Sang Baskara kembali ke
peraduannya. Perla-
han-lahan gelap menerpa bumi.
Kehidupan malam se-
gera dimulai. Cahaya lampu-lampu
minyak menyinari
Seorang remaja tampan berpakaian
penuh
tambalan tampak berjalan sambil
bersungut-sungut.
Sebentar-sebentar dia
mengayunkan tongkat kayunya.
Beberapa pemuda berpakaian penuh
tambalan berlari
lari kecil mengikuti langkah
remaja tampan yang tak
lain Suropati atau si Pengemis
Binal.
"Tunggu dulu, Suro! Kau
hendak ke maha?!"
tanya salah seorang pemuda yang
mengikuti Suropati.
"Monyet-monyet Kudisan!
Kentut Busuk! Kena-
pa kalian mengikutiku?!"
hardik Suropati seraya mem-
balikkan badan dan mengacungkan
tongkatnya.
"Eit! Jangan marah dulu,
Suro! Kami bermak-
sud baik."
"Maksud baik gundul mu
itu! Aku tidak ingin
nyawa kalian melayang sia-sia.
Aku akan menghadapi
Margana Kalpa seorang diri. Kalian tak perlu ikut
campur. Carilah Kakek Gede
Panjalu, dan tegakkan
kembali Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti!"
"Hei! Kau pemimpin kami,
Suro. Masa' Kakek
Gede yang harus mengumpulkan
orang-orang kita
yang tersebar di berbagai
tempat. Ah, yang benar saja!"
sahut si pemuda bersikeras.
"Aku tidak bercanda! Malam
ini juga aku akan
ke Bukit Bangau. Segeralah
kalian pergi mencari Ka-
kek Gede."
"Bukan hanya kau yang punya
dendam, Suro.
Kami semua turut merasa
kehilangan. Untuk itu, per-
kenankanlah kami ikut menggempur
Perkumpulan
Bangau Sakti yang diketuai si
keparat Margana Kalpa"
Pengemis Binal jadi geregetan
mendengarnya.
Dengan gigi gemelutukan menahan
marah, dia menga-
cungkan tongkatnya
tinggi-tinggi.
"Sudah kubilang kalian tak
usah ikut campur!
Bila masih bandel, tongkat ini
akan menghajar kalian!"
"Kalau mau menghajar ya
silakan. Kami akan
tetap ikut bersamamu ke Bukit
Bangau!" teriak pemu-
da yang lain.
Suropati gemas bukan main
melihat kenekatan
anak buahnya. Berulang kali dia
menggedruk tanah
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian mau pergi atau
tidak?!" bentak remaja
konyol itu kemudian.
"Tidak!" sahut para
pemuda yang berdiri tegak
di hadapan Suropati dengan
sangat kompak.
Pengemis Binal memutar
tongkatnya menyeru-
pai baling-baling. Timbullah
deru angin yang menya-
kitkan gendang telinga.
"Kalau kalian tidak segera
pergi, tongkat ini
akan bicara!" ancam remaja
konyol itu.
"Ha-ha-ha...!"
Yang diancam bukannya takut.
Mereka malah
tertawa terbahak-bahak. Tentu
saja hal itu membuat
Suropati semakin marah. Dia
meloncat. Dan....
Buk...! Buk...! Taak...!
Taak...!
Terdengar jerit kesakitan saling
bersahutan. Pa-
ra pemuda yang nekat itu
melonjak-lonjak memegangi
pantatnya yang bagai dihajar
cambuk api. Sebagian la-
gi melolong keras mendekap
kepalanya yang benjol se-
besar telur ayam.
"Ha-ha-ha...."
Pengemis Binal tertawa
terpingkal-pingkal se-
perti melihat lelucon.
"Mampus kalian!"
Remaja konyol itu melangkahkan
kaki berlalu
dari hadapan anak buahnya. Tapi
belum genap sepu-
luh langkah, Suropati
membalikkan badannya kemba-
li.
"Monyet Bau! Tikus Busuk!
Kenapa kalian ma-
sih mengikutiku?!" maki
remaja konyol itu. Tampak
para anak buahnya berjalan di
belakangnya.
"Biarkan kami ikut
bersamamu, Suro. Kami ju-
ga ingin melampiaskan sakit
hati!"
Suropati menggaruk-garuk kepala,
lalu mulut-
nya mulai menghitung.
"Satu, dua, tiga...,
delapan! Nah, jumlah kali
ada delapan. Anak buah Margana
Kalpa sangat ba-
nyak. Ku
perkirakan satu orang dari kalian
mesti
menghadapi lima puluh lawan.
Kalian berani?!" tan-
tang Suropati.
"Berani!"
Terdengar jawaban serempak. Anak buah Su-
ropati yang berjumlah delapan
orang itu tampak ber-
semangat
"Baik! Kalau begitu, kalian
berjalanlah di de-
pan! "
Mendengar ucapan Suropati, para
pemuda itu
melonjak kegirangan. Mereka
berbaris lalu berjalan mi-
rip prajurit yang akan maju ke
medan perang. Tawa
Pengemis Binal kontan meledak.
Dalam keadaan masih
tertawa dia meloncat! Lalu...
Sret...! sret...! Sret...!
Sret...!
Dengan kecepatan kilat yang
sulit diikuti pan-
dangan mata, remaja konyol itu
melepas seluruh pa-
kaian anak buahnya. Para pemuda
yang nekat itu tak
merasa telah dipermainkan.
Mereka terus berjalan da-
lam keadaan telanjang bulat!
Tentu saja mereka segera jadi
bahan perhatian
orang-orang di tempat itu. Para
wanita menjerit keras
seraya mendekap wajahnya. Ketika
mendengar jeritan
itulah, anak buah Suropati baru
menyadari keadaan
mereka.
Serta-merta kedelapan pemuda
nekat itu du-
duk meringkuk di atas tanah.
Mereka tidak berani
menggerakkan tubuh sedikit pun.
Hanya mata mereka
yang jelalatan berusaha mencari
pakaiannya.
Suropati tertawa
terpingkal-pingkal.
"Kini kalian tak dapat mengikutiku
lagi. Maaf,
ya? Itu kulakukan karena aku
merasa sayang pada
nyawa kalian...."
Remaja konyol itu lalu melangkah
tenang den-
gan kedua tangan tertangkup di
belakang, membawa
tumpukan pakaian anak buahnya.
Setelah berjalan
agak jauh Suropati menjatuhkan
tumpukan pakaian
yang dibawanya ke tanah.
Pengemis Binal kemudian
segera menghemposkan tubuhnya
dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Pintu gerbang kota Kadipaten
Bumiraksa telah
terlewati. Mendadak, sebuah
teriakan menghentikan
langkah kaki Suropati.
"Suro...!"
Sesosok bayangan berkelebat.
Ternyata In-
gkanputri yang hadir di hadapan
Suropati.
Tentu saja remaja konyol itu
terkejut. Seta-
hunya Ingkanputri telah jatuh di
lorong jebakan di
Lembah Tengkorak....
"Kau... kau hantu
gentayangan?" kata Pengemis
Binal tergagap.
"Bukan! Ini aku
Ingkanputri, Suro!"
"Kau tidak mati?"
Suropati menatap penuh he-
ran.
"Tidak!"
"Kau tidak sedang
dipengaruhi ilmu sihir?"
"Tidak!" Ingkanputri
menggelengkan kepalanya
keras-keras.
"Apa buktinya?" tanya
Suropati.
Cup!
Suropati meraba pipinya yang
terasa hangat,
Ingkanputri telah mengecupnya!
"He-he-he...." Pemuda
itu tertawa senang.
"Nikmat, Putri. Cobalah
sekali lagi."
Plak...!
Untuk kedua kali, Suropati
meraba pipinya.
Bukan rasa nikmat yang dia
dapatkan. Ingkanputri te-
lah menamparnya!
"Uh! Begitu saja
marah...," gerutu remaja ko-
nyol itu. "Nggak baik lho
seorang gadis gampang naik
darah. Nanti bisa susah
jodoh!"
"Biar!" hardik
Ingkanputri dongkol.
"Eh, kenapa kau
memanggilku?" tanya Penge-
mis Binal kemudian.
"Kau hendak ke mana?!"
bentak Ingkanputri,
pura-pura masih sewot. Padahal
hatinya sangat se-
nang. Dia telah berjumpa dengan
pujaan hatinya.
"Bicaramu kok ketus begitu,
sih?" sahut Suro-
pati tak senang.
"Biar mulutmu tidak lancang
bicara! Sekarang
jawab pertanyaanku. Kau hendak
ke mana?"
"Kau mau ikut?"
"Jangan pura-pura bloon!
Jawab pertanyaan-
ku."
"Iyalah, Nenek Cerewet! Aku
hendak ke Bukit
Bangau!"
"Ke Bukit Bangau?"
"Ya. Aku akan mencincang
tubuh si bedebah
Margana Kalpa. Dia telah
membunuh ratusan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti di Bukit Panga-
lasan!" geram Suropati
dengan penuh kemarahan. Wa-
jah remaja itu mendadak jadi muram.
"Kita bisa menghadapi
manusia busuk itu ber-
sama-sama, Suro," usul
Ingkanputri.
"Aku tak mau orang lain
ikut terlibat."
"Apa maksudmu?"
"Kepandaian Margana Kalpa
yang berjuluk Ma-
laikat Bangau Sakti sangat
tinggi. Kau tak boleh celaka
di tangan manusia iblis itu,
Putri...."
Hati Ingkanputri jadi diliputi
rasa haru ber-
campur senang mendengar ucapan Pengemis Binal.
Secara tidak langsung Suropati
telah menunjukkan
perhatiannya kepada dirinya.
"Tapi, aku mesti
membalaskan rasa dendam di
hatiku," ucap gadis cantik
itu.
"Kau juga punya urusan
dengannya?"
"Tentu! Margana Kalpa
selain telah membunuh
Kak Anjarweni, juga telah
menghilangkan nyawa Resi
Agaswara yang sangat menyayangi
ku."
"Resi Agaswara? Siapa
dia?" tanya Suropati in-
gin tahu.
Ingkanputri lalu menceritakan
perihal sang Re-
si yang telah membebaskan
dirinya dari pengaruh ilmu
sihir. Pertempuran tokoh tua itu
dengan Margana Kal-
pa dan pertemuannya dengan
Wirogundi serta Gede
Panjalu. Wajah Suropati terlihat
sedikit bersinar
"Rupanya Wirogundi dan
Kakek Gede masih hi-
dup...," gumam Pengemis
Binal.
"Jadi, kau tahu Anjarweni
telah meninggal dari
pemberitahuan mereka,
Putri?"
"Ya," jawab
Ingkanputri pendek.
Mata Suropati mengerjap, remaja
konyol itu la-
lu menggaruk-garuk kepala.
Tiba-tiba, terdengar lantunan
seuntai syair....
Dunia jadi indah ketika cinta
merebak dalam
dada
Jiwa seakan di swargaloka
Hidup di antara tebaran bunga,
sejukkan rasa
Harapan lebur bersama bahagia
yang membuat
lena
Tapi, bila sang kekasih telah
bersaing dalam
dua hati
Segala angan luruh jadi asa mati
Simpati berubah benci
Yang ada hanyalah amarah untuk
segera men-
gakhiri....
Sambil menggaruk-garuk kepala,
Pengemis Bi-
nal menebar pandangan.
"Sebuah syair yang bagus.
Siapa gerangan si
empunya kata-kata?" gumam
remaja konyol itu.
"Pendekar Wanita
Gila," desah Ingkanputri ke-
tika melihat sesosok bayangan
berkelebat dibarengi
tawa panjang.
Kening Suropati berkerut menatap
kehadiran
seorang gadis cantik berpakaian
putih-kuning. Gadis
itu tertawa terbahak-bahak
sambil menuding dirinya.
"Dewi Ikata...," desis
Suropati seraya meng-
hambur ke arah gadis cantik di
hadapannya. Tapi....
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan keras mendarat
di pipi Pen-
gemis Binal. Suropati jatuh
terpelanting.
"Aku benci kau, Suro!"
jerit Dewi Ikata dengan
sinar mata nyalang. Tampaknya
dia marah melihat pu-
jaan hatinya bersama gadis lain.
"Kau.... Kenapa menamparku,
Ika?" Suropati
bangkit berdiri lalu berjalan
mendekati Dewi Ikata.
"Jangan mendekatiku!"
hardik Pendekar Wanita
Gila.
Tapi, Suropati tak mempedulikan.
Dia malah
berusaha memeluk gadis cantik
itu.
Plaaakkk...!
Kembali Pengemis Binal
terpelanting jatuh.
Tamparan keras mendarat di
pipinya. Kalau saja rema-
ja konyol itu tidak melindungi
diri dengan tenaga da-
lam, rahangnya tentu akan remuk
dihantam tamparan
Dewi Ikata.
"Kau... kau kenapa, Ika?
Ini aku Suropati!"
Ucapan Pengemis Binal tak
mendapat tangga-
pan baik. Dewi Ikata cuma
mendengus keras seraya
menerjang. Sayang tendangan Dewi
Ikata ditangkis
oleh Ingkanputri. Dia tidak tega
melihat Suropati dis-
akiti gadis cantik yang rada
sinting itu.
"Huh! Monyet Buduk yang
hanya bisa merebut
kekasih orang lain!" maki
Pendekar Wanita Gila sambil
menatap Ingkanputri dengan sinar
mata benci.
"Apa maksudmu?" tanya
Ingkanputri tak men-
gerti.
"Ha-ha-ha...."
Dewi Ikata tertawa
terbahak-bahak sambil me-
natap langit.
"Oh, Dewata Yang Agung....
