3
Seharian penuh Suropati
menjelajahi kota-
praja. Tapi, jejak I Halu
Rakryan Subandira tak
juga ditemukan. Setiap melewati
sudut-sudut ja-
lan, selalu saja timbul perasaan
tak enak. Banyak
lelaki berperawakan kekar
berpapasan dengan-
nya. Sikap mereka rata-rata
angkuh. Jauh sekali
dengan sikap para warga
kotapraja yang ramah-
"Hmm.... Orang-orang itu
tentu pasukan
pemberontak yang sedang
melakukan penyama-
ran...," kata hati Pengemis
Binal. "Agaknya negeri
Pasir Luhur dilanda kemelut
pemberontakan yang
hebat. Perpecahan di antara
prajurit kerajaan saja
sangat mengurangi kekuatan pihak
istana. Di-
tambah lagi dengan adanya
pasukan tersem-
bunyi. Ah..., aku tak bisa
membayangkan apa
yang akan terjadi...."
Suropati mendongak. Ditatapnya
langit bi-
ru. Matahari yang telah condong
ke barat mem-
buat sinarnya tak lagi
menyengat. Melihat barisan
burung yang mengangkasa,
Suropati menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Langkah kaki remaja konyol itu
menuju
pintu gerbang kotapraja.
Beberapa penjaga me-
nyapanya dengan sopan. Mereka
memang telah
mengenal Suropati sebagai
sahabat Anggraini Su-
listya. Kalau saja mereka tahu
Suropati adalah
putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit, sikap
mereka tentu akan lebih hormat
lagi.
"Kelihatannya prajurit
penjaga di pintu
gerbang ini masih berpihak pada
sang Raja...," pi-
kir Pengemis Binal sambil terus
melangkahkan
kaki. "Di mana aku dapat
menemukan I Halu Ra-
kryan Subandira? Seandainya
banyak anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti berada di
negeri ini, akan lebih mudah
menemukan
pengkhianat itu. Ah..., aku jadi
tak habis pikir.
Bagaimana dia dapat meloloskan
diri dari penja-
gaan Patih Sanca Singapasa dan
Senopati Guntur
Selaksa. Padahal waktu itu dia
terluka dalam.
Apakah ada seorang yang
menolongnya? Dan....
Apakah Tumenggung Sangga Percona
juga dito-
longnya. Aku belum mengetahui
kabar ayah Saka
Purdianta itu"
Suropati mendesah. Tiba-tiba
saja pikiran-
nya jadi kalut. "Kekuatan
dalam istana sangat
lemah. Tanpa siasat yang jitu,
api pemberontakan
tak mungkin dapat dipadamkan.
Lalu, siasat apa
yang harus kugunakan?"
Sambil membatin, Pen-
gemis Binal menggaruk-garuk kepalanya
kembali.
Sekeluarnya dari kotapraja,
jalanan terasa
lengang. Semakin jauh kaki
Pengemis Binal me-
langkah, pikirannya semakin tak
tenang. Tapi se-
telah sampai di lereng bukit
kecil, mendadak saja
remaja konyol itu nyengir kuda
lalu melonjak-
lonjak kegirangan.
"Aku dapatkan
jawabannya!" Suropati ber-
teriak sekeras-kerasnya.
"Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi! Yah, kitab warisan
Panglima Prana-
sutra itu selain berisi
cara-cara menghimpun te-
naga prana juga berisi siasat
dan strategi perang.
Aku yakin dengan mempelajari isi
kitab itu, keme-
lut negeri Pasir Luhur akan
dapat teratasi!"
Tak lama Pengemis Binal berada
pada ke-
gembiraan. Wajahnya kini
terlihat muram lagi.
"Uh! Bagaimana aku bisa
mempelajari isi Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi kalau
kitab itu be-
rada di tangan Saka Purdianta?
Tapi tak apa,
sambil mencari I Halu Rakryan
Subandira, kucari
pula putra Tumenggung Sangga
Percona itu...,"
sekali lagi Pengemis Binal
melonjak kegirangan.
"Aku pergi ke Katumenggungan
Lemah Abang sa-
ja," cetusnya
kemudian.
Remaja konyol itu berlari cepat
dengan di-
lambari ilmu meringankan tubuh.
Arah yang ditu-
junya adalah utara. Walau dia
baru beberapa hari
menginjakkan kaki di wilayah
Kerajaan Pasir Lu-
hur, tapi jalan-jalan di
sekeliling kotapraja telah
diketahuinya. Itu berkat
penjelasan Anggraini Su-
listya.
Keringat membanjir di sekujur
tubuh keti-
ka Pengemis Binal menghentikan
langkah untuk
beristirahat. Matahari telah
semakin condong ke
barat. Sinarnya pun bertambah
lemah. Tapi
agaknya Suropati kegerahan. Dia
kini membuat
langkah pendek-pendek.
"Hea. .! Hea...!"
Terdengar teriakan orang
memacu kuda.
Suropati menoleh ke belakang.
Tampak
seekor kuda hitam berlari cepat
melewati jalan
yang tadi dilaluinya.
Cepat-cepat Pengemis Binal
melompat ke pinggir karena tak
mau tertabrak.
"Hei...!" teriak orang
di atas kuda. Ditarik-
nya tali kekang kuat-kuat. Kuda
hitam itu pun
meringkik panjang sambil
mengangkat kaki de-
pan. Begitu kuda hitam itu
kembali tenang, pe-
nunggangnya segera meloncat
turun.
"Saka Purdianta!"
gumam Pengemis Binal
sambil menatap tajam pemuda
tampan berpa-
kaian coklat dengan garis-garis
hitam.
"Ya! Aku memang Saka
Purdianta atau
Dewa Guntur!" ujar pemuda
itu yang tak lain pu-
tra Tumenggung Sangga Percona.
"Lama sekali ki-
ta tak berjumpa, Suro. Sebaiknya
kau terima sa-
lam hormatku!"
Usai berkata, Dewa Guntur
meloncat den-
gan telapak tangan terbuka di
depan dada. Saat
tubuhnya masih melayang,
dihentakkan telapak
tangannya ke depan.
Wuuusss...!
Pengemis Binal terkesiap. Dua
larik sinar
kelabu meluncur ke arahnya.
Cepat dia mem-
buang tubuh ke samping kanan.
Akibatnya....
Blaaammm...!
Dua larik sinar kelabu yang
muncul karena
pukulan jarak jauh Saka
Purdianta menghantam
pohon besar. Pohon dengan batang
dua rangku-
lan manusia dewasa itu langsung
tumbang.
Pangkal batangnya menghitam
seperti habis ter-
bakar.
"Hmm.... Kenapa kau menolak
salam hor-
matku, Suro?!" dengus Saka
Purdianta dengan
sinar mata berkilat.
"Rupanya kebencian Dewa
Guntur terha-
dap Pengemis Binal lebih dari
yang kukira...," ujar
Suropati. "Terima kasih
atas salam hormatmu."
"Ha ha ha...!" Dewa
Guntur tertawa berge-
lak. "Di antara kita
tersimpan dendam lama. Ke-
napa mesti sungkan-sungkan
mengundang Ma-
laikat Kematian agar mencabut
nyawa salah seo-
rang di antara kita?"
Suropati tersenyum tipis. Dia
tahu benar
Saka Purdianta pemuda keras
kepala dan sangat
berangasan. Saka Purdianta pun
menyimpan ke-
bencian yang sangat kepadanya.
Putra Tumeng-
gung Sangga Percona itu
menganggapnya sebagai
musuh bebuyutan! (Untuk
mengetahui asal-usul
perselisihan kedua tokoh muda
ini, silakan baca
episode : "Cinta Bernoda
Darah").
"Saat ini aku tak hendak
membuat permu-
suhan dengan siapa pun...,"
kata Pengemis Binal,
merendah. "Aku mempunyai
tugas berat yang ha-
rus segera kuselesaikan. Kalau
kau masih men-
ganggap negeri Pasir Luhur
adalah tanah kelahi-
ranmu, sebaiknya kau simpan dulu
rasa bencimu
terhadapku."
"Ha ha ha...!" Dewa
Guntur tertawa terba-
hak lagi. "Hmm.... Kiranya
Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
adalah seorang pe-
cundang berjiwa pengecut!"
"Simpan kata-kata kotormu,
Saka!" tukas
Suropati. "Negeri Pasir
Luhur berada di ambang
kehancuran karena adanya
pemberontak yang
hendak merebut kekuasaan.
Tahukah kau, Saka,
bila terjadi pertempuran maka
rakyat juga yang
akan menderita. Tidakkah kau
terpanggil untuk
melakukan sesuatu?"
"Dengan alasan apa kau
hendak memban-
tu mengatasi kemelut di negeri
ini?" tanya Dewa
Guntur penuh selidik.
"Hati kecilku terpanggil
untuk melakukan
semua ini. Aku tak ingin melihat
pertumpahan
darah. Dan, Anggraini Sulistya
memintaku untuk
membantu...."
"Anggraini
Sulistya...," desis Saka Purdian-
ta memotong kalimat Pengemis
Binal. "Masih hi-
dupkah dia?"
"Ya!" jawab Suropati
dengan suara lantang.
"Melalui perjuangan berat,
Anggraini Sulistya da-
pat terbebas dari pengaruh Racun
Jarum Mati
Sekejap."
"Oh, benarkah begitu?"
tanya Saka Pur-
dianta ragu-ragu. Sinar
kegembiraan jelas terpan-
car di matanya.
"Tak ada gunanya aku
berdusta. Kalau kau
mau menebus dosamu terhadapnya,
kau harus
membantu dia. Yang dapat kau
lakukan adalah
menyerahkan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi
kepadaku."
"Untuk apa?"
"Kitab itu berisi siasat
dan strategi perang.
Kau tentu tahu kegunaannya,
Saka...," Pengemis
Binal memang berkata demikian.
Tapi di hatinya
tiba-tiba saja timbul rasa
curiga. Bukan tidak
mungkin Saka Purdianta membantu
pemberonta-
kan ayahnya.
"Aku tidak
membawanya...," aku Dewa
Guntur dengan paras mengelam.
"Apa?! Kau jangan mungkir,
Saka!" hardik
Pengemis Binal. "Kitab itu
milik Ingkanputri. Kau
telah melarikannya dari kota
Kadipaten Bumirak-
sa!"
"Ya, ya..., aku mengakui.
Tapi sekarang ki-
tab itu memang tidak ada lagi
padaku."
"Apa maksudmu?!"
bentak Pengemis Binal
lebih keras. "Apakah kita
mesti bertempur untuk
membuktikan dustamu?"
Suropati mencengkeram erat
tongkat di
tangannya. Tampaknya remaja
konyol ini ber-
sungguh-sungguh dengan
ucapannya.
"Tunggu dulu, Suro!"
cegah Saka Purdianta
sambil melangkah setindak ke
belakang. "Jika
kau menantangku bertempur,
sebenarnya aku
malah senang. Tapi aku tidak mau
kau menu-
duhku menyembunyikan Kitab
Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi. Kitab itu telah
dirampas orang...."
"Apa?!" Suropati
melonjak kaget. Kitab Se-
laksa Dewa Turun Ke Bumi lenyap dilarikan
orang. Semakin sulitlah tugas
Suropati untuk
menumpas pemberontak di negeri
Pasir Luhur.
