8
Terdorong
rasa ingin memiliki tubuh Angkin
Pembawa
Maut yang teramat mengundang gairah, Jiwo
Langgeng
terus berkelebat sambil terus memutar otak-
nya.
Keningnya terus berkerut-kerut pertanda tengah
berpikir
keras.
"Rasanya
tak mungkin aku menghadapi Silu-
man
Ular Putih seorang diri. Tak kusangka pemuda
sinting
itu demikian hebatnya. Kalau niatku ingin ter-
kabul,
tak ada pilihan lain. Aku harus mencari bala
bantuan.
Atau, kalau perlu aku harus bekerja sama
dengan
para peng..., eh! Siapakah dia?"
Mendadak
pemuda dari Lembah Patak Banteng
itu
menghentikan larinya. Dilihatnya di bawah rin-
dangnya
sebuah pohon tampak seseorang berpakaian
hitam-hitam
tengah mengerang-erang kesakitan. Pa-
kaiannya
pun tampak compang-camping tidak karuan.
Malah,
sebagian hangus terbakar!
"Ah...!
Datuk Wanoro! Rupanya ia pun gagal
untuk
membunuh Siluman Ular Putih," desah Jiwo
Langgeng
lagi. "Hm.... Kukira manusia bodoh itu bisa
ku akali
untuk bekerja sama. Siapa tahu dia mau?
Kupikir
sekarang jalan satu-satunya yang terbaik
hanya
itu. Masalah selanjutnya setelah Siluman Ular
Putih
dibunuh gampang. Pokoknya, aku dapat mem-
bawa
kepala Siluman Ular Putih dan menyerahkannya
pada
Angkin Pembawa Maut! Kalau sudah begitu, su-
dah
pasti gadis cantik itu akan jatuh ke dalam pelu-
kanku...."
Habis
berpikir demikian, Jiwo Langgeng pun
tersenyum-senyum
senang. Perlahan kakinya pun mu-
lai
melangkah kembali mendekati Datuk Wanoro.
"Bagaimana
kabarmu, Sahabat?" sapa pemuda
itu,
ramah. "Tampaknya kau terluka? Hm.... Rasanya
aku
tak sabar lagi ingin merobek-robek mulut pemuda
lancang
itu. Tapi, sayang. Aku dapat dikalahkannya.
Kau
sendiri bagaimana, Sahabatku?"
Sepasang
mata bulat Datuk Wanoro sejenak
berkilat-kilat
penuh kemarahan mendengar ucapan
pemuda
ini yang seperti mengejeknya. Namun ketika
mendengar
kalau pemuda itu pun telah dapat dikalah-
kan
oleh Siluman Ular Putih, entah kenapa kilatan si-
nar
kemarahan dalam sorot matanya jadi redup.
"Setan
Alas! Aku pun dapat dikalahkan pemuda
gendeng
itu. Benar-benar tak kusangka kalau pemuda
itu
memiliki kepandaian hebat. Namun aku, tak sudi
menerima
kekalahan begitu saja. Apa pun yang terjadi,
aku
harus menuntut balas!" desis Datuk Wanoro.
Diam-diam
Jiwo Langgeng tersenyum gembira
dalam
hati. Memang, itulah yang diinginkan. Dengan
memancing
amarah Datuk Wanoro, ia yakin kerja sa-
manya
akan terlaksana.
"Aku
pun juga demikian, Datuk Wanoro. Pemu-
da
itu tak mungkin dibiarkan makin menginjak-injak
kepala.
Meski aku telah dikalahkan, namun api den-
dam
dalam hatiku tak mungkin sirna begitu saja,"
oceh
Jiwo Langgeng dengan paras dibuat tegang. "Ka-
lau
kau tidak keberatan, aku ingin sekali kita bekerja
sama
menghancurkan Siluman Ular Putih."
Jiwo
Langgeng menunggu berharap-harap ce-
mas.
Ia khawatir kalau-kalau Datuk Wanoro akan me-
nolak
tawarannya.
Sejenak
Datuk Wanoro memandangi pemuda di
hadapannya.
Sepasang matanya yang mirip kera tak
henti-hentinya
meneliti sekujur tubuh Jiwo Langgeng,
dari
ujung kaki hingga ke ujung rambut dengan kening
berkerut.
"Sebenarnya
apa yang diinginkan pemuda di
hadapanku
ini? Apa maksudnya mengajak kerja sama?
Apakah
tidak ada maksud-maksud licik lainnya? Se-
bab,
bukan mustahil pemuda macam Jiwo Langgeng
ini
akan berniat licik demi keuntungan pribadi. Ah...!
Kenapa
aku takut? Tidak seharusnya aku takut meng-
hadapi
kelicikannya. Baiklah! Akan kulayani, sampai
di
mana kelicikannya. Yang penting, aku dapat me-
lampiaskan
dendam ku pada Siluman Ular Putih!" gu-
mam
Datuk Wanoro dalam hati.
"Bagaimana,
Datuk Wanoro? Apa kau kebera-
tan
bekerja sama?" lanjut Jiwo Langgeng.
"Hm...!"
Datuk Wanoro menggumam tak jelas.
"Kukira
kita punya maksud yang sama dan dendam
yang
sama. Tak enak rasanya menolak ajakan mu ini."
"Jadi kau setuju, Datuk Wanoro?" tanya Jiwo
Langgeng
gembira.
Namun,
sebenarnya dalam hati pemuda itu
tengah
bertanya-tanya penuh keheranan.
"Aku
harus hati-hati melihat perubahan sikap-
nya.
Kenapa ia mau diajak kerja sama begitu saja? Ta-
di
jelas kulihat ia sangat mencurigai maksudku. Apa-
kah
ia juga punya maksud sama sepertiku? Hm...! Bisa
jadi!
Mengapa tidak? Toh, ia juga sama-sama mengin-
ginkan
Angkin Pembawa Maut!" kata Jiwo Langgeng
dalam
hati.
"Kenapa
tidak?! Dan mengenai Angkin Pemba-
wa
Maut, untuk sementara kita tangguhkan sebentar!"
sahut
Datuk Wanoro.
"Baiklah!
Kalau begitu, sekarang juga kita cari
pemuda
sinting bergelar Siluman Ular Putih itu, Datuk
Wanoro!"
kata Jiwo Langgeng akhirnya.
"Baik!"
Habis
berkata begitu, Datuk Wanoro dan Jiwo
Langgeng
pun mulai bersiap-siap meninggalkan tem-
pat.
Namun baru saja hendak bergerak mendadak se-
pasang
mata tajam Jiwo Langgeng menangkap sesosok
bayangan
berjubah tengah berkelebat menuju ke tem-
pat
mereka.
"Tunggu,
Datuk Wanoro! Kukira tak ada jelek-
nya
kalau kita mengajak Badar Angin. Tapi, kenapa ia
hanya
seorang diri? Ke mana Badar Topan?" ujar Jiwo
Langgeng.
"Aku
tidak tahu pasti. Tadi sebelum aku pergi,
sempat
kulihat kalau Badar Topan dapat dirobohkan
Siluman Ular Putih. Mungkin pingsan, mungkin juga
sudah
modar di tangan pemuda itu," jawab Datuk Wa-
noro
kurang senang.
"Hm...!
Pantas! Tampaknya Badar Angin pun
menderita
luka dalam yang cukup parah. Pakaiannya
juga
compang-camping tidak karuan," gumam Jiwo
Langgeng
seraya mengangguk-angguk
Di
hadapan Jiwo Langgeng dan Datuk Wanoro,
sejenak
Badar Angin menghentikan langkah. Sepasang
matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan, memandangi
kedua
orang di hadapannya.
"Tampaknya
kalian berdua tadi saling kasak-
kusuk.
Hm, aku curiga melihat kalian berdua tampak
demikian
akur?" sindir Badar Angin.
Jiwo
Langgeng tersenyum. Lalu dengan langkah
mantap,
pemuda dari Lembah Patak Banteng itu maju
beberapa
tindak ke depan.
"Aku
dan Datuk Wanoro tadi memang baru saja
merencanakan
sesuatu. Kalau tertarik, kau boleh turut
serta.
Kalau tidak, sebaiknya pulang saja ke Gunung
Perahu!"
"Katakan!
Rencana licik apa yang telah kalian
susun!"
ujar Badar Angin membentak.
"Ah...!
Kau ini tampaknya mencurigai kami. Ta-
pi,
baiklah kalau kau ingin dengar rencana kami," ki-
lah
Jiwo Langgeng. Lalu mulutnya didekatkan ke dekat
telinga
Badar Angin.
Badar
Angin tertawa bergelak begitu mendengar
bisikan
Jiwo Langgeng. Sementara Jiwo Langgeng se-
gera
mundur satu tindak ke belakang. Sepasang ma-
tanya
yang tajam terus memandang Badar Angin.
"Kau
keberatan, Badar Angin?" kata Jiwo Lang-
geng.
"Sebenarnya
aku keberatan, Pemuda Licik. Tapi
kalau
mengingat nasib Badar Topan di tangan Siluman
Ular
Putih yang belum jelas, dengan sangat terpaksa
aku
ikut dengan rencana licik kalian."
"Kau
meragukan itikad baik kami, Badar An-
gin?"
tukas Jiwo Langgeng tak senang.
"Memang.
Tapi, bukan berarti aku tidak setuju.
Cuma,
aku butuh istirahat barang setengah hari untuk
memulihkan
tenaga dalam," sahut Badar Angin, acuh
tak
acuh.
"Baiklah
kalau begitu. Aku juga perlu memu-
lihkan
tenaga dalam dulu sebelum membuat perhitun-
gan
dengan Siluman Ular Putih. Hayo, Datuk Wanoro!
Kita
perlu beristirahat barang sejenak sambil membi-
carakan
rencana selanjutnya!"
"Baiklah!"
***
9
Soma
yang merasa penasaran bukan main atas
beberapa
peristiwa yang menimpa dirinya, segera men-
gadakan
penyelidikan.
Tempat
pertama yang diselidiki adalah tempat
menghilangnya
sosok bayangan kuning keemasan yang
telah
membunuh Badar Topan dengan jarum-jarum
emasnya
tadi. Namun setelah hampir setengah harian
mengaduk
aduk sekitar Hutan Seruni, tetap saja Soma
tidak
menemukan jejak si penyerang gelap tadi.
Lalu,
Siluman Ular Putih melanjutkan penyeli-
dikan
jauh ke dalam hutan. Di sana pun, ia tidak me-
nemukan
apa-apa kecuali pepohonan yang berjajar
rindang
di kanan-kiri.
Sepasang
mata Siluman Ular Putih yang tajam
tak
henti-hentinya melihat keadaan sekitar. Namun te-
tap
saja tidak menemukan apa-apa. Dan ketika sampai
jauh
di luar hutan, tiba-tiba sepasang matanya men-
dadak
jadi bersinar. Tak jauh dari tempatnya berdiri,
terlihat
sesosok bayangan tinggi besar berjubah merah
darah!
"Pasti
itu sosok Badar Angin! Berarti tempat
persembunyian
orang yang berada di balik semua ke-
kacauan
tentu tak jauh dari tempat ini," gumam Soma
dalam
hati.
