PETAKA KERAJAAN AIR
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Petaka Kerajaan Air
128 hal.
1
Bukit Rawangun memang tidak
seberapa
subur. Sebagian besar daratannya
berupa bebatuan
padas. Bila dilihat dari
kejauhan puncak bukit tampak
datar. Pepohonan jarang tumbuh
di sana. Bahkan, se-
bagian besar telah meranggas.
Saat ini memang sedang
musim kemarau. Terpaan sinar
mentari terasa begitu
terik dan menyengat
Namun, dari keadaan bukit yang
tak bersa-
habat itu terkandung daya tarik
tersendiri. Sebuah ali-
ran sungai membelah lambung
bukit. Di tepi sungai
banyak didirikan kemah-kemah
yang sepertinya senga-
ja dipakai untuk jangka waktu
lama. Dalam kemah-
kemah itulah para pencari batu
mulia bertempat ting-
gal. Dasar Sungai Bukit Rawangun
memang banyak
menyimpan kekayaan alam
tersebut.
Mentari tepat di atas kepala
ketika tiga sosok
bayangan berkelebat cepat. Gerak
tubuh mereka san-
gat ringan. Sedikit pun tak
terdengar suara saat kaki
mereka menginjak permukaan
tanah. Bahkan, tiga so-
sok bayangan itu dapat melayang
puluhan tombak
jauhnya bagai lesatan burung
walet.
Sesampai di puncak bukit, di
muka mulut se-
buah gua yang tidak seberapa
lebar, tiga sosok bayan-
gan itu berhenti. Tampaklah kini
rupa mereka sesung-
guhnya. Ternyata, gadis-gadis
cantik yang semuanya
berpakaian ungu. Selendang
sutera merah membelit
pinggang ramping mereka.
Ujung-ujung selendang di-
hiasi rumbai-rumbai jalinan
benang keemasan.
Anting yang mereka kenakan
tampak berki-
lauan saat sinar mentari
menerpa. Bentuknya lingka-
ran kecil, ada pernik intan pada
bagian bawahnya.
Usia ketiga gadis cantik itu
belum genap dua puluh
tahun.
Melihat penampilan mereka, dapat
dipastikan
ketiganya bukan termasuk para
pencari batu mulia
yang banyak tinggal di sekitar
aliran sungai. Siapa me-
reka? Yang rambutnya diikat
dengan pita kuning ber-
nama Ajeng Menur, dan yang
berpita putih Andan Sari,
sedangkan yang berpita hijau
adalah Ari Sambita. Ke-
tiganya merupakan anak angkat
Wiranti, Ketua Partai
Iblis Ungu yang telah mati di
tangan Suropati atau
Pengemis Binal. Pendekar muda
itu dibantu oleh Kipas
Sakti dan Yaniswara.
Seperti pernah diceritakan
sebelumnya pada
serial Pengemis Binal episode
"Tabir Air Sakti", Wiranti
bersama belasan anggota
partainya datang dari Kera-
jaan Saloka Medang ke wilayah
Kerajaan Anggarapura.
Mereka hendak merebut barang
kepunyaan seorang
Brahmana yang bernama Tuhisa
Brama yang diti-
tipkan pada Ekspedisi Kencana
Mega. Barang titipan
itu adalah sebotol kecil Air Sakti. Usaha Wiranti dan
anak buahnya menemui kegagalan,
walau mereka ber-
hasil membunuh Tuhisa Brama dan
Lodra Sawala,
ayah Yaniswara yang merupakan
pemilik Ekspedisi
Kencana Mega.
Kini kedatangan Ajeng Menur,
Andan Sari,
dan Ari Sambita ke puncak Bukit
Rawangun berke-
naan dengan kematian orangtua
angkat mereka.
"Menur, apakah keterangan
yang kau dapat,
bisa dipercaya?" tanya
Andan Sari.
"Pertanyaanmu seperti
menyembunyikan se-
suatu," jawab Ajeng Menur
sambil menatap tajam wa-
jah Andan Sari.
"Apa maksudmu?"
"Kau menyangsikan
kemampuanku."
"Tidak." Andan Sari
menggelengkan kepa-
lanya.
"Kalau memang kata itu
keluar dari lubuk ha-
timu, seharusnya kau turut yakin
orang yang kita cari
berada di sini. Tak perlu kau
menanyakannya!"
Andan Sari tak menimpali
perkataan Ajeng
Menur. Dia cuma mendengus. Dan,
dengusan itu diar-
tikan lain oleh Ajeng Menur.
Matanya mendelik karena
merasa tersinggung.
"Menyesal aku mengajakmu
kemari, Sari. Se-
karang baru aku tahu kakimu
ternyata sangat berat
diajak melangkah dan tenagamu
pun mahal har-
ganya...."
"Menur!" Ari Sambita
menegur.
"Apa? Kau juga menyangsikan
kemampua-
nku?" kemarahan Ajeng Menur
beralih.
"Ah, kau terlalu gampang naik
darah, Menur.
Sebetulnya maksud Andan Sari
baik...."
"Kau bilang baik?"
sela Ajeng Menur dengan
suara ketus.
"Sudah beberapa kali dia
menanyakannya.
Dan, telah kukatakan kalau murid
Kipas Sakti berada
di dalam gua itu. Apakah aku
harus menyeretnya dulu
keluar baru kalian
percaya?"
"Jangan membesar-besarkan
masalah sepele,
Menur"
"Masalah sepele apa?"
bentak Ajeng Menur.
"Huh... Dasar keras
kepala."
Mendengar ucapan Ari Sambita
yang bernada
mencemooh, Ajeng Menur tercekat
"Rupanya kau ber-
sekongkol dengan Andan
Sari" kata gadis itu seraya
menuding wajah Ari Sambita.
"Kunyuk Dekil. Rupanya kau
senang menan-
tang perkara"
Selesai berkata demikian, Ari
Sambita mengi-
baskan telapak tangan kanannya.
Ia hendak menu-
runkan telunjuk jari Ajeng Menur
yang menuding.
Wusss...!
Serangkum angin pukulan berhawa
panas
menerpa. Ajeng Menur melompat ke
belakang. Cepat
dia menyerampang kaki Ari
Sambita. Tapi, gadis itu te-
lah menduga akan datangnya
serangan. Dia meloncat
lalu menampar wajah Ajeng Menur.
Sayang, gadis itu
berhasil menghindar.
Telapak tangan Ari Sambita hanya
mengenai
tempat kosong. Melihat keadaan
yang mulai memanas,
buru-buru Andan Sari menengahi.
Tubuhnya berkele-
bat menangkis lengan Ari Sambita
yang hendak me-
mukul dada Ajeng Menur.
"Tahan!"
"Minggir kau, Sari!"
geram Ari Sambita.
"Kalau kalian terus
menuruti hati panas, ma-
na bisa kita menunaikan
kewajiban?!"
"Kewajiban itu waktunya
tidak mendesak. Bi-
ar kuhajar dulu Ajeng Menur yang
keras kepala ini!"
"Kau juga keras kepala,
Sambita!" bentak An-
dan Sari jengkel.
"Minggir, kau!"
Ari Sambita mendorong dada Andan
Sari
hingga gadis itu
terhuyung-huyung.
"Kepala batu! Mestinya kau
tidak usah ikut
kemari. Hanya menambah persoalan
saja!" kata Andan
Sari.
"Kau pun seharusnya tidak
usah ikut!" ben-
tak Ajeng Menur.
Andan Sari menoleh. Gadis yang
juga mem-
punyai sifat keras kepala itu
merasa ucapan Ajeng Me-
nur sengaja memancing
permusuhan. Maka, tanpa ba-
sa-basi lagi dia maju selangkah.
Telapak tangan ka-
nannya melayang cepat.
Keadaan jadi semakin tak karuan.
Ajeng Me-
nur dan Andan Sari saling
serang. Kali ini mereka
sungguh-sungguh untuk segera
dapat menjatuhkan
lawan. Ari Sambita yang mencoba menengahi malah
terbawa keadaan. Akhirnya tiga gadis
cantik itu terli-
bat pertempuran seru. Tak
seorang pun dari mereka
yang menganggap salah seorang
saudaranya sebagai
teman. Mereka saling gempur
hanya untuk menuruti
kekerasan hati masing-masing.
Sifat ketiga gadis anggota
Partai Iblis Ungu itu
memang aneh. Tak mengherankan
kalau tokoh-tokoh
persilatan di Kerajaan Saloka
Medang menjuluki mere-
ka Tiga Dara Bengal. Ilmu
kepandaian mereka cukup
tinggi. Namun, tidak jelas
apakah mereka termasuk go-
longan putih atau hitam. Walau
partai mereka meru-
pakan partai sesat, namun
seringkali ketiganya bersi-
kap sebagai seorang pendekar
pembela kebenaran. Ta-
pi, yang lebih sering mereka
melakukan pembunuhan
kejam tanpa ter-lebih dahulu
memandang kesalahan
orang.
"Monyet Buduk! Pantas
seluruh anggota par-
tai tak menyetujui kau menjadi
ketua. Kelakuanmu
sangat menyebalkan, seperti
kentut busuk!" ejek Ajeng
Menur kepada Ari Sambita.
"Kau kira anggota partai
senang mengang-
katmu menjadi ketua, Babi
Jelek?!" balas Ari Sambita.
"Cih! Bisamu cuma berdandan
dan ngorok berkepan-
jangan!"
"Bangsat!"
Ajeng Menur melancarkan
tendangan ke arah
kepala Ari Sambita. Tentu saja
yang menjadi sasaran
tak mau kalah. Kedudukannya
segera digeser ke samp-
ing, lalu kedua telapak
tangannya bergantian ngebut!
"Kubakar kau
hidup-hidup...!" teriak Ari
Sambita.
"Kuremukkan kepalamu
dulu!"
Serangkaian angin pukulan yang
memancar-
kan cahaya kekuning-kuningan
meluncur saling susul.