"Kau menganggapku sebagai
penjahat cu-
las dan licik, terserah apa
maumu. Tapi kali ini
kau harus percaya dengan
ucapanku, Suro."
Pengemis Binal mendengus. Sinar
matanya
berkilat tajam seperti hendak
menjajaki isi hati
Dewa Guntur.
"Kemarin dalam perjalanan
menuju kota-
praja, aku diikuti orang yang
mengenalkan diri
sebagai Karma Salodra atau
Malaikat Baju Putih.
Dengan ilmu sihirnya dia
berhasil merampas Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
yang kusimpan
di balik baju," tutur Dewa
Guntur.
"Siapa Karma Salodra
itu?" selidik Penge-
mis Binal.
"Dia orang upahan
ayahku."
"Untuk apa dia merampas
Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi?"
Mendengar pertanyaan Suropati,
Saka
Purdianta termangu. Hatinya jadi
ragu. Apakah
harus dibeberkan persekongkolan
ayahnya den-
gan I Halu Rakryan Subandira
untuk merebut
takhta Pasir Luhur?
"Kenapa kau diam,
Saka?" cecar Pengemis
Binal. "Kalau kau ingin aku
percaya padamu, jan-
gan sembunyikan apa yang kau
ketahui?"
Dewa Guntur menatap sejenak
wajah Pen-
gemis Binal. "Ayahkulah
yang memerintahkan
Karma Salodra untuk merampas
Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Beliau tahu
kitab itu berisi
siasat dan strategi perang,
sedangkan aku tak
mau membantu
perjuangannya...."
"Perjuangan apa?"
Pengemis Binal pura-
pura tidak tahu. Hendak
dilihatnya sampai di
mana kejujuran Saka Purdianta.
"Ayahku telah bersekongkol
dengan I Halu
Rakryan Subandira
untuk...."
"Merebut takhta Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit?!" sela Suropati.
Dewa Guntur mengangguk:
"Dari mana
kau mengetahui hal itu,
Suro?" tanyanya heran.
"Ketahuilah, Saka..., kedok
I Halu Rakryan
Subandira dan Tumenggung Sangga
Percona te-
lah terbuka."
"Benar begitu? Berarti...,
berarti Katu-
menggungan Lemah Abang akan
digempur praju-
rit kerajaan...," Saka
Purdianta tampak begitu
cemas. "Sekarang kau ikut
aku ke Pendapa Ka-
tumenggungan Lemah Abang, Suro.
Aku pun se-
benarnya memang hendak ke sana.
Aku mengejar
Karma Salodra yang kuperkirakan
akan menye-
rahkan Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi kepa-
da ayahku...."
"Baiklah, aku ikut
kau...," Suropati men-
giyakan. Ia teringat dengan
dugaannya. Bisa saja
orang yang menolong I Halu
Rakryan Subandira
juga membantu ayah Saka
Purdianta. Bukankah
mereka telah berkomplot?
"Kalau I Halu Rakryan
Subandira bersekongkol dengan
Tumenggung
Sangga Percona, tentu dia
melarikan diri ke Ka-
tumenggungan Lemah
Abang...," tuturnya.
"Baiklah. Kita
berangkat..." Saka Purdianta
melompat ke punggung kuda hitamnya.
Lalu, dia
mengisyaratkan pada Suropati
untuk turut naik.
Dalam perjalanan menuju
Katumenggun-
gan Lemah Abang, Suropati tak
habis pikir men-
dapati Saka Purdianta yang
sangat membencinya
tiba-tiba kembali sangat
bersahabat. Suropati jadi
teringat pada ramalan kakek tak
bermata yang
mengenalkan diri sebagai Dewa
Peramal. Menurut
kakek itu, Suropati akan meminta
bantuan mu-
suh besarnya untuk mengatasi
tugas yang diem-
ban. Kini setelah bertemu dengan
Saka Purdianta,
ternyata ramalan Dewa Peramal
terbukti kebena-
rannya (Perihal Dewa Peramal,
bisa dibaca pada
episode: "Sengketa
Orang-orang Berkerudung").
***
Sang baskara telah kembali ke
peraduan.
Semburat cahaya jingga di langit
barat berbaur
dengan gumpalan awan perak.
Senja akan rebah
memeluk malam yang segera tiba.
Walau hari belum gelap benar,
lampu-
lampu di Pendapa Katumenggungan
Lemah Ab-
ang telah dinyalakan. Empat
orang prajurit ber-
senjata tombak tampak berjaga di
pintu gerbang.
Ketika seorang lelaki setengah
baya berpakaian
serba putih turun dari kuda,
mereka membung-
kuk hormat.
"Tuan Karma Salodra telah
dinanti oleh
Gusti Tumenggung di ruang
dalam," ujar salah
seorang penjaga.
Lelaki setengah baya yang memang
Karma
Salodra atau Malaikat Baju
Putih, melangkah ma-
suk tanpa mempedulikan empat
orang penjaga
yang masih saja membungkuk
hormat. Baru saja
telapak kakinya menginjak lantai
teras pendapa,
seorang lelaki tinggi besar
berpakaian pembesar
datang menyambut.
"Melihat sinar matamu yang
terang dan
raut wajahmu yang cerah, kau
tampaknya datang
membawa hasil...," ujar
lelaki tinggi besar. Dia
adalah Tumenggung Sangga
Percona.
"Benar ucapan Gusti
Tumenggung. Sebagai
orang upahan, Malaikat Baju
Putih tak pernah
mengecewakan tuannya...,"
sahut Karma Salodra
sambil membungkukkan badan.
"Sebaiknya kita bicara di
dalam." Mereka
tampak begitu bersahabat.
Memang, karena Salo-
dralah yang menolong ayah Saka
Purdianta sete-
lah berhasil dikalahkan oleh
Suropati dan
Anggraini Sulistya di taman
keputren istana. Ma-
ka..., karena Salodra jugalah
yang telah membe-
baskan I Halu Rakryan Subandira
dari pengawa-
lan Patih Sanca Singapasa dan
Senopati Guntur
Selaksa, lelaki itu pun telah
menyembuhkan luka
dalam I Halu Rakryan Subandira,
hingga dia da-
pat meneruskan tindakannya yang
hendak makar
terhadap kerajaan.
Lelaki berbaju putih itu
dibimbing masuk
menuju ruangan luas yang sangat
indah. Namun,
sedikit pun Karma Salodra tak
tertarik akan kein-
dahan ruangan itu.
"Aku akan menjamu apa pun
yang kau su-
kai setelah Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi
ada padaku," kata
Tumenggung Sangga Percona
setelah mempersilakan Karma
Salodra duduk di
kursi.
"Saya tidak membutuhkan
jamuan apa-
apa, Gusti Tumenggung. Hanya
satu saja permin-
taan saya, segera berikan
sekantung uang emas
lagi. Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi akan se-
gera saya serahkan kepada Gusti
Tumenggung."
"Ha ha ha...!"
Tumenggung Sangga Percona
tertawa bergelak. "Mana
mungkin aku menging-
kari janjiku, Salodra? Mari...,
mari masuk ke
tempat rahasiaku...,"
ajaknya.
"Tempat rahasia? Untuk
apa?" tanya Ma-
laikat Baju Putih, heran
bercampur curiga.
"Bukankah kau meminta
sekantung uang
emas, Salodra?"
"Hmm.... Yah,
baiklah...."
Tumenggung Sangga Percona
kembali me-
raih bahu Karma Salodra. Mereka
berjalan beri-
ringan. Ketika melewati sebuah
lorong sempit
yang agak gelap. Karma Salodra
menepis tangan
Tumenggung Sangga Percona.
"Eh, ada apa?" tanya
lelaki tinggi besar itu
sambil menatap wajah Karma
Salodra.
"Gusti Tumenggung silakan
berjalan di de-
pan...," pinta Malaikat
Baju Putih.
Tumenggung Sangga Percona
tersenyum
maklum. "Sebagai orang
upahan yang sangat ber-
pengalaman, sikap hati-hati memang baik. Tapi
patutkah kau mencurigaiku,
Salodra?"
"Saya tidak mempunyai
sakwasangka bu-
ruk. Tapi saya memang harus
selalu waspada."
"Itu sama saja kau tidak
mempercayaiku!"
dengus Tumenggung Sangga
Percona.
"Terserah apa kata Gusti
Tumenggung. Ta-
pi sebaiknya Gusti Tumenggung
menuruti per-
mintaan saya. Berjalanlah di
depan. Saya mengi-
kuti di belakang. "
"Hmm.... Baiklah...."
Akhirnya kaki Tumenggung Sangga
Perco-
na terayun maju, walau dalam
hati dia mengum-
pat-umpat tak karuan. Karma
Salodra mengikuti
dengan mengambil jarak tiga depa
dari penguasa
Katumenggungan Lemah Abang itu.
Sesampai di tempat yang dituju,
Tumeng-
gung Sangga Percona
mengeluarkan sekantung
uang emas dari dalam peti besi.
Langsung dis-
erahkannya kantung uang itu
kepada Malaikat
Baju Putih.
"Terima kasih...,"
ucap Karma Salodra.
"Sekarang serahkan Kitab
Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi padaku!"
perintah Tumenggung
Sangga Percona tak sabaran.
"Bersabarlah sedikit, Gusti
Tumeng-
gung...," tukas Karma
Salodra. "Kitab itu akan se-
gera menjadi milik Gusti
Tumenggung. Hanya sa-
ja...."
"Hanya saja apa?!"
mendelik mata Tumeng-
gung Sangga Percona mendengar
ucapan Karma
Salodra.
"Sebaiknya Gusti Tumenggung
mengenda-
likan hawa amarah dulu. Saya tak
bisa melayani
orang yang sedang naik
pitam."
"Keparat!" umpat
Tumenggung Sangga Per-
cona dalam hati. Dicobanya untuk
bersabar. Tapi,
sorot matanya tetap saja tajam
berkilat.
"Saya akan berterus-terang
kepada Gusti
Tumenggung...."
"Apa? Cepat katakan!"
"Bersabarlah, Gusti....
Kenapa mesti terbu-
ru-buru?" Karma
Salodra rupanya ingin mem-
permainkan perasaan Tumenggung
Sangga Per-
cona.
"Siapa dapat bersabar
melihat sikapmu
yang mengulur-ulur waktu seperti
ini?!" bentak
Tumenggung Sangga Percona. Lenyap
sudah se-
mua kesabaran yang coba
dikumpulkannya.
"Baiklah..., baiklah...,
saya tidak akan
mengulur waktu lagi. Toh,
semuanya pasti terja-
di...," Karma Salodra
tersenyum tipis. "Gusti Tu-
menggung tentu mengenal benar I
Halu Rakryan
Subandira...."
"Ya. Dia sahabat
baikku."
"Setelah saya mendapatkan
Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi dari tangan
Saka Purdianta,
saya berjumpa dengan kepala
pengawal istana
itu...."
"Lalu?" cecar
Tumenggung Sangga Percona
semakin tak sabar.
"I Halu Rakryan Subandira
adalah kakak
kandungku."
"Dusta! I Halu Rakryan
Subandira tidak
mempunyai adik! Aku-tahu betul
itu!"
"Terserah Gusti Tumenggung
mau percaya
atau tidak. Saya tidak bisa
memaksa. Yang jelas, I
Halu Rakryan Subandira bermaksud
memiliki Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi."
"Ap..., apa...?!"
