4
Sang baskara tenggelam di
peraduannya. Langit
yang semula merah Jingga berubah
kelam. Sang can-
awan berarak mengabuti, gelap
pun menerpa bumi
Di pintu gerbang Kotapraja
Kerajaan Anggara-
pura dua orang penjaga tampak
berdiri tegak. Dengan
senjata tombak dan perisai
bundar warna emas mere-
ka kelihatan sangat gagah. Tubuh
tinggi besar berhias
otot-otot yang menonjol serta
sorot mata tajam me-
nambah kewibawaan mereka.
Dari dalam keremangan malam dua
sosok
bayangan terlihat berkelebat.
Kedua penjaga yang su-
dah sangat terlatih itu segera
menyilangkan tombak.
"Berhenti!" teriak
salah seorang dari mereka.
Dua bayangan yang tak lain
Suropati dan Yaniswara
segera melangkah perlahan.
Suropati membungkuk se-
raya tersenyum tipis.
"Saya hendak menghadap
Gusti Wirasantri...."
Para penjaga pintu gerbang
memperhatikan dengan
seksama wajah Suropati dan
Yaniswara.
"Ah, kau...," gumam
salah seorang dari penjaga
itu. Lalu menarik tombaknya yang
menyilang. Tinda-
kannya segera diikuti oleh
temannya. "Silakan...," ucap
lelaki bertubuh tinggi tegap
itu. Orang yang berdiri di
hadapannya ternyata Suropati
yang sudah dia kenal.
Tanpa mau membuang waktu
Suropati segera
menggandeng kembali lengan
Yaniswara. Lalu berkele-
bat cepat memasuki kotapraja.
"Tampaknya kau sudah sangat
ternama," ucap
Yaniswara sambil memperlambat
gerakan kakinya.
"Hmmm.... Jadi, aku sudah
tak perlu lagi mem-
perkenalkan diri kepadamu, bukan?"
"Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terkenal
sampai ke Kerajaan Saloka
Medang. Semula aku me-
nyangka pemimpinnya seorang
tokoh digdaya yang
sangat berwibawa dan terkesan
angker. Tapi, ternyata
dia tak lebih dari seorang
remaja, konyol yang tingkah
lakunya macam orang gila,"
seloroh Yaniswara dengan
bibir mengejek.
"Namun kau suka,
bukan?"
"Tidak!"
"He he he.... Kalau tidak
suka, kenapa tadi kau
mau ku...."
Kalimat Suropati tak berlanjut
karena jemari
Yaniswara telah mencubit
pinggangnya. Terdengar jerit
kecil dari mulut Pengemis Binal.
"Uh! Cubitan mu
mengingatkan ku pada...."
"Pada siapa?" sergah
Yaniswara cepat.
"Ah, tidak!" Suropati
menggelengkan kepalanya
kuat-kuat
"Kekasihmu?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Yanis-
wara jadi gemas. Sebuah cubitan
dia hadiahkan lagi.
Kali ini bukan jeritan yang
keluar dari mulut Pengemis
Binal, melainkan kata 'nikmat'.
Tentu saja Yaniswara
jadi sewot. Gadis itu berjalan
cepat meninggalkan Su-
ropati.
"Eh, kau marah?"
Yaniswara tak menjawab. Menoleh
pun tidak.
Pengemis Binal tertawa terkekeh.
"Kau hendak ke ma-
na?" tanyanya.
"Untuk menghadap Gusti
Wirasantri, aku su-
dah tak perlu bantuanmu!"
sentak Yaniswara.
"Baik. Tapi jalannya bukan
ke situ...."
Mendengar ucapan Suropati, langkah
Yaniswa-
ra langsung terhenti.
"Tempat kediaman Gusti
Wirasantri berada di
sebelah sana. Mestinya tadi kau
berbelok ke kanan,"
Suropati menunjukkan arah yang
seharusnya ditem-
puh Yaniswara.
"Kenapa kau tidak bilang
dari tadi?" Yaniswara
kelihatan jengkel bukan main.
Apalagi saat melihat
Suropati tersenyum-senyum
sendiri.
"Habis cubitan mu membuatku
linglung. He he
he "
Yaniswara menggerutu. Gadis itu
cepat me-
langkah mengambil jalan yang
telah dilaluinya. Saat
melihat belokan dia berlari
kecil. Tapi, langkah gadis
cantik itu terhenti. Pengemis
Binal telah mengamit len-
gannya.
"Malam-malam begini untuk
menghadap seo-
rang punggawa tinggi kerajaan
tidak sembarang orang
diperkenankan," beritahu
Suropati.
"Aku akan nekat. Toh,
tujuanku baik...."
"Tujuanmu memang baik. Tapi
prasangka para
penjaga siapa yang tahu. Kalau
sudah disangka pe-
rempuan nakal, baru tahu
rasa," Suropati memelo-
totkan matanya.
"Uh! Kau yang membuat
perjalananku kemari
keburu dihadang malam!"
sungut Yaniswara.
"Baik, aku salah. Tapi aku
akan membantumu.
Gusti Wirasantri sudah mengenal
aku. Itu akan mem-
permudah urusan."
Yaniswara diam. Gadis itu tampak
berpikir.
"Bagaimana? Kau terima
tawaran baikku?" de-
sah Suropati.
Tanpa menunggu jawaban
Yaniswara, Pengemis
Binal menggandeng lengan
Yaniswara untuk diajak
berjalan. Gadis cantik itu hanya
menurut saja.
Sementara itu, di sebuah ruangan
lebar yang
diterangi lampu minyak berhias
pernik-pernik indah
Gustri Wirasantri duduk di kursi
berukir. Dia belum
mengganti pakaian kebesarannya.
Malam memang be-
lum begitu larut, sehingga
keinginan untuk pergi ke
pembaringan belum mengusik
hatinya.
Dengan menyelonjorkan kedua kaki
di atas me-
ja, punggawa kerajaan yang
berkedudukan setingkat
dengan tumenggung itu tampak
merenung. Sebatang
cangklong yang berisi tembakau
bercampur candu di-
isapnya kuat-kuat. Asap putih
bergulung-gulung me-
menuhi ruangan. Tapi segera
lenyap keluar lewat lu-
bang-lubang angin.
Rambut lelaki gemuk yang tidak
seberapa tinggi
itu telah berwarna dua. Digelung
ke atas dengan hia-
san gelang emas. Tidak ada kerut
di wajahnya, walau
dia telah berusia lima puluh
tahun lebih.
Jabatan Gusti Wirasantri adalah
pengurus pa-
jak kerajaan. Walaupun tugas
sehari-harinya selalu
berhubungan dengan uang, tak
sekalipun dia pernah
melakukan penyelewengan. Dalam
catatan Prabu Arya
Dewantara pun nama Gusti
Wirasantri masih terpeli-
hara bersih. Seluruh punggawa
kerajaan mengenal
Gusti Wirasantri sebagai seorang
aparat kerajaan yang
jujur dan penuh pengabdian.
"Siapa?" tanya lelaki
gemuk berwajah halus itu
saat mendengar ketukan perlahan
di pintu.
"Hamba, Gusti...."
Terdengar jawaban yang dibarengi
dengan ter-
bukanya daun pintu. Gusti
Wirasantri menurunkan
kedua kakinya dari atas meja.
Seorang kakek berpa-
kaian putih seperti pendeta
berjalan tiga tindak setelah
menutup daun pintu kembali.
Gusti Wirasantri men-
gangguk pelan membalas
penghormatan si kakek.
"Kenapa kau kemari,
Gisandra?" tanya Gusti
Wirasantri setelah mengisap
cangklongnya.
Kakek yang dipanggil Gisandra
membungkuk
"Ada berita penting yang
hendak hamba sampaikan,
Gusti."
"Hmmm..."
"Di perbatasan Kademangan
Maospati Ekspedi-
si Kencana Mega dicegat para
perampok."
Mendengar penuturan itu mata
Gusti Wirasan-
tri langsung terbeliak. Sesaat
kemudian dia mengge-
brak meja seraya bangkit dari
duduknya. "Dari mana
kau tahu hal itu,
Gisandra?!"
"Salah seorang anak buah
hamba melaporkan
kejadian itu. Menurut
laporannya, Gerombolan Rantai
Maut telah membunuh seluruh
pengawal barang Eks-
pedisi Kencana Mega."
"Lalu...."
"Entah bagaimana
kejadiannya, seluruh anggo-
ta Gerombolan Rantai Maut
sendiri menemui ajal.
Termasuk pemimpinnya yang bernama
Barong Kala."
"Barang Tuhisa Brama yang
hendak dikirimkan
kepadaku apakah lenyap?"
"Benar, Gusti...."
Gusti Wirasantri menghembuskan
napas berat.
Rahangnya mengeras dan bahu
lelaki gemuk itu terli-
hat naik turun. Dengan mata
berkilat ditatapnya wajah
Gisandra. Tapi yang ditatap
tersenyum tipis.
"Gusti Wirasantri tidak
perlu gusar...," ucap
kakek berpakaian seperti pendeta
itu. "Masih ada ke-
mungkinan barang Tuan Tuhisa
Brama akan sampai
ke tangan Gusti
Wirasantri."
Mendengar laporan itu, sinar
mata Gusti Wira-
santri kembali meredup.
Diisapnya cangklongnya kuat-
kuat.
"Katakan semua yang kau
ketahui sejelas-
jelasnya, Gisandra!"
Dibentak-bentak demikian
Gisandra mengang-
kat alisnya. Tapi kemudian dia
menjelaskan juga me-
nurut apa yang didapat dari
laporan anak buahnya.
"Ekspedisi Kencana Mega
berangkat dari Kota-
praja Kerajaan Saloka Medang
dengan dipimpin putri
tunggal Lodra Sawala. Dia
bernama Yaniswara. Di an-
tara mayat yang bergelimpangan
di perbatasan Kade-
mangan Maospati, gadis itu tidak
ada. Besar kemung-
kinan dia melarikan diri dengan
membawa barang
Tuan Tuhisa Brama."
"Apakah besar pula
kemungkinannya gadis itu
akan menyampaikan barang yang
dibawanya kepada-
ku?" tanya Gusti
Wirasantri.
"Hamba yakin, Gusti.
Orang-orang Ekspedisi
Kencana Mega mempunyai
pengabdian yang tinggi ter-
hadap pekerjaannya. Karena itu,
Gusti Wirasantri ti-
dak perlu khawatir."
Sampai di situ pembicaraan
terhenti Gusti Wi-
rasantri kembali mengambil
tempat duduknya. Setelah
meletakkan cangklong di meja,
laki-laki itu tampak
berpikir.
"Kau tahu siapa yang
membunuh para pengaw-
al barang Ekspedisi Kencana Mega
bersama seluruh
anggota Gerombolan Rantai
Maut?" tanya lelaki gemuk
itu kemudian
"Hamba tidak tahu. Tapi
menurut penuturan
anak buah hamba, belasan wanita
berpakaian serba
ungu telah melakukan perbuatan
biadab itu."
"Hmmm... Siapa
mereka?" gumam Gusti Wira-
santri. "Gisandra, yakinkah
kau gadis yang bernama
Yaniswara itu selamat dari
tangan maut mereka?"
"Seorang kakek sebaya
dengan hamba yang
berpakaian ala pengemis telah
menyelamatkannya,"
beritahu Gisandra
"Gede Panjalu, sesepuh
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Saktikah orang
itu?" tebak Gusti Wirasantri
sedikit berharap.
"Bukan."
"Lalu, siapa?"
"Hamba tidak tahu. Namun
menurut penuturan
anak buah hamba, ilmu kepandaian
orang itu sangat
hebat...."
Tiba-tiba saja, Gusti Wirasantri
tertawa terba-
hak-bahak. Tubuhnya yang gemuk
sampai bergerak-
gerak membuat kursi yang didudukinya
berderak. Gi-
sandra menatap dengan sinar mata
tak mengerti.
"Air sakti...," gumam
Gusti Wirasantri.
"Air sakti, Gusti?"
Gisandra menegaskan.
"Ya. Barang Tuhisa Brama
yang dikirimkan ke-
padaku itu adalah air sakti.
Sebentar lagi seluruh to-
koh kerajaan akan bertekuk-lutut
di hadapanku. Den-
gan demikian, tampuk pimpinan di
Kerajaan Anggara-
pura akan berpindah ke tanganku.
Ha ha ha...!"
Gisandra terperangah. "Apa
maksud Gusti Wi-
rasantri?!"
Laki-laki gemuk itu tiba-tiba
merasa begitu ter-
pojok. Dia telah membuka suatu
rahasia. Dengan pan-
dangan aneh lelaki gemuk itu
menatap wajah Gisandra
yang melangkah mundur satu
tindak. Bentakan Gusti
Wirasantri kemudian mencegah
niat kakek itu untuk
berlalu.
"Apa maksud Gusti
Wirasantri sebenarnya?"
tanya Gisandra dengan suara
bergetar.
"Gisandra...," panggil
Gusti Wirasantri pelan.
"Hamba, Gusti."
"Di mata semua punggawa
kerajaan aku mem-
punyai nama baik. Baginda Prabu
pun menganggap
aku seorang punggawa yang sangat
setia...," lanjut
Gusti Wirasantri perlahan.
"Oleh karena itulah Gisan-
dra, kau tak perlu membuka mulut
akan apa yang ba-
ru saja kau dengar."
Gisandra merenung sejenak. Lalu
katanya, "Ta-
di Gusti Wirasantri mengatakan
hendak membuat se-
luruh tokoh kerajaan
bertekuk-lutut, dan tampuk
pimpinan Kerajaan Anggarapura
akan berpindah ke
tangan. Gusti, apakah itu
mengisyaratkan kalau Gusti
hendak melakukan
pemberontakan?"
"Ha ha ha.... Untuk
membentuk bala tentara
aku tak bisa. Hal itu akan
mengundang kecurigaan.
Maka, melalui ilmu kesaktianlah
aku akan menggu-
lingkan tahta Arya Dewantara. Ha
ha ha...."
