Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Pewaris Mustika Api
128 hal.
1
Malam pekat. Bintang malam
bersenandung
merdu, menciptakan
tembang-tembang alami. Si-
nar rembulan dan bintang-bintang
mengguyur Is-
tana Anggarapura.
Di dalam istana, tepatnya di
salah satu
ruangan, seorang pemuda
berpakaian kebesaran
kerajaan menutup sampul Kitab
Riwayat Kerajaan
Anggarapura dengan kening
berkerut. Setelah
menghela napas panjang,
perlahan-lahan tangan-
nya membuka kitab bersampul
kuning lagi. Seper-
tinya ada sesuatu yang tak bisa
dicerna akalnya.
Kerut di keningnya semakin
kentara kini. Jajaran
huruf dalam petak-petak di
halaman terakhir
membuatnya bertanya-tanya.
"Silsilah ini menunjukkan
kalau Ayahanda
Prabu Arya Dewantara adalah
keturunan kelima
dari Wangsa (pendiri/penguasa
kerajaan) Anggarapura.
Aku sendiri keturunan keenam.
Tapi, kenapa na-
ma eyang buyutku yang mendirikan
wangsa ini ti-
dak tercantum? Tempatnya yang
terletak di sisi
paling atas hanya berupa kotak
kosong. Lupa atau
memang sengaja tak
ditulis?" gumam si pemuda,
tercenung.
Ingatan si pemuda langsung
mengembara,
menerawang jauh.
"Candi Palutan.... Di
sanalah abu leluhurku
yang pernah memerintah Kerajaan
Anggarapura
disemayamkan. Di sudut-sudut
candi yang meru-
pakan tempat abu jenazah
leluhurku. Dan di sana,
ternyata hanya ada tiga guci.
Seharusnya empat!
Yakni guci yang berisi abu
jenazah pendiri wangsa
ini sampai keturunan yang
ketiga. Lalu, di mana
yang satu lagi?"
Kening si pemuda makin berkerut
dalam.
Kepalanya manggut-manggut tak
jelas.
"Aku harus menanyakan hal
ini kepada
Ayahanda Prabu...," pikir
si pemuda kemudian.
"Hmmm.... Kalau ini memang
suatu rahasia,
mungkinkah beliau bersedia
menjelaskannya pa-
daku? Rahasia.... Rahasia apa?
Memang sama se-
kali tidak beralasan bila
seorang pendiri wangsa
tidak dicantumkan namanya dalam
garis keturu-
nan. Ah! Lebih baik ku coba mencari keterangan
dulu. Barangkali ada beberapa
buku di perpusta-
kaan ini yang dapat memberi
penjelasan..."
Mengikuti kata hatinya, si
pemuda ini sege-
ra menghampiri rak buku yang
berdiri di sudut ki-
ri ruangan, berhadapan dengan
pintu. Debu
menghambat jalan pernapasannya
ketika jajaran
buku dipindahkan. Namun, dia tak
peduli dan la-
rut dalam kesibukannya.
Buku-buku yang semula
rapi berjajar, sekarang jadi
berantakan. Beberapa
buah tampak jatuh ke lantai.
Kesibukan pemuda berpakaian
kebesaran
kerajaan itu baru terhenti
ketika tangan kanannya
memegang buku bersampul putih
yang bertuliskan
'Ruang Rahasia Dalam Istana
Anggarapura'. Seper-
ti kejatuhan rembulan, matanya
kontan berbinar.
Kakinya melangkah dengan tatapan
tak lepas dari
halaman buku di tangannya.
"Istana ini mempunyai
sebelas ruang raha-
sia...," gumamnya setelah selesai
membaca.
"Ruang rahasia kesatu
sampai kesepuluh, aku te-
lah tahu. Terutama, ruang-ruang
bawah tanah.
Tapi, yang kesebelas
ini...."
Pemuda itu membolak-balik lagi
beberapa
halaman belakang buku yang tidak
seberapa tebal.
Dipandanginya denah-denah yang
ada tanpa ber-
kedip sedikit pun. Dicobanya
untuk terus dapat
memahami keterangan-keterangan
yang ada.
Mendadak, pemuda tampan yang
merupa-
kan putra mahkota Kerajaan
Anggarapura ini me-
lonjak girang.
"Aku tahu sekarang!"
ujar pemuda yang se-
sungguhnya bernama Arya
Wirapaksi dalam hati.
"Ayahanda Prabu selalu
melarang aku untuk me-
masuki perpustakaan ini, kiranya
ada sesuatu
yang dirahasiakan. Mudah-mudahan
tak ada yang
tahu dengan kehadiranku di
sini...."
Pandangan si pemuda beredar ke
segala
arah. Langit-langit ruangan,
ratusan buku yang
tertata di rak, lantai,
meja-kursi, semua tak ada
yang luput dari perhatiannya.
Dengan senyum ti-
pis tersungging di bibir,
dikuncinya pintu dari da-
lam. Baru kemudian, dibacanya
lagi beberapa ha-
laman buku di tangannya. Lalu,
dihampirinya su-
dut ruangan sebelah kiri pintu.
Diketuk-ketuknya
lantai dengan jemari tangannya.
"Inilah ruang rahasia
kesebelas...," pikir
Arya Wirapaksi seraya
mencampakkan buku di
tangannya begitu saja.
Pemuda ini lalu mengurutkan
pandangan
dari sudut lantai, hingga ke
sudut langit-langit.
Karena tak menemukan apa-apa,
telapak tangan-
nya digunakan untuk meraba.
Ketika menemukan
permukaan dinding yang sedikit
berlubang sebesar
jari kelingking, lubang itu
dijentiknya dengan ku-
ku. Debu putih menebar.
Segera Arya Wirapaksi meloncat
ke bela-
kang. Namun, dia tak mampu
berdiri tegak, kare-
na tiba-tiba lantai tempat
kakinya berpijak berde-
rak-derak
"Astaga...!" sentak
Arya Wirapaksi saat di
hadapannya terpampang sebuah
lubang persegi
bergaris melintang, sekitar
empat jengkal. Lubang
itu muncul akibat bergesernya lantai di sudut
ruangan. Dia kaget karena dari
dalam lubang me-
nyembur serat-serat cahaya amat
menyilaukan.
Hingga, ruangan yang semula
hanya terang pada
beberapa tempat yang berlampu,
kini semua jadi
terang-benderang.
Arya Wirapaksi berjongkok di
bibir lubang.
Dicobanya untuk melihat ke
dalam. Tapi, cahaya
yang memendar terlalu kuat.
Matanya seakan-
akan jadi buta.
"Apa pun yang terjadi, aku
harus tahu ra-
hasia yang ada di ruang bawah
tanah ini...," tan-
das hati si pemuda seraya
memungut sebuah bu-
ku tua bersampul hitam yang
dianggap tidak begi-
tu penting. Buku itu lalu
dilemparkan ke dalam
lubang.
Lama Arya Wirapaksi menunggu suara ja-
tuhnya buku pada dasar lubang.
Ketika terdengar,
suara itu amat pelan. Bahkan
hampir tak dapat
dipastikan, sampai di mana
kedalaman lubang. Si
pemuda melongokkan kepalanya
lagi. Tapi karena
memaksakan diri, matanya jadi
pedih.
Arya Wirapaksi memutar akal.
Sambil me-
mejamkan mata, diraba-rabanya
pinggiran lubang
bagian bawah. Karena
jangkauannya kurang pan-
jang, segera diambilnya palang
pintu. Dengan bi-
lah kayu panjang itulah dia
mengetuk-ngetuk
pinggiran lubang bagian bawah
yang semula luput
dari jangkauan tangannya.
"Hmmm.... Ujung kayu ini
seperti memben-
tur undak-undakan. Mungkinkah
ini sebuah tang-
ga lantai?" gumam Arya
Wirapaksi, berkata pada
diri sendiri.
Pemuda ini lalu
mengetuk-ngetukkan ujung
kayunya lebih jauh.
"Yah! Ini sebuah tangga
lantai! Berarti aku
dapat masuk!"
Diiringi luapan rasa gembira,
Arya Wirapak-
si melemparkan kayu di tangannya
ke bawah. Lalu
hati-hati sekali, dimasukinya
mulut lubang. Tu-
buhnya terayun-ayun kini.
Kakinya mencoba
menggapai tempat berpijak yang
berupa tangga
lantai. Setelah ujung kakinya
menyentuh tempat
yang diinginkan, barulah
pegangannya pada bibir
lubang dilepaskan.
"Hup...!"
Hampir saja Arya Wirapaksi terpeleset,
un-
tung masih bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Untuk melindungi matanya dari
pendaran cahaya
yang amat menyilaukan, ujung
lengan bajunya di-
gunakan sebagai tabir.
Perlahan-lahan, si pemuda
menuruni tang-
ga. Karena pandangannya tak
bebas, beberapa kali
dia hampir terpeleset. Apalagi,
tangga yang dituru-
ni amat panjang. Sementara
pendaran cahaya dari
bawah semakin lama semakin kuat,
membuat ke-
lopak matanya tak dapat dibuka.
Sehingga, dia ki-
ni berjalan seperti orang buta.
Kaki kanannya sela-
lu terjulur ke depan lebih
dahulu, untuk mencari
tempat pijakan.
Sepenanakan nasi kemudian, kaki
Arya Wi-
rapaksi menginjak lantai datar.
Namun, kelopak
matanya masih belum mampu
dibuka. Cahaya
yang berpendar kini terasa
berhawa panas. Seku-
jur tubuhnya telah bermandikan
keringat. Pakaian
kebesarannya yang berwarna putih
dengan garis-
garis hitam tampak lengket
dengan kulitnya. Dan
tanpa sepengetahuannya, ketika
kakinya mengin-
jak lantai datar tadi, lubang
tempat dia masuk
yang berada di dalam ruang
perpustakaan telah
menutup dengan sendirinya.
Setelah melangkah beberapa
tindak di lan-
tai datar, Arya Wirapaksi
memaksakan diri mem-
buka kelopak matanya. Dengan
menggunakan
ujung lengan baju sebagai tabir,
dicarinya asal
pendaran cahaya. Ternyata,
cahaya yang amat
menyilaukan itu berasal dari
lubang sebesar dua
jengkal pada dinding yang
agaknya terbuat dari
marmer.
"Biar tak menghambat
perjalanan, aku ha-
rus menutup lubang itu,"
cetus Arya Wirapaksi.
Walau terasa pedih, tapi pemuda
ini terus
membuka kelopak matanya untuk
mencari sesua-
tu yang bisa digunakan sebagai
penutup lubang.
