BANGKITNYA KEBO IRENG
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Bangkitnya Kebo Ireng
128 hal.
1
Kabut masih menyelimuti puncak
Bukit Selak-
sa Mambang. Sang baskara bagai
perawan yang malu-
malu menampakkan diri. Sinarnya
lemah tak mampu
menembus rimbunan daun. Rumput
ilalang masih ba-
sah oleh butiran embun.
Satwa-satwa malas berkelia-
ran mencari makan untuk
melanjutkan kehidupannya.
Agaknya, karena dingin begitu
menusuk tulang.
Pohon raksasa banyak tumbuh di
puncak bukit
itu. Rimbunan daun melebar bagai
ratusan payung
yang dijajarkan. Konon puncak
Bukit Selaksa Mam-
bang adalah tempat berkumpulnya
jin, setan, peri pe-
rayangan, dan makhluk-makhluk
halus lainnya. Tapi
yang unik, di puncak bukit itu
banyak terdapat batu
apung. Batu itu akan mengambang
bila dilemparkan
ke dalam air. Mungkin karena
itulah, gundukan tanah
tinggi itu dinamakan Bukit
Selaksa Mambang.
Seorang gadis cantik berusia
sekitar sembilan
belas tahun tampak berjalan
menembus semak belu-
kar. Pakaiannya berwarna
putih-merah, kelihatan
ringkas membungkus badannya yang padat berisi.
Rambut gadis itu digelung ke
atas dan diikat dengan
sehelai kain hijau. Wajah si gadis
sangat cantik, na-
mun tampak begitu pucat.
Bibirnya terkatup rapat
menahan gigi yang bergemeletukan
oleh hawa dingin
yang terasa menggigil.
"Sebelum siang aku harus
sudah menemukan
gua yang kucari. Aku tidak mau
sekembali ku dari sa-
na, hari telah gelap. Aku takut
roh-roh jahat itu me-
mang benar ada...," gumam
gadis itu yang tak lain In-
gkanputri, murid Arumsari atau
Dewi Tangan Api yang
sudah terkenal di rimba
persilatan.
Gadis cantik itu bersusah payah
mendaki Bukit
Selaksa Mambang yang diketahui
orang sangat angker.
Tujuannya tak lain untuk
menuruti wasiat terakhir
Resi Agaswara yang telah mati di
tangan Margana Kal-
pa atau Malaikat Bangau Sakti.
Ingkanputri pernah diselamatkan
oleh Resi
Agaswara saat dia terpengaruh
ilmu sihir Sekar
Mayang atau Bidadari Lentera
Merah, yang kemudian
mengubah julukannya menjadi
Penghimpun Angkara.
(Untuk jelasnya mengenai cerita
Ingkanputri baca seri-
al Pengemis Binal episode
'Bidadari Lentera Merah').
Ilmu sihir Sekar Mayang sanggup menghilang-
kan daya ingat Ingkanputri.
Gadis cantik itu lalu dija-
dikan budak. Tapi setelah Sekar
Mayang mati di tan-
gan Suropati atau si Pengemis
Binal, Ingkanputri ber-
kelana tak tentu rimbanya dengan
berperilaku seperti
orang kurang waras, karena ilmu
sihir yang memper-
budaknya belum lepas seluruhnya.
Bertemulah Ingkanputri dengan
Resi Agaswara.
Dan, Resi Agaswara dapat
melenyapkan pengaruh ilmu
sihir jahat yang membelenggu
jiwa Ingkanputri.
Ingkanputri yang sudah yatim
piatu menjadi
akrab dengan Resi Agaswara.
Mereka pergi berkelana
bagai ayah dan anak. Keduanya
kemudian bertemu
dengan Margana Kalpa yang
menjatuhkan tangan
maut kepada Resi Agaswara.
Sebelum maut menjem-
put, pertapa itu berpesan kepada Ingkanputri untuk
memasuki sebuah gua yang
terdapat di puncak Bukit
Selaksa Mambang.
"Aku tak tahu apa yang
berada di dalam gua
itu. Tapi dari pesan Resi
Agaswara yang disampaikan
beberapa saat sebelum dia
meninggal, tampaknya apa
yang terdapat di dalam gua
adalah sesuatu yang san-
gat penting," gumam
Ingkanputri.
Gadis cantik itu terus melangkah
menembus
semak belukar. Sesampainya di
puncak bukit kabut
masih mengaburkan pandangan.
Padahal mentari te-
lah melintas naik.
Di puncak bukit itu Ingkanputri
menghem-
poskan tubuhnya berlari cepat.
Dia berlari mengitari
puncak bukit. Namun hingga peluh
membanjiri tubuh
gadis cantik itu, dia tak juga
menemukan gua yang
dimaksud Resi Agaswara.
"Apakah Resi Agaswara salah
menyampaikan
pesan?" pikir Ingkanputri.
"Tapi, tampaknya itu tak
mungkin. Pesan orang yang akan
meninggal tentu be-
nar adanya."
Gadis cantik itu lalu
menghemposkan tubuh-
nya kembali untuk mengitari
puncak Bukit Selaksa
Mambang. Sementara di atas
langit berwarna biru in-
dah. Mega menggumpal membentuk
rona-rona indah
bagai lukisan. Mentari yang
telah memayung di atas
kepala memancarkan sinar panas.
Dingin tak lagi me-
magut puncak Bukit Selaksa
Mambang. Burung-
burung bernyanyi memamerkan
suara merdunya.
Ingkanputri menghentikan langkah
kakinya di
sebuah tanah lebar. Dilihatnya
terdapat sebuah lubang
tak lebih dari lingkaran mangkuk
besar di atas permu-
kaan tanah. Gadis cantik itu
lalu berjongkok di sisi lu-
bang.
"Apakah gua yang dimaksud
Resi Agaswara
adalah gua bawah tanah? Dan,
lubang yang kutemu-
kan ini adalah pintunya?"
Ingkanputri memukul-mukulkan
kepalan tan-
gannya ke permukaan tanah di
sekitar lubang. Terden-
gar suara yang mengisyaratkan
kalau tanah di sekitar
lubang ternyata berongga. Bibir
Ingkanputri menyung-
gingkan senyum. Dihantamkannya
kepalan tangannya
lebih keras. Pergelangan tangan
Ingkanputri pun am-
blas ke dalam tanah sampai
sebatas siku.
Sengaja gadis cantik itu tak
segera mencabut
pergelangan tangannya. Saat dia
membuka jemari, te-
rasa olehnya ada ruangan kosong
yang terdapat di ba-
wah telapak tangannya.
Ingkanputri menancapkan
pergelangan tangan kanannya
lebih dalam, kemudian
ditekuknya dengan jemari
terbuka. Dari bawah gadis
cantik itu membuat pukulan ke
atas yang dilambari
tenaga dalam.
Brooolll....!
Permukaan tanah terkuak lebar.
Akar-akar po-
hon yang menopang gumpalan tanah
berhamburan ke
luar.
Ingkanputri tersenyum lebar. Di
hadapannya
telah terpampang kubangan tanah
sebesar tubuhnya.
Tapi karena dia merasa kubangan
tanah itu masih ter-
lalu sempit, Ingkanputri
menghentakkan kaki kanan-
nya. Akar-akar pohon kembali
berserabutan keluar
dan kubangan tanah menjadi lebih
lebar.
Ingkanputri menatap sebentar
lubang besar
yang didapatkannya. Kemudian,
dengan cekatan dia
mengumpulkan ranting-ranting
kering. Setelah dirasa
cukup, ranting-ranting itu
diikatnya dengan besetan
kulit pohon.
Dari sebatang ranting yang
disisakan, Ingkan-
putri membuat obor dengan
menggunakan pemantik
yang terbuat dari batu api.
Ingkanputri menunggu
sampai api menyala besar.
Setelah itu, ditentengnya
ikatan ranting di tangan kiri.
Lalu, meloncat ke dalam
lubang yang baru saja dibuatnya.
Kedalaman lubang itu ternyata
melebihi tinggi
dua manusia dewasa, Ingkanputri
berputar sejenak
memeriksa lubang yang ternyata
buntu. Tapi karena
gadis cantik itu merasa yakin
lubang yang dimasu-
kinya adalah gua yang dimaksud
Resi Agaswara, dia
membetot akar-akar pohon yang
berserabutan di dind-
ing tanah.
Ingkanputri akhirnya mendapatkan
sebuah lu-
bang kecil mirip liang tikus.
Diketuk-ketuknya tanah
di sekitar sebuah lorong gelap
yang tampaknya sangat
panjang.
Dengan mengambil sebatang
ranting dari ika-
tannya Ingkanputri memperbesar
nyala obor. Berjalan-
lah dia memasuki lorong gelap.
Tak lupa Ingkanputri
membawa ikatan ranting sebagai
obor nanti.
Lorong yang dimasuki Ingkanputri
tidak sebe-
rapa lebar. Seringkali dia harus
memiringkan tubuh-
nya untuk dapat terus berjalan.
Satu demi satu rant-
ing dalam ikatan tangan kiri
Ingkanputri mulai habis.
Saat ranting benar-benar habis,
bingunglah Ingkanpu-
tri. Tapi dia tak mau putus asa.
Walau kegelapan ter-
pampang di hadapannya, Ingkanputri terus berjalan
sambil meraba-raba dinding
tanah.
"Sudah telanjur
basah...," kata hati gadis cantik
itu. "Biarlah aku mati di
sini. Kalau memang itu sudah
ditakdirkan Tuhan. Untuk kembali
ke atas, hanya ma-
nusia pengecut berjiwa kerdillah
yang mau melaku-
kannya...."
Dengan tekad bulat Ingkanputri
terus melang-
kah. Tidak jarang dia jatuh
terjungkal saat kakinya te-
rantuk batu. Atau, lehernya
terjerat akar-akar pohon
yang berserabutan dari atas.
Namun, tiba-tiba Ingkanputri
melihat seberkas
cahaya bagai kemerlip bintang.
Semakin kuatlah tekad
Ingkanputri. Kakinya
dilangkahkan lebar-lebar. Tapi
saat cahaya yang dia tuju
tinggal beberapa tombak da-
ri hadapannya, terdengarlah
suara aneh. Ingkanputri
terkejut, indera pendengarannya
langsung dipertajam.
"Ular...," gumam gadis
cantik itu. "Suara aneh
itu mirip desisan ular."
Ingkanputri berusaha melihat ke
lantai lorong
yang berupa tanah gembur. Hanya
kegelapanlah yang
dia lihat. Seberkas cahaya di
depan hanya sanggup
menerangi lorong bagian atas.
Tiba-tiba suara aneh itu
terdengar semakin jelas.
"Oh, ular itu
mendekatiku...," bisik Ingkanputri.
Mau tak mau bulu kuduk gadis
cantik itu meremang.
"Bila ular itu mempunyai
bisa yang sangat jahat, sang-
gupkah aku melawannya dalam
keadaan gelap begini?"
