4
Walau hampir semua mata menatap
tajam ke
arahnya, tapi sikap gadis ini
tenang-tenang saja. Bebe-
rapa lelaki yang mencoba menarik
perhatiannya den-
gan berbicara keras sama sekali
tak dihiraukan. Gadis
itu terus menyantap pesanannya
tanpa menghiraukan
suasana di sekelilingnya.
Wajar saja bila hampir seluruh
pengunjung kedai
menaruh perhatian terhadap gadis
ini. Selain cantik,
tubuhnya pun terlihat padat
berisi. Pakaiannya yang
merah mencolok amat bagus
dilihat. Kulitnya putih
mulus. Rambut gadis ini diikat
ke atas dengan sehelai
kain kuning, hingga anak-anak
rambutnya yang tersi-
bak memperlihatkan sebagian
leher belakangnya yang
jenjang indah. Saat gadis ini
menggerakkan kepala,
anting-antingnya bergoyang,
kilauan permata itu se-
makin menarik perhatian orang.
"Pak Tua...," panggil
si gadis cantik kepada pe-
layan yang baru saja
menghidangkan pesanan salah
seorang pengunjung kedai.
"Iya, Den...," jawab
pelayan itu menghampiri si
gadis.
"Teh manis
tambah."
"Iya, Den...."
Pelayan tua itu melangkah pergi
hendak menuju
dapur. Tapi, tiba-tiba terdengar
panggilan keras. "Pak
Tua!"
Pelayan tua itu menoleh ke arah
asal suara. Di
sudut ruangan tampak seorang
pemuda tampan ber-
pakaian coklat bergaris-garis
hitam melambaikan tan-
gannya. Segera pelayan tua ini
menghampiri.
"Ada apa, Den?"
"Mendekatlah kemari,"
pinta pemuda tampan itu.
Pelayan tua melangkah lebih
dekat. Si pemuda
mendekatkan wajahnya ke telinga
si pelayan. Entah
apa yang dibisikkan. Si pelayan
tampak manggut-
manggut sedang tangannya
menggenggam kencang ba-
rang pemberian pemuda tampan.
Tak lama kemudian, pelayan tua
itu datang
membawakan teh manis. Pesanan si
gadis cantik.
"Dari Aden yang duduk di
sudut kiri itu," kata pe-
layan kedai kepada si gadis
seraya menyodorkan sehe-
lai kertas.
Gadis cantik itu hanya tersenyum
tipis. Tak dite-
rimanya kertas yang disodorkan
kepadanya. Alis pe-
layan tua bertaut. Kertas
pemberian pemuda tampan
diletakkan di sisi gelas yang
berisi teh manis. Lalu, bu-
ru-buru pelayan ini pergi ke
belakang.
Si gadis melirik. Dari sudut
matanya dia melihat
pemuda tampan itu tersenyum ke
arahnya. Senyum
itu terlihat ramah. Sinar
matanya pun tak menunjuk-
kan sikap kurang ajar. Hal ini
mengingatkan si gadis
pada.....
"Ah...," tiba-tiba
dara cantik ini mendesah. "Kalau
berjumpa, tak kulewatkan
kesempatan menjitak pe-
muda konyol itu." Sebersit
senyum manis mengem-
bang di bibirnya.
Dengan malas-malasan dara cantik
ini meraih
kertas di meja. Perlahan
tangannya membuka lipatan.
Beberapa kata tertulis amat rapi
di sana. Hanya orang
terpelajarlah yang dapat membuatnya.
Tulisan itu ber-
bunyi:
Nona sangat cantik
Dengan baju merah
Laksana Bunga Dewi
Yang terindah....
Saka Purdianta.
Mendadak wajah si gadis merona
merah. Buru-
buru dia menunduk, karena
beberapa lelaki yang me-
lihat perubahan raut wajahnya
semakin menatap ta-
jam.
Tak mau menjadi perhatian, dara
cantik ini sege-
ra bangkit dari duduknya. Teh
manis pesanannya sa-
ma sekali tak disentuh. Usai
membayar hidangan dia
lalu berjalan pergi dengan
langkah-langkah le-bar.
"Nona...! Nona...!"
Panggilan itu tak dihiraukan
oleh si gadis. Begitu
sampai di tepi jalan, dara
cantik ini menghemposkan
tubuh dan berlari cepat dengan
mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
Tapi sampai di pinggir kota,
pada sebuah kelokan
jalan sepi, dia menghentikan
lesatan tubuhnya. Gadis
itu tahu kalau dirinya sedang
diikuti seseorang.
"Apa perlumu?!" bentak
gadis cantik berbaju me-
rah ini kepada pemuda tampan
yang tiba-tiba telah
berdiri di hadapannya.
"Saya Saka Purdianta.
Orang-orang di Kerajaan
Pasir Luhur memberiku gelar si
Dewa Guntur. Saya
memang berasal dari sana. Saya
tahu Nona memiliki
kepandaian hebat. Senang rasanya
hati ini bila dapat
berkenalan dengan Nona,"
ucap si pemuda dengan ba-
dan sedikit dibungkukkan.
Mendengar kalimat yang cukup
sopan dan berke-
san menghormat itu, si gadis
merasa tak perlu lagi
memasang wajah angker.
"Namaku Ingkanputri,"
katanya lunak.
"Gelar Nona?"
Gadis yang bernama Ingkanputri
tampak berpi-
kir. Dia teringat pada surat
yang diterimanya dari si
pemuda.
"Kau bisa menyebutku dengan
'Dewi Baju Me-
rah'."
"Hmmm.... Nona memang
pantas sekali memakai
baju berwarna merah. Sangat
tepat bila bergelar Dewi
Baju Merah. Sesuai dengan
keadaan Nona, dan..."
Pemuda tampan yang mengaku
bergelar si Dewa
Guntur ini tak melanjutkan
kalimatnya. Telinganya
yang tajam tiba-tiba mendengar
suara jerit kesakitan
dari sebelah utara jalan.
"Tampaknya di sana sedang
berlangsung sebuah
pertempuran," kata Saka
Purdianta kemudian.
Ingkanputri yang juga mendengar
jerit kesakitan
itu tak menimpali perkataan si pemuda. Tubuhnya
langsung berkelebat pergi menuju
arah utara.
***
Di tepi sungai kecil, tak
seberapa jauh dari Kota
Kadipaten Bumiraksa, sebuah
pertempuran sengit ten-
gah berlangsung. Empat lelaki
kekar tampak sedang
dikeroyok oleh belasan lelaki
berpakaian penuh tamba-
lan yang memegang senjata
tongkat. Melihat jurus
yang dimainkan, belasan orang
ini tak lain dari anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti.
"Empat Begundal Dari Gua
Larangan! Tampak-
nya kalian memang iblis-iblis
laknat! Kalian patut di-
enyahkan dari muka bumi!"
hardik salah seorang pen-
gemis yang berambut riap-riapan.
Tongkat di tangan orang ini
berkelebat cepat. Ta-
pi, sambaran pedang anggota
Empat Begundal Dari
Gua Larangan yang bernama Gentho
lebih cepat lagi.
Crash...!
"Wuaaahhh...!"
Tubuh pengemis berambut
riap-riapan ini terhen-
ti mendadak. Kakinya
bergoyang-goyang. Lalu, tubuh
itu jatuh berdebum di tanah
dalam keadaan tanpa ke-
pala!
"Bangsat! Iblis
Keparat!" umpat pengemis yang
lain. Namun belum sempat dia
membalas kematian
temannya, terdengar suara siutan
nyaring.
Crash...!
"Ouuwww...!"
Orang ini pun tewas menyusul temannya
ke alam
baka. Pinggangnya terbabat putus
oleh pedang anak
buah Gentho yang bernama
Tunggul. Darah semakin
membanjir di ajang pertempuran.
Tubuh lima anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti bergeletakan di
tanah tanpa nyawa.
Empat Begundal Dari Gua Larangan memutar
pedang, menyebar kematian.
Mereka laksana Malaikat
Pencabut Nyawa yang haus darah!
Dalam waktu sing-
kat belasan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti yang mengeroyoknya tinggal
tiga Orang saja.
Tampaknya, orang-orang ini pun
tak akan dapat ber-
tahan lebih lama lagi.
"Monyet-monyet Buduk!
Hadapi Dewi Baju Me-
rah! Hiaaattt...!"
Teriakan ini terdengar
menggelegar, Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan
langsung terkesiap. Akibat-
nya, serangan mereka yang
ditujukan kepada tiga
orang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
terhenti seketika
Tak...! Takk...! Takkk...!
Dhes...!
Tongkat di tangan tiga lelaki
berpakaian penuh
tambalan tepat mengenai kepala
tiga orang lawannya.
Yang seorang lagi terhantam
pukulan bayangan merah
yang baru muncul. Kontan tubuh
Empat Begundal Da-
ri Gua Larangan ambruk ke tanah.
"Lenyap sudah empat perusuh
Kota Kadipaten
Bumiraksa," ujar
Ingkanputri yang menyebut dirinya
Dewi Baju Merah.
Tak diduga oleh gadis ini dan
ketiga anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti,
tubuh Tunggul,
Gangsar, dan Boma yang telah
diam terbaring di tanah
tiba-tiba saja bergerak-gerak.
Tangan mereka memun-
gut pedang yang tergeletak di
sisi tubuh. Tiga lelaki
kekar ini lalu bangkit berdiri
dengan kepala retak me-
lelehkan darah segar!
Gentho yang merupakan pemimpin
dari Empat
Begundal Dari Gua Larangan
menyusul bangkit den-
gan pedang di tangan. Dada
lelaki brewokan ini tam-
pak melesak ke dalam akibat
pukulan Dewi Baju Me-
rah.
Tentu saja Ingkanputri dan tiga
pengemis anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti terkejut bu-
kan main. Bila melihat luka
Empat Begundal Dari Gua
Larangan, mustahil orang-orang
ini dapat bertahan hi-
dup. Tapi, kenyataannya mereka
dapat berdiri tegak
dengan geram kemarahan yang
hebat. Apakah Empat
Begundal Dari Gua Larangan
memiliki nyawa rangkap?
Atau, mereka memiliki ilmu
kepandaian yang sudah
sedemikian tingginya, hingga
dapat bertahan hidup
walau telah menderita luka
parah?
Sebenarnya di dunia ini tidak
ada satu pun ma-
nusia yang mempunyai nyawa
rangkap. Demikian pula
halnya dengan Empat Begundal
Dari Gua Larangan.
Ilmu kepandaian mereka juga
tidak setinggi yang didu-
ga lawan-lawannya. Peristiwa di
rumah papanlah yang
membuat Empat Begundal Dari Gua
Larangan terlihat
sedemikian hebat. Sinar perak
yang terpancar dari ke-
dua mata nenek seram, yang
semula berwujud seorang
gadis cantik telah membuat Empat
Begundal Dari Gua
Larangan memiliki kemampuan luar
biasa.
"Kadal-Kadal Busuk! Walau
kalian memiliki ke-
saktian setinggi langit, hukuman
akan tetap dijatuh-
kan! Aku memiliki kuasa dari
Gusti Adipati!" pekik In-
gkanputri seraya meluruk maju.
Gerakan dara cantik ini segera
diikuti oleh tiga
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. In-
gkanputri melesat dengan jurus
'Memukul Bayangan'
hasil ajaran gurunya yang
bergelar Dewi Tangan Api.
Sedangkan ketiga pengemis
sama-sama memutar
tongkat memainkan jurus 'Tongkat
Memukul Anjing'.
Pertempuran sengit segera
berlangsung. Luka
yang diderita Empat Begundal
Dari Gua Larangan
tampaknya memang tak berpengaruh
apa-apa. Tubuh
mereka tetap dapat berkelebat
cepat. Pedangnya pun
menyambar-nyambar laksana empat
tangan Malaikat
Kematian yang siap menjemput
ajal.
Sementara itu, duduk di dahan
pohon yang cu-
kup tinggi Saka Purdianta
tenang-tenang saja menon-
ton pertempuran yang tengah
berlangsung. Beberapa
kali bibirnya menyunggingkan
senyum. Decak kagum
pun keluar dari mulutnya.
