Di luar istana keadaan gelap
terselimuti sepi. Ma-
lam semakin larut terbawa
putaran waktu. Kabut mu-
lai turun menghantar dingin.
Cengkeraman udara din-
oleh lima sosok manusia yang
tengah berlari cepat.
Mereka semua mengenakan pakaian
ketat hitam.
Kerudung yang juga berwarna
hitam menutup kepala
dan wajah. Di punggung
masing-masing terselip sebi-
lah pedang panjang. Yang seorang berlari di
depan.
Sekitar lima tombak di
belakangnya, empat temannya
menyusul. Dalam kegelapan malam
gerak lari mereka
hampir tak dapat diikuti
pandangan mata. Pakaian
mereka yang serba hitam menyatu
dengan suasana ke-
lam.
"Tuan Adipati...!"
terdengar suara berat memang-
gil.
Orang yang berlari di depan
segera menghentikan
langkah. Dari balik kerudung,
matanya menatap tajam
empat sosok tubuh yang telah
lebih dahulu menghen-
tikan langkah.
"Tuan Adipati hendak
membawa kami ke mana?"
tanya orang yang berdiri di
ujung sebelah kanan. Sua-
ranya berat dan terdengar
patah-patah. Agaknya dia
orang yang berasal dari negeri
seberang.
Yang ditanya tak memberikan
jawaban. Bola ma-
tanya menatap nanar. Lalu, orang
yang memiliki tubuh
ramping ini mendengus. Dia tak
memberikan jawaban.
"Tuan Adipati hendak
membawa kami ke mana?"
ulang si penanya. "Apakah
Tuan Adipati telah berhasil
membunuh Prabu Singgalang
Manjujung Langit?"
Mendengar logat asing yang
patah-patah, orang
bertubuh ramping mendengus lagi.
"Siapa yang kalian sebut
dengan Tuan Adipati
itu?" dia balik bertanya.
Suaranya terdengar aneh.
Agaknya orang ini menggunakan
suara perut
Empat orang berkerudung hitam
tampak terpe-
rangah. Yang di ujung kiri
melangkah setindak. Sigap
sekali dia mencabut pedang
panjang yang terselip di
punggungnya.
"Rupanya kau cecunguk yang
menyamar sebagai
pemimpin kami. Katakan apa yang
telah kau lakukan
di istana!" bentak orang
itu sambil mengacungkan pe-
dang ke muka.
"Ha ha ha....'" orang
bertubuh ramping tertawa
terbahak-bahak. "Bila kau
ingin tahu apa yang telah
kulakukan di istana barusan,
baik..., akan aku kata-
kan. Buka telingamu lebar-lebar!
Orang yang kau se-
but sebagai Tuan Adipati itu
benar-benar tikus busuk
yang layak dilumatkan tubuhnya!
Setelah dia membu-
nuh pengawal Baginda Prabu, aku
telah melenyapkan
nyawanya!"
"Bangsat!" umpat salah
satu dari empat orang
berkerudung. Orang ini turut
maju selangkah seraya
menghunus pedang panjangnya.
"Bersiap-siaplah! Ka-
tana ini akan membungkam mulut
besarmu!" ancam-
nya. Seperti teman-temannya,
kalimat orang ini juga
terdengar patah-patah dengan
logat kaku.
Orang berkerudung yang mempunyai
tubuh
ramping mendengus keras.
Disambutnya serangan se-
rempak tusukan dan tebasan
pedang panjang.
"Nyawa mayat yang baru saja
kalian buang di
sungai tadi akan segera kalian
susul!" ujar orang ber-
tubuh ramping. Agaknya, dia
memang seseorang yang
menyamar sebagai ninja. Tak
kalah sigap dia menca-
but pedang panjang di
punggungnya. Lalu, pedang
panjang milik ninja yang biasa
disebut katana itu di-
putar cepat.
Trang! Trang! Trang! Trang!
Bunga api memercik empat kali
berturut-turut.
Suara yang ditimbulkan dari
benturan senjata tajam
itu membuat kesunyian malam
tersibak. Pertempuran
antara orang-orang berkerudung
berlangsung cukup
sengit. Sambaran pedang yang menimbulkan kilatan
sinar putih terdengar
mendesing-desing.
"Sebelum mati, Tuan kalian
berpesan agar aku
menghukum kebodohan kalian
dengan katananya ini!"
ujar orang bertubuh ramping seraya
melenting ke atas.
Lalu, cepat sekali tubuh
rampingnya menukik turun
dengan mengirimkan sambaran maut
empat kali.
Swing! Swing!
Trang! Trang!
Dua sambaran pertama berhasil
dihindari lawan.
Dua sambaran berikutnya juga
menemui kegagalan,
karena pedang lawan berkelebat
menangkis. Orang
berkerudung yang dikeroyok
menggeram gusar. Tang-
kisan lawan membuat telapak
tangan kanannya yang
memegang hulu pedang jadi
kesemutan. Agaknya la-
wan mempunyai tenaga lebih kuat
Orang bertubuh ramping tak mau
menanggung
akibat buruk sedikit pun. Cepat
dia menyaluri tangan
kanannya dengan tenaga dalam.
Hingga, pada bentu-
ran pedang berikutnya salah satu
senjata lawan men-
celat lepas dari pegangan.
"Ninja-ninja keparat!
Jauh-jauh datang ke negeri
orang hanya untuk membuat
kerusuhan. Makan sen-
jata kebanggaanmu ini!"
pekik orang bertubuh ramp-
ing. Suara lantangnya tetap
menggunakan suara pe-
rut. Sepertinya orang ini tak
mau dikenali, walau
hanya lewat suaranya saja.
Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh,
sosok bertubuh ramping
mengirimkan tusukan ke jan-
tung lawan yang sudah tak
memegang senjata. Gera-
kan itu cepat sekali. Yang
diserang tampaknya tak
mungkin akan mampu menghindar.
Dia masih terbawa
keterkejutan akibat kehilangan
senjata.
Swik! Swik!
Trang! Trang!
Orang bertubuh ramping
terkesiap. Terpaksa dia
mengurungkan tusukannya yang
hampir mengenai sa-
saran. Dua lemparan besi
berbentuk bintang meluncur
cepat. Pedang yang hampir
merenggut nyawa salah
seorang lawan akhirnya digunakan
untuk merontok-
kan dua senjata rahasia itu.
Dan sebelum orang bertubuh
ramping mempero-
leh kesempatan untuk menyerang
lagi. Keempat la-
wannya telah mengirimkan senjata
rahasia yang lain.
"Peluk shuriken ini!"
ujar salah seorang dari para
pengeroyok.
Walau malam begitu gelap, tapi
mata orang ber-
tubuh ramping masih dapat
melihat adanya bahaya
yang datang mengancam. Cepat dia
memutar pedang-
nya dengan tubuh ikut berputar
pula. Akibatnya, selu-
ruh senjata rahasia yang
dilontarkan lawan berhasil
dirontokkan. Namun bahaya terus
mengejar. Salah sa-
tu lawan mengemposkan tubuh ke
atas seraya mengi-
rimkan bacokan maut ke kepala.
Tiga temannya me-
nyerang secara bersamaan. Mereka
mengincar tubuh
bagian bawah orang bertubuh
ramping.
Terdengar benturan senjata tajam
tiga kali. Satu
bacokan dari atas dan dua
tusukan dari bawah dapat
digagalkan dengan tangkisan
pedang. Namun, salah
satu pedang lawan berhasil
merobek pinggul kiri orang
bertubuh ramping. Jerit kecil
keluar dari mulut orang
itu, membarengi muncratnya
cairan darah. Pakaian hi-
tam berikut daging tubuhnya
robek. Walau tidak sebe-
rapa besar, tapi cukup
menyakitkan. Hingga gerakan
orang bertubuh ramping jadi
kacau.
"Berani memakai pakaian
ninja berarti tak takut
mati. Tapi, sebaiknya kupesiangi
dulu tubuhmu itu!"
ancam salah satu pengeroyok
seraya membabatkan
pedangnya beberapa kali.
Orang bertubuh ramping mampu
menghindar.
Namun setelah lawan menyertai
sambaran pedangnya
dengan lontaran senjata rahasia
yang berbentuk bin-
tang, terdesak hebatlah
dia!
Swik!
"Argkh...!"
Orang bertubuh ramping menjerit
keras. Sebuah
senjata rahasia menancap di bahu
kirinya. Dia belum
sempat memperbaiki kedudukannya
yang goyah ketika
empat kilatan sinar putih
meluruk datang.
Trang! Trang!
Des! Des!
Orang bertubuh ramping
terperangah. Dia sudah
yakin Malaikat Kematian akan
datang menjemput
nyawanya. Tapi, tahu-tahu dua
orang lawannya ter-
lempar jauh seperti terkena
tendangan yang amat ke-
ras. Dua orang lagi tampak
berdiri terpukau karena
pedangnya terpental dan lenyap
dalam kegelapan ma-
lam.
Orang bertubuh ramping bersorak
girang dalam
hati. Matanya membentur sosok
remaja tampan yang
berdiri gagah dengan sebatang
tongkat di tangan ka-
nan. Dia mengenakan pakaian
putih penuh tambalan.
Cahaya rembulan yang menabur
memperlihatkan bi-
birnya yang menyunggingkan
senyum.
"Aku tak hendak mencampuri
urusan orang. Tapi
bila melihat pertempuran yang
tak seimbang, gatal
tanganku untuk turun
tangan," ujar orang yang baru
datang sambil menggaruk-garuk
kepala. Gerakannya
itu tampak asal-asalan, seperti
sengaja memperli-
hatkan kekonyolannya.
"Hei! Rupanya kau hendak
main kucing-kucingan
denganku, Suro!"
Suara bentakan keras membarengi
kelebatan tu-
buh seorang gadis berpakaian
serba merah. Gadis ini
berhenti di hadapan remaja
tampan yang lebih dulu
datang. Sikapnya tak ambil
peduli pada orang-orang
berkerudung yang berada di
tempat itu.
"Sudah kubilang tadi kalau
aku mendengar suara
pertempuran, Putri. Kau tak
perlu marah-marah seper-
ti itu...," kata remaja
tampan berpakaian putih penuh
tambalan.
"Ya! Tapi mestinya kau ajak
aku! Jangan berlaku
seenak perutmu sendiri!"
bentak gadis berbaju merah.
Selagi kedua pendatang itu
berkata-kata, orang
berkerudung yang bertubuh
ramping memekik kecil.
Diterjangnya dua lawan yang
masih berdiri terpaku di
tempatnya. Namun, dari kejauhan
melesat empat lem-
pengan besi berbentuk bintang.
Trang! Trang!
Dua lempengan besi hanya
mengenai tempat ko-
song. Dua lainnya membentur
pedang di tangan orang
bertubuh ramping. Dan sebelum
dia menyusuli lagi se-
rangannya, dari kejauhan
terlontar dua benda bulat.
Blar! Blar!
Dua ledakan menggema di angkasa,
merobek-
robek kesunyian malam. Bau
sangit langsung tercium
menusuk hidung. Bau ini berasal
dari asap tebal yang
kini memenuhi tempat itu.
"Keparat! Hendak lari ke
mana kalian?!" hardik
orang bertubuh ramping seraya
membabatkan pe-
dangnya ke depan.
Yang dituju adalah dua orang
yang tadi gagal dis-
erangnya. Namun, ketajaman
pedangnya hanya men-
genai angin. Sasarannya telah
lenyap sebelum asap
tebal. menipis. Dan ketika asap
yang berasal dari ba-
han peledak itu benar-benar
lenyap, dua orang berke-
rudung yang tadi terkena
tendangan turut lenyap.
