Siluman Ular Putih 8 - Sayembara Angkin Pembawa Maut(2)


8

Terdorong rasa ingin memiliki tubuh Angkin
Pembawa Maut yang teramat mengundang gairah, Jiwo
Langgeng terus berkelebat sambil terus memutar otak-
nya. Keningnya terus berkerut-kerut pertanda tengah
berpikir keras. 
"Rasanya tak mungkin aku menghadapi Silu-
man Ular Putih seorang diri. Tak kusangka pemuda
sinting itu demikian hebatnya. Kalau niatku ingin ter-
kabul, tak ada pilihan lain. Aku harus mencari bala
bantuan. Atau, kalau perlu aku harus bekerja sama
dengan para peng..., eh! Siapakah dia?"
Mendadak pemuda dari Lembah Patak Banteng
itu menghentikan larinya. Dilihatnya di bawah rin-
dangnya sebuah pohon tampak seseorang berpakaian
hitam-hitam tengah mengerang-erang kesakitan. Pa-
kaiannya pun tampak compang-camping tidak karuan.
Malah, sebagian hangus terbakar!
"Ah...! Datuk Wanoro! Rupanya ia pun gagal
untuk membunuh Siluman Ular Putih," desah Jiwo
Langgeng lagi. "Hm.... Kukira manusia bodoh itu bisa
ku  akali  untuk bekerja sama. Siapa tahu dia mau?
Kupikir sekarang jalan satu-satunya yang terbaik
hanya itu. Masalah selanjutnya setelah Siluman Ular
Putih dibunuh gampang. Pokoknya, aku dapat mem-
bawa kepala Siluman Ular Putih dan menyerahkannya
pada Angkin Pembawa Maut! Kalau sudah begitu, su-
dah pasti gadis cantik itu akan jatuh ke dalam pelu-
kanku...."
Habis berpikir demikian, Jiwo Langgeng pun
tersenyum-senyum senang. Perlahan kakinya pun mu-
lai melangkah kembali mendekati Datuk Wanoro.

"Bagaimana kabarmu, Sahabat?" sapa pemuda
itu, ramah. "Tampaknya kau terluka? Hm.... Rasanya
aku tak sabar lagi ingin merobek-robek mulut pemuda
lancang itu. Tapi, sayang. Aku dapat dikalahkannya.
Kau sendiri bagaimana, Sahabatku?"
Sepasang mata bulat Datuk Wanoro sejenak
berkilat-kilat penuh kemarahan mendengar ucapan
pemuda ini yang seperti mengejeknya. Namun ketika
mendengar kalau pemuda itu pun telah dapat dikalah-
kan oleh Siluman Ular Putih, entah kenapa kilatan si-
nar kemarahan dalam sorot matanya jadi redup.
"Setan Alas! Aku pun dapat dikalahkan pemuda
gendeng itu. Benar-benar tak kusangka kalau pemuda
itu memiliki kepandaian hebat. Namun aku, tak sudi
menerima kekalahan begitu saja. Apa pun yang terjadi,
aku harus menuntut balas!" desis Datuk Wanoro.
Diam-diam Jiwo Langgeng tersenyum gembira
dalam hati. Memang, itulah yang diinginkan. Dengan
memancing amarah Datuk Wanoro, ia yakin kerja sa-
manya akan terlaksana.
"Aku pun juga demikian, Datuk Wanoro. Pemu-
da itu tak mungkin dibiarkan makin menginjak-injak
kepala. Meski aku telah dikalahkan, namun api den-
dam dalam hatiku tak mungkin sirna begitu saja,"
oceh Jiwo Langgeng dengan paras dibuat tegang. "Ka-
lau kau tidak keberatan, aku ingin sekali kita bekerja
sama menghancurkan Siluman Ular Putih."
Jiwo Langgeng menunggu berharap-harap ce-
mas. Ia khawatir kalau-kalau Datuk Wanoro akan me-
nolak tawarannya.
Sejenak Datuk Wanoro memandangi pemuda di
hadapannya. Sepasang matanya yang mirip kera tak
henti-hentinya meneliti sekujur tubuh Jiwo Langgeng,
dari ujung kaki hingga ke ujung rambut dengan kening

berkerut. 
"Sebenarnya apa yang diinginkan pemuda di
hadapanku ini? Apa maksudnya mengajak kerja sama?
Apakah tidak ada maksud-maksud licik lainnya? Se-
bab, bukan mustahil pemuda macam Jiwo Langgeng
ini akan berniat licik demi keuntungan pribadi. Ah...!
Kenapa aku takut? Tidak seharusnya aku takut meng-
hadapi kelicikannya. Baiklah! Akan kulayani, sampai
di mana kelicikannya. Yang penting, aku dapat me-
lampiaskan dendam ku pada Siluman Ular Putih!" gu-
mam Datuk Wanoro dalam hati.
"Bagaimana, Datuk Wanoro? Apa kau kebera-
tan bekerja sama?" lanjut Jiwo Langgeng.
"Hm...!" Datuk Wanoro menggumam  tak jelas.
"Kukira kita punya maksud yang sama dan dendam
yang sama. Tak enak rasanya menolak ajakan mu ini."
"Jadi  kau setuju, Datuk Wanoro?" tanya Jiwo
Langgeng gembira.
Namun, sebenarnya dalam hati pemuda itu
tengah bertanya-tanya penuh keheranan.
"Aku harus hati-hati melihat perubahan sikap-
nya. Kenapa ia mau diajak kerja sama begitu saja? Ta-
di jelas kulihat ia sangat mencurigai maksudku. Apa-
kah ia juga punya maksud sama sepertiku? Hm...! Bisa
jadi! Mengapa tidak? Toh, ia juga sama-sama mengin-
ginkan Angkin Pembawa Maut!" kata Jiwo Langgeng
dalam hati. 
"Kenapa tidak?! Dan mengenai Angkin Pemba-
wa Maut, untuk sementara kita tangguhkan sebentar!"
sahut Datuk Wanoro.
"Baiklah! Kalau begitu, sekarang juga kita cari
pemuda sinting bergelar Siluman Ular Putih itu, Datuk
Wanoro!" kata Jiwo Langgeng akhirnya.
"Baik!"

Habis berkata begitu, Datuk Wanoro dan Jiwo
Langgeng pun mulai bersiap-siap meninggalkan tem-
pat. Namun baru saja hendak bergerak mendadak se-
pasang mata tajam Jiwo Langgeng menangkap sesosok
bayangan berjubah tengah berkelebat menuju ke tem-
pat mereka.
"Tunggu, Datuk Wanoro! Kukira tak ada jelek-
nya kalau kita mengajak Badar Angin. Tapi, kenapa ia
hanya seorang diri? Ke mana Badar Topan?" ujar Jiwo
Langgeng.
"Aku tidak tahu pasti. Tadi sebelum aku pergi,
sempat kulihat kalau Badar Topan dapat dirobohkan

Siluman Ular Putih. Mungkin pingsan, mungkin juga
sudah modar di tangan pemuda itu," jawab Datuk Wa-
noro kurang senang. 
"Hm...! Pantas! Tampaknya Badar Angin pun
menderita luka dalam yang cukup parah. Pakaiannya
juga compang-camping tidak karuan," gumam Jiwo
Langgeng seraya mengangguk-angguk
Di hadapan Jiwo Langgeng dan Datuk Wanoro,
sejenak Badar Angin menghentikan langkah. Sepasang
matanya berkilat-kilat penuh kemarahan, memandangi
kedua orang di hadapannya.
"Tampaknya kalian berdua tadi saling kasak-
kusuk. Hm, aku curiga melihat kalian berdua tampak
demikian akur?" sindir Badar Angin.
Jiwo Langgeng tersenyum. Lalu dengan langkah
mantap, pemuda dari Lembah Patak Banteng itu maju
beberapa tindak ke depan.
"Aku dan Datuk Wanoro tadi memang baru saja
merencanakan sesuatu. Kalau tertarik, kau boleh turut
serta. Kalau tidak, sebaiknya pulang saja ke Gunung
Perahu!"
"Katakan! Rencana licik apa yang telah kalian

susun!" ujar Badar Angin membentak.
"Ah...! Kau ini tampaknya mencurigai kami. Ta-
pi, baiklah kalau kau ingin dengar rencana kami," ki-
lah Jiwo Langgeng. Lalu mulutnya didekatkan ke dekat
telinga Badar Angin.
Badar Angin tertawa bergelak begitu mendengar
bisikan Jiwo Langgeng. Sementara Jiwo Langgeng se-
gera mundur satu tindak ke belakang. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus memandang Badar Angin.
"Kau keberatan, Badar Angin?" kata Jiwo Lang-
geng.
"Sebenarnya aku keberatan, Pemuda Licik. Tapi
kalau mengingat nasib Badar Topan di tangan Siluman
Ular Putih yang belum jelas, dengan sangat terpaksa
aku ikut dengan rencana licik kalian."
"Kau meragukan itikad baik kami, Badar An-
gin?" tukas Jiwo Langgeng tak senang.
"Memang. Tapi, bukan berarti aku tidak setuju.
Cuma, aku butuh istirahat barang setengah hari untuk
memulihkan tenaga dalam," sahut Badar Angin, acuh
tak acuh.
"Baiklah kalau begitu. Aku juga perlu memu-
lihkan tenaga dalam dulu sebelum membuat perhitun-
gan dengan Siluman Ular Putih. Hayo, Datuk Wanoro!
Kita perlu beristirahat barang sejenak sambil membi-
carakan rencana selanjutnya!"
"Baiklah!"