Dan dia bisa tersenyum senang
saat melihat se-
bongkah batu cukup besar
tergolek tak jauh dari
bibir lubang.
Segera Arya Wirapaksi mendorong
batu itu
dengan mengerahkan seluruh
tenaganya. Maka
kini batu itu dapat digunakan
sebagai penutup lu-
bang. Cahaya yang sangat
menyilaukan kini le-
nyap sudah. Hanya tinggal
serat-serat cahaya ke-
biruan yang menyeruak dari
pinggiran batu. Serat-
serat cahaya yang tersisa itulah
yang membuat
ruang tidak jadi gelap-gulita.
"Luar biasa!" desah
Arya Wirapaksi. "Sung-
guh luar biasa! Aku tak tahu
cahaya itu berasal
dari mana. Tapi yang jelas,
bukan cahaya mataha-
ri. Cahaya matahari tidak akan
berpendar sehebat
itu di lorong bawah tanah
seperti ini. Setelah aku
mengitari ruang rahasia ini, aku
pasti akan mene-
liti, dari mana asal
cahaya...."
Begitu membalikkan badan untuk
melan-
jutkan langkah, Arya Wirapaksi
terperanjat. Dalam
sekejap mata, keringat dingin
kontan keluar ber-
cucuran. Bahkan bulu kuduknya
meremang. Tan-
pa sadar kakinya tersurut mundur
dua tindak
"Ya, Tuhan...," sebut
Arya Wirapaksi dengan
pandangan nanar.
Di atas lantai marmer berundak tiga
sap,
tampak rangka manusia yang masih
utuh tengah
bersila. Di sekitar tempat
rangka itu duduk terda-
pat serpihan-serpihan kain
kekuningan yang
hampir hancur menjadi debu
Arya Wirapaksi menguatkan
hatinya untuk
melawan rasa takut yang
menjalari hatinya. Syu-
kurlah di situ tidak terdapat
lagi sesuatu yang le-
bih mengerikan. Di depan rangka
manusia hanya
terdapat sebilah pedang tanpa
sarung. Agaknya
tak ada suatu yang istimewa, dan
agaknya hanya
pedang biasa. Sedang pada
dinding di belakang
rangka, terdapat ukiran
bergambar sepuluh ekor
monyet yang sedang duduk
bersila. Hanya sikap
bersila masing-masing yang
berlainan. Ada yang
menggunakan lutut sebagai
tumpuan. Ada pula
yang bertumpu pada pinggang dan
bahu kiri. Bah-
kan pada gambar yang kesepuluh,
tampak terba-
lik. Kepala di bawah, sementara
kakinya yang ber-
sila berada di atas.
Seperti tanpa bosan, Arya
Wirapaksi men-
gamati terus gambar-gambar itu.
Walau tak tahu
apa maknanya, tapi hatinya amat
tertarik. Apalagi
setelah membaca tulisan yang
terukir di kiri gam-
bar yang berbunyinya:
Api mustika rahasia adalah
sumber kekua-
tan. Bila tidak berjodoh, jangan
penasaran kalau
binasa memasuki pintuku.
Kening Arya Wirapaksi berkerut,
mencoba
mengikuti arti dari tulisan itu.
Dan melihat ukiran
sepuluh monyet di dinding
marmer, dia dapat me-
mastikan bila pembuatnya tentu
seorang tokoh
amat sakti. Maka, sudah
sepatutnya bila Arya Wi-
rapaksi menghormatinya. Untuk
itu, dia menja-
tuhkan diri di depan rangka.
"Aku bernama
Arya Wirapaksi...," katanya
dengan suara merendah, tak ingin
menunjukkan
kalau dirinya adalah putra
seorang raja. "Hanya
karena kebetulan atau mungkin
sudah menjadi
takdir Tuhan, aku dapat menjumpai jenazah
Eyang di tempat ini. Aku
bermaksud mengubur-
kan jenazah Eyang, agar
selanjutnya kau dapat
beristirahat dengan
tenang...."
Usai menunduk hormat, mendadak
bulu
kuduk Arya Wirapaksi meremang
lagi. Entah dari
mana datangnya, mendadak angin
dingin berhem-
bus. Namun semua itu tak
dipedulikan. Pemuda
ini bangkit. Segera dikitarinya
ruangan marmer
yang cukup lebar itu.
Kini bibir si pemuda tersenyum
senang ke-
tika mendapati permukaan tanah
tidak tertutup
lantai marmer. Luasnya sekitar
sepuluh kali tiga
kaki. Agaknya, tanah itu sengaja
tidak ditutupi
marmer sebagai tempat penguburan
mayat.
Segera Arya Wirapaksi memungut
pedang
yang tergeletak di depan rangka
manusia yang
masih dalam keadaan seperti
semula. Dengan
menggunakan pedang digalinya
permukaan tanah
yang baru ditemukan. Lega hati
si pemuda saat
mengetahui kalau tanah yang
digalinya ternyata
amat lunak. Hingga, dia dapat
bekerja dengan ce-
pat.
Tiba-tiba....
Tang!
Mendadak terdengar suara
beradunya
ujung pedang dengan benda keras.
Mungkin besi.
Untuk mendapat kepastian, Arya
Wirapaksi segera
menggerakkan ujung pedangnya
lebih cepat saat
menggali kembali.
Begitu lubang yang tercipta
makin lebar,
ternyata benda keras dalam tanah
itu memang se-
buah peti besi. Bergegas Arya
Wirapaksi mengang-
katnya. Dan kembali si pemuda
terkejut. Karena di
bawah peti besi itu terdapat
sebuah peti lagi. Tapi
bukan dari besi, melainkan dari
tembaga.
Terdorong rasa ingin tahunya,
Arya Wira-
paksi mengeluarkan juga peti
tembaga itu. Maka
kini terlihat kalau kedua peti
yang didapatkannya
sama besar. Tingginya kira-kira
dua kaki.
Arya Wirapaksi mengamati
sebentar, sebe-
lum membuka. Karena tutup peti
besi tidak dikun-
ci, maka tanpa mengalami
kesulitan dia dapat
membukanya. Ternyata, kedalaman
peti itu dang-
kal, tidak sampai setengah kaki.
Bagian tengahnya
tersekat lempengan besi lagi.
Arya Wirapaksi dapat memastikan
kalau
bagian atas peti berongga. Tapi,
dia tak hendak
membukanya. Perhatiannya justru
tertuju pada
sehelai kertas tua yang terdapat
di dasar peti. Ker-
tas tua hampir lapuk yang
bertuliskan:
Silakan baca tulisan di
baliknya.
Cepat Arya Wirapaksi membalik
kertas yang
dipegangnya. Kini, tampak
jajaran huruf yang ter-
pampang lebih kecil daripada
yang di depan. Wa-
lau hampir terhapus, tapi masih
dapat dibaca.
Mustika Api diwariskan kepada
yang berjo-
doh. Hanya, hendaknya orang itu
mempunyai sifat
welas-asih. Kuburkan dahulu
jenazahku sebagai
layaknya seorang murid
menguburkan jenazah gu-
runya.
Di bawah tulisan itu tertera
tulisan lagi ber-
huruf lebih kecil. Bunyi baris
atasnya:
Cara-cara membuka peti serta
mengubur je-
nazahku.
Setelah membaca tulisan itu,
Arya Wirapak-
si semakin yakin bila pada
lapisan peti bagian atas
yang berongga memang ada
sesuatu.
"Aku hanya kasihan pada
kerangka jena-
zahnya yang telantar dan
tertarik pada surat-surat
wasiatnya. Aku tak berniat
menyerakahi harta pu-
sakanya," desah pemuda itu,
perlahan sekali.
Dengan cermat Arya Wirapaksi
membaca
cara mengubur jenazah yang
tinggal tulang-
belulang itu. Tidak
dipedulikannya sudah berapa
lama dia berada di ruang bawah
tanah. Tidak di-
pedulikan pula kalau perutnya
sudah mulai ke-
roncongan. Tatapan matanya tak lepas
dari bari-
san huruf yang terpampang di
atas kertas.
Apabila kau bersungguh-sungguh
hendak
menguburkan jenazahku, galilah
lubang sedalam
lima kaki lagi. Karena dengan
bersemayam di tem-
pat yang lebih dalam, aku dapat
bebas dari segala
gangguan rayap dan serangga
tanah lainnya.
Tanpa berpikiran macam-macam,
Arya Wi-
rapaksi menggali lubang lagi
lebih dalam. Namun,
kali ini tanah yang digali
bercampur bebatuan.
Maka tak urung peluhnya
membanjiri wajahnya.
Padahal, tenaganya cukup kuat,
sebagai pemuda
yang pernah digembleng ilmu
silat dan tenaga da-
lam.
Tang!
Ketika hampir menggali sedalam
lima kaki,
tiba-tiba ujung pedang yang
dipegang Arya Wira-
paksi membentur benda keras hingga menimbul-
kan suara berdentang nyaring.
Ketika ingat penga-
lamannya menemukan dua peti besi
dan tembaga,
Arya Wirapaksi semakin semangat
menggali.
"Luar biasa! Benar-benar,
luar biasa!" gu-
mam Arya Wirapaksi, ketika
mendapati sebuah pe-
ti kecil yang tingginya sekitar
satu kaki. "Entah,
apa lagi yang tersimpan di dalam
tanah ini...."
Peti yang ditemukan Arya
Wirapaksi kali ini
terbuat dari perak. Dan mudah
pula dia dapat
membukanya. Kini, kembali
didapati sehelai kertas
berisi tulisan.
Arya Wirapaksi terperangah.
Namun, dalam
hati dia bersorak girang. Surat
dari dalam peti ke-
cil itu berbunyi:
Sungguh kau memang orang jujur.
Terima
kasih atas jasamu ini. Maka,
sudah layak bila aku
membalas kebaikanmu, dengan
memberikan raha-
sia pemecahan 'Lukisan Mustika
Api' yang kuukir di
belakang jenazahku....
Sejenak Arya Wirapaksi berhenti
membaca.
Ditatapnya ukiran sepuluh monyet
di dinding yang
berada di samping kirinya. Walau
tak tahu mak-
nanya, tapi dugaannya semula
benar kalau gam-
bar-gambar itu mengandung suatu
rahasia. Sete-
lah mengusap peluh di dahinya,
pemuda itu me-
lanjutkan.
Apabila rongga pada peti besi
dibuka, dari
dalamnya akan menyambar sepuluh
batang jarum
beracun yang amat halus, tapi
amat mematikan.
Dan apabila peti tembaga yang
dibuka, akan dida-
pati surat dan peta. Tapi, surat
dan peta itu palsu.