"Hmmm.... Ingkanputri tak
hanya berwajah can-
tik. Ilmu kepandaiannya juga
hebat. Dewa Guntur
memang beruntung dapat
berkenalan dengannya. Apa-
lagi kalau dia mau
jadi...."
Senyum di bibir Saka Purdianta
mengembang le-
bar. Pemuda tampan ini semakin
asyik menikmati ton-
tonan gratis yang sangat
menyenangkan hatinya itu.
Kekaguman Saka Purdianta
terlihat jelas di matanya,
tatkala Ingkanputri melambari
jurus 'Memukul Bayan-
gan'-nya dengan ilmu 'Pukulan
Api Neraka'. Tangan
Ingkanputri terlihat merah
membara dan menyebarkan
hawa panas.
"Makan ini!" pekik
Dewi Baju Merah seraya
menghantamkan pukulan ke kepala
Gentho.
Sayang, gerak tubuh lelaki
brewokan itu ternyata
mengandung tipuan-tipuan aneh.
Ingkanputri terpe-
rangah. Dia sangat yakin kepalan
tangan kanannya
benar-benar mengenai kepala
Gentho. Tapi, justru per-
gelangan tangannya sendiri yang
terasa ngilu. Karena
tak mau mendapat celaka, dara
cantik ini segera
menghemposkan tubuhnya ke atas
seraya mengi-
baskan kedua telapak tangan.
Wooosss...!
Angin pukulan berhawa sangat
panas menerpa
tubuh Gentho. Tak ada jerit
kesakitan keluar dari mu-
lut lelaki itu. Padahal, rambut
dan pakaian yang dike-
nakannya hangus terbakar!
"Akhhh...!"
Tiba-tiba saja lengking
mengerikan membahana
keras. Tapi, bukan berasal dari
mulut Gentho. Cepat
Dewi Baju Merah menolehkan
kepala. Tampak olehnya
seorang pengemis bertubuh tinggi
kurus mendekap
dadanya yang tertusuk pedang
lawan. Mata lelaki itu
mendelik menahan sakit. Dia
masih mencoba mengge-
rakkan tongkatnya tatkala sebuah
sambaran pedang
tertuju ke arahnya lagi.
Tesss...!
Tongkat di tangan pengemis ini
terbabat putus.
Tak ayal lagi, sambaran pedang
terus berkelebat cepat.
Sebentar kemudian, sebuah benda
bulat menggelind-
ing ke tanah. Disusul suara
gedebuk yang berasal dari
tubuh si pengemis yang ambruk
tanpa kepala!
"Keparat! Kalian
benar-benar Iblis Laknat!" geram
Dewi Baju Merah.
Tanpa digerakkan dengan tangan,
sehelai kain
kuning yang mengikat rambut dara
cantik ini terlepas
dengan sendirinya. Anak-anak
rambutnya kemudian
menyatu dan mengejang kaku.
"Heaaa...!"
Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur yang me-
nyaksikan pertempuran dari atas
pohon semakin ber-
tambah senang. Binar di matanya
terlihat jelas; akibat
rasa kagum yang terus memuncak.
Rambut Ingkanputri yang hitam
panjang dapat
bergerak demikian hebat. Selain
mampu meluncur ce-
pat dengan tusukan bagai tombak,
juga bisa menyam-
bar dengan ketajaman tak kalah
dari sebilah pedang.
Empat Begundal Dari Gua Larangan
kini merasakan
kehebatan ilmu 'Rambut Penyambar
Sukma' yang se-
dang diterapkan Ingkanputri.
Tapi, empat lelaki kekar
ini sama sekali tak terpengaruh.
Mereka semakin
memperhebat gempurannya. Pedang
keempatnya me-
nyambar-nyambar mengundang hawa
kematian.
Walau Ingkanputri yang senang
memakai gelar
Dewi Baju Merah ini telah
mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya, dia tetap tak
mampu menghentikan
keganasan Empat Begundal Dari
Gua Larangan. Apa-
lagi dara cantik ini harus
membantu dua anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang terdesak he-
bat.
Melihat hal demikian, Saka
Purdianta masih te-
tap duduk tenang-tenang di dahan
pohon. Sedikit pun
tak tergerak hatinya untuk
menolong. Pemuda tampan
ini memang menyimpan rasa tak
suka pada seluruh
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Hal itu
terbawa oleh rasa bencinya yang
mendalam terhadap
Suropati atau Pengemis Binal.
Benci bercampur lua-
pan rasa dendam! Baginya,
Suropati dan anak buah-
nya adalah orang-orang yang
layak dikubur secepat
mungkin.
"Argh...!"
Terlihat, tubuh Ingkanputri
terpelanting ke ka-
nan. Bahu kirinya terkena
tendangan Gentho, Pemim-
pin Empat Begundal Dari Gua
Larangan.
Belum sempat gadis ini berdiri
tegak, pedang
Gentho bersama Tunggul telah
mengirimkan tusukan
maut. Pedang Gentho mengarah ke
dada, sedang pe-
dang Tunggul tertuju ke
dahi.
Saka Purdianta yang hatinya
telah tercuri oleh
Ingkanputri jadi terkesiap.
Tentu saja dia tak mau me-
lihat dara cantik itu mati.
Tapi, ketika pemuda tampan
ini hendak menghemposkan
tubuhnya, se-sosok
bayangan berkelebat sangat cepat
menyambar tubuh
Dewi Baju Merah.
"Bangsat...!" umpat
Saka Purdianta dalam hati.
Sosok yang menyelamatkan
Ingkanputri adalah
Suropati atau Pengemis Binal,
musuh besarnya!
"Suro...," desis
Ingkanputri setelah tubuhnya di-
turunkan pemuda itu.
Tapi, rasa syukur dan terima
kasih yang terpan-
car dari tatap mata dara cantik
ini tak mendapat per-
hatian dari Pengemis Binal.
Begitu dapat menyela-
matkan jiwa Ingkanputri,
Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu langsung
menerjang Empat
Begundal Dari Gua Larangan.
"Kerbau-Kerbau Liar!
Rupanya kalian yang berju-
luk Empat Begundal Dari Gua
Larangan! Membunuh
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti sama
saja dengan menusuk jantung
murid si Periang Ber-
tangan Lembut!" ujar
Pengemis Binal sambil melancar-
kan serangan beruntun kepada
Gentho dan teman-
temannya.
Begitu cepat gerakan murid si
Periang Bertangan
Lembut ini. Tubuh Empat Begundal
Dari Gua Laran-
gan tahu-tahu telah terlempar
sejauh empat tombak.
Pedang mereka pun terlontar
lepas dari pegangan dan
melesat jauh entah ke mana.
Pada gebrakan pertama itu,
tendangan Suropati
bersarang di punggung Gentho dan
dada Tunggul. Ke-
palan tangan kanannya menghantam
kepala Gangsar.
Sementara siku pendekar muda ini
berhasil menyodok
dagu Boma. Jurus 'Pengemis
Menghiba Rembulan'
yang dilambari pengerahan tenaga
dalam tingkat tinggi
membuat Empat Begundal Dari Gua
Larangan tak
mampu berbuat apa-apa.
Tapi, Pengemis Binal agaknya
dihantam keterke-
jutan yang luar biasa. Mata
tokoh muda ini mendelik
dengan alis bertaut rapat.
Menurut perkiraannya, Em-
pat Begundal Dari Gua Larangan
tak mungkin dapat
bertahan dari kematian. Tapi,
kenyataan yang dihada-
pinya sungguh berbeda. Empat
lelaki kekar itu justru
menggeram hebat laksana harimau
berada pada pun-
cak kemarahannya. Begitu
bangkit, mereka langsung
menerjang melancarkan serangan
bertubi-tubi dengan
tubuh penuh luka.
Melihat pemimpinnya dikeroyok,
dua anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti segera memban-
tu. Tongkat di tangan mereka
meluruk cepat berlam-
barkan jurus 'Tongkat Mengejar
Kucing'. Ingkanputri
pun tak mau tinggal diam. Dara
jelita itu langsung
mengerahkan seluruh kekuatan
ilmu 'Pukulan Api Ne-
raka'-nya, sehingga ajang
pertempuran benar-benar
diselimuti hawa panas!
Tampaknya pertempuran itu akan
berlangsung
lama. Empat Begundal Dari Gua
Larangan seperti
mempunyai ilmu anti mati. Tentu
saja Suropati merasa
jengkel dan semakin dipanasi
hawa amarah. Namun
sebelum Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti ini melancarkan Ilmu
Totokan Delapan Belas Ta-
pak Dewa, tiba-tiba terdengar
suitan nyaring.
Kepala Empat Begundal Dari Gua Larangan
tam-
pak menggeleng-geleng. Begitu
terdengar suitan yang
kedua, empat lelaki kekar itu
langsung berkelebat me-
ninggalkan ajang pertempuran.
"Bangsat! Mau lari ke mana
kau?!" hardik Pen-
gemis Binal seraya berlari
mengejar. Ingkanputri dan
dua pengemis bertongkat juga
ikut mengejar.
Blaaarrr...!
Blaaarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat dua
kali membahana
di angkasa. Suropati,
Ingkanputri dan dua pengemis
bertongkat membentur kekuatan
kasatmata yang tiba-
tiba muncul di belakang Empat
Begundal Dari Gua La-
rangan. Kekuatan kasatmata itu
mampu melontarkan
tubuh Ingkanputri dan Suropati
beserta dua anak
buahnya sampai belasan tombak
jauhnya.
Malang bagi dua orang anak buah
Suropati. Begi-
tu jatuh berdebam di tanah,
tubuh para pengemis itu
langsung berkelojotan meregang
nyawa. Dari mulut,
lubang hidung, dan telinga
mereka meleleh darah kehi-
tam-hitaman.
Sedangkan tubuh Suropati
berputaran di udara
dan dapat mendarat dengan sigap.
Tapi, tak urung da-
da remaja berpakaian putih penuh
tambalan itu terasa
sesak. Keadaan Ingkanputri tak
jauh berbeda dengan
Suropati. Dia juga dapat
mendarat dengan sigap. Na-
mun, tanpa disadari, benda
persegi empat yang berada
di balik bajunya melesat jauh.
Dan, kebetulan menuju
ke arah Saka Purdianta yang
masih duduk di dahan
pohon.
"Hup...!"
Saka Purdianta berhasil
menangkap benda per-
segi empat yang melesat ke
arahnya. Sekejap kemu-
dian, pemuda tampan ini bersorak
girang dalam hati.
Bola matanya berkilat aneh. Benda
yang berada di
tangannya adalah sebuah
kitab. Pada kulit depannya
tertera tulisan: Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi.
"Hmmm... Melihat judulnya,
kitab ini tentu berisi
pelajaran ilmu kesaktian,"
batin Saka Purdianta. "Un-
tuk membuat perhitungan dengan Suropati
masih ba-
nyak waktu. Sebaliknya aku
segera pergi dari tempat
ini."
Berpikir demikian, Saka
Purdianta segera melen-
tingkan tubuh dan melesat pergi.
Sayang....
"Hai...!"
Pengemis Binal terpekik. Matanya
sempat melihat
kelebatan tubuh Saka Purdianta.
"Dewa Guntur Keparat!
Jangan lari!" hardik Su-
ropati bergegas mengejar. Namun,
bayangan Saka
Purdianta telah hilang. Tertelan
rimbunan pohon yang
tumbuh subur di tepi sungai.
***
Pedih rasa hati Suropati.
Melebihi sayatan selak-
sa pedang tajam! Pemandangan
yang terpampang di
hadapannya benar-benar
mengenaskan. Belasan ang-
gota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bergeletak-
kan di tanah tanpa nyawa. Mayat
mereka berserakan
begitu saja seperti bangkai
hewan.
"Empat Begundal Dari Gua
Larangan! Walau ka-
lian lari sampai ke ujung dunia,
Suropati akan tetap
mengejar!" geram Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu.