Ketegangan itu hanya berjalan
sebentar. Suara
aneh yang ditangkap telinga
Ingkanputri mendadak le-
nyap.
Ingkanputri mengambil napas
panjang. Lang-
kahnya kembali dilanjutkan tanpa
sedikit pun mening-
galkan kewaspadaan. Saat gadis
cantik itu telah bera-
da di dekat sumber cahaya, Ingkanputri berbelok ke
kiri.
Gadis cantik itu terperanjat dengan
mulut ter-
buka. Dia telah berada di ambang
pintu sebuah ruan-
gan besar. Dindingnya banyak
terdapat obor gas alam.
Dinding itu terbuat dari susunan
batu. Demikian pula
dengan lantainya, sayang
kelihatan kotor karena air
mengalir bercampur tanah
berlumpur.
Ingkanputri melangkah masuk.
Keterkejutan
kembali melanda gadis cantik
itu. Sejurus dengan
pandangannya, di atas susunan
batu yang lebih tinggi,
seorang kakek berpakaian mirip
panglima perang du-
duk bersila. Kepala kakek itu
diikat dengan surban
berwarna merah darah. Di bahu
kirinya terselempang
selendang berwarna serupa.
Kulit tubuh kakek itu
menunjukkan keriput
yang sangat kentara. Rambutnya
putih panjang terge-
rai di punggung. Alisnya juga
putih panjang dan ter-
juntai ke bawah hingga mencapai
pipi. Demikian pula
kumis dan janggutnya,
ujung-ujungnya sampai me-
nyentuh ke pangkuan. Kedua
kelopak mata kakek itu
tertutup rapat.
"Siapa kau, Kek...?"
Suara Ingkanputri terdengar
bergetar. Rupa In-
gkanputri terlihat sudah tak
karuan lagi. Pakaiannya
telah kotor belepotan lumpur.
Pada siku kiri dan ka-
nannya ada luka lecet. Lengan
bajunya koyak. Luka
memar terdapat di kening kiri
gadis cantik itu akibat
terantuk batu waktu terjatuh.
Setelah menunggu beberapa lama,
si kakek tak
memberi jawaban. Ingkanputri
mengulang perta-
nyaannya kembali. Tapi tetap tak
mendapat jawaban.
Gadis cantik itu lalu berjalan
mendekat. Tapi,
dia terkejut bukan main bagai
disambar petir. Seekor
ular sendok tiba-tiba muncul di
hadapan si kakek.
Ular itu mengangkat kepalanya
dengan leher melebar
bagai sayap. Mulutnya menganga
memperlihatkan ta-
ringnya yang putih mengkilat,
dan berlelehan cairan
bening. Mata ular melotot
mengancam Ingkanputri!
"Ih...!"
Ingkanputri melangkah tiga
tindak ke belakang.
Bulu kuduknya langsung berdiri.
"He, ular...!" teriak
gadis cantik itu. "Aku tak
hendak bermaksud jahat. Aku
hanya ingin memasti-
kan apakah kakek yang duduk di
belakangmu itu ma-
sih hidup atau telah mati."
Tentu saja si ular sendok tak
mengerti ucapan
Ingkanputri. Saat gadis cantik
itu berjalan mendekat,
dia segera mengangkat kepala
lebih tinggi seraya men-
julurkan lidahnya yang
bercabang.
"Ah, kenapa aku jadi bodoh
dan membuang-
buang waktu saja?" gumam
Ingkanputri "Aku bunuh
saja ular sendok itu, semuanya
akan beres...."
Gadis cantik itu mengambil
sekeping uang lo-
gam dari balik pakaiannya.
Setelah ditimang-
timangnya sebentar sambil
menatap tajam si ular sen-
dok, diambilnya uang sekeping
lagi. Lalu, dilemparkan
ke lantai di sisi kanan tubuh si
ular sendok.
Suara gemerincing mengejutkan
ular yang san-
gat berbisa itu. Dia menolehkan
kepalanya. Kesempa-
tan itu tak disia-siakan
Ingkanputri. Cepat dilempar-
kannya sekeping uang logam yang
masih berada dalam
genggaman.
Terdengar suara seperti bara api
tersiram air.
Uang logam yang dilemparkan
Ingkanputri tepat men-
genai belakang kepala si ular
sendok. Leher binatang
melata itu yang semula
mengembang langsung me-
nangkup. Bersamaan dengan itu
kepalanya menggelo-
sor ke lantai ruangan. Tapi dia
segera bangkit, seperti
tak mengalami suatu apa. Padahal
uang logam yang
dilemparkan Ingkanputri sanggup
untuk memecahkan
sebongkah batu karang!
"Ya, Tuhan...," gumam
Ingkanputri menyebut
nama-Nya.
Mata gadis cantik itu bersinar
nyalang. Si ular
sendok mendadak memutar-mutar
kepalanya bagai
ayam terserang penyakit telo.
Dan, secara mendadak
pula, gerakannya dihentikan.
Lalu, dengan leher men-
gembang dan moncong terbuka
lebar, ditatapnya ta-
jam-tajam wajah Ingkanputri.
Tanpa sadar, gadis cantik itu
melangkah setin-
dak ke belakang. Perasaannya
jadi tegang. Si ular sen-
dok tampaknya akan segera
mengawali serangannya.
Dan, ternyata benar. Ular
berbisa itu menggerakkan
ujung ekornya, lalu tubuhnya
yang panjang terjulur
dan berkelebat sangat cepat.
Ingkanputri adalah seorang
gadis cantik yang
berilmu cukup tinggi. Sejak
kecil dia sudah melatih
panca inderanya. Bahkan, indera
keenamnya pun de-
mikian tajam. Hingga, walau mata
lahir Ingkanputri
tak dapat melihat gerakan si
ular sendok yang melun-
cur ke arahnya, tapi indera
keenamnya dapat bekerja
dengan baik. Gadis cantik itu
dapat menangkap leher
si ular sendok yang hendak
menerkamnya.
Kemudian, pertempuran sengit
yang saling
mempertahankan nyawa pun
terjadi. Si ular sendok
menggeliat ganas. Tubuhnya
membelit pinggang In-
gkanputri. Dengan
sentakan-sentakan keras dia beru-
saha melepaskan lehernya dari
cengkeraman Ingkan-
putri.
Si ular sendok mempererat
belitannya, Dan,
melalui sebuah sentakan keras
dia berhasil membuat
kaki Ingkanputri bergeser. Saat
ekor si ular sendok
menyentuh dinding ruangan, dia
membuat sentakan
yang lebih keras!
Akibatnya, tubuh Ingkanputri
terguling ke lan-
tai ruangan. Cengkeramannya pada
leher si ular sen-
dok terlepas. Mata ular berbisa
itu pun berkilat lebih
ganas. Moncongnya terbuka lebar
menampakkan ta-
ringnya yang runcing. Malaikat
Kematian mengintai
nyawa Ingkanputri!
Tampaknya gadis cantik itu sudah
pasrah me-
nerima ajal. Matanya terpejam
rapat. Dia sampai su-
dah lupa untuk menarik napas.
Namun, keanehan se-
gera terjadi. Belitan si ular
sendok pada pinggang In-
gkanputri mendadak lepas. Ular berbisa itu lalu me-
rayap pergi tanpa melukai Ingkanputri.
"Maafkan aku, Bocah Manis.
Aku hanya ber-
maksud mengukur kepandaianmu.
Ternyata kau cu-
kup pantas untuk mendapat
warisan Panglima Prana-
sutra...."
Perlahan-lahan Ingkanputri
membuka kelopak
matanya, lalu bangkit berdiri.
"Ah, kenapa ular sendok itu
tak membunuh-
ku?" tanya gadis, cantik
itu dalam hati. "Dan, seper-
tinya aku mendencar bisikan
gaib. Siapa yang melaku-
kannya? Ular sendok itu, atau si
kakek yang sedang
duduk bersila?"
Ingkanputri membuka kelopak
matanya lebih
lebar, tak terlihat sosok ular
sendok yang baru saja
menyerangnya. Ular berbisa itu
telah pergi tanpa me-
ninggalkan bekas. Sedangkan si
kakek berpakaian mi-
rip panglima perang tetap duduk
bersila di tempatnya.
Ingkanputri berjalan mendekati,
menggerak-
gerakkan telapak tangannya di
depan wajah si kakek.
Namun, tak dirasakan hembusan
nafasnya.
"Kakek ini tiada bernyawa
lagi," gumam In-
gkanputri.
Tapi, gadis cantik itu belum
yakin benar. Tela-
pak tangan kanannya ditempelkan
di dada kiri si ka-
kek. Ia hendak memeriksa detak
jantungnya.
Ingkanputri terperanjat dan
langsung melompat
ke belakang. Tubuh kakek
berpakaian panglima pe-
rang itu tiba-tiba hancur
seperti serbuk yang ditabur-
kan. Pakaian yang dikenakannya
pun hancur menjadi
serpihan halus. Termasuk surban
dan selendang me-
rahnya.
Belum hilang keterkejutan
Ingkanputri, di ha-
dapannya tahu-tahu saja ada
sebuah peti besi sebesar
kotak penyimpan wayang kulit.
Peti besi itu semula tak
terlihat, karena tertutup tubuh
si kakek. Perlahan-
lahan Ingkanputri melangkah
mendekati peti besi. Dia
menemui kesulitan untuk
membukanya karena tutup
peti terpatri dengan kuat.
"Aku akan mencoba membuka
tutup peti besi
ini dengan menggunakan ilmu 'Pukulan
Api Neraka'...,"
gumam gadis cantik itu.
Ingkanputri meletakkan telapak
tangan kiri dan
kanannya ke tutup peti besi.
Saat dia menghembuskan
napas berat, perlahan-lahan
pergelangan tangan In-
gkanputri menjadi merah membara
dan mengalirkan
hawa sangat panas.
Asap mengepul dari permukaan
peti besi. Lan-
tai ruangan di sekitar peti besi pun demikian.
Asap
mengepul tebal. Tempat di
sekitar peti banyak dige-
nangi air, sehingga menguap oleh
hawa panas yang di-
timbulkan ilmu 'Pukulan Api
Neraka'.
Perlahan-lahan penutup peti besi
ikut merah
membara bagai habis ditempa.
Ingkanputri mengang-
kat kedua tangannya
tinggi-tinggi, kemudian dihan-
tamkannya dengan keras!
Terdengar suara seperti
lempengan logam di-
lemparkan. Penutup peti besi
terkuak lebar. Ingkanpu-
tri membuang serpihan besi yang
menghalangi pan-
dangannya. Terlihatlah di
hadapan gadis cantik itu bu-
tiran-butiran intan yang
menyilaukan mata!
"Ya, Tuhan...," gumam
Ingkanputri menyebut
kembali kebesaran-Nya.