Kini tinggal orang bertubuh
ramping mengumpat-
umpat sendiri menyesali
kepergian lawannya. Tapi be-
gitu luka di bahu dan pinggul
kirinya terasa sangat
pedih, orang ini mengeluh.
Pedang panjang di tangan-
nya bergetar.
"Kau terluka,
Kisanak?" tanya remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan.
Dia berjalan men-
dekati.
Orang berkerudung yang
tertinggal menggeleng-
kan kepala. Dia ingin berkata-kata,
tapi segera dite-
kannya keinginan itu.
Perasaannya yang tiba-tiba ga-
lau memaksanya segera angkat
kaki menghilang dalam
kegelapan malam sebelum si
remaja melangkah lebih
dekat
"Aneh...," gumam si
remaja tampan sambil mena-
tap tempat menghilangnya orang
berkerudung tadi.
"Mau ditolong malah pergi.
Kalau tak mau, ya sudah.
Tapi mestinya jangan seenaknya
ngeloyor pergi seperti
itu!" tambahnya sambil
mengernyitkan hidung.
Melihat gerak-gerik remaja
tampan berpakaian
putih penuh tambalan itu, siapa
lagi dia kalau bukan
Suropati atau Pengemis Binal,
Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Gadis
berpakaian serba me-
rah yang bersama dengannya
adalah Ingkanputri atau
Dewi Baju Merah.
Dua pendekar muda ini berada di
wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur untuk
menyelesaikan sebuah urusan.
Suropati hendak menghadap Prabu
Singgalang Manju-
jung Langit, yang menurut
penuturan Anggraini Sulis-
tya adalah ayah kandungnya.
Sedangkan Ingkanputri
turut pergi bersama Suropati karena
dia hendak men-
gejar Saka Purdianta atau Dewa
Guntur yang telah
melarikan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi (Ten-
tang rencana ini, baca episode :
"Prahara Di Kuil Salo-
ka").
"Bukan sekali dua kali aku
mengingatkan ten-
tang kebiasaan burukmu itu,
Suro! Rupanya kau tetap
bendel!" ujar Ingkanputri,
yang melihat Pengemis Binal
masih saja menggaruk-garuk
kepalanya. Padahal In-
gkanputri tahu betul kepala
remaja tampan itu tidak
gatal.
Mendengar teguran Dewi Baju
Merah, Suropati
buru-buru menurunkan tangannya.
Lalu, sambil cen-
gar-cengir dia menatap
Ingkanputri. Mendadak saja
Suropati bergerak ke depan
seperti hendak memeluk.
"Jangan kurang ajar,
Suro!" hardik Dewi Baju
Merah. "Juga aku
peringatkan tentang perbuatan ko-
nyolmu ini. Bila masih bandel,
kupeluntir telingamu
hingga tanggal!"
Mendengar ancaman itu, Pengemis
Binal malah
tertawa terkekeh.
"He he he.... Sejak
keberangkatan kita dari kota
Kadipaten Bumiraksa sebetulnya
aku memendam ha-
sratku untuk me...."
"Teruskan kalimatmu itu
kalau kau mau telin-
gamu benar-benar tanggal!"
Pengemis Binal merengut.
Sebentar kemudian
kepalanya terlihat
digeleng-gelengkan.
"Di tepi sungai sebelah
sana tadi aku telah mem-
buatkan tempat tidur untukmu.
Mestinya kau beristi-
rahat sekarang. Tapi,
kenapa kau malah bersusah-
payah mengikuti langkahku? Tentu
kau khawatir ka-
lau-kalau aku hilang disambar
gadis cantik. He he
he...."
"Malam-malam begini bukan
waktunya untuk
bercanda!" tukas
Ingkanputri. "Sebaiknya kita segera
mencari tempat untuk
beristirahat. Bukankah menu-
rut rencanamu besok pagi kau
akan pergi ke kotapra-
ja?"
"Ya..., ya!" sahut
Pengemis Binal sambil menatap
wajah Ingkanputri. Lalu, dia
mendongak. Dilihatnya
langit hitam yang ditaburi
kerlip bintang. "Malam ini
terasa aneh...," bisiknya.
"Langit hitam.... Bertemu
dengan orang-orang berkerudung
hitam.... Kenapa aku
menolong orang yang dikeroyok
itu? Apakah keadilan
yang menuntutku, karena melihat
perkelahian tidak
seimbang? Atau, hanya karena
keisenganku saja? Ah,
kurasa tidak! Hati kecilku
meminta aku untuk meno-
long dia. Padahal aku tak tahu
dia orang baik atau
orang jahat...."
Sewaktu Suropati berkata-kata,
samar-samar
terdengar suara kokok ayam.
Fajar akan segera tiba.
Dingin kini terasa semakin
menusuk tulang.
"Kalau kau ingin tidur,
tidurlah di tempat ini, Pu-
tri," ujar Pengemis Binal.
"Sudah tanggung bagiku un-
tuk memejamkan mata. Aku akan
membuat perapian."
Kebetulan sekali di tempat itu
banyak terdapat
ranting-ranting kering. Tidak
seberapa lama kemudian
Suropati telah berhasil membuat
perapian, lumayan
untuk penerangan sekaligus
pengusir hawa dingin.
Pengemis Binal
duduk tepekur menatap lidah-
lidah api yang bergoyang di
kiri-kanan karena hembu-
san angin. Sementara Dewi Baju
Merah duduk di ha-
dapan remaja tampan itu. Matanya
menatap heran pa-
da wajah Suropati yang tiba-tiba
berubah kusut
"Apa yang kau pikirkan,
Suro?" tanya Ingkanpu-
tri, terbawa rasa ingin tahunya.
"Masih ada waktu yang bisa
kau pergunakan un-
tuk tidur," Pengemis Binal
mengabaikan pertanyaan
Ingkanputri.
"Aku tak mengantuk. Aku
akan menemanimu
duduk di sini. Karena itu aku
ingin tahu apa yang ada
di benakmu."
"Aku menyusahkanmu saja,
Putri...," ujar Pen-
gemis Binal setengah berbisik.
"Gadis secantik dirimu
seharusnya berada di atas tilam
indah pada malam
yang dingin seperti ini.
Bukannya duduk tepekur di
udara bebas...."
"Ah, jangan berbasa-basi,
Suro. Sepertinya kau
tidak tahu siapa aku. Kau
melakukan perjalanan siang
malam agar cepat sampai di
kotapraja. Kalau aku
mengikutimu, itu atas kemauanku
sendiri. Aku berha-
rap setelah kau menghadap Prabu
Singgalang Manjun-
jungan Langit, kau akan bersedia
mengantarku ke Ka-
tumenggungan Lemah Abang. Juga kuminta
bantuan-
mu untuk memecahkan batok kepala
Saka Purdianta.
Pencuri Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi itu me-
mang layak untuk dienyahkan dari
muka bumi!"
Dewi Baju Merah mengepalkan
tinju. Sementara
Pengemis Binal menatapnya lalu
mengangguk-
anggukkan kepala, membenarkan
tindakan Ingkanpu-
tri.
"Apakah kau dapat
memperkirakan kenapa terja-
di bentrokan antara orang-orang
berkerudung tadi, Pu-
tri?" tanya Suropati
kemudian.
Ingkanputri menggeleng cepat
"Mana aku tahu....
Kita berjumpa dengan mereka baru
kali ini," ujarnya.
"Hmm.... Rupanya peristiwa
pertempuran tadi yang se-
karang mengusik pikiranmu."
"Aku tahu orang yang
dikeroyok tadi terluka. Ti-
ba-tiba timbul rasa kasihan
dalam hatiku. Walau aku
tak dapat memastikan siapa dia,
tapi hati kecilku
mengatakan kalau dia pernah
dekat denganku. Paling
tidak aku pernah
mengenalnya."
Ingkanputri terdengar mendengus.
"Kau dapat
berkata seperti itu karena kau
tahu dia seorang wani-
ta. Huh! Jengkel aku melihat
sifat mata keranjangmu!"
"Apa?! Dia seorang
wanita?" Pengemis Binal keli-
hatan terkejut.
"Jangan pura-pura tak
tahu!" cibir Dewi Baju Me-
rah sambil melengos.
"Sungguh, aku tak tahu.
Bukankah dia menge-
nakan kerudung? Mana aku dapat
mengenali wajah-
nya?"
"Tapi, kau dapat melihat
dadanya yang meng-
gembung! Dia seorang gadis
montok, Suro. Mungkin
sekali dia memiliki wajah yang
cantik!"
"Benarkah begitu?"
Dewi Baju Merah diam. Tampaknya
dia merajuk.
Mengetahui perubahan sikap murid
Dewi Tangan Api
ini, Pengemis Binal
menggaruk-garuk kepalanya se-
bentar. Lalu, dia beringsut dari
duduknya. Dibelainya
rambut Dewi Baju Merah.
"Kau marah, Putri?"
tanya Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti itu.
Dewi Baju Merah tak memberikan
jawaban. Sedi-
kit kasar tangannya menepis
belaian Suropati. Tapi,
remaja tampan itu malah tertawa.
"Aku tahu apa yang ada di
benakmu. Amarah
bercampur cemburu. He he
he..."
"Huh! Siapa yang cemburu?!
Untuk apa aku
mencemburuimu?! Aku bukan
apa-apamu!" sahut In-
gkanputri bernada marah.
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. "Ingkan-
putri, aku sudah bilang tadi
bahwa aku memendam
rasa inginku untuk,..."
"Untuk apa?! Kau teruskan
kalimatmu itu, benar-
benar kutanggalkan
telingamu!"
"Eit! Kenapa marah-marah
begitu?" ucap Penge-
mis Binal sambil mengulum
senyum. "Hmm.... Tapi tak
apa. Pipimu yang merona merah,
dengus nafasmu
yang keras, dan kata-katamu yang
pedas itu pertanda
kau sedang marah. Aku jadi tahu
kalau...."
"Kalau apa?!" bentak
Ingkanputri.
"Kalau kau sangat
mencintaiku!"
"Gila!"
"Ya! Kau tergila-gila
padaku!" goda Suropati.
"Ngawur!"
"Ya! Pikiranmu jadi ngawur
karena terbawa lua-
pan cintamu yang menggebu!"
Mendengar ucapan konyol Pengemis
Binal, In-
gkanputri mengangkat tangannya
untuk menampar.
Tapi Pengemis Binal diam saja.
Diperlihatkannya wa-
jah sungguh-sungguh, hingga
Ingkanputri dengan ter-
paksa mengurungkan niatnya.
"Kalau aku memang salah,
tampar saja...."
"Kau..., kau keterlaluan, Suro;"
Ingkanputri menunduk seraya
mendekap wajah-
nya. Suropati
menggeleng-gelengkan kepalanya meli-
hat gadis cantik itu terus
mendekap wajah. Bahunya
terlihat naik turun.
"Kau menangis?" tanya
Pengemis Binal. Lengan
kirinya dilingkarkan ke bahu
Ingkanputri.
"Kau..., kau..."
"Aku kenapa? Bukankah aku
sudah bilang, kalau
aku salah kau boleh tampar
aku."
Suropati menunggu beberapa lama.
Tapi, tak ke-
luar kata-kata dari mulut
Ingkanputri. Hanya bahu
gadis itu yang dirasakannya naik
turun.
"Maafkan aku,
Putri...," cetus Pengemis Binal.
Suropati lalu menarik
Ingkanputri ke dalam dekapan-
nya. Ingkanputri pun kali ini
menurut saja.
Pengemis Binal mencium rambut
Ingkanputri
yang digelung. Lalu dia melepas
pelukannya dan me-
natap wajah cantik di hadapannya
dalam-dalam. Den-
gan telunjuk jari kanannya,
Pengemis Binal mengha-
pus sisa air mata yang masih
menitik di pipi Ingkanpu-
tri.