Malah mengandung racun yang amat
jahat. Semua
itu hanyalah untuk menghukum
serta mengajar
adat orang tamak yang
mementingkan nafsunya
sendiri. Pusaka yang asli berada
di dalam peti pe-
rak ini!
Berulang kali Arya Wirapaksi
menyebut as-
ma Tuhan. Kalau saja sejak
semula hanya keingi-
nannya buruk, nyawanya tentu tak
akan tertolong
lagi. Tulisan yang tertera pada
kertas di tangannya
tampaknya bukan bualan semata.
Dan hal ini dis-
adari betul.
Tanpa mau menyia-nyiakan waktu,
segera
pemuda itu merapikan lubang
galiannya. Lalu, di-
kuburnya tulang-belulang manusia
yang dapat di-
pastikan adalah seorang tokoh
cerdik-pandai.
Setelah permukaan tanah
diratakan, Arya
Wirapaksi memberi penghormatan
beberapa kali.
Dan kini, selesailah
pekerjaannya sebagai ‘ahli wa-
ris’.
Untuk sesaat pemuda itu bingung,
apa yang
harus diperbuatnya lagi.
Dipandanginya tiga peti
yang berada tak jauh darinya.
Untuk membuat
kuburan yang telah dibuatnya
menjadi lebih rapi,
dia bermaksud memindahkan peti
besi dan temba-
ga ke pojok ruangan. Namun,
ketika kedua peti itu
didorongnya....
Blakkk!
"Ohh...?"
Arya Wirapaksi terkejut saat
lantai ruangan
yang miring, membuat kedua peti
itu meluncur le-
pas dari pegangannya. Saat
membentur dinding
marmer, tutup-tutupnya menjeplak terbuka. Saat
itu pula, dari dalam peti
meluncur beberapa sinar
putih keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Tanpa sadar pemuda itu meloncat,
sehingga
nyawanya selamat. Walau loncatannya
tidak lebih
dari satu depa, tapi dia telah
terhindar dari jarum-
jarum beracun yang menebar dari
dalam peti.
Namun belum hilang keterkejutan
Arya Wi-
rapaksi, peti besi dan tembaga
yang membentur
dinding marmer tiba-tiba meledak
hancur. Tenaga
ledakannya cukup kuat, membuat
tubuh Arya Wi-
rapaksi sampai terlontar tiga
tombak. Begitu jatuh
di tanah, untunglah dia tak
mengalami cedera.
"Luar biasa! Luar
biasa!" desis Arya Wira-
paksi berulang kali seraya
bangkit berdiri. "Orang
ini agaknya sangat berhati-hati.
Dia tak mau ben-
da pusakanya jatuh ke tangan
orang jahat."
Perlahan-lahan, Arya Wirapaksi
membuka
peti tutup peti perak. Dan saat
itu pula timbul
kekhawatiran kalau peti itu
mengandung sesuatu
yang dapat membunuhnya. Tapi,
cepat-cepat di-
usirnya pikiran-pikiran buruk
saat dari dalam peti
telah didapatinya secarik kertas
tua namun cukup
kuat, tak seperti beberapa
kertas yang ditemukan-
nya sebelum ini
Kening si pemuda berkerut ketika
membaca
deretan huruf yang terpampang di
hadapannya.
Bakarlah kertas ini! Begitu
bunyinya.
Hanya karena terbawa rasa
keingintahuan-
nya, Arya Wirapaksi lalu
mengambil dua butir ba-
tu kering yang tergolek di
tanah. Dengan tenaga
dalamnya, kedua batu itu dibentur-benturkan
sampai memercikkan bunga api
yang langsung
membakar kertas yang baru
didapatkannya. Se-
bentar saja, kertas yang
lebarnya tak lebih dari sa-
tu kaki persegi itu telah
terbakar habis. Anehnya
hasil pembakaran tidak berupa
abu, melainkan te-
tap berupa kertas yang kali ini
bertuliskan huruf-
huruf putih halus dan sangat
indah. Bibir Arya Wi-
rapaksi bergetar ketika membaca.
Sekarang kau benar-benar telah
menjadi ahli
warisku. Langkah pertama, kau
harus memasuki
lubang tempat cahaya yang amat
menyilaukan ber-
pendar. Tak usah ragu atau
takut. Cahaya itu tidak
mengandung kekuatan jahat.
Justru, itulah sumber
'Mustika Api'. Telusurilah terus
lorong-lorong yang
ada. Maka, kau akan sampai di
sebuah lamping ju-
rang. Dari situ, akan kau dapati
sebuah terowongan
yang ditutupi pohon dan
rerumputan. Masuklah.
Dan kau akan sampai di sebuah
gua. Itulah Gua
Api. Tinggallah di situ sampai
kau dapat menguasai
ilmu 'Mustika Api'. 'Kitab
Pemecahan Lukisan Mus-
tika Api' berada di rongga peti
perak. Untuk mem-
bukanya, geserlah kuping peti ke
kanan. Sekian.
Arya Balambang Jenar
Pendiri Dinasti Anggarapura
Betapa terkejutnya Arya
Wirapaksi setelah
mengetahui, siapa orang yang
menulis surat Ru-
panya dia tak lain dan tak bukan
dari eyang
buyutnya sendiri, yang
kerangkanya telah diku-
burkan.
"Hmm.... Kemungkinan besar
Eyang Ba-
lambang Jenar bermaksud
melepaskan diri dari
kehidupan duniawi. Kemungkinan
besar pula,
namanya tidak tercantum dalam
Kitab Riwayat Ke-
rajaan Anggarapura atas
permintaannya sendiri...,"
pikir Arya Wirapaksi.
Untuk kesekian kalinya Arya
Wirapaksi di-
hantam keterkejutan. Kertas yang
berada di tan-
gan kanannya tiba-tiba ambyar
menjadi abu. Sege-
ra dia berlutut di depan makam
Arya Balambang
Jenar yang tadi dibuatnya.
Dihaturkannya sembah
beberapa kali. Tak lupa,
dipanjatkannya doa-doa.
Kini si pemuda membuka peti
perak. Begitu
terbuka, Arya Wirapaksi berseru
girang. Karena
ternyata, rongga yang terdapat
di peti itu berisi se-
buah kitab. Di atas kitab
didapatkan kertas bertu-
liskan :
Untuk yang berjodoh. Cuci
tanganmu setiap
selesai membaca kitab ini.
Jangan sebarkan hal ini
kepada siapa pun!
"Sungguh luar biasa
kecerdikan Eyang Ba-
lambang Jenar ini," puji
Arya Wirapaksi. "Kalau
beliau sangat mengkhawatirkan
kitabnya jatuh ke
tangan orang jahat, berarti
kitab ini tentu berisi
ilmu kesaktian yang
dahsyat..."
2
Sinar mentari pagi menyapa
bunga-bunga
liar di tepi Hutan Wonokeling.
Hembusan angin
mengelus pucuk-pucuk pepohonan
yang rindu te-
rusik. Manakala burung-burung
mendendangkan
nyanyian alam, sepi tak lagi
berkuasa.
Seorang remaja tampan berpakaian
putih
penuh tambalan agaknya tak
pernah bosan me-
mandangi bunga-bunga yang tumbuh
di antara
tonjolan akar pohon-pohon besar
dan sulur-sulur
yang merambat penuh duri.
Daunnya kecil-kecil
berwarna kuning-kecoklatan.
Dilihat sepintas lalu,
seperti tengah meranggas. Namun
justru dari situ-
lah keindahan kelopak bunga yang
sedang mekar
ini. Maka, wajar saja bila
remaja tampan berambut
panjang tergerai ini berdiri
lama di tempatnya.
Perhatiannya tak pernah lepas
dari keindahan
bunga yang beraneka warna.
"Bunga.... Keindahan bunga
selalu mengin-
gatkanku pada kecantikan seorang
gadis...," gu-
mam si remaja. "Ah! Kenapa
tiba-tiba aku teringat
Dewi Ikata?! Apakah gadis cantik
putri tunggal
Adipati Danubraja itu ingat pada
diriku pula?
Apakah dia masih memelihara
bunga-bunga cinta
dalam dirinya? Cinta? Ha ha
ha...!" mendadak re-
maja tampan ini tertawa bergelak
mirip orang gila.
"Cinta? Hatiku seperti
digelitik bila mendengar ka-
ta cinta. Sampai kapankah aku
berhenti bermain-
main dengan cinta? Apakah aku
tidak punya kese-
tiaan? Di taman Keputren
Bumiraksa, aku pernah
mengucap kata cinta dan
janji-janji indah. Tapi
kenyataannya, setelah Dewi Ikata
jauh dari sisiku,
aku berpaling dan bermain cinta
dengan gadis
lain. Inikah yang namanya
kesetiaan?"
Si remaja mendongak.
Pertanyaannya se-
perti ditujukan pada langit atau
mungkin burung-
burung yang sedang mengangkasa.
Sementara,
langit diam dan burung-burung
pun sedikit pun
tak peduli. Kini pemuda itu
menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Dasar mata bongsang!
Pantas orang men-
juluki sebagai Pengemis
Binal!" kata remaja tam-
pan ini seperti mengutuk diri
sendiri. Kembali dia
menggaruk kepalanya lagi.
"Tidak! Aku tidak me-
nyesal dijuluki orang Pengemis
Binal. Justru aku
malah senang! Ha ha ha...!"
Sewaktu remaja tampan yang
tangan ka-
nannya menenteng tongkat butut
ini tertawa ber-
gelak muncul seorang gadis
cantik yang berjalan
ke arahnya. Keningnya berkerut
melihat si remaja
terus tertawa-tawa.
"Huh! Menyesal aku ikut
denganmu, Suro!"
dengus si gadis, kesal.
Remaja yang ternyata Suropati
alias Penge-
mis Binal menoleh. Ditatapnya
sosok gadis berpa-
kaian serba putih itu. Melihat
bibir si gadis yang
cemberut, Suropati malah
tersenyum-senyum.
"Kenapa aku, Intan? Kau
marah?" tanyanya
dengan raut wajah polos seperti
tak punya dosa.
"Tak kusangka Pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang amat
kesohor itu, be-
rotak tak waras...," sahut
si gadis yang dipanggil
Intan, seenaknya.
"Apa kau bilang?"
potong Suropati yang
memang dikenal sebagai Pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau gila!" sahut
Intan, cepat.
"Ha ha ha…!"
Melihat Suropati tertawa lagi,
gadis berpa-
kaian serba putih mencak-mencak.
Bibirnya ma-
kin membentuk kerucut. Rasa
kesal dan marah je-
las membayang di matanya.