Dengan kedua telapak tangan
gadis cantik itu
meraup butiran-butiran intan
yang menggunduk bagai
kerikil saja. Beberapa lama,
Ingkanputri berulang kali
berbuat seperti itu. Sampai,
tiba-tiba jemari tangannya
menyentuh gulungan kulit badak
yang terdapat di an-
tara butiran intan.
Dengan tangan gemetar
Ingkanputri berusaha
membuka gulungan kulit. Gulungan
itu ternyata san-
gat kaku. Setelah mengerahkan
tenaga dalam, barulah
usaha Ingkanputri berhasil. Mata
gadis cantik itu me-
natap tajam deretan huruf yang
tertera....
Dalam sisa hidupku, aku telah
mengumpulkan
butiran-butiran intan ini dari
dasar Laut Selatan.
Dan, akan kuwariskan kepada
seseorang yang
berniat baik.
Dalam sisa hidupku pula, aku
telah menyusun
sebuah kitab yang merupakan inti
sari dari seluruh ilmu
kepandaianku. Kitab itu aku beri
nama : Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Juga akan
kuwariskan kepada seseo-
rang yang berniat baik. Tapi,
seseorang yang berniat
baik itu tidak boleh serakah.
Dia harus menentukan salah satu
dari dua pili-
han. Karena, aku berharap
seseorang yang berniat baik
lainnya akan muncul lagi.
Panglima Pranasutra
Ingkanputri duduk terpaku di
tempatnya. Be-
berapa lama dia tak tahu apa
yang harus dilakukan-
nya.
"Butiran intan... Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi...," gumam gadis
cantik itu perlahan.
Gulungan kulit badak yang
terbentang di tan-
gan Ingkanputri tiba-tiba
melenting. Waktu melayang
di udara benda wasiat itu
menggulung kembali. Lalu
jatuh tepat di pangkuan
Ingkanputri. Gadis cantik itu
menimang-nimangnya.
"Panglima Pranasutra....
Siapa dia?"
Karena tak mau membuang waktu,
Ingkanputri
segera menyosok butiran-butiran
intan di dalam peti.
Dari dasar peti besi gadis
cantik itu mengeluarkan se-
buah kitab yang cukup tebal.
Ingkanputri membaca
sekilas tulisan yang terdapat di
sampul depan, lalu di-
bukanya halaman kitab lembar
demi lembar.
Sebagian dari isi kitab
membeberkan tentang
petunjuk untuk menghimpun tenaga
prana.
Ingkanputri melonjak kegirangan.
"Aku tidak butuh butiran
intan. Aku tidak bu-
tuh kekayaan. Kekayaan hanyalah
pakaian lahir yang
seringkali membuat manusia gelap
mata. Aku membu-
tuhkan pakaian batin. Selama
udara masih dapat ku-
hirup dan hayat masih dikandung
badan. Pakaian ba-
tin akan memancar sebagai cahaya
bijak...."
Ingkanputri mendekap erat-erat
Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Suatu
kekuatan kasat mata
yang entah dari mana asalnya
tiba-tiba mengguncang-
kan lantai ruangan. Ingkanputri
tak mampu mengua-
sai keseimbangan tubuhnya dan
jatuh terpelanting ke
kanan. Sebuah lubang yang
terdapat di pojok ruangan
telah menanti. Tak ayal lagi,
tubuh Ingkanputri terpe-
rosok ke dalamnya....
Pancaran sinar mentari begitu
menyengat. Tak
ada burung yang mau terbang di
angkasa, karena pa-
nas laksana membakar. Angin
berhembus lemah tak
mampu menggerakkan ranting
pohon.
Ingkanputri menggeliat tersadar
dari pingsan-
nya. Saat gelap perlahan-lahan
hilang dari pandangan,
Ingkanputri merasakan bumi
berputar-putar karena
kepalanya yang terasa pusing.
"Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi...," gumam
gadis cantik itu perlahan
Ingkanputri langsung meloncat
dan menyebar
pandangan tanpa peduli pada
tubuhnya yang berdiri
limbung. Senyum segera
mengembang di bibirnya. Apa
yang dicarinya tergeletak di
tanah tak jauh dari tempat
dia berdiri. Buru-buru
diambilnya Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi.
"Oh, rupanya aku telah
berada di lereng Bukit
Selaksa Mambang," ujar
gadis itu setelah meneliti kea-
daan di sekitarnya.
Ingkanputri memandang ke langit.
Hari telah
siang. Agaknya telah seharian
lebih ia berkutat di lo-
rong-lorong sempit di puncak
bukit.
"Uh! Pantas kerongkongan ku
terasa kering dan
perutku keroncongan..."
Ketika gadis cantik itu melihat
keadaan dirinya,
dia tersenyum geli. Tubuhnya
kotor belepotan Lumpur
mirip tikus kecebur comberan.
Sambil mendekap erat kitab
warisan. Panglima
Pranasutra, Ingkanputri lalu
berlari mengitari lereng
bukit untuk mencari aliran
sungai. Gadis cantik itu
segera mencebur dan mandi
sepuas-puasnya.
***
2
Seorang gadis berpakaian lusuh
tampak berja-
lan terseok-seok. Rambutnya yang
digelung terurai ku-
sut. Sebagian menjuntai di bahu
kiri. Pakaian yang di-
kenakan telah koyak-koyak.
Beberapa lubang memper-
lihatkan rompi hitam yang
dipakainya. Sinar mata ga-
dis itu terlihat redup, sama
sekali tak menggambarkan
semangat hidup. Wajahnya kotor
oleh debu yang me-
nempel.
Ketika melewati pintu gerbang
untuk keluar da-
ri kotapraja Kerajaan
Anggarapura, beberapa orang
penjaga menyapanya. Si gadis
menunjukkan sikap
acuh tak acuh. Jangankan
menjawab, menoleh pun ti-
dak.
"Ayah...," gumam gadis
yang sebenarnya cantik
itu. "Aku menyesali apa
yang terjadi."
Perlahan-lahan butiran mutiara
bening bergulir
dari sudut mata gadis berpakaian
lusuh itu. Beberapa
kali ditariknya napas panjang
berusaha mengusir ke-
galauan hatinya. Mendadak, sinar
mata gadis itu jadi
nyalang saat seorang pemuda
berpakaian compang-
camping menghadang langkahnya.
"Nona hendak ke mana?"
tanya pemuda itu.
"Apa perlumu?!" hardik
si gadis ketus.
"Suropati belum mengizinkan
Nona kembali ke
kotapraja Kerajaan Saloka
Medang."
"Aku berhak menentukan
langkah kakiku sen-
diri!"
"Tapi, Nona...."
"Tak ada kata 'tapi'!"
bentak si gadis dengan ga-
laknya.
Pemuda berpakaian
compang-camping yang tak
lain salah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terlihat
membungkukkan badannya.
"Suropati memang tidak bisa
memaksakan ke-
hendaknya. Tapi, alangkah
baiknya Nona menunggu
sampai dia selesai bersemadi,
kemudian Nona bisa
berpamitan kepadanya...."
Si gadis mendengus seperti tak
mau menden-
garkan ucapan pemuda itu. Dia
meneruskan langkah
kakinya tanpa menoleh lagi.
"Nona...," panggil si
pemuda. Tapi tak mendapat
jawaban.
Gadis lusuh yang berwajah muram
tersebut
meninggalkan kotapraja dengan
langkah lebar. Semen-
tara si pemuda memandang
kepergiannya dengan ta-
tapan tak mengerti.
Langit berwarna putih keperakan.
Mentari yang
memayung membuat panas makin
menyengat. Sejauh
mata memandang permukaan tanah
tampak mengelu-
arkan bayang-bayang bagai
kepulan asap,
"Ayah...," desah si
gadis lusuh yang tak lain
Yaniswara.
Kedua mata gadis yang datang
dari kotapraja
Kerajaan Saloka Medang itu
tampak sembab. Perla-
han-lahan butiran mutiara bening
kembali bergulir.
Yaniswara mendekap wajah.
Bahunya naik tu-
run terbawa isakan tangis.
Dengan duduk bersimpuh
di bawah pohon besar dia
merenungi nasibnya.
Kesedihan yang mendalam memang
sedang
menghujam relung hati Yaniswara.
Sejak kecil dia tia-
da pernah tahu wajah ibunya.
Orang yang telah mela-
hirkannya itu meninggal beberapa
saat setelah Yanis-
wara menghirup udara dunia. Ayah
Yaniswara yang
bernama Lodra Sawala kemudian
membesarkannya
seorang diri. Setelah Yaniswara
berumur dua belas ta-
hun, Lodra Sawala mendirikan
perusahaan pengiriman
barang yang diberi nama
Ekspedisi Kencana Mega.
Dari hari ke hari Ekspedisi
Kencana Mega me-
nunjukkan kejayaannya. Lodra
Sawala yang mempu-
nyai bakat pemimpin dan penuh
tanggung jawab ter-
hadap pekerjaannya dapat membuat
para pejabat serta
saudagar kaya di Kerajaan Saloka
Medang menyukai
keberadaan Ekspedisi Kencana
Mega. Mereka memper-
cayakan hampir semua pengiriman
barangnya kepada
perusahaan pengiriman barang
itu. Jaminan keraha-
siaan dan keselamatan barang
yang dikirimkan mem-
buat Ekspedisi Kencana Mega
semakin naik pamornya.
Saat Yaniswara berumur dua puluh
tahun,
Ekspedisi Kencana Mega berada
pada puncak ke-
jayaannya. Seorang brahmana yang
bernama Tuhisa
Brama berkenan mempercayakan
pengiriman barang
miliknya kepada Ekspedisi
Kencana Mega. Barang Tu-
hisa Brama itu adalah sebotol
kecil berisi air sakti. Ba-
rang itu harus disampaikan
kepada Gusti Wirasantri,
seorang pejabat Kerajaan
Anggarapura.
Sekembali dari mengirimkan air
sakti itulah
Lodra Sawala gugur bersama
Tuhisa Brama. Brahma-
na itu menyusul ke Kerajaan
Anggarapura karena tak
mau air saktinya dipergunakan
Gusti Wirasantri seba-
gai kemasan untuk memberontak
terhadap Kerajaan
Anggarapura.
Kepala Lodra Sawala dan Tuhisa
Brama di-
penggal orang-orang Partai Iblis
Ungu yang sangat
menginginkan air sakti.
Kemudian, kepala dua lelaki
naas itu dilemparkan ke hadapan
Yaniswara yang se-
dang melakukan perjalanan bersama
Suropati atau si
Pengemis Binal dan Kipas Sakti.
(Untuk jelasnya, sila-
kan baca serial Pengemis Binal
dalam Episode: 'Tabir
Air Sakti').
Siapa yang tak terpukul
perasaannya melihat
ayahnya mati dalam keadaan
begitu mengenaskan.
Keadaan itulah yang menimpa
Yaniswara.
"Ayah...," desah
Yaniswara untuk kesekian ka-
linya.