Gisandra terpekur. Dalam hati
dia berkata,
"Tak kusangka orang yang
selama ini ku junjung tinggi
ternyata seorang penjahat culas
yang haus kekua-
saan...."
"Gisandra!"
Bentakan Gusti Wirasantri
mengejutkan kakek
berpakaian seperti pendeta itu.
"Hamba, Gusti...,"
ucapnya buru-buru.
"Seluruh muridmu ada berapa
orang jumlah-
nya?"
"Sekitar lima puluh,"
sahut Gisandra agak ragu.
Dia merasakan maksud jelek Gusti
Wirasantri dalam
pertanyaan itu.
"Huh! Jumlah yang terlalu
kecil. Tapi, kuharap
kau bersedia membantu untuk
mewujudkan impian
ku, Gisandra."
"Hamba bersedia membantu
Gusti Wirasantri
dalam kebaikan."
"Apa maksudmu?"
Gisandra menatap tajam wajah
junjungannya.
"Hamba menentang keinginan
Gusti Wirasantri yang
hendak makar," ujarnya
dengan berani.
Tiba-tiba, Gusti Wirasantri
bangkit dari duduk-
nya seraya menggebrak meja
hingga hancur berkeping-
keping. Tentu saja Gisandra
terkejut. Kakek itu lang-
sung melangkah mundur. Namun,
tanpa disangka ser-
pihan kayu meja melayang ke
arahnya.
Wuuuttt...! Tak...!
Kalau saja Gisandra bukan tokoh
berilmu tinggi
tentu dia sudah terbaring tanpa
nyawa dengan kepala
remuk. Gusti Wirasantri tampak
terperangah melihat
serangannya gagal, hanya dengan
geseran tubuh Gi-
sandra yang seperti asal-asalan.
"Hmmm.... Bila kau tak
bersedia membantuku,
jangan harap udara segar masih
dapat kau hirup!" an-
cam Gusti Wirasantri.
"Di bawah pimpinan Prabu
Arya Dewantara ra-
kyat Kerajaan Anggarapura sudah
hidup aman dan
tenteram. Untuk apa Gusti
Wirasantri hendak merebut
kekuasaan?"
"Bangsat!"
Mata Gusti Wirasantri mendelik.
Dengan sinar
mata nyalang ditatapnya Gisandra
tajam-tajam
"Berdoalah sebelum maut
menjemput, Kerbau
Tua!"
Gisandra tak melakukan tindakan
apa pun.
Matanya terus memandang
perubahan Wajah junjun-
gannya yang tiba-tiba terlihat
buas laksana harimau
marah. Gusti Wirasantri
mengangkat kedua pergelan-
gan tangannya. Gisandra langsung
mengambil sikap
sedia. Junjungannya itu
tampaknya sudah sampai pa-
da puncak kemarahannya untuk
segera menjatuhkan
tangan maut
Kedua telapak tangan Gusti
Wirasantri me-
nangkup di atas kepala, lalu
perlahan-lahan turun.
Kemudian, dengan cepat dia
bentangkan kembali. Ber-
samaan dengan itu kedudukan
kakinya digeser hingga
setengah berjongkok. Ketika
lelaki gemuk itu mengge-
ram seraya menghirup udara,
suatu kekuatan kasat
mata yang mempunyai daya isap
dahsyat menghunjam
ke arah Gisandra.
"Argh...!"
Kakek berpakaian seperti pendeta
itu mundur
setindak sambil mendekap dada.
Jantungnya dirasa-
kan berdegup kencang.
Pandangannya mengabur ka-
rena pening di kepala. Sadarlah
Gisandra kalau dirinya
telah terkena ilmu kesaktian
Gusti Wirasantri.
"Aku memberi kesempatan
kepadamu untuk
mengucap doa, Kerbau Tua!"
Ucapan Gusti Wirasantri hanya
dibalas dengan
dengusan keras. Lelaki gemuk itu
kembali menggeram
seraya menghirup udara lebih
kuat. Akibatnya, tubuh
Gisandra bergetar hebat. Seluruh
kekuatan tenaga da-
lam yang telah dia salurkan tak
mampu berbuat ba-
nyak. Tubuh Gisandra semakin
bergetar hebat. Saat
kakek itu menyilangkan kedua
telapak tangannya di
depan dada, asap tipis
membumbung keluar dari teng-
kuk.
Srash...!
Butiran keringat muncrat dari
sekujur tubuh
Gisandra. Pakaian yang dikenakan
sampai berlubang-
lubang seperti habis dimakan
rayap!
"Malaikat Kematian sudah
berada di depan ma-
tamu!" desis Gusti
Wirasantri. Dihirupnya udara lebih
kuat lagi dengan berlambarkan
ilmu 'Penghisap Jagad'!
Dibarengi jeritan menggidikkan
hati, suatu pe-
mandangan yang mengerikan segera
terlihat. Yang
muncrat dari sekujur tubuh
Gisandra bukan hanya
keringat tapi juga cairan kental
berwarna merah. Da-
rah! Setelah mendengar suara
mirip letupan cukup ke-
ras, dada kiri Gisandra jebol.
Jantungnya terlontar dan
membentur tembok hingga lumat.
Dalam keadaan tanpa nyawa tubuh
kakek itu
masih tetap berdiri di
tempatnya. Namun usai Gusti
Wirasantri menarik ilmu
'Penghisap Jagad'-nya, tubuh
Gisandra langsung jatuh
terjengkang.
***
Kedatangan Yaniswara bersama
Suropati men-
gejutkan Gusti Wirasantri. Tapi
setelah Yaniswara
memperkenalkan diri, senanglah
hati punggawa kera-
jaan itu. Di ruangan luas yang
terdapat di bagian de-
pan bangunan tempat tinggalnya,
Gusti Wirasantri
menyambut kehadiran mereka
dengan suka cita.
Seorang pelayan datang
menyajikan hidangan.
Yaniswara jadi kikuk karena
sambutan tuan rumah
yang dirasa terlalu berlebihan.
Apalagi ketika memper-
hatikan keadaan dirinya yang
berbaju koyak-koyak,
Yaniswara semakin tidak bisa
bergerak bebas. Menye-
sallah dia kenapa sebelum
menghadap Gusti Wirasan-
tri tidak mengganti baju
terlebih dahulu.
Bila Yaniswara hanya berbicara
seperlunya,
lain halnya dengan Suropati.
Remaja konyol itu tam-
pak sangat gembira. Mulutnya tak
henti-henti bicara
sambil menikmati hidangan yang
memang sangat lezat.
Ketika meneguk arak wangi nomor
satu, kekehan ta-
wanya terus terdengar.
Gusti Wirasantri yang sudah
mengenal pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu menim-
pali kegembiraan Suropati dengan
kata-kata bijak.
"Seorang tamu adalah raja
bagi tuan rumah.
Sudah selayaknya dia dijamu
sedemikian rupa. Hing-
ga, bila sang tamu telah kembali
sikap baik tuan ru-
mah akan melekat terus dalam
benaknya...."
"Tepat!" timpal
Suropati setelah menghirup
aroma arak yang begitu memikat.
"Hidangan tuan ru-
mah yang disajikan dengan ikhlas
tak layak dibiarkan
begitu saja."
Sambil berucap demikian,
Suropati menginjak
telapak kaki Yaniswara yang
tampak salah tingkah.
"Ha ha ha...," tawa
Gusti Wirasantri. "Ayolah,
Gadis Manis. Kenapa mesti
sungkan-sungkan untuk
menikmati hidangan. Setelah
melakukan perjalanan
yang demikian jauh, tidakkah kau
ingin santai seje-
nak?"
"Terima kasih,
Gusti...," ucap Yaniswara.
Pengemis Binal mengaduh dalam
hati. Telapak
kakinya diganti digencet dengan
keras oleh Yaniswara.
Walaupun apa yang dilakukan
gadis cantik itu terjadi
di bawah meja besar yang
tertutup kain sutera beren-
da, namun Gusti Wirasantri tahu.
Lelaki gemuk itu
pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah dirasa cukup
berbasa-basi, Gusti Wira-
santri lalu menatap wajah
Yaniswara lekat-lekat. "Aku
ikut berduka cita atas
meninggalnya kedua puluh
orang anak buahmu di perbatasan
Kademangan Maos-
pati. Aku sangat menghargai
pengabdian pemuda-
pemuda perkasa itu. Kau pun
sangat bertanggung ja-
wab untuk mengemban tugasmu,
Gadis Manis...," ujar
lelaki itu dengan
bersungguh-sungguh.
"Ah, kami hanya menjalankan
apa yang sudah
menjadi kewajiban kami,"
kilah Yaniswara merendah.
Gadis cantik itu kemudian
meletakkan kotak
kayu berukir yang dibawanya ke
atas meja. Mata Gusti
Wirasantri menatap penuh
kegembiraan. Dengan di-
iringi suara tawa yang lepas
bebas, diraihnya kotak
kayu berukir itu.
"Selain uang yang telah kau
terima dari Tuhisa
Brama, aku akan memberikan
hadiah menarik kepa-
damu, Gadis Manis."
"Terima kasih,
Gusti...," Yaniswara tersenyum
senang.
Perlahan-lahan tangan Gusti
Wirasantri mena-
rik penjepit logam, lalu membuka
tutup kotak kayu be-
rukir. Tapi lelaki gemuk itu
jadi tercengang. Matanya
bersinar aneh.
"Apakah aku sedang
menjumpai sebuah per-
mainan?" tanya laki-laki
itu. Suaranya terdengar begi-
tu sumbang.
"Permainan apa,
Gusti?" tanya Yaniswara tak
mengerti.
Gusti Wirasantri meletakkan
kembali kotak
kayu berukir yang dipegangnya ke
atas meja. Dengan
sebuah jentikan kecil benda
itu digeser ke hadapan
Yaniswara.
Gadis cantik itu pun terkejut.
Kotak kayu beru-
kir yang telah dipertahankannya
dengan memperta-
ruhkan nyawa ternyata kosong!
"Barang yang berada di
dalam kotak kayu be-
rukir itu sangat berharga
bagiku. Kau tak perlu mem-
buat permainan konyol ini, Gadis
Manis," ucap Gusti
Wirasantri dengan suara berat.
Yaniswara tak mampu berucap.
Matanya terus
menatap kotak kayu berukir di
hadapannya. Peruba-
han raut muka Yaniswara yang
memucat ditangkap
oleh Suropati. Remaja konyol itu
langsung melongok-
kan kepalanya melihat ke dalam
kotak kayu. Dia pun
menggaruk-garuk kepalanya
melihat kotak kayu beru-
kir tak berisi apa-apa.
Menyaksikan sikap kedua tamu di
hadapannya
yang seperti kerbau linglung,
Gusti Wirasantri men-
dengus. Dia lalu bangkit dari
duduknya.
"Cepat serahkan barang
Tuhisa Brama kepada-
ku!" teriak laki-laki itu.
"Saya tak mengerti dengan
semua ini, Gusti...,"
ucap Yaniswara dengan suara
bergetar. "Tugasku
mengantarkan sebuah peti kayu
besar. Tapi setelah
peti kayu besar itu pecah akibat
ulah perampok, saya
hanya mendapati kotak kayu
berukir ini."
"Jangan membual! Nyawamu
tak lebih berharga
dari barang yang dikirimkan
Tuhisa Brama kepadaku!"
Yaniswara bangkit dari tempat
duduknya.
"Saya mengerti, Gusti.
Tapi, mungkinkah saya
menggelapkan barang itu
sementara saya telah meng-
hadap Gusti Wirasantri melalui
pengorbanan seluruh
anak buah saya?!" Gadis
cantik itu kelihatan begitu
gusar.
Mendengar ucapan Yaniswara yang
ketus, mata
Gusti Wirasantri berkilat.
Nafasnya menjadi berat oleh
luapan rasa marah. Namun, dia
masih mencoba untuk
bersabar.
"Akan kuberikan hadiah
besar kepadamu bila
kau bersedia menyerahkan barang
kiriman Tuhisa
Brama...."
"Apa lagi yang harus
kuberikan selain kotak
kayu berukir itu. Bila Gusti
Wirasantri menginginkan
barang kiriman Tuan Tuhisa Brama
yang lain, saya ti-
dak membawanya." Yaniswara
tetap membantah.
Gusti Wirasantri menggedruk
lantai hingga re-
tak. Seisi ruangan pun
berguncang. Lalu, tanpa dis-
angka-sangka lelaki gemuk itu
melayangkan telapak
tangan kanannya ke wajah
Yaniswara. Dengan sigap
gadis itu berkelit. Selamatlah
dia dari tamparan Gusti
Wirasantri.
Namun, hal itu membuat darah
Gusti Wirasan-
tri mendidih. Setelah
menghembuskan napas berat dia
membentak, "Serahkan barang
yang ku maksud sebe-
lum aku benar-benar mencabut
nyawamu!"
Melihat sikap Gusti Wirasantri
yang tampaknya
tak main-main, Suropati melompat
dan berdiri di ha-
dapan lelaki gemuk itu.
Maksudnya hendak melerai
perselisihan. Tapi, kibasan
telapak jangan Gusti Wira-
santri yang disertai tenaga
dalam penuh melontarkan
tubuh Pengemis Binal hingga
membentur dinding.
Remaja konyol itu mengaduh.
Untunglah hawa
murni yang mengalir dalam
tubuhnya sudah sedemi-
kian kuat Suropati tak mendapat
luka dalam yang be-
rarti. Saat dia bangkit pemuda
itu menggaruk-garuk
kepalanya melihat dinding yang
tertimpa tubuhnya
ambrol.
Sesaat Pengemis Binal berdiri
terpekur. Tak ta-
hu apa yang harus diperbuat.
Yaniswara langsung me-
loncat ke hadapan remaja konyol
itu.
"Kau tak apa-apa?"
tanya gadis itu khawatir.
Pertanyaan itu tak mendapat
jawaban. Gusti
Wirasantri telah menggeram
laksana harimau marah.
"Akan kupatahkan batang
lehermu, Pencuri Ke-
cil!"
Lelaki gemuk itu menjulurkan
kedua tangan-
nya. Yaniswara berkelit. Namun,
sebuah tendangan te-
lah menanti. Hingga....
