1
Matahari
pagi belum begitu tinggi beranjak dari
garis
edarnya. Sinarnya yang kuning keemasan
ber-
pendaran
di permukaan sendang, seolah-olah mencip-
takan
batu-batu permata berkilau. Di tengah sendang
seorang
gadis cantik berenang ke sana kemari, seolah
ingin
menghilangkan segala kepenatan dan kelelahan.
Kini
dengan gerakan indah, gadis cantik itu be-
renang
menuju ke balik batu hitam besar di sebelah
barat
sendang. Tubuhnya yang putih bersih tampak
berkilat-kilat
kala gadis itu melompat ke balik batu be-
sar.
Pakaiannya yang kuning keemasan segera ditarik.
Dan,
mulailah gadis itu berpakaian.
Baru
saja gadis itu selesai berpakaian, menda-
dak.
"Angkin
Pembawa Maut! Aku datang memenuhi
panggilan
surat undanganmu!"
Terdengar
teriakan keras yang disusul dengan
berkelebatnya
dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu, dua
sosok
itu telah berdiri tegak di pinggir sendang.
Sosok
yang berdiri di sebelah kanan adalah
seorang
lelaki berjubah merah darah. Tubuhnya tinggi
besar.
Wajahnya kasar penuh benjolan. Sepasang ma-
tanya
tajam. Hidungnya besar dengan kumis lebat me-
lintang.
Rambutnya panjang sebahu.
Sementara
sosok di sebelah kiri juga seorang le-
laki
berjubah merah darah. Hanya saja, tubuhnya ku-
rus
kering seperti orang penyakitan. Rambutnya pan-
jang
keriting dengan kulit hitam legam. Wajahnya pu-
tih
bersih tanpa kumis dan jenggot.
Usia
mereka kelihatannya tak jauh berbeda, ki-
ra-kira
empat puluh tahunan. Di dunia persilatan, se-
benarnya
kedua orang lelaki berjubah merah darah itu
termasuk
orang-orang dari golongan putih. Tapi
mungkin
karena sama-sama belum punya istri, se-
hingga
tak heran kalau mata mereka tampak liar saat
memandang
gadis yang ternyata Angkin Pembawa
Maut.
Dan di dunia persilatan kedua orang itu lebih
terkenal
dengan julukan Sepasang Manusia Jubah Me-
rah
dari Gunung Perahu! Yang bertubuh tinggi besar
berjuluk
Badar Angin! Sedang yang bertubuh kurus
kering
seperti orang penyakitan bergelar Badar Topan!
"Keluarlah
kau, Angkin Pembawa Maut! Kami
sudah
jauh-jauh datang kemari memenuhi undan-
ganmu,
kenapa kau masih menyembunyikan diri?"
ujar
yang bergelar Badar Topan, tak sabar.
Sepasang
mata lelaki kurus kering ini yang
mencorong
teres memperhatikan batu hitam besar di
sebelah
barat sendang dengan sinar tajam penuh ha-
srat.
Kedua pelipisnya yang bergerak-gerak, pertanda
tak
sabar lagi ingin melihat kecantikan Puspa Sari.
Memang,
sejak cintanya bertepuk sebelah tan-
gan
terhadap Siluman Ular Putih, Angkin Pembawa
Maut
dihantui rasa benci tak terkira. Gadis cantik be-
kas
murid Istana Ular Emas ini teramat mencintai So-
ma.
Namun sayangnya, pemuda tampan murid Eyang
Begawan
Kamasetyo itu tidak menanggapi cintanya.
(Silakan
baca serial Siluman Ular Putih dalam episode:
"Tombak
Raja Akhirat").
Sejak
itu Angkin Pembawa Maut lebih senang
menyembunyikan
diri di sebuah gua kecil tak jauh dari
Sendang
Mangu. Sebuah sendang luas berair sangat
jernih
dengan dua pohon beringin tua tumbuh rindang
di
tepian sebelah barat.
Selama
menyembunyikan diri, rasa cinta gadis
bernama
asli Puspa Sari terhadap Soma yang semula
menggebu,
kini telah berubah jadi rasa benci teramat
dalam.
Dari rasa bencinya, timbul keinginan untuk
melampiaskan
sakit hatinya.
Maka
tiga hari yang lalu Angkin Pembawa Maut
telah
menyebar surat undangan kepada beberapa to-
koh
dunia persilatan, khususnya kepada golongan pu-
tih.
Apa maksudnya gadis ini menyebar undangan?
***
"Hup!"
Angkin
Pembawa Maut cepat melompat tinggi
ke
udara. Setelah berputaran beberapa kali, mantap
sekali
kakinya mendarat di atas batu hitam. Gerakan-
nya
ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit
pun!
Sejenak
Badar Angin dan Badar Topan menatap
tajam
sosok cantik yang tengah berdiri di atas batu hi-
tam
itu. Sosok gadis cantik berpakaian kuning keema-
san
itu tampak demikian memikat pesona. Tubuhnya
tinggi
ramping terlapis kulit putih bersih. Rambutnya
yang
basah dibiarkan tergerai di bahu, semakin memi-
kat
hasrat kelaki-lakian. Wajahnya berbentuk bulat te-
lur.
Sepasang matanya berbinar-binar indah bak bin-
tang
kejora. Hidungnya mancung. Bentuk bibirnya ti-
pis
kemerahan dengan dagu runcing.
Melihat
kecantikan gadis di hadapannya, tanpa
sadar
Badar Angin dan Badar Topan menelan ludah-
nya
sendiri. Jakun mereka bergerak turun naik, seolah
tak
sabar lagi untuk memperistri Puspa Sari
"Aku
bangga memiliki istri secantikmu, Angkin
Pembawa
Maut. Sekarang, katakan! Apa syaratnya se-
perti
yang tertulis dalam surat undanganmu, Angkin
Pembawa
Maut?!" ujar Badar Angin lagi.
Puspa
Sari mengangguk-angguk. Sosoknya
yang
menyimpan sejuta pesona tampak demikian ang-
gun
dengan sebuah tombak kuning yang ujungnya
runcing
berwarna kemerahan. Itulah Tombak Raja Ak-
hirat
pemberian murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih
atas
kedatangan kalian. Seperti yang telah kalian ke-
tahui,
dalam surat undanganku aku memang meminta
kalian
untuk berkumpul di tempat ini. Dan, bagi siapa
saja
yang dapat memenuhi syarat, aku bersedia jadi is-
tri
salah satu di antara kalian. Bahkan aku tidak se-
gan-segan
pula menghadiahkan Tombak Raja Akhirat
milikku
ini pada calon suamiku," jelas Angkin Pemba-
wa
Maut dengan suara merdu sambil mengangkat
tinggi-tinggi
tombak kuning di tangan.
Sejenak
mata Badar Angin dan Badar Topan te-
rus
melekat pada Tombak Raja Akhirat di tangan Ang-
kin
Pembawa Maut. Kedua orang tokoh dari Gunung
Perahu
itu memang pernah mendengar tentang kehe-
batan
Tombak Raja Akhirat. Dan mendengar hadiah
yang
akan diberikan, mereka jadi gembira bukan main.
Untuk
jadi suami Angkin Pembawa Maut yang cantik
jelita
itu saja sudah cukup membuat gembira. Apalagi
ditambah
hadiah Tombak Raja Akhirat!
"Sekarang
katakan, apa permintaanmu!" desak
Badar
Angin tak sabar.
"Tunggu!
Kalian tidak boleh mendahuluiku!
Akulah
yang pantas menjadi suami Angkin Pembawa
Maut!"
Belum
sempat Angkin Pembawa Maut buka su-
ara,
mendadak terdengar teriakan seseorang. Dan be-
lum
hilang gaung suara teriakan itu, tahu-tahu di tepi
sendang
telah berdiri tegak seorang pemuda tampan
berpakaian
ringkas warna jingga. Gerakannya saat
berkelebat
pun aneh sekali. Bak seekor capung, gera-
kan
kedua kakinya ringan sekali saat menutul tanah.
Namun
hebatnya, hanya dalam beberapa kejapan mata
saja
pemuda berambut gondrong itu telah berdiri tegak
tak
jauh dari Sepasang Manusia Jubah Merah dari
Gunung
Perahu.
Diam-diam
Angkin Pembawa Maut memandang
penuh
kagum sosok pemuda di samping Sepasang
Manusia
Jubah Merah dari Gunung Perahu. Bukan sa-
ja
kagum melihat ketampanannya, melainkan juga
amat
kagum melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
peragakan
pemuda tampan berusia dua puluh lima ta-
hun
itu!
"Hei?!
Kalian dua monyet tua kesasar dari Gu-
nung
Perahu, tidak boleh mendahuluiku. Hanya Jiwo
Langgenglah
yang pantas jadi suami Angkin Pembawa
Maut!
Bukan kalian, tahu!" bentak pemuda berpakaian
ringkas
warna jingga yang ternyata bernama Jiwo
Langgeng,
lantang.
"Bedebah!
Kau berani merendahkan kami, Se-
pasang
Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu,
he?!
Di atas langit, masih ada langit! Jadi jangan jual
lagak
di hadapan kami, tahu?!" bentak
Badar Angin
garang.
"Kalian
tak lebih dua ekor monyet tua dari Gu-
nung
Perahu. Tak perlu ada yang ditakutkan," ejek Ji-
wo
Langgeng dingin.
"Jahanam!
Kau memang layak modar di tan-
ganku,
Bocah!" dengus Badar Angin penuh kemara-
han,
seraya mengerahkan tenaga dalamnya ke kedua
tangan.
Kedua
telapak tangan lelaki tinggi besar itu te-
lah
berubah merah menyala. "Terimalah pukulan
'Menggulung Angin Topan'!" teriak Badar Angin.
Namun
baru saja, Badar Angin mengangkat ke-
dua
telapak tangannya, tiba-tiba....
"Minggir!
Siapa pun juga yang berani mendahu-
luiku,
berarti mati!"
Semua
yang ada di tempat ini terperanjat kaget,
ketika
terdengar bentakan keras yang menusuk gen-
dang
telinga. Jelas suara teriakan itu diiringi tenaga
dalam
tinggi. Buktinya dua batang pohon beringin tua
yang
tumbuh rindang di pinggir sendang sebelah barat
bergetar!
Daun-daunnya berguguran begitu terkena ge-
taran
suara barusan! Dan belum sempat gaung teria-
kan
itu hilang, dari arah utara Sendang Mangli telah
berkelebat
sesosok bayangan hitam dengan kecepatan
luar
biasa!
***
2
Sepasang
alis mata Angkin Pembawa Maut ber-
taut
dalam, melihat seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam
yang kini telah berdiri tegak di hadapan ketiga
orang
tamu undangannya. Lelaki bertubuh tinggi besar
itu
berusia sekitar lima puluh lima tahun. Wajah aneh,
lebih
mirip wajah monyet. Sepasang matanya bulat.
Hidungnya
lebar kemerah-merahan. Dan sekujur tu-
buhnya
yang tinggi besar dipenuhi bulu-bulu lebat.
Angkin
Pembawa Maut memang belum men-
genal
lelaki berwajah kera di hadapannya. Namun ka-
lau
menilik suara teriakannya tadi, jelas kalau lelaki
itu
memiliki tenaga dalam hebat.
"Hm...!
Kalau melihat ciri-ciri mu, kau pasti ra-
ja-nya
monyet yang bergelar Datuk Wanoro dari Hutan
Kera!"
tebak Jiwo Langgeng, bernada melecehkan.