Dengan menggunakan ujung lengan
bajunya,
gadis itu menyeka air mata. Dia
tercekat dalam keter-
kejutan ketika tahu-tahu muncul
seorang remaja tam-
pan di hadapannya. Tapi
Yaniswara segera menun-
dukkan kepala, pura-pura tidak
tahu.
Melihat demikian, si remaja
tampan yang baru
datang tersenyum kecut kemudian
menggaruk-garuk
kepalanya. "Yani...,"
panggilnya.
Yaniswara tak mau mengangkat
wajah. Dengan
menggunakan ujung jari dia
membuat guratan-guratan
di tanah. Perlahan-lahan si
remaja tampan duduk di
samping Yaniswara. Tangan
kirinya dilingkarkan di
bahu gadis itu.
"Pergi kau!"
Si remaja tampan terperanjat
karena dihardik
seperti itu. "Uh! Begitu
saja marah...," ucapnya. "Nggak
baik lho seorang gadis lekas
naik darah. Bisa dikira
kuntilanak, tahu!"
Tak ada tanggapan dari
Yaniswara. Dia hanya
membisu. Si remaja tampan
mengerling. Dengan ber-
jingkat perlahan dia mendekati.
Kemudian, kedua tan-
gannya meggelitik pinggang
Yaniswara.
"Kau mau melarikan diri
dariku, ya?"
"Tidak! Jangan kurang ajar,
Suro!" bentak Ya-
niswara, menyebut nama si remaja
tampan yang tak
lain Suropati atau Pengemis
Binal.
"Kau sadar apa yang kau
perbuat, Yani?" tanya
Suropati.
"Apa pedulimu?!"
teriak Yaniswara keras.
"Jelas aku peduli. Kau kan
cantik. He, he,
he...," Suropati tertawa
terkekeh.
"Siapa bilang aku cantik?
Nih!"
Yaniswara memonyongkan bibirnya.
Pengemis
Binal malah mengerjap senang.
Dengan gerakan kilat
dipeluknya tubuh Yaniswara, lalu
melirik ke arah bi-
birnya yang sedang dimonyongkan.
"Uh! Jangan kurang ajar,
Suro!" hardik Yanis-
wara sambil menggeliat-geliat
berusaha melepaskan di-
ri. Tapi, pelukan remaja tampan
yang berperilaku ko-
nyol itu sekuat jepitan baja.
Sampai kehabisan tenaga
Yaniswara tak berhasil
melepaskan diri.
"Aku ingin memelukmu lebih
lama, Yani," ucap
Suropati.
Remaja konyol itu memeluk
Yaniswara lebih
erat. Napas Yaniswara terdengar
terengah-engah. Men-
dadak Pengemis Binal mendorong
tubuh gadis itu.
"Uh! Kau sangat bau, Yani.
Kau ganti pakaian
dulu...."
Remaja konyol itu mengambil
buntalan pakaian
yang ditaruh di tanah, lalu
disodorkannya pada Yanis-
wara.
"Aku tak mau ganti
pakaian!" kata gadis itu ke-
tus.
"Lho, kenapa? Aku membeli
pakaian ini un-
tukmu. Biar kau kelihatan lebih
cantik."
"Dari mana kau mendapatkan
uang?" Yaniswa-
ra kelihatan begitu penasaran.
"Wuih! Main selidik! Tentu
saja dari cara yang
halal," elak Suropati.
"Mengemis?"
"He, he, he...,"
Suropati cengar-cengir mirip ku-
da tertawa.
"Ya. Mengemis, kan?"
tuduh Yaniswara.
"Uh! Walau aku berpakaian
seperti pengemis,
tapi aku tidak mengemis!"
"Lalu, dari mana kau dapat
uang?"
"Kau lupa, aku telah
seringkali berjasa terha-
dap Prabu Arya Dewantara. Tentu
saja beliau banyak
memberikan hadiah
kepadaku," ujar Suropati dengan
wajah bersungguh-sungguh.
"Jadi uang untuk membeli
pakaian itu pembe-
rian Baginda Prabu,
begitu?"
"Tidak!" Suropati
menggelengkan kepalanya
kuat-kuat.
"Lho, bagaimana,
sih?!" Yaniswara kelihatan
begitu sewot.
"Mencuri. He, he,
he...," Suropati tertawa tanpa
merasa bersalah sedikit
pun.
"Uh! Dasar gendeng!"
Yaniswara menggerutu
panjang-pendek. Meng-
hadapi kekonyolan Suropati, dia
jadi lupa akan kese-
dihannya.
"Aku tidak mau bergaul
dengan pencuri!" kata
gadis itu sambil berlalu dari
hadapan Pengemis Binal.
"Eit! Tunggu dulu! Sudah
kubilang, seorang ga-
dis tidak boleh gampang naik
darah. Bisa nggak laku
kawin."
"Biar! Pokoknya aku tak mau
bergaul dengan
pencuri"
"Siapa yang mencuri. Wong
aku tadi bercanda.
He, he, he....".
Remaja konyol itu lalu mencubit
hidung Yanis-
wara. Dan, Yaniswara balas
mencubit. Tawa kedua
muda-mudi itu pun terdengar.
"Walau wajahmu kotor, tapi
tak menyembunyi-
kan kecantikanmu, Yani,"
kata Pengemis Binal.
"Ah, masa'?" Yaniswara
pura-pura tak percaya.
"Sungguh, Yani...."
Perlahan-lahan Suropati meraih
bahu Yaniswa-
ra. Ditatapnya wajah cantik di
hadapannya. Remaja
konyol itu kemudian mendaratkan
ciuman lembut di
bibir Yaniswara. Tapi, Yaniswara
menghindar dengan
menggerakkan kepalanya ke
samping.
"Katamu aku sangat bau,
Suro?" elak Yaniswa-
ra.
"E eh, tidak..."
"Mana pakaian yang akan kau
berikan kepada-
ku?" Yaniswara mengalihkan
perhatian Suropati.
Suropati melepas pelukannya.
Disodorkan bun-
talan pakaiannya.
"Kau memang lebih baik
ganti pakaian dulu,
Yani. Pakaianmu yang
compang-camping mengundang
perhatian orang."
"Kau kira pakaianmu yang
penuh tambalan itu
tak mengundang perhatian
orang?" balas Yaniswara.
"Tapi aku laki-laki,
Yani...," Suropati membela
diri.
"Apa bedanya laki-laki dan
perempuan?"
"Laki-laki punya burung,
sedangkan perem-
puan tidak. He, he, he..."
Yaniswara tampak sewot. Segera
disambarnya
buntalan pakaian yang disodorkan
Suropati.
"Kau ganti pakaian di
sini?" tanya Pengemis Bi-
nal ketolol-tololan.
"Tentu saja tidak! Aku
perlu mandi dulu!"
"Mandi?" ulang
Suropati setengah bergumam.
"Ya. Kenapa?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. "Wuih!
Bakal ada pemandangan yang
mengasyikkan," gu-
mamnya.
"Eh, kau bilang apa?"
Yaniswara memelototkan
matanya. Rupanya dia mendengar
gumaman lirih Su-
ropati.
"Ah, tidak. Kalau kau ingin
mandi, di sebelah
utara kotapraja ada sungai kecil
yang berair jernih.
Kau bisa mandi sepuas-puasmu di
situ...."
"Terima kasih, Suro."
Yaniswara melangkahkan kakinya
sambil me-
nenteng buntalan pakaian.
"Eh, kau tidak mau
kuantar?" cegah Pengemis
Binal.
"Terima kasih, Suro. Aku
tahu sungai yang kau
tunjukkan."
Yaniswara terus melangkah.
Suropati mengga-
ruk-garuk kepalanya. Setelah
bayangan Yaniswara hi-
lang di tikungan jalan, remaja
konyol itu tersenyum-
senyum seorang diri.
Di siang hari yang panas,
gemericik air sungai
terdengar sangat merdu, bagai
suara kecapi yang dipe-
tik bidadari kahyangan. Apalagi
air yang mengalir begi-
tu jernih hingga membuat
keinginan untuk mandi se-
makin menyentak-nyentak.
Dengan tergesa-gesa Yaniswara
menanggalkan
pakaiannya. Baju yang telah
koyak-koyak dia lempar-
kan begitu saja. Sedangkan rompi
pusakanya diletak-
kan perlahan-lahan di atas batu.
Suropati yang nakal itu
bersembunyi di balik
semak-semak. Berulang kali ia
mendesah sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya
tak berkedip meli-
hat tubuh bagian atas Yaniswara
yang telah telanjang.
Saat gadis itu membuka
celananya, Pengemis
Binal menggerutu. "Uih!
Mestinya aku mengintip dari
sebelah sana!"
Yang sedang diintip sama sekali
tak menyadari
keadaan. Setelah menanggalkan
semua pakaiannya,
perlahan-lahan Yaniswara
menceburkan diri ke dalam
air.
Ternyata air sungai tak seberapa
dalam. Per-
mukaan air hanya sebatas
pinggang. Setelah berenang
beberapa lama, dia
menggosok-gosok bagian tubuhnya
yang kotor. Terdengar senandung
kecil dari mulut ga-
dis itu. Kesedihan yang semula
menyelimuti hatinya
untuk sementara terlupakan.
Pengemis Binal yang sedang
mengintip terus
mendesah-desah sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mendadak, remaja konyol itu
terkejut. Matanya terbe-
liak melihat Yaniswara meloncat
dari kedalaman sun-
gai seperti ketakutan. Cepat
gadis itu mengenakan pa-
kaian yang diberikan Suropati.
Tak lupa dikenakan
pula rompi pusakanya.
Dari balik semak-semak, Pengemis
Binal meli-
hat Yaniswara berjongkok,
meneliti air sungai. Karena
desakan perasaan ingin tahu,
Suropati bergegas me-
nyingkir.
"Apa yang kau lihat,
Yani?"
Yaniswara terkejut. Melihat
kehadiran Penge-
mis Binal, dia langsung memasang
wajah angker.
"Kau mengintipku mandi,
Suro?!" sentak gadis
itu.
"Tidak! Aku baru saja
datang...." Suropati ber-
kata sambil menggaruk-garuk
kepala. Sinar matanya
mencoba menunjukkan kesungguhan.
Tapi, siapa yang mau percaya
pada perkataan
remaja konyol itu kalau lagi
kumat gendengnya?
Tanpa mempedulikan Yaniswara, Suropati
me-
langkah ke tepi sungai. Dia pun
terkejut melihat air
sungai berwarna merah.
"Darah...," desis
Suropati.
Yaniswara mendekat. "Itulah
yang membuatku
terkejut, Suro."
"Jadi ketika kau melompat
sebelum selesai
mandimu, karena air yang bercampur
darah ini?"
"Ya. Eh. kalau kau tahu
saat aku melompat,
tentu kau sedang
mengintipku!" tuduh Yaniswara.
Mendadak Suropati tercekat.