Namun Ajeng Menur telah
menghempaskan tubuhnya
ke atas. Kemudian, dia melenting
dengan gerakan yang
sangat cepat. Kakinya bergerak
menendang kepala Ari
Sambita!
Wesss!
Serangan itu tak mengenai
sasaran. Tapi,
sambaran anginnya membuat sikap
berdiri Ari Sambi-
ta sempoyongan. Gadis itu
menggeram gusar. Pandan-
gannya lalu beralih ke arah
Andan Sari yang tertawa
bergelak.
"Apa yang kau tertawakan,
Cacing Anil?!"
"Ha ha ha.... Kau lucu,
Sambita!"
"Apanya yang
lucu?!"
"Masa' tidak
merasa?"
"Bedebah! Terima
ini...!" Ari Sambita melan-
carkan pukulan jarak jauh ke
arah Andan Sari. Se-
mentara, Ajeng Menur telah
mengawali serangannya
lagi. Suasana siang di puncak
Bukit Rawangun jadi hi-
rup-pikuk kembali. Terdengar
suara teriakan-teriakan
kemarahan dan ledakan pukulan
tenaga dalam yang
nyasar.
Tanpa disadari Tiga Dara Bengal
itu, seorang
pemuda tampan berwajah lembut
tengah mengikuti
pertempuran mereka dengan sinar
matanya yang ta-
jam. Pakaian yang dikenakan
pemuda itu dari bahan
sederhana berwarna putih kuning,
kelihatan ringkas
membungkus tubuhnya yang kekar.
Dia berdiri di bibir
gua yang di depannya terdapat
sebongkah batu besar
setinggi manusia dewasa. Lewat
sisi batu besar itulah
pemuda berwajah lembut
memperhatikan jalannya
pertempuran.
Beberapa kali si pemuda
terdengar menarik
napas panjang. Sepertinya dia
menyesali tindakan ke-
tiga gadis cantik itu. Namun
karena mereka memper-
tontonkan gerakan-gerakan silat
tingkat tinggi, si pe-
muda berdiam diri saja di
tempatnya. Dia pikir, sebuah
tontonan menarik yang tak bisa
dilewatkan begitu saja.
Pemuda berwajah lembut itu
bergegas melon-
cat ke samping tatkala selarik
cahaya kekuning-
kuningan meluncur ke
arahnya.
Blarrr!
Batu besar yang berada di depan
mulut gua
hancur berantakan.
Pecahan-pecahan batu berhambu-
ran bersama debu tebal.
"Hentikan dulu pertempuran
ini!" teriak Ajeng
Menur.
Andan Sari dan Ari Sambita
mengalihkan
pandangan. Sementara si pemuda
telah berdiri di ba-
wah pohon yang meranggas.
"Itulah murid si Kipas
Sakti!" tunjuk Ajeng
Menur.
Si pemuda terkejut jati dirinya
telah dikenali.
Padahal dia belum tahu siapa
ketiga gadis yang berdiri
angkuh tak seberapa jauh
darinya.
"Aku memang murid Kipas
Sakti," kata pe-
muda itu kemudian dengan sopan.
"Nona bertiga ini
siapa? Dan, kenapa bertempur di
puncak bukit ini?"
"Ha ha ha...!"
Tiga Dara Bengal tertawa
bergelak. Mereka
saling berpandangan, lalu
tertawa semakin keras.
"Kau lihat sendiri
sekarang, Sari. Bukankah
benar yang kukatakan. Murid
Kipas Sakti berada di
dalam gua itu. Kalau kalian
setuju, kita cincang dia
sekarang juga!"
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Ari Sambita.
"Sayang kalau dia harus
mati cepat-cepat."
"Kenapa?"
Ari Sambita tak menjawab. Dia
hanya terse-
nyum-senyum dan mengerling ke
arah Andan Sari.
"Benar kata Sambita. Murid
Kipas Sakti itu
jangan dibunuh dulu. Bukankah
dia.... Ha ha ha...!"
Tawa Andan San segera ditimpali
Ari Sambita
dengan gelak tawa pula. Ajeng
Menur hanya menden-
gus seraya menatap tajam wajah
kedua saudaranya.
"Dasar mata ikan!"
kata gadis itu.
"Apa kau sudah berubah jadi
laki-laki, heh?!"
sahut Ari Sambita. "Atau,
kau sudah tak bisa lagi me-
nilai ketampanan seorang lelaki?
Barangkali juga kau
sok alim?"
"Tutup mulutmu! Kematian
Ibunda Wiranti
harus kita balaskan secepat
mungkin, biar anggota
partai bisa cepat menentukan
siapa di antara kita yang
pantas menjadi ketua...."
"Bodoh!" cela Andan
Sari. "Sambil membalas
dendam, kita dapat mengambil
kesempatan untuk..."
"Untuk apa?
Bersenang-senang dulu menuru-
ti nafsu kalian? Dasar perempuan
murahan!"
Mendengar cacian Ajeng Menur,
Ari Sambita
dan Andan Sari tidak tampak
marah. Mereka malah
tertawa senang. Sewaktu Ajeng
Menur menggeram
dengan mata mendelik, si pemuda
maju selangkah.
"Nona bertiga belum memperkenalkan
diri.
Tapi, sepertinya Nona bertiga
ini mempunyai urusan
denganku. Urusan apa itu? Aku
merasa belum pernah
berjumpa dengan kalian...."
"Ketahuilah, kami adalah
Tiga Dara Bengal.
Kami anak-anak angkat Ketua
Partai Iblis Ungu yang
telah dibunuh Suropati, yang
dibantu oleh gurumu
dan Yaniswara!" sahut Andan
Sari setelah menghenti-
kan tawanya.
"Urusannya denganku?"
tanya si pemuda te-
tap tak mengerti.
"Goblok! Tentu saja kami
hendak membalas
dendam! Kipas Sakti adalah musuh
Partai Iblis Ungu.
Dan, kau sebagai muridnya harus
ikut menanggung
akibatnya!"
"Ibu kalian mati karena
perbuatannya yang
jahat. Aku menyayangkan bila
kalian mengikuti jejak-
nya."
"Hei, Pendekar Kipas
Terbang! Memang tak
baik di antara kita membuat
permusuhan. Oleh sebab
itu, mendekatlah kemari. Jabat
tanganku erat-erat..."
"Ya, memang tak baik kita
membuat permu-
suhan. Kita bersahabat
saja," timpal Ari Sambita sam-
bil mendahului langkah Andan
Sari yang mendekati si
pemuda.
Ari Sambita mengulurkan tangan
dengan se-
nyum ramah di bibirnya yang
merekah. Si pemuda
berdiri terpaku. Tak tahu apa
yang harus diperbuat-
nya.
Mendadak, Ari Sambita membuat
gerakan
sangat cepat. Kaki kirinya
bergerak menendang. Meli-
hat serangan mendadak itu, si
pemuda buru-buru me-
langkah ke belakang dua tindak.
Tapi, justru itu yang
diharapkan Ari Sambita. Dengan
satu jejakan kecil di
tanah tubuhnya melayang dan
mendarat di belakang si
pemuda seraya menghantam
tengkuknya.
Dukkk!
Pemuda berwajah lembut masih
sempat me-
nangkis. Namun, tiba-tiba
tubuhnya limbung lalu ja-
tuh terjengkang. Rupanya Ari
Sambita dapat mengait
kaki kanannya dengan
mempergunakan telapak kaki
kiri. Gerak tipu gadis itu
sangat lihai. Belum sempat si
pemuda bangkit berdiri, Ari
Sambita telah menerkam-
nya!
"Ap... apa yang
kau...."
Perkataan pemuda berwajah lembut
tak ber-
lanjut. Bibirnya telah dilumat
penuh nafsu oleh Ari
Sambita. Tapi tanpa diduga gadis
itu, Andan Sari me-
renggut rambutnya lalu
disentakkan dengan keras.
Tubuh Ari Sambita terangkat dan
jatuh ber-
gulingan sejauh lima tombak.
Ketika bangkit berdiri
dia langsung menerjang Andan
Sari.
"Keparat! Kubunuh
kau!"
"Kaulah yang harus
kubunuh!" balas Andan
Sari sambil berkelit dari
jotosan Ari Sambita yang ter-
tuju ke dada.
Sementara pemuda yang bernama
Raka Ma-
ruta atau Pendekar Kipas Terbang
telah meloncat
bangkit. Tapi, serangkaian angin
pukulan bergemuruh
menghunjam deras ke arahnya!
Blarrr...!
Permukaan tanah di mana Raka
Maruta ber-
diri memuncratkan debu bercampur
bebatuan yang
mengaburkan pandangan. Ketika
keadaan kembali se-
perti semula, di puncak bukit
tercipta kubangan da-
lam. Permukaan tanah di
pinggirnya tampak me-
rengkah.
Raka Maruta yang baru saja
terhindar dari
maut berdiri linglung.
Sementara, Ajeng Menur yang
gagal dengan pukulan jarak
jauhnya mengeluarkan
lengkingan tinggi sebelum
menerjang!
"Bersabarlah, Nona! Kenapa
kau bernafsu
membunuh?" kata Raka Maruta
sambil menghindari
tendangan di dadanya.
Tak ada kata-kata yang menimpali
ucapan
pemuda berwajah lembut itu.
Ajeng Menur meloloskan
selendang merahnya. Kedua ujung
selendang pun me-
liuk-liuk cepat laksana dua
kepala ular.
Melihat selendang lembut itu
berubah menja-
di senjata ampuh, Raka Maruta
teringat pada senjata
andalan para anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera
Merah. Hanya bila selendang
anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah bergerak
ganas untuk segera
menjatuhkan lawan, selendang di
tangan Ajeng Menur
memperlihatkan gerakan-gerakan
indah. Tapi, justru
dari gerakan-gerakan indah
itulah kehebatan jurus
yang sedang diperagakan Ajeng
Menur dirasakan oleh
Raka Maruta.