Sementara
Badar Angin yang tadi hendak lon-
tarkan
pukulan maut ke arah Jiwo Langgeng pun kini
mengalihkan
perhatian pada lelaki bernama Datuk
Wanoro
itu.
"Bocah
edan! Bacotmu membuatku terhina!
Apa
kau punya nyawa rangkap, sehingga berani men-
gumbar
bacot begitu, he?!" bentak Datuk Wanoro pe-
nuh
kemarahan.
Jiwo
Langgeng menarik sudut bibirnya, terse-
nyum
menghina. Telunjuk tangan kanannya lantas di-
tudingkan
ke arah Datuk Wanoro.
"Jangankan
hanya menghadapi seekor monyet
tua.
Menghadapi sepuluh harimau pun aku tak akan
lari!"
tantang Jiwo Langgeng sengit.
"Setan
Alas! Belum puas aku kalau belum me-
remukkan
bacotmu, Bocah! Heaaa...!"
Datuk
Wanoro tak dapat mengendalikan ama-
rahnya
lagi. Disertai teriakan keras, tubuhnya berkele-
bat
cepat menerjang Jiwo Langgeng. Gerakan-gerakan
tubuhnya
yang mirip seekor kera, bergerak-gerak liar
ke
sana kemari sambil melancarkan serangan.
Namun,
Jiwo Langgeng sedikit pun tidak gen-
tar.
Dengan jurus-jurus andalannya yang disertai ilmu
meringankan
tubuh tingkat tinggi, akhirnya pemuda
itu
dapat menghindari serangan dengan mudah. Bah-
kan
sambil meliuk-liukkan tubuhnya, dia membalas
menyerang
tak kalah hebatnya.
Melihat
jalannya pertarungan antara Datuk
Wanoro
melawan Jiwo Langgeng, diam-diam Angkin
Pembawa
Maut jadi tersenyum gembira. Memang itu-
lah
yang diinginkannya. Dalam undangannya, gadis ini
membuat
sebuah sayembara untuk tokoh-tokoh golon-
gan
putih. Ia ingin tahu, sampai di mana kehebatan
para
pengikut sayembara. Dan pemenang sayembara
itu
akan dijadikannya suami, sekaligus dihadiahi Tom-
bak
Raja Akhirat!
"Setan
Alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku,
Bocah!" bentak Datuk Wanoro sambil terus
menggebrak
lawannya.
"Lakukanlah!
Jangan banyak bacot! Sesumbar
mu
yang ingin mengalahkan Sepasang Manusia Jubah
Merah
tak ada artinya. Buktinya, untuk menjatuhkan
ku
saja kau belum mampu," ejek Jiwo Langgeng cerdik
sambil
terus meladeni serangan. Dengan berkata begi-
tu,
ia memang tengah bermaksud memancing Sepa-
sang
Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu un-
tuk
sama-sama mengeroyok Datuk Wanoro yang ko-
sen.
"Benar!
Kau tadi sangat merendahkan kami,
Datuk
Wanoro. Apa dengan ucapanmu tadi kau sudah
siap
pergi ke neraka?!" teriak Badar Angin, yang mera-
sa
terpancing dengan kata-kata Jiwo Langgeng.
"Ha
ha ha...! Bacot bocah edan ini memang cu-
kup
berbisa. Tapi kalau kau ingin sekali modar di tan-
ganku,
kenapa tidak sekalian maju mengeroyokku,
he?!"
balas lelaki berwajah monyet itu, jumawa.
"Bedebah!
Kau akan merasakan akibat mulut
sombong
mu, Manusia Monyet!" teriak Badar Angin.
Lelaki
tinggi besar berjubah merah itu segera
mengalirkan
tenaga dalamnya ke kedua telapak tan-
gannya
sambil membuat kuda-kuda kokoh. Namun
baru
saja tokoh dari Gunung Perahu itu mengangkat
kedua
tangannya....
"Tunggu,
Badar Angin. Kau jangan terlalu mu-
dah termakan
omongan pemuda itu! Kelihatannya
ia
bermaksud
memanfaatkan tenagamu untuk menge-
royok
Datuk Wanoro!" cegah Badar Topan, berteriak.
"Kau
jangan membacot seenak dengkul mu,
Badar
Topan! Manusia monyet itu memang tadi berka-
ta
begitu. Apa telingamu budek?" cibir Jiwo Langgeng
kesal,
karena siasatnya terbaca Badar Topan.
"Mulutmu
benar-benar berbisa, Bocah! Manu-
sia
monyet itu memang tadi berkata begitu. Tapi kau
pun
tidak bisa memanfaatkan tenaga kami!"
"Setan
Alas! Kau memang licik!" bentak Datuk
Wanoro
penuh kemarahan.
"Kurang
ajar! Pemuda itu benar-benar licik.
Makanlah
pukulan 'Menggulung Angin Topan' milikku,
Bocah!"
geram Badar Angin, baru sadar kalau tadi
hendak
'dikadali'.
Habis
menggeram begitu, Badar Angin menge-
rahkan
tenaga dalamnya kembali. Kini kedua telapak
tangannya
telah berubah merah menyala. Kalau tadi
pukulan
mautnya hendak ditujukan kepada Datuk
Wanoro,
kali ini ditujukan pada Jiwo Langgeng.
Wesss!
Wesss!
Dua
rangkum angin kencang bergulung-gulung
kontan
melesat cepat ke arah Jiwo Langgeng begitu
Badar
Angin menghentakkan kedua tangannya.
"Uts...!"
Jiwo
Langgeng yang baru saja menghindari se-
rangan
Datuk Wanoro, terpaksa harus melenting ke
belakang
kembali.
Brakkk!
Sebatang
pohon beringin tua yang tumbuh rin-
dang
di pinggir sendang kontan tumbang dan jatuh
berdebum,
begitu terkena pukulan Badar Angin. Seba-
gian
daun-daunnya rontok dan beterbangan di udara!
Sedang
pada bagian batang pohon yang terkena puku-
lan
tampak berlubang besar, mengepulkan asap tipis
kemerah-merahan!
Sementara
Jiwo Langgeng tadi yang menjadi
sasaran,
sudah mendarat manis di tanah. Namun baru
saja
menegakkan tubuhnya, mendadak Datuk Wanoro
sudah
kembali meluruk untuk menuntaskan urusan-
nya.
Begitu
cepat gerakan lelaki berwajah monyet
ini,
sehingga Jiwo Langgeng tak sempat menghinda-
rinya.
Sehingga....
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali dua pukulan Datuk Wanoro men-
darat
di dada Jiwo Langgeng. Seketika tubuh pemuda
itu
terjajar beberapa langkah ke belakang. Dadanya
yang
terkena pukulan terasa mau jebol. Mulutnya me-
ringis
menahan sakit tak terkira.
"Bagus!
Memang sebaiknya kita cincang bocah
bermulut
ular ini rame-rame!" teriak pula Badar To-
pan.
Memang,
lelaki kurus kering ini juga merasa
gemas
sekali dengan ucapan Jiwo Langgeng. Maka se-
gera
diserangnya pemuda itu. Kedua telapak tangan-
nya
yang telah berubah merah menyala pun segera
menghentak,
melepas pukulan 'Menggulung Angin To-
pan'.
Pada
saat yang demikian, agaknya Jiwo Lang-
geng
tak mau kecolongan lagi. Maka begitu tenaga da-
lamnya
dikerahkan, kedua tangannya pun cepat
menghentak.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
Terdengar
satu ledakan hebat di udara saat
pukulan
Badar Topan beradu dengan pukulan yang di-
lepaskan
Jiwo Langgeng. Bumi bergetar hebat laksana
gempa!
Ranting-ranting pohon di sekitar pertarungan
berderak
dengan daun-daun berguguran!
Tubuh
Jiwo Langgeng sendiri pun kontan ter-
lempar
beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh ber-
debum
ke tanah! Wajahnya pucat pasi! Agaknya pe-
muda
ini alot juga. Buktinya, dia cepat bangkit berdiri
dengan
wajah beringas.
"Jahanam...!"
teriak Jiwo Langgeng bak banteng
terluka
seraya membesut darah yang membasahi su-
dut-sudut
bibir.
Sebelum
Jiwo Langgeng membuka serangan,
Datuk
Wanoro, Badar Angin, dan Badar Topan telah
menyerang
hebat. Serangan-serangan mereka dikawal
oleh
angin panas yang menderu-deru.
"Angkin
Pembawa Maut! Apakah begitu aturan
mainnya untuk mengikuti sayembara yang kau ada-
kan?!"
teriak Jiwo Langgeng sambil berkelebatan ke
sana
kemari menghindari serangan-serangan ketiga
orang
pengeroyoknya.
Angkin
Pembawa Maut terhenyak. Gadis ini ba-
ru
sadar kalau sayembaranya berubah menjadi perta-
rungan
tak seimbang. Tentu saja ia tak ingin tokoh-
tokoh
itu bertarung, sebelum mengikuti sayembara.
Sejenak
sepasang matanya yang berbinar-binar mem-
perhatikan
pemuda dari Lembah Patak Banteng yang
mulai
terdesak hebat.
"Berhenti!"
teriak Angkin Pembawa Maut alias
Puspa
Sari lantang. Suaranya menggema memenuhi
tempat
itu.
Keempat
orang tokoh yang sedang bertarung
hebat
di pinggir sendang itu pun kontan menghentikan
serangan.
Jiwo Langgeng yang tertolong oleh teriakan
Angkin
Pembawa Maut tadi segera melenting ke bela-
kang.
Wajahnya tampak pucat pasi. Pakaiannya pun
robek
di sana-sini terkena sambaran pukulan tiga
pengeroyoknya!
"Kenapa
kau menghentikan kami untuk mem-
bunuh
bocah tak tahu diri itu, Angkin Pembawa
Maut?"
tukas Badar Angin lantang.
"Bukan.
Bukan itu maksudku! Aku hanya tidak
ingin
kalian membuang-buang tenaga di tempat ini!
Aku
hanya ingin kalian menuruti permintaanku," jelas
Puspa
Sari, tenang.
"Tapi,
bocah tak tahu diri ini harus dilenyapkan
dulu!
Aku muak sekali melihat lagaknya yang con-
gkak!"
teriak Badar Angin lagi penuh kemarahan.
"Aku
tidak mau tahu. Itu bukan urusanku.
Yang
jelas, seperti yang telah kalian ketahui dalam su-
rat
undanganku, aku bersedia jadi istri salah satu di
antara
kalian, asal kalian sanggup menuruti permin-
taanku,
aku juga akan memberikan Tombak Raja Ak-
hirat
ini pada calon suamiku!" tandas Angkin Pembawa
Maut
tenang.
"Kalau
begitu, cepat katakan apa permintaan-
mu,
Angkin Pembawa Maut!" desak Jiwo Langgeng tak
sabar.
"Hm...!"
gumam Angkin Pembawa Maut tak je-
las.
Sejenak
mata Puspa Sari menyapu wajah
keempat
orang tokoh di hadapannya saksama. Entah
kenapa,
tiba-tiba saja hatinya nyeri sekali kalau terin-
gat
Soma. Namun dengan cepat gadis ini menguatkan
hatinya.
"Sebenarnya,
permintaanku hanya satu. Aku
hanya
menginginkan nyawa seseorang yang telah me-
nyakiti
hatiku!" lanjut Puspa Sari, kembali pandan-
gannya
menyapu wajah keempat orang itu.
"Katakan!