Des...!
Gusti Wirasantri mendengus
keras. Pergelangan
kakinya bergetar terkena
tangkisan Suropati. Tahulah
lelaki gemuk itu kalau nama
besar Pengemis Binal bu-
kan omong kosong belaka. Tapi
karena Gusti Wirasan-
tri tak hendak berurusan dengan
pendekar muda itu,
dia hanya menghardik.
"Minggir kau!"
Suropati terperangah. Tak pernah
dia duga
punggawa kerajaan yang terkenal
jujur dan penuh
pengabdian itu bisa bertindak
demikian kasar. Namun,
Pengemis Binal tak punya waktu
untuk berpikir. Gusti
Wirasantri telah menyerang
Yaniswara dengan ganas.
Gadis itu pun terlihat sangat
kerepotan.
"Hentikan kesalahpahaman
ini!" teriak Suropa-
ti.
Namun, tak dihiraukan oleh Gusti
Wirasantri.
Lelaki gemuk itu terus mencecar
Yaniswara dengan se-
rangan bertubi-tubi. Api
kemarahan Gusti Wirasantri
tampaknya sudah tak mungkin
dipadamkan lagi. Pen-
gemis Binal segera membuat
tangkisan saat tangan
kanan lelaki gemuk itu meluncur
ke dada Yaniswara.
Kemudian, Suropati menyambar
lengan Yaniswara se-
raya berlari cepat meninggalkan
ruangan.
Gusti Wirasantri hendak
mengejar. Tapi, tubuh
Pengemis Binal dan Yaniswara
keburu hilang ditelan
kegelapan malam. Sesampai di
depan sebuah candi
Suropati menghentikan langkah.
"Kita belum keluar dari
kotapraja. Gusti Wira-
santri akan dapat menemukan
kita," ujar Yaniswara di
antara nafasnya yang tersengal.
"Tenanglah.... Punggawa
kerajaan itu tak akan
mengejar kita. Bila sampai ada
orang tahu dia berlari-
lari di malam begini, wibawanya
akan turun."
Suropati menggamit lengan
Yaniswara untuk
memasuki bangunan candi. Mereka
membuat perapian
lalu duduk di dekatnya untuk
menghangatkan diri.
"Kenapa mesti jadi
begini?" ucap Suropati pe-
lan. "Setelah mengantarmu
menghadap Gusti Wirasan-
tri, kupikir aku akan mendapat
hadiah darimu. Tapi,
kesulitanlah yang kudapat.
Pukulan punggawa kera-
jaan itu pun membuat dadaku
sesak."
Pengemis Binal lalu berpura-pura
batuk. Ya-
niswara menggeser duduknya
mendekati remaja ko-
nyol itu.
"Coba kau pijit punggungku.
Biar nafasku sedi-
kit longgar," pinta
Pengemis Binal.
Yaniswara langsung mengambil
tempat di bela-
kang Suropati. Diturutinya
permintaan remaja konyol
itu. Mata Pengemis Binal
merem-melek merasakan je-
mari Yaniswara yang begitu
lembut menyentuh pung-
gungnya. Namun, sebentar
kemudian remaja konyol
itu bersungut-sungut.
"Aduh! Tekanan mu kurang keras, Yani. Apa
yang kau lakukan itu bukan
memijit, tapi mengelus...."
"Masa' begini kurang
keras?" tanya Yaniswara
heran.
"Kurang."
Tak...!
Suropati terperanjat. Dirabanya
bagian bela-
kang kepalanya. Mendadak saja
Yaniswara telah men-
jitaknya.
"Aku bukan pesuruh yang
bisa kau perintah
seenakmu!" rungut gadis
cantik itu sambil menggeser
duduknya.
"Siapa bilang kau
pesuruh?"
"Tapi, permintaanmu
membuatku merasa se-
perti pesuruh!"
"Salah sendiri! Kenapa kau
tidak menganggap
dirimu sebagai kekasih atau
istriku?" ucap Suropati
tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Uh! Enak saja! Siapa sudi
menjadi kekasih
atau istri orang
sepertimu?!" Yaniswara melotot marah.
"Kau tak sudi?" goda
Suropati.
"Tidak!"
"He he he...."
Pengemis Binal tertawa terkekeh.
"Tapi tetap saja kau
membutuhkan diriku, bukan?"
"Tidak!" bantah
Yaniswara pasti.
"Baik. Kalau begitu, aku
pergi...."
Habis berkata demikian, Suropati
bangkit dari
duduknya lalu berjalan ke luar
ruangan. Melihat itu
buru-buru Yaniswara mencegah.
"Kau marah?" tanya
gadis cantik itu.
"Tidak. Hanya kesal saja.
Tapi, aku akan tetap
pergi sekarang."
"Aduh, maafkan aku, Suro.
Aku tadi cuma ber-
canda. "
"Bercanda?" Suropati
memelototkan matanya
pura-pura marah.
"Ya," angguk Yaniswara
pelan.
"Jadi, kau bermaksud
mempermainkan diriku?"
"Ya, eh, tidak...."
Suropati meraih tangan Yaniswara
kemudian
meremasnya. Dihadiahkannya
kecupan mesra di ken-
ing gadis cantik itu.
"Aku tadi cuma bercanda.
Aku tidak akan me-
ninggalkan gadis secantik dirimu
ketika sedang men-
dapat kesulitan," rayu
Suropati.
"Terima kasih,
Suro...."
Pengemis Binal melepas pegangannya. Dia
kembali berjongkok di depan
perapian untuk menggan-
ti ranting-ranting kering yang
telah habis terbakar.
"Aku tak mengerti kenapa
Tuan Tuhisa Brama
mengirim kotak kayu berukir yang
kosong kepada
Gusti Wirasantri?" ucap
Yaniswara setelah duduk ber-
sandar pada dinding candi.
"Mungkinkah dia hendak
mencemarkan nama baik Ekspedisi
Kencana Mega?"
"Orang yang kau sebut
sebagai Tuan Tuhisa
Brama itu siapa?" tanya
Suropati ingin tahu.
"Seorang brahmana yang
tinggal di Kotapraja
Kerajaan Saloka Medang. Namanya sangat terkenal.
Karena itu banyak pemuda yang
berguru kepadanya."
"Lalu, dia mempunyai
hubungan apa dengan
Gusti Wirasantri?"
"Menurut kabar yang
kudengar sebelum aku
berangkat ke sini, Tuan Tuhisa
Brama hendak mendi-
rikan sebuah padepokan. Dia
mendapat sumbangan
uang yang sangat banyak dari
Gusti Wirasantri. Seba-
gai tanda terima kasih, Tuan
Tuhisa Brama berkenan
menghadiahkan sebuah barang yang
katanya sangat
berharga kepada Gusti
Wirasantri."
"Aneh...," desis
Suropati sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Hei! Kulihat rambutmu itu
bersih dan bagus.
Kenapa kau sering menggaruk
kepalamu?" tanya Ya-
niswara melihat kebiasaan buruk
Pengemis Binal.
Buru-buru remaja konyol itu
menarik tangan-
nya. Lalu nyengir mirip kuda
sakit perut. "Nggak tahu,
ya? Tanganku inilah yang tak mau
diam," kilah pemu-
da itu.
"Aku tadi mendengar kau
berkata 'aneh'.
Apanya yang aneh?"
"Walaupun rakyat Kerajaan
Anggarapura keli-
hatan hidup makmur, aman dan
tenteram, tapi ban-
gunan keagamaan masih bisa
dihitung dengan jari.
Untuk membangun tempat-tempat
demikian memang
dibutuhkan dana yang besar.
Anehnya, kenapa Gusti
Wirasantri malah menyumbangkan
hartanya untuk
pembangunan sebuah padepokan di
kerajaan tetang-
ga?"
"Kau pikir bagaimana?"
Yaniswara ingin tahu
pendapat Suropati.
"Menurut dugaanku, Gusti
Wirasantri pasti te-
lah membuat kesepakatan dengan
Tuan Tuhisa Bra-
ma. Dengan kata lain, barang
berharga yang dikirim-
kan kepada Gusti Wirasantri itu
telah dibelinya dengan
dalih memberikan
sumbangan."
"Hmmm.... Begitu... pantas
Tuan Tuhisa Brama
sangat wanti-wanti agar barang
yang dikirimnya sela-
mat sampai ke tangan Gusti
Wirasantri," Yaniswara
mengangguk-angguk membenarkan.
"Apakah kau tahu barang apa
sebenarnya itu?"
"Tidak. Tapi, tampaknya
memang sangat ber-
harga. Sampai-sampai ayahku memerintahkan aku
untuk mengepalai rombongan
pengawal Ekspedisi
Kencana Mega mengirimkan barang
itu. Dan lagi, aku
diberi sebuah rompi pusaka untuk
menjaga keselama-
tanku. Padahal rompi itu
merupakan salah satu benda
pusaka Prabu Mahindra
Suikarnaka. Bukti kalau ba-
rang kiriman Tuan Tuhisa Brama
sangat berharga ada-
lah adanya keinginan dari
orang-orang Partai Iblis Un-
gu. Mereka sampai mengejar
rombongan Ekspedisi
Kencana Mega hingga ke wilayah
Kerajaan Anggarapu-
ra."
"Seberapa pun berharganya
barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, kenyataannya
kotak kayu berukir
itu kosong," bantah
Suropati.
Tiba-tiba, sinar mata Yaniswara
tampak aneh.
Dia melonjak bangkit berdiri
lalu menghampiri Suropa-
ti. "Isi kotak kayu berukir
itu tentu telah dicuri
orang...."
"Siapa?" sergah
Suropati penuh rasa ingin ta-
hu.
"Ketika aku bertempur
melawan orang-orang
Partai Iblis Ungu, aku terluka.
Tapi sebelum pingsan
seseorang telah menyambar
tubuhku. Dia merawat lu-
kaku. Ku dapati
tubuhku terbaring di tepi sebuah
sungai. Aku menduga dia telah
mencuri isi kotak kayu
berukir yang kubawa. Kecurigaan
ku jatuh pada kakek
tua berpakaian penuh tambalan
yang tadi sore kuta-
nyakan kepadamu..."
"Kau yakin?"
"Menilik sikapnya yang aneh
karena dia tak
mau mengenalkan siapa dirinya,
aku yakin dialah pen-
curinya," kata Yaniswara
yakin sekali.
"Kalau begitu kita harus
mencarinya."
"Tentu saja. Walau
Ekspedisi Kencana Mega te-
lah hancur, tapi aku tak ingin
perusahaan pengiriman
barang yang susah-susah
didirikan ayahku itu me-
ninggalkan nama buruk."
"Kita tak perlu
tergesa-gesa, bukan? Sambil
menunggu pagi, kita bisa.... He
he he...," Suropati tak
melanjutkan ucapannya.
"Bisa apa?" desah
Yaniswara tak sabar.
"Ah, masa' tidak
tahu?"
"Tidak."
"Begini, lho...."
Sambil berkata demikian,
Suropati memeluk
tubuh Yaniswara. Lalu melumat
bibir gadis cantik
itu...
5
Seorang kakek berpakaian penuh
tambalan
tampak berjalan mendekati sebuah
kedai. Langkah
kakinya yang sedikit
melompat-lompat membuat ram-
but kakek itu yang diikat
besetan kulit bambu terayun
ke kiri dan ke kanan. Janggutnya
yang panjang berki-
bar-kibar seperti untaian rambut
jagung.
Sesampai di ambang pintu kedai
seorang pe-
layan menghardiknya. Namun
setelah si kakek mem-
perlihatkan segenggam uang logam
di tangannya, pe-
layan itu manggut-manggut dan
mempersilakan ta-
munya masuk.
"Arak yang paling
baik!" teriak si kakek seraya
meletakkan uang logam yang
digenggamnya. Terden-
garlah suara bergemerincing.
Beberapa orang yang be-
rada di tempat itu memandang
dengan kening berkerut
Tak lama kemudian seorang
pelayan meletak-
kan pesanannya di atas meja. Si
kakek memegang tan-
gannya lalu menyodorkan sekeping
uang logam.
"Pernahkah kau mendengar
nama Raka Maruta
yang bergelar Pendekar Kipas
Terbang?" tanya si ka-
kek.
"Oh, pendekar muda
itu...," jawab pelayan ke-
dai.
"Kau tahu di mana
dia?"
"Sekitar enam candra yang
lalu nama Pendekar
Kipas Terbang banyak disebut
orang. Dia telah berjasa
pada Kerajaan Anggarapura,
karena ikut menumpas
pemberontakan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah."
"Lalu, sekarang di
mana?"
"Setelah bertempur melawan
si Penghimpun
Angkara di Bukit Tengkorak, nama
Pendekar Kipas
Terbang menghilang bagai ditelan
bumi."
"Ada lagi yang ingin kau
katakan tentang pen-
dekar muda itu?"
"Tidak."
Kakek berpakaian penuh tambalan
menatap
sebentar wajah si pelayan, lalu
menyodorkan lagi se-
keping uang logam. Si pelayan
bergegas ngeloyor pergi
sambil menimang-nimang uang yang
baru diterimanya.
Kakek berpakaian penuh tambalan
menenggak
arak pesanannya sampai tandas.
Setelah itu dia beran-
jak pergi dengan meninggalkan
beberapa keping uang
logam di atas meja. Begitu
melewati pintu kedai, dua
orang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang kebetulan berada tak jauh
dari kedai tampak sal-
ing berbisik.
"Bukankah itu orang yang
dicari Suropati?"
"Hush! Jangan keburu
berpikir demikian," ban-
tah temannya.
"Kau lihat penampilannya.
Sama dengan ciri-
ciri yang disebutkan pemimpin
kita. Rambutnya putih
kotor diikat besetan kulit
bambu. Janggutnya panjang.
Walau berpakaian penuh tambalan,
tampaknya dia
bukan anggota perkumpulan
kita."
Dua orang anggota Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti itu langsung
terdiam saat kakek yang
menarik perhatian mereka berjalan
mendekati.