Beberapa lama Raka Maruta
terkurung kele-
batan cahaya merah yang timbul
dari gerakan selen-
dang Ajeng Menur. Namun, Raka
Maruta bukanlah
seorang pendekar kemarin sore.
Dia dapat me-layani
serangan Ajeng Menur hingga beberapa jurus dengan
tanpa melakukan perlawanan yang
berarti.
"Bangsat!" umpat Ajeng
Menur merasa dire-
mehkan. "Balas seranganku.
Biar kau tak menyesal
nanti!"
"Aku tidak mempunyai urusan
denganmu,
Nona. Kenapa aku harus
menyerangmu?"
"Goblok! Kipas Sakti adalah
musuh besar Par-
tai Iblis Ungu. Sebelum aku
membunuhnya, aku akan
membunuhmu terlebih dahulu.
Dengan demikian tua
bangka itu pasti memperlihatkan
batang hidungnya!"
Selesai berucap, Ajeng Menur
melontarkan ja-
rum-jarum beracun ke arah Raka
Maruta. Pemuda
berwajah lembut itu tak terlihat
bergerak menghindar.
Namun, tanpa diduga Ajeng Menur
tahu-tahu puluhan
jarum beracun yang
dilontarkannya rontok di tanah.
"Aku tidak ingin bertempur
denganmu, No-
na...," kata Raka Maruta
yang telah memegang sebuah
kipas baja putih. Kibasan
senjata itulah yang meron-
tokkan senjata rahasia Ajeng
Menur.
"Terserah kau bila tak mau
membalas seran-
ganku. Tapi aku akan tetap
membunuhmu!"
Selendang Ajeng Menur meliuk ke
atas. Lalu,
ujungnya yang terdapat
rumbai-rumbai meluncur de-
ras ke batok kepala Raka Maruta!
"Maaf..," kata
Pendekar Kipas Terbang seraya
mengibaskan senjata andalannya.
Selarik sinar perak
melengkung semakin besar,
kemudian meluruk ke
arah selendang.
Sraattt!
Ajeng Menur menjerit gusar.
Selendangnya
terpental dan koyak pada bagian
ujung. Tahulah gadis
itu kalau kepandaian Raka Maruta
beberapa tingkat di
atasnya.
"Perempuan-perempuan
edan!" umpat Ajeng
Menur ketika melihat Ari Sambita
dan Andan Sari ma-
sih bertempur mempertahankan
kekerasan kepalanya
masing-masing. "Lawanmu
bukan saudara sendiri,
Goblok! Tapi murid Kipas Sakti
itu!"
Rupanya, ketika Ajeng Menur
bertempur me-
lawan Raka Maruta, Ari Sambita
dan Andan Sari pun
terlibat pertempuran sengit.
Mereka memperebutkan
seorang pemuda. Ari Sambita
menerjang Andan Sari
yang hendak merebut Raka Maruta
dari tangannya.
Ari Sambita dan Andan Sari
langsung meng-
hentikan gempurannya. Kaget juga
mereka disadarkan
dengan cara seperti itu. Setelah
memandang wajah
Ajeng Menur yang pucat, mereka
bergegas menerjang
Raka Maruta.
"Kulumpuhkan dulu tangan
dan kakimu baru
kita bermesra-mesraan,
Tampan...!" kata Ari Sambita
seraya melancarkan totokan.
"Jangan pedulikan
ocehannya. Kau harus jadi
kekasihku dulu sebelum ajal
menjemputmu!" sahut
Andan Sari yang telah meloloskan
selendang dari ping-
gangnya. Selendang itu meliuk untuk
menjerat tubuh
Raka Maruta.
Menepis dua serangan yang
bersamaan terse-
but, Pendekar Kipas Terbang
meloncat tinggi. Sayang,
selendang Ajeng Menur memapaknya
dari atas untuk
menghancurkan batok kepala!
2
Saat sampai di lereng Bukit
Rawangun, suhu
tubuh Suropati yang berada dalam
pondongan Kakek
Wajah Merah meninggi. Kaki dan
tangannya pun men-
gejang.
"Aduh, Kek...!" keluh
Suropati. "Turunkan
aku."
"Sebentar lagi kita akan
sampai."
"Aku tak tahan. Aku mau
muntah...."
Buru-buru Kakek Wajah Merah
menurunkan
tubuh Suropati. Begitu menyentuh
tanah, remaja ko-
nyol itu berjongkok dengan
punggung melengkung ke
bawah.
"Uookkk...!"
Cairan kental putih berbusa-busa
keluar dari
mulut Suropati. Cukup lama dia
menguras isi perut-
nya. Ketika keringat sudah
membanjir, Suropati mera-
sakan tubuhnya sangat ringan dan
pandangannya
berputar-putar. Kemudian, dia
mengeluarkan keluhan
pendek dan jatuh pingsan!
"Astaga!" pekik Kakek
Wajah Merah. Tidak
disangkanya racun yang terdapat
pada Puyer Perang-
sang masih bersemayam dalam
tubuh Pengemis Binal.
Dengan cekatan Kakek Wajah Merah
menotok
beberapa aliran darah di bawah
pusar Suropati, seperti
yang dilakukannya saat berada di
atas geladak Kapal
Rajawali. Setelah lambung Suropati
terisi beberapa bu-
tir pil yang dimasukkan kakek
itu dengan dorongan
tenaga dalam, barulah kelompok
mata Suropati terbu-
ka.
"Bagaimana keadaanmu
sekarang, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah.
"Lebih baik, Kek...."
"Syukurlah.... Kita
lanjutkan perjalanan."
"Kepalaku masih
pusing," keluh Suropati se-
gera memegangi kepalanya.
"Nanti juga hilang.
Pengaruh Puyer Perang-
sang yang kau telan telah
hilang. Kau tak perlu khawa-
tir. Aku telah mengulang
pengobatannya terhadapmu."
Pengemis Binal menurut saja
ketika Kakek
Wajah Merah membimbingnya
berdiri. Keringat masih
mengucur deras dari sekujur
tubuh Suropati.
"Saka Purdianta
keparat!" umpat remaja ko-
nyol itu tiba-tiba, ketika
teringat kelicikan Saka Pur-
dianta yang telah meracuninya
dengan Puyer Perang-
sang.
Gigi Suropati gemeretak menahan marah.
Wajahnya yang tampan mengeras
dengan rahang
menggembung. Terlebih saat
teringat ilmu kepan-
daiannya yang telah musnah
akibat Jarum Hitam Saka
Purdianta yang bersarang di pelipis
kanannya.
"Lupakan dulu perihal Saka
Purdianta, Su-
ro...," bujuk Kakek Wajah
Merah dengan suara lembut.
"Anggraini Sulistya
memintaku dengan sangat untuk
mempertemukan kau dengannya.
Karena itu, kita ha-
rus ke puncak bukit secepatnya.
Kasihan Anggraini
Sulistya."
Suropati menatap wajah tabib
pandai yang
berdiri di hadapannya.
"Jadi, putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu masih
hidup. Bukankah... bu-
kankah dia...."
"Benar, Suro. Anggraini
Sulistya juga terpen-
garuh racun Jarum Mati Sekejap.
Saka Purdianta pula
yang membuat ulah. Tapi, kau tak
perlu terlalu khawa-
tir. Anggraini Sulistya dapat
bertahan dari kematian
karena Raka Maruta telah
menolongnya."
"Dengan menghilangkan racun
itu?" duga Su-
ropati....
"Tidak. Hanya memperlemah
daya kerjanya.
Darah Raka Maruta yang telah
bercampur Air Sakti
dapat memperpanjang usia
Anggraini Sulistya," berita-
hu Kakek Wajah Merah.
"Benarkah demikian?"
"Kau akan melihat sendiri
keadaannya sete-
lah kita sampai di puncak
bukit."
Seperti tak sabaran, Wajah Merah
lalu me-
rengkuh pinggang Suropati.
Diangkatnya tubuh remaja
konyol itu untuk dibawa berlari
cepat dengan mengan-
dalkan ilmu meringankan tubuh.
***
Sementara itu, pertempuran Raka
Maruta
dengan Tiga Dara Bengal di
puncak Bukit Rawangun
masih berlangsung sengit Tiga
Dara Bengal telah
mengganti selendang mautnya
dengan seutas tali yang
pada bagian ujung terdapat
sebilah besi runcing.
Gerakan Andan Sari, Ari Sambita,
dan Ajeng
Menur tampak aneh. Tubuh ketiga
gadis cantik itu
bergerak sempoyongan. Bahkan,
sesekali seperti hen-
dak jatuh ke tanah. Namun ketika
tiga utas tali yang
mereka pegang saling bertautan
di udara, Pendekar
Kipas Terbang jadi kebingungan.
Bilah-bilah besi runc-
ing yang terdapat pada ujung
tali meluncur cepat su-
sul-menyusul. Walau jumlahnya
cuma tiga, saat ber-
luncuran sangat cepat seperti
menjadi puluhan.
Ciut juga nyali Raka Maruta
waktu bahu ka-
nannya terserempet. Meski hanya
bajunya yang koyak,
tapi pemuda berwajah lembut itu
segera tersadar. Dia
tak mungkin terus bergerak
menghindar tanpa sekali
pun membalas serangan.
'"Jurus Jala Iblis Mabuk'
akan membuatmu
terlena dalam pelukanku,
Tampan...," kata Ari Sambi-
ta.
"Tidak. Aku yang akan memilikinya
terlebih
dahulu!" sahut Andan Sari.
Mendengar ucapan dua saudaranya
itu, hati
Ajeng Menur jadi panas. Walau
bukan gadis baik-baik,
tapi dia masih mempunyai rasa
malu untuk memperli-
hatkan nafsunya. Maka ketika
melihat serangan 'Jala
Iblis Mabuk' mulai mengendor,
Ajeng Menur segera
memperingatkan kedua
saudaranya.
"Jangan bodoh! Lawan kita
belum roboh. Ke-
napa kalian mau
memperebutkannya?!"