Siapa orang yang telah menyakiti ha-
timu
itu, Calon Istriku! Aku sudah tak sabar lagi un-
tuk
melenyapkannya!" ujar Datuk Wanoro diiringi se-
nyum
yang lebih mirip seringai.
Sepasang
matanya pun terus menatap tubuh
Puspa
Sari yang membangkitkan birahinya. Dan seke-
tika
itu nafasnya tersengal, membayangkan
sean-
dainya
tubuh indah itu berada dalam pelukannya!
Angkin
Pembawa Maut bergidik ngeri. Rasanya
tak
sanggup membayangkan kalau dirinya jadi istri
manusia
kera itu. Namun bila teringat akan ulah So-
ma,
rasa jijiknya berusaha dienyahkan jauh-jauh.
"Bangkotan
tua macam dia mana pantas jadi
suamimu,
Angkin Pembawa Maut. Kujamin, lelaki itu
tidak
dapat membahagiakan mu!" seru Jiwo Langgeng
lantang.
Datuk
Wanoro menggeram penuh kemarahan.
Sepasang
matanya yang berkilat-kilat dialihkan ke
arah
Jiwo Langgeng penuh kemarahan. Namun belum
sempat
tokoh dari Hutan Kera itu buka suara, Angkin
Pembawa
Maut telah mendahului.
"Dengar
baik-baik! Pemuda yang telah menyaki-
ti
hatiku tidak lain adalah pemuda sakti yang bergelar
Siluman
Ular Putih!"
"Siluman
Ular Putih...!" ulang Datuk Wanoro
hampir
bersamaan dengan tiga orang tokoh sesaat
lainnya.
"Yah!
Apa kalian takut mendengar nama besar-
nya?"
pancing Angkin Pembawa Maut. Datuk Wanoro
tertawa
bergelak.
"Siapa
yang takut? Aku memang pernah men-
dengar
nama besarnya. Tapi Datuk Wanoro sedikit pun
tidak
gentar menghadapinya! Dan rasanya, aku sudah
tidak
sabar lagi untuk segera memenggal leher pemuda
bergelar
Siluman Ular Putih itu!" tandas Datuk Wano-
ro.
"Setan
Alas! Rupanya tokoh itu yang menyakiti
hatimu,
Angkin Pembawa Maut? Huh! Aku juga sudah
tidak
sabar lagi untuk segera memenggal lehernya dan
membawanya
kemari!" teriak Jiwo Langgeng,
dengan
sikap
pongah.
"Jangan
khawatir, Angkin Pembawa Maut! Da-
lam
jangka tidak lebih dari satu purnama, kami pasti
akan
segera membawa kepalanya padamu!" kata Badar
Topan,
tak mau kalah.
Puspa
Sari mengangguk-angguk. Wajahnya
tampak
demikian tegang membayangkan kepala pe-
muda
tampan yang sebenarnya masih sangat dicin-
tainya
itu dipenggal oleh keempat tamu undangannya.
"Nah!
Kukira, sekarang tak ada lagi yang perlu
dibicarakan.
Aku menunggu hasil kerja kalian di sini.
Dan
kalian boleh membawa kepala pemuda itu kemari
sebagai
bukti!"
"Apa
kau tidak akan mungkir kalau kami telah
dapat
membunuh Siluman Ular Putih, Angkin Pemba-
wa
Maut?" tanya Badar Angin tiba-tiba.
"Aku
pantang menjilat ludah sendiri!" tegas
Angkin
Pembawa Maut tersinggung.
"Baik,
kalau begitu, kami segera mohon diri,"
pamit
Badar Angin lagi.
"Pergilah!
Aku menunggu di sini."
Sejenak
Badar Angin mengalihkan pandangan-
nya
ke arah Badar Topan. Lelaki kurus itu mengang-
guk.
Lalu tanpa banyak cakap, Sepasang Manusia Ju-
bah
Merah dari Gunung Perahu berkelebat cepat me-
ninggalkan
tempat itu.
"Ah...!
Aku pun juga tidak ingin kalah cepat,"
kata
Datuk Wanoro, segera berkelebat pula.
"Aku
juga. Selamat tinggal, Calon Istriku!" kata
Jiwo
Langgeng, segera pula meninggalkan tempat itu.
Angkin
Pembawa Maut sejenak memperhatikan
keempat
tamu undangannya yang berkelebat cepat,
hingga
menghilang di kerimbunan hutan di depan sa-
na.
Lalu dengan wajah menegang, kepalanya mendon-
gak.
Tampak awan hitam bergulung-gulung di angka-
sa,
pertanda sebentar lagi akan turun hujan lebat.
"Maafkan
aku, Soma! Terpaksa aku melakukan
ini.
Kaulah yang membuat hatiku merana. Dan, kau
pulalah
yang harus menebus akibatnya...!" gumam
Angkin
Pembawa Maut dengan mata mulai mengem-
bang
oleh air mata.
***
3
Pagi
cerah. Matahari di ufuk timur seolah ter-
senyum
dengan sinarnya yang kuning kemilauan. An-
gin
semilir perbukitan ditingkahi kicauan beberapa bu-
rung
di dahan turut menyambut datangnya pagi.
Dari
jalan setapak pinggiran Hutan Seruni,
tampak
seorang pemuda berambut gondrong tengah
bersiul-siul.
Sesekali pemuda berpakaian rompi dan
celana
bersisik warna putih keperakan itu menghenti-
kan
langkahnya. Kepalanya mendongak memperhati-
kan
langit biru di angkasa. Lalu sambil tersenyum-
senyum
gembira, pemuda bergelang akar bahar yang
memiliki
rajahan bergambar ular putih kecil di dada
itu
kembali melanjutkan langkahnya.
Namun
baru beberapa langkah, pemuda gon-
drong
yang tidak lain Soma alias Siluman Ular Putih
itu
terkejut oleh....
"Itu
malingnya! Itu malingnya, Ayah!"
Terpaksa
Soma menghentikan langkah ketika
mendengar
teriakan nyaring. Saat itu dilihatnya seo-
rang
anak lelaki berusia delapan tahun dengan kepala
mengenakan
caping lebar tengah menuding-nudingkan
telunjuk
jarinya ke arahnya.
Di
sebelah anak kecil itu, tampak seorang lelaki
bertubuh
tinggi kekar. Otot-otot lengannya bertonjolan.
Matanya
menatap tajam murid Eyang Begawan Kama-
setyo
saksama. Wajahnya yang berkulit hitam karena
sering
terpanggang sinar matahari tampak menegang.
"Jadi,
Kunyuk Gondrong ini yang telah mencuri
kerbau-kerbau
milik kita, Pawit?" kata lelaki berkumis
lebat
yang usianya sekitar tiga puluh tiga tahun itu.
"Benar,
Ayah. Siapa lagi kalau bukan orang itu.
Tadi
aku melihatnya dengan jelas! Pemuda gondrong
yang
mengenakan rompi putih inilah yang telah meng-
giring
kerbau-kerbau kita dari sawah, Ayah!" sahut bo-
cah
bernama Pawit, anak dari lelaki berkumis lebat itu.
Soma
terkesiap kaget. Sepasang matanya yang
tajam
membeliak lucu saking terkejutnya.
"Eh
eh eh...! Tak ada hujan tak ada angin, ke-
napa
kalian enteng sekali menuduhku sebagai pencuri
kerbau?!
Siapa yang mencuri? Aku tidak mencuri ker-
bau
kalian? Melihatnya pun belum pernah," tukas So-
ma,
heran.
"Mana
ada maling yang mau mengaku! Cepat
katakan!
Di mana kerbau-kerbauku kau jual, Kunyuk
Gondrong!"
bentak laki-laki berpakaian ketat warna
coklat
itu penuh kemarahan.
"Ya,
ampun! Kalian tega amat. Masa' pemuda
setampan
aku dituduh mencuri kerbau. Yang benar
saja,
ah?!" sergah Soma, berusaha berseloroh.
"Keparat!
Jadi kau mungkir, Bocah?!"
"Aku
takkan mungkin mungkir kalau memang
aku
pencurinya."
"Tidak
bisa! Anakku tak mungkin berbohong.
Tadi
jelas-jelas menunjuk kalau kaulah yang menggir-
ing
kerbau-kerbau milikku!" tandas lelaki berkumis le-
bat
itu garang.
"Hm...!
Bisa jadi mata anakmulah yang lamur,
Paman."
"Apa?
Kau mengatakan mata anakku lamur?
Dasar
maling! Kaulah yang mencuri kerbau-kerbau mi-
likku.
Sekarang cepat katakan, di mana kerbau-
kerbauku!
Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku
terpaksa
membunuhmu!" bentak lelaki itu garang.
Habis
membentak begitu, ayah dari bocah ber-
nama
Pawit cepat mencabut parang panjang yang
menggelantung
di pinggang. Lalu langsung diserang-
nya
Siluman Ular Putih.
"Heit!
Tunggu dulu, Paman. Jangan menyerang
membabi
buta begini! Sungguh aku bukan pencuri
kerbau
seperti yang kau tuduhkan!" sergah Soma se-
raya
berkelit ke sana kemari, menghindari serangan.
"Mana
ada maling yang mau mengaku. Seka-
rang
cepat katakan! Di mana kerbau-kerbau milikku!
Atau,
parang ini akan memenggal lehermu!" ancam
pemilik
kerbau itu kalap. Parang di tangan kanannya
makin
bergerak-gerak liar menyerang Siluman Ular Pu-
tih.
"Ya,
ampun! Kau ini bagaimana sih, Paman?
Aku
ini bukan pencuri kerbau. Tapi kalau kau tetap
menuduhku
demikian, baiklah! Sekarang, sebaiknya
tunggulah
di tempat ini. Aku akan mencari orang yang
telah
mencuri kerbau kalian!"
Habis
berkata begitu, Siluman Ular Putih cepat
berkelebat.
Tangannya bergerak cepat. Gerakannya ce-
pat
sekali, sehingga sulit diikuti pandang mata. Tahu-
tahu....
Tuk!
Tuk!
Lelaki
pemilik kerbau itu kaget bukan main ke-
tika
tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tak dapat dige-
rakkan,
begitu terkena totokan murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
Namun sepasang matanya yang tajam te-
rus
berkilat-kilat memandangi pemuda gondrong di
hadapannya
penuh kemarahan.
"Maling!
Kau apakan ayahku, Maling?!" teriak
Pawit
lantang. Tangan kanannya yang mungil telah
mencabut
sabit dari balik pinggang.
Soma
tertawa.
"Ayahmu
tidak apa-apa, Dik. Sekarang temani
saja
ayahmu di sini, ya! Awas, jangan sampai dipatuk
ayam!
Aku akan mencari pencuri kerbau kalian," ujar
Soma
lucu.
Bocah
berusia delapan tahun itu sejenak me-
mandang
Siluman Ular Putih bingung. Namun ketika
dilihatnya
ayahnya masih tegak kaku di tempatnya,
akhirnya
diturutinya perintah Soma. Sementara saat
itu
Siluman Ular Putih telah berkelebat jauh mening-
galkan
tempat ini.
***
Soma
yang telah berkelebat cepat meninggalkan
Hutan
Seruni mendadak melihat dua sosok anak muda
tengah
menggiring dua ekor kerbau. Yang sebelah ka-
nan
adalah seorang pemuda berambut gondrong di-
kuncir
ke belakang. Pakaiannya ketat warna biru. Se-
dang
di sebelahnya adalah seorang pemuda berambut
gondrong
sebahu, berpakaian rompi dan celana ber-
warna
putih!
"Hm...!