"Bila cinta telah tertanam
dalam jiwa, perilaku
orang bisa jadi aneh," kata
Suropati dalam hati.
***
4
Semburat cahaya jingga di langit
menandakan fa-
jar telah menyingsing. Seperti
putri malu, Sang Baska-
ra muncul perlahan di bentangan
kaki langit sebelah
timur. Bumi masih terselimuti
sepi. Tapi, di tepi sungai
itu sepi telah tercabik oleh
bentakan kemarahan. Siksa
keji tempaknya akan menyambut
datangnya lagi.
Seutas tali menjuntai turun dari
simpulan di da-
han pohon. Di ujungnya
menggantung tubuh seorang
pemuda. Kepalanya di bawah,
berjarak dua jengkal da-
ri permukaan tanah. Tubuh lelaki
muda itu terayun-
ayun karena kedua kakinya
terikat oleh tali yang men-
juntai dari atas dahan pohon
tadi. Sementara kedua
tangannya terikat pula, menyatu
di punggung.
Wajah si pemuda tampan membiru
oleh bekas
tamparan keras yang dilakukan
berulang kali. Baju
putihnya telah robek di bagian
dada. Dan, kulit depan
tubuhnya itu dipenuhi
guratan-guratan penuh darah
kering seperti bekas cakaran.
Pemuda naas ini adalah
Raka Maruta atau Pendekar Kipas
Terbang.
Setelah berpisah dengan
Anggraini Sulistya,
langkah Raka Maruta dicegat oleh
Tiga Dara Bengal.
Ketika itu hatinya sedang
diliputi kesedihan, hingga
dia dapat dikalahkan dengan
mudah oleh tiga gadis
anggota Partai Iblis Ungu itu.
Jadilah Raka Maruta
seorang tawanan. Dan karena tak
mau menuruti ke-
mauan Tiga Dara Bengal, akhirnya
Raka Maruta digan-
tung dengan kaki di atas dan
kepala di bawah.
Sudah tiga hari lamanya Raka
Maruta mendapat
siksaan seperti itu, tanpa makan
dan minum! Kalau
saja Raka Maruta tidak memiliki
ilmu kesaktian tinggi,
ajal tentu telah menjemputnya.
Digantung dengan ke-
pala di bawah selama tiga hari
akan membuat cairan
darah mengalir keluar lewat
mulut, lubang hidung,
dan telinga! Belum lagi siksaan
keji yang didapat dari
Tiga Dara Bengal. Gadis-gadis
cantik berhati iblis itu
sanggup berbuat sedemikian kejam
karena memiliki
dendam kepadanya, meski
sebenarnya pemuda itu tak
mempunyai kesalahan terhadap
mereka.
"Dengar, Maruta!"
bentak si baju merah Andan
Sari sambil mendaratkan
tamparan. Begitu keras tam-
paran itu hingga membuat tubuh
Raka Maruta terayun
tinggi. Tapi, Andan Sari segera
menahannya.
"Dengar, Maruta!"
bentak gadis ini lagi. Namun
apa yang diinginkannya tak
terpenuhi. Kelopak mata
Raka Maruta tetap saja terpejam
rapat.
"Kau minggirlah,
Sari!" perintah si baju kuning
Ari Sambita. Selagi Andan Sari
melangkah mundur, Ari
Sambita menggerakkan tangan
kanannya dengan ce-
pat.
Set!
Tubuh Pendekar Kipas Terbang
sedikit terayun.
Wajahnya yang lebam tampak
menegang. Perlahan ke-
lopak matanya terbuka. Darah
segar mengalir dari da-
danya yang robek. Rupanya, Ari
Sambita telah mem-
buat luka dengan senjata kipas
baja putih milik Raka
Maruta sendiri.
"Dengar, Pendekar
Muda!" bentak Andan Sari
kemudian. "Sekali lagi aku
tawarkan dua pilihan. Ha-
rap kau pikir baik-baik! Kau
turuti kemauan kami,
atau jiwamu melayang sekarang
juga?!"
Lewat pandangan matanya yang
redup, Raka Ma-
ruta melihat sosok Andan Sari
yang sedang berjongkok
di hadapannya. Tak ada kata yang
dikeluarkan Raka
Maruta. Dia tahu benar apa
kemauan Tiga Dara Ben-
gal. Memilih pilihan pertama
sama halnya dengan me-
robek-robek nama baiknya sendiri
sebagai seorang
pendekar. Tiga Dara Bengal
berkeinginan berbuat me-
sum dengannya!
"Heh! Rupanya kau pemuda
yang benar-benar
keras kepala!" ujar Andan
Sari.
Dia melihat kelopak mata Raka
Maruta terpejam
lagi. Cepat sekali tangan gadis
ini berkelebat.
Plak!
Sekali lagi sebuah tamparan
mendarat di wajah
Raka Maruta. Akibatnya tubuh
pendekar muda itu
berputar.
"Rupanya kita harus
menghukum mati pemuda
ini sekarang juga, Sari!"
kali ini yang berbicara adalah
si baju hijau Ajeng Menur.
"Dengar baik-baik, Raka
Maruta! Gurumu yang bergelar si
Kipas Sakti memiliki
dosa besar terhadap Partai Iblis
Ungu. Dia telah mem-
bunuh ketua sekaligus orang tua
angkat kami, Wiran-
ti. Karena besarnya dosa tua
bangka busuk itu, kau
pun harus turut menanggung
akibatnya!"
Ajeng Menur menyambar kipas baja
putih di tan-
gan Ari Sambita. Lalu senjata
andalan Pendekar Kipas
Terbang itu digoreskan ke dada
pemiliknya. Tubuh
Raka Maruta terlihat mengejang.
Sementara cairan da-
rah mengalir keluar.
"Sekarang lihat baik-baik,
Raka Maruta!" lanjut
Ajeng Menur. "Dengan kipas
milikmu ini kepalamu
akan kubuat menggelinding di
tanah!"
Perlahan kelopak mata Pendekar
Kipas Terbang
terbuka. Tatapannya sayu,
tertuju pada kipas di tan-
gan Ajeng Menur. Sinar mentari
membuat senjata itu
tampak berkilat.
"Bagi seorang ksatria, mati
bukanlah hal yang
menakutkan...," ucap
Pendekar Kipas Terbang, pelan
sekali. "Mati sebagai orang
gagah adalah impian setiap
pendekar. Demi mempertahankan
nama baik, dan de-
mi mempertahankan harga
diri...."
"Cukup!" potong Ajeng
Menur. "Kau pikir, mati
dengan cara seperti ini adalah
mati sebagai orang ga-
gah? Tidak, Maruta! Ini adalah
mati orang konyol! Ka-
rena kau terlalu menuruti
kekerasan kepalamu!"
Tak ada lagi kata yang keluar
dari mulut Pende-
kar Kipas Terbang. Kesedihan itu
begitu menghujam
relung kalbunya. Sedih karena
kecewa terhadap
Anggraini Sulistya, gadis yang
telah mencuri hatinya!
"Tujuan kita memang hendak
melenyapkan pe-
muda ini. Segera saja kau bunuh
dia, Menur!" suruh
Ari Sambita. "Pemuda nekat
ini sudah tak ada gu-
nanya lagi."
Ajeng Menur menatap sejenak
wajah saudaranya
itu, lalu ditatapnya lekat-lekat
wajah Raka Maruta.
"Walau kelopak matamu
terpejam, tap aku yakin kau
dapat melihat kehadiran Malaikat
Kematian, Raka Ma-
ruta!" ujarnya seraya
mengangkat kipas baja putih
tinggi-tinggi.
Dan, tampaknya maut memang akan
segera men-
jemput Raka Maruta.
Wesss...!
Sesosok bayangan putih
berkelebat sangat cepat.
Ajeng Menur terkejut setengah
mati. Tahu-tahu kipas
baja putih di tangannya telah
lenyap! Dua saudaranya
pun tak kalah terkejutnya.
Selagi mereka menyebar
pandangan untuk mencari siapa
gerangan yang telah
berbuat usil, sesosok bayangan
lain berkelebat datang.
Tas...!
"Heh?!"
Tiga Dara Bengal dihantam
keterkejutan untuk
kedua kalinya. Tubuh Pendekar
Kipas Terbang yang
tergantung tiba-tiba lenyap
pula. Tinggal tali pengikat-
nya yang terayun-ayun kini.
"Keparat!" umpat Tiga
Dara Bengal hampir ber-
samaan.
Mata mereka menatap
berkilat-kilat pada sosok
remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan.
Tangan kirinya memegang sebatang
tongkat butut. Se-
dangkan di tangan satunya
terjepit kipas baja putih. Di
sisi kiri remaja ini berdiri
seorang gadis cantik berpa-
kaian serba merah. Tubuh
Pendekar Kipas Terbang
terkulai lemah dalam
bopongannya.
"Suropati...!" desis
Tiga Dara Bengal. Tatapan me-
reka tertuju pada sosok remaja
tampan.
Remaja tampan yang memang
Suropati atau Pen-
gemis Binal itu mendengus pelan.
"Kau rawat luka-
luka Raka Maruta,
Putri...," ujarnya pada Ingkanputri.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini
kemudian melangkah tiga tindak
ke depan. Ditatapnya
sosok Tiga Dara Bengal dengan
sinar mata berkilat.
"Wajah kalian cantik. Tubuh
kalian sintal. Baju kalian
pun bagus. Namun, di balik semua
keindahan itu ter-
simpan angkara murka. Gatal
tanganku untuk mem-
beri hukuman!"
Tiga Dara Bengal menggeram
bersamaan.
"Kebetulan sekali kau
datang, Pengemis Edan!"
ujar Ajeng Menur. "Aku tahu
kau turut membunuh
Ibunda Wiranti. Sudah layak bila
kau datang mengan-
tarkan nyawa!"
Usai berkata demikian, gadis itu
langsung mener-
jang Pengemis Binal. Dua
saudaranya turut menggem-
pur. Kelebatan tubuh mereka
menunjukkan ilmu me-
ringankan tubuh yang bisa
diandalkan. Tapi, gerakan
Pengemis Binal lebih cepat lagi.
Kipas baja putih di
tangan kanannya dikibaskan
miring.
Wuusss...!
Seberkas sinar perak yang
melengkung besar me-
luruk ke depan. Betapa
terkejutnya Tiga Dara Bengal.
Mereka tahu kalau sinar perak
itu mampu menum-
bangkan sebatang pohon besar.
Maka, dalam keadaan
masih melayang di udara, mereka
menyorongkan ke-
dua telapak tangan ke depan
secara bersamaan.
Blash...!
Sinar perak lengkung yang timbul
dari kibasan
senjata andalan Raka Maruta
lenyap terkena pukulan
jarak jauh Tiga Dara Bengal.
Tapi begitu mereka men-
daratkan kaki di tanah, tubuh
Pengemis Binal telah
berkelebat cepat. Gerakan itu
sama sekali tak diduga
Tiga Dara Bengal. Akibatnya....
Buk! Buk! Buk!
Tiga Dara Bengal menggeliat
kesakitan. Pantat
mereka terkena hajaran tongkat
Pengemis Binal.
"He he he...," tawa
Pengemis Binal terkekeh.
"Hoya! Hoya! Tari India!
Sungguh indah mempesona!
Aku suka melihatnya!"
Mendengar kalimat Suropati yang
bernada eje-
kan, kontan Tiga Dara Bengal
menghentikan geliatan
tubuhnya, meskipun rasa sakit di
pantat mereka ma-
sih begitu menyengat.
"Eh, kenapa berhenti
menari, Manis?" ujar Suro-
pati lagi. "Apakah kalian
perlu musik pengiring? Baik,
kalau begitu. Plak dung, plak
gedundung, brot! He he
he...."