Tak ada rasa sakit
yang melebihi sakit hati didera
cemburu. Sembilu asma-
ra merejam kalbu. Membuat
pilu... pilu... pilu...."
Usai mengucapkan kata-kata
bernada sendu
itu Pendekar Wanita Gila
menerjang Ingkanputri den-
gan sebuah serangan
mematikan!
Tentu saja murid Dewi Tangan Api
berusaha
menghindar. Namun Dewi Ikata
menghemposkan tu-
buhnya ke atas, lalu mendarat di
belakang Ingkanputri
sambil melancarkan tendangan
kilat.
Dees...!
Gadis cantik itu merasakan
punggungnya bagai
digedor palu godam. Ingkanputri
terjerembab ke de-
pan. Kecepatan gerak Pendekar
Wanita Gila tak dapat
diikuti Ingkanputri, hingga
tendangannya tepat men-
genai sasaran.
"Aku akan membunuhmu,
Monyet Buduk!"
hardik Dewi Ikata seraya
menerjang Ingkanputri kem-
bali.
"Tahan!" teriak Suropati.
Pemuda itu melompat
hendak menghentikan gerak
Pendekar Wanita Gila.
Tubuh Dewi Ikata segera
melenting ke atas. Se-
buah tendangan ditujukan ke arah
Pengemis Binal!
Wuuuttt...!
Serangan itu hanya mengenai
angin kosong.
Suropati telah menggerakkan
kepalanya ke samping.
"Kenapa kau jadi kalap
seperti itu, Ika?"
Ucapan Pengemis Binal tak
mendapat jawaban.
Dewi Ikata meninggalkan remaja
konyol itu yang berdi-
ri terbengong-bengong keheranan.
"Rasakan pukulanku, Monyet
Buduk!" maki
Pendekar Wanita Gila. Bogem
mentahnya meluncur ke
wajah Ingkanputri.
Gadis cantik murid Dewi Tangan
Api itu berke-
lit. Kemudian, dia balas
menyerang ketika melihat ke-
sungguhan Dewi Ikata menjatuhkan
tangan maut. Tak
lama kemudian, dua gadis cantik
itu telah saling gem-
pur. Mereka terlibat dalam
sebuah pertempuran seru
"Aduh! Apa-apaan ini?"
Suropati menggaruk-
garuk kepala kebingungan.
Remaja konyol itu menonton
pertempuran yang
sedang berlangsung. Tanpa terasa
dia menggaruk ke-
palanya semakin keras.
"Aduh!" keluh Pengemis
Binal. Kulit kepalanya
terasa pedih karena terlalu
keras digaruk.
Mendadak, remaja konyol itu
tertawa terkekeh
sendiri.
"Inilah akibat ketampanan
seorang lelaki. Dua
orang gadis bertempur untuk
memperebutkannya. He-
he-he...."
"Hei! Kenapa kau malah
tertawa, Suro?!" teriak
Ingkanputri sambil
menghindari serangan. "Kau se-
nang melihat kami
bertempur?"
"Ya. He-he-he...."
Ingkanputri menggeram. Dia sudah
tidak bisa
berkata-kata lagi. Dewi Ikata
telah mencecarnya den-
gan serangan bertubi-tubi,
hingga gadis cantik murid
Dewi Tangan Api itu kewalahan.
"Cium kakiku!" teriak
Dewi Ikata seraya melan-
carkan sebuah tendangan
melingkar.
Karena tak mempunyai kesempatan
untuk ber-
kelit, Ingkanputri membuat
tangkisan dengan perge-
langan tangan kanannya.
"Ih...!"
Terdengar jerit kecil Pendekar
Wanita Gila. Tu-
buhnya jatuh terjerembab dengan
kaki kanan terasa
panas bagai tersengat api.
Sadarlah dia kalau tenaga
dalamnya kalah se-
tingkat. Tapi, gadis setengah
sinting itu tak mau men-
galah. Dia mencecar Ingkanputri
dengan serangan be-
runtun. Ingkanputri jadi
kerepotan ketika tiba-tiba
Dewi Ikata berubah bagai
bayangan yang hampir kasat
mata.
Dees...!
Bahu kiri Ingkanputri terkena
bogem mentah
Pendekar Wanita Gila. Gadis
cantik itu terdorong
mundur beberapa tindak.
Saat itulah Dewi Ikata berusaha
mendaratkan
sebuah serangan kilat. Kaki
kanannya meluncur deras
ke arah kepala Ingkanputri.
Suropati yang berada tak
seberapa jauh dari arena
pertempuran segera bertin-
dak cepat. Dengan sebuah
tangkisan dia menghenti-
kan gerak kaki Pendekar Wanita
Gila. Suropati tak
mau melihat gadis yang sangat
disukainya terpelant-
ing, maka dia hanya mengerahkan
seperdelapan dari
seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Padahal Dewi Ika-
ta melancarkan tendangan dengan
sepenuh kemam-
puan. Akibatnya, tangan kanan
Pengemis Binal mental
dan membentur jidat Ingkanputri!
"Aduh!" keluh gadis
cantik itu.
Pendekar Wanita Gila jadi
tertawa terbahak-
bahak. Sementara Ingkanputri
bersungut-sungut.
"Kenapa kau memukul ku,
Suro?"
"Eh, aku tak sengaja,"
sahut Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kau membela dia, ya? Kau
suka pada dia? Dia
mencintaimu, dan kau
menerimanya, kan?"
"Tidak. Eh..., maksudku,
tidak menolak. He
he...."
Mendengar ucapan konyol itu,
Ingkanputri naik
pitam, langsung diterjangnya
Pengemis Binal.
"Eh, jangan sewot,
dong...!"
Suropati menepis kepalan tangan
Ingkanputri.
Remaja Konyol itu lalu
berkelebat cepat. Ingkanputri
terkejut bagai disambar petir di
siang bolong. Tahu-
tahu Suropati telah memeluk
tubuhnya seraya menda-
ratkan sebuah ciuman mesra.
"Ini baru enak.
He-he-he...," ucap Pengemis Bi-
nal sambil tertawa terkekeh.
Ingkanputri merasa jengah.
Serta-merta dia
menjitak kepala Suropati. Remaja
konyol itu segera
melepaskan pelukannya. Dia tak
mau kepalanya jadi
benjol. Tapi, Ingkanputri telah
menerjang dengan se-
rangan beruntun.
Pengemis Binal berloncatan ke
sana-ke mari.
Dia masih sempat melakukan
kebiasaannya, yakni
menggaruk-garuk kepala.
Dewi Ikata yang melihat adegan
Suropati men-
cium bibir Ingkanputri terdengar
menggeram marah.
Dia ikut menerjang remaja konyol
yang sebenarnya
sangat dicintainya itu.
"Uh! Kenapa kalian
mengeroyokku?!" teriak
Pengemis Binal. "Wadouw!
Mati aku!"
Sambil menghindari serangan yang
datang ber-
tubi-tubi, remaja konyol itu
menggerutu panjang-
pendek. Namun melihat
kesungguhan kedua penge-
royoknya, Suropati segera
meloncat jauh dan men-
gambil langkah seribu.
Pengemis Binal berlari cepat
tanpa sedikit pun
menolehkan kepalanya. Belum
seberapa jauh jarak
yang ditempuh mendadak dia
menghentikan langkah.
"Kenapa mereka tak
mengejarku?" gumam re-
maja konyol itu heran.
"Jangan-jangan kedua gadis
cantik itu saling gempur
kembali...."
Karena digeluti rasa khawatir,
Suropati segera
membalikkan badan dan berlari ke
tempat semula. Da-
ri kejauhan dia melihat Dewi
Ikata dan Ingkanputri
tampak berdiri berhadap-hadapan.
Remaja konyol itu
lalu mencari tempat
persembunyian untuk mencuri
dengar pembicaraan mereka.
"Barangkali kedua gadis
cantik itu sedang be-
runding untuk bersama-sama meminang
ku. He-he-
he...," kata hati Pengemis
Binal sambil tersenyum seo-
rang diri. Dia jadi lupa pada
tujuannya untuk pergi ke
Bukit Bangau.
"Kau mencintai Suropati,
Putri?" tanya Dewi
Ikata. Nada ucapannya lebih
menyerupai tuduhan.
"Ya," jawab
Ingkanputri pendek. "Haruskah kita
bertempur untuk mendapatkannya?"
"Bila perlu!" suara
Ingkanputri terdengar begitu
tegas.
"Baik! Kalau begitu, jaga
tubuhmu dari seran-
ganku!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Dewi Ikata
langsung menerjang Ingkanputri.
Dan gadis yang su-
dah menyiapkan diri itu segera
memapaki serangan.
"Ih...!"
Dewi Ikata menarik pergelangan
tangannya. Dia
tak mau berbenturan dengan kaki
Ingkanputri. Tenaga
dalamnya kalah setingkat. Kalau
sampai terjadi bentu-
ran, rasa sakit akan menerpanya.
Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tu-
buh ajaran gurunya yang bergelar
Perangai Gila. Dewi
Ikata melancarkan serangan
bertubi-tubi. Ingkanputri
segera melindungi tubuh dengan
kekuatan tenaga da-
lam. Sesekali dia menyarangkan
pukulan atau pun
tendangan. Lewat sepeminum teh,
murid Dewi Tangan
Api itu meloncat jauh untuk
menghentikan pertempu-
ran.
"Kau pernah mengatakan
kalau dirimu murid
Perangai Gila, namun kenapa kau
bisa memainkan ju-
rus 'Memukul Bayangan'?"
tanya Ingkanputri heran.
"Eyang Perangai Gila memang
guruku. Tapi,
aku juga punya guru yang bernama
Arumsari atau
Dewi Tangan Api. Dialah yang
mengajari ku jurus
'Memukul Bayangan'. Kenapa? Kau
takut, Putri?" ejek
Dewi Ikata.
"Tidak! Tapi, benarkah kau
murid Dewi Tangan
Api?"
"Untuk apa aku
bohong!" Sentak Dewi Ikata.
"Kalau begitu, kita masih
saudara seperguruan,
Ika."
"Apa?! Kau juga murid Eyang
Arumsari?"
Ingkanputri mengangguk. Dewi
Ikata tampak
berpikir. Lalu, dia menatap
wajah Ingkanputri dalam-
dalam.
"Eyang Arumsari memang
pernah bercerita ka-
lau aku punya kakak seperguruan.
Namun aku tak
menyangka ternyata kau,
Putri."
"Aku menyesal telah
bertempur denganmu,"
ucap Ingkanputri sambil berjalan
mendekati Dewi Ika-
ta.
"Akulah yang salah. Aku
yang mengawali," kata
Pendekar Wanita Gila penuh
keramahan. "Kau tahu,
Eyang Perangai Gila adalah kakak
kandung Eyang
Arumsari. Sedangkan nama asli
beliau adalah Sekar
Arum."
Dua gadis cantik itu segera
terlibat percakapan
serius. Mereka saling
menceritakan pengalaman mas-
ing-masing. Suropati yang
mencuri pembicaraan mere-
ka jadi menggerutu.
"Uh! Hanya membuang-buang
waktu saja!" kata
remaja konyol itu seraya berlari
cepat menuju Bukit
Bangau. Dia hendak melanjutkan
niatnya membuat
perhitungan dengan Margana
Kalpa.
5
Bukit Bangau terkepung sepi.
Dingin malam
bagai menusuk tulang. Bulan
sabit di langit membuat
kelam makin memagut. Desau angin
terasa mengun-
dang rasa takut.
Pos penjagaan di pintu gerbang
Perkumpulan
Bangau Sakti tampak lengang.
Puluhan lelaki bersen-
jata golok di pinggang duduk
terpuruk dalam kesu-
nyian. Tak ada kata yang
terucap. Namun, indera me-
reka bekerja untuk dapat
melaksanakan tugas sebaik-
baiknya.
Ketika Galang Gepak atau si
Bayangan Hitam
datang bersama barisan puluhan
lelaki bersenjata go-
lok, para penjaga bangkit dari
tempat duduknya. Ga-
lungking Saba langsung terbangun
dari tidur ayamnya.
Lelaki setengah baya berjanggut
panjang itu memimpin
anak buahnya untuk meninggalkan
pos penjagaan. Pa-
ra penjaga baru akan
menggantikan tugas mereka.
Sementara di dalam sebuah kamar
mewah, di
atas ranjang berkain sutera,
Margana Kalpa sedang
berbaring bersama dua orang
gundiknya yang cantik
jelita dan bertubuh aduhai.
Mereka tampak mesra me-
layani kehendak tuannya. Seorang
membelai-belai
rambut Margana Kalpa. Seorang
lagi terbaring di atas
dada lelaki berwajah pucat itu.
Margana Kalpa sendiri berbaring
telentang me-
natap langit-langit kamar.
Tiba-tiba, lelaki berwajah pucat
itu bangkit dari
tidurnya.
"Kita belum selesai,
Kangmas," ucap seorang
gundik.
"Aku bosan dengan permainan
seperti ini. Ka-
lian tidak sepandai
Indarwa."
"Itu karena Kangmas masih
tergoda oleh
bayangannya."
Seorang gundik beranjak dari
ranjang. Kemu-
dian berdiri di hadapan Malaikat
Bangau Sakti dalam
keadaan tanpa selembar benang
menempel di tubuh-
nya. Dengan mata terpejam dia
mendesah perlahan.
Margana Kalpa menatap sejenak
pemandangan indah
yang menggugurkan kekuatan iman
itu.
"Kemarilah kau!"
perintah Margana Kalpa.
Mendengar ucapan tuannya, si
gundik lang-
sung menghambur hendak memeluk.