Rupanya pemuda sebelah kiri itulah
yang
mungkin mirip denganku," gumam murid Eyang
Begawan
Kamasetyo dalam hati.
Lalu
tanpa banyak kata lagi, Soma segera ber-
kelebat
cepat mengejar dua pemuda yang diduga seba-
gai
pencuri kerbau di hadapannya.
"Hei,
Kawan! Hendak kau bawa ke mana ker-
bau-kerbau
ini?" sapa Soma begitu berhenti di dekat
dua
orang pemuda itu.
Dua
orang pencuri kerbau itu tersentak dengan
wajah
pias. Namun ketika berbalik mendadak kening
kedua
pemuda itu berkerut. Di hadapannya kini telah
berdiri
seorang pemuda berambut gondrong yang me-
miliki
wajah polos mirip wajah anak-anak.
"Keparat!
Kukira siapa. Tak tahunya cuma ku-
nyuk
gondrong berotak miring! Hayo, cepat kita lan-
jutkan
perjalanan, Kunto!" maka pemuda berompi pu-
tih
kepada kawannya.
"Pemuda
sinting! Memalukan! Cakep-cakep be-
rotak
miring!" desis pemuda yang dipanggil Kunto
jengkel.
Soma
tersenyum-senyum nakal seraya garuk-
garuk
kepala. Kelakuan Siluman Ular Putih makin
menguatkan
dugaan kedua pemuda itu, kalau Soma
memang
sinting.
"Sialan!
Hari ini kok sial banget, sih! Sudah di-
tuduh
pencuri, dikatakan berotak miring lagi!" rutuk
Soma
kesal.
"Apa
tadi kau bilang, Kunyuk Sinting? Berani
kau
menuduh kami pencuri, he?!" bentak pemuda be-
rompi
putih lantang saat mendengar gumaman murid
Eyang
Begawan Kamasetyo tadi.
"Ah...!
Aku tak mungkin berani berkata begitu.
Tapi
kalau melihat sikap kalian yang uring-uringan be-
gini,
jangan-jangan malah kalianlah yang telah mencu-
ri
kerbau milik petani yang tadi kutemui!"
"Keparat!
Jangan sembarangan main tuduh,
Kunyuk!"
bentak pemuda berompi putih lantang se-
raya
mencabut pedangnya.
"Kalau
bukan pencuri, kenapa kalian membawa
kerbau-kerbau
melewati hutan? Bukankah di seberang
hutan
ini ada jalanan desa yang lebih dekat dengan
kadipaten,
kalau memang ingin menjual kerbau-
kerbau
ini? Hayo, jawab!" goda Soma.
"Setan
Alas! Kerbau-kerbau ini mau dibawa me-
lewati
hutan kek, lewat jalan desa kek, itu bukan uru-
sanmu!
Kenapa kau usil amat?!" bentak pemuda be-
rompi
putih lantang.
"Karena
kalian mencuri kerbau milik petani
yang
kutemui tadi itu! Dan karena kau mengenakan
rompi
dan celana putih, maka akulah yang dituduh
mencuri
kerbau-kerbau ini. Itu kan namanya mence-
markan
nama baikku. Masa' ganteng-ganteng begini
dituduh
pencuri kerbau!"
"Keparat!
Mulutmu terlalu lancang, Kunyuk!
Nih,
makan pedangku!" dengus pemuda berompi putih.
"Heaaat...!"
Disertai
teriakan keras, pemuda berompi putih
itu
mengangkat pedangnya. Namun sebelum
pedang
itu
dibabatkan, tiba-tiba pemuda yang berpakaian hi-
tam
cepat merentangkan tangan kanannya.
"Tunggu,
Jarot! Kukira tak ada gunanya mela-
deni
pemuda sinting ini! Sebaiknya cepat serahkan sa-
ja
kerbau-kerbau ini pada Juragan Lawe!" cegah Kunto
kalem
pada pemuda berbaju rompi putih yang berna-
ma
Jarot.
"Baik!"
sahut Jarot berat.
Jarot
lantas menatap Soma dengan mata melo-
tot.
"Kau
jangan ke mana-mana, Kunyuk! Sebentar
lagi
aku pasti akan datang untuk memenggal kepala-
mu!"
Soma
tertawa bergelak.
"Pergiliih!
Aku pasti akan menunggumu di sini.
Tapi
kukira, kerbau-kerbau ini belum tentu mau di-
ajak
pergi. Coba lihat baik-baik matanya yang meme-
rah
itu!" ujar Soma seraya memungut dua kerikil kecil.
Seketika,
disambitkannya kerikil-kerikil itu ke jalan
darah
di bagian tengkuk kerbau.
Kerbau-kerbau
itu kontan melenguh panjang
dengan
mata berwarna merah saga. Gerakan-gerakan
kedua
kerbau itu pun kontan jadi liar! Dan ketika ber-
balik,
kedua pemuda pencuri itu terkejut melihat sepa-
sang
mata kerbau-kerbau yang mendadak jadi merah
menyala.
"Hayo,
kerbau-kerbau dungu! Hajar pencuri-
pencuri
kecil itu! Seruduk perutnya sampai mbrodol!"
teriak
Soma gembira.
Dan
seperti mengerti, tiba-tiba dua ekor kerbau
itu
mendengus panjang dengan air liur berleleran.
Ekor
mereka mengkibas-kibas, lalu menerjang kedua
orang
pemuda pencuri itu.
Tentu
saja dua pemuda pencuri itu tak ingin
jadi
sasaran kerbau-kerbau yang tengah kalap. Buru-
buru
mereka melempar tali pengikat dan lari tung-
gang-langgang.
Namun kedua ekor kerbau yang tengah
kalap
itu terus mengejar. Dan....
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali tanduk kedua ekor kerbau itu me-
nyeruduk
punggung kedua pemuda pencuri itu hingga
jatuh
berguling-gulingan. Lalu mereka cepat meloncat
bangun,
dan kembali lari tunggang-langgang.
"Hayo,
cepat seruduk kedua pencuri kecil itu!
Seruduk
pantat mereka sampai matang!" teriak Soma
seraya
berkelebat mengikuti gerakan kedua ekor ker-
bau
kalap itu.
Kedua
orang pemuda pencuri itu menjerit-jerit
ketakutan.
Sementara kedua ekor kerbau di belakang
mereka
terus mengejar ganas. Untung saja, kedua pe-
muda
itu segera menemukan dua pohon. Segera mere-
ka
memanjat, untuk menyelamatkan diri.
Soma
menggerutu kesal. Dilihatnya dua ekor
kerbau
yang tengah kalap itu terus menunggu kedua
orang
pemuda pencuri itu turun. Namun ketika ber-
maksud
kembali menotok pulih jalan darah di tengkuk
kedua
ekor kerbau itu, mendadak pendengaran Silu-
man
Ular Putih yang tajam menangkap gerakan-
gerakan
halus di balik semak. Dan....
Werrr!
Werrr!
Mendadak
melesat dua sinar hitam legam dari
semak
belukar di samping ke arah dua ekor kerbau
itu.
Soma
terkesiap kaget. Buru-buru dilemparkan-
nya
dua kerikil kecil di tangannya, menangkis seran-
gan
gelap itu.
Pluk!
Pluk!
Begitu
dua sinar hitam legam dari semak belu-
kar
itu dapat ditangkis dengan sambitan kerikil, Silu-
man
Ular Putih kontan membeliakkan matanya lebar.
Dua
sinar hitam yang tertangkis sambitan kerikilnya
ternyata
adalah dua batang jarum hitam beracun. Dan
begitu
batang-batang jarum itu rontok ke tanah, rum-
put-rumput
di sekitar tempat itu kontan terbakar!
"Bagus,
bagus! Dasar pemuda sinting tak bero-
tak!
Nyawa dua ekor kerbau pun kau bela. Tapi, kena-
pa
nyawa dua cecurut itu dibiarkan terancam serudu-
kan-serudukan
kerbau kalap itu, he?!"
Terdengar
teriakan lantang yang disusul berke-
lebatnya
sesosok bayangan jingga dari semak.
***
4
Kedua
alis mata Soma bertaut, menatap sosok
pemuda
tampan berpakaian jingga yang kini telah ber-
diri
di hadapannya. Rambut pemuda itu dikuncir ke
belakang.
Sepasang matanya tajam penuh kelicikan.
Siapa
lagi pemuda beralis tebal itu kalau bukan Jiwo
Langgeng?
"Jangan
seenaknya bicara, Kawan! Justru nya-
wa
kedua ekor kerbau itulah jauh lebih berharga di-
banding
nyawa dua orang pencuri itu," sergah Soma
acuh
tak acuh.
Habis
berkata begitu Soma kembali memungut
dua
buah kerikil kecil. Dengan satu gerakan berisi te-
naga
dalam, dilontarkannya kedua kerikil ke arah
tengkuk
kerbau-kerbau itu.
Tuk!
Tuk!
Dua
kerbau itu kontan melenguh panjang begi-
tu
terkena totokan dari lontaran batu kerikil itu. Sepa-
sang
mata mereka yang memerah kontan berubah re-
dup.
Gerakan-gerakan mereka yang liar perlahan mu-
lai
tenang kembali. Sementara dua orang pemuda pen-
curi
kerbau itu segera meloncat turun dari batang po-
hon,
dan cepat lari tunggang-langgang meninggalkan
tempat
itu.
"Hei?!
Kalian tidak boleh meninggalkan tempat
ini!
Urusanku dengan kalian belum selesai. Nanti ka-
lau
kalian sudah bertemu pemilik kerbau itu baru ka-
lian
pergi. Sekarang, tunggulah di situ!" teriak Soma
yang
telah kembali memungut dua buah kerikil kecil.
Secepatnya
dilontarkan kedua kerikil itu ke arah dua
orang
pemuda pencuri tadi.
Tukkk!
Tukkk!
Telak
sekali lemparan dua kerikil murid Eyang
Begawan
Kamasetyo ini mengenai punggung kedua
orang
pemuda itu. Seketika tubuh mereka kaku, tak
dapat
digerakkan.
"Nah,
begitu kan baik. Sekarang kalian harus
ikut
aku menemui pemilik kerbau itu!"
Soma
tersenyum-senyum nakal. Lalu dengan
langkah
santai segera didekatinya dua orang pencuri
kerbau
itu.
"Tunggu!"
teriak Jiwo Langgeng tiba-tiba. "Meni-
lik
ciri-ciri mu, benarkah kau pemuda yang bergelar
Siluman
Ular Putih?"
Langkah
Soma terpaksa berhenti. Sejenak di-
pandanginya
pemuda tampan berpakaian ketat warna
jingga
di hadapannya saksama. Lalu keningnya berke-
rut
dalam.
"Aku
tidak tahu siapa kau. Dan aku juga tidak
tahu,
apa maksud bicaramu tadi," sahut
Soma asal
bunyi.
Jiwo
Langgeng tertawa bergelak. Kepalanya
mendongak
tinggi-tinggi. Selang beberapa saat, wajah
garang
Jiwo Langgeng memandang tajam pada Soma.
"Bodoh!
Aku tahu, kaulah pemuda sinting yang
bergelar
Siluman Ular Putih. Sekarang cepat tanggal-
kan
kepalamu mumpung kesabaranku belum habis!"
desis
Jiwo Langgeng.
"Heran!
Heran! Sebenarnya yang sinting itu aku
atau
kau? Tadi aku dituduh pencuri kerbau dan ditu-
duh
berotak miring. Kini malah ada orang yang men-
ginginkan
kepalaku! Heran-heran! Apa sekarang dunia
ini
makin banyak dijejali orang berotak miring. Atau,
memang
zamannya sudah miring?!" gumam
murid
Eyang
Begawan Kamasetyo seperti pada diri sendiri.