***


9

Soma yang merasa penasaran bukan main atas
beberapa peristiwa yang menimpa dirinya, segera men-
gadakan penyelidikan.
Tempat pertama yang diselidiki adalah tempat
menghilangnya sosok bayangan kuning keemasan yang
telah membunuh Badar Topan dengan jarum-jarum
emasnya tadi. Namun setelah hampir setengah harian
mengaduk aduk sekitar Hutan Seruni, tetap saja Soma
tidak menemukan jejak si penyerang gelap tadi. 
Lalu, Siluman Ular Putih melanjutkan penyeli-
dikan jauh ke dalam hutan. Di sana pun, ia tidak me-
nemukan apa-apa kecuali pepohonan yang berjajar
rindang di kanan-kiri.
Sepasang mata Siluman Ular Putih yang tajam
tak henti-hentinya melihat keadaan sekitar. Namun te-
tap saja tidak menemukan apa-apa. Dan ketika sampai
jauh di luar hutan, tiba-tiba sepasang matanya men-
dadak jadi bersinar. Tak jauh dari tempatnya berdiri,
terlihat sesosok bayangan tinggi besar berjubah merah
darah!
"Pasti itu sosok Badar Angin! Berarti tempat
persembunyian orang yang berada di balik semua ke-
kacauan tentu tak jauh dari tempat ini," gumam Soma
dalam hati.
Kembali Siluman Ular Putih meneruskan lang-
kahnya.  Dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya se-
gera berkelebat cepat mengejar Badar Angin. Namun
lagi-lagi Soma harus menghentikan larinya ketika tiba-
tiba bayangan Badar Angin lenyap seperti ditelan bu-
mi.
Namun jauh di depan sana, Soma melihat se-

buah sendang luas berair jernih. Untuk sesaat, Soma
memperhatikan tempat itu saksama. Entah karena do-
rongan apa, Soma meneruskan langkah menuju sen-
dang di hadapannya. Namun baru saja kakinya berge-
rak beberapa langkah, mendadak berlompatan tiga so-
sok bayangan yang langsung menghadang.
"Bagus, bagus! Rupanya kau berani mati da-
tang kemari, Bocah!"
"Kalian lagi!" sungut Soma kesal seraya mena-
tap ketiga sosok penghadangnya.
Di depan Soma berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian ketat warna jingga. Di sebelah kanannya,
seorang lelaki berwajah monyet. Sedang di sebelah ki-
rinya seorang laki-laki berwajah tinggi besar berjubah
merah darah yang tadi sempat dilihat oleh Soma. Meli-
hat ciri-ciri demikian, ketiga orang itu tidak lain adalah
Jiwo Langgeng, Datuk Wanoro, dan Badar Angin!
"Ah...! Rupanya kalian mulai bersekongkol, ya?!
Tak kusangka! Lalu bagaimana  cara kalian menggilir
calon istri kalian yang cantik jelita itu?" ejek Soma dis-
ertai senyum menggoda.
"Jangan banyak bacot, Pemuda Sinting! Hari ini
adalah hari kematianmu!" bentak Badar Angin garang.
"Aha... ? Benarkah hari ini hari kematianku?
Apa tidak sebaliknya?"
"Keparat! Buat apa kita buang-buang waktu?!
Cepat habisi saja kunyuk gondrong satu ini!" teriak Ji-
wo Langgeng penuh kemarahan.   
Habis berkata begitu, pemuda dari Lembah Pa-
tak Banteng itu melompat menerjang. Bogem mentah-
nya diarahkan ke wajah Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih sedikit merundukkan kepa-
la, membuat jotosan tangan kanan Jiwo Langgeng
hanya mengenai angin. Kemudian bersamaan dengan

itu, dengan kecepatan tak terduga tiba-tiba Soma
mengirimkan patukan tangan kanan yang membentuk
kepala ular di dada.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak sekali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih mendarat di dada Jiwo Langgeng. Pemuda ini kon-
tan mengerang keras. Tubuhnya terjajar beberapa
tombak ke belakang.
"Hati-hati, Kawan! Jangan terlalu terburu naf-
su! Ingat! Aku bukan calon istrimu. Aku adalah malai-
kat dari dasar neraka yang akan mengirim nyawa bu-
sukmu ke sana!" ejek murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Setan Alas! Aku tidak mungkin mengampuni
nyawa busukmu, Kunyuk Gondrong!" dengus Jiwo
Langgeng penuh kemarahan.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh
kekar Jiwo Langgeng segera menerjang kembali. Tan-
gan kanannya mencengkeram ubun-ubun kepala, se-
dang tangan kiri melontarkan jotosan ke dada. Bersa-
maan itu, Datuk Wanoro dan Badar Angin pun telah
menyerang tak kalah hebat.     
Siluman Ular Putih mendengus jengkel. Seketi-
ka dikerahkannya jurus andalan 'Terjangan Maut Ular
Putih'. Tubuhnya pun berkelebatan di antara gulungan
serangan-serangan ketiga lawannya.
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan-bentakan nyaring, tubuh Si-
luman Ular Putih terus berkelebat cepat. Dan sesekali
kedua tangannya yang membentuk kepala ular mema-
tuk-matuk ke tubuh para pengeroyoknya. Namun de-
mikian, tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun tak lu-
put dari tamparan dan jotosan-jotosan ketiga lawan-

nya, membuat tubuhnya terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Pada saat Siluman Ular Putih tengah terjajar,
mendadak bak air bah ketiga orang pengeroyok kem-
bali menyerang. Dengan keris di tangan, Jiwo Lang-
geng terus mendesak Siluman Ular Putih. Sedang Da-
tuk Wanoro dan Badar Angin meski hanya dengan tan-
gan kosong, namun tak boleh dipandang ringan.
Setelah sepuluh jurus berlangsung, perlahan-
lahan namun pasti, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu mulai terdesak hebat. Entah sudah berapa kali tu-
buhnya terkena tendangan dan pukulan para penge-
royok. Padahal Siluman Ular Putih telah mengerahkan
jurus andalan lain, 'Ular Kembar Mengejar Mangsa'! 
"Jangkrik! Mereka benar-benar menginginkan
nyawaku!" rutuk Siluman Ular Putih dalam hati.
"Mampus kau, Bocah Sinting! Makanlah puku-
lan 'Menggulung Angin Topan'-ku!" bentak Badar An-
gin garang. 
Kedua telapak tangan lelaki tinggi besar yang
telah berubah jadi merah menyala segera menghentak.
Seketika itu serangkum angin panas bergulung-gulung
laksana topan segera meluruk ke arah Siluman Ular
Putih.
Bersamaan itu, Datuk Wanoro pun telah melon-
tarkan pukulan maut 'Gada Bumi'. Sedang Jiwo Lang-
geng dengan keris yang memendarkan cahaya kehi-
jauan pun berkali-kali  mengancam tubuh Siluman
Ular Putih.
Siluman Ular Putih benar-benar kewalahan.
Namun diam-diam dikerahkannya pukulan 'Kodok Pe-
rak Sakti' yang dipelajari dari Ki Prana Supit di Lem-
bah Kodok Perak. Dan begitu pukulan 'Menggulung
Angin Topan' Badar Angin dan pukulan 'Gada Bumi'

Datuk Wanoro meluncur dekat, kedua lututnya segera
ditekuk mirip gerakan seekor kodok. Dan....
"Koook...!"
Tiba-tiba terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut Siluman Ular Putih. Bersamaan itu, serangkum an-
gin dingin bukan main melesat dari kedua telapak tan-
gan Soma. Lalu....
Bummm...! Bummm...!
Hebat bukan main bentrokan tenaga dalam
yang terjadi. Bumi bergetar hebat laksana ada gempa!
Ranting-ranting pohon berderak dengan daun-daun
berguguran dalam keadaan hangus terbakar! Sebagian
lainnya pun membeku!
Tubuh Datuk Wanoro dan Badar Angin pun
tampak bergoyang-goyang. Kedua kakinya amblas be-
berapa jari ke dalam tanah! Sementara tubuh Siluman
Ular Putih terpental ke belakang! Dan saat kedua ka-
kinya dapat menjejak tanah, langsung dibuatnya bebe-
rapa gerakan untuk mengenyahkan guncangan pada
dadanya.
Begitu Siluman Ular Putih bersiap kembali, Da-
tuk Wanoro, Badar Angin, dan Jiwo Langgeng kembali
melancarkan serangan. Maka terpaksa Soma menca-
but senjata pusakanya dari balik pinggang. Begitu sen-
jata berupa anak panah berkepala ular yang memiliki
dua cakra kembar di kanan kiri kepala berbentuk ular
itu tercabut, dengan pengerahan tenaga dalam tinggi,
maka seketika hawa dingin yang bukan kepalang me-
menuhi tempat pertempuran.
Datuk Wanoro, Badar Angin, dan Jiwo Lang-
geng tampak terkesiap kaget. Seketika mereka meng-
hentikan serangan sejenak seolah tak percaya menda-
pati sekujur tubuh tiba-tiba menggigil hebat. Saat itu
juga mereka segera mengerahkan tenaga dalam untuk

mengusir hawa dingin. 
"Hebat! Tak kusangka kau memiliki senjata
demikian hebatnya, Siluman Ular Putih!" puji Jiwo
Langgeng. Sepasang matanya tak lepas dari senjata
pusaka di tangan Siluman Ular Putih.     
"Tapi sayang, tampaknya kau percuma mem-
punyai senjata sehebat itu, Siluman Ular Putih. Karena
sebentar lagi, nyawa busukmu akan melayang!" teriak
Badar Angin sengit.
"Terserah kalian mau bilang apa! Ini peringa-
tanku yang pertama dan terakhir. Cepat kalian kemba-
li ke jalan kebenaran kalau tidak ingin mampus!" an-
cam Siluman Ular Putih.
"Bocah edan! Nyawa sudah di ujung tanduk
masih bisa berkoar! Apa kau tidak lihat, malaikat pen-
jaga kubur telah mengintip nyawa busukmu?!" ejek
Datuk Wanoro.
"Justru sebaliknya. Nyawa kalianlah yang se-
bentar lagi akan terbang ke neraka!"
"Jangan banyak cingcong! Buktikan ucapanmu
kalau mampu, Siluman Ular Putih!" bentak Jiwo Lang-
geng garang.
Siluman Ular Putih bersiul-siul seenaknya.
Sementara ketiga tokoh persilatan ini merasa
panas bukan main. Maka tanpa banyak cakap lagi me-
reka pun kembali menyerang Siluman Ular Putih se-
rempak. Jiwo Langgeng dan Datuk Wanoro menyerang
dari arah depan. Sedang Badar Angin menyerang dari
samping dengan melontarkan pukulan 'Menggulung
Angin Topan'!
Sambil mainkan jurus andalan 'Ular Kembar
Mengejar Mangsa', Siluman Ular Putih melempar sen-
jata di tangan kanan ke arah Datuk Wanoro. Sementa-
ra telapak tangan kirinya yang telah berubah putih te-

rang menghentak ke samping untuk memapaki puku-
lan Badar Angin.
Wesss! Wesss!
Bummm...!
Terdengar ledakan hebat di udara. Tubuh Ba-
dar Angin kontan terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang! Bersamaan dengan itu....
"Aaa...!"
Tiba-tiba Datuk Wanoro memekik keras. Ia se-
mula menganggap enteng senjata Anak Panah Berca-
kra Kembar. Ketika senjata itu menyerang dirinya, tu-
buhnya sedikit dimiringkan ke samping. Memang sen-
jata anak panah itu terus menerabas ke belakang tan-
pa sedikit pun melukai tubuhnya. Namun ketika hen-
dak menyerang Soma dari arah belakang, senjata pu-
saka itu telah berbalik. Dan tahu-tahu, pundak ka-
nannya telah terasa nyeri bukan main.
Ketika Datuk Wanoro memalingkan kepala ke
belakang, tampak senjata anak panah yang tadi dilem-
parkan Siluman Ular Putih kini telah menancap di
pundak kanannya.
Dengan dengus kemarahan, Datuk Wanoro
mencabut senjata Anak Panah Bercakra Kembar dari
pundaknya. Begitu senjata anak panah itu keluar, da-
rah segar pun menyembur dari lukanya. 
"Jahanam! Kau pun patut merasakan tajamnya
senjata anak panahmu ini, Keparat!" 
Dengan segenap kemarahannya, Datuk Wanoro
melontarkan senjata anak panah milik Siluman Ular
Putih.
Saat itu tubuh Siluman Ular Putih yang tengah
tergetar hebat akibat bentrokan tenaga dalam dengan
Badar Angin tadi terkesiap kaget, melihat anak panah
miliknya melesat menyerang dirinya. Sedang saat itu,