Tanpa mempedulikan Ingkanputri
yang terus
menatapnya, Pengemis Binal
mengedarkan pandan-
gan. Terlihat olehnya kilatan
benda tajam tertimpa si-
nar mentari. Pendekar muda ini
bergegas berkelebat
untuk memungutnya. Ternyata
benda tajam itu sebilah
pedang salah seorang dari Empat
Begundal Dari Gua
Larangan yang tertinggal. Dengan
mempergunakan pe-
dang itu Suropati membuat lubang
besar di tepi sun-
gai.
Matahari sudah hampir terbenam
tatkala Suro-
pati menyelesaikan pekerjaannya.
Mayat belasan anak
buahnya telah dikuburkan. Lubang
besar kembali ter-
tutup rata.
"Suro...!" panggil
Ingkanputri yang sedari tadi
cuma diam memperhatikan Pengemis
Binal.
Suropati menoleh. Tatapannya
terlihat kosong.
Tak seperti biasanya kalau
melihat gadis cantik
dia akan tersenyum senang dan
maunya nyosor saja.
Apa yang kali ini terlihat
sangat bertolak belakang
dengan kebiasaannya itu.
Suropati memang sedang
menyimpan kemarahan kepada Empat
Begundal Dari
Gua Larangan.
"Aku tidak melihat Suropati
sebagai sosok yang
pernah kukenal," gumam Dewi
Baju Merah kepada di-
rinya sendiri.
Suropati yang sejak lama
dikenalnya adalah si
periang yang sangat
menyenangkan, walau dalam kea-
daan bagaimanapun. Ingkanputri
tak habis pikir, ka-
lau hanya peristiwa pembunuhan
yang sudah lazim
terjadi di rimba persilatan,
kenapa meski membuat ha-
ti bersedih
pilu seperti itu? Apakah karena tuntutan
tanggung jawab Suropati sebagai
seorang pemimpin?
"Putri...," panggil
Suropati pelan.
"Suro..."
"Wajahmu kusut. Apa yang
sedang kau pikir-
kan?"
Mendengar pertanyaan itu, ingin
rasanya In-
gkanputri tertawa
sepuas-puasnya. Seharusnya ia
yang mengajukan pertanyaan
tersebut. Bukan Suropa-
ti.
"Wajahmu tambah kusut.
Bibirmu meringis aneh.
Ooo... aku tahu sekarang!"
cetus Suropati tiba-tiba.
Suaranya terdengar begitu riang.
"Kau ini berkata apa,
Suro?"
"Aku sangat yakin! Yakin
sekali!"
"Eh, kau mulai
ngelantur..." gerutu Ingkanputri
"Yang membuat aku jadi
sangat yakin adalah
pinggulmu yang bergoyang-goyang
itu. Bukankah
kau...."
"Apa?!" bentak Dewi
Baju Merah. Melihat Penge-
mis Binal yang tiba-tiba
tersenyum genit, gatal rasanya
tangannya untuk mendaratkan
tamparan ke pipi pe-
muda itu.
"Ayolah! Tunggu apa lagi?
Kita cari tempat yang
lebih aman," ajak Pengemis
Binal.
"Untuk apa?"
"Alah, jangan pura-pura!
Lelaki jompo atau ku-
nyuk bangkotan pun tahu apa yang
kau inginkan,"
ejek Suropati seraya mengedipkan
matanya.
Ingkanputri mendelik. Napasnya
tiba-tiba terse-
dak. Keadaan itu membuat dadanya
membusung ke
depan.
"Nah, benar kataku,
bukan?"
"Jangan main-main,
Suro!"
"Siapa yang main-main? Aku
benar-benar tahu
sekarang apa yang kau
inginkan... "
"Apa?!" bentak Dewi
Baju Merah dengan suara
lantang.
"Gadis-gadis memang suka
berbuat aneh. Selalu
menutupi perasaan yang
sebenarnya. Padahal,.. He he
he.... Padahal....."
Jemari tangan Ingkanputri
terkepal kuat-kuat.
Siap hendak menonjok mulut
Pengemis Binal yang
mulai kumat.
"Sssttt...!" Suropati
menegakkan telunjuk jari ka-
nannya di bibir.
"Mendekatlah kemari. Mumpung aku
juga lagi ingin..."
"Aku benar-benar tak tahu
apa yang kau kata-
kan, Suro!"
"Jangan pura-pura! Bukankah
kau ingin kupeluk
dan ku... "
Plak...!
Trak...!
"Aduh...!"
Hilang sudah kesabaran Dewi Baju
Merah. Tela-
pak tangan kanannya menampar
pipi Suropati, sedang
tangan kirinya menghadiahkan
jitakan. Tapi, Pengemis
Binal malah tertawa senang.
Sewaktu Ingkanputri
hendak memberi hadiah lagi yang
be-rupa tendangan,
tiba-tiba saja tubuhnya terasa
limbung. Dan sebelum
dara cantik ini menyadari apa
yang terjadi, telinganya
menangkap suara tawa terkekeh.
Lalu... kehangatan
yang melenakan menyentuh
bibirnya.
"Uh...! Ap... apaan ini?
Uh...!"
"He he he...," tawa
Pengemis Binal setelah melu-
mat bibir Dewi Baju Merah.
"Ah-uh, ah-uh apa?! Kau
tak suka? Jangan sok
alimlah!"
Suropati yang sudah benar-benar
kumat gen-
dengnya memeluk Ingkanputri
lebih erat. Mendapat
perlakuan kurang ajar itu, tentu
saja dara cantik ini
marah bukan main. Dia meronta
keras sambil menje-
rit-jerit. Tapi Pengemis Binal
malah meledakkan ta-
wanya.
"Lepaskan, Suro...!"
teriak Dewi Baju Merah sam-
bil memukuli punggung Suropati.
"He he he.... Pukulanmu
nikmat, Putri. Teruskan
saja."
"Bocah Gendeng!"
"Gendeng tapi tampan!"
jawab Suropati konyol.
"Kayak monyet kecebur
comberan!"
"Tapi kau suka!"
"Siapa bilang?!"
"Aku!"
Mendadak, Pengemis Binal
mendorong tubuh In-
gkanputri hingga jatuh
telentang. Lalu Suropati me-
nerkamnya. Tapi sebuah tamparan
mendarat di pipi.
"Aduh...!"
Tamparan keras Dewi Baju Merah
kali ini mem-
buat tubuh Pengemis Binal
terpelintir. Kemudian jatuh
bergulingan di atas tanah.
Begitu dia bangun, bibirnya
meringis-ringis menahan sakit.
Pipi kiri Suropati beng-
kak dan bergambar guratan lima
jari. Untung giginya
tidak ada yang tanggal. Itu
adalah peringatan bagi Su-
ropati agar tidak melanjutkan
perbuatan kurang ajar-
nya.
Dewi Baju Merah tiba-tiba
teringat sesuatu. Wa-
jahnya menampakkan kekhawatiran
yang sangat, Dara
cantik ini bergegas meraba-raba bajunya.
Tapi, tak dia
temukan apa yang dicari.
"Hei! Apa yang kau
lakukan?!" tanya Pengemis
Binal yang sudah bisa menguasai
rasa sakitnya. "He he
he.,. Mari aku bantu
meraba-raba...."
Ingkanputri tak menanggapi
gurauan Suropati.
Tatap matanya terlihat begitu
nanar. "Kau mengambil
sesuatu dari balik bajuku,
Suro?" tanyanya dengan
wajah tegang.
"Mengambil apa? Dua bulatan
di balik bajumu
itu masih utuh. Masa' tidak
merasa?" sahut Suropati
sambil tersenyum-senyum.
"Aku sungguh-sungguh!"
Ingkanputri kelihatan
begitu jengkel.
"Aku juga
sungguh-sungguh!"
"Kau tahu Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi
warisan Panglima
Pranasutra?"
"Ada apa dengan kitab itu?
Bukankah kau per-
nah membawanya ke puncak Bukit
Pangalasan untuk
meminta petunjuk Kakek Gede
Panjalu?"
"Kitab itu hilang!"
"Apa?"
"Hilang, Tolol!"
sambar Dewi Baju Merah.
"Aku tidak mencuri!"
Suropati menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Ingkanputri terdiam. Dicobanya
mengingat-ingat
peristiwa yang baru saja
dialaminya.
"Ah, kemungkinan besar
kitab itu terlontar ketika
tubuhku membentur kekuatan
kasatmata yang men-
dadak muncul di belakang Empat
Begundal Dari Gua
Larangan. Tapi, kitab itu
terlontar ke mana?" gumam
dara cantik itu.
Ingkanputri mengeluarkan kesimpulan.
Ketika
dara cantik ini hendak beranjak
dari tempatnya, Pen-
gemis Binal menyilangkan tangan
kanan untuk meng-
halangi.
"Aku tidak mau
bergurau!" bentak Ingkanputri
ketus.
"Aku juga tidak sedang
bergurau. Bila kau men-
cari Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi, tidak akan
kau temukan di tempat ini. Aku
tahu siapa yang mem-
bawanya."
"Pemuda berbaju coklat yang
bersembunyi di atas
pohon itu?" duga Dewi Baju
Merah, teringat pada Saka
Purdianta.
"Tepat! Kitab warisan
Panglima Pranasutra jatuh
ke tangan pemuda itu. Makanya
putra Tumenggung
Sangga Percona itu buru-buru
melarikan diri. Ketika
aku mengejar, terlihat olehku
tangan kanan-nya
menggenggam sesuatu. Aku dapat
memastikan barang
yang digenggamnya itu adalah
Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi."
"Kalau begitu, kita harus
segera mengejarnya!"
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Pengemis Binal buru-
buru melihat Dewi Baju Merah
hendak mengerahkan
ilmu lari cepatnya. "Susah
sekali mencari pemuda yang
bernama Saka Purdianta itu. Dia
mempunyai Ilmu pe-
nyamaran yang sangat hebat"
"Kau sudah
mengenalnya?"
"Tentu saja. Bisa dibilang
dia itu musuh besarku.
Di balik ketampanan dan
kehalusan tutur katanya,
tersimpan jiwa iblis!"
Suropati lalu menceritakan
peristiwa di atas ge-
ladak Kapal Rajawali, di mana
Saka Purdianta pernah
melukainya dengan Jarum Mati
Sekejap. Termasuk fit-
nah keji yang dilakukan pemuda
yang bergelar si Dewa
Guntur itu. (Tentang peristiwa
ini silakan baca episode:
"Cinta Bernoda Darah dan
Dewa Guntur").
"Apa yang harus kita
perbuat sekarang?" tanya
Dewi Baju Merah. Gadis itu
tampak kebingungan dan
khawatir sekali karena
kehilangan kitabnya.
"Hmmm...," Suropati
tersenyum penuh arti. "Apa
yang harus kita lakukan
sekarang? Sebuah pertanyaan
yang terlalu mudah untuk dijawab.
Lebih baik kita...."
"Gendengmu mulai kumat
lagi!" tukas Ingkanpu-
tri.
Suropati menggaruk-garuk kepala.
Tapi senyum-
nya tetap mengembang di bibir.
"Kau tidak suka padaku,
Putri?" tanya remaja
konyol ini kemudian.
Dewi Baju Merah gelagapan.
Cepat-cepat diha-
launya perasaan tak enak yang
mengabuti pikirannya.
Ingatannya melayang ke Pendapa
Kadipaten Bumirak-
sa. Lalu, berkelebatan bayangan
Dewi Ikata di depan
matanya. Ingkanputri tahu pasti
putri tunggal Adipati
Danubraja itu menaruh hati pada
Suropati. Namun,
haruskah Ingkanputri menipu diri
sendiri kalau dia ju-
ga menaruh hati pada orang yang
sama? Haruskah dia
mengalah atau malah berjuang
keras untuk menda-
patkan cinta Suropati?
"Kau melamun?" tegur
Suropati.
Pertanyaan Pengemis Binal
membuat Dewi Baju
Merah tersentak. Ditatapnya
wajah tampan di hada-
pannya lekat-lekat.
"Kau mencintai Dewi Ikata,
Suro?" tanya dara
cantik ini tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku turut
bahagia seandainya
kau menerima cinta saudara
seperguruanku itu," kata
Dewi Baju Merah pelan sekali.