"Kaulah
yang berotak miring, Kunyuk! Seka-
rang
lekas tanggalkan kepalamu! Atau biar aku yang
memenggal
kepalamu?!" kata Jiwo Langgeng pongah.
"Ah,
iya! Sekarang ketahuan. Kaulah yang bero-
tak
miring, kawan! Masa' tidak ada hujan dan tidak
ada
angin tiba-tiba aku harus memenggal kepalaku?"
sahut
Siluman Ular Putih kalem.
"Bagus!
Jadi kau memang menginginkan aku
yang
memenggal kepalamu, Kunyuk?!" dengus Jiwo
Langgeng
angkuh. "Nah, sekarang bersiaplah. Karena
kepalamu
sebentar lagi akan ku tukar dengan calon is-
triku
yang cantik!"
Habis
mendengus begitu, Jiwo Langgeng men-
cabut
keris berlekuk tujuh dari dalam sarung. Kemu-
dian
tanpa banyak cakap lagi, segera diserangnya Si-
luman
Ular Putih.
"Tunggu!
Tadi kau bilang kepalaku akan ditu-
kar
dengan calon istrimu? Lalu siapa calon istrimu itu,
Kawan?
Dan siapa pula kau ini?" cegah Siluman Ular
Putih
seraya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
serangan-serangan
Jiwo Langgeng.
"Orang
yang akan mencabut nyawa busukmu
adalah
Jiwo Langgeng, Kunyuk!" bentak Jiwo Langgeng
jengkel.
Keris
di tangan kanannya makin bergerak-
gerak
menggiriskan. Bahkan disertai deru angin setiap
keris
itu berkelebat.
"Lalu
siapa calon istrimu itu, Jiwo Langgeng?"
tanya
Soma penasaran.
"Tanyakan
saja sendiri pada malaikat maut!"
"Hm...!
Tampaknya kau jual mahal, Jiwo Lang-
geng.
Mengetahui nama calon istrimu yang cantik saja
tidak
boleh. Nanti kalau kurebut, malah kau sendiri
yang
nyap-nyapan!" celoteh Soma, menggoda. Tubuh-
nya
meliuk-liuk cepat menghindari serangan-serangan
Jiwo
Langgeng yang semakin ganas.
"Bedebah!
Ternyata nama besarmu bukan
hanya
sekadar kertas bungkus bubur, Kunyuk! Tapi
aku
belum yakin, apa kau sanggup menerima pukulan
maut
'Banteng Ketaton' milikku?!" dengus pemuda dari
Lembah
Patak Banteng mulai kesal juga melihat se-
rangan-serangannya
dapat dihindari Siluman Ular Pu-
tih
dengan mudah.
Siluman
Ular Putih hanya tersenyum-senyum
menggoda.
Namun ketika dilihatnya kedua telapak
tangan
Jiwo Langgeng mulai berubah merah jambu
hingga
ke siku, mau tidak mau keningnya berkerut ju-
ga.
Dari bau anyir yang ditimbulkan, tahulah kalau
pukulan
pemuda lawannya mengandung racun keji.
Siluman
Ular Putih tak berani main-main lagi.
Segera
dikerahkannya tenaga dalam, membuat kedua
telapak
tangannya mulai jadi putih terang hingga ke
siku!
"Jangan
cengengesan! Sebentar lagi kau akan
kukirim
ke neraka, Kunyuk!" dengus Jiwo Langgeng
"Hea...!"
Dua
larik sinar merah jambu seketika melesat
dari
kedua telapak tangan Jiwo Langgeng ke arah Si-
luman
Ular Putih begitu kedua telapak tangannya ter-
hentak
ke depan. Hebatnya serangan itu dikawal angin
dingin
yang menderu-deru.
Siluman
Ular Putih sejenak tersenyum kecut.
Namun
tiba-tiba kedua tangannya menghentak, melon-
tarkan
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
Terdengar
ledakan hebat di udara begitu terjadi
benturan
dua kekuatan dahsyat. Bumi bergetar hebat!
Ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-daun
berguguran
dalam keadaan hangus.
Sementara
tubuh Jiwo Langgeng terjajar bebe-
rapa
langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi! Seku-
jur
tubuhnya menggigil.
"Bagaimana?
Apa sekarang kau juga belum
mau
memperkenalkan calon istrimu yang cantik pada-
ku?"
ledek Soma yang juga sempat tergetar hebat aki-
bat
bentrokan tadi. Namun pemuda ini masih tetap te-
gak
di tempatnya. Sepasang matanya yang tajam terus
memandangi
Jiwo Langgeng.
Jiwo
Langgeng sedikit pun tidak menggubris
pertanyaan
Siluman Ular Putih. Malah sambil membe-
sut
darah yang membasahi bibir dipasangnya kuda-
kuda
rendah. Seketika, kedua tangannya menghentak,
melepas
pukulan maut 'Banteng Ketaton' disertai tena-
ga
dalam tinggi.
"Hea...!"
"Ukh...!
Dasar pemuda berotak miring! Ditanya
baik-baik
malah ngamuk," celoteh Siluman Ular Putih
menggoda.
Dan
ketika melesat dua larik sinar merah jam-
bu
dari kedua telapak tangan Jiwo Langgeng. Siluman
Ular
Putih tak segan-segan lagi menambahkan kekua-
tan
tenaga dalamnya. Saat itu kedua tangannya meng-
hentak
pula.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
"Aaakh...!"
Sekali
lagi terdengar ledakan hebat di udara
yang
diiringi jeritan seseorang. Tak lama, tampak satu
sosok
tubuh jatuh berdebum ke tanah dengan wajah
pias!
Tubuh Jiwo Langgeng!
Siluman
Ular Putih tersenyum kecut.
"Nah!
Sekarang katakan, siapa calon istrimu
yang
cantik itu? Dan mengapa pula ia menginginkan
nyawaku?
Hayo, jawab! Kalau tidak kepalamu lah yang
akan
kupenggal?" ancam Soma, bermaksud menggoda.
Jiwo
Langgeng berusaha tersenyum, namun
yang
tampak adalah seringai kesakitan. Dadanya tera-
sa
nyeri saat bangkit. Namun mendadak tangannya
menelusup
ke dalam saku, lalu mengibas.
Saat
itu pula, dua buah benda bulat sebesar
kerikil
melesat ke arah Siluman Ular Putih. Namun
dengan
tangkas, Soma melenting ke belakang.
Blarrr...!
Seketika
ledakan kecil terdengar, disertai uap
hitam
bergulung-gulung menghalangi pandangan, be-
gitu
Siluman Ular Putih mendarat empuk di tanah.
Soma
mengibas-ngibaskan tangannya mengusir uap
hitam
yang bergulung-gulung akibat dua benda kecil
yang
dilemparkan Jiwo Langgeng. Dan ketika uap hi-
tam
bergulung-gulung itu hilang, sosok Jiwo Langgeng
pun
telah lenyap.
"Ada-ada
saja! Orang mau punya istri, kok pa-
kai
minta kepalaku segala! Memangnya kepalaku tum-
bal
apa?" sungut Soma kesal.
***
5
"Lihat,
Pawit! Itu kerbau-kerbau milik kita!" pe-
kik
ayah Pawit gembira, kala sepasang matanya meli-
hat
Soma tengah menggiring kerbau-kerbau milik me-
reka,
diikuti dua pemuda berpakaian rompi putih dan
pemuda
berpakaian hitam.
"Benar,
Ayah! Itu kerbau-kerbau milik kita!"
pekik
Pawit kegirangan, lalu cepat berlari menghampiri
Soma.
"Benar
kerbau-kerbau ini milikmu, Adik Kecil?"
tanya
Soma begitu Pawit berada di dekatnya.
"Benar,
Kak. Kerbau-kerbau ini memang milik
ayahku.
Tapi..., tapi kenapa pencurinya jadi tiga
orang?"
tanya bocah kecil itu lugu. Sebentar sepasang
matanya
yang berbinar memperhatikan dua orang pe-
muda
berambut gondrong di kanan kiri Soma. Seben-
tar
pandangannya telah beralih ke arah Soma.
"Ah...!
Kau masih menuduhku pencuri, Bocah?"
tukas
Soma.
"Eh...!
Bukan! Bukan kau pencurinya, Kak.
Yah-yah...!
Kedua orang itulah yang telah mencuri
kerbauku!"
"Syukur
kalau kau masih ingat, Dik. Sekarang
kita
menemui ayahmu!" ajak Soma.
"Baik,
Kak."
Diikuti
bocah kecil yang tengah kegirangan ka-
rena
telah menemukan kerbau-kerbaunya kembali,
Soma
terus mengajak kedua pemuda pencuri kerbau
itu
menemui lelaki berkumis lebat.
"Bagaimana
keadaanmu, Paman? Tidak enak
kan
berdiri kaku seperti itu?" ledek Soma diiringi se-
nyum
nakal. Lalu segera dibebaskannya totokan di tu-
buh
lelaki itu.
Begitu
terbebas dari totokan, tubuh lelaki ber-
kumis
dapat digerakkan kembali.
"Maafkan
keteledoranku, Anak Muda!" ucap le-
laki
pemilik kerbau ramah.
"Sudahlah,
Paman. Yang penting kedua pencuri
itu
sudah kutangkap. Dan aku terbebas dari bacokan
parang
mu?" ujar Soma.
"Sekali
lagi aku minta maaf, Anak Muda!"
"Sekarang,
uruslah kedua orang pencuri tengik
ini.
Tapi jangan dibunuh! Bawa saja mereka ke balai
desa.
Biar kepala desa yang mengadili!"
"Baik,
Anak Muda. Sekarang juga aku akan
membawa
mereka menemui Ki Lantuk," sahut pemilik
kerbau
itu patuh.
Meski
demikian, rasa jengkel masih menghing-
gapi
dada si pemilik kerbau. Maka begitu berada di de-
kat
kedua pencuri itu, segera dilontarkannya pukulan
bertubi-tubi.
"Aaah...!"
"Aaakh...!"
Karena
tertotok, kedua pencuri itu hanya dapat
menjerit-jerit.
Namun pemilik kerbau itu terus meng-
hajar
mereka. Dan setelah puas menghajar, pemilik
kerbau
itu pun segera menyeret kedua orang pencuri
pergi
dari tempat ini.
"Sayang
sekali! Masih muda, jadi pencuri.
Huh!"
gumam Soma dalam hati.
Habis
menggumam begitu, Soma berkelebat
meninggalkan
tempat itu. Namun baru beberapa lang-
kah,
mendadak satu sosok tubuh berpakaian serba hi-
tam
telah menghadang langkahnya.
"Bocah
Gendeng! Lekas katakan! Benarkah kau
yang
bergelar Siluman Ular Putih?!"
***
Soma
menyipitkan matanya, memandangi seso-
sok
lelaki berusia lima puluh lima tahun yang kini te-
lah
tegak di hadapannya. Wajahnya bulat menyerupai
wajah
monyet. Sepasang matanya bulat dengan hidung
lebar.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dipenuhi bu-
lu-bulu
hitam.
"Hm...!
Lagi-lagi aku mendapat pertanyaan se-
rupa.
Kalau tadi pemuda bernama Jiwo Langgeng, kini
seorang
laki-laki tua berwajah mirip monyet. Sebenar-
nya
ada apa di balik ini semua? Dan siapa pula lelaki
ini...?"
gumam Soma dalam hati.