Matanya terbeliak
lebar melihat benda panjang
mengapung terbawa arus
sungai. Remaja konyol itu lalu
meloncat ke atas batu
yang menonjol di tengah sungai.
Diambilnya benda
yang menarik perhatiannya itu.
Dia kemudian melon-
cat kembali ke hadapan
Yaniswara.
"Kau lihat benda ini,
Yani...."
"Sebatang tongkat."
"Ya. Bagian pangkalnya
berkepala naga, sedang
ujungnya terpeluntir sepanjang
satu jengkal. Tongkat
ini milik anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti."
"Berarti tongkat itu milik
anak buahmu, Suro.
Kau harus bertindak cepat. Di
bagian sungai sebelah
sana tentu telah terjadi
peristiwa berdarah."
Yaniswara mengikat rambutnya
yang tergerai
dengan saputangan merah, lalu
digandengnya tangan
Suropati. Tapi, remaja konyol
itu tak segera beranjak
dari tempatnya.
"Di buntalan pakaian yang
kuberikan ada se-
buah benda berharga. Kau harus
membawanya, Ya-
ni...," kata Suropati.
"Benda apa?" tanya
Yaniswara.
"Sudahlah, kau ambil saja.
Kita tak punya wak-
tu!"
Yaniswara segera membalik kain
yang terham-
par di tanah. Diambilnya sebuah
gulungan benda bu-
lat pipih berwarna perak.
"Kalau terjadi apa-apa, kau
bisa memperguna-
kan pedang itu, Yani."
"Pedang?" tanya
Yaniswara heran.
"Ya. Itu adalah pedang
pusaka. Prabu Arya De-
wantara menghadiahkannya
kepadaku, lalu kuhadiah-
kan kepadamu. Kau pegang
gagangnya yang berwarna
hitam. Lewat penyaluran tenaga dalam
sedikit saja,
pedang itu akan mengejang
sebagaimana mestinya."
Begitu usai kalimat Pengemis
Binal, Yaniswara
langsung mengerahkan tenaga
dalamnya ke gagang
pedang dalam genggamannya.
Set...!
Mata gadis itu terbelalak. Bilah
pedang meman-
carkan cahaya keperakan. Namun,
dia tak bisa berla-
ma-lama mengagumi keindahan
pedang itu, Suropati
telah mencekal lengannya untuk
diajak berlari, me-
nyusuri tepian sungai....
***
3
Diapit dua batang pohon yang tak
seberapa be-
sar, tak jauh dari tepian
sungai, seorang kakek berusia
sekitar delapan puluh tahun
sibuk memasukkan rant-
ing-ranting kering ke dalam
perapian. Di atas perapian
terdapat sebuah kuali besar yang
ditopang empat batu
datar. Gumpalan daging tampak
bergerak-gerak di da-
lam kuali mengikuti gelombang
air yang mulai mendi-
dih.
"Ehm..., harum...,"
desis si kakek. Bibirnya
yang keriput mengulum senyum.
Dia berkepala botak dan tampak
berkilat kare-
na minyak. Bagian belakang hanya
ditumbuhi rambut
tipis berwarna putih. Tak ada
bulu yang menghiasi wa-
jahnya. Alisnya pun hampir tak
kentara. Namun, tu-
buhnya yang gemuk jadi kelihatan
aneh karena pa-
kaian yang dikenakan terbuat
dari bahan mahal. War-
nanya hijau-kuning dan ada
garis-garis merah menco-
lok mata. Tangan kanannya yang
gempal tapi berkulit
keriput dihiasi rentengan gelang
perak.
Sambil terus mengulum senyum
kakek itu
bangkit dari duduknya. Tampaklah
tubuhnya yang
gemuk ternyata sangat tinggi.
Dia melongokkan kepa-
lanya ke atas kuali. Mendadak,
kakek itu meloncat
tinggi dengan tangan kanan
memegang sebatang rant-
ing panjang. Suatu pemandangan
ganjil dipertunjuk-
kan kakek itu.
Saat tubuhnya yang tinggi
meluncur kembali ke
bawah, ranting panjang yang
dipegangnya disorong-
kan. Tak ada suara yang timbul
ketika ujung ranting
masuk ke dalam kuali besar.
Pameran ilmu meringan-
kan tubuh yang hebat segera
terlihat. Tubuh si kakek
yang gendut tertahan di udara
dalam kedudukan ter-
balik. Kepala berada di bawah,
sedang kedua pergelan-
gan kaki terselonjor lurus ke
atas.
Tangan kiri lelaki tinggi gemuk
itu dilingkarkan
ke pinggang. Sedangkan, tangan
kanannya dijulurkan
ke bawah dengan ujung ranting
bergaris menancap di
dalam kuali. Walaupun garis
tengah ranting itu tak le-
bih besar dari jari kelingking,
tapi sanggup menahan
beban tubuh si kakek tanpa
melengkung sedikit pun.
Kakek tinggi gendut itu tertawa
bergelak mem-
perlihatkan barisan giginya yang
tanggal. Dengan sua-
tu sentakan lembut, tubuh tua
itu berputar cepat ba-
gai gangsing. Isi kuali yang
berisi gumpalan daging
bercampur air mendidih pun
teraduk. Beberapa keja-
pan mata kemudian, gumpalan
daging telah lumat
menjadi bubur berwarna kuning
kemerahan.
Tubuh si kakek melenting ke
atas, lalu menda-
rat di permukaan tanah dengan
tanpa mengeluarkan
suara. Disepaknya kuali besar
yang berisi bubur dag-
ing. Benda bundar dari tanah
liat itu melayang tinggi.
Serta-merta si kakek
menyorongkan telapak tangan
kanannya ke atas. Kuali yang
sedang melesat ke atas
pun tertahan di udara.
Kakek tinggi gemuk menggerakkan
telapak tan-
gannya sedikit, kuali terguling
dan bubur daging yang
berada di dalamnya tumpah. Namun
kuali kecil yang
berada di samping perapian
menerima tumpahan bu-
bur daging itu. Kemudian, perlahan-lahan
kuali besar
turun ke tanah. Terlihatlah yang
berada di dalamnya
tinggal tulang-belulang saja!
"Ha-ha-ha...!"
Kakek tinggi gemuk tertawa
terbahak-bahak.
"Makan siang telah siap.
Ehm...."
Kedua tangan kakek itu memegang
kuping kua-
li kecil, lalu diangkatnya
tinggi-tinggi. Dengan mulut
terbuka lebar dia menuangkan
bubur daging panas!
"Ehm..., lezat..."
Hanya beberapa tarikan napas
saja bubur dag-
ing dalam kuali kecil telah
tandas. Si kakek menjilati
bibirnya yang belepotan, kemudian
dilemparkan begitu
saja kuali yang dipegangnya.
Dan, jatuh tepat di mulut
kuali besar dalam keadaan utuh!
Kakek tinggi gemuk mengelus
perutnya yang
buncit. Saat dari mulutnya
terdengar suara siulan, ka-
ki kakek itu melangkah pergi.
Kecuali cairan darah yang telah
mengering di
atas sebuah batu besar, Suropati
dan Yaniswara tak
menemukan apa-apa lagi. Namun
melihat bekas-bekas
telapak kaki yang tertera jelas
di tepi sungai, mereka
yakin di tempat itu baru saja
terjadi pertarungan.
"Apakah mayat anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu dijadikan
makanan burung-burung
pemakan bangkai, Suro?"
tanya Yaniswara memberi
kemungkinan.
"Di sekitar sini tidak ada
burung pemakan
bangkai," ucap Pengemis
Binal sambil menyepak-
nyepak permukaan tanah, mencari
sesuatu yang bisa
dijadikan petunjuk.
"Lalu, ke mana hilangnya
mayat anggota per-
kumpulan yang kau pimpin
itu?"
"Pertanyaan itu sedang
berkecamuk dalam be-
nakku," jawab Suropati.
"Mungkinkah dia belum mati?
Dia melarikan
diri misalnya...."
"Tidak. Aku yakin di sini
baru saja terjadi pem-
bunuhan," Suropati tetap
bertahan pada pendapatnya.
"Semula aku juga berpikiran begitu. Tapi bila
tidak ada mayat,
bagaimana?"
"Kita akan mencarinya
sampai ketemu!"
Gigi Suropati terdengar
bergemeletukan. Tam-
paknya dia sedang menahan
amarah. Remaja konyol
itu menyebar pandangan lebih
teliti.
"Hei! Kau lihat itu,
Yani?!" Suropati menunjuk
kepulan asap dari balik
pepohonan.
Yaniswara melihat ke arah yang
ditunjukkan
Pengemis Binal. Dia segera
mengekor langkah remaja
konyol itu yang meloncati
bentangan sungai. Tubuh
Yaniswara melayang, dan mendarat
di seberang. Gadis
itu tidak menemukan kesulitan
yang berarti. Bentan-
gan air sungai memang tidak
seberapa lebar.
Suropati dan Yaniswara
berdiri terpaku di de-
pan perapian yang masih belum
padam. Dengan kaki
telanjang Pengemis Binal
mengorek-ngorek perapian
itu.
"Aku mencium bau daging
direbus," ujar Suro-
pati.
Yaniswara yang mencium bau
serupa langsung
menghampiri kuali besar yang
berada tak jauh dari pe-
rapian. Dikeluarkannya kuali
kecil yang berada di da-
lam kuali besar. Tampaklah isi
kuali ternyata tulang
belulang kambing.
"Ya, Tuhan...," desis
Yaniswara tiba-tiba sambil
mendekap mulut.
Sejurus dengan pandangan gadis
itu, sesosok
mayat manusia tergeletak di atas
tanah dalam keadaan
mengerikan. Sekujur tubuhnya
terbungkus serat-serat
putih bercampur cairan darah
kering. Mayat manusia
itu tanpa kepala!
Pengemis Binal melemparkan
pandangan. Dia
dikejutkan oleh jerit ketakutan
Yaniswara. Tak sebera-
pa jauh dari mayat, tampak
kepala lelaki berambut
panjang menancap di ranting
pohon. Kedua matanya
terbeliak dengan mulut terbuka
lebar!
Yaniswara tak berani melihat
lebih lama. Tubuh
gadis itu melorot ke tanah
kemudian menangis terse-
du-sedu. Perasaan ngeri dan
sedih bercampur jadi sa-
tu. Dia teringat kematian
ayahnya yang dipenggal ke-
palanya oleh orang-orang Partai
Iblis Ungu.
Suropati cepat menyadari
keadaan. Direngkuh-
nya bahu Yaniswara lalu
dibimbingnya meninggalkan
tempat itu.
Apa sesungguhnya yang telah
terjadi di tepi
sungai tak jauh dari kotapraja
Kerajaan Anggarapura
itu?
Ceritanya bermula dari seorang
lelaki tua tinggi
gemuk yang hanya mengenakan
cawat memasuki se-
buah toko pakaian. Keadaannya
yang hampir telanjang
mengundang perhatian orang.