Tapi, tak pernah
dia duga telapak tangan kanan
Margana Kalpa men-
cengkeram tengkuknya.
Kemudian...
Bruuukkk...!
Malaikat Bangau Sakti melempar
tubuh gun-
diknya hingga membentur dinding
kamar.
Jerit ngeri terdengar dari mulut
gundik yang
masih berada di atas ranjang.
Wanita itu segera menu-
tup wajah dengan telapak tangan.
Ngeri melihat tubuh
temannya menggelosor di lantai
dengan kepala pecah
bersimbah darah.
"Kalian hanya babi-babi
dungu yang tak mele-
bihi kepandaian Indarwa!"
Margana Kalpa menyebut nama
kekasihnya
yang telah mati di tangannya
sendiri. Indarwa berkein-
ginan makar dari perkumpulan.
Kemudian, Malaikat
Bangau Sakti melangkah keluar
kamar. Dia menuju
ruangan sempit di mana terdapat
sebuah pintu batu.
"Kukira sekarang hari sudah
lewat tengah ma-
lam...," gumam lelaki
berwajah pucat itu. "Dengan ilmu
Resi Agaswara yang telah ku hisap, aku akan segera
membangkitkan arwah
guruku."
Margana Kali menginjak sebongkah
batu yang
terletak di samping pintu.
Dengan sebuah dorongan
halus pintu batu bergeser. Hawa
magis terasa mem-
bayangi tatkala Margana Kalpa
memasuki ruangan.
Setelah ketua Perkumpulan Bangau
Sakti itu
menyalakan obor-obor di pojok
ruangan, cahaya terang
menerpa. Terlihat ruangan
berdinding batu itu kosong
melompong. Tak ada satu barang
pun kecuali sebuah
peti mati yang disandarkan
berdiri di dinding.
Perlahan-lahan Malaikat Bangau
Sakti membu-
ka penutup peti mati yang
terbuat dari kayu besi tua.
Bau busuk segera menyebar.
Margana Kalpa hanya
sedikit menggelengkan kepala.
Sepertinya dia sudah
terbiasa oleh bau busuk yang
dihirupnya.
Malaikat Bangau Sakti kemudian
melangkah
mundur lima tindak. Ditatapnya
berlama-lama bangkai
manusia yang terpampang di
hadapannya. Wujud
bangkai itu sudah sangat
mengenaskan dan tak dapat
dikenali lagi. Dagingnya telah
membusuk, menampak-
kan ulat-ulat kecil yang sedang berpesta-pora.
"Guru...," gumam
Margana Kalpa. Lelaki itu te-
lah duduk bersimpuh seraya
membenturkan jidatnya
ke lantai tiga kali. "Aku
akan membangkitkan arwah-
mu."
Malaikat Bangau Sakti merubah
sikap duduk-
nya menjadi bersila. Kedua
tangan bersedekap di de-
pan dada dan mata terpejam
rapat. Lelaki itu segera
memusatkan seluruh kekuatan
batinnya untuk men-
capai alam nirwana.
Tak lama kemudian, Margana Kalpa
membuka
matanya. "Agaswara
keparat!" umpatnya. Suara yang
keluar menggema keras terpantul
oleh dinding batu.
Rupanya, Malaikat Bangau Sakti
menemui ke-
gagalan untuk membangkitkan
arwah gurunya. Selu-
ruh ilmu kesaktian Resi Agaswara
yang terhisap oleh-
nya tak mengikutkan ilmu
'Pembangkit Arwah.' Se-
hingga maksud hati Margana Kalpa
tak kesampaian.
Apa yang terjadi memang demikian
halnya.
Jauh hari sebelum Resi Agawara
terkena ilmu 'Sakti
Penghisap Daya' milik Malaikat
Bangau Sakti, dia telah
melenyapkan ilmu 'Pembangkit
Arwah'-nya. Resi itu te-
lah mencium maksud Margana Kalpa
yang ingin mem-
bangkitkan arwah gurunya.
Hingga beberapa lama hati
Margana Kalpa ma-
sih diliputi hawa amarah. Tapi,
dia segera sadar kalau
amarahnya tak akan memperbaiki
keadaan. Lelaki
berwajah pucat itu lalu
memusatkan kekuatan batin
kembali. Dia berusaha berbicara
dengan arwah gu-
runya.
"Guru, aku tak dapat
mewujudkan keinginan-
mu untuk kembali ke alam fana.
Ilmu 'Pembangkit Ar-
wah’ telah lenyap dari muka
bumi," adu Margana Kal-
pa melalui hubungan batin.
Tak ada suara yang dapat
ditangkap indera
enam lelaki berwajah pucat itu.
"Maafkan aku,
Guru...," kata batin Malaikat
Bangau Sakti.
"Margana Kalpa!"
Margana Kalpa yang duduk
bersemadi bergetar
hebat. Dewa Tapak Hitam menyebut
namanya dari
alam gaib.
"Maafkan aku,
Guru...."
"Kau tak dapat
membangkitkan arwahku tak
jadi apa. Aku pun menyadari
badan kasar ku telah
membusuk. Aku tak mungkin lagi
menyusup di da-
lamnya. Untuk menyusup ke badan
orang lain, aku
tak sudi. Aku tak mau hidup
dalam jasad orang
lain...."
"Lalu, apa kehendak Guru
kemudian?" tanya
Margana Kalpa.
"Aku harus menerima
keadaanku yang seka-
rang. Tak dapat berkumpul dengan
jiwa-jiwa gaib lain.
Juga tak bisa kembali ke alam
nyata."
"Tapi Guru akan tetap
membantu untuk mewu-
judkan cita-citaku, bukan?"
Margana Kalpa kelihatan
sangat cemas. Dia memang sangat
membutuhkan ban-
tuan gurunya.
"Ya."
Sampai di situ hubungan batin
guru dan murid
terhenti. Margana Kalpa bangkit
dari duduknya. Ke-
mudian dia tertawa
terbahak-bahak....
Sesosok bayangan berkelebat
cepat mengitari
benteng Perkumpulan Bangau
Sakti. Bayangan itu
naik ke atas pohon yang tinggi
menjulang tak jauh dari
dinding benteng. Dalam cahaya
temaram terlihatlah
bayangan itu tak lain si
Pengemis Binal.
"Tempat kediaman Margana
Kalpa tampaknya
dijaga sangat ketat...,"
gumam remaja konyol itu sam-
bil melihat ke dalam benteng
dari atas puncak pohon.
Walaupun dahan yang diinjaknya
tak lebih besar dari
jempol jari tangan, tapi dahan
itu sama sekali tak me-
lengkung menahan tubuh Suropati.
Kenyataan itu me-
nunjukkan ilmu meringankan tubuh
remaja konyol ini
sudah mencapai kesempurnaan.
"Tapi, jangan dikira aku
tak dapat menembus
penjagaan yang sedemikian ketat
itu...."
Pengemis Binal menimang-nimang
tongkat
kayu yang dibawanya.
Kemudian.... Remaja konyol itu
meloncat. Tubuhnya melayang di
atas benteng yang
tingginya tak kurang dari tiga
tombak. Ketika Suropati
mendaratkan kaki di tanah, tak
sedikit pun suara yang
timbul.
"Aman...," bisik
Suropati kepada diri sendiri.
"Sekarang aku akan memasuki
tempat kediaman Mar-
ga Kalpa."
Selagi remaja konyol itu hendak
menghem-
poskan tubuhnya kembali,
tiba-tiba sebuah teriakan
mengejutkannya.
"Hei...! Si...."
Dua orang lelaki bertampang
kasar yang me-
mergoki kehadiran Pengemis Binal
terperangah kaget.
Mereka berdiri kaku di
tempatnya.
Rupanya, dengan gerak cepat yang
sulit diikuti
pandangan mata, Suropati
menjentikkan dua biji keri-
kil. Dan tepat mengenai sinus
pusat urat syaraf tubuh
anggota Perkumpulan Bangau
Sakti.
Apa yang dilakukan Pengemis
Binal hanya da-
pat dilakukan tokoh-tokoh rimba
persilatan jajaran
atas. Menotok jalan darah dengan
sebutir kerikil harus
memperhitungkan terlebih dahulu
kekuatan tubuh la-
wan. Apabila salah perhitungan,
bukan mustahil keri-
kil itu akan bersarang di tubuh
sasaran. Atau, mung-
kin tak berpengaruh apa-apa
karena tenaga dalam
yang di lontarkan melalui
kerikil kurang kuat. Sebab
itulah tak sembarang tokoh rimba
persilatan dapat me-
lakukannya.
Sebentar kemudian, tubuh
Suropati berubah
jadi bayangan yang berkelebat
cepat. Pemuda itu me-
masuki bagian belakang bangunan
dengan membuka
genteng. Pengemis Binal lalu
berjalan mengendap me-
meriksa setiap ruangan yang ada.
Saat remaja konyol
itu keluar dari sebuah lorong
sempit, dia melihat
bayangan Margana Kalpa sedang
berjalan cepat.
"Aku datang untuk membuat
perhitungan den-
ganmu. Manusia Busuk!"
hardik Suropati seraya
menghadang langkah Malaikat
Bangau Sakti.
Margana Kalpa terkejut bagai disambar
petir
melihat kehadiran Suropati.
Padahal dia sudah meme-
rintahkan anak buahnya untuk
melakukan penjagaan
ketat disekitar benteng.
Tapi untuk menutupi
keterkejutannya, Malai-
kat Bangau Sakti mencoba tertawa
dan mengeluarkan
kata-kata ejekan.
"Bocah Gendeng! Kebetulan
sekali kau datang.
Aku sedang membutuhkan tumbal
seorang bocah geb-
lek sepertimu!"
"Huh! Jangan banyak
bacot!" sahut Pengemis
Binal dengan lantang. "Perbuatan biadab yang
telah
kau lakukan di puncak Bukit Pangalasan
hendak ku-
buat perhitungan. Aku
menantangmu duel satu lawan
satu!"
"Ha-ha-ha...!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa
terbahak-bahak.
Sangat menggelikan baginya
melihat seorang remaja
berani berkata demikian
terhadapnya.
"Ketawa mu menebarkan bau
busuk!" ejek Su-
ropati. "Aku menunggumu
sekarang juga di lereng bu-
kit!"
Remaja konyol itu kemudian
menghemposkan
tubuh berlalu dari tempat itu.
Gerakannya begitu ce-
pat hingga seperti lenyap.
Melihat pameran ilmu meringankan
tubuh yang
sedemikian hebat, Margana Kalpa
mendengus. Mau
tak mau timbul rasa kagum juga
dalam hatinya. Lelaki
berwajah pucat itu keluar dari
tempat tinggalnya. Keti-
ka berpapasan dengan anak buahnya, mereka segera
menerima caci maki pedas.
Tak lama kemudian, Malaikat Bangau
Sakti
menyusul kepergian Pengemis
Binal....
Di antara keremangan malam
Suropati duduk
bersila dalam sikap bersemadi.
Hembusan nafasnya
sangat teratur bagai orang
tidur. Satu depa dari hada-
pan remaja konyol itu, tongkat
kayu berkepala naga
dia tancapkan ke tanah. Sang
bayu malam memainkan
anak-anak rambut Pengemis Binal
yang tergerai. Di
atas langit kelam. Hanya cahaya
temaram bulan sabit
dan kemerlip bintang menabur di
lereng Bukit Bangau
bertanah datar itu.
Tak ada suara yang terdengar
tatkala dua
bayangan mendarat tiga tombak
dari hadapan Suropa-
ti. Mereka adalah Galungking
Saba atau si Penyedot
Arwah dan Galang Gepak atau
Bayangan Hitam. Ke-
duanya orang suruhan Margana
Kalpa.
"Bocah Gendeng! Beraninya
menantang Sang
Ketua!" kata Galungking
Saba seraya menatap tajam
wajah Suropati. "Kau malah
enak-enakan tidur di sini.
Bangun kau!"
Lelaki bertubuh kekar itu
berteriak keras. Tapi
tak ada tanggapan dari Pengemis
Binal. Dia tetap diam
di tempatnya, tak bergeming
sedikit pun.
Melihat sikap yang demikian tak
peduli, Ga-
lungking Saba berjalan mendekat.
Kemudian kaki ka-
nannya bergerak cepat!
"Makan tongkatmu, Bocah
Gendeng!"
Lelaki bertubuh kekar itu
melakukan tendan-
gan ke batang tongkat Suropati
yang menancap di ta-
nah.
"Oaaahhh...!"
Pengemis Binal menguap
lebar-lebar dengan
mata masih terpejam rapat,
kemudian menjatuhkan
diri. Akibatnya, tongkat yang
meluncur hendak meng-
geprak kepalanya melintas lewat
di atasnya. Dengan
gerakan mirip orang menggeliat
Suropati berhasil me-
nangkap batang tongkat. Lalu
seperti tak pernah men-
galami suatu apa pun, remaja
konyol itu berbaring te-
lentang di atas tanah. Terdengar
suara dengkuran
orang yang tertidur lelap.
Tentu saja Galungking Saba
terkejut bukan
main melihat sikap Suropati.
Demikian juga halnya
Galang Gepak. Karena terbawa
rasa penasaran, lelaki
berjanggut panjang itu
menghemposkan tubuhnya ke
atas. Dengan kaki kanan sedikit
diangkat dia berusaha
menghantam dada Pengemis
Binal!
"Heaaa...!"
Sebuah teriakan nyaring
mengiringi gerakan
Galang Gepak. Tapi, Suropati tak
sedikit pun mengge-
rakkan tubuhnya. Padahal,
telapak kaki Bayangan Hi-
tam dengan kekuatan tenaga dalam
penuh tinggal se-
jengkal lagi mencapai sasaran.