Sambil berkata-kata, Pengemis
Binal meng-
goyang-goyangkan pantatnya.
Bibirnya ikut dimo-
nyong-monyongkan. Tiga Dara
Bengal yang menjadi
bahan ejekan menggeram keras
bagai harimau terluka.
Secepat kilat mereka meloloskan
seuntai tali yang me-
lingkar di pinggangnya. Pada
ujung tali terdapat sebi-
lah besi runcing. Inilah senjata
andalan orang-orang
Partai Iblis Ungu!
"Kusumpal mulutmu yang
ceriwis itu, Keparat!"
maki Ajeng Menur seraya menggerakkan
ujung tali di
tangannya. Satu kejap mata saja
besi runcing di ujung
tali meluruk cepat ke arah
Pengemis Binal. Yang men-
jadi sasaran benar-benar mulut
remaja tampan berpri-
laku konyol itu.
"Wuaah! Kenapa mesti
mulutku?!" ujar Pengemis
Binal.
Walau tampak main-main, tapi
remaja konyol ini
tahu kalau bahaya sedang
mengancam jiwanya. Maka,
tak tanggung-tanggung lagi dia
menyalurkan seluruh
tenaga dalamnya ke pergelangan
tangan kanan yang
memegang kipas baja putih.
Dipapaknya luncuran besi
runcing milik Ajeng Menur.
Set! Ting!
Besi runcing itu terpental dan
terus melayang ke
kejauhan. Kipas baja putih di
tangan Pengemis Binal
berhasil membabat putus tali
pengendalinya.
"Kurang ajar!" geram
Ajeng Menur. Senjata anda-
lannya bukanlah terbuat dari
tali sembarangan. Sebi-
lah pedang tajam tak akan
sanggup memutuskannya.
Kalau kemudian senjata itu
berhasil dibabat putus
oleh Pengemis Binal, maka
wajarlah jika amarah Ajeng
Menur tak dapat dibendung lagi.
Tanpa pikir panjang
dia menerjang Pengemis Binal
dengan tangan kosong.
Pukulan Ajeng Menur berhasil
ditepis dengan
mudah oleh Suropati. Lalu, cepat
sekali kedua tangan
remaja konyol itu bergerak.
Buk! Bletak!
"Aduh...!"
Tongkat di tangan kin Pengemis
Binal menghajar
pantat Ajeng Menur. Sedangkan
gagang kipas baja pu-
tih digunakan untuk menjitak
kepala gadis itu. Kontan
Ajeng Menur menjerit kesakitan.
Sekali lagi tubuhnya
menggeliat-geliat seperti cacing
kepanasan.
"Dung, dung, plak
gedundung! Plak geding dung,
dang, dang, brut!" ujar
Pengemis Binal menirukan se-
buah irama untuk mengiringi
geliatan tubuh Ajeng
Menur.
Melihat saudaranya dipermainkan,
Ari Sambita
dan Andan Sari mendengus marah. Dengan senjata
andalan mereka, jurus-jurus
ampuh pun dilancarkan.
Namun, sesungguhnya mereka
bukanlah lawan seim-
bang bagi Pengemis Binal. Walau
mereka telah menge-
luarkan seluruh daya kemampuan,
Pengemis Binal te-
tap berada di atas angin.
Bahkan, dengan kekonyolan-
nya remaja tampan itu berhasil
mempermainkan me-
reka berulang kali.
"He he he...!" tawa
kekeh Suropati seraya meng-
gerakkan tongkatnya tiga kali.
Buk! Buk! Buk!
Lagi-lagi, pantat Tiga Dara
Bengal kena hajar.
Tapi kali ini tubuh mereka
terlontar jauh. Sebelum ja-
tuh bergulingan di tanah. Wajah
mereka yang cantik
dan pakaian mereka yang indah
jadi kotor berlumur
debu. Ketika mereka bangkit
berdiri, ringis kesakitan
jelas terlihat pada bibir
ketiganya.
"Keparat kau, Pengemis
Edan!" maki Andan Sari.
"Kelak Partai Iblis Ungu
akan membuat perhitungan
tersendiri denganmu!"
Usai mengumbar kata ancaman,
gadis itu kemu-
dian mengambil langkah seribu.
Ajeng Menur dan Ari
Sambita menggeram terlebih
dahulu, baru mereka
mengekor langkah kaki Andan
Sari.
"He he he...,"
Suropati cuma tertawa terkekeh.
"Sayang, gadis cantik
mempunyai perangai buruk."
Remaja konyol ini kemudian
menghampiri In-
gkanputri dan Raka Maruta yang
terus memperhatikan
gerak-geriknya dari bawah
sebatang pohon rindang.
Luka-luka di dada Raka Maruta
telah terbalut sehelai
selendang merah yang biasa
melingkar di pinggang In-
gkanputri.
"Sifat konyolmu itu tak
pernah berubah, bahkan
tampaknya makin
menjadi-jadi...," ujar Pendekar Kipas
Terbang.
Usai berkata, pemuda ini
langsung melahap roti
kering di tangan kanannya. Roti
itu pemberian In-
gkanputri, bekal berjalan jauh.
"Bagaimana kau bisa jadi
tawanan gadis-gadis
bengal itu, Maruta?" tanya
Pengemis Binal. Ditatapnya
wajah lebam Pendekar Kipas
Terbang.
"Tampaknya mereka memang
sengaja mengejar
diriku. Suro."
"Lalu, di mana Anggraini
Sulistya?"
Mendengar pertanyaan Suropati,
mendadak sinar
mata Raka Maruta meredup. Tanpa
disadari roti di
tangan kanannya terjatuh ke
tanah.
"Eh, kau kenapa,
Maruta?" Ingkanputri merasa-
kan kejanggalan sikap Pendekar
Kipas Terbang.
"Tak apa-apa...,"
gumam Raka Maruta. Kepalanya
digelengkan perlahan.
"Anggraini Sulistya adalah seo-
rang gadis yang berilmu tinggi.
Sesampainya di wilayah
Kerajaan Pasir Luhur ini, dia tak
memerlukan diriku
lagi. Dia bisa menjaga dirinya
sendiri...," lanjut Raka
Maruta dengan berusaha
menyembunyikan perasaan
galaunya.
"He he he...," tawa
kekeh Pengemis Binal. "Makna
katamu biasa saja. Namun, sinar
matamu menyiratkan
kesedihan. Ada apakah gerangan?
Apakah kau ber-
tengkar dengan gadis yang
kau...."
"Leluconmu itu tidak pada
tempatnya, Suro!"
hardik Dewi Baju Merah.
"Ada sahabat sedang susah
kok malah digoda. Tapi,
tampaknya sahabat kita ini
memang sedang patah hati, Suro.
Cobalah kau tolong
dia. Kudengar kau memiliki obat
anti sedih...."
Ingkanputri melarang Suropati
menggoda, tapi
dia sendiri malah melakukannya.
Pendekar Kipas Ter-
bang tersenyum kecut. Sakit di
sekujur tubuhnya ti-
dak melebihi sakit hatinya.
Namun, godaan kedua sa-
habatnya itu membuatnya tersipu
malu.
"Kau mau obat anti
sedih, Maruta?" tanya Pen-
gemis Binal.
"Tidak!" tolak
Pendekar Kipas Terbang. "Aku tidak
mau jadi seperti dirimu. Terlalu
banyak makan obat
anti sedih, otakmu jadi miring.
Tak waras! Gendeng!"
"Ha ha ha...,"
mendengar makian Pendekar Kipas
Terbang, Suropati malah tertawa terbahak-bahak.
"Nah, lebih baik kau
memaki-maki begitu. Tak suka
aku melihat tampang orang yang
sedih melulu. Lebih
baik marah-marah.
Gampar-gamparan aku juga suka!"
Senyum tipis mengembang di bibir
Raka Maruta.
Ditonjoknya perut Suropati.
Remaja konyol itu pura-
pura meringis kesakitan, lalu
balas menonjok. Tapi
Raka Maruta lebih dulu bangkit.
Thok! Thok! Thok!
Tiba-tiba terdengar suara itu.
Semakin lama se-
makin terdengar jelas. Secara
bersamaan Raka Maru-
ta, Suropati, dan Ingkanputri
menoleh ke sumber sua-
ra.
Seorang kakek tua renta tampak
berjalan ter-
huyung-huyung. Dia seperti tak
mampu menahan be-
rat tubuhnya sendiri. Anehnya,
kakek itu berjalan
dengan alas kaki terbuat dari
tempurung kelapa. Tem-
purung inilah yang menimbulkan
suara seperti penjual
bakso. Pakaian kumal kakek itu
menutupi tubuhnya
yang tinggal tulang-belulang
terbalut kulit keriput. Ke-
tika langkahnya telah dekat,
Suropati dan kedua sa-
habatnya dapat melihat kalau
kakek itu tidak mempu-
nyai mata! Bagian bawah dahinya
rata, tak ada cekun-
gan sedikit pun. Hal itu
menjadikan dahinya terlihat
lebih lebar.
"Aku tahu ada tiga gadis
lari terbirit-birit dari
tempat ini. Aku juga tahu mereka
habis menerima ha-
jaran. Yang belum aku tahu,
siapakah yang telah ber-
buat konyol itu?" ujar
kakek yang baru datang.
"Aku tahu tubuhmu
kurus-kering. Aku juga tahu
umurmu sudah dekat dengan liang
lahat. Yang belum
aku tahu, siapakah namamu?"
ucap Suropati meniru-
kan gaya bicara si kakek.
"Lidah memang tak
bertulang. Bicara memang
mudah. Tapi, adakah makna di
balik semua itu?" ujar
si kakek lagi.
"Hidung mempunyai lubang.
Mencium bau den-
gan sendirinya. Tapi bila yang
tercium adalah bau bu-
suk, adakah orang datang membawa
kentut? He he
he...," goda Pengemis Binal
sebelum meloncat ke hada-
pan si kakek.
"Aku tak dapat melihat.
Tapi, aku tahu kau
punya wajah tampan. Namun di
balik itu tersimpan si-
fat konyol dan ugal-ugalan.
Pastilah kau yang telah
menghajar ketiga gadis yang
kutemui di jalan tadi."
"Kalau ya, kau mau apa,
Kek?" sergap Pengemis
Binal.
"Aku cuma bertanya. Tak
hendak berbuat apa-
apa. "
"Kalau cuma itu
keperluanmu, selekasnya kau
pergi dari sini. Baju rombengmu
menyebarkan bau
apek!"
Bibir si kakek menyunggingkan
senyum tipis.
"Aku manusia biasa. Aku
butuh makan. Tapi,
aku tak punya uang. Adakah kau
punya belas kasihan
kepadaku, Anak Muda? Aku tak
hendak mengemis.
Aku punya sedikit kepandaian.
Bila kau mau, kau bisa
memanfaatkan kepandaianku
ini."
"Kau punya kepandaian apa,
Kek?"
"Orang banyak biasa
menyebutku Dewa Peramal.
Karena, mereka tahu ramalanku
hampir selalu tepat.
Aku tidak sedang menyombong
diri. Aku memang se-
dang butuh uang. Aku ingin
makan. Ada baiknya aku
menjual sedikit
kemampuanku."
Suropati cengar-cengir. Iseng
saja dia melangkah
lebih dekat. "Ucapkan
ramalanmu, Kek. Aku akan
memberimu uang sekeping,"
ucapnya di dekat telinga
si kakek.
Kakek berbaju rombeng
menggedrukkan kaki ka-
nannya tiga kali.
Thok! Thok! Thok!
Lalu, dipegangnya bahu Pengemis
Binal. "Tu-
buhmu bagus. Aku yakin di
dalamnya tersimpan ilmu
kesaktian yang hebat,"
Ujarnya menurunkan tangan-
nya ke dada Pengemis Binal.