"Hei? Tampaknya kau marah,
Intan?" ledek
Suropati.
Si gadis tak menjawab. Sinar
matanya ma-
kin tajam menatap Pengemis
Binal.
"Ahh.... Aku mentertawakan
diriku sendiri.
Kenapa kau yang ribut,
Intan?"
"Ya! Karena kau memang
gila!"
"Aku tidak gila! Cuma
rada-rada gila! Ha ha
ha...!"
Selagi Suropati tertawa untuk
kesekian ka-
linya, Intan memberengut sambil
menggedrukkan
kakinya ke tanah, menumpahkan
kekesalan. Lalu,
dia berlari meninggalkan
Suropati yang masih ter-
bawa luapan kegembiraannya.
"Intan..,! Intan...!"
teriak Suropati setelah
sadar kalau si gadis tidak ada
lagi di dekatnya.
Segera remaja tampan namun
berperilaku
konyol ini mengempos tenaga
untuk dapat berlari
cepat. Diikutinya jalan setapak
dengan tubuh me-
lesat cepat.
Sementara, Intan menjadi
terkesiap ketika
menyadari sosok bayangan
berkelebat di atas ke-
palanya. Tak mau tubuhnya
bertubrukan, cepat
langkah kakinya dihentikan,
Namun, bayangan
yang tak lain Suropati malah
sengaja menubruk.
Secepatnya dipeluk gadis itu
erat-erat.
"Uh! Lepaskan! Lepaskan
aku!" pekik Intan
sambil meronta-ronta.
Pengemis Binal malah tersenyum
senang.
Dipeluknya tubuh Intan lebih
erat. Bahkan dike-
cupnya kening gadis cantik itu.
Ketika kecupannya
hendak beralih tempat ke bibir,
si gadis meronta
keras. Kaki kanannya diangkat.
Dan....
"Aduhh...!"
Menjeritlah Suropati karena
telapak kakinya
diinjak Intan.
"Aduh! Maaf.... Maafkan
aku, Intan...," ucap
Pengemis Binal saat melihat si
gadis menghunus
pedang di punggungnya.
"Sekali lagi kau berbuat
kurang ajar, kubu-
nuh kau!" ancam Intan dengan
mata mendelik ga-
rang.
"Hmm.... Kupikir kau senang
bila ku...."
"Tidak!"
"Tapi dalam perjalanan
beberapa hari ini,
bukankah kita sudah sering
ber...."
"Sekarang tidak!"
potong Intan lagi. Sua-
ranya ketus dan sinar matanya
menyala-nyala.
"Ya, sudahlah kalau begitu.
Kau tidak suka
padaku, aku pun tak akan
memaksa. Sekarang,
aku hendak ke puncak Bukit
Pangalasan. Kalau
mau ikut, aku tak keberatan.
Tapi kalau tidak,
aku pun tak akan kecewa. Kau
bisa kembali ke
Pulau Karang, tempat tinggalmu
yang sunyi-sepi
jauh dari peradaban manusia
itu!"
Mendengar kata 'Pulau Karang',
raut wajah
si gadis berubah. Sinar matanya
yang menyala-
nyala jadi meredup. Kemarahannya
berubah jadi
rasa sedih mendalam. Dia
teringat sebuah peristi-
wa yang amat memilukan hatinya.
Tanpa terasa,
pedang di tangan kanannya jatuh
ke tanah.
"Maafkan aku,
Intan...," desis Pengemis Bi-
nal, menyadari kesalahannya.
"Bukan maksudku
untuk mengingatkanmu pada
peristiwa berdarah
itu. Aku hanya kelepasan
bicara...."
Suropati memungut pedang yang
terjatuh.
Lalu disarungkannya pedang itu
ke punggung si
gadis. Kali ini, Intan diam saja
ketika Suropati
mendekap bahunya.
"Seorang pendekar pantang
mengeluarkan
air mata...," bisik
Suropati.
Gadis cantik bernama lengkap
Intan Melati
yang tak lain putri Rama Ludira
atau Pendekar
Hati Putih itu menguatkan
hatinya untuk memba-
las tatapan Suropati. Ditepisnya
pelukan remaja
tampan itu. Lalu, kakinya
melangkah menapaki ja-
lan setapak (Untuk mengetahui
kisah perjumpaan
Intan Melati dengan Suropati,
silakan baca serial
Pengemis Binal dalam episode:
"Tengkorak Kaki
Satu").
"Hei? Masihkah kau marah
padaku, Intan?"
tanya Suropati, lantang.
Intan Melati terus melangkah,
seperti tak
mau peduli pada Suropati yang
berjalan mengiku-
tinya. Sementara, si pemuda
terlihat menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Lalu
kakinya melangkah
lebar, berjalan di sisi kanan
Intan Melati.
"Aku tahu hatimu sedih,
Intan...," uak Pen-
gemis Binal kemudian. "Aku
bisa merasakannya.
Tapi, patutkah rasa sedih itu
dibiarkan menggang-
gu pikiran? Apakah tidak lebih
baik rasa sedih itu
disingkirkan dengan membuka mata
lebar-lebar
bahwa di dunia ini masih banyak
kesenangan yang
dapat diperoleh?"
Intan Melati menghentikan
langkah. Dita-
tapnya wajah Pengemis Binal yang
tidak menun-
jukkan kekonyolan.
"Aku tahu, apa yang kau
katakan...," ka-
tanya. "Aku pun tidak larut
dalam kesedihan. Aku
hanya merasa kasihan kepada
orang-orang yang
kucintai yang kini telah tiada."
"Syukurlah kalau begitu.
Tapi, segeralah lu-
pakan semua kenangan buruk di
Pulau Karang.
Bukankah manusia jahat si
pembuat malapetaka
itu telah mendapat balasan
setimpal?"
Intan Melati diam ketika
Suropati meling-
karkan lengannya ke bahu. Lalu,
kaki mereka me-
langkah lagi.
"Sebelum ke puncak Bukit
Pangalasan, aku
ingin mengajakmu ke kota
Kadipaten Tanah Loh.
Dengan melihat keramaian kota,
barangkali hati-
mu bisa lebih senang...,"
cetus Suropati.
"Kenapa tidak ke kota
Kadipaten Bumirak-
sa?" tukas Intan
Melati.
"Emmm...."
"Emmm apa?"
"Tidak apa-apa. Tapi
kukira, kau akan lebih
senang bila melihat keramaian
kota Kadipaten Ta-
nah Loh," kilah Suropati.
Remaja konyol ini tentu saja tak
mau men-
gajak Intan Melati ke kota
Kadipaten Bumiraksa
karena khawatir akan berjumpa
Dewi Ikata. Dan
ini kemungkinan besar akan
membuat cemburu
putri tunggal Adipati Danubraja
itu.
"Bagaimana? Kita ke kota
Kadipaten Tanah
Loh?" tanya Suropati,
melihat Intan Melati masih
berpikir-pikir.
"Yah.... Terserah
kaulah...."
Mendengar putusan Intan Melati,
Suropati
tersenyum senang. Tangan kirinya
segera mereng-
kuh bahu gadis itu lebih erat.
Lalu, dibawanya
berlari cepat
***
Sebuah kereta kuda melesat
cepat. Sua-
ranya berderak-derak ketika
melewati jalanan ber-
batu. Dilihat dari umbul-umbul
yang dibawa pra-
jurit berkuda di depan,
tampaknya orang yang be-
rada di dalam kereta adalah
seorang pembesar Ka-
dipaten Tanah Loh.
Dan, memang demikianlah
kenyatannya.
Dikawal delapan prajurit
pilihan, Adipati Bara-
sangga berkenan melakukan
perjalanan ke kota
Kadipaten Bumiraksa. Rara Anggi
yang merupa-
kan istri Adipati Danubraja
penguasa Kadipaten
Bumiraksa, adalah putri Adipati
Barasangga. Ma-
ka sudah menjadi kewajaran
apabila Adipati Bara-
sangga berkenan mengunjungi
putrinya. Apalagi
mereka sudah cukup lama tak
saling jumpa.
Ketika melewati sebuah jalan
sempit di
ujung Dusun Pakiaplang, prajurit
yang berkuda di
depan mengangkat kedua
tangannya. Sedang um-
bul-umbul di tangan kanannya
dikibaskan tiga
kali.
Seketika terdengarlah ringkik
panjang kuda
yang saling sahut. Masing-masing
segera meng-
hentikan langkah. Beberapa kuda
masih terus me-
ringkik, karena terkejut akibat
dihentikan secara
mendadak oleh penunggangnya.
"Ada apa?" tanya
Adipati Barasangga, begitu
tirai kereta terbuka. Wajahnya
yang sudah me-
nampakkan garis-garis usia di
atas lima puluh ta-
hun masih terlihat berwibawa.
Seorang prajurit berkumis tebal
yang mem-
bawa umbul-umbul meloncat dari
punggung kuda.
Lalu dihampirinya Adipati
Barasangga yang masih
berada di atas keretanya.
"Ampun, Gusti Adipati.
Hamba terpaksa
menghentikan perjalanan, karena
jalan di depan
terdapat lubang besar. Hamba
khawatir kereta ku-
da Gusti Adipati akan
terperosok...," lapor prajurit
berkumis tebal itu.
Adipati Barasangga mengangguk
kecil, lalu
turun dari kereta. Kening lelaki
gagah itu berkerut,
ketika melihat kubangan besar
yang sudah cukup
menguburkan bangkai dua ekor
gajah kira-kira se-
jauh sepuluh tombak. Di
kanan-kiri kubangan
tampak berserakan batang-batang
kayu yang
agaknya berasal dari tumbangnya
pepohonan. Se-
mentara, beberapa pohon besar
yang masih berdiri
tegak tampak meranggas. Daunnya
menguning.
Bahkan sebagian besar telah
berguguran.
"Jalan ini sepertinya baru
saja kejatuhan
sebuah benda panas yang
mempunyai kekuatan
dahsyat...," pikir Adipati
Barasangga sambil men-
gedarkan pandangan.
"Mungkinkah ada pecahan
bintang jatuh di sini?
Melihat bekas-bekasnya,
memang demikian. Tapi..., di
manakah pecahan
bintangnya?"
Adipati Barasangga melangkah
perlahan.
Dikitarinya kubangan sambil
memeriksa keadaan
sekitarnya sampai beberapa jauh.
Namun, apa
yang dicarinya tidak didapatkan.
Akhirnya, dia
kembali ke jalan semula.
"Kita tidak punya waktu
lagi...," ujar sang
adipati. "Lepaskan dulu
kuda-kuda penarik ini. La-
lu, angkat keretanya untuk
melewati kubangan
itu."
