pukulan 'Badai Gurun Pasir' dan pukulan
'Pemecah Bumi'. Namun lambat laun disadari ka-
lau begini terus-menerus sudah pasti akan roboh
juga.
"Tunggu...! Apakah begini cara kalian un-
tuk menentukan datuk sesat nomor satu di anta-
ra kita?!" bentak Algojo Dari Timur menyindir, se-
telah baru saja dapat meloloskan diri dari gempu-
ran-gempuran ketiga orang saingan utamanya
dengan cara melompat tinggi keluar dan kancah
pertempuran.
"Aku paling benci melihat orang pongah
sepertimu, Setan Botak. Secara langsung maupun
tidak, omonganmu tadi sangat merendahkan ka-
mi. Lantas, apakah cara ini salah?" tukas Denok
Supi, segera maju selangkah. Agaknya menjadi
juru bicara kedua orang temannya.
"Salah besar kalau kalian mengatakan aku
pongah. Apa tindakan kalian selama ini di dunia
persilatan tidak demikian? Ayo jawab, Denok!"
dengus Algojo Dari Timur memojokkan.
Denok Supi yang merasa dipojokkan jadi
terdiam. Hanya matanya saja yang melotot me-
mandang ke arah Algojo Dari Timur.
"Siapa peduli?! Bagaimanapun juga kau te-
lah merendahkan Kami. Kalau kami menge-
royokmu, apa yang dapat kau perbuat?!" bentak
Raja Golok Dari Utara.
"Tidak ada pilihan kecuali terus melawan!
Hanya aku menyayangkan, tak kusangka datuk-
datuk sesat yang berjuluk Raja Golok Dari Utara,
Raja Racun Dari Selatan, dan kan Denok Supi,
ternyata mempunyai watak demikian rendah.
Memalukan!" teriak Algojo Dari Timur.
Meski juga digolongkan sebagai datuk sesat
yang merajai di daerah timur, namun sebenarnya
Algojo Dan Timur paling benci melihat cara-cara
licik yang sering dilakukan golongan hitam.
Hanya karena tindakannya yang kejam ketika
menumpas musuh-musuhnya demi kepentingan
pribadinya, baik dari golongan putih maupun go-
longan hitam itu sendiri, maka tak heran kalau ia
mendapat julukan Algojo Dari Timur!
"Jangan sok alim, Setan Botak! Semua
orang di dunia persilatan tahu, siapa dirimu. Pa-
kai berkhotbah segala!" cibir Denok Supi sengit.
"Buat apa kita berdebat dengan manusia
satu ini? Lebih baik enyahkan saja biar urusan
cepat selesai!" teriak Raja Racun Dari Selatan
dengan suara sember.
"Betul! Mari kita cincang setan gundul ini
ramai-ramai, Kawan!" teriak Raja Golok Dari Uta-
ra tak sabar.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Golok
pun kembali menyerang Algojo Dari Timur hebat.
Gerakan golok di tangan kanannya menyambar-
nyambar ganas mengurung pertahanan lawannya.
Melihat Raja Golok Dari Utara telah men-
dahului menyerang, Raja Racun Dari Selatan dan
Denok Supi pun tidak mau ketinggalan. Dengan
jurus-jurus andalan, mereka kembali menggem-
pur Algojo Dari Timur.
Bukan main hebatnya serangan ketiga to-
koh sesat itu. Dan ini membuat Algojo Dari Timur
benar-benar kewalahan. Andai saja ketiganya ma-
ju satu persatu, belum tentu dapat merobohkan
tokoh sesat dari timur itu. Namun kali ini uru-
sannya sudah lain. Mau tidak mau, Algojo Dari
Timur harus menghadapi mereka. Dan entah su-
dah berapa kali tubuhnya yang tinggi besar itu
terpaksa berjumpalitan ke sana kemari menghin-
dari bacokan-bacokan golok Raja Golok Dari Uta-
ra dan jepitan gunting di tangan Denok Supi.
Sekarang pada jurus yang kesebelas, Algojo
Dari Timur benar-benar mati kutu. Bacokan golok
di tangan Raja Golok yang datang dari depan
sungguh sulit dihindari. Belum lagi serangan
gunting Denok Supi yang datangnya dari samping
kiri. Mau berkelit ke samping kanan, jelas tidak
mungkin. Karena di sana ada Raja Racun yang
siap dengan pukulan 'Telapak Kelabang Hitam'-
nya.
"Hyaaat!"
"Hyaaat...!"
Cring!
Algojo Dari Timur nekat menangkis golok di
tangan Raja Golok Dari Utara dengan parang pan-
jangnya. Sedang serangan Denok Supi yang da-
tang dari kiri hanya dihindari dengan berkelit ke
samping kanan. Sangat berbahaya sekali sebe-
narnya. Karena di samping kanan, Raja Racun
Dari Selatan siap dengan pukulan 'Telapak Kela-
bang Hitam'. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa Algojo
Dari Timur langsung terlempar beberapa tombak
ke belakang begitu pukulan 'Telapak Kelabang Hi-
tam' Raja Racun Dari Selatan menghantam pung-
gungnya. Seketika itu juga, wajah Algojo Dari Ti-
mur menjadi pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar
hebat, pertanda mengalami luka dalam cukup
lumayan. Untung saja tadi tubuhnya yang terke-
na pukulan sempat dilindungi tenaga dalam. Se-
hingga tidak begitu membahayakan keselamatan-
nya.
"Hoeeekh...!"
Algojo Dari Timur muntahkan darah segar.
Dadanya terasa sesak akibat racun kelabang hi-
tam yang bersarang di tubuhnya mulai bekerja.
Buru-buru tangannya merogoh saku, mengambil
obat pulung yang langsung ditelannya. Kemudian
dengan tertatih-tatih dicoba bangun.
"Ha ha ha...! Bersiap-siaplah menemui ib-
lis-iblis gentayangan di dasar neraka, Setan Bo-
tak!" teriak Raja Golok Dari Utara sebelum berge-
rak ke depan dengan golok di tangan.
Tentu saja Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan tak mau kalah. Dengan jurus-jurus an-
dalan, kedua orang tokoh sesat itu pun kembali
menerjang ganas Algojo Dari Timur yang sudah
terluka.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Algojo Dari Timur kali ini benar-benar ne-
kat ingin mengadu nyawa. Parang panjangnya
yang siap menangkis golok di tangan Raja Golok,
sekaligus menangkis gunting di tangan Denok
Supi. Sedang serangan Raja Racun yang mengan-
dalkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam',
siap dihadapi dengan pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir'.
Namun belum sempat serangan-serangan
ketiga tokoh sesat itu sampai di dekat tubuh Algo-
jo Dari Timur, mendadak tanah tempat berpijak
bergetar-getar hebat. Selang beberapa kejap ke-
mudian....
Brolll!
"Heh?!"
Tanah yang bergetar-getar hebat itu men-
dadak membuncah tinggi ke udara. Dan bersa-
maan dengan itu nampak sesosok bayangan me-
rah menyala muncul dari dasar bumi, dan men-
darat manis. Begitu ringannya hingga tak menim-
bulkan suara sedikit pun saat mendarat tak jauh
dari Algojo Dari Timur berdiri!
Orang yang baru datang bertubuh tinggi
besar. Pakaiannya berwarna merah darah. Ma-
tanya besar, demikian pula hidungnya. Sedang
rambut, alis mata, kumis, dan jenggotnya pun
berwarna merah menyala!
"Ma.... Manusia Rambut Merah...!" pekik
keempat tokoh sesat dunia persilatan itu hampir
berbarengan.
***
"Ha ha ha...! Tidak salah lagi! Memang aku-
lah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," kata
sosok yang memang Manusia Rambut Merah ter-
tawa mengakak. Suara beratnya yang sarat tena-
ga dalam menggema ke segenap penjuru. "Kuden-
gar di sini akan diadakan pemilihan tokoh sesat
di dunia persilatan? Lantas, mengapa kalian tidak
memanggilku? Apa kalian pikir, ilmu kalian
mampu menandingi ilmuku, he?!"
"Aku tidak pernah menganggap kau masuk
dalam hitungan kami. Untuk itu, lekaslah pulang
ke sarangmu di Hutan Sawo Kembar sebelum go-
lokku merajam tubuhmu!" bentak Raja Golok ga-
rang.
Walau tadi sempat ciut nyalinya melihat
ilmu Manusia Rambut Merah yang baru saja dipe-
ragakan, namun karena sikap congkaknya yang
berlebihan membuat Raja Golok Dari Utara me-
mandang rendah.
"Kau terlalu memandang rendah padaku,
Raja Golok! Karena kau telah berani lancang ber-
kata demikian, maka kau pulalah orang pertama
yang akan kugebuk," desis Manusia Rambut Me-
rah penuh kemarahan.
"Majulah! Jangan hanya pintar mengumbar
suara saja!" tantang Raja Golok Dan Utara, nekat.
"Setan alas! Jangan salahkan kalau aku
sedikit kasar menggebukmu, Raja Golok!"
Manusia Rambut Merah cepat melolos
cambuk pusakanya dari pinggang. Seketika dis-
erangnya Raja Golok dengan lecutan cambuknya.
Ctarrr...!
Ctarrr...!
Cambuk hitam itu cepat meliuk-liuk me-
nyerang tubuh Raja Golok Dari Utara.
Tokoh sesat dari utara ini tersenyum men-
gejek. Golok mautnya segera digerakkan ke de-
pan, memapak serangan cambuk Manusia Ram-
but Merah.
Prattt!
Golok di tangan tokoh bertubuh pendek itu
berhasil memapak serangan. Namun anehnya,
cambuk itu masih utuh seperti sediakala. Sama
sekali tidak rusak akibat babatan goloknya. Bah-
kan tangan Raja Golok sendirilah yang merasa
kesemutan akibat tangkisannya tadi.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan lecutan
cambukku, Raja Golok," ejek Manusia Rambut
Merah yang bernama asli Jarkasi ini.
Ctar!
Ctar!
Dua kali cambuk di tangan Ki Jarkasi
menghajar tubuh Raja Golok Dari Utara tanpa
dapat dihindari lagi.
"Augh...!"
Raja Golok Dari Utara memekik setinggi
langit. Tubuhnya yang terkena cambuk langsung
memerah. Sambil berdiri sempoyongan, matanya
memandang Manusia Rambut Merah beringas.
"Teman-teman! Ayo, kita cincang iblis me-
rah ini ramai-ramai!" teriak Raja Golok Dan Utara
pada teman-temannya.
Denok Supi dan Raja Racun Dari Selatan
cepat bergerak ke depan. Mereka langsung me-
nyerang Manusia Rambut Merah dengan ganas.
Sedang Algojo Dari Timur yang tadi mendapat lu-
ka parah akibat pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' tengah duduk bersemadi untuk me-
mulihkan luka dalamnya.
"Kalian ini benar-benar tidak tahu diri! Apa
kalian pikir dapat mengalahkan aku, he?!" bentak
Ki Jarkasi angkuh.
"Jangan banyak bacot! Lihat saja, bagai-
mana nanti kami mencincang tubuhmu Manusia
Rambut Merah!" balas Denok Supi merasa pena-
saran melihat Raja Golok Dari Utara dapat cedera
dalam sekali gebrakan.
"Bagus, bagus! Aku jadi ingin melihat, apa-
kah kalian ini pantas mendapat julukan datuk-
datuk sesat yang tersohor di dunia persilatan ini!"
ejek Manusia Rambut Merah.