Kembali
Siluman Ular Putih meneruskan lang-
kahnya. Dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya se-
gera
berkelebat cepat mengejar Badar Angin. Namun
lagi-lagi
Soma harus menghentikan larinya ketika tiba-
tiba
bayangan Badar Angin lenyap seperti ditelan bu-
mi.
Namun
jauh di depan sana, Soma melihat se-
buah
sendang luas berair jernih. Untuk sesaat, Soma
memperhatikan
tempat itu saksama. Entah karena do-
rongan
apa, Soma meneruskan langkah menuju sen-
dang
di hadapannya. Namun baru saja kakinya berge-
rak
beberapa langkah, mendadak berlompatan tiga so-
sok
bayangan yang langsung menghadang.
"Bagus,
bagus! Rupanya kau berani mati da-
tang
kemari, Bocah!"
"Kalian
lagi!" sungut Soma kesal seraya mena-
tap
ketiga sosok penghadangnya.
Di
depan Soma berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian
ketat warna jingga. Di sebelah kanannya,
seorang
lelaki berwajah monyet. Sedang di sebelah ki-
rinya
seorang laki-laki berwajah tinggi besar berjubah
merah
darah yang tadi sempat dilihat oleh Soma. Meli-
hat
ciri-ciri demikian, ketiga orang itu tidak lain adalah
Jiwo
Langgeng, Datuk Wanoro, dan Badar Angin!
"Ah...!
Rupanya kalian mulai bersekongkol, ya?!
Tak
kusangka! Lalu bagaimana cara kalian
menggilir
calon
istri kalian yang cantik jelita itu?" ejek Soma dis-
ertai
senyum menggoda.
"Jangan
banyak bacot, Pemuda Sinting! Hari ini
adalah
hari kematianmu!" bentak Badar Angin garang.
"Aha...
? Benarkah hari ini hari kematianku?
Apa
tidak sebaliknya?"
"Keparat!
Buat apa kita buang-buang waktu?!
Cepat
habisi saja kunyuk gondrong satu ini!" teriak Ji-
wo
Langgeng penuh kemarahan.
Habis
berkata begitu, pemuda dari Lembah Pa-
tak
Banteng itu melompat menerjang. Bogem mentah-
nya
diarahkan ke wajah Siluman Ular Putih.
Siluman
Ular Putih sedikit merundukkan kepa-
la,
membuat jotosan tangan kanan Jiwo Langgeng
hanya
mengenai angin. Kemudian bersamaan dengan
itu,
dengan kecepatan tak terduga tiba-tiba Soma
mengirimkan
patukan tangan kanan yang membentuk
kepala
ular di dada.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak
sekali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih
mendarat di dada Jiwo Langgeng. Pemuda ini kon-
tan
mengerang keras. Tubuhnya terjajar beberapa
tombak
ke belakang.
"Hati-hati,
Kawan! Jangan terlalu terburu naf-
su!
Ingat! Aku bukan calon istrimu. Aku adalah malai-
kat
dari dasar neraka yang akan mengirim nyawa bu-
sukmu
ke sana!" ejek murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Setan
Alas! Aku tidak mungkin mengampuni
nyawa
busukmu, Kunyuk Gondrong!" dengus Jiwo
Langgeng
penuh kemarahan.
Sekali
menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh
kekar
Jiwo Langgeng segera menerjang kembali. Tan-
gan
kanannya mencengkeram ubun-ubun kepala, se-
dang
tangan kiri melontarkan jotosan ke dada. Bersa-
maan
itu, Datuk Wanoro dan Badar Angin pun telah
menyerang
tak kalah hebat.
Siluman
Ular Putih mendengus jengkel. Seketi-
ka
dikerahkannya jurus andalan 'Terjangan Maut Ular
Putih'.
Tubuhnya pun berkelebatan di antara gulungan
serangan-serangan
ketiga lawannya.
"Hea...!
Hea...!"
Diiringi
bentakan-bentakan nyaring, tubuh Si-
luman
Ular Putih terus berkelebat cepat. Dan sesekali
kedua
tangannya yang membentuk kepala ular mema-
tuk-matuk
ke tubuh para pengeroyoknya. Namun de-
mikian,
tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun tak lu-
put
dari tamparan dan jotosan-jotosan ketiga lawan-
nya,
membuat tubuhnya terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Pada
saat Siluman Ular Putih tengah terjajar,
mendadak
bak air bah ketiga orang pengeroyok kem-
bali
menyerang. Dengan keris di tangan, Jiwo Lang-
geng
terus mendesak Siluman Ular Putih. Sedang Da-
tuk
Wanoro dan Badar Angin meski hanya dengan tan-
gan
kosong, namun tak boleh dipandang ringan.
Setelah
sepuluh jurus berlangsung, perlahan-
lahan
namun pasti, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu
mulai terdesak hebat. Entah sudah berapa kali tu-
buhnya
terkena tendangan dan pukulan para penge-
royok.
Padahal Siluman Ular Putih telah mengerahkan
jurus
andalan lain, 'Ular Kembar Mengejar Mangsa'!
"Jangkrik!
Mereka benar-benar menginginkan
nyawaku!"
rutuk Siluman Ular Putih dalam hati.
"Mampus
kau, Bocah Sinting! Makanlah puku-
lan
'Menggulung Angin Topan'-ku!" bentak Badar An-
gin
garang.
Kedua
telapak tangan lelaki tinggi besar yang
telah
berubah jadi merah menyala segera menghentak.
Seketika
itu serangkum angin panas bergulung-gulung
laksana
topan segera meluruk ke arah Siluman Ular
Putih.
Bersamaan
itu, Datuk Wanoro pun telah melon-
tarkan
pukulan maut 'Gada Bumi'. Sedang Jiwo Lang-
geng
dengan keris yang memendarkan cahaya kehi-
jauan
pun berkali-kali mengancam tubuh Siluman
Ular
Putih.
Siluman
Ular Putih benar-benar kewalahan.
Namun
diam-diam dikerahkannya pukulan 'Kodok Pe-
rak
Sakti' yang dipelajari dari Ki Prana Supit di Lem-
bah
Kodok Perak. Dan begitu pukulan 'Menggulung
Angin
Topan' Badar Angin dan pukulan 'Gada Bumi'
Datuk
Wanoro meluncur dekat, kedua lututnya segera
ditekuk
mirip gerakan seekor kodok. Dan....
"Koook...!"
Tiba-tiba
terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut
Siluman Ular Putih. Bersamaan itu, serangkum an-
gin
dingin bukan main melesat dari kedua telapak tan-
gan
Soma. Lalu....
Bummm...!
Bummm...!
Hebat
bukan main bentrokan tenaga dalam
yang
terjadi. Bumi bergetar hebat laksana ada gempa!
Ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-daun
berguguran
dalam keadaan hangus terbakar! Sebagian
lainnya
pun membeku!
Tubuh
Datuk Wanoro dan Badar Angin pun
tampak
bergoyang-goyang. Kedua kakinya amblas be-
berapa
jari ke dalam tanah! Sementara tubuh Siluman
Ular
Putih terpental ke belakang! Dan saat kedua ka-
kinya
dapat menjejak tanah, langsung dibuatnya bebe-
rapa
gerakan untuk mengenyahkan guncangan pada
dadanya.
Begitu
Siluman Ular Putih bersiap kembali, Da-
tuk
Wanoro, Badar Angin, dan Jiwo Langgeng kembali
melancarkan
serangan. Maka terpaksa Soma menca-
but
senjata pusakanya dari balik pinggang. Begitu sen-
jata
berupa anak panah berkepala ular yang memiliki
dua
cakra kembar di kanan kiri kepala berbentuk ular
itu
tercabut, dengan pengerahan tenaga dalam tinggi,
maka
seketika hawa dingin yang bukan kepalang me-
menuhi
tempat pertempuran.
Datuk
Wanoro, Badar Angin, dan Jiwo Lang-
geng
tampak terkesiap kaget. Seketika mereka meng-
hentikan
serangan sejenak seolah tak percaya menda-
pati
sekujur tubuh tiba-tiba menggigil hebat. Saat itu
juga
mereka segera mengerahkan tenaga dalam untuk
mengusir
hawa dingin.
"Hebat!
Tak kusangka kau memiliki senjata
demikian
hebatnya, Siluman Ular Putih!" puji Jiwo
Langgeng.
Sepasang matanya tak lepas dari senjata
pusaka
di tangan Siluman Ular Putih.
"Tapi
sayang, tampaknya kau percuma mem-
punyai
senjata sehebat itu, Siluman Ular Putih. Karena
sebentar
lagi, nyawa busukmu akan melayang!" teriak
Badar
Angin sengit.
"Terserah
kalian mau bilang apa! Ini peringa-
tanku
yang pertama dan terakhir. Cepat kalian kemba-
li
ke jalan kebenaran kalau tidak ingin mampus!" an-
cam
Siluman Ular Putih.
"Bocah
edan! Nyawa sudah di ujung tanduk
masih
bisa berkoar! Apa kau tidak lihat, malaikat pen-
jaga
kubur telah mengintip nyawa busukmu?!" ejek
Datuk
Wanoro.
"Justru
sebaliknya. Nyawa kalianlah yang se-
bentar
lagi akan terbang ke neraka!"
"Jangan
banyak cingcong! Buktikan ucapanmu
kalau
mampu, Siluman Ular Putih!" bentak Jiwo Lang-
geng
garang.
Siluman
Ular Putih bersiul-siul seenaknya.
Sementara
ketiga tokoh persilatan ini merasa
panas
bukan main. Maka tanpa banyak cakap lagi me-
reka
pun kembali menyerang Siluman Ular Putih se-
rempak.
Jiwo Langgeng dan Datuk Wanoro menyerang
dari
arah depan. Sedang Badar Angin menyerang dari
samping
dengan melontarkan pukulan 'Menggulung
Angin
Topan'!
Sambil
mainkan jurus andalan 'Ular Kembar
Mengejar
Mangsa', Siluman Ular Putih melempar sen-
jata
di tangan kanan ke arah Datuk Wanoro. Sementa-
ra
telapak tangan kirinya yang telah berubah putih te-
rang
menghentak ke samping untuk memapaki puku-
lan
Badar Angin.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
Terdengar
ledakan hebat di udara. Tubuh Ba-
dar
Angin kontan terhuyung-huyung beberapa langkah
ke
belakang! Bersamaan dengan itu....
"Aaa...!"
Tiba-tiba
Datuk Wanoro memekik keras. Ia se-
mula
menganggap enteng senjata Anak Panah Berca-
kra
Kembar. Ketika senjata itu menyerang dirinya, tu-
buhnya
sedikit dimiringkan ke samping. Memang sen-
jata
anak panah itu terus menerabas ke belakang tan-
pa
sedikit pun melukai tubuhnya. Namun ketika hen-
dak
menyerang Soma dari arah belakang, senjata pu-
saka
itu telah berbalik. Dan tahu-tahu, pundak ka-
nannya
telah terasa nyeri bukan main.