"Apa yang kalian
bicarakan?" tanya kakek itu.
Yang ditanya gelagapan. Tak
mampu memberi-
kan jawaban. Namun, salah
seorang dari anak buah
Suropati itu segera berkata,
"Tampaknya Pak Tua bu-
kan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti...."
"Apakah setiap orang yang
berpakaian penuh
tambalan harus menjadi anggota
perkumpulan itu?"
tanya si kakek.
Usai berkata demikian, dia
membalikkan badan
lalu berjalan sambil
meloncat-loncat, membuat jalinan
rambutnya terayun-ayun. Dua
orang anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
segera berlari cepat me-
nuju sebuah candi yang terletak
di pinggir kotapraja.
"Suro...! Suro...!"
"Hush! Mulutmu jangan
berteriak sekeras itu!"
hardik Pengemis Binal setelah
keluar dari bangunan
candi dan mendapati dua orang
anak buahnya.
"Tampaknya anak buahmu
sudah menemukan
orang yang kita cari,"
timpal Yaniswara yang mengekor
langkah Suropati.
"Bagaimana dengan tugas
yang kuberikan ke-
padamu?" tanya Pengemis
Binal pada anak buahnya.
"Pagi-pagi setelah kau
menemuiku, aku menga-
jak teman-teman untuk menyebar
ke seluruh tempat
di kotapraja. Tapi, aku
sendirilah yang menemukan
orang yang kau cari...."
"Apakah aku tidak ikut
menemukan?" kata
anak buah Suropati yang satunya
sambil menyodok
pinggang temannya.
"Yah, kita berdua yang
menemukan orang itu,"
ralat temannya buru-buru.
"Hush! kalian hanya
mengulur-ulur waktu sa-
ja!" bentak Pengemis Binal.
"Ya. Benar katamu, Suro.
Orang yang kau cari
itu memang berada di sekitar
kotapraja. Aku menjum-
painya saat dia keluar dari
kedai dekat toko kelontong
di sebelah kiri pertigaan."
"Lalu, kau berbuat
apa?"
"Aku tidak berbuat apa-apa.
Seperti yang kau
pesan. Aku membiarkan orang itu
pergi," sahut anak
buah Suropati sambil tersenyum
senang. Gembira ka-
rena telah melaksanakan petunjuk
pemimpinnya.
"Ke mana?"
"Dari pertigaan dia
berjalan ke arah utara."
"Baik. Sekarang pergilah
kau bersama teman-
mu dari tempat ini...."
Mendengar perintah Suropati, dua
orang anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu bergegas
melangkah pergi. Sepeninggal
mereka, Yaniswara me-
mandang wajah Pengemis Binal
yang tampak sedang
berpikir.
"Kau memikirkan apa lagi,
Suro? Selekasnya ki-
ta mengejar pencuri barang
kiriman Tuan Tuhisa Bra-
ma itu."
"Jangan gegabah! Gusti
Wirasantri sejak keja-
dian semalam telah mengira kita
menggelapkan ba-
rangnya. Kukira dia sudah
menyebar orang-orangnya
untuk mencari kita," tolak
Suropati mengajukan ala-
san.
"Lalu?"
"Karena aku tidak kepergok,
ku perintah anak
buahku untuk mencari jejak
pengemis aneh itu."
"Dan sekarang jejaknya
telah ketemu. Apa yang
harus kita perbuat?" tanya
Yaniswara ingin tahu ren-
cana Suropati selanjutnya.
"Kita tetap akan mengejar
pengemis aneh itu.
Tapi orang-orang Gusti
Wirasantri tak boleh tahu. Kita
berlari memutar melewati
pinggiran kotapraja. Orang
yang kita cari pergi ke arah
utara. Kita akan mengha-
dang perjalanannya di suatu
tempat."
"Pikiran yang jitu!"
puji Yaniswara.
Tak lama kemudian, kedua tokoh
muda itu ber-
lari cepat mengandalkan ilmu
meringankan tubuh. Me-
reka berlari melewati pinggiran
kotapraja seperti ren-
cana Suropati. Di sebuah jalan
kecil di mana terdapat
belokan bercabang dua, Pengemis
Binal mengajak Ya-
niswara menghentikan langkah.
Mereka bersembunyi
di balik semak-semak yang banyak
terdapat di pinggir
jalan.
Beberapa lama kemudian, seorang
kakek ber-
pakaian penuh tambalan tampak
berjalan sambil me-
lompat-lompat.
"Nah, itu dia!"
Yaniswara meloncat dari
tempatnya bersem-
bunyi. Suropati hendak mencegah,
tapi terlambat.
"Hei! Kita berjumpa lagi,
Bocah Manis," kata si
kakek tanpa menghentikan
langkahnya
Yaniswara yang merasa sudah dua
kali dipe-
cundangi langsung meloncat ke
hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Hentikan langkahmu, Pak
Tua!"
Perintah Yaniswara tidak
digubris. Si kakek te-
rus melompat-lompat. Yaniswara
terdengar mendengus
marah. Digedornya dada kakek
berpakaian penuh
tambalan itu. Tapi, si kakek
hanya mengibaskan tela-
pak tangan. Namun akibatnya
sungguh di luar du-
gaan. Walau telapak tangan kakek
itu tak menyentuh
Yaniswara, tubuh gadis cantik
itu terlontar hingga lima
tombak.
Setelah bersalto beberapa kali
di udara, Yanis-
wara sudah tak melihat batang
hidung kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Suro...!"
Yaniswara berteriak keras.
Namun, yang di-
panggil ternyata sudah tak ada
di tempatnya.
Suropati berlari cepat
mengandalkan kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya.
Dikejarnya bayan-
gan kakek berpakaian sama
seperti dirinya.
"Uh! Ilmu kepandaian kakek
itu ternyata sangat
hebat," keluh Pengemis
Binal dalam hati.
Si kakek pun mengerahkan seluruh
ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk dapat
meninggalkan Suro-
pati. Hingga beberapa saat lamanya
jarak mereka be-
lum berubah.
Di siang hari bolong di mana
terik mentari begi-
tu menyengat, wujud Pengemis
Binal dan si kakek
aneh berubah menjadi dua sosok
bayangan. Kalau saja
mereka berlari di malam hari,
orang awam yang meli-
hatnya tentu akan mengira
sebagai kelebatan setan.
"Berhenti kau, Pak
Tua!" teriak Suropati.
Tapi, yang diteriaki sama sekali
tak menggu-
bris. Kakek itu terus berlari
tanpa sedikit pun menge-
luarkan suara. Pengemis Binal
mengumpat-umpat tak
karuan. Pada suatu kesempatan,
remaja konyol itu
menendang batu sebesar kepalan
tangan. Batu melun-
cur deras melebihi kecepatan
lari si kakek.
Zebs...!
Pengemis Binal terkejut luar
biasa. Batu yang
membentur punggung si kakek
ternyata tak berpenga-
ruh apa-apa. Hanya menimbulkan
bunyi seperti bara
api tersiram air. Padahal, batu
yang dilontarkan oleh
tendangan Suropati itu sudah
cukup untuk meremuk-
kan kepala seekor banteng.
Pada saat melakukan
serangan gerakan kaki
Pengemis Binal menjadi
terhambat. Mau tak mau ke-
cepatan lari remaja konyol itu
berkurang. Suropati jadi
tertinggal. Akhirnya, pada suatu
kelokan jalan bayan-
gan si kakek menghilang dari
pandangan.
Tinggallah remaja konyol itu
berdiri terpaku
sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Suropati kehilan-
gan jejak. Tapi saat dia melihat
sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok setinggi dua
depa, Suropati me-
nyunggingkan senyum dengan mata
bersinar.
"Kakek tua itu tentu masuk
ke bangunan milik
Mak Werti itu," ucap remaja
konyol itu dalam hati.
"Uh! Tua-tua masih banyak
tingkah...."
Sambil terus tersenyum-senyum,
Pengemis Bi-
nal memasuki pelataran bangunan
yang ternyata se-
buah rumah pelacuran.
"Siang-siang begini kenapa
masih saja banyak
cewek cantik yang ngantri?"
Gerutuan remaja konyol itu
sempat ditangkap
beberapa wanita piaraan Mak
Werti. Mereka langsung
menghambur ke arah Suropati.
"Eit! Sebentar-sebentar!
Aku ingin tanya, apa-
kah kalian melihat seorang kakek
berpakaian persis
seperti diriku masuk
kemari?" tanya Pengemis Binal
sambil menepis tangan seorang
wanita yang meraba
dadanya.
"Walau pakaianmu penuh
tambalan, tapi kau
sangat tampan. Tentu uangmu
banyak. Ayolah,
Sayang. Mampir dong ke
dalam," goda si wanita.
"Hush! Kalau mau mampir sih
gampang. Tapi
jawab dulu pertanyaanku,"
ujar Suropati.
"Aku tidak mendengar apa
yang kau tanyakan,"
wanita itu tersenyum genit.
Terpaksa Pengemis Binal
mengulang kembali
pertanyaannya, setelah
sebelumnya menggerutu pan-
jang pendek.
"Dia ayahmu?" tanya si
wanita kemudian.
"Bukan."
"Lalu, kenapa kau
cari?"
"Tak perlu kau
bertanya-tanya Jawab perta-
nyaanku, Tolol!" bentak
Suropati jengkel.
"Uh! Begitu saja
marah?"
"Kau lihat atau tidak orang
yang kucari itu?!"
ucap Suropati setengah
membentak.
"Ya., ya, aku melihatnya.
Bukankah begitu te-
man-teman?" kata si wanita
kepada teman-temannya.
Yang dijawab dengan anggukan
dengan senyum genit.
"Lalu, di mana dia?"
tanya Suropati begitu ber-
nafsu.
"Dia sedang
bersenang-senang."
"Bersenang-senang?"
kening Suropati berkerut
"Ya. Dia telah membawa
salah seorang di antara kami.
Lalu masuk ke ruang dalam,"
jawab si wanita asal
ucap.
Mendengar itu, teman-temannya
langsung ter-
tawa lebar. Tapi tampaknya
Pengemis Binal memper-
cayai jawaban si wanita. Remaja
konyol itu bergegas
melangkah ke ruangan besar.
"Uh! Ramai banget...,"
gumam Suropati sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Suropati berusaha menemukan
orang yang di-
carinya. Banyak para lelaki
berada di tempat itu. Me-
reka sedang minum-minum dengan
dikelilingi wanita-
wanita cantik berdandan menor.
Rumah pelacuran mi-
lik Mak Werti memang tidak
mengenal siang atau pun
malam. Tempat maksiat itu selalu
ramai dikunjungi
para lelaki hidung belang.
Pengemis Binal terus menyebar
pandangan
sambil berjalan berkeliling.
Namun, si kakek aneh tak
ditemukannya. Remaja konyol itu
lalu melangkah me-
masuki ruangan lebih dalam.
Ketika sampai di sebuah
gang di mana terdapat
kamar-kamar yang saling ber-
hadapan, Suropati menggaruk-garuk
kepalanya untuk
kesekian kali.
"Mungkinkah kakek tua itu
sudah masuk ke
dalam salah satu kamar
ini?"
Remaja konyol itu berjalan
berjingkat. Ketika
telinganya menangkap suara aneh
yang timbul dari da-
lam kamar di sisi kanannya,
Suropati menghentikan
langkah, lalu mengintip dari
lubang kunci.
"Wuiiihhh...!"
Tanpa sadar remaja konyol itu
berucap demi-
kian. Dia pun semakin asyik
mengintip. Karena dirasa
kurang leluasa, Suropati
celingukan. Matanya melihat
sebuah dingklik. Benda itu
langsung saja diangkatnya
dan diletakkan di depan pintu.
Kemudian, melalui lu-
bang angin yang terdapat di atas
pintu Pengemis Binal
meneruskan perbuatannya
mengintip adegan yang se-
dang berlangsung di dalam kamar.
Mata remaja konyol itu
terbelalak lebar, seper-
tinya tak mau diajak berkedip.
Adegan yang terpam-
pang di depan matanya sanggup
untuk melupakan tu-
juan Suropati datang ke tempat
ini.
Glodak...!
"Aduh...!"
Dingklik tempat berdiri Pengemis
Binal tergul-
ing. Tubuh remaja konyol itu pun
terpelanting ke ka-
nan. Tak ayal lagi, kepalanya
membentur tiang pintu.
Kemudian jatuh tersungkur di
lantai.
Karena tak mau ketahuan orang
kalau dia se-
dang mengintip, Suropati
langsung mengambil langkah
seribu.
Belum seberapa jauh Suropati
berlari dari ru-
mah pelacuran Mak Werti yang
terletak di pinggir ko-
tapraja, telinganya menangkap
suara pertempuran.
Remaja konyol itu mempercepat
langkah kakinya. Ter-
lihat olehnya sebuah pertempuran
yang cukup sengit
antara Yaniswara melawan kakek
yang baru saja dike-
jarnya.
"Akui saja perbuatanmu, Pak
Tua!" hardik Ya-
niswara di sela-sela
serangannya.
Si kakek tertawa terkekeh
memperlihatkan gu-
sinya yang tanpa gigi. Saat
tendangan Yaniswara ber-
kelebat cepat, dia hanya
merundukkan badan. Kemu-
dian, dengan gerakan yang tampak
asal-asalan perge-
langan tangan kirinya diangkat.
Duk...!
Tubuh Yaniswara terpelanting ke
kanan. Ten-
dangannya seperti membentur
tembok baja. Gadis can-
tik itu terdengar menggeram
gusar. Diserangnya si ka-
kek dengan bertubi-tubi.
Pengemis Binal hanya menonton
pertempuran
itu. Ia hendak mengukur sampai
di mana kehebatan si
kakek. Dan, remaja konyol itu
terdengar berdecak ka-
gum menyaksikan si kakek yang
terus tertawa tanpa
sekali pun membalas serangan
Yaniswara. Padahal ga-
dis cantik itu telah
mengeluarkan semua kemampuan-
nya.
"Bangsat kau!" umpat
Yaniswara. "Kenapa kau
hanya berputar-putar saja
seperti kentut busuk tak
dapat keluar dari dalam
celana?!"