Kali ini Ki Jarkasi tidak memberi hati lagi
terhadap ketiga pengeroyoknya. Tanpa banyak
membuang-buang waktu lagi, Manusia Rambut
Merah menghentak tangan kirinya ke depan. Ma-
ka seketika itu juga serangkum angin dingin me-
luruk menyerang Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan, Dan bersamaan dengan itu, kembali
cambuk di tangan kanannya melecut di udara.
Ctarrr!
Ctarrr!
Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, dan
Raja Racun kalang kabut menghadapi dua seran-
gan itu. Namun sebagai seorang tokoh sesat yang
sudah banyak makan asam garam, mereka tidak
gugup. Dengan sedikit miringkan tubuhnya ke ki-
ri, Denok Supi pun dapat menghindari pukulan
'Kelabang Geni'. Sementara Raja Racun Dari Sela-
tan dan Raja Golok Dari Utara memberanikan diri
menangkis serangan cambuk dan pukulan
'Kelabang Geni'.
Plakkk!
Plakkk!
Blarrr...!
Manusia Rambut Merah yang tenaga da-
lamnya terbagi-bagi dalam serangannya jadi ter-
huyung-huyung akibat benturan tenaga dalam
barusan. Namun untungnya tidak sampai mem-
bahayakan keselamatannya.
"He he he...! Rupanya hanya segini keheba-
tan Manusia Rambut Merah yang kesohor itu!"
ejek Raja Racun Dari Selatan dengan suara semb-
er.
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Jelas, ia paling tidak senang dilecehi orang. Maka
segera cambuknya diselipkan lagi ke pinggang.
"Jangan berbangga dulu, Raja Racun! Apa
kau belum merasakan ilmu 'Wejangan Iblis'-ku?!"
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Ma-
nusia Rambut Merah! Sejengkal pun aku tak
mundur?!" tantang Raja Racun Dari Selatan.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek sambil
memasang kuda-kuda. Kedua tangannya yang
siap mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang ba-
ru saja disempurnakan di gua pantai utara ber-
sama gurunya Jerangkong Hidup, telah berubah
menjadi merah menyala!
"Bersiap-siaplah kalian merasakan keheba-
tan ilmuku ini, Kawan! "Hyaaat...!"
Seleret sinar merah menyala seketika ke-
luar dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah begitu dihentakkan.
Raja Racun Dari Selatan tidak berani me-
mandang rendah kehebatan pukulan 'Wejangan
Iblis'. Ia yang sudah cukup pengalaman tahu ka-
lau pukulan Manusia Rambut Merah mengan-
dung racun keji. Setelah membuat kuda-kuda,
cepat dipapakinya dengan pukulan 'Telapak Tan-
gan Kelabang Hitam'.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Blarrr...!
Hebat bukan main akibat pertemuan dua
tenaga dalam di udara barusan. Tanah di sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pohon-pohon pun men-
jadi layu. Sementara Manusia Rambut Merah
nampak tenang-tenang saja di tempatnya. Sedikit
pun tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga
dalam tadi.
Dan rupanya tidak demikian dengan Raja
Racun Dari Selatan. Tubuhnya langsung terpental
ke belakang begitu benturan terjadi. Dan seketika
itu juga wajahnya pucat pasi. Darah segar pun
membasahi bibirnya.
"He he he...! Apa kalian belum juga mau
mengakui kehebatan ilmuku? Ayo, siapa lagi yang
mau maju!" tantang Ki Jarkasi pongah.
"Heh! Kau hanya mengandalkan pukulan
mautmu saja. Apa kau berani menghadapi kami
berdua dengan senjata cambukmu itu?" tukas Ra-
ja Golok Dari Utara belum juga mau mengalah.
"Apa bedanya? Toh aku dapat mengalah-
kan kalian. Dan aku pulalah yang pantas menda-
pat julukan datuk nomor satu di dunia persilatan
ini," sahut Manusia Rambut Merah bangga.
"Aku mau mengakuimu sebagai datuk no-
mor satu di dunia persilatan, asal kau dapat
mengalahkan kami dengan menggunakan cam-
bukmu itu, Manusia Rambut Merah!" kata Raja
Golok Dari Utara masih membandel.
"Baik, baik! Kuterima tantanganmu ini. Ta-
pi, ingat! Kalau kau masih bertanya macam-
macam, terpaksa aku akan mengirim nyawamu
ke neraka. Tahu?!" geram Ki Jarkasi jengkel.
"Majulah! Aku hanya ingin menjajal kehe-
batan cambukmu saja!" ujar Raja Golok Dari Uta-
ra.
Manusia Rambut Merah kesal. Tangannya
yang kekar cepat melolos kembali cambuknya.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, segera dis-
erangnya Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Ctarrr!
Ctarrr!
Meski dikeroyok begitu, cambuk Manusia
Rambut Merah tetap dapat mengurung pertaha-
nan Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara. Per-
lahan namun pasti, Ki Jarkasi terus mendesak
kedua orang tokoh sesat dari barat dan utara itu
hingga tidak dapat membalas serangan sama se-
kali.
Ctarrr!
Ctarrr!
"Aaakh...!"
"Auuhh...!"
Dua kali cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah melecut menyengat tubuh Denok Supi
dan Raja Golok Dari Utara hingga tersentak dan
jatuh ke tanah. Mereka kontan memekik setinggi
langit. Tubuh yang terkena cambuk langsung
memerah.
"He he he...! Kalau saja kalian bukan satu
golongan, sudah pasti akan kukirim nyawa anjing
kalian ke neraka! Tahu?!" hardik Ki Jarkasi ga-
rang.
Denok Supi dan Raja Golok saling berpan-
dangan. Kini kedua orang itu tidak lagi bernafsu
melanjutkan pertarungan. Mereka hanya bisa di-
am membisu di tempatnya.
"Bagus! Bagus! Mulai hari ini kalian be-
rempat harus mengakui aku sebagai datuk sesat
nomor satu di empat penjuru mata angin. Siapa
yang berani menentang keputusanku ini, berarti
mati!" teriak Ki Jarkasi angkuh.
"Dan satu lagi! Cepat cari keterangan ten-
tang seorang pemuda yang dapat menjelma men-
jadi Siluman Ular Putih! Syukur kalau kalian da-
pat menghabisinya sekalian. Kalau tidak, cepat
beri laporan padaku! Mengerti?!"
"Baik!" sahut para tokoh sesat yang bi-
asanya berpenampilan garang itu, patuh.
"Nah! Sekarang enyahlah kalian dari hada-
panku!" perintah Manusia Rambut Merah ang-
kuh.
"Baik!"
Para tokoh sesat itu serempak bangkit.
Demikian pula Algojo Dari Timur yang masih ter-
luka dalam. Namun belum sempat mereka berge-
rak dari tempatnya....
"Tunggu...! Kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini, Manusia Rambut Merah! Aku akan
membuat perhitungan denganmu!"
Mendadak dari arah utara puncak Gunung
Merapi terdengar seseorang berteriak-teriak lan-
tang, menantang Manusia Rambut Merah!
***
Di hadapan Manusia Rambut Merah dan
keempat orang tokoh sesat yang telah ditakluk-
kannya, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih
dan seorang gadis berpakaian merah-merah. Me-
reka tak lain Gagak Seto dan Ratih, putrinya.
Manusia Rambut Merah mendengus. Ma-
tanya yang memerah memandangi Gagak Seto
dan gadis itu dengan tatapan congkak!
"Lihatlah! Bagaimana caranya aku meng-
hajar orang-orang yang mencari mati di tempat
ini," kata Ki Jarkasi pada keempat orang tokoh
sesat ini, tanpa sekedip pun menoleh.
Keempat tokoh sesat yang semula bermak-
sud meninggalkan puncak Gunung Merapi jadi
mengurungkan niatnya. Dan tanpa diperintah
pun, mereka telah mengurung Gagak Seto dan
Ratih.
"Lagakmu sombong sekali, Manusia Ram-
but Merah! Aku datang kemari bukannya ingin
menangkapmu. Melainkan ingin mencabut nyawa
anjingmu atas meninggalnya keponakanku, Pen-
dekar Kujang Emas tahun lalu!"
"Ha ha ha...! Mengapa kau tidak bawa ke-
mari Pendekar Pedang Kilat buana sekalian, biar
masalah ini cepat selesai?!" kata Manusia Rambut
Merah di antara tawanya yang menggema ke seki-
tarnya.
"Tidak perlu aku membawa-bawa beliau
kemari. Aku sendiri, Gagak Seto cukup mampu
mengirim nyawa anjingmu ke neraka!" tantang
Gagak Seto, berani.
Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari pinggang.
Sret!
Ratih yang melihat ayahnya sudah menca-
but pedang pun cepat mencabut pedangnya pula.
Gadis ini siap membantu ayahnya menghadapi
Manusia Rambut Merah.
"Cepat keluarkan semua kepandaian kalian
kalau benar-benar ingin mencari mati!" tantang Ki
Jarkasi mengejek.
"Kunyuk merah besar kepala! Terimalah
kematianmu hari ini! Hyaaat....!" teriak Ratih
sambil meluruk deras. Pedang di tangan kanan-
nya telah menyambar-nyambar ganas.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Dan tiba-
tiba jubah merahnya dikebutkan sekali. Maka se-
ketika itu juga serangkum angin dingin meluruk
deras.
"Ah...!"
Ratih memekik. Tubuhnya yang terkena
sambaran angin kebutan Manusia Rambut Merah
langsung terlempar ke belakang.
Dan Gagak Seto cepat menyerang, begitu
melihat putrinya yang terpental ke belakang dike-
jar Manusia Rambut Merah. Hebat sekali seran-
gan pedang Tumenggung Kerajaan Mataram ini,
karena telah mengeluarkan jurus andalannya.
"Hyaaat...! Hyaaat...!"
Gagak Seto semakin mempercepat seran-
gannya. Ia yang cukup tahu kehebatan musuh-
nya, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Te-
rus digempuri Manusia Rambut Merah dengan
hebat.
Untuk beberapa saat, Gagak Seto cukup
dapat merepotkan Manusia Rambut Merah. Na-
mun setelah Ki Jarkasi mencabut cambuknya,
perlahan-lahan ayahnya Ratih ini mulai terdesak.
Ratih yang tadi sempat merasakan keli-
haian Manusia Rambut Merah dalam segebrakan
saja, cepat kembali maju menyerang dengan pe-
dangnya.
Ctarrr!
Ctarrr!
Beberapa kali cambuk di tangan Manusia
Rambut Merah menyengat udara. Dan beberapa
kali pula tubuh Gagak Seto dan Ratih tersengat
lidah cambuk. Seketika itu juga pakaian yang di-
kenakan mereka koyak di sana sini. Sementara
bagian tubuh yang terkena lecutan tampak me-
merah!
Manusia Rambut Merah tertawa terbahak-
bahak. Lecutan-lecutan cambuknya terdengar
makin menggiriskan.
"Biar lebih enak kita bertarung, bagaimana
kalau putrimu yang cantik ini diamankan dulu,
Gagak Seto?"
Sebelum kata-kata habis, Ki Jarkasi berke-
lebat cepat. Dan tahu-tahu tangannya terjulur
menotok pundak Ratih yang belum bisa mengua-
sai keadaannya.