"Jiwamu bersih. Kau pas-
ti seorang pendekar budiman.
Namun, aku bisa mera-
sakan getaran aneh yang
menyelubungi tubuhmu...."
"Getaran apa itu,
Kek?" tanya Pengemis Binal,
masih iseng-iseng saja.
"Getaran yang selalu
membawamu ke dalam uru-
san-urusan sulit. Tapi, aku
yakin urusan itu pasti da-
pat kau atasi."
Konyol sekali Pengemis Binal.
Dia ganti meraba
tubuh kakek yang mengenalkan
dirinya sebagai Dewa
Peramal. "Aku juga
merasakan getaran aneh di tu-
buhmu, Kek," katanya
kemudian.
"Getaran apa?"
"Getaran yang menandakan
bahwa kau sedang
menahan kentut!"
Mendengar ucapan Suropati, Raka
Maruta dan
Ingkanputri tertawa lebar.
Mereka tetap duduk di ba-
wah pohon, karena mendapat
keasyikan sendiri den-
gan melihat kekonyolan Suropati.
"Aku tidak sedang bercanda,
Anak Muda...," lan-
jut Dewa Peramal dengan bibir
cemberut. "Walau kau
bersikap urakan dan berpakaian
penuh tambalan, tapi
aku tahu kau putra seorang
bangsawan. Telapak tan-
gan kirimu mengatakan
demikian."
Pengemis Binal membiarkan saja
telapak tangan
kirinya diraba-raba Dewa
Peramal. Sampai akhirnya si
kakek melepaskannya. Kini kening
si kakek yang lebar
tampak berkerut.
"Ramalanmu apa hanya sampai
di sini, Kek?"
pancing Suropati,
"Masih ada satu lagi yang
hendak kukatakan.
Tapi, aku takut kau tak
suka."
"Apa? Katakan saja kalau
kau memang ingin
mendapat uang dariku...,"
pinta Pengemis Binal. Kali
ini dia terlihat
sungguh-sungguh.
"Aku melihat sebuah istana
di suatu malam buta
disatroni orang-orang tak
dikenal. Kau turut memper-
tahankan istana itu. Kau dapat
mengusir orang-orang
tak dikenal. Tapi, bahaya belum
pergi. Kau mendapat
kesulitan dan kau meminta
bantuan musuh bebuyu-
tanmu...."
"Puih! Bagus benar ucapanmu
itu, Kek...," sahut
Suropati, cepat. "Tapi,
terus terang aku tak percaya!"
"Percaya atau tidak, itu
bukan urusanku. Yang
jelas, kau harus memberi aku
sekeping uang seka-
rang!" ucap Dewa Peramal
bernada memerintah.
Suropati merogoh-rogoh kantong
di bajunya. "He
he he.... Aku tidak punya uang,
Kek...."
Mendengar itu, kakek berbaju
rombeng mengge-
rakkan kedua tangannya dengan
cepat sekali. Karena
sama sekali tak menduga,
Pengemis Binal tak mampu
mengelak. Akibatnya....
"Wadaouw...!"
Pengemis Binal berteriak
kesakitan. Tubuhnya
terjatuh ke tanah. Kena banting
dia. Dan sebelum dia
bangkit untuk membalas bantingan
Dewa Peramal,
kakek tak bermata itu telah
berkelebat cepat menghi-
lang dari tempat ini. Tak terdengar
suara tempurung
kelapa yang membentur tanah.
"Huh! Kakek sableng! Kalau
jumpa lagi kucopot
kepalamu!" ancam Suropati
asal-asalan.
"Ha ha ha...!" Pendekar Kipas Terbang
tertawa
sambil berjalan tertatih-tatih
mendekati Suropati. "Ke-
na batunya kau sekarang,
Suro!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya. Dia
tak membalas ucapan Raka Maruta.
Kakinya lalu me-
langkah dengan tongkat
dipukul-pukulkan ke tanah.
"Sebentar, Suro!"
cegah Pendekar Kipas Terbang.
"Aku tahu hatimu kesal. Aku
tahu kau marah. Tapi,
aku ingin bertanya terlebih
dahulu...," ucap pemuda
ini, terbawa nada bicara Dewa
Peramal.
"Tanya apa?"
"Aku tahu kau memang punya
rencana datang ke
Kerajaan Pasir Luhur ini. Aku
tahu kau hendak meng-
hadap Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. Tapi yang
belum kutahu, bagaimana kau bisa
datang bersama
Ingkanputri?"
"Hush! Jangan tirukah lagi
gaya ucapan Kakek
Sableng itu!" bentak
Suropati. "Kau tahu nama gadis
yang bergelar Dewi Baju Merah
itu, agaknya kau telah
berkenalan. Dia cantik! Kau
tertarik? He he he...."
"Aku bertanya
sungguh-sungguh!" bentak Raka
Maruta.
"Aku juga menjawab
sungguh-sungguh! Ingkan-
putri datang bersamaku karena
hendak mengejar Saka
Purdianta yang telah melarikan
Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi miliknya!"
"O, pemuda yang bergelar
Dewa Guntur itu?"
"Tepat!" sahut Dewi
Baju Merah seraya berjalan
mendekat. "Sebaiknya kau
turut membantuku untuk
mendapatkan kembali kitab itu,
Maruta. Amat berba-
haya bila Saka Purdianta yang
jahat itu mempelajari
ilmu kesaktian yang terdapat di
dalamnya."
"Kau telah menolongku, aku
pasti akan meno-
longmu." sahut Pendekar
Kipas Terbang.
Sambil terus berkata-kata,
ketiga pendekar muda
itu melangkah menuju kotapraja.
Pendekar Kipas Ter-
bang tampaknya sudah tak
merasakan lagi luka saya-
tan di dadanya. Kipas Baja Putin
juga sudah terselip di
balik bajunya.
***
5
Di sebuah ruangan lebar
berlantai marmer yang
dihampari permadani tebal warna
merah, duduk ber-
simpuh lima puluh orang
berkerudung hitam yang ter-
bagi dalam lima baris. Kelima
baris itu dibelakangi
oleh empat orang berkerudung
hitam pula. Semua me-
nundukkan kepala dan tak
bergerak sedikit pun.
Ruang lebar berdinding merah
terasa lengang. Cahaya
temaram menerangi ruangan dari
pelita kecil yang di-
pasang di empat sudut
Sebentar kemudian, terdengar
suara batuk-
batuk. Datangnya dari mulut
orang berkerudung yang
duduk di depan empat orang
berkerudung hitam. Ber-
beda dengan orang-orang yang
sedang duduk tepekur
itu, di punggung orang yang
sedang batuk-batuk tidak
terdapat selipan pedang panjang.
Tapi, jelas terlihat di
ikat pinggang sebelah kanannya
terselip sebilah keris.
"Kegagalan penyerbuan
kemarin harus kita tebus
sekarang," kata orang
berkeris, lalu batuk-batuk lagi.
"Ada orang yang sengaja
menyamar sebagai diriku. Ki-
ta akan memberangus orang itu
berikut sapi tua Sing-
galang Manjunjung
Langit..," lanjutnya
Suasana kembali lengang karena
orang berkeris
tak berkata-kata lagi. Empat
orang berkerudung yang
berada pada baris terdepan
semakin tertunduk dalam.
Orang berkeris mengarahkan
pandangannya ta-
jam-tajam ke sosok empat orang
yang duduk tepat di
hadapannya. "Aku heran,
kenapa ada anggota Ninja
Omarudo begitu gampang terkecoh?
Apakah hal ini ti-
dak memalukan Ketua Akira
Matsusita?"
Mendengar ucapan yang bernada
menyindir itu,
orang yang duduk di ujung kanan
tampak mengangkat
kepala. "Kami cukup tahu
diri, Tuan Adipati...," ujar-
nya dengan bahasa patah-patah.
"Jauh-jauh Tuan
mengundang kami tentu tak ingin
mendapat kecewa.
Kami telah bersumpah menempuh
jalan bushido, jalan
ksatria, walau kami hanyalah
pembunuh bayaran.
Maka dari itu, untuk mengurangi
kekecewaan Tuan,
kami akan melakukan
sepuku!"
Cepat sekali orang itu menghunus
pedang pan-
jangnya. Lalu....
Jrus!
Dia melakukan bunuh diri. Ujung
pedangnya ter-
lihat tembus hingga ke punggung.
Perbuatan bunuh diri untuk
menjaga kehorma-
tan itu segera diikuti ketiga
orang kawannya. Cairan
darah merembes ke permadani
merah.
Empat orang yang duduk di depan
barisan kini
terlihat duduk menelungkup
dengan dahi menyentuh
permadani. Tubuh mereka tak
bergeming, karena me-
mang sudah tak bernyawa.
Orang berkerudung hitam yang di
pinggangnya
terselip sebilah keris terdengar
mendengus pendek.
Dari balik lubang sempit pada
kerudungnya, orang ini
menatap tajam ke depan.
"Malam ini juga kita
menyerbu istana!" ujar orang
itu kemudian. "Aku. yakin,
sapi tua Singgalang Manju-
jung Langit masih berada di
sana. Tapi aku tak mau
kebodohan empat orang ini
terulang lagi!"
"Hai!"
Terdengar suara kesanggupan dari
lima puluh
orang berkerudung yang berada di
tempat itu.
***
Sejak bertemu dengan Raka Maruta
perjalanan
Suropati dan Ingkanputri jadi
lambat. Raka Maruta
mengajak menempuh perjalanan
melingkar-lingkar
dan sebentar-sebentar minta
istirahat. Berbagai alasan
dikemukakannya. Tapi, Suropati
dan Ingkanputri tahu
kalau alasan Raka Maruta itu
hanya dibuat-buat. Wa-
lau demikian, mereka berdua
dapat memakluminya.
Raka Maruta sebenarnya enggan
pergi ke kotapraja ka-
rena malu bila nanti bertemu
dengan Anggraini Sulis-
tya.
"Huh! Jalan yang harus
kutempuh sebenarnya
tidak seberapa jauh. Hanya
karena ulahmu, kita sam-
pai di kotapraja ini hari sudah
malam!" gerutu Penge-
mis Binal.
Pendekar Kipas Terbang diam
saja. Sejak mema-
suki pintu gerbang, kepalanya
tertunduk terus. Dewi
Baju Merah tampak menyebar
pandangan. Di kanan-
kiri jalan lampu gantung
memancarkan cahaya terang.
Terlihat begitu indah. Terutama
yang digantung di ru-
mah-rumah penginapan ataupun
kedai. Banyak ban-
gunan megah di sini.
Mengingatkan Ingkanputri pada
kotapraja Anggarapura. Bedanya
di kotapraja Pasir
Luhur ini terasa sepi meskipun
malam belum larut be-
nar.
"Apa yang sedang kau
pikirkan, Putri?" tanya
Pengemis Binal melihat kening
Ingkanputri berkerut.
"Kau tidak merasakan
keanehan ini, Suro?" Dewi
Baju Merah balik bertanya.
"Keanehan apa?"
"Buka matamu yang benar,
dan rasakan apa
yang kau lihat!"
Mendengar ucapan Ingkanputri,
Pengemis Binal
tersenyum senang. Secepat kilat
dipeluknya tubuh ga-
dis cantik itu sebelum mengecup
pipinya.
"Uh! Apa-apan kau,
Suro?!" bentak Dewi Baju
Merah, marah-marah. Dia tak bisa
mengelakkan pelu-
kan Suropati. Remaja konyol itu
melakukannya den-
gan begitu cepat.
"Lho..., kenapa kau marah?
Bukankah kau tadi
menyuruhku membuka mata yang
benar, lalu merasa-
kan apa yang kulihat. Kebetulan
yang kulihat adalah
dirimu. Jadi, kurasakan halusnya
pi...."