Jiwo Langgeng pun tengah menyerang dengan keris di
tangan.
"Hup!"
Buru-buru Siluman Ular Putih meloncat tinggi
ke udara. Sambil menyambar senjata anak panah mi-
liknya dengan tangan kanan, Soma berhasil menghin-
dari serangan-serangan Jiwo Langgeng.
Namun baru saja Siluman Ular Putih menda-
rat....
Wesss...!
Serangkum  angin panas bukan main melesat
ke arah Soma. Begitu cepatnya, sehingga tak terhinda-
ri lagi. Akibatnya....
Wesss!
Sprasss...!
"Aaa...!"
Siluman Ular Putih meraung keras. Tubuhnya
kontan terlempar dan jatuh berdebum ke tanah. Da-
danya terasa sesak dengan perut mual. Dan....
"Hoekhhh...!" 
Soma memuntahkan darah segar.
"Ha ha ha...!"
Datuk Wanoro tertawa bergelak. Namun seketi-
ka itu tawa Datuk Wanoro terhenti dan berubah den-
gan keterkejutan. Demikian pula Jiwo Langgeng dan
Badar Angin. Mereka langsung menghentikan serangan
ketika melihat asap putih tipis mulai menyelimuti se-
kujur tubuh Siluman Ular Putih!
Mereka tidak tahu kalau murid Eyang Begawan
Kamasetyo saat itu tengah mengerahkan ajian pa-
mungkas 'Titisan Siluman Ular Putih', sehingga kem-
bali tertawa bergelak. Kedua telapak tangan mereka
pun siap melontarkan pukulan maut masing-masing.
Namun baru saja hendak bertindak, mendadak.... 

"Gggeeerrr...!"

***

10

Ketiga lawan Siluman Ular Putih tercekat bu-
kan main. Apa yang terlihat di balik asap putih yang
masih menutupi sebagian sosok itu benar-benar mem-
buat hati mereka bergidik ngeri. Sosok yang membuat
mereka terkejut bukanlah sosok pemuda berambut
gondrong seperti sebelumnya. Melainkan sosok pan-
jang memutih sebesar pohon kelapa! Sepasang ma-
tanya yang berwarna merah saga tampak berkilat-kilat
penuh kemarahan dengan taring-taringnya yang runc-
ing.
Terkadang sosok panjang yang tidak lain Silu-
man Ular Putih menampakkan kepalanya dari balik
asap putih. Namun sebentar kemudian, sosok itu
hanya terlihat punggungnya yang meliuk-liuk di antara
asap putih tipis yang masih menyelimuti sosoknya!
"Si... Siluman Ular Putih!" desis ketiga tokoh
persilatan itu hampir bersamaan.
"Keparat! Kenapa kita mesti takut? Toh, ular
putih itu hanya jejadian. Hayo kita serang ular keparat
itu!" bentak Datuk Wanoro setelah mampu menguasai
diri.
Habis membentak begitu, Datuk Wanoro pun
segera menghentakkan tangannya, melepas pukulan
'Gada Bumi' ke arah tubuh Siluman Ular Putih. Seke-
tika serangkum angin melesat dari kedua tangannya,
dan telak sekali menghantam tubuh Siluman Ular Pu-
tih.

Bukk! Bukkk! 
"Gggeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng keras dengan
tubuh terlempar ke samping dan jatuh berdebam. Bu-
mi bergetar hebat! Debu-debu membubung tinggi ke
udara! 
Datuk Wanoro tertawa bergelak. Senang sekali
lelaki bertampang monyet ini. Namun tawanya menda-
dak berhenti, dan berubah menjadi rasa terkejut yang
amat sangat. Ternyata sosok panjang Siluman Ular Pu-
tih sedikit pun tidak mengalami cedera! Malah sepa-
sang matanya yang memerah kini memandang berin-
gas ketiga orang pengeroyoknya. Padahal tadi Datuk
Wanoro telah membayangkan kalau tubuh Siluman
Ular Putih akan hancur berkeping-keping. Namun apa
yang dilihatnya benar-benar membuatnya harus ber-
decak penuh kagum!
"Setan Alas! Rupanya Siluman Ular Putih kebal
terhadap pukulan 'Gada Bumi'!" geram Datuk Wanoro
seolah tak percaya.
Sementara Badar Angin dan Jiwo Langgeng pun
tak urung membeliakkan mata tak percaya. Dan terdo-
rong rasa tidak percayanya, Badar Angin telah mendo-
rongkan kedua telapak tangannya yang telah berubah
merah menyala, melepas pukulan 'Menggulung Angin
Topan'. 
Wess! Wesss!
Dua larik sinar merah yang bergulung-gulung
melesat dari kedua telapak tangan Badar Angin. Begitu
cepatnya, dan langsung menghantam tubuh Siluman
Ular Putih.
Bukkk! Bukkk!
"Grerrr...!"
Sekali lagi Siluman Ular Putih menggereng ke-

ras. Suaranya yang berat terdengar ke sudut-sudut
Hutan Seruni. Sedang tubuhnya yang panjang kembali
terlempar. Namun seperti kejadian semula, sedikit pun
tidak mengalami cedera berarti! Malah kini ekornya di-
kibas-kibaskan, membuat tanah di sekitar tempat per-
tarungan bergetar. Dan tiba-tiba Siluman Ular Putih
telah menerjang ketiga pengeroyoknya sekaligus.
Wesss!
Jiwo Langgeng masih penasaran. Ia belum puas
kalau belum unjuk gigi. Maka begitu melihat Siluman
Ular Putih berkelebat ke arahnya tubuhnya pun berke-
lebat. Keris pusakanya diputar-putar sedemikian rupa.
Dan begitu tangan kanannya terayun....
Tak!
Keris itu memang menghujamkan berkali-kali
ke tubuh Siluman Ular Putih. Namun, apa yang terja-
di?
Ternyata tubuh ular raksasa itu kebal terhadap
senjata tajam.
Mata Jiwo Langgeng melotot tak percaya. Malah
tangan kanannya terasa kesemutan. Tadi keris di tan-
gan kanannya seolah membentur tembok baja yang
kuat sekali! Dan ketika matanya melirik, Jiwo Lang-
geng pun kontan terkesiap kaget! Ternyata, keris pu-
sakanya bengkok!
"Keparat! Tak kusangka tubuh Siluman Ular
Putih ini kebal terhadap tusukan kerisku!" desis Jiwo
Langgeng, menggeleng-geleng tak percaya.
Dan ketika hendak bertindak lebih lanjut, men-
dadak pemuda ini merasakan serangkum angin dingin
yang bergulung-gulung ke arahnya dari belakang. Be-
gitu kepalanya menoleh ke belakang, betapa terkejut-
nya pemuda dari Lembah Patak Banteng itu. Ternyata,
ekor Siluman Ular Putih telah mengancam punggung-

nya. Dan.... 
Bukkk!
Telak dan keras sekali ekor Siluman Ular Putih
menghantam punggung Jiwo Langgeng. Tanpa ampun
tubuh tinggi kekarnya melayang-layang di udara bak
layangan putus.
Brukkk...!
Begitu jatuh mencium tanah, Jiwo Langgeng
berusaha meloncat bangun. Namun sayangnya, ia tak
berdaya. Bahkan darah segar termuntah dari mulut-
nya. Dan tubuhnya pun kembali ambruk ke tanah.
Bukan main terkejutnya Badar Angin dan Da-
tuk Wanoro melihat Jiwo Langgeng dapat dirobohkan
hanya dalam sekali gebrak. Dan begitu Siluman Ular
Putih kembali menyerang mereka segera menghentak-
kan kedua telapak tangan ke depan. Seketika empat
larik sinar merah menyala dan sinar hitam legam me-
lesat cepat mengincar keselamatan Siluman Ular Putih!
Bukkk! Bukkk!
"Gggeeerrr...!"
Tubuh Siluman Ular Putih kembali terlempar
ke samping. Bumi bergetar hebat! Debu-debu membu-
bung tinggi. Begitu tubuh Siluman Ular Putih jatuh
berdebam ke tanah, Datuk Wanoro dan Badar Angin
pun segera menyerang kembali.
"Hea...! Hea...!"
Diiringi teriakan membelah angkasa Badar An-
gin dan Datuk Wanoro segera menghentakkan kedua
tangan, melepas pukulan jarak jauh.
Namun kali ini Siluman Ular Putih bertindak
lebih cerdik. Begitu melihat empat larik sinar kembali
menyerang, segera ekornya digeser ke samping. Gese-
ran itu tak sekadar menghindar, tapi sekaligus balik
menyerang demikian hebat!