Tuk!
"Aaah...!"
Ratih mengeluh. Tubuhnya yang terkena
totokan langsung ambruk ke tanah.
"Demi Tuhan! Kalau kau mengganggu pu-
triku, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ma-
nusia Rambut Merah!" pekik Gagak Seto kalap
bukan main melihat putri tunggalnya dapat di-
lumpuhkan Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Begitu
berbalik, lecutan-lecutan cambuknya kembali
bergerak cepat.
Ctarrr! Ctarrr!
Mendapat serangan demikian, Gagak Seto
kewalahan bukan main. Dan kini tubuhnya telah
terkurung lecutan-lecutan cambuk Manusia
Rambut Merah. Bahkan entah sudah beberapa
kali tubuhnya yang memerah tersengat cambuk.
Untung saja ia masih dapat bertahan. Beberapa
kali tubuhnya melompat ke belakang sehingga
keadaannya tak semakin parah.
Ki Jarkasi geram bukan main. Ia sudah ti-
dak sabar ingin merobohkan Gagak Seto. Maka
lecutan-lecutan cambuknya makin dipercepat.
Sementara tangan kirinya telah berubah merah
menyala, siap melancarkan pukulan 'Kelabang
Geni'.
Ctarrr!
Ctarrr!
"Hyaaat...!"
Kali ini serangan-serangan Manusia Ram-
but Merah sungguh hebat bukan main. Diiringi
lecutan-lecutan cambuknya yang menggiriskan,
tangan kiri Ki Jarkasi melontarkan pukulan
maut.
Wesss!
Gagak Seto memutar pedangnya, menang-
kis lecutan-lecutan cambuk di tangan kanan Ma-
nusia Rambut Merah. Pada saat yang sama tan-
gan kiri Manusia Rambut Merah berkelebat ke
depan.
Seketika itu juga, wajah Gagak Seto pucat
pasi berkesiurnya angin dingin yang datang da-
lam jarak yang demikian dekat rasa-rasanya sulit
sekali dihindari. Apalagi tubuhnya sendiri pun
sempat bergetar hebat, setelah menangkis seran-
gan cambuk.
"Romo! Awas...!" teriak Ratih kalang kabut.
Wesss...!
Namun tiba-tiba saja seleret sinar putih te-
rang yang entah dari mana datangnya, menghan-
tam pukulan 'Kelabang Geni' yang dilontarkan
Manusia Rambut Merah.
Blarrr...!
Terdengar suara berdentum keras sekali,
akibat benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi
di udara. Tanah di sekitar puncak Gunung Merapi
bergetar hebat. Pohon-pohon pun menjadi layu!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
lebar. Tubuhnya yang tinggi besar sempat berge-
tar hebat akibat benturan tenaga dalam barusan.
Dan sekarang di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan dengan celana dan rompi
bersisik warna putih keperakan.
Tubuh pemuda itu tinggi kekar. Kulit wa-
jahnya putih bersih. Matanya yang agak kebiru-
biruan bersinar tajam seperti mata rajawali. Se-
dang rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sebuah rajahan bergambar ular putih di
dada kanan, nampak terlihat dari rompinya yang
terbuka tanpa kancing.
Sementara di belakang pemuda yang masih
tersenyum-senyum nakal memandang Manusia
Rambut Merah, berdiri seorang gadis cantik ber-
pakaian tambal-tambalan. Di samping gadis ini
berdiri pula seorang lelaki tua bertubuh tinggi ku-
rus yang juga mengenakan pakaian tambal-
tambalan. Sedang jauh di belakangnya nampak
terlihat seorang lelaki tua bercaping pandan ten-
gah terseok-seok menaiki puncak Gunung Mera-
pi.
"Siluman Ular Putih...!" teriak Ratih kegi-
rangan setelah tahu siapa pemuda tampan yang
telah menyelamatkan nyawa ayahnya.
Mendengar disebutnya Siluman Ular Putin
yang sedang diperbincangkan banyak orang, se-
ketika itu juga Manusia Rambut Merah dan juga
semua orang yang berada di puncak Gunung Me-
rapi jadi terkejut bukan main. Mereka semua ti-
dak menyangka kalau orang yang dijuluki Silu-
man Ular Putih ternyata masih muda
"Kaukah orang yang bergelar Siluman Ular
Putih?!" desis Manusia Rambut Merah garang,
begitu melihat orang yang dicari-carinya telah
menampakkan batang hidungnya.
"Kalau iya, kau mau apa?!" tukas Soma
acuh tak acuh.
Ki Jarkasi melotot lebar. Saking marahnya,
ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Soma tidak mempedulikannya. Malah ke-
palanya berpaling ke arah Ratih.
"Selamat bertemu kembali, Kawanku Yang
Cantik! Kenapa kau hanya tiduran saja di situ?
Apa kau lebih senang melihat nyawa orang me-
layang sambil tiduran begitu?" sapa Soma alias
Siluman Ular Putih kalem tanpa menghiraukan
kemarahan Manusia Rambut Merah.
"Putriku tertotok."
Gagak Seto yang baru saja diselamatkan
nyawanya oleh Soma segera menyahuti sambil
menghampiri putrinya untuk melepaskan toto-
kan.
"Oh...! Jadi Ratih itu putrimu ya, Orang
Tua? Pantas saja wajahnya cantik sekali. Habis,
ayahnya ganteng, sih! Tidak seperti kunyuk me-
rah itu!" tunjuk Soma pada Manusia Rambut Me-
rah. "Untung saja ayahmu bukan kunyuk merah
itu. Kalau iya, bukannya tidak mungkin gigimu
pun merah. Hik hik hik...! Mengerikan sekali!"
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Belum pernah seumur hidupnya ia direndahkan
seperti itu. Apalagi yang merendahkannya hanya
seorang pemuda kemarin sore!
"Bocah sinting! Apa kau belum tahu berha-
dapan dengan siapa?!" bentak Manusia Rambut
Merah garang.
"Kau...?! Ha ha ha...!" Soma tertawa. Tan-
gan kanannya membungkam ke mulut. "Melihat
ciri-cirimu, kau pasti orang yang bergelar Kunyuk
Besar Berambut Merah, bukan? Kebetulan sekali.
Aku memang sedikit ada urusan denganmu."
Bukan main marahnya Ki Jarkasi. Tanpa
disadarinya kedua telapak tangannya hingga ke
pangkal lengan telah berubah menjadi merah me-
nyala, siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Tunggu dulu, Kunyuk Merah! Aku hanya
ingin mendengar pengakuanmu, sebelum menco-
pot nyawamu dari tubuhmu! Apa benar kau yang
telah membunuh Mahesa, Pendekar Kujang Emas
itu?"
"Kalau iya, kau mau apa, Bocah Edan?!"
tantang Manusia Rambut Merah kalap.
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, ketahuilah.
Aku adalah putra tunggal Mahesa, si Pendekar
Kujang Emas itu. Dan mengenai kedatanganku
kemari, telah kukatakan tadi. Ingin mencopot
nyawamu. Aku pikir, masa hidupnya di alam
mayapada ini sudah habis. Nah! Sekarang ber-
siaplah menerima kematianmu, Kunyuk Merah!"
Meski mengucapkan kata-kata itu dengan
gayanya yang ugal-ugalan, namun sebenarnya da-
lam diri pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu berkecamuk dendam membara.
Beberapa orang yang ada di tempat itu
sempat membelalakkan mata lebar, begitu men-
dengar pengakuan Soma. Termasuk Salindri. Na-
mun kekagetan gadis itu hanya sebentar saja.
Apalagi telinganya tadi mendengar percakapan
Soma dengan Ratih begitu mesranya. Dan entah
mengapa, hatinya jadi panas sekali.
"Ja..., jadi kau anak Mahesa, Anak Muda?"
tanya Gagak Seto agak gugup.
"Benar, Orang Tua. Ada apa? Nampaknya
kau terkejut sekali?" tanya Soma enteng.
"Ketahuilah, Anak Muda! Aku sebenarnya
masih terhitung paman tiri dari ayahmu. Dan ke-
datanganku kemari bersama putriku ini, tidak
lain ingin menuntut balas atas kematian Mahesa
beberapa tahun yang lalu," jelas Gagak Seto.
"Oh...! Benarkah?" mata Soma terbelalak
lebar-lebar, seolah-olah tidak mempercayai omon-
gan orang berpakaian putih-putih di hadapannya.
"Benar, Anak Muda. Aku, Gagak Seto, me-
mang masih terhitung paman tiri ayahmu. Dan
kalau tidak salah, namamu Soma, bukan? Ratih
sudah beberapa kali bercerita padaku. Katanya,
kalian sudah saling kenal..."
"Benar, Pam..., eh! Eyang!" ralat Soma ce-
pat. Diam-diam hatinya senang sekali, karena ti-
dak menyangka masih mempunyai seorang pa-
man dari almarhum ayahnya. Mahesa, yang lebih
terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Benar, Soma. Meski usiaku belum terlalu
tua, aku memang masih terhitung eyangmu,"
tambah Gagak Seto lagi senang.
"Hm...," Soma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. "Kalau begitu aku harus memanggil pu-
trimu Bibik Ratih dong?" gumam si pemuda se-
perti pada diri sendiri.
"Boleh! Boleh! Memang Ratih masih terhi-
tung bibikmu! Tapi, sudahlah! Ngobrolnya nanti
saja!" kata Gagak Seto seraya memberi isyarat ke
arah Manusia Rambut Merah yang sudah bersiap-
siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Kau bilang akan mencopot nyawaku, Bo-
cah Edan? Apa kau punya nyawa rangkap se-
hingga berani berkata selancang itu?!" geram Ki
Jarkasi gusar. "Kalau begitu, terimalah pukulan
'Kelabang Geni'. Hyaaat...!"
Wesss...!
Seleret sinar merah menyala meluruk dari
kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah ke
arah Soma.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu tiba, Kunyuk Merah!"
Soma mengangkat kedua tangannya. Seke-
tika itu juga, seleret sinar putih terang berkeredep
melesat dari kedua telapak tangannya, memapaki
pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss!
Blarrr...!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi itu.
Tanah di puncak Gunung Merapi bagai dilanda
gempa. Pohon-pohon menjadi layu seketika.
Tubuh Soma sendiri pun bergetar hebat
akibat pertemuan dua tenaga dalam itu. Sedang
tubuh Manusia Rambut Merah sempat tergoyang-
goyang dengan kedua kaki melesak ke dalam ta-
nah. Hal ini, menandakan kalau tenaga dalam
mereka hanya berselisih sedikit. Namun, masih
unggul murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sementara Salindri yang saat itu kurang
waspada karena gemas melihat tingkah laku So-
ma pada Ratih tadi, hampir saja terkena samba-
ran angin akibat benturan dua tenaga dalam tadi.
Untung saja, tubuhnya segera ditarik oleh laki-
laki tua berpakaian tambalan di sebelahnya.
"Apa kau ingin mencari mampus di sini,
Salindri?! Mengapa kau tidak berusaha menying-
kir?!" bentak lelaki tua itu kesal, setelah berhasil
mengamankan Salindri.
Salindri memberengut. Entah mengapa ga-
dis itu jadi cepat sekali naik darah.
"Sudahlah, Ayah! Apa Ayah tidak ingin ce-
pat-cepat menghajar Raja Golok dan Denok Supi
yang telah membantai murid-murid anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam?" sergah Salindri, yang ter-
nyata putri laki-laki berpakaian pengemis itu.