Ketika
Datuk Wanoro memalingkan kepala ke
belakang,
tampak senjata anak panah yang tadi dilem-
parkan
Siluman Ular Putih kini telah menancap di
pundak
kanannya.
Dengan
dengus kemarahan, Datuk Wanoro
mencabut
senjata Anak Panah Bercakra Kembar dari
pundaknya.
Begitu senjata anak panah itu keluar, da-
rah
segar pun menyembur dari lukanya.
"Jahanam!
Kau pun patut merasakan tajamnya
senjata
anak panahmu ini, Keparat!"
Dengan
segenap kemarahannya, Datuk Wanoro
melontarkan
senjata anak panah milik Siluman Ular
Putih.
Saat
itu tubuh Siluman Ular Putih yang tengah
tergetar
hebat akibat bentrokan tenaga dalam dengan
Badar
Angin tadi terkesiap kaget, melihat anak panah
miliknya
melesat menyerang dirinya. Sedang saat itu,
Jiwo
Langgeng pun tengah menyerang dengan keris di
tangan.
"Hup!"
Buru-buru
Siluman Ular Putih meloncat tinggi
ke
udara. Sambil menyambar senjata anak panah mi-
liknya
dengan tangan kanan, Soma berhasil menghin-
dari
serangan-serangan Jiwo Langgeng.
Namun
baru saja Siluman Ular Putih menda-
rat....
Wesss...!
Serangkum angin panas bukan main melesat
ke
arah Soma. Begitu cepatnya, sehingga tak terhinda-
ri
lagi. Akibatnya....
Wesss!
Sprasss...!
"Aaa...!"
Siluman
Ular Putih meraung keras. Tubuhnya
kontan
terlempar dan jatuh berdebum ke tanah. Da-
danya
terasa sesak dengan perut mual. Dan....
"Hoekhhh...!"
Soma
memuntahkan darah segar.
"Ha
ha ha...!"
Datuk
Wanoro tertawa bergelak. Namun seketi-
ka
itu tawa Datuk Wanoro terhenti dan berubah den-
gan
keterkejutan. Demikian pula Jiwo Langgeng dan
Badar
Angin. Mereka langsung menghentikan serangan
ketika
melihat asap putih tipis mulai menyelimuti se-
kujur
tubuh Siluman Ular Putih!
Mereka
tidak tahu kalau murid Eyang Begawan
Kamasetyo
saat itu tengah mengerahkan ajian pa-
mungkas
'Titisan Siluman Ular Putih', sehingga kem-
bali
tertawa bergelak. Kedua telapak tangan mereka
pun
siap melontarkan pukulan maut masing-masing.
Namun
baru saja hendak bertindak, mendadak....
"Gggeeerrr...!"
***
10
Ketiga
lawan Siluman Ular Putih tercekat bu-
kan
main. Apa yang terlihat di balik asap putih yang
masih
menutupi sebagian sosok itu benar-benar mem-
buat
hati mereka bergidik ngeri. Sosok yang membuat
mereka
terkejut bukanlah sosok pemuda berambut
gondrong
seperti sebelumnya. Melainkan sosok pan-
jang
memutih sebesar pohon kelapa! Sepasang ma-
tanya
yang berwarna merah saga tampak berkilat-kilat
penuh
kemarahan dengan taring-taringnya yang runc-
ing.
Terkadang
sosok panjang yang tidak lain Silu-
man
Ular Putih menampakkan kepalanya dari balik
asap
putih. Namun sebentar kemudian, sosok itu
hanya
terlihat punggungnya yang meliuk-liuk di antara
asap
putih tipis yang masih menyelimuti sosoknya!
"Si...
Siluman Ular Putih!" desis ketiga tokoh
persilatan
itu hampir bersamaan.
"Keparat!
Kenapa kita mesti takut? Toh, ular
putih
itu hanya jejadian. Hayo kita serang ular keparat
itu!"
bentak Datuk Wanoro setelah mampu menguasai
diri.
Habis
membentak begitu, Datuk Wanoro pun
segera
menghentakkan tangannya, melepas pukulan
'Gada
Bumi' ke arah tubuh Siluman Ular Putih. Seke-
tika
serangkum angin melesat dari kedua tangannya,
dan
telak sekali menghantam tubuh Siluman Ular Pu-
tih.
Bukk!
Bukkk!
"Gggeerrr...!"
Siluman
Ular Putih menggereng keras dengan
tubuh
terlempar ke samping dan jatuh berdebam. Bu-
mi
bergetar hebat! Debu-debu membubung tinggi ke
udara!
Datuk
Wanoro tertawa bergelak. Senang sekali
lelaki
bertampang monyet ini. Namun tawanya menda-
dak
berhenti, dan berubah menjadi rasa terkejut yang
amat
sangat. Ternyata sosok panjang Siluman Ular Pu-
tih
sedikit pun tidak mengalami cedera! Malah sepa-
sang
matanya yang memerah kini memandang berin-
gas
ketiga orang pengeroyoknya. Padahal tadi Datuk
Wanoro
telah membayangkan kalau tubuh Siluman
Ular
Putih akan hancur berkeping-keping. Namun apa
yang
dilihatnya benar-benar membuatnya harus ber-
decak
penuh kagum!
"Setan
Alas! Rupanya Siluman Ular Putih kebal
terhadap
pukulan 'Gada Bumi'!" geram Datuk Wanoro
seolah
tak percaya.
Sementara
Badar Angin dan Jiwo Langgeng pun
tak
urung membeliakkan mata tak percaya. Dan terdo-
rong
rasa tidak percayanya, Badar Angin telah mendo-
rongkan
kedua telapak tangannya yang telah berubah
merah
menyala, melepas pukulan 'Menggulung Angin
Topan'.
Wess!
Wesss!
Dua
larik sinar merah yang bergulung-gulung
melesat
dari kedua telapak tangan Badar Angin. Begitu
cepatnya,
dan langsung menghantam tubuh Siluman
Ular
Putih.
Bukkk!
Bukkk!
"Grerrr...!"
Sekali
lagi Siluman Ular Putih menggereng ke-
ras.
Suaranya yang berat terdengar ke sudut-sudut
Hutan
Seruni. Sedang tubuhnya yang panjang kembali
terlempar.
Namun seperti kejadian semula, sedikit pun
tidak
mengalami cedera berarti! Malah kini ekornya di-
kibas-kibaskan,
membuat tanah di sekitar tempat per-
tarungan
bergetar. Dan tiba-tiba Siluman Ular Putih
telah
menerjang ketiga pengeroyoknya sekaligus.
Wesss!
Jiwo
Langgeng masih penasaran. Ia belum puas
kalau
belum unjuk gigi. Maka begitu melihat Siluman
Ular
Putih berkelebat ke arahnya tubuhnya pun berke-
lebat.
Keris pusakanya diputar-putar sedemikian rupa.
Dan
begitu tangan kanannya terayun....
Tak!
Keris
itu memang menghujamkan berkali-kali
ke
tubuh Siluman Ular Putih. Namun, apa yang terja-
di?
Ternyata
tubuh ular raksasa itu kebal terhadap
senjata
tajam.
Mata
Jiwo Langgeng melotot tak percaya. Malah
tangan
kanannya terasa kesemutan. Tadi keris di tan-
gan
kanannya seolah membentur tembok baja yang
kuat
sekali! Dan ketika matanya melirik, Jiwo Lang-
geng
pun kontan terkesiap kaget! Ternyata, keris pu-
sakanya
bengkok!
"Keparat!
Tak kusangka tubuh Siluman Ular
Putih
ini kebal terhadap tusukan kerisku!" desis Jiwo
Langgeng,
menggeleng-geleng tak percaya.
Dan
ketika hendak bertindak lebih lanjut, men-
dadak
pemuda ini merasakan serangkum angin dingin
yang
bergulung-gulung ke arahnya dari belakang. Be-
gitu
kepalanya menoleh ke belakang, betapa terkejut-
nya
pemuda dari Lembah Patak Banteng itu. Ternyata,
ekor
Siluman Ular Putih telah mengancam punggung-
nya.
Dan....
Bukkk!
Telak
dan keras sekali ekor Siluman Ular Putih
menghantam
punggung Jiwo Langgeng. Tanpa ampun
tubuh
tinggi kekarnya melayang-layang di udara bak
layangan
putus.
Brukkk...!
Begitu
jatuh mencium tanah, Jiwo Langgeng
berusaha
meloncat bangun. Namun sayangnya, ia tak
berdaya.
Bahkan darah segar termuntah dari mulut-
nya.
Dan tubuhnya pun kembali ambruk ke tanah.
Bukan
main terkejutnya Badar Angin dan Da-
tuk
Wanoro melihat Jiwo Langgeng dapat dirobohkan
hanya
dalam sekali gebrak. Dan begitu Siluman Ular
Putih
kembali menyerang mereka segera menghentak-
kan
kedua telapak tangan ke depan. Seketika empat
larik
sinar merah menyala dan sinar hitam legam me-
lesat
cepat mengincar keselamatan Siluman Ular Putih!
Bukkk!
Bukkk!
"Gggeeerrr...!"
Tubuh
Siluman Ular Putih kembali terlempar
ke
samping. Bumi bergetar hebat! Debu-debu membu-
bung
tinggi. Begitu tubuh Siluman Ular Putih jatuh
berdebam
ke tanah, Datuk Wanoro dan Badar Angin
pun
segera menyerang kembali.
"Hea...!
Hea...!"
Diiringi
teriakan membelah angkasa Badar An-
gin
dan Datuk Wanoro segera menghentakkan kedua
tangan,
melepas pukulan jarak jauh.
Namun
kali ini Siluman Ular Putih bertindak
lebih
cerdik. Begitu melihat empat larik sinar kembali
menyerang,
segera ekornya digeser ke samping. Gese-
ran
itu tak sekadar menghindar, tapi sekaligus balik
menyerang
demikian hebat!
"Ah...!"
pekik Datuk Wanoro dan Badar Angin
hampir
bersamaan.
Saat
itu, kibasan ekor Siluman Ular Putih su-
dah
demikian dekatnya. Tak mungkin bagi kedua
orang
itu untuk menghindar. Maka tanpa ampun la-
gi....
Krakk...!
Krakkk...!
"Aaakh...!"
Terdengar
tulang-tulang iga yang patah, begitu
kedua
orang pengeroyok terhantam telak oleh kibasan
ekor
Siluman Ular Putih. Lalu disusul jeritan, sebelum
akhirnya
tubuh kedua orang itu terlempar jauh ke
samping.
Sementara
itu Siluman Ular Putih pun kembali
menyerang,
sebelum Badar Angin dan Datuk Wanoro
sempat
bangkit. Kibasan-kibasan dan terkaman-
terkamannya
tampak demikian mengerikan. Seketika
paras
kedua orang itu jadi makin pias!
"Setan
Alas! Tak mungkin aku menghadapi Si-
luman
Ular Putih!" maki Datuk Wanoro seraya melem-
par
tubuh ke samping.
"Huh!
Tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus
mengubur
keinginanku untuk jadi suami Angkin Pem-
bawa
Maut!" dengus Badar Angin, juga membuang tu-
buhnya.