"Ah...!" pekik Datuk Wanoro dan Badar Angin
hampir bersamaan.
Saat itu, kibasan ekor Siluman Ular Putih su-
dah demikian dekatnya. Tak mungkin bagi kedua
orang itu untuk menghindar. Maka tanpa ampun la-
gi....
Krakk...! Krakkk...! 
"Aaakh...!"
Terdengar tulang-tulang iga yang patah, begitu
kedua orang pengeroyok terhantam telak oleh kibasan
ekor Siluman Ular Putih. Lalu disusul jeritan, sebelum
akhirnya tubuh kedua orang itu terlempar jauh ke
samping.
Sementara itu Siluman Ular Putih pun kembali
menyerang, sebelum Badar Angin dan Datuk Wanoro
sempat bangkit. Kibasan-kibasan dan terkaman-
terkamannya tampak demikian mengerikan. Seketika
paras kedua orang itu jadi makin pias!
"Setan Alas! Tak mungkin aku menghadapi Si-
luman Ular Putih!" maki Datuk Wanoro seraya melem-
par tubuh ke samping.
"Huh! Tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus
mengubur keinginanku untuk jadi suami Angkin Pem-
bawa Maut!" dengus Badar Angin, juga membuang tu-
buhnya.
Dan begitu mereka selamat, seperti mendapat
kesempatan, Badar Angin dan Datuk Wanoro segera
meloncat bangun. Lalu dengan gerakan terseok-seok
kedua orang tokoh itu pun segera berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini.
Siluman Ular Putih tak ada keinginan untuk
mengejar kedua orang pengeroyoknya. Ular raksasa ini
ternyata lebih mempertimbangkan jiwa ksatrianya,
"Orang-orang congkak! Ada-ada saja permin-

taan kalian! Masa' mau cari istri saja pakai tumbal ke-
palaku! Huh!" sungut Soma kesal, begitu telah meru-
bah diri ke wujud manusia.
Sementara mulut pemuda murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo itu terus mengomel panjang pendek,
kakinya melangkah mendekati Jiwo Langgeng yang
masih terkapar di tanah rerumputan. Sekali lihat saja,
Soma tahu kalau pemuda dari Lembah Patak Banteng
itu hanya pingsan.
"Itulah akibatnya orang serakah!  Mau menang
sendiri! Mau enaknya sendiri!" sungut Soma dalam ha-
ti.
Habis bersungut-sungut begitu, Soma menekuk
kedua lututnya. Diperiksanya tubuh Jiwo Langgeng.
Tampak pakaian bagian atas yang terkena kibasan
ekor Siluman Ular Putih tadi robek di sana-sini. Kulit
dadanya sendiri pun berwarna merah seperti melepuh.
Soma segera menotok beberapa jalan darah di
tubuh bekas lawannya. Selang beberapa saat, perla-
han-lahan kelopak mata Jiwo Langgeng pun terbuka.
Namun begitu pemuda dari Lembah Patak Banteng
membuka mata keseluruhan, kontan terpekik kaget.
Dilihatnya pemuda sakti yang diinginkan nyawanya
tengah tersenyum kepadanya.
"Kalau kau menuruti permintaanku, kau tidak
akan sakit, Jiwo Langgeng!" gumam Soma dengan se-
nyum tersungging di bibir.
Jiwo Langgeng menggeram penuh kemarahan.
Ia berusaha meloncat bangun. Namun anehnya, tu-
buhnya kaku tak dapat digerakkan. Siluman Ular Pu-
tih perlebar senyum. Memang, di samping menotok pu-
lih beberapa jalan darah Jiwo Langgeng yang tersum-
bat, Soma pun tak lupa menotok kaku tubuh pemuda
itu. Sebab bukan mustahil kalau Jiwo Langgeng akan

segera menyerang bila telah siuman.
"Keparat! Aku sudah kalah! Buat apa kau me-
nahanku seperti ini, Kunyuk Sinting?!" maki Jiwo
Langgeng penuh kemarahan.
"Buat apa? Lucu sekali pertanyaanmu? Apa te-
lingamu budek? Hanya orang bodoh sajalah yang tidak
berusaha mencari tahu, kenapa kau dan kedua te-
manmu itu menginginkan nyawaku? Hayo, sekarang
cepat katakan kalau kau ingin selamat!" sahut Soma,
tegas.
"Jangan harap bicara," cibir Jiwo Langgeng.
"Jadi? Kau ingin aku menyiksamu terlebih da-
hulu? Begitu?" pancing Soma menakut-nakuti.
Jiwo Langgeng bungkam seribu bahasa. Sebe-
narnya, ia keberatan sekali. Namun kalau teringat
akan siksaan yang akan diberikan Siluman Ular Putin,
tak urung hatinya jadi bergidik ngeri.
"Kau masih tidak mau buka suara, Pemuda
bau pesing?! Jadi? Kau memang ingin disiksa dulu!
Sekarang, katakan! Siksaan apa yang kau ingin? Apa
kau ingin aku mengorek kedua biji matamu? Hayo, ce-
pat katakan! Siapa calon istrimu?! Kalau tidak, jangan
salahkan kalau aku terpaksa membutakan matamu!"
ancam murid Eyang Begawan Kamasetyo yang justru
malah terdengar lucu.
Meski ancaman Siluman Ular Putih kedenga-
rannya seperti main-main, namun Jiwo Langgeng ya-
kin, bukan mustahil akan ancaman tadi terlaksana.
Maka sebagai seorang tokoh sesat yang berjiwa licik,
jelas tidak mungkin mau disiksa seperti itu. Namun
untuk mengatakan begitu saja tanpa ada jaminan, Ji-
wo Langgeng masih pikir-pikir.
"Tapi, kau harus janji dulu, Siluman Ular Pu-
tih!" pinta Jiwo Langgeng dengan hati tegang.

"Semprul! Kau tidak layak meminta dariku! Kau
harus menuruti apa yang kuminta!"
"Kalau begitu, cepat laksanakan saja anca-
manmu tadi! Buat apa aku buka suara kalau akhirnya
tetap modar?!" sungut Jiwo Langgeng memancing per-
hatian Siluman Ular Putih.
"Apa?! Jadi, kau ingin aku segera melaksana-
kan ancaman ku tadi?" mata Siluman Ular Putih melo-
tot gusar.
"Lakukanlah!" ejek Jiwo Langgeng sinis. Soma
alias Siluman Ular Putih gusar bukan main. Walau ha-
tinya mangkel sekali, tapi tak mungkin ancamannya
tadi dibuktikan pada lawan yang sudah tak berdaya?
Soma sejenak memandangi Jiwo Langgeng. Lalu entah
karena dorongan apa, tahu-tahu murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo itu garuk-garuk kepala.
"Baiklah! Aku berjanji tidak akan membunuh-
mu, setelah kau mengatakan padaku, gadis sinting
mana yang menyuruh kalian, untuk memenggal kepa-
laku?" Siluman Ular Putih akhirnya mengalah.
"Lepaskan dulu totokanku! Baru aku bicara!" 
"Eh...! Mana bisa?! Kau harus bicara dulu, baru
totokanmu kubebaskan."
"Apa mulutmu bisa kupegang, Siluman Ular
Putih?" tukas Jiwo Langgeng ragu-ragu.
"Eh...! Sialan! Dasar pemuda bau pesing! Kau
kira aku ini pemuda macam apaan, he?! Pantang bagi-
ku untuk menjilat ludah sendiri!" sahut Soma gusar
bukan main.
"Baiklah. Sekarang aku akan buka suara." Se-
jenak Jiwo Langgeng hentikan bicara. Dalam pikiran-
nya saat itu tengah terbayangkan tubuh Angkin Pem-
bawa Maut yang teramat menantang gairahnya. Dan
rasanya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menikma-

tinya. Tapi sayang, gadis itu tidak sudi untuk jadi is-
trinya selama Jiwo Langgeng belum dapat memenggal
kepala Siluman Ular Putih. Dan ini membuat jiwa Jiwo
Langgeng terpukul. Apalagi kalau teringat akan uca-
pan-ucapan Angkin Pembawa Maut ketika ia hendak
meminjam Tombak Raja Akhirat. Diam-diam Jiwo
Langgeng jadi gusar bukan main.
"Awas kau, Angkin Pembawa Maut! Meski aku
belum mampu memenggal kepala Siluman Ular Putih,
tapi keinginanku untuk  memiliki mu  tak akan sirna!
Tidak, Angkin! Apa pun yang terjadi, aku harus dapat
memiliki mu!" desis Jiwo Langgeng dalam hati.
"Eh...! Kau ini bagaimana, sih? Kenapa malah
bengong begitu? Hayo, lekas katakan! Gadis bengal
mana yang jadi calon istrimu itu?" sentak Siluman
Ular Putih, jengkel melihat mulut Jiwo Langgeng hanya
berkemik-kemik tanpa suara. Jiwo Langgeng tersentak.
"Aku... aku tidak tahu namanya. Siluman Ular Putih.
Karena memang ia tidak sebutkan namanya. Aku
hanya tahu gelarnya," sahut Jiwo Langgeng.
"Kau bicara terlalu plintat-plintut, Pemuda bau
pesing! Lekas katakan, siapa gelar gadis brengsek itu!"
teriak Soma tak sabar.
"Dia... dia bergelar Angkin Pembawa Maut..."
Bukan main terkejutnya Siluman Ular Putih. Seketika
parasnya pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik seolah
tak percaya apa yang baru saja didengar.
"Angkin Pembawa Maut...?"  ulang  Soma  tak
percaya. Sepasang matanya yang tajam terus meman-
dangi Jiwo Langgeng penuh selidik. Karena, bisa saja
pemuda licik itu hanya menyebar fitnah.
"Ya. Dialah yang menginginkan nyawamu, Si-
luman Ular Putih. Ia bersedia jadi istri siapa saja yang
dapat membunuhmu. Bahkan akan menghadiahkan

Tombak Raja Akhirat pada suaminya kelak!"
"Sontoloyo! Jadi, Angkin Pembawa Maut yang
berdiri di balik semua kekacauan ini?!" dengus Silu-
man Ular Putih, gusar bukan main. "Sekarang cepat
katakan, di mana aku dapat menemui Angkin Pemba-
wa Maut!"
"Kau bisa menemuinya di gua dekat Sendang
Mangli," jawab Jiwo Langgeng.
"Di mana gua dekat Sendang Mangli itu?"
"Kau berjalanlah ke tepi barat. Di sana, kau
pasti akan menemukan sebuah gua kecil yang tertutup
semak belukar. Di gua itulah Angkin Pembawa Maut
menyembunyikan diri."
"Terima kasih atas keteranganmu, Jiwo Lang-
geng. Sekarang juga aku akan ke sana."
"Eh, tunggu! Kau belum membebaskan toto-
kanku, Siluman Ular Putih!" cegah Jiwo Langgeng ce-
pat ketika murid Eyang Begawan Kamasetyo akan ber-
diri 
"Ah..., kau! Hanya menghalang-halangi niatku
saja!" sungut Siluman Ular Putih seraya menotok bebe-
rapa jalan darah di tubuh Jiwo Langgeng.

