DENDAM PARA PENGEMIS
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Dendam Para Pengemis
128 hal.
1
Senja rebah di Bukit Pangalasan.
Gelap hampir
menyelimuti. Puncak bukit yang
menjulang hanya
berhias sepi. Di antara desau
angin yang mengalun
lembut bau anyir darah menyebar.
Satwa-satwa men-
dengus gusar terbalut rasa
ngeri.
Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi
meluncur
deras masuk ke dalam jurang.
Dasarnya dipenuhi ton-
jolan batu runcing yang siap
mengundang kematian!
Dalam kedudukan kepala berada di
bawah
Gede Panjalu melihat rimbunan
daun tumbuh di sisi
tebing. Kakek bongkok itu cepat
mengembangkan tan-
gannya berusaha meraih dahan
yang menyembul.
"Hup...!"
Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tu-
buh, Gede Panjalu berhasil
mengatasi lontaran tubuh-
nya, saat tangan sesepuh
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu berhasil
menyambar dahan pohon.
Ketika tubuhnya terpantul itulah
Gede Panjalu
melihat Wirogundi meluncur
turun. Segera ditangkap-
nya tangan pemuda kurus
tersebut. Namun, akar po-
hon yang menancap di tebing
jurang tak sanggup me-
nahan tubuh mereka yang sedang
berkutat dengan
maut.
Untunglah, sebelum mereka
terhempas ke da-
sar jurang, dedaunan yang lebih
rimbun menopang.
Lalu, dengan ilmu meringankan
tubuh Gede Panjalu
dan Wirogundi berhasil mengatasi
luncuran. Tapi, tak
urung tubuh mereka jatuh
berdebam di sisi sebongkah
batu runcing. Hanya karena
kekuatan tenaga dalam
tubuh keduanya tidak hancur.
Gede Panjalu menggeliat sambil
mendekap ba-
hu kirinya yang sakit luar
biasa. Pukulan Bayangan
Hitam ketika bertempur melawan
tokoh sesat itu di
puncak bukit telah menghantamnya
dengan telak. Su-
sah payah Gede Panjalu berhasil
bangkit. Lalu kepa-
lanya digeleng-gelengkan untuk
mengusir kekaburan
pandangan yang menyelimuti
matanya.
Gede Panjalu menghampiri
Wirogundi yang ter-
geletak pingsan tak jauh
darinya. Diperiksanya tubuh
pemuda kurus itu. Hawa panas
terasa menjalar dari
punggung Wirogundi yang terkena
tendangan Malaikat
Bangau Sakti.
"Segeralah duduk bersila,
Wiro...," perintah
Gede Panjalu sambil menopang
tubuh Wirogundi.
Pemuda kurus itu mengikuti
petunjuk Gede
Panjalu. Sementara si kakek
mengembangkan kedua
tangannya ke atas. Lalu, dengan
kekuatan tenaga da-
lam dihantamnya punggung
Wirogundi!
"Uoookkk...!"
Darah kental kehitaman menyembur
dari mulut
Wirogundi. Bersamaan dengan itu
dia jatuh tertelung-
kup dalam keadaan pingsan. Untuk
kedua kalinya
Gede Panjalu melancarkan totokan
di beberapa aliran
darah Wirogundi.
"Bersemadilah untuk
mengumpulkan hawa
murni mu...," kata Gede
Panjalu kemudian, setelah Wi-
rogundi tersadar dari
pingsannya.
Pemuda kurus itu segera duduk
bersila dengan
tangan bersedekap. Matanya
dipejamkan merasakan
keheningan mayapada. Wirogundi
berusaha menyatu-
kan Inti kekuatan tubuh yang
berputar-putar di seki-
tar pusar.
Gede Panjalu melakukan hal yang
sama. Dia
berusaha mengalirkan kesejukan
ke bahu kirinya yang
terasa sangat panas. Dua anak
manusia itu segera la-
rut dalam kisaran alam kosong.
Menyedot kekuatan
alam semesta yang tidak semua
orang dapat melaku-
kannya.
Di atas langit berwarna hitam
kelam. Kerlip
bintang bertaburan bagai hendak
menggoda bulan un-
tuk tersenyum. Cahayanya membias
ke bumi dan
menciptakan keremangan. Namun,
putaran sang wak-
tu berlalu cepat. Ayam alas
berkokok. Samar-samar
cahaya mentari menyorot di ufuk
timur. Kerlip bintang
dan warna keemasan bulan pun
memudar. Tampaknya
fajar akan menyingsing.
Gede Panjalu dan Wirogundi
membuka kelopak
mata. Mereka beberapa saat menatap
tebing tinggi
yang terpampang di depan.
Keduanya lalu bangkit ber-
diri dengan tubuh lebih segar.
Semadi yang mereka la-
kukan semalaman telah
menunjukkan hasil.
Tiba-tiba Wirogundi mendengus.
Ditendangnya
batu sebesar kepala manusia yang
tergolek di hada-
pannya.
"Margana Kalpa
keparaaattt...!" teriak pemuda
kurus itu.
Suara yang keluar dari mulutnya
menggema
berkepanjangan, lalu terpantul
oleh tebing jurang. Mau
tak mau Gede Panjalu pun
terkejut.
"Kau kenapa, Wiro?"
tanya kakek bongkok itu
kaget.
Wirogundi tak memperhatikan. Dia
meloncat ke
sisi tebing. Kemudian, telapak
tangannya dihantamkan
dengan kekuatan tenaga dalam
penuh.
Blaaammm...!
Tebing itu retak, dan sebagian
ambrol. Debu
serta gumpalan tanah padas
berhamburan. Keluh ke-
sakitan keluar dari mulut
Wirogundi. Dia berdiri lim-
bung sambil mendekap dadanya
yang sesak karena lu-
ka dalam yang belum sembuh
benar.
Mendadak, Wirogundi jadi
beringas. Sambil
menjerit keras dia hendak menghantamkan
tangannya
kembali. Namun, Gede Panjalu
telah meloncat untuk
mencegah. Kakek bongkok itu
menelikung pergelangan
tangan Wirogundi.
"Jangan berbuat macam orang
gila, Wiro!" ben-
tak Gede Panjalu.
Wirogundi menjatuhkan tubuhnya
dan berdiri
berlutut di hadapan Gede
Panjalu.
"Bunuh saja aku,
Kek...," kata pemuda kurus
itu.
"Hush! Hanya manusia
berakal pendeklah yang
ingin mati!" sahut Gede
Panjalu keras.
"Tapi, aku tak tahan hidup
dalam kesendi-
rian...."
"Kau tidak sendiri, Wiro.
Di sekitarmu masih
ada orang-orang yang akan
menemanimu. Dan walau-
pun anggota perkumpulan kita
banyak yang telah tia-
da, namun anggota lainnya masih
banyak tersebar di
beberapa kadipaten bahkan
kotapraja...."
"Tapi, aku telah kehilangan
orang yang sangat
kucintai. Aku telah kehilangan
Anjarweni...."
Bahu Wirogundi bergerak
naik-turun. Hembu-
san nafasnya
pendek-pendek. Keluarlah suara isak
tangis dari mulutnya. Pemuda
kurus itu kemudian
menangis tersedu-sedu.
"Apa yang telah terjadi
tidak perlu disesali, Wi-
ro...," bujuk Gede Panjalu
lembut. "Kematian adalah
awal dari sebuah kehidupan baru.
Relakan kepergian
kekasihmu. Janganlah kau buat
rintangan bagi perja-
lanannya...."
Tak ada kata yang keluar dari
mulut Wirogundi.
Suara tangisnya malah terdengar
semakin keras. Gede
Panjalu menepuk bahunya lembut,
kemudian mem-
bimbing Wirogundi berjalan ke
sisi tebing yang terhin-
dar dari sengatan sinar mentari.
Ketika Wirogundi menjatuhkan
pantatnya di
atas batu besar, air mata masih
mengalir di pipi.
"Seharusnya kau malu dengan
apa kau laku-
kan ini, Wiro...," kata
Gede Panjalu sambil menatap
pemuda itu.
"Margana Kalpa
keparat!" umpat Wirogundi
dengan suara tertahan. Giginya
gemeletukan dan ra-
hangnya menggembung keras,
terbawa luapan amarah
dan dendam yang menyentak dalam
dada.
"Sebaiknya kau bersemadi
kembali, Wiro. Te-
nangkan pikiranmu...."
Wirogundi menjambak rambutnya
sendiri. Di-
remasnya kuat-kuat bersama
dengan hembusan napas
berat.
"Bersemadilah,
Wiro...," usul Gede Panjalu lagi.
Wirogundi tak mempedulikan. Dia
menghen-
takkan kakinya ke tanah seraya
menjerit keras.
Tiba-tiba, Gede Panjalu
melayangkan telapak
tangannya!
Plak...!
Wirogundi mendekap pipinya yang
memerah
dan terasa panas. Mata pemuda
kurus itu menjadi
nyalang. Tapi, dia segera
berlutut dan mencium kaki
Gede Panjalu.
"Maafkan aku, Kek...,"
rintih pemuda kurus itu
"Cobaan yang ditimpakan
kepada Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti memang
begitu hebat. Tidak
hanya kau yang merasakannya,
Wiro. Ratusan anggota
perkumpulan kita di tempat lain
yang sedang mencari
nafkah pun pasti akan sedih
bukan main bila menge-
tahui sanak-kerabat mereka telah
tiada. Tapi Tuhan
tidak akan memberi cobaan
melampaui batas kemam-
puan kita. Tinggal kita sendiri
bagaimana bersikap. Se-
lama kita masih memiliki akal,
kenapa harus larut da-
lam kesedihan, padahal masih
banyak yang dapat kita
perbuat. Kita masih dapat
berbuat sesuatu untuk me-
ringankan beban orang lain.
Mengumpulkan pahala
sebanyak-banyaknya untuk bekal
hidup kita di kemu-
dian hari...."
Wirogundi mendongakkan kepala.
Mata itu me-
natap kosong. Tiba-tiba pemuda
itu merasakan tu-
buhnya jadi sangat ringan. Jiwa
Wirogundi seperti me-
layang-layang di hamparan langit
luas.
"Terima kasih atas
nasihatmu, Kek...," ucap Wi-
rogundi kemudian.
"Bagus! Bila kau dapat
menepis rasa sedih da-
lam hatimu, kau pun bisa disebut
sebagai seorang ksa-
tria!" puji Gede Panjalu.