Cepat sekali delapan prajurit
Kadipaten Ta-
nah Loh melaksanakan perintah
junjungan mere-
ka. Namun ketika hendak mengikat
kembali kedua
kuda penarik kereta ke
tempatnya, tiba-tiba....
"Awas...!" teriak sang
adipati. Delapan pra-
jurit yang menyandang pedang di
punggung segera
melihat arah yang ditunjuk sang
adipati. Wajah
mereka pun kontan menjadi pucat.
Namun sebagai
prajurit terlatih, mereka segera
menyadari kea-
daan. Saat itu pula mereka
berloncatan dengan
mengerahkan seluruh kemampuan
ilmu merin-
gankan tubuh.
Pada saat yang sama dari utara
tempat
rombongan itu berada, melesat
bola api besar yang
amat menggidikkan. Sekejap
kemudian....
Blarrrr...!
Saat itu pula terdengar ledakan
bergemuruh
saat bola api yang melesat dari
angkasa mendarat
ke permukaan tanah. Bumi pun
berguncang.
Gumpalan tanah bercampur
bebatuan membu-
bung tinggi, membuat pandangan
jadi gelap. Dan
dari kegelapan itu, keluar
percikan-percikan api
yang segera membakar
rumput-rumput kering.
Begitu keadaan kembali seperti
semula, di
jalan itu telah terbentuk satu
kubangan lagi yang
lebih besar. Tidak terlihat lagi
kereta kuda Adipati
Barasangga. Tidak ada lagi
delapan kuda tunggan-
gan para prajurit pengawal.
Mereka telah mati da-
lam keadaan mengenaskan menjadi
potongan-
potongan kecil. Sementara,
rumput-rumput di se-
kitarnya mati terjilati lidah
api.
Adipati Barasangga tampak
berdiri sem-
poyongan sekitar tiga puluh
tombak dari pusat le-
dakan. Ketika terjadi ledakan
tadi, lelaki gagah ini
terlontar. Untunglah tubuhnya
kuat, sehingga ti-
dak mengalami cedera berarti.
Namun sewaktu dia
hendak berjalan untuk mengetahui
apa yang ter-
jadi, delapan prajuritnya
berloncatan mendekati.
"Gusti Adipati tidak
apa-apa?" tanya prajurit
berkumis, menunjukkan
kekhawatirannya.
"Aku tidak apa-apa, Kambar.
Hanya lecet-
lecet sedikit..," jelas
sang adipati. "Agaknya ada
orang yang ingin membuat
permusuhan dengan-
ku. Terlebih lagi, dia ingin
membunuhku. Kita
tunda dulu perjalanan ke kota
Kadipaten Bumi-
raksa. Kita cari manusia jahat
itu."
"Ampun, Gusti
Adipati...," sembah prajurit
berkumis yang dipanggil Kambar.
"Tidakkah lebih
baik Gusti Adipati melanjutkan
perjalanan? Ham-
ba khawatir akan terjadi apa-apa
bila Gusti Adipati
mencari orang yang belum jelas.
Dan lagi, bola api
besar yang menimbulkan ledakan
itu apakah bu-
kan bintang jatuh? Jadi, tidak
ada orang yang
bermaksud membuat celaka Gusti
Adipati...."
"Bintang jatuh tidak
seperti itu. Bendanya
tentu ada. Ini pasti perbuatan
orang usil."
"Kalau begitu, orang itu
pasti ilmunya san-
gat tinggi sekali...."
"Kau takut, Kambar?"
potong sang adipati.
"Kuda kita telah mati
semua. Perjalanan kita jadi
terhambat. Sambil mencari orang
jahat itu, kita
berusaha pula mendapatkan kuda
lagi."
Adipati Barasangga melangkah
tenang. Se-
mentara delapan prajurit
kadipaten mengikutinya.
Mereka berjalan ke utara, menuju
asal luncuran
bola api.
Tanpa terasa, perjalanan mereka
telah me-
masuki Hutan Wonokeling yang
mempunyai ba-
nyak lembah berbatu. Di depan
tebing yang terda-
pat lubang bergaris tengah dua
depa, sang adipati
menghentikan langkahnya.
"Aneh sekali mulut gua di
tebing itu...," gu-
mamnya. "Ada cahaya terang
yang memancar dari
dalamnya. Kalau cahaya perapian
atau obor tidak
akan seperti itu. Dan lagi, tak
ada asap yang ke-
luar. Hmmm.... Gua itu pasti ada
apa-apanya...."
Adipati Barasangga menatap wajah
kedela-
pan prajurit yang berdiri di
belakangnya.
"Kalian lihat gua itu.
Apakah kalian juga
merasakan keanehannya?"
Yang ditanya tak menjawab. Tapi,
sinar ma-
ta mereka sudah cukup memberi
jawaban.
"Aku ingin dua orang dari
kalian memeriksa
gua itu...," perintah sang
adipati kemudian.
Dua orang prajurit tampak
membungkuk
hormat, lalu berjalan mendekati
tebing. Ringan se-
kali tubuh mereka ketika
meloncat ke lamping teb-
ing di depan mulut gua. Padahal,
jarak mulut gua
dari permukaan tanah tak kurang
dari empat tom-
bak.
Bisa dilihat kalau mereka
memiliki ilmu ke-
pandaian yang bisa diandalkan.
Dua prajurit itu menoleh
sebentar ke arah
Adipati Barasangga. Melihat sang
adipati memberi
isyarat tangan, mereka segera
memasuki gua sete-
lah menghunus pedang untuk
berjaga-jaga.
Pandangan Adipati Barasangga dan
enam
prajurit yang tertinggal tak
pernah lepas dari mu-
lut gua. Mereka sama-sama
tegang. Hingga bebe-
rapa tarikan napas kemudian....
dari dalam gua
memancar cahaya yang lebih
terang dan amat me-
nyilaukan. Lalu...
Blarrr...!
Betapa terkejutnya Adipati
Barasangga dan
enam prajuritnya. Saat itu dari
dalam gua melesat
berpencaran potongan-potongan
daging dan serpi-
han kain, yang dibarengi
ledakan. Begitu benda-
benda kecil itu jatuh ke tanah,
semua yang me-
nyaksikan kejadian ini bergidik
ngeri. Serpihan
kain yang jatuh ke tanah dapat
dikenali sebagai
pakaian dua prajurit yang tadi
memasuki gua!
Menyadari apa yang telah
terjadi, enam pra-
jurit kadipaten segera meloncat
ke depan untuk
melindungi sang adipati dengan
pedang terhunus.
"Sebaiknya kita pergi dari
tempat ini, Gusti
Adipati...," cetus salah
seorang prajurit dengan
pandangan nanar.
"Tidak! Aku ingin tahu, apa
yang ada di da-
lam gua itu...," tolak
Adipati Barasangga seraya
berjalan mendekati tebing.
"Jangan, Gusti!" cegah
prajurit berkumis
bernama Kambar. "Hamba
mengkhawatirkan kese-
lamatan Gusti Adipati."
"Tapi, aku ingin tahu apa
yang ada di dalam
gua itu."
Kambar tampak berpikir sejenak.
"Sebaiknya Gusti Adipati
menunggu di sini.
Hamba yang akan memeriksa gua
itu," cetus Kam-
bar.
"Aku akan bersamamu,
Kambar...," sahut
seorang prajurit bertubuh tinggi
besar.
Kambar menatap wajah temannya.
Lalu,
mereka sama-sama membungkuk
hormat kepada
Adipati Barasangga. Dan tanpa
meminta persetu-
juan lagi, mereka meloncat
bersama ke depan mu-
lut gua.
Namun baru saja mereka melangkah
empat
tindak ke dalam....
Blarrr...!
Pancaran cahaya menyilaukan itu
kembali
muncul dibarengi ledakan keras.
Saat itu juga, tu-
buh Kambar dan temannya
terlontar keluar men-
jadi potongan-potongan kecil
seperti habis dirajang
pedang yang amat tajam.
"Kita pergi dari tempat
ini, Gusti Adipati...,"
ujar prajurit yang berdiri di
dekat Adipati Bara-
sangga.
Rasa ngeri kini jelas terpancar
di mata sang
adipati. Lelaki gagah ini
agaknya mulai dijalari ra-
sa takut. Namun sebelum kakinya
melangkah....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras yang
meledak-
ledak. Saat yang sama, dari
dalam gua berhembus
angin kencang. Adipati
Barasangga dan empat pra-
jurit yang tertinggal tampak
berdiri terhuyung-
huyung. Mereka seketika
mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tidak
terlontar. Tapi, su-
ara tawa yang terdengar terasa
meremas-remas
jantung. Aliran darah mereka
jadi kacau. Gendang
telinga pun terasa hendak pecah.
Hal ini membuat
pertahanan mereka goyah. Tiga
tarikan napas ke-
mudian, empat prajurit tersurut
mundur beberapa
tindak. Lalu....
"Aaah...!"
Tubuh mereka kontan terlontar
jauh diiringi
jeritan menyayat hati!
Adipati Barasangga terkejut
setengah mati
melihat seorang pemuda
berpakaian putih berga-
ris-garis hitam keluar dari
dalam gua. Rambut
pemuda itu panjang awut-awutan.
Wajahnya yang
sebenarnya tampan, menjadi amat
menakutkan.
Karena, bola matanya berwarna
merah darah dan
seperti memancarkan cahaya api!
"Si... siapa kau?!"
desis Adipati Barasangga.
Suaranya yang keras terdengar
bergetar, akibat
deraan rasa takut.
Melihat si pemuda menatap tajam,
adipati
Tanah Loh ini menghunus pedang
pendeknya.
Namun, pedang itu terlihat
bergoyang-goyang ka-
rena terbawa gerak tubuhnya yang
gemetar.
"Ha ha ha...!" pemuda
berambut awut-
awutan tertawa bergelak.
"Aku tahu, kau adalah
seorang pembesar kadipaten. Oleh
karena itulah
aku tidak membunuhmu. Tapi,
agaknya aku ma-
sih perlu mencoba kehebatan ilmu
'Mustika Api'-
ku. Berdiamlah beberapa saat di
tempatmu...."
Usai berkata, si pemuda memutar-mutar
kedua telapak tangannya di depan
dada.
Saat itu pula Adipati Barasangga
terkesiap
ketika di telapak tangan si
pemuda tahu-tahu ter-
dapat bola api sebesar kepala
kerbau. Bola api itu
semakin lama semakin besar,
menyadarkan sang
adipati kalau nyawanya
benar-benar terancam.
"Heaaa...!"
