Siluman Ular Putih 1 - Misteri Bayi Ular(1)



Cersil SIluman Ular Putih 1
Episode : MISTERI BAYI ULAR 
Matahari siang menebarkan sinar-
sinarnya yang kelewat panas. Debu-debu 
beterbangan diterjang seekor kuda jantan 
hitam yang melaju kencang di atas tanah 
datar di pinggiran lereng sebelah selatan 
Pegunungan Dieng. 
Penunggang kuda itu adalah seorang 
pemuda tampan berpakaian biru-biru. Ma-
tanya yang setajam mata burung rajawali 
dengan sepasang alis tebal berwarna hitam 
tak lepas memperhatikan jalan didepannya. 
Karena bisa-bisa kudanya terperosok atau 
menabrak pepohonan yang melintang. Lincah 
dan tangkas sekali dia mengendalikan ku-
danya. Hidung pemuda ini mancung, pas se-
kali dengan bentuk bibirnya yang tipis. 
Rambut gondrongnya yang dibiarkan terge-
rai di bahunya semakin menambah ketampa-
nannya. Dia tak lain memang Mahesa.        
Pemuda tampan ini terus memacu ku-
danya menuju ke sisi lereng sebelah ba-
rat. Tujuannya hanya ingin menemui gu-
runya, Pendekar Pedang Kilat Buana yang 
bertapa di lereng sebelah barat Gunung 
Batu. 
Mendadak saja Mahesa menarik tali 
kekang, membuat kudanya berhenti dengan 
kedua kaki depan diangkat. Tinggi-tinggi 
sambil meringkik. Kalau saja dia kurang 
sigap, pasti sudah terlempar dari pung-
gung kudanya. Sebentar saja kuda hitam 
itu telah bisa dikendalikan. 
Kini, Mahesa menatap ke depan, ke 
arah dua orang kakek berpakaian serba hi-
tam yang telah menghadangnya. Yang satu 
bertubuh gempal, terbungkus pakaian hitam 
yang sedikit kedodoran. Laki-laki tua 
berkepala botak ini tak lain adalah salah 
seorang tokoh sesat dari utara. Nama se-
benarnya adalah Benawa, namun lebih ter-
kenal julukannya. Raja Golok Dari Utara! 
Di sebelah kiri Benawa adalah seo-
rang kakek bertubuh tinggi kurus. Raut 
wajahnya mengerikan dengan mata sebelah 
kiri rusak dan kedua bibir robek meman-
jang di kanan-kiri. Sementara lubang hi-
dungnya hanya satu, sehingga kalau bicara 
suaranya jadi sengau. Namun di kawasan 
selatan tokoh yang satu ini sangat dita-
kuti lawan-lawannya. Dia tidak lain ada-
lah Raja Racun Dari Selatan! 
Melihat kemunculan kedua orang to-
koh itu, Mahesa sempat terkejut juga. 
Apalagi dia memang sempat berurusan den-
gan salah satunya, yakni Raja Racun Dari 
Selatan, beberapa bulan yang lalu di Lem-
bah Kematian. Bisa ditebak kalau pengha-
dangan kedua tokoh sesat itu kali ini 
tentu ingin membalas dendam. 
Mahesa memang tidak bisa menganggap 
remeh. Apalagi kepandaian Raja Golok Dari 
Utara pun tidak jauh beda dari Raja Racun 
Dari Selatan. Mungkin bila berhadapan sa-
tu lawan satu, Mahesa masih dapat menga-
tasinya. Namun kalau mereka maju bareng, 
inilah yang meresahkannya! 
"Hm.... Kalian rupanya? Ada keper-
luan apa menghadangku?" tanya Mahesa ka-
lem, seraya meloncat turun dari kudanya. 
Gerakannya ringan sekali tanpa menimbul-
kan suara sedikit pun. Jelas ilmu merin-
gankan tubuhnya telah sangat tinggi. 
"Tikus busuk! Jangan berlagak bo-
doh! Kau masih berurusan denganku," ben-
tak Raja Racun Dari Selatan dengan sua-
ranya yang sengau. 
"Itu bukan salahku. Tapi kau sendi-
rilah yang cari penyakit!" kilah Mahesa. 
"Bedebah! Jadi bocah inikah yang 
menghajarmu, Kakang?" timpal Raja Golok 
Dari Utara, geram. 
"Ya! Bocah inilah yang berjuluk 
Pendekar Kujang Emas, murid tunggal Pen-
dekar Pedang Kilat Buana," sahut Raja Ra-
cun Dari Selatan. 
"Hm...," gumam Raja Golok Dari Uta-
ra tak jelas. 
Matanya yang merah memandang tajam 
pada Mahesa, seolah-olah omongan Raja Ra-
cun Dari Selatan tidak dipercayai. "Kalau 
begitu buat apa kita buang-buang waktu? 
Kita cincang saja bocah keparat ini rame-
rame. Ayo, Kakang!" 
Sehabis berkata begitu, tanpa ba-
nyak membuang-buang waktu, Raja Golok Da-
ri Utara langsung berkelebat menyerang. 
Senjata andalannya yang berupa golok ber-
putar-putar bagai kitiran. Hebat sekali 
serangan kakek iblis itu. Gerakan-gerakan 
kaki dan tangannya pun cepat sekali, mem-
buat pakaian hitamnya yang kedodoran ber-
kibar-kibar. 
"Hm.... Jadi, inikah yang kalian 
kehendaki? Baik. Jangan dikira aku takut 
menghadapi kalian." 
Begitu kibasan golok menyambar, Ma-
hesa sedikit miringkan tubuhnya ke kiri 
sehingga serangan itu menebas angin. Sam-
bil bergerak demikian senjata pusakanya 
yang berupa kujang pun cepat diloloskan 
dari pinggang. Namun saat itu pula Raja 
Racun Dari Selatan telah menghadang den-
gan jurus-jurus andalannya. 
Mahesa cepat membuang tubuhnya ke 
kiri menghindari pukulan beracun Raja Ra-
cun Dari Selatan. Saat yang sama tebasan 
golok Raja Golok Dari Utara melayang men-
gancam. Mau tak mau Mahesa segera menang-
kis dengan kujangnya yang berwarna kuning 
keemasan. 
Cring! 
Bunga api kontan berpijar ketika 
golok di tangan Raja Golok Dari Utara 
berbenturan dengan kujang di tangan Mahe-
sa. Sementara tubuh kedua orang itu sama-
sama bergetar hebat, pertanda tenaga da-
lam mereka berimbang. 
"Bagus! Tidak percuma kau mendapat 
julukan Pendekar Kujang Emas, Bocah!" pu-
ji Raja Golok Dari Utara, penasaran. 
Raja Racun Dari Selatan gemas bukan 
main. Serangan pertamanya tadi mudah se-
kali dapat dimentahkan. 
"Jangan main-main, Raja Golok! Ce-
pat habisi bocah keparat itu!" Raja Racun 
Dari Selatan menggeram penuh kemarahan. 
Wajahnya kelam membesi dengan rahang ber-
tonjolan. Kedua telapak tangannya telah 
berubah menjadi hitam legam, siap melan-
carkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang 
Hitam'! 
Mahesa tidak main-main lagi. Puku-
lan yang mengandung hawa dingin itu sudah 
pernah dirasakan kehebatannya. Dan jurus 
andalannya pun mulai siap-siap dikelua-
rkan. Jurus 'Kilat Menyambar Bumi'. Sebe-
narnya jurus itu lebih cocok bila dimain-
kan dengan senjata pedang. Akan tetapi 
Mahesa sudah terbiasa memainkannya dengan 
kujang. Bahkan sudah merasa lebih cocok. 
"Hiyaaat!" 
Raja Golok Dari Utara kembali me-
nerjang dengan goloknya. Sementara Raja 
Racun Dari Selatan dengan jurus-jurus 
mautnya. 
Mahesa cepat memutar kujangnya un-
tuk melindungi diri dari serangan dua 
orang kakek berhati iblis itu yang terus 
meningkat. Untuk beberapa saat pemuda mu-
rid Pendekar Pedang Kilat Buana itu masih 
dapat mengimbangi. Namun ketika pertarun-
gan mulai menginjak jurus sepuluh, Mahesa 
jadi kewalahan bukan main. Entah sudah 
berapa kali tubuhnya yang tinggi kekar 
itu harus berjumpalitan ke udara. Pakaian 
biru-birunya mulai compang-camping tidak 
karuan akibat sabetan-sabetan golok Raja 
Golok Dari Utara. Demikian pula lengan 
kanannya yang menghitam akibat pukulan 
'Telapak Tangan Kelabang Hitam' dari Raja 
Racun Dari Selatan. 
Pada jurus ketiga belas hampir saja 
bahu kanan Mahesa terkena sambaran golok 
di tangan Raja Golok Dari Utara. Untung-
nya dia cepat melenting tinggi keluar da-
ri kancah pertempuran, lalu mendarat ma-
nis tanpa sedikit pun menimbulkan suara. 
"He he he,..! Rupanya hanya segini 
kehebatan Pendekar Kujang Emas!" ejek Ra-
ja Golok Dari Utara melecehkan. 
Mahesa tidak mempedulikan ocehan 
Raja Golok Dari Utara. Jurus-jurus anda-
lannya  kini siap dikeluarkan. Pada saat 
yang sama kedua lawannya telah kembali 
menerjang. 
"Hyaaat...!" 
Mahesa meloncat tinggi ke udara me-
nyongsong serangan. Setelah berputaran 
beberapa kali tubuhnya menukik ke bawah 
siap menembus ubun-ubun Raja Racun Dari 
Selatan dengan ujung mata kujangnya. 
Raja Racun Dari Selatan kaget bukan 
kepalang. Wajahnya yang mengerikan itu 
pucat pasi. Sungguh tidak disangka kalau 
pemuda itu bisa melepas serangan sehebat 
itu. 
"Jurus 'Kilat Pembawa Maut'" desis 
iblis tua bersuara sengau itu seraya me-
lempar tubuhnya ke belakang. 
"Heaaa...!" 
Raja Golok Dari Utara melesat ce-
pat. Cepat digantikannya kedudukan Raja 
Racun Dari Selatan. Untuk sesaat Raja Go-
lok Dari Utara kewalahan bukan main meng-
hadapi Mahesa. Untungnya Raja Racun Dari 
Selatan segera membantu dengan melepas 
pukulan Telapak Tangan Kelabang Hitam da-
ri jarak jauh. 
Mahesa terperangah. Sedikit seran-
gannya pada Raja Golok Dari Utara diken-
durkan, lalu melompat ke belakang membuat 
jarak. 
Kesempatan ini cepat digunakan Raja 
Racun Dari Selatan untuk kembali berga-
bung dengan kawannya. Maka kembali perta-
rungan seru berlangsung. 
Mahesa terus mendesak kedua iblis 
tua itu dengan jurus 'Kilat Pembawa 
Maut'. Dan untuk sesaat jalannya perta-
rungan dapat dikuasai. Namun beberapa ju-
rus kemudian, perlahan  namun pasti, gu-
lungan-gulungan sinar kuning dari kujang-
nya yang mengurung Raja Golok Dari Utara 
dan Raja Racun Dari Selatan mulai mengen-
dor. Dan selanjutnya ganti Mahesa-lah 
yang terdesak hebat. 
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan ba-
lasan ku, Bocah! Jangan harap lolos dari 
tanganku!" leceh Raja Racun Dan Selatan 
kegirangan. 
Mahesa tidak gentar sedikit pun. 
Meski keadaannya tidak menguntungkan, na-
mun terus mencoba bertahan. Sebagai seo-
rang pendekar, pantang bagi dirinya untuk 
kabur meninggalkan pertarungan. Dan aki-
batnya sungguh berbahaya. 
Ketika Mahesa hendak miringkan tu-
buhnya ke kiri menghindari bacokan golok 
Raja Golok Dari Utara, tiba-tiba saja pu-
kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' da-
ri Raja Racun Dari Selatan melesat dari 
belakang tanpa sempat dihindari. Maka 
tanpa ampun lagi.... 
Dugh! 
"Augh!" 
Mahesa terpekik tertahan saat pung-
gungnya terkena pukulan berhawa dingin 
itu. Tepat pada bagian yang menjadi sasa-
ran langsung berubah menghitam. Tubuhnya 
kontan terhuyung-huyung ke depan disertai 
muntahan darah segar. 
Saat itu, Raja Golok Dari Utara 
yang tepat berada di depan Mahesa sudah 
mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Tubuh 
pemuda itu akan dibelahnya. Dalam keadaan 
terluka parah seperti itu, Mahesa masih 
sempat membanting tubuhnya ke kiri. Se-
rangan golok memang bisa dihindari. Namun 
serangan Raja Racun Dari Selatan selan-
jutnya yang berupa tendangan berputar te-
pat mengenai dada. 
Desss...! 
"Augh!" 
Sekali lagi Mahesa memekik terta-
han. Tubuhnya yang tinggi kekar kembali 
terlempar ke belakang. Wajahnya seketika 
itu juga pucat pasi. Matanya berkunang-
kunang. Mahesa benar-benar pasrah. Kea-
daannya saat ini sungguh sangat mengkha-
watirkan. 
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan tertawa-tawa kegirangan. 
Golok di tangan Raja Golok Dari Utara 
siap membelah tubuh Mahesa. Demikian pula 
Raja Racun Dari Selatan yang siap melon-
tarkan pukulan Telapak 'Tangan Kelabang 
Hitam' ke ubun-ubun kepala pemuda itu. 
Namun.... 
Wesss...! 
"Heh?!"    
* * * 
Tiba-tiba saja terdengar suara men-
desis yang didahului dengan bau harum 
bunga melati menyerang Raja Racun Dari 
Selatan dan Raja Golok Dari Utara. 
Kedua tokoh sesat itu terkesiap bu-
kan kepalang. Seketika mereka langsung 
melempar tubuh ke samping kanan-kiri. Be-
gitu bangkit, betapa terkejutnya mereka 
ketika melihat seekor ular naga putih se-
besar pohon kelapa melintas! 
"Siluman Naga Puspa...!" pekik Raja 
Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Se-
latan berbarengan. 
Ular naga putih yang dipanggil Si-
luman Naga Puspa langsung memutar tubuh-
nya, begitu serangannya gagal. Sepasang 
matanya mencorong memandangi Raja Golok 
Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan 
penuh kemarahan. Mulutnya mendesis-desis 
mengerikan menampakkan sepasang taringnya 
yang runcing. 
Memang, aneh sekali siluman ular 
itu. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa 
bukannya menebarkan bau amis, tapi malah 
bau harum bunga melati. Raja Golok Dari 
Utara dan Raja Racun Dari Selatan memang 
pernah mendengar ciri-ciri serta nama si-
luman itu. Namun baru kali ini mereka 
bertemu langsung. Dan tak urung kedua to-
koh golongan hitam itu jadi ciut nyalinya 
ketika merasa yakin kalau binatang jeja-
dian itu adalah Siluman Naga Puspa. Mere-
ka terperanjat ketika Siluman Naga Puspa 
kembali menyerang. 
Wesss...! 
Siluman Naga Puspa melesat ke de-
pan. Taring-taringnya yang tajam siap me-
remukkan kepala Raja Racun Dari Selatan. 
Sedang ekornya siap menghajar Raja Golok 
Dari Utara. 
Brakkk! 
Hebat sekali serangan ular raksasa 
itu. Ranting-ranting pohon kering dalam 
jarak dua puluh depa langsung berderak 
berjatuhan terkena angin sambarannya. Na-
mun yang dihadapi Siluman Naga Puspa kali 
ini bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun 
sempat tercekat, namun Raja Golok Dari 
Utara dan Raja Racun Dari Selatan yang 
sudah terbiasa malang melintang di dunia 
persilatan sudah bisa menguasai keadaan. 
Dengan gerakan cepat serangan Siluman Na-
ga Puspa  dapat dielakkan dengan mudah. 
Bahkan Raja Golok Dari Utara sempat meng-
hujamkan golok ke tubuh siluman ular itu. 
Crag! Crag! 
Dua kali mata golok membacok tubuh 
Siluman Naga Puspa. Namun akibatnya ju-
stru tangan Raja Golok Dari Utara yang 
kesemutan. Mata goloknya terasa seperti 
membentur besi baja yang kuat sekali. 
Jangankan untuk melukai tubuh ular itu. 
Bahkan mata golok di tangan Raja Golok 
Dari Utara itu sendi yang rompal! 