***

11

"Hoooi! Angkin Pembawa Maut! Aku datang
membawa kepala Siluman Ular Putih! Keluar...!" teriak
seorang lelaki di depan mulut gua di dekat Sendang
Mangli.
Penampilan lelaki itu agak aneh dari biasanya.
Blangkon yang bertengger di kepala dikenakan see-

naknya. Bagian pentolan blangkon berada di depan.
Pakaian hitam-hitamnya kedodoran. Yang lebih aneh,
lelaki ini pun mengenakan topeng merah terbuat dari
kayu. Sepasang mata topeng itu besar, hidungnya bu-
lat, bibirnya pun dower. Di tangan kanan lelaki itu
tampak sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa.
Mungkin bungkusan kepala Siluman Ular Putih seperti
yang diteriakkan barusan.
"Keluar dong, Angkin Pembawa Maut! Aku kan
sudah membawakan kepala Siluman Ular Putih. Ka-
tanya kalau dapat memenggal kepala Siluman Ular Pu-
tih, kau bersedia jadi istriku. Hayo dong keluar!" teriak
lelaki aneh itu merajuk.
"Manusia sinting mana lagi yang berada di
luar? Siapakah yang sudah berhasil memenggal kepala
Siluman Ular Putih? Rasa-rasanya aku sudah kenal
dengan suaranya?" gumam Angkin Pembawa Maut
yang baru saja menyelesaikan semadinya.
"Angkin Pembawa Maut! Keluar dong! Masa'
aku dibiarkan mematung begini? Katanya kau mau ja-
di istriku? Ayo, dong keluar! Kalau tidak, ku buang nih
kepala menjijikkan ini?" teriak suara dari luar lagi.
Di tempatnya, Angkin Pembawa Maut menge-
rutkan kening. Tampaknya benaknya sedang berusaha
mengingat-ingat, siapa pemilik suara di luar itu. Kare-
na ingatannya seperti mati. Maka dengan langkah ter-
buru-buru, segera kakinya melangkah keluar.
Begitu sampai di luar, gadis dari Istana Ular
Emas itu makin mengerutkan kening. Sepasang ma-

tanya yang indah bak bintang kejora terus memandan-
gi sosok lelaki aneh bertopeng di hadapannya.
"Siapa lagi manusia aneh satu ini? Rasa-
rasanya tidak ada pengikut sayembara ku yang punya
ciri-ciri demikian aneh," gumam Angkin Pembawa

Maut dalam hati.
"Ah...! Akhirnya kau mau juga keluar, Calon Is-
triku. Tadinya kukira kau sedang ngambek," celoteh le-
laki aneh bertopeng itu lagi makin membuat hati Ang-
kin Pembawa Maut mengkelap.
"Lelaki sialan! Siapa kau?! Aku tidak pernah
punya urusan dengan orang sinting macam kau!" ben-
tak Angkin Pembawa Maut tak senang.
"Ah...! Kok, bicaramu begitu, sih? Bukankah
kau calon istriku? Kenapa kau tidak sambut aku den-
gan senyum? Hayo, dong! Sambut aku dengan se-
nyum!" celoteh lelaki bertopeng itu makin ngelantur.
"Sekali lagi kau ngoceh tidak karuan, aku tak
segan-segan lagi memecahkan batok kepalamu, Bang-
sat!"
"Aduuuh...! Kenapa kau begitu kejam padaku,
Calon Istriku? Apa kau tidak kangen padaku?"
"Keparat! Jangan banyak bacot! Katakan! Siapa
kau sebenarnya?! Dan, mau apa kau datang kemari?!"
bentak Angkin Pembawa Maut gusar bukan main.
"Ya, ampun! Jadi kau lupa dengan namaku?
Aku... Den Bagus Bambang Kuncoro. Masa' kau lupa
pada calon suamimu sendiri, ah?!" oceh lelaki aneh itu
makin membuat Angkin Pembawa Maut gusar.
Gadis itu menautkan  kedua alis matanya da-
lam-dalam. Sepasang matanya yang indah tampak
makin berkilat-kilat penuh kemarahan.     
"Jahanam! Berani kau mempermainkan aku
seperti ini, he?!" bentak Angkin Pembawa Maut tak da-
pat lagi mengendalikan amarah. Tombak Raja Akhirat
di tangan kanannya pun siap diayunkan ke arah lelaki
bertopeng di hadapannya.
"Tunggu, Calon Istriku! Apa kau tidak ingin li-
hat bukti yang kubawa?" cegah lelaki aneh itu seraya

cepat meloncat ke belakang. Seolah-olah, ia sudah pa-
ham betul dengan kehebatan Tombak Raja Akhirat di
tangan Angkin Pembawa Maut. Jangankan terkena
mata tajam ujung tombak. Terkena kilatan cahaya me-
rah dari mata ujung tombak dalam jarak satu tombak
saja, bukan mustahil lelaki aneh itu akan celaka.
"Bedebah! Rupanya lelaki sinting di hadapanku
ini seperti sudah tahu akan kehebatan Tombak Raja
Akhirat-ku. Siapakah sebenarnya dia?" pikir dalam ha-
ti Angkin Pembawa Maut heran.
Mata gadis ini menatap garang. Di sisi lain, ha-
tinya penasaran terhadap lelaki itu.
"Cepat tunjukkan, apa yang ingin kau buktikan
padaku, Lelaki Tengik, mana kepala Siluman Ular Pu-
tih itu!" dengus Angkin Pembawa Maut menahan gejo-
lak amarah.
"Benar! Benar sekali! Aku memang sudah me-
menggal kepala Siluman Ular Putih. Coba perhatikan
apa yang kupegang! Bukankah ini kepala Siluman Ular
Putih?" ujar lelaki aneh itu seraya mengangkat tinggi-
tinggi apa yang dibawanya di tangan kiri. Namun sua-
ranya mengandung kekuatan gaib.
Mata Angkin Pembawa Maut terbelalak tak per-
caya. Entah kenapa tiba-tiba saja, ia merasakan keku-
atan aneh dari ucapan lelaki di hadapannya yang me-
nyerang jalan pikirannya. Dicobanya melawan penga-
ruh aneh itu dengan kekuatan batinnya. Namun tetap
saja apa yang dilihat di tangan kiri pemuda aneh itu
adalah kepala Siluman Ular Putih! Bukan lagi bungku-
san kecil berwarna hitam seperti tadi.
Apa yang terlihat memang kepala seorang pe-
muda yang sangat dicintai Angkin Pembawa Maut.
Dengan rambut kepala tercambak, kepala Siluman
Ular Putih tampak demikian mengerikan. Terkadang

berputar menghadap ke belakang, terkadang mengha-
dap Angkin Pembawa Maut. Wajahnya yang tampan
tampak demikian pucat. Sepasang matanya membeliak
ke atas! Darah segar pun tampak masih menetes dari
luka bekas sayatan di leher!
Angkin Pembawa Maut memekik. Sekujur tu-
buhnya menggigil. Kedua bibirnya yang bergetar-getar
menggumamkan kata-kata tidak jelas.
Lelaki di hadapan Angkin Pembawa Maut men-
dadak tertawa bergelak. Anehnya, saat itu juga kekua-
tan aneh yang mempengaruhi jalan pikiran Angkin
Pembawa Maut pun sirna! Dan perlahan-lahan kepala
Siluman Ular Putih yang teramat mengerikan berubah
kembali menjadi bungkusan kecil berwarna hitam. 
Angkin Pembawa Maut kontan mengucek-
ngucek kedua bola matanya. Namun tetap saja yang
dilihatnya saat itu bukan lagi kepala Siluman Ular Pu-
tih, melainkan bungkusan kecil berwarna hitam.
"Keparat! Kau... Kau Si... Siluman Ular Putih!"
pekik Angkin Pembawa Maut tiba-tiba.
Lelaki aneh di hadapan Angkin Pembawa Maut
makin melipatgandakan tawanya. Dan sambil perden-
garkan tawanya perlahan-lahan topeng kayunya mulai
ditinggalkan. Dan kini tampaklah seraut wajah tampan
dengan rambut yang panjang tergerai di bahu.
"Soma...!" pekik Angkin Pembawa Maut, terke-
jut bukan main ketika melihat seraut wajah tampan
yang tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"He... he... he...!" Soma terus mengekeh.
"Bedebah! Dua kali kau mempermainkan aku,
Soma! Aku tak mungkin memaafkanmu!" pekik Angkin
Pembawa Maut tak dapat mengendalikan lagi amarah-
nya.
Tubuhnya menggigil hebat. Tanpa dapat diben-

dung lagi air matanya pun bobol, mengairi pipi. Ha-
tinya galau bukan main. Entah kenapa begitu melihat
kemunculan Soma yang tiba-tiba, sejenak hati Angkin
Pembawa Maut jadi bimbang. Antara meneruskan
dendamnya yang menggelegak di dada atau sebaliknya.
Atau ia harus membiarkan dirinya terombang-ambing?
"Kenapa kau berubah demikian cepatnya, Ang-
kin Pembawa Maut? Kenapa kau menginginkan nya-
waku? Apa kau sudah tidak menyayangi ku  lagi,"
tanya Soma, hati-hati.
Sepasang mata Siluman Ular Putih yang tajam
terus menatap gadis cantik bekas murid Istana Ular
Emas itu saksama. Soma mengeluh sedih. Hatinya ter-
pukul sekali melihat perubahan sikap Angkin Pemba-
wa Maut. Semula, ia marah sekali mendengar kalau
yang inginkan nyawanya ternyata Angkin Pembawa
Maut. Tapi entah kenapa, kini jadi bersikap lunak be-
gitu melihat wajah cantik yang bersimbah air mata.
Sewaktu dalam perjalanan menuju tempat ini,
hati Soma bingung sekali. Antara ingin marah dan ka-
sihan terhadap Angkin Pembawa Maut yang bernama
asli Puspa Sari. Namun semakin lama ia pun sadar.
Tak mungkin ia memerangi gadis itu. Bagaimanapun
juga, murid Eyang Begawan Kamasetyo masih me-
nyayangi Puspa Sari.   
Di saat Soma tengah kebingungan bagaimana
caranya menemui Angkin Pembawa Maut, tiba-tiba ia
menemukan sebuah kotak besar tak jauh dari mayat
seseorang dengan tubuh membiru. Pemuda ini cepat
memeriksa mayat laki-laki gemuk berpakaian hitam-
hitam itu saksama. Dan ternyata lelaki tak dikenal itu
tewas karena digigit ular. Terbukti di kakinya terdapat
bekas gigitan ular yang membengkak. Kemudian kare-
na terdorong rasa ingin tahunya, iseng-iseng  Soma

membuka kotak besar di samping si mayat.
Kotak besar itu ternyata berisi perlengkapan
untuk main kuda lumping. Dan Soma yang cerdik tiba-
tiba mendapat akal. Maka tanpa pikir panjang lagi se-
gera dikenakannya pakaian kuda lumping itu, lengkap
dengan topeng kayunya! Lalu sambil menenteng bung-
kusan kecil berwarna hitam yang entah berisi apa,
Soma kembali melanjutkan perjalanan menuju Sen-
dang Mangli.
Angkin Pembawa Maut yang kini sadar kalau
lelaki aneh itu tidak lain, pemuda tampan yang telah
melukai hatinya, tak dapat lagi mengendalikan amarah
menggelegaknya. Dengan tangan gemetar, telunjuknya
menuding Soma.
"Kau! Kaulah sebabnya, kenapa aku berubah
demikian cepat! Dan kau pulalah yang harus bertang-
gung jawab! Hanya kematian sajalah yang pantas un-
tuk menebus dosa-dosamu, Siluman Ular Putih!" ben-
tak Puspa Sari.
Habis membentak garang, tanpa banyak cakap
lagi Angkin Pembawa Maut mengayunkan Tombak Ra-
ja Akhirat ke arah Siluman Ular Putih. Maka seketika
angin dingin berkesiur yang diiringi kilatan cahaya me-
rah berkelebat cepat ke arah Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss! 
"Hup...!"
Soma cepat melenting ke atas dengan gerakan
ringan sekali. Akibatnya semak-semak belukar yang
meranggas di sekitar mulut gua kontan terpapas, ter-
kena kilatan-kilatan cahaya merah dari ujung runcing
mata tombak yang tak menemui sasaran. 
Sementara setelah berjumpalitan beberapa kali.
Soma mendarat mantap agak jauh dari tempat perta-
rungan.