"Aku tidak bodoh,
Menur!" sahut Ari Sambita.
"Sebentar lagi si tampan
itu akan rebah. He he he..."
"Dia milikku!" pekik
Andan Sari marah.
"Perempuan Liar!"
tukas Ajeng Menur. "Pu-
satkan tenaga kalian untuk
menyudahi murid Kipas
Sakti itu. Setelah itu, terserah
kalian dia akan kita
apakan..."
Ari Sambita dan Andan Sari
mendengus ber-
samaan. Kemudian, tubuh mereka
melenting. Dua bi-
lah besi runcing meluncur deras
ke arah Raka Maruta!
Pendekar Kipas Terbang
mengibaskan senjata
andalannya. Sinar keperakan yang
meluncur dalam
bentuk melengkung hanya dapat menggetarkan tali
senjata Ari Sambita dan Andan
Sari. Dua bilah besi
runcing tetap berkelebat untuk
segera menyate tubuh
Raka Maruta!
"Uts...!"
Terpaksa Pendekar Kipas Terbang
menjatuh-
kan diri ke tanah, lalu melepas
kipas baja putih di tan-
gannya!
Jerit ngeri keluar dari mulut
Ari Sambita dan
Andan Sari. Kipas Raka Maruta
berkelebatan mengu-
rung tubuh mereka. Kalau saja
Ajeng Menur tidak
memberikan bantuan, dapat
dipastikan kedua gadis
itu akan berdiri dalam keadaan
telanjang karena sam-
baran kipas Raka Maruta.
Senjata yang terbuat dari
lempengan baja pu-
tih itu dapat bergerak
sedemikian rupa lewat pengen-
dalian jarak jauh. Karena
Pendekar Kipas Terbang tak
mau membuat lawan terluka, dia
hanya mengoyak-
ngoyak bajunya. Kini jerit ngeri
bercampur marah ke-
luar juga dari mulut Ajeng
Menur. Baju yang dikena-
kan gadis itu mulai koyak-koyak
pula. Itulah keheba-
tan jurus andalan Pendekar Kipas
Terbang yang ber-
nama 'Kipas Terbang Membelah
Angin'!
Sewaktu Tiga Dara Bengal tengah
kerepotan,
tiba-tiba saja muncul sesosok
bayangan yang langsung
menyerang Raka Maruta.
Dhes...!
"Argh...!"
Punggung kiri Pendekar Kipas
Terbang ter-
hantam pukulan dengan telak.
Akibatnya, pemuda
berwajah lembut itu jatuh
tertelungkup.
Tatkala dia bangkit, darah segar
perlahan-
lahan merembes dari sudut
bibirnya. Sambil mengu-
sap noda darah dengan ujung
lengan baju, Raka Maru-
ta mengedarkan pandangan.
Sedikit lega hatinya meli-
hat kipas baja putihnya berada
tak jauh darinya, terge-
letak di bawah pohon dalam
keadaan menancap di ta-
nah.
Sewaktu Raka Maruta memungut
senjata an-
dalannya, Tiga Dara Bengal
tertawa senang mendapati
kehadiran seorang lelaki tua
berusia sekitar enam pu-
luh tahun. Kakek itu mengenakan
pakaian merah
mencolok. Ada selendang membelit pinggangnya. Tu-
buhnya tinggi ramping dan
berkulit putih. Rambutnya
yang telah berwarna dua diikat
sehelai sutera kuning.
Dia berdiri sambil
tersenyum-senyum. Matanya mena-
tap nakal ke arah Raka Maruta.
Dan saat dia mengu-
sap peluh yang bergulir di
dahinya dengan sapu tan-
gan, gerakannya tampak sangat
genit dan seperti di-
buat-buat.
"Pergilah kalian dari
sini...," kata kakek itu
kemudian. Perkataannya ditujukan
pada Tiga Dara
Bengal.
Gadis-gadis yang sudah mengenal
siapa si
kakek, tampak merengut. Terutama
Ari Sambita dan
Andan Sari. Kakek yang baru
datang ini tentu akan
merebut Raka Maruta yang sedang
mereka incar. Si
kakek itu memang mempunyai
kelainan. Nafsunya
akan timbul jika melihat pemuda
tampan.
Kakek berpakaian merah mencolok
itu adalah
sahabat Wiranti, ibu angkat Tiga
Dara Bengal. Entah
ada urusan apa hingga dia datang
jauh-jauh dari Ko-
tapraja Saloka Medang ke Bukit
Rawangun.
"Terima kasih, kau telah
menolongku. Tapi
aku tak mau pergi. Aku masih
mempunyai urusan
dengan pemuda tampan itu,"
kata Ari Sambita menco-
ba bersikap ramah.
Si kakek tertawa bergelak
menyambuti uca-
pan Ari Sambita.
"Edan... edan.... Apakah
kau ingin mati, heh?!
Kalau kau tidak mau pergi, aku
akan membunuhmu!
Sungguh, aku akan membunuhmu!"
"Kakek Banci!" maki
Andan Sari seraya maju
beberapa langkah. "Kau tak
bisa merebut pemuda itu
dari tanganku! Aku yang datang
ke sini terlebih dahu-
lu. Akulah yang akan
memilikinya!"
"Ha ha ha...!"
Si kakek kembali tertawa keras.
Kedua tan-
gannya tampak melambai genit dan
matanya mengerl-
ing ke arah Raka Maruta yang
sedang berdiri sambil
mengusap-usap punggungnya yang
baru saja terkena
pukulan.
"Hei, Sari...," ucap
si kakek. Ditatapnya tajam
wajah Andan Sari. "Dengan
dibantu kedua saudaramu
saja kau tidak mampu merobohkan
pemuda tampan
itu. Apalagi yang harus kau
lakukan kalau tidak segera
minggat dari tempat ini?!"
"Dasar Lelaki Genit Mata
Banci!" pekik Andan
Sari menyebut gelar si kakek.
Terlihat tokoh tua itu
mengibas-ngibaskan
kedua telapak tangannya. Dan,
timbullah serangkaian
angin pukulan yang menderu-deru
bagai tiupan angin
topan.
Tiga Dara Bengal masih mencoba
bertahan
dengan mengerahkan ilmu
memperberat tubuh. Tapi,
deru angin yang timbul dari
telapak tangan Lelaki Ge-
nit Mata Banci terlalu kencang.
Tubuh Tiga Dara Ben-
gal terlontar jauh secara
bersamaan!
"Ha ha ha...! Kalau tidak
ingat ibu kalian ada-
lah sahabat baikku, nyawa kalian
akan melayang se-
karang juga!"
Tiga Dara Bengal tak menimpali
perkataan
Lelaki Genit Mata Banci. Mereka
sibuk mengusap-usap
bagian tubuhnya yang sakit
akibat berbenturan den-
gan permukaan tanah. Rupanya,
Lelaki Genit Mata
Banci telah melancarkan 'Pukulan
Topan Menyibak
Samudera' tadi.
Dan ketika ketiga gadis cantik
itu sudah da-
pat menguasai keadaan, mereka
mendengus. Lalu ber-
kelebat cepat meninggalkan
tempat tersebut. Terpaksa-
lah keinginan mereka untuk
membalas dendam se-
mentara waktu dikuburkan.
"Kau sangat hebat,
Tampan...," puji Lelaki
Genit Mata Banci.
"Sebaiknya kau ikut denganku. Aku
akan memperhebat
kemampuanmu."
"Aku tidak mengenalmu.
Kenapa aku harus
ikut?" sahut Pendekar Kipas
Terbang menyelidik.
Dongkol juga hati pemuda
berwajah lembut
itu karena bokongan Lelaki Genit
Mata Banci. Pukulan
yang bersarang di punggung
kirinya memang tidak
mengakibatkan luka dalam yang
berarti, tapi cukup
untuk membuat pandangannya
berkunang-kunang.
"Ayolah, Tampan.... Dengan
ikut bersamaku,
kau akan merasa bahagia setiap
saat. Aku akan men-
curahkan seluruh kasih sayangku
padamu."
Melihat Lelaki Genit Mata Banci
melangkah
mendekatinya, Raka Maruta
bergerak mundur. Apalagi
ketika kedua tangan tokoh tua
itu terkembang hendak
memeluk. Raka Maruta bergidik
jijik. Buru-buru dia
meloncat jauh saat tangan Lelaki
Genit Mata Banci
hampir menyentuh tubuhnya.
"Kenapa kau menjauh dariku,
Tampan?"
tanya Lelaki Genit Mata Banci
dengan suara mendesis.
Mata tokoh tua itu
mengerjap-ngerjap. Bibir-
nya terlihat basah karena
jilatan lidahnya sendiri.
"Sebaiknya kau pergi saja,
Pak Tua...," ucap
Pendekar Kipas Terbang. Suaranya
terdengar lembut
dan sopan.
Namun tanpa diduga pemuda
berwajah lem-
but itu, Lelaki Genit Mata Banci
berkelebat sangat ce-
pat. Serangkum angin pukulan
berhawa dingin me-
nyentuh bahu kanannya!
Raka Maruta mengeluh pendek.
Cairan da-
rahnya tiba-tiba seperti membeku
hingga tubuhnya ja-
di kaku. Tapi sebelum Lelaki
Genit Mata Banci menja-
tuhkannya, dengan susah payah
Raka Maruta melon-
cat jauh.
Begitu telapak kakinya menyentuh
tanah,
Pendekar Kipas Terbang langsung
menyalurkan hawa
murni di bahu kanan. Sekejap
kemudian, rasa kaku di
sekujur tubuhnya lenyap.
Lelaki Genit Mata Banci tertawa
keras. Lalu
mulutnya mendesis-desis tak
karuan. "Kau lebih hebat
dari yang kukira, Tampan. Itu
semakin membuat kein-
ginanku menggebu-gebu. Ha ha
ha...!"
Belum terhenti tawa Lelaki Genit
Mata Banci,
secepat kilat jemari tangannya
bergerak melontarkan
totokan jarak jauh!