Siluman
Ular Putih memang makin tak menger-
ti
saja. Seribu pertanyaan seolah menggayuti benak-
nya.
"Kenapa
kau tampak uring-uringan, Orang
Tua?
Apa kerbau-kerbaumu dicuri maling?" kata So-
ma,
tak pedulikan pertanyaan lelaki berwajah monyet.
"Setan
Alas! Kau jangan berlagak bodoh, Bocah!
Melihat
ciri-ciri mu, kau pasti pemuda bergelar Silu-
man
Ular Putih! Benarkah itu, Bocah?!" bentak lelaki
yang
tak lain Datuk Wanoro.
"Kalau
memang iya, kenapa, Orang Tua? Apa
kau
ingin memenggal kepalaku, lalu kau serahkan pa-
da
calon istrimu yang cantik jelita?" duga Soma.
"Bagus!
Rupanya kau sudah mengetahuinya,
Bocah!
Sekarang kau harus menuruti permintaan ca-
lon
istriku! Aku akan memenggal kepalamu!"
Siluman
Ular Putih mendesah lirih. Rupanya
tebakannya
mengena.
"Kalau
ingin kepalaku, kau berani menawar be-
rapa?
Dibayar dengan istrimu yang cantik jelita itu
pun,
belum tentu aku mau!" goda Soma.
"Setan
Alas! Berani kau mempermainkan Datuk
Wanoro,
Bocah?!"
"Kenapa
tidak? Kau sendiri berani memper-
mainkan
kepalaku!"
"Setan
Alas! Makanlah pukulan maut 'Gada
Bumi'-ku!
Hea...!"
Diiringi
bentakan keras memekakkan telinga,
Datuk
Wanoro segera mendorongkan kedua telapak
tangannya
ke depan. Seketika tampak dua larik sinar
kuning
berkilauan melesat dari kedua telapak tangan-
nya
ke arah Siluman Ular Putih!
"Ah,
kau ini! Pagi-pagi saja sudah cari ribut!"
gerutu
Siluman Ular Putih, seraya menghentakkan ke-
dua
tangannya. Dipapakinya pukulan Datuk Wanoro
dengan
pukulan 'Tenaga Inti Bumi'.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
Terdengar
satu ledakan dahsyat di Udara ketika
dua
tenaga dalam bentrok. Pada saat yang sama, tu-
buh
Datuk Wanoro terjajar beberapa langkah ke bela-
kang
dengan wajah pucat pasi. Sepasang matanya me-
lotot
seolah tidak percaya kalau pemuda gondrong di
hadapannya
mampu memapaki pukulan mautnya.
Sementara
itu Soma hanya sedikit bergetar aki-
bat
bentrokan tadi. Hal ini membuat Datuk Wanoro
menggembor
penuh kemarahan.
"Heaaa...!"
Disertai
teriakan merobek langit, tubuh tinggi
kekar
lelaki itu cepat melenting tinggi. Begitu berada di
udara,
tangan kirinya cepat bergerak dari kiri-kanan,
bermaksud
menampar kepala Soma.
Wut!
Wut!
Siluman
Ular Putih sedikit menggeser tubuhnya
ke
samping, membuat tamparan Datuk Wanoro hanya
menyambar
angin kosong. Namun pada saat yang
singkat
tangan kanan Datuk Wanoro telah mengirim-
kan
jotosan ke ubun-ubun.
Siluman
Ular Putih terkesiap kaget! Ia tidak
menyangka
kalau dirinya akan tertipu mentah-mentah
oleh
serangan Datuk Wanoro. Namun secepatnya tu-
buhnya
dibuang ke samping. Sayang, gerakannya ter-
lambat.
Dan....
Bukkk!
Telak
sekali jotosan Datuk Wanoro menghan-
tam
bahu kanan Siluman Ular Putih. Tubuh pemuda
ini
pun kontan terhuyung-huyung ke depan, lalu jatuh
tersungkur
ke tanah. Bahu kanannya terasa nyeri bu-
kan
main.
"Sontoloyo!
Kau berbakat juga jadi penipu be-
sar,
Manusia Monyet!" dengus murid Eyang Begawan
Kamasetyo
jengkel.
Sekali
menggerakkan tubuhnya, Siluman Ular
Putih
cepat meloncat bangun. Namun pada saat yang
sama,
Datuk Wanoro kembali menerjang. Gerakan-
gerakan
tubuhnya mirip seekor monyet yang berlonca-
tan
ke sana kemari, sebelum akhirnya lancarkan se-
rangan
mautnya.
"Hea...!
Hea...!"
Hebat
bukan main serangan-serangan Datuk
Wanoro
kali ini. Begitu hebatnya, sehingga setiap tan-
gannya
berkelebat terdengar kesiur angin dingin yang
menampar-nampar
wajah Siluman Ular Putih!
Siluman
Ular Putih cepat mengerahkan jurus
sakti
'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua telapak tan-
gannya
yang membentuk dua kepala ular cepat berge-
rak
di antara gulungan-gulungan serangan Datuk Wa-
noro.
Dan pada satu kesempatan, murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo ini dapat melepas patukan tangan ka-
nan
ke dada.
Bukkk!
Bukkk!
Dua
kali dada Datuk Wanoro terkena patukan
telak
tangan Siluman Ular Putih. Tubuhnya yang tinggi
besar
kontan terjajar ke belakang. Wajahnya mene-
gang.
Dadanya yang terkena patukan terasa mau ber-
guncang.
Gerahamnya berkerut-kerut, menahan luka
dalam
dadanya.
"Heaaa...!"
Tanpa
menghiraukan rasa sakit, Datuk Wanoro
kembali
menerjang Siluman Ular Putih. Kedua telapak
tangannya
yang telah berubah kuning berkilauan sege-
ra
melontarkan pukulan 'Gada Bumi'.
Wusss...!
Wusss...!
Dua
larik sinar kuning berkilauan melesat dari
kedua
telapak tangan Datuk Wanoro. Di tempatnya,
Siluman
Ular Putih melipatgandakan tenaga dalamnya,
membuat
kedua telapak tangannya hingga ke pangkal
siku
makin berubah putih terang. Dan sekali dido-
rongkan
ke depan, seketika melesat dua larik sinar pu-
tih
terang.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!
Kembali
terdengar ledakan dahsyat begitu dua
kekuatan
dahsyat bertemu pada satu titik. Debu-debu
beterbangan.
Daun-daun berguguran. Malah ada seba-
giannya
yang hangus terbakar!
Tubuh
Datuk Wanoro sendiri terpental jauh ke
belakang
disertai teriakan kesakitan. Begitu mencium
tanah
lelaki itu muntahkan darah segar! Kedua telapak
tangannya
pun terasa membeku. Hawa dingin akibat
bentrokan
tadi terasa berputar-putar dalam tubuhnya!
Dengan
tertatih-tatih tokoh dari Hutan Kera itu
mencoba
bangun. Namun, sayangnya tubuhnya kem-
bali
luruh ke tanah.
"Aduuuh...!
Kenapa kau nungging-nungging se-
perti
tikus comberan masuk angin, Manusia Monyet!
Hayo
lekas bangun! Nanti kau dimarahi calon istrimu!"
ejek
Siluman Ular Putih.
Datuk
Wanoro menggereng penuh kemarahan.
Meski
tubuhnya terasa mau remuk, namun terus me-
maksakan
diri untuk bangun. Dan begitu dapat me-
loncat
bangun, sepasang matanya yang bulat kontan
melotot.
Seakan-akan ingin ditelannya bulat-bulat pe-
muda
gondrong di hadapannya!
Di
saat Datuk Wanoro dilanda kegusaran inilah
mendadak....
"Memalukan!
Tampangnya saja yang angker!
Tapi
menghadapi pemuda dungu itu tak becus!"
Sebuah
suara yang memerahkan telinga ter-
dengar,
disusul berkelebatnya dua sosok bayangan
berjubah
merah dari arah samping.
***
6
Sepasang
mata bulat Datuk Wanoro makin
berkilat-kilat
penuh kemarahan. Dua sosok yang kini
berdiri
tak jauh dari tempatnya berusia sekitar empat
puluh
tahun. Mereka mengenakan jubah berwarna
merah
darah. Yang sebelah kanan adalah lelaki bertu-
buh
tinggi besar. Wajahnya kasar penuh benjolan ke-
cil.
Sepasang matanya tajam. Hidungnya besar dengan
kumis
lebat melintang. Rambutnya panjang sebahu. Ia
tak
lain dari Badar Angin.
Sosok
di sebelah Badar Angin juga lelaki berju-
bah
merah darah. Tubuhnya kurus kering seperti
orang
berpenyakitan. Rambutnya panjang keriting
dengan
kulit hitam legam. Wajahnya tanpa kumis dan
jenggot.
Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Badar Topan?
Kedua
orang itu dikenal sebagai Sepasang Manusia
Jubah
Merah dari Gunung Perahu.
Melihat
siapa yang datang, kegusaran Datuk
Wanoro
tak dapat ditahan lagi.
"Jaga
bacotmu, Badar Topan! Kau sendiri be-
lum
tentu dapat mengalahkannya. Sekali kepruk saja
tubuhmu
akan hancur!" dengus Datuk Wanoro dalam
kemarahan
menggelegak.
Badar
Topan tersenyum dingin. Sepasang ma-
tanya
yang mencorong terus memandangi Siluman
Ular
Putih.
"Siapa
lagi dua orang berjubah merah darah
ini?
Menilik gelagatnya, sudah pasti mereka juga men-
ginginkan
nyawaku. Lalu, siapakah yang berdiri di ba-
lik
semua kekacauan ini?" tanya Siluman Ular Putih
dalam
hati.
"Hanya
menghadapi kunyuk geblek ini saja tak
becus,"
dengus Badar Topan sangat merendahkan Da-
tuk
Wanoro.
Meski
mulutnya berkata demikian, sebenarnya
hati
Badar Topan pun mulai dipenuhi tanda tanya.
Dengan
sepasang matanya yang mencorong, kembali
diperhatikannya
pemuda gondrong di hadapannya.
"Kalau
Datuk Wanoro dapat dibuat jatuh ban-
gun,
sudah pasti pemuda yang tampak blo'on ini me-
miliki
kepandaian lumayan. Menilik ciri-cirinya, bisa
jadi
kunyuk gondrong inilah yang bergelar Siluman
Ular
Putih. Sebab, hanya tokoh sakti saja yang dapat
mengalahkan
Datuk Wanoro. Kalau tidak, mustahil
kunyuk
gondrong ini dapat mengalahkan manusia
berwajah
monyet itu," gumam Badar Topan dalam hati.
Makin
tajam mata Badar Topan menatap Soma.
"Bocah!
Benarkah kau yang bergelar Siluman
Ular
Putih?!" bentak Badar Topan garang.
Siluman
Ular Putih tersenyum kecut. Lalu en-
tah
kenapa, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Alamak!
Entah mimpi apa aku semalam? Kok
nasibku
jelek amat? Sudah bertemu manusia monyet,
pakai
bertemu dua orang pemain lenong kesasar yang
juga
menginginkan nyawaku. Hei, Orang Tua! Sebe-
narnya
ada apa hingga kalian memusuhi ku?" tanya
Soma
dengan lantang pada Badar Angin dan Badar
Topan.
"Jangan-jangan
soal perempuan lagi...."
"Sebenarnya
kami tidak ingin memusuhi mu,
Bocah.
Kami berdua hanya menginginkan kepalamu
untuk
ditukar dengan calon istriku!" sahut Badar To-
pan
dengan senyum terkembang di bibir.