Ada rasa perih di dalam
hatinya.
"Putri..." panggil
Suropati begitu lembut.
Getar-getar aneh menjalar di
hati Ingkanputri.
Panggilan Pengemis Binal barusan
terasa sangat me-
nyentuh. Inikah kekuatan cinta
itu?
Dewi Baju Merah diam membisu.
Mulutnya ter-
kunci rapat. Dia teringat lagi
pada sosok Dewi Ikata.
Perilaku Dewi Ikata yang seperti
orang gila dikarena-
kan gadis itu terlalu memikirkan Suropati. Ketika
te-
ringat kebaikan gadis yang
bergelar Pendekar Wanita
Gila itu, sebutir mutiara bening
bergulir di sudut mata
Ingkanputri.
Dara cantik ini merasa sangat
kasihan kepada
Dewi Ikata. Tapi sebagai seorang
wanita yang berpera-
saan halus, Ingkanputri tak
dapat menipu diri sendiri.
Jauh di lubuk hatinya dia
mencintai Suropati.
"Kau menangis, Putri?"
tanya Pengemis Binal tak
mengerti. Dan, ketidak
mengertian itu semakin ber-
tambah tatkala Ingkanputri
tersurut dua langkah ke
belakang, lalu berkelebat pergi
sambil mendekap wa-
jahnya.
Suropati menggaruk-garuk kepala.
Remaja ko-
nyol ini hanya menatap bayangan
Dewi Baju Merah
yang hilang dari pandangan. Dia
tak berusaha menge-
jar. "Ah, ada-ada
saja...," gumamnya pelan.
***
5
Nenek berwajah seram ini
memandang sinis Em-
pat Begundal Dari Gua Larangan
lewat sudut matanya
yang cekung. Bibirnya yang
mencong menampakkan
seringai aneh. Seiring suara gumaman tak jelas dari
mulutnya, kedua telapak
tangannya digerak-gerakkan
ke depan.
Wuuuiss...!
Seberkas sinar perak menyebar lalu menyelu-
bungi tubuh Empat Begundal Dari
Gua Larangan. Mu-
lut keempat lelaki itu terbuka
lebar mengeluarkan
erangan panjang. Kepalanya
mendongak dengan bola
mata melotot. Sementara tangan mereka mengibas-
ngibas seperti sedang mengusir
rasa sakit.
"Hua... ha... ha.,!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak
seraya menarik
kedua tangannya ke belakang.
Sinar perak yang me-
nyelubungi tubuh Empat Begundal
Dari Gua Larangan
langsung lenyap, berganti dengan
hembusan angin
yang melenakan. Empat Begundal
Dari Gua Larangan
jatuh terduduk.
Sebelum kening mereka menyentuh
permukaan
tanah, si nenek menggerakkan
lagi telapak tangannya.
Serangkum angin pukulan membuat
Empat Begundal
Dari Gua Larangan tetap duduk
dengan punggung te-
gak. Sinar mata mereka berkilat,
tapi menunjukkan
kepatuhan.
"Ternyata ilmu kalian belum
dapat diandalkan
untuk menjalankan tugas.
Suropati terlalu sakti. Wa-
lau kalian tak mungkin mati
cepat, tapi ajal tetap akan
menjemput. Tubuh kalian akan
hancur berkeping-
keping terkena ilmu 'Totokan
Delapan Belas Tapak
Dewa'! Namun, sebagai abdi setia
sang Ratu Air, kalian
tak perlu khawatir. Aku telah
membuat kebal tubuh
kalian. Sinar perak tadi akan membuat pukulan dan
tendangan terasa seperti pijatan
perawan. Sambaran
golok dan pedang akan terasa
seperti sabetan lidi bo-
cah lima tahun. Hua... ha...
ha...!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak
lagi. Payuda-
ranya yang kempes menggantung
bergoyang ke kiri
dan ke kanan. Entah kenapa
wanita tua ini memamer-
kan barang yang sudah tak
berharga itu. Padahal, le-
laki tua pun akan menutup mata
rapat-rapat bila dis-
uruh melihatnya.
"Hari ini kita lupakan dulu
bocah gendeng yang
bergelar Pengemis Binal itu. Malam nanti kita akan
menyatroni puncak Bukit
Pangalasan. Ada senjata
mukjizat yang harus kita ambil
di sana. Aku yakin,
senjata itu akan mampu
menghadapi cakra milik Sun-
dal Laknat Nyai Catur
Hasta!"
***
Sepanjang perjalanan, berulang
kali Putri Racun
mengerutkan kening. Banyak
perubahan terjadi di atas
dunianya. Beberapa lembah dan
ngarai yang dulu per-
nah dilaluinya, kini lenyap
telah rata dengan permu-
kaan tanah di sekitarnya.
Hutan-hutan menjadi per-
kampungan. Manusia pun semakin
bertambah jum-
lahnya. Tak bisa dihindari,
kerajaan kecil pun ber-
munculan. Tanah Jawa semakin
ramai saja.
Wajar bila
Putri Racun merasa takjub ataupun
heran. Selama tinggal di
Kerajaan Siluman, Nyai Catur
Asta tak pernah sekali pun
mengizinkan Putri Racun
pergi melihat dunianya.
Sementara satu abad lebih Pu-
tri Racun tinggal di Kerajaan
Siluman.
Kini, wanita berusia sekitar
seratus lima puluh
tahun yang masih cantik jelita
itu berjalan mendaki
sebuah bukit. Bola matanya
bergerak mengedarkan
pandangan. Di sisi kanan dan
kirinya pohon-pohon
tampak tumbuh subur.
Semak-belukar membuat pe-
mandangan jadi serba hijau.
Ketika mendongak, Putri
Racun menikmati sejenak langit
putih yang disinari
cahaya sang baskara di sore
hari. "Hanya langit dan
mataharilah yang tetap seperti
dulu", bisik Putri Racun
dalam hati.
Tiba-tiba dari arah tenggara
angin berhembus
sangat kencang. Muncullah suara
bersiutan yang
membuat gendang telinga jadi
pekak. Semakin lama
suara itu semakin kencang.
Tiupan angin pun bertam-
bah bergemuruh. Putri Racun
terpaksa menarik kaki
kirinya ke belakang. Dengan
tangan bersedekap dia
mengerahkan ilmu untuk
memperberatkan tubuh.
Gemuruh angin kencang itu
semakin dahsyat.
Beberapa batang pohon kecil
tercabut dari dalam ta-
nah lalu melayang jauh entah ke
mana. Ranting-
ranting pohon besar meliuk dan berpatahan. Rambut
Putri Racun sampai terlepas dari
sanggulnya. Rambut
panjang itu berkibar-kibar
ditiup angin. Wajah dan se-
kujur tubuh gadis jelita ini
terasa seperti ditampari.
Pedih! Untung pakaiannya yang
berwarna ungu hitam
adalah pakaian mustika pemberian
Nyai Catur Asta,
hingga dapat bertahan untuk tak
terkoyak.
"Aneh...," pikir Putri
Racun. "Semula aku mera-
sakan hembusan angin lemah
bertiup dari arah timur.
Kenapa tiba-tiba menjadi kencang
dan bahkan beru-
bah arah? Ada sesuatu yang tak
sewajarnya terjadi. Di
seberang sana tentu ada manusia
sakti yang sengaja
hendak menggangguku. Hmmm....
Siapa pun orang-
nya, aku harus dapat
bersitatap...."
Sigap sekali Putri Racun
menggeser kaki kirinya
semakin lebar. Dengan badan
setengah membungkuk
gadis jelita ini mengerahkan
seluruh tenaga dalam.
Kedua tangannya yang telah
ditarik ke belakang sejajar
pinggang tiba-tiba menghentak ke
depan dengan tela-
pak terbuka.
Wuuusss...!
Begitu angin pukulan Putri Racun
meluruk, ge-
muruh di angkasa terdengar makin
keras. Hembusan
angin kencang dari tenggara
langsung terhenti. Tapi,
hanya sebentar. Putri Racun
seketika tercekat.
Angin yang menerpa tubuhnya
terasa semakin
kencang. Kedua telapak kakinya
tersurut ke belakang
satu depa. Keterkejutan gadis
jelita ini terlihat jelas di
matanya tatkala langit berubah
gelap. Awan berarak
menutupi sinar mentari.
Kilatan-kilatan petir me-
nyambar-nyambar.
"Orang yang berada di
seberang sana benar-
benar memiliki kesaktian luar
biasa. Tak sanggup aku
menghentikan hembusan angin
kencang ini. Haruskah
aku mati tersambar petir?"
batin Putri Racun. "Ah, ke-
napa aku jadi bodoh? Kepandaian
manusia ada batas-
nya. Selama masih ada usaha,
jalan pasti terbentang.
Kenapa tidak kucoba dengan
'Pukulan Racun Pembuat
Serbuk'?"
Putri Racun segera menyalurkan
seluruh tenaga
dalamnya ke kedua tangan. Kali
ini disertai dengan
kekuatan batin. Begitu gadis
jelita ini mencengkeram
tanah lebih kuat, secepat kilat
kedua pergelangan tan-
gannya berubah ungu. Hawa dingin
menyebar. Aneh-
nya, semak belukar dan dedaunan
malah terkulai layu!
Inilah kehebatan ilmu 'Pukulan
Racun Pembuat Ser-
buk'!
"Hei, orang usil di
seberang sana!" teriak Putri
Racun dengan suara lantang.
"Kematian memang sela-
lu berkenaan dengan takdir Yang
Kuasa. Jarang ada
manusia yang mau mati
cepat-cepat. Tapi bila Malaikat
Kematian terlalu dini datang
karena diancam seseo-
rang. Manusia demikian haruslah
menerima kutukan!"
Putri Racun menarik napas
panjang. Ditung-
gunya perubahan yang mungkin
terjadi. Namun angin
malah berhembus semakin kencang.
Lidah-lidah petir
di langit terjulur makin dekat
ke tempat Putri Racun
berada. Kontan gadis jelita ini
mendengus marah. Ke-
dua telapak tangannya
disorongkan ke depan dengan
kekuatan penuh.
Wuuusss.!
Blaaarrr,..!
Begitu terjadi ledakan dahsyat,
gumpalan awan
di langit langsung buyar. Sinar
mentari kembali mene-
robos masuk dan menerangi
permukaan bumi. Yang
terlihat kini bukan permukaan
bukit yang hijau subur.
Gumpalan tanah bercampur
bongkahan batu tampak
melayang ke angkasa dengan
memperdengarkan ge-
muruh keras.
Saat bumi berhenti berguncang,
belasan tombak
dari hadapan Putri Racun
terpampang pemandangan
menggidikkan. Batang-batang
pohon besar yang semu-
la berdiri menjulang kini
berubah menjadi serbuk ha-
lus berwarna ungu!
Pemuda tampan berbadan kekar ini
terkejut bu-
kan main. Hembusan angin kencang
yang berasal dari
Ilmu 'Tapak Dewa Guntur Satukan
Badai' miliknya ti-
ba-tiba berbalik arah, dan
menghantam dirinya sendi-
ri. Pemuda itu jatuh berdebam di
tanah setelah terba-
wa melayang sejauh tiga puluh
tombak lebih.
Susah payah dia mencoba bangkit.
Namun selu-
ruh kekuatan tubuhnya bagai
telah lenyap. Tak ada
kemampuan lagi untuk bergerak
sedikit pun. Pakaian
yang dikenakannya hampir hancur.
Sakit yang dirasa-
kannya pun tak dapat digambarkan
lagi. Rasanya, ma-
ti lebih baik daripada
menanggung derita begitu.
"Oh, sungguh malang tubuh
yang satu ini. Kein-
ginan hati cuma menjajal
kepandaian gadis cantik di
seberang sana. Tapi apa daya?
Setan-setan keparat ju-
stru membantunya. Namun sebagai
manusia, pantang
bagi Dewa Guntur untuk
menyerah...."
Pemuda ini lalu mencoba
mengumpulkan hawa
murninya. Rasa sakit malah
semakin mencacah-cacah
sekujur tubuh. Dikuatkan hatinya
untuk tak menjerit.