"Aku tak mempunyai urusan
denganmu, Pak
Tua!" bentak Raka Maruta
sambil berkelit. "Tapi bila
terpaksa, aku juga bisa bersikap
keras kepadamu!"
Belum juga hilang gema ucapan
pemuda ber-
wajah lembut itu, selarik sinar
putih bening meluncur
cepat dan membentur pangkal
lengan kanannya.
"Uh...!"
Keluhan Pendekar Kipas Terbang
membarengi
tubuhnya yang mendadak gontai.
Tangan kanannya
tak dapat digerakkan lagi.
Sebelum sesuatu yang tak
diinginkannya terjadi, Raka
Maruta bergegas memper-
gunakan tangan kirinya untuk
membebaskan totokan
jarak jauh Lelaki Genit Mata
Banci. Tapi....
Wuuuttt...!
Selarik sinar putih bening
meluncur lurus.
Dan, bersarang tepat di pangkal
lengan kiri Raka Ma-
ruta. Akibatnya, usaha untuk
membebaskan totokan
di lengan kanannya tak menemui
hasil. Malah tangan
kirinya ikut mengejang kaku.
"Ha ha ha...! Sekarang kau
tahu kehebatan-
ku, Tampan. Tidakkah kau
berkeinginan untuk men-
jadi muridku? Sekaligus
menjadi... kekasihku. Ha ha
ha...!"
"Orang Edan! Aku laki-laki,
kau pun laki-laki!
Jangan bicara ngawur!" Raka
Maruta menggeram ma-
rah.
Pemuda itu lalu menghimpun hawa
murni.
Ketika hawa panas terasa
berputar-putar di sekitar
pusarnya, segera ditariknya
napas panjang dan dis-
alurkannya hawa murni ke tubuh
bagian atas. Namun,
hawa panas yang merambat
berbalik seperti memben-
tur sesuatu. Pendekar Kipas
Terbang terperangah. Ta-
hulah dia, totokan Lelaki Genit
Mata Banci bukan to-
tokan sembarangan yang dapat
dibebaskan hanya
dengan penyaluran hawa murni.
Saat Lelaki Genit Mata Banci
melangkah den-
gan kedua tangan mengembang
hendak memeluk, Ra-
ka Maruta meloncat ke belakang.
Perasaan ngeri ter-
gambar jelas di matanya. Dia tak
bisa mengeluarkan
kipas baja putihnya dari balik
baju. Lalu, dengan apa
sekarang dia mempertahankan
diri?
Belum sempat Pendekar Kipas
Terbang berpi-
kir jernih, tubuh Lelaki Genit
Mata Banci terlihat me-
layang dan bergerak cepat
menerkamnya. Pendekar
Kipas Terbang dan Lelaki Genit
Mata Banci terjerem-
bab ke tanah.
***
Di dalam gua Anggraini Sulistya
terbujur le-
mah di atas lempengan batu
besar. Pakaian yang dike-
nakannya sangat indah,
memperlihatkan kalau dia pu-
tri seorang pembesar. Namun,
pakaian itu kini telah
penuh noda kecoklatan dari
cairan darah yang men-
gering.
Wajah putri Prabu Singgalang
Manjunjung
Langit itu pucat pasi seperti
mayat. Bibirnya membiru
dengan kelopak mata terpejam
rapat. Denyut kehidu-
pan nyaris hilang dari tubuh
Anggraini Sulistya yang
tak bergerak sedikit pun.
Tatkala suhu badan Anggraini
Sulistya mulai
meninggi, keringat mengalir dari
dahinya. Lalu, perla-
han-lahan dari sekujur tubuhnya
juga keluar butiran
keringat. Dan ketika rasa panas
di tubuhnya mencapai
puncak, terdengar suara erangan
gadis itu.
Kelopak mata Putri Cahaya Sakti
membuka
perlahan. Bibirnya bergetar
mengucapkan satu nama.
"Maruta...."
Panggilan itu tak ada yang
menyahuti. Me-
mang, hanya dia seorang yang
berada di dalam gua.
Dengan susah payah gadis itu
bangkit berdiri.
Lalu berjalan terseok-seok ke
mulut gua. Namun sebe-
lum keinginannya tercapai,
tubuhnya telah jatuh ter-
kulai. Cairan darahnya yang
bercampur racun jahat
Jarum Mati Sekejap terasa
bergolak. Panas menyeli-
muti sekujur tubuh Anggraini
Sulistya. Lewat getaran
yang hebat, racun Jarum Mati
Sekejap bangkit kembali
untuk bekerja merusakkan
jantung!
"Maruta...," panggil
Anggraini Sulistya sambil
merangkak mendekati mulut goa.
Pemandangan yang cukup
memprihatinkan
segera terlihat. Berulang kali
Anggraini Sulistya terja-
tuh. Hingga, gadis itu harus
jatuh bangun untuk dapat
mencapai mulut gua.
Berkat kuasa Tuhan-lah usaha
Anggraini Su-
listya kemudian berhasil.
Ditatapnya sebentar seba-
tang pohon meranggas yang berada
tak seberapa jauh
dari mulut gua. Di bawah pohon
itulah selama bebera-
pa pagi ini dia biasa duduk
bersandar untuk menikma-
ti pemandangan di bawah bukit.
Dengan melihat aliran
sungai jernih yang membelah
lambung bukit, hati
Anggraini Sulistya merasa
sedikit terhibur. Pikirannya
yang kacau karena memikirkan
keadaan dirinya agak
terlupakan. Namun bila bayangan
Suropati atau Pen-
gemis Binal berkelebat di depan
matanya, pikiran yang
tak mengenakkan hati itu muncul
kembali.
Maksud Anggraini Sulistya keluar
gua adalah
untuk mencari Raka Maruta.
Namun, terkejutlah hati
Anggraini Sulistya. Samar-samar
matanya melihat Ra-
ka Maruta sedang bergelut dengan
seorang kakek yang
mengenakan pakaian merah
mencolok. Tak beberapa
jauh dari pohon meranggas yang
ditatapnya
"Maruta...!" desis
Anggraini Sulistya.
Pendekar Kipas Terbang yang
sedang dicekam
perasaan ngeri dan jijik karena
Lelaki Genit Mata Ban-
ci sedang menciuminya, tersentak
kaget. Tak sengaja
matanya menatap tubuh Anggraini
Sulistya yang ter-
baring di tanah dengan kepala terdongak
memandang
ke arahnya.
"Pergi kau,
Keparat...!" umpat Pendekar Kipas
Terbang kepada Lelaki Genit Mata
Banci.
"Sebentar lagi,
Tampan...!"
Lelaki Genit Mata Banci memeluk
tubuh Raka
Maruta dengan erat. Dipagutnya
bibir pemuda berwa-
jah lembut itu. Kontan isi perut Raka Maruta terasa
diaduk-aduk. Mau muntah dia
rasanya. Masih untung
bila tadi dia diciumi Ari
Sambita yang berwajah cantik
dan berkulit halus-mulus. Tapi
bila kini Lelaki Genit
Mata Banci yang menciuminya, itu
berarti malapetaka.
"Uh..,! Lepaskan aku!"
"Tenanglah, Tampan. Kita
nikmati dulu per-
mainan ini...."
Sambil berkata demikian, tangan
Lelaki Genit
Mata Banci berusaha merenggut
lepas pakaian Pende-
kar Kipas Terbang.
"Maruta...!" jerit
Anggraini Sulistya dengan
sepenuh tenaga. Pergelangan
tangan kanannya yang
terangkat jatuh terkulai. Gadis
itu jatuh pingsan ketika
golakan darahnya tiba-tiba
menguat, hingga menyen-
takkan jantungnya.
Pendekar Kipas Terbang berusaha
keras me-
lepaskan diri dari cengkeraman
nafsu Lelaki Genit Ma-
ta Banci. Dengan menyalurkan
tenaga dalam ke kaki,
Raka Maruta menjejak tanah!
Wuuussss!
Tubuh Lelaki Genit Mata Banci
terbawa me-
layang. Tapi, tokoh tua itu
malah tertawa senang. Ke-
dua tangannya memeluk Pendekar
Kipas Terbang se-
makin erat. Hingga, saat tubuh
mereka jatuh ke tanah
Raka Maruta tetap tak dapat
melepaskan diri.
Kini, tubuh Lelaki Genit Mata
Banci dan Pen-
dekar Kipas Terbang bergulingan
menuruni bukit.
"Ehm.... Kau sangat
menggairahkan...," kata
Lelaki Genit Mata Banci
kemudian.
Perasaan ngeri dan jijik semakin
terbayang di
mata Pendekar Kipas Terbang. Dia
berusaha memeras
otak untuk dapat melepaskan diri
dari kungkungan
nafsu aneh Lelaki Genit Mata
Banci. Tapi, hanya jalan
buntu yang dia dapatkan. Otaknya
tiba-tiba berubah
dungu. Kenyataan ini membuat
Raka Maruta menjerit
ngeri.
Ketika Lelaki Genit Mata Banci
sedang mene-
lanjangi Raka Maruta, sesosok
bayangan berkelebat la-
lu mencengkeram tengkuk Lelaki
Genit Mata Banci.
Melalui sentakan yang disertai
tenaga dalam, tubuh
Lelaki Genit Mata Banci melayang
seperti dilontarkan
tangan raksasa!
Pendekar Kipas Terbang yang
telah terbebas
tampak berbinar matanya. Di
hadapannya telah berdiri
seorang kakek berpakaian kuning.
Berambut putih
riap-riapan, sebagian menutupi
wajahnya yang merah
seperti buah tomat matang.
"Tolong aku, Kek...," pinta Pendekar Kipas
Terbang.
Sosok yang baru nadir
memperhatikan seben-
tar keadaan Raka Maruta yang
masih terbaring di ta-
nah. Lalu, dengan mengurut kedua
pangkal lengan
Raka Maruta, si kakek dapat
melepaskan pengaruh to-
tokan Lelaki Genit Mata Banci.