Kepala Wirogundi tertunduk
dalam-dalam me-
rasakan kebenaran ucapan Gede
Panjalu. Dia pun se-
makin tertunduk ketika gede
Panjalu mengusap ram-
butnya.
"Kau bersemadilah untuk
beberapa saat, Wi-
ro...," kata Gede Panjalu
mengulangi sarannya tadi.
Tak lama kemudian Wirogundi
sudah larut da-
lam kekosongan waktu. Jiwanya
melayang dalam ke-
heningan mayapada.
Gede Panjalu duduk terpekur di
tempatnya. In-
gatan peristiwa yang baru saja
terjadi muncul dalam
benak kakek bongkok itu. Tanpa
sadar dia mendesah
panjang. Kebiadaban Margana
Kalpa yang memporak-
porandakan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti te-
rasa begitu menyakitkan.
Terbayang pula kekejaman
Galungking Saba atau si Penyedot
Arwah. Begitu mu-
dahnya dia menyebar kematian
sambil tertawa-tawa.
Demikian pula dengan Galang
Gepak atau si Bayangan
Hitam yang telah melukainya.
Tapi, Gede Panjalu segera
menyadari keadaan.
Otaknya menghalangi perasaan
hati untuk tidak ter-
bawa pada kekalutan yang hanya
akan mendatangkan
amarah dan dendam.
"Suropati...," gumam
kakek itu kemudian. "Per-
gi ke mana dia? Bagaimana bila
dia tahu perkumpulan
yang dipimpinannya telah
hancur?"
Setelah termenung sebentar,
tiba-tiba saja Gede
Panjalu memukul jidatnya
sendiri.
"Aku percaya kepada
kekuasaan Tuhan. Kebe-
naran akan menindih kezaliman.
Manusia hanyalah
sekadar wayang yang digerakkan
oleh tangan-Nya...."
Gede Panjalu lalu bangkit dari
duduknya ketika
mendengar suara keroncongan
perut yang datang dari
rasa lapar. Kakek bongkok itu
berjalan menyusuri teb-
ing yang banyak di tumbuhi
pepohonan. Sambil me-
loncat-loncat di antara
bebatuan, dia menyebar pan-
dangan. Dicari-carinya sesuatu
yang dapat diperguna-
kan untuk mengisi perut.
Tiba di tepi sebuah aliran
sungai kecil, Gede
Panjalu menghentikan langkah.
Kening sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
berkerut. Tam-
pak seekor ular sanca sebesar
paha manusia dewasa
tengah melingkar di sebatang
pohon serut yang tum-
buh tebing cadas. Yang membuat
Gede Panjalu heran
adalah adanya tiga bulatan
coklat kemerahan sebesar
biji kelerak di antara lingkaran
tubuh ular sanca.
"Kenapa pohon serut bisa
berbuah seperti itu?"
tanya Gede Panjalu dalam hati.
"Dan, kelihatannya
ular sanca itu sedang
menjaganya. Mungkinkah aku
tengah menjumpai suatu
keajaiban?"
Gede Panjalu berjalan lebih
dekat. Ketika dia
mendongakkan kepala, kakek
bongkok itu dihantam
keterkejutan yang sangat. Ular
sanca tiba-tiba meman-
jangkan tubuhnya seraya membuka
mulut lebar-lebar
dengan lidah terjulur!
Dengan gerak spontan Gede
Panjalu melangkah
mundur dua tindak. Matanya
menatap kepala ular
sanca yang mengejang. Ketika
pandangannya beralih,
dia tak melihat tiga butir buah
aneh, karena ditutupi
oleh tubuh ular sanca.
Cepat Gede Panjalu menendang
batu sebesar
kepalan tangan. Batu itu
meluncur ke sisi pohon serut,
menimbulkan suara benturan keras
karena menghan-
tam tebing cadas. Tapi, ular
sanca sama sekali tak
bergeming dari tempatnya. Dia
seperti sudah tahu
maksud Gede Panjalu yang
berusaha mengalihkan
perhatiannya.
Karena terbawa oleh rasa
penasaran, Gede Pan-
jalu menendang kembali sebuah
batu. Kali ini batu
meluncur deras ke arah kepala
ular sanca.
Dhuk...!
Batu hanya membentur tebing
cadas karena
ular Sanca
menggerakkan kepalanya ke samping se-
raya mendesis keras. Mulutnya
terbuka semakin lebar.
Lidah terjulur keluar-masuk
dengan mata berkilat ta-
jam!
"Aku harus berhati-hati.
Ular itu tampaknya
hendak menerkam ku," kata
Gede Panjalu dalam hati.
Mendadak, bayangan hitam
kecoklatan melun-
cur datang. Gede Panjalu yang
sudah siap-siaga berge-
gas meloncat ke samping.
Kemudian dia menyebar
pandangan untuk mencari ular
sanca yang baru me-
nyerangnya. Namun, satwa melata
itu sudah lenyap
bagai ditelan bumi.
Kesempatan itu tak disia-siakan
Gede Panjalu.
Dia menghemposkan tubuhnya ke
atas menyambar ti-
ga butir buah aneh yang menempel
di pohon serut.
Sayang, maksud hati kakek
bongkok itu tak kesam-
paian. Tahu-tahu si ular sanca
muncul dan hendak
mencaplok kepalanya!
Dalam keadaan masih melayang di
udara Gede
Panjalu menggerakkan kepala ke
samping. Dan ketika
kakinya mendarat di tanah, Kakek
itu merasakan tu-
buhnya jadi kejang!
"Argh...!"
Napas Gede Panjalu sesak oleh
belitan ular
sanca yang sangat keras.
Sementara kepala si ular
sanca berkelebat dengan mulut
menganga, menam-
pakkan taringnya yang runcing
mengkilat!
"Hup...!"
Gede Panjalu menangkap lehernya.
Tapi, ular
sanca menggeliat seraya
memperkeras belitan. Napas
Gede Panjalu langsung terhenti.
Kakek bongkok itu segera
mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuh
agar tidak remuk.
Mendadak, si ular sanca
menggeliat lebih ganas. Tu-
buh Gede Panjalu terpelanting
lalu menggelosor ke ta-
nah.
Kakek bongkok itu menyalurkan
tenaga dalam
ke telapak tangan. Berusaha
dilumatnya leher si ular
sanca. Satwa melata itu seperti
menyadari keadaan.
Dia menghentakkan ekornya ke
tanah, hingga tubuh
Gede Panjalu bergulingan dan
cengkeramannya pada
leher ular pun tak lepas.
Satwa melata itu kemudian mendesis
keras se-
raya hendak mencaplok kepala
Gede Panjalu dengan
kecepatan kilat.
Prak...!
Dalam keadaan genting Gede
Panjalu masih
sempat melontarkan kepalan
tangannya dengan keku-
atan tenaga dalam. Kepala si
ular sanca langsung re-
muk bersimbah darah!
Tapi, nyawa satwa melata itu
belum lepas dari
raga. Dia menggeliat seraya
menghentak-hentak den-
gan ganas. Belitan diperhebat.
Akibatnya, tubuh Gede
Panjalu terbanting-banting di
atas tanah.
Kakek bongkok itu segera
menggedrukkan kaki.
Tubuhnya melayang ke udara. Saat
itulah, dia me-
nyambar ekor ular sanca seraya
membetot. Waktu kaki
Gede Panjalu telah mendarat
kembali ke permukaan
tanah, belitan si ular sanca pun
lepas. Gede Panjalu
kemudian melontarkan tubuh ular
sanca ke dalam
sungai.
Permukaan air bergejolak oleh
rontaan dahsyat
ular sanca yang meregang nyawa.
Tak seberapa lama
kemudian permukaan air tenang
kembali. Tinggallah
warna merah menyebar karena
simbahan darah.
Gede Panjalu tak memperhatikan
bangkai ular
sanca yang mengambang. Sambil
membersihkan tu-
buhnya dari debu dan percikan
darah, kakek bongkok
itu menatap dengan seksama tiga
butir buah ajaib
yang menempel di batang pohon
serut.
"Buah pala ajaib...!"
desisnya seperti baru te-
ringat pada suatu hal.
"Tapi, benarkah tiga butir buah
sebesar kelerak itu yang
merupakan benda rimba per-
silatan yang mempunyai khasiat
luar biasa?" tanyanya
kemudian.
Sesaat kakek itu terlihat
ragu-ragu. Tapi Gede
Panjalu lalu menghemposkan
tubuhnya seraya me-
nyambar. Tiga butir buah ajaib
itu berhasil diraup tan-
gan Gede Panjalu. Namun, sungguh
dia tak menyang-
ka jari telunjuknya dipatuk
seekor ular hijau sebesar
lidi yang menempel di antara
dedaunan serut!
Bruk...!
Gede Panjalu jatuh tersungkur.
Kakek itu tidak
bisa menjaga keseimbangan
tubuhnya. Patukan si ular
kecil langsung menghentikan
pernapasan.
Kakek bongkok itu menggelepar
sambil mende-
kap lehernya yang terasa bagai
dijerat tali. Tubuh Gede
Panjalu terlihat mengeluarkan
asap tipis. Bersamaan
dengan itu telapak tangan
kanannya berubah hijau
tua. Dan terus menjalar ke
sekujur tubuh. Bahkan,
Warna hijau menjalar sampai ke
bola mata Gede Pan-
jalu. Malaikat Kematian pun
mengintai!
Masih menggelepar-gelepar di
atas tanah kakek
bongkok itu berbuat
untung-untungan. Dia menelan
sebutir buah berwarna coklat
kemerahan yang berada
dalam genggaman.
Akibatnya ternyata
justru lebih mengerikan.
Tubuh Gede Panjalu semakin
menggelepar hebat. Ka-
kek itu bergulingan ke
sana-kemari sambil melolong-
lolong merasakan sakit yang luar
biasa.
Ketika Gede Panjalu membentur
tebing cadas,
mendadak tubuh itu diam untuk
beberapa lama. Ka-
kek bongkok itu lalu bangkit
duduk bersila. Rasa sakit
yang merejamnya lenyap berganti
dengan hawa han-
gat. Tapi, rasa itu lama-kelamaan
memuncak dan
menjadi panas yang menggelora.
Gede Panjalu pun se-
gera mengerahkan hawa murni
untuk bertahan dari
rasa panas.
"Uh...!"
Mulut kakek bongkok itu
mengeluarkan suara
keluhan. Panas yang dirasakannya
berubah jadi rasa
dingin menyengat.