Dan ketika dia mengulang
usahanya, darah kental
berwarna ungu menyembur dari
mulut. Jantungnya
meletup-letup aneh. Pening di
kepalanya laksana pu-
kulan palu godam puluhan kati.
Tubuh pemuda itu ti-
ba-tiba mengejang. Sadarlah
pemuda ini kalau dia se-
dang menderita luka dalam yang
amat parah.
"Kemungkinan besar riwayat Dewa
Guntur akan
berakhir di sini. Bila benar itu
terjadi, Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi harus turut
musnah. Aku tak
mau kitab wasiat itu jatuh ke
tangan Suropati...."
Pemuda tampan ini berusaha
menggerakkan tan-
gan kanannya untuk meraih sebuah
kitab yang terikat
kuat di perutnya. Namun seperti
tadi juga, usahanya
sia-sia belaka.
"Oh, pupus sudah harapan.
Menggerakkan tan-
gan saja tak mampu. Apalagi yang
diinginkan kecuali
Malaikat Kematian. Maka,
datanglah dengan cepat!
Badan lumpuh ini sudah tak tahan
didera sakit berke-
panjangan."
Pemuda tampan itu memejamkan mata rapat-
rapat. Tampaknya dia sudah
pasrah menerima ajal.
Namun, apa yang diinginkannya
tak juga terjadi. Ada
kekuatan aneh yang tiba-tiba
menyusup masuk lewat
pusat. Kekuatan aneh itu semakin
lama semakin tera-
sa, membuat nafasnya menjadi
longgar. Jantungnya
yang meletup-letup kembali
berdetak normal. Pusing di
kepalanya pun sirna mendadak,
"Ada kekuatan sakti yang
membantuku. Tapi, be-
rasal dari mana?" Hati
pemuda itu bertanya-tanya. Ma-
tanya melihat ke bagian
perutnya. "Ah, tahulah aku
sekarang. Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi memang
kitab warisan yang amat ampuh.
Kitab itu mempunyai
kekuatan gaib yang mampu
menyembuhkan luka da-
lam."
Sakit di sekujur tubuh telah
lenyap. Hawa mur-
ninya pun dapat mengalir seperti
sedia kala. Dengan
demikian pemuda itu dapat menyalurkan tenaga da-
lamnya untuk membantu jejakan
kaki di tanah.
Saat tubuh si pemuda melesat ke
udara, dia ber-
salto empat kali lalu mendarat
sigap dengan kaki ter-
pentang lebar. Matanya tampak
berkilat aneh.
"Ha... ha... ha...!"
Tokoh muda ini tertawa terba-
hak-bahak. "Dengan kitab
Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi, apalagi yang mesti
ditakuti. Biar seribu Suropati
datang meluruk, akan kubelah
langit dan kutimpakan
pada tubuh manusia durjana
itu!"
Tawa si pemuda berhenti
mendadak. Sesosok
bayangan ungu berkelebat datang dan berhenti tepat
empat tombak di hadapannya.
"Jauh-jauh aku berlari
mengitari bukit ternyata
manusia sok itu berada di
sini...," ujar sosok yang baru
hadir. Dia adalah Putri Racun.
"Dapat saja manusia
mempunyai kesaktian setinggi
langit, tapi apalah guna
kesaktian itu bila hanya untuk
dipamerkan? Kutuk
Tuhan berlaku untuk semua
manusia berjiwa iblis."
Si pemuda menatap tajam wajah
cantik yang be-
rada di hadapannya.
"Pepatah orang terdahulu
memang patut dijadi-
kan suri tauladan. Tapi, manusia
mempunyai sifat lu-
pa. Mata lahir dan mata batin
bisa saja tertutup oleh
keinginan buruk. Beruntunglah
manusia itu bila ma-
sih ada yang mau mengingatkan.
Aku Saka Purdianta
yang bergelar si Dewa Guntur,
dengan ini menyatakan
penyesalan yang
sedalam-dalamnya. Kata maaf patut
dimintakan. Rasa hormat layak
dipersembahkan...."
Saka Purdianta menjura hormat
beberapa kali
dengan tubuh dibungkukkan
dalam-dalam. Putri Ra-
cun tersenyum tipis. Pandangan
matanya yang semula
berkilat berubah redup.
"Syukurlah bila kau menyadari kesalahanmu.
Kesadaran membuat manusia jadi
mengerti apa yang
mesti dikerjakan dan
ditinggalkan."
"Tunggu dulu,
Nona...," cegah Saka Purdianta
saat melihat Putri Racun hendak
meninggalkannya.
"Tidakkah Nona sudi
meninggalkan nama beserta ge-
lar. Biar dapat Saka Purdianta
yang bodoh ini terus
mengingat petuah Nona."
"Nama bagiku tak penting.
Tapi bila kau mau
memanggilku, aku bergelar Putri
Racun."
Usai berkata, Putri Racun
menjejak tanah. Tu-
buhnya melayang hilang dari
pandangan. Saka Pur-
dianta berdecak kagum. Sehari
ini dia telah berjumpa
dengan dua orang gadis yang sama
cantik dan berke-
pandaian tinggi pula.
Ingkanputri dan Putri Racun!
Tiba-tiba sosok Anggraini
Sulistya membayang di
kelopak matanya.
"Hmmm.... Bila Suropati
dapat selamat dari pen-
garuh racun Jarum Mati Sekejap,
ada kemungkinan
putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu juga lu-
put dari kematian. Perasaanku
mengatakan dia sedang
mengarungi lautan untuk kembali
ke Istana Pasir Lu-
hur. Alangkah baiknya bila aku
menyusul."
Pemuda ini lalu menatap lurus ke
timur di mana
sosok Putri Racun berkelebat
lenyap. "Putri Racun! Se-
buah gelar yang cukup
menggidikkan, tapi orangnya
sangat cantik. Melihat
kesaktiannya, gatal tanganku
untuk dapat menaklukkannya.
Hmmm.... Tunggulah
saatnya, Putri Racun! Dewa
Guntur pantang menye-
rah. Takkan puas hati ini
sebelum melihat gadis-gadis
cantik berilmu tinggi bertekuk
lutut di bawah kaki De-
wa Guntur. Ha... ha... ha...!
"
***
6
Malam ini dingin terasa menusuk
sampai ke tu-
lang sumsum. Puncak Bukit
Pangalasan mulai terseli-
muti kabut. Jajaran rumah
sederhana tempat bermu-
kim para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti terlihat samar-samar, walau
bulan purnama menyi-
nari bumi. Cahaya keemasannya
mampu menembus
tebalnya kabut.
Empat sosok bayangan itu
berkelebat cepat lak-
sana menyatu dengan hembusan
angin. Sesampainya
di depan rumah yang terbuat dari
susunan batu, me-
reka menghentikan langkah.
Seorang di antara mereka
yang brewokan maju tiga langkah.
Dihantamkannya
daun pintu dengan kedua telapak
tangan,
Timbul suara gemeretak amat
keras. Daun pintu
pecah berkeping-keping. Lelaki
brewokan ini menden-
gus. Tubuhnya berkelebat masuk
hendak mengambil
sebatang tongkat yang terdapat
di pojok ruangan. Na-
mun sebelum niat itu terlaksana,
serangkum angin
pukulan meluruk datang dan
menghantam tepat da-
danya
Desss...!
Tubuh orang ini terlontar keluar
ruangan, lalu
menerpa ketiga temannya yang
berdiri menunggu. Aki-
batnya, empat lelaki itu jatuh
bergulingan.
"Malam-malam begini naik ke
puncak Bukit Pan-
galasan untuk mencuri Tongkat
Sakti hanya pantas di-
lakukan oleh manusia yang telah
bosan hidup!" ujar
kakek bongkok yang tiba-tiba
telah berdiri di ambang
pintu.
Mata kakek yang tak lain Gede
Panjalu, sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini, menatap ta-
jam ke depan. Sejurus dengan
pandangannya terlihat
empat sosok tubuh telah berdiri
dengan sigap.
"Hmmm.... Bila kalian tak
mati terhantam
'Pukulan Sakti' -ku, alangkah
baiknya nasib kalian.
Tapi, nasib baik tak selalu
menyertai manusia. Apalagi
bila manusia itu punya perilaku
menyimpang!"
Tak ada kalimat yang menimpali
ucapan si kakek
Empat sosok lelaki kekar yang
berdiri di hadapannya
cuma mendengus. Secara
bersamaan, mereka kemu-
dian menyorongkan kedua telapak
tangan ke depan.
Gede Panjalu terkesiap. Namun,
kakek bongkok
ini segera menyadari keadaan.
Cepat cepat ditariknya
kedua belah tangan sejajar
pinggang. Lalu, dihentak-
kannya ke depan menyambut
delapan larik sinar perak
yang berkilat menggidikkan.
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Bersamaan dengan timbulnya suara
ledakan,
bumi berguncang bagai dilanda
gempa. Empat sosok
tubuh terlontar jauh ke bawah
bukit kemudian bergu-
lingan menuruni lereng. Satu
sosok tubuh lagi terlihat
mencelat dan membentur rumah
susunan batu hingga
jebol.
"Empat manusia sesat!
Apabila kalian belum juga
mati terkena hantaman 'Pukulan
Sakti'-ku, berarti ka-
lian mempunyai nyawa
rangkap!" ujar Gede Panjalu
sambil mendekap dadanya yang
sesak. Cairan darah
menetes dari sudut bibirnya.
Juga dari lubang hidung
dan telinga
"Bila Tongkat Sakti tak
diperkenankan berpindah
ke tangan sang Ratu Air, nama
besar sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
hanya akan tinggal
kenangan semata!"
Tiba-tiba saja muncul sesosok
tubuh terbungkus
pakaian serba biru. Nenek tua
renta ini berwajah begi-
tu mengerikan. Bibirnya yang
mencong mengulum se-
nyum mengejek. Sedangkan matanya
yang cekung
menatap Gede Panjalu
lekat-lekat.
"Siapa kau?!" bentak
Gede Panjalu. "Mendengar
tutur katamu, agaknya kau
pemimpin dari empat pen-
curi nekat itu!"
"Hua... ha... ha...!"
Si nenek tertawa keras. "Bila
raga telah menderita luka,
masihkah sifat keras kepala
tetap dipertahankan? Serahkan
Tongkat Sakti! Nyawa
pasti selamat!"
"Sejengkal pun tak hendak
hati Gede Panjalu un-
tuk mundur. Lambang persatuan
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti mesti
dipertahankan meski ajal
taruhannya!"
"Baik, kalau itu maumu!
Mati sebagai seorang
ksatria memang layak diimpikan
oleh para pendekar.
Tapi sebelum Malaikat Kematian
benar-benar datang,
manusia waras harus menggunakan
pikirannya. Dari-
pada mati konyol, lebih baik
menatap dunia yang ma-
sih penuh keindahan!" sahut
nenek berwajah seram
itu menyambuti tantangan Gede
Panjalu.
"Kata-katamu semakin
menyakitkan telinga. Aku
tak tahu siapa kau. Tapi, aku
dapat memastikan kalau
kau tak lebih baik dari penjahat
culas yang gemar
mencuri barang orang lain!"
"Bangsat!" umpat si
nenek seraya menyalurkan
seluruh tenaga dalam ke
pergelangan tangan. "Kau bo-
leh bangga dengan 'Pukulan
Sakti' -mu. Namun keta-
huilah kematian sudah lekat di
pelupuk mata. Terima-
lah 'Sinar Perak Cairkan
Wujud'!"
Begitu kedua telapak tangan si
nenek menyorong
ke depan, dua larik sinar perak
yang membias menyi-
laukan mata meluruk ke arah Gede
Panjalu. Tokoh tua
yang sudah kenyang makan asam
garam rimba persi-
latan itu mengibaskan kedua
telapak tangannya di de-
pan dada. Timbul gemuruh angin
dahsyat yang mem-
bentur biasan cahaya perak.
Namun, Gede Panjalu
terkejut bukan main. Biasan
cahaya perak yang melu-
ruk ke arahnya malah berpendar
semakin lebar.
Blaaammm...!