"Kau hadapi dulu Manusia
Edan itu, Kek...,"
kata Raka Maruta. "Aku akan
menolong Anggraini Su-
listya!"
Hanya dengan dua kali loncatan
pemuda
berwajah lembut itu telah berada
di sisi tubuh
Anggraini Sulistya. Dibopongnya
tubuh gadis malang
itu me-masuki gua.
Sementara itu, dengan amarah
yang meledak-
ledak Lelaki Genit Mata Banci
menerjang si kakek.
Tendangannya meluncur deras ke
arah ulu hati!
Weeesss...!
Walau telapak kaki Lelaki Genit Mata Banci
masih sedepa dari sasaran, si
kakek telah merasakan
hawa pukulan dingin yang sanggup
membekukan cai-
ran darahnya.
"Tahan seranganmu, Manusia
Aneh!" pekik
kakek berbaju kuning seraya
berkelit. Telapak tangan-
nya dikibaskan untuk mengusir
hawa dingin yang me-
nyerbu datang.
"Kau layak dibunuh,
Keparat!" timpal Lelaki
Genit Mata Banci. Kakinya
berkelebat menyambung
serangannya yang gagal.
Kakek berbaju kuning yang tak
lain adalah
Kakek Wajah Merah bergegas
mengemposkan tubuh-
nya. Lelaki Genit Mata Banci
tercekat. Gendang telin-
ganya bergetar kencang akibat
suara bersiutan yang
muncul di atas kepalanya.
Belum sempat Lelaki Genit Mata
Banci me-
nyadari keadaan sebatang
seruling merah telah me-
mukul punggungnya!
"Argh...!"
Lelaki Genit Mata Banci jatuh
tersungkur.
Matanya mendelik lebar ketika
dia bangkit berdiri.
Namun saat mulutnya hendak
berkata-kata, napasnya
tersedak lalu batuk-batuk. Darah
segar merembes dari
sudut bibir.
"Selagi kau masih punya
kesempatan untuk
bertobat, kenapa masih menuruti
nafsu jahatmu yang
sangat aneh itu?" kata
Kakek Wajah Merah.
"Huh! Apa pedulimu?!"
"Jelas aku peduli. Pemuda
yang akan kau ja-
dikan pelampiasan nafsu busukmu
adalah muridku!"
"Ha ha ha...! Sejak kapan
kau mempunyai
seorang murid, Keparat?! Raka
Maruta adalah murid
Kipas Sakti! Apa kau merebutnya?
Ah, jangan-jangan
kau pun telah jatuh hati
padanya. Ha ha ha...!"
"Ucapanmu terlalu kotor!
Pergilah!" wajah ka-
kek berpakaian kuning menjadi
semakin membara
oleh dorongan rasa marah.
"Kaulah yang harus
pergi!"
Mendadak, Lelaki Genit Mata
Banci melon-
tarkan benda bulat berwarna
hitam ke arah Kakek Wa-
jah Merah!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar ketika
benda bu-
lat itu menyentuh tanah. Debu
mengepul tebal dan be-
batuan berhamburan, ke segala
penjuru. Bukit pun
berguncang bagai dilanda gempa.
Pada waktu gelap masih
menyelimuti pan-
dangan, Lelaki Genit Mata Banci
berkelebat melancar-
kan totokan maut! Namun walau
indera penglihatan
Kakek Wajah Merah tak dapat
melihat apa-apa, nalu-
rinya masih bekerja dengan baik.
Tubuh Kakek Wajah Merah
melenting cepat
keluar dari kurungan debu tebal.
Tapi, Lelaki Genit
Mata Banci terus mengejar.
Hingga....
"Aargh...!"
Pekik kesakitan bukan keluar
dari mulut Wa-
jah Merah, melainkan dari sosok
penyerangnya. Saat
tokoh tua berkelakuan aneh itu
meluruskan pergelan-
gan tangannya, untuk menotok
jalan darah di pung-
gung lawan, tiba-tiba saja tubuh
Kakek Wajah Merah
berbalik dan menyerampang siku
Lelaki Genit Mata
Banci.
Terlihat kini wajah Lelaki Genit
Mata Banci
yang pucat pasi. Pergelangan
tangan kanannya meng-
gantung lemah seperti tiada
bertulang lagi.
"Tunggu pembalasanku!"
geram kakek itu pe-
nuh kemarahan. Tubuh Lelaki
Genit Mata Banci lalu
berkelebat cepat meninggalkan
lawannya.
***
Setelah membuat luka kecil di
ujung jari te-
lunjuk dengan mempergunakan
kipas baja putihnya,
Pendekar Kipas Terbang menotok
beberapa aliran da-
rah di tubuh Anggraini Sulistya yang dibaringkan
di
atas lempengan batu besar.
Begitu Anggraini Sulistya
menggeliat, Raka
Maruta segera memasukkan ujung
jari telunjuknya
yang mengucurkan darah segar ke
dalam mulut gadis
itu.
Raka Maruta merasakan aliran
darahnya ber-
desir lebih cepat ketika
Anggraini Sulistya menghisap.
Namun, raut wajah Raka Maruta
menggambarkan ke-
gembiraan yang sangat. Sementara
suhu badan
Anggraini Sulistya
berangsur-angsur turun.
"Terima kasih,
Maruta...," bisik Anggraini Su-
listya setelah dirasakannya
keadaan tubuhnya mem-
baik.
"Untuk sementara racun
Jarum Mati Sekejap
tak akan mempengaruhi kerja
jantungmu lagi."
Anggraini Sulistya beringsut
untuk duduk.
Saat itulah dia melihat seorang
remaja tampan berpa-
kaian penuh tambalan sedang
duduk bersimpuh di sisi
lempengan batu. Sesaat mata
Anggraini Sulistya terbe-
liak. Bibirnya tak mampu
mengucapkan sepatah kata
pun.
"Aku Suropati,
Aini...," kata remaja tampan
itu sambil beringsut mendekati
Anggraini Sulistya.
"Suropati.... "
Dengan penuh luapan kegembiraan
Anggraini
Sulistya menghambur memeluk
Pengemis Binal. Me-
nangislah dia di dada pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu.
"Syukurlah kau selamat,
Aini...."
"Keadaanku tidak lebih baik
dari mati dalam
hidup, Suro. Cairan darahku
telah tercampur racun
ganas. Kalau aku mati, pergilah
ke Istana Kerajaan Pa-
sir Luhur. Katakan pada Prabu
Singgalang Manjujung
Langit bahwa kau adalah
putranya...."
"Tidak, Aini! Kau tak boleh
mati! Kita akan
datang ke istana berdua. Darahku
pun telah tercam-
pur racun ganas. Tapi, aku yakin
akan dapat menge-
luarkan racun itu. Maka, kau pun
harus yakin, Aini!
Kau akan selamat!"
Anggraini Sulistya menangis
semakin keras.
Air matanya menganak sungai.
Mata Suropati menjadi
pedih dan dipenuhi kabut air
mata.
"Aini...," desis
Suropati. "Apakah kau memang
kakakku? Apakah benar aku putra
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Benar, Suro. Kau memang
adikku. Kau putra
Ayahanda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit."
"Sejak bayi aku dipelihara
seorang penjual
obat. Bagaimana kau dapat
mengatakan semua itu,
Aini?" suara Suropati
terdengar begitu sangsi ketika
mengucapkannya.
Anggraini Sulistya menahan
isakan tangis-
nya. Setelah menatap wajah
Pengemis Binal dalam-
dalam, ditariknya napas panjang.
Lalu, segera diceri-
takannya perihal bayi Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit yang dibuang karena
hasutan Patih Jaya Won-
gateleng. Pendekar Kipas Terbang
turut mendengarkan
cerita itu dengan penuh
perhatian.
"Putra Ayahanda Prabu yang
dibuang mem-
punyai ciri khusus di tubuhnya.
Inang pengasuhku
yang telah menitipkan bayi itu
kepada seorang nelayan
sahabatnya mengatakan kalau sang
jabang bayi mem-
punyai toh di punggung kirinya.
Dan kau memiliki ciri
itu, Suro. Kau benar-benar
adikku.,.," Anggraini Sulis-
tya menutup ceritanya dengan
memeluk Suropati.
Kakek Wajah Merah yang telah
berada di da-
lam gua memandangnya penuh haru.
Tidak pernah
disangkanya Suropati yang
berpakaian seperti penge-
mis dan bersifat konyol itu
ternyata putra seorang raja.
"Hanya Putri Racun yang
dapat menghilang-
kan racun dalam tubuh
kalian," ujar Kakek Wajah Me-
rah kepada Suropati dan
Anggraini Sulistya.
"Ke mana kita mesti
menemuinya?" tanya Ra-
ka Maruta yang sangat
mengkhawatirkan kedua saha-
batnya itu. Terlebih terhadap
Anggraini Sulistya. Sejak
memberikan pertolongan terhadap
gadis itu di geladak
Kapal Rajawali, timbul
getar-getar aneh dalam diri Ra-
ka Maruta. Kemungkinan besar
getaran-getaran itu
adalah rasa cinta. Karena rasa
itulah, Raka Maruta
sangat mengkhawatirkan keadaan
Anggraini Sulistya.
Sampai-sampai dia rela
meminumkan darahnya kepa-
da gadis itu agar mampu bertahan
hidup. Darah Raka.
Maruta yang telah bercampur Air
Sakti dapat memper-
lemah daya kerja racun Jarum
Mati Sekejap.
"Sayang, aku tak tahu di
mana Putri Racun
berada," desah Kakek Wajah
Merah dengan wajah me-
rah.
"Untuk mencari Putri Racun,
kita dapat me-
nanyakannya pada Putri Air,"
sahut Suropati.
"Bagaimana kau tahu,
Suro?"
"Menurut penuturan Datuk
Risanwari, Putri
Racun dan Putri Air adalah
saudara seperguruan.