Bukan main! Raja Golok Dari Utara 
sempat terlongong sebentar melihat kesak-
tian Siluman Naga Puspa. Seolah pandangan 
matanya sendiri tidak dipercayai. Dan di 
saat Raja Golok Dari Utara terlongong 
itulah, tahu-tahu ekor Siluman Naga Puspa 
telah berkelebat cepat sekali. 
Bukkk! 
"Augh!" 
Raja Golok Dari Utara menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya yang gempal langsung 
terlempar beberapa tombak ke samping ka-
nan. 
Sementara Siluman Naga Puspa mende-
sis hebat. Sepasang matanya kini menco-
rong tajam ke arah Raja Racun Dari Sela-
tan. 
"Keparat! Kau ingin mampus di tan-
ganku, he?! Nih, terima pukulan 'Telapak 
Tangan  Kelabang Hitam'ku!" bentak Raja 
Racun Dari Selatan sambil menghentakkan 
tangan kanannya dengan kuda-kuda kokoh.        
Wesss! 
Seleret sinar hitam legam melesat 
dari telapak tangan kanan Raja Racun Dari 
Selatan. Begitu cepat sinar itu meluruk, 
menghantam tubuh Siluman Naga Puspa den-
gan telak sekali. 
Buk! Buk! 
Siluman Naga Puspa terlempar ke 
samping kiri. Namun sedikit pun tidak 
mengalami cidera. Dia hanya mendesis-
desis penuh kemarahan. 
"Zzzttt...!" 
Disertai desis kemarahan, Siluman 
Naga Puspa mencelat tinggi siap meremuk-
kan batok kepala Raja Racun Dari Selatan. 
"Ah...!"  
Bukan main terperangahnya Raja Ra-
cun Dari Selatan melihat ketangguhan si-
luman ular itu. Tadi dia sempat terlon-
gong, mengagumi kehebatan Siluman Naga 
Puspa. Tanpa disadari, dia lupa akan da-
tangnya bahaya. 
Pada saat yang gawat Raja Golok Da-
ri Utara segera melesat. Beberapa kali 
mata goloknya dibacokkan ke tubuh Siluman 
Naga Puspa. 
Crak! Crak! 
Siluman Naga Puspa marah bukan 
main. Kendati tak mengalami cidera, namun 
sudah alasan baginya untuk melenyapkan 
tokoh licik itu. Segera dia bersiap me-
nyerang. Namun.... 
"Ratri! Hentikan!" 
Terdengar suara halus bernada te-
gas, membuat kepala Siluman Naga Puspa 
berpaling ke samping. Dilihatnya seorang 
lelaki berusia tujuh puluh tahun dengan 
pakaian putih bersih tahu-tahu telah ber-
diri tak jauh dari tempat pertarungan. 
Wajahnya putih bersih. Rambutnya yang pu-
tih memanjang digelung ke atas. 
Sedang jenggotnya yang juga putih 
bersih dibiarkan tergerai. 
"Begawan Kamasetyo...!" sebut Raja 
Golok Dari Utara hampir berbarengan den-
gan Raja Racun Dari Selatan. 
Lelaki tua yang dipanggil Begawan 
Kamasetyo memperhatikan kedua orang itu 
sebentar. 
"Lagi-lagi kalian yang membuat onar 
di tempat ini!" gumam Begawan Kamasetyo 
penuh wibawa. 
Sebentar mata tajam lelaki ini mem-
perhatikan Siluman Naga Puspa. Dan dia 
memberi isyarat pada siluman aneh itu un-
tuk kembali ke tempatnya semula. Namun 
anehnya, Siluman Naga Puspa malah mende-
sis-desis seperti ingin melaporkan sesua-
tu kepada Begawan Kamasetyo. 
Begawan Kamasetyo mengangguk-
anggukkan kepala. 
"Sudah kuduga," gumam Begawan Kama-
setyo lagi seraya mengalihkan perhatian 
pada Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun 
Dari Selatan. Jelas sekali kalau ia tidak 
menyukai kehadiran kedua kakek berhati 
iblis itu. 
"Nah, tunggu apa lagi? Mengapa ka-
lian tidak cepat-cepat angkat kaki dari 
sini?!" kata Begawan Kamasetyo lagi. 
"Jangan sombong, Begawan Kama-
setyo!" hardik Raja Golok pari Utara ge-
ram. 
"Aku bicara baik-baik. Mengapa ka-
lian membentak-bentak aku?" tukas Begawan 
Kamasetyo tanpa berkesan marah. 
"Tua  bangka keparat! Lagakmu som-
bong sekali! Apa kesombonganmu ini dapat 
menolong nyawa busukmu, he?!" bentak Raja 
Golok Dari Utara gusar sekali. 
Dan sehabis berkata begitu, kakek 
iblis itu pun langsung menyerang Begawan 
Kamasetyo dengan golok. Pada saat hampir 
bersamaan Raja Racun Dari Selatan mence-
lat, ikut menyerang. 
Begawan Kamasetyo hanya menggeleng-
geleng dengan helaan napas tipis. Begitu 
serangan kedua tokoh sesat itu mendekat, 
tubuhnya sedikit dimiringkan ke kiri. Se-
hingga sambaran golok dapat dihindari 
dengan baik. Bahkan sekaligus membalas 
serangan kedua kakek iblis itu dengan to-
tokan jari-jari tangannya. 
Tuk! Tuk! 
"Aaakh...!" 
Semua itu dilakukan Begawan Kama-
setyo dengan cepat sekali. Sehingga dalam 
sekejap saja, iga kiri Raja Golok Dari 
Utara dan ulu hati Raja Racun Dari Sela-
tan terkena totokan jari-jari tangan Be-
gawan Kamasetyo, mereka kontan terpekik 
dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka 
terjajar beberapa langkah. Tampak baju di 
bagian tubuhnya yang tertotok tadi berlu-
bang! 
"Apa kalian masih tetap bersikeras 
untuk tidak cepat-cepat angkat kaki dari 
tempat ini?" kata Begawan Kamasetyo penuh 
perbawa. 
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan cukup tahu diri. Mereka 
bukanlah orang-orang bodoh. Menghadapi 
Siluman Naga Puspa saja masih kewalahan. 
Apalagi sekarang ditambah Begawan Kama-
setyo? 
"Ingat, Begawan! Kau harus membayar 
mahal penghinaanmu ini," desis Raja Golok 
Dari Utara penuh kemarahan. Sedang Raja 
Racun Dari Selatan hanya mendelik penuh 
kebencian. 
Sehabis berkata begitu, kedua iblis 
ini segera berbalik. Begitu menjejakkan 
kaki, mereka segera berkelebat meninggal-
kan tempat itu. Dalam sekejap saja mereka 
telah menjadi dua titik hitam di kejauhan 
sana, lalu menghilang di lereng pegunun-
gan.      
Begawan Kamasetyo menggeleng-
gelengkan kepala. 
"Dunia persilatan bisa cepat tamat 
kalau orang-orang seperti mereka tidak 
cepat dibasmi," gerutu orang tua itu pada 
diri sendiri. "Sayang sekali aku tidak 
mempunyai murid. Tapi...?" 
Tiba-tiba saja Begawan Kamasetyo 
teringat pemuda yang hendak ditolongnya 
tadi. Dengan gerakan ringan, cepat dide-
katinya Mahesa. Di tempat itu ternyata 
Siluman Naga Puspa yang sebenarnya adalah 
anak kandungnya sendiri tengah menunggui 
Mahesa. Begawan Kamasetyo trenyuh sekali. 
Ditepuk-tepuknya kepala Siluman Naga Pus-
pa sebentar. Lalu dipondongnya Mahesa 
yang tak sadarkan diri menuju ke tempat 
pertapaannya di sebelah barat lereng Pe-
gunungan Dieng. 
Siluman Naga Puspa mengikutinya da-
ri belakang dengan desisan-desisannya 
yang aneh! 
*** 
Mahesa telah direbahkan di ranjang. 
Sementara Siluman Naga Puspa ikut masuk 
ke dalam kamar, memperhatikan Begawan Ka-
masetyo yang sedang mengobati Mahesa. 
"Ohh...!" 
Mahesa tersadar dengan lenguhan ha-
lus menyertai. Sebelum mata Mahesa terbu-
ka, Siluman Naga Puspa cepat keluar. Se-
dangkan Begawan Kamasetyo langsung mera-
sakan kejanggalan sikap putrinya. 
"Terima kasih, Kek. Kau telah me-
nyelamatkan nyawaku," ujar Mahesa dengan 
susah payah, setelah matanya terbuka dan 
samar-samar melihat seorang laki-laki tua 
di sisinya. 
"Jangan banyak bicara dulu, Anak 
Muda! Urusan terima kasih bisa diurus 
nanti. Sekarang, minum saja obat itu! Pu-
kulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' Ra-
ja Racun Dari Selatan memang keji sekali. 
Untungnya tubuhmu cukup kuat," ujar Bega-
wan Kamasetyo. 
Mahesa mengangkat tubuhnya dengan 
susah payah. Begawan  Kamasetyo membantu 
menyandarkannya ke dinding gua.  
"Nah! Sekarang, minumlah obat ini!" 
Begawan Kamasetyo menyorongkan gelas dari 
batok kelapa itu ke dekat mulut Mahesa. 
Mahesa meminumnya. Pahit! Perlahan-
lahan cairan kental berwarna hitam itu 
masuk ke dalam perutnya. Langsung terasa 
panas, seperti mau membakar ususnya. Ma-
hesa menggigil. Keringat sebesar biji ja-
gung segera membasahi keningnya. Bibirnya 
digigit kuat-kuat. 
"Bersemadi lah, Anak Muda! Nanti 
hawa panas itu akan hilang sendiri. Jika 
tubuhmu cukup kuat menahan racun kelabang 
hitam, mungkin dalam dua atau tiga hari 
kemudian kau akan sembuh." 
"Terima kasih, Kek." 
Mahesa mengangkat tubuhnya. Tidak 
terlalu berat seperti tadi. Hanya saja, 
hawa panas dalam perutnya masih berputar-
putar. Mahesa tidak membuang-buang waktu 
lagi. Segera diambilnya sikap bersemadi. 
Langsung pikirannya dipusatkan pada Sang 
Pencipta. 
Begawan Kamasetyo berjalan keluar. 
Di mulut gua, Siluman Naga Puspa sedang 
memandang hamparan pematang di kejauhan 
sana. Lelaki tua ini segera mendekati pu-
trinya. 
"Ada apa, Ratri? Mengapa kau tidak 
menemani Ayah menyembuhkan pemuda itu?" 
tanya Begawan Kamasetyo. 
Siluman Naga Puspa menoleh. Wajah-
nya lain dari biasanya. 
Begawan Kamasetyo terkejut. Sepa-
sang mata yang mencorong di depannya be-
rair. Aneh sekali! 
"Kau menangis, Ratri? Ada apa?" 
tanya Begawan Kamasetyo heran. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 
Tingkahnya aneh sekali. Begawan Kamasetyo 
mendengarkan dengan seksama. 
"Oh...! Kau menanyakan nama pemuda 
itu?" tebak lelaki tua ini. 
Siluman Naga Puspa mengangguk. 
"Hm, Aku lupa belum menanyakannya." 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis 
lagi. 
"Ya..., ya! Nanti aku tanyakan, 
siapa nama pemuda itu," kata Begawan Ka-
masetyo menukas. Matanya yang tua meman-
dangi putrinya penuh perhatian. 
Siluman Naga Puspa mengalihkan pan-
dangan ke hamparan pematang di kejauhan 
sana. Sepasang matanya yang mencorong te-
tap berair. 
"Ada apa, Ratri? Apakah kau..., kau 
menyukainya?" tanya Begawan Kamasetyo, 
kelu. 
Siluman Naga Puspa diam tak menya-
hut. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. 
Aneh sekali. Tingkah lakunya saat itu 
persis sekali seperti seorang gadis. An-
dai saja wujudnya berupa sosok manusia, 
tentu pipinya akan merona merah dan ter-
sipu malu. 
Begawan Kamasetyo trenyuh sekali. 
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir-
nya. Dipandangnya wajah putrinya seben-
tar, lalu melangkah masuk ke dalam mulut 
gua yang bernama Gua Burangrang. 
*** 
Waktu terus bergulir, meniti alam. 
Tiga hari terlewat sudah. Kesehatan 
Mahesa pun sudah pulih seperti sedia ka-
la. Wajahnya yang tampan tidak lagi pu-
cat. Dan saat ini, dia sedang duduk ber-
simpuh di depan Begawan Kamasetyo. 
"Aku mengucapkan terima kasih ba-
nyak, Kek. Kau telah menyelamatkan nyawa-
ku. Seumur hidup, aku tidak bisa melupa-
kan kebaikanmu, Kek," ucap Mahesa, seraya 
merangkapkan tangan di depan hidung. 
Begawan Kamasetyo diam sambil men-
gelus-elus jenggotnya yang panjang memu-
tih. Matanya sayu memandangi Mahesa. Ha-
tinya sedih, menyadari kalau putrinya 
mencintai Mahesa! 
"Jangan terlalu banyak peradatan, 
Anak Muda! Sebaiknya ceritakan saja men-
gapa kau sampai bentrok dengan Raja Golok 
Dari Utara clan Raja Racun Dari Selatan 
tempo hari!" ujar Begawan Kamasetyo. 
"Tidak terlalu istimewa, Kek. Bebe-
rapa bulan yang lalu, aku pernah bentrok 
dengan Raja Racun Dari Selatan. Mungkin 
dia masih penasaran, Kek...." 
"Bukan hanya penasaran. Tapi, juga 
ingin menghendaki nyawamu, Anak Muda!" 
sela Begawan Kamasetyo. 
"Ya, ya. Aku mengerti, Kek." 
"Nah! Sekarang, rencanamu mau ke 
mana, Anak Muda? Apakah kau masih ingin 
beristirahat di sini barang beberapa ha-
ri?" tanya Begawan Kamasetyo ingin tahu. 
"Aku ingin meneruskan perjalanan ke 
Gunung Batu, Kek. Aku masih mempunyai se-
dikit urusan dengan Eyang Guru." 
"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa na-
ma gurumu, Anak Muda?" 
"Hm..., hm. Sebenarnya, aku malu. 
Guruku sering berpesan agar jangan menye-
but-nyebut nama Guru. Tapi berhubung Ka-
kek telah banyak berbuat baik, aku akan 
mengakuinya. Terus terang guruku bernama 
Eyang Ki Ageng Banaran, atau lebih ter-
kenal sebagai Pendekar Pedang Kilat Bua-
na." 
"Pantas! Pantas! Ilmu silatmu ting-
gi sekali," puji Begawan Kamasetyo penuh 
kagum. 
"Ah! Kepandaianku belum seberapa, 
Kek. Aku masih perlu banyak belajar," de-
sah Mahesa merendah. 
"Tidak! Jangan terlalu merendahkan 
diri, Anak Muda. Buktinya saja, kau mampu 
menghadapi Raja Racun Dari Selatan dan 
Raja Golok Dari Utara!" 
"Itu belum seberapa, Kek. Buktinya, 
aku kalah. Untung Kakek cepat datang me-
nolong." 
Begawan Kamasetyo tersenyum. Dia 
sudah cukup paham dengan watak para pen-
dekar seperti Mahesa. Dan inilah yang me-
resahkan Begawan Kamasetyo, karena selama 
tiga hari ini diam-diam Siluman Naga Pus-
pa selalu memperhatikan pemuda itu dengan 
sorot mata aneh. Sorot mata yang penuh 
kasih! 
Sebenarnya, ini yang membuat Bega-
wan Kamasetyo menahan kepergian Mahesa. 
Di sisi lain, dia harus memikirkan kea-
daan putrinya yang masih berwujud ular 
raksasa. Sampai saat ini dia tidak tahu 
harus bertindak bagaimana. Terus terang, 
semua ini karena kesalahannya, dan kesa-
lahan putrinya sendiri. Ratri dulu begitu 
nekat ingin menguasai ilmu 'Titisan Silu-
man Ular Putih'. Namun karena tidak kuat 
menahan pantangan sewaktu sedang bertapa, 
Ratri berubah wujud menjadi Siluman Naga 
Puspa yang selalu menebarkan harum bunga 
melati. Aneh sekali, memang. Mungkin itu 
dikarenakan Ratri adalah seorang gadis 
cantik. Ataukah memang watak dari ilmu 
itu sendiri? Tak ada yang tahu. 