Sentanu, pemuda ang-
gota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kebe-
tulan sedang duduk di depan toko
memandang penuh
curiga. Apalagi setelah
terdengar teriakan keras yang
disusul dengan kelebatan tubuh
lelaki tinggi gemuk.
Lelaki itu menenteng sebuah
buntalan. Cepat-cepat
Sentanu mengejar. Dia mempunyai
dugaan lelaki tinggi
gemuk telah mencuri sesuatu dari
dalam toko.
Setelah terjadi kejar-mengejar
beberapa lama,
Sentanu kehilangan jejak. Namun
karena dorongan
hati yang ingin berbuat baik,
dia terus mencari jejak
lelaki tinggi gemuk. Di belakang
sebuah kedai pemuda
itu melihat orang yang dicarinya
telah mengenakan
pakaian mahal hasil curian dari
toko. Lelaki tinggi ge-
muk berjalan santai dengan
tangan kanan menenteng
seekor kambing kecil yang telah
mati disembelih.
Lelaki itu menghemposkan
tubuhnya ketika
terdengar teriakan dari dalam
kedai kalau ada pencuri
beraksi. Sentanu segera
mengejar. Namun, kembali dia
kehilangan jejak. Kecepatan lari
lelaki tinggi gemuk
sangat luar biasa, tak bisa
diimbangi Sentanu.
Karena rasa penasaran, Sentanu
terus mencari
jejak lelaki tinggi gemuk. Di
tepi sebuah sungai baru-
lah dia menemukannya. Lelaki itu
membuat perapian
untuk memasak kambing kecil
hasil curiannya.
Sentanu menegur. Lelaki tinggi
gemuk yang
jengkel karena perbuatan
jahatnya diketahui orang
langsung melancarkan ilmu 'Serat
Maut'-nya. Sentanu
yang tidak menduga akan
datangnya serangan terjerat
serat-serat putih yang sangat
alot. Dalam keadaan tak
berdaya pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu
dicebur-ceburkan ke dalam sungai.
Cairan darah mengotori air
sungai yang jernih. Tong-
kat Sentanu pun lepas dari
pegangannya lalu hanyut.
Lelaki tinggi gemuk berbuat
lebih kejam. Tubuh
Sentanu dilemparkan ke tepi
sungai. Dengan menggu-
nakan telapak tangan yang
dialiri tenaga dalam, lelaki
tinggi gemuk menebas batang
leher Sentanu. Kepa-
lanya ditancapkan pada ranting
pohon yang telah pa-
tah!
Sekarang, Suropati berlari-lari
mengikuti aliran
sungai. Tangan kirinya memegang
tongkat yang baru
saja ditemukan. Sedangkan tangan
kanan menggan-
deng Yaniswara yang masih
terbalut perasaan ngeri.
Pengemis Binal menghentikan
langkah. Dita-
tapnya wajah Yaniswara
dalam-dalam.
"Kalau kau masih dibayangi
ketakutan, aku ti-
dak bisa mencari orang yang
telah membunuh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu, Yani..."
Mendengar ucapan itu, Yaniswara
menunduk-
kan kepalanya. Dicobanya
menenteramkan perasaan.
Tak lama kemudian dia mengangkat
wajah. "Aku akan
membantumu mencari manusia
biadab itu, Suro...,"
ujar gadis itu kemudian.
Suropati tersenyum tipis.
"Kau tidak takut me-
lihat kepala tanpa badan
lagi?"
"Tidak!"
"Sungguh?"
Yaniswara mengangguk. Buru-buru
Pengemis
Binal menggamit lengannya untuk
diajak berlari kem-
bali.
Sepeminum teh berlalu, mereka
menghentikan
langkah. Tampak seorang lelaki
tinggi gemuk sedang
tidur mendengkur. Cara tidur
kakek itu sangat aneh.
Kedua telapak kakinya menjepit
dahan pohon. Tubuh-
nya yang terbungkus pakaian
hijau kuning menjulur
ke bawah seperti seekor
kelelawar raksasa!
"Mungkinkah orang ini yang
telah membunuh
anak buahku?" pikir
Suropati. "Melihat sikapnya yang
aneh, dia tentu seorang tokoh
berilmu tinggi. Ah, akan
ku bangunkan dia. Kalau dugaanku keliru, aku bisa
meminta maaf...."
Melihat Suropati yang melangkah
mendekati si
kakek, Yaniswara segera
bertanya, "Apa yang hendak
kau lakukan, Suro?"
Suropati memberi isyarat untuk
diam. Lalu ka-
tanya membangunkan si kakek,
"Bangunlah, Pak Be-
sar. Aku hendak bertanya."
Tak ada tanggapan ditunjukkan
kakek yang se-
dang tidur menggelantung. Suara
dengkurannya masih
terdengar teratur. Suropati
mengulang perkataannya.
Namun tetap tak mendapat
tanggapan apa pun.
Remaja konyol itu lalu menepuk
bahunya. Ma-
sih juga tak mendapat tanggapan.
Didorongnya tubuh
kakek tinggi gemuk itu. Suropati
terkejut. Dia merasa
seperti mendorong tonggak baja
yang sangat kukuh!
"Bangunlah, Pak
Besar!" teriak Pengemis Binal
kemudian di dekat telinga si
kakek. Remaja konyol itu
tercekat merasakan desir angin
panas menghunjam ke
kepalanya. Hanya karena gerakan
bawah sadarlah
tangan kiri Suropati menyorongkan
tongkat.
Trak...!
Tongkat di tangan Suropati patah
menjadi dua
tertimpa telapak tangan si
kakek. Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu
langsung merasa te-
gang. Dia bergidik ngeri
membayangkan bila kepalanya
yang menjadi sasaran. Tentu akan
remuk!
Pengemis Binal meloncat satu
tombak jauhnya.
Lalu ditatapnya wajah lelaki
tinggi gemuk yang masih
tidur menggelantung. Yaniswara
yang tak sabar segera
melontarkan batu sebesar kepalan
tangan, dan tepat
mengenai kening lelaki tinggi
gemuk. Namun, kakek
itu tak mengeluarkan suara
keluhan. Padahal lempa-
ran batu Yaniswara mampu untuk
meremukkan kepa-
la seekor banteng!
Mendadak, lelaki tinggi gemuk
melentingkan
tubuhnya. Dia mendarat di atas
tanah dengan sangat
ringan. "Kelinci-kelinci
liar, berani benar kalian meng-
ganggu tidurku!"
"Maaf, Pak Besar...,"
tukas Suropati dengan se-
dikit membungkukkan badan.
"Aku yang bodoh ini
hendak bertanya, apakah Pak
Besar tahu siapa yang
telah membunuh seorang anggota
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti di seberang
sungai sebelah sana?"
"Ehm.... Apa urusannya kau
menanyakan itu?"
tanya si kakek tak senang.
"Dia anak buahku. Aku
hendak mencari orang
yang telah melakukan perbuatan
biadab itu. "
"Ha-ha-ha...." Lelaki
tinggi gemuk tertawa ber-
gelak. "Pengemis edan itu
hanya mengganggu keasyi-
kan ku saja. Sudah selayaknya
dia mati!"
Kening Pengemis Binal langsung
berkerut. "Apa
maksud perkataan Pak Besar?
Apakah Pak Besar yang
telah membunuhnya?"
Kembali lelaki tinggi gemuk
tertawa bergelak.
Yaniswara yang sudah bisa
menangkap makna uca-
pannya segera memegang hulu
pedang pemberian Su-
ropati. Pedang pusaka yang
disebut sebagai Pedang Pe-
rak Lentur itu langsung
mengejang begitu terkena ali-
ran tenaga dalam.
"Perbuatanmu sangat biadab,
Manusia Busuk!"
umpat Yaniswara sambil
mengacungkan pedangnya.
Lelaki tinggi gemuk mendengus.
Tendangannya
segera dilancarkan. Yaniswara
membalasnya dengan
tebasan pedang tertuju ke arah
leher.
Wuuuttt...!
Serangan Yaniswara tak mengenai
sasaran. Le-
laki tinggi gemuk telah
melentingkan tubuhnya. Tanpa
diduga-duga sebuah totokan jarak
jauh dilancarkan!
Yaniswara tercekat. Dia masih
sempat berkelit
dengan menjatuhkan diri ke tanah
Lelaki tinggi gemuk
menyambung serangannya dengan
tendangan yang
sangat cepat.
Melihat Yaniswara terdesak,
Pengemis Binal se-
gera bertindak. Jalan
satu-satunya untuk menyela-
matkan nyawa gadis itu adalah
dengan memapaki lun-
curan tubuh si kakek dengan
pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana di
angkasa. Bumi
berguncang menimbulkan hembusan
angin kencang.
Dedaunan pohon di sekitar tempat
itu berguguran ba-
gai diterpa angin topan.
Sinar kebiru-biruan yang timbul
dari telapak
tangan Suropati tepat mengenai
dada lelaki tinggi ge-
muk. Tubuh kakek itu bergerak
mundur-mundur. Saat
membentur sebatang pohon besar,
pohon itu tumbang
dan tubuh lelaki tinggi gemuk
sempoyongan. Diperha-
tikan bajunya yang terbakar dan
tampak mengepulkan
asap. Lalu matanya melotot
melihat Pengemis Binal
yang sedang terkejut. Pukulan
jarak jauhnya ternyata
tak berpengaruh apa-apa terhadap
lawan. Padahal,
pukulan jarak jauh itu sanggup
untuk menghancur-
kan batu sebesar gajah!
Keterkejutan Suropati ber-
tambah ketika melihat lawan
tertawa bergelak sambil
melangkah menghampirinya.
"Rupanya kau pintar memijit
juga, Kelinci Ma-
nis!"
Pengemis Binal melangkah mundur
sambil
menggaruk-garuk kepala. Tawa
lelaki tinggi gemuk
makin terdengar keras.
"Siapa kau, Pak
Besar?" tanya Suropati dengan
suara bergetar.
"Siapa aku? Ha-ha-ha....
Aku kira kelinci yang
hendak mampus direjam cakar
harimau tak berhak
bertanya!"
Pengemis Binal kembali
menggaruk-garuk ke-
pala. Yaniswara yang sudah bisa
menguasai keadaan
telah meloncat di sampingnya.
"Manusia Biadab! Kami pun
tak hendak men-
gurus siapa kau sebenarnya. Tapi
melihat perbuatan-
mu yang kejam, kami tak hendak
memberi ampunan.
Maka dari itu sebutkan namamu.
Biar ada tanda di
Kuburmu nanti!" bentak
Yaniswara dengan bengisnya.
"Ha-ha-ha.... Kelinci
betina yang lucu, ucapan-
mu sungguh menggelikan. Walau
aku menyebutkan
nama, aku meragukan kemampuanmu
untuk dapat
menggali lubang kuburku.
Memegang pedang saja tan-
ganmu gemetar!"