"Siapakah
calon istrimu itu, Orang Tua?" tanya
Soma
penasaran.
"Buat
apa kau bertanya kalau akhirnya akan
modar
juga di tangan kami? Sekarang bersiap-siaplah
menerima
kematianmu hari ini, Bocah!" ancam Badar
Topan.
Sejenak perhatiannya dialihkan ke arah Badar
Angin.
Badar
Angin pun anggukkan kepala tanda setu-
ju.
"Semprul!
Kalian pikir kepalaku ini barang mu-
rahan?!
Hayo lekas maju! Kalau ingin kugebuk pantat
kalian!"
Saat
itu pula murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya
yang
membentuk dua kepala ular disilangkan sedemi-
kian
rupa di depan dada. Lalu sambil tersenyum nakal
pantatnya
digoyang-goyang!
"Hayo
maju! Kenapa kalian hanya melotot saja!"
ejek
Siluman Ular Putih.
"Kunyuk
Sinting! Kau akan menyesal telah di-
lahirkan
di bumi, Bocah!" dengus Badar Angin
yang
dari
tadi hanya bungkam saja. Saat itu juga kakinya
menjejakkan
tanah. Dan tahu-tahu tubuh tinggi be-
sarnya
sudah menerjang Siluman Ular Putih.
Tangan
kanan Badar Angin bergerak sedemi-
kian
rupa, siap mengirimkan jotosan ke bagian dada.
Sedang
tangan kirinya siap pula mencengkeram dari
samping.
"Hiaaat...!"
Bersamaan
dengan itu, Badar Topan pun me-
nerjang
Siluman Ular Putih tak kalah hebat. Seperti
berlomba,
Sepasang Manusia Jubah Merah dari Gu-
nung
Perahu terus mendesak Siluman Ular Putih tan-
pa
ampun.
Sementara
Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak
gentar menghadapi dua orang pengeroyoknya. Ma-
lah
sambil bersiul-siul kegirangan, diladeninya seran-
gan-serangan
kedua lawan dengan jurus 'Terjangan
Maut
Ular Putih'. Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk
dua kepala ular sesekali menyelinap di antara
gulungan-gulungan
serangan Sepasang Manusia Ju-
bah
Merah.
"Hea...!
Hea...!"
Diiringi
teriakan-teriakan memekakkan gen-
dang
telinga, Siluman Ular Putih merangsek maju.
Perlahan
namun pasti, murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu mulai dapat mendesak kedua lawan.
Bahkan
sepuluh jurus kemudian, Badar Angin dan
Badar
Topan hampir tidak dapat membalas. Jangan-
kan
untuk membalas. Untuk keluar dari gempuran-
gempuran
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu ra-
sanya
sulit!
Sambil
bersiul-siul Siluman Ular Putih terus
mendesak
kedua orang pengeroyoknya. Hingga pada
suatu
kesempatan baik, tiba-tiba kedua tangannya
yang
membentuk kepala ular disusupkan secara ber-
gantian
di antara serangan-serangan balik Badar An-
gin
dan Badar Topan. Dan....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak
sekali patukan tangan kanan-kiri Silu-
man
Ular Putih menghantam dada kedua lawannya.
Seketika
Sepasang Manusia Jubah Merah memekik ke-
ras
dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke bela-
kang!
Wajah mereka meringis kesakitan.
"Kubilang
apa?! Untung saja dadamu tidak je-
bol,
Badar Topan. Padahal kalian maju bareng. Mema-
lukan
sekali!" ejek Datuk Wanoro di antara tawa berge-
laknya.
Badar
Topan menggeram penuh kemarahan
mendengar
ejekan Datuk Wanoro. Sejenak matanya
menatap
lelaki berwajah monyet itu, lalu berbalik ke
arah
Siluman Ular Putih.
"Kau
memang hebat, Siluman Ular Putih. Tapi,
jangan
bangga dulu. Aku belum yakin, apa kau sang-
gup
menerima pukulan 'Menggulung Angin Topan'-
ku?"
ancam Badar Topan.
Habis
berkata begitu, Badar Topan segera
menggerakkan
dagunya memberi isyarat pada Badar
Angin.
Badar
Angin menganggukkan kepala. Kedua te-
lapak
tangannya yang telah dialiri tenaga dalam seke-
tika
berubah jadi merah menyala! Lalu tanpa banyak
cakap
lagi, Badar Topan dan Badar Angin segera men-
dorongkan
kedua telapak tangan ke depan secara ber-
samaan!
"Hea...!"
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih mundur satu tindak. Ga-
bungan
dua tenaga dalam dari Sepasang Manusia Ju-
bah
Merah dari Gunung Perahu tidak boleh dipandang
ringan.
Itu bisa dirasakan dari hawa panas menyengat
yang
mendahului serangan!
Seketika
murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
segera
mengerahkan tenaga dalamnya dengan kuda-
kuda
kokoh. Agaknya Siluman Ular Putih siap melepas
pukulan
sakti 'Tenaga Inti Bumi' yang diga-bungkan
'Tenaga
Inti Api'.
"Hea...!"
Dua
larik sinar merah menyala dan putih te-
rang
langsung meluncur dari kedua telapak tangan Si-
luman
Ular Putih, memapak pukulan 'Menggulung An-
gin
Topan'.
Wesss!
Wesss! Bummm...!
Hebat
bukan main dahsyatnya pertemuan te-
naga
dalam di udara kali ini. Bumi bergetar hebat lak-
sana
gempa! Ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun
berguguran hangus!
Tubuh
Badar Angin dan Badar Topan pun tam-
pak
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Wajah
mereka menampakkan seringai kesakitan.
Namun
hal ini masih agak mendingan diband-
ing
tubuh Siluman Ular Putih yang terjengkang, dan
jatuh
berdebam ke tanah. Parasnya tampak demikian
pias.
Seisi dadanya terasa mau jebol. Kedua telapak
tangannya
terasa terpanggang bara api yang panas
bukan
kepalang!
Wesss...!
Pada
saat yang gawat bagi Siluman Ular Putih,
mendadak
meluruk serangkum angin dingin dari ke-
dua
telapak tangan Datuk Wanoro. Siluman Ular Putih
kaget
bukan main, tanpa bisa menghindar. Dan...
Desss...!
Tubuh
Soma kembali terpental. Untung saja,
tenaga dalamnya telah dikerahkan. Sehingga, tidak
menderita
luka dalam yang parah. Namun meski de-
mikian,
wajahnya makin pias. Keringat dingin tampak
membasahi
kening.
"Manusia
licik! Pintarnya cuma mengambil
keuntungan
sendiri! Apa kau tidak malu dengan tin-
dakanmu
tadi, he?! Kamilah yang berhak membunuh
pemuda
itu. Bukan kau!" bentak Badar Angin tak se-
nang.
Datuk
Wanoro hanya tertawa-tawa pongah. Wa-
jah
liciknya dihadapkan ke arah Siluman Ular Putih.
Sedang
kedua telapak tangannya yang terkembang
siap
pula melontarkan pukulan mautnya.
"Heaaah...!"
Sambil
menggeram penuh kemarahan, Siluman
Ular
Putih cepat meloncat bangun. Dan ketika dilihat-
nya
Datuk Wanoro kembali menyerang, segera dike-
rahkannya
pukulan 'Tenaga Inti Api' dengan sepenuh
kekuatan
tenaga dalam.
Blarrr...!
Kembali
terdengar letusan hebat, membuat
udara
bagai bergetar. Hawa panas menyengat kontan
memenuhi
tempat pertarungan.
Sementara
tubuh Datuk Wanoro terpental be-
berapa
tombak ke belakang, dan jatuh berdebam ke
tanah!
Ia berusaha bangkit, namun sayangnya kembali
luruh
ke tanah setelah memuntahkan darah segar.
Siluman
Ular Putih sendiri hanya terjajar bebe-
rapa
langkah ke belakang. Hawa dingin dari pukulan
Datuk
Wanoro hanya sesaat mempengaruhi tubuhnya.
Dan
setelah mengerahkan tenaga dalam, hawa dingin
yang
menyerang tubuhnya pun lenyap.
"Manusia
Culas! Kau memang patut mendapat
ganjaran
seperti itu!" ejek Badar Topan.
Mata
Datuk Wanoro melotot garang. Tubuhnya
saat
itu terasa remuk. Dengan susah payah, akhirnya
Tokoh
dari Hutan Kera itu pun dapat berdiri kembali.
Namun,
ia sudah tidak punya nyali lagi untuk menye-
rang
Siluman Ular Putih. Sementara itu Siluman Ular
Putih
telah kembali dikeroyok demikian hebat oleh Se-
pasang
Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu.
Namun
ternyata pemuda itu tetap dapat meladeni se-
rangan-serangan
Badar Angin dan Badar Topan. Bah-
kan....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kembali
patukan-patukan tangan kanan-kiri
murid
Eyang Begawan Kamasetyo mendarat di dada
Badar
Angin. Lelaki tinggi kekar itu kontan meraung
setinggi
langit. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Jubahnya yang terkena patukan seperti
hangus
terbakar!
Dalam
waktu yang amat singkat, Siluman Ular
Putih
sudah menerjang Badar Topan. Patukan-
patukan
kedua tangannya yang dialiri dengan pukulan
sakti
'Tenaga Inti Api' terus mencecar tubuh kerem-
peng
Badar Topan tanpa ampun.
Hingga
pada suatu saat....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Patukan-patukan
tangan Siluman Ular Putih
berhasil
menghajar tubuh Badar Topan. Lelaki kerem-
peng
ini memekik setinggi langit. Pada saat tubuhnya
limbung,
tendangan melingkar Siluman Ular Putih
menghajar
punggungnya.
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa
ampun, Badar Topan terjerembab ke ta-
nah,
tidak dapat bangun lagi!
Melihat
itu nyali Badar Angin jadi ciut. Begitu
melirik
ke samping, ternyata Datuk Wanoro pun sudah
tidak
ada lagi di tempatnya. Lalu tatapannya beralih
pada
tubuh adik seperguruannya yang tengah terkapar
di
tanah. Sebenarnya, lelaki tinggi besar ini ingin me-
nolong
Badar Topan. Namun ketika dilihatnya mata Si-
luman
Ular Putih berkilat-kilat penuh kemarahan,
tanpa
banyak pikir panjang lagi kakinya segera menje-
jak
tanah. Seketika tubuhnya berkelebat meninggalkan
tempat
ini.
Siluman
Ular Putih sejenak masih memandangi
ke
arah Badar Angin yang lenyap tadi. Sebenarnya, ia
ingin
mengejar. Namun ketika melihat Badar Topan
masih
tergeletak di tanah, niatnya lantas diurungkan.
"Tak
ada pilihan lain. Aku harus mengorek ke-
terangan
dari manusia kerempeng itu. Aku penasaran
sekali.
Siapa sebenarnya yang berdiri di balik semua
ini?
Kenapa banyak orang yang menginginkan nyawa-
ku?"
gumam Soma dalam hati.
Soma
lalu berjalan mendekati Badar Topan
yang
terkapar di tanah. Namun baru beberapa lang-
kah....
Wesss...!
Tiba-tiba
Siluman Ular Putih merasakan berke-
siurnya
angin dingin menyerang dirinya dari belakang!
Maka
secepatnya ia berpaling ke belakang.
"Heh...?!"
Seketika
itu Soma tersentak, berpuluh-puluh
sinar
kuning keemasan berkeredepan menyerang di-
rinya
bak air hujan dicurahkan dari langit!