"Tunggu, Angkin! Apa kau tidak ingin menyele-
saikan kesalahpahaman ini secara baik-baik?! Hayo-
lah, Angkin! Kenapa kau jadi uring-uringan begini?
Demi Tuhan aku masih menyayangi mu!" cegah Silu-
man Ular Putih.
"Jangan banyak bacot! Hayo lekas cabut senja-
tamu. Dan kita bertarung sampai mampus!" bentak
Puspa Sari penuh kemarahan.
Kata-kata murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
bukannya dapat melunakkan hati Angkin Pembawa
Maut. Malah, justru sebaliknya. Kata-kata Soma malah
makin membuat hati Puspa Sari terluka! Dan gadis ini
kembali menyerang hebat Siluman Ular Putih. Bahkan
bukan saja Tombak Raja Akhirat saja yang turut ber-
peran, melainkan juga tangan kirinya yang mengibas,
melepas jarum-jarum emasnya.
Werrr! Werrr! 
Hebat bukan main serangan-serangan Angkin
Pembawa Maut kali ini. Kilatan-kilatan cahaya merah
dari ujung runcing mata tombak di tangan kanannya,
dan juga sambaran-sambaran puluhan jarum emas
yang berkeredepan, tanpa ampun lagi terus mencecar
Siluman Ular Putih.
"Ah..., Angkin! Aku benar-benar menyayangkan
bila jarum-jarum emasmu kembali meminta korban.
Bahkan Badar Topan yang sudah tak berdaya pun kau
bunuh dengan jarum-jarum emasmu. Apa kau benar-
benar sudah keblinger, Angkin? Apa kau sudah kem-
bali memiliki jiwa keji seperti murid-murid Istana Ular
Emas?" teriak Soma seraya membuang tubuhnya jauh
ke samping. Sehingga, serangan-serangan Angkin
Pembawa Maut hanya mengenai tempat kosong.
"Kau tahu, Soma! Justru kata-katamu itu ma-
kin membuat hatiku terluka. Dulu kaulah yang me-

minta ku kembali ke jalan benar. Dan kini secara lang-
sung maupun tidak langsung, kaulah yang kembali
menjerumuskan ku ke jurang kenistaan!"
(Untuk lebih jelasnya tentang Angkin Pembawa
Maut, silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam
episode: "Istana Ular Emas).
"Ah...! Kau jangan menuduhku begitu, Angkin.
Sebaiknya, mari kita selesaikan baik-baik! Apa kau ti-
dak punya rasa welas asih lagi, Angkin?"
"Jangan banyak bacot, Soma! Muak aku men-
dengar bacotmu!" bentak Puspa Sari penuh kemara-
han. "Sekarang, makanlah 'Tendangan Dewi Ruci'-ku,
Pemuda Sinting!"
"Hea...! Hea...!"'
Dikawal teriakan-teriakan keras, Angkin Pem-
bawa Maut meluruk deras. Kedua kakinya berputar
sedemikian rupa, mengerahkan jurus sakti 'Tendangan
Dewi Ruci'-nya. Sementara tangan kanannya yang
memegang Tombak Raja Akhirat pun terus mengurung
pertahanan Siluman Ular Putih tanpa ampun.
Soma kewalahan bukan main. Ia yang tidak in-
gin berbentrokan dengan Angkin Pembawa Maut hanya
terus menghindar. Namun ketika Angkin Pembawa
Maut mulai melontarkan pukulan 'Lahar Biru', mau ti-
dak mau harus dipapakinya dengan pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi'.
"Meski aku belum tentu dapat mengalahkan-
mu, tapi mana sudi aku menerima penghinaan orang
begitu saja. Sekarang hayo kita tentukan kematian kita
di sini!" bentak Puspa Sari garang, lalu segera mendo-
rongkan kedua telapak tangannya yang telah berubah
jadi biru berkilauan.
Seketika dua larik sinar biru berkilauan melu-
ruk ke arah Siluman Ular Putih yang didahului angin

panas bukan kepalang.
Tentu saja Siluman Ular Putih tak sudi tubuh-
nya jadi sasaran empuk serangan-serangan Angkin
Pembawa Maut. Meski hatinya agak berat, terpaksa se-
gera dipapakinya dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti
Bumi' setelah mendorongkan kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi putih terang.
Bummm...!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam yang baru saja terjadi. Suara ledakannya bagai
hendak meruntuhkan bumi. Sementara, tubuh Angkin
Pembawa Maut pun kontan terjajar beberapa langkah
ke belakang. Wajahnya yang cantik tampak demikian
pias.
Sebenarnya Angkin Pembawa Maut telah men-
derita luka dalam. Namun bukannya sadar, gadis ini
malah makin kalap. Begitu tubuhnya terjajar, secepat-
nya ia meloncat ke depan. Dan kembali diserangnya
Siluman Ular Putih!
Soma yang tadi melihat tubuh Angkin Pembawa
Maut sempat terjajar beberapa langkah, jadi merasa
tak enak. Padahal, ia tadi cuma mengerahkan sebagian
tenaga dalamnya. Namun tanpa diduga  akibatnya
akan sedemikian hebat.
"Tunggu! Angkin! Kita bicara baik-baik!" cegah
Siluman Ular Putih sambil terus menghindar.
"Enak saja kau mengumbar suaramu, Soma!
Tak ada yang harus kita bicarakan!"
Sambil membentak, kedua telapak tangan Ang-
kin Pembawa Maut pun kembali mendorong ke depan.
Seketika dua larik sinar biru berkilauan kembali mela-
brak ke arah Siluman Ular Putih.
Soma mengeluh sedih. Terpaksa sekali ini pun
pukulan 'Lahar Biru' milik Angkin Pembawa Maut ha-

rus dipapaknya. Karena memang hanya itulah jalan
satu-satunya.
Wesss! Weesss!
Bummm...!
Sekali lagi terdengar ledakan dahsyat di udara.
Angkin Pembawa Maut yang telah mengerahkan tenaga
dalam dengan kekuatan penuh, tak dapat lagi mena-
han keseimbangan badannya. Tubuhnya yang tinggi
ramping kembali terjajar beberapa langkah ke bela-
kang.
Siluman Ular Putih yang tadi hanya sebagian
mengerahkan tenaga dalam tanpa ampun kontan ter-
jengkang dan jatuh berdebam. Wajahnya tampak me-
merah. Darah segar membasahi sudut-sudut bibir.
Pada saat Soma hendak bangkit, telinganya
yang tajam mendadak mendengar langkah-langkah ha-
lus seseorang mendekati tempat pertarungan. Saking
halusnya, membuat Angkin Pembawa Maut tak dapat
mendengarnya.
Disadari Angkin Pembawa Maut tak menden-
gar, karena tengah dilanda amarah. Namun yang jelas,
pada saat tubuh Siluman Ular Putih tegak berdiri tiba-
tiba lima sinar bulat kecil dari balik semak telah mele-
sat cepat ke arah Angkin Pembawa Maut. Dan....
Blaaarrr...!
Terdengar ledakan, diiringi mengepulnya asap
hitam bergulung-gulung yang memenuhi tempat perta-
rungan. Bersamaan dengan itu, berkelebat cepat seso-
sok bayangan jingga dari balik semak ke arah Angkin
Pembawa Maut yang tengah kebingungan karena ter-
kurung gulungan asap hitam.
"Hey...! Siapa kau?!" teriak Siluman Ular Putih
kaget bukan main, saat melihat kelebatan bayangan
jingga.

Sosok bayangan jingga itu terus berkelebat me-
nyambar Puspa Sari setelah berkelit menotoknya. Den-
gan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi so-
sok bayangan jingga itu berkelebat cepat meninggalkan
tempat ini sambil memondong tubuh Angkin Pembawa
Maut!

***

12

Begitu asap hitam yang menghalangi pandan-
gan menghilang, bukan main terkejutnya Siluman Ular
Putih. Ternyata bayangan jingga yang terus berkelebat
meninggalkan tempat itu telah membawa lari tubuh
Angkin Pembawa Maut.
"Jangkrik Buntung! Babi Gempul! Berani kau
menyentuh tubuh Angkin Pembawa Maut, jangan ha-
rap dapat lolos dari tanganku!" teriak Siluman Ular Pu-
tih.
Lalu dengan sekali menjejakkan kakinya ke ta-
nah, murid Eyang Begawan Kamasetyo  itu pun telah
meloncat tinggi ke ranting pohon. Dari atas, di ujung
Hutan Seruni tampak sesosok bayangan jingga tengah
berkelebat cepat sembari tertawa-tawa bergelak.
"Setan Alas! Aku harus menolong Angkin Pem-
bawa Maut," gumam Siluman Ular Putih penuh kema-
rahan.
Begitu tahu arah kepergian bayangan jingga ta-
di, Siluman Ular Putih pun segera meloncat turun.
Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
'Menjangan Kencono', tubuhnya berkelebat mengejar
sosok bayangan jingga di hadapannya.