Bluuusss...!
Dalam keadaan genting Pengemis
Binal meng-
geliat memiringkan tubuhnya.
Kaki kanan Galang Ge-
pak menancap ke tanah sampai
sebatas lutut!
Belum sempat lelaki berjanggut
panjang itu
menyadari keadaan, dengan
gerakan ringan, tongkat
Suropati menghantam telak
pergelangan kaki kanan
Galang Gepak.
Jerit kesakitan membahana di
angkasa. Bayang
Hitam mendekap kakinya yang
remuk. Tak ayal lagi,
lelaki berjanggut panjang itu
menggeram marah. Tela-
pak tangannya menghujam dengan
ilmu 'Pukulan
Penghempas Gunung.'
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat membahana.
Bebatuan ber-
campur gumpalan tanah
berpentalan. Terlihatlah ta-
nah tempat mendaratnya pukulan
Galang Gepak ber-
lubang sangat dalam. Sanggup
untuk menguburkan
seekor gajah.
Bayangan Hitam menatap kubangan
itu sambil
berdiri dengan kaki kanan
menggantung. Galungking
Saba berjalan mendekat.
"Sudah matikah Bocah
Gendeng itu?"
"Aku tak tahu," jawab
Galang Gepak. "Tapi, ma-
taku melihat ilmu 'Pukulan
Penghempas Gunung’ tepat
mengenai sasaran."
"Jadi, Bocah Gendeng itu
sudah mati. Tubuh-
nya hancur berkeping-keping
bercampur dengan batu
dan gumpalan tanah!"
Bayangan Hitam tak menjawab. Dia
meringis
merasakan sakit yang menerpa
kaki kanannya. Tulang
serta urat-uratnya telah rusak
oleh kemplangan tong-
kat Suropati.
Saat itulah terdengar suara
dengkuran keras.
Galungking Saba dan Galang Gepak
langsung menoleh
ke arah asal suara.
"Keparaaatt!" umpat
Galang Gepak.
Pengemis Binal tertidur di atas
tanah sambil
memeluk tongkat. Serta-merta
lelaki bertubuh kekar
itu melancarkan pukulan jarak
jauh. Untuk kedua kali
ledakan dahsyat membahana di
angkasa. Lontaran ba-
tu dan gumpalan tanah lebih
hebat. Kubangan yang
ditimbulkan pun terlihat lebih
dalam.
"Ha-ha-ha...!"
Tiba-tiba, terdengar suara tawa
berkepanjangan
yang mengejutkan Galang Gepak
dan Galungking Sa-
ba.
"Dengan ilmu 'Arhat Tidur'
dalam keadaan ma-
ta terpejam pun aku bisa
membunuh kalian!" ucap Su-
ropati yang telah berdiri gagah
dengan memegang
tongkat di tangan kanan.
"Dua Manusia Busuk, kaki
tangan Margana Kalpa keparat!
Sebaiknya kalian ber-
lutut di hadapanku. Kemudian
memotong tangan ka-
nan kalian sendiri, daripada aku
mengirim nyawa ka-
lian ke neraka!"
"Ha-ha-ha...," tawa
Galungking Saba. "Uca-
panmu sungguh lucu, Bocah
Gendeng! Kau kira diri-
mu malaikat yang sedang turun ke
bumi. Tak tahukah
kau sedang berhadapan dengan
Galungking Saba dan
Galang Gepak. Penguasa seluruh
tokoh sesat di wi-
layah timur dan barat!"
balas lelaki itu keras.
"Kebetulan kalau begitu!
Untuk mengurangi
keangkaramurkaan di bumi, aku
akan segera menge-
nyahkan kalian!"
Pengemis Binal langsung
menerjang dengan pu-
taran tongkat dalam jurus
'Tongkat Memukul Anjing’
Serangan remaja konyol yang
mengarah ba-
gian-bagian tubuh berbahaya
Galungking Saba dan
Galang Gepak itu menimbulkan
siutan angin tajam.
Tapi, yang diserang bukanlah
tokoh kemarin sore. Ga-
lungkin Saba dan Galang Gepak
sudah kenyang ma-
kan asar garam rimba persilatan.
Dengan serangan-
serangan yang tak kalah
berbahaya mereka berusaha
secepat mungkin menjatuhkan
tangan maut.
Wuuuttt...!
Tongkat di tangan Suropati
bergerak dengan
kecepatan kilat mengemplang
kepala Galungking Saba.
Tapi dengan sebuah gerakan
ringan, lelaki berjanggut
panjang itu dapat menghindari
serangan.
Akibatnya justru dirasakan oleh
Galang Gepak.
Ujung tongkat Pengemis Binal
terus meluncur deras
mengarah ke jantungnya! Lelaki
yang telah terluka ka-
ki kanannya bergegas menjatuhkan
diri ke tanah un-
tuk menyelamatkan diri. Lalu
secepat kilat dia mem-
buat tendangan melingkar dengan
kaki kiri, berusaha
menjatuhkan Suropati!
"Argh...!"
Bayangan Hitam tak pernah tahu
bagaimana
kejadiannya. Gerakan kaki kirinya tiba-tiba terhenti
dan dia merasakan sakit luar
biasa. Tatkala Galang
Gepak hendak berdiri tegak
tubuhnya mendadak jatuh
kembali. Darah mengucur dari
betis kaki kirinya. Sa-
darlah dia kalau ujung tongkat
Suropati telah menem-
bus dan menghancurkan tulang di
pergelangan ka-
kinya itu.
"Bedebah!"
Lelaki bertubuh kekar itu
beringsut untuk se-
gera mengawali serangannya
kembali. Sebetulnya den-
gan kedua kaki terluka parah dia
tak sanggup berdiri
tegak. Namun karena terbawa hawa
amarah yang me-
luap-luap tokoh sesat itu jadi
nekat. Tubuhnya dengan
ditopang tangan. Kemudian dia
menyerang Pengemis
Binal secara membabi buta.
Suropati yang sedang bertempur
melawan Ga-
lungking Saba hanya tersenyum
mengejek melihat se-
rangan-serangan Galang Gepak.
"Rupanya kau kerbau tua
yang tak tahu diri,
Manusia Busuk!" ujar
Pengemis Binal seraya menghin-
dar dari tendangan Galungking
Saba.
"Keparat!" umpat
Galang Gepak. Telapak tan-
gan kanannya didorong dengan
disertai seluruh kekua-
tan tenaga dalam.
Wuuusss...!
Sinar kuning yang ditimbulkan
hanya menge-
nai angin kosong. Sementara
Suropati telah memutar
tongkatnya dengan cepat hingga
menyerupai baling-
baling. Kemudian meluncur deras
ke dada Galang Ge-
pak.
Bluuusss...!
Lelaki bertubuh kekar itu
menggeliat kesakitan.
Tak ada keluhan yang keluar dari
mulut. Jantungnya
telah lebur hancur tertembus
ujung tongkat Pengemis
Binal!
Namun, akibat lain mesti
ditanggung remaja
konyol itu. Punggungnya menjadi
sasaran pukulan Ga-
lungking Saba yang menggedor
bagai hujaman godam.
Tubuh Suropati terlontar lalu
bergulingan di atas ta-
nah. Beberapa saat dia hanya
bisa terbaring telentang
dengan napas terengah-engah.
Dari mulutnya me-
nyembur darah segar.
Remaja konyol itu bangkit
berdiri dengan ber-
topang pada tongkat. Suropati mendengus
keras bagai
banteng terluka.
"Ha-ha-ha...!"
Galungking Saba atau si Penyedot
Arwah terta-
wa terbahak-bahak melihat sikap
berdiri Pengemis Bi-
nal. Kedua kaki remaja konyol
itu gemetar menopang
berat tubuhnya.
"Sekarang bisa dibuktikan
kebenaran kata-
katamu, Bocah gendeng! Kau atau
aku yang harus ber-
lutut dan memotong tangan
kanannya sendiri!" ejek
Galungking Saba
"Jangan salah kira, Manusia
Busuk!" sahut Su-
ropati lantang. "Bangkai
temanmu yang tergeletak di
tanah itu sudah merupakan bukti
kalau kau harus
mengikuti kata-kataku!"
Galungking Saba terkekek.
"Kau terlalu sombong, Bocah
Gendeng! Aku bi-
sa menghargai keberanianmu untuk
menantang Sang
ketua. Namun, aku ingin tahu
apakah kau sanggup
menghadapi ilmu 'Penghisap
Darah'-ku!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
lelaki berjang-
gut panjang itu membuka kakinya.
Dengan kedudukan
badan sedikit merunduk dia
menarik perlahan-lahan
kedua tangannya ke belakang.
Suropati sudah siap sedia dengan
ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma.' Mata
terpejam dan tangan
bersedekap. Pemuda itu tengah
mengumpulkan selu-
ruh kekuatan batinnya.
Galungking Saba menghentakkan
telapak tan-
gannya ke depan. Suatu kekuatan
kasat mata yang
berdaya isap menggempur cahaya kebiruan
yang ter-
pancar dari sekujur tubuh
Suropati.
Tak ada suara yang ditimbulkan
oleh perte-
muan dua kekuatan hebat itu.
Hanya keluhan lirih
terdengar dari mulut Galungking
Saba. Lelaki berjang-
gut panjang itu terperangah.
Ilmu pamungkasnya tak
berakibat apa-apa terhadap
Suropati.
Penyedot Arwah berusaha menambah
kekuatan
tenaga dalamnya sampai ke
puncak. Tapi, tindakan itu
hanya menambah rasa sesak dalam
dadanya. Menda-
dak, lelaki berjanggut panjang
itu melepas ilmu
'Penghisap Darah'-nya. Kemudian,
dengan nekat me-
nerjang Suropati.
Blaaarrr...!
Timbul ledakan dahsyat ketika
tubuh Galungk-
ing Saba membentur inti kekuatan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma' milik Pengemis
Binal.
Bau anyir segera menyebar. Wujud
Galungking
Saba sudah tak dapat dikenali
lagi. Tubuhnya menjadi
serpihan daging yang tak mungkin
disatukan.
Suasana malam di lereng Bukit
Bangau menja-
di hening. Desau angin terdengar
mengelus gendang
telinga. Lambat-lambat binatang
malam memamerkan
suaranya.
Tapi, keheningan itu segera
pecah oleh suara
tawa berkepanjangan. Disusul
dengan kelebatan
bayangan hitam yang berhenti
tepat empat tombak di
hadapan Suropati. Pemuda itu
sedang duduk bersila
untuk mengatasi luka dalam
akibat pukulan Galungk-
ing Saba.
"Ilmu kesaktianmu memang
hebat, Bocah Gen-
deng! Tapi dalam keadaan luka
dalam seperti itu, aku
akan segera dapat mengirim
nyawamu ke neraka!"
Terdengar ucapan Margana Kalpa.
Pengemis
Binal membuka matanya kemudian
meloncat bangkit!
"Nyawa sekian ratus
pengemis yang tinggal di
Bukit Pangalasan menuntut ku
untuk segera merejam
tubuhmu, Manusia Busuk!"
geram Suropati penuh
kemarahan.
Margana Kalpa tertawa
terbahak-bahak.
"Kau memang dapat
mengalahkan dua anak
buahku yang berilmu tinggi.
Tapi, jangan kau kira
akan dapat mengalahkan aku,
Bocah Gendeng!"
"Demi arwah para pengemis
yang telah kau bu-
nuh, aku akan mewujudkan
keinginan mereka untuk
melumat tubuhmu, Margana Kalpa
keparat!"
Suropati menerjang Malaikat
Bangau Sakti
dengan tongkat berputar cepat
dalam jurus 'Tongkat
Memukul Anjing'. Margana Kalpa
memapaki dengan
jurus 'Bangau Sakti Membelah
Mega'
"Uts...!"
Pengemis Binal menghentikan
luncuran tong-
katnya seraya berkelit ke
samping. Secara mendadak
ujung jari tangan kanan Margana
Kalpa yang mengun-
cup berkelebat berusaha
menggetok kepalanya.
Senyum ejekan segera mengembang
di bibir
Malaikat Bangau Sakti.
Gerakannya itu hanya suatu
tipuan. Dia lalu menyodokkan
telapak kakinya ke dada
Suropati,
Dhes...!
Remaja konyol itu menangkis
dengan tongkat.
Namun, kaki kanan Margana Kalpa
tetap meluncur de-
ras. Mau tak mau Pengemis Binal
harus membuat
tangkisan dengan pergelangan
tangan.
Ketika terjadi benturan tenaga,
tiba-tiba telapak
kaki Margana Kalpa menempel di
lengan Suropati.
Lalu, tubuh lelaki berwajah
pucat itu melayang
menggetok dahi!
"Ih...!"
Jerit kecil dikeluarkan Pengemis
Binal. Untun-
glah dia masih sempat meloncat
mundur. Kalau tidak,
isi kepalanya tentu akan
berhamburan keluar.
"Keluarkan jurus andalanmu,
Gembel Kudi-
san!" tantang Margana Kalpa
dengan penuh keponga-
han.
Tanpa berkata-kata, Suropati
segera mengga-
bungkan jurus 'Tongkat Memukul
Anjing' dengan
rangkaian jurus 'Tongkat Sakti,'
yakni jurus 'Tongkat
Menghajar Maling' dan 'Tongkat
Mengejar kucing'.
Kelebatan tongkat di tangan
Pengemis Binal
sudah tak dapat lagi diikuti
pandangan mata. Ujung
tongkat seakan mempunyai indera
penglihatan untuk
mencari jalan kematian di tubuh
lawan. Melihat seran-
gan yang sedemikian hebat,
Margana Kalpa segera
mengeluarkan jurus-jurus bangau
saktinya.