Bahkan Begawan Kamasetyo pun tidak 
tahu. Otaknya benar-benar buntu. Sudah 
bertahun-tahun dia bertapa untuk meminta 
petunjuk Yang Maha Kuasa, namun belum ju-
ga dikabulkan. Sebenarnya dalam dirinya 
ada keinginan untuk meminta petunjuk pada 
Mahesa. Namun entah mengapa, dia malu me-
lakukannya. 
"Mahesa...!" panggil Begawan Kama-
setyo tanpa sadar menyebut nama pemuda di 
hadapannya. Padahal dia sudah cukup men-
genal nama pemuda itu, selama dirawat di 
tempat kediamannya, Gua Burangrang.  
"Ada apa, Kek? Nampaknya kau ingin 
menanyakan sesuatu padaku?" tanya Mahesa. 
"Ya..., ya! Sebenarnya aku memang 
ingin menanyakan sesuatu padamu, Mahesa. 
Namun terus terang aku ragu-ragu, apakah 
kau dapat menolongku atau tidak." 
"Katakanlah, Kek! Mudah-mudahan aku 
bisa menjawabnya," ujar Mahesa.  
Begawan Kamasetyo diam sejenak. Ma-
tanya yang tajam memperhatikan Mahesa 
seksama. 
"Ya..., ya! Aku memang mau mengata-
kannya padamu, Mahesa," kata begawan Ka-
masetyo. 
Sejenak lelaki tua ini menghentikan 
bicaranya. Tiba-tiba saja dirasakan dind-
ing-dinding gua itu bergetar-getar hebat 
diiringi harum bunga melati yang menyen-
gat hidung. 
Mahesa cepat meloncat dari tempat 
duduknya. Dengan seksama matanya memper-
hatikan mulut gua. 
"Bau apa ini, Kek? Kok, wangi seka-
li?" tanya Mahesa. 
Begawan  Kamasetyo tidak mempeduli-
kannya. Malah diperhatikannya sisi dind-
ing gua yang lain. 
"Ratri! Hentikan!" teriak Begawan 
Kamasetyo menggemuruh memenuhi ruangan. 
Mahesa terlongong. Dia tidak tahu, 
kepada siapa Begawan Kamasetyo berbicara. 
Dan anehnya, sehabis Begawan Kamasetyo 
berteriak, perlahan-lahan getaran-getaran 
dinding gua pun mereda. Demikian pula bau 
harum bunga melati yang memenuhi ruangan. 
"Ada apa ini, Kek? Kok, tiba-tiba 
saja Kakek berbicara dengan seseorang?" 
tanya Mahesa. 
Begawan Kamasetyo mengisyaratkan 
Mahesa untuk duduk. Dan pemuda itu pun 
menurutinya. 
"Kau tahu, mengapa tiba-tiba saja 
dinding gua itu bergetar, Mahesa?" tanya 
Begawan Kamasetyo. 
Mahesa menggelengkan kepalanya. 
"Putriku keberatan aku menceritakan 
persoalan kami padamu, Mahesa," Begawan 
Kamasetyo menjawab pertanyaannya sendiri 
dengan wajah sedih. 
"Putri Kakek? Maksud..., maksudku, 
Kakek mempunyai anak?" tanya Mahesa tak 
habis pikir. 
Begawan Kamasetyo mengangguk. 
"Tapi..., tapi, me..., mengapa Ka-
kek tidak mengenalkannya padaku?" tuntut 
Mahesa. 
"Putriku tidak mau. Dia malu berte-
mu denganmu." 
"Mengapa, Kek?" tanya Mahesa tak 
mengerti. 
Begawan Kamasetyo menggelengkan ke-
palanya. Lemah. 
"Tolong, Kek! Aku ingin mengenal 
putrimu."  
"Tidak bisa!" 
"Mengapa, Kek?" desak Mahesa pena-
saran.  
"Sudahlah! Sebaiknya jangan membi-
carakan putriku," ujar Begawan Kamasetyo 
seraya mengibaskan tangannya. "Cepatlah 
kau tinggalkan tempat ini! Katanya, kau 
ingin meneruskan perjalanan?" 
"Kakek mengusirku?" tanya Mahesa 
penasaran sekali. 
"Bukan begitu. Tapi, sebaiknya ce-
patlah tinggalkan tempat ini!" 
Mahesa menghela napas berat. 
"Baiklah!" 
Mahesa beranjak dari tempat duduk-
nya, lalu melangkah. Begawan Kamasetyo 
mengantarnya sampai ke mulut gua. Dengan 
berat hati pemuda itu meninggalkan tempat 
ini. 
Begawan Kamasetyo  terus mengikuti 
kepergian Mahesa dengan pandangan ma-
tanya. Cepat sekali gerakan kaki pemuda 
itu. Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah 
sampai di lereng sebelah barat, dan meng-
hilang di balik rimbunnya pepohonan. 
Sementara itu dari tempat persembu-
nyiannya,  Siluman Naga Puspa memperhati-
kan kepergian Mahesa dengan pandangan ma-
ta aneh. Sepasang matanya yang mencorong 
itu berair. Aneh sekali! 
Begawan Kamasetyo yang baru saja 
mencari putrinya di tempat pertapaannya 
mendekat. Hatinya sedih sekali melihat 
Ratri yang terus memperhatikan lereng se-
belah barat, arah Mahesa pergi tadi. 
"Ratri! Mengapa kamu keluar dari 
tempat pertapaanmu?" tanya Begawan Kama-
setyo. 
Ratri atau Siluman Naga Puspa itu 
diam tak menyahut. Sepasang matanya yang 
mencorong itu semakin dibasahi air. Dan 
mulutnya keluar desis-desis aneh. 
"Oh...! Aku mengerti, Anakku! Aku 
mengerti. Kau..., kau mencintainya?" ke-
luh Begawan Kamasetyo. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis 
lagi, seolah-olah sedang mengadukan na-
sibnya kepada Begawan Kamasetyo. 
"Teruslah bertapa, Anakku! Mintalah 
petunjuk pada Yang Maha Kuasa! Siapa tahu 
Dia mau bermurah hati padamu." 
Sambil berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo mengalihkan pandangan ke angkasa. 
Bibirnya berkemik-kemik memanjatkan doa. 
Siluman Naga Puspa telah kembali ke 
tempat pertapaannya. Dia bertekad akan 
terus meminta petunjuk pada Yang Maha Ku-
asa. Dan sebelum permohonannya dikabul-
kan, dia tidak akan keluar dari tempat 
pertapaannya. 
Siluman Naga Puspa tidak pernah 
berputus asa hingga tak terasa tiga puluh 
sembilan hari terlewat sudah. Dan tepat 
pada malam ke empat puluh hari, tiba-tiba 
saja asap putih bergulung-gulung di de-
pannya. Perlahan asap itu menjelma menja-
di seorang pemuda tampan yang baru-baru 
ini telah ditolong dan sekaligus dicin-
tainya. Mahesa! 
Hampir saja perasaan Siluman Naga 
Puspa tergugah. Namun kali ini Siluman 
Naga Puspa tidak ingin gagal untuk yang 
kedua kalinya. Dulu kira-kira empat tahun 
lalu, saat bertapa seperti ini dia pernah 
digoda seorang pemuda tampan yang sangat 
dicintai. Namanya Sangaji. 
Waktu itu, Ratri benar-benar tidak 
dapat mengendalikan diri lagi. Teriakan-
teriakan Begawan Kamasetyo yang memperin-
gatkannya tidak lagi dihiraukannya. Begi-
tu melihat Sangaji, pendekar muda yang 
sebenarnya sudah meninggal sewaktu ber-
tempur hebat melawan  Algojo Dari Timur 
bersamanya beberapa tahun lalu, Ratri pun 
langsung menubruk dengan segenap perasaan 
cintanya. Dia tak peduli kalau sedang 
bertapa. Begitu tersadar kalau Sangaji 
ternyata hanyalah godaan saja, Ratri pun 
langsung menjerit menyayat. Apalagi per-
lahan-lahan dari ujung kakinya hingga ke 
tubuhnya, mulai berubah menjadi tubuh 
ular. Bukan main menyayatnya tangis Ratri 
saat itu. 
Namun, untungnya dalam bertapanya 
kali ini, Ratri atau Siluman Naga Puspa 
cepat tersadar kalau Mahesa yang berada 
di hadapannya hanyalah godaan semata! 
Atas dorongan kehendak suci untuk menjel-
ma kembali menjadi manusia biasa, Siluman 
Naga Puspa pun dapat mengatasinya. Perla-
han-lahan gulungan asap putih yang men-
jelma menjadi Mahesa pun buyar. Namun ti-
dak lama kemudian.... 
"Wahai, Anak Manusia! Sebenarnya 
keinginanmu telah dikabulkan. Tapi, in-
gat! Waktumu tidak lama. Hanya satu ta-
hun. Ingat itu, Anak Manusia! Waktumu 
hanya satu tahun...." 
Terdengar suara menggema yang entah 
dari mana datangnya. Begitu suara itu 
menghilang, secara ajaib sekali sekujur 
tubuh Siluman Naga Puspa pun mulai diba-
luti asap putih kekuning-kuningan. Dan 
ketika asap itu menghilang perlahan-
lahan, tampaklah seorang gadis cantik 
berpakaian kuning dengan rambut hitam 
panjang digelung ke atas dalam keadaan 
duduk bersemadi! 
Ratri terkejut bukan main. Dipan-
danginya sekujur tubuhnya dengan mata 
terbelalak, seolah-olah kurang memper-
cayai penglihatannya. Namun bila teringat 
waktu yang diberikan Yang Maha Kuasa 
hanya satu tahun, gadis itu jadi menangis 
sedih. 
"Ratri! Kau.... Kau sudah beru-
bah...?" pekik Begawan Kamasetyo yang te-
lah berdiri di ambang pintu ruangan per-
tapaan anaknya. 
Ratri tidak menyahut. Suara tangis-
nya terdengar semakin memilukan. 
Ayah gadis ini berjalan mendekat. 
"Kau harus bersyukur, Ratri! Kau 
harus bersyukur. Mengapa malah menangis?" 
tanya Begawan Kamasetyo heran bukan main. 
Ratri menubruk Begawan Kamasetyo, 
langsung menangis sepuas-puasnya dalam 
pelukan ayahnya. 
"Lho? Kok, malah menangis? Ada apa 
ini?" 
"Aku..., aku hanya diberi waktu se-
tahun, Ayah. Setelah itu aku kembali ber-
wujud menjadi ular," tutur Ratri menangis 
memilukan hati. 
Hati Begawan Kamasetyo trenyuh se-
kali. Matanya perih saking tidak kuatnya 
menahan guncangan batinnya. 
"Tabahkan hatimu, Anakku!" ujar Be-
gawan Kamasetyo seraya memeluk tubuh pu-
trinya erat-erat. 
"Izinkan aku turun gunung, Ayah!" 
pinta Ratri di antara suara tangisnya. 
"Kau ingin mencari Mahesa?" tebak 
Begawan Kamasetyo, dapat membaca jalan 
pikiran anaknya. 
"Benar, Ayah. Aku..., aku sangat 
mencintainya...." 
Tak tega Begawan Kamasetyo untuk 
mencegah kemauan Ratri saat itu walau ha-
tinya berat sekali. 
"Pergilah, Ratri! Lakukan apa yang 
kau inginkan!" kata Begawan Kamasetyo se-
rak. 
Ratri memeluk tubuh ayahnya erat-
erat. 
*** 
Ratri memacu kudanya tanpa tujuan. 
Sudah dua minggu lebih gadis putri Bega-
wan Kamasetyo keluar masuk hutan belanta-
ra. Namun, pemuda yang dicarinya belum 
juga ditemukan. Ratri tidak putus asa. 
Keinginannya untuk bertemu Mahesa demi-
kian menggebu-gebunya. Tak peduli siang 
maupun malam, kudanya terus dipacu. Dan 
dia hanya beristirahat seperlunya saja. 
Dan di siang yang panas ini, ketika 
matahari panas memanggang bumi, Ratri 
tengah  menuruni lereng Gunung Kembang. 
Dalam keadaan perlahan begini, tampak je-
las wajahnya yang cantik sekali. Rambut-
nya yang hitam panjang digelung ke atas. 
Bola matanya berwarna hitam pas sekali 
dengan alisnya yang hitam. Hidungnya man-
cung, bibirnya pun tipis berwarna merah 
merekah. Sedang tubuhnya yang tinggi 
ramping dibalut pakaian kuning-kuning. 
Baru saja gadis ini menuruni le-
reng, mendadak saja.... 
"Hieeekh...!" 
Tiba-tiba saja kuda Ratri meringkik 
hebat dengan kedua kaki depan terangkat 
tinggi-tinggi. Ratri terkejut dan kewala-
han bukan main. Tubuhnya yang tinggi 
ramping hampir saja terlempar. Sesaat ke-
mudian, tubuh kudanya terbetot masuk ke 
dalam tanah. 
Ratri tak dapat lagi mengendalikan 
kudanya. Cepat dia melenting turun dari 
punggung kudanya. Begitu mendarat, ma-
tanya liar mencari siapa yang telah usil 
menghalangi jalannya. Hatinya kesal bukan 
main saat tidak menemukan siapa-siapa.  
"Bedebah! Siapa yang berani usil 
menghalangi jalanku?!" teriak Ratri penuh 
kemarahan. 
Tidak ada sahutan. Namun Ratri 
hanya mendengar suara tawa seseorang yang 
entah dari mana datangnya. Kepalanya ce-
lingukan mencari-cari di ranting-ranting 
beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya. 
Tapi tetap saja orang yang dicarinya ti-
dak ditemukan. Malah, suara tawa orang 
itu semakin memekakkan gendang telin-
ganya. 
Ratri menggeram marah. Dia yakin, 
suara sumbang itulah yang telah mengha-
dang jalannya. Entah menggunakan ilmu 
apa, hingga menyebabkan kudanya ketakutan 
dan terperosok ke dalam tanah. Mungkin 
menggunakan semacam ilmu menyedot tenaga 
hingga menyebabkan kudanya mati lemas. 
Dan berarti orang itu berkepandaian ting-
gi. Menyadari hal ini Ratri harus hati-
hati menghadapi orang itu. 
"Pengecut! Ayo, tampakkan dirimu 
kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" 
teriak Ratri membahana memenuhi dataran 
tandus berbatu itu. 
"He he he...! Aku di sini, Cah Ayu! 
Mengapa kau marah-marah?" 
Ratri cepat berbalik. Di ranting 
pohon yang menjuntai ke jalan setapak 
itu, tampak seorang lelaki duduk menjun-
tai sambil ongkang-ongkang kaki. Padahal 
ranting itu hanya sebesar jari kelingk-
ing. Namun anehnya tidak patah atau ber-
goyang-goyang menahan berat badannya yang 
tinggi besar seperti raksasa. Pakaiannya 
norak sekali. Berwarna merah dan kuning. 
Kepalanya hampir gundul, terkecuali yang 
tersisa dan dikuncir ke atas. 
Wajah lelaki berusia sekitar lima 
puluh tahun itu sangat menyeramkan. Ma-
tanya besar dengan hidung besar tanpa ku-
mis dan jenggot. Rahangnya yang keras 
bertonjolan dengan sebuah anting bundar 
besar menggelantung di telinga kirinya. 
Dia tidak lain adalah salah seorang tokoh 
sesat dari timur. Siapa lagi kalau bukan 
Algojo Dari Timur! 
Mata Ratri terbelalak lebar. Bukan-
nya takut melihat orang yang menghadang 
jalannya, melainkan heran melihat keda-
tangan Algojo Dari Timur. Padahal tadi, 
tempat Algojo Dari Timur duduk ongkang-
ongkang kaki sudah diperhatikan. Dan se-
karang tahu-tahu orang itu sudah duduk di 
sana. Ratri jadi tidak habis pikir. Ba-
gaimana telinganya bisa tidak mendengar 
langkah kaki orang itu selagi perhatian-
nya tertuju ke tempat lain? Dan ini jelas 
membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh 
orang itu tinggi sekali. Mau tak mau ga-
dis ini harus hati-hati sekali menghada-
pinya. 
"Hm...! Rupanya kau Algojo Dari Ti-
mur!" desis Ratri penuh kemarahan. 
Lelaki tinggi besar ini tertawa 
mengakak. Nadanya menyepelekan Ratri. 
Gadis itu menggeretakkan geraham-
nya. Suara tawa algojo itu demikian meme-
kakkan telinganya. Maka cepat tenaga da-
lamnya dikerahkan untuk melindungi gen-
dang telinganya. 