Tubuh Gede Panjalu menggigil
hebat. Giginya
gemeletukan dengan rahang
mengatup. Perlahan-
lahan timbul bunga es di sekujur
tubuh kakek bong-
kok itu. Rasa dingin semakin
memagut.
Sepeminum teh kemudian, Gede
Panjalu masih
berkutat dengan rasa dingin yang
sanggup membeku-
kan tubuh. Perlahan sekali rasa
dingin itu hilang den-
gan sendirinya. Gede Panjalu
mendengus. Lalu bangkit
dan membasuh mukanya yang kotor
oleh debu.
"Tuhan masih berkenan
melindungi nyawa-
ku...," desis kakek bongkok
itu.
Dia lalu berjalan menyusuri
tepian sungai un-
tuk mencari pengisi perut,
seperti tujuannya semula.
Hingga beberapa lama tak
dijumpai apa yang diingin-
kannya. Sampai dia memandang ke
kejauhan dan ter-
lihatlah sebatang pohon mangga yang
sedang berbuah
lebat.
"Ah, buah mangga!"
seru kakek bongkok itu gi-
rang sekali.
Gede Panjalu bergegas berjalan
mendekati. Di-
hemposkan tubuhnya untuk
menggapai buah mangga.
Wuuusss...!
Gede Panjalu terkejut setengah
mati. Tubuhnya
meluncur melebihi tinggi pohon
mangga.
Ketika tubuh kakek bongkok itu meluncur
kembali ke bawah, tangannya
menyambar. Untuk ke-
dua kalinya dia terkejut.
Tahu-tahu dua butir buah
mangga telah berada dalam
genggaman.
"Kenapa ilmu meringankan
tubuhku dapat ber-
kembang demikian hebat?!"
Gede Panjalu bertanya da-
lam hati. Ditimang-timangnya dua
butir buah coklat
kemerahan sebesar kelerak yang
berada di telapak
tangan kiri. "Benda yang
kupegang ini tentu buah pala
ajaib. Bila aku tidak
menelannya, mungkin aku telah
mati oleh patukan ular kecil di
pohon serut. Dan yang
membuat ilmu meringankan tubuhku
berkembang pe-
sat tentu buah pala ajaib itu
pula...."
Beberapa lama kakek bongkok yang
bergelar
Pengemis Tongkat Sakti terbawa
luapan rasa gembira.
Tidak sembarang orang dapat
menemukan buah pala
ajaib. Hanya orang-orang yang
memang telah dikehen-
daki Sang Penguasa Tunggal-lah
yang dapat memiliki
benda berkhasiat luar biasa itu.
Buah pala ajaib belum
tentu muncul di bumi dalam
seabad sekali. Karenanya,
Gede Panjalu bagai orang
kejatuhan rembulan.
Tapi, dia segera teringat
Wirogundi yang pasti
sedang menunggunya. Gede Panjalu
berlari cepat. Tu-
buhnya laksana lenyap dari
pandangan. Dia hanya
memerlukan waktu beberapa
tarikan napas untuk
kembali ke hadapan Wirogundi
yang sudah menyele-
saikan semadinya.
"Kau dari mana, Kek?"
tanya pemuda kurus itu
seperti tak sabaran karena
menunggu terlalu lama.
"Aku mencari makanan,
Wiro...," jawab Gede
Panjalu. Dilemparkan buah mangga
yang dipegangnya
di tangan kanan.
Wirogundi menangkap dengan
sigap. Setelah
mengamati buah mangga sebentar,
dia menatap Gede
Panjalu.
"Sepertinya kau habis
bertempur, Kek...," kata
pemuda kurus itu.
Gede Panjalu memperhatikan
keadaan dirinya.
Rambut dan pakaiannya
awut-awutan. Saat itulah dia
tahu luka-luka lecet saat
bergulat dengan ular sanca
telah lenyap tanpa bekas.
"Ini tentu berkat khasiat
buah pala ajaib...,"
gumam kakek bongkok itu.
"Kau habis bertempur dengan
siapa, Kek?"
"Ular," sahut Gede
Panjalu.
"Ular?!" Wirogundi
terkejut.
"Ya."
Sambil menikmati buah mangga,
Gede Panjalu
menceritakan peristiwa yang baru
saja dialaminya.
"Jadi, Kakek telah
menemukan buah pala
ajaib?" tegas Wirogundi.
"Ya."
Mendengar jawaban pendek Gede
Panjalu, Wi-
rogundi menjatuhkan diri dan
berlutut di hadapan se-
sepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu.
"Aku mohon Kakek berkenan
memberikan se-
butir, buah pala ajaib
kepadaku," kata Wirogundi
menghiba.
"Untuk apa?"
"Aku tahu buah pala ajaib
bisa melipat ganda-
kan kepandaian seseorang. Aku
ingin membalaskan
sakit hatiku terhadap Margana
Kalpa. Dia telah mem-
bunuh kekasihku dan anggota
perkumpulan kita.
Dengan ilmu kepandaianku yang
sekarang, aku tidak
akan sanggup menghadapinya.
Untuk itu, aku mohon
Kakek berkenan memberikan
sebutir buah pala ajaib
kepadaku..."
"Bangunlah, Wiro...,"
ujar Gede Panjalu lembut.
Wirogundi bangkit lalu duduk
bersila.
"Kebenaran dan keadilan
memang harus selalu
ditegakkan. Selama rimba
persilatan masih dikuasai
kaum sesat, kebenaran dan
keadilan hanyalah bayan-
gan semu semata. Kekejaman dan
kebiadaban kaum
sesat membuat orang-orang tak
berdosa jadi menderi-
ta...."
Kepala Wirogundi tertunduk dalam
menden-
garkan kata-kata Gede Panjalu
dengan seksama. "Wi-
ro...," panggil Gede
Panjalu. "Ya, Kek...."
"Aku ingin kau berjanji
untuk selalu berjalan di
alas jalan kebenaran. Demi
menegakkan keadilan dan
membela kaum lemah dengan
berdasarkan hati murni.
Tanpa pamrih dan penuh
pengabdian...."
"Demi Tuhan, aku berjanji.
Disaksikan bumi
dan langit, aku akan selalu
menuruti kata-kata Kakek
itu...."
"Tuhan akan menjatuhkan
azab bila kau me-
langgar janjimu Wiro...,"
Gede Panjalu mengingatkan
dengan suara berat berwibawa.
Kakek bongkok itu lalu
memberikan sebutir
buah pala ajaib kepada
Wirogundi. Pemuda kurus itu
pun langsung menelannya.
"Hhhh...!"
Wirogundi merasakan lehernya
bagai tercekik.
Hawa panas menjalar di sekujur
tubuhnya, sampai
asap tipis mengepul dari atas
kepala. Wirogundi men-
gerahkan tenaga dalamnya untuk
bertahan. Sebentar
kemudian, hawa panas hilang
berganti dengan hawa
dingin yang sangat hebat!
Itulah cara kerja buah pala
ajaib untuk membe-
rikan khasiat luar biasa bagi
siapa saja yang mema-
kannya.
Gede Panjalu menatap wajah
Wirogundi yang
tampak tegang. Kemudian, berubah
teduh seperti se-
dang merasakan kenikmatan. Rasa
sakit yang mende-
ranya telah hilang. Wirogundi lalu
membuka mata. Dia
berlutut di hadapan Gede Panjalu
seraya mencium ka-
kinya.
"Terima kasih, Kek."
"Tak perlu berlebihan,
Wiro...," ujar Gede Panja-
lu melihat sikap Wirogundi.
Setelah berkata-kata sebentar,
tokok-tokoh
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu berjalan ke
utara menyusuri tepian
sungai....
2
Sang Baskara bergeser ke barat.
Sengatan pa-
nas pun melemah. Angin berhembus
meliukkan rant-
ing-ranting pohon dan
menyejukkan suasana. Burung-
burung bercanda di angkasa.
Sebuah titik hitam meluncur
cepat di langit la-
zuardi. Ketika sudah dekat
dengan pandangan, tam-
paklah seekor bangau raksasa
berbulu hitam legam
mengepakkan sayapnya dengan
gagah. Di punggung-
nya bertengger seorang lelaki
setengah baya. Berpa-
kaian serba hitam dengan ikat
pinggang kain sutera
merah darah. Wajah lelaki itu
sangat pucat. Rambut-
nya yang telah memutih dikuncir
ke belakang menjadi
satu jalinan panjang. Dia adalah
Margana Kalpa ketua
Perkumpulan Bangau Sakti.
Lelaki berwajah pucat itu berhasil
selamat. Pa-
dahal tubuhnya terlontar masuk
ke dalam jurang oleh
benturan inti kekuatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas
Sukma' yang dilancarkan Suropati
atau si Pengemis
Binal.
Bangau raksasa yang telah
menyelamatkannya.
Dengan paruhnya yang kokoh,
satwa perkasa itu me-
nyambar tubuh Margana Kalpa
kemudian dibawanya
kembali ke Bukit Bangau.
Setelah berhasil menyembuhkan luka dalam-
nya, Margana Kalpa bersama
bangau raksasa mengeli-
lingi seluruh wilayah Kerajaan
Anggarapura. Dia me-
mamerkan dirinya yang bisa
bertahan dari ilmu 'Kalbu
Sukma Penghempas Sukma' milik
Suropati. Maksud-
nya, agar kaum persilatan mau
mengakui dirinya se-
bagai seorang tokoh pilih
tanding yang sangat digdaya.
Dengan demikian, nama
Perkumpulan Bangau Sakti
akan ikut terangkat.
"Kaaakkk...!
Kaaakkk...!"
Satwa perkasa tunggangan Margana
Kalpa me-
layang-layang di udara. Tapi
ketika Margana Kalpa
menepuk lehernya, bangau raksasa
itu menukik cepat
dan mendarat di tepi sungai.
Resi Agaswara yang kebe-
tulan berada di tempat itu
terkejut bukan main.
"Margana Kalpa...?!"
gumam kakek berjubah
putih yang berwajah teduh itu.
"Ha-ha-ha...!" Margana
Kalpa tertawa terbahak-
bahak. "Kau terkejut
melihat kehadiranku, Agaswara?"
"Apa keperluanmu datang ke
mari, Kalpa?"
"Huh! Apakah kau tidak
mendengar pesan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam?
Aku mengun-
dangmu untuk datang ke Bukit
Bangau."
"Aku mencium suatu tipu
muslihat di balik un-
danganmu!" sahut Resi
Agaswara.