"Gila!" potong Dewi
Baju Merah. Tangannya ber-
gerak hendak menampar, tapi
keburu ditangkap oleh
Pengemis Binal.
"Lepaskan!" bentak
Dewi Baju Merah.
"He he he...," tawa
Pengemis Binal. "Kalau marah-
marah, kau tambah
cantik...."
"Ngaco!"
"Teruslah marah. Kutinggal
kau di sini. Aku kan
tadi cuma bercanda."
"Ya. Tapi caranya tidak
begitu!"
"Sudahlah, Putri...,"
tegur Pendekar Kipas Ter-
bang. "Yang merasa waras
seharusnya mengalah."
"He he he...,"
Pengemis Binal tertawa lagi. "Tepat,
Maruta! Aku merasa waras, aku
mengalah saja!" ujar-
nya sambil menyorongkan wajahnya
ke hadapan Dewi
Baju Merah.
"Kutampar kau!" ancam
Ingkanputri.
"Silakan...."
Bibir Ingkanputri merengut. Tak
juga dia mem-
buktikan ucapannya walau
Pengemis Binal terlihat pa-
srah.
"Aku tak mau bercanda
lagi!" tukas Dewi Baju
Merah kemudian. Amat kesal
hatinya digoda terus me-
nerus.
"Tidak mau ya sudah. Kita
cari penginapan yang
murah sekarang. Besok pagi kita
ke istana," cetus Pen-
gemis Binal.
"Kau punya uang,
Suro?" tanya Pendekar Kipas
Terbang.
"Kau tahu pagi tadi aku
kena banting kakek sab-
leng bergelar Dewa Peramal
gara-gara tidak bisa mem-
berinya uang!"
"Kalau begitu, kenapa kau
mengajak kami ke
penginapan?"
"Ingkanputri yang bayar,
Kunyuk!" ujar Pengemis
Binal, sedikit kesal. Karena
ulah Raka Marutalah me-
reka jadi kemalaman tiba di
kotapraja.
"Huh! Enak saja!" Dewi
Baju Merah tampak se-
wot. "Kau pikir aku punya
banyak uang?!"
"Kau tidak
punya?"
"Tidak!"
"Yah.... Terpaksa kita
bermalam di emperan toko.
Berdoalah semoga tidak ada
garukan...."
Sampai di situ tidak lagi
terdengar percakapan
mereka. Semakin jauh melangkah
rasa heran di hati
Ingkanputri semakin besar.
Jarang sekali mereka ber-
papasan dengan orang. Kotapraja
Pasir Luhur ini tam-
pak sepi dan lengang.
"Apa kalian berdua tidak
merasakan keanehan
ini?" tanya Dewi Baju Merah
pada Raka Maruta dan
Suropati.
"Kau pikir hanya kau saja
yang merasakannya,"
sahut Pengemis Binal.
"Sepertinya penduduk
kotapraja ini menakuti se-
suatu...," cetus Pendekar
Kipas Terbang.
"Kau benar!" tegas
Ingkanputri. Pengemis Binal
membelokkan langkahnya ke sebuah
toko yang sudah
tutup. "Emper toko itu bisa
kita gunakan untuk mele-
watkan malam...," katanya.
"Huh! Dasar pengemis! Kau
saja tidur di situ!"
sambut Dewi Baju Merah.
"Kau tak mau? Kita mau
bermalam di mana? Apa
kita mesti datang ke istana
sekarang? Kalau nasib
baik, kita bisa tidur di tilam
empuk dan merasakan
makanan yang enak-enak.
Putri..., Putri..., ada banyak
aturan untuk dapat menghadap
seorang raja."
"Aku tahu!" seru
Ingkanputri, ketus.
"Kalau tahu
kenapa...."
"Ya..., ya, baiklah. Aku
menuruti ajakanmu. Tapi
aku tak mau tidur!"
"Terserah!"
Dengan langkah berat akhirnya Ingkanputri
ber-
sedia juga mengikuti Suropati.
Pendekar Kipas Terbang
menggeleng-gelengkan kepalanya
sebelum turut men-
gekor langkah Suropati. Heran
dia melihat Ingkanputri
dan Suropati yang selalu
bertengkar.
***
Puluhan sosok bayangan hitam
berkelebat me-
masuki kotapraja. Gerakan mereka
laksana terbang.
Karena hampir tak dapat diikuti
pandangan mata.
"Maruta...," bisik
Ingkanputri. Mata tajamnya da-
pat menangkap kelebatan bayangan
hitam.
"Ya," sahut Raka Maruta
yang duduk bertopang
dagu di sisi kiri Ingkanputri.
"Kau lihat itu!"
"Ya. Aku melihat kelebatan
tubuh orang-orang
berkepandaian tinggi."
"Aku curiga merekalah yang
menjadi momok me-
nakutkan bagi penduduk kotapraja
ini," ujar Ingkan-
putri mengajukan dugaan.
"Agaknya memang
begitu," Raka Maruta membe-
narkan.
Pendekar Kipas Terbang lalu
membangunkan
Pengemis Binal yang sedang tidur
melingkar di bela-
kangnya.
"Suro! Suro!" seru
Raka Maruta sambil menepuk-
nepuk pantat Suropati. Tapi,
hanya suara dengkur
yang menyahuti.
Melihat usaha Raka Maruta
sia-sia, Ingkanputri
segera saja memencet hidung
Suropati. Remaja konyol
itu pun bangun dari tidurnya
karena tersedak.
"Uh! Ada apa? Kenapa kalian
membuyarkan im-
pianku?" ujar Pengemis
Binal sambil mengucak-ucak
matanya.
"Aku melihat puluhan
bayangan hitam berkelebat
dari kelokan jalan itu...,"
tutur Dewi Baju Merah. Tan-
gannya menuding ke satu arah.
"Ah, biarkan saja! Apa
urusannya dengan kita?"
Di ujung bicaranya, Suropati
menjatuhkan tu-
buhnya kembali, lalu memejamkan
mata rapat-rapat.
"Suro! Suro! Ingkanputri
tidak main-main! Aku
juga melihatnya!" seru
Pendekar Kipas Terbang, keras-
keras.
"Eh?! Jangan-jangan mereka
akan membuat onar
di istana...," Suropati
meloncat bangun seperti dihan-
tam keterkejutan. "Mereka
menuju ke mana?" ta-
nyanya dengan wajah celingukan.
Ingkanputri menuding ke arah
yang ditunjuknya
tadi.
"Kita kejar mereka!"
ajak Pengemis Binal.
Kaki Suropati membuat loncatan
jauh. Remaja
konyol itu berlari cepat
mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuh. Ingkanputri dan Raka
Maruta berkelebat
tak kalah cepatnya mengejar
sosok Suropati.
Puluhan bayangan hitam itu
menyebar. Yang me-
reka tuju adalah istana. Hanya
dalam beberapa keja-
pan mata saja, sepuluh orang
penjaga pintu gerbang
berhasil dilumpuhkan. Mereka
mati tanpa tahu apa
yang telah terjadi. Lempengan
besi berbentuk bintang
menancap di dahi.
Terdengar suara gaduh ketika
tubuh mereka ber-
jatuhan. Namun puluhan bayangan
hitam telah meng-
hilang dari pandangan. Sehingga,
belasan prajurit yang
muncul dari dalam istana tak
tahu siapa yang telah
melakukan pembunuhan itu.
Sewaktu belasan prajurit itu
berpencaran, ter-
dengar benturan senjata tajam
saling beradu yang da-
tang dari samping kanan istana.
Tak lama kemudian
suara serupa juga muncul dari
samping istana sebelah
kiri.
"Kita panggil Tuan
Subandira!" cetus salah seo-
rang prajurit. Tapi, gagasan
orang ini sudah terlambat.
Orang yang dimaksud telah muncul
dengan pedang di
tangan. Di belakangnya
berlari-lari belasan prajurit
lain.
Sekali loncat saja I Halu
Rakryan Subandira telah
berada di dekat ajang
pertempuran di samping kanan
istana. Ternyata, di situ telah
berdiri Senopati Guntur
Selaksa dengan pedang terhunus.
Beberapa lama kedua tokoh
kerajaan itu cuma
dapat berdiri terpaku. Mereka
tak tahu apa yang harus
diperbuat. Puluhan orang
berkerudung hitam terlihat
saling serang satu sama lain
dengan pedang panjang di
tangan.
"Kenapa orang-orang
berkerudung itu saling
gempur di tempat ini?"
tanya Senopati Guntur Selaksa
tak mengerti.
"Entahlah...," sahut I
Halu Rakryan Subandira.
"Yang jelas, salah satu
pihak adalah para pengacau."
Selagi I Halu Rakryan Subandira
dan Senopati
Guntur Selaksa kebingungan,
mendadak terdengar su-
ara bisikan di telinga mereka.
"Orang-orang berkerudung
yang memakai ikat
pinggang putih adalah pelindung
Baginda Prabu."
I Halu Rakryan Subandira dan
Senopati Guntur
Selaksa terkejut. Kepala mereka
menoleh ke kiri-
kanan. Mereka mencari sumber
suara bisikan yang
terdengar tadi, tapi tak mereka
temukan si pemilik bi-
sikan.
"Cepat bantu orang-orang
berikat pinggang pu-
tih!"
Suara bisikan itu terdengar lagi.
Jelas bernada
memerintah. I Halu Rakryan
Subandira dan Senopati
Guntur Selaksa mengalihkan
pandangan ke ajang per-
tempuran. Terlihat di sana yang
terlibat pertempuran
memang sama-sama berpakaian
hitam dan berkeru-
dung hitam pula, tapi bisa
dibedakan dari ikat ping-
gang yang mereka kenakan.
Sebagian memakai ikat pinggang
putih, dan se-
bagian lagi berikat pinggang
merah.
"Kita gempur yang berikat
pinggang merah, Gun-
tur. Mereka para pengacau!"
seru I Halu Rakryan Sub-
andira. Tubuhnya dihemposkan
ketika sudah dekat
lawan, pedangnya membabat tiga
kali.
Trang! Trang! Trang!
Serangan cepat I Halu Rakryan
Subandira dapat
ditangkis orang berikat pinggang
merah yang menjadi
sasaran. Begitu kaki I Halu
Rakryan Subandira menje-
jak tanah, kepala pengawal
istana itu langsung dike-
royok beramai-ramai.
"Bantu aku, Guntur!"
pinta I Halu Rakryan Sub-
andira.
Mendengar teriakan itu tanpa
ragu lagi Senopati
Guntur Selaksa menerjang para
pengeroyok I Halu Ra-
kryan Subandira. Dibabatkannya
pedang ke arah la-
wan beberapa kali. Tapi, lawan
begitu tangguh, per-
tempuran sengit pun langsung
terjadi.
Sementara itu di samping kiri
istana, Patih Sanca
Singapasa berdiri tegak dengan
keris terhunus. Di be-
lakangnya belasan prajurit berkumpul.
Mereka hanya
menyaksikan pertempuran dengan
pandangan heran.
Orang-orang berkerudung hitam
terlihat saling serang.
"Gempur yang berikat
pinggang merah!"
Terdengar sebuah seruan yang
dibarengi dengan
kelebatan sosok hitam bertubuh
ramping dari atap is-
tana. Bayangan itu langsung
melibatkan diri dalam
kancah pertempuran. Dia
menggempur orang-orang
berkerudung yang memakai ikat
pinggang merah.
"Orang-orang ini hendak
mengacau istana!" teriak
orang bertubuh ramping sambil
membabatkan pe-
dangnya.
Mendengar teriakan itu, Patih
Sanca Singapasa
langsung saja memerintahkan para
prajurit di bela-
kangnya untuk menggempur puluhan
orang berkeru-
dung berikat pinggang merah.