"Lalu maumu apa, Bocah
Manis?" tanya si ka-
kek dengan tersenyum.
"Balas seranganku!"
"He he he...."
"Jangan tertawa! Bau
mulutmu membuatku
mau muntah!" Yaniswara
geram sekali melihat tingkah
si kakek.
"Ah! Masa'?" goda
kakek berpakaian penuh
tambalan.
Habis berkata demikian, mendadak
si kakek
memutar tubuh. Lalu berkelebat
hendak meninggalkan
arena pertempuran. Suropati yang
melihat tindakan
itu tak mau tinggal diam lagi.
Secepat kilat remaja konyol itu
memapaki lun-
curan tubuh si kakek dengan menyorongkan
kedua te-
lapak tangannya. Kakek
berpakaian penuh tambalan
tampak terkejut. Karena sudah
tak dapat lagi mengen-
dalikan gerakan tubuhnya, kedua
telapak tangannya
didorong ke depan menyambuti
serangan Suropati.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana di
angkasa hing-
ga menimbulkan tiupan angin
kencang. Daun-daun
pohon di sekitar tempat itu
berguguran dengan ranting
terhempas bagai diserang angin
topan. Bahkan, tubuh
Yaniswara jatuh berguling-guling
di atas tanah.
Sementara itu, pemandangan yang
lebih men-
gerikan segera terlihat. Tubuh
si kakek terlontar deras
dan membentur sebatang pohon
besar hingga tum-
bang. Pengemis Binal sendiri
terhempas ke atas kemu-
dian jatuh berdebam di atas
tanah. Saat remaja konyol
itu bangkit, tanah tempat jatuh
tubuhnya berkubang
beberapa jengkal. Beberapa saat
Suropati berdiri ter-
huyung-huyung. Darah segar
meleleh dari sudut bibir-
nya.
Si kakek tampak berjalan gontai
menghampiri
remaja konyol itu. Setelah
mengusap lelehan darah di
sudut bibirnya dengan ujung
lengan baju, dia tertawa
terkekeh.
"Hebat..., hebat...,"
puji si kakek.
Pengemis Binal menatap wajah
kakek yang te-
lah berdiri tiga tombak dari
hadapannya. Lalu buru-
buru dipasangnya wajah angker.
"Kembalikan barang
yang kau bawa!" bentak
Suropati dengan galaknya.
"Aneh...," ucap si
kakek tak mengerti. "Yaniswa-
ra pun berkata seperti itu
kepadaku."
"Jangan pura-pura bodoh!
Kau telah mencuri
barang yang dipercayakan
pengirimnya kepada Ekspe-
disi Kencana Mega!"
"He he he.... Tuduhanmu
tidak pada tempat-
nya, Bocah Bagus. Aku tidak
mengenal siapa dirimu.
Tapi, tampaknya kau sangat
berkepentingan sekali
dengan perusahaan pengiriman
barang itu," si kakek
terus mencoba berkelit.
"Huh! Kau tentu telah
mendengar kebesaran
nama Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Akulah
pemimpinnya!" Suropati
berusaha menyombongkan di-
ri. Ingin dilihatnya tanggapan
kakek berpakaian penuh
tambalan.
"Oh, jadi kau adalah
Suropati atau si Pengemis
Binal itu?" ujar si kakek
manggut-manggut. Ada rasa
kagum terpancar dari matanya.
"Pantas..., pantas kau
sangat hebat..."
"Jangan berceloteh
macam-macam. Segera kau
kembalikan barang yang bukan
menjadi milikmu!"
bentak Suropati untuk menutupi
rasa senangnya ka-
rena telah dipuji.
"Kau salah tuduh, Bocah
Bagus...."
Pada saat itu Yaniswara yang
berdiri tak sebe-
rapa jauh dari si kakek terlihat
menghemposkan tu-
buhnya. Dengan kekuatan penuh
diterjangnya kakek
berpakaian penuh tambalan.
Tampaknya si kakek sama sekali
tak menyadari
keadaan itu. Tubuhnya tak
bergeming sedikit pun.
Hingga....
Des...!
Punggung si kakek dengan telak
terkena ten-
dangan Yaniswara. Namun,
akibatnya sungguh di luar
dugaan. Kakek itu tetap berdiri
tegak di tempatnya
sambil mengulum senyum di bibir.
Sedangkan tubuh
Yaniswara terlontar lalu
bergulingan di atas tanah
sambil mengaduh kesakitan.
"Sudah kubilang, tuduhan
kalian tidak pada
tempatnya. Kenapa kalian tetap
nekat?" ucap kakek
penuh kesungguhan.
"Kau jangan mungkir, Pak
Tua!" teriak Yanis-
wara. Gadis itu sudah bangkit
berdiri sambil mende-
kap dadanya yang sesak.
Si kakek menoleh. "Anak
muda memang keras
kepala. Terpaksalah aku
memperkenalkan diri," ujar-
nya kemudian.
Kakek berpakaian penuh tambalan
lalu berja-
lan ke bawah pohon besar. Dia
duduk bersila bera-
laskan rumput yang kebetulan
tumbuh lebat. Suropati
dan Yaniswara berjalan
menghampiri.
"Bagus!" kata si
kakek. "Kemarilah kalian. Tak
usah ragu. Aku tak akan
menipu."
Suropati dan Yaniswara saling
berpandangan.
Karena melihat kesungguhan di
wajah si kakek, mere-
ka kemudian duduk bersila di
hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Kenapa kalian ingin
mengenalku? Aku sendiri
sudah tak begitu peduli akan
namaku...," kata si ka-
kek membuka pembicaraan.
"Tapi, tokoh-tokoh tua di
Kerajaan Saloka Medang biasa
menyebutku sebagai
Kipas Sakti...."
"Kipas Sakti?!" desis
Suropati dan Yaniswara
bersamaan.
"Ya. Aku adalah sahabat
ayahmu, Yaniswara."
"Kenapa Ayah tidak pernah
bercerita tentang
dirimu, Pak Tua?"
"Aku sudah lama
mengasingkan diri. Mungkin
ayahmu pun sudah lupa kepada
diriku. Namun, men-
jelang kau mendapat tugas untuk
mengantarkan ba-
rang titipan Tuan Tuhisa Brama,
ayahmu datang ke-
padaku untuk mengawal rombongan
yang kau pim-
pin."
"Mengawalku?" tanya
Yaniswara sangat heran.
"Ya. Aku menerima
permintaan ayahmu. Kebe-
tulan aku juga hendak melakukan
perjalanan ke wi-
layah Kerajaan Anggarapura. Aku
sudah rindu pada
muridku."
"Siapa murid Pak Tua
itu?" sela Pengemis Binal.
"Dia bernama Raka
Maruta."
"Raka Maruta? Apakah dia
bergelar Pendekar
Kipas Terbang?"
"Tepat! Kenapa? Apakah kau
mengenalnya?"
tanya si kakek begitu mendesak.
"Bukan hanya mengenal. Raka
Maruta adalah
sahabatku yang paling baik. Dia
pernah berjasa me-
nyelamatkan nyawaku dengan
mengorbankan di-
rinya...."
"Hah?! Apa katamu?
Mengorbankan diri? Berar-
ti dia telah mati?" Wajah
kakek berpakaian penuh
tambalan tampak berubah pias.
"Tidak. Tapi, dibilang
hidup pun tidak. Bersama
Kakek Wajah Merah, Raka Maruta
telah mati suri. Tu-
buh mereka sekarang berada di
sebuah gua di Bukit
Rawangun."
Mendengar penuturan Suropati,
kakek yang
mengenalkan dirinya sebagai
Kipas Sakti itu langsung
beranjak dari tempat duduknya.
"Kita ke sana seka-
rang!" ajaknya.
Buru-buru Pengemis Binal
mencegah. "Untuk
ke Bukit Rawangun masih banyak
waktu. Kau mesti
menjelaskan terlebih dahulu
tentang barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Pak
Tua...."
Kipas Sakti duduk bersila
kembali di tempat-
nya. Dihelanya napas panjang beberapa
kali untuk
menenangkan hatinya.
"Sebenarnya, kewajibanku un-
tuk mengawal barang kiriman Tuan
Tuhisa Brama te-
lah selesai...."
"Belum, Pak Tua!" sela
Yaniswara. "Kotak kayu
berukir yang kuserahkan kepada
Gusti Wirasantri ter-
nyata kosong. Dan aku curiga
kepadamu, Pak Tua."
Kipas Sakti tersenyum kecil.
"Setelah aku ber-
cerita panjang lebar ternyata
kau tetap saja berpra-
sangka buruk kepadaku,
Yaniswara."
"Keadaanlah yang memaksa
aku berpikir demi-
kian. Bukankah kau yang menolongku
saat aku terlu-
ka oleh senjata orang-orang
Partai Iblis Ungu. Karena
aku pingsan, kau mencuri isi
kotak kayu berukir yang
kubawa," Yaniswara tetap
pada tuduhannya semula.
Kening Kipas Sakti berkerut.
Terdengar desah
panjang keluar dari mulutnya.
"Anak muda memang
keras kepala...," ucapnya
dengan suara berat. "Aku
memang benar telah menolongmu,
Yaniswara. Tapi,
tahukah kau ayahmu membuat
rencana lain untuk
mengantarkan barang Tuan Tuhisa
Brama kepada
Gusti Wirasantri?"
"Apa maksudmu? Bukankah
ayahku telah di-
bunuh oleh Wiranti sesaat
setelah aku berangkat ke
Kotapraja Kerajaan
Anggarapura?"
"Itu pun salah satu rencana
dari ayahmu."
"Maksudmu?" Yaniswara
benar-benar tak habis
pikir.
"Ayahmu telah mencium
keinginan orang-orang
Partai Iblis Ungu. Dia lalu
menyuruh salah seorang
anak buahnya untuk menyamar
sebagai dirinya. Jadi,
yang dibunuh oleh Wiranti itu
bukan ayahmu."
"Oh...."
Yaniswara mendekap mulutnya.
Matanya ber-
kaca-kaca karena rasa bahagia
yang mengalir dalam
hati.
"Syukurlah kau selamat,
Ayah," gumam gadis
cantik itu lirih.
Namun, dengan cepat gadis cantik
itu mengha-
pus air matanya. Dipandangnya
wajah Kipas Sakti le-
kat-lekat. "Kotak kayu
berukir yang kubawa ternyata
kosong, Pak Tua. Dan aku tetap
curiga kepadamu."
"Mengenai hal itu aku
benar-benar tak tahu,
Yaniswara," kakek
berpakaian penuh tambalan beru-
saha meyakinkan Yaniswara dengan
kebenaran uca-
pannya.
"Huh! jangan
bersandiwara!"
"Sebentar...," sela
Suropati menenangkan Ya-
niswara yang tiba-tiba jadi
kalap. "Tampaknya tudu-
han kita memang keliru,
Yani."
"Bagaimana kau bisa berkata
begitu?" Yaniswa-
ra kelihatan tidak senang
melihat pembelaan Suropati.
"Menurut jalan pikiranku,
ayahmu telah mem-
buat rencana yang sangat
matang."
"Rencana apa?"
"Ketika kau berangkat
sesungguhnya barang
yang kau kawal itu tidak ada.
Kau hanya mengawal pe-
ti besar berisi kotak kayu
berukir yang kosong...."
"Lalu?"
"Kotak kayu berukir yang
berisi barang Tuan
Tuhisa Brama telah diantarkan
sendiri oleh ayahmu."
"Apa gunanya ayahku meminta
Pak Tua ini un-
tuk ikut mengawal rombongan
Ekspedisi Kencana
Mega?" Yaniswara belum juga
bisa menerima.
"Ayahmu telah mencium
maksud buruk orang-
orang Partai Iblis Ungu, hendak
mencegahnya. Karena
khawatir akan keselamatan
dirimu, ayahmu meminta
Pak Tua ini untuk
mengawalmu."
Mendengar penuturan Suropati,
Yaniswara
tampaknya bisa memahami keadaan
itu. Menyesallah
dia telah menuduh yang
bukan-bukan terhadap Kipas
Sakti.
"Lodra Sawala memang hebat.
Otaknya sangat
cemerlang...," puji Kipas
Sakti menyebut nama ayah
Yaniswara.
"Kalau memang dugaanmu itu
benar Suro, kita
harus menjelaskan duduk
persoalannya kepada Gusti
Wirasantri," ujar Yaniswara
seraya menatap wajah Su-
ropati.
"Ah, ayahmu bisa
menyelesaikannya sendiri,
Bocah Manis. Kalau kau
berkeinginan menghadap
punggawa Kerajaan Anggarapura
itu, kau bisa berang-
kat sendiri. Aku akan mengajak
Suropati ke Bukit Ra-
wangun," sela Kipas Sakti.
Agaknya dia sudah tak sa-
bar ingin melihat keadaan
muridnya.
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya.
"Uh! Apa enaknya pergi
dengan kakek peot ini? Lebih
baik aku mengantar Yaniswara
terlebih dahulu," ucap
Suropati dalam hati.
Remaja konyol itu lalu menatap
wajah Kipas
Terbang dan Yaniswara
bergantian.
"Kau tidak mau mengantarku,
Suro?" tanya
Yaniswara.
"Oh, tentu mau,
Sayang...."
"Hush!" bentak Kipas
Sakti. "Kau harus ikut
aku ke Bukit Rawangun, Bocah
Bagus," si kakek ber-
sikeras.
"Yah, baiklah, Pak Tua.
Tapi kau ikut aku dulu
mengantar Yaniswara menghadap
Gusti Wirasantri,"
Suropati mengajukan pilihan.
Sejenak Kipas Sakti tampak diam
berpikir. Na-
mun segera dia menganggukkan
kepalanya menyetujui
permintaan Pengemis Binal.
6
Sang baskara telah condong ke
barat. Sinarnya
redup membuat panas tidak lagi
menyengat. Langit ce-
rah berwarna keperakan. Tidak
ada gumpalan awan
yang terlihat.