Hanya, keduanya mendapat ilmu
yang berbeda dari
guru mereka. Tapi...."
Raut wajah Pengemis Binal yang
semula ce-
rah berubah kusam. Bibirnya
terkatup tak mampu
meneruskan perkataannya.
"Tapi apa, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah.
"Kau tentu sudah tahu, Kek.
Usia Putri Racun
dan Putri Air telah lebih dari
seratus tahun. Datuk Ri-
sanwari pun tak yakin apakah
kedua tokoh itu masih
hidup. Namun, dalam hati kecilku
tersimpan harapan
Putri Racun mempunyai murid yang
mewarisi ilmu ke-
pandaiannya. Terhadap Putri Air
pun demikian pula.
Mudah-mudahan muridnya bisa
menunjukkan di ma-
na tempat tinggal orang yang
harus kita cari..."
"Kalau begitu, besok
pagi-pagi kita berang-
kat!" putus Kakek Wajah
Merah. Semangatnya tiba-
tiba menggelegak.
"Putri Air tinggal di
Kerajaan Air. Menurut
penuturan Datuk Risanwari, tidak
tertutup kemungki-
nan Kerajaan Air berada di dasar
Laut Selatan.... "
3
Atika tersentak dari tidurnya.
Begitu terlihat
langit-langit kamar tersiram
cahaya temaram, dia
langsung menarik selimut yang
menutupi tubuh. Gadis
itu lalu duduk di tepi
pembaringan. Ditatapnya api ke-
cil lentera yang berada di balik
tabir biru.
Cukup lama Atika tercenung
menatap api ke-
cil yang menyala tenang itu.
Lewat tabir biru sinarnya
menerobos, membuat rona-rona
kuning pada dinding
ruangan yang juga berwarna biru.
Ketika merasakan hawa dingin
malam mene-
robos masuk ruangan, Atika
membaringkan tubuhnya
kembali. Selimut pun dilebarkan
untuk memberikan
kehangatan. Lalu dicobanya untuk
memejamkan mata,
tapi tak mampu. Kegelisahan
menghantui perasaan-
nya. Berulang kali dia mendesah.
Langit-langit ruan-
gan yang ditatapnya seperti
menampilkan bayang-
bayang aneh.
"Tika...."
Atika terkejut. Terdengar sebuah
suara me-
manggil namanya. Namun, dia
segera tahu kalau
panggilan itu berasal dari
Sinta, saudara kembarnya.
"Tika...."
Suara itu terdengar lagi. Kali
ini dibarengi
dengan ketukan di daun pintu.
Buru-buru Atika be-
ranjak dari pembaringan. Saat
daun pintu telah ter-
kuak, dilihatnya wajah Sinta
yang tampak tegang.
"Ada apa, Sinta?"
tanya Atika.
Sinta tak memberikan jawaban.
Dia langsung
menerobos masuk lalu duduk di
tepi pembaringan
sambil mendekap wajahnya. Atika
yang melihat sikap
aneh saudara kembarnya bergegas
menghampiri. Ter-
lebih dulu ditutupnya daun
pintu.
"Apa yang terjadi denganmu,
Sinta?" tanya
Atika kembali.
"Aku takut sekali...,"
suara Sinta begitu geme-
tar.
"Takut? Takut apa?"
"Malapetaka akan datang.
Kerajaan Air han-
cur. Tempat ini akan digenangi
banjir darah dan se-
mua orang yang tinggal di sini
akan mati!"
"Apa? Kau mengigau,
Sinta?" kata Atika, tak
mempercayai ucapan saudara
kembarnya.
Keluhan pendek terdengar dari mulut Sinta.
Dia teringat mimpi yang baru
saja membangunkannya
dari tidur. Selagi Sinta
mendesah, Atika menepuk ba-
hunya.
"Kau baru saja bermimpi,
Sinta..,."
Sinta mendongak. Ditatapnya
wajah Atika da-
lam-dalam. "Mimpi itu
sangat aneh, Tika. Seperti be-
nar-benar terjadi. Aku dapat
merasakannya!"
"Tenangkan dulu perasaanmu,
kemudian ba-
ru kau bercerita. Mungkin
mimpimu itu seperti mimpi-
ku barusan...."
"Kau juga bermimpi?"
"Ya."
"Juga tentang malapetaka
yang menimpa Ke-
rajaan Air?"
"Sebaiknya kau yang
bercerita dulu, Sinta,"
elak Atika.
"Mimpi itu sangat
mengerikan...," Sinta mena-
rik napas panjang. Hendak
diusirnya kegalauan yang
masih menyelimuti hatinya.
"Kau mau minum dulu?"
Atika menawarkan.
Sinta meraih lengan Atika yang
hendak be-
ranjak dari pembaringan. Setelah
Atika duduk kemba-
li, Sinta berkata, "Kalau
kita mati, aku berharap terle-
bih dahulu lepas dari kungkungan
ini..."
"Sinta...."
Atika menatap wajah saudara
kembarnya.
Mutiara bening meleleh dari
sudut matanya. Sinta pun
menatap haru, lalu dipeluknya
tubuh Atika. Sesaat
kemudian kedua gadis kembar itu
menangis. Sedu-
sedannya terdengar hingga
beberapa lama.
"Tika, aku benar-benar tak
mau mati di tem-
pat ini," keluh Sinta
kemudian.
"Aku pun demikian,
Sinta...."
"Sssttt...!" Sinta
melintangkan jari telunjuk
kanannya ke bibir.
"Jangan-jangan Ratu Air menden-
gar pembicaraan kita...."
"Kau takut?"
"Siapa yang tak takut
dipanggang hidup-
hidup di atas tungku
raksasa?"
"Oh, Sinta...," gumam
Atika dengan suara
memelas. "Betapa malangnya
nasib kita."
"Kita akan selalu
bersama-sama, Tika. Hanya
maut yang dapat memisahkan
kita."
"Tapi, aku tidak mau mati
secepat ini."
"Mudah-mudahan Tuhan
melindungi kita...."
Atika dan Sinta berpelukan erat.
Sebenarnya
wajah kedua gadis kembar itu
sangat cantik. Namun
karena penderitaan yang mereka
alami selama ini, ma-
ta indah mereka tampak cekung.
Tulang pipi dan ra-
hang terlihat jelas. Tubuh
keduanya pun kurus kering.
Hanya satu keindahan yang masih
tergambar pada diri
Atika dan Sinta, yaitu rambut
mereka yang panjang
dan berwarna hitam pekat
terjuntai hingga mencapai
pinggang.
Sewaktu kedua gadis kembar itu
masih ber-
pelukan, terdengar lonceng
bergemerincing nyaring.
Suaranya menggema
berkepanjangan.
"Sudah saatnya kita
beranjak dari pembarin-
gan," kata Atika sambil
melepas pelukan.
"Sampai kapan penderitaan
ini akan berak-
hir?" desah Sinta.
"Berdoalah...."
"Apakah sampai ajal
menjemput?"
"Jangan berpikir sampai ke
situ. Yang pent-
ing, kita jalani tugas kita hari
ini," Atika berusaha me-
nenangkan saudara kembarnya.
Meskipun jauh di lu-
buk hatinya sendiri dia pun
merasa begitu risau.
***
Di sebuah dataran yang penuh
tonjolan batu
karang tampak ratusan wanita
digiring oleh teriakan-
teriakan keras yang bernada
memerintah. Para wanita
itu berjalan lesu dengan kepala
tertunduk. Tubuh me-
reka kurus kering. Pakaian yang
mereka kenakan pun
terlihat sangat memprihatinkan.
Compang-camping
dan hanya sekadar menutupi
bagian-bagian yang ter-
penting di tubuhnya.
Ditimpa pendaran cahaya mentari
fajar kun-
ing keemasan, para wanita
pekerja paksa itu berjalan
menuju sebuah kubangan yang
sangat dalam. Ketika
terdengar suara memerintah, satu
persatu mereka
memasuki kubangan. Atika dan
Sinta berada di antara
mereka.
Lima orang wanita setengah baya
berdiri di
atas julangan batu karang.
Mereka mengawasi para
pekerja paksa yang sedang
memasuki tempat kerjanya.
Lima wanita setengah baya itu
mengenakan pakaian
serba biru. Dandanannya sangat
menor. Wajah berbe-
dak tebal dengan bibir merah
basah karena olesan gin-
cu. Rambut mereka digelung ke
atas, berhias tusuk
konde emas bermata berlian. Di
tangan kanan masing-
masing sebuah cambuk panjang
sesekali meledak-
ledak menyuruh para pekerja
untuk segera memasuki
kubangan.
Ketika terlihat seorang pekerja
duduk di tepi
kubangan dengan badan menggigil,
salah seorang dari
lima wanita itu meloncat. Gerakannya
sangat ringan.
Sekejap saja dia telah berada di
dekat wanita yang se-
dang duduk menggigil.
"Kau kenapa?!" tanya
wanita setengah baya
dengan bentakan keras.
"Saya sakit...," jawab
si pekerja ketakutan.
"Sakit apa?"
"Tidak tahu. Tapi, badan saya sangat panas
dan tidak bertenaga..."
"Ehm... Tidak bertenaga.
Benar demikian?"
"Benar," pekerja itu
menganggukkan kepa-
lanya kuat-kuat.
Mendadak, cambuk di tangan
wanita seten-
gah baya melecut dan menerpa
punggung wanita pe-
kerja. Dibarengi suara jerit
kesakitan tubuh wanita
naas itu terlontar tinggi. Lalu,
masuk ke mulut tungku
raksasa yang berada sekitar tiga
puluh tombak dari
kubangan. Walau tak ada lidah
api terlihat di dalam
tungku raksasa itu, tapi jangan
dikira tak dapat me-
renggut nyawa. Di dasar tungku
terdapat lubang sebe-
sar cawan. Dari lubang itulah
menyembur uap panas
yang berasal dari tenaga panas
bumi. Hingga, begitu
tubuh si wanita naas masuk ke
dalam tungku, wujud-
nya langsung berubah jadi arang.