Margana Kalpa tertawa. "Kau
takut, Agaswa-
ra?!"
"Masalahnya bukan takut
atau tidak! Aku tidak
punya urusan denganmu. Jadi, apa
perlunya aku da-
tang ke Bukit Bangau?"
kilah sang Resi.
"Tapi, sekarang juga kau
harus ikut aku ke sa-
na"
"Untuk apa?"
"Kau harus membangkitkan
arwah guruku De-
wa Tapak Hitam!" teriak
Margana Kalpa lantang.
"Jagat Dewa Batara. Hyang
Widhi Maha Pen-
gampun...," Resi Agaswara
mendekatkan telapak tan-
gannya di depan dada, menyebut
kebesaran Sang Pen-
guasa Tunggal. "Biarkan
arwah orang yang telah mati
tenang di alam baka, Kalpa. Tak
perlu kau mengusik-
nya."
Margana Kalpa tertawa
terbahak-bahak.
"Di antara kaum sesat tidak
ada istilah mengu-
sik. Yang ada hanyalah pencarian
manfaat untuk me-
muaskan hawa nafsu. Walau harus
berjalan di atas
penderitaan orang lain!"
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," Resi Agas-
wara menyebut kebesaran-Nya
kembali.
"Cih! Jangan sok suci,
Agaswara! Aku tahu sia-
pa dirimu!" maki Margana
Kalpa dengan suara lantang.
"Kau hanyalah perampok hina yang kemudian berju-
bah pendeta!"
Mendengar ucapan itu, Resi
Agaswara mende-
sah panjang. Ia teringat kembali
bayangan masa la-
lunya yang kelabu.
Di masa mudanya Resi Agaswara
memang seo-
rang perampok ganas. Dia
menjarah harta orang tanpa
pandang bulu. Baik itu pembesar
atau saudagar. Tak
peduli dia orang budiman atau
kikir. Tapi setelah ka-
kek kurus tinggi itu bertemu
Sekar Arum yang kemu-
dian berjuluk si Perangai Gila,
dia jatuh cinta dan
menghentikan semua perbuatan
jahatnya.
Namun, karena suatu
keterpaksaan, Agaswara
muda melakukan perampokan
kembali. Hal itu tidak
bisa dimaafkan Sekar Arum yang
juga sangat mencin-
tainya. Karena terdorong amarah,
Agaswara muda me-
nipu Sekar Arum lalu mengelupas
kulit kepala orang
yang dicintainya itu.
Didera rasa malu dan sakit hati,
Sekar Arum
jadi berperilaku aneh, mirip
orang kehilangan ingatan
akhirnya dia dijuluki orang
Perangai Gila.
Penyesalan timbul dalam diri
Agaswara muda.
Dia mengasingkan diri untuk
memperdalam ilmu kea-
gamaan. Setelah dirasakannya
telah cukup, Agaswara
keluar dari tempat pengasingan.
Bertemulah dia den-
gan Ingkanputri. Gadis cantik
itu berhasil dibebaskan
dari pengaruh ilmu sihir yang
memperbudaknya.
Saat itulah dia bertemu kembali
dengan Sekar
Arum yang kemudian merusak
urat-urat tangan ki-
rinya. Resi Agaswara juga
berjumpa dengan Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam yang
diperintah Margana
Kalpa untuk menyampaikan
undangan pada dirinya,
Resi Agaswara menolak undangan
itu. Karena itulah
kini Margana Kalpa mendatangi
Resi Agaswara.
"Hei! Kenapa kau diam, Agaswara?!" bentak
Margana Kalpa melihat Resi
Agaswara berdiri terme-
nung
"Dosa dalam diriku sudah
begitu banyak. Aku
tidak mau menambahnya,
Kalpa..." desah Resi Agas-
wara pelan.
"Tapi kau harus menuruti
kehendakku! Bang-
kitkan arwah Dewa Tapak Hitam,
Agaswara!"
"Aku masih punya otak untuk
memilah-milah
mana yang benar dan mana yang
salah. Dalam sisa
hidupku aku tidak mau menambah
kesalahan. Hanya
akan membuat Hyang Widhi
murka...."
"Keparat!" Margana
Kalpa mengumpat seraya
meloncat dari punggung bangau
raksasa.
Resi Agaswara menatap dengan
sinar mata te-
duh. Margana Kalpa melangkah
beberapa tindak. Dia
berdiri tepat dua tombak dari
hadapan Resi Agaswara.
"Katakan sekali lagi. Kau
menuruti kehendakku
atau tidak, Agaswara?!"
Resi Agaswara mengangkat telapak
tangan ka-
nannya di depan dada.
"Kemurkaan Hyang Widhi-lah
yang aku takutkan...."
Margana Kalpa mendengus. Tanpa
ragu-ragu
dilancarkannya tendangan ke arah
kepala Resi Agas-
wara. Dengan sigap kakek berwajah
teduh itu berkelit
ke samping. Saat itulah Margana
Kalpa melihat perge-
langan tangan kiri sang Resi
menggantung lemah.
"Ha-ha-ha...!" Lelaki
berwajah pucat itu tertawa
terbahak-bahak. "Rupanya
kau telah menjadi manusia
cacat, Agaswara! Aku akan segera
membuat keadaan-
mu lebih parah dari
sekarang!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Margana Kalpa
membuat tendangan melingkar,
lalu melancarkan se-
rangan susulan dengan kepalan
tangan tertuju ke ulu
hati.
Resi Agaswara melangkah dua
tindak ke bela-
kang seraya badannya dirundukkan
hendak dijatuh-
kan lawan dengan sebuah
tendangan beruntun. Tapi,
Margana Kalpa telah
menghemposkan tubuhnya ke
atas. Dalam keadaan masih
melayang di udara dia
mengembangkan kedua tangannya
dengan jari-jari
menguncup ke bawah. Kaki kiri
lurus dan yang kanan
ditekuk. Kemudian, tubuh lelaki
berwajah pucat itu
meliuk seraya menyambar kening
Resi Agaswara!
"Terimalah jurus 'Bangau
Menjebol Batu'!"
"Uts...!"
Resi Agaswara meloncat ke
belakang sejauh
dua tombak. Kelebatan tangan dan
kaki Malaikat Ban-
gai Sakti sulit diikuti
pandangan mata. Tahu-tahu me-
nyerang kembali bagian-bagian
tubuh berbahaya.
Margana Kalpa tertawa penuh
ejekan.
"Segera pertunjukkan
jurus-jurus andalanmu,
Agaswara!"
Sambil menyebut Asma Sang Penguasa
Tung-
gal, Resi Agaswara membentangkan
pergelangan tan-
gannya ke samping. Digerakkan
lurus ke depan kemu-
dian memutar tubuh seraya
meloncat melancarkan
tendangan secepat kilat!
"Jurus usang, Agaswara!
Tidakkah kau mem-
punyai jurus yang lebih baik
dari mainan anak kecil
ini?!" ejek Malaikat Bangau
Sakti sambil menangkis
tendangan Resi Agaswara.
Tubuh sang Resi bergetar dan
sedikit oleng ke-
tika kakinya membentur
pergelangan tangan lawan.
Tahulah dia kalau tenaga
dalamnya kalah tingkatan.
Padahal sewaktu melancarkan
tendangan Resi Agas-
wara mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Sedang-
kan kibasan tangan kanan Margana
Kalpa tampak le-
mah seperti tidak berkekuatan
tenaga dalam penuh.
Sesungguhnya memang demikianlah
halnya.
Margana Kalpa hanya mengerahkan
tiga perempat dari
kekuatan tenaga dalamnya. Lelaki
berwajah pucat itu
sudah dapat mengukur kemampuan
Resi Agaswara,
hingga dia mencoba
mempermainkannya.
"Ayo, keluarkan
jurus-jurusmu yang lain,
Agaswara! Badanku sudah lama
tidak dipijit. Aku ingin
merasakan pukulan dan tendangan
mu!" tantang Mar-
gana Kalpa.
"Baiklah. Kau terima
tendangan ku, Kalpa!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Resi Agaswara
meloncat ke depan seraya
melancarkan tendangan lu-
rus ke dada.
Dhes...!
Margana Kalpa sengaja tidak
mengelak. Dia
menadahi tendangan sang Resi
sambil tersenyum si-
nis. Akibatnya sungguh
mengejutkan Resi Agaswara.
Telapak kaki kanannya seperti
membentur dinding ba-
ja. Tubuh sang Resi terpental
kemudian jatuh bergu-
lingan di atas tanah.
"Ha-ha-ha...!"
Untuk kesekian kalinya tawa
Margana Kalpa
membahana di angkasa. Ditatapnya
Resi Agaswara
dengan menyungging senyum
mengejek.
"Kau tidak mungkin
melawanku, Agaswara!"
kata lelaki berwajah pucat itu.
"Aku akan mengampuni
nyawamu bila kau bersedia ikut
aku ke Bukit Bangau!"
"Demi Hyang Widhi yang
mengatur jalannya
kehidupan, aku tak mau menambah
dosa," sahut Resi
Agaswara menyambuti.
Margana Kalpa menggeram keras
bagai hari-
mau terluka. Dia menggedrukkan kaki kanannya ke
tanah. Timbullah ledakan dahsyat
bak sambaran petir.
Permukaan tanah di depan lelaki
berwajah pucat itu
retak. Lalu, retakan lebar
merambat ke arah Resi
Agaswara!
Sang Resi hendak melompat ke
samping. Tapi
seberkas sinar kelabu yang
muncul dari telapak tan-
gan Margana Kalpa telah
menghentikan gerakannya!
Resi Agaswara pun meronta-ronta
berusaha
melepaskan diri. Sinar kelabu
membelit bagai sebuah
jaring tali baja. Sang Resi
segera berkutat dengan maut
ketika retakan tanah telah
mencapai telapak kakinya
Bluuusss...!
Tubuh Resi Agaswara terjeblos
dalam retakan
tanah. Ketika Margana Kalpa
menggedrukkan kakinya
kembali, retakan tanah
menangkup! Tubuh resi Agas-
wara hilang dari pandangan.
Diiringi suara tawa! Ma-
laikat Bangau Sakti yang membahana
di angkasa.
"Kau rasakan dulu siksaan
di dalam perut bu-
mi Agaswara!" kata lelaki
berwajah pucat itu kemu-
dian.
Margana Kalpa berdiri tegak di
tempatnya me-
natap permukaan tanah di mana
tubuh sang Resi ter-
kubur. Bangau raksasa yang
berada di belakangnya
mengibas-ngibaskan sayap membuat
angin berhembus
kencang.