Hingga lewat sepeminum teh
pertarungan sen-
git itu masih berjalan seimbang.
Namun setelah Suro-
pati melembari gerak tongkatnya
dalam jurus
'Pengemis Menghiba Rembulan,'
Margana Kalpa tam-
pak terdesak.
"Kentut Busuk! Rupanya aku
tak boleh me-
mandang rendah kepadamu!"
ucap Margana Kalpa di
antara cecaran tongkat lawan.
"Siapa suruh kau memandang
rendah kepada-
ku! Segera kau temui nenek
moyangmu di alam baka!"
Ujung tongkat Suropati meluncur
cepat tertuju
di antara dua mata Margana
Kalpa! Dan, tampaknya
lelaki berwajah pucat itu sudah
tak mungkin lagi
menghindar. Tapi ketika ujung
tongkat Suropati ting-
gal seusap lagi mencapai
sasaran, mendadak tangan
kanan Pengemis Binal kesemutan.
Senjata andalannya
membentur sesuatu yang kasat
mata.
Beberapa saat remaja konyol itu
diliputi kehe-
ranan. Namun mengingat siapa
yang sedang dihada-
pinya, Suropati menduga hal
demikian adalah berkat
ilmu kesaktian yang dimiliki
lawan. Menyadari hal itu
Suropati segera melakukan
serangan yang lebih hebat.
Hingga, pada suatu kesempatan
Margana Kalpa
tak mungkin lagi dapat
menghindar. Namun, tiba-tiba
tubuh lelaki berwajah pucat itu
melayang ke atas den-
gan sendirinya. Sambaran tongkat
Suropati tak men-
genai sasaran.
"Manusia busuk itu seperti dilindungi sesuatu
yang kasat mata," gumam
Pengemis Binal dalam hati.
Pemuda itu segera meloncat ke
belakang men-
jauhi arena pertempuran. Dengan
menggunakan ilmu
'Mata Awas'-nya Suropati
berusaha mencari tahu pe-
lindung Margana Kalpa.
"Ah, mata batinku tak dapat
melihat apa-apa,"
keluh Pengemis Binal. "Tapi
sepertinya manusia busuk
itu dilindungi arwah
seseorang."
Dugaan remaja konyol itu memang
tepat. Se-
sungguhnya, arwah Dewa Tapak
Hitam-lah yang me-
lindungi Margana Kalpa.
"Hei! Kenapa kau
menghentikan seranganmu
Bocah Gendeng?!" bentak
Margana Kalpa. "Apa kau
sedang berpikir untuk menyerah
dan bertekuk lutut
kepadaku?"
"Justru kaulah yang harus
bertekuk-lutut ke-
padaku!"
Suropati menerjang kembali.
Keanehan-
keanehan segera muncul berulang
kali. Setiap seran-
gan Pengemis Binal hendak
mengenai sasaran, tubuh
Malaikat Bangau Sakti bergerak
menghindar dengan
sendirinya
Bertempur dalam rasa heran
justru memperle-
mah gempuran Suropati. Dia
menjadi lengah. Hingga
kemudian....
Dhes...! Dhuk...!
"Argh...!"
Siku Margana Kalpa tepat
bersarang di dada
kanan Pengemis Binal. Dan,
sebuah patokan jari tan-
gan yang menguncup menghujam di
bahu kiri.
Pertahanan Suropati jebol.
Malaikat Bangau
Sakti dapat dengan mudah
menjadikannya bulan-
bulanan. Seiring berlalunya
malam yang hampir lewat
untuk menyambut datangnya fajar,
tubuh Suropati
terlempar ke sana-ke mari
menerima hajaran Margana
Kalpa yang kalap.
"Sekarang aku akan
benar-benar menyudahi
riwayatmu, Gembel Kudisan!"
Malaikat Bangau Sakti menatap
tubuh Penge-
mis Binal yang bergulingan di
atas tanah. Dengan ke-
dua kaki sedikit ditekuk Margana
Kalpa lalu melontar-
kan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Untunglah Suropati masih sempat
meloncat.
Pukulan jarak jauh lawan hanya
membuat kubangan
di tanah.
Malaikat Bangau Sakti menatap
sinis Pengemis
Binal yang berdiri limbung.
Diiringi dengusan keras le-
laki berwajah pucat itu
menggedruk bumi dengan kaki
kanannya. Permukaan tanah di
depan Margana Kalpa
terkuak dan membuat retakan
hendak menjepit tubuh
Suropati!
Dengan sisa-sisa tenaga remaja
konyol itu hen-
dak meloncat. Tapi, seberkas
cahaya kelabu yang me-
luncur dari telapak tangan
Margana Kalpa telah me-
nahannya. Maut benar-benar
mengintai!
"Heaaa...!"
Pengemis Binal membentangkan
kedua kakinya
yang berada di mulut retakan.
Remaja konyol itu beru-
saha menyatukan kembali
permukaan tanah yang ter-
kuak.
Suara gemeretakan timbul ketika
tepi retakan
bergerak melebar. Tampaklah
kedua kaki Suropati se-
makin terpentang. Dia tak mampu
menutup kembali
retakan tanah yang akan
menjerumuskan tubuhnya!
Tawa Malaikat Bangau Sakti
membahana di
angkasa.
"Lubang Neraka telah
menantimu, Gembel Ku-
disan!"
Suropati segera teringat pada
ilmu sihirnya
yang diajari Periang Bertangan
Lembut. Setelah men-
gumpulkan segenap kekuatan
batinnya, remaja konyol
berteriak lantang.
"Hentikan permainan ini, Margana
Kalpa!"
Otak Malaikat Bangau Sakti
mendadak jadi lin-
glung. Cahaya kelabu yang timbul
dari telapak tan-
gannya memudar.
"Hup...!"
Kesempatan yang datang hanya
sekejap itu tak
disia-siakan Suropati. Dia
segera meloncat dari reta-
kan tanah yang hendak
menenggelamkannya.
"Manusia Busuk! Kau rasakan
ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak
Dewa,!"
Begitu berhasil menjejakkan kaki
di tanah ko-
song, tubuh Pengemis Binal
meluncur deras ke arah
Margana Kalpa. Ujung jarinya
siap melancarkan toto-
kan maut!
Namun, mendadak saja Malaikat
Bangau Sakti
mengibaskan tangan, timbullah
cahaya kelabu yang
melindungi tubuhnya.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat timbul ketika
ujung jari Pen-
gemis Binal menyentuh pusat kekuatan
ilmu 'Benteng
Kelabu' milik Margana Kalpa.
Akibat buruk segera diterima
Suropati. Tubuh
remaja konyol itu terlontar
dalam keadaan tak sadar-
kan diri.
Tatkala tubuh tak berdaya itu
melayang di uda-
ra, sesosok bayangan berkelebat
cepat dan menyam-
barnya. Sosok bayangan itu
lenyap meninggalkan Ma-
laikat Bangau Sakti yang sedang
tertawa terbahak-
bahak....
6
Di perbatasan wilayah Kadipaten
Tanah Loh
dan Bumiraksa, barisan pengemis
bersenjata tongkat
yang berjumlah sekitar seratus
orang tampak berjalan
mengikuti aliran sungai. Mereka
dipimpin oleh Gede
Panjalu dan Wirogundi yang
berjalan di depan.
"Untuk pergi ke Bukit
Bangau apakah tidak le-
bih baik kita menanti kehadiran
Suropati? Bagaima-
napun juga dia pemegang kendali
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti," kata
Wirogundi sambil menatap
langit cerah pagi itu.
"Dengan berjalan berbaris
seperti ini, kita bisa
mengundang perhatian remaja
konyol itu agar segera
bergabung bersama kita. Kalau
sudah melakukan pen-
gembaraan, dia sangat sulit
dicari. Bukankah kau juga
tahu sendiri, Wiro?" ucap
Gede Panjalu yang berjalan
di sisi kanan Wirogundi.
"Apakah ada kemungkinan
Suropati telah tahu
peristiwa di puncak Bukit
Pangalasan, kemudian dia
menggempur sarang Perkumpulan
Bangau Sakti seo-
rang diri?"
"Kemungkinan itu sangat
mungkin terjadi.
Hampir semua tokoh rimba
persilatan telah tahu peris-
tiwa yang sangat menghebohkan
itu. Aku kira Suropati
pun demikian halnya. Tapi,
kenapa dia tidak mengum-
pulkan sisa-sisa anggota
perkumpulannya dulu? Ah,
mungkin didorong oleh jiwa
ksatrianya untuk mem-
buat perhitungan sendiri dengan
Margana Kalpa,"
Gede Panjalu menduga-duga.
Barisan pengemis itu terus berjalan
menyusuri
tepian sungai. Ketika lewat
pinggiran kota Kadipaten
Bumiraksa, sekitar delapan puluh
orang anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya bergabung.
Seorang di antaranya langsung
menghadap
Gede Panjalu. Ia menceritakan
perihal Suropati yang
telah pergi ke Bukit Bangau
seorang diri.
"Benar dugaanku. Suropati
telah mengikuti jiwa
ksatrianya untuk membuat
perhitungan sendiri den-
gan Margana Kalpa. Ia tak mau
melibatkan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti," ujar Gede Pan-
jalu.
"Suropati sangat hebat. Aku
yakin dia akan da-
pat mengatasi Margana Kalpa si
keparat itu," sahut
Wirogundi penuh keyakinan.
"Belum tentu,
Wiro...," ujar Gede Panjalu. "To-
koh beraliran sesat mempunyai
sifat kejam dan sangat
licik. Aku khawatir Suropati
jatuh dalam jebakannya.
Sifat nekat remaja konyol itu
akan dapat merugikan
diri sendiri. Sebaiknya kita
segera mempercepat lang-
kah, Wiro."
Wirogundi langsung memberi
aba-aba kepada
barisan di belakangnya. Dan,
seluruh anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
bergegas untuk
mencapai tempat tujuan. Dendam
membara dalam diri
mereka sanggup membakar semangat
tempur, untuk
segera melenyapkan seluruh
anggota Perkumpulan
Bangau Sakti.
Ketika matahari telah memayung
di atas kepala
dan barisan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti te-
lah menyeberangi sungai, Gede
Panjalu berkata kepa-
da Wirogundi, "Aku
mendengar sebuah bisikan gaib.
Kau pimpinlah anggota
perkumpulan kita, Wiro. Aku
akan mengikuti bisikan gaib itu
terlebih dahulu..."
Kakek bongkok yang bergelar
Pengemis Tongkat
Sakti itu lalu berlari menyusuri
tepi hutan yang tidak
seberapa luas. Langkah kakinya
sangat cepat. Setiap
dia menjejak tanah, tubuh Gede
Panjalu akan me-
layang sepuluh tombak lebih.
Malah terkadang tubuh
kakek bongkok itu melesat tinggi
di udara bagai seekor
burung walet. Itulah khasiat
buah pala ajaib yang te-
lah dimakan Gede Panjalu. Ilmu
kesaktian kakek
bongkok itu jadi berlipat ganda.
Di sebuah tanah datar yang agak
masuk ke da-
lam hutan Gede Panjalu
menghentikan larinya. Tam-
pak seorang kakek tua renta yang
berpakaian ala ka-
darnya. Rambut kakek itu telah
memutih semua, ter-
gerai panjang menutupi wajah.
Ujung-ujung rambut
menyebar di atas permukaan batu
besar di mana ka-
kek itu duduk bersila.
"Ayah...," gumam Gede
Panjalu seraya berjalan
mendekat. Dia berlutut di
hadapan kakek tua renta
yang memberikan bisikan gaib
itu.
Dialah Datuk Risanwari. Seorang
tokoh sakti
yang pernah berjaya dengan
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga puluhan tahun
silam. Datuk Risanwari
merupakan ayah kandung Gede
Panjalu.
"Bangkitiah, Gede...,"
desak Datuk Risanwari
dengan suara mirip rintihan
orang sakit
Gede Panjalu duduk bersila di
hadapannya. Da-
tuk Risanwari menatap sejenak
wajah putra kandung-
nya dari balik riap-riapan
rambut.
"Aku sengaja mengundangmu
kemari untuk
menyampaikan wasiat yang harus
kau emban sampai
akhir hayatmu," ucap Datuk
Risanwari pelan.
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu Gede
Panjalu dikejutkan oleh adanya
gulungan kulit hari-
mau dalam telapak tangannya.
Datuk Risanwari me-
nyuruhnya untuk membaca tulisan
yang tertera di da-
lam gulungan kulit harimau. Gede
Panjalu pun segera
melepas tali ikatan gulungan
kulit itu.
Benda wasiat itu sebenarnya
telah jatuh ke
tangan Margana Kalpa yang
berhasil memperolehnya
dari Galungking Saba dan Galang
Gepak yang berhasil
merebut dari tangan Ingkanputri.
Margana Kalpa ber-
maksud memusnahkannya. Tapi,
maksud hati lelaki
itu tak kesampaian. Gulungan
kulit harimau tersebut
tiba-tiba menghilang.
Sesungguhnya benda wasiat itu
berisi kekuatan
gaib. Benda itu mempunyai daya
tolak terhadap orang
yang bermaksud jahat padanya.
Benda wasiat itu ke-
mudian kembali ke pangkuan Datuk
Risanwari yang
berdiam di Bukit Hantu. Setelah
mengetahui Suropati
gagal menyampaikan wasiatnya,
Datuk Risanwari ak-
hirnya menyampaikan sendiri
gulungan kulit harimau
itu kepada Gede Panjalu.
"Kau telah mengerti isi
yang tersirat di dalam-
nya Gede?" tanya Datuk Risanwari
kemudian. Dilihat-
nya Gede Panjalu usai membaca
tulisan dalam gulung
kulit harimau.