Begitu laki-laki yang merupakan Ketua
Pengemis Tongkat Hitam dan bernama Ki Samiaji
ini diingatkan akan kematian murid-muridnya,
langsung saja menggeram penuh kemarahan. Dan
tanpa banyak cakap lagi, tongkat hitamnya pun
telah menyambar-nyambar ganas menyerang Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi
"Iblis-iblis tua tak tahu malu! Aku datang
menuntut balas atas kematian murid-murid ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Bersiap-siaplah ka-
lian semua menerima kematianmu hari ini!" teriak
Ki Samiaji garang di antara gulungan-gulungan
hitam tongkatnya yang terus mendesak Raja Go-
lok Dari Utara dan Denok Supi.
Sebenarnya, Ki Samiaji enggan berurusan
dengan Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Tapi berhubung mendapat laporan salah seorang
muridnya yang terlepas dari tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi, terpaksa seba-
gai Ketua Pengemis Tongkat Hitam ia harus turun
tangan. Sedang salah seorang pengemis lainnya
yang selamat dari tangan kedua iblis tua itu, mati
di tengah perjalanan setelah ditemukan Soma dan
Salindri. Kebetulan sekali letak markas Pengemis
Tongkat Hitam dengan puncak Gunung Merapi ti-
dak begitu jauh. Maka diiringi dua puluh orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam, Ki Samiaji pun
bergerak ke puncak Gunung Merapi
Dan kini kedua puluh orang anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam yang tadi diperintahkan
bersembunyi di lereng selatan pun mulai bergerak
menyerang Raja Golok Dari Utara dan Denok Su-
pi, begitu Ki Samiaji bersuit beberapa kali.
Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi ke-
walahan bukan main, menghadapi serangan-
serangan Ki Samiaji yang dibantu Salindri dan
dua puluh orang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam. Bahkan mereka nyaris tidak dapat memba-
las serangan. Perlahan namun pasti kedua iblis
tua itu semakin terdesak hebat.
"Kawan-kawan! Cepat bantu menumpas
jembel-jembel busuk ini!" teriak Raja Golok Dari
Utara kepada Raja Racun Dari Selatan dan Algojo
Dari Timur.
"Kalau saja tidak memandang kalian seba-
gai orang-orang satu golongan, malas aku mem-
bantumu," gerutu Raja Racun Dari Selatan den-
gan suara sember.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Racun
Dari Selatan pun cepat menerjang ke arena perta-
rungan dengan pukulan-pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'.
Dalam waktu yang tidak lama, empat orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam itu pun sudah
tergeletak di tanah dengan sekujur tubuh meng-
hitam terkena pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'.
Sementara, Algojo Dari Timur nampak ra-
gu-ragu untuk membantu ketiga orang kawannya.
Sebenarnya, bukannya ia tidak mau membantu.
Tapi, berhubung telah terluka dalam akibat dike-
royok tiga orang kawannya, Algojo Dari Timur jadi
sakit hati. Namun di saat tokoh sesat dari timur
ini ragu-ragu dengan apa yang akan diperbuat.
Wesss...!
Tiba-tiba saja angin dingin berkesiur me-
nyerang ke arah Algojo Dari Timur, secepat kilat
tubuhnya dilempar ke samping kiri. Begitu mena-
tap ke arah pembokong barusan, tokoh sesat dari
timur itu langsung mengenali. Pembokong itu ti-
dak lain dari orang tua bercaping pandan yang
berjuluk Raja Penyihir!
"He he he...! Gerakanmu cepat sekali. Pan-
tas saja, kau mendapat julukan Algojo Dari Ti-
mur," celoteh orang tua bercaping pandan, seo-
lah-olah merasa tidak bersalah atas perbuatan
curangnya barusan.
Ibarat harimau dicolek pantatnya, Algojo
Dari Timur pun menggeram penuh kemarahan.
"Raja Penyihir! Di antara kita tidak ada si-
lang sengketa. Mengapa kau membokongku? Apa
kau pikir aku takut menghadapi ilmu sihirmu?!"
dengus Algojo Dari Timur.
"He he he...! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Toh, kau dan ketiga orang
kawanmu tetap sama saja. Sama-sama dari go-
longan sesat, golongan orang yang suka membuat
onar di dunia. Buat apa bersilat lidah?"
"Keparat! Rasakan pembalasanku ini!
Heaaa...!" teriak Algojo Dari Timur, seraya meng-
hentakkan dua telapak tangannya yang telah be-
rubah putih menyilaukan mata hingga ke pangkal
lengannya. Namun dengan gerakan lincah, Raja
Penyihir cepat melompat ke udara. Dan....
Wesss...!
Blarrr...!
Batu gunung sebesar kerbau yang berada
di belakang Raja Penyihir tadi hancur berkeping-
keping begitu terkena pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir' milik Algojo Dari Timur.
Orang tua bercaping pandan itu mengge-
leng-geleng takjub.
Melihat serangan pertamanya gagal, Algojo
Dari Timur jadi murka. Tangan kanannya cepat
melolos parang panjang dari balik punggungnya.
Dan langsung diserangnya Raja Penyihir dengan
hebat.
Gagak Seto dan Ratih yang semula ber-
maksud ingin membantu Soma, jadi mengurung-
kan niatnya. Ternyata pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu dapat mengatasi Manusia
Rambut Merah, musuh besarnya. Namun ketika
melihat beberapa orang anggota Pengemis Tong-
kat Hitam mulai jatuh bergelimpangan dengan
sekujur tubuh menghitam, Gagak Seto pun jadi
menggeram penuh kemarahan.
"Ayo, lekas kita bantu Ketua Pengemis
Tongkat Hitam itu, Ratih!" ajak Gagak Seto kepa-
da putrinya.
Dan sehabis berkata begitu, tanpa banyak
cakap lagi Tumenggung Kerajaan Mataram itu
langsung menerjang Raja Racun dengan pedang-
nya.
Ratih memberengut. Bukannya tidak mau
membantu Ketua Pengemis Tongkat Hitam, na-
mun entah mengapa begitu melihat keakraban
Soma dengan Salindri, ia jadi geram. Bahkan
membenci gadis berpakaian compang-camping
itu.
"Ayo, Bibik Ratih? Mengapa kau tidak mau
membantu ayahmu menghadapi tua bangka itu?!"
teriak Soma, yang tengah sibuk menghadapi Ma-
nusia Rambut Merah itu. Pemuda itu tak bermak-
sud menggoda, saat memanggil Ratih dengan se-
butan 'bibik'.
"Sekali lagi kau menyebutku Bibik Ratih,
kucongkel kedua bola matamu, Soma!" sahut Ra-
tih kesal.
"Habis aku harus bilang bagaimana? Orang
kenyataannya kau bibikku kok?" omel Siluman
Ular Putih.
"Cerewet!" sungut Ratih kesal, namun toh
akhirnya mau juga membantu ayahnya mengha-
dapi Raja Racun Dari Selatan.
Soma lega. Sekarang pemuda ini dapat
menghadapi Manusia Rambut Merah dengan te-
nang.
Ki Jarkasi gusar bukan main. Hampir de-
lapan jurus lebih tapi ia belum mampu meroboh-
kan musuhnya. Jangankan merobohkan. Me-
nyentuh seujung rambutnya pun belum.
"Hyaaat...!"
Ctarrr! Ctarrr!
Diiringi bentakan keras, Manusia Rambut
Merah melecutkan cambuknya yang menggi-
riskan. Sementara tangan kirinya telah berubah
menjadi merah menyala hingga ke pangkal len-
gan, siap melancarkan pukulan1 'Wejangan Iblis'
yang telah disempurnakan bersama gurunya di
gua Pantai Utara.
"Jangan terlalu bernafsu, Kunyuk Merah!
Aku jadi takut. Kulihat rambut merahmu berdiri
seperti landak saja. Hih...! Ngeri," ejek Soma sem-
bari berloncatan ke sana kemari, menghindari le-
cutan-lecutan cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah.
Tubuh pemuda ini meliuk-liuk di antara
kelebatan cambuk Manusia Rambut Merah. Se-
dang kedua tangannya yang berbentuk kepala
ular pun telah memainkan jurus-jurus sakti 'Ular
Kembar Mengejar Mangsa'. Sehingga perlahan
namun pasti, Siluman Ular Putih mulai mendesak
Ki Jarkasi. Dan untuk mempertajam serangan-
serangannya, cepat dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Manusia Rambut Merah menggereng penuh
kemarahan. Padahal jurus-jurus andalannya te-
lah dikeluarkan. Namun, tetap saja terdesak he-
bat. Mendadak telapak tangan kirinya yang telah
berwarna merah menyala cepat dilontarkan ke
tubuh Soma.
Wesss!
Seketika seleret sinar merah menyala mele-
sat dari telapak tangan kiri Ki Jarkasi.
Tidak ada pilihan lain. Soma yang sedang
sibuk menghindari lecutan-lecutan cambuk Ma-
nusia Rambut Merah harus cepat memapak se-
rangan dengan pukulan 'Inti Bumi'. Seketika tan-
gannya menghentak ke depan.
"Hyaaat...!"
Blarrr...!
Seleret sinar putih terang berkeredepan da-
ri kedua telapak tangan Soma yang memapak pu-
kulan 'Kelabang Geni' menimbulkan ledakan dah-
syat. Tampak tubuh tinggi besar Manusia Rambut
Merah terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Tanah di sekitar puncak Gunung Mera-
pi pun bergetar-getar hebat. Pohon-pohon layu
bagai terbakar.
Sementara itu tubuh Soma sendiri pun ter-
getar dengan kedua kaki melesak beberapa ram-
but ke dalam tanah. Namun, mulutnya tetap me-
nyunggingkan senyum nakal. Kemudian sembari
ngoceh tidak karuan, cepat diloloskannya senjata
andalannya. Anak Panah Bercakra Kembar!
Maka seketika itu juga, hawa dingin yang
bukan alang kepalang memenuhi kancah pertem-
puran! Beberapa orang Pengemis Tongkat Hitam
yang berkepandaian rendah langsung menggigil
kedinginan! Malah tiga orang pengemis berpa-
kaian tambal-tambalan segera duduk bersemadi!
"Ayo, maju! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatanmu. Jangan-jangan nama besarmu
hanyalah kosong belaka! Ayo, maju!" teriak Soma.
Siluman Ular Putih tak henti-hentinya
mengejek. Kaki kirinya ditekuk seperti orang du-
duk. Sedang kaki kanannya disilangkan ke kaki
kirinya. Sementara anak panah senjata andalan-
nya digunakan untuk menunjuk-nunjuk Manusia
Rambut Merah. Persis nenek-nenek sedang me-
marahi cucunya.
Manusia Rambut Merah menggeram penuh
kemarahan. Cambuk di tangan kanannya dipu-
tar-putar di atas kepala. Saat itu juga, serangkum
angin kencang berkesiur meluruk sebelum cam-
buknya bergerak maju.
"Sudahlah! Ayo, kalau mau menyerang
aku! Pakai bertingkah macam-macam lagi!" ejek
Soma.
Pemuda ini cepat menggeser kaki kirinya
sedikit ke kanan, menghindari sambaran angin
kencang Manusia Rambut Merah. Namun kea-
daannya masih tetap duduk ongkang-ongkang
kaki seperti tadi!