Dan
begitu mereka selamat, seperti mendapat
kesempatan,
Badar Angin dan Datuk Wanoro segera
meloncat
bangun. Lalu dengan gerakan terseok-seok
kedua
orang tokoh itu pun segera berkelebat cepat
meninggalkan
tempat ini.
Siluman
Ular Putih tak ada keinginan untuk
mengejar
kedua orang pengeroyoknya. Ular raksasa ini
ternyata
lebih mempertimbangkan jiwa ksatrianya,
"Orang-orang
congkak! Ada-ada saja permin-
taan
kalian! Masa' mau cari istri saja pakai tumbal ke-
palaku!
Huh!" sungut Soma kesal, begitu telah meru-
bah
diri ke wujud manusia.
Sementara
mulut pemuda murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo itu terus mengomel panjang pendek,
kakinya
melangkah mendekati Jiwo Langgeng yang
masih
terkapar di tanah rerumputan. Sekali lihat saja,
Soma
tahu kalau pemuda dari Lembah Patak Banteng
itu
hanya pingsan.
"Itulah
akibatnya orang serakah! Mau menang
sendiri!
Mau enaknya sendiri!" sungut Soma dalam ha-
ti.
Habis
bersungut-sungut begitu, Soma menekuk
kedua
lututnya. Diperiksanya tubuh Jiwo Langgeng.
Tampak
pakaian bagian atas yang terkena kibasan
ekor
Siluman Ular Putih tadi robek di sana-sini. Kulit
dadanya
sendiri pun berwarna merah seperti melepuh.
Soma
segera menotok beberapa jalan darah di
tubuh
bekas lawannya. Selang beberapa saat, perla-
han-lahan
kelopak mata Jiwo Langgeng pun terbuka.
Namun
begitu pemuda dari Lembah Patak Banteng
membuka
mata keseluruhan, kontan terpekik kaget.
Dilihatnya
pemuda sakti yang diinginkan nyawanya
tengah
tersenyum kepadanya.
"Kalau
kau menuruti permintaanku, kau tidak
akan
sakit, Jiwo Langgeng!" gumam Soma dengan se-
nyum
tersungging di bibir.
Jiwo
Langgeng menggeram penuh kemarahan.
Ia
berusaha meloncat bangun. Namun anehnya, tu-
buhnya
kaku tak dapat digerakkan. Siluman Ular Pu-
tih
perlebar senyum. Memang, di samping menotok pu-
lih
beberapa jalan darah Jiwo Langgeng yang tersum-
bat,
Soma pun tak lupa menotok kaku tubuh pemuda
itu.
Sebab bukan mustahil kalau Jiwo Langgeng akan
segera
menyerang bila telah siuman.
"Keparat!
Aku sudah kalah! Buat apa kau me-
nahanku
seperti ini, Kunyuk Sinting?!" maki Jiwo
Langgeng
penuh kemarahan.
"Buat
apa? Lucu sekali pertanyaanmu? Apa te-
lingamu
budek? Hanya orang bodoh sajalah yang tidak
berusaha
mencari tahu, kenapa kau dan kedua te-
manmu
itu menginginkan nyawaku? Hayo, sekarang
cepat
katakan kalau kau ingin selamat!" sahut Soma,
tegas.
"Jangan
harap bicara," cibir Jiwo Langgeng.
"Jadi?
Kau ingin aku menyiksamu terlebih da-
hulu?
Begitu?" pancing Soma menakut-nakuti.
Jiwo
Langgeng bungkam seribu bahasa. Sebe-
narnya,
ia keberatan sekali. Namun kalau teringat
akan
siksaan yang akan diberikan Siluman Ular Putin,
tak
urung hatinya jadi bergidik ngeri.
"Kau
masih tidak mau buka suara, Pemuda
bau
pesing?! Jadi? Kau memang ingin disiksa dulu!
Sekarang,
katakan! Siksaan apa yang kau ingin? Apa
kau
ingin aku mengorek kedua biji matamu? Hayo, ce-
pat
katakan! Siapa calon istrimu?! Kalau tidak, jangan
salahkan
kalau aku terpaksa membutakan matamu!"
ancam
murid Eyang Begawan Kamasetyo yang justru
malah
terdengar lucu.
Meski
ancaman Siluman Ular Putih kedenga-
rannya
seperti main-main, namun Jiwo Langgeng ya-
kin,
bukan mustahil akan ancaman tadi terlaksana.
Maka
sebagai seorang tokoh sesat yang berjiwa licik,
jelas
tidak mungkin mau disiksa seperti itu. Namun
untuk
mengatakan begitu saja tanpa ada jaminan, Ji-
wo
Langgeng masih pikir-pikir.
"Tapi,
kau harus janji dulu, Siluman Ular Pu-
tih!"
pinta Jiwo Langgeng dengan hati tegang.
"Semprul!
Kau tidak layak meminta dariku! Kau
harus
menuruti apa yang kuminta!"
"Kalau
begitu, cepat laksanakan saja anca-
manmu
tadi! Buat apa aku buka suara kalau akhirnya
tetap
modar?!" sungut Jiwo Langgeng memancing per-
hatian
Siluman Ular Putih.
"Apa?!
Jadi, kau ingin aku segera melaksana-
kan
ancaman ku tadi?" mata Siluman Ular Putih melo-
tot
gusar.
"Lakukanlah!"
ejek Jiwo Langgeng sinis. Soma
alias
Siluman Ular Putih gusar bukan main. Walau ha-
tinya
mangkel sekali, tapi tak mungkin ancamannya
tadi
dibuktikan pada lawan yang sudah tak berdaya?
Soma
sejenak memandangi Jiwo Langgeng. Lalu entah
karena
dorongan apa, tahu-tahu murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo itu garuk-garuk kepala.
"Baiklah!
Aku berjanji tidak akan membunuh-
mu,
setelah kau mengatakan padaku, gadis sinting
mana
yang menyuruh kalian, untuk memenggal kepa-
laku?"
Siluman Ular Putih akhirnya mengalah.
"Lepaskan
dulu totokanku! Baru aku bicara!"
"Eh...!
Mana bisa?! Kau harus bicara dulu, baru
totokanmu
kubebaskan."
"Apa
mulutmu bisa kupegang, Siluman Ular
Putih?"
tukas Jiwo Langgeng ragu-ragu.
"Eh...!
Sialan! Dasar pemuda bau pesing! Kau
kira
aku ini pemuda macam apaan, he?! Pantang bagi-
ku
untuk menjilat ludah sendiri!" sahut Soma gusar
bukan
main.
"Baiklah.
Sekarang aku akan buka suara." Se-
jenak
Jiwo Langgeng hentikan bicara. Dalam pikiran-
nya
saat itu tengah terbayangkan tubuh Angkin Pem-
bawa
Maut yang teramat menantang gairahnya. Dan
rasanya,
ia sudah tidak sabar lagi untuk menikma-
tinya.
Tapi sayang, gadis itu tidak sudi untuk jadi is-
trinya
selama Jiwo Langgeng belum dapat memenggal
kepala
Siluman Ular Putih. Dan ini membuat jiwa Jiwo
Langgeng
terpukul. Apalagi kalau teringat akan uca-
pan-ucapan
Angkin Pembawa Maut ketika ia hendak
meminjam
Tombak Raja Akhirat. Diam-diam Jiwo
Langgeng
jadi gusar bukan main.
"Awas
kau, Angkin Pembawa Maut! Meski aku
belum
mampu memenggal kepala Siluman Ular Putih,
tapi
keinginanku untuk memiliki mu tak akan sirna!
Tidak,
Angkin! Apa pun yang terjadi, aku harus dapat
memiliki
mu!" desis Jiwo Langgeng dalam hati.
"Eh...!
Kau ini bagaimana, sih? Kenapa malah
bengong
begitu? Hayo, lekas katakan! Gadis bengal
mana
yang jadi calon istrimu itu?" sentak Siluman
Ular
Putih, jengkel melihat mulut Jiwo Langgeng hanya
berkemik-kemik
tanpa suara. Jiwo Langgeng tersentak.
"Aku...
aku tidak tahu namanya. Siluman Ular Putih.
Karena
memang ia tidak sebutkan namanya. Aku
hanya
tahu gelarnya," sahut Jiwo Langgeng.
"Kau
bicara terlalu plintat-plintut, Pemuda bau
pesing!
Lekas katakan, siapa gelar gadis brengsek itu!"
teriak
Soma tak sabar.
"Dia...
dia bergelar Angkin Pembawa Maut..."
Bukan
main terkejutnya Siluman Ular Putih. Seketika
parasnya
pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik seolah
tak
percaya apa yang baru saja didengar.
"Angkin
Pembawa Maut...?" ulang Soma
tak
percaya.
Sepasang matanya yang tajam terus meman-
dangi
Jiwo Langgeng penuh selidik. Karena, bisa saja
pemuda
licik itu hanya menyebar fitnah.
"Ya.
Dialah yang menginginkan nyawamu, Si-
luman
Ular Putih. Ia bersedia jadi istri siapa saja yang
dapat
membunuhmu. Bahkan akan menghadiahkan
Tombak
Raja Akhirat pada suaminya kelak!"
"Sontoloyo!
Jadi, Angkin Pembawa Maut yang
berdiri
di balik semua kekacauan ini?!" dengus Silu-
man
Ular Putih, gusar bukan main. "Sekarang cepat
katakan,
di mana aku dapat menemui Angkin Pemba-
wa
Maut!"
"Kau
bisa menemuinya di gua dekat Sendang
Mangli,"
jawab Jiwo Langgeng.
"Di
mana gua dekat Sendang Mangli itu?"
"Kau
berjalanlah ke tepi barat. Di sana, kau
pasti
akan menemukan sebuah gua kecil yang tertutup
semak
belukar. Di gua itulah Angkin Pembawa Maut
menyembunyikan
diri."
"Terima
kasih atas keteranganmu, Jiwo Lang-
geng.
Sekarang juga aku akan ke sana."
"Eh,
tunggu! Kau belum membebaskan toto-
kanku,
Siluman Ular Putih!" cegah Jiwo Langgeng ce-
pat
ketika murid Eyang Begawan Kamasetyo akan ber-
diri
"Ah...,
kau! Hanya menghalang-halangi niatku
saja!"
sungut Siluman Ular Putih seraya menotok bebe-
rapa
jalan darah di tubuh Jiwo Langgeng.
***
11
"Hoooi!
Angkin Pembawa Maut! Aku datang
membawa
kepala Siluman Ular Putih! Keluar...!" teriak
seorang
lelaki di depan mulut gua di dekat Sendang
Mangli.
Penampilan
lelaki itu agak aneh dari biasanya.
Blangkon
yang bertengger di kepala dikenakan see-
naknya.
Bagian pentolan blangkon berada di depan.
Pakaian
hitam-hitamnya kedodoran. Yang lebih aneh,
lelaki
ini pun mengenakan topeng merah terbuat dari
kayu.
Sepasang mata topeng itu besar, hidungnya bu-
lat,
bibirnya pun dower. Di tangan kanan lelaki itu
tampak
sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa.