"Sudah...," jawab Gede
Panjalu lirih seraya
mengikat kembali gulungan kulit
harimau dengan tali.
Benda wasiat itu tiba-tiba
lenyap dan berada
dalam genggaman Datuk Risanwari.
Gede Panjalu ter-
perangah sejenak. Kepergian
gulungan kulit harimau
sama seperti kemunculannya tadi.
"Gede...," ucap Datuk
Risanwari, "Untuk men-
gemban tugas pertama mu,
datanglah ke sebuah gua
yang terletak di lereng sebelah
utara Bukit Bangau."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Datuk
Riwansari melayang dalam keadaan
tetap duduk bersi-
la. Kemudian tanpa mengucapkan
kata-kata perpisa-
han melesat cepat menghilang
dari tempat itu.
Gede Panjalu duduk tertegun.
Setelah teringat
kembali pesan Datuk Risanwari
kepadanya, kakek
bongkok itu segera bangkit
berdiri. Gede Panjalu berla-
ri cepat menyusul barisan
anggota Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti. Ia hendak
menyampaikan pesan
kepada Wirogundi, setelah itu
Gede Panjalu menghem-
poskan tubuhnya kembali untuk
menuju suatu tempat
yang ditunjukkan Datuk
Risanwari.
Dalam perjalanan benak Gede
Panjalu tak per-
nah lepas dari kalimat-kalimat
yang tertera di dalam
gulungan kulit harimau. Terutama
bagian terakhir
yang berbunyi:
Adalah Dewata Agung Yang Maha
Adil. Dia te-
lah menurunkan seorang anak
ajaib yang sanggup me-
nyibak gelap. Dalam tubuhnya
tersimpan kebangkitan
dari kebenaran dan keadilan.
Tugas pelindung tua ada-
lah memberi cahaya.
"Kalimat itu menyiratkan
kalau aku harus se-
nantiasa memberi dorongan kepada
Suropati. Bila dia
dalam keadaan kacau di mana jiwa
bergelut dengan
nafsu buruk, aku harus dapat
mengingatkannya,"
ucap Gede Panjalu dalam hati.
Gerak tubuh kakek bongkok itu
sudah tak da-
pat dikatakan sedang berlari
lagi. Tubuhnya melesat
sedemikian cepat. Hanya sesekali
menginjak tanah.
Ketika matahari agak condong ke
barat, Gede
Panjalu telah sampai di mulut
gua yang terletak di le-
reng sebelah utara Bukit Bangau.
Padahal bila ditem-
puh dengan perjalanan kuda ia
akan sampai di tempat
itu pada hari menjelang malam.
Waktu Gede Panjalu memasuki
mulut gua tam-
paklah seorang kakek berumur
sekitar tujuh puluh ta-
hun, sebaya dengan dirinya.
Lelaki itu duduk bersila.
Pakaiannya yang serba putih
mirip jubah seorang pen-
deta. Rambutnya yang telah
memutih semua dikuncir
menjadi satu jalinan panjang. Di
hadapannya terlihat
seorang remaja tampan berpakaian
penuh tambalan.
Gede Panjalu bergegas berjalan
mendekat. Dia
menjura hormat kepada tokoh tua
yang tak lain Banja-
ranpati, yang bergelar Bayangan
Putih Dari Selatan
"Suropati terluka
parah...," ucap Banjaranpati
setelah membalas penghormatan
Gede Panjalu.
Kakek berpakaian serba putih
itulah yang telah
menyelamatkan Pengemis Binal
tatkala tubuhnya ter-
lontar terbentur pusat kekuatan
ilmu 'Benteng Kelabu'
milik Margana Kalpa.
Teringat akan wasiat Datuk
Risanwari, Gede
Panjalu segera memeriksa keadaan
Suropati. Kakek
bongkok itu menjadi terperanjat
kaget.
"Keadaan bocah bagus itu
sangat menge-
naskan...," lanjut
Banjaranpati. "Dia akan menjadi
orang yang mati dalam hidupnya.
Inti kekuatan tu-
buhnya telah musnah. Hanya
keajaibanlah yang dapat
menyembuhkannya."
Gede Panjalu mendesah panjang.
Diusapnya
dahi Suropati dengan lembut. Tak
ada tanggapan dari
remaja konyol itu. Tubuhnya
terbujur kaku seperti
mayat.
"Mungkinkah buah pala ajaib
akan dapat men-
gembalikan keadaan
Suropati?" tanya Gede Panjalu
dalam hati. "Bila buah pala
ajaib itu dapat melipat
gandakan kepandaian seseorang,
kenapa tak dapat
mengembalikan ilmu kesaktian
yang telah musnah?"
Perlahan-lahan Gede Panjalu
mengeluarkan se-
butir buah berwarna coklat
kemerahan dari balik ba-
junya. Setelah menatap sejenak
buah yang dipegang-
nya, Gede Panjalu mengusap bibir
Suropati. Didorong-
nya dengan kekuatan tenaga dalam
agar buah pala
ajaib masuk ke dalam lambung
Pengemis Binal.
Tak lama kemudian, tubuh
Suropati mengejang
seraya menggelepar-gelepar bagai
seekor banteng habis
disembelih. Tubuh remaja itu
lalu diam tak bergeming
dengan bermandi keringat.
"Uh...!"
Suara keluhan keluar dari
mulutnya ketika Su-
ropati bangkit. Hanya bayangan
hitam yang pertama
terlihat. Setelah dia menggeleng-gelengkan
kepalanya,
tampaklah dengan jelas wajah
Banjaranpati dan Gede
Panjalu yang duduk bersila di
hadapannya.
"Kek...!" jerit
Suropati. Pemuda itu mendekap
pangkuan Gede Panjalu.
"Maafkan aku, Kek. Aku tak
dapat menyampaikan wasiat Datuk
Risanwari kepa-
damu."
Gede Panjalu mengelus rambut
Pengemis Binal
dengan lembut. "Kau tak
perlu merasa bersalah, Suro.
Keadaanlah yang membuatmu tak
bisa melaksanakan
kewajibanmu. Kau pun tak perlu
menyesal, Suro. Da-
tuk Risanwari telah menyampaikan
wasiatnya sendiri
kepadaku."
Perlahan-lahan Suropati
mengangkat kepa-
lanya. Saat itulah dia merasakan
suatu keanehan. Tu-
buhnya terasa sangat ringan,
seperti segumpal kapas
yang diterbangkan hembusan
angin.
"Tuhan benar-benar
menunjukkan kua-
sanya...," ucap remaja itu
dalam hati. "Ilmu kesaktian-
ku telah kembali. Berarti Tuhan
mendengarkan doa
dan kepasrahan ku."
Memang, kuasa Tuhan sering kali
tak dapat
terpikirkan oleh otak manusia.
Seseorang yang sudah
sekarat menghadapi sakratul maut
akan menjadi sehat
kembali jika Dia menghendakinya.
Tak ada satu pun
kekuatan yang sanggup
menghalangi kehendak-Nya
Matahari telah condong ke barat
ketika Suropa-
ti, Banjaranpati, dan Gede
Panjalu keluar dari dalam
gua. Mereka sejenak menatap
langit yang putih bersih.
Kemudian, melangkahkan kaki
hendak menyambut
kedatangan barisan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang hendak
menggempur sarang Per-
kumpulan Bangau Sakti.
"Kakek Banjaranpati telah
berulangkali menye-
lamatkan diriku. Entah dengan
apa aku akan memba-
las budi baiknya...," gumam
Suropati dalam hati. "Ka-
kek Gede Panjalu pun demikian.
Aku tak mungkin da-
pat melupakan kebaikannya."
"Kita akan segera melakukan
pertempuran hi-
dup dan mati, tapi bukan atas
kobaran dendam, Suro."
ujar Gede Panjalu mengingatkan.
"Atas nama kebena-
ran dan keadilan untuk
melenyapkan keangkara mur-
kaan di muka bumilah, kita
melakukannya...."
Suropati mengangguk. Kemudian
menggaruk-
garuk kepalanya. Itulah
kebiasaan pemuda ini.
"Sebaiknya Kakek berdua
berangkat terlebih
dahulu...," usul remaja
tampan itu kemudian sambil
menatap wajah Gede Panjalu dan
Banjaranpati bergan-
tian. "Aku akan secepatnya
menyusul. Aku harus
mempelajari Kitab Penembus Alam
Gaib warisan Kakek
Wajah Merah untuk membuka tabir
kesaktian Marga-
na Kalpa," Suropati
mengajukan alasannya.
***
Setelah melepas rindu kepada
ayah dan ibun-
danya, Dewi Ikata bersama
Ingkanputri bermaksud
pergi ke Bukit Bangau. Dewi
Ikata yang sangat suka
dijuluki Pendekar Wanita Gila
ikut berduka waktu
mendengar cerita Ingkanputri
tentang peristiwa tragis
di puncak Bukit Pangalasan.
Timbullah rasa dendam
dalam diri putri tunggal Adipati
Danubraja itu. Kakak
seperguruannya, Anjarweni, ikut
menjadi korban ke-
ganasan Margana Kalpa. Sedangkan
Ingkanputri yang
sejak semula sudah sangat
mendendam terhadap Mar-
gana Kalpa merasa gembira karena
perjalanannya ke
Bukit Bangau ada yang menemani.
Ketika mereka sampai di pinggir
hutan kecil tak
seberapa jauh dari Bukit Bangau,
Dewi Ikata dan In-
gkanputri menghentikan langkah.
"Aku mendengar suara orang
mengamuk di da-
lam hutan sana," ujar Dewi
Ikata.
"Aku juga mendengar.
Mungkin sedang terjadi
pertempuran dahsyat!"
timpal Ingkanputri.
"Sepertinya memang
demikian, Putri."
"Sebaiknya kita tak perlu
menghiraukan. Hanya
akan menghambat perjalanan
kita."
"Ah, perasaanku tak enak,
Putri. Apakah tidak
lebih baik kita melihatnya
dulu?"
"Terserah kaulah. Aku tak
mau ikut campur
dengan urusan orang
lain...."
Mendengar ucapan itu, Dewi Ikata
langsung
menghemposkan tubuhnya.
Ingkanputri menatap ke-
pergian gadis berumur tujuh
belas tahun itu sebentar
kemudian berlari mengejar.
Sementara itu, di dalam hutan di
mana terda-
pat pepohonan besar yang tinggi
menjulang, Sekar
Arum atau si Perangai Gila
tengah duduk bersimpuh
sambil menangis meraung-raung.
"Oh, Agaswara.... Mestinya
aku mengerti kalau
kau telah insaf. Kau memang
orang jahat. Tapi pintu
taubat tetap terbuka lebar
untukmu!"
Wanita kurang waras itu kemudian
melonjak-
lonjak dan berhenti dari
menangisnya.
"Manusia berhati iblis
selamanya akan dilumuri
nafsu iblis. Neraka menganga
untuk menyambut ke-
hadirannya, Agaswara. Kau telah
merusak jiwaku. Kau
telah merusak jalan hidupku. Kau
telah merusak sega-
la-galanya. Kau layak mati,
Agaswara! Aku akan
menghancurleburkan
tubuhmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Perangai Gila
melontarkan pukulan jarak jauh.
Sebatang pohon sebesar tiga
rangkulan manu-
sia dewasa tumbang dengan
pangkal hangus bagai ter-
bakar.
"Ha-ha-ha...!"
Perangai Gila tertawa
terbahak-bahak. Kemu-
dian, dia menari-nari gembira
seperti anak kecil yang
baru saja mendapat mainan.
"Kau memang layak untuk
dibunuh, Agaswara!
Kau layak untuk ditenggelamkan
ke dasar neraka Ja-
hanam!"
Wanita kurang waras itu kembali
merobohkan
sebatang pohon besar dengan
pukulan jarak jauhnya.
Lalu, tubuhnya dihemposkan dan
hinggap di puncak
sebatang pohon. Seperti sedang
bertempur, dia mem-
peragakan sebuah jurus silat.
Kaki dan tangannya
bergerak cepat berlambarkan
tenaga dalam. Hingga....
Prak...! Prak...! Krash...!
Krash...!
Ranting serta dedaunan
beterbangan terkena
sambaran angin pukulan Perangai
Gila.
Ketika Dewi Ikata dan
Ingkanputri tiba di tem-
pat itu, Perangai Gila sudah
duduk bersimpuh di atas
tanah sambil menangis
meraung-raung.
"Eyang...," panggil
Dewi Ikata.
Perangai Gila menoleh. "Kau
Dewi Ikata?"
"Ya, Eyang."
"Ika...," Perangai
Gila menghambur memeluk
muridnya.
Perangai Gila kemudian
mengeluarkan suara
tangis yang semakin
menjadi-jadi. Dewi Ikata pun tak
kuasa menahan air mata. Dia
menangis sambil meme-
luk erat gurunya.
Ingkanputri yang berdiri tak
seberapa jauh dari
mereka jadi ikut terharu
melihatnya. Tapi waktu meli-
hat guru dan murid itu merubah
tangisnya menjadi
tawa kegembiraan, gadis itu pun
mengumpat-umpat
dalam hati. "Dasar
gila!" makinya jengkel
"Kau Dewi Ikata,
bukan?" kata Perangai Gila
kemudian.
"Kau kira siapa,
Eyang?" tanya Dewi Ikata.
"Kukira Agaswara.
He-he-he...."
"Bukan!"
"Eh, tidak! Kau memang
Agaswara!" Sekar
Arum tiba-tiba marah kembali.