Walau masih sedikit ra-
gu, akhirnya Patih Sanca
Singapasa sendiri turut me-
nerjang. Gerakannya lincah
meskipun luka di bahu
kanannya belum sembuh benar.
Kini, pertempuran di samping
kanan dan kiri is-
tana berlangsung seru. Dengan
dibantu para prajurit,
sekitar dua puluh orang
berkerudung berikat pinggang
putih berusaha menghalangi lawan
yang ingin masuk
istana. Sementara orang-orang
berikat pinggang merah
memberi perlawanan sengit.
Pedang panjang mereka
berkelebat ganas, penuh nafsu
membunuh.
***
Dari atas tembok gerbang istana,
orang berkeru-
dung hitam yang di pinggangnya
terselip sebilah keris
ini menyaksikan pertempuran yang
sedang berlang-
sung.
"Ninja gadungan
keparat!" geram orang itu. "Aku
tak menduga ternyata mereka
berjumlah banyak. Tapi,
apa artinya jumlah mereka bila
aku dapat mele-
nyapkan sapi tua Singgalang
Manjunjung Langit!" ka-
tanya kemudian.
Sigap sekali orang ini melompat
ke bawah, lalu
berlari menuju pintu bangunan
istana. Sekali pukul,
pintu istana yang terbuat dari
kayu jati tebal hancur
berantakan.
"Tampakkan dirimu, Raja
Tua!" teriak orang itu
seraya berkelebat masuk
istana.
Orang berkerudung bertubuh
ramping meloncat
keluar dari ajang pertempuran.
Rupanya dia melihat
kelebatan sosok tubuh.
"Hadapi aku, Keparat!"
seru orang bertubuh
ramping. Dikejarnya si perusuh
yang memasuki istana.
***
6
Ketika Suropati, Raka Maruta,
dan Ingkanputri
tiba di pintu gerbang istana,
korban pertempuran su-
dah berjatuhan. Malam
terobek-robek suara dentingan
pedang dan teriakan. Jerit
kematian pun menyeruak di
sela-sela suara gaduh itu.
"Kau bantu para prajurit
yang bertempur di
samping kiri istana, Maruta. Dan
kau ambil yang sebe-
lah kanan, Putri...," ujar
Pengemis Binal.
"Kau sendiri?" tanya
Ingkanputri
"Kau lihat pintu istana
yang jebol itu? Tentu ada
sebagian perusuh yang masuk. Aku
akan menghalangi
perbuatan jahat mereka."
Tanpa menunggu persetujuan lagi,
Pengemis Bi-
nal segera berkelebat masuk
istana. Raka Maruta
langsung mencabut kipas baja
putihnya untuk mem-
bantu Patih Sanca Singapasa.
Ingkanputri pun melon-
cat secepat kilat ke samping
kanan istana.
I Halu Rakryan Subandira dan
Senopati Guntur
Selaksa terkejut melihat
kehadiran gadis cantik itu.
Namun ketika melihat yang
digempur Ingkanputri ada-
lah orang-orang berkerudung yang
memakai ikat ping-
gang merah, kedua perwira istana
itu bersorak girang
dalam hati.
Suropati yang telah memasuki
wilayah istana
tampak berlari-lari menyusuri
lorong-lorong yang ba-
nyak terdapat di dalam istana.
"Hmm.... Aneh, kenapa di
dalam istana begitu
sunyi? Tak terdengar sedikit pun
suara pertempuran.
Apakah belum ada perusuh yang
masuk ke sini? Ah,
aku yakin pasti ada. Pintu
istana yang jebol telah
membuktikannya."
Pengemis Binal terus
melangkahkan kakinya.
Semakin masuk ke dalam, sunyi
makin terasa. Seper-
tinya di dalam istana sudah tak
ada lagi kehidupan.
Saat melewati ruangan berjajar
yang dapat dipastikan
oleh Suropati sebagai kamar
dayang-dayang, sunyi te-
tap menyelimuti. Hanya suara
pertempuran dari arah
luar yang terus terdengar.
"Aneh...," gumam
Pengemis Binal. "Agaknya para
penghuni istana telah
mengungsi."
Tiba-tiba, dari arah lorong kiri
tempat Suropati
berdiri terdengar suara denting
senjata beradu. Cepat
sekali Pengemis Binal melesat
dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuh. Ternyata
suara denting sen-
jata beradu itu berasal dari
taman kaputren.
Dua orang yang sama-sama memakai
kerudung
hitam terlihat saling teriak.
Yang seorang bersenjata
pedang, sedang yang lain
menggunakan keris. Suropati
terperangah melihat keris di
tangan orang berikat
pinggang merah. Keris itu
memancarkan cahaya merah
muda dan menebarkan hawa panas
hingga belasan
tombak jauhnya.
"Binatang culas! Dapat
mencuri Keris Sengkelit
Bayu Geni, jangan kira juga
dapat menggulingkan
takhta Pasir Luhur!" hardik
orang berkerudung yang
bersenjata pedang.
Dari jarak sekitar tujuh tombak,
Suropati dapat
memastikan kalau orang itu
adalah orang yang pernah
ditolongnya malam kemarin.
Dilihat dari potongan tu-
buhnya yang ramping.
"Benar kata Ingkanputri.
Dada orang itu meng-
gembung. Agaknya dia memang
seorang wanita...," pi-
kir Suropati. "Mendengar dari kata-katanya barusan,
dia tentu salah seorang pengawal
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit."
Timbul keinginan dalam hati
Suropati untuk me-
nolongnya kembali. Tapi belum
juga niat itu dilaksa-
nakan, lawan orang bertubuh
ramping terdengar
menggeram keras. Orang itu
melontarkan lempengan-
lempengan besi berbentuk
bintang. Bukan hanya
orang bersenjata pedang yang
menjadi sasaran, tapi
juga Pengemis Binal. Rupanya,
kehadiran Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini telah diketa-
hui.
Swik! Swik! Swik!
Tidak kurang dari lima buah
senjata gelap me-
luncur deras ke arah Pengemis
Binal. Sambil men-
gumpat kecil, cepat remaja
tampan berpakaian putih
penuh tambalan ini memutar
tongkat bututnya. Tanpa
mengalami kesulitan yang berarti
dia dapat menepis
bahaya yang mengancam dirinya.
"Bantu aku melenyapkan
perusuh istana ini, Su-
ro!"
Pengemis Binal terkesiap
mendengar bisikan itu.
Diarahkan pandangannya pada
orang berkerudung
yang bersenjatakan pedang. Orang
itu memberi isyarat
dengan lambaian tangan kiri.
Sementara, tangan ka-
nannya bersiap-siap hendak
membabatkan pedangnya
ke arah lawan.
Suropati sejenak memperhatikan
jalannya perta-
rungan. Keris di tangan orang
berkerudung yang beri-
kat pinggang merah berkelebatan.
Cahaya merah mu-
da memberkas ke sana-sini. Suara
yang ditimbulkan-
nya pun terdengar bergemuruh,
sungguh mengiriskan!
Suropati segera menyadari kalau
keris itu adalah
senjata mustika. Senjata itu
tidak boleh digunakan ter-
lalu lama, karena akan merusak
istana. Berkas sinar
merah mudanya saja sanggup
meledakkan batu-batu
hiasan di taman kaputren. Belum
nanti bila sasaran
senjata itu melenceng. Suropati
langsung saja melon-
cat dengan tongkat meluruk
cepat, berlambarkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'.
Setelah lewat dua jurus,
Pengemis Binal semakin
yakin. Orang bersenjata pedang
memang benar-benar
berada di pihak kerajaan. Maka,
tak segan-segan lagi
dia mengeluarkan jurus rangkaian
'Tongkat Sakti'.
***
Dengan datangnya bantuan dari
Pendekar Kipas
Terbang dan Dewi Baju Merah,
orang-orang pihak ke-
rajaan berhasil membuat lawan
kewalahan. Korban
banyak berjatuhan. Namun, yang
kebanyakan terkapar
di tanah adalah orang
berkerudung yang berikat ping-
gang merah.
"Terus gempur! Jangan
biarkan mereka lolos!" se-
ru Patih Sanca Singapasa dengan penuh
semangat
Para prajurit semakin naik saja
semangatnya.
Tusukan tombak dan babatan
pedang di tangan mere-
ka bertambah kerap dilakukan.
Senjata gelap lawan
pun dapat mereka rontokkan ke
tanah. Para prajurit
yang sedang bertempur itu memang
para pengawal is-
tana yang sangat terlatih.
Bantuan yang diberikan Ra-
ka Maruta menambah peluang
mereka untuk menang.
Kipas baja putih di tangannya
berkelebatan sangat ce-
pat. Sudah beberapa nyawa lawan
melayang disambar
senjata ampuh itu.
Pertempuran di samping kiri
istana juga tak jauh
berbeda. I Halu Rakryan
Subandira, Senopati Guntur
Selaksa, dan Dewi Baju Merah
bersama belasan praju-
rit istana dapat mendesak hebat
para perusuh. Pedang
orang-orang berkerudung yang
berikat pinggang putih
pun telah bersimbah darah.
Agaknya, pertempuran tak akan
berlangsung le-
bih lama. Jumlah orang
berkerudung yang berikat
pinggang merah berkurang terus.
Itu berarti gempuran
yang mereka lakukan semakin
kendur. Padahal pihak
lawan bertambah gencar menerjang
mereka.
***
Beberapa kali tongkat Pengemis
Binal berhasil
mengenai sasaran. Pedang di
tangan orang bertubuh
ramping pun telah membuat luka
lebar di punggung
kiri orang bersenjata keris.
Tapi, orang itu terus saja
memberikan perlawanan. Tak juga
ciut nyalinya.
Karena, dia tak perlu
membuang-buang tenaga
dengan menusukkan keris ke tubuh
lawan. Hanya
dengan goresan kecil saja, lawan
akan terkapar tanpa
nyawa. Kesaktian keris itulah
yang menjadi harapan
orang berkerudung berikat
pinggang merah ini.
"Menyerahlah, Keparat!
Mungkin pengadilan is-
tana mau menjatuhkan hukuman
lebih ringan!" ujar
orang berkerudung yang bertubuh
ramping.
"Aku ingin melihat tubuhmu
lumat lebih dulu!
Makanlah ini!" balas orang
bersenjata keris. Cepat se-
kali Keris Sengkelit Bayu Geni
meluncur lurus ke de-
pan.
Wuusss...!
Selarik cahaya merah muda
melesat cepat. Orang
bertubuh ramping meloncat tinggi
ke udara. Selarik
cahaya merah yang melesat dari
ujung Keris Sengkelit
Bayu Geni pun menghantam patung
penghias kolam
hingga hancur berkeping-keping!
Melihat serangannya gagal, orang
bersenjata ke-
ris menggeram keras. Disorongkan
lagi keris di tan-
gannya. Tapi, tongkat butut
Pengemis Binal berhasil
memukul siku lengan kanannya.
Diiringi teriak kesaki-
tan, Keris Sengkelit Bayu Geni
jatuh ke tanah. Sekejap
mata kemudian, pedang orang
bertubuh ramping
membabat cepat dari arah kiri.
Orang yang menjadi
sasaran masih sempat melempar
tubuhnya ke bela-
kang. Namun, tak urung sebagian
daging pinggangnya
koyak. Ikat pinggang merahnya
terputus. Warangka
keris yang terselip di situ pun
luruh ke tanah.
Melalui cahaya temaram lampu
taman, Pengemis
Binal menyaksikan tangan lawan
yang bergerak aneh.
Diputar-putar di depan wajah seperti
sedang mengusir
sesuatu yang menakutkan. Luka di
beberapa bagian
tubuhnya tampak tak dihiraukan.