Mungkin
bungkusan kepala Siluman Ular Putih seperti
yang
diteriakkan barusan.
"Keluar
dong, Angkin Pembawa Maut! Aku kan
sudah
membawakan kepala Siluman Ular Putih. Ka-
tanya
kalau dapat memenggal kepala Siluman Ular Pu-
tih,
kau bersedia jadi istriku. Hayo dong keluar!" teriak
lelaki
aneh itu merajuk.
"Manusia
sinting mana lagi yang berada di
luar?
Siapakah yang sudah berhasil memenggal kepala
Siluman
Ular Putih? Rasa-rasanya aku sudah kenal
dengan
suaranya?" gumam Angkin Pembawa Maut
yang
baru saja menyelesaikan semadinya.
"Angkin
Pembawa Maut! Keluar dong! Masa'
aku
dibiarkan mematung begini? Katanya kau mau ja-
di
istriku? Ayo, dong keluar! Kalau tidak, ku buang nih
kepala
menjijikkan ini?" teriak suara dari luar lagi.
Di
tempatnya, Angkin Pembawa Maut menge-
rutkan
kening. Tampaknya benaknya sedang berusaha
mengingat-ingat,
siapa pemilik suara di luar itu. Kare-
na
ingatannya seperti mati. Maka dengan langkah ter-
buru-buru,
segera kakinya melangkah keluar.
Begitu
sampai di luar, gadis dari Istana Ular
Emas
itu makin mengerutkan kening. Sepasang ma-
tanya yang indah bak bintang kejora terus memandan-
gi
sosok lelaki aneh bertopeng di hadapannya.
"Siapa
lagi manusia aneh satu ini? Rasa-
rasanya
tidak ada pengikut sayembara ku yang punya
ciri-ciri
demikian aneh," gumam Angkin Pembawa
Maut
dalam hati.
"Ah...!
Akhirnya kau mau juga keluar, Calon Is-
triku.
Tadinya kukira kau sedang ngambek," celoteh le-
laki
aneh bertopeng itu lagi makin membuat hati Ang-
kin
Pembawa Maut mengkelap.
"Lelaki
sialan! Siapa kau?! Aku tidak pernah
punya
urusan dengan orang sinting macam kau!" ben-
tak
Angkin Pembawa Maut tak senang.
"Ah...!
Kok, bicaramu begitu, sih? Bukankah
kau
calon istriku? Kenapa kau tidak sambut aku den-
gan
senyum? Hayo, dong! Sambut aku dengan se-
nyum!"
celoteh lelaki bertopeng itu makin ngelantur.
"Sekali
lagi kau ngoceh tidak karuan, aku tak
segan-segan
lagi memecahkan batok kepalamu, Bang-
sat!"
"Aduuuh...!
Kenapa kau begitu kejam padaku,
Calon
Istriku? Apa kau tidak kangen padaku?"
"Keparat!
Jangan banyak bacot! Katakan! Siapa
kau
sebenarnya?! Dan, mau apa kau datang kemari?!"
bentak
Angkin Pembawa Maut gusar bukan main.
"Ya,
ampun! Jadi kau lupa dengan namaku?
Aku...
Den Bagus Bambang Kuncoro. Masa' kau lupa
pada
calon suamimu sendiri, ah?!" oceh lelaki aneh itu
makin
membuat Angkin Pembawa Maut gusar.
Gadis
itu menautkan kedua alis matanya da-
lam-dalam.
Sepasang matanya yang indah tampak
makin
berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Jahanam!
Berani kau mempermainkan aku
seperti
ini, he?!" bentak Angkin Pembawa Maut tak da-
pat
lagi mengendalikan amarah. Tombak Raja Akhirat
di
tangan kanannya pun siap diayunkan ke arah lelaki
bertopeng
di hadapannya.
"Tunggu,
Calon Istriku! Apa kau tidak ingin li-
hat
bukti yang kubawa?" cegah lelaki aneh itu seraya
cepat
meloncat ke belakang. Seolah-olah, ia sudah pa-
ham
betul dengan kehebatan Tombak Raja Akhirat di
tangan
Angkin Pembawa Maut. Jangankan terkena
mata
tajam ujung tombak. Terkena kilatan cahaya me-
rah
dari mata ujung tombak dalam jarak satu tombak
saja,
bukan mustahil lelaki aneh itu akan celaka.
"Bedebah!
Rupanya lelaki sinting di hadapanku
ini
seperti sudah tahu akan kehebatan Tombak Raja
Akhirat-ku.
Siapakah sebenarnya dia?" pikir dalam ha-
ti
Angkin Pembawa Maut heran.
Mata
gadis ini menatap garang. Di sisi lain, ha-
tinya
penasaran terhadap lelaki itu.
"Cepat
tunjukkan, apa yang ingin kau buktikan
padaku,
Lelaki Tengik, mana kepala Siluman Ular Pu-
tih
itu!" dengus Angkin Pembawa Maut menahan gejo-
lak
amarah.
"Benar!
Benar sekali! Aku memang sudah me-
menggal
kepala Siluman Ular Putih. Coba perhatikan
apa
yang kupegang! Bukankah ini kepala Siluman Ular
Putih?"
ujar lelaki aneh itu seraya mengangkat tinggi-
tinggi
apa yang dibawanya di tangan kiri. Namun sua-
ranya
mengandung kekuatan gaib.
Mata
Angkin Pembawa Maut terbelalak tak per-
caya.
Entah kenapa tiba-tiba saja, ia merasakan keku-
atan
aneh dari ucapan lelaki di hadapannya yang me-
nyerang
jalan pikirannya. Dicobanya melawan penga-
ruh
aneh itu dengan kekuatan batinnya. Namun tetap
saja
apa yang dilihat di tangan kiri pemuda aneh itu
adalah
kepala Siluman Ular Putih! Bukan lagi bungku-
san
kecil berwarna hitam seperti tadi.
Apa
yang terlihat memang kepala seorang pe-
muda
yang sangat dicintai Angkin Pembawa Maut.
Dengan
rambut kepala tercambak, kepala Siluman
Ular
Putih tampak demikian mengerikan. Terkadang
berputar
menghadap ke belakang, terkadang mengha-
dap
Angkin Pembawa Maut. Wajahnya yang tampan
tampak
demikian pucat. Sepasang matanya membeliak
ke
atas! Darah segar pun tampak masih menetes dari
luka
bekas sayatan di leher!
Angkin
Pembawa Maut memekik. Sekujur tu-
buhnya
menggigil. Kedua bibirnya yang bergetar-getar
menggumamkan
kata-kata tidak jelas.
Lelaki
di hadapan Angkin Pembawa Maut men-
dadak
tertawa bergelak. Anehnya, saat itu juga kekua-
tan
aneh yang mempengaruhi jalan pikiran Angkin
Pembawa
Maut pun sirna! Dan perlahan-lahan kepala
Siluman
Ular Putih yang teramat mengerikan berubah
kembali
menjadi bungkusan kecil berwarna hitam.
Angkin
Pembawa Maut kontan mengucek-
ngucek
kedua bola matanya. Namun tetap saja yang
dilihatnya
saat itu bukan lagi kepala Siluman Ular Pu-
tih,
melainkan bungkusan kecil berwarna hitam.
"Keparat!
Kau... Kau Si... Siluman Ular Putih!"
pekik
Angkin Pembawa Maut tiba-tiba.
Lelaki
aneh di hadapan Angkin Pembawa Maut
makin
melipatgandakan tawanya. Dan sambil perden-
garkan
tawanya perlahan-lahan topeng kayunya mulai
ditinggalkan.
Dan kini tampaklah seraut wajah tampan
dengan
rambut yang panjang tergerai di bahu.
"Soma...!"
pekik Angkin Pembawa Maut, terke-
jut
bukan main ketika melihat seraut wajah tampan
yang
tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"He...
he... he...!" Soma terus mengekeh.
"Bedebah!
Dua kali kau mempermainkan aku,
Soma!
Aku tak mungkin memaafkanmu!" pekik Angkin
Pembawa
Maut tak dapat mengendalikan lagi amarah-
nya.
Tubuhnya
menggigil hebat. Tanpa dapat diben-
dung
lagi air matanya pun bobol, mengairi pipi. Ha-
tinya
galau bukan main. Entah kenapa begitu melihat
kemunculan
Soma yang tiba-tiba, sejenak hati Angkin
Pembawa
Maut jadi bimbang. Antara meneruskan
dendamnya
yang menggelegak di dada atau sebaliknya.
Atau
ia harus membiarkan dirinya terombang-ambing?
"Kenapa
kau berubah demikian cepatnya, Ang-
kin
Pembawa Maut? Kenapa kau menginginkan nya-
waku?
Apa kau sudah tidak menyayangi ku
lagi,"
tanya
Soma, hati-hati.
Sepasang
mata Siluman Ular Putih yang tajam
terus
menatap gadis cantik bekas murid Istana Ular
Emas
itu saksama. Soma mengeluh sedih. Hatinya ter-
pukul
sekali melihat perubahan sikap Angkin Pemba-
wa
Maut. Semula, ia marah sekali mendengar kalau
yang
inginkan nyawanya ternyata Angkin Pembawa
Maut.
Tapi entah kenapa, kini jadi bersikap lunak be-
gitu
melihat wajah cantik yang bersimbah air mata.
Sewaktu
dalam perjalanan menuju tempat ini,
hati
Soma bingung sekali. Antara ingin marah dan ka-
sihan
terhadap Angkin Pembawa Maut yang bernama
asli
Puspa Sari. Namun semakin lama ia pun sadar.
Tak
mungkin ia memerangi gadis itu. Bagaimanapun
juga,
murid Eyang Begawan Kamasetyo masih me-
nyayangi
Puspa Sari.
Di
saat Soma tengah kebingungan bagaimana
caranya
menemui Angkin Pembawa Maut, tiba-tiba ia
menemukan
sebuah kotak besar tak jauh dari mayat
seseorang
dengan tubuh membiru. Pemuda ini cepat
memeriksa
mayat laki-laki gemuk berpakaian hitam-
hitam
itu saksama. Dan ternyata lelaki tak dikenal itu
tewas
karena digigit ular. Terbukti di kakinya terdapat
bekas
gigitan ular yang membengkak. Kemudian kare-
na
terdorong rasa ingin tahunya, iseng-iseng
Soma
membuka
kotak besar di samping si mayat.
Kotak
besar itu ternyata berisi perlengkapan
untuk
main kuda lumping. Dan Soma yang cerdik tiba-
tiba
mendapat akal. Maka tanpa pikir panjang lagi se-
gera
dikenakannya pakaian kuda lumping itu, lengkap
dengan
topeng kayunya! Lalu sambil menenteng bung-
kusan
kecil berwarna hitam yang entah berisi apa,
Soma
kembali melanjutkan perjalanan menuju Sen-
dang
Mangli.
Angkin
Pembawa Maut yang kini sadar kalau
lelaki
aneh itu tidak lain, pemuda tampan yang telah
melukai
hatinya, tak dapat lagi mengendalikan amarah
menggelegaknya.