Algojo Dari Timur semakin mening-
katkan suara tawanya, membuat tubuh Ratri 
gemetaran. Dan pada puncaknya, gadis ini 
tidak tahan lagi. Kalau hal ini dibiarkan 
dia bisa mati diserang suara tawa Algojo 
Dari Timur. Maka segera kedua tangannya 
menghentak ke depan. 
"Pukulan 'Inti Bumi'! Heaaa...!" 
Wesss! 
Seleret sinar putih terang dari te-
lapak tangan kiri Ratri melesat menyerang 
Algojo Dari Timur.  
"Hm...!" 
Algojo Dari Timur menggumam tak je-
las, seraya meloncat turun dari ranting 
pohon. Setelah berputaran beberapa kali, 
kakinya mendarat manis di hadapan Ratri 
tanpa menimbulkan suara. 
Trasss! 
Tepat pada saat itu, pohon yang di-
tinggalkan Algojo Dari Timur langsung 
layu menghitam, begitu pukulan 'Inti Bu-
mi' Ratri menghantam. 
"Hmm...! Apa kabar, si tua bangka 
keparat itu, Ratri?" sapa Algojo Dari Ti-
mur lagi, dingin menggetarkan. 
Ratri menggeram marah. Yang dimak-
sudkan si tua bangka keparat itu tidak 
lain adalah ayahnya sendiri, Begawan Ka-
masetyo. 
"Dua kali kau telah menghinaku, Al-
gojo! Pertama kau menghadangku dan membu-
nuh kudaku. Kedua, kau hina ayahku. Aku 
tidak akan mengampuni nyawa busukmu. 
Hyaaat...!" 
Sehabis berkata begitu, Ratri lang-
sung menyerang Algojo Dari Timur dengan 
kedua tangannya menghentak berganti-
ganti, melepaskan pukulan-pukulan maut-
nya. Yang kanan mengandung tenaga pukulan 
'Inti Api' sedang yang kiri mengandung 
tenaga pukulan 'Inti Bumi'. 
Algojo Dari Timur cukup mengenali 
pukulan maut itu. Dan dia tidak berani 
main-main. Segera kedua tangannya meng-
hentak pula, setelah merangkum pukulan 
'Badai Gurun Pasir'. Akibatnya.... 
Blar! Blar...! 
Dua ledakan dahsyat terdengar dis-
ertai percikan bunga api. Sementara, tam-
pak Algojo Dari Timur tergetar hebat. Se-
dang Ratri terhuyung-huyung beberapa 
langkah ke belakang. Dari sini bisa dili-
hat kalau tenaga dalam Algojo Dari Timur 
lebih tinggi satu atau dua tingkat. 
Ratri yang menyadari keadaan itu 
tidak berani mengadu tenaga dalam lagi. 
Untuk itu, segera jurus 'Ular Naga Membe-
lah Bumi' dimainkan. Maka dalam sekejap 
saja tubuhnya telah bergerak lincah me-
nyerang Algojo Dari Timur. 
Mendapat serangan dahsyat ini Algo-
jo Dari Timur kewalahan bukan main. Gera-
kan-gerakan kaki dan tangan gadis itu su-
lit sekali diimbangi. Dan hampir sepuluh 
jurus lebih, lelaki tinggi kekar itu be-
lum dapat membalas serangan. Padahal dia 
telah mengeluarkan jurus andalannya. Maka 
secepat kilat tubuhnya melenting ke bela-
kang, membuat jarak. 
"Gggeeerrr...!" 
Algojo Dari Timur menggeram marah. 
Kedua tangannya segera disilangkan di de-
pan dada. Kedua kakinya direntangkan le-
bar-lebar. Sedang kedua telapak tangannya 
sampai ke pangkal lengan telah berubah 
menjadi merah kekuning-kuningan penuh ha-
wa racun. 
"Pukulan 'Pemecah Bumi'...!" desis 
Ratri ngeri. 
Dulu sebelum gadis itu menjelma 
menjadi siluman ular putih, kehebatan pu-
kulan itu pernah dirasakannya. Dan seka-
rang dia tidak ingin mengulangi kekala-
hannya beberapa tahun lalu. Namun untuk 
mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Ratri ti-
dak berani. Dia takut tubuhnya kembali 
menjelma menjadi siluman ular putih! 
Sring! 
"Heaaa...!" 
Terpaksa Ratri mencabut pedang dari 
balik punggungnya, dan langsung menyerang 
terlebih dahulu. Sementara Algojo Dari 
Timur tenang-tenang saja menghadapinya. 
Kedua telapak tangannya yang telah meme-
rah pun segera dihentakkan ke depan mema-
pak serangan Ratri. 
"Hup!" 
Ratri meloncat tinggi ke  udara. 
Sambil menghindari pukulan berhawa panas 
itu, ujung pedangnya siap mengancam ubun-
ubun Algojo Dari Timur.  
"Ah...!". 
Algojo Dari Timur melempar tubuhnya 
ke samping kanan. Sambil bergulingan kem-
bali pukulan mautnya dilontarkan. 
Wesss! 
Seleret sinar merah kekuning-
kuningan itu kembali mengancam. Ratri ka-
get bukan main. Sungguh tidak disangka 
dirinya akan diserang dalam jarak yang 
demikian dekat. Maka tanpa ampun lagi.... 
Buk! 
"Augh!" 
Tubuh ramping yang melayang-layang 
itu pun terkena pukulan berhawa panas mi-
lik Algojo Dari Timur. Ratri memekik ke-
cil. Tubuhnya langsung terlempar beberapa 
tombak ke belakang. Dadanya yang terkena 
pukulan terasa nyeri bukan main, pertanda 
mengalami luka dalam yang parah. 
"Huaagh!" 
Begitu jatuh ke tanah Ratri memun-
tahkan darah segar. Wajahnya pucat pasi. 
Bibirnya bergetar-getar. Gadis ini beru-
saha bangun, namun tak mampu. Tubuhnya 
yang lemah itu pun terkulai ke tanah. 
Melihat hal ini, Algojo Dari Timur 
tertawa-tawa kegirangan seraya bangkit 
berdiri. Didekatinya tubuh gadis itu, dan 
berjongkok di sisinya. 
"Hm.... Sayang sekali kau harus ma-
ti dalam usia muda, Cah Ayu. Tapi..., ti-
dak! Tidak! Aku akan menikmati tubuhmu, 
baru aku membunuhmu," kata Algojo Dari 
Timur kegirangan. 
Ratri pucat pasi mendengar ucapan 
lelaki tinggi besar itu. Bukannya takut 
mati, melainkan ngeri membayangkan tubuh-
nya akan dinikmati iblis berkepala botak 
itu. Dan dengan gerakan cepat tahu-
tahu.... 
Tuk! Tuk! 
Algojo Dari Timur menotok tubuh Ra-
tri! Gadis ini mengeluh kecil tanpa bisa 
menggerakkan tubuhnya lagi. Ingin rasanya 
bunuh diri saat itu juga, tapi apa 
dayanya sekarang? 
Tangan Algojo Dari Timur yang kekar 
tahu-tahu menyambar pakaian di tubuh Ra-
tri.  
Bret! Bret! 
Ratri memekik tertahan. Matanya 
liar memandangi Algojo Dari Timur. 
"Jahanam busuk! Apa yang ingin kau 
lakukan?!" teriak Ratri serak. 
"He he he...! Apa yang ingin kula-
kukan?!" 
Algojo Dari Timur mengerjap-
ngerjapkan matanya nakal. Tubuh mulus di 
depan matanya demikian menggiurkan. Naf-
sunya kontan bergolak. Dia menelan ludah-
nya beberapa kali. 
"Kau lihat saja, Cah Ayu. Pasti 
mengasyikkan...," lanjut Algojo Dari Ti-
mur dengan suara tersendat di tenggoro-
kan. 
Ratri memejamkan matanya. Setetes 
air matanya jatuh membasahi pipi. Dia ti-
dak tahu musibah apa yang akan dihada-
pinya. Yang jelas, lebih kejam dan kema-
tian. 
*** 
"Iblis Gundul Dari Timur! Hentikan 
perbuatanmu!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang menggema memenuhi lereng Gunung 
Kembang. 
Algojo Dari Timur memalingkan kepa-
lanya ke belakang. Di hadapannya saat ini 
berdiri seorang pemuda tampan berpakaian 
biru-biru. Wajahnya berbentuk lonjong. 
Matanya tajam seperti burung rajawali. 
Hidungnya mancung dengan bibir tipis. 
Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di 
bahunya. 
 Ratri kaget bukan main, namun se-
kaligus senang. Pemuda tampan di hadapan-
nya adalah orang yang sedang dicari-
carinya selama ini. 
"Mahesa...!" panggil Ratri tanpa 
sadar. 
Mahesa menoleh ke arah Ratri dengan 
pandangan heran bercampur gembira. Kecan-
tikan gadis itu memang membuat darahnya 
berdesir. Namun sayangnya, dia tidak men-
genali siapa gadis ini. Pemuda itu hanya 
tersenyum manis ke arah Ratri, lalu kem-
bali perhatiannya ditujukan ke arah Algo-
jo Dari Timur. 
"Keparat! Lagi-lagi kau yang meng-
halangiku," geram Algojo Dari Timur penuh 
kemarahan. Parangnya yang dari tadi dis-
embunyikan di balik punggung segera dike-
luarkan. Cukup besar dan panjang. 
Mahesa hanya tersenyum. Sekali dia 
pernah berhadapan dengan Algojo Dari Ti-
mur dalam sebuah pertarungan sengit. Di 
akhir pertarungan, Algojo Dan Timur harus 
mengakui keunggulan Mahesa, dan terpaksa 
melarikan diri. Dan kalau sekarang harus 
bertarung kembali, pemuda itu sama sekali 
tidak gentar. 
"Ya..., ya! Aku memang paling se-
nang mencampuri urusan orang lain. Teru-
tama sekali, orang-orang macam kau!" sa-
hut Mahesa kalem. 
"Bedebah! Kalau dulu aku melarikan 
diri bukan berarti kalah, Pendekar Kujang 
Emas! Aku waktu itu belum beruntung saja. 
Dan sekarang, kesaktianku telah bertam-
bah. Maka, hati-hatilah...." 
"Ayo, majulah! Jangan pintar ber-
koar saja!" balas Mahesa memanas-manasi. 
Algojo Dari Timur menggeram penuh 
kemarahan. Rahangnya yang keras bertonjo-
lan. Matanya liar memandangi Mahesa yang 
dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas.      
"Demi iblis! Akan kucincang tubuh-
mu, Pendekar Kujang Emas. Hiyaaat...!"         
Algojo Dari Timur meloncat tinggi 
ke udara. Gerakannya  mantap dan lincah 
sekali seperti seekor burung garuda. Pa-
rang di tangan kanannya diayunkan sedemi-
kian rupa, menyerang tubuh Mahesa. 
Pendekar Kujang Emas cepat mencabut 
kujangnya. Tangannya cepat mengebut, me-
nangkis babatan parang Algojo Dari Timur. 
Trang! 
Terjadi benturan keras. Mahesa 
hanya terjajar beberapa langkah. Sedang-
kan Algojo Dari Timur terpental deras. 
Untung dia cepat mematahkan luncuran tu-
buhnya dengan bersalto. Namun begitu men-
darat, tubuhnya sempat terhuyung-huyung. 
Tanpa membuang-buang waktu  lagi, 
Mahesa langsung menyerang Algojo Dari Ti-
mur dengan jurus-jurus saktinya. Mau tak 
mau, lelaki tinggi besar itu segera me-
layani. Maka dalam sekejap, tubuh mereka 
telah berubah menjadi bayangan biru dan 
kuning kemerah-merahan. 
"Hiyaaat...!"  
Pendekar Kujang Emas semakin mem-
pertajam serangan-serangannya. Akibatnya 
dalam beberapa jurus kemudian, Algojo Da-
ri Timur tidak dapat membalas. Dia hanya 
dapat bertahan. Pada satu kesempatan yang 
baik, Mahesa dapat memasukkan ujung mata 
kujangnya tepat mengenai dada Algojo Dari 
Timur. 
Crap! 
"Augkh...!" 
Algojo Dari Timur memekik kesaki-
tan. Begitu ujung kujang itu dicabut, da-
rah pun mulai menyembur keluar dari lu-
kanya. 
Algojo Dari Timur menggeram penuh 
kemarahan. Luka di dadanya memang tidak 
begitu membahayakannya. Secepat kilat, 
lelaki ini memutar parangnya membalas se-
rangan-serangan Mahesa. Namun, yang diha-
dapi bukan pendekar kemarin sore. Dengan 
meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Kujang 
Emas membuat serangan-serangan Algojo Da-
ri Timur hanya menemui jalan buntu. Apa-
lagi ketika pemuda itu mulai memainkan 
jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi'. 
Algojo Dari Timur benar-benar tak 
berkutik. Tubuhnya yang tinggi besar en-
tah sudah berapa kali harus berjumpalitan 
di udara. 
"Setan alas!" maki Algojo Dari Ti-
mur menggeretakkan gerahamnya. Matanya 
liar memandangi Mahesa 
Pendekar Kujang Emas tersenyum men-
gejek melihat kedua telapak tangan Algojo 
Dari Timur telah berubah menjadi merah 
kekuning-kuningan. 
"Ayo! Keluarkan semua kepandaianmu, 
Algojo. Aku siap meladenimu," ejek pemuda 
murid Pendekar Pedang Kilat Buana ini. 
"Pemuda sombong! Kau akan tahu aki-
batnya." 
Sehabis berkata demikian, Algojo 
Dari Timur pun kembali menyerang. Tidak 
lagi menggunakan parangnya, melainkan 
dengan kedua telapak tangan yang telah 
berubah menjadi merah kekuning-kuningan. 
"Hm...! Cuma pukulan 'Pemecah Mang-
kuk', eh salah! 'Pemecah Bumi'," ledek 
Mahesa, semakin membuat telinga lelaki 
tinggi besar itu memerah 
"Keparat!" 
Hanya itu yang keluar dari mulut 
Algojo Dari Timur saking tidak kuat mena-
han amarah. Dan kedua telapak tangannya 
yang berwarna merah itu langsung menyam-
bar ke tubuh Pendekar Kujang Emas. 
Mahesa menarik tubuhnya ke samping. 
Tangannya yang terangkum pukulan 'Cahaya 
Kilat Biru' mengibas, memapak. 
Derrr! 
Akibat yang ditimbulkan sungguh he-
bat bukan main. Terdengar ledakan keras. 
Udara di sekitar tempat itu jadi panas. 
Pohon-pohon pun menjadi layu!  
Sementara itu tubuh Algojo Dari Ti-
mur terlempar beberapa tombak ke bela-
kang. Dari mulutnya mengeluarkan darah 
segar, pertanda tokoh sesat dari timur 
itu mengalami luka dalam cukup parah. Dia 
berusaha bangkit, namun terasa ada beban 
berat yang mengganduli. 
Sedangkan Mahesa yang sempat ter-
guncang akibat benturan tenaga dalam ta-
di, tertawa sumbang. Wajahnya pucat, na-
mun berusaha tetap kokoh pada kuda-
kudanya. 
"Ilmu apa lagi yang akan kau kelua-
rkan, Algojo Dari Timur?!" tantang Pende-
kar Kujang Emas meledek. 
Algojo Dari Timur meringis kesaki-
tan dengan napas turun naik bagai anjing 
kehausan. Kembali dia merangkak bangun 
dengan susah payah. 
"Jahanam! Kali ini aku mengaku ka-
lah, Bocah. Tapi, ingat! Aku belum pernah 
melepaskan musuhku begitu saja. Tunggu 
saja balasan ku, Bocah!!" 
"Nyawa sudah menyangkut di tenggo-
rokan, masih juga besar kepala!" leceh 
Mahesa. 
Algojo Dari Timur mendelik. Wajah-
nya kelam membesi saking tidak kuatnya 
menahan amarah. Lalu kakinya cepat meng-
geser, siap meninggalkan tempat itu, 
Tiba-tiba saja Pendekar Kujang Emas 
teringat gadis cantik yang terkapar di 
bawah pohon nangka itu. Sekali pandang 
saja pemuda ini tahu kalau gadis itu men-
derita luka parah, akibat pukulan beracun 
Algojo Dan Timur. Teringat itu, langsung 
tubuhnya mengejar Algojo Dari Timur. 
"Tunggu dulu! Iblis Gundul" ujar 
Pendekar Kujang Emas, menghadang. "Kau 
tidak boleh seenak perutmu meninggalkan 
tempat ini!"  
"Apa lagi?" bentak Algojo Dari Ti-
mur penuh kemarahan. 