Perangai Gila melontarkan tubuh
Dewi Ikata
hingga membentur sebatang pohon
besar. Lalu, dike-
jarnya seraya melancarkan
pukulan jarak jauh.
Blaaammm...!
Untunglah Dewi Ikata masih
sempat meloncat.
Kalau tidak, tubuhnya tentu akan
lumat menggantikan
batang pohon yang kemudian
tumbang.
"Agaswara! Kau jangan
lari!" teriak Perangai Gi-
la seraya menerjang Dewi Ikata.
Putri tunggal Adipati Danubraja
itu segera ber-
lompatan ke sana kemari
menghindari serangan gu-
runya. Tapi, dalam suatu
kesempatan bahunya terke-
na tendangan. Tubuh Dewi Ikata
jatuh bergulingan di
atas tanah.
Ingkanputri jadi tidak tega
melihatnya. Segera
dihadangnya gerakan Perangai
Gila yang sedang kalap.
"Hei! Siapa kau?!"
hardik wanita kurang waras
itu.
"Aku sahabat Dewi Ikata,
Perempuan Jelek!
Kau tak perlu memperlakukan
muridmu seperti itu!"
"Jadi, kau sahabatnya
Agaswara?"
"Apakah yang kau maksud
Resi Agaswara?" te-
gas Ingkanputri.
"Ya!"
"Dia sudah meninggal, Nenek
Kotor!"
"Uh! Apa?"
"Budeg!"
"Kau yang budeg!"
sembur Perangai Gila kalap.
"Dasar sinting! Tapi, kau
tak perlu menyebut-
nyebut lagi nama Resi Agaswara.
Dia sudah tenang di
alam nirwana."
"Benar katamu itu?"
tanya Perangai Gila me-
nampakkan kesungguhan.
Ingkanputri tak menjawab. Dia
berjalan meng-
hampiri Dewi Ikata. Perangai
Gila bergegas mengikuti.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku, Manis,"
kata wanita kurang waras itu
bernada rayuan.
"Sudah kubilang kalau Resi
Agaswara telah
meninggal. Kau saja yang tak
mendengar."
"Oh..."
Perangai Gila menjatuhkan diri
duduk berjong-
kok. Sinar matanya membayangkan
kesedihan yang
sangat. Butiran mutiara bening
bergulir di pipi wanita
yang sebetulnya sangat mencintai
Resi Agaswara itu.
Kemudian, ditatapnya wajah
Ingkanputri dalam-dalam.
"Aku ingat sekarang.
Bukankah kau gadis yang
bersama Agaswara waktu kutemui
di Kademangan
Maospati?" ujar nenek
sinting itu.
"Ya. Aku pun ingat kau yang
bersama Dewi Ika-
ta ketika akan menjatuhkan
tangan maut terhadap
Eyang Agaswara," timpal
Ingkanputri.
"Oh..., aku sangat
menyesali perbuatanku wak-
tu itu." Perangai Gila lalu
memanggil Dewi Ikata untuk
duduk di hadapannya. Wanita
kurang waras itu me-
nyorongkan kedua telapak
tangannya ke dada Dewi
Ikata. Disalurkannya seluruh
hawa murni yang dimi-
liknya.
"Eyang...," desis Dewi
Ikata. "Apakah kau mau
bunuh diri?"
"Aku akan menyusul
kekasihku, Ika," ucap Pe-
rangai Gila sambil terus
menempelkan kedua telapak
tangannya.
Mata Dewi Ikata bersinar
nyalang. Semakin ke-
ras kekuatan yang berputar di
sekitar pusarnya, se-
makin habislah tenaga dalam yang
dimiliki Perangai
Gila. Bila tenaga inti di dalam
tubuh wanita kurang
waras itu sampai habis, itu
berarti kematian!
Tentu saja Dewi Ikata tak mau
melihat gurunya
mati. Tapi jika dia menolak
saluran hawa murni Pe-
rangai Gila, akibat yang sangat
parah justru akan dite-
rima olehnya. Tenaga dalam
gurunya yang berkekua-
tan penuh akan langsung
menghantam dada Dewi Ika-
ta. Hal itu juga berarti
kematian!
Dewi Ikata pun berkutat dengan
perasaan giris.
Sampai akhirnya dia pasrah
menerima saluran hawa
murni gurunya sampai tandas.
Ketika putaran kekua-
tan di sekitar pusar gadis
cantik itu melemah kemu-
dian menghilang, Perangai Gila
menarik kedua tan-
gannya.
"Ha-ha-ha...," wanita
kurang waras itu tertawa
lebar. "Aku mati tidak
sia-sia. Muridku akan menjadi
seorang pendekar pilih tanding.
Dan, aku pun akan
segera menyusulmu, Agaswara.
Ha-ha-ha...."
Dalam keadaan duduk bersila
Perangai Gila te-
rus tertawa. Sampai kemudian
terhenti bersamaan
dengan nyawanya yang lepas dari
raga.
"Eyang!" jerit Dewi
Ikata seraya memeluk jasad
gurunya.
"Sudahlah, Ika...,"
ucap Ingkanputri mencoba
menenangkan. "Tak perlu kau
sesali apa yang telah
terjadi. Tak ada yang patut
disesali. Gurumu telah ter-
bebas dari siksaan yang mendera
batinnya. Justru kau
harus menerima kepergiannya
dengan penuh keikhla-
san."
"Eyang...," gumam Dewi
Ikata sambil melepas
pelukannya.
***
7
Gede Panjalu
dan Banjaranpati sudah berga-
bung dengan barisan anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Mereka mendaki
Bukit Bangau dengan
penuh semangat.
"Kau sudah menemukan
Suropati, Kek?" tanya
Wirogundi kepada Gede Panjalu.
"Sebentar lagi dia akan
menyusul."
"Apakah tidak lebih baik
kita ke sarang Per-
kumpulan Bangau Sakti terlebih
dahulu untuk melihat
kesiapan lawan?" kata Gede
Panjalu pada Banjaranpa-
ti.
"Sebaiknya memang
begitu," ucap Banjaranpati
atau Bayangan Putih Dari
Selatan.
Kemudian, dua tokoh tua jajaran
atas itu
menghemposkan tubuhnya. Mereka
berlari cepat hen-
dak mencapai benteng Margana
Kalpa terlebih dahulu,
sebelum mencapai barisan anggota
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti tiba. Setibanya di sana mereka
tertegun melihat keadaan yang
sunyi senyap.
"Margana Kalpa tentu sudah
tahu Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti akan
menggempur sarang
perkumpulannya. Tapi, mengapa
dia tak membuat su-
atu persiapan? Bahkan, pintu
gerbang benteng dibiar-
kan terbuka," ucap Gede
Panjalu keheranan.
"Kita mesti berhati-hati,
Gede. Aku menduga ini
sebuah siasat yang sudah diatur
Margana Kalpa."
"Aku akan membuktikan
sampai di mana kehe-
batan siasat Margana Kalpa
itu!" dengus Gede Panjalu.
Gede Panjalu lalu menghemposkan
tubuhnya
meloncati dinding benteng
setinggi tiga tombak. Tapi
sewaktu tubuh kakek bongkok itu
masih melayang di
udara, ratusan jarum beracun dan
anak panah meng-
hujam ke arahnya!
Dengan memutar tongkat Gede
Panjalu dapat
merontokkan senjata-senjata
rahasia itu. Namun, tak
urung bajunya koyak lebar karena
terserempet. Usaha
kakek bongkok itu untuk memasuki
benteng Margana
Kalpa menemui kegagalan.
Ketika hujan jarum beracun dan
anak panah
berhenti, tak seorang pun
anggota Perkumpulan Ban-
gau Sakti yang tampak. Apa yang
baru saja terjadi se-
perti digerakkan oleh kekuatan
gaib.
"Betul kataku, Gede.
Margana Kalpa memang
telah menyiapkan siasat jitu.
Tapi, aku akan mencoba
menerobos pintu gerbang benteng
yang terbuka itu!"
Bayangan Putih Dari Selatan
segera mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh.
Wujudnya berubah
menjadi bayangan putih yang
hampir kasat mata. Ta-
pi....
Swos...!
Baru sampai di ambang pintu
gerbang benteng,
gerakan kakek berkuncir itu
terhenti. Asap beracun
yang berwarna hitam pekat
menghadang langkahnya.
"Ah, bagaimana kita bisa
memasuki benteng
Margana Kalpa bila demikian
halnya?" desah Gede
Panjalu seperti putus asa.
"Di dunia ini tak ada yang
sempurna. Kita ha-
rus mencari kelemahan dengan mengitari
benteng,"
Bayangan Putih Dari Selatan
memberi semangat
Banjaranpati kemudian berlari cepat.
Setelah
menjumpai pohon besar yang
tumbuh di sisi benteng,
dia naik dan melihat keadaan di
dalam benteng.
"Ehm..., ratusan lelaki
berwajah sadis telah
siap-siaga dengan panah di
tangan. Jalan satu-
satunya untuk menembus penjagaan
yang sedemikian
ketat adalah nekat!" putus
kakek berkuncir itu.
Kemudian, dia meloncat turun
dari atas pohon
dan langsung mengambil
ancang-ancang.
Blaaammm...!
Pohon sebesar tiga rangkulan
manusia dewasa
itu tumbang terkena pukulan
jarak jauh Banjaranpati.
Lalu, dengan kekuatan raksasa
kakek berkuncir itu
mengangkat batang pohon dan
melemparkannya ke
dalam benteng.
Bersamaan dengan itu tubuhnya
dihemposkan
untuk berlindung di balik
luncuran batang pohon. Hu-
jan jarum beracun di antara
luncuran anak panah
hanya menerpa batang pohon. Tak
satu pun melukai
tubuh Banjaranpati. Kakek
berkuncir itu dapat men-
daratkan kakinya dengan mulus di
dalam benteng.
Barisan anak buah Margana Kalpa
terkejut bu-
kan main melihat kakek
berpakaian serba putih lang-
sung menggempur mereka.
Kelebatan tangan dan kaki
Banjaranpati demikian cepat. Tak
dapat diikuti pan-
dangan mata lagi. Memang, kakek
berkuncir itu se-
dang memainkan ilmu 'Pukulan
Tanpa Bayangan' yang
sudah sangat kesohor di rimba
persilatan. Belasan
anak buah Margana Kalpa
tahu-tahu tergeletak di atas
tanah sambil merintih kesakitan.
Sebelum pertempuran berlangsung
lebih sengit,
sesosok bayangan hitam
berkelebat dan menghentikan
gerak Banjaranpati.
Duuk...!
Sebuah tangkisan berhasil
menggetarkan tu-
buh kakek berpakaian serba putih
itu. Dia pun segera
meloncat jauh waktu ratusan
jarum beracun meluncur
deras ke arahnya.
"Margana Kalpa!" desis
Banjaranpati sambil
menatap wajah orang yang telah
membokongnya.
Saat itulah terdengar suara
gemuruh yang begi-
tu menggetarkan. Dinding benteng
telah jebol. Batu-
batu besar yang semula tersusun
rapi tampak beter-
bangan menimpa anak buah Margana
Kalpa.
Gede Panjalu yang telah memakan
buah pala
ajaib telah menghancurkan
dinding benteng dengan
pukulan tenaga dalamnya yang
berlipat ganda. Mau
tak mau Margana Kalpa pun
terkejut. Setahunya Gede
Panjalu telah jatuh ke dalam
jurang yang sangat dalam
di Bukit Pangalasan.
"Huh! Kau belum mati juga,
Orang Tua Bong-
kok!" hardik Margana Kalpa.
Segera diperintahkan
anak buahnya untuk mengeroyok
Gede Panjalu. Dia
sendiri langsung menerjang
Banjaranpati.
"Kakek-kakek tak tahu
diuntung! Dengan da-
tang ke Bukit Bangau berarti kau
telah bosan hidup!"
"Dewa mengutuk
keangkaramurkaanmu, Mar-
gana Kalpa!" sambut
Banjaranpati.
Wuuuttt...!
Tendangan Margana Kalpa atau
Malaikat Ban-
gau Sakti hanya mengenai angin
kosong. Tapi, dia te-
lah menyusuli dengan pukulan ke
arah dahi.
Bayangan Putih Dari Selatan
berhasil menghin-
dar. Dia pun segera membalas
serangan dengan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan' yang
sangat diandalkannya.
Sementara itu, barisan anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
dipimpin Wirogundi telah
sampai di depan pintu gerbang.
Beberapa orang di antaranya yang
tak sabaran
langsung menggempur masuk.
Namun, malang bagi
mereka. Kepulan asap hitam telah
mengepung. Tubuh
mereka gosong dan berkelojotan
di tanah meregang
nyawa.
"Jangan gegabah!"
teriak Wirogundi waktu me-
lihat beberapa anak buahnya yang
lain hendak me-
nyusul.
Pemuda kurus itu lalu berlari
memutar. Setelah
melihat dinding benteng yang
ambrol di mana Gede
Panjalu tampak sedang bertempur,
dia segera memberi
aba-aba.
Dengan perlindungannya beberapa
anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti berhasil masuk
ke dalam benteng. Disusul oleh
teman-temannya yang
lain.
"Margana Kalpa
keparaaattt...!" hardik Wiro-
gundi. Diterjangnya Malaikat
Bangau Sakti yang se-
dang bertempur melawan
Banjaranpati.
"Rupanya kau juga punya
nyawa rangkap,
Gembel Busuk!" bentak Margana
Kalpa seraya melan-
carkan tendangan ke arah
Wirogundi.
"Uts...!"
Sebuah gerakan indah diperagakan
Wirogundi.
Waktu telapak kaki Margana Kalpa
hampir mencapai
dadanya, tubuh pemuda itu
melenting ke atas. Kemu-
dian bersalto beberapa kali dan
langsung mendaratkan
pukulan ke arah lawan.