Gelagapan kata-kata Tu-
menggung Sangga Percona.
"Kalau begitu, seka-
rang kau tidak membawa kitab
itu?"
"Benar!"
"Keparat!"
Tumenggung Sangga Percona
langsung
mencabut keris di pinggangnya.
Tapi, gerakannya
terhenti. Keluh pendek keluar
dari mulut. Karma
Salodra telah menikam jantung
lelaki tinggi besar
itu dengan sebilah pisau kecil!
Kedatangan Saka Purdianta dan
Suropati
di Pendapa Katumenggungan Lemah
Abang hanya
disambut tubuh beku Tumenggung
Sangga Per-
cona. Walau bagaimanapun
bencinya Saka Pur-
dianta mengetahui ayahnya
memberontak, tapi
setelah pengukir jiwa raganya
itu terbujur tanpa
nyawa, sedih juga hati Saka
Purdianta. Sebagai
seorang anak tentu saja dia
merasa kehilangan.
Kini yatim piatulah pemuda yang
bergelar Dewa
Guntur itu. Karena, ibunya telah
lama meninggal.
Malam itu juga seluruh punggawa
katu-
menggungan mempersiapkan upacara
pemaka-
man junjungan mereka esok hari.
Saka Purdianta
sendiri duduk terpekur di sebuah
ruangan. Suro-
pati yang berada di dekatnya mau
tak mau turut
berduka juga. Walau Saka
Purdianta masih men-
ganggapnya sebagai musuh, tapi
setelah tahu
pemuda itu sangat terpukul
karena kehilangan
ayahnya, jiwa Suropati
tersentuh.
"Bila kau duduk terpekur
seperti itu, kau
tak tampak lagi sebagai Dewa
Guntur yang perka-
sa dan berhati baja,"
sindir Pengemis Binal, beru-
saha menepis kesedihan hati Saka
Purdianta.
"Aku duduk terpekur
bukannya menyesali
kepergian ayahku. Aku sedang mencoba
mendu-
ga-duga siapa pelaku pembunuhan
ini," kilah
Dewa Guntur.
"Oh, ya.... Sudah kau
temukan jawaban-
nya?"
"Aku mencurigai seseorang.
I Halu Rakryan
Subandira!" jawab Saka
Purdianta dengan sinar
mata berapi-api.
"Kau yakin?"
"Yakin sekali! Ayahku dan I
Halu Rakryan
Subandira telah membuat
persekongkolan untuk
menggulingkan takhta Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit. Aku tahu betul I
Halu Rakryan Sub-
andira orang yang berbudi halus
dan lemah-lem-
but perangainya. Tapi, di balik
kebaikannya itu
tersimpan sifat iri dengki dan
licik. Aku sadar di-
riku pun bukan orang baik-baik.
Namun, yang
membedakan aku dengan I Halu
Rakryan Suban-
dira adalah pandangannya tentang
kenegaraan.
Di bawah pimpinan Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit, rakyat Pasir Luhur
sudah hidup
aman tenteram. Kenapa I Halu
Rakryan Subandi-
ra hendak merebut takhta kalau
dia tidak memi-
liki jiwa serakah?"
"Benar katamu,
Saka...," sahut Pengemis
Binal. "Bagaimana kau bisa
mempunyai alasan I
Halu Rakryan Subandira yang
membunuh ayah-
mu?"
"Bukan dia yang melakukan,
tapi orang su-
ruhannya!"
"Siapa?"
"Itu yang aku tak
tahu."
Sampai di situ pembicaraan
terhenti. Saka
Purdianta kembali terpekur.
Suropati pun terba-
wa pada pikiran di
benaknya.
"Hmm.... Ke mana aku harus
mencari Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi? Saka
Purdianta
tampaknya benar-benar tak
membawa kitab
itu...," kata hati Pengemis
Binal. "Aku menduga
ada hubungannya antara pembunuh
Tumeng-
gung Sangga Percona dengan Kitab
Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Tentu saja
berhubungan pula
dengan I Halu Rakryan
Subandira."
Suropati menatap wajah Dewa
Guntur
yang keruh. "Kita harus
segera dapat menemukan
I Halu Rakryan Subandira!"
katanya.
Saka Purdianta tetap duduk
terpekur.
"Setelah pengkhianat itu
ditemukan, akan
terbuka tabir pembunuhan ayahmu,
Saka...," lan-
jut Pengemis Binal.
Mendadak, Dewa Guntur meloncat
dari
tempat duduknya. "Aku telah
menemukan cara
untuk mencari jejak I Halu
Rakryan Subandira!"
ujarnya penuh keyakinan.
Pengemis Binal menatap dengan pandan-
gan tak mengerti. Saka Purdianta
enak saja berla-
lu dari hadapannya. Sepeminum teh menunggu,
Pengemis Binal dikejutkan oleh
kehadiran seo-
rang lelaki setengah baya yang
mengenakan ju-
bah kuning.
"I Halu Rakryan
Subandira!" pekik Suropa-
ti. Tanpa sadar remaja tampan
ini tersurut mun-
dur setindak.
"Aku Saka Purdianta,
Suro," ujar orang
yang baru datang.
"Kau..., kau Saka
Purdianta?" tanya Pen-
gemis Binal tak percaya. Lelaki
yang berdiri di
hadapannya persis I Halu Rakryan
Subandira.
"Kau lupa kalau aku
mempunyai ilmu pe-
nyamaran yang hebat,
Suro...," ujar orang yang
bam datang sambil mengusap
wajahnya.
Pengemis Binal tercengang. Orang
berjubah
kuning itu memang Saka
Purdianta. Tangan ka-
nannya memegang topeng tipis
dari getah karet.
"Dengan menyamar sebagai I
Halu Rakryan
Subandira, aku akan membuat
heboh pasukan
tersembunyi di kotapraja. I Halu
Rakryan Suban-
dira sendiri pasti akan
terpancing keluar...," tutur
Dewa Guntur tentang rencananya.
"Cerdik sekali kau,
Saka," puji Pengemis
Binal. "Tapi, bukankah kau
memiliki ilmu
'Pelacak Jejak'? Untuk mencari I
Halu Rakryan
Subandira apa susahnya?"
"Pengkhianat kerajaan itu
sekarang men-
genakan Pusaka Jubah Kuning.
Benda mustika
itu melindungi dirinya, sehingga
aku tak dapat
menangkap getaran hidup yang
terpancar dari
tubuhnya."
"Kalau begitu, aku menurut
saja pada ren-
canamu. Yang penting, kita harus
segera dapat
menemukan I Halu Rakryan
Subandira secepat-
nya juga Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi yang
dibawanya. Sebelum dia memimpin
pasukannya
untuk menyerbu istana."
"Besok pagi setelah upacara
pemakaman
jenazah ayahku, kita berangkat
ke kotapraja!" pu-
tus Saka Purdianta.
***
Candi Salontar terletak di
bagian barat ko-
tapraja. Bangunan dari susunan
batu yang bi-
asanya sunyi itu kini dipenuhi
suara teriakan dan
denting senjata tajam.
Seorang lelaki setengah baya
berjubah
kuning tampak dikeroyok sepuluh
orang prajurit
kerajaan. Melihat jurus-jurus
yang dimainkan pa-
ra prajurit itu, bisa dipastikan
mereka anggota
pasukan khusus di bawah pimpinan
Senopati
Guntur Selaksa.
"Menyerahlah kau,
Subandira! Daripada
kepalamu menggelinding di tanah
siang ini juga,
lebih baik jatuhkan
pedangmu!" ujar salah seo-
rang prajurit
Orang yang dipanggil I Halu
Rakryan Sub-
andira cuma mendengus. Dia
memainkan jurus
pedangnya yang lebih hebat.
Namun, serangan
para prajurit kerajaan datang
silih berganti bagai
siraman air hujan.
"Menyerahlah,
Subandira!" teriak seorang
prajurit yang lain.
"Aku menyerah setelah
tubuhku tiada ber-
nyawa!" sahut orang
berjubah kuning.
"Baik, kalau itu maumu!
Gusti Prabu pun
telah memerintahkan pada kami
untuk menang-
kapmu hidup atau mati!"
Segera lelaki berjubah kuning
meloncat
mundur saat tiga sambaran pedang
datang dari
depan. Tapi belum sampai kakinya
menginjak ta-
nah, dua tusukan mengarah ke
bagian tubuh
yang berbahaya.
Trang! Trang!
Lelaki berjubah kuning memutar
pedang-
nya. Dia pun luput dari lubang
kematian. Untuk
sementara kepala pengawal istana
yang makar itu
bisa bernapas lagi. Namun
setelah para penge-
royoknya memburu dengan
membentuk lingka-
ran, terdesak hebatlah dia.
"Kami datang, Tuan
Subandira!"
Dalam keadaan yang cukup
mengkhawa-
tirkan itu, tiba-tiba terdengar
teriakan. Dibarengi
kelebatan lima sosok tubuh.
Kesepuluh prajurit
kerajaan terkejut, mendapati
orang-orang yang
baru datang langsung menggempur.
Pertempuran
pun bertambah sengit.
Sambil terus memainkan
pedangnya, lelaki
berjubah kuning tersenyum. Lima
orang yang
membantunya memakai pakaian
seperti warga
kotapraja biasa. Tapi ilmu
pedang mereka bisa
dibilang lumayan. Dan memang,
mereka sebagian
dari pasukan pemberontak yang sedang menya-
mar.
Bertempur di tempat terbuka
tentu saja
kurang menguntungkan mereka.
Penyamarannya
akan dapat terbongkar. Maka,
salah seorang dari
pasukan tersembunyi itu
berteriak, "Ikuti saya,
Tuan Subandira!"
Lelaki berjubah kuning tersenyum
lagi. Dia
meloncat jauh mengikuti
kelebatan tubuh orang
yang berteriak. Sementara empat
orang temannya
merangsek maju para prajurit
kerajaan yang
mencoba mengejar.
"Jangan biarkan pengkhianat
itu lolos!" pe-
kik salah seorang prajurit yang
agaknya menjadi
pimpinan.
Namun, peringatan itu sia-sia.
Sosok lelaki
berjubah kuning keburu hilang
dari ajang per-
tempuran. Disusul kemudian empat
orang dari
pasukan tersembunyi. Mereka
berloncatan me-
nyebar untuk turut melarikan
diri. Tinggallah ke-
sepuluh prajurit kerajaan dengan
hati kesal.
Lelaki berjubah kuning terus
berlari men-
gikuti kelebatan tubuh lelaki
kekar di depannya.
Sesampai di sebuah puri kecil di
perbatasan sela-
tan kotapraja, lelaki kekar
berbaju hitam meng-
hentikan langkah.
"Tuan Subandira lebih baik
bersembunyi di
puri ini," kata lelaki
berbaju hitam. Dipersilakan
orang yang berhasil
diselamatkannya masuk ke
puri.
Belasan lelaki kekar ternyata
penghuni pu-
ri kosong itu. Melihat
kedatangan lelaki berjubah
kuning, mereka langsung membungkuk
hormat.
Setelah menatap satu persatu
wajah orang-
orang di sekelilingnya, lelaki
berjubah kuning
berkata, "Aku ingin bertemu
dengan kepala pasu-
kan."
"Sayalah orangnya, Tuan
Subandira...," sa-
hut lelaki berbaju hitam.
"Apakah ada yang aneh
dengan diri saya?"
Lelaki berjubah kuning terkejut.