"Kau menjadi saksi dari
kesaktianku, Bangau!"
kata Margana Kalpa kepada satwa
tunggangannya.
Tiba-tiba, lelaki berwajah
pucat itu menarik
napas panjang. Lalu
dihembuskannya kuat-kuat ber-
samaan itu tangan kaki kanannya
yang menggedruk
tanah.
Swooosss...!
Permukaan tanah sejauh empat
tombak dari
hadapan Margana Kalpa terbuka.
Tubuh Resi Agaswa-
ra meluncur ke atas bersama
gumpalan tanah ber-
campur bebatuan. Sang Resi
terlihat bersalto beberapa
kali lalu mendarat dengan kedua
kaki dibuka lebar
dan sedikit ditekuk.
Tapi, sikap berdiri kakek
berwajah teduh itu ti-
dak sempurna. Tubuhnya limbung
hendak jatuh ter-
jengkang. Cepat-cepat kaki kanan
ditarik ke belakang.
Sang Resi pun dapat menjaga
keseimbangan tubuh-
nya. Wajah Resi Agaswara memucat
seperti kehilangan
darah. Jubahnya yang semula
putih bersih kotor bele-
potan lumpur.
Malaikat Bangau Sakti tertawa
terbahak-bahak.
"Kali ini aku masih
mengampuni nyawamu, Agaswara!
Tapi bila kau tak mau mengikuti
ajakan ku ke Bukit
Bangau, pintu kematian terbuka
lebar untukmu!" an-
cam laki-laki itu keras.
"Segala puji bagi Hyang
Widhi...," ucap Resi
Agaswara sambil mendekatkan telapak
tangan kanan-
nya di depan dada. "Aku
rela mati di jalan kebenaran.
Hidup tiada berguna bila jiwa
telah menjadi budak ke-
sesatan."
Mendengar itu, Margana Kalpa
menyorongkan
telapak tangan kirinya ke depan.
Sinar kelabu melun-
cur deras dan menghantam bahu
kanan sang Resi.
Tubuh kakek berwajah teduh itu
berputaran terlontar
lima tombak jauhnya.
"Argh...!"
Suara keluhan dikeluarkan Resi
Agaswara ber-
sama semburan darah segar ketika
bangkit berdiri.
Namun, tubuhnya sangat limbung.
Kedua kaki dari
Resi bergeseran di atas tanah
tak mampu menopang
tubuhnya.
"Agaswara!" bentak
Margana Kalpa. "Kini kedua
tanganmu telah lumpuh. Masihkah
kau bertahan dari
sikap keras kepalamu?"
"Jangan seperti anak kecil,
Kalpa!" Sahut Resi
Agaswara. Kepalanya
digeleng-gelengkan berusaha
menghalau kepekatan yang
mengabuti pandangannya.
"Aku tidak akan memenuhi
keinginanmu datang ke
Bukit Bangau. Bila kau ingin
membunuhku, segera la-
kukan!"
Margana Kalpa menggeram keras.
Darahnya
mendidih naik sampai ke
ubun-ubun. Dengan serta-
merta dia meloncat!
"Bersiaplah kau ke neraka!
Tapi sebelum ajal
menjemput, ilmu kepandaianmu
akan ku hisap, Agas-
wara!"
Mendengar ucapan Malaikat Bangau
Sakti di
sertai dengusan napas berat, Resi Agaswara melang-
kah mundur beberapa tindak.
Bukan karena takut ma-
ti, melainkan adanya bayangan
ngeri karena Margana
Kalpa hendak menghisap
kepandaiannya. Bila hal itu
benar-benar terjadi, Margana
Kalpa akan dapat mem-
bangkitkan arwah gurunya. Itu
berarti kekacauan
akan melanda rimba persilatan.
Margana Kalpa dan
gurunya adalah dua tokoh aliran
sesat yang berilmu
sangat tinggi. Mereka sudah
terbiasa melakukan per-
buatan keji dan biadab.
"Kau tak perlu berbuat
macam-macam, Kalpa!"
Ucapan Resi Agaswara tak
mendapat jawaban,
Malaikat Bangau Sakti telah
menyorongkan kedua te-
lapak tangannya dengan
mempergunakan ilmu 'Sakti
Penghisap Daya.'
Melihat seberkas sinar kelabu
meluncur ke
arahnya, Resi Agaswara yang
sudah tak dapat mengge-
rakkan kedua tangan melangkah
setindak ke belakang.
Kemudian, kepalanya dihentakkan
ke depan. Dari mu-
lut kakek berwajah teduh itu
menyembur api.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggema di
angkasa. Seber-
kas sinar kelabu dari telapak
tangan Margana Kalpa
berbenturan dengan api dari
ajian 'Segara Geni' milik
Rest Agaswara.
Sebuah pemandangan mengerikan
segera terli-
hat. Sinar kelabu dirambati
lidah-lidah api yang berju-
luran. Hingga, mencapai kedua
pergelangan tangan
Margana Kalpa yang terpentang
lurus ke depan. Lidah-
lidah api itu cepat menjalar ke
sekujur tubuh Margana
Kalpa.
Tapi, anehnya pakaian lelaki
berwajah pucat itu
tak terbakar. Padahal hawa panas yang menerpanya
sanggup untuk melelehkan
lempengan besi. Bahkan
Margana Kalpa tampak gembira dan
tertawa-tawa.
Perlahan-lahan api yang
ditimbulkan Resi
Agaswara menghilang. Seberkas
sinar kelabu yang me-
rupakan wujud dari Ilmu Sakti
Penghisap Daya-pun
menerjang tubuh Resi Agaswara.
Tak ada suara keluar
dari mulut kakek berwajah teduh
itu. Mata sang Resi
bersinar nyalang. Seluruh
kekuatannya telah dilolosi
dari urat dan
tulang-belulangnya. Untuk menopang
tubuhnya pun dia tak lagi mampu.
Tapi, seberkas sinar kelabu yang
keluar dari te-
lapak tangan Margana Kalpa
membuatnya terus berdi-
ri. Hingga, terlihat kedua kaki
Resi Agaswara menggan-
tung lemah tanpa daya....
Di hulu sungai Ingkanputri
tampak sibuk ber-
buru ikan. Dengan sebatang
ranting kecil berujung
lancip, gadis cantik itu menyate
tubuh ikan yang bere-
nang di air jernih. Tangan kiri
Ingkanputri memegang
seuntai serat pohon pisang yang
dipergunakan untuk
merangkai ikan hasil buruannya.
Ketika gadis murid Dewi Tangan
Api itu men-
dengar suara ledakan dahsyat di
angkasa, dia meng-
hentikan kesibukannya kemudian
menajamkan pen-
dengaran.
"Aku mendengar suara
pertempuran...," gumam
Ingkanputri. "Suara
pertempuran itu berasal dari tem-
pat Eyang Agaswara yang ku
tinggalkan. Mungkinkah
yang sedang bertempur itu Eyang
Agaswara? Ah, aku
harus cepat-cepat ke sana!"
Gadis cantik berbaju kuning itu
segera berlari
cepat dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh.
Tak dihiraukannya ikan hasil
tangkapannya. Sesampai
di tempat yang dituju,
Ingkanputri terkejut bukan
main. Keadaan Resi Agaswara
tampak sangat menge-
naskan. Melotot dengan mulut
menganga lebar.
Ingkanputri berteriak keras
ketika tatapannya
beralih pada Margana Kalpa.
Dilancarkannya pukulan
jarak jauh. Tapi, gerakan gadis
cantik itu telah didahu-
lui oleh kibasan sayap bangau
raksasa yang berdiri di
belakang Margana Kalpa.
Weeesss...!
Datanglah hembusan angin
dahsyat. Ingkanpu-
tri yang tak menduga hal itu
merasakan tubuhnya
limbung. Dan ketika bangau
raksasa mengibaskan
sayap untuk kedua kali, pijakan
kaki Ingkanputri di
atas tanah terlepas. Akibatnya,
tubuh gadis cantik itu
terlontar!
Namun, dengan bersalto beberapa
kali di udara
Ingkanputri dapat mendarat
dengan mulus.
"Eyang...!" jerit
murid Dewi Tangan Api itu. Tu-
buh Resi Agaswara jatuh
terjerembab bersamaan den-
gan lenyapnya seberkas sinar
kelabu.
Tawa Malaikat Bangau Sakti
membahana ke-
ras. "Kini seluruh ilmumu
telah kumiliki, Agaswara!
Tanpa bantuanmu aku akan
membangkitkan arwah
Dewa Tapak Hitam.
Ha-ha-ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak,
lelaki berwajah
pucat itu meloncat ke punggung
bangau raksasa.
Ingkanputri menggeram marah
seraya meloncat
melancarkan pukulan jarak jauh.
Sayang, cahaya kun-
ing kemerahan yang muncul dari
telapak tangan In-
gkanputri membentur sebatang
pohon hingga hangus
terbakar. Margana Kalpa telah
melesat tinggi bersama
satwa tunggangannya. Beberapa
lama tawa tokoh sesat
yang sangat digdaya itu masih
terdengar membahana.
"Keparat..!" umpat
Ingkanputri sambil menen-
gadahkan kepalanya ke langit.
Ketika wujud bangau raksasa
telah hilang dari
pandangan, Ingkanputri
membalikkan badan. Dilihat-
nya tubuh Resi Agaswara
tergeletak lemah di atas ta-
nah. Ingkanputri segera
menghambur dan memeluk
tubuh sang Resi.
Resi Agaswara membuka kelopak
mata. "Pu-
tri..." desisnya dengan
susah payah.
"Aku akan membalas
kebiadaban manusia iblis
itu, Eyang!"
Resi Agaswara hendak berkata,
tapi suaranya
tersekat di tenggorokan. Hanya
geliatan yang dapat di-
lakukan karena rasa sakit yang
merejam sekujur tu-
buh. Keadaan pertama yang baru
saja keluar dari tem-
pat pengasingannya itu sudah
sangat menyedihkan.
Kulitnya kering mengeriput bagai
habis dipanggang
api. Ketika Ingkanputri
menggerakkan tangannya, ku-
lit Sang Resi mengelupas!
Tapi, gadis cantik itu sama sekali
tak merasa ji-
jik. Dia semakin mendekap erat
tubuh Resi Agaswara
sambil mengeluarkan tangis
tersedu. Ingkanputri jadi
teringat pada mendiang ayahnya.