"Uts...!"
Tanpa
pikir panjang, Siluman Ular Putih segera
membuang
tubuhnya ke samping sambil mengibaskan
tangan
kirinya menyampok sinar-sinar kuning keema-
san
itu.
Begitu
selamat dari sinar-sinar kuning itu, Si-
luman
Ular Putih jadi mengomel panjang pendek Kare-
na
ia melihat kini tubuh Badar Topan telah dipenuhi
jarum-jarum
emas yang terlepas dari tangkisannya.
Dan
sekujur tubuh kerempeng itu kontan kekuning-
kuningan.
Jelas, racun jarum-jarum emas itu telah
merenggut
nyawa Badar Topan!
"Sontoloyo!
Murid Istana Ular Emas mana lagi
yang
berani membuat ulah, he?!" dengus Siluman Ular
Putih.
Menyadari
orang yang hendak dikorek keteran-
gannya
telah tak bernyawa lagi, Soma pun segera me-
loncat
ke atas pohon di dekatnya.
Selang
beberapa saat, Siluman Ular Putih meli-
hat
sesosok bayangan kuning keemasan tengah berke-
lebat
cepat jauh di ujung hutan. Tak lama, bayangan
itu
telah menghilang di balik rimbunnya hutan.
"Haram
jadah! Dasar murid-murid Istana Ular
Emas
tak tahu diri! Sudah diberi ampun masih saja
membuat
ulah!" omel Siluman Ular Putih kesal.
Dengan
muka bersungut-sungut, Soma segera
meloncat
turun dari atas pohon.
***
7
"Maafkan
aku, Soma!" desah Angkin Pembawa
Maut.
Wajah
gadis ini dipenuhi air mata. Memang
Puspa
Sari-lah yang baru saja membunuh Badar To-
pan
di luar Hutan Seruni. Kini gadis itu telah kembali
ke
tempat persembunyiannya di gua Sendang Mangli.
Karena
takut rahasianya terbongkar bila Soma mengo-
rek
keterangan dari Badar Topan, maka Angkin Pem-
bawa
Maut terpaksa membunuh Badar Topan.
"Aku
menyesal sekali, Soma. Begitu aku meli-
hat
wajahmu, rasanya aku tak tega. Aku.... Aku men-
cintaimu,
Soma. Tapi, kenapa kau tega menyakiti hati-
ku?
Oh...!" desah Angkin Pembawa Maut.
Namun
ketika kembali teringat akan keakraban
Soma
dengan Aryani, mendadak sepasang mata Ang-
kin
Pembawa Maut yang bersimbah air mata jadi berki-
lat-kilat
penuh kemarahan. (Silakan baca serial Silu-
man
Ular Putih dalam episode: "Tombak Raja Akhirat").
"Kini
hatiku telah terluka, Soma. Kaulah yang
melukainya!
Dan kau pulalah yang harus bertanggung
jawab!
Muak aku melihat tampangmu!" desis Puspa
Sari
dengan mata makin jalang.
Angkin
Pembawa Maut yang semula duduk me-
ratap
sambil menyandarkan punggung di dinding, kini
telah
berdiri tegak di tengah-tengah ruangan dalam
gua.
Tombak Raja Akhirat di tangan kanannya sejenak
diperhatikan
dengan saksama.
"Hm...!
Dengan Tombak Raja Akhirat pembe-
rianmu
ini aku akan membunuhmu, Soma!" desis
Angkin
Pembawa Maut.
Hatinya
yang gundah makin tersulut amarah.
Dan
hanya dengan kematian Soma sajalah amarah
Angkin
Pembawa Maut dapat padam. Kini dalam kea-
daan
tegang begitu, sejenak keningnya berkerut dalam.
Samar-samar
telinganya mendengar langkah halus se-
seorang
melintas bagian atas gua.
"Angkin
Pembawa Maut! Boleh aku masuk ke
dalam
goamu?"
Terdengar
suara dari luar, membuat Angkin
Pembawa
Maut mendesah gusar.
"Keparat!
Siapa lagi manusia di luar itu?" desis
Angkin
Pembawa Maut penuh kemarahan. Lalu berge-
gas
gadis ini melangkah keluar.
***
Begitu
sampai di luar gua, kening Angkin Pem-
bawa
Maut berkerut. Sosok yang tengah tegak di de-
pan
mulut gua tempat persembunyiannya ternyata so-
sok
pemuda berparas tampan berpakaian ketat warna
jingga.
Siapa lagi kalau bukan Jiwo Langgeng?
Menilik
pakaiannya yang compang-camping
dan
parasnya yang pucat pasi, Angkin Pembawa Maut
dapat
menduga kalau pemuda dari Lembah Patak Ban-
teng
itu menemui kegagalan.
"Jiwo
Langgeng! Mau apa kau datang kemari?
Apa
kau sudah mendapat syarat yang kuminta?!" ben-
tak
Angkin Pembawa Maut tak senang.
Jiwo
Langgeng tak langsung menjawab. Sepa-
sang
matanya yang tajam memperhatikan tombak di
tangan
Angkin Pembawa Maut penuh hasrat. Kemu-
dian
matanya beralih pada sosok padat penuh gairah
di
hadapannya.
Tubuh
Angkin Pembawa Maut yang terbungkus
pakaian
warna kuning keemasan itu tampak mencip-
takan
lekuk-lekuk menggairahkan. Rasanya Jiwo
Langgeng
sudah tak sabar lagi untuk dapat menikma-
tinya.
Namun selanjutnya pemuda ini jadi mengeluh
dalam
hati.
Angkin
Pembawa Maut risih sekali diperhatikan
pemuda
tampan di hadapannya seperti itu. Baginya,
ketampanan
Jiwo Langgeng belum seberapa bila di-
bandingkan
Siluman Ular Putih. Dan hal ini pulalah
yang
membuat kemarahannya bangkit.
"Jiwo
Langgeng! Apa telingamu sudah tuli? Ke-
napa
kau tidak jawab pertanyaanku?!" bentak Puspa
Sari.
Jiwo
Langgeng tergagap sebentar. Tampak ja-
kunnya
bergerak turun naik. Bibirnya mengumbar se-
nyum
menjijikkan.
"Tampaknya
kau tidak senang melihat keda-
tanganku,
Angkin Pembawa Maut? Apa kau lupa kalau
aku
adalah salah seorang pengikut sayembara mu?"
tukas
Jiwo Langgeng kalem.
"Aku
tidak lupa, Jiwo Langgeng! Aku cuma in-
gin
tanya, mau apa kau datang kemari? Apa kau su-
dah
dapatkan syaratnya?!" bentak Angkin Pembawa
Maut
ketus.
Jiwo
Langgeng menghela napas panjang. Raut
wajahnya
kontan jadi kuyu.
"Menyesal
sekali, Angkin Pembawa Maut. Aku
telah
berusaha keras. Tapi, kunyuk sinting itu bukan-
lah
lawanku," keluh Jiwo Langgeng, bergetar suaranya.
"Kalau
begitu, kenapa kau datang kemari?! Ke-
napa
tidak pulang saja ke Lembah Patak Banteng?!" te-
rabas
Puspa Sari.
"Aku...,
aku ingin kau menolongku," sahut pe-
muda
itu, perlahan.
"Menolongmu?!"
kening Angkin Pembawa Maut
tampak
makin berkerut-kerut. Sepasang matanya yang
indah
terus memandangi pemuda tampan namun cu-
las
di hadapannya.
"Yah!
Kau harus menolongku, Angkin Pembawa
Maut.
Bukankah kau menginginkan kematian pemuda
sinting
bergelar Siluman Ular Putih itu?"
"Ya,"
sahut Puspa Sari singkat. "Nah! Kalau kau
tidak
keberatan, aku ingin pinjam Tombak Raja Akhi-
rat-mu
untuk menghadapi Siluman Ular Putih. Apa
kau
tidak keberatan?"
Angkin
Pembawa Maut gusar bukan main.
Dengan
meminjamkan Tombak Raja Akhirat pada Jiwo
Langgeng,
bukankah berarti ia membuka kedoknya
sendiri.
Soma yang cerdik tentu dapat menduga, kalau
orang
yang berdiri di balik semua kekacauan ini ada-
lah
Angkin Pembawa Maut!
"Tidak
bisa. Aku keberatan, Jiwo Langgeng," to-
lak
Puspa Sari, tegas.
"Kenapa
kau keberatan, Angkin Pembawa
Maut?
Bukankah kau menginginkan pemuda itu
mampus?
Atau..., jangan-jangan kau mulai berubah
pikiran?
Dan tentu Siluman Ular Putih-lah yang kau
harapkan.
Begitu...?"
Bukan
main geramnya hati Angkin Pembawa
Maut
mendengar ucapan Jiwo Langgeng kali ini. Me-
mang,
sebenarnya gadis ini masih mencintai Soma.
Maka
tak heran bila mendadak pipinya jadi merona
merah.
Dan Jiwo Langgeng dapat melihat jelas rona
merah
di pipinya.
Pemuda
itu tertawa bergelak.
"Sakit
hatiku kalau ternyata kau berubah piki-
ran,
Angkin Pembawa Maut. Jauh-jauh aku datang
kemari
hanya untuk menemui orang bingung. Menye-
balkan
sekali!" ejek Jiwo Langgeng.
"Siapa
yang bingung?!" sentak Angkin Pembawa
Maut
melotot gusar. "Aku tidak bingung! Aku masih
menginginkan
nyawa pemuda itu!"
"Kalau
begitu, cepat pinjami aku Tombak Raja
Akhirat-mu!"
tukas Jiwo Langgeng.
Angkin
Pembawa Maut mendengus sambil
menggeleng-geleng.
"Tidak
bisa! Aku tidak bisa meminjamkan Tom-
bak
Raja Akhirat ini pada siapa pun juga."
"Kalau
begitu, kau tidak sungguh-sungguh
menginginkan
nyawa Siluman Ular Putih, Angkin
Pembawa
Maut!"
"Apa
pun yang kau ucapkan, aku tidak akan
meminjamkan
Tombak Raja Akhirat ini padamu. Juga,
pada
pengikut sayembara lain. Tapi yang jelas niatku
untuk
membunuh Siluman Ular Putih tidak main-
main!
Belum puas hatiku kalau belum melihat pemuda
itu
mampus! Sekarang kalau kau memang punya ke-
pandaian,
lekas tinggalkan tempat ini! Penggal kepala
pemuda
itu. Dan, bawa kemari! Mustahil aku men-
gingkari
janji ku!" tandas Puspa Sari.
Sakit
sekali hati Jiwo Langgeng mendengar
ucapan
Angkin Pembawa Maut yang ketus itu. Namun,
ia
tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama di tem-
pat
itu. Hanya sepasang matanya saja yang sempat
memperhatikan
lekuk-lekuk tubuh Angkin Pembawa
Maut.
Begitu mengundang gairahnya!
Lalu
setelah memendam gairah yang memun-
cak, pemuda dari Lembah Patak Banteng itu segera
berkelebat
meninggalkan tempat ini.
Angkin
Pembawa Maut masih berdiri di depan
mulut
gua. Tubuhnya menggigil saking tak dapat men-
gendalikan
amarahnya yang menggelegak. Sementara
kedua
bibirnya pun bergetar-getar hebat.
"Soma...!"
keluh Angkin Pembawa Maut dalam
hati.
"Kali ini aku tak mungkin mengurungkan niatku.
Cepat
atau lambat, kau harus mampus...!"
***
Emoticon