Sebelum biasan cahaya perak
menyentuh tubuh-
nya, Gede Panjalu masih sempat
menghentakkan ke-
dua telapak tangan yang disaluri
seluruh tenaga sak-
tinya. Tapi bersamaan dengan
timbulnya ledakan dah-
syat yang membahana di angkasa,
tubuh Gede Panjalu
mencelat ke belakang dan
membentur dinding rumah
hingga jebol. Tempat tinggal
sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu pun
berderak-derak hen-
dak roboh.
Tubuh Gede Panjalu jatuh
terjerembab ke tanah.
Dari sekujur tubuhnya mengalir
darah segar. Dia men-
coba bangkit berdiri, tapi Gede
Panjalu kembali ter-
jungkal mencium tanah. Agaknya
kakek ini menderita
luka dalam yang amat parah.
"Hua... ha... ha...!
Beruntunglah kau, Gede Panja-
lu. Daging keriputmu itu
ternyata mampu bertahan
untuk tak meleleh menjadi air.
Padahal, sebongkah ba-
tu sebesar gajah pun akan
menjadi air bila terkena
'Sinar Perak Cairkan
Wujud'!" kata si nenek sombong
kembali. Wanita tua ini sendiri
tetap berdiri tegak di
tempatnya tanpa sedikit pun
menderita luka dalam.
Si nenek lalu melangkah masuk ke
rumah susu-
nan batu. Ditatapnya sebentar
Tongkat Sakti yang ter-
geletak di lantai. Sesaat
kemudian, dia tertawa berge-
lak. Namun sebelum tangannya
berhasil menyentuh
lambang persatuan Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu, sebuah seruan
menghentikan gerakannya.
"Hentikan perbuatanmu itu,
Maling!" Terdengar
teriakan keras yang dibarengi
kelebatan tubuh belasan
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Mas-
ing-masing mereka memegang
senjata tongkat, yang
langsung dihujamkan ke tubuh si
nenek.
"Sang Ratu Air meminta
korban!" teriak si nenek.
Telapak tangannya mengibas
dengan dilambari kekua-
tan 'Sinar Perak Cairkan Wujud'
Weeesss...!
Biasan sinar perak menggidikkan
berpendar. Tu-
buh belasan pengemis bersenjata
tongkat yang masih
melayang di udara tiba-tiba
jatuh berdebam ke lantai.
Sekejap mata kemudian, tubuh
orang-orang malang
itu lenyap. Sebagai gantinya
permukaan lantai dige-
nangi air kental berwarna
kemerah-merahan!
"Hua... ha... ha...!"
Si nenek tertawa penuh ke-
menangan. "Kesaktian sang
Ratu Air terlalu tinggi un-
tuk kalian hadapi. Mati sia-sia
patut diterima oleh
orang-orang nekat seperti
kalian...."
Cepat sekali tangan si nenek
lalu menyambar
Tongkat Sakti. Tubuhnya
berkelebat pergi dengan me-
ninggalkan suitan nyaring.
Sementara itu, empat sosok
tubuh yang tadi datang lebih
awal segera berkelebat
mengikuti bayangan si nenek.
Dengan mengerahkan sisa-sisa
tenaganya, Gede
Panjalu mencoba bangkit. Tapi,
tubuhnya terasa berat
bagai ditindih batu ratusan
kati. Dalam keadaan berte-
lungkup kakek bongkok ini segera
memusatkan piki-
ran untuk dapat mengumpulkan
hawa murni.
Akhirnya, sesepuh perkumpulan
para pengemis
itu dapat duduk bersila, Selagi
dia berusaha keras
mengatasi luka dalamnya, puluhan
orang berpakaian
penuh tambalan bermunculan
datang dan mengeru-
muninya.
"Tinggalkan aku seorang
diri!" perintah Gede Pan-
jalu tanpa membuka kelopak mata.
Seluruh anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti yang baru hadir segera
meninggalkan kakek itu.
Sinar mata mereka membersitkan
rasa duka yang
mendalam atas musibah yang baru
saja terjadi.
Malam kembali sunyi. Cahaya
purnama samar-
samar menyirami puncak Bukit
Pangalasan, Hembu-
san angin semakin menusuk
tulang. Saat terdengar
tekur burung hantu, sesosok
bayangan berkelebat. So-
sok itu berhenti di hadapan Gede
Panjalu yang masih
duduk bersila.
"Hmmm.... Tampaknya
malapetaka datang me-
nimpa...," gumam sosok
yang baru hadir. "Sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini menderita
luka dalam yang parah. Aku bisa
merasakan aliran da-
rahnya yang kacau."
Nenek berpakaian serba hijau
yang berdiri di ha-
dapan Gede Panjalu terlihat
mengerutkan kening.
Rambutnya yang masih hitam
dibiarkan terbawa hem-
busan angin. Walau sudah tua,
wanita itu masih me-
miliki tubuh sintal. Pinggangnya
ramping dengan ping-
gul besar menantang. Dadanya
membusung seperti mi-
lik gadis usia dua puluh
tahunan. Keriput di wajahnya
tak membuat kecantikannya
tersamar.
Sambil menarik napas panjang,
nenek itu me-
langkah tiga tindak.
Ditempelkannya telapak tangan
kanannya ke kepala Gede Panjalu.
"Tak usah terkejut,
Gede...,'" kata wanita tua itu.
"Aku tak mempunyai maksud
buruk. Sebagai manusia,
sudah selayaknya kita untuk
saling tolong-menolong."
Telinga Gede Panjalu dapat
menangkap ucapan si
nenek. Kakek bongkok itu diam
saja ketika hawa mur-
ni mengalir dari batok
kepalanya. Hawa itu membuat
rasa sakit yang mendera tubuhnya
berangsur-angsur
lenyap.
Ketika si nenek telah menarik
telapak tangannya
kembali, Gede Panjalu membuka
kelopak mata.
"Arumsari,.,"
desisnya.
"Ya. Aku memang Dewi Tangan
Api, Gede...," sa-
hut si nenek menyebutkan
gelarnya. "Kau jangan ber-
gerak dulu. Aku takut kepalamu
akan pecah bila hawa
murni yang kusalurkan
berbalik."
"Kau kira aku ini anak
kemarin sore. Tanpa kau
peringatkan, aku sudah
tahu."
"Syukurlah bila kau belum
pikun...," ucap si ne-
nek pelan. "Aku tidak mau
tahu apa yang sedang ter-
jadi denganmu. Tapi sebagai
tanda terima kasih kare-
na aku telah menolongmu, sebaiknya kau tunjukkan
di mana Suropati berada!"
"Kenapa kau
mencarinya?" tanya Gede Panjalu.
"Sebenarnya aku keberatan
untuk menjawab per-
tanyaan itu. Tapi baiklah. Aku
memandangmu sebagai
seorang sahabat. Akan kukatakan
keperluanku men-
gapa mencari Suropati."
"Apa?" desak Gede
Panjalu. Walau dia sudah
mengenal Arumsari, tapi khawatir
juga hatinya men-
gingat musibah yang baru saja
terjadi. Jangan-jangan
nenek ini pun mau mencari
masalah,
"Kau tak perlu berprasangka
buruk, Gede! Ke-
cuali bila Suropati mempunyai
perangai buruk," ujar si
nenek seperti dapat membaca
pikiran Gede Panjalu.
"Dewi Ikata, muridku, siang
tadi pulang ke Pendapa
Kadipaten dengan membawa seorang
bayi. Setelah
menyerahkan kepada ibunya, dia
pergi sampai seka-
rang ini. Padahal aku bermaksud
mengajarkan ilmu
'Rambut Penyambar Sukma'
kepadanya malam ini ju-
ga."
"Lalu, apa hubungannya
Suropati dengan mu-
ridmu itu?"
"Aku dengar siang tadi
Suropati berada di Kuil
Saloka dan bertemu dengan Dewi
Ikata. Aku menduga
Suropati melarikan putri tunggal
Adipati Danubraja
itu."
"Untuk apa Suropati
melarikan Dewi Ikata?"
tanya Gede Panjalu tak
mengerti.
"Bodoh sekali kau, Gede.
Apa kau tidak bisa
membaca tabiat muridmu sendiri.
Suropati punya sifat
mata keranjang hingga dia
dijuluki Pengemis Binal!
Kalau sampai ketahuan bocah
gendeng itu berbuat
macam-macam terhadap Dewi Ikata,
tak segan-segan
aku memotes kepalanya!"
sambar Dewi Tangan Api.
"Nah, sekarang kau sudah
tahu persoalannya. Cepat
tunjukkan di mana Suropati
berada!"
"Aku tak tahu. Dia tak
berada di sini."
"Aku tak percaya!"
sergah Arumsari. Matanya
memandang tak senang.
"Kau lihat bangunan di
belakangmu itu. Kalau
Suropati berada di sini, tak
mungkin bangunan itu bi-
sa hampir roboh karena disatroni
orang jahat," Gede
Panjalu membela diri.
"Hmmm, Ucapanmu ada
benarnya juga, Gede.
Aku minta pamit
sekarang..."
"Tunggu dulu!" cegah
Gede Panjalu melihat Dewi
Tangan Api hendak berlalu.
"Di tempat ini aku sudah
tak punya kepentingan
lagi. Tak perlu kau menghambat
langkahku!" dengus
Arumsari.
"Aku akan sangat berterima
kasih seandainya
kau bersedia mengatakan kepada
Suropati, kalau
Tongkat Sakti telah hilang
dicuri orang yang menyebut
dirinya sang Ratu Air,"
pinta Gede Panjalu.
"Persetan dengan Tongkat
Sakti ataupun tongkat
pengorek sampah! Yang penting,
aku mesti menda-
patkan Dewi Ikata...."
Usai berkata, Dewi Tangan Api
menghemposkan
tubuhnya, lalu berkelebat lenyap
menuruni bukit.
Gede Panjalu cuma dapat
menatapnya.
***
7
Wirogundi berjalan mengikuti
arus sungai den-
gan kepala tertunduk. Bila
menjumpai batu besar yang
menghalangi langkahnya,
ditendangnya batu itu hing-
ga terlontar jauh. Sinar mata
pemuda kurus anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini masih saja
membersit kedukaan.
"Tak dapat aku mengawali lagi
tapa brata-ku se-
lama empat puluh hari empat puluh malam...,"
ka-
tanya dalam hati.
"Kedatangan Suropati ke Danau Ular
untuk memintaku menculik Rani
Paramita selalu
membayang dalam ingatanku. Aku
khawatir Suropati
berbuat yang tidak-tidak."
Pemuda ini terus berjalan dengan
membawa du-
ka hatinya. Sesekali dia
mendongak menatap langit bi-
ru. Rasa sedih semenjak
kehilangan Anjarweni tak
pernah lepas dari jiwanya.
Wirogundi menjalani tapa brata
atas perintah
Gede Panjalu untuk menghilangkan
bayangan Anjar-
weni yang selalu
membayanginya. Di Danau Ular, di
mana dia melakukan tapa brata,
Wirogundi didatangi
Saka Purdianta si Dewa Guntur.
Dengan menyamar
sebagai Suropati, Saka Purdianta
berhasil menyuruh
Wirogundi untuk menculik Rani
Paramita.
Setelah putri Prabu Arya
Dewantara itu dipa-
srahkan kepada Saka Purdianta,
Wirogundi menjalani
tapa bratanya kembali. Tapi baru
memasuki hari keti-
ga, dia dikejar-kejar perasaan
tak enak. Akhirnya Wi-
rogundi memutuskan untuk
menggagalkan tapa bra-
tanya.
Sama sekali Wirogundi tidak tahu
kalau yang
menyuruhnya menculik Rani Paramita ternyata bu-
kanlah Suropati. Karena
ketidaktahuannya inilah dia
membuat keputusan untuk mencari
Suropati guna
meminta penjelasan. Wirogundi
merasa berdosa bila
belum melihat bukti kalau
Suropati tidak berbuat ja-
hat terhadap Rani Paramita.
"Biarlah Kakek Gede Panjalu
menghukumku le-
bih berat lagi karena aku
mengabaikan perintahnya,
asal aku dapat memastikan Rani
Paramita dalam kea-
daan selamat tak kurang suatu
apa...,", desah Wiro-
gundi.