Beliau dibunuh seca-
ra biadab oleh Brajadenta atau
Dewa Maut.
"Jangan tinggalkan Putri,
Eyang!" jerit gadis
cantik itu ketika melihat
kelopak mata Resi Agaswara
mengatup.
Mendengar jeritan itu, tiba-tiba
kepala sang Re-
si yang sudah terkulai lemah
tersentak bangun. Den-
gan susah payah dia mencoba
membuka suara.
"Putri..., da... tanglah ke
Bukit Selak... sa
Mambang.... Di puncaknya ada
se... buah gua. Kau...
kau masuklah ke...
dalamnya...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Resi
Agaswara meregang melepas nyawa.
Ingkanputri se-
makin menangis tersedu-sedu.
Saat gadis cantik itu meletakkan
jenazah Resi
Agaswara di permukaan tanah, dua
sosok bayangan
tampak berkelebat dan berhenti
di depannya.
3
"Ingkanputri...!"
desis Wirogundi yang datang
bersama Gede Panjalu.
Ingkanputri meloncat ke belakang
sambil men-
gusap air mata yang masih
mengalir di pipi. Dia terke-
jut karena merasa tidak mengenal
dua orang lelaki
yang mendadak muncul di
hadapannya.
"Siapa kau?!" bentak
murid Dewi Tangan Api
itu.
"Aku Wirogundi. Yang
berdiri di sebelah ku ini
Kakek Gede Panjalu."
Ingkanputri mengerutkan kening.
Dia merasa
tidak mengenal keduanya.
"Aku mengenalmu ketika kau
berada di lorong
rahasia sarang Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah,"
kata Wirogundi menjelaskan.
Kening Ingkanputri semakin
berkerut. Dia juga
merasa tidak pernah datang ke
tempat yang dis-
ebutkan Wirogundi.
"Aku mencarimu di sana
bersama Anjarweni.
Tapi bila kau tidak ingat
kejadian itu, wajar saja. Wak-
tu itu kau dalam keadaan
terpengaruh ilmu sihir."
"Anjarweni...," gumam
Ingkanputri. "Kau tahu
mana saudara seperguruanku itu
sekarang berada?"
"Dia sudah meninggal,"
jawab Wirogundi den-
gan suara berat. Bayangan gadis
yang sangat dicin-
tainya itu tiba-tiba melintas di
depan mata.
Terdengar jerit kecil dari mulut
Ingkanputri.
"Be... benarkah Kak Weni
sudah meninggal?"
tanya gadis cantik itu tak
percaya. Matanya kembali
berkaca-kaca.
Wirogundi mengangguk. Lalu dia
menceritakan
perihal kematian Anjarweni di
Bukit Pangalasan. Se-
dangkan Gede Panjalu duduk
berjongkok di samping
jenazah Resi Agaswara.
"Jadi... jadi saudara
seperguruanku itu dibu-
nuh Margana Kalpa?!"
"Ya," ucap Wirogundi
pendek.
"Oh...," Ingkanputri
mendekap mulutnya.
Bola mata murid Dewi Tangan Api
bersinar
nyalang. Amarahnya memuncak
bersama dendam
yang menyesakkan dada.
"Jika Margana Kalpa adalah
ketua Perkumpu-
lan Bangau Sakti yang mempunyai
tunggangan ban-
gau raksasa, maka orang yang
baru saja berbuat keji
terhadap Eyang Agaswara
tentulah dia!" geram In-
gkanputri penuh kemarahan.
Tak ada kata yang diucapkan
Wirogundi. Meli-
hat keadaan Ingkanputri yang
tampak begitu berduka
dan diliputi hawa amarah, pemuda
bertubuh kurus itu
jadi merasa kasihan. Dia menatap
wajah Ingkanputri
dengan perasaan haru.
"Sebelum gelap benar-benar
tiba, sebaiknya ki-
ta segera mengubur jenazah
pertapa ini," usul Gede
Panjalu yang sedari tadi cuma
diam saja.
Gugusan bintang muncul kembali
di atas langit
hitam. Rembulan memancarkan
cahayanya, membuat
permukaan bumi jadi temaram.
Malam tiba mengikuti
putaran sang waktu. Ingkanputri,
Wirogundi, dan Gede
Panjalu duduk melingkar di depan
sebuah perapian.
Mereka baru saja menguburkan
jenazah Resi Agaswa-
ra.
"Kita tidak boleh gegabah
dalam menghadapi
Margana Kalpa. Apalagi dia telah
mengisap ilmu kesak-
tian Resi Agaswara...,"
kata Gede Panjalu setelah tadi
meneliti keadaan jenazah Resi
Agaswara. Ciri-ciri itu
menunjukkan kalau ilmu
kesaktiannya telah lenyap
"Aku tidak takut!"
sahut Ingkanputri dengan
geram.
Gede Panjalu tersenyum tipis.
"Semangat yang ada dalam
hatimu dapat ku-
hargai, Putri...," ujar
kakek bongkok itu yang tiba-tiba
saja merasa akrab dengan
Ingkanputri. "Tapi sebagai
seorang pendekar yang selalu
berjalan di atas kebena-
ran untuk menegakkan keadilan,
semangat saja tidak
cukup. Otak juga mesti dipakai.
Kita harus dapat ber-
pikir dengan jernih. Untuk
menghadapi seorang manu-
sia kejam dan berilmu tinggi,
membutuhkan siasat dan
perhitungan yang matang."
"Jadi, kita tidak bisa
langsung menggempur
Margana Kalpa di Bukit
Bangau," lanjut Wirogundi.
"Tepat!" ucap Gede
Panjalu. "Selain anak buah
tokoh sesat itu banyak. Margana
Kalpa tentu telah
mempersiapkan diri menghadapi
balas dendam kita.
Karena itulah, kita harus
mengumpulkan kekuatan
terlebih dahulu."
"Maksud Kakek, kita harus
mengumpulkan pa-
ra anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang
tersisa?" tanya Wirogundi
menegaskan.
"Benar. Dan kita pun harus
mencari Suropati."
Kepala Ingkanputri tertunduk
dalam. Bayangan
Suropati atau si Pengemis Binal
muncul dalam benak-
nya. Sifat nekat dan kekonyolan
remaja pujaan hatinya
membuat Ingkanputri tersenyum
sendiri.
"Di manakah dia
berada?" kata hati gadis can-
tik murid Dewi Tangan Api itu.
"Apakah dia masih in-
gat kepadaku? Ah, alangkah
senangnya bila aku dapat
berjumpa dengannya. Seandainya
dia mempunyai pe-
rasaan yang sama denganku.
Hidupku pasti akan san-
gat bahagia. Apakah dia belum
mempunyai seorang
kekasih?"
"Kau mengantuk,
Putri?" Wirogundi melihat In-
gkanputri tertunduk diam.
Gadis cantik itu terkejut, dan
tersadar dari la-
munannya. "Ah, tidak.
Aku...," katanya agak gugup.
"Sebaiknya kau
beristirahat. Kau tampak lelah,"
ucap Wirogundi dengan suara
lembut seperti kepada
seorang adik.
"Aku belum mengantuk,
Wiro."
"Kita memang harus
beristirahat sekarang. Ma-
sih banyak tugas yang harus kita
selesaikan besok,"
sela Gede Panjalu seraya
beranjak dari tempat duduk-
nya
Wirogundi bergegas mengikuti.
"Selamat malam, Putri.
Semoga tidurmu nye-
nyak," ucap pemuda kurus
itu.
Wirogundi meloncat ke atas dahan
sebatang
pohon besar, menyusul Gede
Panjalu yang telah lebih
dahulu berada di sana. Saat
itulah Wirogundi merasa-
kan suatu keanehan. Tubuhnya
tiba-tiba dapat me-
layang sangat ringan. Pemuda itu
segera berpikir ke
arah buah ajaib yang telah
dimakannya, keanehan
adalah berkat khasiat buah ajaib
pemberian Gede Pan-
jalu tersebut.
Ingkanputri berjalan mendekati
sebatang pohon
besar. Letaknya agak jauh dari
pohon yang ditempati
Wirogundi dan Gede Panjalu.
Gadis itu meloncat den-
gan sigap ke sebatang dahan
cukup besar. Dibesetnya
kulit pohon tersebut untuk
membuat untaian tali yang
kemudian diikatkan menjadi
jalinan yang menghu-
bungkan dua dahan. Dengan
begitu, Ingkanputri tak
khawatir lagi akan jatuh bila
dia terlelap.
Dengan cara seperti itulah
Ingkanputri, Wiro-
gundi dan Gede Panjalu melewati
malam. Wirogundi
dan Gede Panjalu tampak nyenyak dalam tidurnya.
Tapi lain halnya dengan
Ingkanputri. Peristiwa-
peristiwa yang telah dialaminya
terbayang kembali di
depan mata. Bayangan kedua
orangtuanya yang telah
meninggal. Lalu gurunya yang
bergelar Dewi Tangan
Api Dan kemudian Anjarweni,
kakak seperguruannya.
Ketika terlintas bayangan gadis
itu timbul kemarahan
dalam diri Ingkanputri. Ingatan
tersebut mengin-
gatkannya kepada kebiadaban
Margana Kalpa.
Namun, tiba-tiba gadis cantik
itu tersenyum
seorang diri. Kekonyolan
Suropati muncul dalam be-
naknya.
"Aku mencintaimu,
Suro...," kata Ingkanputri
dalam hati.
Dengan terus mengingat bayangan
remaja pu-
jaan hatinya itu, akhirnya
Ingkanputri dapat meme-
jamkan mata. Sebentar kemudian
dia telah terlelap di-
buai mimpi indah.
Langit hitam kelam. Bulan sabit tampak ber-
canda dengan kemerlip bintang.
Tak ada gumpalan
awan yang terlihat. Hanya desau
angin memecah ke-
heningan.
Ketika suara kokok ayam alas
terdengar lamat-
lamat, tiba-tiba Wirogundi
meloncat bangun seraya
berteriak keras-keras.
"Keparat kau, Margana
Kalpa!"
Pemuda kurus itu mendorong kedua
telapak
tangannya ke depan. Dan,
seberkas cahaya putih me-
luncur deras menghantam sebatang
pohon. Pohon itu
tumbang. Batangnya terlontar
jauh disertai ledakan
dahsyat.
"Kenapa kau, Wiro?!"
Gede Panjalu terbangun
dari tidurnya karena terkejut.
Kakek itu meloncat ke dekat
Wirogundi yang
sedang meremas-remas rambutnya.