Pemuda berambut awut-awutan
menggeram
keras seraya meloncat turun dari
depan mulut
gua. Bola api yang kini telah
sebesar kerbau dis-
angganya di tangan kanan.
Sementara itu, Adipati
Barasangga menatap dengan sinar
mata nyalang.
Timbul niatan untuk melarikan
diri. Tapi, tiba-tiba
kakinya terasa kejang dan sama
sekali tak dapat
digerakkan.
Wusss...!
Si pemuda kini telah melontarkan
bola
apinya ke atas. Setelah
berputaran sejenak, bola
api itu pun meluncur deras
hendak menimpa tu-
buh sang adipati yang sudah tak
dapat berbuat
apa-apa. Agaknya, dia telah
terkena totokan jarak
jauh si pemuda.
Kini, nyawa Adipati Barasangga
benar-
benar bagai telor di ujung
tanduk. Bola api sebesar
kerbau tinggal dua depa lagi
untuk melumatkan
tubuhnya. Mendadak...
Bet!
"Ha ha ha...!"
Si pemuda tertawa bergelak
seraya menyo-
rongkan tangan kirinya ke depan.
Seketika, timbul
kekuatan kasat mata yang
menghentikan luncuran
bola api, membuat benda bulat yang
memancar-
kan cahaya panas itu melayang
sekitar satu depa
dari kepala sang adipati.
Keringat Adipati Barasangga
mengucur de-
ras. Tubuhnya bagai berada dalam
pembakaran.
Panas yang dirasakannya
benar-benar akan mem-
buat tubuhnya meleleh
perlahan-lahan.
"Ha ha ha...!" si
pemuda tertawa dengan
tangan kiri tetap terjulur ke
depan. "Nikmatilah bo-
la panas itu, Orang Tua! Tapi,
kau tak usah kha-
watir. Bola api itu akan terus
melayang. Bila kau
mampu bertahan dalam lima puluh
tarikan napas,
maka aku akan membiarkanmu pergi
dari tempat
ini."
Pucat-pasi wajah Adipati
Barasangga. Ba-
gaimana dia bisa bertahan,
sedang ujung-ujung
rambutnya sudah mulai terbakar?
"Keparat! Tidakkah kau tahu
siapa aku?!"
gertak sang adipati setelah
mengumpulkan selu-
ruh keberaniannya. Bagaimanapun
dia seorang
pemimpin. Maka, pantang bersikap
pengecut
"Siapa kau? Ha ha
ha...!" si pemuda tertawa
makin keras. "Menilik
pakaian yang dikenakan,
kau pasti seorang pembesar
kadipaten. Tapi, apa
guna pangkat dan kedudukan bila
tak punya il-
mu? Kalau kau tak mampu
bertahan, kematian itu
lebih baik bagimu. Seorang
pemimpin harus mem-
punyai ilmu yang pilih
tanding...."
"Keparat..!"
Umpatan sang adipati hanya
ditimpali tawa
si pemuda. Begitu tawanya
berhenti.
"Lima puluh... empat
sembilan... empat de-
lapan... empat tujuh...."
Kini, Malaikat Kematian
benar-benar telah
siap mencabut nyawa sang
adipati....
3
"Luar biasa...!" desah
Suropati bernada tak-
jub. "Bola api yang melesat
di angkasa tadi tentu
jatuh di sini."
Intan Melati turut memperhatikan
kuban-
gan tanah yang menghalangi
jalan, baru kemudian
menggelengkan kepala. Selain
mencium bau sesu-
atu yang terbakar, dia juga
mencium bau anyir da-
rah. Dan gadis ini memekik kecil
ketika melihat
banyak potongan daging
bertebaran.
"Suro...!" panggil
Intan Melati, berteriak.
"Ada apa, Intan?"
Pengemis Binal langsung
meloncat ke dekat si gadis.
"Kau lihat itu...,"
tunjuk Intan Melati.
"Hm.... Yah! Aku juga
melihatnya. Itu daging
kuda. Kau tak perlu takut.
Agaknya, bola api yang
melesat dari arah utara tadi
mempunyai kekuatan
dahsyat. Aku menduga, tidak
kurang dari lima
ekor kuda telah mati di
sini."
"Kalau ada kuda sebanyak
itu, pastilah se-
buah rombongan. Lalu, di mana
para penung-
gangnya?"
"Kupikir, mereka dapat
menyelamatkan diri.
Dan kemungkinan besar, mereka
menuju ke utara
untuk mencari asal bola api
itu."
"Kau yakin?"
"Akan kita buktikan. Aku
juga ingin tahu,
siapa biang keladi dari semua
ini. Ini bukan keja-
dian alam biasa. Tapi, dibuat
oleh orang berilmu
tinggi."
"Kita tidak jadi ke kota
Kadipaten Tanah
Loh?"
"Jadi. Tapi, kita tunda
dulu."
Pengemis Binal lalu mengajak
Intan Melati
berlari cepat ke utara, langsung
memasuki Hutan
Wonokeling. Agaknya dalam
perjalanan, muda-
mudi ini sempat melihat luncuran
bola api yang
menghancurkan kereta Adipati
Barasangga dan
membunuh kuda-kuda prajuritnya.
Karena tak sabar, Suropati
menggendong
Intan Melati. Dibawanya gadis
itu meloncat-loncat
di tanah berbatu. Dan Pengemis
Binal mengerah-
kan seluruh kemampuan lari
cepatnya saat men-
dengar tawa meledak-ledak dari
tengah hutan.
Saat itu juga Suropati
menurunkan tubuh
Intan Melati begitu melihat
seorang lelaki berpa-
kaian adipati tengah bergelut
melawan maut Tepat
di atas kepala lelaki itu,
melayang sebuah bola api
besar yang amat mengerikan.
Keadaannya sudah
payah. Sebagian rambut dan
bajunya sudah mulai
terjilat api. Sementara, seorang
pemuda berambut
awut-awutan tertawa kegembiraan
tanpa henti
menyaksikan keadaan calon
korbannya.
"Biadab!" seru
Suropati. Seketika tubuhnya
melesat sambil menghentakkan
kedua telapak
tangan ke depan.
Wuuttt...!
Blarrrr...!
Sebuah ledakan terdengar
memantul dari
tebing ke tebing, saat dua larik
sinar kebiruan
yang melesat dari telapak tangan
Pengemis Binal
menghantam bola api. Saat itu
pula bola api itu
ambyar dengan lidah-lidahnya
yang menebar ke
berbagai penjuru. Pada waktu
yang hampir bersa-
maan, Suropati menyambar tubuh
lelaki berpa-
kaian adipati itu.
Dengan kecepatan mengagumkan
pula, ta-
hu-tahu Suropati telah membawa
tubuh orang
yang ditolongnya menjauhi pusat
ledakan tadi.
Dan begitu sosok itu diturunkan
ke tanah....
"Gusti Adipati
Barasangga!" sebut Suropati,
setelah mengenali lelaki yang
baru ditolongnya.
Sementara, Intan Melati tampak
menghampiri.
"Ya. Aku Adipati
Barasangga. To... longlah
aku, Anak Muda. Aku...."
Sang adipati tak dapat
melanjutkan kali-
matnya karena pandangannya
mendadak kabur.
Bersamaan dengan itu lelaki yang
tak lain pengua-
sa Kadipaten Tanah Loh ini
terkulai pingsan dalam
dekapan Pengemis Binal.
"Dia tak mengalami luka
berarti. Dia hanya
tak mampu menahan hawa panas.
Carilah sungai
di dekat sini. Mandikan
dia...," ujar Suropati sam-
bil menatap Intan Melati.
Mata si gadis kontan mendelik.
"Apa kau bi-
lang? Aku memandikannya?"
potongnya dengan
suara ketus.
"Tolonglah Adipati
Barasangga ini. Kalau
tubuhnya tak segera menyentuh
air, aku khawatir
nyawanya tak akan tertolong
lagi."
"Keparat!"
Begitu ucapan Suropati selesai,
terdengar
suara bentakan penuh kemarahan.
Tampak kini
pemuda berambut awut-awutan ini
melangkah
dengan mata merah menyala-nyala.
Agaknya, dia
hendak melampiaskan kemarahannya
kepada Su-
ropati.
"Selamatkan Adipati
Barasangga. Aku akan
menghadapi manusia kejam
itu," ujar Pengemis
Binal lagi.
"Baiklah. Tapi kau harus
hati-hati, Suro...,"
sahut Intan Melati seraya
menyambar tubuh sang
adipati.
"Kurang ajar! Berani benar
kau mencampuri
urusanku!" gertak pemuda
berambut awut-
awutan.
Suropati menggaruk kepalanya
sebentar.
Mulutnya yang terbuka hendak
bicara mendadak
terkatup kembali. Matanya
mendelik ke arah si
pemuda. Walau wajah yang
terpampang di hada-
pannya amat kotor, tapi Pengemis
Binal masih da-
pat mengenalinya.
"Kau... kau Arya
Wirapaksi...?" desis Suro-
pati seperti tak percaya pada
apa yang dilihatnya.
"Ha ha ha...!" si
pemuda tertawa bergelak
"Aku tidak mengenal, siapa
itu Arya Wirapaksi!
Aku adalah pewaris Eyang Arya
Balambang Jenar.
Aku adalah pewaris ilmu 'Mustika
Api'...!"
Pengemis Binal
mengerjap-ngerjapkan ma-
tanya. Apa yang dilihatnya tetap
tak berubah. Pe-
muda yang berdiri di hadapannya
adalah Arya Wi-
rapaksi, putra mahkota Kerajaan
Anggarapura.
Suropati yakin benar akan
penglihatannya kini.
Tapi, kenapa Arya Wirapaksi tak
mau mengakui
dirinya sendiri? Apakah dia
sakit ingatan? Atau,
dia memang bukan Arya Wirapaksi?
"Tidak! Dia benar Arya
Wirapaksi. Aku kenal
betul akan dirinya!" tegas
Suropati dalam hati.
"He?! Kenapa kau bengong?!
Agaknya kau
telah melihat lubang kematian di
depan matamu.
Kau akan segera merasakan
kehebatan ilmu
'Mustika Api'!" bentak si
pemuda yang memang
Arya Wirapaksi
menggerak-gerakkan kedua tela-
pak tangannya di depan dada.
"Tunggu!" cegah
Pengemis Binal. "Tidakkah
kau mengenaliku, Wirapaksi? Aku
Suropati. Aku
sahabatmu..."
"Aku tidak kenal kau! Aku
tidak kenal pula
nama yang kau sebutkan
itu!"