"Kau harus memberikan obat penawar 
racun mu  pada gadis itu," sahut Mahesa, 
enteng. 
"Kepandaian ilmu silatmu tinggi. 
Mengapa tidak kau sendiri saja yang men-
gobatinya?!" tukas Algojo Dari Timur. 
"Aku bukan ahli obat, tahu?! Ayo, 
berikan obat itu padaku!" 
"Kalau aku tidak mau?!" 
"Kau akan tahu akibatnya. Apa kau 
pikir pukulanku tadi tidak mengandung ra-
cun, he?! Kau akan mampus dalam tiga hari 
ini, tahu?" ancam Mahesa berbohong. 
"Hah?!" 
Algojo Dari Timur melengak kaget. 
Matanya mendelik dengan wajah memucat. 
"Coba saja tarik napasmu dalam-
dalam, kalau tidak percaya. Ada rasa nye-
ri, kan? Ada rasa sesak dalam dadamu...?" 
ujar Pendekar Kujang Emas, menakut-
nakuti. 
Algojo Dari Timur penasaran. Lang-
sung napasnya dihela dalam-dalam. Dan, 
memang benar apa yang dikatakan Mahesa 
barusan. Ada rasa nyeri pada dadanya. Dan 
napasnya pun terasa sesak. Menyadari hal 
ini wajah Algojo Dari timur semakin pucat 
pasi. 
Mahesa tersenyum dingin. Dalam ha-
ti, dia menertawakan kebodohan laki-laki 
tinggi besar ini. Sudah pasti dada Algojo 
Dari Timur merasa nyeri dengan napasnya 
sesak, karena menderita luka dalam cukup 
parah. 
"Benarkan, apa yang kukatakan tadi? 
Nah, sekarang cepat berikan obat penawar 
racun mu. Nanti, kuberitahukan cara meng-
hilangkan racun dari pukulanku  tadi," 
ujar Mahesa senang. 
Algojo Dari Timur bersungut-sungut, 
namun merogoh juga kantong obat penawar 
racunnya dari balik jubah. Diambilnya dua 
butir obat pulung kecil berwarna hitam 
dari kantongnya. Lalu dilemparkannya ke 
arah Mahesa. 
Pendekar Kujang Emas cepat menang-
kapnya. 
"Nah! Sekarang, cepat katakan apa 
obat penawar racun mu, Bocah?" tanya Al-
gojo Dari Timur tak sabar. 
"Gampang. Gampang sekali obat pena-
war racun ku. Mandilah selama tujuh hari 
tujuh malam di Sungai Serayu, biar bau 
badanmu hilang. Itu saja. Gampang kan?" 
"Bedebah! Kau membohongiku, Bo-
cah?!" bentak Algojo Dari Timur penuh ke-
marahan. 
Mahesa tertawa terbahak-bahak. Se-
nang sekali dia berhasil mempermainkan 
Algojo Dari Timur. Sementara lelaki ting-
gi besar ini hanya bisa memaki-maki, se-
belum  akhirnya lari meninggalkan tempat 
itu. 
*** 
Pendekar Kujang Emas masih tertawa-
tawa di tempatnya. Matanya berair saking 
senangnya mempermainkan tokoh sesat ber-
kepala botak itu. Namun ketika mendengar 
erangan halus dari belakang, Mahesa baru 
tersadar. Cepat dihampirinya Ratri. 
Sejenak Mahesa terpaku melihat se-
bagian tubuh mulus di hadapannya. Dia se-
perti bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat. 
"To..., tolong aku, Mahesa?" rintih 
Ratri. 
Mahesa tersentak. Tanpa diminta 
pun, dia senang sekali melakukannya. Na-
mun melihat sebagian tubuh yang menggiur-
kan di depannya, pendekar Kujang Emas pun 
jadi jengah sekali. Sambil menutup kedua 
bola matanya, pemuda ini mendekati Ratri. 
Segera ditotoknya tubuh gadis itu bebera-
pa kali, untuk membebaskan pengaruh toto-
kan Algojo Dari Timur. 
Ratri terbebas dari pengaruh toto-
kan. Seketika secepatnya dia mengenakan 
pakaian kembali. 
Mahesa mengalihkan perhatian ke 
tempat lain. Dan ketika diyakini gadis 
itu selesai berpakaian, baru kepalanya 
berani menoleh. 
"Minumlah obat penawar racun ini!" 
ujar Mahesa mengulurkan obat pulung pem-
berian Algojo Dari Timur tadi. 
Ratri menerimanya dengan malu-malu. 
Lalu diminumnya obat itu. Perlahan-lahan 
bagian tubuhnya yang terkena pukulan 
'Pemecah Bumi' dari Algojo Dari Timur mu-
lai pulih. 
Melihat kesehatan Ratri yang be-
rangsung-angsur pulih, Mahesa tersenyum 
cerah. Tadi hatinya sudah cemas kalau-
kalau Algojo Dari Timur membohongi di-
rinya. 
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" 
tanya Pendekar Kujang Emas penuh perha-
tian. 
Ratri meremas-remas jarinya malu-
malu.  "Sudah mendingan, Mahesa," sahut 
gadis ini.  
"Aku bingung, kau sudah tahu nama-
ku. Siapa kau sebenarnya?" tanya Mahesa. 
Ratri diam membisu. Kepalanya sema-
kin ditundukkan dalam-dalam. 
"Aku.... Aku mendengar nama besarmu 
di dunia persilatan dari orang-orang yang 
aku temui di sepanjang perjalanan...," 
sahut Ratri terpaksa berbohong untuk me-
nutupi rasa malunya. 
Mahesa mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. 
"Ya, ya, ya...! Benar juga...," gu-
mam Pendekar Kujang Emas. "Lantas siapa 
namamu?" 
"Ratri...." 
Mahesa tersenyum. 
"Manis sekali namamu. Aku senang 
berkawan denganmu," puji Mahesa. 
Betapa senangnya hati Ratri saat 
ini. Pancaran mata pemuda di depannya te-
rasa sekali menembus hatinya. Dan suasana 
jadi hening ketika tak ada yang bersuara. 
"Tujuanmu mau ke mana, Ratri?" 
tanya Mahesa, memecah keheningan. 
"Tidak tahu. Aku hanya menuruti 
langkah kakiku," sahut Ratri. 
"Hm...," Mahesa menautkan  kedua 
alisnya. "Bagaimana kalau kau kuajak me-
nemani menemui seseorang?" 
Ratri memandang seraut wajah tampan 
di hadapannya sebentar. Lalu,  kepalanya 
mengangguk malu-malu. 
Mahesa tersenyum cerah. Hatinya 
berbunga-bunga saat pandangan mata Ratri 
demikian lembut menembus relung hatinya. 
"Sebaiknya sekarang saja berang-
kat!" ujar Mahesa segera beranjak dari 
tempat duduknya.    
Ratri tidak menyahut. Namun dia ju-
ga beranjak dari tempat duduknya. Tak la-
ma gadis ini telah berjalan di samping 
Mahesa menuruni lereng Gunung Kembang.  
*** 
Matahari baru saja bersinar di ufuk 
sebelah timur. Sinarnya yang lembut men-
gusap mayapada. Di lereng sebelah barat 
Gunung Batu, tampak dua orang anak muda 
berkelebat menaiki gunung yang penuh be-
batuan. Suara canda mereka terdengar me-
mecah kesunyian hutan di lereng gunung 
ini. Yang satu adalah seorang gadis can-
tik berpakaian serba kuning. Sedang di 
sebelahnya seorang pemuda tampan berambut 
gondrong dengan pakaian biru-biru. Mereka 
tidak lain Mahesa dan Ratri. 
Selama tiga hari melakukan perjala-
nan ke Gunung Batu, hubungan kedua orang 
itu semakin akrab. Mereka tidak lagi ber-
sikap sungkan, seperti sewaktu pertama 
kali berkenalan. Malah Ratri yang semula 
nampak malu-malu, kini mulai bersikap 
manja pada pemuda berjuluk Pendekar Ku-
jang Emas. 
Tentu saja Mahesa senang sekali ra-
sa berjalan bersama gadis yang mulai dis-
ukainya. Demikian pula Ratri. Apalagi, 
dia turun gunung justru hanya untuk men-
cari pemuda bernama Mahesa. Namun sampai 
saat ini gadis itu belum menceritakan 
maksud tujuannya. Tentu saja karena malu! 
"Kakang! Sebenarnya kita mau ke ma-
na, sih?" tanya gadis itu merajuk manja. 
"Kan aku sudah bilang, ke Gunung 
Batu," sahut Mahesa pura-pura marah. 
"Iya. Tapi, apa maksud kita ke sa-
na?" tanya Ratri semakin menggemaskan. 
"Aku hanya ingin memberi tahu pada 
guruku kalau sudah menyelesaikan tugasku 
membantu Paman Gagak Seto," jawab Pende-
kar Kujang Emas. 
"Cuma itu?" tanya Ratri lagi. 
"Iya. Eh..., eh, tidak! Maksud-
ku..., maksudku aku ingin memohon doa 
restu guru untuk...." 
Mahesa tidak meneruskan bicaranya. 
Malah dibalasnya pandangan Ratri. 
"Untuk apa Kang? Kok, tak dite-
ruskan?" tuntut Ratri.  
"Hm.... Untuk..., untuk.... Tapi 
kau jangan marah, ya?" pinta Mahesa. 
"Apa dulu dong?" desak Ratri dengan 
suara menggemaskan. 
"Aku..., aku ingin meminta pada 
Eyang Guruku untuk..., untuk me..., mela-
marmu, Ratri." 
Susah sekali Mahesa mengucapkannya. 
Dan hatinya merasa lega sekali ketika ka-
ta-kata itu berhasil meluncur keluar. 
Sedang Ratri langsung diam terce-
kat. Matanya yang indah membelalak lebar, 
seolah tidak percaya dengan apa yang di-
katakan Mahesa barusan. 
"Kau..., kau keberatan menjadi is-
triku, Ratri?" tanya Mahesa berharap-
harap cemas. 
"Kau..., Kau nakal sekali, Kakang!" 
Ratri tidak mampu menjawab, kecuali 
berlari meninggalkan Mahesa. Hatinya se-
benarnya bahagia mendengar apa yang dika-
takan pemuda itu barusan. Namun dari 
panggilannya terhadap Mahesa yang berubah 
menjadi 'kakang', bisa ditebak kalau ha-
tinya berbunga-bunga. 
"Ratri, tunggu! Kau belum menjawab 
pertanyaanku. Apa kau mau menjadi istri-
ku, Ratri?" teriak Mahesa lantang. 
Gadis itu tidak menghiraukan teria-
kan Mahesa. Ratri malah terus lari. 
Melihat tingkah laku Ratri, Mahesa 
jadi gemas sekali. Segera disusulnya ga-
dis itu. Dan dalam sekejap saja Mahesa 
telah berada di samping Ratri. 
Ratri memberengut manja ketika len-
gannya diraih Mahesa. Terpaksa langkahnya 
dihentikan. 
"Bagaimana, Ratri? Apa kau mau men-
jadi istriku?" tanya Pendekar Kujang Emas 
tak sabar. 
"Ah, Kakang ini! Mana aku tahu! Ta-
nyakan saja pada ayahku!" sahut Ratri. 
Suaranya terdengar manja dan mengge-
maskan. 
"Siapa ayahmu, Ratri. Aku pasti 
akan meminta Eyang Guru untuk melamar pa-
da ayahmu, Ratri." 
"Sabarlah! Tanyakan dulu hal ini 
pada Eyang Gurumu," ujar Ratri seraya 
bergelayut manja pada lengan Mahesa. 
Melihat sikap manja Ratri, Mahesa 
kian kasmaran. Wajah cantik Ratri itu de-
mikian dekatnya dengan wajahnya. Hasrat-
nya tidak tahan lagi untuk mencium Ratri. 
Namun ketika perlahan-lahan  wajah pemuda 
itu mendekat ke bibir, Ratri memberontak. 
Begitu terlepas dari pelukan Mahesa, Ra-
tri berlari meninggalkannya. 
*** 
Puncak Gunung Batu yang tidak ter-
lalu tinggi dipenuhi hamparan batu sebe-
sar kerbau. Pada lereng sebelah barat, 
terdapat sebuah gua besar. Di situlah Ki 
Ageng Banaran yang di dunia persilatan 
lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Ki-
lat Buana tinggal. 
Mulut gua batu itu tidak terlalu 
besar. Cukup dilalui satu orang saja. Ke-
tika Mahesa dan Ratri masuk ke dalam, 
ternyata perut gua cukup lebar dan terda-
pat ruangan-ruangan di beberapa tempat. 
Dan Pendekar Kujang Emas mengajak gadis 
itu masuk ke salah satu ruangan.  
Begitu mereka masuk, tampak seorang 
lelaki tua renta sedang khusuk bersemadi 
di atas batu bundar menghadap ke barat. 
Usianya  itu sulit sekali ditafsirkan. 
Yang jelas di atas sembilan puluh tahun 
atau mungkin malah hampir menginjak sera-
tus tahun! Pakaiannya putih bersih. Ram-
butnya yang panjang memutih dibiarkan 
tergerai menutupi punggung. 
Mahesa cepat mengajak Ratri duduk 
bersimpuh di samping lelaki yang tak lain 
Ki Ageng Banaran. 
"Eyang...," panggil Mahesa lirih. 
Lelaki tua renta itu memalingkan 
kepala. Tubuhnya yang kurus kering tampak 
ringkih sekali seperti orang sakit. Namun 
anehnya, sepasang matanya yang tua menco-
rong tajam. Jelas, tenaga dalam orang tua 
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali. 
"Bagaimana kabar pamanmu, Cucuku?" 
tanya Ki Ageng Banaran dengan suara be-
rat. 
"Baik, Eyang." 
"Apa kau sudah membantu meringankan 
masalah pamanmu?" tanya Ki Ageng Banaran 
lagi. 
Mata tajam lelaki tua renta itu te-
rus memperhatikan gadis cantik di samping 
cucunya. Namun Mahesa dan Ratri yang me-
nundukkan kepala tidak mengetahuinya..., 
betapa Ki Ageng Banaran terus memperhati-
kan gadis cantik di hadapannya dengan 
seksama. Dan dahinya pun  berkernyit da-
lam-dalam. Dari kekuatan batinnya dapat 
dirasakan kalau gadis cantik di hadapan-
nya bukanlah manusia sewajarnya! 
"Sudah, Eyang. Malah Paman Gagak 
Seto menitip salam untuk Eyang." 
"Hm...," gumam Ki Ageng Banaran 
sambil mengelus-elus jenggotnya yang pan-
jang memutih. Kepalanya mengangguk-
angguk, entah apa yang dipikirkannya. 
"Siapa gadis itu, Cucuku?" 
"Dia..., teman baikku, Eyang. Na-
manya Ratri." 
Mahesa menghentikan bicaranya se-
bentar. Dia sedang menimbang-nimbang 
keinginan hatinya agar Eyang Gurunya mau 
melamar Ratri pada orang tuanya. 
"Maksudku, aku minta agar Eyang su-
di melamar Ratri untukku, Eyang," lanjut 
Mahesa, nekat. 
"Hm...," Ki Ageng Banaran masih 
mengelus-elus jenggotnya. Matanya yang 
tajam terus memperhatikan Ratri seksama. 
"Sudikah Eyang melamarkan Ratri un-
tukku?" tanya Mahesa tak sabar. 
"Sebentar. Siapa nama ayahmu, Ra-
tri?" tanya Ki Ageng Banaran pada Ratri. 
"Begawan Kamasetyo, Kek," jawab Ra-
tri. 
Ki Ageng Banaran dan Mahesa tersen-
tak kaget. Terutama sekali Mahesa. Sung-
guh tidak disangka kalau Ratri adalah pu-
tri Begawan Kamasetyo. 
Sementara itu Ki Ageng Banaran men-
gangguk-anggukkan kepala penuh kagum, ti-
dak lagi mencurigai Ratri seperti tadi. 
Mungkin dikarenakan dia tahu kalau Bega-
wan Kamasetyo mempunyai satu ilmu simpa-
nan yang diberi nama 'Titisan Siluman 
Ular Putih'. Dan dalam pikirannya dia 
mengira kalau Ratri sudah dapat menguasai 
ilmu pamungkas sahabatnya. 
"Kau.... Kau putri Begawan Kama-
setyo, Ratri?" tanya Mahesa tak percaya. 
Ratri mengangguk pelan. 
"Tapi..., tapi mengapa waktu itu 
kau tidak mau menemuiku?" tanya Mahesa 
masih belum mengerti. 