Dengan tangan gemetar, telunjuknya
menuding
Soma.
"Kau!
Kaulah sebabnya, kenapa aku berubah
demikian
cepat! Dan kau pulalah yang harus bertang-
gung
jawab! Hanya kematian sajalah yang pantas un-
tuk
menebus dosa-dosamu, Siluman Ular Putih!" ben-
tak
Puspa Sari.
Habis
membentak garang, tanpa banyak cakap
lagi
Angkin Pembawa Maut mengayunkan Tombak Ra-
ja
Akhirat ke arah Siluman Ular Putih. Maka seketika
angin
dingin berkesiur yang diiringi kilatan cahaya me-
rah
berkelebat cepat ke arah Siluman Ular Putih.
Wesss!
Wesss!
"Hup...!"
Soma
cepat melenting ke atas dengan gerakan
ringan
sekali. Akibatnya semak-semak belukar yang
meranggas
di sekitar mulut gua kontan terpapas, ter-
kena
kilatan-kilatan cahaya merah dari ujung runcing
mata
tombak yang tak menemui sasaran.
Sementara
setelah berjumpalitan beberapa kali.
Soma
mendarat mantap agak jauh dari tempat perta-
rungan.
"Tunggu,
Angkin! Apa kau tidak ingin menyele-
saikan
kesalahpahaman ini secara baik-baik?! Hayo-
lah,
Angkin! Kenapa kau jadi uring-uringan begini?
Demi
Tuhan aku masih menyayangi mu!" cegah Silu-
man
Ular Putih.
"Jangan
banyak bacot! Hayo lekas cabut senja-
tamu.
Dan kita bertarung sampai mampus!" bentak
Puspa
Sari penuh kemarahan.
Kata-kata
murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
bukannya
dapat melunakkan hati Angkin Pembawa
Maut.
Malah, justru sebaliknya. Kata-kata Soma malah
makin
membuat hati Puspa Sari terluka! Dan gadis ini
kembali
menyerang hebat Siluman Ular Putih. Bahkan
bukan
saja Tombak Raja Akhirat saja yang turut ber-
peran,
melainkan juga tangan kirinya yang mengibas,
melepas
jarum-jarum emasnya.
Werrr!
Werrr!
Hebat
bukan main serangan-serangan Angkin
Pembawa
Maut kali ini. Kilatan-kilatan cahaya merah
dari
ujung runcing mata tombak di tangan kanannya,
dan
juga sambaran-sambaran puluhan jarum emas
yang
berkeredepan, tanpa ampun lagi terus mencecar
Siluman
Ular Putih.
"Ah...,
Angkin! Aku benar-benar menyayangkan
bila
jarum-jarum emasmu kembali meminta korban.
Bahkan
Badar Topan yang sudah tak berdaya pun kau
bunuh
dengan jarum-jarum emasmu. Apa kau benar-
benar
sudah keblinger, Angkin? Apa kau sudah kem-
bali
memiliki jiwa keji seperti murid-murid Istana Ular
Emas?"
teriak Soma seraya membuang tubuhnya jauh
ke
samping. Sehingga, serangan-serangan Angkin
Pembawa
Maut hanya mengenai tempat kosong.
"Kau
tahu, Soma! Justru kata-katamu itu ma-
kin
membuat hatiku terluka. Dulu kaulah yang me-
minta
ku kembali ke jalan benar. Dan kini secara lang-
sung
maupun tidak langsung, kaulah yang kembali
menjerumuskan
ku ke jurang kenistaan!"
(Untuk
lebih jelasnya tentang Angkin Pembawa
Maut,
silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam
episode:
"Istana Ular Emas).
"Ah...!
Kau jangan menuduhku begitu, Angkin.
Sebaiknya,
mari kita selesaikan baik-baik! Apa kau ti-
dak
punya rasa welas asih lagi, Angkin?"
"Jangan
banyak bacot, Soma! Muak aku men-
dengar
bacotmu!" bentak Puspa Sari penuh kemara-
han.
"Sekarang, makanlah 'Tendangan Dewi Ruci'-ku,
Pemuda
Sinting!"
"Hea...!
Hea...!"'
Dikawal
teriakan-teriakan keras, Angkin Pem-
bawa
Maut meluruk deras. Kedua kakinya berputar
sedemikian
rupa, mengerahkan jurus sakti 'Tendangan
Dewi
Ruci'-nya. Sementara tangan kanannya yang
memegang
Tombak Raja Akhirat pun terus mengurung
pertahanan
Siluman Ular Putih tanpa ampun.
Soma
kewalahan bukan main. Ia yang tidak in-
gin
berbentrokan dengan Angkin Pembawa Maut hanya
terus
menghindar. Namun ketika Angkin Pembawa
Maut
mulai melontarkan pukulan 'Lahar Biru', mau ti-
dak
mau harus dipapakinya dengan pukulan sakti
'Tenaga
Inti Bumi'.
"Meski
aku belum tentu dapat mengalahkan-
mu,
tapi mana sudi aku menerima penghinaan orang
begitu
saja. Sekarang hayo kita tentukan kematian kita
di
sini!" bentak Puspa Sari garang, lalu segera mendo-
rongkan
kedua telapak tangannya yang telah berubah
jadi
biru berkilauan.
Seketika
dua larik sinar biru berkilauan melu-
ruk
ke arah Siluman Ular Putih yang didahului angin
panas
bukan kepalang.
Tentu
saja Siluman Ular Putih tak sudi tubuh-
nya
jadi sasaran empuk serangan-serangan Angkin
Pembawa
Maut. Meski hatinya agak berat, terpaksa se-
gera
dipapakinya dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti
Bumi'
setelah mendorongkan kedua telapak tangannya
yang
telah berubah jadi putih terang.
Bummm...!
Hebat
bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam
yang baru saja terjadi. Suara ledakannya bagai
hendak
meruntuhkan bumi. Sementara, tubuh Angkin
Pembawa
Maut pun kontan terjajar beberapa langkah
ke
belakang. Wajahnya yang cantik tampak demikian
pias.
Sebenarnya
Angkin Pembawa Maut telah men-
derita
luka dalam. Namun bukannya sadar, gadis ini
malah
makin kalap. Begitu tubuhnya terjajar, secepat-
nya
ia meloncat ke depan. Dan kembali diserangnya
Siluman
Ular Putih!
Soma
yang tadi melihat tubuh Angkin Pembawa
Maut
sempat terjajar beberapa langkah, jadi merasa
tak
enak. Padahal, ia tadi cuma mengerahkan sebagian
tenaga
dalamnya. Namun tanpa diduga akibatnya
akan
sedemikian hebat.
"Tunggu!
Angkin! Kita bicara baik-baik!" cegah
Siluman
Ular Putih sambil terus menghindar.
"Enak
saja kau mengumbar suaramu, Soma!
Tak
ada yang harus kita bicarakan!"
Sambil
membentak, kedua telapak tangan Ang-
kin
Pembawa Maut pun kembali mendorong ke depan.
Seketika
dua larik sinar biru berkilauan kembali mela-
brak
ke arah Siluman Ular Putih.
Soma
mengeluh sedih. Terpaksa sekali ini pun
pukulan
'Lahar Biru' milik Angkin Pembawa Maut ha-
rus
dipapaknya. Karena memang hanya itulah jalan
satu-satunya.
Wesss!
Weesss!
Bummm...!
Sekali
lagi terdengar ledakan dahsyat di udara.
Angkin
Pembawa Maut yang telah mengerahkan tenaga
dalam
dengan kekuatan penuh, tak dapat lagi mena-
han
keseimbangan badannya. Tubuhnya yang tinggi
ramping
kembali terjajar beberapa langkah ke bela-
kang.
Siluman
Ular Putih yang tadi hanya sebagian
mengerahkan
tenaga dalam tanpa ampun kontan ter-
jengkang
dan jatuh berdebam. Wajahnya tampak me-
merah.
Darah segar membasahi sudut-sudut bibir.
Pada
saat Soma hendak bangkit, telinganya
yang
tajam mendadak mendengar langkah-langkah ha-
lus
seseorang mendekati tempat pertarungan. Saking
halusnya,
membuat Angkin Pembawa Maut tak dapat
mendengarnya.
Disadari
Angkin Pembawa Maut tak menden-
gar,
karena tengah dilanda amarah. Namun yang jelas,
pada
saat tubuh Siluman Ular Putih tegak berdiri tiba-
tiba
lima sinar bulat kecil dari balik semak telah mele-
sat
cepat ke arah Angkin Pembawa Maut. Dan....
Blaaarrr...!
Terdengar
ledakan, diiringi mengepulnya asap
hitam
bergulung-gulung yang memenuhi tempat perta-
rungan.
Bersamaan dengan itu, berkelebat cepat seso-
sok
bayangan jingga dari balik semak ke arah Angkin
Pembawa
Maut yang tengah kebingungan karena ter-
kurung
gulungan asap hitam.
"Hey...!
Siapa kau?!" teriak Siluman Ular Putih
kaget
bukan main, saat melihat kelebatan bayangan
jingga.
Sosok
bayangan jingga itu terus berkelebat me-
nyambar
Puspa Sari setelah berkelit menotoknya. Den-
gan
ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi so-
sok
bayangan jingga itu berkelebat cepat meninggalkan
tempat
ini sambil memondong tubuh Angkin Pembawa
Maut!
***
12
Begitu
asap hitam yang menghalangi pandan-
gan
menghilang, bukan main terkejutnya Siluman Ular
Putih.
Ternyata bayangan jingga yang terus berkelebat
meninggalkan
tempat itu telah membawa lari tubuh
Angkin
Pembawa Maut.
"Jangkrik
Buntung! Babi Gempul! Berani kau
menyentuh
tubuh Angkin Pembawa Maut, jangan ha-
rap
dapat lolos dari tanganku!" teriak Siluman Ular Pu-
tih.
Lalu
dengan sekali menjejakkan kakinya ke ta-
nah,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu pun
telah
meloncat
tinggi ke ranting pohon. Dari atas, di ujung
Hutan
Seruni tampak sesosok bayangan jingga tengah
berkelebat
cepat sembari tertawa-tawa bergelak.
"Setan
Alas! Aku harus menolong Angkin Pem-
bawa
Maut," gumam Siluman Ular Putih penuh kema-
rahan.
Begitu
tahu arah kepergian bayangan jingga ta-
di,
Siluman Ular Putih pun segera meloncat turun.
Dan
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
'Menjangan
Kencono', tubuhnya berkelebat mengejar
sosok
bayangan jingga di hadapannya.
***
Dalam
sebuah gua, dengan tersenyum-senyum
yang
mirip seringai sosok tegap berpakaian jingga te-
rus
memandangi tubuh Angkin Pembawa Maut yang
tergolek
di tumpukan jerami di pojok ruangan gua be-
rukuran
tiga kali tiga tombak.
Angkin
Pembawa Maut menggeram penuh ke-
marahan.
Sepasang matanya berkilat-kilat menatap
tangan
sosok di hadapannya. Sosok itu adalah seorang
pemuda
tampan berambut panjang sebahu yang di-
kuncir
ke belakang. Tubuhnya tinggi kekar, dibalut
pakaian
ketat warna jingga.