***

Dalam sebuah gua, dengan tersenyum-senyum
yang mirip seringai sosok tegap berpakaian jingga te-
rus memandangi tubuh Angkin Pembawa Maut yang
tergolek di tumpukan jerami di pojok ruangan gua be-
rukuran tiga kali tiga tombak.
Angkin Pembawa Maut menggeram penuh ke-
marahan. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap
tangan sosok di hadapannya. Sosok itu adalah seorang
pemuda tampan berambut panjang sebahu yang di-
kuncir ke belakang. Tubuhnya tinggi kekar, dibalut
pakaian ketat warna jingga.
"Jiwo Langgeng keparat! Kubunuh kau kalau
berani menyentuh tubuhku!" pekik Angkin Pembawa
Maut penuh kemarahan.
Sosok yang ternyata Jiwo Langgeng hanya ter-
tawa bergelak. Sepasang matanya yang mencorong
menyiratkan kelicikan, tak henti-hentinya menjilati tu-
buh Angkin Pembawa Maut dengan jakun turun naik.
Dan sepasang matanya pun berhenti pada dada mem-
busung gadis itu dengan sinar mata menjijikkan.
"He he he...! Kau ini bisa apa, Angkin Pembawa
Maut? Apakah kau lupa bahwa aku ini calon suami-
mu? Hayo, Manis! Sekarang mari kita sama-sama
nikmati kebersamaan ini. Kau pasti akan kubuat me-
layang ke langit tingkat tujuh...," desis Jiwo Langgeng.
Habis berkata begitu, Jiwo Langgeng yang su-
dah tidak tahan didera nafsunya yang menggelegak,
segera meraih baju bagian atas Angkin Pembawa Maut.
Dan....
Bret! Bret!
"Aaauu...!"

Angkin Pembawa Maut memekik keras. Tanpa
ampun lagi, sepasang buah dada yang indah menan-
tang menjadi santapan mata liar Jiwo Langgeng. Pe-
muda dari Lembah Patak Banteng itu menyeringai
puas. Jakunnya pun makin bergerak-gerak turun naik,
menelan liur untuk membasahi tenggorokan yang
mendadak kering. Lalu dengan sekali menggerakkan
tangannya....
Bret! Breett! 
Kembali pakaian Angkin Pembawa Maut diro-
bek. Sehingga tubuh murid bekas Istana Ular Emas itu
tampak makin menantang!
Puspa Sari berteriak-teriak kalap bukan main.
Ingin rasanya ia membunuh pemuda lancang di hada-
pannya saat ini juga. Namun sayangnya, tubuhnya
kaku tak dapat digerakkan. Hingga di saat pemuda li-
cik dari Lembah Patak Banteng itu mulai mencumbu
sekujur tubuhnya, ia hanya bisa berteriak-teriak ka-
lap.
"Manusia Jahanam! Lepaskan aku!" teriak Ang-
kin Pembawa Maut, tak dapat lagi menahan isak tan-
gisnya.
Jiwo Langgeng makin terkekeh senang. Bukan-
nya menghentikan cumbuannya, namun malah sema-
kin liar mencumbu sekujur tubuh Angkin Pembawa
Maut.
"Jangan khawatir, Angkin Pembawa Maut! Aku
pasti akan melepaskanmu. Tapi nanti setelah aku me-
nikmati tubuhmu...," desah Jiwo Langgeng di antara
dengusan nafasnya yang memburu.
"Hentikan kegilaan mu ini, Jiwo Langgeng! Ka-
lau tidak, demi Tuhan aku akan membunuhmu!" te-
riak Puspa Sari dengan suara serak.
Dan karena saking tidak tahannya menghadapi

peristiwa yang lebih mengerikan dibanding kematian,
Angkin Pembawa Maut pun tak dapat lagi mengendali-
kan perasaan hatinya. Tanpa sadar, air matanya pun
telah merembes membasahi pipi.
"Jangan menangis, Istriku! Kau pasti akan ku-
buat melayang sampai ke langit ketujuh!" desah Jiwo
Langgeng lagi.
"Ku mohon, Jiwo Langgeng! Hentikan kegilaan
mu ini!" pinta Angkin Pembawa Maut memelaskan.
Jiwo Langgeng tak mempedulikan ratapan ga-
dis itu. Ia hanya sesaat memandangi seraut wajah can-
tik di hadapannya penuh gairah, kemudian kembali
mencumbunya.
Kini Angkin Pembawa Maut benar-benar tak
dapat lagi mengendalikan perasaan hatinya. Sepasang
matanya yang indah makin bersimbah air mata. Ra-
sanya percuma sama memohon ataupun berteriak-
teriak minta tolong, kalau tetap saja tidak dapat mem-
pertahankan kehormatannya.
Namun di saat yang gawat bagi Angkin Pemba-
wa Maut, dua larik sinar putih terang meluncur dari
mulut gua ke arah Jiwo Langgeng.
Wesss! Wesss!
Begitu merasakan desir angin halus dari bela-
kang, Jiwo Langgeng cepat menggulingkan tubuhnya
ke samping. Akibatnya, dinding-dinding gua kontan
hancur berantakan terhantam dua larik sinar putih te-
rang yang tak menemui sasaran. Pada bagian yang
terkena hantaman, tampak berlubang besar menge-
pulkan asap.
Ketika berdiri, sepasang mata pemuda dari
Lembah Patak Banteng itu kontan membeliak liar. Di-
pandanginya sosok berpakaian hitam-hitam kedodoran
dengan blangkon yang dipakai terbalik di hadapannya.

"Kau...!" desis Jiwo Langgeng, penuh kemara-
han.
"Si... Siluman Ular Putih...!" sebut Angkin Pem-
bawa Maut mendesis.
Sosok berpakaian hitam-hitam itu memang
Soma, murid Eyang Begawan Kamasetyo. Pemuda
tampan ini hanya tertawa bergelak dengan sepasang
mata tajam memperhatikan tubuh polos Angkin Pem-
bawa Maut.
Sementara itu hati Puspa Sari jadi rusuh tidak
karuan. Bagaimanapun juga, walaupun kini sangat
membenci, namun dalam hatinya tetap mencintai Si-
luman Ular Putih. Maka begitu melihat Soma datang
menolong dirinya dari aib yang sangat mengerikan, pe-
rasaannya tak dapat lagi dikendalikan. Dengan hati pi-
lu gadis cantik bekas murid Istana Ular Emas itu pun
menangis sesenggukan.
Sedangkan Siluman Ular Putih hanya men-
gangguk. Dan baru saja sepasang matanya beralih dari
dada membusung Angkin Pembawa Maut, terdengar
angin berkesiur ke arah dirinya. Maka segera tubuh-
nya dibuang ke samping. Sehingga, pukulan jarak jauh
pemuda dari Lembah Patak Banteng itu hanya meng-
hantam dinding gua.
Brolll!
Dinding-dinding gua itu kontan berlubang be-
sar! Tanah di sekitarnya pun berhamburan ke udara.
Sebagian menimpa tubuh Angkin Pembawa Maut, se-
bagian lagi menimpa tubuh Siluman Ular Putih dan
Jiwo Langgeng sendiri. Namun, untungnya dinding-
dinding gua itu tidak runtuh seluruhnya. Hanya batu-
batu kecil yang berhamburan memenuhi ruangan.
"Kunyuk Sinting! Lagi-lagi kau yang mengha-
lang-halangi maksudku! Demi Iblis, aku akan menga-

du nyawa denganmu!" teriak Jiwo Langgeng garang.
Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi hi-
tam legam segera  menghentak ke arah Siluman Ular
Putih.
"Kau memang tidak pantas jadi calon suami
Angkin Pembawa Maut, Manusia cabul! Kau lebih pan-
tas jadi calon suami Iblis Neraka!" ejek Siluman Ular
Putih, langsung mendorongkan kedua telapaknya yang
telah berubah putih terang hingga ke pangkal lengan
itu.
Seketika dua larik sinar putih terang melesat
cepat, memapaki pukulan maut Jiwo Langgeng. 
Wesss! Wesss! Bummm...!
Terdengar satu ledakan hebat begitu terjadi
pertemuan dua kekuatan dahsyat. Kembali dinding-
dinding gua bergetar hebat! Tanah-tanah di sekitarnya
berhamburan di udara!
Tubuh Jiwo Langgeng kontan terhempas ke be-
lakang, dan akhirnya membentur dinding gua. Paras-
nya yang tampan tampak demikian piasnya. Dadanya
terasa sesak, membuat nafasnya tersengal! Sedangkan
Soma hanya terjajar beberapa langkah.
Meski demikian, Jiwo Langgeng cepat meloncat
bangun. Tangan kanannya bergerak ke belakang. Sege-
ra kerisnya yang tersimpan di balik punggung dicabut.
Begitu keris berlekuk tujuh itu lolos dari warangkanya,
maka seputar ruangan gua mulai dipenuhi cahaya ke-
hijau-hijauan dari pancaran keris Jiwo Langgeng.
"Tampaknya kau pun tak pantas memiliki keris
pusaka itu, Manusia bau pesing! Rasanya kau malah
lebih pantas menggunakan centong nasi!" ejek Siluman
Ular Putih seenak dengkul.
Bukan main marahnya pemuda dari Lembah
Patak Banteng itu mendengar ejekan Siluman Ular Pu-

tih. Tanpa banyak cakap lagi, kembali diserangnya
Soma. Keris pusaka di tangan kanannya membabat
dan meliuk, menyerang bagian-bagian mematikan di
sekujur tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo. Se-
dang telapak tangan kirinya yang makin berubah jadi
hitam legam siap melontarkan pukulan maut.
Siluman Ular Putih sedikit pun tidak gentar.
Dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih', perlahan-
lahan namun pasti Soma dapat mengurung gulung-
gulungan keris di tangan kanan Jiwo Langgeng. Malah
pada satu kesempatan, tiba-tiba tangan kanannya
yang membentuk kepala ular telak sekali menghantam
dada Jiwo Langgeng.
Bukkk! Bukkk!
Dua kali dada Jiwo Langgeng terkena patukan
tangan Siluman Ular Putih. Seketika tubuhnya terjajar
beberapa langkah ke belakang. Dadanya yang jadi sa-
saran terasa mau jebol. Rasanya nyeri bukan alang
kepalang! 
"Hea...!"
Jiwo Langgeng gusar bukan main. Disertai te-
riakan keras, tiba-tiba tangan kirinya menghentak, me-
lontarkan pukulan maut penuh tenaga dalam.
Melihat dua larik sinar hitam legam siap mela-
brak tubuhnya, Siluman Ular Putih cepat mendorong-
kan kedua telapak tangannya yang penuh pukulan
sakti 'Tenaga Inti Bumi' ke depan. Dua larik sinar pu-
tih terang pun segera melesat cepat, memapaki puku-
lan maut Jiwo Langgeng! Dan....
Buummm!
"Aaakh...!"
Jiwo Langgeng memekik setinggi langit. Seketi-
ka tubuhnya yang tinggi kekar kembali terpental ke be-
lakang, dan kembali menghantam dinding gua. Dan