"Di...! Ih...! Kok main angin-anginan begini?
Apa kau tidak takut masuk angin, Kunyuk Me-
rah? Kudengar kau tidak mempunyai bini. Lan-
tas, siapa yang akan mengerokimu nanti?"
"Bocah edan! Belum puas aku kalau belum
meneguk darah anjingmu! Hyaaat!"
Manusia Rambut Merah benar-benar mur-
ka. Cambuk di tangan kanannya makin berkele-
bat cepat mengurung pertahanan Soma. Hebat
bukan main serangannya.
Ctarrr!
Ctarrr!
Namun Soma sama sekali tidak ciut nya-
linya melihat liukan-liukan cambuk di tangan to-
koh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu. Malah
tingkahnya makin ugal-ugalan. Sambil ngoceh ti-
dak karuan, Siluman Ular Putih berloncatan ke
sana kemari menghindari lecutan-lecutan cam-
buk. Tindakannya pun terlihat seperti orang
main-main. Lecutan cambuk itu hanya ditangkis
bila perlu saja.
"Ayo, Kunyuk Merah! Kejar aku...! Kejar
daku! Kau kutangkap!" ejek Soma habis-habisan.
Mulutnya yang nakal mulai bernyanyi-nyanyi ke-
girangan.
Ki Jarkasi kini sadar. Meski musuhnya
masih muda, namun tidak berani memandang
ringan lagi. Maka segera dikeluarkannya ilmu an-
dalannya. Kedua kakinya segera ditekuk keba-
wah. Sedang kedua tangannya ditangkupkan ke
atas seperti orang menyembah. Itulah salah satu
pembuka jurus sakti 'Wejangan Iblis'.
"Eh eh eh...! Apa yang kau lakukan, Ku-
nyuk Merah? Kok, nungging-nungging seperti itu?
Apa mau buang hajat? Hei, jangan di sini. Sana,
pergi! Pergi!" kata, Soma seraya mengibas-
ngibaskan senjata anehnya mengusir pergi Manu-
sia Rambut Merah.
Namun mendadak saja Soma mengerutkan
keningnya dalam-dalam, saat melihat kedua tan-
gan Manusia Rambut Merah telah berubah men-
jadi merah darah sampai ke pangkal lengan. Dan
begitu tangannya yang menelungkup itu diturun-
kan, seketika itu juga berkesiur angin panas dis-
ertai bau amis yang bukan alang kepalang!
"Eh, eh...!"
Hampir saja Siluman Ular Putih tidak ta-
han dibuatnya. Namun untung saja cepat tersa-
dar. Cepat tubuhnya digulingkan ke kiri.
Serangan Manusia Rambut Merah lewat
beberapa jengkal di samping Soma. Sementara si-
nar merah yang menebarkan bau amis terus me-
nerabas.
"Aaah...!"
Akibatnya dua orang pengemis berpakaian
tambal-tambalan langsung terpental disertai pe-
kikan setinggi langit. Tubuhnya yang terkena se-
rangan nyasar itu langsung hangus terbakar, tak
dapat bergerak-gerak lagi!
"Keparat...! Kau harus bertanggung jawab
atas nyawa dua orang pengemis itu, Kunyuk Me-
rah!" geram Soma penuh kemarahan.
Pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara.
Tangan kanannya cepat melemparkan senjata
mustikanya ke arah Manusia Rambut Merah. Se-
mentara tangan kirinya cepat melontarkan puku-
lan 'Inti Bumi'
"Hyaaat! Hyaaat...!"
Wesss!
Wesss!
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih kali ini. Bagai anak panah yang lepas dari
busur, senjata pusakanya langsung melesat me-
nyerang dengan kecepatan sulit diikuti pandan-
gan mata. Sementara satu sinar putih terang yang
berkeredep menyusul di belakangnya, tak jauh
dari senjata anak panah itu!
Menghadapi serangan yang demikian he-
bat, Manusia Rambut Merah cepat melempar tu-
buhnya ke samping kanan. Senjata pusaka Pe-
muda itu berhasil dihindari. Dan bersamaan den-
gan itu, tangan kirinya yang makin berwarna me-
rah darah cepat menyambut pukulan 'Inti Bumi'
Siluman Ular Putih.
Wesss!
Blarrr...!
Terdengar benturan keras di udara. Tubuh
Soma bergetar hebat akibat bentrokan tenaga da-
lam barusan. Wajahnya menegang. Bibirnya ber-
kemik-kemik penuh kemarahan.
Sementara pada saat yang sama, senjata
anak panah Siluman Ular Putih yang tadi luput
mengenai sasaran, entah mendapat tenaga gaib
dari mana, tahu-tahu telah membalik. Kini kem-
bali menyerang Manusia Rambut Merah dengan
kecepatan luar biasa!
Mata Manusia Rambut Merah melotot le-
bar-lebar. Saking marahnya, ia tidak sempat
mengeluarkan kata-kata lagi. Kedua kakinya yang
melesak ke dalam tanah, tahu-tahu telah mence-
lat tinggi ke udara. Cambuk di tangan kanannya
kini mulai menegang penuh berisi tenaga dalam.
Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, Ki
Jarkasi terus menyerang Soma hebat, sekaligus
menghindari serangan anak panah.
Sementara itu pertarungan di tempat lain
pun tak kalah seru dibandingkan pertarungan
Soma melawan Manusia Rambut Merah. Ki Sa-
miaji yang bertempur hebat melawan Raja Golok
Dari Utara, merasa penasaran sekali. Setelah, se-
kian jurus berlangsung, musuhnya belum juga di-
robohkan. Demikian juga Gagak Seto yang ber-
tempur hebat melawan Raja Racun. Sedang Sa-
lindri dan Ratih, nampak agak sungkan harus
saling bahu membahu menghadapi Denok Supi.
Padahal, mereka telah dibantu sebelas orang ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Namun tetap be-
lum mampu melumpuhkan tokoh sesat dari barat
itu.
Sementara itu Raja Penyihir yang mengha-
dapi Algojo Dari Timur telah mengeluarkan ilmu-
ilmu sihirnya. Dan ini membuat tokoh sesat dari
timur itu mulai gentar. Apalagi setelah Raja Pe-
nyihir berubah wujud menjadi raksasa hitam
mengerikan.
Tentu saja Algojo Dari Timur jadi ciut nya-
linya. Menghadapi Raja Penyihir dalam bentuk as-
linya saja, ia sudah kewalahan. Apalagi kini
menghadapi raksasa hitam jelmaan orang tua
bercaping pandan itu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Algojo Dan Timur pun segera mengambil
langkah seribu. Tubuhnya berkelebat cepat, me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi
Raksasa hitam jelmaan Raja Penyihir
hanya tertawa-tawa berkakakan. Kemudian per-
lahan-lahan puluhan tubuhnya menciut kembali
menjelma menjadi orang tua bercaping pandan.
"Ha ha ha...! Baru segitu saja sudah lari
tunggang langgang!" omel orang tua bercaping
pandan itu di antara suara tawanya yang berge-
lak. "Eh..., eh! Tapi, mana bocah sinting calon
muridku?"
Raja Penyihir celingukkan ke sana kemari
mencari-cari Soma. Dan ketika dilihatnya pemuda
yang sedang dicarinya sedang bertempur hebat
melawan Manusia Rambut Merah, buru-buru ia
meloncat mendekati kancah pertarungan, dan
duduk ongkang-ongkang kaki menonton jalannya
pertarungan. Sesekali mulutnya bersorak-sorak
kegirangan menyaksikan calon muridnya dapat
mengerjai lawannya dengan sikap ugal-ugalan.
"Ayo, Calon Muridku! Gebuk pantatnya!
Jambak rambutnya sampai protol. Cabuti semua
bulu kumis dan jenggotnya yang merah itu. Seka-
lian alis matanya, biar jadi memedi sawah!" teriak
Raja Penyihir kegirangan.
"Baik, baik! Akan kulakukan semua perin-
tahmu, sebelum aku mengirim nyawanya pada
Raja Akhirat, Orang Tua. Tapi ngomong-ngomong,
siapa yang sudi menjadi muridmu?" teriak Soma
menanggapi ocehan Raja Penyihir sambil berta-
rung.
"Eh eh eh...! Jadi kau membangkang tidak
mau menjadi muridku, ya?!" teriak orang tua itu
gusar.
Sekarang Raja Penyihir tidak lagi duduk
ongkang-ongkang kaki seperti tadi, melainkan
sudah berdiri berkacak pinggang di luar kancah
pertarungan.
Kali ini Soma tidak lagi menanggapi. Perha-
tiannya kini dipusatkan kepada Manusia Rambut
Merah untuk melaksanakan apa yang baru saja
diperintahkan Raja Penyihir. Segera pemuda ini
memasang kuda-kuda, siap memainkan jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
"Kunyuk Merah! Bersiap-siaplah kujadikan
memedi sawah seperti yang dikatakan orang tua
sinting itu!" ancam Soma, langsung mencelat
tinggi ke udara menyerang Manusia Rambut Me-
rah.
Ki Jarkasi menggerutukkan gerahamnya
kuat-kuat. Kedua tangannya yang telah berubah
merah menyala hingga ke pangkal lengan siap
menyambut serangan.
Siluman Ular Putih bukannya mengendur-
kan serangannya, malah semakin mempercepat
gerakan kedua tangannya. Begitu Manusia Ram-
but Merah melepas pukulan 'Wejangan Iblis'-nya
yang menebarkan bau amis, Soma segera me-
nangkisnya dengan pukulan 'Inti Bumi'-nya. In-
ilah siasatnya untuk mengerjai Ki Jarkasi.
Wesss...!
Bllarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat akibat perte-
muan dua kekuatan tenaga dalam tinggi.
Manusia Rambut Merah terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Soma
sendiri hanya tergetar saja. Dan di saat Ki Jarkasi
belum sempat berbuat apa-apa, tangan kanan
pemuda ini cepat bergerak ke depan mencabut
rontok kumis laki-laki tinggi besar itu.
"Augh...!" pekik Manusia Rambut Merah
melengking. Kumisnya yang tercabut tadi lang-
sung memerah, mengeluarkan darah segar.
Soma tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
Orang tua bercaping pandan yang semula
sangat gusar dengan penolakan Soma, kini mulai
tertawa-tawa senang.
"Nah, nah...! Itu hadiahnya, karena kau te-
lah lancang membunuh Pendekar Kujang Emas,
ayahku!" celoteh Soma. "Sekarang, lihatlah seran-
gan berikutnya! Mungkin bukan saja rambutmu
yang rontok. Malah, bisa juga nyawamu yang me-
layang. Hati-hatilah, Kunyuk Merah!"
Geraham Ki Jarkasi bergemelutuk. Tiba-
tiba saja tubuhnya diputar cepat sekali seperti
gasing. Seketika itu juga, tanah di puncak Gu-
nung Merapi itu membuncah tinggi, ke udara.
Dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu tubuhnya
telah amblas ke dalam bumi!
"Eh...! Mau ngapain? Kok, malah main pe-
tak umpet?" tanya Soma, heran. Namun ketika
menyadari kalau Manusia Rambut Merah adalah
guru Prameswara yang dapat amblas bumi itu,
pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.
"Awas, Bocah Edan! Ia mulai menyerang-
mu!" teriak Raja Penyihir memperingatkan.