Pemuda kurus ini menghentikan
langkah. Ke-
ningnya berkerut mendengar
sesuatu yang dirasakan-
nya ganjil. Wirogundi segera
membuat langkah-
langkah lebar menuju sumber
suara. Sebentar kemu-
dian, parasnya tampak semakin
keruh. Terlihat oleh-
nya seorang gadis cantik berbaju
merah-merah sedang
menghantam-hantamkan kepalan
tangannya ke bong-
kahan batu besar.
"Ingkanputri...!"
desis Wirogundi.
Gadis yang disebut namanya itu
menoleh. Tapi,
dia cuma menatap kedatangan Wirogundi
dengan se-
belah mata. Rupanya gadis ini
sedang dilanda rasa
kesal.
"Apa yang sedang kau
lakukan, Putri?" tanya Wi-
rogundi. Pemuda kurus ini sudah
mengenal Ingkanpu-
tri dengan baik. Gadis cantik
itu memang saudara se-
perguruan Anjarweni, kekasihnya
yang telah mening-
gal di tangan Malaikat Bangau
Sakti.
"Kau harus membantuku,
Wiro...," pinta Ingkan-
putri.
"Katakan saja apa yang kau
inginkan. Bila Tuhan
berkehendak, kesulitanmu pasti
dapat teratasi."
Ingkanputri tersenyum. Wirogundi
memandang-
nya dengan perasaan kagum.
Ingkanputri memang ga-
dis yang sangat menarik,
pikirnya. Tiba-tiba terlintas
bayangan Anjarweni di benak
Wirogundi. Sinar mata
pemuda itu pun kembali meredup.
"Eh, apa yang sedang kau
pikirkan, Wiro?" tanya
Ingkanputri melihat Wirogundi
tercenung.
"Ah, tidak. Aku merasa
sangat senang berjumpa
denganmu. Dengan memakai baju
merah, kau keliha-
tan sangat cantik...,"
dusta Wirogundi untuk menutupi
perasaan sedihnya.
"Hmmm.... Benar
begitu?"
Wirogundi menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mulai
sekarang kau bisa menye-
butku sebagai Dewi Baju
Merah."
"Ya. Kau memang pantas
memakai gelar itu; Kau
pun bisa menyebutku sebagai
Pendekar Patah Hati."
Mendengar perkataan Wirogundi,
ingin rasanya
Ingkanputri tertawa. Tapi,
keinginan itu ditahannya.
Dia tak mau melihat Wirogundi
tersinggung. Pendekar
Patah Hati? Sebuah gelar yang
menggelikan, pikirnya.
"Katanya kau mau meminta
bantuanku. Bantuan
apa?" tanya Wirogundi
kemudian.
"Kau tentu sudah mengenal
Resi Agaswara. Be-
liau meninggal setelah bertempur
dengan Malaikat
Bangau Sakti; Sebelum maut
datang menjemput, be-
liau berpesan kepadaku untuk
datang ke Bukit Selak-
sa Mambang. Di sana aku
mendapatkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Namun kitab
itu kini jatuh ke
tangan pemuda bernama Saka
Purdianta atau si Dewa
Guntur. Nah, bantuan yang aku
perlukan adalah un-
tuk mendapatkan kembali kitab
warisan Panglima
Pranasutra itu, Wiro..."
Dewi Baju Merah menjelaskan
kesulitan yang dihadapinya.
(Tentang Resi Agaswara,
baca episode: "Malaikat
Bangau Sakti dan Dendam Pa-
ra Pengemis").Pendekar
Patah Hati mengerutkan ken-
ing.
Tapi dicobanya untuk tersenyum.
"Aku bersedia
membantumu, Putri. Tapi tidak
sekarang. Aku harus
mencari Suropati terlebih
dahulu."
Mendengar nama pemuda pujaannya
disebut, be-
rubahlah paras Dewi Baju Merah.
Namun, cepat-cepat
diusirnya perasaan galau yang
muncul mendadak itu.
"Untuk apa kau mencari
Suropati, Wiro? Tentu
kau mempunyai urusan yang sangat
penting," kata In-
gkanputri ingin tahu.
"DI Danau Ular Suropati
memerintahkan aku un-
tuk menculik Rani Paramita,
putri Prabu Arya Dewan-
tara. Sebelumnya dia menjamin
tak akan membuat ce-
laka gadis itu. Namun, sekarang
aku merasa ragu. Ka-
renanya aku hendak mencari
Suropati untuk meminta
partanggungjawabannya."
Mendengar nada bicara Pendekar
Patah Hati yang
sungguh-sungguh, Dewi Baju Merah
malah tertawa ge-
li. Tentu saja Wirogundi merasa
heran. Matanya mena-
tap wajah Ingkanputri tanpa berkedip.
"Kenapa kau tertawa?
Bukankah tidak ada yang
lucu?" kilah Pendekar Patah
hati
"Ketahuilah, Wiro. Kau
telah termakan tipu mus-
lihat penjahat yang sangat
cerdik dan culas. Yang
memberi perintah untuk menculik
Rani Paramita bu-
kan Suropati..."
"Ah, tidak! Aku yakin dia
Suropati!" sela Wiro-
gundi dengan wajah tegang.
Bibir Ingkanputri menyunggingkan
senyum. "Kau
tidak percaya boleh saja. Tapi
bila kau datang ke kota-
praja, kau akan tahu
kebenarannya. Orang-orang di
kotapraja masih ramai membicarakan
perihal penculi-
kan Rani Paramita. Semua tahu
kalau gadis itu diculik
salah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Dan kau telah
mengakuinya, Wiro. Tapi, kau tak
perlu khawatir. Prabu Arya
Dewantara tak akan men-
jatuhkan hukuman kepadamu. Kau cuma diperalat
oleh orang jahat"
"Aku bisa mempercayai
kata-katamu?" tanya Wi-
rogundi tak percaya.
"Kenapa tidak? Penjahat
cerdik dan culas yang
telah mengelabuimu adalah orang
yang sekarang
membawa Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi."
"Saka Purdianta?"
"Ya. Menurut Suropati, dia
memang mempunyai
ilmu penyamaran yang hebat. Kau
yang sudah sangat
akrab dengan Suropati pun dapat
dikecohnya. Penya-
marannya sebagai Suropati
benar-benar sempurna."
"Keparat!" umpat
Pendekar Patah Hati.
"Lalu, apa yang diperbuat
Saka Purdianta terha-
dap Rani Paramita?"
"Kau tak perlu cemas. Rani
Paramita selamat tak
kurang suatu apa. Kedok Saka
Purdianta pun sudah
terbongkar." (Baca serial
Pengemis Binal episode: "De-
wa Guntur").
"Tokoh-tokoh kerajaan tidak
menangkapnya?"
"Aku tidak tahu. Yang
jelas, Saka Purdianta me-
miliki kesaktian luar biasa.
Kemungkinan besar tokoh-
tokoh kerajaan gagal
menangkapnya. Hingga Saka
Purdianta masih dapat
berkeliaran bebas...," cetus
Dewi Baju Merah.
"Sebenarnya aku kemarin berjumpa
dengan penjahat itu di sebuah di
Kota Kadipaten Bu-
miraksa. Karena aku merasa tak
mempunyai urusan
dengannya, maka aku tak
bertindak apa-apa. Tapi, se-
karang aku ingin sekali
memecahkan batok kepala ja-
hanam itu!"
"Hmmm... Tampaknya kita
memang harus cepat-
cepat turun tangan. Orang yang
sudah dirasuki iblis
tak akan pernah puas sebelum
melihat orang lain
sengsara."
"Tepat! Kita tak bisa
membiarkan Saka Purdianta
semakin mengumbar hawa nafsunya.
Aku khawatir
penjahat culas itu keburu
mempelajari isi Kitab Selak-
sa Dewa Turun Ke Bumi. Bila ilmu
kesaktian-nya ber-
tambah, rimba persilatan akan
dilanda malapetaka be-
sar," dukung Ingkanputri
atas ajakan Wirogundi itu.
"Apakah sekarang ini
Suropati juga sedang men-
cari Saka Purdianta?" tanya
Wirogundi.
"Aku menduga dia tidak
sedang melakukan hal
itu. Mungkin Suropati sedang
mencari Empat Begun-
dal Dari Gua Larangan."
"Kenapa?"
"Mereka telah membunuh
belasan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat
Sakti."
Pendekar Patah Hati tercenung.
"Selalu saja ada
orang yang mengganggu
ketenteraman para penge-
mis...," katanya dalam
hati. Pemuda kurus ini lalu me-
natap wajah Dewi Baju Merah
dalam-dalam.
"Sebenarnya aku harus
membantu Suropati un-
tuk mencari Empat Begundal Dari
Gua Larangan. Tapi
karena masalah Saka Purdianta
yang melarikan Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi bukan
masalah kecil pu-
la, sebaiknya aku memang harus
membantumu, Pu-
tri."
"Kalau begitu kita berangkat
sekarang" ajak In-
gkanputri. Gadis itu merasa
senang karena Wirogundi
ternyata mau membantunya.
"Sebentar.... Seperti kau
katakan tadi, Saka Pur-
dianta mempunyai ilmu penyamaran
yang hebat. Tapi,
sehebat-hebatnya ilmu penyamaran
seseorang, sifat
lahirnya tidak akan ikut
tersamar. Begitu pula dengan
ilmu kesaktiannya. Apakah kau
tahu ciri-ciri khusus
yang terdapat pada diri Saka
Purdianta, Putri?"
Dewi Baju Merah terdiam. Otaknya
dipaksa un-
tuk berpikir keras.
"Hmmm.... Kalau sifat lahir
Saka Purdianta, san-
gat sulit untuk ditebak.
Tindak-tanduknya sangat so-
pan, tutur bahasanya halus dan
sangat terpelajar. Ta-
pi, dia juga bisa berubah
sebagai manusia kejam yang
tidak mempunyai peri kemanusiaan
sama sekali."
"Tentang Ilmu
kesaktiannya?"
"Nah, Ilmu kesaktian Saka
Purdianta inilah yang
mungkin dapat membuka kedoknya.
Kalau dia ber-
tempur dengan tokoh sakti pilih
tanding, dia mampu
membuat langit yang semula cerah
menjadi gelap pe-
kat. Kemudian timbul
kilatan-kilatan petir yang sangat
berbahaya. Tapi ini baru kabar
yang kudengar. Ten-
tang kebenarannya, aku belum
pernah membuktikan."
Pendekar Patah Hati
mengangguk-angguk.
"Saat ini anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti telah mencapai seribu
orang lebih. Aku akan
meminta bantuan mereka.
Mudah-mudahan Saka
Purdianta bisa cepat kita
temukan," ujar pemuda itu.
"Kalau di wilayah Kerajaan
Anggarapura penjahat
culas itu tidak kita temukan,
kemungkinan besar dia
telah kembali ke negeri asalnya
Pasir Luhur. Kita akan
terus memburunya sampai ke sana.
Bukankah begitu,
Wiro?" Ingkanputri
tampaknya tak mau kehilangan
buruannya itu. Apalagi ketika
dia teringat pada kitab
wasiat yang dicuri Saka
Purdianta.
"Ya," jawab Wirogundi
pendek.
***
Suropati telah memasuki setiap
jengkal tempat di
Kota Kadipaten Bumiraksa, tapi
sosok Empat Begun-
dal Dari Gua Larangan tak juga
ditemukan. Bahkan,
ratusan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang telah dia sebar pun tak
dapat menunjukkan di
mana para pembunuh kejam itu
berada.
"Keparat! Tikus-tikus busuk
yang sok Jago!" um-
pat Pengemis Binal. "Di
pinggir sungai sebelah sana
kalian memang masih mempunyai
nasib baik, karena
dibantu oleh seorang tokoh
sakti. Tapi kalau nanti kita
bertemu kembali, jangan harap
kalian dapat menghi-
rup udara segar. Kedua daun
telinga kalian akan ku-
potong. Mulut kalian akan
kusumpal dengan kotoran
anjing. Setelah itu, kedua kaki
dan tangan kalian akan
kupatahkan. Terakhir kepala
kalian akan kupenggal!"