Seorang lelaki setengah baya
turun dari pung-
gung kuda. Tubuhnya kekar dibungkus
pakaian kun-
ing dengan selempang berwarna
merah. Di pinggang
kanannya terikat bungkusan kain
hitam. Saat lelaki
berwajah halus dengan sorot mata
tajam itu melang-
kahkan kaki memasuki pelataran
tempat tinggal Gusti
Wirasantri, seorang pelayan
berlari mendekati.
"Tuan siapa, dan ada
keperluan apa?" tanya pe-
layan itu ramah.
"Saya Lodra Sawala. Katakan
kepada Gusti Wi-
rasantri, barang kiriman Tuan
Tuhisa Brama telah
sampai."
Si pelayan membungkuk. Lalu
berlari dari ha-
dapan Lodra Sawala. Tak lama
kemudian terdengar
suara tawa terbahak-bahak Lodra
Sawala menatap ke-
hadiran Gusti Wirasantri.
"Saya hendak menyampaikan
barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Gusti,"
lapor pemilik Ekspedisi
Kencana Mega itu.
Gusti Wirasantri tak segera
mempersilakan Lo-
dra Sawala masuk. Lelaki gemuk
itu memperhatikan
sekujur tubuh tamunya.
"Kemarin anak gadismu
menyampaikan kepa-
daku kotak kayu berukir yang
kosong. Apakah keda-
tanganmu ini hendak memperbaiki
kesalahan?"
"Benar, Gusti. Untuk
mengecoh para perampok,
Yaniswara saya tugaskan membawa
kotak kayu ko-
song. Sedangkan yang berisi
barang Tuan Tuhisa Bra-
ma, sayalah yang
membawanya."
"Ha ha ha...!"
Gusti Wirasantri tertawa
terbahak-bahak. Pe-
rutnya yang buncit terlihat
naik-turun.
"Masuklah..., masuklah kau,
Orang Baik...,"
punggawa kerajaan itu
membentangkan tangannya
dengan tubuh sedikit membungkuk.
Lodra Sawala pun
berjalan menuju tempat yang
ditunjukkan.
Setelah duduk saling berhadapan
di depan me-
ja besar dalam ruangan depan
rumah Gusti Wirasan-
tri, Lodra Sawala melepas ikatan
di pinggang kanan-
nya. Bungkusan kain hitam
diletakkan di atas meja.
Dibukanya kain pembungkus. Lalu,
Lodra Sawala me-
nyorongkan kotak kayu berukir ke
hadapan Gusti Wi-
rasantri. Lelaki gemuk itu pun
menerimanya dengan
penuh kegembiraan.
Tutup kayu berukir dibuka. Gusti
Wirasantri
mengeluarkan sebuah botol kecil
berwarna putih ben-
ing. Besarnya tak lebih dari ibu
jari tangan manusia
dewasa. Diamatinya botol kecil
itu dengan seksama.
"Ha ha ha...," tawa
lelaki gemuk itu terdengar
gembira. "Dengan air sakti
ini sebentar lagi cita-citaku
akan tercapai. Ha ha
ha...."
Tatkala Gusti Wirasantri tertawa
terbahak-
bahak dengan kelopak mata hampir
terpejam, berkele-
bat sesosok bayangan menyambar
botol kecil yang di-
pegang lelaki gemuk itu.
Tawa Gusti Wirasantri langsung
terhenti. Ma-
tanya berapi-api menatap seorang
kakek kurus tinggi
berjubah putih yang tiba-tiba
hadir di tempat itu.
"Tuhisa Brama!" desis
Gusti Wirasantri sambil
terus menatap tubuh brahmana
yang berdiri di pojok
ruangan.
Lodra Sawala pun menatap Tuhisa
Brama den-
gan pandangan tak mengerti.
Tanpa sadar dia bangkit
dari duduknya.
"Kenapa Tuan Tuhisa Brama
menyusul kema-
ri?"
Pertanyaan pemilik Ekspedisi
Kencana Mega itu
tak mendapat jawaban. Gusti
Wirasantri sudah keburu
membentak.
"Kembalikan air sakti itu
kepadaku, Tuhisa
Brama!"
Yang dibentak cuma tersenyum.
Lalu, mema-
sukkan botol kecil yang
dipegangnya ke dalam jubah.
"Hei! Kau jangan
culas!" hardik Gusti Wirasan-
tri. "Bukankah aku telah
membeli air sakti itu?!"
Tuhisa Brama segera mengeluarkan
sekantung
uang emas dari balik jubahnya.
Dilemparkannya kan-
tung uang itu ke atas meja.
"Aku akan menjaga kesu-
cian padepokan yang akan
kudirikan, Wirasantri. Aku
tak hendak menjual barang
kumiliki kepada orang
yang akan mengkhianati
bangsanya."
"Heh! Apa maksudmu, Tuhisa
Brama?" Gusti
Wirasantri mendelik.
"Aku membatalkan perjanjian
kita." Mendengar
itu, Gusti Wirasantri menggeram
marah. Tanpa banyak
kata diterjangnya Tuhisa Brama.
Tapi, terjangannya hanya
mengenai angin ko-
song. Tubuh Tuhisa Brama telah
berkelebat lebih ce-
pat.
Saat Gusti Wirasantri hendak
menerjang kem-
bali, muncullah Senopati Risang
Alit bersama lima
orang prajurit kerajaan.
"Tuan Tuhisa Brama telah
membuka kedokmu,
Wirasantri. Karena itu, kau
menyerahlah!" ujar Seno-
pati Risang Alit penuh wibawa.
Walaupun perwira kerajaan itu
masih berusia
muda, tapi tampak sangat
berwibawa. Suara yang ke-
luar dari mulutnya dirasakan
Gusti Wirasantri bagai
sambaran petir.
Dua orang prajurit kerajaan yang
datang ber-
sama Senopati Risang Alit
berjalan mendekati Gusti
Wirasantri. Namun, kibasan
telapak tangan lelaki ge-
muk itu melontarkan tubuh mereka
hingga memben-
tur dinding ruangan. Seketika
itu juga nyawa mereka
melayang dengan kepala remuk
bersimbah darah.
Tiga prajurit yang tertinggal
hendak menerjang,
tapi dicegah oleh Senopati
Risang Alit. Perwira kera-
jaan itu melangkah maju dua
tindak.
"Keinginanmu untuk merebut
kekuasaan telah
terbukti sekarang. Menyerahlah
kau, Wirasantri.
Mungkin Baginda Prabu berkenan
menjatuhkan hu-
kuman yang lebih ringan!"
"Ha ha ha...!" Gusti
Wirasantri tertawa. "Tang-
kaplah aku kalau kau mempunyai
kemampuan, Ri-
sang Alit!" tantang lelaki
gemuk itu.
"Baik, kalau itu kemauanmu.
Aku akan meng-
gunakan kekerasan!"
Kedua tangan Senopati Risang
Alit dijulurkan
ke depan, seperti hendak
mencengkeram leher Gusti
Wirasantri. Tapi....
Wuuusss...!
Gusti Wirasantri pun
menyorongkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Sinar
keperakan meluncur
deras menapaki tubuh Senopati
Risang Alit. Dan, tam-
paknya perwira kerajaan itu tak
sempat lagi menghin-
dari pukulan jarak jauh Gusti
Wirasantri.
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat terdengar. Seisi
ruangan ber-
guncang. Hiasan-hiasan yang
menempel di dinding
berjatuhan. Bahkan, atap ruangan
jebol dengan gen-
teng berhamburan tak karuan.
Tubuh Senopati Risang
Alit sendiri hanya terhuyung
tanpa sedikit pun menga-
lami luka dalam. Tuhisa Brama
telah memapaki puku-
lan jarak jauh Gusti Wirasantri.
"Bangsat!" umpat
lelaki gemuk itu. "Rupanya
kau benar-benar manusia culas,
Tuhisa Brama!"
"Kata-katamu itu lebih
tepat kau tujukan kepa-
da dirimu sendiri,
Wirasantri," balas Tuhisa Brama.
Sementara itu, Lodra Sawala yang
belum men-
getahui apa sesungguhnya yang
sedang terjadi tampak
kebingungan. Dan hal itu
ditangkap Tuhisa Brama.
"Kau mendekatlah kemari,
Lodra Sawala...," ka-
ta sang brahmana.
"Ketahuilah, lelaki gemuk yang
berdiri tak jauh darimu itu
hendak makar terhadap
Kerajaan Anggarapura. Dengan air
sakti yang telah ku
percayakan pengirimannya kepadamu, dia hendak
menaklukkan semua tokoh sakti di
kerajaan ini."
Mendengar penuturan itu, Lodra
Sawala lang-
sung meloncat ke dekat Tuhisa
Brama yang berdiri di
samping Senopati Risang Alit.
Sedangkan tiga orang
prajurit kerajaan bersenjata
tombak tampak siap-siap
di depan mereka. Tapi setelah
Senopati Risang Alit
memberikan isyarat, ketiga
prajurit itu berjalan untuk
menghadang pintu.
Gusti Wirasantri tertawa
bergelak.
"Sebentar lagi Dewa
Kematian akan berpesta
darah!"
Selesai berkata demikian, lelaki
gemuk itu me-
mutar kedua telapak tangannya.
Timbullah gulungan
angin dahsyat yang menghujam ke
arah orang-orang
yang berada di ruangan itu.
Wuuusss...!
Secara bersamaan Senopati Risang
Alit, Tuhisa
Brama, dan Lodra Sawala meloncat
jauh. Malang bagi
tiga orang prajurit yang berdiri
di ambang pintu. Mere-
ka tidak sempat menghindar.
Tubuh ketiganya terbawa
gulungan angin dahsyat yang
timbul dari putaran tela-
pak tangan Gusti Wirasantri.
Hingga, ketiga lelaki naas
itu terhempas ke belakang dan
jatuh berdebam di atas
tanah keras dalam keadaan tanpa
nyawa!
"Kau sudah kelewat kejam,
Wirasantri!" bentak
Senopati Risang Alit seraya
menerjang.
Tapi, Gusti Wirasantri telah meluncur ke atas
bagai lesatan anak panah lepas
dari busur. Tubuh le-
laki gemuk itu terus melesat
melewati atap ruangan
yang jebol.
"Mau lari ke mana
kau?!" teriak Senopati Ri-
sang Alit.
Perwira kerajaan itu berlari
cepat meninggalkan
ruangan dengan melewati pintu.
Namun, tampaknya
Gusti Wirasantri tak hendak
melarikan diri. Lelaki ge-
muk itu berdiri tegak di
pelataran yang cukup lapang.
"Ha ha ha...! Tangkaplah
aku kalau kau mam-
pu, Risang Alit!"
Tak ada kata-kata yang menimpali
ucapan
Gusti Wirasantri. Senopati
Risang Alit telah mencabut
pedang dari sarungnya. Lalu,
dicecarnya tubuh Gusti
Wirasantri dengan bertubi-tubi.
Sambil terus tertawa lelaki
gemuk itu memba-
las serangan Senopati Risang
Alit. Serangannya tak ka-
lah berbahaya. Terlihat walaupun hanya mengandal-
kan tangan kosong, baru beberapa
gebrakan Gusti Wi-
rasantri sudah dapat mendesak
Senopati Risang Alit.
"Bantu aku, Tuan Tuhisa
Brama!" teriak perwi-
ra kerajaan itu.
Sang brahmana langsung
menghemposkan tu-
buhnya. Namun, seberkas sinar
keperakan memapaki.
Blaaarrr...!
Tubuh Tuhisa Brama terlontar
lalu jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Dari sudut
bibirnya mengalir da-
rah segar. Untunglah brahmana
itu tidak mengalami
luka dalam yang cukup berarti.
Dia telah membentengi
tubuhnya dengan tenaga dalam.
Setelah bangkit berdi-
ri langsung diterjangnya Gusti
Wirasantri kembali.
"Kau mempunyai nyawa
rangkap juga, Kerbau
Tua!" ejek Gusti Wirasantri
di antara kelebatan pedang
Senopati Risang Alit.
Sebuah tendangan Tuhisa Brama
mengarah ke
dada Gusti Wirasantri. Dengan
hanya sedikit mengges-
er tubuhnya, lelaki gemuk itu
dapat menghindari se-
rangan. Bahkan ketika dia
bergerak mundur untuk
menghindari sabetan pedang
Senopati Risang Alit,
Gusti Wirasantri sempat
menghadiahkan sebuah caka-
ran.
Bret...!
Jubah putih Tuhisa Brama koyak
lebar berikut
kulit dadanya. Darah segar pun
merembes!
Gusti Wirasantri tertawa
terbahak-bahak. Pada
suatu kesempatan, dia
menghemposkan tubuhnya lalu
mendarat di atas pedang Senopati
Risang Alit yang se-
dang berkelebat cepat. Sungguh
suatu pertunjukan il-
mu meringankan tubuh yang sangat
hebat!
Tentu saja Senopati Risang Alit
terkejut bukan
main. Belum sepenuhnya dia
menyadari apa yang ter-
jadi, sebuah tendangan bersarang
tepat di dadanya.
Des...!
Tubuh perwira kerajaan itu
terhempas ke tanah
dengan mulut menyemburkan darah
segar. Saat dia
hendak bangkit, rasa sesak
begitu menyiksa dadanya.
Terpaksa senopati muda itu
menjauhi arena pertempu-
ran, ia hendak duduk bersemadi
mengumpulkan hawa
murni untuk mengatasi luka
dalamnya.
Melihat keadaan itu, Lodra
Sawala yang sedari
tadi cuma diam saja langsung
menerjang Gusti Wira-
santri untuk membantu Tuhisa
Brama.
Saat itulah Suropati bersama
Yaniswara dan
Kipas Sakti muncul. Melihat
pertempuran yang sedang
berlangsung, mereka hanya saling
berpandangan tan-
pa tahu apa yang harus
diperbuat.
"Senopati Risang
Alit...," desis Suropati ketika
melihat Senopati Risang Alit
yang duduk bersila den-
gan mata terpejam rapat.