Orang
yang dicarinya ternyata si dewa
penolong. Tapi
segera disembunyikan
perubahan raut wajahnya
dengan senyum tipis.
"Aku yang sudah tua ini
kenapa jadi sangat
pelupa...," kilah I Halu
Rakryan Subandira. "Sam-
pai-sampai kepala pasukanku
sendiri tak kukena-
li. Oh, ya siapa namamu?"
Lelaki berbaju hitam mengerutkan
kening.
"Apakah benar ada yang aneh
dengan diri saya,
Tuan Subandira? Tuan Subandira
tidak lagi men-
genali saya?" Sambil
berkata begitu, orang ini
memperhatikan keadaan dirinya.
"Bukankah
Tuan Subandira tahu nama saya
Kalasangit?"
"Hmm.... Yah, kau memang
Kalasangit, ke-
pala pasukanku...," desis
lelaki berjubah kuning.
Dengan alis berkerut rapat
lelaki bernama
Kalasangit bertanya,
"Bagaimana Tuan Subandira
bisa dikeroyok prajurit-prajurit
itu?"
"Prabu Singgalang
Manjunjung Langit telah
mengetahui rencanaku. Aku
mencoba melarikan
diri. Tapi, prajurit-prajurit
busuk itu terus menge-
jar."
"Kalau begitu, kedudukan
kita di sini ber-
bahaya?"
"Tidak! Sapi Tua Singgalang
Manjunjung
Langit memang sudah mencium
adanya pasukan
tersembunyi di kotapraja. Namun,
dia tak akan
bertindak apa-apa selama
penyamaran kalian be-
lum terbuka."
Kalasangit mengangguk-angguk.
Belasan
temannya diperintahkan
berjaga-jaga di luar.
Orang-orang itu juga mengenakan
pakaian rakyat
jelata, sama seperti yang
dikenakan Kalasangit.
"Ada kabar buruk...,"
bisik lelaki berjubah
kuning.
"Kabar buruk apa, Tuan
Subandira?" tanya
Kalasangit sambil beringsut
mendekat.
"Tumenggung Sangga Percona
telah me-
ninggal."
Kalasangit terkejut. Dia sampai
meloncat
berdiri. "Benar ucapan Tuan
Subandira?" ta-
nyanya meminta kepastian.
"Dia dibunuh seorang tokoh
lihai di penda-
pa katumenggungan."
"Siapa?"
"Aku tak tahu. Aku
mendengar kabar ini
dari salah seorang
kepercayaanku."
"Lalu, bagaimana dengan
rencana yang te-
lah Tuan Subandira susun bersama
Tumenggung
Sangga Percona?" tanya
Kalasangit. Tampaknya
dia khawatir rencana yang telah
disusun akan
hancur berantakan.
"Tetap kita laksanakan.
Tapi, untuk selan-
jutnya aku yang menjadi pemimpin
tunggal di si-
ni."
Kalasangit mengangguk pasti.
Ketika lelaki berjubah kuning
bangkit dari
duduknya, di ruang depan puri
terdengar ribut-
ribut.
"Pencoleng keparat!
Bagaimana kau bisa
menyusup kemari?!"
Kalasangit terkejut setengah
mati. Di de-
pannya muncul seorang lelaki
berjubah kuning
yang lain.
"Tuan Subandira...!"
Kalasangit bergantian menatap
kedua lela-
ki setengah baya di depannya. Wajah
dan penam-
pilan mereka sama persis. Di
tempat itu ada dua I
Halu Rakryan Subandira!
4
"Bunuh dia,
Kalasangit!" perintah I Halu
Rakryan Subandira yang baru
datang.
Kalasangit cuma mengusap-usap
mata. la
tak dapat melaksanakan perintah
itu dengan be-
gitu saja. Sementara, I Halu
Rakryan Subandira
kedua tertawa terbahak-bahak.
"Muncul juga akhirnya kau,
Pengkhianat
Busuk!" ujar lelaki
berjubah kuning yang berada
di dekat Kalasangit.
"Katakan apa maksudmu
membunuh Tumenggung Sangga
Percona?!"
"Buka dulu topengmu,
Keparat!"
Perlahan orang yang dituding
mengusap
wajah. Dan, lepaslah topeng
tipis yang membuat
wajahnya tampak mirip I Halu
Rakryan Subandi-
ra.
"Saka Purdianta!"
pekik I Halu Rakryan
Subandira yang asli.
"Ya! Aku memang Saka
Purdianta atau
Dewa Guntur. Sekarang katakan
apa maksudmu
membunuh ayahku?"
"Jawabnya mudah saja, Bocah
Edan! Aku
menginginkan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bu-
mi. Adikku yang bergelar
Malaikat Baju Putih-lah
yang melaksanakan pembunuhan
itu."
"Keparat!"
Umpatan Saka Purdianta dibalas
dengan
isyarat I Halu Rakryan Subandira
kepada Kala-
sangit dan belasan anak buahnya.
Mereka lang-
sung meloloskan pedang untuk
mengeroyok Saka
Purdianta.
"Hadapi aku seorang diri,
Subandira!" ujar
Dewa Guntur. "Jangan
libatkan kroco-kroco se-
perti mereka!"
"Anggap itu sebagai
pemanasan, Bocah
Edan!" balas I Halu Rakryan
Subandira. Lalu, di-
perintahkan Kalasangit dan anak
buahnya untuk
mulai menggempur. "Cincang
tubuhnya!"
Cepat sekali Saka Purdianta
berkelebat.
Hendak digedornya dada I Halu
Rakryan Suban-
dira. Tapi, lelaki berjubah
kuning itu telah lebih
dahulu menghindar.
Sambil berteriak keras, Dewa
Guntur men-
cabut pedang dari balik jubah
yang dipakainya.
Dengan satu tebasan, dua orang
anak buah Kala-
sangit tersungkur tewas. Rupanya
Saka Purdianta
juga ahli memainkan pedang. Maka
ketika dia
terdesak melawan sepuluh
prajurit kerajaan di
depan Candi Salontar, itu hanya
tipuan. Seperti
halnya dia menipu prajurit-prajurit
itu sehingga
mereka menganggapnya I Halu
Rakryan Subandi-
ra.
Melihat dua anak buahnya tak
berkutik
Kalasangit menggeram marah.
Apalagi dia telah
terkecoh dengan penyamaran Saka
Purdianta.
Diserangnya pemuda tampan itu
membabi-buta.
"Hendak lari ke mana
kau?!" teriak Dewa
Guntur sambil menangkis serangan
pedang Kala-
sangit. Pemuda tampan itu
menghempos tubuh
mengejar I Halu Rakryan
Subandira yang melon-
cat keluar ruangan.
"Tahan dia!" perintah
I Halu Rakryan Sub-
andira ketika mencapai pintu
puri. Kepala pen-
gawal istana ini merasa tak
menguntungkan bila
harus bertempur. Hanya akan
mengundang
orang-orang istana datang ke
tempat itu. Maka
diperintahkannya Kalasangit dan
anak buahnya
untuk mencegat langkah Saka
Purdianta.
Dewa Guntur dibuat repot oleh
para penge-
royoknya. I Halu Rakryan
Subandira segera men-
gambil langkah seribu. Tapi baru
saja menginjak
halaman puri, seorang remaja
tampan berpakaian
putih penuh tambalan datang
mencegat.
"Suropati keparat! Pengemis
Edan!" maki I
Halu Rakryan Subandira.
"He he he...,"
Pengemis Binal tertawa terke-
keh. "Dalam kebingungan,
wajahmu seperti mo-
nyet minta kawin, Tuan Subandira
yang terhor-
mat!"
I Halu Rakryan Subandira
mendengus gu-
sar. Dia menjejak tanah.
Tubuhnya pun melesat
hendak meninggalkan halaman
puri. Namun,
Pengemis Binal tahu gelagat
lelaki berjubah kun-
ing itu. Dengan satu loncatan
ringan tubuhnya
melayang dan memapaki luncuran
tubuh I Halu
Rakryan Subandira.
Duk...!
Pukulan I Halu Rakryan Subandira
berha-
sil ditangkis Suropati. Begitu
kakinya mendarat di
tanah, ditusukkan ujung
tongkatnya ke ulu hati.
Tapi I Halu Rakryan Subandira
malah menadahi.
Dia sangat yakin akan keampuhan
Pusaka Jubah
Kuning yang dipakainya. Dan
memang benar, tu-
sukan tongkat Suropati tak
menghasilkan apa-
apa walau mengenai sasaran
dengan tepat.
Tanpa terasa pertempuran telah
berlang-
sung lima jurus. Pengemis Binal
berseru girang
ketika ujung tongkatnya berhasil
menyambar
kain jubah I Halu Rakryan
Subandira. Kain jubah
yang tersingkap memperlihatkan
di pinggang I
Halu Rakiyan Subandira terselip
kitab bersampul
hitam.
"Serahkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke
Bumi!" ujar Pengemis Binal
dengan dilambari ke-
kuatan sihir hasil ajaran
gurunya yang bergelar
Periang Bertangan Lembut.
Sejenak I Halu Rakryan Subandira
kebin-
gungan.
"Serahkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke
Bumi!" ujar Pengemis Binal
lagi. Kali ini dia me-
nambahkan kekuatan sihirnya.
Kepala I Halu Rakryan Subandira
mengge-
leng-geleng. Namun begitu
Suropati mengulang
kalimatnya, lelaki berjubah
kuning itu mengelua-
rkan kitab yang terselip di
pinggangnya. Lalu,
disodorkannya kepada Suropati.
"Jangan...!"
Sebuah teriakan membuat I Halu
Rakryan
Subandira mundur selangkah.
Teriakan itu mam-
pu menghilangkan pengaruh sihir
yang mengua-
sai jalan pikiran kepala
pengawal istana ini.
Suropati pun terkejut. Tapi ia
tak mau ke-
hilangan kesempatan. Secepat
kilat disambarnya
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
di tangan kiri
I Halu Rakryan Subandira.
Ketika Pengemis Binal berhasil
menyentuh
kitab yang diinginkannya,
sesosok bayangan pu-
tih berkelebat cepat berusaha
menggagalkan.
Des...!
Bahu kiri Pengemis Binal
terhantam puku-
lan. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi yang
berhasil dipegangnya mencelat ke
atas. Sewaktu
Pengemis Binal jatuh tersungkur,
sosok bayangan
putih berkelebat lagi. Hendak
disambarnya kitab
yang masih melayang di udara
Wusss...!
Alangkah terkejutnya bayangan
putih. Te-
lapak tangannya tak menyentuh
apa-apa. Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi bagai
lenyap begitu
saja.
Suropati yang telah melompat
bangkit ber-
sorak girang. Di tempat itu
hadir Anggraini Sulis-
tya dengan tangan kanan memegang
sebuah kitab
bersampul hitam. Tidak jauh dari
tempatnya ber-
diri tampak Raka Maruta duduk di
atas pelana
kuda.
Orang berpakaian serba putih
yang gagal
mendapatkan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi
mengumpat-umpat tak karuan. Dia
adalah Karma
Salodra atau Malaikat Baju
Putih, adik I Halu Ra-
kryan Subandira. Sedangkan
lelaki berjubah kun-
ing masih berdiri termangu-mangu
tak tahu apa
yang baru saja terjadi.