Namun kemudian. Suropati
menggaruk-garuk
kepalanya Sambil cengar-cengir.
"Ah, tidak! Hukuman itu
terlalu kejam. Aku tidak
akan menyiksa Empat Begundal
Dari Gua Larangan.
Toh, di akhirat nanti mereka
akan mendapat pengadi-
lan Tuhan. Aku kira neraka
jahanam sangat pantas
untuk tempat tinggal mereka.
Tapi, mereka akan tetap
mendapat hukuman mati
dariku!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya lagi.
Langkah kakinya menuju ke utara,
keluar dari Kota
Kadipaten Bumiraksa. Berjalan
dalam siraman sinar
mentari siang membuat peluh
menghiasi wajahnya.
Lengan bajunya dikibas-kibaskan
untuk mengusir ha-
wa gerah. Dengan perasaan kesal,
ditendangnya se-
bongkah batu yang kebetulan
menghalangi langkah-
nya. Batu itu melesat jauh dan
hilang entah ke mana.
Di sebuah jalan setapak,
Pengemis Binal mena-
jamkan pendengarannya.
"Hmmm.... Aku mendengar
suara gemerincing lonceng kereta
kuda dan suara den-
gungan seperti ribuan lebah
sedang menuju kemari...."
Alis Suropati bertaut. Suara
aneh yang didengar-
nya semakin terdengar jelas.
"Aku seperti pernah
mendengar suara seperti ini.
Ya! Di Kerajaan Siluman!
Mungkinkah Nyai Catur Asta
bermaksud menjumpaiku? Ada
urusan apa?"
Selagi Pengemis Binal
bertanya-tanya sendiri, se-
sosok wanita cantik tiba-tiba
muncul di hadapannya.
Wanita itu mengenakan pakaian
merah gemerlap
layaknya seorang ratu. Rambutnya
hitam mengkilat.
Digelung ke atas dengan hiasan
tiga tusuk konde emas
bermata intan.
"Suro...," panggil
wanita cantik yang baru me-
nampakkan diri itu.
Pengemis Binal terkesiap.
"Nyai Catur Asta...,"
desisnya sambil menatap
lekat-lekat wanita cantik di
hadapannya.
"Sengaja aku datang dari
Kerajaan Siluman un-
tuk menjumpaimu. Aku membutuhkan
pertolongan-
mu...," kata Nyai Catur
Asta. Ternyata, wanita cantik
yang datang dari alam gaib itu
mempunyai empat tan-
gan!
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Ini adalah
kebiasaan pemuda itu. "Saya
ini orang bodoh, Nyai. Bi-
la dibandingkan dengan Nyai,
kepandaian saya seperti
bumi dengan langit. Mana saya
dapat membantu
Nyai?"
Mendengar perkataan Pengemis
Binal yang me-
rendah, Nyai Catur Asta
tersenyum tipis.
"Orang berbudi luhur memang
selalu rendah ha-
ti. Sedapat-dapatnya malah
menyembunyikan kepan-
daian. Tapi, aku benar-benar
membutuhkan ban-
tuanmu, Suro. Kerajaan Siluman
terancam malapeta-
ka. Seorang tokoh wanita
jahat telah bangkit dengan
seluruh kekuatannya. Dia akan
menggempur Kerajaan
Siluman dalam waktu dekat
ini."
"Kalau Nyai Catur Asta yang
memiliki kesaktian
sedemikian tinggi tidak mampu
melindungi Kerajaan
Siluman-nya, aku tidak bisa
membayangkan, betapa
tingginya ilmu kesaktian tokoh
wanita jahat itu...," ka-
ta Suropati. "Siapakah
tokoh wanita jahat itu, Nyai?"
"Tokoh wanita jahat itu tidak
lain dari Ratu Air."
"Lho, bukankah Ratu Air
telah mati bersama
hancurnya Kerajaan Air?"
Suropati jadi tak habis men-
gerti.
"Tidak. Ternyata aku salah
memperhitungkan ke-
saktian Ratu Air. Dia lebih
sakti dari yang kukira. Me-
mang benar Kerajaan Air-nya
hancur, tapi Ratu Air ti-
dak mati. Sekarang dia telah
mempunyai empat pengi-
kut yang diberinya ilmu
kesaktian. Mereka berjuluk
Empat Begundal Dari Gua
Larangan."
"Pantas empat tikus busuk
itu mempunyai ke-
pandaian hebat. Ternyata Ratu
Air ada di belakang
mereka...," ujar Suropati
sambil mengangguk-
anggukkan kepala. "Maaf,
Nyai. Aku bertanya hanya
karena terbawa rasa ingin tahu
saja. Apakah Nyai me-
rasa tidak mampu menghadapi Ratu
Air dan keempat
pengikutnya?"
Bibir Nyai Catur Asta
menampakkan senyum ti-
pis.
"Ratu Air tahu kelemahanku.
Pada hari kesatu
purnama pertama aku harus
bersemadi sehari penuh.
Saat itulah semua ilmu
kesaktianku lepas. Ini meru-
pakan kesempatan baik bagi Ratu
Air untuk membalas
dendam. Apalagi dia telah
memiliki senjata ampuh
yang berupa tongkat berkepala
naga. Namanya Tong-
kat Sakti."
"Tongkat Sakti?!"
Pengemis Binal langsung ter-
cekat. "Bukankah tongkat
itu milik Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti yang
sekarang berada di puncak
Bukit Pangalasan? Bagaimana bisa
jatuh ke tangan
Ratu Air?" tanyanya tak
percaya.
"Semalam Ratu Air telah
merampasnya."
Bukan main terkejutnya Suropati.
Sampai-
sampai matanya terbeliak dengan
mulut terbuka. "La-
lu... lalu bagaimana dengan
Kakek Gede Panjalu?"
"Kakek bongkok yang
merupakan guru penyam-
bungmu itu tidak kuasa menahan
kekuatan 'Sinar Pe-
rak Cairkan Wujud'. Bahkan
belasan anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
yang mencoba mengha-
langi mati di tangan wanita
jahat itu."
"Keadaan Kakek Gede Panjalu
sekarang?" Suro-
pati kelihatan begitu khawatir.
"Untunglah seseorang datang
menolong dengan
menyalurkan hawa murni
kepadanya. Tapi, sesepuh
perkumpulan pengemis itu tidak
akan mampu menya-
lurkan tenaga dalam sekitar satu
minggu lamanya."
"Keparat!" umpat
Pengemis Binal. Giginya geme-
letukkan menahan marah. Napasnya
pun terdengar
memburu, "Rupanya biang
keladi dari semua peristiwa
ini adalah Ratu Air. Empat
Begundal Dari Gua Laran-
gan yang telah menyebar kematian
pada anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu pun tentu atas
perintahnya."
"Jadi, kau setuju untuk
membantu menyela-
matkan Kerajaan Siluman dari
gempuran Ratu Air dan
keempat pengikutnya?" tegas
Nyai Catur Asta meminta
kepastian Suropati.
"Ya, Nyai," jawab
Pengemis Binal tanpa pikir pan-
jang lagi. "Sebelum hari
kesatu purnama pertama, aku
akan membuat perhitungan dengan
wanita jahat itu!"
Bibir Nyai Catur Asta tersenyum
senang. "Ulur-
kan tangan kananmu kemari,
Suro...," pintanya kemu-
dian.
"Untuk apa, Nyai?"
tanya Pengemis Binal tak
mengerti.
"Sudahlah. Kau turuti saja
permintaanku."
Seperti terkena sihir, Suropati
mengulurkan tan-
gan kanannya. Nyai Catur Asta
memegang tangan itu.
Kemudian, ibu jarinya menekan
nadi yang terletak di
pangkal lengan Suropati. Remaja
konyol itu tampak
cengar-cengir merasakan telapak
tangan Nyai Catur
Asta yang sedingin es.
"Apa yang sedang kau
lakukan, Nyai?" tanya Su-
ropati ketolol-tololan.
Nyai Catur Asta tak menjawab.
Sebentar kemu-
dian, wajah Ratu Kerajaan
Siluman ini berubah te-
gang. Suropati masih saja
cengar-cengir. Tapi ketika
dari ibu jari Nyai Catur Asta
mengalir hawa sedingin
es, Suropati terkejut. Wajahnya
ikut berubah tegang.
Karena secara mendadak tubuhnya
menggigil kedingi-
nan.
"Apa yang sedang kau
lakukan, Nyai?" tanya
Pengemis Binal lagi. Kali ini
dia kelihatan sungguh-
sungguh.
Nyai Catur Asta tetap tak
memberikan jawaban.
Tiba-tiba Suropati menjerit
keras. Cairan otaknya tera-
sa menggumpal dan berputar-putar
tak karuan.
"Bertahanlah...," ujar
Nyai Catur Asta.
"Aku... aku tak tahan,
Nyai. Argh...!"
Kepala Suropati terasa bagai
dipukuli palu go-
dam. Seluruh pembuluh darahnya
berdenyut-denyut.
Jantungnya pun berdegup sangat kencang.
Ini mem-
buat dadanya terasa sesak dan
jalan nafasnya ter-
ganggu. Tapi sebelum Suropati
jatuh ping-san, hawa
sejuk yang melenakan mengalir
dari ibu Jari Nyai Ca-
tur Asta. Suropati pun bisa
bernapas lega.
"Sekarang kau telah siap
untuk menghadap Ratu
Air," kata Nyai Catur Asta
seraya melepaskan pegan-
gannya pada tangan Pengemis
Binal.
"Apa yang baru saja kau
lakukan ini, Nyai?"
tanya Pengemis Binal sambil menatap nadinya yang
semula dipegang Nyai Atur Asta.
Remaja konyol ini
terkejut saat melihat pada kulit
di pangkal lengannya
terdapat bulatan warna merah
sebesar biji delima. Di-
gosok-gosoknya bulatan merah
itu, tapi tak dapat hi-
lang.
"Aku telah menurunkan ilmu
'Pukulan Salju Me-
rah' kepadamu, Suro. Bulatan
merah pada tanganmu
itu sebagai tandanya. Seumur
hidupmu tanda itu tak
akan hilang. Bukan hanya
menempel pada kulit, tapi
juga tembus sampai ke
tulang," beritahu Nyai Catur
Asta tentang apa yang baru saja
dilakukannya.
Suropati masih saja
menggosok-gosok bulatan
merah pada tangannya. Tampaknya
remaja konyol ini
tak mempercayai ucapan Nyai
Catur Asta. Setelah ku-
litnya terasa panas, barulah dia
merasakan kebenaran
dari ucapan Ratu Kerajaan
Siluman itu.
"Bila memang benar Nyai
telah menurunkan ilmu
'Pukulan Salju Merah', Suropati
layak menghaturkan
beribu-ribu terima kasih. Budi
baik Nyai tak akan ter-
lupakan sepanjang masa...,"
kata Pengemis Binal sam-
bil membungkukkan badan.
"Tak perlu berbasa-basi
segala. Yang penting kau
mesti menemukan Ratu Air sebelum
hari kesatu pur-
nama pertama."
"Tapi, aku belum tahu
kehebatan ilmu 'Pukulan
Salju Merah' yang telah Nyai
turunkan kepadaku. Da-
patkah Nyai
menggambarkannya?" pinta Suropati.
"Pada saatnya nanti kau
akan tahu sendiri.
Hanya satu pesanku, gunakan pada
keadaan yang ter-
desak. Selain itu jangan.
Akibatnya akan sangat men-
gerikan," pesan Nyai Catur
Asta mewanti-wanti.
Pengemis Binal
mengangguk-anggukkan kepala.
Sekejap kemudian, sosok Nyai
Catur Asta lenyap dari
pandangan. Telinga Suropati pun
menangkap suara
gemerincing lonceng kereta kuda
yang saling bersahu-
tan. Diselingi suara dengungan
seperti ribuan lebah
terbang. Semakin lama suara itu
semakin pelan, ke-
mudian lenyap sama sekali.
SELESAI
Segera terbit:
PRAHARA Di KUIL SALOKA
Emoticon