Di ujung kalimatnya. Arya
Wirapaksi melu-
ruskan telunjuk tangan kirinya
yang semula ber-
putar-putar di depan dada.
Slap!
"Uts!"
Pengemis Binal meloncat ke
samping ketika
melihat selarik sinar bening
meluruk ke dada kiri.
Sehingga luputlah dia dari
totokan jarak jauh yang
dilancarkan pemuda berambut
awut-awutan itu,
"Aku curiga, pasti ada
sesuatu yang tak di-
inginkan telah terjadi pada diri
Arya Wirapaksi...,"
kata batin Pengemis Binal.
"Ilmunya tak mungkin
berkembang sedemikian cepat
dalam waktu sing-
kat. Tentu ada orang sakti yang
telah memindah-
kan seluruh tenaga saktinya ke
tubuh Arya Wira-
paksi. Atau mungkin, Arya
Wirapaksi telah mem-
pelajari sebuah kitab luar
biasa, sehingga mem-
buat otaknya terganggu...?"
Selagi Pengemis Binal
menduga-duga, Arya
Wirapaksi menggembor keras.
Tahu-tahu, telapak
tangan kirinya telah menyangga bola api sebesar
kerbau. Matanya yang berwarna
merah darah se-
makin terlihat mengerikan.
"Mampuslah kau...!"
pekiknya seraya me-
lemparkan bola api ke arah
Pengemis Binal
Bergegas remaja tampan
berpakaian putih
penuh tambalan itu meloncat.
Tapi, alangkah ter-
kejutnya Pengemis Binal.
Ternyata bola api yang
melayang di udara itu bisa
dikendalilan oleh Arya
Wirapaksi. Bahkan kini terlihat
mengejar ke mana
pun tubuh Suropati bergerak.
Karena terus diburu bola api
besar yang
membawa hawa panas, keadaan
Pengemis Binal
jadi kalang kabut. Keringat
mengucur deras di tu-
buhnya. Matanya mendelik tajam
melihat pohon-
pohon di sekitarnya mulai
terbakar. Akibatnya,
Hutan Wonokeling kini berubah
menjadi lautan
api.
Saat itu pula, Pengemis Binal
mengempos
tubuhnya disertai pengerahan
seluruh kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya.
Ketika, bola api
melesat ke arahnya, dengan sigap
dipasangnya
kuda-kuda. Dihirupnya udara
dalam-dalam, se-
raya menarik pergelangan tangan
hingga sejajar
pinggang
Sekejap mata kemudian, telapak
tangan
remaja tampan itu telah berubah
menjadi merah
membara. Namun anehnya, hawa
yang ditimbul-
kannya terasa dingin menusuk
tulang.
"Pukulan 'Salju
Merah'...!" pekik Suropati
seraya menghentakkan kedua
telapak tangannya
ke depan.
Wuuttt...!
Blarrr...!
Ledakan dahsyat kontan
berkumandang ke
seantero Hutan Wonokeling. Bola
api langsung
hancur dan lenyap tertimpa dua
larik sinar merah
yang memendarkan hawa dingin.
Ranting-ranting
pohon yang semula terjilati
lidah api kini terseli-
muti salju berwarna merah. Walau
matahari tepat
di atas kepala, namun udara
terasa amat dingin.
Itulah kehebatan ilmu pukulan
'Salju Merah' milik
Pengemis Binal yang diturunkan
oleh Nyai Catur
Asta padanya.
Melihat ilmu 'Mustika Api'
mengalami kega-
galan, tubuh Arya Wirapaksi
bergetar terbawa lua-
pan amarah. Giginya bertaut
rapat memperden-
garkan bunyi bergemeletuk. Air
mukanya tegang
dengan mata melotot. Kini kedua
mata itu benar-
benar menyorotkan cahaya merah
menggidikkan.
"Jahanam...!"
geramnya.
Melihat wujud pemuda berambut
awut-
awutan makin tampak mengerikan,
tanpa sadar
Pengemis Binal tersurut mundur.
Tangan kanan-
nya meraba tongkat butut yang
terselip di ikat
pinggangnya. Dan dia jadi
terkesiap ketika tubuh
Arya Wirapaksi tampak
memancarkan cahaya pu-
tih yang amat menyilaukan mata.
"Aku ingin tahu, apakah kau
mampu berta-
han dari ilmu 'Mustika Api'
tingkat kesepuluh
ini...," tantang si pemuda.
Perlahan-lahan kedua
belah tangannya dipentangkan,
lalu bergerak naik.
Dan kini, bertemu di atas
kepala.
Kini, terdengar suara mendesis
ketika tela-
pak tangan Arya Wirapaksi mengepulkan
asap pu-
tih. Saat mulut pemuda
berpakaian putih dengan
garis-garis hitam itu menggembor
keras, dari ke-
dua telapak tangannya yang
bertaut di atas kepala
melesat bunga-bunga api ke arah
Pengemis Binal!
"Hiyaaa...!"
Suropati meloncat tinggi seraya
meloloskan
tongkat bututnya di tanah.
Setelah berputaran be-
berapa kali, kedua kakinya
mendarat mantap. Le-
satan bunga-bunga api itu memang
berhasil di-
hindarinya. Namun dia jadi
terkejut saat melihat
tanah tempat bunga-bunga api
mendarat telah
berlubang-lubang dan
menyemburkan api, yang
sepertinya keluar dari tenaga
panas bumi.
Belum lama kaki Suropati
mendarat, bun-
ga-bunga api telah melesat
kembali lagi dari tela-
pak tangan Arya Wirapaksi. Mau
tak mau Penge-
mis Binal mesti berjumpalitan
untuk menyela-
matkan diri. Tapi, bunga-bunga
api itu seperti tak
ada habisnya. Melesat terus,
membuat lubang-
lubang di tanah yang kemudian
menyemburkan
api berwarna kebiruan.
Mendapat serangan bertubi-tubi,
Suropati
jadi kewalahan. Dia tak punya
lagi tempat untuk
berpijak. Di sana-sini semburan
api mengurung-
nya. Sekujur tubuhnya sudah
terasa tersiram air
mendidih. Telapak kakinya yang
beberapa kali
menginjak tanah pun mulai
melepuh.
"Tanpa pukulan 'Salju
Merah', tak mungkin
aku dapat bertahan...,"
pikir Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti ini lalu mengempos
tubuhnya ke atas seraya
menghimpun seluruh kekuatan
tenaga dalam. Da-
lam keadaan masih melayang di
udara, dia meme-
kik nyaring. Telapak tangannya
yang sudah dilam-
bari kekuatan ilmu pukulan 'Salju Merah' diki-
baskan ke depan.
Pada saat yang sama, satu titik
cahaya ke-
biruan telah meluncur dari ujung
jari pemuda be-
rambut awut-awutan. Dan
tiba-tiba saja menem-
bus telapak tangan Suropati.
Akibatnya...
"Arghhh...!"
Suropati menjerit keras, merobek
angkasa.
Sekujur tubuhnya kontan terasa
panas membara
seperti dijalari api neraka. Dia
kontan terjatuh ke
tanah yang telah menjadi lautan
api. Namun begi-
tu, dia mampu menjaga keseimbangan
tubuhnya,
hingga jatuhnya kaki lebih dulu.
"Hei! Mau lari ke mana
kau?!" hardik Arya
Wirapaksi saat melihat Suropati
seketika men-
gambil langkah seribu.
Dalam keadaan terluka, rupanya
Pengemis
Binal tak mampu meladeni amukan
pemuda be-
rambut awut-awutan. Dia tak
mungkin melukai
pemuda yang dikenalnya sebagai
Arya Wirapaksi,
putra mahkota Kerajaan
Anggarapura. Lagi pula,
yang lebih penting adalah
menyelamatkan jiwa
Adipati Barasangga lebih dulu.
Soal urusan den-
gan pemuda itu, bisa dilanjutkan
kapan saja.
Saat pemuda bertubuh tinggi
tegap ini hen-
dak mengejar ke mana Suropati
berlari, tiba-tiba....
"Aaah...!"
Arya Wirapaksi menjerit.
Langkahnya ter-
henti. Kedua tangannya menekan
kepala. Lalu, se-
perti orang gila dia menggedor-gedor
dadanya sen-
diri.
"Ya, Tuhan...! Apa yang
telah kulakukan?"
jerit si pemuda. "Aku telah
melukai orang. Aku te-
lah membunuh orang. Eyang...!
Maafkan aku,
Eyang...!"
Arya Wirapaksi langsung menangis
mengge-
rung-gerung. Perlahan-lahan
tubuhnya jatuh
menggelosor ke tanah. Didekapnya
lagi kepalanya
dengan kedua tangan. Dia
menggembor seraya me-
loncat hendak bangkit, namun
mendadak tubuh-
nya terkulai jatuh ke tanah
lagi! Pandangan ma-
tanya kini gelap. Kepalanya
terasa amat berat. Di-
rinya seperti terbawa pusaran
air dahsyat yang
sama sekali tak mampu
dilawannya.
Hutan Wonokeling kini
terselimuti sunyi.
Hanya desau angin yang terdengar
ditimpali kicau
burung. Api kebiruan yang
menyembur dari dalam
tanah telah padam. Hangatnya
sinar mentari yang
berkuasa mengelus mayapada.
Tubuh Arya Wira-
paksi terbaring telentang,
tergolek lemah seperti
selembar kain tiada berharga.
Ingatannya lenyap
karena telah pingsan.
***
Di tepi sungai yang baru ditemukannya,
In-
tan Melati jadi bingung.
Ditatapnya tubuh Adipati
Barasangga yang telah
diturunkannya di tanah.
Haruskah pakaian pembesar
kadipaten itu ditang-
galkan? Atau tubuhnya disiram
saja?
Intan Melati menempelkan
punggung tela-
pak tangannya ke kening sang
adipati. Terasa be-
tul kalau suhu badan lelaki ini
amat tinggi.
"Ah, aku harus cepat
memberi pertolongan,"
pikir Intan Melati. "Aku
tak perlu memandikannya.
Kusiram saja tubuhnya dengan
air."
Niat Intan Melati untuk
mengambil air sun-
gai urung, karena Adipati
Barasangga tampak
menggeliat sadar dari
pingsannya.
"Uh! Panas sekali...,"
keluh sang adipati
sambil berusaha bangun, tapi tak
mampu. Kedua
kakinya memang masih terkena
pengaruh totokan.
"Tuan hendak bangun? Tuan
butuh air?"
tanya Intan Melati.
Gadis ini masih menampakkan
kebingun-
gannya. Memang, baru kali ini
dia menghadapi
orang yang membutuhkan
pertolongan.