"Jiwo
Langgeng keparat! Kubunuh kau kalau
berani
menyentuh tubuhku!" pekik Angkin Pembawa
Maut
penuh kemarahan.
Sosok
yang ternyata Jiwo Langgeng hanya ter-
tawa
bergelak. Sepasang matanya yang mencorong
menyiratkan
kelicikan, tak henti-hentinya menjilati tu-
buh
Angkin Pembawa Maut dengan jakun turun naik.
Dan
sepasang matanya pun berhenti pada dada mem-
busung
gadis itu dengan sinar mata menjijikkan.
"He
he he...! Kau ini bisa apa, Angkin Pembawa
Maut?
Apakah kau lupa bahwa aku ini calon suami-
mu?
Hayo, Manis! Sekarang mari kita sama-sama
nikmati
kebersamaan ini. Kau pasti akan kubuat me-
layang
ke langit tingkat tujuh...," desis Jiwo Langgeng.
Habis
berkata begitu, Jiwo Langgeng yang su-
dah
tidak tahan didera nafsunya yang menggelegak,
segera
meraih baju bagian atas Angkin Pembawa Maut.
Dan....
Bret!
Bret!
"Aaauu...!"
Angkin
Pembawa Maut memekik keras. Tanpa
ampun
lagi, sepasang buah dada yang indah menan-
tang
menjadi santapan mata liar Jiwo Langgeng. Pe-
muda
dari Lembah Patak Banteng itu menyeringai
puas.
Jakunnya pun makin bergerak-gerak turun naik,
menelan
liur untuk membasahi tenggorokan yang
mendadak
kering. Lalu dengan sekali menggerakkan
tangannya....
Bret!
Breett!
Kembali
pakaian Angkin Pembawa Maut diro-
bek.
Sehingga tubuh murid bekas Istana Ular Emas itu
tampak
makin menantang!
Puspa
Sari berteriak-teriak kalap bukan main.
Ingin
rasanya ia membunuh pemuda lancang di hada-
pannya
saat ini juga. Namun sayangnya, tubuhnya
kaku
tak dapat digerakkan. Hingga di saat pemuda li-
cik
dari Lembah Patak Banteng itu mulai mencumbu
sekujur
tubuhnya, ia hanya bisa berteriak-teriak ka-
lap.
"Manusia
Jahanam! Lepaskan aku!" teriak Ang-
kin
Pembawa Maut, tak dapat lagi menahan isak tan-
gisnya.
Jiwo
Langgeng makin terkekeh senang. Bukan-
nya
menghentikan cumbuannya, namun malah sema-
kin
liar mencumbu sekujur tubuh Angkin Pembawa
Maut.
"Jangan
khawatir, Angkin Pembawa Maut! Aku
pasti
akan melepaskanmu. Tapi nanti setelah aku me-
nikmati
tubuhmu...," desah Jiwo Langgeng di antara
dengusan
nafasnya yang memburu.
"Hentikan
kegilaan mu ini, Jiwo Langgeng! Ka-
lau
tidak, demi Tuhan aku akan membunuhmu!" te-
riak
Puspa Sari dengan suara serak.
Dan
karena saking tidak tahannya menghadapi
peristiwa
yang lebih mengerikan dibanding kematian,
Angkin
Pembawa Maut pun tak dapat lagi mengendali-
kan
perasaan hatinya. Tanpa sadar, air matanya pun
telah
merembes membasahi pipi.
"Jangan
menangis, Istriku! Kau pasti akan ku-
buat
melayang sampai ke langit ketujuh!" desah Jiwo
Langgeng
lagi.
"Ku
mohon, Jiwo Langgeng! Hentikan kegilaan
mu
ini!" pinta Angkin Pembawa Maut memelaskan.
Jiwo
Langgeng tak mempedulikan ratapan ga-
dis
itu. Ia hanya sesaat memandangi seraut wajah can-
tik
di hadapannya penuh gairah, kemudian kembali
mencumbunya.
Kini
Angkin Pembawa Maut benar-benar tak
dapat
lagi mengendalikan perasaan hatinya. Sepasang
matanya
yang indah makin bersimbah air mata. Ra-
sanya
percuma sama memohon ataupun berteriak-
teriak
minta tolong, kalau tetap saja tidak dapat mem-
pertahankan
kehormatannya.
Namun
di saat yang gawat bagi Angkin Pemba-
wa
Maut, dua larik sinar putih terang meluncur dari
mulut
gua ke arah Jiwo Langgeng.
Wesss!
Wesss!
Begitu
merasakan desir angin halus dari bela-
kang,
Jiwo Langgeng cepat menggulingkan tubuhnya
ke
samping. Akibatnya, dinding-dinding gua kontan
hancur
berantakan terhantam dua larik sinar putih te-
rang
yang tak menemui sasaran. Pada bagian yang
terkena
hantaman, tampak berlubang besar menge-
pulkan
asap.
Ketika
berdiri, sepasang mata pemuda dari
Lembah
Patak Banteng itu kontan membeliak liar. Di-
pandanginya
sosok berpakaian hitam-hitam kedodoran
dengan
blangkon yang dipakai terbalik di hadapannya.
"Kau...!"
desis Jiwo Langgeng, penuh kemara-
han.
"Si...
Siluman Ular Putih...!" sebut Angkin Pem-
bawa
Maut mendesis.
Sosok
berpakaian hitam-hitam itu memang
Soma,
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Pemuda
tampan
ini hanya tertawa bergelak dengan sepasang
mata
tajam memperhatikan tubuh polos Angkin Pem-
bawa
Maut.
Sementara
itu hati Puspa Sari jadi rusuh tidak
karuan.
Bagaimanapun juga, walaupun kini sangat
membenci,
namun dalam hatinya tetap mencintai Si-
luman
Ular Putih. Maka begitu melihat Soma datang
menolong
dirinya dari aib yang sangat mengerikan, pe-
rasaannya
tak dapat lagi dikendalikan. Dengan hati pi-
lu
gadis cantik bekas murid Istana Ular Emas itu pun
menangis
sesenggukan.
Sedangkan
Siluman Ular Putih hanya men-
gangguk.
Dan baru saja sepasang matanya beralih dari
dada
membusung Angkin Pembawa Maut, terdengar
angin
berkesiur ke arah dirinya. Maka segera tubuh-
nya
dibuang ke samping. Sehingga, pukulan jarak jauh
pemuda
dari Lembah Patak Banteng itu hanya meng-
hantam
dinding gua.
Brolll!
Dinding-dinding
gua itu kontan berlubang be-
sar!
Tanah di sekitarnya pun berhamburan ke udara.
Sebagian
menimpa tubuh Angkin Pembawa Maut, se-
bagian
lagi menimpa tubuh Siluman Ular Putih dan
Jiwo
Langgeng sendiri. Namun, untungnya dinding-
dinding
gua itu tidak runtuh seluruhnya. Hanya batu-
batu
kecil yang berhamburan memenuhi ruangan.
"Kunyuk
Sinting! Lagi-lagi kau yang mengha-
lang-halangi
maksudku! Demi Iblis, aku akan menga-
du
nyawa denganmu!" teriak Jiwo Langgeng garang.
Kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi hi-
tam
legam segera menghentak ke arah Siluman
Ular
Putih.
"Kau
memang tidak pantas jadi calon suami
Angkin
Pembawa Maut, Manusia cabul! Kau lebih pan-
tas
jadi calon suami Iblis Neraka!" ejek Siluman Ular
Putih,
langsung mendorongkan kedua telapaknya yang
telah
berubah putih terang hingga ke pangkal lengan
itu.
Seketika
dua larik sinar putih terang melesat
cepat,
memapaki pukulan maut Jiwo Langgeng.
Wesss!
Wesss! Bummm...!
Terdengar
satu ledakan hebat begitu terjadi
pertemuan
dua kekuatan dahsyat. Kembali dinding-
dinding
gua bergetar hebat! Tanah-tanah di sekitarnya
berhamburan
di udara!
Tubuh
Jiwo Langgeng kontan terhempas ke be-
lakang,
dan akhirnya membentur dinding gua. Paras-
nya
yang tampan tampak demikian piasnya. Dadanya
terasa
sesak, membuat nafasnya tersengal! Sedangkan
Soma
hanya terjajar beberapa langkah.
Meski
demikian, Jiwo Langgeng cepat meloncat
bangun.
Tangan kanannya bergerak ke belakang. Sege-
ra
kerisnya yang tersimpan di balik punggung dicabut.
Begitu
keris berlekuk tujuh itu lolos dari warangkanya,
maka
seputar ruangan gua mulai dipenuhi cahaya ke-
hijau-hijauan
dari pancaran keris Jiwo Langgeng.
"Tampaknya
kau pun tak pantas memiliki keris
pusaka
itu, Manusia bau pesing! Rasanya kau malah
lebih
pantas menggunakan centong nasi!" ejek Siluman
Ular
Putih seenak dengkul.
Bukan
main marahnya pemuda dari Lembah
Patak
Banteng itu mendengar ejekan Siluman Ular Pu-
tih.
Tanpa banyak cakap lagi, kembali diserangnya
Soma.
Keris pusaka di tangan kanannya membabat
dan
meliuk, menyerang bagian-bagian mematikan di
sekujur
tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo. Se-
dang
telapak tangan kirinya yang makin berubah jadi
hitam
legam siap melontarkan pukulan maut.
Siluman
Ular Putih sedikit pun tidak gentar.
Dengan
jurus 'Terjangan Maut Ular Putih', perlahan-
lahan
namun pasti Soma dapat mengurung gulung-
gulungan
keris di tangan kanan Jiwo Langgeng. Malah
pada
satu kesempatan, tiba-tiba tangan kanannya
yang
membentuk kepala ular telak sekali menghantam
dada
Jiwo Langgeng.
Bukkk!
Bukkk!
Dua
kali dada Jiwo Langgeng terkena patukan
tangan
Siluman Ular Putih. Seketika tubuhnya terjajar
beberapa
langkah ke belakang. Dadanya yang jadi sa-
saran
terasa mau jebol. Rasanya nyeri bukan alang
kepalang!
"Hea...!"
Jiwo
Langgeng gusar bukan main. Disertai te-
riakan
keras, tiba-tiba tangan kirinya menghentak, me-
lontarkan
pukulan maut penuh tenaga dalam.
Melihat
dua larik sinar hitam legam siap mela-
brak
tubuhnya, Siluman Ular Putih cepat mendorong-
kan
kedua telapak tangannya yang penuh pukulan
sakti
'Tenaga Inti Bumi' ke depan. Dua larik sinar pu-
tih
terang pun segera melesat cepat, memapaki puku-
lan
maut Jiwo Langgeng! Dan....
Buummm!
"Aaakh...!"
Jiwo
Langgeng memekik setinggi langit. Seketi-
ka
tubuhnya yang tinggi kekar kembali terpental ke be-
lakang,
dan kembali menghantam dinding gua. Dan
begitu
tubuhnya jatuh berdebam ke tanah, pemuda itu
kontan
memuntahkan darah segar kembali!