"Kita pergi dari tempat
ini, Kakang Suban-
dira!" ajak Malaikat Baju
Putih.
Melihat keadaan yang sangat tak
mengun-
tungkan itu, I Halu Rakryan
Subandira bersuit
nyaring. Dalam sekejap mata
berhamburan bela-
san lelaki kekar dari dalam
puri. Kalasangit terli-
hat di antara mereka. Disusul
Saka Purdianta
yang masih mengenakan jubah
kuning
Begitu mengetahui di halaman
puri berdiri
Anggraini Sulistya, mulut Saka
Purdianta lang-
sung ternganga. Matanya
memandang tak berke-
dip. Anggraini Sulistya sendiri
mengurungkan
niatnya untuk mengejar I Halu
Rakryan Subandi-
ra.
"Saka Purdianta
keparat!" pekik Putri Ca-
haya Sakti seraya meloloskan
pedang. Langsung
diterjangnya Dewa Guntur yang
masih ternganga
dalam keterkejutan.
Trang...!
Ketika pedang Anggraini Sulistya
tinggal
sejengkal lagi memenggal leher
Saka Purdianta,
Pengemis Binal melontarkan
tongkatnya. Sela-
matlah Saka Purdianta dari
lubang kematian.
"Kenapa kau menghalangi aku
membunuh
pemuda bejat itu, Suro?!"
hardik Anggraini Sulis-
tya setelah meloncat ke hadapan
Pengemis Binal.
"Bila kau membunuh Saka
Purdianta, kau
akan menyesal...," kilah
Suropati.
"Menyesal? Kenapa aku mesti
menyesal
membunuh orang yang telah
membuatku mende-
rita oleh Racun Jarum Mati
Sekejap?"
"Lupakan masa lalu itu,
Aini...," bujuk Su-
ropati dengan lembut. "Saka
Purdianta yang kau
jumpai sekarang, bukan Saka
Purdianta yang du-
lu."
"Apa maksudmu, Suro? Seekor
harimau
yang memakai bulu kambing tetap
saja seekor
harimau!"
Pengemis Binal
menggeleng-gelengkan ke-
palanya. "Tidak, Aini. Kau
harus mendengar pen-
jelasanku...."
"Sudahlah, Suro!"
teriak Saka Purdianta.
Pemuda itu masih berdiri di
tempatnya. "Dosaku
terhadap Anggraini Sulistya
memang terlalu be-
sar. Dosa itu hanya dapat
kutebus lewat kema-
tian."
Putri Cahaya Sakti menatap wajah
Saka
Purdianta lekat-lekat. "Kau
memang layak untuk
dibunuh, Binatang!"
makinya.
Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit
itu menghemposkan tubuhnya
dengan ujung pe-
dang lurus ke jantung Saka
Purdianta. Dan, tam-
paknya Saka Purdianta tak
berniat untuk berke-
lit. Malaikat kematian benar-benar
mengintai
nyawa pemuda itu!
Karena tak melihat cara lain
untuk menye-
lamatkan jiwa Dewa Guntur,
Pengemis Binal ber-
teriak lantang dengan dilambari
ilmu sihir. "Ta-
han, Aini!"
Namun tetap saja tubuh Putri
Cahaya Sak-
ti melesat cepat. Ujung
pedangnya tak lagi men-
garah ke jantung Saka Purdianta.
Sedikit ke ba-
wah. Tapi tak kalah
berbahayanya.
Trang...!
Putri Cahaya Sakti mendengus
marah. Pe-
dangnya terpental lepas dari
pegangan. Kali ini
yang menyelamatkan jiwa Saka
Purdianta adalah
Raka Maruta. Dengan
mempergunakan kipas baja
putihnya, pemuda berwajah lembut
itu meloncat
dari punggung kuda dan menangkis
tusukan pe-
dang Anggraini Sulistya.
"Kenapa kau ikut campur
urusanku, Maru-
ta?!" bentak Putri Cahaya
Sakti.
"Pendekar tak akan membunuh
orang yang
tak memberikan
perlawanan...," ujar Pendekar
Kipas Terbang.
"Kau belum tahu siapa Saka
Purdianta,
Maruta!" bentak Anggraini
Sulistya. Mata gadis
cantik ini tampak memerah.
"Di Kapal Rajawali
dia hampir saja menodaiku.
Bahkan..., bah-
kan...."
Putri Cahaya Sakti tak dapat
melanjutkan
kalimatnya. Air matanya keburu
menetes,
"Saka Purdianta telah
menyesali perbua-
tannya...," tutur Suropati
sambil berjalan mende-
kat. "Bahkan dia sudah
membantu mengatasi
kemelut di negeri Pasir Luhur
ini. Kalau tidak ada
dia, kita tidak akan berjumpa I
Halu Rakryan
Subandira. Aku pun tak akan
mendapatkan Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi."
Sambil berlinang air mata,
Anggraini Sulis-
tya menatap kitab bersampul
hitam di tangan
Pengemis Binal.
"Kitab ini berisi siasat
dan strategi pe-
rang...," lanjut Suropati.
"Kekuatan di pihak ista-
na sangat lemah. Tapi aku yakin
dengan mempe-
lajari kitab ini, para
pemberontak akan dapat kita
tumpas."
"Kita kembali ke istana sekarang,
Aini...,"
usul Pendekar Kipas Terbang.
Anggraini Sulistya tak memberi
jawaban.
Tapi, dia menurut saja ketika
Pengemis Binal me-
rengkuh bahunya. Bersama Raka
Maruta, mereka
melangkah menuruti jalan menuju
istana. Saka
Purdianta berkelebat pergi tanpa
berkata apa-apa.
Kalasangit beserta anak buahnya
juga Ma-
laikat Baju Putih dan I Halu
Rakryan Subandira
telah pergi sejak tadi. Mereka
memanfaatkan ke-
sempatan ketika terjadi
bentrokan antara
Anggraini Sulistya dengan Saka
Purdianta.
5
Pengemis Binal menghabiskan
waktunya
seharian untuk membaca isi Kitab
Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Dipelajarinya
tentang seluk-
beluk perang. Bagian yang berisi
cara-cara meng-
himpun tenaga prana untuk
sementara disisih-
kan.
"Panglima Pranasutra benar-benar
seorang
panglima perang yang
hebat...," puji Pengemis Bi-
nal pada penyusun kitab yang
sedang dipelaja-
rinya.
Mata Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti itu berbinar
ketika menutup sam-
pul kitab. Saat hendak bangkit
dari duduknya,
terdengar pintu diketuk dari
luar.
"Siapa?" tanya
Suropati.
"Buka pintu, Suro. Ini
aku!" jawab orang di
balik pintu.
"Oh, kau, Putri. Masuk
saja. Pintu tidak
dikunci."
Pintu terkuak. Muncullah seraut
wajah
cantik jelita. Matanya mengerjap
ke arah Penge-
mis Binal. Dan, bibirnya
menyunggingkan se-
nyum manis. Jantung Pengemis
Binal kontan
berdegup lebih kencang.
Ditatapnya sosok gadis
berpakaian serba merah yang
berdiri di ambang
pintu.
"Ada apa, Putri?"
tanya remaja tampan itu.
"Kau menyelesaikan
semadimu, apakah luka da-
lam yang kau derita telah dapat
diatasi."
"Sudah kubilang hanya luka
dalam ringan,
Suro. Kenapa kau begitu
khawatir?" ujar Ingkan-
putri atau Dewi Baju Merah.
"Aku khawatir karena tak
mau kehilangan
kau," sahut Pengemis Binal
sambil tersenyum-
senyum.
"Uh! Rayuan gombal!"
rutuk Ingkanputri
seraya berjalan mendekat.
"Apakah kau hendak meminta
kitab milik-
mu ini?" Pengemis Binal
menunjuk kitab yang ter-
letak di atas meja.
"Sudah selesai kau
pelajari?"
Suropati mengangguk.
"Kebetulan sekali. Tadi
Ayahanda Prabu
memintaku untuk memanggil
kau."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk
membicarakan kemelut
di negeri ini. Sudahkah kau
mendapat siasat jitu
untuk menghadapi kekuatan
pemberontak?"
tanya Ingkanputri. Ingin
diketahuinya rencana
Suropati, setelah membaca Kitab
Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi.
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepala.
Ditatapnya wajah Ingkanputri
dalam-dalam. Lalu,
dia bangkit dan menutup daun
pintu.
"Eh, kau mau apa,
Suro?" tanya Dewi Baju
Merah, curiga.
"Uts! Jangan
keras-keras!"
"Ayo! Gendengmu mulai
kumat! Aku tidak
suka!"
Ingkanputri melompat ke samping
untuk
menghindari pelukan Pengemis
Binal. Tapi, rema-
ja konyol itu terus memburu.
"Kutampar wajahmu baru tahu
rasa!" an-
cam Dewi Baju Merah.
"Nih! Tampar saja!"
Suropati berjalan mendekat
sambil menyo-
dorkan wajah dengan bibir
dimonyongkan. Mata
Ingkanputri mendelik. Tangan
murid Dewi Tan-
gan Api itu bergerak hendak
menampar. Tapi, ke-
buru ditangkap oleh Pengemis
Binal. Ditariknya
tubuh gadis itu dan dipeluknya
erat-erat.
"Kau cantik sekali,
Putri...."
"Uh! Uh! Lepaskan! Aku
tidak butuh
rayuan gombal!" rungut Dewi
Baju Merah sambil
menggeliat-geliat berusaha
melepaskan diri.
"Lalu, apa yang kau
butuhkan? Ciuman?"
Suropati mempererat pelukannya.
Ingkan-
putri membuang wajah ketika
remaja konyol itu
hendak mendaratkan ciuman.
Suropati tertawa
terkekeh-kekeh. Dia hendak
memaksakan kehen-
dak. Namun....
Bluk...!
"Aduh!"
Pengemis Binal meloncat ke
belakang. Di-
dekapnya celana bagian depan
yang terhantam
lutut Ingkanputri. Saking
sakitnya, remaja konyol
itu menggeliat-geliat sambil
terus mengaduh. In-
gkanputri malah tertawa
cekikikan melihat Suro-
pati berlinang air mata.
"Rasakan!" ejek Dewi
Baju Merah.
Namun..., betapa terkejutnya
gadis cantik
itu. Geliatan tubuh Suropati
melemah dan tiba-
tiba tergeletak di lantai tak
bergerak lagi.
"Suro!" pekik
Ingkanputri, khawatir.
Tubuh Suropati
diguncang-guncangkan.
Tapi, tubuh remaja konyol itu
tetap terbujur di-
am.
"Pingsan sungguhankah
dia?" ujar Ingkan-
putri berkata sendiri.
"Jangan-jangan dia hendak
menipuku. Mau mengambil
kesempatan ketika
aku lengah...."
Ingkanputri membuka kelopak mata
Pen-
gemis Binal. Begitu melihat bola
mata remaja ko-
nyol itu bergerak ke atas, bibir
Ingkanputri me-
nyungging senyum. Lalu....
"Aduh!"
Suropati menjerit kesakitan
ketika cubitan
keras Ingkanputri mendarat di
pahanya.
"Kau pikir bisa
menipuku?" ejek Dewi Baju
Merah.
"Kau menyakiti aku, Putri.
Apakah kau su-
dah tidak mencintaiku
lagi?"
Mendengar pertanyaan Pengemis
Binal, In-
gkanputri jadi gelagapan.