begitu tubuhnya jatuh berdebam ke tanah, pemuda itu
kontan memuntahkan darah segar kembali!
Selang beberapa saat, Jiwo Langgeng pun men-
gerang hebat. Parasnya tampak demikian piasnya. Ra-
hangnya menggembung, lalu kembali memuntahkan
darah segar! Tubuhnya mengejang seraya menggapai-
gapai. Namun belum juga niatnya terlaksana, tubuh
Jiwo Langgeng pun kembali luruh ke tanah, langsung
diam tak bergerak-gerak lagi!
"Selamat menemui calon istrimu di liang lahat,
Manusia licik!" celoteh Siluman Ular Putih, mengantar
kepergian Jiwo Langgeng untuk selama-lamanya.
Angkin Pembawa Maut menggigil di tempatnya.
Bukan karena dingin, tapi karena tak kuasa menang-
gung malu. Rasanya ia tak sanggup bertemu muka lagi
setelah ditolong Siluman Ular Putih. Dan gadis cantik
bekas murid Istana Ular Emas itu hanya bisa menan-
gis sesenggukan.
"Eh...! Kenapa dia menangis?" tanya Siluman
Ular Putih, seolah bertanya pada diri sendiri.
Buru-buru Siluman Ular Putih berbalik. Dan
ketika sepasang mata tajamnya tertumbuk pada seso-
sok tubuh indah terbentang dengan pakaian compang-
camping tidak karuan, Soma sejenak menikmatinya.
"To... tolong bebaskan totokanku, Soma!" pinta
gadis cantik itu memelaskan.
"Ya, ampun! Kenapa aku jadi terlena begini...?!"
rutuk Siluman Ular Putih dalam hati seraya menepuk
jidatnya sendiri.
Lalu dengan pipi memerah menahan jengah
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu pun segera me-
langkah mendekati Angkin Pembawa Maut. Kemudian
sambil berpaling ke samping, segera ditotoknya bebe-
rapa jalan darah di tubuh Angkin Pembawa Maut un-

tuk memulihkannya.
Begitu terbebas dari pengaruh totokan Jiwo
Langgeng, Puspa Sari segera meloncat bangun. Tu-
buhnya segera berkelebat cepat keluar seraya mena-
han jatuhnya air mata!
"Eh kau mau ke mana, Angkin? Tunggu!" teriak
Soma kaget bukan main.
Sementara Angkin Pembawa Maut langsung
berlari keluar dengan pakaian compang-camping tidak
karuan, menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuh-
nya yang menyimpan sejuta pesona.
Mendengar ucapan Soma, entah kenapa Angkin
Pembawa Maut yang tengah gusar mendadak meng-
hentikan langkahnya.
"Ada apa lagi, Soma?" tanya Puspa Sari ketus
seraya berbalik menghadap Siluman Ular Putih.
"Kau... Kau...."
Sejenak murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
menelan ludahnya. Sementara sinar matanya yang ta-
jam terus menjilati buah dada Angkin Pembawa Maut.
"Ada apa, Soma? Kenapa kau memandangi aku
seperti itu?" tanya Angkin Pembawa Maut, setengah
berteriak.
"Apakah kau..., kau akan pergi dengan pakaian
compang-camping tidak karuan begitu?"
Angkin Pembawa Maut sejenak memperhatikan
tubuhnya. Dan ia kontan memekik ketika disadari ka-
lau tubuhnya tampak polos. Menyadari hal itu, buru-
buru badannya berbalik kembali.
"Cepat! Berikan pakaian hitam-hitammu, So-
ma!" ujar Puspa Sari.
"Ba..., baik!" sahut Soma agak gugup.
Perlahan-lahan Siluman Ular Putih pun mulai
menanggalkan pakaian hitam-hitamnya yang kedodo-

ran.
"Tapi jangan uring-uringan begini, dong!" kata
Soma.
"Cerewet! Lekas tanggalkan pakaianmu. Dan,
tinggalkan tempat ini!" bentak Angkin Pembawa Maut
ketus.
"Sebenarnya ada apa sih? Kenapa kau tampak
sangat membenci ku? Bahkan kau pun menginginkan
nyawaku? Apa dosa-dosaku, Angkin?" sahut Soma tak
pedulikan bentakan Angkin Pembawa Maut.
"Beruntung aku tidak melontarkan pukulan
'Lahar Bumi'-ku begitu terbebas dari totokan itu, So-
ma! Sekarang apa kau ingin memancing kemarahanku,
he?!" dengus Angkin Pembawa Maut galak.
"Jadi... jadi? Kau sudah memaafkan dosa-
dosaku yang tidak jelas itu, Angkin?" tanya Soma se-
nang.
"Jangan cerewet! Lekas serahkan pakaian hi-
tam-hitammu. Dan lekas kau balikkan badanmu!"
"Baik! Nih!" kata Soma seraya melemparkan
pakaian hitam-hitamnya. Lalu cepat badannya berba-
lik menghadap ke tembok.
Tubuhnya yang tinggi kekar itu tampak tidak
lagi lucu seperti ketika masih mengenakan pakaian hi-
tam-hitam yang kedodoran itu. Malah kini dengan
mengenakan pakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan itu, sosok murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu malah tampak menarik!
Angkin Pembawa Maut yang saat itu sudah
mengenakan pakaian hitam-hitam pemberian Soma se-
jenak memperhatikan punggung murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo saksama. Sedikit pun tidak dipeduli-
kannya pakaian hitam-hitamnya yang kedodoran.
"Cepat balikkan tubuhmu, Soma!" bentak Ang-

kin Pembawa Maut.
Soma segera berbalik. Namun ketika melihat
penampilan Angkin Pembawa Maut, Soma pun kontan
tertawa bergelak. 
"Ah...! Kau malah tampak semakin cantik den-
gan pakaian hitam-hitam yang kedodoran itu, Angkin.
Senang sekali aku melihatmu demikian. Sebaiknya,
mulai saat ini juga kau harus mengenakan pakaian hi-
tam-hitam, Angkin. Aku yakin, kau malah tambah can-
tik dua kali lipat!" puji Soma.
Angkin Pembawa Maut melotot lebar. Entah
kenapa tiba-tiba saja hatinya jadi rusuh bukan main
begitu melihat wajah Siluman Ular Putih. Samar-
samar kembali terbayang saat-saat indah sewaktu me-
reka sama-sama dijebloskan ke dalam kubangan besar
berisi ribuan ular emas. Namun Puspa Sari buru-buru
tepiskan bayangan indah itu. Dan kini dengan mata
berkilat-kilat penuh kemarahan dipandanginya Silu-
man Ular Putih.
"Angkin! Sebenarnya ada apa? Tampaknya kau
demikian membenci ku? Ada apa?" tuntut Soma.
"Aku tak dapat mengatakannya. Tapi kau sen-
dirilah yang harus tahu, kenapa aku menginginkan
nyawamu!" sahut Angkin Pembawa Maut ketus.
"Apa kau kecewa dengan sikapku sewaktu kita
bertemu terakhir kali di hutan luar Istana Ular Emas?"
duga Soma, mencoba.
"Kau sudah tahu! Kenapa kau tidak lekas-lekas
minggat dari sini agar luka hatiku sedikit terobati,
he?!"
"Jadi? Kau... kau...."
Soma tak sanggup meneruskan ucapannya. Ki-
ni ia tahu kenapa Angkin Pembawa Maut demikian
membenci dirinya. Bahkan menginginkan nyawanya.

"Ah...! Aku menyesal sekali telah bertindak bo-
doh, Angkin. Tapi demi Tuhan, tidak secuil pun aku
punya niat keji padamu! Percayalah! Aku memang me-
nyayangi mu. Tak hanya selembar nyawaku rela ku
pertaruhkan demi menjaga mu. Tapi, kalau soal cinta?
Ya, ampun! Aku belum tahu pasti, Angkin. Tugas di
pundakku masih terlalu berat. Kalau kau tidak kebera-
tan, aku mohon agar kau suka menangguhkan urusan
ini, Angkin!" papar Soma dengan wajah murung.
Angkin Pembawa Maut mengeluh dalam hati.
Melihat raut wajah pemuda itu yang tampak demikian
murung, entah kenapa hati Puspa Sari jadi gelisah se-
kali. Tanpa sadar rasa benci yang semula menggelegak
memenuhi dada, mendadak sirna berganti rasa sayang
yang teramat sangat.
"Ma..., maukah kau memaafkan ketololanku
ini, Angkin?" pinta Soma dengan suara serak.
Angkin Pembawa Maut tak sanggup berkata-
kata lagi. Hatinya yang rusuh tidak karuan, membuat
gadis cantik itu kembali meneteskan air mata.
"Kau... kau tidak mau memaafkan kesalahan-
ku, Angkin?" tanya Soma lagi penuh harap.
Puspa Sari menggigit bibirnya gelisah.
Soma menunggu jawaban Angkin Pembawa
Maut dengan perasaan tegang. Diperhatikannya wajah
pucat pasi gadis itu.
"Aku... Aku sudah memaafkanmu, Soma," sa-
hut Angkin Pembawa Maut dengan suara serak
"Benarkah?" Soma membeliakkan matanya tak
percaya.
Angkin Pembawa Maut mengangguk perlahan.
Lalu entah karena apa, tiba-tiba kepalanya menunduk
dalam-dalam.
Siluman Ular Putih yang mendengar kata maaf

dari mulut Angkin Pembawa Maut merasa lega bukan
main. Ibarat baru saja terbebas dari sebongkah batu
yang menghimpit dada. Maka segera didekatinya Ang-
kin Pembawa Maut. Dipeluknya gadis cantik itu erat-
erat.
"Terima kasih, Angkin! Terima kasih! Kau me-
mang sahabatku yang paling baik!"
Puspa Sari memejamkan matanya rapat-rapat,
menikmati pelukan pemuda tampan yang sangat dicin-
tai.
"Peluklah aku erat-erat, Soma!" pinta gadis can-
tik itu merintih memelaskan. Air matanya pun kembali
merembes keluar membasahi pipi.
Siluman Ular Putih terharu. Tanpa diminta
pun, segera pelukannya dipereratkan di tubuh Angkin
Pembawa Maut.
Puspa Sari pun kembali mendesah lirih sekali,
hampir tak kedengaran. Namun Soma dapat menden-
gar jelas bisikan lembut gadis itu. Maka tanpa banyak
tanya lagi, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini pun
segera mencium bibir tipis Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut mendesah. Sepasang
matanya terkatup rapat-rapat di antara helaan-helaan
nafasnya yang hangat menyentuh kulit Soma.




SELESAI






Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode: 
IBLIS PEMANGGIL ROH