Suropati tahu perwira kerajaan
itu tengah
menderita luka dalam. Maka,
Pengemis Binal segera
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Senopati Risang
Alit untuk membantu
penyembuhannya. Beberapa ta-
rikan napas kemudian perwira
kerajaan itu membuka
kelopak matanya.
"Suropati...," gumam
Senopati Risang Alit saat
melihat Pengemis Binal duduk
bersila dengan kedua
telapak tangan menempel di
dadanya.
"Apa yang terjadi?"
tanya Suropati seraya me-
narik tangannya.
Senopati Risang Alit lalu dengan
singkat menje-
laskan apa yang telah terjadi di
tempat itu.
"Jadi, Gusti Wirasantri
hendak melakukan
pemberontakan?" tegas Suropati.
"Benar, Suro. Maka dari
itu, bantulah aku me-
nangkap pengkhianat itu."
Suropati langsung menyanggupi
permintaan
itu. Tanpa basa-basi lagi
diterjangnya Gusti Wirasan-
tri. Yaniswara tampak telah
bertempur juga membantu
ayahnya.
"Untuk ke Bukit Rawangun,
kau harus mem-
bantuku menangkap orang ini, Pak
Tua!" teriak Suro-
pati kepada Kipas Sakti yang
masih berdiri menyaksi-
kan jalannya pertarungan.
"Baik, Bocah Bagus!"
balas kakek berpakaian
penuh tambalan. Kemudian,
digempurnya Gusti Wira-
santri dengan pukulan dan
tendangan.
Senopati Risang Alit tercenung
sejenak di tem-
patnya. Karena rasa tanggung
jawab yang diembannya
untuk menjalankan tugas, dia
lalu ikut menerjang
Gusti Wirasantri. Padahal luka
dalamnya belum sem-
buh benar.
Menghadapi lawan yang sekian
banyaknya
Gusti Wirasantri memutar
tubuhnya bagai gangsing.
Tiupan angin kencang laksana
angin puting beliung
pun menerpa!
Senopati Risang Alit dan
kawan-kawannya me-
loncat jauh. Mereka tak mau
tubuhnya terlontar.
Sementara para pengeroyoknya
menghentikan
serangan, Gusti Wirasantri
menggeram keras bagai
banteng terluka. Lelaki gemuk
itu menghentikan puta-
ran tubuhnya kemudian
membentangkan kedua tan-
gan ke atas. Ditariknya turun
perlahan-lahan dengan
kedua kaki dibuka dan badan
sedikit berjongkok. Gus-
ti Wirasantri menghirup udara
sebanyak-banyaknya
dengan berlambarkan ilmu
'Penghisap jagad'!
Suatu kekuatan kasat mata
berdaya isap dah-
syat menghujam ke arah Senopati
Risang Alit dan ka-
wan-kawannya. Mereka tampak
berdiri terpaku di
tempatnya. Tubuh mereka bergetar
hebat bagai dis-
erang demam.
"Ha ha ha....." Gusti
Wirasantri tertawa gelak.
"Kerbau-kerbau dungu tiada
berguna! Ajal ka-
lian sudah di depan mata!"
Lelaki gemuk itu lalu menghirup
udara lebih
kuat. Akibatnya, jantung
Senopati Risang Alit dan yang
lain berdegup lebih kencang.
Dengan mengerahkan te-
naga dalam untuk membentengi
diri, mereka mencoba
bertahan. Namun, cairan bening
segera muncrat dari
sekujur tubuh mereka!
Setelah tertawa terbahak-bahak,
Gusti Wira-
santri menghirup udara lebih
kuat lagi. Cairan yang
muncrat dari sekujur tubuh
Senopati Risang Alit dan
yang lainnya pun tidak lagi
bening, melainkan merah
bercampur darah.
Di antara mereka yang sedang
berkutat mela-
wan maut keadaan Yaniswaralah
yang terlihat paling
mengenaskan.
Ilmu kepandaiannya memang paling
rendah.
Gadis cantik itu sudah tidak
mempunyai kemampuan
lagi untuk mempertahankan nyawa.
Wajahnya terlihat
pucat pasi. Kedua kakinya
menggantung lemah tanpa
tenaga.
Kekuatan kasat mata yang sedang
menyeran-
glah yang membuat tubuh gadis
itu tidak jatuh ke ta-
nah, ilmu 'Penghisap Jagad'
milik Gusti Wirasantri se-
lalu mempunyai daya isap
dahsyat, juga mampu mem-
buat tubuh lawan tetap berdiri
tegak sampai ilmu ting-
kat tinggi itu dilepas oleh
pemiliknya.
Pipi Yaniswara mulai menggembung
menahan
cairan darah yang hendak keluar
menyembur dari mu-
lutnya. Sementara dari lubang
hidung telah memancar
darah segar. Gadis cantik itu
mengenakan rompi pu-
saka hingga nyawanya tak segera
melayang. Rompi
pusaka itu menahan jantung
Yaniswara untuk tak ter-
lontar keluar dari dalam
dadanya.
Keadaan Senopati Risang Alit tak
jauh berbeda.
Luka dalam yang masih diderita perwira
kerajaan itu
semakin membuat payah pertahanan
tubuhnya. Pa-
kaian yang dikenakan punggawa
muda itu sudah bo-
long-bolong oleh sentakan cairan
darah yang muncrat.
Dengan kepala terkulai, kedua kakinya mulai terlihat
menggantung lemah tanpa tenaga.
Keadaan Suropati, Kipas Sakti,
Tuhisa Brama,
dan Lodra Sawala pun mulai
terlihat payah. Karena
mereka memiliki tenaga dalam
yang sudah sedemikian
tinggi, keadaannya masih lebih
baik dibanding Yanis-
wara dan Senopati Risang Alit
Gusti Wirasantri tertawa
terbahak-bahak. Sua-
ranya terdengar membahana di
angkasa.
"Malaikat Kematian
benar-benar akan berpesta
darah!" teriak lelaki gemuk
itu lantang.
Kemudian dia menambah kekuatan
ilmu
'Penghisap Jagad'-nya. Maut pun
berada di depan ma-
ta Senopati Risang Alit dan
kawan-kawannya.
Pada saat yang genting itu
Suropati tiba-tiba te-
ringat pada ilmu sihir ajaran
gurunya yang bergelar si
Periang Bertangan Lembut. Dengan
mengerahkan sisa-
sisa kekuatannya, remaja konyol
itu berteriak keras-
keras.
"Hentikan permainan
ini!"
Gusti Wirasantri mendadak saja
terlihat lin-
glung. Kekuatan daya ilmu
'Penghisap Jagad' pun le-
pas....
Kesempatan itu tidak
disia-siakan Pengemis
Binal. Dengan sekejap mata
dipungutnya dua butir ke-
rikil yang kebetulan berada di
dekatnya. Lalu dilontar-
kan ke arah Gusti Wirasantri!
Serangan remaja konyol itu tepat
mengenai sa-
saran. Dua butir kerikil masuk
ke lubang hidung Gusti
Wirasantri dan menyumpal jalan
pernafasannya. Se-
saat kemudian, tubuh lelaki
gemuk itu terlihat gontai.
Suara ngorok terdengar dari
mulutnya. Dengan meng-
hembuskan keras-keras udara
dalam paru-parunya,
Gusti Wirasantri berusaha
mengeluarkan dua butir ke-
rikil di dalam lubang hidungnya.
Belum juga usaha lelaki gemuk
itu berhasil,
Suropati telah meluncur cepat
dengan melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa'.
Blab...! Blab...! Blab...!
Tubuh Gusti Wirasantri masih
tetap berdiri di
tempatnya. Tapi, dari delapan
belas pusat aliran da-
rahnya memancar darah segar!
Kemudian, terdengar suara
ledakan. Tubuh
punggawa kerajaan yang hendak
memberontak itu
hancur menjadi serpihan daging
berbau sangat any-
ir....
7
"Mendengar cerita kehebatan
Wirasantri, aku
tak dapat membayangkan bagaimana
kesaktiannya se-
telah dia meminum air sakti.
Tentulah dia akan dapat
menaklukkan semua tokoh kerajaan
ini. Keselamatan-
ku pun dapat terancam...,"
ujar Prabu Arya Dewantara
saat menjamu tokoh-tokoh yang
telah berjasa menye-
lamatkan tampuk kepemimpinannya.
"Untunglah Tuan
Tuhisa Brama melaporkan rencana
keji Wirasantri itu.
Sehingga aku dapat memerintah
Risang Alit untuk
menaklukkannya."
"Tapi, tanpa bantuan
tokoh-tokoh yang duduk
di samping hamba ini rasanya tak
mungkin dapat
menjalankan perintah Baginda
Prabu," ucap Senopati
Risang Alit sambil menundukkan
kepala.
Tampaknya, perwira kerajaan itu
sudah dapat
mengatasi luka dalam yang
dideritanya. Sebelum
menghadiri jamuan, seluruh tokoh
yang habis bertem-
pur melawan Gusti Wirasantri
telah ditempatkan da-
lam ruangan khusus untuk
mendapat pengobatan dari
tabib-tabib kerajaan.
"Aku kagum kepadamu, Risang
Alit...," ujar
Prabu Arya Dewantara. Orang
nomor satu di Kerajaan
Anggarapura itu lalu menatap
wajah Tuhisa Brama.
"Sebagai tanda terima
kasihku atas jasa Tuan Tuhisa
Brama, aku akan memberi
sumbangan untuk pem-
bangunan padepokan yang hendak
Tuan Tuhisa Bra-
ma dirikan."
"Terima kasih, Yang
Mulia," Tuhisa Brama
mengangkat kedua telapak
tangannya ke depan dada.
"Dan kau,
Suropati...," Prabu Arya Dewantara
kemudian menatap wajah Pengemis
Binal.
"Hamba, Baginda
Prabu."
"Kau telah berulang kali
berjasa terhadap Kera-
jaan Anggarapura. Aku akan
sangat senang sean-
dainya kau bersedia menjadi
pengawal istana," Prabu
Arya Dewantara mengajukan
tawaran.
"Terima kasih, Baginda
Prabu. Bukannya ham-
ba menolak penghormatan Baginda
Prabu. Namun,
orang-orang yang bernaung dalam
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti lebih
membutuhkan hamba...."
"Hmmm... Terserah kau,
Suropati. Tapi bila kau
membutuhkan sesuatu, datanglah
kepadaku. Aku
akan memberikan apa yang kau
perlukan bila aku da-
pat memenuhinya."
"Terima kasih, Baginda
Prabu," Suropati men-
jura untuk memberi hormat.
Setelah berbincang-bincang dan
menikmati ja-
muan yang dihidangkan, Prabu
Arya Dewantara me-
nyilakan para tamu kehormatannya
untuk beristirahat
di ruangan yang telah disiapkan.
Pada tengah malam, Suropati
dikejutkan oleh
ketukan pintu di kamarnya.
"Yaniswara...," desis
remaja konyol itu. Dengan
penuh rasa gembira dia melangkah
untuk membuka
daun pintu. Tapi yang muncul
ternyata Tuhisa Brama.
"Aku ada perlu sedikit
denganmu, Suro," kata
brahmana itu.
Pengemis Binal mempersilakan
Tuhisa Brama
duduk di kursi. Dia sendiri
duduk di tepi pembaringan.
"Tuan Tuhisa Brama ada
perlu apa? Kedatan-
gan Tuan begitu mengejutkan
saya."
"Aku kagum kepadamu, Suro.
Kau seorang
pendekar muda yang gagah
perkasa. Semoga kebena-
ran dan keadilan selalu dapat
kau tegakkan...," ujar
Tuhisa Brama dengan lembut.
"Aku akan mengha-
diahkan sesuatu kepadamu."
"Hadiah?" Wajah
Suropati tampak berubah se-
nang.
"Ya."
Tuhisa Brama mengeluarkan sebuah
botol kecil
dari balik jubahnya.
"Air sakti!" desis
Suropati.
"Semoga air ajaib yang
mempunyai khasiat luar
biasa ini dapat kau gunakan
sebaik-baiknya, Suro...."
Rasa hati Pengemis Binal tak
dapat digambar-
kan lagi saat menerima pemberian
Tuhisa Brama. Re-
maja konyol itu tak mampu
berucap apa-apa. Kebaha-
giaannya saat itu sanggup
menerbangkan jiwanya ke
awang-awang....
Pagi-pagi sekali Tuhisa Brama
berpamitan ke-
pada Prabu Arya Dewantara. Ia
hendak kembali ke Ko-
tapraja Kerajaan Saloka Medang.
Lodra Sawala pun
demikian. Ketika Pemilik
Ekspedisi Kencana Mega itu
hendak mengajak putri
tunggalnya, Yaniswara meno-
lak. Gadis cantik itu ingin
mengembara beberapa lama
di wilayah Kerajaan Anggarapura.
Namun, sesungguh-
nya hati Yaniswara telah terpaut
pada Suropati. Dia
tak ingin berpisah terlalu cepat
dengan remaja tampan
yang telah membuat mekar
bunga-bunga cinta di ha-
tinya.
Akhirnya, Tuhisa Brama berangkat
ke Kotapra-
ja Kerajaan Saloka Medang
bersama Lodra Sawala. Se-
dangkan Yaniswara ikut Suropati
dan Kipas Sakti pergi
ke Bukit Rawangun.
"Kenapa kau tidak ikut
ayahmu pulang, Yani?"
tanya Pengemis Binal. Saat itu
mereka sedang dalam
perjalanan menuju Bukit
Rawangun.
Yaniswara tersipu. "Apa aku
mengganggumu,
Suro?" tanyanya.
"Tidak. Tapi, aku kira
ayahmu masih membu-
tuhkan tenagamu untuk membangun
kembali Ekspe-
disi Kencana Mega."
"Dengan bantuan Prabu
Mahindra Suikarnaka,
ayahku akan dapat mewujudkan
cita-citanya kembali,"
kilah Yaniswara.
"Raja Kerajaan Saloka
Medang itu?"
"Ya. Ketika aku menanyakan
perihal rompi pu-
saka yang kupakai ini, Ayah
mengatakan kalau dia se-
sungguhnya masih kerabat dekat
Prabu Mahindra
Suikarnaka. Karena itu, saat
Ayah memintanya beliau
memberikan rompi pusakanya
ini."