"Aku..., aku...."
"Aku apa?" buru
Pengemis Binal.
"Caramu ini yang tidak aku
suka!"
"Yang kau suka?"
"Sudah! Sudah! Kau ditunggu
Ayahanda
Prabu!"
Suropati memegang lengan
Ingkanputri ke-
tika gadis itu hendak membuka
daun pintu. "Se-
bentar...," katanya.
"Ada sesuatu yang harus kau
ketahui."
Melihat kesungguhan Suropati,
Ingkanpu-
tri mengurungkan niatnya. Tapi
begitu dia lengah,
Suropati bertindak cepat.
Dilumatnya bibir gadis
itu....
"Uh! Lepaskan!"
Tentu saja Suropati yang sedang
kumat
gendengnya tak mau menuruti
permintaan In-
gkanputri. Tapi, terkejutlah
Suropati ketika daun
pintu diketuk.
"Suro! Suro!" panggil
orang di luar ruan-
gan.
Di saat Pengemis Binal melepas
dekapan-
nya, Ingkanputri menghadiahkan
jitakan di kepa-
la. Remaja konyol itu tak berani
mengaduh.
Hanya, sudut bibir kirinya
tertarik ke atas karena
menahan rasa sakit.
"Suro!" panggilan di
luar terdengar lagi.
"Ya," sahut Suropati
seraya bergegas mem-
buka daun pintu. Ternyata
Anggraini Sulistya
yang mengetuk pintu.
"Eh, sedang apa
kalian?" tanya gadis itu
ketika melihat Ingkanputri
berada di dalam ruan-
gan.
"Ah, kami sedang main
kelereng tadi...," ki-
lah Pengemis Binal sekenanya.
Anggraini Sulistya mendekap
mulutnya ka-
rena tak mampu menahan geli.
Ingkanputri lang-
sung menyepak kaki Pengemis
Binal.
"Main kelereng gundulmu
itu!" maki Dewi
Baju Merah.
"He he he...,"
Suropati tertawa terkekeh.
"Jangan mungkir, Putri. Kau
tadi telah menen-
dang 'kelereng'-ku! Ayo, mengaku
saja!"
Di ujung kalimatnya Pengemis
Binal terta-
wa terkekeh lagi. Ingkanputri
cemberut. Putri Ca-
haya Sakti langsung menukasnya,
"Hentikan ta-
wamu, Suro! Saat ini bukan
waktunya untuk ber-
canda!"
"Ya..., ya, aku tahu,
Aini...," sahut Penge-
mis Binal. "Aku harus
segera menghadap Aya-
handa Prabu. Bukankah
kedatanganmu juga un-
tuk menyampaikan panggilan
itu?"
"Kau sudah mempelajari isi Kitab
Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi hingga
tuntas?" bukannya
menjawab, Anggraini Sulistya
malah membelok-
kan pembicaraan.
Suropati mengangguk.
"Kau sudah menemukan cara
untuk men-
gatasi pasukan I Halu Rakryan
Subandira si
pengkhianat keparat itu?"
Suropati terlihat garuk-garuk
kepalanya.
"Bagaimana, Suro?"
desak Anggraini Sulistya. Su-
ropati hanya nyengir kuda, lalu
tertawa ter-
kekeh-kekeh.
***
Walau tampak konyol dan amat
bodoh, tapi
otak Pengemis Binal sebenarnya sangat cemer-
lang. Prabu Singgalang
Manjunjung Langit men-
gangguk-anggukkan kepala ketika
Suropati me-
nyampaikan gagasannya.
"Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi berisi
tentang seluk-beluk peperangan.
Termasuk bagai-
mana mengatasinya. Tapi, cara
mengatasi itu ter-
gantung pada kemampuan kepala
pasukan untuk
menyusun siasat. Tergantung juga
pada besar-
kecilnya pasukan...," tutur
Pengemis Binal. "Jadi,
untuk mengatasi kemelut di
negeri ini Kitab Se-
laksa Dewa Turun Ke Bumi tidak
memberikan ca-
ra apa-apa. Siasat yang jitu harus
kita susun
sendiri. Tentu saja dengan
berpedoman pada isi
kitab."
"Kau yakin apa yang telah
kau sampaikan
kepadaku tadi dapat membuahkan
hasil?" tanya
sang Raja, menimbang keyakinan
Pengemis Binal.
Suropati menggaruk kepalanya
yang tak
gatal. "Tadi sudah saya
katakan kepada Ayahanda
Prabu, untuk mengatasi kemelut
di negeri ini ada
dua cara. Pertama, kita tangkap
pemimpinnya.
Dengan demikian nyali pasukan
pemberontak
akan ciut. Mereka perlu berpikir
beberapa kali la-
gi untuk melanjutkan
pemberontak. Mereka juga
butuh pemimpin baru. Nah, ketika
mereka sedang
dilanda kesulitan inilah saat
yang tepat untuk
menggempur."
"Tapi, kukira cara pertama
itu sulit dilak-
sanakan. Kita tidak tahu di mana
I Halu Rakryan
Subandira berada. Setelah
kepergok di puri kecil
di perbatasan selatan kotapraja,
dia tentu akan
lebih berhati-hati," tutur
Prabu Singgalang Man-
junjung Langit.
"Agaknya memang demikian.
Cara pertama
tampaknya sulit
dilaksanakan...," tegas Pengemis
Binal. "Namun, cara kedua
lebih mudah. Bila
Ayahanda menyetujui, sore ini
juga kita laksana-
kan."
"Aku mendukung jalan
pikiranmu sepe-
nuhnya, Anakku...," ujar
sang Raja. Direngkuh-
nya bahu Suropati, lalu
dipeluknya erat-erat.
"Hyang Widhi maha
adil...," bisiknya. "Kebenaran
pada akhirnya akan dapat
mengalahkan kebati-
lan."
Suropati terharu mendengar
ucapan Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Dia balas meme-
luk. Dinikmatinya kebahagiaan
bersama orangtua
kandung yang baru diketahuinya
beberapa hari
lalu. Lama sekali mereka saling
berpelukan. Tapi,
Suropati yang konyol tiba-tiba
menggaruk-garuk
kepala sambil cengar-cengir.
"Kenapa kau, Suro?"
tanya sang Raja, he-
ran.
"Ah, tidak apa-apa.
Hanya...."
"Hanya apa?"
"Tadi Ayahanda Prabu
memelukku sangat
erat. Padahal aku belum mandi
sejak pagi. He he
he...."
Mendengar ucapan putranya, Prabu
Sing-
galang Manjunjung Langit
tersenyum tipis. Lalu,
turut tertawa terkekeh-kekeh.
***
Sore itu juga diumumkan kepada
seluruh
warga kotapraja bahwa akan
terjadi penyerbuan
pasukan tak dikenal. Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit memerintahkan agar
mengungsi esok
pagi buta, demi keselamatan
warga kotapraja.
Maka ketika keesokan harinya
seluruh
warga kotapraja
berbondong-bondong mengungsi,
bingunglah pasukan pemberontak
yang dipimpin
I Halu Rakryan Subandira.
Apalagi Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit membagi
warga kotapraja
menjadi dua. Satu bagian
mengungsi ke selatan.
Satu bagian lagi ke utara.
"Apa tidak sebaiknya
kesempatan ini kita
gunakan untuk menggempur
istana?" usul Karma
Salodra saat mengadakan
perundingan kilat.
I Halu Rakryan Subandira
mengerutkan
kening. Otaknya dipaksa berpikir
keras.
"Aku tahu pengungsian
seluruh warga ko-
tapraja ini adalah siasat Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit...," lanjut
Malaikat Baju Putih.
"Sebaiknya siasat itu kita
lawan pula dengan sia-
sat. Kalau kita gempur istana,
mereka tidak akan
mengira."
"Siapa bilang?" sahut
I Halu Rakryan Sub-
andira. "Raja tua itu tentu
telah memperhitung-
kan segalanya. Aku khawatir bila
kita menggem-
pur istana, justru kita masuk
perangkap."
"Lalu, apa yang harus kita
lakukan?"
I Halu Rakryan Subandira
terdiam. Dipe-
rasnya otak lebih keras lagi.
Wajahnya terlihat
semakin tua dan murung.
"Kalau saja Kakang
Subandira menyerbu
istana sejak dulu-dulu,
akibatnya tidak akan se-
perti ini...," gerutu Karma
Salodra.
"Jangan menyalahkan
aku!" bentak I Halu
Rakryan Subandira. "Semua
rencana yang telah
kususun hancur berantakan
gara-gara kemuncu-
lan Suropati dan Ingkanputri
keparat itu. Dan la-
gi, Tumenggung Sangga Percona
pun sangat ber-
tele-tele dalam mengambil
keputusan. Makanya
aku perintahkan untuk membunuh
Tumenggung
Lemah Abang itu!"
Mendengar keluhan kakaknya.
Karma Sa-
lodra hanya membisu.
"Aku tak mau kekuatan
pasukanku terbaca
pihak istana," lanjut I
Halu Rakryan Subandira.
"Segera kau kembali ke
kotapraja, Salodra. Bagi
pasukan menjadi dua. Ikuti ke
mana warga kota-
praja mengungsi."
"Lalu?"
"Begitu mendapat
kesempatan, kita gempur
istana!"
"Kenapa tidak langsung saja
saat warga ko-
tapraja mengungsi?" tanya
Karma Salodra sekali-
gus mengajukan lagi usulnya.
"Bodoh! Bagaimana kita bisa
menyatukan
kekuatan bila keadaan di kotapraja
sedang ka-
cau? Di istana ada Anggraini
Sulistya dengan Pa-
sukan Hitam-nya. Belum lagi
Suropati, Ingkanpu-
tri, dan Raka Maruta. Ada pula
Senopati Guntur
Selaksa dan Patih Sanca
Singapasa. Mereka se-
mua orang-orang yang tak bisa
dipandang ren-
dah."
"Baiklah, aku ke kotapraja
sekarang," Kar-
ma Salodra akhirnya menyerah
juga pada ke-
mauan kakaknya.
***
Pagi baru saja datang. Sinar
mentari me-
nyapa Kotapraja Pasir Luhur.
Namun, sapaan itu
tak tersambut keramaian orang
seperti hari-hari
biasa. Seluruh warga kotapraja
telah meninggal-
kan tempat kediaman mereka.
Para pengungsi yang menuju arah
selatan
tampak bingung ketika Senopati
Guntur Selaksa
memerintahkan untuk kembali.
Alasannya, pasu-
kan tak dikenal mengurungkan
niat untuk me-
nyerbu. Sebagian orang menyambut
gembira. Se-
bagian lagi menggerutu. Mereka
menduga Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
terlalu cepat men-
gambil keputusan untuk
mengungsikan war-
ganya. Ternyata
kekhawatiran akan terjadinya
pertempuran tak terbukti. Tapi
walau bagaima-
napun, mereka menurut saja.
Di pintu gerbang kotapraja
mereka disam-
but puluhan prajurit bersenjata
lengkap. Tidak
semua warga kotapraja boleh
memasuki kota. Me-
reka harus dapat menunjukkan
bukti sebagai
warga kotapraja. Dari sinilah
terlihat siapa warga
yang asli dan siapa pasukan
pemberontak yang
dipimpin I Halu Rakryan
Subandira. Akhirnya pa-
ra pemberontak itu bersembunyi
di suatu tempat.