Kemudian sirna
menjadi abu yang diterbangkan
angin!
"Kejam...!" desis
Atika dan Sinta bersamaan.
Kedua gadis kembar itu berdiri
di sisi kubangan.
Wanita setengah baya berpakaian
biru meno-
leh. "Apa yang kalian
katakan?!" sentaknya marah.
"Perbuatanmu sangat
kejam...," kata Atika
perlahan.
Terdengar dengusan geram
pengawas para
pekerja. Sekali dia mengerakkan
tangan kanan, dua
ledakan terdengar keras.
Cambuknya meluncur dan
menimpa pinggang Atika!
"Argh...!"
Hanya keluhan pendek yang keluar
dari mu-
lut Atika. Tubuh gadis itu masih
tetap berdiri tegak di
tempatnya.
"Bangsat! Punya kepandaian
juga kau ru-
panya!" wanita setengah
baya menggeram.
Empat ledakan terdengar
berturut-turut.
Cambuk di tangan pengawas para
pekerja itu melun-
cur lebih ganas. Tapi Sinta
telah memeluk tubuh sau-
dara kembarnya. Akibatnya, Sinta
yang jadi korban.
Gadis itu menahan jeritannya,
walau dia merasa tu-
buhnya bagai disiram air
mendidih yang panas luar bi-
asa. Dan ketika si pengawas
berulang kali mencambu-
ki Sinta dan Atika, tubuh kedua
gadis kembar itu tetap
berdiri tegak di tempatnya.
Tampaknya mereka memi-
liki tenaga dalam yang cukup
bisa diandalkan. Itulah
yang membuat tubuh mereka tidak
terlontar masuk ke
mulut tungku raksasa.
"Hentikan, Kica!"
Tiba-tiba terdengar suara
bentakan yang me-
lengking tinggi. Di tempat itu
telah hadir seorang ne-
nek tua renta. Menilik keadaan
tubuhnya, usia seratus
lima puluh tahun sangat tepat
untuknya. Nenek itu
juga berpakaian serba biru.
Wajahnya terlihat sangat
mengerikan. Kedua
matanya cekung sekali, sehingga
bola matanya ham-
pir-hampir tak terlihat. Pipinya
penuh gurat-gurat ke-
riput. Sementara sudut bibir
sebelah kiri tertarik ke
bawah.
Di belakang nenek bertampang
mengerikan
itu, empat orang pengawas wanita
berdiri angkuh den-
gan cambuk di tangan.
Wanita yang dipanggil Kica
buru-buru mem-
bungkukkan badan ke arah nenek
berwajah seram.
"Dua gadis ini hendak
membangkang, Ratu...," lapor-
nya penuh hormat.
"Membangkang? Ehm.... Aku
tidak melihat
mereka membangkang, Kica.
Biarkan mereka masuk
ke tempat kerjanya. Tenaga
mereka kuat. Itu yang kita
butuhkan."
Kica membungkukkan badannya
lagi. Lalu di-
tatapnya wajah Atika dan Sinta.
Apa yang dikatakan
nenek berwajah seram memang
benar. Atika dan Sinta
bukan hendak membangkang. Mereka
hanya mencela
tindakan Kica yang keterlaluan.
"Cepat masuk ke dalam
kubangan!" bentak
Kica dengan galaknya.
Ribuan tombak jauhnya dari
tempat Atika
dan Sinta berada, tepatnya di
Bukit Rawangun, Lelaki
Genit Mata Banci tampak keluar
dari tenda. Dengan
air sungai yang jernih dibasuh
wajahnya. Pergelangan
tangan kanan kakek itu terasa
ngilu, walau hampir
semalaman dia berusaha
menyembuhkannya.
Beberapa orang pencari batu
mulia menyapa
kakek itu, namun Lelaki Genit
Mata Banci tak mempe-
dulikannya. Menoleh pun tidak.
Giginya bertaut erat
memperdengarkan bunyi
gemeletukkan. Wajahnya
yang pucat berubah tegang.
"Lelaki muka tomat itu
telah pergi. Aku tak
mungkin menunggu di
sini...," kata Lelaki Genit Mata
Banci dalam hati.
"Pagi-pagi sekali aku melihatnya
menuruni bukit. Tampaknya dia
akan pergi ke selatan.
Aku harus mengikutinya sekarang.
Sakit dalam hati ini
harus terbalaskan...."
Baru saja Lelaki Genit Mata
Banci mengem-
poskan tubuh, matanya menangkap
kelebatan tiga so-
sok bayangan ungu.
"Tiga Dara Bengal...,"
gumam tokoh tua itu.
"Kenapa mereka menaiki
bukit? Apa mereka belum ta-
hu semua penghuni gua telah
pergi?"
Mengikuti perasaan hatinya,
Lelaki Genit Ma-
ta Banci mengejar bayangan Tiga
Dara Bengal. Sesam-
pai di mulut gua yang terdapat
di puncak bukit, Tiga
Dara Bengal menghentikan
langkah. Lelaki Genit Mata
Banci langsung menegur.
"Kenapa kalian
kembali?"
Tiga Dara Bengal terlihat
terkejut mendapati
kehadiran Lelaki Genit Mata
Banci. Jangan-jangan to-
koh tua itu akan mengusir mereka
lagi..., begitu pikir
Tiga Dara Bengal. Tapi, segera
mereka melihat senyum
bersahabat dari Lelaki Genit
Mata Banci.
"Urusanku belum selesai,
Pak Tua," kata
Ajeng Menur mewakili kedua
saudaranya.
"Jangan panggil aku 'Pak
Tua'!" bentak Lelaki
Genit Mata Banci dengan wajah
cemberut.
"Lalu, dengan apa?"
Ajeng Menur menge-
rutkan keningnya.
"Terserah! Pokoknya jangan
'Pak Tua'!"
Ajeng Menur berpikir sebentar,
"Aku punya
urusan besar. Tak punya waktu
untuk berpikir ma-
cam-macam!" katanya
kemudian dengan tak sabar.
"Ha ha ha...!" Lelaki
Genit Mata Banci tertawa
terbahak-bahak, "Kau lucu,
Menur! Kau memerlukan
bantuanku. Kenapa bersikap
keras? Mestinya kau
menghormat dan memanggilku
sebagai 'Tuan Besar'!"
"Huh! Siapa sudi?!"
rungut gadis cantik itu.
"Yah! Terserah kau
saja...."
Lelaki Genit Mata Banci
melangkah perlahan,
lalu bersandar pada sebatang
pohon meranggas. Si-
kapnya tampak acuh tak acuh
terhadap Tiga Dara
Bengal. Namun ketika dia melihat
ketiga gadis itu me-
masuki gua, tawanya langsung
meledak.
"Hanya tahi dan bekas
tempat kencing yang
akan kalian temui, Setan-Setan
Bengal!" ejek Lelaki
Genit Mata Banci.
Tiga Dara Bengal keluar dari gua
dengan wa-
jah kusam. Orang yang mereka
cari sudah tak ada lagi.
"Sudah kubilang, kalian
membutuhkan ban-
tuanku! Kenapa masih keras
kepala?!"
"Di mana Raka Maruta, Pak
Tua?" tanya
Ajeng Menur.
"Kau masih saja memanggilku
dengan sebu-
tan itu!"
"Yah, di mana Raka Maruta,
Tuan Besar?"
Ajeng Menur mengucapkan
panggilan 'Tuan Besar'
dengan nada yang begitu
mengejek.
Lelaki Genit Mata Banci malah
tertawa se-
nang. "Bagus! Untuk
selanjutnya kau bisa memanggil-
ku dengan sebutan itu....."
"Selama kau tidak membuat
kesulitan."
"Tentu..., tentu..,! Mulai
saat ini aku akan
membantu kalian. Dan, sebagai
timbal baliknya kalian
pun harus bersedia membantuku.
Tapi, dalam bantu-
membantu ini akulah yang jadi
pemimpin!"
"Huh! Enak saja!"
tukas Tiga Dara Bengal
hampir bersamaan.
"Terserah kalian, mau apa
tidak. Yang jelas
aku tahu di mana Raka Maruta
berada. Juga musuh
besar Partai Iblis Ungu, yakni
Suropati!"
"Benar itu?" mata Ari
Sambita berbinar.
"Panggil aku 'Tuan
Besar'!"
"Ya, Pak Besar!
Kau...."
"Goblok! Jangan salah
ucap!" Lelaki Genit
Mata Banci memelototkan matanya
lebar-lebar.
"Ya..., ya...! Tuan Besar!
Apa kau benar-benar
tahu di mana Raka Maruta dan
Suropati berada?"
"Ikut aku...."
Lelaki Genit Mata Banci
membalikkan badan.
Sebetulnya dia hendak menuruni
bukit. Tapi, niatnya
diurungkan ketika melihat Tiga
Dara Bengal tetap ber-
diri di tempatnya.
"Ikuti aku, Goblok!"
bentak kakek itu.
"Tak sudi!" tukas
Andan Sari.
"Kenapa?"
"Kami tak percaya pada
omongan konyolmu!"
"Aku benar-benar tahu di
mana Raka Maruta
dan Suropati berada. Tadi,
pagi-pagi sekali mereka
pergi bersama si Wajah Merah dan
seorang gadis can-
tik."
"Ke mana?" tanya Andan
Sari. Karena dilihat-
nya Lelaki Genit Mata Banci
tampak bersungguh-
sungguh.
"Sudahlah.... Ikuti
langkahku!"
Tubuh Lelaki Genit Mata Banci
berkelebat
menuruni bukit. Tiga Dara Bengal
saling berpandan-
gan. Merasa kata-kata Lelaki
Genit Mata Banci dapat
dipercaya, akhirnya ketiga gadis
berpakaian ungu itu
sepakat mengikuti bayangan
Lelaki Genit Mata Banci.
Emoticon