Ratri tersenyum pahit, Sulit sekali 
menjawab pertanyaan Mahesa. Dan teringat 
keadaannya saat itu, tak urung Ratri jadi 
sedih. 
"Jadi, kau ini putri tunggal Adi 
Begawan Kama setyo?" tanya Ki Ageng Bana-
ran 
"Benar, Kek," jawab Ratri singkat. 
Kembali dia teringat keadaan di-
rinya. Dan itu membuat air matanya sema-
kin tidak dapat dibendung. 
Mahesa membeliakkan matanya heran. 
Namun sebelum pertanyaannya diteruskan, 
Ki Ageng Banaran sudah menyerobot. 
"Terus terang aku senang sekali 
bertemu denganmu, Ratri. Dan mengenai 
permintaan Mahesa, nanti akan kubicarakan 
pada Adi Begawan Kamasetyo. Aku kira Adi 
Begawan Kamasetyo tidak akan mengecewakan 
harapan kalian." 
"Terima kasih, Eyang," ucap Mahesa, 
sambil merangkapkan kedua telapak tangan 
di depan hidung. 
"Ya..., ya! Nanti pada malam purna-
ma bulan ini Eyang akan datang berkunjung 
ke lereng Pegunungan Dieng. Tidak lama 
lagi. Jadi, sebaiknya kalian berangkat 
dulu saja ke sana. Nanti Eyang menyusul 
belakangan. Jangan lupa,  sampaikan salam 
Eyang pada Adi Begawan Kamasetyo, Mahe-
sa." 
"Baik, Eyang." 
"Nah. Sekarang kalian berangkat-
lah!" ujar Ki Ageng Banaran. 
Mahesa memberi hormat sebentar, ke-
mudian segera mengajak Ratri keluar dari 
dalam gua. Sementara gadis itu masih me-
nangis  sesenggukan. Dalam hati, pemuda 
ini merasa heran sekali mengapa kekasih-
nya menangis demikian menyedihkan. Ha-
tinya yang masih penasaran jadi tidak te-
ga untuk mengusik kesedihannya. 
Malam purnama bulan ini telah tiba. 
Ki Ageng Banaran duduk di serambi mulut 
gua bersama Begawan Kamasetyo. Mereka ba-
ru saja merestui pernikahan Ratri dan Ma-
hesa. 
Sedang kedua anak muda itu kini be-
rada di sebuah kamar dalam gua. Mereka 
yang sedang dimabuk cinta tengah asyik 
menikmati indahnya malam pertama. Dan se-
jak malam itu, Ratri dan Mahesa hidup ba-
hagia. Mereka hidup penuh cinta kasih da-
lam bahtera asmara. 
Hari demi hari, bulan demi bulan 
terlewat sudah. Ratri yang mulai mengan-
dung benih cinta kasihnya dengan Mahesa 
mulai dicekam perasaan takut. Takut kehi-
langan Mahesa, juga takut dirinya kembali 
menjelma menjadi siluman ular! 
Kegelisahan Ratri di kamarnya sema-
kin menjadi-jadi. Betapa tidak? Waktu 
yang telah ditentukan Yang Maha Kuasa te-
lah usai! Dan ini sebentar lagi, berarti 
dia akan kembali menjelma menjadi siluman 
ular! Padahal bayi dalam kandungannya be-
berapa hari lagi akan lahir. Hal ini mem-
buatnya terus memohon pada Yang Maha Kua-
sa agar menunda waktu yang telah ditentu-
kan. 
Ratri sudah membicarakan kesulitan-
nya pada ayahnya. Disepakati, begitu Ra-
tri kembali menjelma menjadi siluman 
ular, mereka harus kembali mengasingkan 
diri dari dunia persilatan. Begawan Kama-
setyo tidak mampu menjawab permintaan 
anaknya. Hanya kepalanya mengangguk se-
dih. 
Tepat pada tengah malam, tiba-tiba 
saja Ratri merasakan sekujur tubuhnya 
dingin sekali. Dan ini membuatnya gelisah 
sekali! Dia terus memohon pada Yang Maha 
Kuasa agar mau menangguhkan waktu yang 
telah ditentukan. Namun apa yang menjadi 
keinginannya tinggal berupa harapan ham-
pa. Setelah demam dalam tubuhnya menghi-
lang, asap  putih kekuning-kuningan mulai 
menyelimuti dirinya. Dan hidungnya seke-
tika mencium bau harum bunga melati meme-
nuhi kamarnya! 
Ratri menangis menjadi-jadi. Dis-
adari kalau itu adalah tanda-tanda kalau 
dirinya akan kembali menjelma sebagai si-
luman ular. 
Begawan Kamasetyo yang mendengar 
tangis anaknya cepat masuk ke dalam kamar 
Ratri. Dan betapa terkejutnya dia melihat 
sekujur tubuh putrinya mulai diselimuti 
asap putih kekuning-kuningan. Untungnya, 
malam itu Mahesa sedang tidak ada di ru-
mah, karena tengah pergi menemui gurunya 
di puncak Gunung Batu 
Lelaki tua ini tidak tahu, apakah 
ketidakberadaan Mahesa memang sudah di-
atur Yang Maha Kuasa atau tidak. Yang je-
las, perlahan-lahan tubuh Ratri mulai be-
rubah wujud sebagai siluman ular. Pertama 
dari kedua kakinya kemudian merambah ke 
betis, perut, lalu dada. 
Ratri makin menjerit-jerit. Dan je-
rit tangisnya langsung terhenti begitu 
kepalanya mulai berubah menjadi kepala 
siluman ular putih. Siluman Naga Puspa! 
Begawan Kamasetyo tak mampu lagi 
berkata-kata. Matanya menatap nanar ke 
tubuh putrinya yang telah menjelma kemba-
li menjadi siluman ular putih. Bibirnya 
bergetar-getar hebat menahan guncangan 
batinnya. Suara tangisan Ratri sudah ti-
dak terdengar lagi. Hanya desisan-desisan 
Siluman Naga Puspa saja yang terdengar, 
menyayat perasaan lelaki tua itu. 
Tidak ada pilihan lain lagi. Seper-
ti yang telah diminta Ratri, mereka ber-
dua harus kembali mengasingkan diri dari 
dunia ramai. Tak sanggup bagi Ratri meli-
hat Mahesa merana dalam hidupnya. Dia be-
nar-benar malu untuk bertemu suaminya. 
Maka pada malam itu juga, Begawan Kama-
setyo mengajak Ratri meninggalkan Gua Bu-
rangrang! 
* * * 
Tiga hari kemudian Mahesa pulang 
kembali ke Gua Burangrang. Dan dia tidak 
menemukan siapa-siapa lagi di sana. Mahe-
sa terus mencarinya ke segenap penjuru 
gua, sambil terus memanggil-manggil nama 
istrinya. Namun tetap saja istrinya tak 
ditemukan! 
"Ratri!" teriak Mahesa menggetarkan 
dinding gua. 
Pendekar Kujang Emas berlari ke mu-
lut gua, meneliti apakah selama ditinggal 
pergi ada seseorang yang datang menyerang 
tempat persembunyian Begawan Kamasetyo. 
Namun ternyata tidak ditemukan tanda-
tanda bekas pertarungan. Dan ini semakin 
membuat hatinya bingung. Seluruh dalam 
gua itu telah dicari, sekarang ke mana 
lagi harus mencari istrinya dan Begawan 
Kamasetyo? 
Tanpa rasa putus asa, Pendekar Ku-
jang Emas terus mencari ke segenap penju-
ru lereng Pegunungan Dieng, tanpa mempe-
dulikan dirinya lagi. 
Hingga pada suatu hari, Mahesa me-
nemukan mayat seorang wanita muda yang 
masih memeluk bayinya! 
Keadaan wanita itu mengenaskan se-
kali. Pakaiannya compang-camping tidak 
karuan. Darah segar bersimbah di tanah 
sekitarnya. Wajahnya yang cantik pucat 
pasi. Rambutnya awut-awutan. Mungkin wa-
nita itu habis diperkosa segerombolan pe-
rampok yang malang melintang di sekitar 
hutan Gunung Bucu ini. Kalau tidak, mana 
mungkin bagian pangkal pahanya mengelua-
rkan darah.  
Sedang bayi dalam pelukan wanita 
itu kira-kira berusia enam bulan. Wajah-
nya tampan. Kulitnya putih bersih seperti 
kulit ibunya. Dan bayi malang itu terus 
meronta-ronta di pelukan ibunya.  Tangis-
nya yang menyedihkan sungguh menyentuh 
perasaan Mahesa. 
Seketika itu juga, Pendekar Kujang 
Emas pun teringat akan penderitaan is-
trinya. Dan mungkin akan seperti itulah 
nasib istri dan bayinya. Tidak! Dia tidak 
sanggup membayangkan penderitaan is-
trinya! 
Untuk beberapa saat, Mahesa hanya 
memandangi bayi malang itu dengan hati 
tak menentu. Dengan sekali lihat saja bi-
sa diketahui, kalau susunan tulang bayi 
itu sangat bagus dan kuat. Darahnya pun 
bersih, pertanda mempunyai bakat cukup 
lumayan. Dan entah mengapa, hati Mahesa 
jadi senang sekali. Perlahan-lahan mulai 
didekati mayat wanita itu. Lalu dipon-
dongnya bayi malang itu dengan tangan ki-
ri. Sedang tangan kanannya meraba denyut 
nadi di pergelangan tangan wanita itu. 
Tak ada gerakan sama sekali! 
Pendekar  Kujang Emas meletakkan 
bayi itu ke tempat yang aman. Setelah 
kembali ke tempat semula, dia mulai mem-
buat lubang dengan kujangnya. Dan berkat 
tenaga dalamnya yang tinggi, sebentar sa-
ja tercipta sebuah lubang besar untuk 
menguburkan mayat wanita itu. 
Hati-hati sekali dia memondong 
mayat wanita itu, lalu meletakkannya ke 
dalam lubang. Perlahan-lahan pula Mahesa 
mulai menguruk dengan tanah. Maka seben-
tar saja telah tercipta segundukan tanah 
merah yang masih baru. Dan Mahesa memberi 
nisan pada kuburan itu dengan sebuah batu 
sebesar kelapa. 
Setelah menguburkan mayat wanita 
itu, Mahesa kembali mengambil bayi terse-
but lalu melangkah pergi. Arah tujuannya 
adalah puncak Gunung Batu tempat gurunya 
Pendekar Pedang Kilat Buana bertapa. Di 
sana dia akan mendidik bayi itu seperti 
anak kandungnya sendiri. Bahkan akan pula 
dibekalinya dengan ilmu silat!  
*** 
Ratri alias Siluman Naga Puspa men-
desis-desis hebat. Dia merasakan ada se-
suatu yang bergerak-gerak dalam perutnya. 
Melihat hal ini Begawan Kamasetyo jadi 
cemas sekali. Dia tidak tahu apa yang ha-
rus dilakukan. Sedang Siluman Naga Puspa 
terus meronta-ronta menahan sakit. Perut-
nya yang membusung seperti diremas-remas. 
Wajah Siluman Naga Puspa benar-
benar tersaput rasa gelisah. Sepasang ma-
tanya mencorong menahan nyeri. Sedang ke-
palanya mengangguk-angguk sedemikian ru-
pa, layaknya seperti seorang wanita yang 
sedang mengurut-urut perutnya menjelang 
kelahiran bayinya! 
"Mungkin.... Mungkin kau akan mela-
hirkan bayimu, Ratri?" 
Hanya itu yang keluar dari mulut 
Begawan Kamasetyo. Selebihnya dia hanya 
dapat memandangi perut anaknya dengan ha-
ti cemas. 
Dan apa yang dikatakan Begawan Ka-
masetyo memang benar. Baru saja kata-
katanya tuntas....        
"Oaaa...! Oaaa...!" 
Terdengar suara tangis bayi, mem-
buat Begawan Kamasetyo tersentak. Pandan-
gannya langsung tertuju ke arah ekor ular 
siluman itu. Tampak tak jauh dari ekor 
Siluman Naga Puspa, tergolek seorang bayi 
yang masih terbalut darah dan tersambung 
ari-ari. 
Jadi, Siluman Naga Puspa telah me-
lahirkan bayinya! Bukan berbentuk ular, 
melainkan bayi manusia yang tampan seka-
li! Dan yang lebih anehnya lagi, pada da-
da kanan bayi itu terdapat rajahan ber-
gambar ular putih. Matanya agak kebiru-
biruan, kulitnya putih walaupun masih 
berlumur darah, namun bau badannya wangi 
sekali seperti harumnya bunga melati! 
Begawan Kamasetyo cepat mendekati 
bayi dan memondongnya erat-erat. Matanya 
yang tajam memperhatikan susunan tulang-
tulang bayi itu penuh kagum. 
"Mau kau beri nama apa anakmu ini, 
Ratri?" tanya Begawan Kamasetyo sambil 
menatap penuh suka cita pada anaknya. 
Ratri mendesis menyebutkan satu na-
ma. 
"Apa? Soma?" kata Begawan Kamasetyo 
mengulangi ucapan anaknya yang hanya di-
mengerti olehnya. 
Sekali lagi Siluman Naga Puspa men-
desis membenarkan ucapannya. 
"Ya..., ya. Baik. Aku akan memberi 
nama anak ini Soma, seperti permintaan-
mu."  
Siluman Naga Puspa mendesis-desis 
lagi. Entah bahagia melihat bayi yang ba-
ru saja dilahirkan, atau sedih melihat 
dirinya yang masih berwujud siluman ular 
putih! 
Kemudian Siluman Naga Puspa kembali 
mendesis-desis lagi meminta Begawan Kama-
setyo mendekatkan bayinya ke sisi tubuh-
nya. 
Begawan Kamasetyo tersenyum senang. 
Didekatkannya bayi yang baru saja dila-
hirkan itu ke sisi anaknya. 
Siluman Naga Puspa memandangi 
bayinya dengan sepasang mata telah be-
rair. Lalu bayi yang telah diberi nama 
Soma itu pun segera dililitnya, persis 
seperti tingkah seorang ibu sedang meme-
luk bayinya! 
Waktu terus bergulir, tak tertahan-
kan. Semuanya telah diatur oleh Sang Pen-
cipta. Dan tak terasa delapan belas tahun 
terlewat sudah. Kini Bayi yang dilahirkan 
Siluman Naga Puspa yang telah diberi nama 
Soma telah tumbuh menjadi seorang pemuda 
tampan. Kulit wajahnya putih bersih. Ma-
tanya yang agak kebiru-biruan dihiasi se-
pasang alis tebal berwarna hitam. Pas se-
kali dengan bentuk hidungnya yang man-
cung. Demikian pula bentuk bibirnya yang 
tipis. Rambut gondrongnya dibiarkan ter-
gerai di bahu. Di dada kanannya terdapat 
seperti rajahan bergambar ular putih. Dan 
ini semakin menambah kejantanan pemuda 
itu. 
Tubuh Soma yang tinggi tegap diba-
lut rompi dan celana bersisik  berwarna 
putih keperakan. Dan kini, pemuda tampan 
itu sedang khusuk bersemadi untuk menye-
lesaikan latihan tahap akhirnya. Yakni, 
sebuah jurus pamungkas hasil ciptaan Be-
gawan Kamasetyo 'Titisan Siluman Ular Pu-
tih'! 
Memang, hebat sekali jurus itu. 
Bahkan Begawan Kamasetyo dan Ratri yang 
masih berwujud siluman ular putih pun ti-
dak bisa menganggap sembarangan. Dengan 
perasaan waswas kedua anak beranak itu 
selalu ikut menemani Soma bertapa. Sudah 
empat puluh hari empat puluh malam Soma 
bertapa. 
"Kerahkan seluruh kehendak sucimu, 
Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo, mulai 
gelisah. 
Lelaki tua ini melihat sekujur tu-
buh Soma mulai dibasahi keringat. Wajah-
nya yang tampan menegang, seperti sedang 
menghadapi sesuatu yang sulit sekali di-
kendalikan. Dan dari ubun-ubun kepalanya 
perlahan-lahan mengepulkan asap putih, 
seiring tubuhnya yang bergetar hebat. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 
Begawan Kamasetyo semakin gelisah dibuat-
nya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin 
cucunya mengalami bernasib sama dengan 
anaknya yang masih berwujud siluman ular 
putih.  
"Kerahkan seluruh kehendak sucimu, 
Cucuku!" ujar Begawan Kamasetyo. Nada su-
aranya penuh kegelisahan. 