Mereka tak kembali ke kotapraja.
Saat pengungsi yang menuju ke
selatan te-
lah kembali, pengungsi kelompok
kedua ganti di-
minta kembali ke kotapraja.
Dengan penjagaan
yang sangat ketat di gerbang
kotapraja, pasukan I
Halu Rakryan Subandira yang
sedang menyamar
tak satu pun dapat masuk ke
kotapraja.
"Langkah pertama berhasil
kita laksanakan
dengan baik, Ayahanda
Prabu...," ujar Pengemis
Binal di istana. "Langkah
berikutnya adalah
menggempur para pemberontak itu.
Karena me-
reka kelompok yang terdiri dari
ratusan orang,
mudah saja untuk mengetahui di
mana mereka
berada."
"Benar otakmu, Suro,"
tegas Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit.
"Lebih baik menggempur
daripada digempur. Sekarang kau
bantu Senopati
Guntur Selaksa dan Patih Sanca
Singapasa untuk
menumpas pasukan I Halu Rakryan
Subandira."
"Saya akan membantu dengan
sekuat te-
naga," ujar Pengemis Binal.
***
Pertempuran besar-besaran
terjadi di se-
buah bukit yang terletak di
sebelah barat kotapra-
ja. Walau prajurit istana kalah
dalam jumlah, tapi
karena dibantu tokoh-tokoh
persilatan, mereka
dapat memukul mundur pasukan I
Halu Rakryan
Subandira.
Ketika Kalasangit terbunuh,
pasukan pem-
berontak makin kocar-kacir. I
Halu Rakryan Sub-
andira melarikan diri ke utara.
Karma Salodra
atau Malaikat Baju Putih turut
melarikan diri pu-
la, arahnya ke timur. Kedua
pemberontak itu
memendam rasa kecewa yang sangat
karena cita-
cita mereka tak kesampaian.
Karma Salodra berlari ke arah
Kerajaan
Anggarapura. Namun, langkahnya
terhenti ketika
dia tahu di belakangnya
mengikuti seorang pe-
muda berpakaian putih-kuning.
"Kentut busuk! Berani benar
kau mengiku-
ti Malaikat Baju Putih!"
maki Karma Salodra
sambil menggedrukkan kaki ke
tanah.
Penguntit yang tak lain Raka
Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang cuma
tersenyum. "Kena-
pa kau malah berlari ketika anak
buahmu terde-
sak? Bukankah itu menandakan
dirimu seorang
pengecut?" ejeknya.
"Ha ha ha...!"
Malaikat Baju Putih malah
tertawa bergelak. "Bila
jalan yang dituju sudah
tak dapat dilewati, kenapa kau tidak
mengambil
jalan yang lain?"
"Itu tandanya kau memang
seorang penge-
cut! Tidak kau coba singkirkan
aral yang merin-
tangi jalanmu itu."
"Apakah itu berarti kau
memintaku untuk
meneruskan pemberontak?"
jebak Malaikat Baju
Putih.
"Tidak. Aku hanya ingin kau
bersikap ksa-
tria."
"Persetan dengan semua itu!
Biarkan aku
pergi. Aku akan sangat berterima
kasih."
"Tapi, aku akan sangat
berterima kasih lagi
seandainya kau menyerah untuk
dihadapkan ke
pengadilan istana."
"Baik, aku menyerah. Tapi,
terimalah dulu
salam perkenalan dari Malaikat
Baju Putih!"
Karma Salodra meloloskan pedang
yang
tersimpan di punggung. Tubuhnya
langsung ber-
kelebat dengan tusukan maut ke
ulu hati Raka
Maruta.
Trang...!
Kipas baja putih di tangan Pendekar
Kipas
Terbang mampu mementalkan pedang
Karma Sa-
lodra. Lelaki itu menggeram gusar merasakan
tangannya kesemutan. Untung
pedangnya tidak
lepas dari pegangan.
"Aku beri kesempatan
kepadamu untuk
menyerah. Barangkali Baginda
Prabu berkenan
memberi hukuman yang lebih
ringan," ujar Raka
Maruta.
"Simpan kata-katamu
itu!"
Usai berkata, kembali tubuh
Malaikat Baju
Putih berkelebat. Pendekar Kipas
Terbang segera
mengibaskan senjata andalannya
ke samping ka-
nan. Selarik sinar putih melengkung memapaki
tubuh Karma Salodra yang masih
melayang.
Lelaki itu terkejut setengah
mati. Tusukan
pedangnya diurungkan. Dalam
kedudukan tak
menguntungkan ini pedang
panjangnya diputar di
depan dada.
Terdengar letusan yang
menyakitkan. Bun-
ga api memercik ke berbagai
penjuru. Tubuh
Karma Salodra terpental balik
lalu terjengkang ke
tanah.
"Uh!" keluh Malaikat
Baju Putih seraya
bangkit berdiri. "Keparat
kau, Maruta!"
Kembali adik I Halu Rakryan
Subandira itu
menerjang Raka Maruta. Kali ini
dia lebih waspa-
da. Dimainkan jurus-jurus pedang
terhebat yang
dimilikinya. Namun Raka Maruta
yang memain-
kan jurus 'Kipas Terbang
Membelah Angin' dapat
mengimbangi. Bahkan, kipas baja
putih Raka Ma-
ruta terlihat melayang-layang di
udara bagai bu-
merang yang dikendalikan dari
jauh. Repotlah
Karma Salodra. Semua serangannya
selalu dapat
digagalkan.
Trang...!
Malaikat Baju Putih memekik
keras. Pe-
dang di tangannya terlontar ke
udara ketika
membentur kipas baja putih.
Belum sempat dia
mengawali serangannya, kipas
baja putih telah
melesat sangat cepat.
"Argh...!"
Karma Salodra bergerak mundur
tiga lang-
kah. Tangannya mendekap bahu
kiri yang koyak
lebar terpapas senjata Raka
Maruta. Cairan darah
merembes dari sela-sela jemari.
Tiba-tiba mata Malaikat Baju
Putih bersi-
nar aneh. "Diamlah di
tempatmu, Maruta!" perin-
tahnya dengan dilambari ilmu
sihir.
Rupanya ilmu sihir lelaki
berambut dikucir
itu mempunyai kekuatan hebat.
Raka Maruta
termangu di tempatnya. Kipas
baja putih yang
masih melayang di udara langsung
jatuh ke tanah
karena tak dikendalikan lagi.
Melihat kesempatan bagus ini,
Malaikat
Baju Putih menyorongkan kedua
telapak tangan-
nya ke depan. Dua larik sinar
kuning meluruk ke
arah Raka Maruta yang masih
berdiri terpaku!
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana di
angkasa.
Bebatuan bercampur gumpalan
tanah berhambu-
ran. Tubuh Pendekar Kipas
Terbang mencelat dan
jatuh berdebam ke tanah. Tapi,
dia segera bangkit
berdiri tanpa mengalami cedera
yang berarti. Tu-
buhnya hanya terhempas akibat
guncangan bu-
mi. Agaknya, ada orang yang
telah memapaki pu-
kulan jarak jauh Karma Salodra.
"Aku menduga kaulah orang
suruhan I Ha-
lu Rakryan Subandira yang
membunuh ayahku,
Salodra!" ujar Saka
Purdianta atau Dewa Guntur.
Pemuda ini tiba-tiba saja
muncul.
"Hmm.... Kau hendak
mencampuri urusan
orang, Saka!" sahut Karma
Salodra. "Kenapa kau
menyelamatkan Raka Maruta?
Apakah kini kau
telah menjadi orang baik-baik
untuk menebus
semua dosamu?"
"Jangan banyak bacot! Akui
saja kalau kau
yang telah membunuh
ayahku!"
"Ha ha ha...!"
Malaikat Baju Putih tertawa
bergelak. Namun, segera terhenti
karena darah
terus mengucur dari luka di bahu
kirinya. "Aku
tak punya waktu bermain-main
dengan kalian!"
Karma Salodra menghemposkan
tubuhnya
untuk berlalu dari hadapan Saka
Purdianta dan
Raka Maruta.
"Mau lari ke mana
kau?!" bentak Dewa
Guntur seraya meloncat tinggi.
Dihadangnya ge-
rakan Karma Salodra.
Duk...!
Kepalan tangan Saka Purdianta
memben-
tur siku kanan Karma Salodra.
Begitu menginjak
tanah, Saka Purdianta meloloskan
pedang yang
terselip di pinggang.
"Aku ingin kau mengakui
bahwa kau yang
membunuh ayahku, Salodra!"
ujar Dewa Guntur
sambil menudingkan ujung
pedangnya ke muka
Karma Salodra.
Malaikat Baju Putih tersenyum
tipis. "Ka-
lau benar aku yang membunuh
ayahmu, kau
mau apa? Bukankah Tumenggung
Sangga Perco-
na itu kakek-kakek lamban yang
sudah patut ma-
ti?"
"Bangsat!" umpat Dewa
Guntur. Pedangnya
dikibaskan ke leher Karma
Salodra. Tapi, lelaki
setengah baya itu telah lebih
dulu meloncat ke
samping.
Ketika terjadi pertempuran
antara Saka
Purdianta dengan Karma
Salodra, Raka Maruta
mencari kipas baja putihnya yang
tadi mencelat
jauh. Begitu didapatkan, dia
segera turut mener-
jang Karma Salodra.
"Aku tak hendak membunuhmu,
Salodra.
Kecuali kau terus melawan,"
ujar Pendekar Kipas
Terbang.
"Tapi aku tetap akan
membunuhmu, Bang-
sat!" sahut Malaikat Baju
Putih di antara cecaran
serangan.
Menghadapi dua lawan bersenjata,
kea-
daan Karma Salodra sangat payah.
Apalagi luka
di bahu kirinya masih terus
mengucurkan darah.
Itu membuat tenaganya semakin
terkuras. Tak
sampai sepeminum teh, pedang
Saka Purdianta
berhasil merobek punggung lawan.
Raka Maruta
pun membuat luka di pinggang
kiri.
"Keparat!" umpat
Malaikat Baju Putih. Tu-
buhnya sudah berdiri
sempoyongan. Pakaian
yang dikenakannya berlumuran
darah. Tapi, tak
hendak dia menyerah. Tiba-tiba
matanya berkilat
aneh, sementara tangan kanannya
mengeluarkan
pisau kecil dari balik baju.
"Awas! Dia hendak
mengeluarkan ilmu si-
hir!" Pendekar Kipas
Terbang mengingatkan Dewa
Guntur.
Peringatan itu sebenarnya tak perlu.
Dewa
Guntur telah mengetahuinya. Maka sebelum
Karma Salodra mengeluarkan ilmu
sihirnya, dia
telah berkelebat.
Crash...!
Jerit nyaring membahana di
angkasa. Be-
berapa saat tubuh Karma Salodra
tetap berdiri.
Namun ketika angin berhembus
lebih kencang,
tubuh terbungkus pakaian putih
noda darah itu
jatuh berdebam ke tanah dengan
tanpa kepala!
Saka Purdianta menarik napas
panjang.
Ditatapnya wajah Raka Maruta
lekat-lekat. "Aku
tahu kau mencintai Anggraini
Sulistya. Aku pun
tahu putri Baginda Prabu itu
juga mencintaimu.
Tak ingin aku menghancurkan
kebahagiaan ka-
lian."