"Alasanmu untuk ikut aku ke
Bukit Rawanyun
apa?" tanya Suropati. Walau
sebenarnya dia sudah da-
pat menebak apa yang ada dalam hati
gadis cantik itu.
Kembali Yaniswara tersipu.
"Rupanya kau tidak
suka bila aku berada di sisimu,
Suro...."
"Uh! Siapa bilang? Justru
aku malah sangat
senang."
"Lalu, kenapa kau bertanya
yang tidak-tidak?"
"Bertanya yang tidak-tidak
bagaimana?" Suro-
pati pura-pura tidak mengerti.
Yaniswara diam. Mulutnya
terkatup rapat. Ru-
panya gadis itu ngambek.
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Begitu saja marah,"
goda Suropati.
"Kau sangat menjemukan,
Suro!" Yaniswara
merengut
"Masa'?"
"Kau tidak merasa?"
"Yah, baiklah. Kuakui aku
sangat menjemukan.
Tapi juga menggemaskan,
bukan?" Suropati lalu terta-
wa.
Yaniswara jadi tersenyum
mendengarnya. Kipas
Sakti memandang mereka berdua
sambil menggerutu.
Orang tua berpakaian penuh
tambalan ini agaknya iri
melihat keakraban sepasang
sejoli itu.
Tak lama kemudian, ketiga orang
itu mengge-
brak kuda pemberian Prabu Arya
Dewantara. Kuda-
kuda berlari kencang menuju
Bukit Rawangun. Na-
mun, di tengah perjalanan
orang-orang Partai Iblis Un-
gu mencegat.
"Serahkan air sakti yang kau bawa, Bocah
Gendeng!" bentak Wiranti,
ketua partai sesat itu.
"Siang-siang begini rupanya
kau sedang mengi-
gau, Nenek Bengal. Pakaianmu
yang serba ungu men-
gingatkan aku pada buah
terong!" sahut Suropati
sambil tersenyum.
Wiranti terdengar mendengus.
Lalu perempuan
setengah baya itu memberi
isyarat. Salah seorang anak
buahnya membuka dua buntalan
bulat dan melem-
parkannya ke depan kuda
Suropati.
Mata remaja konyol itu langsung
mendelik. Ke-
terkejutan juga melanda
Yaniswara dan Kipas Sakti.
Ternyata dua benda bulat yang
dilemparkan seorang
anak buah Wiranti adalah kepala
Tuhisa Brama dan
Lodra Sawala!
"Setan Alas! Kubunuh
kau!" Yaniswara kalap
bukan main.
Dengan tangan kosong gadis
cantik itu lang-
sung menerjang Wiranti. Karena
hawa amarah yang
luar biasa, dia melakukan
serangan membabi buta.
Sementara belasan anak buah
Wiranti mengeroyok
Pengemis Binal dan Kipas Sakti.
Pertempuran sengit tak dapat
dielakkan lagi.
Dengan jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan' Suropati
berusaha mendesak lawan-lawannya
yang bersenjata
besi berujung sebilah besi
runcing.
Kemarahan juga telah mengaburi
jiwa remaja
konyol itu. Kematian Tuhisa
Brama yang telah meng-
hadiahkan air sakti kepadanya
membuat Pengemis Bi-
nal menggeram-geram bagai
harimau kelaparan. Den-
gan berani dia memapaki
bilah-bilah besi runcing yang
meluncur ke arahnya.
Srat...! Srat...! Srat...!
Saat bilah-bilah besi runcing
kurang sejengkal
lagi dari tubuh Suropati, remaja
konyol itu berkelebat
cepat. Ditangkapnya tali-tali
yang mengendalikan bilah
besi runcing. Lalu, dibetotnya
dengan sekuat tenaga.
Lima orang anggota Partai Iblis
Ungu terkejut
bukan main saat tubuhnya
tertarik. Belum sempat me-
reka menyadari keadaan yang
terjadi, tubuhnya telah
terlontar kembali dengan mulut
menyemburkan darah
segar.
Rupanya, Suropati telah memapaki luncuran
tubuh lawan-lawannya dengan
pukulan jarak jauh da-
lam jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan'.
Di bagian lain Kipas Sakti sudah
mengeluarkan
senjata andalannya. Karena
mengetahui Partai Iblis
Ungu adalah tempat bernaung
tokoh-tokoh wanita be-
raliran sesat, kakek berpakaian
penuh tambalan itu
ingin segera menyudahi riwayat
mereka. Cepat bagai
kilat Kipas Sakti membabatkan
senjata andalannya.
Jerit kematian
pun membahana di angkasa
hingga mendirikan bulu roma.
Lima orang anggota Par-
tai Iblis Ungu ambruk ke tanah
dengan leher hampir
putus.
Wiranti sama sekali tak menduga
anak buah-
nya dapat dirobohkan sedemikian
mudah. Karena ke-
terkejutannya, wanita sesat itu
melengking tinggi den-
gan mata terbelalak lebar.
Kesempatan itu tak disia-
siakan Yaniswara. Dia
menghadiahkan tendangan ke
rusuk kiri. Tapi....
Srat..!
Tali Wiranti membelit
pergelangan kaki gadis
cantik itu. Bilah besi runcing
yang terdapat pada
ujungnya melesat ke arah dahi.
Tampaknya, Malaikat Kematian
akan segera
menjemput nyawa Yaniswara.
Untunglah Suropati ber-
gegas mengambil tindakan
penyelamatan. Tubuh re-
maja konyol itu meluncur cepat
membentur Yaniswara
hingga jatuh tersungkur. Dengan
demikian, bilah besi
runcing Wiranti hanya mengenai
angin kosong.
Dalam keadaan masih terbaring di
atas tanah,
Pengemis Binal menyambar tali
yang membelit perge-
langan kaki Yaniswara. Kemudian
membetotnya. Tentu
saja Wiranti tak mau melepaskan
senjata andalannya
begitu saja. Segera dikerahkan
seluruh tenaga dalam-
nya untuk melepaskan pegangan
Suropati
Teeerrr...!
Tali ketua Partai Iblis Ungu itu
menegang. Dua
kekuatan tenaga dalam beradu.
Kipas Sakti menden-
gus keras. Lalu, kedua tangannya
yang sedang meme-
gang tali disatukan dengan
perlahan-lahan.
Suropati terkejut merasakan hawa
panas men-
jalar dari tali yang sedang
dipegangnya. Tapi, dia tetap
mencoba bertahan. Apabila sampai
pegangannya dile-
paskan, kematian akan mengancam
jiwa Yaniswara
yang masih terbelit tali.
Keringat dingin mengucur dari
tubuh Suropati.
Kedua tangannya tampak
mengepulkan asap. Remaja
konyol itu akhirnya berbuat
untung-untungan. Dengan
mengandalkan seluruh tenaga
dalamnya, dia memba-
cok tali dengan telapak tangan
kanan dimiringkan.
Terdengar jerit kesakitan. Tali
hanya bergetar
keras. Tidak putus. Sisi bawah
telapak-tangan kanan
Suropati terlihat mengucurkan
darah segar.
"Ha ha ha...!"
Wiranti tertawa bergelak. Dibetotnya
tali den-
gan kuat. Karena pegangan
Pengemis Binal belum le-
pas, remaja konyol itu terlontar
berikut tubuh Yanis-
wara.
Tubuh kedua muda-mudi itu
meluncur deras
ke arah Wiranti. Sementara ketua
Partai Iblis Ungu itu
telah menyiapkan pukulan jarak
jauhnya!
Blaaarrr...!
Tubuh Wiranti terlihat gontai.
Suropati dan Ya-
niswara jatuh ke tanah bagai dua
lembar karung ba-
sah. Namun, mereka sedikit pun
tak menderita luka
dalam. Kipas Sakti telah
menyelamatkan nyawa mere-
ka dengan memapaki pukulan jarak
jauh Wiranti.
Beberapa saat lamanya Wiranti
berdiri terpaku
di tempatnya. Saat menyaksikan
mayat anak buahnya
berserakan tiada sisa, wanita
itu melengking tinggi-
tinggi.
"Kerbau-kerbau busuk!
Kalian telah mengun-
dang kemarahanku!"
"Siapa suruh kau datang
kemari kalau tak in-
gin melihat anak buahmu
mati?!" ejek Pengemis Binal
sambil membalut telapak
tangannya dengan sapu tan-
gan pemberian Yaniswara.
Kipas Sakti tertawa terkekeh.
"Jauh-jauh da-
tang dari Kotapraja Kerajaan
Satoka Medang, kau
hanya mencari kesulitan,
Wiranti...."
"Kerbau Busuk! Aku tak
mempunyai urusan
denganmu!" bentak Wiranti.
Lalu wajahnya dipaling-
kan ke arah Suropati.
"Serahkan air sakti kepadaku,
Bocah Gendeng!"
"Cium pantat ku dulu!"
balas Suropati.
Usai berkata demikian, Pengemis
Binal memba-
likkan badan seraya menyorongkan
pantatnya. Kemu-
dian digoyang-goyangkan.
Tentu saja Wiranti marah bukan
main. Darah-
nya menggelegak naik sampai ke
ubun-ubun. Dengan
bola mata melotot seperti hendak
keluar dari rongga,
diterjangnya Suropati.
Pemuda itu tampak tenang-tenang
saja. Setelah
menegakkan tubuhnya kembali
Suropati bersedekap.
Remaja konyol itu sedang
memusatkan kekuatan ba-
tinnya untuk menghimpun kekuatan
semesta dengan
berlambarkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'!
Tatkala terjangan Wiranti hampir
mengenai sa-
saran, sekujur tubuh Pengemis
Binal memancarkan
cahaya kebiru-biruan. Lalu....
Blaaammm...!
Tubuh Wiranti yang membentur
pusat kekua-
tan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas
Sukma' terlontar da-
lam keadaan terpisah-pisah!
Menggiriskan sekali cara
kematian ketua Partai Iblis Ungu
itu....
Usai membasmi wanita-wanita
sesat yang ber-
naung dalam Partai Iblis Ungu,
Suropati bersama Ya-
niswara dan Kipas Sakti
melanjutkan perjalanan. Tak
henti-hentinya Pengemis Binal
menghibur Yaniswara
yang sangat terpukul setelah
mengetahui ayahnya me-
ninggal dunia.
"Kematian selalu berkenaan
dengan takdir Tu-
han. Manusia memiliki tiga
perjalanan hidup. Pertama,
manusia menjalani hidup awalnya
di alam kandungan.
Kedua, manusia meneruskan
hidupnya di alam fana
ini setelah melalui suatu
peristiwa yang disebut kelahi-
ran. Ketiga, manusia meneruskan
hidupnya lagi di
alam baka, setelah melalui jalan
yang disebut kema-
tian...," ucap Suropati.
"Karena itu Yani, kematian ti-
dak perlu disesali. Ayahmu mati
karena memang harus
menjalani hidupnya yang ketiga.
Semua itu hanyalah
karena kehendak Tuhan. Setiap
manusia akan menga-
laminya juga nanti."
Yaniswara tak mampu mengucapkan
sepatah
kata pun. Kalimat bijak Pengemis
Binal sedikit telah
meringankan perasaan sedihnya.
Kipas Sakti pun be-
rusaha menghibur gadis cantik
itu. Merasakan perha-
tian yang diberikan kepadanya,
air mata Yaniswara
berhenti mengalir.
Hari sudah menjelang malam
ketika mereka
sampai di puncak Bukit Rawangun.
Kipas Sakti terce-
kat saat melihat tubuh Raka
Maruta terbujur kaku di
samping tubuh Wajah Merah.
"Tenangkan hatimu, Pak
Tua...," bujuk Suropa-
ti. "Aku akan mengembalikan
roh muridmu bersama
Kakek Wajah Merah."
Perlahan-lahan remaja konyol itu
membuka tu-
tup botol kecil yang berisi air
sakti. Air ajaib yang
mempunyai khasiat luar biasa itu
diteteskannya di pu-
sar Raka Maruta. Pusar adalah
jalan makanan saat
manusia hidup di alam kandungan.
Kemudian, air
sakti diteteskan ke mulut
pendekar muda berwajah
lembut itu. Karena, mulut adalah
jalan makanan saat
manusia hidup di alam fana.
Pengemis Binal melakukan hal
yang sama ter-
hadap Wajah Merah yang juga mati
suri. Tak lama ke-
mudian, tubuh kedua anak manusia
itu menggeliat.
Roh mereka telah kembali pada
jasad kasarnya.
Setelah mengucapkan syukur dan
terima kasih,
Wajah Merah langsung duduk
bersila. Kakek itu hen-
dak mengumpulkan hawa murninya
yang berpencar
karena sekian lama terbaring di
atas batu tanpa berge-
rak sedikit pun.
Namun, apa yang dilakukan Raka
Maruta sete-
lah tersadar dari mati surinya
sungguh memprihatin-
kan. Pendekar muda berwajah
lembut itu menggapai-
gapaikan kedua tangannya sambil
berkeluh-kesah.
"Oh, aku lupa kalau mata
Raka Maruta telah
buta akibat serangan si Setan
Racun, salah seorang
dari Sepasang Abdi Penghimpun
Angkara di Lembah
Tengkorak...," gumam
Suropati.
Dia lalu meneteskan air sakti
yang tersisa pada
kedua mata Raka Maruta. Sebentar
kemudian, murid
Kipas Sakti itu pun dapat
melihat kembali.
Kegembiraan menyelubungi gua di
puncak Bu-
kit Rawangun itu. Usai melepas
kerinduan kepada Ra-
ka Maruta, Kipas Sakti
celingukan sambil meraba-raba
pakaiannya.
"Apa yang kau cari, Pak
Tua?" tanya Suropati.
Pada mulanya Kipas Sakti tak mau
menjawab
pertanyaan itu. Tapi setelah
didesak, dia berkata juga.
"Gigi palsu ku
hilang...."
Semua yang mendengar jawaban itu
langsung
tertawa terbahak-bahak....
SELESAI
Emoticon