Memang benar apa yang dikatakan orang
tua bercaping pandan itu. Tanah tempat Manusia
Rambut Merah amblas bumi tadi mulai bergerak-
gerak cepat mendekati. Soma menunggunya se-
bentar. Dan begitu tanah yang bergerak-gerak di
bawahnya makin dekat, buru-buru Siluman Ular
Putih melompat tinggi ke udara.
Seperti yang telah diduga ketika mengha-
dapi Prameswara, Manusia Rambut Merah pasti
akan muncul kembali ke udara dan melancarkan
serangan mautnya. Dan ternyata perhitungan
pemuda ini benar. Begitu tanah di bawahnya
membuncah, langsung dikirimkannya pukulan
'Inti Bumi' dan 'Inti Api' secara bersamaan pada
bayangan merah yang baru muncul dari dalam
tanah dengan sebuah serangan berupa sinar me-
rah darah.
Wesss! Wesss!
Dua leret sinar putih terang berkeredepan
dan merah menyala dari kedua telapak tangan
Soma, cepat menghantam seleret sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah. Akibatnya....
Blarrr...!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam kedua orang itu kali ini, karena sama-sama
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Beberapa orang yang sedang bertempur
pun dapat merasakan hawa panas akibat perte-
muan dua tenaga dalam tadi. Namun, itu hanya
sebentar. Setelah hawa panas itu menghilang,
mereka kembali melanjutkan pertarungan.
Sementara itu Manusia Rambut Merah
yang sempat terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang langsung memuntahkan darah segar.
Jelas, Ki Jarkasi menderita luka dalam yang cu-
kup lumayan. Mendapati kenyataan ini, hatinya
jadi gusar sekali. Apalagi ketika melihat ketiga da-
tuk sesat yang telah menjadi anak buahnya mulai
terdesak hebat oleh musuh-musuhnya.
Sedang Algojo Dari Timur pun sudah tak
terlihat lagi batang hidungnya.
Pada saat itu pula Denok Supi tengah
mengamuk hebat dengan jarum-jarum beracun-
nya. Seketika itu juga, beberapa orang pengemis
berpakaian tambal-tambalan jatuh bergelimpan-
gan ke tanah, tak mampu bangun lagi. Mati! Na-
mun Denok Supi sendiri pun harus menebusnya
dengan mahal. Ia harus merelakan tangan kirinya
yang buntung akibat terbabat pedang di tangan
Gagak Seto yang turun membantu putrinya.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang
kurang menguntungkan. Tanpa banyak pikir pan-
jang lagi Manusia Rambut Merah yang sudah ter-
luka parah langsung berbalik. Begitu kaki kanan-
nya ke tanah, tubuhnya berkelebat cepat dan le-
nyap dalam kegelapan malam.
"Hei...! Kunyuk Merah mau lari ke mana
kau?!" teriak Soma gusar.
Pemuda ini tak menyangka kalau musuh
besarnya akan lari meninggalkannya. Maka sece-
patnya kakinya menjejak tanah dan berkelebat
mengejar. Namun baru beberapa langkah me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja sebuah
bayangan hitam memanjang telah melibat leher-
nya!
"Heit...! Tunggu dulu! Kau tidak boleh me-
ninggalkan tempat ini begitu saja! Aku harus
mendengar kesanggupanmu. Maukah kau menja-
di muridku?!" cegah Raja Penyihir tanpa mempe-
dulikan kemarahan Soma.
"Ya, ampun! Kau lihat! Musuh besar yang
telah membunuh ayahku melarikan diri. Aku be-
lum puas kalau belum membunuhnya, Orang
Tua! Tapi mengapa kau menghalang-halangi
langkahku?" maki Soma gusar bukan main. Ke-
dua tangannya bergerak-gerak, membabat putus
bayangan hitam yang memanjang. Namun aneh-
nya, bayangan hitam yang mengikat lehernya ma-
lah semakin kencang mencekik lehernya.
"He he he...! Kau tidak mungkin dapat
memutuskan 'Tali Gaib'-ku, Bocah Edan!" ejek
orang tua bercaping pandan itu di antara suara
tawanya.
"Orang tua! Sebenarnya apa yang kau in-
ginkan?" bentak Soma kewalahan tak dapat me-
mutuskan 'Tali Gaib' buatan Raja Penyihir.
"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku
hanya ingin tanya apakah kau mau menjadi mu-
ridku? Tapi kalau seandainya saja menolak, tak
mungkin aku mau melepaskan 'Tali Gaib'-ku.
Ayo, sekarang jawab! Bersediakah menjadi mu-
ridku?"
"Tapi..., tapi, aku harus menyelesaikan
masalahku dulu dengan Kunyuk Merah itu,
Orang Tua," sergah Soma kesal.
"Baik. Aku akan melepaskanmu. Asal mu-
lai sekarang, kau harus memanggilku guru. Mau
kan?"
"Baik, Orang Tua," sahut Soma kesal.
"Guru! Panggil aku guru, tahu!"
"Ba..., baik, Guru!" ulang Soma ragu-ragu.
Orang tua bercaping pandan itu tertawa-
tawa kegirangan. Lalu, dilepaskannya 'Tali Gaib'-
nya yang mengikat leher Soma.
"Nah! Sekarang kau boleh mengejar musuh
besarmu itu. Mungkin ia lari ke tempat pertapaan
gurunya di gua Pantai Utara, tak jauh dari Hutan
Asem Arang," jelas Raja Penyihir, membuat keka-
lutan Soma sedikit berkurang.
"Baik, Guru! Sekarang juga aku akan men-
gejarnya ke sana!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun segera
berkelebat cepat meninggalkan puncak Gunung
Merapi.
"Tunggu dulu, Muridku! Aku juga masih
punya urusan barang satu jurus dengan si tua
bangka Jerangkong Hidup itu," teriak Raja Penyi-
hir lantang.
Soma yang sedang kesal karena musuh be-
sarnya kabur, tidak mempedulikan ocehan calon
gurunya. Pemuda itu terus saja berlari kencang,
meninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Murid sinting! Murid sunting...!" maki Raja
Penyihir sambil membanting-banting kaki kanan-
nya kesal.
Sementara itu pertempuran di puncak Gu-
nung Merapi masih berjalan seru. Meski tangan
kanan Denok Supi buntung, namun masih bisa
mendesak lawan-lawannya hebat. Ratih dan Sa-
lindri kewalahan bukan main. Entah sudah bera-
pa kali kedua gadis cantik itu terpaksa berjumpa-
litan di udara menghindari jarum-jarum hijau
yang berkeredepan milik Denok Supi.
Serrr!
Serrr!
Bukan main kagetnya Ratih dan Salindri
melihat sinar hijau berkeredep yang demikian ba-
nyaknya. Tak mungkin mereka dapat menghin-
dar. Namun, mendadak saja serangkum angin
dingin lagi-lagi memukul rontok jarum-jarum hi-
jau milik Denok Supi.
"Lagi-lagi kau yang menghalang-halangi se-
rangan-seranganku, Gagak Seto!" bentak Denok
Supi penuh kemarahan. Tangan kanannya cepat
menyebar jarum-jarum hijaunya ke arah Gagak
Seto.
Gagak Seto yang saat itu sedang sibuk
menghadapi serangan-serangan Raja Racun Dari
Selatan hanya tersenyum. Dengan sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi tegapnya telah mencelat ke udara menghin-
dari serangan-serangan jarum hijau milik Denok
Supi. Pada saat melayang-layang seperti itu, tan-
gan kiri yang telah berubah menjadi kuning hing-
ga sampai ke pangkal lengan, cepat didorong ke
depan memapak pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' milik Raja Racun Dari Selatan. Se-
dang tangan kanannya cepat memutar pedang
sedemikian rupa, menangkis jarum-jarum hijau
Denok Supi yang masih terus meluruk cepat.
Wesss! Wesss!
Serrr! Serrr!
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras di udara. Tubuh
Gagak Seto yang masih melayang-layang di udara
bergetar hebat, dan langsung mencelat tinggi ke
udara akibat bentrok dengan pukulan 'Telapak
Tangan Kelabang Hitam' milik Raja Racun Dari
Selatan. Kalau saja tidak membagi serangannya,
belum tentu paman tiri Pendekar Kujang Emas
dapat dibuatnya sempoyongan seperti itu oleh Ra-
ja Racun Dari Selatan. Buktinya, meski sesekali
membantu teman-temannya yang terdesak hebat
oleh musuh-musuhnya, toh tetap saja Raja Racun
Dari Selatan belum mampu merobohkannya.
Dan di saat tubuhnya mencelat tinggi ke
udara itu, Gagak Seto kembali memainkan jurus
saktinya 'Pedang Sakti Bintang Emas'. Tubuhnya
yang semula melayang-layang di udara, cepat
menukik tajam menyerang Denok Supi dengan
kecepatan mengagumkan.
"Ah...!" pekik Denok Supi tertahan.
Namun, bukan berarti tokoh sesat dari ba-
rat ini jadi gugup. Begitu melihat pedang di tan-
gan Gagak Seto berkelebat hendak menusuk
ubun-ubun kepalanya, wanita genit ini cepat me-
lempar tubuhnya ke samping sambil kembali me-
nyebar jarum-jarum racunnya.
Sedang Raja Racun Dari Selatan yang me-
lihat kawannya kewalahan, segera menerjang be-
gitu pendekar dari Keraton Mataram itu menje-
jakkan kedua kakinya di tanah.
Namun belum sempat Raja Racun Dari Se-
latan melaksanakan niatnya, mendadak Ratih
dan Salindri telah menerjang dengan pedang di
tangan. Sehingga, tokoh sesat dari selatan itu ter-
paksa mengalihkan serangan ke arah dua lawan
barunya.
Sementara itu, meski Ki Samiaji dibantu
kedua puluh orang muridnya yang kini hanya
tinggal empat orang, masih saja belum mampu
mengatasi serangan-serangan Raja Golok Dari
Utara. Bahkan keadaannya dan empat orang mu-
ridnya sangat mengkhawatirkan. Sedang untuk
meminta bantuan Gagak Seto maupun muridnya,
jelas tidak mungkin. Karena mereka sama-sama
tengah sibuk bertarung.
"Raja Penyihir!"
Begitu Ki Samiaji melihat Raja Penyihir
yang sedang ngoceh tak karuan karena kesal di
tinggal kabur Soma, cepat berteriak memanggil
orang tua bercaping pandan itu.
"Cepat bantu kami menghajar iblis-iblis
tengik ini, Raja Penyihir!" teriak Ki Samiaji.
Raja Penyihir langsung menoleh. Matanya
yang lebar memperhatikan jalannya pertempuran
itu sebentar. Lucu sekali sebenarnya. Karena,
orang tua aneh itu nampak ogah-ogahan.
Ki Samiaji yang melihat ulah Raja Penyihir
jadi cemas. Namun belum sempat mengeluarkan
teriakannya kembali....
"Tahan senjata! Siapapun yang tidak me-
nuruti perintahku, aku tidak segan-segan lagi me-
lemparkan tubuh kalian dari puncak Gunung Me-
rapi ini!" bentak Raja Penyihir dengan suara ber-
getar aneh, menyerang jalan pikiran semua orang
yang berada di puncak Gunung Merapi.