Mendengar kata-kata Saka
Purdianta, Raka
Maruta diam saja. Dia tak tahu
akan mengu-
capkan apa. Yang jelas, Raka
Maruta tahu benar
kalau Saka Purdianta patah hati.
Cintanya pada
Anggraini Sulistya tak
kesampaian.
"Kau sangat gagah,
Maruta...," puji Dewa
Guntur dengan suara bergetar.
"Anggraini Sulis-
tya pun cantik jelita. Kalian
adalah pasangan
yang serasi. Dewa Guntur
mengucapkan sela-
mat..."
Di ujung kalimatnya, Saka
Purdianta ber-
kelebat pergi meninggalkan Raka
Maruta. Pemuda
itu masih juga belum membuka
suara. Hanya di-
pandanginya kepergian Saka
Purdianta.
***
Di pinggir hutan jati jauh ke
utara kotapra-
ja tampak pertempuran sengit.
Seorang lelaki se-
tengah baya melawan seorang
remaja tampan dua
puluh tahunan. Yang tua
mengenakan jubah
kuning sedang yang muda
berpakaian putih pe-
nuh tambalan dan bersenjatakan
tongkat kayu
butut. Mereka adalah I Halu
Rakryan Subandira
dan Suropati atau Pengemis
Binal. Rupanya, Su-
ropati dapat menyusul I Halu
Rakryan Subandira
yang melarikan diri setelah
pasukannya terdesak.
Dilihat dari keadaan ajang
pertempuran,
kedua petarung itu agaknya sudah
sekian lama
saling serang. Di sana-sini
terlihat kubangan di
tanah. Beberapa pohon jati telah
tumbang. Ke-
mungkinan besar tertimpa pukulan
jarak jauh
yang nyasar.
Pedang di tangan I Halu Rakryan
Subandi-
ra berkelebatan sangat cepat.
Setiap lelaki tua itu
membabat atau menusuk maka
malaikat maut
pun mengintai nyawa lawannya.
Serangan I Halu Rakryan
Subandira terka-
dang dapat dimentahkan dengan
tangkisan tong-
kat Pengemis Binal. Suropati tak
dapat berbuat
banyak ketika I Halu Rakryan
Subandira menge-
butkan ujung lengan
jubahnya. Tubuh remaja
konyol itu terjajar dua depa.
Gelombang angin be-
sar yang timbul dari kebutan
Pusaka Jubah Kun-
ing telah menghempaskan
tubuhnya. Saat itulah I
Halu Rakryan Subandira melesat
cepat dengan
ujung pedang diacungkan lurus ke
depan.
Tas...!
Untunglah Suropati masih sempat
berkelit
ke samping. Tapi, tak urung
tongkatnya mencelat
lepas dari pegangan ketika
membentur pedang.
"Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan.
"Kini tamatlah ri-
wayatmu, Pengemis Binal. Akan
kutusuk jan-
tungmu!"
Pengemis Binal meloncat tinggi
ketika I Ha-
lu Rakryan Subandira meluruk
maju. Dalam kea-
daan masih melayang di udara,
dihantamkan te-
lapak kaki kanannya ke punggung
kepala pen-
gawal istana tersebut.
Desss...!
Tendangan Suropati mengenai
sasaran
dengan telak. I Halu Rakryan
Subandira terjung-
kal, lalu bergulingan di tanah.
Tapi dia segera
bangkit tanpa mengalami luka.
Pusaka Jubah
Kuning yang dikenakan telah
menyelamatkannya.
Pengemis Binal terkejut juga
melihat la-
wannya bangkit begitu mudah.
Padahal tendan-
gannya tadi dilambari seluruh
kekuatan tenaga
dalam.
"Hmm.... Wajahmu pucat,
Bocah Edan!
Agaknya kau sudah melihat
Malaikat Kematian!"
ejek I Halu Rakryan Subandira.
"Tepat! Aku memang melihat
Malaikat Ke-
matian. Namun, yang akan dia
cabut adalah nya-
wamu!" balas Pengemis
Binal.
I Halu Rakryan Subandira
menggeram.
Diserangnya Suropati lebih
ganas. Tapi dengan
mengandalkan jurus 'Pengemis
Meminta Sede-
kah', remaja konyol itu mampu
menepis semua
serangan. Bahkan berkali-kali
tubuh I Halu Ra-
kryan Subandira kena pukulan
atau tendangan.
Suropati pun bertambah
penasaran. Pusaka Ju-
bah Kuning benar-benar membuat
tubuh I Halu
Rakryan Subandira jadi kebal.
"Hmm.... Kenapa tak
kugunakan ilmu toto-
kan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'?" pikir Suropati.
Merasa mendapat akal bagus,
Pengemis
Binal bergegas menghemposkan
tubuh menjauhi
ajang pertempuran. Begitu
menginjak tanah, dia
satukan dua telunjuk jari
tangannya di depan da-
da. Dikerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam
dan ilmu sihirnya. Tubuh
Pengemis Binal berke-
lebat menjadi sebuah bayangan
hampir kasatma-
ta.
Blab! Blab! Blab!
Bayangan Suropati mengitari
tubuh I Halu
Rakryan Subandira yang cuma
berdiri terpaku
karena terkena pengaruh sihir.
Namun, betapa terkejutnya
Suropati. Keti-
ka melancarkan totokan, ujung
jari telunjuknya
bagai membentur lempengan baja
amat keras. Il-
mu totokan 'Delapan Belas tapak
Dewa' ternyata
tak mempan.
"Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira
yang sudah lepas dari pengaruh
sihir langsung
tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kau malah me-
mijat-mijat tubuhku, Bocah
Edan?!"
"Uh! Jubah Kuning yang
dikenakan
pengkhianat itu benar-benar
jubah pusaka...," ka-
ta hati Pengemis Binal.
"Untuk mengalahkannya
aku harus menanggalkan jubah
itu."
"Hei! Kenapa kau malah
diam, Bocah
Edan?!" ejek I Halu Rakryan
Subandira. "Apakah
kau berpikir untuk melepaskan
aku? Atau,
mungkin kau ingin menjadi
muridku?"
"Cih! Siapa sudi menjadi
murid pengkhia-
nat busuk sepertimu?!"
sahut Pengemis Binal.
Remaja konyol itu segera
memusatkan seluruh
pikirannya untuk menghimpun
kekuatan batin.
Begitu dapat, matanya langsung
memancarkan
sinar aneh.
"Tanggalkan jubah yang kau
pakai, Suban-
dira!" perintah Suropati
dengan dilambari seluruh
kekuatan sihirnya.
Tapi, I Halu Rakryan Subandira
yang tak
mau terkecoh untuk kedua kalinya
ketika terma-
kan sihir Suropati saat
menyerahkan Kitab Selak-
sa Dewa Turun Ke Bumi, segera
mengebutkan ju-
bahnya tiga kali. Hasilnya
sungguh luar biasa.
Bukan saja pengaruh sihir
Suropati yang lenyap,
gelombang angin amat dahsyat pun
meluruk.
Pengemis Binal berloncatan ke
sana kemari
menghindari gelombang angin
dahsyat. Jadi bebal
otaknya memikirkan cara untuk
mengalahkan I
Halu Rakryan Subandira. Tapi dia
tidak mau pu-
tus asa. Suropati teringat pada
pesan Anggraini
Sulistya sebelum berangkat
memburu kepala
pengawal istana yang hendak
makar itu. Anggrai-
ni Sulistya meminjamkan padanya
Keris Sengkelit
Bayu Geni yang merupakan benda
pusaka kera-
jaan. Suropati dapat
mempergunakan keris itu ji-
ka memang keadaan begitu
mendesak dan kebe-
radaan Keris Sengkelit Bayu Geni
sangat diperlu-
kan.
"Sekarang kita sama-sama
memakai benda
mustika. Agaknya, pertempuran
ini harus berak-
hir dengan kematian salah
seorang di antara ki-
ta," ujar Pengemis Binal
seraya mengacungkan
Keris Sengkelit Bayu Geni di
tangan kanannya.
"Hmmm.... Walau umurmu masih bau
kandungan, tapi aku tahu kau
memiliki kesaktian
hebat. Tak malu aku mati di
tanganmu," sahut I
Halu Rakryan Subandira. Raut
wajahnya terlihat
tenang-tenang saja. Tapi
sesungguhnya jauh di
dalam hati lelaki tua itu merasa
cemas juga. Dia
tahu pasti keampuhan keris
pusaka kerajaan ter-
sebut.
I Halu Rakryan Subandira
memasang ku-
da-kuda, Pengemis Binal
memandang sebentar
pamor Keris Sengkelit Bayu Geni
di tangannya.
Lalu saat I Halu Rakryan
Subandira menerjang,
Pengemis Binal menghemposkan
tubuh memapa-
ki tendangan lawan.
Pertempuran sengit berlangsung
kembali.
Dalam beberapa kali gebrakan
saja, I Halu Ra-
kryan Subandira berhasil dibuat
sangat kerepo-
tan. Dan ketika Pengemis Binal
memainkan jurus
'Pengemis Menebah Dada'....
Set...!
"Wuaah...!"
Mata I Halu Rakryan Subandira
mendelik.
Sikunya tergores ketajaman Keris
Sengkelit Bayu
Geni. Bayangan ngeri jelas
terpancar di wajahnya.
Suropati terlihat kaget melihat
perubahan
di tubuh lelaki berjubah kuning
itu. Kulit tubuh I
Halu Rakryan Subandira sedikit
demi sedikit me-
lepuh. Lalu, jerit kesakitan pun
membahana di
angkasa. I Halu Rakryan
Subandira ambruk ke
tanah. Lolongan yang lebih keras
terdengar. Kulit
I Halu Rakryan Subandira yang
melepuh tampak
mengelupas. Dan..., matilah
pengkhianat itu den-
gan keadaan yang mengerikan.
Pengemis Binal bergidik ngeri.
Dengan san-
gat hati-hati diambilnya Pusaka
Jubah Kuning
yang dikenakan I Halu Rakryan
Subandira. Begitu
jubah itu terlepas dari tubuhnya
tak ada bekas-
bekas yang menempel akibat melepuhnya
kulit
tubuh. Suropati kemudian
bergegas kembali ke
istana.
Hampir bersamaan waktunya dengan
ke-
matian I Halu Rakryan Subandira,
prajurit kera-
jaan berhasil memukul mundur
pasukan pembe-
rontak. Banyak yang melarikan
diri. Tapi lebih
banyak yang mati di ajang
pertempuran. Hanya
beberapa orang saja yang
bersedia menyerahkan
diri untuk menjadi tawanan.
Anggraini Sulistya, Ingkanputri,
Patih San-
ca Singapasa, Senopati Guntur
Selaksa bersama
prajurit segera kembali ke
kotapraja dengan
membawa kegembiraan.
Padamlah api pemberontakan di
negeri Pa-
sir Luhur. Kebahagiaan Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit tak bisa
digambarkan lagi. Selain
mendapatkan kembali putranya
yang hilang keti-
ka masih bayi, juga dapat
teratasi cobaan di nege-
rinya. Semua ini merupakan
anugerah Tuhan
yang tak ternilai harganya. Sang
Prabu pun ber-
kenan mengadakan pesta syukuran.
Sekaligus
pesta pernikahan Anggraini
Sulistya dengan Raka
Maruta alias Pendekar Kipas
Terbang.
SELESAI
Emoticon