Malaikat Bangau Sakti terkejut
bukan main.
Gerakan Wirogundi sedemikian
cepat. Dia pun sudah
tak mempunyai kesempatan lagi
untuk menghindar.
Tapi, tubuh lelaki berwajah
pucat itu dapat bergerak
sendiri. Pukulan Wirogundi hanya
mengenai angin ko-
song.
Banjaranpati yang melihat tubuh
Margana Kal-
pa meluncur ke arahnya segera
membentangkan kaki
melancarkan tendangan melingkar.
Dhes...!
Kakek berpakaian serba putih itu
terkejut seka-
li. Tahu-tahu tubuhnya terlontar
oleh pukulan lawan.
Padahal dia sudah yakin
tendangannya yang akan ber-
sarang di tubuh Margana Kalpa.
Sambil menyeka darah segar yang
meleleh dari
sudut bibirnya, Banjaranpati
bangkit dalam rasa he-
ran. Demikian pula dengan Wirogundi.
Dia juga terpa-
na keheranan melihat gerakan
Margana Kalpa yang
sangat aneh.
Tapi, mereka segera menerjang
kembali!
***
Sementara itu, Suropati yang
berada di dalam
sebuah gua tampak menutup Kitab
Penembus Alam
Gaib warisan Wajah Merah. Pemuda
itu baru saja sele-
sai mempelajarinya.
"Untunglah aku telah
memiliki ilmu 'Mata
Awas.' Jadi, tak sulit bagiku
mempelajari isi kitab ini,"
gumam remaja konyol itu seraya
berlari cepat mendaki
Bukit Bangau.
Belum seberapa jauh dia berlalu
dari gua, seso-
sok bayangan melintas di
hadapannya. "Hei!" teriak
Suropati.
Remaja konyol itu terperanjat
kaget mendapati
seorang gadis cantik telah
berdiri di hadapannya.
"Dewi Ikata...," gumam
Pengemis Binal seraya
menghambur untuk memeluk.
Tapi....
Plak...!
Sebuah tamparan mendarat di
pipinya. "Kau ki-
ra aku ini apamu, Suro?!"
bentak Dewi Ikata atau si
Pendekar Wanita Gila.
"Eh, bukankah kau
kekasihku?!" kata Suropati
sambil meraba pipinya yang
memerah.
"Kekasihmu?" Dewi
Ikata menyipitkan matanya,
"Ya."
"He-he-he...." Dewi
Ikata tertawa terkekeh. "Ke-
kasihmu yang nomor berapa?"
Pengemis Binal
menggerak-gerakkan jemari
tangannya, berlagak seperti
orang sedang menghitung.
"Ehm.... Satu, dua,
tiga..., empat puluh..., lima pu-
luh..., seratus! Nah, kau
kekasihku yang nomor sera-
tus, Ika. Eh, tidak. Kau
kekasihku yang nomor satu!"
Dewi Ikata tertawa lebar
menyaksikan kekonyo-
lan remaja tampan itu.
"Apa buktinya kalau aku
kekasihmu yang no-
mor satu?" tanya Dewi Ikata
kemudian.
Suropati berjalan mendekat
dengan berjingkat-
jingkat mirip maling takut
ketahuan. Lalu, dengan ke-
cepatan kilat dipeluknya tubuh
Dewi Ikata seraya
menghadiahkan sebuah ciuman.
"Uh...!"
Dewi Ikata meronta. Tapi,
pelukan Pengemis
Binal sangat erat.
"Aku akan menggempur sarang
Perkumpulan
Bangau Sakti! Kau jangan
menghalangiku, Suro!" te-
riak Pendekar Wanita Gila.
"Ssst...! Sebentar. Sarang
perkumpulan itu su-
dah digempur para anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bersama Gede
Panjalu, Wirogundi, dan
Banjaranpati. Jadi, kita punya
cukup waktu untuk
bermesra-mesraan sebelum
membantu mereka...."
Tak ada kata yang keluar dari
mulut Dewi Ika-
ta. Pengemis Binal telah melumat
bibirnya dengan ga-
nas. Saat itulah sebutir batu
sebesar kepalan tangan
meluncur dan menghantam kepala
Suropati!
"Aduh!" jerit remaja
konyol itu sambil mende-
kap kepalanya.
Waktu dia menoleh, Ingkanputri
telah berada di
sampingnya dengan sinar mata
berapi-api.
"Ah..., eh..., sebaiknya
kita segera menyerbu
sarang Perkumpulan Bangau
Sakti...," kata Pengemis
Binal sambil tetap mendekap
kepalanya. Sedang tan-
gan kiri remaja konyol itu
menggaruk-garuk pantat
Melihat Dewi Ikata dan
Ingkanputri tetap berdi-
ri terpaku, Suropati jadi
bersungut-sungut. Kemudian,
dia berlari cepat meninggalkan
dua gadis yang sama
cantik itu.
***
Anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
yang sedang bertempur melawan
anak buah Margana
Kalpa tampak berada di atas
angin. Tentu karena me-
reka dibantu Gede Panjalu.
Setiap Gede Panjalu menggerakkan
tongkatnya,
paling tidak empat orang lawan
akan roboh ke tanah.
Hal itu membuat semangat tempur
para pengemis
yang semua bersenjata tongkat semakin
menyala-
nyala.
Tampaknya Perkumpulan Bangau
Sakti berada
diambang kehancuran.
Pertempuran antara Margana Kalpa
melawan
Banjaranpati yang dibantu oleh
Wirogundi berjalan tak
seimbang. Walaupun ilmu
kepandaian Banjaranpati
dan Wirogundi sudah demikian
tinggi, tapi mereka tak
dapat menyentuh tubuh lawan.
Margana Kalpa dilin-
dungi oleh arwah gurunya yang
bergelar Dewa Tapak
Hitam.
Buk...!
Punggung Banjaranpati menjadi
sasaran ten-
dangan Malaikat Bangau Sakti.
Wirogundi harus menerima sebuah
pukulan
yang bersarang di bahu kirinya.
Ketika itulah, sesosok bayangan
berkelebat
menghadang gerakan Margana
Kalpa.
"Akulah lawanmu,
Keparat!"
Malaikat Bangau Sakti mendengus
melihat ke-
hadiran Suropati.
"Tempo hari kau bisa
selamat, Bocah Gendeng!
Tapi, jangan harap nyawamu dapat
bertahan seka-
rang!"
"Waktu di Bukit Pangalasan
pun kau selamat,
Keparat! Tapi, sekarang Malaikat Kematian benar-
benar akan menjemput mu!"
Suropati tak kalah men-
gancam.
Suropati lalu memusatkan seluruh
kekuatan
batinnya untuk mengetrapkan ilmu
'Mata Awas' yang
digabung dengan inti sari
kekuatan gaib dari Kitab Pe-
nembus Alam Gaib warisan Wajah
Merah.
Bayangan Dewa Tapak Hitam segera
terlihat
oleh remaja konyol itu. Maka,
tanpa mau membuang
waktu dia langsung menerjang!
Margana Kalpa terkejut
melihat gerakan Suropati yang
tidak tertuju kepada di-
rinya.
"Ah, apakah bocah gendeng
itu bisa melihat
arwah Dewa Tapak Hitam, guruku
yang melindungi-
ku?" tanya lelaki berwajah
pucat itu kepada dirinya
sendiri.
"Segera kau gempur manusia
keparat itu, Wi-
ro!" teriak Pengemis Binal
sambil mencecar arwah De-
wa Tapak Hitam dengan putaran
tongkat yang dilam-
bari kekuatan batin
Mendengar teriakan Suropati yang
tampak se-
perti sedang main-main,
Wirogundi terpekur sejenak.
Namun setelah otaknya dapat
bekerja dengan baik, dia
langsung menerjang Margana Kalpa
yang masih berdiri
terpaku.
"Heaaa...!"
Tongkat Wirogundi mengemplang
kepala lelaki
berwajah pucat itu. Margana
Kalpa tak mau larut den-
gan pikiran di benaknya. Cepat
dia meloncat ke samp-
ing menghindari serangan.
Sementara itu, Banjaranpati yang
juga sudah
bisa mengatasi luka dalamnya
segera ikut menggem-
pur Margana Kalpa.
"Kentut Busuk! Beraninya
hanya main ke-
royok!"
"Manusia sepertimu tak
patut diberi muka!" te-
riak Wirogundi menyambuti.
Sebuah tendangan melingkar
mengarah ke da-
da Margana Kalpa. Tapi, lelaki
berwajah pucat itu be-
rusaha mendahului dengan patukan
ke jidat
Tongkat Wirogundi berkelebat ke
arah pung-
gung Margana Kalpa. Mau tak mau
lelaki berwajah pu-
cat itu menarik pergelangan
tangan kanannya. Dengan
begitu gerakan tubuhnya untuk
berkelit ke samping
dapat dilakukan dengan leluasa.
Tapi....
Dhes...!
Tendangan Banjaranpati berbelok
arah dan
menghajar pinggang Malaikat
Bangau Sakti.
Tubuh lelaki berwajah pucat itu
terhempas ke
tanah. Namun, dia segera
meloncat bangkit sambil ber-
teriak memanggil gurunya.
Tentu saja arwah Dewa Tapak
Hitam tak mam-
pu berbuat banyak. Dia sendiri
sedang menghadapi se-
rangan kekuatan batin yang
dilancarkan Suropati.
"Gurrruuu...!" teriak
Margana Kalpa lagi. Sua-
ranya membahana ke seantero
Bukit Bangau.
"Jangan berteriak macam
orang gila, Keparat!"
umpat Wirogundi. Ujung
tongkatnya disodokkan ke
dada Margana Kalpa.
Wuuuttt..!
Serangan itu tak mengenai
sasaran. Malaikat
Bangau Sakti telah meloncat ke
samping. Dengus ke-
ras segera keluar dari mulut
lelaki berwajah pucat itu
saat Banjaranpati menghujamkan
pukulan ke kepala.
Dengan menjatuhkan diri ke tanah
Margana
Kalpa berhasil menghindari
serangan. Dia pun meng-
geram seraya melentingkan tubuh
ke atas, lalu mem-
peragakan jurus-jurus bangaunya.
Sementara itu, dengan sebuah
pukulan yang
dialiri kekuatan batin Pengemis
Binal berhasil meng-
hempaskan arwah Dewa Tapak
Hitam. Lalu, secepat
kilat dia memutar tongkatnya.
Ujungnya yang terpelin-
tir menghujam ke arah Malaikat
Bangau Sakti.
Dees...!
Sebuah tangkisan menyelamatkan
nyawa lelaki
berwajah pucat itu. Tapi, dia
mesti merelakan urat-
urat tangan kirinya. Akibatnya
Margana Kalpa hanya
dapat menggerakkan tangan kanan.
Keadaan itu
membuatnya semakin terdesak
hebat.
Dees...!
Pukulan Banjaranpati bersarang
di dada lelaki
berwajah pucat itu. Dalam
keadaan masih melayang di
udara, mulutnya menyemburkan
darah segar. Sebelum
tubuh luka itu mendarat,
Wirogundi telah memapaki.
"Ini untuk Anjarweni!"
teriak pemuda bertubuh
kurus itu seraya menggebuk
punggung Margana Kal-
pa.
Untuk kedua kalinya tubuh lelaki
berwajah pu-
cat itu terlontar. Ingkanputri
yang telah tiba di tempat
itu segera menghadiahkan sebuah
tendangan.
"Ini untuk Eyang
Agaswara!" teriak gadis cantik
itu.. Luncuran telapak kakinya
bersarang di dada Ma-
laikat Bangau Sakti.
Kembali tubuh lelaki berwajah
pucat itu me-
layang di udara. Kali ini
Suropati atau si Pengemis Bi-
nal yang menghadiahkan sebuah
sodokan tongkat ke
arah jantung.
"Ini untuk arwah para
pengemis!" Tapi, remaja
konyol itu jadi terkejut.
Sodokan tongkatnya hanya
mengenai angin kosong.
"Lho, kok hilang...,"
gumam Suropati kebingun-
gan.
Setelah dia mendongakkan kepala,
tahulah dia
kalau seekor bangau raksasa
berbulu hitam telah me-
nyambar tubuh Margana Kalpa.
"Ku sate
tubuhmu, Bangau Usil!" teriak Suro-
pati. Tongkatnya dilemparkan ke
arah bangau raksasa.
Wuuuttt...!
Dewi Ikata yang juga telah tiba
di tempat itu
meloncat ke atas batang tongkat!
Sebuah pemandangan indah segera
terlihat.
Tubuh Dewi Ikata yang berdiri
tegak di atas batang
tongkat melesat cepat mengejar
bangau raksasa yang
sedang menggondol tubuh
tuannya.
Tapi, pemandangan indah itu
tidak berlangsung
lama. Ujung tongkat Suropati
telah menembus tubuh
bangau raksasa. Bersamaan dengan
itu Dewi Ikata me-
loncat ke udara seraya
melancarkan pukulan jarak
jauh.
Blaaarrr...!
Tubuh Margana Kalpa hancur
berkeping-
keping.
Dewi Ikata mendarat di atas
bangkai bangau
raksasa yang telah jatuh ke
tanah.
"Ikaaaaaa...!" teriak
Pengemis Binal kegirangan
Seraya menghambur ke arah gadis
itu. Dipeluknya
Dewi Ikata lalu dihadiahkan
ciuman mesra.
SELESAI
Bagaimanakah usaha Suropati
menolong Raka Maruta
dan si Wajah Merah yang
menderita mati suri....
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam
episode:
TABIR AIR SAKTI
Emoticon