"Bangsat!" umpat
Yaniswara.
Mendidih juga darahnya dikatakan
seperti itu.
Dia memang gemetar, tapi bukan
karena takut, Yanis-
wara tengah dilanda kemarahan
yang meluap-luap.
Melihat ujung pedang Yaniswara
yang ditu-
dingkan ke arahnya, tawa lelaki
tinggi gemuk malah
melengking tinggi. Kakek itu
menepuk dadanya.
"Ayolah, segera gunakan
pedangmu itu. Tak se-
nang hatiku kau ancam seperti
itu!"
Yaniswara menggeram. Kakinya
dijejakkan ke
tanah. Dengan bilah pedang
disorongkan ke depan tu-
buh gadis itu meluncur. Suropati
yang sudah tahu ke-
hebatan lawan tak mau Yaniswara
celaka. Dia berte-
riak mencegah. Namun gerakan
Yaniswara lebih cepat.
Kelebatan pedang hendak membelah
kepala la-
wan. Lelaki tinggi gemuk menarik
kedua tangannya ke
belakang. Pengemis Binal sadar
kakek itu hendak me-
mapaki luncuran tubuh Yaniswara
dengan pukulan ja-
rak jauh. Maka sebelum sesuatu
yang tak diinginkan
terjadi, dia segera mendahului!
Wuuusss...!
Sinar kebiru-biruan yang timbul
dari telapak
tangan Suropati meluncur deras
menghantam dada le-
laki tinggi gemuk. Kembali
ledakan dahsyat membaha-
na. Bumi berguncang makin keras.
Tidak hanya de-
daunan pohon yang rontok.
Ranting-ranting pun ikut
berparahan.
Tubuh lelaki tinggi gemuk
terlontar jauh. Ya-
niswara yang masih melayang di
udara melenting lalu
meluncur lebih cepat. Tak ada
jeritan yang terdengar
tatkala leher lelaki tinggi
gemuk tertebas pedang Ya-
niswara. Kepalanya menggelinding
ke tanah. Sedang-
kan tubuhnya terhempas ke tanah
dengan keras.
Yaniswara menarik napas lega.
Dilihatnya seje-
nak bilah pedang di tangannya.
Tak ada darah yang
menempel. Bilah pedang itu
berlapis bahan anti air,
hingga cairan darah tak dapat
mengotorinya.
Suropati berjalan mendekat.
Dipeluknya tubuh
gadis itu dari belakang.
"Kita telah melenyapkan ma-
nusia biadab, Yani...."
Yaniswara memutar tubuhnya.
Kepalanya dis-
andarkan ke bahu kanan Suropati.
Perlahan-lahan bu-
tiran mutiara bening bergulir
dari sudut mata gadis
itu.
"Kau menangis, Yani?"
tanya Suropati.
"Aku menyesal telah
memenggal kepala orang
itu."
"Kenapa?"
"Aku ingat Ayah,"
rintih Yaniswara.
Suropati menarik napas panjang.
Diraihnya
bahu Yaniswara. Lalu ditatapnya
dalam-dalam wajah
gadis itu. "Kematian tak
perlu disesali, Yani," bujuk
Suropati.
"Aku tidak pernah menyesali
kematian. Aku
hanya sedih melihat diriku yang
sebatang kara...."
"Bukankah ayahmu masih
kerabat dekat den-
gan Prabu Mahindra Suikarnaka,
Raja Saloka Medang?
Itu berarti kau tidak sebatang
kara, Yani."
"Apalah gunanya semua itu,
Suro? Seorang
pembesar tak akan mau mengakui
orang sepertiku."
"Belum tentu. Aku yakin
Prabu Mahindra Sui-
karnaka orang yang bijaksana.
Beliau akan dapat me-
nerima keberadaanmu, Yani...,"
Suropati terus mem-
bujuk.
Yaniswara memeluk Suropati.
Kepalanya kem-
bali disandarkan di bahu kanan
pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tingkat Sakti itu.
Butiran mutiara bening
semakin deras mengalir dari
sudut mata Yaniswara.
Tanpa sepengetahuan mereka,
jemari tangan le-
laki tinggi gemuk
bergerak-gerak. Kedua kakinya ikut
bergerak. Lalu, dengan sebuah
sentakan kuat tubuh
tanpa kepala itu berdiri tegak.
Darah meleleh dari
pangkal leher yang
menyemburatkan urat-urat.
Perlahan-lahan jemari tangannya
meraba ba-
gian yang mengerikan itu.
Kemudian, setelah kaki ka-
nannya menggedruk tanah, kepala
yang tergolek di
atas tanah melayang dan jatuh
tepat di bekas luka ba-
batan pedang.
Dengan usapan lembut garis luka
yang men-
ganga langsung hilang. Wujud
lelaki tinggi gemuk
kembali seperti sediakala. Tawa
keras memecah kehe-
ningan, mengiringi kedua telapak
tangan si kakek yang
disorongkan ke depan melancarkan
ilmu 'Serat Maut'.
Malang bagi Suropati.
Loncatannya terlambat!
Ketika kakinya mendarat ke
tanah, tubuhnya telah
terbungkus serat-serat putih
berperekat kuat. Semen-
tara Yaniswara langsung terkulai
lemas, terkena toto-
kan jarak jauh si kakek. Dengan
tawa kemenangan
yang meledak-ledak, kakek itu
menyambar tubuh Ya-
niswara yang tiada berdaya....
***
4
Sejak kematian Anjarweni di
tangan Margana
Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
tingkah laku Wiro-
gundi jadi aneh. Dia senang
duduk termenung. Mem-
bayangkan masa-masa indah
bersama kekasihnya, bi-
bir Wirogundi seringkali
menyunggingkan senyum. Se-
ringkali juga dia kelihatan
begitu berduka bila teringat
kebiadaban Margana Kalpa di
puncak Bukit Pangala-
san. Di tempat pemukiman para
anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itulah
Anjarweni menemui
ajalnya.
Anjarweni bertarung mati-matian
membela para
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang
diserbu orang-orang Perkumpulan
Bangau Sakti, yang
dipimpin Margana Kalpa. Di
tangan tokoh sesat itulah
Anjarweni gugur sebagai seorang
pendekar wanita
yang sangat gagah. (Baca serial
Pengemis Binal epi-
sode: 'Malaikat Bangau Sakti').
Kematiannya tidak bisa
diikhlaskan begitu saja
oleh Wirogundi. Perasaan cinta
di dalam hati Wirogun-
di terlalu dalam. Apalagi
Anjarweni ketika itu sedang
mengandung. Kematian Anjarweni
sangat memukul ji-
wa Wirogundi. Semangat hidupnya
bagai terbang. Per-
nah terlintas di benak pemuda
anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu untuk
bunuh diri. Namun,
hal itu tak dilakukan. Dia tahu
bunuh diri adalah per-
buatan yang merugikan diri
sendiri dan dikutuk Tu-
han.
Para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti tak pernah tahu Wirogundi
mengalami kegun-
cangan jiwa yang sangat parah.
Mereka menyangka
kematian Margana Kalpa di Bukit
Bangau telah me-
nyembuhkan luka hati Wirogundi.
Namun, sesung-
guhnya tidak. Jiwa Wirogundi
tetap merana.
Bila bertemu dengan
teman-temannya dia sela-
lu menampakkan wajah ceria,
seperti tak menanggung
beban apa-apa. Begitu pula bila
dia berhadapan den-
gan Gede Panjalu dan Suropati. Semua
itu dilakukan
karena tak ingin mendapat
perhatian yang berlebihan.
Terutama dari Gede Panjalu yang
telah dianggapnya
sebagai ayah sendiri.
Wirogundi tak mau kesedihan hatinya akan
mengganggu ketenangan sesepuh
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu. Jadilah
Wirogundi pemuda
yang memiliki dua muka. Muka
lahirnya penuh den-
gan kegembiraan, tapi batinnya
terbalut duka lara.
Sore ini Wirogundi tampak tengah
berjalan di
tepi sungai dekat kotapraja
Kerajaan Anggarapura. Ma-
tanya menatap jauh ke depan.
Rahangnya yang kokoh
seperti menggambarkan keinginan
hatinya untuk da-
pat menepis semua cobaan hidup.
Dengan mempergunakan ujung
tongkatnya Wi-
rogundi memukul sebuah batu yang
cukup besar. Ba-
tu melayang cepat dan tercebur
ke dalam sungai. Wi-
rogundi memperhatikan gelombang
air yang timbul.
Mula-mula besar dan penuh dengan
cipratan air, per-
lahan-lahan mengecil lalu
lenyap.
Beberapa lama Wirogundi berdiri
di tempatnya.
Matanya terus menatap aliran
sungai. Pemuda itu ba-
nyak merenung.
"Mungkinkah perjalanan
hidupku seperti ge-
lombang air itu? Air yang semula
tenang bergolak liar
kemudian lenyap dengan
sendirinya. Mungkinkah rasa
sedih dalam hatiku ini akan
lenyap?"
Wirogundi mengusap dahinya yang
berpeluh.
Senja yang menjelang membuat
hawa terasa segar.
Namun, kesegaran itu sama sekali
tak dirasakan Wiro-
gundi. Perasaannya sedang galau.
Mendadak, sesosok bayangan
bekelebat. Wiro-
gundi dapat melihat dengan jelas
bayangan yang me-
lintas tak seberapa jauh dari
hadapannya itu membo-
pong seorang gadis.
"Keparat....!" umpat
Wirogundi.
Bayangan itu adalah seorang
lelaki bertubuh
tinggi gemuk. Menurut dugaan
Wirogundi, sosok
bayangan itu tentu telah
melakukan penculikan. Hal
demikian tak bisa dibiarkan
begitu saja oleh Wirogundi
yang mempunyai jiwa pendekar.
Pemuda kurus itu
langsung menghemposkan tubuhnya
mengejar sosok
bayangan.
Sejak Wirogundi memakan buah
pala ajaib di
dasar jurang Bukit Pangalasan,
ilmu kepandaiannya
jadi berlipat ganda. Demikian
pula ilmu meringankan
tubuhnya. Sebentar saja dia
telah menyusul langkah
sosok bayangan.
Namun ketika Wirogundi
samar-samar melihat
wajah gadis yang sedang dibopong
sosok bayangan, dia
tercekat. Wajah Anjarweni
membayang di mata Wiro-
gundi. Pemuda kurus itu
mengeluh. Keadaan demikian
mengganggu kecepatan larinya.
Akibatnya Wirogundi
tertinggal.
"Anjarweni...," desis
Wirogundi.
Anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
itu menghentikan langkahnya,
lalu menggedrukkan
tongkat ke tanah. Rasa
sedih kembali menghantam
sanubarinya. Perlahan-lahan
tubuhnya melorot. Se-
mangat mengejarnya hilang begitu
saja.
Tak lama kemudian Wirogundi
berhasil mengu-
sir perasaan galaunya.