Selang
beberapa saat, Jiwo Langgeng pun men-
gerang
hebat. Parasnya tampak demikian piasnya. Ra-
hangnya
menggembung, lalu kembali memuntahkan
darah
segar! Tubuhnya mengejang seraya menggapai-
gapai.
Namun belum juga niatnya terlaksana, tubuh
Jiwo
Langgeng pun kembali luruh ke tanah, langsung
diam
tak bergerak-gerak lagi!
"Selamat
menemui calon istrimu di liang lahat,
Manusia
licik!" celoteh Siluman Ular Putih, mengantar
kepergian
Jiwo Langgeng untuk selama-lamanya.
Angkin
Pembawa Maut menggigil di tempatnya.
Bukan
karena dingin, tapi karena tak kuasa menang-
gung
malu. Rasanya ia tak sanggup bertemu muka lagi
setelah
ditolong Siluman Ular Putih. Dan gadis cantik
bekas
murid Istana Ular Emas itu hanya bisa menan-
gis
sesenggukan.
"Eh...!
Kenapa dia menangis?" tanya Siluman
Ular
Putih, seolah bertanya pada diri sendiri.
Buru-buru
Siluman Ular Putih berbalik. Dan
ketika
sepasang mata tajamnya tertumbuk pada seso-
sok
tubuh indah terbentang dengan pakaian compang-
camping
tidak karuan, Soma sejenak menikmatinya.
"To...
tolong bebaskan totokanku, Soma!" pinta
gadis
cantik itu memelaskan.
"Ya,
ampun! Kenapa aku jadi terlena begini...?!"
rutuk
Siluman Ular Putih dalam hati seraya menepuk
jidatnya
sendiri.
Lalu
dengan pipi memerah menahan jengah
murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu pun segera me-
langkah
mendekati Angkin Pembawa Maut. Kemudian
sambil
berpaling ke samping, segera ditotoknya bebe-
rapa
jalan darah di tubuh Angkin Pembawa Maut un-
tuk
memulihkannya.
Begitu
terbebas dari pengaruh totokan Jiwo
Langgeng,
Puspa Sari segera meloncat bangun. Tu-
buhnya
segera berkelebat cepat keluar seraya mena-
han
jatuhnya air mata!
"Eh
kau mau ke mana, Angkin? Tunggu!" teriak
Soma
kaget bukan main.
Sementara
Angkin Pembawa Maut langsung
berlari
keluar dengan pakaian compang-camping tidak
karuan,
menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuh-
nya
yang menyimpan sejuta pesona.
Mendengar
ucapan Soma, entah kenapa Angkin
Pembawa
Maut yang tengah gusar mendadak meng-
hentikan
langkahnya.
"Ada
apa lagi, Soma?" tanya Puspa Sari ketus
seraya
berbalik menghadap Siluman Ular Putih.
"Kau...
Kau...."
Sejenak
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
menelan
ludahnya. Sementara sinar matanya yang ta-
jam
terus menjilati buah dada Angkin Pembawa Maut.
"Ada
apa, Soma? Kenapa kau memandangi aku
seperti
itu?" tanya Angkin Pembawa Maut, setengah
berteriak.
"Apakah
kau..., kau akan pergi dengan pakaian
compang-camping
tidak karuan begitu?"
Angkin
Pembawa Maut sejenak memperhatikan
tubuhnya.
Dan ia kontan memekik ketika disadari ka-
lau
tubuhnya tampak polos. Menyadari hal itu, buru-
buru
badannya berbalik kembali.
"Cepat!
Berikan pakaian hitam-hitammu, So-
ma!"
ujar Puspa Sari.
"Ba...,
baik!" sahut Soma agak gugup.
Perlahan-lahan
Siluman Ular Putih pun mulai
menanggalkan
pakaian hitam-hitamnya yang kedodo-
ran.
"Tapi
jangan uring-uringan begini, dong!" kata
Soma.
"Cerewet!
Lekas tanggalkan pakaianmu. Dan,
tinggalkan
tempat ini!" bentak Angkin Pembawa Maut
ketus.
"Sebenarnya
ada apa sih? Kenapa kau tampak
sangat
membenci ku? Bahkan kau pun menginginkan
nyawaku?
Apa dosa-dosaku, Angkin?" sahut Soma tak
pedulikan
bentakan Angkin Pembawa Maut.
"Beruntung
aku tidak melontarkan pukulan
'Lahar
Bumi'-ku begitu terbebas dari totokan itu, So-
ma!
Sekarang apa kau ingin memancing kemarahanku,
he?!"
dengus Angkin Pembawa Maut galak.
"Jadi...
jadi? Kau sudah memaafkan dosa-
dosaku
yang tidak jelas itu, Angkin?" tanya Soma se-
nang.
"Jangan
cerewet! Lekas serahkan pakaian hi-
tam-hitammu.
Dan lekas kau balikkan badanmu!"
"Baik!
Nih!" kata Soma seraya melemparkan
pakaian
hitam-hitamnya. Lalu cepat badannya berba-
lik
menghadap ke tembok.
Tubuhnya
yang tinggi kekar itu tampak tidak
lagi
lucu seperti ketika masih mengenakan pakaian hi-
tam-hitam
yang kedodoran itu. Malah kini dengan
mengenakan
pakaian rompi dan celana bersisik warna
putih
keperakan itu, sosok murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
itu malah tampak menarik!
Angkin
Pembawa Maut yang saat itu sudah
mengenakan
pakaian hitam-hitam pemberian Soma se-
jenak
memperhatikan punggung murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo saksama. Sedikit pun tidak dipeduli-
kannya
pakaian hitam-hitamnya yang kedodoran.
"Cepat
balikkan tubuhmu, Soma!" bentak Ang-
kin
Pembawa Maut.
Soma
segera berbalik. Namun ketika melihat
penampilan
Angkin Pembawa Maut, Soma pun kontan
tertawa
bergelak.
"Ah...!
Kau malah tampak semakin cantik den-
gan
pakaian hitam-hitam yang kedodoran itu, Angkin.
Senang
sekali aku melihatmu demikian. Sebaiknya,
mulai
saat ini juga kau harus mengenakan pakaian hi-
tam-hitam,
Angkin. Aku yakin, kau malah tambah can-
tik
dua kali lipat!" puji Soma.
Angkin
Pembawa Maut melotot lebar. Entah
kenapa
tiba-tiba saja hatinya jadi rusuh bukan main
begitu
melihat wajah Siluman Ular Putih. Samar-
samar
kembali terbayang saat-saat indah sewaktu me-
reka
sama-sama dijebloskan ke dalam kubangan besar
berisi
ribuan ular emas. Namun Puspa Sari buru-buru
tepiskan
bayangan indah itu. Dan kini dengan mata
berkilat-kilat
penuh kemarahan dipandanginya Silu-
man
Ular Putih.
"Angkin!
Sebenarnya ada apa? Tampaknya kau
demikian
membenci ku? Ada apa?" tuntut Soma.
"Aku
tak dapat mengatakannya. Tapi kau sen-
dirilah
yang harus tahu, kenapa aku menginginkan
nyawamu!"
sahut Angkin Pembawa Maut ketus.
"Apa
kau kecewa dengan sikapku sewaktu kita
bertemu
terakhir kali di hutan luar Istana Ular Emas?"
duga
Soma, mencoba.
"Kau
sudah tahu! Kenapa kau tidak lekas-lekas
minggat
dari sini agar luka hatiku sedikit terobati,
he?!"
"Jadi?
Kau... kau...."
Soma
tak sanggup meneruskan ucapannya. Ki-
ni
ia tahu kenapa Angkin Pembawa Maut demikian
membenci
dirinya. Bahkan menginginkan nyawanya.
"Ah...!
Aku menyesal sekali telah bertindak bo-
doh,
Angkin. Tapi demi Tuhan, tidak secuil pun aku
punya
niat keji padamu! Percayalah! Aku memang me-
nyayangi
mu. Tak hanya selembar nyawaku rela ku
pertaruhkan
demi menjaga mu. Tapi, kalau soal cinta?
Ya,
ampun! Aku belum tahu pasti, Angkin. Tugas di
pundakku
masih terlalu berat. Kalau kau tidak kebera-
tan,
aku mohon agar kau suka menangguhkan urusan
ini,
Angkin!" papar Soma dengan wajah murung.
Angkin
Pembawa Maut mengeluh dalam hati.
Melihat
raut wajah pemuda itu yang tampak demikian
murung,
entah kenapa hati Puspa Sari jadi gelisah se-
kali.
Tanpa sadar rasa benci yang semula menggelegak
memenuhi
dada, mendadak sirna berganti rasa sayang
yang
teramat sangat.
"Ma...,
maukah kau memaafkan ketololanku
ini,
Angkin?" pinta Soma dengan suara serak.
Angkin
Pembawa Maut tak sanggup berkata-
kata
lagi. Hatinya yang rusuh tidak karuan, membuat
gadis
cantik itu kembali meneteskan air mata.
"Kau...
kau tidak mau memaafkan kesalahan-
ku,
Angkin?" tanya Soma lagi penuh harap.
Puspa
Sari menggigit bibirnya gelisah.
Soma
menunggu jawaban Angkin Pembawa
Maut
dengan perasaan tegang. Diperhatikannya wajah
pucat
pasi gadis itu.
"Aku...
Aku sudah memaafkanmu, Soma," sa-
hut
Angkin Pembawa Maut dengan suara serak
"Benarkah?"
Soma membeliakkan matanya tak
percaya.
Angkin
Pembawa Maut mengangguk perlahan.
Lalu
entah karena apa, tiba-tiba kepalanya menunduk
dalam-dalam.
Siluman
Ular Putih yang mendengar kata maaf
dari
mulut Angkin Pembawa Maut merasa lega bukan
main.
Ibarat baru saja terbebas dari sebongkah batu
yang
menghimpit dada. Maka segera didekatinya Ang-
kin
Pembawa Maut. Dipeluknya gadis cantik itu erat-
erat.
"Terima
kasih, Angkin! Terima kasih! Kau me-
mang
sahabatku yang paling baik!"
Puspa
Sari memejamkan matanya rapat-rapat,
menikmati
pelukan pemuda tampan yang sangat dicin-
tai.
"Peluklah
aku erat-erat, Soma!" pinta gadis can-
tik
itu merintih memelaskan. Air matanya pun kembali
merembes
keluar membasahi pipi.
Siluman
Ular Putih terharu. Tanpa diminta
pun,
segera pelukannya dipereratkan di tubuh Angkin
Pembawa
Maut.
Puspa
Sari pun kembali mendesah lirih sekali,
hampir
tak kedengaran. Namun Soma dapat menden-
gar
jelas bisikan lembut gadis itu. Maka tanpa banyak
tanya
lagi, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini pun
segera
mencium bibir tipis Angkin Pembawa Maut.
Angkin
Pembawa Maut mendesah. Sepasang
matanya
terkatup rapat-rapat di antara helaan-helaan
nafasnya
yang hangat menyentuh kulit Soma.
SELESAI
Segera
terbit!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
IBLIS
PEMANGGIL ROH
Emoticon