Ajaib sekali! Begitu mendengar bentakan
Raja Penyihir, entah mengapa tiba-tiba saja se-
mua orang yang berada di puncak Gunung Mera-
pi menghentikan serangan. Semula, tubuh mere-
ka sempat bergetar hebat seperti ada kekuatan
gaib yang membuat tubuh sulit digerakkan. Dan
akhirnya, tidak bisa digerak-gerakkan sama seka-
li!
Semua orang yang ada di sini sama-sama
terbelalak seolah tidak mempercayai apa yang di-
alami. Dan dari mata yang terbelalak lebar, wajah
Denok Supi, Raja Racun Dari Selatan dan Raja
Golok Dari Utara kontan menjadi pucat pasi!
"Bagus! Bagus! Rupanya kalian anak-
anakku yang penurut semua!" ujar Raja Penyihir.
"Nah, sekarang dengar! Kalian bertiga, Iblis-iblis
Tengik! Hari ini nyawa tengik kalian kuampuni.
Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku
berubah!" hardik Raja Pengemis garang, tidak lagi
dipenuhi kekuatan batinnya.
Semua orang yang ada di sini kembali ter-
belalak lebar, seolah-olah tidak percaya kalau tu-
buh kaku mereka dapat kembali digerakkan da-
lam waktu yang demikian singkat. Dan begitu da-
pat bergerak, Denok Supi, Raja Golok Dari Utara
maupun Raja Racun Dari Selatan pun segera ber-
kelebat meninggalkan tempat itu.
"Raja Penyihir! Mengapa kau biarkan kabur
iblis-iblis keji itu?!" tanya Ki Samiaji kecewa bu-
kan main melihat musuh yang telah membantai
banyak murid-muridnya dibiarkan pergi begitu
saja.
"Itu bukan urusanku!" sahut orang tua
aneh bergelar Raja Penyihir itu galak. "Gara-gara
mengurus kalian, aku jadi ketinggalan beberapa
langkah oleh calon muridku itu!"
Sehabis berkata demikian, Raja Penyihir
cepat berkelebat menyusul muridnya.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Gagak
Seto...," ucap Ki Samiaji. Nada suaranya kaku se-
kali.
"Jangan terlalu berbasa-basi, Samiaji! Su-
dah sewajarnya kita penghuni alam mayapada ini
harus saling tolong-menolong, saling kasih men-
gasihi," sergah Gagak Seto kalem.
Ki Samiaji hanya bisa mengangguk-
angguk. Namun wajahnya yang menegang tetap
saja masih menyimpan kesedihan dan kekesalan.
Sementara itu Ratih dan Salindri yang tadi
melihat Soma telah berlari turun gunung menge-
jar Manusia Rambut Merah, hanya bisa membe-
rengut kesal. Mata mereka tak henti-hentinya te-
rus memandangi ke arah lenyapnya bayangan
pemuda tadi.
"Romo! Apakah kita tidak menyusulnya?"
tanya Ratih pada ayahnya tiba-tiba.
Gagak Seto tersenyum. Ia maklum, apa
yang tengah dialami putrinya.
"Romo kira, Soma tidak kesulitan mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya,
Anakku! Sebaiknya, kita pulang saja ke kota raja
untuk memperdalam ilmu silatmu. Lain kali, baru
kau boleh melanjutkan pengembaraanmu," ujar
Gagak Seto arif.
Ratih makin memberengut kesal.
"Aku pamit dulu, Samiaji. Lain kali kalau
ke kotaraja, singgahlah ke rumah kami! Selamat
tinggal!" ucap Gagak Seto lagi, seraya meraih len-
gan putrinya. Dan mereka segera berkelebat me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Tentu saja, Gagak Seto!" ujar Ki Samiaji
seraya mengangguk-angguk.
Kemudian ketika bayangan Gagak Seto dan
putrinya telah berkelebat di antara kegelapan ma-
lam, Ki Samiaji pun segera perintahkan keempat
orang murid dan putrinya untuk mengubur mayat
murid-muridnya yang lain.
7
Manusia Rambut Merah terus berlari ken-
cang meninggalkan puncak Gunung Merapi.
Hampir setengah malaman Ki Jarkasi berlari ken-
cang menuju utara, yang tidak lain ingin mene-
mukan Jerangkong Hidup gurunya di gua karang
di Pantai Utara!
Pagi itu matahari baru saja menampakkan
sinarnya yang merah kekuning emasan di ufuk
timur. Ramainya kicau burung camar yang ter-
bang menuju laut lepas semakin memantapkan
lahirnya pagi hari itu.
Ki Jarkasi tengah berlari kencang mende-
kati batu karang berbentuk pedang di pinggir
pantai. Begitu langkahnya terhenti pada jarak
dua tombak di depan batu karang, kepalanya ce-
lingukan sebentar. Sepertinya ia takut kalau ada
orang lain yang melihat perbuatannya. Dan belum
juga Manusia Rambut Merah melangkah kemba-
li....
"Manusia Rambut Merah keparat! Berhari-
hari aku mencarimu, tapi baru sekarang unjuk
gigi, he?!"
Manusia Rambut Merah tersentak kaget
saat terdengar bentakan dari belakang. Tubuhnya
cepat diputar. Tahu-tahu di depannya telah berdi-
ri seseorang berpakaian biru-biru dengan cadar
penutup wajahnya yang juga berwarna biru. Di
tangan kanannya tergenggam sebilah pedang.
"Perempuan Bercadar Biru...!" desis Manu-
sia Rambut Merah, sedikit lega.
"Bagus! Kalau masih ingat aku. Sekarang
aku mau tanya, mana muridku?! Lekas kembali-
kan!" bentak tokoh wanita dari Pulau Karimunja-
wa ini garang.
"Ha ha ha...! Sayang! Sayang sekali, mu-
ridmu yang cantik telah menjadi bangkai, Perem-
puan Bercadar Biru!" sahut Manusia Rambut Me-
rah, bernada mengejek.
"Anjing kurap budukan! Aku harus menun-
tut balas atas kematian muridku," pekik Perem-
puan Bercadar Biru itu kalap. Langsung tubuh-
nya meluruk. Tangan kanan yang memegang pe-
dang panjang itu telah berkelebat cepat menye-
rang Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi menarik ujung bibirnya. Meski
sebenarnya sedang terluka parah, namun gerakan
tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu terlihat
masih lincah saat berloncatan kesana kemari
menghindari serangan.
"Lebih baik kau bunuh diri saja, Perem-
puan Bercadar Biru! Kau tak mungkin dapat
mengalahkanku. Pergilah! Sana...!"
Sehabis berkata demikian, Ki Jarkasi ber-
kelebat mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba tela-
pak tangan kanannya dihantamkan ke punggung
Perempuan Bercadar Biru. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Perempuan Bercadar Biru terjajar beberapa
tombak ke samping kanan. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar, pertanda isi dadanya ter-
guncang.
"Demi kehormatan muridku, aku akan
mengadu nyawa denganmu Manusia Rambut Me-
rah!" desis Perempuan Bercadar Biru.
Tokoh dari Pulau Karimunjawa itu nekat
menerjang Manusia Rambut Merah, mengguna-
kan jurus-jurus andalannya. Namun sayang yang
dihadapinya kali ini bukanlah tokoh silat kemarin
sore. Manusia Rambut Merah adalah tokoh ber-
kepandaian sangat tinggi. Sehingga wajar saja ka-
lau serangan-serangan perempuan itu mudah se-
kali dimentahkan. Bahkan telapak tangan kanan
Ki Jarkasi yang telah memerah, siap mengirimkan
pukulan kejinya ke dada Perempuan Bercadar Bi-
ru.
Wesss!
Perempuan Bercadar Biru memekik terta-
han. Tak mungkin lagi serangan Manusia Rambut
Merah dihindari. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Kini yang bisa dilakukan hanya memejamkan ma-
ta. Pasrah! Namun di saat yang paling genting ba-
gi keselamatannya, tiba-tiba saja....
Wesss!
Seleret sinar putih terang berkeredep yang
entah dari mana datangnya, langsung memapaki
pukulan 'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut
Merah!
Blarrr...!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
liar. Tubuhnya yang tinggi kekar terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang dengan
darah segar membasahi bibirnya.
"Ha ha ha...! Selamat berjumpa kembali,
Kunyuk Merah! Dan juga kau, Perempuan Berca-
dar Biru! Tapi, berhubung aku sedang mendapat
tugas dari Raja Akhirat untuk mencabut nyawa
Kunyuk Merah ini, terpaksa aku harus menyele-
saikan tugasku dulu," kata seorang pemuda tam-
pan bercelana dan berompi putih keperakan ber-
sisik, yang tadi menahan pukulan 'Kelabang Geni'
milik Manusia Rambut Merah. Pemuda itu tak
lain memang Siluman Ular Putih.
Dan sehabis berkata begitu, Soma yang
sudah geram sekali langsung melesat, menyerang
Manusia Rambut Merah. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'
Dukkk! Dukkk!
"Augh...!" jerit Manusia Rambut Merah se-
tinggi langit.
Tokoh sesat ini memang sudah luka parah
setelah bertarung dengan Siluman Ular Putih se-
belumnya. Jadi, mana mungkin dapat menangkis
serangan-serangan. Maka tanpa ampun lagi tu-
buh tinggi besarnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Soma tidak mau mempedulikan lagi kea-
daan Ki Jarkasi yang sudah terluka parah dan te-
rus saja menyerang dengan hebat. Namun baru
beberapa jurus menyerang, mendadak tanah di
sekitar tempat itu bergetar-getar hebat. Dan....
Brolll!
Tidak lama kemudian, tanah yang berge-
rak-gerak telah membuncah tinggi ke udara ber-
sama munculnya sesosok bayangan putih-putih
dari dalam tanah.
"Guru...!" teriak Manusia Rambut Merah
yang sudah kepayahan. Hatinya kini sedikit lega,
saat melihat kehadiran satu sosok kurus kering
berwajah mengerikan.
Laki-laki berusia sangat tua itu hanya
mendengus. Aneh sekali suaranya. Kedua bibir-
nya pun sama sekali tidak bergerak-gerak.
Manusia Rambut Merah yang melihat ke-
datangan laki-laki menyeramkan yang memang
gurunya itu langsung kembali timbul semangat-
nya. Dengan tertawa-tawa sumbang segera me-
nyerang Soma. Dan ternyata, sosok berjuluk Je-
rangkong Hidup itu sendiri pun turut pula mem-
bantu muridnya.
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tangan kanannya cepat mencabut ke-
luar senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar. Maka seketika itu juga hawa dingin
menggigit tulang menebar ke sekitarnya. Bahkan
Perempuan Bercadar Biru yang berdiri di sudut
batu karang langsung menggigil kedinginan!
Dan begitu merasakan angin dingin berke-
siur menyerang tubuhnya, Soma langsung meng-
genjot kedua kakinya ke tanah. Di saat tubuhnya
melayang-layang tinggi, cepat senjata pusakanya
dilemparkan ke arah Manusia Rambut Merah.
Sedang tangan kirinya yang telah memutih hingga
ke pangkal lengan, siap pula mengirimkan puku-
lan 'Inti Bumi'
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih ini. Bagai anak panah yang lepas dari bu-
sur, senjata pusaka pemuda itu melesat menye-
rang Ki Jarkasi dengan kecepatan sulit sekali di-
ikuti pandangan mata. Sementara, satu sinar pu-
tih terang berkeredep dari tangan kirinya menyu-
sul di belakang, tak jauh dari senjata anak panah
itu!