Pandangannya diedarkan ber-
keliling berusaha menembus hari
yang hampir gelap.
Tentu saja apa yang dia cari
sudah tak ada. Sosok
bayangan yang dikejarnya telah
lenyap.
"Aku harus
mencarinya...," kata Wirogundi da-
lam hati. "Aku harus
menolong gadis itu. Tak bisa
membiarkan perbuatan biadab
terjadi di depan mata-
ku."
Lelaki tinggi gemuk yang
menculik Yaniswara
berlari dengan mengandalkan
seluruh ilmu meringan-
kan tubuh. Darahnya laksana
bergolak mengikuti ha-
srat hati yang menghentak.
Yaniswara yang terkulai
lemah akibat pengaruh totokan
berada dalam kenge-
rian yang sangat. Dia tak
sanggup membayangkan apa
yang akan terjadi pada dirinya.
Di rimba persilatan hanya
tokoh-tokoh tua yang
tahu pasti siapa lelaki tinggi
gemuk itu. Dia tak lain
Kebo Ireng. Kaum rimba persilatan
memberinya julu-
kan si Pantang Mati.
Memang, ilmu kesaktian lelaki
tinggi gemuk itu
sudah sedemikian tinggi. Hingga
membuatnya seperti
tak bisa mati.
Pada masa pemerintahan Prabu
Indra Prastha,
ayahanda Prabu Arya Dewantara
yang memegang tam-
puk pimpinan di Kerajaan
Anggarapura sekarang, per-
nah diperintahkan puluhan tokoh
sakti istana untuk
menangkap Kebo Ireng alias si
Pantang Mati. Prabu
Indra Prastha sangat
mengkhawatirkan ketenteraman
rakyatnya. Pantang Mati
mempunyai kebiasaan buruk
gemar mencuri dan membuat
keonaran. Bahkan, se-
ringkali melakukan pembunuhan yang sangat kejam.
Karenanya, tokoh jahat itu
selayaknya dijatuhi huku-
man.
Melalui pertempuran dahsyat yang
banyak
memakan korban jiwa akhirnya
Pantang Mati dapat
disekap di penjara bawah tanah
istana. Tapi, tokoh ja-
hat itu hanya menjalani
hukumannya beberapa candra
saja.
Dia dapat meloloskan diri dengan
membunuh
puluhan prajurit.
Prabu Indra Prastha murka.
Beliau membuat
sayembara untuk menghukum mati
si Pantang Mati.
Tokoh-tokoh jajaran atas rimba
persilatan berlomba-
lomba mengikuti sayembara itu.
Namun, kematianlah
yang mereka temui. Kaum rimba
persilatan yang me-
nyatroni si Pantang Mati bagai
ular mencari gebuk.
Mereka menemui ajal tanpa dapat
melaksanakan ke-
hendak. Ilmu kesaktian Pantang
Mati terlalu sulit un-
tuk dilawan.
Melihat korban banyak
berjatuhan, kaum rim-
ba persilatan membuat suatu
kesepakatan kerja sama.
Namun, Kebo Ireng benar-benar
tak bisa dikalahkan.
Seorang penasihat kerajaan
akhirnya membuat
siasat. Tanpa melalui
pertempuran dia berhasil menje-
bak Pantang Mati. Di suatu
tempat Kebo Ireng terjeblos
ke dalam sumur yang sangat
dalam, tubuhnya lalu di-
timbuni batu-batu besar.
Sejak itu kabar mengenai Pantang
Mati tak ter-
dengar lagi. Kaum rimba
persilatan menganggapnya te-
lah mati. Namun tanpa diketahui
oleh siapa pun, Kebo
Ireng menghimpun kekuatan.
Puluhan tahun kemu-
dian si pembuat onar itu dapat
keluar dari dalam su-
mur tempatnya terkurung selama
ini.
Kebo Ireng menuju ke kotapraja.
Setelah men-
curi pakaian dan seekor kambing
kecil, dia membunuh
seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang bernama Sentanu.
Hari telah gelap ketika si
pembuat onar itu me-
nurunkan tubuh Yaniswara ke atas
tanah berumput.
Walau tak seberapa terang cahaya
rembulan di langit,
namun Pantang Mati tak menemukan
kesulitan mem-
buat perapian dari
ranting-ranting kering.
"Ehm... Sebentar lagi aku
akan menikmati se-
suatu yang selama puluhan tahun
tak pernah ku ra-
sakan. Kenikmatan itu akan
membuat semangat hi-
dupku semakin menggebu."
Berpikir demikian, lelaki tinggi
gemuk itu mele-
pas totokan di tubuh Yaniswara.
"Aku tak ingin bermain-main
dengan tubuh
mati. Aku ingin geliatan yang
panas. Ha-ha-ha...."
"Apa maumu?!" hardik
Yaniswara seraya me-
loncat jauh.
Pantang Mati berjalan mendekati.
Yaniswara
pun bergerak mundur lalu
menghemposkan tubuhnya.
Tawa keras mengiringi Kebo Ireng
ketika melancarkan
ilmu 'Serat Maut'-nya. Tubuh
Yaniswara yang me-
layang mendadak berhenti di
udara, lalu jatuh ke ta-
nah. Serat-serat putih telah
menjeratnya.
Tentu saja gadis itu dihantam
keterkejutan
yang sangat Dia meronta-ronta
sekuat tenaga. Namun
serat-serat putih tetap
membelenggu kedua tangan
dan kakinya. Saat Pantang Mati
menghampiri, sinar
mata Yaniswara berubah nyalang.
"Lepaskan aku!" teriak
Yaniswara.
"Ha-ha-ha.... Susah-susah
aku mendapatkan
mu, kenapa harus
kulepaskan?" sambut Kebo Ireng.
"Tidak! Jangan!"
Yuniswara meronta semakin keras.
Tapi usa-
hanya untuk melepaskan diri
tetap sia-sia. Jerit keras
terdengar ketika Pantang Mati
menggerayangi tubuh
Yaniswara.
Sebelum kejadian yang tak
diinginkan terlak-
sana, sesosok bayangan meluncur
cepat menendang
kepala Pantang Mati.
Praaakkk...!
Tendangan yang dilancarkan
sepenuh tenaga
membuat kepala Pantang Mati
melayang jauh lepas
dari lehernya.
"Suro...," desis
Yaniswara.
Tapi, dia segera menatap tajam
sosok pemuda
yang baru datang ternyata bukan
Suropati. Yaniswara
salah lihat. Pemuda itu
berpenampilan persis sama se-
perti Suropati. Pakaiannya penuh
tambalan. Tongkat
yang dipegangnya pada pangkal
berhias kepala naga,
sedang ujungnya terpeluntir
sepanjang satu jengkal.
Jelas, dia anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti. Walau tubuhnya kurus,
tapi rahangnya kokoh
kuat dengan mata bersinar tajam
menunjukkan kega-
gahan dan kepandaiannya. Dia
adalah Wirogundi.
"Tolong...!" teriak
Yaniswara yang melihat Wiro-
gundi berdiri terpaku.
Wirogundi tercekat. Matanya tak
berkedip me-
natap wajah Yaniswara.
"Kau.... Kau
Anjarweni?" kata pemuda kurus
itu tergagap.
"Aku Yaniswara. Cepat
lepaskan aku dari serat-
serat putih ini!"
"Oh...," desis
Wirogundi sambil mendekap mu-
lutnya.
"Cepatlah kau tolong aku.
Manusia biadab itu
belum mati!"
Wirogundi mengalihkan
pandangannya. Lima
tombak dari hadapannya tubuh
Pantang Mati tampak
bergerak-gerak, walaupun tanpa
kepala!
"Setan...," gumam
Wirogundi.
"Bukan. Dia manusia biasa
yang berilmu san-
gat tinggi!"
Serta-merta Wirogundi
membungkukkan tu-
buhnya untuk melepas serat-serat
putih yang membe-
lenggu tubuh Yaniswara. Namun,
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti itu
terkejut. Telapak tan-
gannya yang menempel pada
serat-serat putih tidak
bisa ditarik. Lengket!
Sementara badan Kebo Ireng telah
berdiri te-
gak, lalu kakinya menggedruk
tanah. Kepala yang ter-
geletak jauh dari sisinya
tiba-tiba melayang dan jatuh
tepat pada leher Pantang Mati!
Terlihat suatu pemandangan yang
cukup
menggidikkan. Kepala yang telah
menyatu dengan tu-
buhnya itu ternyata telah rusak!
Tulang dahinya bo-
long, mengeluarkan darah
bercampur cairan kental
keputihan yang meleleh-leleh
melumuri seluruh wajah.
Sambil menggeram laksana harimau
marah,
Kebo Ireng meraba-raba bagian
tubuhnya yang rusak.
Mendadak, suatu keanehan
terjadi. Tulang dahinya ra-
ta kembali. Kulitnya yang semula
sobek menangkup
kembali seperti sediakala, tanpa
bekas luka sedikit
pun. Hanya, darah dan cairan
kental keputihan masih
melumuri wajahnya.
Yaniswara meronta-ronta. Telapak
tangan Wi-
rogundi yang belum lepas dari
serat-serat putih ikut
terbawa rontaan Yaniswara. Tubuh
Wirogundi pun ter-
sentak-sentak.
"Tenanglah! Jangan meronta
seperti ini!" kata
Wirogundi.
"Aduh! Aku sangat
takut!" Yaniswara takut bu-
kan main. Ketakutan terpancar
jelas di matanya.
"Tenanglah! Kau jangan
meronta terus!"
Mendengar ucapan Wirogundi yang
cukup ke-
ras, Yaniswara terdiam. Tapi
sinar matanya tetap nya-
lang melihat Pantang Mati yang
bergerak mendekati.
Wirogundi yang juga dalam
perasaan ngeri se-
gera bangkit membopong tubuh
Yaniswara. Tak ada
cara lain untuk melepaskan diri
dari jeratan serat-
serat putih.
"Ha-ha-ha...!" Pantang
Mati tertawa bergelak.
"Rupanya ada kelinci liar
yang mengganggu keasyikan
ku. Namun, hasrat hatiku semakin berkobar. Ha-ha-
ha...."
Melihat Pantang Mati tertawa
bergelak dengan
mata menyipit, Wirogundi segera
menghemposkan tu-
buhnya. Kecepatan gerak
Wirogundi sangat sulit diiku-
ti pandangan mata.
Saat Kebo Ireng menghentikan
tawanya, sosok
Wirogundi dan Yaniswara telah
lenyap ditelan kegela-
pan malam. Tak ayal lagi,
Pantang Mati menggeram-
geram bagai harimau lapar. Dia
mengamuk luar biasa.
Pohon-pohon besar diterjangnya
hingga tumbang. Bu-
mi pun berguncang laksana
dilanda gempa saat Pan-
tang Mati menggedruk-gedrukkan
kakinya ke tanah.
***
Emoticon