Ingkanputri juga
terbangun dan bergegas menyusul.
"Rupanya kau mimpi buruk,
Wiro," kata gadis
cantik itu.
Wirogundi tak memperhatikan. Dia
terus me-
remas-remas rambutnya. Kemudian,
duduk bersimpuh
dengan muka kusut. Melihat itu,
Gede Panjalu segera
menghidupkan perapian yang telah
padam.
"Kau kemarilah, Wiro!"
teriak Gede Panjalu ke-
mudian.
Wirogundi berjalan mendekati
kakek bongkok
itu, kemudian duduk bersila di hadapannya. Ingkan-
putri menatap dengan penuh tanda
tanya. Gadis can-
tik itu ikut merasa prihatin
atas musibah yang dialami
Wirogundi. Dia telah kehilangan
Anjarweni.
"Hawa amarah adalah api,
Wiro...," ujar Gede
Panjalu pelan. "Api itu
panas dan dapat membakar apa
saja. Kau mesti sadar, Wiro. Di
dalam dadamu telah
tersimpan api. Kalau kau tidak
pintar-pintar menji-
nakkannya, api itu akan
melumatkan mu."
"Maafkan aku, Kek...,"
ucap Wirogundi sama
mendongakkan kepala.
Ketika mata pemuda kurus itu
melihat pangkal
batang pohon yang telah tumbang
oleh pukulan jarak
jauhnya, dia bergidik ngeri.
"Buah pala ajaib benar-
benar membuat kepandaianku
berlipat ganda," gu-
mamnya dalam hati.
"Jangan heran bila kau
melihat kekuatan tena-
ga dalammu jadi sedemikian
hebat...," ucap Gede Pan-
jalu seperti mengetahui apa yang
ada dalam hati Wiro-
gundi. "Tapi kau harus
tetap memegang teguh janjimu
Wiro. Langkah kakimu harus tetap
berjalan di atas ke-
benaran. Jangan sekali-sekali menuruti
hawa nafsu.
Kau harus belajar mulai
sekarang. Kekang hawa ama-
rah mu terlebih dahulu."
Kepala Wirogundi kembali
tertunduk. Tatapan
Gede Panjalu beralih ke arah
Ingkanputri.
"Sebaiknya kau tidur
kembali, Putri...," kata
kakek bongkok itu.
"Aku sudah tidak mengantuk
lagi, Kek. Aku
akan manemani mu di sini."
Beberapa saat mereka terlibat
pembicaraan se-
rius. Ingkanputri tampak sudah
akrab dengan Gede
Panjalu yang baru dijumpainya.
Sifat Gede Panjalu
yang welas asih dan penuh
pengertianlah membuat In-
gkanputri merasa senang terhadap
kakek bongkok itu.
Ketika pagi telah tiba, Gede
Panjalu dan Wiro-
gundi menawarkan kepada
Ingkanputri untuk mencari
Suropati bersama-sama. Tapi
karena Ingkanputri ber-
niat membuat perjumpaan istimewa
dengan Suropati,
gadis cantik itu menolak.
Gede Panjalu dan Wirogundi
akhirnya berjalan
ke Utara menuju wilayah
Kadipaten Tanah Loh. In-
gkanputri berjalan menuju barat
ke wilayah Kadipaten
Bumiraksa. Gadis cantik itu
melupakan sementara pe-
san Resi Agaswara untuk datang
ke Bukit Selaksa
Mambang.
Untuk mempercepat perjalanan,
Ingkanputri
berusaha mencari jalan pintas.
Akhirnya dia berjalan
menembus hutan belantara. Di
sanalah Ingkanputri
melihat pertempuran hebat
seorang gadis cantik ber-
pakaian putih kuning melawan belasan lelaki kasar
bersenjata golok.
"Kenapa kalian
mengeroyokku?!" tanya gadis
yang sedang bertempur, yang tak
lain Dewi Ikata. "Aku
sedang mencari guruku. Sama
sekali aku tidak mem-
punyai urusan dengan
kalian!"
Walaupun gadis itu dihujani
sambaran golok
bertubi-tubi, dia masih sempat
berbicara. Kenyataan
tersebut menandakan ilmu
kepandaiannya sudah cu-
kup tinggi. Apalagi belasan
lelaki kasar yang menge-
royoknya adalah para perampok
anak buah Galang
Gepak atau Bayangan Hitam.
Seorang tokoh sesat
penguasa wilayah barat yang juga
merupakan tangan
kanan Margana Kalpa.
"Hei! Kenapa kalian begitu
bernafsu untuk
membunuhku?!" teriak Dewi
Ikata lagi seraya meloncat
tinggi menghindari sabetan golok
pada pinggangnya.
"Kau telah mengetahui
sarang kami, Monyet
Kecil!" bentak salah
seorang pengeroyok yang berikat
kepala merah. Dia merupakan
pemimpin gerombolan
itu.
"Hei, tunggu...!"
Dewi Ikata berteriak keras.
Tubuhnya dihem-
paskan ke atas lalu mendarat
lima tombak dari arena
pertempuran dengan tanpa
mengeluarkan suara sedi-
kitpun. Melihat keindahan gerak
Dewi Ikata dengan
mempergunakan ilmu meringankan
tubuh tingkat
tinggi, para pengeroyoknya
langsung bungkam. Mereka
tercengang dalam rasa kagum.
Ingkanputri yang men-
gintai dari balik semak-semak
ikut mengakui keheba-
tan gadis cantik itu.
"Karena aku sudah
mengetahui sarang kalian,
terus kalian ingin membunuhku,
begitu?!" ucap Dewi
Ikata dengan suara lantang.
"Apakah kalian para pe-
rampok?"
Pemimpin para perampok itu
mendengus. "Te-
pat!" katanya. "Kami
memang berniat untuk membu-
nuhmu. Kami takut kau akan
melapor kepada Adipati
Danubraja!"
"Ha-ha-ha...!"
Dewi Ikata tertawa
terbahak-bahak. Pantatnya
digoyang-goyangkan sambil
cengar-cengir mirip orang
sinting. Para perampok yang
melihat hal itu saling ber-
pandangan. Lalu mereka saling
berkata satu sama
lain.
"Gadis edan!"
"Tapi menilik
kepandaiannya, mungkin dia seo-
rang pendekar."
"Ya. Pendekar Wanita
Gila!"
Merasa, dirinya dibicarakan,
Dewi Ikata jadi be-
ringas. Namun, seulas senyuman
segera mengembang
di bibirnya.
"Hei! Rupanya kalian sangat
pandai memberi
julukan. Aku senang kalian
juluki sebagai Pendekar
Wanita Gila. He-he-he....
Kedengarannya lucu. Tapi,
cukup berwibawa. He-he-he....
Hush! Kalian jangan
ikut tertawa! Mestinya kalian
takut kepadaku. Aku
adalah putri tunggal Adipati
Danubraja!"
"Huh! Siapa yang mau
percaya pada ucapanmu
Gadis Gemblung!" sahut
pemimpin para perampok
"Nggak percaya ya sudah!
Tapi, aku senang ka-
rena kalian telah memberi
julukan yang tepat. Untuk
itu, aku akan memberi
hadiah...."
Dewi Ikata mengeluarkan sebuah
kantung di
balik bajunya. Lalu, menebarkan
isinya.
"Uang emas! Uang emas!"
teriak para perampok
Berserabutan mereka meraup uang
emas yang
bertebaran di permukaan tanah.
Dewi Ikata sendiri
mengumpulkan akar-akar pohon
beringin yang tum-
buh di belakangnya. Kemudian....
Sret! Sret! Sret!
Hanya dalam satu kejapan mata,
Dewi Ikata te-
lah mengikat kedua tangan para
perampok. Tentu saja
para lelaki kasar itu terkejut
bukan main. Tahu-tahu
kedua tangannya sudah tak bisa
digerakkan lagi.
Dewi Ikata tertawa
terbahak-bahak.
"Hari ini aku menghadiahkan
sekantung uang
emas kepada kalian. Namun,
kalian harus insaf untuk
menjadi orang baik-baik. Kalau
aku menemui kalian
masih menjadi perampok, nyawa
kalian akan ku kirim
ke neraka!"
Mendengar ucapan Dewi Ikata yang
nampak
sungguh-sungguh, para perampok
cuma melongo ke-
takutan. Mereka telah merasakan kehebatan gadis
cantik yang rada sinting itu.
Kemudian sambil terse-
nyum-senyum Dewi Ikata berjalan
lenggang kangkung
meninggalkan belasan lelaki
kasar yang masih melongo
di tempatnya.
"Kita laporkan dia kepada
Bayangan Hitam.
Atau, langsung kepada Margana
Kalpa!" Usul seorang
perampok.
"Tidak! Aku mau jadi orang
baik-baik. Dengan
bekal uang emas yang telah
kudapatkan, aku akan
berdagang," sahut temannya.
"Benar. Aku akan beternak
saja."
"Bodoh! Uang emas kita
bawa, tapi kita terus
merampok. Begitu yang lebih
sip!" teriak yang lain me-
nyambuti.
"Kau yang bodoh! Gadis
sinting itu sangat he-
bat. Kita bisa dibunuhnya!"
"Terserah apa maumu.
Pokoknya, aku akan
menuruti jalanku sendiri!"
Untuk beberapa lama para
perampok itu saling
berdebat. Tapi, mereka kemudian
segera saling mem-
bantu melepaskan ikatan tangan.
Lalu, belasan lelaki
kasar itu berjalan terpencar
jadi dua. Sebagian berniat
mengawali hidup baru sebagai
orang baik-baik. Seba-
gian lagi bersikeras untuk terus
mengikuti jalan keja-
hatan.
4
Dewi Ikata menoleh. Langkah
kakinya dihenti-
kan ketika mendengar teriakan
yang ditujukan kepada
dirinya.
"Siapa kau? Apakah kau
teman perampok-
perampok itu?" tanya Dewi
Ikata kepada seorang gadis
cantik yang tiba-tiba telah
berdiri di belakangnya.
"Namaku Ingkanputri. Kau
bisa memanggilku
dengan sebutan 'Putri'. Kau
sendiri siapa?"
"Pendekar Wanita Gila,
he-he-he...."
Kening Ingkanputri berkerut.
"Kau senang den-
gan julukan itu?" tanyanya
heran.
"Senang atau tidak, itu
urusanku!" jawab Dewi
Ikata sambil melangkahkan
kakinya kembali.