Sewaktu orang ber-
tubuh ramping mengambil Keris
Sengkelit Bayu Geni,
Pengemis Binal meloncat ke
depan. Ditotoknya dada
kiri orang berkerudung yang tadi
menjadi lawannya.
Bruk!
Ujung tongkat Pengemis Binal
menyentuh sasa-
ran. Tubuh orang berkerudung pun
jatuh ke tanah ba-
gai sehelai karung basah. Tapi
dia masih sempat me-
lancarkan satu tendangan kaki
kanan pada dada Su-
ropati. Suropati merasakan
tubuhnya begitu ringan
karena terlontar sangat cepat.
Lontaran itu baru ber-
henti ketika punggung Suropati
membentur sebatang
pohon besar. Tongkat bututnya
terlepas dari pegangan.
Orang bertubuh ramping yang kini
memegang
Keris Sengkelit Bayu Geni
kelihatan terkejut. Dipan-
danginya orang berkerudung yang
menjadi pemimpin
penyerbuan. Lalu, pandangannya
berpaling pada tu-
buh Pengemis Binal yang
menggelosoh di tanah den-
gan keluh kesakitan keluar dari
mulutnya.
"Kau tak apa-apa,
Suro?" tanya orang bertubuh
ramping, khawatir. Kakinya
melangkah menghampiri.
"Tak apa-apa bagaimana?!
Punggungku sakit se-
kali! Paling tidak, aku
membutuhkan sepuluh tukang
urut untuk
menyembuhkannya!" kata Suropati. Dalam
keadaan begitu rupa, masih
sempat-sempatnya dia
bergurau. "Eh..., kau tahu
namaku?! Siapa kau?"
tanya remaja konyol ini
kemudian.
Orang bertubuh ramping tampak
tak peduli. Di-
ambilnya warangka Keris
Sengkelit Bayu Geni yang
tergeletak tak jauh darinya.
Pengemis Binal merengut, walau
rasa sakit di
punggungnya sudah berangsur
lenyap.
"Eh, aku tanya siapa kau?
Kalau tak mau men-
jawab, kujitak kepalamu!"
ancam Suropati.
Tanpa menjawab, orang bertubuh
ramping me-
nanggalkan kerudung hitamnya
setelah menyelipkan
Keris Sengkelit Bayu Geni yang
sudah berwarangka ke
ikat pinggang. Terlihatlah
seraut wajah cantik jelita.
Rambutnya hitam pekat sebahu.
Bibirnya yang merah
basah tampak tersenyum pada
Suropati.
"Anggraini Sulistya!"
seru Pengemis Binal seraya
meloncat bangkit.
"Ya. Aku kakakmu,
Suro," sahut gadis berparas
cantik itu. "Ambil
tongkatmu. Pertempuran di luar be-
lum usai."
"Uts! Tenanglah! Raka
Maruta dan seorang gadis
sahabatku berada di sana. Para
perusuh itu tentu da-
pat ditaklukkan."
"Raka Maruta?" desis
Anggraini Sulistya atau Pu-
tri Cahaya Sakti.
"Ya. Kenapa?"
"Ah, tak apa-apa...,"
Anggraini Sulistya berusaha
menutupi perasaannya. "Kau
harus berada di sini un-
tuk beberapa lama, Suro. Kau
harus membantu men-
gatasi kemelut kerajaan."
"Ya..., ya! Tapi, bukankah
para perusuh itu se-
bentar lagi akan dapat
dilumpuhkan?" kata Suropati,
yang tampaknya begitu yakin akan
kemampuan te-
man-temannya.
"Itu cuma sebagian. Di
kotapraja dan daerah se-
kitarnya banyak bercokol
orang-orang tak dikenal. Me-
reka adalah pasukan perang yang
menyamar sebagai
penduduk biasa. Pada saatnya
nanti mereka akan
menggempur istana!"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya yang su-
dah gatal. Ini adalah kebiasaan
buruk Pengemis Binal.
"Orang berkerudung ini
merupakan pemimpin
pemberontakan," lanjut
Anggraini Sulistya. "Sebentar
lagi kita akan tahu siapa
sebenarnya orang misterius
tersebut. Kita akan membuka
kerudungnya, Suro."
Anggraini Sulistya kemudian
berjalan mengham-
piri orang berkerudung hitam
yang tergolek tak ber-
daya di tanah. Perlahan sekali
Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu membuka
kerudung orang ter-
sebut. Dan..., tampaklah siapa
si pengkhianat kerajaan
itu. Orang yang berkeinginan
bertindak makar terha-
dap pemerintah Baginda Prabu.
Hampir tak percaya Anggraini
Sulistya menatap
wajah tersebut. Dia mengenal
benar lelaki ini. Dialah
Tumenggung Sangga Percona, ayah
dari Saka Purdian-
ta.
Wajah tumenggung yang berkhianat
itu terlihat
pucat pasi. Kini kedoknya sudah
terbuka. Tetapi tam-
paknya dia tak mau di penjara
seorang diri. Ayah Saka
Purdianta itu kemudian membuka
semua rahasia ten-
tang pemberontakan yang
dilakukannya.
"I Halu Rakryan
Subandira?!" Anggraini Sulistya
mengucapkan kata-kata itu dengan
penuh tak percaya.
Tapi, akhirnya dia dapat
memakluminya juga.
Memang dia mencurigai para
pejabat istana. Akhirnya
kecurigaannya itu terbukti.
Ternyata orang-orang pent-
ing dalam istana itu sendiri
yang menjadi musuh da-
lam selimut.
"Yang kuselamatkan kemarin
malam itu apakah
kau?" tanya Pengemis Binal,
teringat peristiwa penge-
royokan di tepi sungai.
"Ya. Sengaja aku tak
menegurmu atau memperli-
hatkan diri. Aku tak mau diriku
dikenal para pembe-
rontak yang kemungkinan besar
waktu itu masih be-
rada di sekitar tempat kita.
Kalau mereka tahu aku be-
rada di sini, tentu mereka akan
dapat memperhitung-
kan kekuatan pihak istana. Ini
berbahaya sekali."
"Lalu, orang-orang
berkerudung yang memakai
ikat pinggang putih itu?"
tanya Suropati. Matanya me-
lirik pada ikat pinggang yang
dikenakan Anggraini Su-
listya.
"Mereka adalah Pasukan
Hitam yang baru saja
kubentuk. Mereka murid-murid
Perguruan Pedang
Sakti. Karena, para pejabat
istana yang membawahi
prajurit sudah tak dapat
dipercaya lagi. Oleh sebab itu
Ayahanda Prabu meminta bantuan
Ki Banyak Sung-
sang, Ketua Perguruan Pedang
Sakti. Dia mengirimkan
dua puluh muridnya yang termasuk
dalam jajaran mu-
rid utama."
"Prabu Singgalang
Manjunjung Langit sendiri be-
rada di mana?" Pengemis
Binal terus mencecar dengan
pertanyaan. Karena terbawa rasa
ingin tahunya.
"Penyerbuan orang-orang
berkerudung kemarin
malam hampir saja menewaskan
Ayahanda Prabu.
Pemimpin mereka, yang berhasil
kita usir tadi, berhasil
membunuh seorang prajurit yang
hendak mengaman-
kan Ayahanda Prabu. Untunglah
pemimpin pemberon-
tak itu tidak berhasil
melaksanakan niatnya, karena
aku dapat menggagalkannya.
Dengan memakai pa-
kaian seperti ini aku dapat
mengecoh para pemberon-
tak itu. Dikiranya aku pemimpin
mereka. Mereka sem-
pat memanggilku dengan sebutan
'Tuan Adipati'. Dari
situ timbul keyakinan pada
diriku kalau pemimpin
orang-orang berkerudung adalah
seorang adipati. Tapi
siapa, aku belum dapat
memastikannya. Yang jelas dia
seorang bawahan Ayahanda
Prabu," Anggraini Sulistya
menjelaskan panjang lebar
tentang apa yang diketa-
huinya.
"Saat penyamaranmu
ketahuan, apakah ketika
kau sedang bertempur kemarin
malam itu?"
"Ya. Kau datang tepat pada
saat aku sedang
membutuhkan pertolongan."
"Sebentar..., kau lupa
menjawab pertanyaanku
tentang di mana Prabu Singgalang
Manjunjung Langit
sekarang."
"Aku membawa Ayahanda Prabu
ke ruang raha-
sia setelah usaha pembunuhan
kemarin gagal. Tapi,
saat ini seluruh pejabat istana
menduga Ayahanda
Prabu berhasil diculik
orang-orang berkerudung. Ini
adalah siasatku untuk membuka
kelicikan mereka.
Ternyata, setelah itu mereka tak
banyak mengambil
tindakan. Tambahlah keyakinanku
kalau para pejabat
istana memang sudah tak dapat
lagi dipercaya."
"Gawat!"
"Istana ini pun jadi sepi.
Para dayang bersem-
bunyi di ruang bawah tanah.
Mereka takut adanya pe-
nyerbuan mendadak seperti yang
sekarang terjadi."
"Pantas! Ketika aku masuk,
istana terasa sunyi."
Pengemis Binal mengangguk. Lalu
menggaruk-
garuk kepalanya, melakukan
kebiasaan buruknya.
"Belum hilang juga
kebiasaanmu itu, Suro!" tegur
Anggraini Sulistya.
Pengemis Binal tetap saja
mengaruk-garuk kepa-
la.
"Aku akan membawamu
menghadap Ayahanda
Prabu dan Ibunda Sekar Tunjung
Biru," ujar Anggraini
Sulistya kemudian.
"Sekarang?" tanya
Suropati.
"Setelah kita dapat
memastikan kalau para pem-
berontak di luar sana dapat
ditaklukkan."
Tanpa berkata-kata lagi,
kemudian dia berkelebat
keluar taman kaputren. Pengemis
Binal segera men-
gambil tongkat bututnya yang
tergeletak di tanah. Dis-
usulnya lesatan tubuh Anggraini
Sulistya. Tumeng-
gung Sangga Percona dibiarkan
tetap tergolek di tanah.
Dia tak akan lari karena
tubuhnya telah tertotok.
***
Pertempuran di samping kiri
istana telah berhen-
ti. I Halu Rakryan Subandira,
Senopati Guntur Selak-
sa, dan Ingkanputri segera
membantu Patih Sanca
Singapasa dan para prajuritnya.
Mereka masih ber-
tempur di samping kanan istana.
Karena datangnya
bala bantuan tersebut, sebentar
saja para pemberon-
tak pun dapat ditumpas habis.
Bersamaan dengan da-
tangnya Suropati dan Anggraini
Sulistya, orang-orang
berkerudung yang disebut
Anggraini Sulistya sebagai
Pasukan Hitam, langsung
berkelebat pergi meninggal-
kan istana.
Anggraini Sulistya segera
memerintah Patih San-
ca Singapasa dan Senopati Guntur
Selaksa untuk me-
nangkap I Halu Rakryan
Subandira. Pada mulanya ke-
dua pejabat istana tersebut
tampak kebingungan dan
enggan melaksanakan perintah
itu. Tapi setelah
Anggraini Sulistya menerangkan
secara singkat siapa
sebenarnya I Halu Rakryan
Subandira, mereka pun tak
ragu-ragu lagi menangkap
laki-laki itu.
I Halu Rakryan Subandira tak
dapat melakukan
perlawanan, karena Raka Maruta
dan Ingkanputri
langsung saja turun tangan
membantu untuk mering-
kusnya.
Anggraini Sulistya segera
mengajak Suropati ber-
lalu dari tempat itu. Raka
Maruta dan Ingkanputri tu-
rut serta. Mereka akan menemui
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit dan Permaisuri
Sekar Tunjung Biru
yang berada di tempat
persembunyian mereka.
SELESAI
Emoticon