"Kau siapa?" tanya
sang adipati, setelah me-
lihat sosok Intan Melati.
"Aku Intan Melati, Tuan.
Aku teman Suro-
pati." Adipati Barasangga
diam. Ingatannya me-
layang pada peristiwa yang baru
dialami. Pada saat
inilah suhu tubuhnya terasa
meninggi. Dia hendak
berjongkok untuk membebaskan
pengaruh toto-
kan di kakinya, namun tak mampu.
Karena, tena-
ganya telah terkuras.
"Kau bisa memulihkan jalan
darah di kaki-
ku?" tanya sang adipati,
setengah memohon.
"Akan ku coba,
Tuan...."
Memang, Intan Melati adalah
putri seorang
pendekar yang cukup ternama pada
masanya. Tak
heran kalau dia mengerti tentang
ilmu totokan.
Maka bergegas gadis ini
memeriksa pergelangan
kaki sang adipati. Didapatinya
lingkaran kecil ber-
warna biru di kedua paha lelaki
itu. Dengan men-
gurut beberapa lama, jalan darah
di kaki sang adi-
pati dapat dilancarkannya
kembali.
"Terima kasih, Anak Manis...,"
ucap Adipati
Barasangga seraya
menggerak-gerakkan pergelan-
gan kakinya yang kaku.
Tahu dirinya berada di tepi
sungai, lelaki ini
segera mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya dan tu-
run ke tepi sungai. Dengan
berendam beberapa
lama di aliran sungai, rasa panas yang merejam
tubuhnya berangsur-angsur
lenyap.
"Suropati...!"
Intan Melati berteriak girang
ketika melihat
sebuah bayangan di kejauhan.
Namun, betapa kecewanya gadis
ini ketika
menyadari kalau sosok yang hadir
ternyata bukan
Suropati. Orang itu masih muda.
Umurnya sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya
tampan. Alis tebal
tampak menambah kegagahannya.
Rambut pan-
jang, diikat sehelai kain sutera
merah. Pakaiannya
yang berwarna putih-kuning
terbuat dari bahan
mahal.
"Kau... kau siapa?"
tanya Intan Melati gela-
gapan, karena si pemuda terus
memandang wa-
jahnya.
"Aku Jaka Pamulang,
Nona...," sahut pemu-
da beralis tebal, memperkenalkan
diri.
"Kenapa kau kemari?"
tanya Intan Melati la-
gi. Kali ini disertai rasa curiga.
"Jangan berprasangka buruk
terhadapku,
Nona...," ujar pemuda
bernama Jaka Pamidang
sambil membungkuk hormat.
"Aku hanya kebetu-
lan lewat sini. Pada mulanya,
aku hendak melihat
apa yang mengepul di tengah
hutan sebelah sana.
Tapi, kini asap itu sudah tidak
ada lagi. Kiranya
dugaanku meleset. Hutan
Wonokeling tidak terba-
kar. Mungkin ada orang yang
membuat pera-
pian...."
"He, Jaka Pamulang!"
teriak Adipati Bara-
sangga seraya keluar dari air
sungai.
Intan Melati jadi jengah dan
malu, karena
secara tak sengaja melihat tubuh
sang adipati
yang setengah telanjang. Sementara, kening pe-
muda yang bernama Jaka Pamulang
tampak ber-
kerut. Matanya tak lepas
memandang sang adipati
yang sedang mengenakan
pakaiannya yang tak la-
gi utuh.
"Kenapa Gusti Adipati
berada di sini?" tanya
si pemuda saat sang adipati
telah berada di dekat-
nya.
"Aku mengalami musibah,
Jaka. Seluruh
pengawalku mati. Untunglah, aku
sendiri masih
selamat...," tutur Adipati
Barasangga, bernada se-
dih.
"Bagaimana itu bisa
terjadi?"
"Seorang pemuda berilmu
luar biasa telah
menjatuhkan tangan mautnya. Aku
ditolong Suro-
pati dan temannya ini...,"
jelas sang adipati me-
nunjuk Intan Melati.
"O, jadi Nona teman
Suropati. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu. Maaf-
kan bila sikapku tadi tak sopan,
Nona...," ucap Ja-
ka Pamulang sambil membungkuk
dalam. Mengin-
gat kebesaran nama Suropati,
agaknya pemuda ini
merasa perlu menaruh hormat
terhadap Intan Me-
lati.
Mendapat penghormatan yang
berlebihan,
Intan Melati jadi salah tingkah.
Adipati Barasangga
yang telah terbebas dari siksaan
rasa panas tam-
pak tersenyum.
"Terimalah penghormatan
Jaka Pamulang,
Anak Manis. Dia adalah putra
Demang Bulak Ka-
rang yang terletak di Kadipaten
Tanah Loh," ujar
sang adipati.
"Eh, ya... ya...."
Melihat Intan Melati semakin
salah tingkah,
Adipati Barasangga tersenyum
lagi.
"Sekarang, kenalkan dirimu
kepadanya...."
Intan Melati menunduk malu.
Pikirannya
jadi tak menentu. Tapi setelah
sadar kalau tengah
berhadapan dengan orang-orang
terhormat, rasa
canggung diusirnya.
"Namaku Intan
Melati...," ujar Intan Melati
kemudian.
"Hmm.... Sebuah nama
indah...," puji Jaka
Pamulang. "Melihat pedang
di punggungmu, kau
tentu putri seorang pendekar.
Atau paling tidak,
murid seorang tokoh yang ahli
memainkan senjata
pedang."
Intan Melati diam. Rasa canggung
masih
menggeluti dirinya. Apalagi,
Jaka Pamulang selalu
melempar senyum ke arahnya.
Pikir Intan Melati,
pemuda itu tentu punya sifat
mata keranjang.
"Di mana Suropati,
Intan?" tanya Adipati
Barasangga dengan suara lembut.
"Apakah dia
masih berhadapan dengan pemuda
sakti di tengah
hutan sana?"
"Hamba tak tahu, Tuan.
Tapi, hamba akan
menunggunya di sini...,"
jelas Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap
langit. Mata-
hari telah jauh condong ke
barat. Berarti, petang
akan segera datang.
"Sebaiknya kau ikut aku ke
kota Kadipaten
Bumiraksa, Intan. Karena, aku
tidak bisa mene-
manimu di sini."
"Tapi, hamba mesti menunggu
Suropati...,"
tolak Intan Melati, halus.
"Bagaimana kalau dia tidak
segera datang?
Sedang kau bisa melihat sendiri
bila hari hampir
petang. Tak baik gadis cantik
sepertimu berada di
kegelapan. Apalagi, di tengah
hutan seperti ini...."
Intan Melati diam merasakan
kebenaran
ucapan Adipati Barasangga. Tapi
teringat sosok
Suropati yang mengajaknya pergi
ke kota Kadipa-
ten Tanah Loh, hatinya jadi
bingung. Walau sering
berlaku konyol saat menggoda,
namun sesung-
guhnya Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah mencuri hatinya.
Intan Melati be-
lum ingin berpisah dengannya.
"Apa lagi yang kau
pikirkan, Intan?" lanjut
sang adipati. "Setelah
sampai di Pendapa Kadipa-
ten Bumiraksa, aku akan meminta
Adipati Danu-
braja, menantuku agar mengirim
beberapa tokoh
sakti untuk menghentikan
kebrutalan pemuda be-
rambut awut-awutan itu. Tapi,
mudah-mudahan
saja Suropati telah berhasil
mengatasinya. Oleh
karena itu, sebaiknya kau ikut
denganku, Intan.
Kalau Suropati tidak menemukanmu
di tempat ini,
dia pasti akan mencari ke kota
Kadipaten Bumi-
raksa. Karena, dia sering berada
di sana. Ada gadis
cantik yang menjadi
kekasihnya...."
Kontan Intan Melati terkesiap
mendengar
penjelasan Adipati Barasangga.
"Kekasih? Suropati punya kekasih?" ujar-
nya, gelagapan.
Melihat air muka Intan Melati
yang berubah
keruh, kening Adipati Barasangga
berkerut. Tapi
sebagai orang tua yang sudah
matang pengala-
man, lelaki ini segera tahu apa
yang ada di hati In-
tan Melati.
"Apakah Nona Intan Melati
mengenal Suro-
pati belum lama?" tanya
Jaka Pamulang. "Semua
orang di kota Kadipaten
Bumiraksa telah tahu ka-
lau Suropati adalah kekasih Dewi
Ikata."
"Oh...," Intan Melati
mendekap mulutnya.
Hatinya seketika terasa pedih
bak tersayat sembi-
lu.
"Benarkah Suropati punya
kekasih yang
bernama Dewi Ikata? Kalau benar,
lalu apa mak-
sud pendekar muda itu memberi
begitu banyak
perhatian? Apakah aku sendiri
yang salah menaf-
sirkan kebaikannya?"
tanyanya kepada diri sendiri.
Tanpa terasa, butiran mutiara
bening ber-
gulir dari sudut mata si gadis.
Intan Melati tak da-
pat menipu diri sendiri. Dia
mencintai Suropati.
Tapi, akankah dia berebut cinta
dengan Dewi Ika-
ta?
"Dewi Ikata adalah putri
Adipati Danubraja,
yang juga cucu Gusti Adipati
Barasangga ini...,"
lanjut Jaka Pamulang. Pemuda ini
seperti tak mau
tahu, apa yang terjadi pada diri
Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap wajah
Jaka
Pamulang dalam-dalam. Ada rasa
tidak suka yang
terpancar di sorot matanya.
Sementara, si pemuda
tampaknya tak menyadari
kesalahannya.
"Aku tadi kelepasan bicara.
Kenapa kau ma-
lah melanjutkannya, Jaka?"
desis sang adipati se-
raya mendekatkan mulutnya di
telinga Jaka Pa-
mulang.
"Maafkan hamba, Gusti
Adipati...," ucap Ja-
ka Pamulang kemudian. Walau
badannya mem-
bungkuk ke arah Adipati
Barasangga, tapi ma-
tanya melirik Intan Melati yang
masih menunduk.
"Kau tidak harus meminta
maaf padaku.
Kau tahu, siapa yang kau sakiti
hatinya."
"Maafkan aku, Nona....
Eh...," pemuda ini
terkejut saat Intan Melati
memandangnya dengan
mata berkaca-kaca.
Adipati Barasangga turut
terkejut, ketika ti-
ba-tiba Intan Melati meloncat,
dan berlari mening-
galkan tempat.
"Hei, Intan!
Tunggu...!" teriaknya. Tapi, si
gadis tak mempedulikan lagi. Dia
terus berlari
tanpa menoleh ke belakang.
Emoticon