"Eit! Tunggu dulu!"
cegah Ingkanputri. "Kau be-
lum menyebutkan namamu."
"Sudah kubilang, aku
Pendekar Wanita Gila!"
"Bukan itu. Nama kecilmu."
Dewi Ikata terkekeh. Lalu
mulutnya mengalun
sebuah tembang....
Apalah arti sebuah nama bila
kecewa telah
mengguncangkan jiwa.
Apa perlunya bertanya bila
jawaban tiada ber-
guna.
Sebaiknya manusia merenung,
hidup ini untuk
apa.
Untuk mengikuti takdir Yang
Kuasa atau menan-
tang arus dunia.
Nama disebut untuk memudahkan
panggilan.
Tapi bila sudah ada panggilan
yang lebih enak
didengar, kenapa nama mesti
diucapkan.
Sedang si empu telah berusaha
untuk melupa-
kan....
Begitu selesai alunan tembang
Dewi Ikata, In-
gkanputri langsung mengumpat.
"Dasar sinting!"
"Hei! Siapa yang kau
katakan 'sinting'?" ujar
Dewi Ikata marah.
"Kau!"
"Aku tidak sinting!"
Dewi Ikata memelototkan
matanya lebar-lebar.
"Melihat tingkah lakumu
seperti itu, siapa yang
tidak akan mengatakan kau
sinting?!" sahut Ingkanpu-
tri tak kalah sengit.
Hidung Dewi Ikata kembang
kempis. Dia men-
gangkat kedua alisnya
tinggi-tinggi. "Ya. Aku memang
sinting. He-he-he...,"
ujarnya kemudian. Ingkanputri
langsung mengumpat-umpat dalam
hati.
"Benarkah kau putri tunggal
Adipati Danubra-
ja?" tanya murid Dewi
Tangan Api itu kemudian.
"Kau tahu dari
mana?" Dewi Ikata balik ber-
tanya.
"Kau yang mengatakannya
sendiri tadi."
"Jadi kau mengintip ku
ketika aku sedang ber-
tempur?"
"Ya."
Mendadak, Dewi Ikata menjepit
hidung Ingkan-
putri dengan jari tangannya. Dan
karena gerak Dewi
Ikata sangat cepat, Ingkanputri
tak dapat menghindar.
Dia menjerit kesakitan.
"Bangsat!" umpat gadis
cantik itu seraya me-
layangkan bogem mentah.
"He-he-he...."
Sambil menghindar, Dewi Ikata
tertawa terke-
keh. Wajah Ingkanputri merah
merona. Dewi Ikata ma-
lah menggoyang-goyangkan
pantatnya.
"Dasar sintiiing...!"
teriak Ingkanputri jengkel.
"Aku memang
sintiiing...!" sahut Dewi Ikata tak
kalah keras.
Ingkanputri jadi ingin tertawa
melihat kelakuan
Dewi Ikata, perutnya terasa
sakit ketika dia menahan
tawanya.
"Hei! Kalau mau tertawa,
tertawalah!" bentak
Dewi Ikata. "Jangan kau
tahan. Jadi kentut busuk ma-
lah aku yang repot!"
Tawa Ingkanputri langsung
meledak. Dewi Ika-
ta mengikuti dengan suara tawa
yang lebih keras.
"Di dunia ini memang banyak
manusia sinting,"
kata Dewi Ikata kemudian.
"Kau mengatai
ku sinting?" tanya
Ingkanputri
agak tersinggung.
"Tidak.. Kau tidak sinting.
Kau waras. Bahkan
kelewat waras.
he-he-he...."
"Uh! Repot bicara dengan
orang sinting!"
"Uh! Repot bicara dengan
orang waras!"
"Dasar sinting!"
"Dasar waras!"
Dua gadis yang sama-sama cantik
itu saling
tuding. Sebentar kemudian,
mereka tertawa bersa-
maan dan berjalan berdampingan
dengan sangat
akrab. Berjumpa dengan Dewi
Ikata, hati Ingkanputri
jadi merasa senang. Tingkah laku
aneh yang ditunjuk-
kan putri tunggal Adipati
Danubraja itu sanggup me-
nepis bayangan peristiwa pahit
yang telah dialami In-
gkanputri. Demikian pula
sebaliknya. Dewi Ikata tiba-
tiba merasa gembira mendapatkan
seseorang yang da-
pat diajaknya bercanda. Usia
Ingkanputri memang ter-
paut dua tahun dari Dewi Ikata.
"Kenapa kau bertempur melawan
belasan lelaki
berwajah kasar tadi?" tanya
Ingkanputri yang berjalan
di sisi kanan Dewi Ikata.
"Aku sedang mencari guruku
yang bergelar Pe-
rangai Gila. Ketika sampai di
tengah hutan itulah aku
berjumpa dengan para
perampok."
"Kau katakan kehilangan
jejak gurumu, apakah
gurumu itu melarikan diri?"
tanya Ingkanputri lagi
"Dalam suatu perjalanan
guruku bertemu den-
gan bekas kekasihnya yang telah
mengkhianati cin-
tanya. Dia hendak membunuh bekas
kekasihnya itu,
tapi aku mencegahnya. Guruku
lalu lari meninggalkan
ku."
"Apakah yang kau maksud
dengan bekas gu-
rumu itu adalah Resi
Agaswara?" tanya Ingkanputri
harap-harap cemas.
"Kok tahu?" Dewi Ikata
tampak heran.
"Bukankah kita pernah
berjumpa di Kademan-
gan Maospati?"
"Oh ya? kau yang bersama
kakek berjubah pu-
tih itu?"
"Tak salah. Dan, kau yang
menyelamatkan Resi
Agaswara waktu gurumu hendak
menjatuhkan tangan
maut terhadapnya."
"Ya. Ha-ha-ha...,"
Dewi Ikata tertawa lebar. "Ki-
ta memang sudah dijodohkan untuk
dapat berjumpa
lagi."
"Sekarang kau hendak ke
mana?" tanya In-
gkanputri.
"Aku akan ke kota Kadipaten
Bumiraksa. Aku
rindu kepada ayah dan ibunda
ku."
Mendengar ucapan Dewi Ikata,
wajah Ingkan-
putri tiba-tiba jadi muram.
"Seandainya ayah dan
ibunda ku juga masih
hidup, akan ada orang yang
selalu ku rindukan. Aku
tidak akan hidup
sebatangkara," desah Ingkanputri
dalam hati.
Dewi Ikata menepuk bahu gadis
cantik itu.
"Kenapa kau diam
saja?"
"Ah, tidak...,"
Ingkanputri buru-buru mengge-
lengkan kepala. "Bila kau
hendak ke kota Kadipaten
Bumiraksa, kita bisa terus bersama-sama. Aku juga
hendak ke sana."
"Ada perlu apa di
sana?" tanya Dewi Ikata ingin
tahu.
"Mencari
seseorang?"
"Musuhkah?"
"Bukan. Justru dia orang
yang sangat menye-
nangkan."
"Kekasihmu?"
Pipi Ingkanputri merona merah.
Tanpa sadar
dia menunduk dalam-dalam. Dewi
Ikata tertawa meli-
hatnya.
"Kau jangan berjalan sambil
menunduk. Di sini
tak ada uang yang tercecer, yang
ada hanya kotoran
kerbau atau monyet. Kau mau?
He-he-he...," goda De-
wi Ikata.
Ingkanputri tersenyum, lalu
menatap langit
"Sebelum malam tiba kita
harus sampai di tem-
pat tujuan...," ujar murid
Dewi Tangan Api itu kemu-
dian.
"Sebaiknya kita berlari
cepat."
Dewi Ikata menghemposkan
tubuhnya berlari
secepat kilat. Ingkanputri bergegas mengejar. Kedua
gadis cantik itu saling berlomba memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya. Tapi,
lama-kelamaan Ingkan-
putri tertinggal jauh di belakang. Tahulah dia
kalau
ilmu meringankan tubuhnya kalah
satu tingkat.
Ketika Ingkanputri sampai di
pintu gerbang ko-
ta Kadipaten Bumiraksa, Dewi
Ikata sedang menanti
sambil bercakap-cakap dengan
salah seorang penjaga
"Kau sangat hebat,
Ika...," puji Ingkanputri
dengan tulus.
"Hei! Bagaimana kau bisa
tahu namaku?"
'Putri tunggal Adipati Danubraja
siapa lagi ka-
lau bukan Dewi Ikata,"
sahut Ingkanputri.
Dewi Ikata mengerjap-ngerjapkan
mata.
"Kau juga sangat hebat,
Putri...," ucap gadis itu
seraya melangkahkan kaki
memasuki kota Kadipaten
Beberapa penjaga yang kebetulan
sedang ber-
tugas menatap dengan penuh tanda
tanya. Penampilan
Dewi Ikata tampak lain. Pakaian
yang dikenakan putri
tunggal Adipati Danubraja itu
terbuat dari bahan yang
murah. Tak ada satu perhiasan
pun menempel di tu-
buhnya. Sangat berbeda dengan
penampilannya sebe-
lum dia melakukan pengembaraan.
"Sebaiknya kau bermalam di
pendapa kadipa-
ten," usul Dewi Ikata
kepada Ingkanputri.
"Terima kasih. Aku akan
bermalan di rumah
penginapan saja."
"Ongkos rumah penginapan di
sini sangat
mahal. Kau punya uang?"
Ingkanputri terkejut, seperti
baru tersadar akan
sesuatu.
"Aku memang tidak punya
uang. Kenapa men-
gatakan mau bermalam di
penginapan?" kata hati ga-
dis cantik itu.
"Hei, kenapa diam? Kau
setuju bila ku ajak
bermalam di pendapa kadipaten?
Di sana kau bisa ti-
dur sepuasmu. Semua kebutuhan mu
akan disediakan
pelayan."
"Terima kasih. Aku akan
bermalam di...."
"Di emper toko!"
sergah Dewi Ikata cepat.
"Tidak. Maksudku, aku
akan...."
"Kau tidak punya uang, kan?
Nih, Aku masih
punya sekeping uang emas. Kalau
kau butuh sesuatu,
carilah aku di pendapa
kadipaten."
Dewi Ikata menyodorkan uang
emasnya yang
tersisa. Dia lalu berjalan
meninggalkan Ingkanputri
yang berdiri di depan sebuah rumah
penginapan. Ga-
dis cantik itu menimang-nimang
uang emas pemberian
Dewi Ikata sejenak, lalu
bersenandung kecil.
***
Emoticon