Dan apa yang sedang dikhawatirkan 
Begawan Kamasetyo memang benar-benar se-
dang dialami Soma. Di hadapan pemuda itu, 
saat ini seekor ular raksasa putih sebe-
sar pohon kelapa siap memangsa tubuhnya. 
Dari mulutnya yang terbuka dengan taring-
nya yang mengerikan mengeluarkan bau amis 
yang bukan kepalang. Hampir saja Soma ti-
dak kuat menahan. Bukannya takut menjadi 
mangsa ular raksasa, melainkan tidak kuat 
menahan bau amis yang keluar dari mulut 
ular itu. 
Soma pasrah. Dia sadar, ular raksa-
sa putih itu hanya jelmaan dari ilmu yang 
sedang dituntutnya saja. Maka dengan se-
genap kepasrahan dan keteguhan hatinya, 
akhirnya godaan itu dapat diatasi. Dan 
perlahan ular raksasa putih jadi-jadian 
itu pun hilang dari pandangan. 
Namun anehnya bersamaan dengan ke-
pulan asap putih yang menyelimuti tubuh 
ular raksasa putih itu menghilang tiba-
tiba saja muncul seorang gadis cantik. 
Rambutnya yang hitam panjang itu dibiar-
kan tergerai di bahu. Pakaian yang dike-
nakannya pun sangat tipis berwarna putih 
menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bau ba-
dan gadis itu pun wangi sekali, seperti 
bau harum bunga melati!  
Soma memejamkan mata. Namun, tetap 
saja lekuk-lekuk tubuh gadis  cantik itu 
masih menghantui pikirannya. Hampir saja 
godaan itu tidak kuat ditahan. Apalagi 
gadis cantik itu mulai berani mendekati 
dan memeluknya! 
"Tahan, Cucuku! Jangan sampai ter-
pengaruh godaan itu. Itu hanya perasaanmu 
saja. Ayo, lekaslah kerahkan seluruh ke-
hendak sucimu kalau tidak ingin bernasib 
malang menjadi siluman ular seperti ibu-
mu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo 
yang samar-samar mulai menyadarkan Soma 
dari keadaan memabukkan. 
Pemuda ini mengerahkan segenap ke-
kuatan batinnya untuk mengatasi godaan. 
Akibatnya, gadis cantik itu menjerit ke-
sakitan. Sekujur tubuhnya yang memeluk 
tubuh Soma seperti terbakar kehendak suci 
yang timbul dari dalam diri pemuda itu. 
Walaupun gadis itu sudah menjauh 
dari tubuhnya, Soma terus mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Gadis cantik yang sebe-
narnya jelmaan dari siluman itu makin 
menjerit-jerit ketakutan. Hingga akhirnya 
sekujur tubuh gadis cantik itu pun mulai 
diselimuti asap putih. Dan bersamaan den-
gan hilangnya asap putih yang bergulung-
gulung itu, dia menghilang dari pandangan 
Soma. 
"Kau berhasil, Cucuku! Kau berha-
sil...!" pekik Begawan Kamasetyo girang 
bukan main. 
Soma tersadar. perlahan-lahan ma-
tanya dibuka. 
"Berhasil? Berhasil apanya, Eyang?" 
tanya Soma masih belum mengerti. 
"Kau..., kau berhasil menguasai ju-
rus  sakti 'Titisan Siluman Ular Putih', 
Cucuku. Kau sewaktu-waktu bisa berubah 
wujud menjadi siluman ular putih kalau 
kau mau, Cucuku...." 
Soma terlongong. Jadi karena itu 
eyang dan ibunya bergembira? Pantas.... 
Di ufuk langit sebelah timur, mata-
hari baru saja menampakkan sinarnya yang 
kemerahan. Beberapa burung liar ramai 
berkicau di dahan, mengumandangkan sua-
ranya yang merdu menyambut pagi. Gumpa-
lan-gumpalan awan putih berarak-arak di 
angkasa. Sementara, tiupan angin lembut 
turut mengiringi lahirnya hari ini. 
Dalam terpaan lembut angin pagi di 
lereng Gunung Bucu, tempat persembunyian 
Siluman Naga Puspa dan Begawan Kamasetyo 
yang baru, Soma tengah giat menempa diri. 
Rompi bersisiknya yang berwarna putih ke-
perakan tanpa kancing, berkibar-kibar ka-
la pemuda berambut gondrong itu sibuk me-
mainkan jurus sakti 'Terjangan Maut Ular 
Putih', yang merupakan salah satu jurus 
andalan Begawan Kamasetyo. Gerakan tangan 
dan kakinya lincah sekali. Kedua telapak 
tangannya yang membentuk kepala ular te-
rus bergerak dengan kecepatan  dahsyat 
saling kejar-mengejar. Seolah-olah di de-
pannya ada musuh yang tengah kedodoran 
menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-
kinya bergerak cepat, seirama dengan ke-
dua tangannya. 
Pada saat bergerak maju seperti 
ini, berarti Soma tengah membuka jurus 
sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' yang 
tak kalah dahsyatnya dibanding jurus 
'Terjangan Maut Ular Putih'. Dari gerakan 
kedua telapak tangannya yang membentuk 
kepala ular, tercipta serangkum angin 
kencang yang berkesiur menggoyang-
goyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh 
tombak. Belum lagi kalau menilik hawa pa-
nas dan dingin yang diakibatkan dari sam-
baran-sambaran kedua telapak tangannya. 
Yang sebelah kanan mengandung pukulan 
sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebe-
lah kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga 
Inti Bumi'. Akibatnya pohon-pohon dalam 
jarak sepuluh tombak yang tadi hanya ber-
goyang-goyang, kini sebagian ada yang 
layu dan sebagian membeku. 
Hebat sekali jurus sakti 'Ular Kem-
bar Mengejar Mangsa' itu. Begawan Kama-
setyo dan Siluman Naga Puspa yang menon-
ton di pinggir tempat latihan, jadi ter-
longong saking kagumnya. 
"Hyaaa...!" 
Tiba-tiba Begawan Kamasetyo yang 
dari tadi hanya menonton Soma telah ber-
kelebat menyongsong tubuh Soma yang ber-
kelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki 
tua itu telah berubah menjadi merah penuh 
'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya 
berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga 
Inti Bumi'. Dan kedua telapak tangan itu 
bergerak sedemikian rupa, siap memangsa 
tubuh Soma. 
Soma tahu, serangan eyangnya tidak 
main-main. Namun pemuda ini tidak menjadi 
gugup. Malah sempat bersiul kecil menge-
jek eyangnya. Padahal keadaan dirinya ti-
dak menguntungkan. Saat itu juga segera 
dikerahkannya jurus 'Terjangan Maut Ular 
Putih'. Dan dengan cerdiknya, Soma segera 
mengendurkan kedua telapak tangannya yang 
tadi bermaksud memapak. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kiri. Lalu, cepat sekali tan-
gan kanannya berkelit, hendak menotok ke-
tiak eyangnya. 
"Ah...!" 
Begawan Kamasetyo memekik tertahan. 
Kalau serangannya terus dipaksakan, bukan 
mustahil ketiaknya lebih terdahulu akan 
terkena totokan Soma. Untuk itu serangan-
nya cepat dibatalkan. Sedang Soma telah 
menegakkan tubuhnya kembali. 
"Wah, wah, wah.... Mengapa Eyang 
kasar sekali?! Apa Eyang bermaksud membu-
nuhku? Aku belum mau mati, Eyang. Aku be-
lum kawin...," gerutu Soma kesal. 
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan kekesalan cucunya. Seketika serangan-
nya dilanjutkan, sekaligus ditingkatkan. 
Soma kewalahan bukan main. Sambil 
berjumpalitan menghindari serangan-
serangan eyangnya, tak henti-hentinya mu-
lutnya terus mengoceh tidak karuan. 
"Tunggu  dulu, Eyang! Eyang mulai 
kebakaran jenggot, ya? Kenapa jadi uring-
uringan begini?!" 
"Jangan banyak bicara, Cucuku! 
Hayo, cepat balas serangan!" 
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan ocehan Soma. Kedua tangannya kembali 
bergerak cepat menyerang. 
Jelas, Begawan Kamasetyo tengah 
mengerahkan jurus maut 'Ular Kembar Men-
gejar Mangsa' Kedua telapak tangannya ki-
ni semakin berubah merah dan putih te-
rang. Mengerikan sekali. Apalagi tenaga 
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Jangankan 
terkena. Terkena sambaran anginnya saja 
bisa menyebabkan kematian lawan. 
"Tidak. Aku tak mau berkelahi den-
gan Eyang," teriak Soma, cepat melempar 
tubuhnya beberapa kali ke belakang. 
"Aku akan memaksamu, Cucuku!" ben-
tak Begawan Kamasetyo, geram melihat se-
rangannya dapat dihindari demikian mudah-
nya. Kembali kedua tangannya yang berge-
rak saling kejar-mengejar itu menyerang 
Soma. 
"Adauw, tidak kena!" Soma berkelit 
ke samping. 
Sementara itu Siluman Naga Puspa 
mendesis-desis. Hatinya kesal melihat 
anaknya mulai bertingkah. Malah sejak ta-
di pun dia tidak dapat menahan perasaan 
gemasnya. Maka dengan kecepatan mengagum-
kan, ular siluman itu ikut menyerang So-
ma! 
Wesss! 
Harum bunga melati kontan menebar 
ke sekitar tempat latihan, begitu tubuh 
besar memanjang sebesar pohon kelapa me-
nerjang. Dan mulutnya yang menganga lebar 
siap memangsa tubuh Soma. 
"Bagus, Ratri! Ayo, kita beri pela-
jaran putramu yang nakal ini!" kata Bega-
wan Kamasetyo sambil meningkatkan seran-
gan. 
Soma kewalahan bukan main. Mengha-
dapi eyangnya saja belum tentu menang. 
Apalagi sekarang ditambah ibunya, Siluman 
Naga Puspa. Tentu saja pemuda ini tidak 
ingin dirinya dijadikan bulan-bulanan. 
Sambil mengedumel panjang pendek, tubuh-
nya terus berjumpalitan menghindari se-
rangan ibunya dan eyangnya. 
"Aduuuhh...! Ibu ini apa-apaan sih? 
Kok, ikut-ikutan  latah seperti Eyang?!" 
teriak Soma kesal. 
"Bocah goblok! Baru pertama kali 
ini aku melihat orang yang ingin jadi 
pendekar, tapi bernyali kambing!" bentak 
Begawan Kamasetyo kesal, tanpa sedikit 
pun mengendurkan serangan-serangannya. 
"Siapa yang takut, Eyang? Aku hanya 
tak enak hati kalau nanti melukaimu. Biar 
seribu orang pun aku tidak takut!" teriak 
Soma mulai panas. 
"Ratri! Putramu pintar sekali men-
gumbar omongan. Tapi, tetap saja bernyali 
kambing!" ejek Begawan Kamasetyo makin 
membuat Soma panas. 
Siluman  Naga Puspa mendesis-desis, 
membenarkan ucapan ayahnya. 
"Aduh! Rupanya Ibu dan Eyang sudah 
kongkalikong. Baik! Aku tidak takut. Nih 
lihat seranganku...." 
Soma cepat melenting ke belakang, 
mengambil jarak. Begitu mendarat, dipa-
sangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak 
tangannya yang membentuk kepala ular dis-
ilangkan di depan dada, siap mengeluarkan 
jurus maut 'Ular Putih Mengejar Mangsa'. 
Telapak tangan yang sebelah kanan telah 
berubah menjadi kemerah-merahan penuh 
'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah 
berubah putih terang penuh 'Tenaga Inti 
Bumi'. 
"Hyaaat...!" 
Disertai teriakan keras membahana 
Soma mencelat ke udara, menyongsong se-
rangan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga 
Puspa dengan kedua kakinya. 
"Bagus, Cucuku! Rupanya kau menga-
lami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga 
dulu. Sebab belum tentu kami dapat dika-
lahkan!" 
Begawan Kamasetyo cepat memapak se-
rangan Soma dengan jurus sakti 'Terjangan 
Maut Ular Putih'. Sedang Siluman Naga 
Puspa segera mengibaskan ujung ekornya. 
Dugh! Dugh! 
Terdengar dua kali benturan tenaga 
dalam di udara. Akibatnya Soma terlempar 
beberapa tombak. Cepat dia mematahkan 
lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan. 
Begitu mendarat, tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Ten-
tu saja kesempatan ini tidak disia-siakan 
Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa 
yang hanya bergetar akibat benturan tena-
ga dalam tadi. 
"Curang! Ibu dan Eyang beraninya 
main keroyok. Hayo, kalau berani hadapi 
aku satu lawan satu!" teriak Soma seraya 
berjumpalitan di udara. Kalang kabut dia 
menghindari serangan-serangan ibu dan 
eyangnya. 
"Bocah goblok! Aku dan ibumu sedang 
mengujimu, tahu?!" bentak Begawan Kama-
setyo. 
"Menguji.... Menguji macam apa 
ini?! Aku bisa babak belur sendiri!" ge-
rutu Soma kesal. 
"Makanya kalau tidak ingin babak 
belur, lekas balas serangan-serangan ka-
mi!" tantang Begawan Kamasetyo memanas-
manasi. 
"Huh! Repotnya kalau mau jadi pen-
dekar. Kalau aku tahu sejak dulu begini 
susahnya jadi pendekar, lebih baik jadi 
tukang sayur saja. Lebih aman. Tidak ba-
bak belur macam begini!" omel Soma pan-
jang pendek. 
"Ngomong apa kau, he?!" bentak Be-
gawan Kamasetyo lagi 
"Tidak! Tidak! Aku tidak ngomong 
apa-apa, Eyang. Aku hanya melampiaskan 
kekesalanku saja." 
"Baik!" Begawan Kamasetyo menghen-
tikan serangannya. "Sekarang begini saja. 
Kalau mampu menghadapi kami berdua dalam 
tiga jurus, kau kuanggap menang dan patut 
mendapatkan warisanku yang terakhir." 
"Buat apa? Toh, Eyang sendiri belum 
tentu dapat mengalahkanku kalau tidak ada 
Ibu?" tukas Soma, seenak isi perutnya 
Begawan Kamasetyo menggeram kesal. 
"Bocah goblok! Ini semua demi ke-
baikanmu, tahu?! Hayo, cepat lawan kami! 
Atau kau ingin babak belur?" 
"Wah, wah, wah...! Ini namanya per-
kosaan. Mentang-mentang kalian orang tua 
yang telah membesarkanku, tidak seharus-
nya memaksakan kehendak kalian padaku. 
Ini tidak baik, Eyang. Tidak baik...." 
"Sudah! Sudah! Pusing aku meladeni 
omonganmu. Sekarang cepat hadapi kami 
berdua dalam tiga jurus! Sanggup?!" har-
dik Begawan Kamasetyo tak sabar. 
Soma menggerutu kesal. 
"Tapi, masa' dalam tiga jurus saja 
aku tidak dapat menghadapi serangan mere-
ka? Percuma saja bertahun-tahun belajar 
silat di sini," gumam pemuda itu dalam 
hati. 
Soma lantas memasang kuda-kuda ko-
koh. 
"Apalagi yang Eyang tunggu! Aku su-
dah siap, Eyang," tantang Soma. 
"Baik," Begawan Kamasetyo mengge-
ram. "Hayo, Ratri! Kita hajar anakmu yang 
pongah ini!"  
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. 
Matanya yang biru mencorong tajam. Harum 
bunga melati di sekitar tempat latihan 
makin mewangi pertanda jurus yang akan 
dikeluarkan tidak bisa dianggap sembaran-
gan. 
"Jurus satu!" pekik Begawan Kama-
setyo lantang. 
Tiba-tiba di tangan Begawan Kama-
setyo telah tergenggam senjata pusaka 
yang aneh sekali bentuknya. Sekilas ter-
lihat seperti anak panah. Namun anehnya 
mata anak panah itu berbentuk kepala ular 
putih hingga ke pangkal. Dan dari pangkal 
anak panah berwujud seperti pangkal anak 
panah kebanyakan. Sedang di kanan-kiri 
kepala ular tertancap dua buah gerigi 
yang juga berwarna putih! Entah, apa nama 
senjata aneh itu. Yang jelas gigi-gigi 
itu mirip sekali dengan senjata andalan 
Bathara Kresna. Cakra! 
"Senjata apa itu, Eyang? Kok, ben-
tuknya aneh sekali?" tanya Soma saking 
herannya. 
"Sekarang bukan waktunya bercakap-
cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana 
senjata ini membuat tubuhmu babak belur! 
Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat 
minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan Ka-
masetyo, menakut-nakuti. "Jurus satu!" 
Begawan  Kamasetyo dan Siluman Naga 
Puspa serentak menyerang Soma. Dan begitu 
senjata aneh di tangan lelaki tua ini 
bergerak menyerang, terlebih dahulu Soma 
merasakan angin dingin berkesiur  menye-
rang tubuhnya. Bahkan dari dua buah geri-
gi di samping kanan-kiri kepala ular sen-
jata aneh itu bertiup angin kencang yang 
menyerang Soma. 
Dari sudut lain, Siluman Naga Puspa 
pun menyerang tak kalah hebat. Bukan main 
hebatnya serangan mereka, membuat Soma 
benar-benar kewalahan. Serangan Siluman 
Naga Puspa memang tidak begitu membahaya-
kan keselamatannya. Karena, Soma sudah 
terbiasa berlatih tanding dengan ibunya. 
Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah 
serangan Begawan Kamasetyo dengan senjata 
anehnya di tangan kanan. 
Di saat terperangah itulah, diam-
diam Soma siap mengeluarkan segenap ke-
pandaiannya. Akan tetapi ketika menyadari 
senjata di tangan Begawan Kamasetyo mulai 
menyerang dan terjangan-terjangan Siluman 
Naga Puspa pun siap meremukkan tulang-
tulang tubuhnya, tak urung juga Soma ce-
pat membuang tubuhnya beberapa kali ke 
belakang. Namun Begawan Kamasetyo dan Si-
luman Naga Puspa tak memberi kesempatan. 
Mereka terus mendesak Soma dengan hebat. 
"Hyaaat! Hyaaat!" 
Soma kewalahan bukan main. Sikapnya 
yang biasa ugal-ugalan kali ini harus di-
pendamnya. Sedikit pun tidak diberi ke-
sempatan untuk membalas. Jangankan berpi-
kir untuk membalas, untuk menghindar saja 
rasanya sudah tidak sanggup lagi. 
"Uts!" 
Bahkan hampir saja pemuda itu ter-
kena sambaran senjata aneh di tangan Be-
gawan Kamasetyo. Untungnya, tubuhnya da-
pat berkelit. Meskipun demikian, tetap 
saja Soma tidak dapat menghindar dari se-
rangan sabetan ekor Siluman Naga Puspa 
yang mendadak meluncur tajam. 
Desss...! 
"Ugh...!" 
Tubuh Soma kontan terlempar bebera-
pa tombak ke samping. Untung saja tidak 
begitu membahayakan keselamatan jiwanya. 
Memang, Soma sudah melindungi bagian yang 
terkena sambaran ekor Siluman Naga Puspa 
dengan tenaga dalam. Dan saat tubuhnya 
terlempar ke samping kiri, segera dike-
rahkannya ilmu meringankan tubuh. Dan se-
kali genjot, tubuhnya sudah melayang 
tinggi keluar dari tempat latihan. 
Wajah pemuda tampan ini pucat pasi. 
Keringat sebesar biji jagung telah memba-
sahi keningnya. 
"Jurus kedua!" teriak Begawan Kama-
setyo tanpa memberi kesempatan Soma untuk 
bernapas sedikit pun. 
"Baru satu jurus saja sudah begini. 
Apa aku dapat bertahan sampai jurus keti-
ga?" gerutu Soma. 
Sejenak pemuda ini menunggu datang-
nya serangan berikut. Namun anehnya Bega-
wan Kamasetyo tidak melanjutkan serangan. 
Malah pantatnya dihenyakkan di rerumputan 
sambil meniup-niup pangkal senjata aneh-
nya. 
"Apa-apaan ini, Eyang? Kok, malah 
bermain suling?" ejek Soma langsung ter-
tawa terpingkal-pingkal. 
Namun anehnya, begitu tawanya mere-
da, tiba-tiba saja Soma merasakan kalau 
suara senjata aneh di tangan Begawan Ka-
masetyo yang juga bisa dijadikan seruling 
itu perlahan-lahan mulai menyerang gen-
dang telinganya! 
Soma kaget bukan main. Belum sempat 
kekagetannya diatasi, tiba-tiba Siluman 
Naga Puspa kembali menyerang garang. Bu-
kan main bingungnya hati pemuda ini. Ka-
lau meladeni serangan-serangan Siluman 
Naga Puspa berarti membiarkan telinganya 
diserang suara aneh dari senjata eyang-
nya. Dan kalau perhatiannya terpusat un-
tuk melawan suara aneh dari senjata di 
tangan eyangnya dengan jalan menutup pen-
dengarannya, berarti juga membiarkan di-
rinya diserang ibunya. Serba salah! 
"Hyaaat...!" 
Soma memekik dengan segenap tenaga 
dalamnya. Rupanya dia memilih jalan ke-
dua. Sambil menahan serangan-serangan su-
ara aneh dari senjata eyangnya, pemuda 
ini cepat meloncat tinggi ke udara, hen-
dak memapak serangan ibunya. Namun aneh-
nya, di saat tubuhnya melayang tinggi di 
udara itu, tiba-tiba saja serangan suara 
aneh dari senjata eyangnya seperti hendak 
memecahkan gendang telinganya. Dan lebih 
anehnya lagi, sekujur tubuhnya terasa su-
lit sekali digerakkan. 
"Ah...!" pekik Soma kebingungan. 
Sementara itu serangan Siluman Naga 
Puspa sudah demikian dekatnya. Tak mung-
kin Soma menangkis serangan. Dan akibat-
nya... 
Dugh! 
"Augh...!" 
Tanpa ampun lagi, ekor Siluman Naga 
Puspa mendarat telak di dada Soma. Tubuh-
nya terlontar beberapa, tombak disertai 
pekik tertahan. 
Keadaan benar-benar tidak mengun-
tungkan bagi Soma. Sekujur tubuhnya tera-
sa lemas bukan main. Belum lagi akibat 
sabetan Siluman Naga Puspa tadi yang me-
nyebabkan isi dadanya seperti mau pecah! 
Bahkan dari mulutnya telah menyembur da-
rah segar pertanda terluka dalam. 
Tidak ada pilihan lain, Soma harus 
cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, 
yakni 'Titisan Siluman Ular Putih' yang 
baru saja dikuasai. Setelah berpikir de-
mikian kekuatan batinnya segera dikerah-
kan untuk melawan suara aneh dari senjata 
eyangnya, sekaligus untuk mengeluarkan 
ilmu pamungkasnya. 
Perlahan-lahan suara-suara aneh da-
ri senjata di tangan Begawan Kamasetyo 
terdengar lirih di telinga Soma. Dan ber-
samaan dengan itu pula, sekujur tubuhnya 
mulai diselimuti uap putih tipis yang ma-
kin lama makin tebal menutupi sekujur tu-
buhnya hingga tidak kelihatan sama seka-
li. Dan entah mengapa, Siluman Naga Puspa 
sendiri pun tidak dapat melanjutkan se-
rangannya. Dia seperti ketakutan begitu 
melihat tubuh Soma mulai ditutupi asap 
putih. Dan... 
"Gggeeerrr...!" 
Tiba-tiba saja, Soma telah menjelma 
menjadi Siluman Ular Putih! Bentuknya le-
bih mengerikan dibanding keadaan Siluman 
Naga Puspa. Matanya biru mencorong, me-
mandang Begawan Kamasetyo dan Siluman Na-
ga Puspa. 
"Jurus ketiga!" pekik Begawan Kama-
setyo lantang. "Ayo, Ratri! Kita hajar 
anakmu yang nakal ini! Mengapa kau diam 
saja?" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis 
ngeri. 
"Apa kau takut melihat Soma yang 
telah berubah menjadi Siluman Ular Putih 
itu?" tanya Begawan Kamasetyo heran. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, 
membenarkan ucapan ayahnya. 
"Hmm...!" Begawan Kamasetyo menggu-
mam. "Tak kusangka kau takut melihat Soma 
yang sudah berubah wujud menjadi Siluman 
Ular Putih ini, Ratri. Tapi, baiklah. Bi-
ar aku sendiri yang menghadapinya." 
Sehabis berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo kembali menyerang Soma dengan ju-
rus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan 
anehnya lagi, senjata di tangannya dapat 
dilempar untuk menyerang Soma alias Silu-
man Ular Putih. Dan bila serangannya gag-
al, senjata itu dapat kembali pada pemi-
liknya seperti layaknya sebuah bumerang. 
Soma menggeram marah. Kali ini mu-
lai dibalasnya serangan-serangan Begawan 
Kamasetyo. Terjangan-terjangannya yang 
dahsyat, membuat lelaki tua itu kewalahan 
meski memegang senjata anehnya. Dan sete-
lah beberapa saat lamanya kemudian Bega-
wan Kamasetyo melenting ke belakang. Be-
gitu mendarat, tangan kanannya diangkat 
ke depan. 
"Cukup, Soma! Eyang mengaku kalah," 
cegah Begawan Kamasetyo.  
"Gggeeerrr...!" 
Soma yang masih berwujud Siluman 
Ular Putih mengeluarkan suara menggeram. 
Dan bersamaan dengan itu, sekujur tubuh-
nya pun kembali diselimuti asap putih. 
Sehingga, bayangan Siluman Ular Putih itu 
tidak kelihatan sama sekali. 
* * * 
"Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang? Apa 
Eyang masih meragukan kehebatanku? Tidak, 
kan?" oceh Soma tertawa-tawa dari balik 
asap putih yang masih menyelimuti tubuh-
nya. "Tapi ngomong-ngomong, senjata apa 
yang tadi Eyang gunakan? Kok aneh seka-
li?" 
Begawan Kamasetyo menimang-nimang 
senjata anehnya di tangan.  Mata tuanya 
terus mengamati senjata di tangannya pe-
nuh kagum. Mesti masih belum mampu meng-
hadapi Soma, namun hatinya sangat bangga 
memiliki senjata itu. 
"Hei?! Nampaknya Eyang bangga seka-
li memiliki senjata itu? Apa Eyang lupa, 
kehebatan senjata itu belum  ada apa-
apanya dibanding kehebatanku." 
"Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau 
belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman 
Ular Putih', jangan harap, mampu mengha-
dapi senjata ini. Bertahun-tahun aku mem-
buat senjata ini untuk bekalmu di dunia 
persilatan. Tapi sekarang, aku akan mewa-
riskannya padamu, Cucuku. Ini namanya 
senjata Anak Panah Bercakra Kembar."  
"Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang 
Soma penuh kagum. 
Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini 
sempat merasakan kehebatan senjata itu. 
Dan dia senang sekali mendengar eyangnya 
akan mewariskan senjata itu padanya. 
"Ya! Dan mulai hari ini, senjata 
itu akan kuberikan padamu. Pakailah sen-
jata ini bila perlu saja. Juga ilmu 
'Titisan Siluman Ular Putih' itu. Nah, 
sekarang terimalah senjata ini, Cucuku!" 
Begawan Kamasetyo menyerahkan sen-
jata itu pada Soma. 
Soma mengamati senjata di tangannya 
penuh kagum. 
"Terima kasih, Eyang. Tapi ngomong-
ngomong soal ilmu 'Titisan Siluman Ular 
Putih' itu, kok mengapa tadi Ibu keliha-
tan takut sekali menghadapiku. Dan menga-
pa pula Ibu bisa jadi berubah menjadi si-
luman ular? Juga Eyang sendiri. Mengapa 
tadi Eyang tidak mengeluarkan ilmu itu 
untuk menghadapiku?" cerocos Soma bagai 
mercon terbakar.  
"Aku memang belum mampu menguasai 
ilmu ciptaanku itu, Cucuku. Sebenarnya 
aku bisa saja menguasai ilmu itu. Tapi 
Eyang takut tidak kuat melawan kehendak 
suci dalam diriku. Dan mengenai ibumu 
mengapa tidak berani menghadapimu sewaktu 
sudah menjelma menjadi Siluman Ular Pu-
tih, mungkin karena ilmu ibumu belum sem-
purna seperti dirimu, Cucuku. Bahkan bisa 
dikatakan, ibumu justru terkena getah 
akibat terlalu ingin menguasainya. Se-
hingga ketika menghadapimu yang sudah se-
penuhnya menguasai ilmu itu, dia tidak 
berani. Sedang mengenai mengapa ibumu be-
rubah menjadi siluman ular seperti ini, 
karena sewaktu bertapa dulu, ibumu tidak 
kuat menghadapi godaan seperti yang kau 
alami tadi. Sehingga, nasib ibumu ya..., 
menjadi seperti ini...." 
Soma trenyuh sekali mendengar kete-
rangan eyangnya. Tanpa sadar perhatiannya 
beralih pada ibunya. Kebetulan sekali 
saat itu Ratri atau Siluman Naga Puspa 
pun sedang memperhatikan anaknya dengan 
pandangan sedih. 
Soma jadi tidak tahan lagi. Segera 
didekati  ibunya. Langsung dipeluknya tu-
buh siluman ular itu erat-erat. Hatinya 
nyeri sekali. Namun, Soma cepat dapat 
mengendalikan perasaannya.  
"Sudahlah, Bu! Ibu jangan terlalu 
bersedih. Tabahkan saja hati Ibu, semoga 
Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan doa ki-
ta. Mudah-mudahan Ibu segera kembali men-
jelma menjadi manusia," ucap Soma getir. 
Siluman Naga Puspa menggeliat-
geliatkan tubuhnya gelisah. Sepasang  ma-
tanya yang mencorong pun mulai berair me-
mandang ke langit, seperti sedang meminta 
petunjuk Yang Maha Kuasa. Kemudian semba-
ri terus memandang ke langit, Siluman Na-
ga Puspa pun mendesis-desis sedih. 
"Ya, ya, ya...! Memang sebaiknya 
Ibu terus melanjutkan bertapa, agar dapat 
kembali menjelma menjadi manusia bi-
asa...." 
Siluman Naga Puspa menurunkan kepa-
lanya. Sepasang matanya yang mencorong 
semakin berair. Dan mulutnya pun mende-
sis-desis lagi, mengungkit-ungkit kesedi-
hannya di masa lampau. 
"Sudahlah! Kalian tak perlu men-
gungkit-ungkit cerita sedih itu lagi. Se-
karang apalagi yang ingin kau tanyakan, 
Soma?" tukas Begawan Kamasetyo. 
Soma mengalihkan perhatian pada 
eyangnya. Pemuda yang pada dasarnya ber-
watak jenaka ini pun sudah dapat melupa-
kan kesedihan yang baru saja dialami. Se-
bentar kemudian bibirnya telah mengulas 
senyum. 
"Ya, ya, ya...! Masih ada satu hal 
yang mengganjal hatiku, Eyang. Mengapa 
aku tidak bisa menebarkan bau harum bunga 
melati seperti Ibu? Ceritanya bagaimana, 
Eyang?" 
"Mungkin dikarenakan kau laki-laki. 
Tapi sebenarnya sewaktu lahir dari perut 
ibumu, kau juga sudah mengeluarkan bau 
harum bunga melati. Tapi, begitu beranjak 
dewasa, bau harum itu pun hilang dengan 
sendirinya," jelas Begawan Kamasetyo. 
"Wah, wah, wah...! Mengapa bau wan-
gi dalam tubuhku harus hilang, ya? Coba 
kalau tidak. Pasti banyak gadis cantik 
yang akan mencintaiku! Aku jadi menyes-
al," gerutu Soma dengan raut wajah se-
rius. 
"Kau yang dipikirkan hanya gadis-
gadis saja! Apa kau tidak ingin mencari 
siapa ayahmu?" ejek Begawan Kamasetyo. 
"Tentu, Eyang! Tentu! Apa Eyang su-
dah boleh mengizinkanku turun gunung?" 
jawab Soma semangat. 
"Tanyakan saja pada ibumu!" 
Soma mengalihkan perhatian pada 
ibunya. 
"Iya, Bu? Apa Ibu sudah mengizin-
kanku mencari ayahku?" 
Ratri atau Siluman Naga Puspa men-
desis-desis. 
"Oh...! Ibu juga mengizinkan? Teri-
ma kasih, Bu. Lantas, siapa nama ayahku, 
Bu?" tanya Soma. 
Siluman Naga Puspa kembali mende-
sis-desis. Desisan yang hanya diketahui 
Soma dan Begawan Kamasetyo. 
"Mahesa? Murid Pendekar Pedang Ki-
lat Buana atau yang lebih dikenal sebagai 
Pendekar Kujang Emas?" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, 
membenarkan ucapan Soma.