Meski dengan susah payah, Manusia Ram-
but Merah cepat menggulingkan tubuhnya ke
samping, menghindari serangan anak panah. Se-
mentara Jerangkong Hidup memapak pukulan
'Inti Bumi' dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss!
Blarrr...!
Terdengar benturan keras akibat perte-
muan dua tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh Si-
luman Ular Putih terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya menegang. Bibir-
nya berkemik-kemik penuh kemarahan.
Pada saat ini, laksana sebuah rencong,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar yang tadi
luput mengenai sasaran, entah mendapat tenaga
gaib dari mana, tiba-tiba saja telah berputar balik
ke arah Soma. Dan si pemuda yang sedang ter-
huyung-huyung cepat menangkapnya.
Tap!
Begitu senjata pusaka itu telah kembali di
tangan, Siluman Ular Putih pun kembali melem-
parkannya diiringi sinar putih terang yang berke-
redep menyerang Manusia Rambut Merah dan gu-
runya.
Ki Jarkasi dan Jerangkong Hidup hanya
tersenyum mengejek. Dan dengan gerakan-
gerakan kedua kaki dan tangan yang cepat, murid
dan guru itu pun dapat mematahkan serangan,
sekaligus menyerang balik.
Kini perlahan namun pasti, Soma mulai
terdesak hebat. Jangankan untuk membalas se-
rangan. Untuk menghindari saja susah sekali.
Bahkan entah sudah berapa kali tubuhnya yang
tinggi tegap itu harus jumpalitan di udara, meng-
hindari serangan-serangan kedua iblis itu.
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pada akhirnya, serangan Manusia Rambut
Merah dan Jerangkong Hidup dapat mendarat te-
lak di tubuh Soma. Seketika itu juga tubuh pe-
muda ini terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Huaaah,..!"
Soma menggeram penuh kemarahan. Tan-
pa disadari saat amarahnya tidak dapat dikenda-
likan, tiba-tiba saja sekujur tubuh pemuda ini
mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga pada
akhirnya, bayangan tubuhnya tidak kelihatan
sama sekali! Dan saat asap putih tipis itu menghi-
lang tertiup angin, tiba-tiba saja dari asap putih
tipis itu terlihat bayangan sesosok ular putih se-
besar pohon kelapa, tengah menggeliat-geliat he-
bat!
"Gggeeerrr...!"
"Siluman Ular Putih...!" desis Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup hampir
berbarengan.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendadak mencelat
tinggi ke udara, langsung menerjang Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup.
Di lain tempat, Perempuan Bercadar Biru
membelalakkan matanya lebar-lebar. Wanita yang
berdiri menggigil di sudut batu karang dengan
wajah pucat ini benar-benar dibuat terkejut bu-
kan main. Tidak disangka sama sekali kalau pe-
muda sinting yang pernah menggodanya di luar
Hutan Sawo Kembar ternyata Siluman Ular Putih
yang saat ini jadi buah bibir kalangan persilatan.
"Sungguh tidak kusangka kalau pemuda
sinting ini yang mendapatkan julukan Siluman
Ular Putih...," desah Perempuan Bercadar Biru,
penuh kagum.
Sepasang mata wanita ini yang tersem-
bunyi di balik cadar biru penutup wajahnya, tak
henti-hentinya terus mengikuti pertarungan hi-
dup mati di hadapannya. Betapa dilihatnya Silu-
man Ular Putih sudah pula membelit tubuh Ma-
nusia Rambut Merah dengan mulut siap meren-
cah. Selang beberapa saat lamanya kemudian....
"Aaa...!"
Terdengarlah lengking kematian Manusia
Rambut Merah yang telah dilempar keluar dari
kancah pertarungan dengan sekujur tubuh terca-
bik-cabik mengerikan. Sedangkan pada saat itu,
tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun terlempar
pula, setelah sebelumnya ketika tengah memang-
sa Manusia Rambut Merah, Jerangkong Hidup
menghantamnya dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendesis hebat. Tu-
buhnya yang terlempar keluar kancah pertarun-
gan cepat menggeliat ke belakang siap kembali
menerjang Jerangkong Hidup. Namun sebelum
tubuhnya bergerak....
"Bagus, Muridku! Ternyata kau sudah da-
pat menggebuk Kunyuk Merah itu sampai mam-
pus. Sekarang kau minggirlah! Si tua bangka Je-
rangkong Hidup ini giliranku."
Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang
menegur Siluman Ular Putih. Dan tahu-tahu, di
tengah-tengah antara Siluman Ular Putih dan Je-
rangkong Hidup berdiri seorang laki-laki tua ber-
caping pandan.
"Tua bangka Raja Penyihir! Kau rupanya!
Hm.... Majulah sekalian kalau ingin mampus!"
bentak Jerangkong Hidup tanpa menggerak-
gerakkan bibirnya sama sekali.
"Tunggu dulu, Jerangkong Hidup! Di anta-
ra kita memang masih ada urusan. Tapi, tunggu
dulu ya! Aku harus mengamankan muridku ini."
Sehabis berkata begitu, orang tua bercap-
ing pandan yang memang Raja Penyihir telah
menggerakkan tangan kanannya ke depan. Dan
dari telapaknya tiba-tiba meluncur bayangan hi-
tam memanjang dan langsung mengikat tubuh Si-
luman Ular Putin! Lalu, saat itu juga tubuhnya
meluruk, menyerang Jerangkong Hidup.
Siluman Ular Putih menggeliat-geliat hebat.
Seketika itu juga sekujur tubuhnya mulai diseli-
muti asap putih tipis, hingga jadi tidak kelihatan
sama sekali. Dan saat asap putih tipis tersapu
angin tampak seorang pemuda tampan bercelana
dan rompi bersisik warna putih keperakan tengah
memegangi dadanya menahan sakit. Sementara
darah segar tampak telah membasahi bibir pe-
muda itu akibat pukulan 'Kelabang Geni' milik
Jerangkong Hidup tadi
"Hukk! Hukkk! Sial! Sial! Bagaimana aku
harus melarikan diri dari orang tua itu?! Rupanya
orang tua itu telah mengikatku dengan 'Tali Gaib'.
Huh!" gerutu Soma kesal. Dan lebih kesalnya lagi
ketika melihat pangkal 'Tali Gaib' itu diikat pada
kaki kiri Raja Penyihir yang sedang bertempur
hebat melawan Jerangkong Hidup.
"Aku sumpahin mampus di tangan Jerang-
kong Hidup kau, Orang Tua!" omel Soma kesal.
Raja Penyihir tidak mempedulikan ocehan
Soma. Saat itu, ilmu-ilmu sihirnya sedang dike-
rahkan.
Rupanya, Soma sendiri pun juga tidak mau
mempedulikan orang tua itu. Ia hanya berjalan
tertatih-tatih, mendekati Perempuan Bercadar Bi-
ru. Namun anehnya, layaknya sebuah karet, 'Tali
Gaib' terasa agak menjerat langkahnya. Dan lebih
anehnya lagi, kaki kiri Raja Penyihir sama sekali
tidak terpengaruh tarikan Soma. Kaki itu tetap
saja dapat bergerak lincah, seperti tidak terbebani
apa-apa!
"Hai!" sapa Soma pada Perempuan Berca-
dar Biru. "Bagaimana dengan luka-lukamu? Sa-
kit, ya?"
Perempuan Bercadar Biru meringis kesaki-
tan seraya menganggukkan kepala. Namun dari
pandangan matanya, ia sangat mengagumi pe-
muda di hadapannya yang bergelar Siluman Ular
Putih.
"Sama!" sahut Soma mulai kambuh penya-
kitnya.
Lalu tanpa permisi lagi, pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo pun sudah menotok
beberapa jalan darah di bagian punggung Perem-
puan Bercadar Biru. Sehingga akhirnya, rasa sa-
kit wanita itu sedikit berkurang.
"Terima kasih. Lagi-lagi kau yang meno-
longku," ucap Perempuan Bercadar Biru sedikit
mulai lega.
"Lho...? Siapa dulu penolongnya?!" kata
Soma jumawa, seraya mengacungkan ibu jarinya
dan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Se..., sebenarnya aku ingin membunuh
Manusia Rambut Merah. Tapi, sayang. Aku tidak
bisa," ungkap Perempuan Bercadar Biru.
"Lho...! Jelas tidak bisa dong. Aku sendiri
saja hampir mampus di tangannya. Apalagi, ada
bangkotan tua Jerangkong Hidup itu. Kunyuk
Merah itu jadi besar kepala saja. Tapi, sudahlah!
Aku ingin lihat, bagaimana orang tua sinting Raja
Penyihir itu digebuk Jerangkong Hidup!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun mema-
lingkan wajahnya ke arah pertarungan.
Tampak saat itu Raja Penyihir tengah ter-
tawa bergelak-gelak melihat 'Tali Gaib'-nya berha-
sil melibat leher Jerangkong Hidup!
Seketika itu juga, orang tua bercaping
pandan itu, menggerak-gerakkan 'Tali Gaib'-nya
ke sana kemari, membentur-benturkan tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup ke batu-batu cadas, diser-
tai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Jrot! Jrot!
"Aaa...!"
Disertai lengkingan panjang, Jerangkong
Hidup tewas dengan tubuh hancur. Serpihan-
serpihan tubuhnya berceceran di tanah disertai
percikan darah.
"Eh...!" desah Soma.
Pemuda ini menarik mundur dadanya. Ke-
dua alis matanya bertautan tajam. Kepalanya
menggeleng-geleng heran.
"Wah wah wah...! Ternyata sumpahku tak
mempan, Orang Tua! Kau masih hidup!" lanjut Si-
luman Ular Putih penuh kagum.
Tak disangka, 'Tali Gaib' milik Raja Penyi-
hir demikian hebat.
Raja Penyihir tertawa bergelak-gelak. Ma-
tanya yang lebar sejenak memandangi tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup yang hancur berantakan di
dinding-dinding batu cadas. Kemudian, cepat di-
gabungkannya kembali 'Tali Gaib' di tangan ka-
nannya dengan 'Tali Gaib' yang mengikat di kaki
kirinya.
"Ha ha ha...! Sumpah apa pun kalau keluar
dari mulut baumu, tak bakalan mempan. Apa kau
ingin kusumpahi?" tukas Raja Penyihir.
"Terima kasih! Buang saja sumpahmu ke
laut sana!" kata Soma seraya menggelengkan ke-
palanya kuat-kuat.
"Nah! Kalau begitu, cepat ikut aku ke Gu-
nung Tidar! Ayo!" ajak orang tua bercaping pan-
dan itu, cepat menarik 'Tali Gaib'-nya kuat-kuat.
Aneh sekali! Seketika tubuh Soma lang-
sung tersentak ke depan mengikuti tarikan. Ke-
mudian sambil tertawa-tawa senang, Raja Penyi-
hir terus menyeret 'Tali Gaib' yang mengikat leher
pemuda itu.
"Tunggu, Orang Tua! Leherku sakit sekali!"
teriak Soma.
Raja Penyihir tidak mempedulikannya.
Sambil bersiul-siul kecil terus diseretnya Soma
tanpa ampun.
Sementara itu Perempuan Bercadar Biru
hanya menggeleng-geleng saja, sebelum akhirnya
berkelebat meninggalkan tempat yang baru saja
dinodai darah tokoh-tokoh sesat berhati iblis.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon