Malam larut terbawa putaran
waktu. La-
telinga Sawung Permadi bagai
rintihan iblis nera-
ka. Kakek ini duduk terpekur di
lantai papan bera-
las tikar pandan. Ketika
terdengar ketukan halus
di daun pintu, segera dia
bangkit.
"Masuklah, Gurdi...,"
ujar Sawung Permadi
setelah tahu orang yang muncul
adalah Bantar
Gurdi.
Hati-hati sekali Bantar Gurdi
menutup
daun pintu yang dibuka gurunya.
Dia seperti tak
mau kehadirannya diketahui murid
lainnya.
"Apa yang hendak kau
bicarakan, Gurdi?
Dan, kenapa kau meminta waktu
untuk bicara
pada tengah malam begini?"
tanya Sawung Perma-
di, setelah Bantar Gurdi duduk
bersila di hada-
pannya.
"Ternyata, apa yang Guru
katakan tadi sore
ada benarnya."
"Maksudmu?"
"Raksa Wijaya...,"
kata Bantar Gurdi dengan
kepala berpaling ke kiri,
seperti sedang memperta-
jam pendengaran.
"Kenapa dengan Raksa
Wijaya?" tanya Sa-
wung Permadi. "Sikapmu jadi
aneh, Gurdi."
"Raksa Wijaya memang patut
dicurigai.
Guru."
"Kau punya alasan
kuat?"
"Tadi sore di pringgitan,
dia sengaja mengo-
rek keterangan dariku. Dia bertanya
tentang ilmu
'Tapak Putih' andalan Guru. Aku
menjawab sejauh
yang ku tahu. Tampaknya dia kecewa. Lalu, dia
bertanya di mana ruang baca
pribadi Guru."
"Kau jawab?"
"Ya! Kujawab apa adanya. Maafkan aku.
Guru. Aku menyadari bahwa
sebenarnya itu tidak
boleh. Tapi kusengaja, karena
aku telah menyusun
siasat untuk membuka
kedoknya."
Wajah Sawung Permadi terlihat
menegang.
"Apakah Guru mempunyai
kitab yang berisi
ilmu 'Tapak Putih'?" tanya
Bantar Gurdi kemu-
dian.
"Apa maksud pertanyaanmu
itu, Gurdi?"
"Maaf, Guru. Aku tidak
mempunyai maksud
buruk. Hanya aku mempunyai
dugaan kalau Rak-
sa Wijaya bermaksud mencuri
kitab seperti yang
kusebutkan tadi."
Sawung Permadi
mengangguk-angguk.
"Kata-katamu ada benarnya
juga, Gurdi.
Karena kau tak dapat memberi
keterangan rinci
tentang ilmu 'Tapak Putih', maka
Raksa Wijaya
mencari cara lain untuk dapat
mengetahui seluk-
beluk ilmu 'Tapak
Putih'...," katanya dengan ken-
ing berkerut. "Sejak semula
aku sudah tahu bila
pemuda itu sengaja
menyembunyikan kepan-
daian."
"Maksud, Guru?"
''Pertemuanmu dengan Raksa
Wijaya ke-
mungkinan besar sengaja diatur
sedemikian rupa.
Pemuda itu pura-pura bertempur
melawan para
perampok, lalu kau datang
memberi bantuan. Se-
benarnya dia tidak terdesak.
Hanya pura-pura ter-
desak. Setelah dapat berkenalan
denganmu, dia
menunjukkan itikad baiknya untuk
berguru di
perguruan ini."
"Ya. Mungkin benar
demikian...," angguk
Bantar Gurdi. "O ya. Guru
tadi belum menjawab
pertanyaanku. Apakah Guru
mempunyai kitab
yang berisi ilmu 'Tapak
Putih'?"
"Punya. Kitab itu ku susun
sendiri. Sepekan
yang lalu, baru selesai setelah
memakan waktu
hampir enam bulan."
"Apakah kitab itu Guru
simpan di tempat
yang aman?"
"Di rak buku itu."
Bantar Gurdi menatap rak buku
yang di-
tunjukkan Sawung Permadi. Ada
banyak buku di
situ. Namun sulit menentukan,
yang mana Kitab
Ilmu Tapak Putih.
"Besok kita jebak Raksa
Wijaya, Guru," ujar
Bantar Gurdi kemudian.
"Caranya?"
"Sebelum matahari terbit,
hendaknya Guru
memberitahu para murid bila akan
pergi ke suatu
tempat. Dan, baru sore harinya
dapat kembali...,"
cetus Bantar Gurdi. "Aku
yakin, Raksa Wijaya
akan memanfaatkan kesempatan
ini. Dia akan
masuk ke kamar Guru. Dan, dia
tak akan me-
nyangka bila Guru masih berada
di perguruan ini."
"Gagasan yang bagus,"
puji Sawung Perma-
di. "Tapi, aku mesti
memindahkan Kitab Ilmu Ta-
pak Putih terlebih dahulu."
"Kurasa itu tidak perlu.
Guru. Biarkan Rak-
sa Wijaya memegang kitab yang
diinginkannya,
agar kita bisa menangkap basah.
Kalau tidak de-
mikian, bisa saja dia berkelit.
Dia mungkin berala-
san hendak membersihkan kamar
Guru ini."
Kembali Sawung Permadi
mengangguk-
angguk.
***
Seperti yang telah direncanakan,
pagi-pagi
sekali Sawung Permadi berpamitan
kepada murid-
muridnya untuk pergi ke suatu
tempat. Katanya,
ada urusan yang harus
diselesaikan sendiri. Para
murid Perguruan Tapak Putih pun
menganggap-
nya sebagai suatu hal yang
biasa, walau tahu
bahwa sudah beberapa tahun
Sawung Permadi tak
pernah keluar dari perguruan.
"Aku harus dapat
memanfaatkan kesempa-
tan ini...," kata batin
Raksa Wijaya yang tak tahu
bila kepergian Sawung Permadi
adalah siasat un-
tuk membuka kedoknya.
"Lelaki tua itu mengata-
kan bahwa kembalinya baru sore
hari nanti. Be-
rarti, masih banyak waktu."
Sementara para murid Sawung Permadi
berlatih di halaman, Raksa
Wijaya tampak men-
gendap-endap di dalam perguruan.
Di depan ka-
mar Sawung Permadi, langkahnya
dihentikan. Di-
tebarkannya pandangan.
Ditajamkan pula pen-
dengarannya. Merasa keadaan
aman, didorongnya
daun pintu yang tak terkunci.
Perlahan sekali Raksa Wijaya
menutup
kembali pintu kamar. Kembali
pandangannya me-
nebar. Dan pemuda itu bersorak
girang dalam hati
ketika matanya melihat jajaran
buku di rak. Satu
persatu dibacanya judul yang
tertera pada sampul
buku. Ketika didapatinya Kitab
Ilmu Tapak Putih,
senyum puas tersungging di
bibirnya.
Namun, betapa terkejutnya Raksa
Wijaya,
ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Seketika se-
raut wajah tua memandang tajam
ke arahnya.
"Guru...," desis Raksa
Wijaya, mencoba ber-
sikap wajar.
"Letakkan kitab yang kau
pegang, Wijaya!"
bentak lelaki tua yang tak lain
Sawung Permadi.
"Ah! Aku tak bermaksud
apa-apa. Guru...."
"Jangan memanggilku 'guru'!
Kapan aku
mengangkatmu sebagai
murid?!"
"Guru, aku hanya bermaksud
membersih-
kan kamar ini...," kilah
Raksa Wijaya seraya me-
nurunkan kain lap yang
terselampir di pundaknya,
"Tak perlu mencari alasan
macam-macam!"
bentak Sawung Permadi lagi.
"Letakkan kembali
kitab yang kau pegang! Dan,
katakana siapa diri-
mu?!"
Mendengar kata-kata keras Sawung
Perma-
di, sadarlah Raksa Wijaya bala
dirinya telah terje-
bak. Karena tak ada cara lain
untuk dapat melo-
loskan diri, diterjangnya Sawung
Permadi dengan
nekat! Kaki kanannya yang
terjulur siap meluluh-
lantakkan tubuh tua Sawung
Permadi.
"Matilah kau, Sapi
Tua!"
Sawung Permadi meloncat dari
ambang pin-
tu, membuat tendangan Raksa
Wijaya hanya men-
genai angin kosong. Sambil
memegang erat Kitab
Ilmu Tapak Putih di tangan kiri,
pemuda itu mem-
berikan serangan susulan.
Kali ini, Sawung Permadi
terkejut. Pukulan
Raksa Wijaya menimbulkan suara bersiut keras
yang menyakitkan gendang
telinga. Segera lelaki
tua ini meloncat jauh ke samping
kiri. Namun, be-
gitu kakinya menginjak tanah,
tubuh Raksa Wi-
jaya berkelebat cepat hendak
melarikan diri.
"Mau lari ke mana kau,
Durjana?!" bentak
Sawung Permadi, geram bukan
main.
Sawung Permadi memekik seraya
meng-
hempos tubuhnya. Kembali kakek
itu terkejut. Il-
mu meringankan tubuh pemuda itu
ternyata san-
gat hebat. Hanya dalam beberapa
kali loncatan sa-
ja, dia telah melewati halaman
belakang pergu-
ruan.
"Benar dugaanku bila pemuda itu sengaja
menyembunyikan kepandaian,"
batin Sawung
Permadi seraya mengerahkan
seluruh kemampuan
untuk dapat mengejar Raksa
Wijaya.
4
Raksa Wijaya terkesiap melihat
sesosok
bayangan meluncur cepat dari
depan dengan se-
buah tendangan maut. Segera kakinya menjejak
tanah, membuat tubuhnya
melenting tinggi. Pe-
muda itu mendengus gusar saat
tahu kalau sosok
bayangan itu ternyata Bantar
Gurdi.
"Jangan terkejut,
Wijaya!" ujar Bantar Gur-
di. "Sudah tidak ada lagi
tali persahabatan di anta-
ra kita!"
"Hmm.... Rupanya kau yang
mengatur sia-
sat untuk menjebakku...,"
sahut Raksa Wijaya
dengan geram kemarahan.
"Benar yang kau kata-
kan. Sudah tak ada lagi tali
persahabatan di anta-
ra kita. Maka dari itu, hari ini
aku berniat mem-
bunuhmu!"
"Silakan kalau kau mampu!"
"Jangan menyesal,
Bangsat!"
Namun sebelum Raksa Wijaya
menerjang
Bantar Gurdi, sesosok bayangan
berkelebat hen-
dak menggedor punggungnya. Sigap
sekali pemuda
berambut keriting ini berkelit
dengan membuang
tubuhnya ke samping. Tapi sinar
matanya jadi
nyalang begitu mengetahui kalau
si penyerang ter-
nyata Sawung Permadi alias
Pendekar Tapak Pu-
tih.
"Kembalikan kitab yang kau
bawa itu, Dur-
jana!" bentak Sawung
Permadi.
Semakin nyalang pandangan Raksa
Wijaya.
Rasa gentar membayang jelas di
matanya. Semen-
tara sekitar dua puluh lima
murid Perguruan Ta-
pak Putih sudah bergerak
mengepung.
"Sawung Permadi ternyata
hanya seorang
pengecut. Beraninya hanya main
keroyok!" ejek
Raksa Wijaya, menutupi isi hatinya.
Bantar Gurdi maju dua langkah,
mendahu-
lui gurunya.
"Tidak akan ada
pengeroyokan, Wijaya.
Akulah yang akan meremukkan
kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Bantar
Gurdi meng-
hantamkan telapak tangannya ke
dada Raksa Wi-
jaya. Sayang, pemuda itu telah
meloncat ke samp-
ing kiri dengan tetap memegang
erat Kitab Ilmu
Tapak Putih.
Pertempuran sengit segera
berlangsung.
Berkali-kali Bantar Gurdi dibuat
terkejut oleh se-
rangan-serangan Raksa Wijaya
yang amat mema-
tikan. Sungguh tak terduga kalau
sahabatnya itu
mempunyai kepandaian sedemikian
hebat.
Sesaat kemudian, tubuh Raksa
Wijaya tam-
pak melenting ke atas, Setelah
bersalto dua kali di
udara, tubuhnya berputar sambil
menyarangkan
tendangan melingkar.
Wuuutt...!
"Heh...?!"
Bantar Gurdi terkesiap melihat
kecepatan
gerak pemuda bertubuh
tinggi-tegap itu. Dengan
menjatuhkan diri ke tanah,
tendangan yang men-
garah ke kepalanya bisa
dihindari. Tapi ketika
Raksa Wijaya mengirim serangan
susulan....
Dukk...!
"Argh...!"
Tubuh Bantar Gurdi melintir ke
kiri ketika
tubuhnya terbentur telapak kaki
Raksa Wijaya.
Pandangannya jadi
berkunang-kunang. Tulang
bahu kirinya terasa hendak
remuk. Namun pemu-
da itu malah menggeram marah.
Seketika diter-
jangnya kembali walau tahu kepandaiannya
kalah
tinggi.
"Minggirlah, Gurdi!"
teriak Sawung Permadi,
tak ingin melihat muridnya
menderita kekalahan
lebih parah.
Bantar Gurdi meloncat dari ajang
pertem-
puran. Sedangkan Raksa Wijaya
menatap tajam
sosok Sawung Permadi yang
melangkah meng-
hampirinya.
"Kembalikan kitab yang kau
bawa itu, Wi-
jaya! Dan, ceritakan siapa
dirimu sebenarnya...,"
ujar Sawung Permadi dengan suara
lembut,. me-
nutupi amarahnya. "Bila kau
turuti kata-kataku,
aku akan membiarkan mu pergi
dari tempat ini."
"Kau saja yang pergi dari
tempat ini, Sapi
Tua!"
Sawung Permadi mendengus gusar
men-
dengar makian Raksa Wijaya itu.
"Rupanya hatimu benar-benar
telah tertu-
tup iblis, Wijaya!"
balasnya dengan mata berkilat.
Sekitar dua puluh lima murid
Perguruan
Tapak Putih turut naik pitam
mendengar kata-
kata Raksa Wijaya. Namun karena
tak mendapat
perintah menyerang dari Sawung
Permadi, mereka
hanya berdiri di tempat
masing-masing. Sementa-
ra, Raksa Wijaya dan Sawung
Permadi yang berdiri
berhadapan tampak saling tatap
dengan kuda-
kuda kokoh.
"Heaaa...!"
Tubuh Raksa Wijaya meluncur
cepat den-
gan kaki kanan mengarah dada
Sawung Permadi.
Namun, tenang saja kakek
itu mengegos ke kiri.
Lalu, tangan kanannya menghantam
tulang kering
kaki si pemuda.
Tak!
"Horeee...!"
Seluruh murid Perguruan Tapak
Putih ber-
sorak gembira melihat guru
mereka berhasil men-
jatuhkan lawan hanya dalam satu
gebrakan. Rak-
sa Wijaya tampak terduduk di
tanah sambil me-
ringis kesakitan.
Tak mau dipecundangi untuk kedua
ka-
linya, segera si pemuda
mengalirkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke
pergelangan tangan ka-
nan. Sementara Sawung Permadi
tersenyum tipis
melihat Raksa Wijaya bangkit
seraya menghentak-
kan telapak tangan kanan ke
depan!
Wuusss...!
Tanpa merubah kedudukan
tubuhnya, Sa-
wung Permadi mengibaskan ujung
lengan jubah-
nya. Seketika timbul tiupan
angin dahsyat mema-
pak selarik sinar hijau yang
meluncur dari telapak
tangan si pemuda.
Splassshhh!
Sinar itu jadi melenceng arahnya
membuat
beberapa murid Sawung Permadi
berloncatan. Ka-
rena, sinar hijau itu menuju ke
arah mereka!
Blarrr...!
Karena gerakan murid-murid
Perguruan
Tapak Putih cukup cepat, maka
ancaman maut itu
hanya menghantam tempat kosong.
Suara meng-
gelegar terdengar ketika sinar
hijau itu terus me-
luncur dan menghantam sebatang
pohon besar.
Seluruh murid Sawung Permadi
terperangah dan
berdecak kagum melihat pohon
sebesar dua rang-
kulan manusia dewasa itu
hancur-berantakan,
menjadi serpihan kecil yang
beterbangan ditiup
angin.
"Hebat..., hebat...,"
sindir Sawung Permadi.
"Walau umurmu belum
seberapa, tak ada gunanya
kau mencuri Kitab Ilmu Tapak
Putih. Karena, il-
mumu sendiri sudah cukup hebat.
Atau barangka-
li kau diperalat orang,
Wijaya?"
"Tak perlu mengumbar kata,
Sapi Tua!"
hardik Raksa Wijaya.
"Biarkan aku pergi agar kau
tak menyesal melihat aku
menjatuhkan tangan
maut!"
"Aku akan membiarkan kau
pergi, asal kau
tinggalkan kitab yang ada di
tangan kirimu itu."
"Baik! Terimalah ini!"
Raksa Wijaya maju empat langkah.
Tapi
bukan kitab yang diberikannya,
melainkan sebuah
tendangan yang tertuju ke rusuk
kiri Sawung Per-
madi!
Wuuttt...!
"Durjana! Rupanya kau
benar-benar me-
maksaku!" ujar Sawung
Permadi sambil menghin-
dari tendangan.
Pertempuran seru sudah tak dapat
dihinda-
ri lagi. Raksa Wijaya menyerang
ganas dengan pu-
kulan dan tendangan mematikan.
Tangan kanan-
nya yang dialiri tenaga dalam
penuh tampak beru-
bah hijau. Ketika tangan itu
mengibas, timbul sua-
ra gemuruh keras.
Semua mata memandang pertarungan
den-
gan perasaan menggiris. Tapi
Sawung Permadi
yang sudah kenyang makan asam
garam rimba
persilatan masih dapat
menyungging senyum di
bibir. Kedua tangannya pun
berubah putih seperti
dilumuri kapur. Suara gemuruh
juga timbul, apa-
bila tangannya bergerak.
"Hmmm.... Kiranya Sawung
Permadi telah
mengeluarkan ilmu Tapak
Putih'-nya...," kata batin
Raksa Wijaya sambil terus
memberi perlawanan.
Raksa Wijaya terkejut ketika
tiba-tiba tan-
gan Sawung Permadi menimbulkan
bayang-bayang
putih. Saat itu juga, tangan
kanan itu seperti ber-
tambah jumlah.
"Wajahmu pucat, Wijaya.
Agaknya kau mu-
lai merasa ngeri," ejek
Sawung Permadi. "Jangan
nekat! Serahkan kitab di tangan
kirimu itu!"
Raksa Wijaya tak mempedulikan
kata-kata
Sawung Permadi, kendati sudah
merasa kewala-
han. Malah diserangnya kakek itu
lebih ganas.
Namun, apa yang diharapkannya
tak juga kesam-
paian. Sawung Permadi tetap
berada di atas angin.
Hingga pada suatu kesempatan....
Desss...!
"Argh...!"
Raksa Wijaya memekik. Tubuhnya
terlem-
par tiga tombak ketika pukulan
Sawung Permadi
bersarang telak di bahu kirinya.
Kitab Ilmu Tapak
Putih kontan melayang tinggi di
udara.
Bantar Gurdi yang menyaksikan
kejadian
itu segera meloncat. Disambarnya
kitab yang ditu-
lis oleh gurunya.
"Kusimpan dulu kitab ini di
tempat yang
aman. Guru!" teriak Bantar
Gurdi seraya berlari ke
perguruan.
Sawung Permadi tak sempat
menyahuti ka-
ta-kata muridnya, karena Raksa
Wijaya sudah
kembali menyerang dengan pukulan
jarak jauh.
Kakek itu segera meloncat
menghindar.
Melihat kesempatan, Raksa Wijaya
segera
menyusul Bantar Gurdi.
Tanpa mempedulikan tulang
bahunya yang
remuk, Raksa Wijaya menggembor
keras ketika
melihat dua murid Sawung Permadi
mencoba
menghadang.
"Mati kau...!" pekik
pemuda itu seraya
menghentakkan tangan kanannya.
Dess...!
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar
menyayat hati
tatkala pukulan jarak jauh Raksa
Wijaya mengenai
sasaran. Melihat temannya mati
dengan tubuh
membiru, pemuda yang menghadang
lari Raksa
Wijaya terkejut dengan mata
melotot. Namun pe-
muda itu pun tak dapat menghirup
udara segar
lagi, karena....
Prak!
"Aaa...!"
Tendangan Raksa Wijaya telah membuat
pecah kepala orang yang
menghadang.
Sementara, Raksa Wijaya sendiri
tak dapat
melanjutkan maksudnya untuk
mengejar Bantar
Gurdi yang membawa Kitab Ilmu
Tapak Putih, ka-
rena Sawung Permadi telah
berdiri tegak empat
tombak di hadapannya.
"Katakan siapa dirimu! Dan,
apa maksud-
mu mencuri Kitab Ilmu Tapak
Putih!" bentak Sa-
wung Permadi.
"Kau tak perlu tahu!
Biarkan aku lewat, Sa-
pi Tua!"
Usai berkata, Raksa Wijaya
melenting tinggi
ke udara. Kakinya terjulur hendak mendaratkan
tendangan ke dada Sawung
Permadi. Namun, si-
gap sekali kakek itu mengegos ke
samping. Dan
seketika tubuhnya memutar sambil
menggedor
punggung Raksa Wijaya
Desss...!
"Argh...!"
Untuk kedua kalinya Raksa Wijaya
meme-
kik kesakitan. Tubuhnya kontan terjerembab ke
tanah. Susah payah dia bangkit.
Kakinya goyah
seperti tanpa tenaga lagi. Darah
segar mengalir da-
ri sudut bibir dan lubang
hidungnya.
"Jangan nekat,
Wijaya!" sergah Sawung
Permadi yang melihat Raksa
Wijaya hendak me-
nerjang lagi.
"Kita mati bersama-sama,
Sapi Tua!" Den-
gan teriakan keras pemuda ini
menghantamkan
pukulan ke dada Sawung Permadi.
Namun gera-
kannya tetap terlihat lemah, sehingga mudah se-
kali dapat dihindari kakek itu.
Raksa Wijaya yang
sudah gelap mata menjadi semakin
nekat. Dis-
erangnya Sawung Permadi tanpa
mempedulikan
luka dalamnya.
"Pemuda nekat macam kau
memang tak bi-
sa dikasih hati lagi,
Wijaya!" ujar Sawung Permadi.
"Terimalah pukulan 'Tapak
Putih' ini!"
Begitu selesai kata-katanya,
tubuh Sawung
Permadi melayang ke udara. Kedua
kakinya mene-
kuk seperti orang berlutut.
Sementara tangan ki-
rinya merapat di dada. Sedangkan
tangan kanan-
nya terjulur lurus ke depan.
Gerakan itu dilaku-
kan amat cepat, sehingga Raksa
Wijaya tak me-
nyadari adanya bahaya yang
sedang mengancam
jiwanya! Dan....
Desss...!
"Aaa...!"
Telapak tangan kanan Sawung
Permadi te-
pat membentur dada Raksa Wijaya.
Pemuda itu
pun memekik keras. Tubuhnya
jatuh telentang.
Kain bajunya yang terbakar
memperlihatkan da-
danya yang terdapat tanda putih
menyerupai tela-
pak tangan.
"Hei?!"
Seluruh murid Sawung Permadi
terkejut
luar biasa ketika tiba-tiba
tubuh Raksa Wijaya be-
rubah menjadi serbuk putih yang
segera terbang
tertiup angin.
Tanpa mempedulikan
murid-muridnya yang
tengah tertegun, Sawung Permadi
berlari masuk ke
perguruan. Dikitarinya seluruh
ruangan. Tapi, so-
sok Bantar Gurdi tak dapat
ditemukannya.
"Hmmm.... Mungkin pemuda
itu ada di da-
lam kamarku...," pikir
Sawung Permadi. "Dia tentu
sedang mengamankan Kitab Ilmu
Tapak Putih."
Segera Sawung Permadi masuk ke
kamar-
nya. Tapi, sosok Bantar Gurdi
tetap tak ditemu-
kannya.
"Mungkinkah dia melarikan
kitab yang baru
ku susun itu?" tanya Sawung
Permadi kepada diri
sendiri. "Ah! Kukira tidak.
Aku tahu tabiat Bantar
Gurdi. Dia tak mungkin
mengkhianatiku...."
Sawung Permadi tercenung
sejenak. Ketika
matanya melihat rak buku, cepat
dicarinya Kitab
Ilmu Tapak Putih di tempat itu.
Tapi, hanya keke-
cewaan yang ditemukan Sawung
Permadi.
Bergegas lelaki tua ini keluar
perguruan.
Seluruh muridnya segera
dikumpulkan. Tapi, tak
ada satu pun yang tahu, ke mana
perginya Bantar
Gurdi.
"Hmmm.... Kalau ternyata
Bantar Gurdi
mengkhianatiku, alangkah
bodohnya aku ini...,"
sesal Sawung Permadi.
Kakek itu lalu memerintahkan
seluruh mu-
ridnya untuk mencari Bantar
Gurdi yang memba-
wa Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Cari dia sampai dapat.
Seret ke hadapan-
ku!" ujar Sawung Permadi
dengan suara geram.
"Sebelum kalian berangkat,
kubur mayat-mayat
itu."
***
Kedatangan Suropati dan Intan
Melati di
Perguruan Tapak Putih hanya
disambut kesu-
nyian. Mereka mengitari bangunan
perguruan,
namun tetap disambut sunyi. Tak
satu pun manu-
sia dijumpai.
"Kau yakin Sawung Permadi
paman guru
ayahmu itu tinggal di tempat
ini, Intan?" tanya Su-
ropati dalam keheranannya.
"Ya. Beliau tinggal di
dekat Hutan Kalirang.
Bukankah kita telah berada di
tempat yang be-
nar?" tukas Intan Melati.
"Menurut ayah dan ibu-
ku, Eyang Sawung Permadi telah
mendirikan Per-
guruan Tapak Putih sekitar lima
belas tahun yang
lalu. Walau perguruan ini tak
ada papan namanya,
tapi aku yakin inilah
tempatnya."
"Tapi, kenapa tak seorang
pun kita jumpai?"
"Aku juga heran. Mungkinkah
mereka pin-
dah tempat?" Intan Melati
memberikan dugaan.
Pengemis Binal diam.
Diperhatikannya be-
kas-bekas telapak kaki di
halaman belakang.
"Tempat ini baru saja
digunakan untuk ber-
latih silat..," katanya.
"Sebaiknya kita masuk ke
perguruan, Suro,"
cetus Intan Melati.
"Barangkali di dalam ada orang
yang bisa memberi
keterangan."
Ganti Pengemis Binal yang
mengekor lang-
kah Intan Melati. Namun bam
menginjak teras.
"Jangan lancang masuk ke
tempat orang
tanpa ijin!"
Sebuah teriakan yang berasal
dari mulut
seseorang, membuat kedua anak
muda ini terke-
jut. Mereka langsung berbalik.
Dan tahu-tahu di
halaman telah berdiri seorang
lelaki tua berjubah
putih. Sorot matanya tajam
menyelidik, namun
raut wajahnya membersitkan sifat
welas asih.
Suropati dan Intan Melati
menatap kakek
berjubah tanpa berkedip. Mereka
lalu bergerak
mendekati.
"Benarkah ini Perguruan
Tapak Putih, Kek?"
tanya Pengemis Binal.
"Kenapa?" selidik
kakek berjubah putih.
"Aku mengantar temanku ini
untuk mencari
paman guru ayahnya yang bernama
Sawung Per-
madi."
Si kakek mengalihkan pandangan
ke sosok
Intan Melati.
"Siapa nama ayahmu. Dan,
kau berasal dari
mana?"
"Ayahku bernama Rama Ludira
alias Pende-
kar Hati Putih. Aku datang dari
Pulau Karang."
Mendengar jawaban itu, kakek
berjubah pu-
tih mengerutkan kening.
"Siapa namamu?"
tanyanya lagi.
"Intan Melati."
"Intan Melati?" desis
si kakek. "Rupanya
kau tak salah datang ke sini,
Intan. Akulah orang
yang kau cari."
"Eyang!" pekik Intan
Melati seraya berham-
bur memeluk si kakek yang memang
Sawung Per-
madi.
"Maafkan aku,
Intan...," desah Sawung
Permadi sambil merenggangkan
pelukan Intan Me-
lati. "Aku bersikap tak
ramah padamu. Karena,
aku tak mengenalimu lagi. Usiamu
baru dua tahu,
ketika aku pergi ke Hutan
Kalirang ini. Dan lagi,
Intan. Aku sedang menghadapi
masalah besar, se-
hingga membuatku selalu merasa
curiga."
Sawung Permadi merasakan dadanya
ba-
sah. Rupanya air mata Intan
Melati telah mengalir
deras. Kakek itu lantas mengajak
kedua tamunya
masuk ke perguruan.
"Kenapa kau menangis,
Intan?" tanya Sa-
wung Permadi, setelah berada di
dalam ruangan.
"Perguruan Hati Putih telah
hancur,
Eyang...," papar Intan
Melati sambil menahan isa-
kan tangis.
Memerah wajah Sawung Permadi
menden-
gar berita itu.
"Benar apa yang kau
katakan, Intan?" ta-
nyanya seperti tak percaya.
"Benar, Eyang. Bahkan,
Eyang Saka Perma-
di dan Ibunda Nawangsih telah
meninggal...."
Intan Melati lalu menceritakan
apa yang ter-
jadi di Pulau Karang. Gadis itu
menutup ceritanya
dengan sebuah permintaan.
"Mohon Eyang Sawung Permadi
sudi mem-
bantu Intan Melati membalas
kebiadaban Tengko-
rak Kaki Satu."
"Tentu saja, Intan. Aku pun
merasa kehi-
langan...," sambut Sawung
Permadi. Kesedihan je-
las membayang di matanya.
"Apakah kau mengenal orang
yang bergelar
Tengkorak Kaki Satu itu,
Kek?" tanya Pengemis
Binal.
Sawung Permadi menggeleng. Lalu,
ditatap-
nya lekat-lekat wajah remaja
tampan di hadapan-
nya.
"Kau belum memperkenalkan
dirimu, Anak
Muda. Menilik pakaianmu yang
penuh tambalan
dan tongkat yang kau bawa,
apakah kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti?"
"Benar dugaanmu,
Kek...," sahut Pengemis
Binal. "Aku yang bodoh
bernama Suropati."
Terkejut Sawung Permadi
mendengar uca-
pan Suropati.
"Kau Suropati yang bergelar
Pengemis Binal
itu? Kau Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti?" sentaknya penuh
keterkejutan, sekali-
gus merasa kagum.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tak kusangka bila pendekar
besar itu ter-
nyata masih belum seberapa
umurnya. Tapi, kebe-
tulan sekali kau datang ke sini,
Suro...," desah
Sawung Permadi.
"Suropati telah menyatakan
kesediaannya
untuk turut menumpas Tengkorak
Kaki Satu,
Eyang," sela Intan Melati
yang sudah bisa men-
gendalikan tangisnya.
"Hmmm.... ya! Tapi, ada
satu masalah lagi
yang membutuhkan uluran
tanganmu, Suro."
"Masalah apa itu,
Kek?"
"Kau tentu telah melihat
bekas-bekas per-
tempuran di luar
perguruan...."
Sawung Permadi lalu menceritakan
perihal
hilangnya Kitab Ilmu Tapak
Putih.
"Seluruh muridku telah
kusebar. Bahkan,
aku sendiri turut mencari. Tapi,
Bantar Gurdi mu-
rid murtad itu tak dapat
kutemukan."
"Apakah Kakek dapat
mengemukakan ala-
san, mengapa Bantar Gurdi
melarikan Kitab Ilmu
Tapak Putih?"
"Aku tidak tahu...,"
sahut Sawung Permadi
mendesah. Matanya menerawang.
"Tapi, kemung-
kinan besar hal ini bermula dari
datangnya Raksa
Wijaya...."
"Siapa dia, Eyang?"
tanya Intan Melati.
"Dia adalah sahabat Bantar
Gurdi yang di-
ajak ke perguruan ini agar aku
bersedia mengang-
katnya sebagai murid. Aku
menerima kehadiran
pemuda itu. Tapi, tidak sebagai
murid. Dia kua-
nggap sebagai pelayan biasa yang
tugasnya men-
cari air dan menjaga kebersihan
perguruan. Ban-
tar Gurdi tampaknya suka sekali
pada pemuda itu.
Sehingga, dia kerap membujukku
agar aku berse-
dia menurunkan ilmu kesaktian
pada Raksa Wi-
jaya. Namun, aku tetap pada
pendirianku semula.
Karena, aku mempunyai firasat
kalau Raksa Wi-
jaya adalah setitik api yang
sanggup mengundang
api besar untuk membakar
perguruan ini. Hanya
sayangnya, aku tak bisa mengusir
pemuda itu,
mengingat kebaktian dan
kesetiaan Bantar Gurdi
selama sepuluh tahun, menjadi
muridku."
"Dan, ternyata Bantar Gurdi
telah
mengkhianati Kakek...,"
sambung Pengemis Binal.
"Sampai akhirnya, Bantar
Gurdi turut men-
curigai Raksa Wijaya. Dia lalu
menyusun rencana
untuk menjebak pemuda itu,"
lanjut Sawung Per-
madi seperti tak memperhatikan
ucapan Pengemis
Binal. "Tadi pagi, aku
memergoki Raksa Wijaya
hendak mencuri kitab Ilmu Tapak
Putih. Ketika
aku bertempur dengan pemuda itu,
kitab yang di-
bawanya terlepas dari pegangan.
Bantar Gurgi lan-
tas menyambarnya. Dia mengatakan
hendak me-
nyimpan di tempat aman. Tapi...,
nyatanya malah
melarikan kitab itu."
"Aku akan membantumu, Kek.
Hanya
sayang, aku tak dapat meminta
bantuan anak bu-
ahku untuk turut mencari Bantar
Gurdi. Karena,
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ja-
rang yang berada di sekitar
sini," jelas Suropati.
"Apakah ada kemungkinan
Kitab Ilmu Ta-
pak Putih berhubungan dengan
Tengkorak Kaki
Satu?" tanya Intan Melati,
menyatakan gagasan-
nya.
"Bantar Gurdi adalah pemuda
baik. Tak
mungkin punya hubungan dengan
tokoh sesat
itu," tukas Sawung Permadi.
"Nyatanya, bukankah dia
telah berkhianat?"
Mendengar ucapan Intan Melati,
Sawung Permadi
terdiam. Ditariknya napas
panjang, lalu dihem-
buskan deras-deras.
"Kenapa semua ini mesti
terjadi...," desah-
nya.
"Perguruan Hati Putih telah
hancur. Saka
Permadi kakakku telah meninggal.
Nawangsih....
Dan, kasihan sekali Rama
Ludira...."
Orang tua itu merenung dengan
air muka
keruh. Berat sekali beban yang
dipikulnya kini.
"Tidak ada gunanya
menyesali sesuatu yang
telah terjadi," gumam
Pengemis Binal.
"Benar!" sambut Intan
Melati cepat. Semen-
tara, kening Sawung Permadi
berkerut. Dia tahu
gumaman Pengemis Binal ditujukan
kepadanya.
Tapi, dia pun segera mengakui
kebenaran ucapan
remaja konyol itu.
"Kau benar, Suro,"
ujar Sawung Permadi
kemudian.
5
Langkah kaki Bantar Gurdi telah
jauh me-
ninggalkan Hutan Kalirang. Jauh
pula meninggal-
kan Perguruan Tapak Putih. Udara
sejuk sore hari,
bertolak-belakang dengan suasana
hati pemuda ini
yang galau, kalut, bercampur
bingung. Berkali-kali
dirabanya Kitab Ilmu Tapak Putih
yang berada di
lipatan bajunya.
"Maafkan aku.
Guru...," desah pemuda ber-
pakaian serba putih itu.
"Aku telah membuat Guru
kecewa. Tapi, aku melakukannya
hanya karena
terpaksa. Keadaanlah yang
membuatku berbuat
seperti ini.... Aku terpaksa
sekali...."
Dengan langkah gontai, Bantar
Gurdi berja-
lan menuju Lembah Batuliman.
Disusurinya aliran
sungai yang menuju ke lembah
penuh bebatuan
itu. Sinar mentari terhalang
kerimbunan pohon
membuat suasana terlihat remang
menghampar di
depan mata pemuda itu.
Tengah si pemuda melangkah,
mendadak....
"Heh...?!"
Dari atas pohon tiba-tiba
terdengar suara
bersiut, yang disusul
meluncurnya dua tubuh ma-
nusia. Bantar Gurdi terkesiap.
Ditatapnya dua le-
laki berpakaian hitam ringkas
yang telah berdiri di
hadapannya.
"Kenapa kau datang,
Gurdi?" selidik lelaki
yang berdiri di sebelah kiri.
Kepalanya plontos
tanpa rambut sehelai pun.
"Katakan kepada tuanmu
kalau aku datang
hendak menyerahkan Kitab Ilmu
Tapak Putih," ja-
wab Bantar Gurdi, mencoba
bersikap tenang. Dia
tahu, dua lelaki penghadangnya
adalah begundal-
begundal Tengkorak Kaki Satu.
"Secepat ini?" tukas
lelaki yang di kanan,
seperti tak percaya. Berbeda
dengan temannya,
orang ini berambut panjang yang
dibiarkan terge-
rai di punggung.
"Tak perlu heran! Aku tak
ingin Nawangsih
terlalu lama dalam cengkeraman
Tengkorak Kaki
Satu!" tandas Bantar Gurdi.
Suaranya berat dan
seperti menyimpan kemarahan.
"Tak mudah untuk menemui
Ketua kami,
Gurdi!" bentak lelaki
berkepala plontos.
"Kalau aku membawa ini,
masihkah kalian
berani menghalangiku?!"
tukas Bantar Gurdi se-
raya mengeluarkan kitab
bersampul putih dari li-
patan bajunya.
Mata dua anak buah Tengkorak
Kaki Satu
itu kontan melotot, berusaha membaca tulisan
yang tertera pada sampul kitab
di tangan Bantar
Gurdi. Karena berdiri di tempat
remang-remang,
mereka jadi kesulitan.
"Ini adalah Kitab Ilmu
Tapak Putih," jelas
Bantar Gurdi, tanpa diminta.
Tapi, tampaknya dua anak buah
Tengkorak
Kaki Satu tak mau percaya begitu
saja.
"Biar kuperiksa dulu kitab
itu!" pinta lelaki
gondrong, membentak.
Bantar Gurdi maju dua langkah.
Lalu kitab
di tangannya disorongkan ke
depan mata lelaki
gondrong. "Baca
baik-baik!" ujarnya
Tak diduga, rupanya lelaki
gondrong beru-
sia sekitar empat puluh tahun
itu tersinggung
mendapat perlakuan demikian.
Tanpa berkata
apa-apa, ditonjoknya perut
Bantar Gurdi.
"Uts..!"
Dugh!
Murid utama Sawung Permadi
meloncat ke
belakang, tapi tak urung tetap
tertonjok juga. Me-
rah padam wajah pemuda itu
jadinya.
"Orang-orang Tengkorak Kaki
Satu memang
sangat menyebalkan!"
geramnya. Lalu, diterjang-
nya lelaki gondrong yang
menyerangnya.
"Tahan...!"
Terdengar suara keras
menggelegar, mem-
buat gerakan Bantar Gurdi kontan
terhenti. Segera
pemuda itu menebar pandangan.
Ketika tahu di
bawah pohon besar berdiri sosok
manusia berwu-
jud mengerikan, dia mendengus.
"Aku datang untuk menebus
Nawangsari!"
kata Bantar Gurdi, setengah
membentak.
Sosok manusia yang berdiri di
bawah pohon
tertawa bergelak. Wajahnya yang
hampir tak ber-
kulit tersamar oleh keremangan.
Tapi, justru itu
yang mengundang rasa ngeri.
Tubuhnya yang ku-
rus tinggi terbalut jubah warna
hitam. Kaki kirinya
yang tanggal sampai pangkal
paha, ditopang seba-
tang tongkat. Melihat wujud
orang ini, dapat di-
pastikan kalau dia adalah
Tengkorak Kaki Satu.
"Kau datang untuk menebus
Nawangsari
kekasihmu itu, Gurdi?" ujar
Tengkorak Kaki Satu
disertai tawa panjang.
"Berani benar kau, Gurdi?!
Apakah kau sudah tahu kelemahan
ilmu Sawung
Permadi?"
"Itu aku tak tahu. Tapi,
kedatanganku ke
sini dengan membawa Kitab Ilmu
Tapak Putih."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi,
Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak
lagi.
"Serahkan kitab itu, baru
kau dapat mene-
mui Nawangsari!"
"Aku tidak bodoh! Tunjukkan
dulu Nawang-
sari. Bila dia dalam keadaan tak
kurang suatu
apa, kau boleh memiliki kitab
yang kubawa ini."
"Hmm.... Rupanya kau pemuda
berani,
Gurdi. Tapi, tahukah kau kalau
aku dapat dengan
mudah membunuhmu? Dua lelaki di
belakangmu
itu saja sudah cukup mampu
memenggal kepala-
mu...," gertak Tengkorak
Kaki Satu. "Maka kalau
mau, aku bisa merampas kitab
yang ada di tan-
ganmu, sekaligus mencabut
nyawamu. Tapi, aku
masih mau berbaik hati padamu.
Serahkan kitab
itu. Dan kau dapat menemui
Nawangsari sekarang
juga."
Bantar Gurdi tampak berpikir.
Merasa di-
rinya dalam keadaan tak
menguntungkan, akhir-
nya diturutinya perintah Tengkorak
Kaki Satu.
"Terimalah!" ujar
Bantar Gurdi seraya me-
lemparkan Kitab Ilmu Tapak
Putih.
Tengkorak Kaki Satu menyambar
kitab itu
diiringi tawa meledak-ledak.
Setelah membaca tu-
lisan di sampul kitab dan
meneliti beberapa hala-
man depan, dia dapat memastikan
kalau Bantar
Gurdi tidak menipu.
"Ada gua di utara Lembah
Batuliman ini.
Kau bisa menjemput Nawangsari di
sana!" ujar
Tengkorak Kaki Satu kemudian.
"Aku bisa memegang
kata-katamu?" tukas
Bantar Gurdi, menyatakan
kesangsiannya.
"Terserah kau! Yang jelas,
aku masih mau
berbaik hati padamu!"
Bantar Gurdi mendengus dengan
hati pa-
nas. Darahnya mendidih, tapi tak
bisa berbuat
apa-apa. Disadari betul, dia tak
akan mampu me-
lawan Tengkorak Kaki Satu.
Memang lebih baik
mengikuti kata-kata tokoh ini.
Barangkali saja
Nawangsari berada di dalam gua
yang ditunjukkan
manusia berjiwa iblis itu.
Namun baru saja Bantar Gurdi
melangkah
tiga tindak, Tengkorak Kaki Satu
mencegahnya.
'Tunggu dulu!"
Mendengar kata itu, Bantar Gurdi
terkesiap.
Perasaan waswas membayang di
matanya. Apakah
Tengkorak Kaki Satu akan berbuat
licik? Namun,
kekhawatirannya ternyata tak
beralasan, ketika....
"Apakah Raksa Wijaya masih
berada di Per-
guruan Tapak Putih?"
"Tidak!" jawab Bantar
Gurdi, tegas.
Tengkorak Kaki Satu terdengar
mendengus.
"Kau tahu dia di
mana?"
"Di neraka!"
"Heh?!"
Terkejut Tengkorak Kaki Satu
mendengar
jawaban Bantar Gurdi.
"Hmm.... Siapa yang
membunuhnya?" ta-
nyanya seperti menyesali apa
yang telah terjadi.
"Apakah pemuda itu salah
satu anak
buahmu?" Bantar Gurdi balik
bertanya.
"Ya! Dia telik sandi ku. Karena kerjanya
lambat, maka aku memperalat
mu...," jelas Teng-
korak Kaki Satu. "Apakah
dia kepergok Sawung
Permadi? Dan kemudian, keparat
itu membunuh-
nya?"
"Tepat! Tubuh Raksa Wijaya
hancur-luluh
menjadi debu terkena pukulan
'Tapak Putih' guru-
ku!"
Usai berkata, Bantar Gurdi
melanjutkan
langkahnya kembali. Dan,
Tengkorak Kaki Satu
hanya memandangi punggung pemuda
itu. Begitu
sosok pemuda itu lenyap dari
pandangan, tong-
katnya digedrukkan ke tanah.
Maka seketika tu-
buhnya melayang tinggi, lalu
menghilang di balik
rimbunan daun.
Lelaki berkepala plontos dan
temannya yang
berambut gondrong tampak saling
pandang. Lalu,
mereka tertawa bergelak-gelak....
***
Gua di utara Lembah
Batuliman....
Empat lelaki tampak berdiri
merapat ke
dinding. Wajah mereka
kasar-bengis, dan sama-
sama mengenakan pakaian serba
hitam. Mereka
diam tak berkata apa-apa, tapi
kelihatannya se-
dang menajamkan pendengaran.
"Auuww...!"
Saat terdengar jeritan seorang
wanita dari
dalam gua, mereka tertawa
bergelak. Tapi, tawa itu
segera terhenti ketika lelaki
berkumis tebal ber-
sungut-sungut
"Uh! Lama benar si Kebo
Ireng. Aku benar-
benar sudah tak
tahan!"
"Bersabarlah, Jalak
Sewu...," ujar lelaki
yang memakai anting di telinga
kiri. "Bukankah se-
telah ini, kau yang mendapat
giliran?"
"Ya! Tapi dia sudah
kelewatan, Mahesa Ki-
rik! Aku bisa pingsan karena
menahan hasrat!"
dengus lelaki berkumis tebal
yang dipanggil Jalak
Sewu.
Mendengar kalimat itu, lelaki
beranting
yang bernama Mahesa Kirik dan
dua temannya
tertawa terbahak-bahak.
"Gila!" rutuk Jalak
Sewu.
Sementara itu, di dalam ruangan
gua, seo-
rang gadis tampak duduk
meringkuk di dinding
gua yang penuh tonjolan batu.
Seorang lelaki ber-
badan kekar tengah menjambak
rambutnya untuk
memaksanya berdiri.
"Kau turuti permintaanku
atau ku bentur-
kan kepalamu hingga
pecah?!" bentak lelaki kekar
yang bernama Kebo Ireng.
Tangannya semakin
kuat mencengkeram rambut si
gadis.
"Bangsat!" umpat gadis
berparas cantik itu.
"Kalau kau mau membunuh,
bunuhlah sekarang!"
Kebo Ireng menggeram. Tangan
kanannya
menghentak.
Duk!
"Aaak!"
Si gadis menjerit nyaring,
karena kepalanya
dibenturkan ke dinding gua.
Bahkan tanpa berka-
ta apa-apa lagi, lelaki kekar
menampar si gadis
hingga jatuh tertelungkup.
Bret..!
Sekali sambar, kain baju si
gadis robek le-
bar, membuat jakun lelaki kekar
itu kontan naik
turun karena menelan ludah
berkali-kali. Matanya
melotot lebar, melihat kulit
punggung si gadis yang
halus mulus. Karena tak dapat
mengendalikan
hawa nafsunya, Kebo Ireng
menerkam. Namun, si
gadis cepat beringsut ke kiri,
membuat terkaman
itu hanya mengenai tempat
kosong. Bahkan jidat
lelaki kekar itu membentur
lantai gua yang berba-
tu-batu!
"Keparat...!" geram
Kebo Ireng. Maksud hati
si gadis untuk melarikan diri
tak tersampaikan ka-
rena Kebo Ireng berhasil
memegangi kain bagian
bawahnya. Namun....
"Hih...!"
Dugh...!
"Aaakh...!"
Sekali lagi lelaki kekar yang
telah diselimuti
nafsu itu mengaduh kesakitan.
Kepalanya kena
tendangan yang dilepaskan si
gadis.
Sambil memegangi bagian
kepalanya yang
sakit, Kebo Ireng menghunus
golok yang terselip di
pinggangnya. Namun, gadis
berparas ayu ini bu-
kannya takut, malah dadanya
dibusungkan.
"Mau bunuh? Bunuhlah! Lebih
baik mati
daripada jadi korban kebejatan
lelaki!" sentak si
gadis.
"Hmm.... Rupanya kau
benar-benar perem-
puan yang tak takut mati.
Baiklah, ku turuti per-
mintaanmu!" desis Kebo
Ireng.
Di ujung kalimatnya, lelaki
kekar berpa-
kaian serba hitam itu menyabet
goloknya. Mata si
gadis kontan terpejam. Hatinya
sudah pasrah un-
tuk menerima kematian. Tapi....
Wekkk...!
Golok Kebo Ireng hanya merobek
baju gadis
berparas cantik yang masih
memejamkan ma-
tanya. Dia belum menyadari kalau
bagian tubuh-
nya yang terlarang telah
terbuka. Sementara lelaki
kekar yang melihat pemandangan
menggiurkan di
depannya tanpa sadar membuang
goloknya. Lalu,
diterkamnya si gadis dengan
penuh nafsu!
"Ough...! Jangan...!"
teriak si gadis di antara
ciuman Kebo Ireng.
Lelaki kekar yang sudah lupa
diri itu segera
menjatuhkan tubuh si gadis ke
lantai gua. Namun
sebelum sempat menggumulinya,
terdengar suara
ribut dari mulut gua. Maka
dengan kesal dihem-
paskannya tubuh si gadis.
"Pasti Tengkorak Kaki Satu
yang datang,"
pikirnya. "Jangan-jangan
perbuatanku mengun-
dang amarahnya. Hiii...! Aku tak
mau mati ko-
nyol!"
Kebo Ireng segera meninggalkan
si gadis
yang masih tergeletak di lantai
gua. Begitu tiba di
luar, dia menggeram marah,
ketika tahu orang
yang datang bukan Tengkorak Kaki
Satu. Melain-
kan, seorang pemuda berpakaian
serba putih yang
tak lain dari Bantar Gurdi.
"Hei! Kenapa kalian tidak
segera membe-
reskan pemuda itu?!
Kedatangannya mengganggu
keasyikanku saja!" bentak
Kebo Ireng kepada em-
pat temannya yang tengah
bersitegang dengan
Bantar Gurdi.
"Kau bicara hanya menyebar
bau jengkol
saja, Monyet! Kalau pemuda ini
tidak punya ke-
pandaian, dia tentu sudah mati
dari tadi!" bentak
Mahesa Kirik yang telah
menghunus golok.
"Sebenarnya aku kemari
tidak untuk mem-
buat permusuhan dengan kalian. Aku
hanya ber-
maksud menjemput Nawangsari,
kekasihku!" ser-
gah Bantar Gurdi.
"Kau bisa membawa
Nawangsari. Tapi, sete-
lah gadismu itu dapat memuaskan
kami. Ha ha
ha...!"
Bantar Gurdi kontan mendengus
gusar.
Dengan mata berkilat-kilat
ditatapnya lelaki kekar
berbaju rompi yang sedang
tertawa bergelak.
"Kau apakan
Nawangsari?!" bentak Bantar
Gurdi, penuh luapan amarah.
Wuuuttt..!
Bukan kata-kata yang menimpali
ucapan
Bantar Gurdi, melainkan sabetan
golok Jalak Se-
wu. Namun cepat sekali Bantar
Gurdi mengegos ke
kiri. Sebelum golok lelaki
berkumis itu menyambar
lagi, pemuda ini telah memutar
tubuhnya sambil
melepas tendangan menyilang!
Desss...!
"Argh...!"
Jalak Sewu terbanting keras
disertai teria-
kan kesakitan begitu dadanya
tepat terkena ten-
dangan.
Goloknya terlepas dari cekalan.
Terdengar
suara berdenting nyaring tatkala
golok itu mem-
bentur dinding gua.
Bantar Gurdi yang sudah dikuasai
amarah,
menggembor keras. Dia sangat
khawatir bila Na-
wangsari kekasihnya telah
dinodai oleh anak buah
Tengkorak Kaki Satu. Maka tanpa
pikir panjang
lagi, diterjangnya tiga lelaki
bergolok yang berdiri
tak jauh darinya.
"Heaaat..!"
Pertempuran sengit segera
berlangsung.
Bantar Gurdi adalah murid utama
Perguruan Ta-
pak Putih. Maka ilmu
kepandaiannya tidak bisa
dipandang rendah. Sebentar saja,
tiga orang la-
wannya telah terdesak.
Melihat hal demikian, Kebo Ireng
yang tadi
hendak menodai Nawangsari
meloncat untuk
memberi bantuan. Sementara,
Jalak Sewu yang
baru kena tendang juga turut
membantu.
Tapi, agaknya mereka bukanlah
lawan
seimbang bagi Bantar Gurdi. Lima
jurus kemu-
dian, dua orang sudah memekik
nyaring melepas
nyawa dengan kepala pecah, dan
dada amblong.
Mereka terkena pukulan Bantar
Gurdi yang dialiri
tenaga dalam penuh!
Tiga orang yang tersisa menjadi
pucat wa-
jahnya. Mereka bermaksud
melarikan diri, tapi
Bantar Gurdi tak hendak
melepaskan mereka. Sa-
tu persatu nyawa mereka melayang
ke alam baka
oleh pukulan Bantar Gurdi yang
bergerak cepat
bukan main.
"Nawangsari...!
Nawangsari...!" teriak Bantar
Gurdi setelah menghabisi
lawan-lawannya.
Pemuda ini berlari bagai orang
kehilangan
ingatan, memasuki gua.
Bantar Gurdi terhenyak.
Langkahnya ter-
henti ketika menyaksikan tubuh
gadis berparas
cantik tengah tergolek pingsan
lantai gua.
"Nawangsari...!" pekik
Bantar Gurdi seraya
mengguncang-guncangkan bahu si
gadis. "Apa
yang terjadi? Apa yang terjadi,
Nawangsari? Kena-
pa pakaianmu seperti ini?"
Perlahan-lahan kelopak mata si
gadis ter-
buka. Melihat seraut wajah yang
sudah dikenalnya
dengan akrab, gadis bernama
Nawangsari menjerit
seraya menghambur dalam pelukan
pemuda yang
dikasihinya.
"Kakang.... Cepatlah bawa
aku pergi. Aku
takut...."
"Tenanglah, Nawangsari.
Lelaki-lelaki jaha-
nam itu telah kubunuh semua.
Ceritakan apa yang
telah mereka perbuat
terhadapmu...," ujar Bantar
Gurdi penuh bayangan buruk.
"Kakang.... kakang Gurdi
tak perlu khawa-
tir. Aku masih suci. Mereka
belum...."
"Benarkah itu?" potong
Bantar Gurdi, ingin
meyakinkan.
"Percayalah,
Kakang...."
Dengan penuh haru, Bantar Gurdi
memeluk
erat tubuh Nawangsari. Diciumnya
kedua pipi ke-
kasihnya.
"Apa pun akan kulakukan
untukmu, Keka-
sihku. Aku..., aku tak mungkin
hidup tanpa diri-
mu...."
Nawangsari tersenyum bahagia.
Dibalasnya
pelukan Bantar Gurdi penuh
kemesraan.
6
"Apakah tidak lebih baik
kita berbagi tugas
saja?" cetus Intan Melati
di atas punggung kuda
berbulu coklat ketika
meninggalkan Perguruan
Tapak Putih. Mengapit di
kanan-kirinya, Suropati
dan Sawung Permadi. Mereka
menunggang kuda
berbulu coklat pula.
"Kupikir memang
begitu," sahut Pengemis
Binal. "Aku dan Intan
Melati mencari keterangan
tentang keberadaan Tengkorak
Kaki Satu. Semen-
tara, Kakek Sawung Permadi
mencari Bantar Gur-
di yang melarikan Kitab Ilmu
Tapak Putih."
"Hmm.... Begitu juga
bagus," gumam Sa-
wung Permadi. "Kita
berpisah sekarang. Tapi, jan-
gan lupa. Dua hari lagi kita
bertemu di Desa Wa-
rangan."
Usai berkata, Pendekar Tapak
Putih meng-
gebah kudanya. Dan dengan
kudanya kakek ber-
jubah putih itu pun melesat
meninggalkan Intan
Melati dan Suropati.
"Sebaiknya kita ke utara
saja, Suro," usul
Intan Melati lagi.
"Kudengar di sekitar Lembah Ba-
tuliman banyak bercokol penjahat.
Kita bisa men-
cari keterangan di sana."
"Apakah tidak ada
kemungkinan manusia
berhati iblis itu masih berada
di Pulau Karang?"
"Kukira tidak. Pulau Karang
amat tandus.
Hampir semua daratannya dipenuhi
batu karang.
Untuk dapat menyambung hidup,
orang yang ber-
diam di situ harus bekerja keras
mencari ikan di
laut. Orang jahat seperti
Tengkorak Kaki Satu dan
anak buahnya, tentu tak akan mau bersusah-
payah."
"Kau belum menjelaskan
alasan apa yang
membuat Tengkorak Kaki Satu
menghancur-
leburkan Perguruan Hati Putih
dan membunuh
beberapa keluarga dekatmu...
"
"Aku tak tahu. Sejak aku
kecil, keluargaku
telah mengasingkan diri.
Entahlah kalau manusia
yang berjuluk Tengkorak Kaki
Satu itu musuh la-
ma ayahku."
"Tapi yang jelas, dia
adalah orang jahat. Kita
akan memberi pembalasan yang
setimpal dengan
kejahatannya. Sekaligus,
membebaskan ayahmu
yang telah terkena ilmu
'Penghilang Akal'."
"Kita ke Lembah Batuliman
sekarang."
"Uts! Tunggu dulu!"
Suropati mencegah Intan Melati
yang hen-
dak memacu kudanya.
"Ada apa lagi, Suro?"
Suropati seperti tak mendengar
pertanyaan
Intan Melati. Dipandangnya
punggung gadis itu
yang bergerak-gerak terbawa
langkah kuda. Meli-
hat Pengemis Binal menghentikan
kudanya, Intan
Melati menoleh sambil
melambaikan tangan.
"Ayolah...! Lihat! Matahari
sudah naik. Aku
tak mau sesampai di Lembah
Batuliman, hari te-
lah gelap."
Pengemis Binal seolah tak
mendengar kata-
kata Intan Melati. Malah dia
turun dari punggung
kudanya. Dihampirinya gadis yang
sudah meng-
hentikan kudanya dengan sikap
tak sabaran.
"Ada yang ingin kukatakan
padamu, In-
tan...," kata Pengemis
Binal dengan suara lembut
Pandangannya tak lepas dari
wajah Intan Melati.
"Aku tak mau berbuat
konyol, Suro!" rungut
Intan Melati. "Kalau ingin
mengatakan sesuatu,
sambil memacu kuda kan
bisa?!"
"Iya. Tapi ini lain,
Intan," Suropati bersike-
ras.
Kening Intan Melati berkerut
"Katakan saja
sekarang...," katanya, sema-
kin tak sabar.
"Turunlah dari
kudamu!"
"Untuk apa?"
"Nanti kau tahu
sendiri."
Dengan hati kesal, akhirnya
Intan Melati
menuruti juga permintaan
Pengemis Binal. Gadis
itu meloncat dari punggung kuda.
Pengemis Binal tersenyum senang.
Digan-
dengnya tangan gadis itu menuju
ke tempat yang
terlindung dari sengatan sinar
matahari.
"Kau ini aneh sekali,
Suro...?" desah Intan
Melati kemudian. "Apa yang
hendak kau katakan?
Apakah suatu rahasia?"
Suropati menatap aneh wajah
Intan Melati.
Seolah ada sesuatu yang
mendorongnya bersikap
demikian. Entah, apa itu.
"Kau cantik sekali,
Intan...," desah si pemu-
da. Lalu, direngkuhnya bahu
gadis itu.
Intan Melati segera menyadari
adanya gela-
gat tak baik dari Pengemis Binal
yang mulai kumat
sifat gendengnya. Sedikit kasar,
ditepisnya tangan
Suropati.
Tapi, Pengemis Binal bergerak
lebih cepat.
Hanya dalam satu sentakan saja,
tahu-tahu tubuh
Intan Melati telah jatuh dalam
dekapannya.
"Apa yang kau lakukan,
Suro?!" bentak In-
tan Melati sambil meronta.
Tapi, dekapan Suropati sekuat
jepitan baja.
Tak kuasa Intan Melati
melepaskan diri. Malah tak
kuasa pula dia menolak tatapan
si pemuda. Justru
dalam hati, gadis ini merasa
berbunga dalam de-
kapan pemuda yang mulai mencuri
sekeping ha-
tinya.
"Kau cantik sekali,
Intan...." Usai berbisik,
Suropati mendaratkan ciuman di
bibir Intan Mela-
ti. Gadis ini tersentak kaget,
tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Ketampanan dan perbawa
Suropati terla-
lu kuat untuk dapat dilawan.
Malah kalau perlu
tak perlu dilawan, tapi disambut
dengan hangat.
Remaja konyol itu pun segera
memagut bi-
bir Intan Melati, lebih ganas
membuat tubuhnya
menggelinjang. Baru kali inilah
gadis itu merasa-
kan sesuatu yang indah dari
seorang pemuda.
Hingga akhirnya Intan Melati
terlena....
"He he he...."
Suropati melepas ciumannya
seraya tertawa
terkekeh-kekeh melihat mata
Intan Melati terpe-
jam.
"Rupanya kau merasa
terbuai, ya?"
Intan Melati kontan membuka
kelopak ma-
tanya. Jengah sekali dia melihat
Suropati yang
berdiri sambil menggaruk-garuk
kepala, Gadis itu
jadi merengut.
"Edan..!" makinya.
Suropati tetap saja tertawa
terkekeh sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa yang hendak kau
katakan, heh?! Da-
sar akal bulus!" maki Intan
Melati lagi.
"Tapi kau juga senang,
bukan?" kilah Pen-
gemis Binal.
"Siapa bilang?!"
"Tak perlu menipu diri
sendiri. Matamu
yang terpejam tadi merupakan
bukti kalau telah
terlena...."
Intan Melati mendengus.
Kemarahannya di-
perlihatkan. Tapi, hati kecilnya
mengakui kebena-
ran ucapan Pengemis Binal. Hanya
karena tak
mau terus jadi korban kekonyolan
Pengemis Binal,
segera dia melompat ke punggung
kudanya. Dipa-
cunya kuda itu amat cepat.
"Hei! Tunggu!"
Suropati berteriak seraya
melompat ke
punggung kudanya sendiri.
Dikejarnya kuda Intan
Melati yang berlari ke utara.
"Di mana-mana, anak gadis
sama saja. Su-
ka menipu diri sendiri! Bibirnya
cemberut, wajah-
nya ketus, tatapannya tajam.
Tapi, sesungguhnya
hatinya berbunga-bunga. Semua
pura-pura benci
padaku, Tapi, dalam hati berkata
cinta. Ha ha
ha...!"
Pengemis Binal tertawa
terbahak-bahak.
Kudanya segera dipacu bagai
orang gila. Sifatnya
yang ugal-ugalan membuat siapa
saja ingin menji-
tak kepalanya sampai benjol. Tak
heran apabila
remaja konyol itu dijuluki
teman-temannya seba-
gai Pengemis Binal.
***
Sing! Sing!
Cepat Sawung Permadi menarik
tali kekang,
membuat kuda coklatnya meringkik
panjang keti-
ka meluncur dua buah benda yang
menimbulkan
suara mendesing tajam. Kedua
kaki depan bina-
tang itu terangkat tinggi ke
atas dalam keterkeju-
tan luar biasa. Dan tubuh tua
Sawung Permadi
terlihat terlontar. Tapi, sigap
sekali dia mendarat di
tanah.
Tap! Tap!
Sementara kuda coklat masih meringkik-
ringkik, Sawung Permadi
memandang dua bilah
tombak yang menancap di batang
pohon.
"Hmm.... Ada orang jahat
yang sengaja hen-
dak membuat permusuhan
denganku...," gumam
Sawung Permadi. Sambil
mengelus-elus kepala
kuda coklatnya, pandangannya
menebar ke seke-
liling.
Tak lama, dari balik pepohonan
di kiri jalan
muncul dua lelaki setengah baya
sama-sama me-
makai pakaian serba hitam. Yang
seorang berkepa-
la plontos tanpa rambut, sedang
yang satu lagi be-
rambut panjang.
"Maaf bila kami mengganggu
perjalananmu,
Permadi...," ucap lelaki
gondrong. Kata-katanya
terdengar mengejek.
"Kami terpaksa melakukannya
karena ingin
menyampaikan sesuatu...,"
sambung lelaki berke-
pala plontos.
Di ujung kalimatnya, lelaki
berkepala plon-
tos itu melemparkan kotak kayu yang ditenteng-
nya.
Tap!
Sigap sekali Sawung Permadi
menangkap-
nya. Ketika hendak melempar
balik, lelaki plontos
mengangkat tangan kanannya.
"Jangan! Kotak itu berisi
sebuah kejutan
untukmu. Jangan berprasangka
buruk dulu. Ko-
tak itu tak akan mencelakakan
mu!"
"Kalian siapa?!" tanya
Sawung Permadi,
menyelidik.
"Buka dulu kotak yang kau
bawa itu. Baru
kami akan memperkenalkan
curi," lanjut lelaki
plontos.
Sawung Permadi mendengus.
Ditatapnya
kotak kayu yang berada di
tangannya. Karena ma-
sih curiga, dibukanya kotak itu
dengan hati-hati.
"Heh?!"
Betapa terkejutnya Sawung
Permadi setelah
mengetahui isi kotak yang tak
lain kepala Bantar
Gurdi!
Dengan sinar mata berkilat, Sawung Per-
madi melemparkan kotak berisi
kepala itu ke ta-
nah.
Brakkk!
Timbul suara keras ketika kotak
kayu
menghantam tanah. Sawung Permadi
yang merasa
dikhianati, rupanya masih
menyimpan kemarahan
walau telah tahu Bantar Gurdi
hanya tinggal kepa-
la tanpa badan.
Siapa yang membunuh Bantar
Gurdi? Siapa
lagi kalau bukan kedua lelaki
anak buah Tengko-
rak Kaki Satu yang kini berada
di hadapan Sa-
wung Permadi.
Kedua lelaki ini memang berhasil
menyer-
gap Bantar Gurdi, ketika tengah
berjalan bersama
Nawangsari. Tentu saja, hal itu
dilakukan atas pe-
rintah Tengkorak Kaki Satu.
Semula, Bantar Gurdi memberi
perlawanan
berarti. Namun lambat laun dia
terdesak juga.
Hingga akhirnya menemui ajal di
tangan kedua
anak buah Tengkorak Kaki Satu.
Nawangsari sen-
diri tewas setelah terkena
pukulan nyasar kedua
tokoh sesat itu. Dengan
kejamnya, kedua lelaki itu
memenggal kepala Bantar Gurdi,
atas perintah
Tengkorak Kaki Satu.
"Siapa yang berbuat sekejam
ini? Dan, siapa
yang mengambil Kitab Ilmu Tapak
Putih?" tanya
Sawung Permadi dengan kemarahan
meluap.
"Mudah saja menjawab
pertanyaanmu itu,
Orang Tua. Tapi, tidakkah kau
ingin mengenal
siapa kami?" kata lelaki
gondrong.
Sawung Permadi mendengus.
"Aku bernama Sonapari.
Sedang saudaraku
yang berkepala plontos ini
bernama Gendon...,"
sambung lelaki gondrong.
"Kami datang atas perin-
tah Tengkorak Kaki Satu."
"Tengkorak Kaki
Satu...!" sentak Sawung
Permadi, teringat cerita Intan
Melati tentang ke-
hancuran Perguruan Hati Putih di
Pulau Karang.
"Selain untuk menyampaikan
kepala Bantar
Gurdi muridmu yang bodoh itu,
kami juga diperin-
tah untuk menyampaikan
ini!"
Di ujung kalimatnya, lelaki
gondrong ber-
nama Sonapari melempar sebilah
pisau kecil.
Set!
Clap!
Pisau itu meluncur cepat, dan
menancap di
depan kaki Sawung Permadi.
"Di Lembah Batuliman, kita
pasti akan ber-
jumpa lagi. Selamat tinggal,
Permadi.
Sawung Permadi alias Pendekar
Tapak Pu-
tih tak mempedulikan lagi ucapan
Sonapari segera
saja kakinya menjejak tanah
membuat bumi ber-
getar. Sedangkan pisau yang
menancap di depan
kaki Sawung Permadi tampak
mencelat ke atas.
Dan sebelum jatuh ke tanah,
kakek itu cepat me-
nyambarnya.
Untuk beberapa lama Sawung
Permadi
mengamati pisau yang gagangnya
berhias tempu-
rung kepala manusia itu.
Diketuk-ketuknya ga-
gang pisau, lalu hiasannya
diputar ke kiri. Dan se-
gera didapatinya kertas merah
yang digulung kecil
terselip di dalam gagang pisau.
Sawung Permadi,
Di antara kita tersimpan urusan
lama. Maaf,
bila aku telah membunuh kakakmu
yang bernama
Saka Permadi. Rama Ludira
muridnya berada di
tanganku pula. Untuk
menyelesaikan urusan lama
kita, kau harus datang di Lembah
Batuliman ten-
gah malam nanti.
Tengkorak Kaki Satu
Air muka Sawung Permadi kontan
berubah
keras setelah membaca tulisan
yang tertera di ker-
tas merah. Pandangannya segera
menebar ke seke-
liling. Tapi, Sonapari dan
lelaki plontos bernama
Gendon sudah tak ada lagi di
tempatnya. Usai me-
nyampaikan pesan Tengkorak Kaki
Satu tadi, me-
reka memang telah pergi.
"Siapa tokoh yang menyebut
dirinya sebagai
Tengkorak Kaki Satu itu?"
tanya Sawung Permadi
dalam hati. "Jelas dia
menyimpan api dendam di
dadanya. Tapi, kenapa ditujukan
kepadaku se-
dangkan aku sendiri tak
mengenalnya?"
Dengan benak dijejali berbagai
pertanyaan,
lelaki tua ini menghampiri
kudanya yang kini tam-
pak merumput di pinggir jalan.
Namun niatnya di-
urungkan untuk naik, karena kuda
itu terlihat ra-
kus memakan rumput pertanda
merasa amat la-
par.
"Tengkorak Kaki Satu tentu
ada hubungan-
nya dengan Kitab Ilmu Tapak
Putih...," pikir Sa-
wung Permadi kemudian.
"Raksa Wijaya yang telah
kubunuh tempo hari, tentu salah
satu telik san-
dinya. Dan Bantar Gurdi muridku
pun berhasil di-
peralat sebelum dibunuhnya.
Hmm.... Dendam da-
lam dada Tengkorak Kaki Satu
memang jelas ditu-
jukan kepadaku. Tapi, apa
penyebabnya? Heran
juga aku melihat Bantar Gurdi
bisa dipengaru-
hinya."
Kini lelaki tua ini segera
menaiki punggung
kudanya.
"Aku harus ke Lembah
Batuliman seka-
rang...," ujarnya.
"Persetan dengan hari tengah
malam, Aku harus tahu dulu,
siapa itu Tengkorak
Kaki Satu!"
Sebentar kemudian, Sawung
Permadi telah
memacu kudanya amat cepat. Debu
mengepul
tebal di setiap jalan yang
dilaluinya.
***
Matahari sudah hampir terbenam
ketika
kakek berjubah putih itu sampai
di aliran sungai
yang menuju Lembah Batuliman.
Tak ingin keha-
dirannya diketahui orang, dia
meloncat dari pung-
gung kuda. Segera diikatnya tali
kuda di batang
pohon. Baru kemudian dia
berjalan menyusuri te-
pian sungai.
Namun belum seberapa jauh lelaki tua itu
melangkah, sekitar dua puluh
lelaki berpakaian
serba hitam bermunculan dari
balik pepohonan.
"Orang tua tak tahu
diuntung! Seharusnya
kau datang tengah malam
nanti!" hardik salah
seorang pencegat.
"Hmm.... Kalian tentu anak
buah Tengkorak
Kaki Satu...," gumam Sawung
Permadi menebak.
"Katakan siapa sebenarnya
pemimpin kalian itu!"
"Sebenarnya pemimpin kami
itu akan mem-
perkenalkan dirinya tengah malam
nanti. Tapi ka-
rena kau datang lebih awal,
jangan menyesal kalau
ternyata golok kami akan membuatmu
mati pena-
saran!"
"Lakukan saja kalau merasa
mampu!"
Sama sekali Sawung Permadi tak
gentar
mengetahui dirinya telah
dikepung dua puluh lela-
ki yang semuanya telah menghunus
golok.
"Chiaaa...!"
Salah seorang anak buah
Tengkorak Kaki
Satu merangsek maju dengan
bacokan mengarah
kepala. Pada saat yang sama
tangan Sawung Per-
madi memutih seperti dilumuri
kapur. Lalu diser-
tai dengusan keras, tubuhnya
berkelebat cepat
menangkap bilah golok yang
menghujam ke arah-
nya!
Bletak...!
"Ouw...!"
Seluruh anak buah Tengkorak Kaki
Satu
terperangah melihat tangan kanan
Sawung Per-
madi sanggup mematahkan mata
golok di tangan
penyerangnya yang sebenarnya
tajam bukan main.
Belum juga si penyerang berpikir
lebih jauh, kaki
Sawung Permadi telah mengibas
cepat.
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh pemilik golok itu mencelat
disertai
teriakan kesakitan. Masih untung
Sawung Permadi
hanya menggunakan beberapa
bagian tenaga da-
lamnya, hingga orang itu cuma
jatuh pingsan.
"Aku tak hendak membunuh
kalian. Hanya
saja, kalian harus mengatakan
siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Atau, panggil
saja manusia iblis itu
kemari!" ujar Sawung
Permadi dingin menggetar-
kan.
"Serang...!"
Namun kata-kata kakek itu tak
disambut
dengan teriakan keras oleh lima
orang lelaki yang
menerjang bersamaan. Ketajaman
golok mereka
siap mengundang Malaikat
Kematian!
"Bodoh! Kalian hanya
mencari mati!"
Sambil berkata demikian, Sawung
Permadi
bergerak memutar dengan bertumpu
pada ujung
ibu jari kaki kanan.
Des! Des!
Terdengar suara berdebuk lima
kali. Lalu,
terlihat tubuh lima lelaki
bersenjata golok terpen-
tal, terhantam telapak tangan
Sawung Permadi.
Namun agaknya Sawung Permadi
memang,
tak berniat
membunuh para begundal Tengkorak
Kaki Satu. Mereka hanya dibuat
pingsan.
"Panggil Sonapari dan
Gendon!" perintah
seorang lelaki bergolok yang
berdiri di bawah po-
hon. Melihat orang yang
diperintahnya berlari
memasuki Lembah Batuliman, dia
segera memberi
aba-aba kepada yang lainnya untuk
mengeroyok
Sawung Permadi.
"Serbu...!"
Kembali tubuh Sawung Permadi
berkeleba-
tan cepat hingga menjadi
bayang-bayang putih
yang hampir tak terlihat. Satu
tarikan napas ke-
mudian....
Trang! Trang!
"Heh...?!"
Terdengar suara berdentang keras
yang di-
barengi potongan-potongan golok
beterbangan di
udara. Seluruh anak buah
Tengkorak Kaki Satu
berdiri terpaku di tempatnya.
Mata mereka melo-
tot, melihat golok masing-masing
tinggal gagang
saja.
Belum sempat mereka menyadari
keadaan,
Sawung Permadi telah melancarkan
totokan be-
runtun. Begitu cepat gerakannya.
Dan....
Tuk! Tuk!
"Aaahh...!"
Kini, tubuh seluruh lelaki
berpakaian serba
hitam itu benar-benar dibuat
kaku tanpa mampu
bergerak sedikit pun.
Sawung Permadi menjambak rambut
lelaki
yang berdiri kaku di dekatnya.
"Katakan, siapa sebenarnya
Tengkorak Kaki
Satu itu!"
"Aku..., aku tak
tahu...," Ucap lelaki brewo-
kan yang rambutnya dijambak
Sawung Permadi.
"Jangan dusta! Atau kau
lebih suka kalau
kepalamu kupecahkan?"
"Sungguh aku tak tahu.
Aduh! Lepaskan
aku!"
Melihat lelaki brewokan mengaduh
kesaki-
tan, Sawung Permadi bukannya
melepas, tapi ma-
lah memperkeras jambakannya.
"Aduh! Ouw! Aku..., aku
benar-benar tak
tahu...."
"Jangan dusta,
Keparat!"
"Sungguh aku tak dusta. Kau
bunuh pun,
aku tak akan dapat mengatakan
siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Kami semua baru
satu bulan men-
jadi anak buahnya, kecuali
Sonapari dan Gendon."
Mendengar penuturan itu, Sawung
Permadi
mendengus. Didorongnya tubuh
lelaki brewokan
hingga jatuh berdebam di tanah.
"Jadilah orang baik-baik
sebelum ajal men-
jemput kalian," ujar Sawung
Permadi seraya me-
langkah dari tepi sungai.
Dimasukinya Lembah
Batuliman yang terkenal sebagai
tempat persem-
bunyian para penjahat
***
"Haram jadah kau, Sawung
Permadi!"
Sawung Permadi menghentikan
langkahnya
ketika tiba-tiba terdengar
makian keras menggele-
gar. Kakek ini mendengus gusar
melihat kehadiran
dua lelaki setengah baya yang
tak lain dari Sona-
pari dan Gendon. Mereka berkacak
pinggang den-
gan wajah garang.
"Kebetulan sekali kalian
datang, Tikus-tikus
Busuk!" desis Sawung
Permadi. Matanya meman-
dang tajam pada dua sosok
manusia yang berdiri
tiga tombak di hadapannya.
"Sengaja aku meme-
nuhi undangan tuanmu lebih awal.
Karena, aku
tak kuasa menahan keinginanku
untuk mengenal
dirinya terlebih dahulu.
Terlebih lagi, aku ingin se-
gera memecahkan batok
kepalanya!"
"Ha ha ha...!"
Sonapari dan Gendon tertawa
bergelak.
"Apakah ucapanmu tak
keliru, Tua Bangko-
tan?!" cela Sonapari.
"Kau datang lebih awal Bu-
kankah itu berarti ingin cepat
menghadap penjaga
pintu neraka?"
"Sungguh lucu ucapanmu itu,
Kadal Buduk!
Tapi, aku ingin mendengar satu
lagi leluconmu.
Berceritalah tentang Tengkorak
Kaki Satu, tuanmu
itu!"
"Baik..., baiklah. Aku
turuti permintaan-
mu...," kata Sonapari
dengan sudut kiri bibir terta-
rik ke atas. Mengejek.
"Tengkorak Kaki Satu ada-
lah batu besar yang akan
menindih tubuhmu
hingga remuk. Tengkorak Kaki
Satu adalah peme-
gang kuasa Malaikat Kematian
untuk mencabut
nyawamu! Tapi, hari ini dia
telah menyerahkan
kekuasaannya kepada kami yang
akan mengirim
nyawamu ke neraka!"
"Ha ha ha...!" Sawung
Permadi tertawa ber-
gelak. "Lucu..., lucu
sekali ucapanmu itu, Kadal
Buduk! Tak dapat aku menahan
tawaku ini."
"Jangan tertawa puas dulu!
Masih ada lelu-
conku lagi. Inilah dia...!"
sergah Sonapari, seraya
menyabetkan telapak tangan
kanannya ke depan.
Set!
Seketika selarik sinar tipis berwarna biru
meluncur deras, hendak memotong
pinggang Sa-
wung Permadi.
Namun, si kakek telah meloncat
ke atas,
membuat sinar itu terus
meluncur.
Blarrr....!
Sinar itu langsung memapas
batang pohon
serangkulan manusia dewasa
hingga patah. Na-
mun sebelum pohon itu tumbang,
cepat sekali Sa-
wung Permadi menjejak tanah.
Tubuhnya seketika
melesat laksana luncuran anak
panah, lalu men-
darat di atas ranting pohon yang
hendak tumbang.
Terlihat kemudian, batang pohon
yang su-
dah miring perlahan-lahan tegak
kembali. Semen-
tara, Sawung Permadi berdiri
tegak di atasnya.
Sonapari terperangah melihat
kehebatan
pendiri Perguruan Tapak Putih
itu. Namun sebagai
orang yang telah lama
berkecimpung di rimba per-
silatan, cepat ditepisnya rasa
kagumnya,
"Tubuhmu memang seringan kapas.
Tenaga
dalammu pun cukup hebat. Tapi,
dapatkah ke-
pandaian yang kau miliki itu
menahan gempuran-
ku?" leceh lelaki gondrong
itu.
Saat itu pula Sonapari
menyabetkan kedua
telapak tangannya berkali-kali.
Maka belasan larik
sinar biru tipis meluncur deras
memapas bagian
bawah batang pohon
bergantian.
Blarrr!
Blarrr...!
Timbul suara dentuman keras
belasan kali.
Sedangkan batang pohon
terpotong-potong dari
bawah, hingga tingginya yang
semula menyamai
tinggi pohon kelapa menjadi
pendek, dan semakin
pendek.
Sawung Permadi yang berada di
atas pohon
pun terbawa turun. Ketika batang
pohon hampir
habis terpapasi larikan sinar
biru tipis, cepat lelaki
tua itu meloncat ke belakang.
Begitu kakinya men-
ginjak tanah, kedua telapak
tangannya menghen-
tak ke depan!
Wuusss...!
Seketika batang pohon yang
tinggal dahan
bagian atas beserta rimbunan
daunnya, terbawa
gelombang angin dahsyat, melesat
ke arah Sona-
pari.
Wuuttt!
Segera lelaki berambut gondrong
itu meng-
hentakkan kedua telapak
tangannya ke depan. Ta-
pi, batang pohon yang berdaun
rimbun itu terus
meluncur ke arahnya. Pucatlah
wajah Sonapari.
Namun sebelum tubuhnya tergencet
lumat, te-
mannya yang berkepala plontos
segera bertindak.
Dia meloncat ke samping Sonapari
seraya meng-
hentakkan kedua telapak
tangannya ke depan.
Zlap!
Untuk beberapa lama batang pohon
ber-
daun rimbun tertahan di udara.
Tapi begitu Sa-
wung Permadi menambah kekuatan
tenaga da-
lamnya, batang pohon itu
meluncur lagi ke arah
Sonapari dan Gendon!
"Celaka!" pekik
mereka, bersamaan.
Bergegas mereka meloncat agar
tak tergen-
cet batang pohon berdaun rimbun.
Namun gera-
kan mereka yang dilakukan dengan melepaskan
kekuatan tenaga dalam, membuat
batang pohon
meluncur lebih cepat! Dan....
Glarrr...!
"Aaa...!"
Bumi bergetar ketika batang
pohon berdaun
rimbun jatuh ke tanah. Suaranya
menggelegar
amat keras. Ketika debu yang
mengabuti pandan-
gan telah sirna, terlihat tubuh
Sonapari dan Gen-
don tergencet cabang-cabang
pohon besar yang ja-
tuh melesak ke dalam tanah. Mata
mereka sama-
sama melotot dengan mulut
ternganga. Mereka
mati mengenaskan!
Sawung Permadi menghela napas
panjang.
Dipandangnya sebentar mayat
Sonapari dan Gen-
don. Lalu pendengarannya
dipertajam. Karena tak
mendengar adanya gerakan manusia
lain, segera
langkahnya dilanjutkan.
Disusurinya Lembah Ba-
tuliman.
"Manusia keparat Tengkorak
Kaki Satu!
Tampakkan batang hidungmu!
Inilah aku Sawung
Permadi!"
Suara Pendekar Tapak Putih
menggema di
antara tebing-tebing lembah,
namun segera lenyap
terbawa hembusan angin. Ketika
berteriak lagi,
hanya gema yang kembali muncul.
Sedangkan wu-
jud Tengkorak Kaki Satu tetap
tak tampak....
7
"Tunggu...!
Tunggu...!" teriak Pengemis Bi-
nal seraya menggebah-gebah
kudanya agar dapat
berlari lebih kencang.
Tapi, remaja konyol itu hanya
mendapatkan
kekecewaan. Kuda Intan Melati
terus melaju di de-
pan, meninggalkan debu yang
mengepul tebal
menghalangi pandangan dan
menyumbat jalan
napasnya.
"Kalau terus begini,
bisa-bisa aku mati ke-
habisan napas" gumam
Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti ini kemudian menjepit
perut kuda lebih erat
Dengan kedua tangan memeluk
leher kuda, kedua
kakinya lalu ditarik ke atas sedikit demi sedikit.
Saat telapak kakinya telah
menginjak punggung
kuda, Suropati melepaskan
pelukan seraya mene-
gakkan tubuh.
Kini Suropati telah berdiri di
punggung ku-
da dengan tongkat bersilang di
dada. Padahal kuda
coklat itu tengah berlari
kencang!
Dengan berdiri di atas punggung
kuda, na-
pas Pengemis Binal jadi lebih
longgar. Kini pemuda
itu dapat melihat sosok Intan
Melati yang berkuda
di depan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak demikian,
Pengemis Binal
menjejak punggung kuda. Saat itu
pula tubuh re-
maja konyol ini melesat cepat
melebihi luncuran
anak panah yang lepas dari
busur. Setelah bersal-
to tiga kali di udara, Pengemis
Binal mendarat em-
pat tombak di hadapan kuda Intan
Melati yang te-
rus berlari kencang.
"Gila!" pekik Intan
Melati, melihat keheba-
tan ilmu meringankan tubuh
Suropati.
Kekaguman Intan Melati digeluti
rasa kha-
watir. Tubuh Suropati yang
berdiri tegak di depan,
pasti akan tertabrak kudanya.
Sementara, laju ku-
danya tak mungkin dihentikan.
Kalau itu dilaku-
kan, kudanya akan terkejut
seraya mengangkat
kaki depan tinggi-tinggi. Dan,
bukan mustahil tu-
buhnya terlontar!
"Minggir, Suro...!"
teriak Intan Melati sekuat
tenaga saat kudanya tinggal
beberapa jengkal lagi
di hadapan Suropati siap
menabrak.
"Haya...!"
Sekali lagi Suropati berteriak
demikian. Lalu
tahu-tahu tubuhnya melenting ke
atas amat cepat.
Tap!
"Heh?!"
Intan Melati terkejut luar biasa
ketika mera-
sakan pelukan pada pinggangnya.
"Aku numpang di kudamu,
Intan...."
Mendengar bisikan itu, Intan
Melati meno-
leh. Dari sudut matanya,
terlihat wajah tampan
Suropati yang tengah tersenyum.
Gadis ini tak ha-
bis pikir, bagaimana mungkin
Suropati mampu
mendarat dalam keadaan duduk di
punggung ku-
da tanpa membuat terkejut kuda
itu sendiri?
Kuda yang ditunggangi dua anak
manusia
itu meringkik, ketika Intan
Melati menarik tali ke-
kang untuk menghentikan laju
kuda.
"Hup!"
Begitu kuda milik Intan Melati
berhenti ber-
lari, Suropati menggenjot lagi
tubuhnya. Setelah
berputaran beberapa kali, pemuda
itu hinggap di
punggung kudanya sendiri yang
berlari di bela-
kang!
"Gila!" pekik Intan
Melati untuk kedua ka-
linya.
Sementara, Pengemis Binal tampak
mem-
perlambat laju kudanya, lalu
menghentikannya.
"Kemarilah...," pinta
remaja konyol ini diiku-
ti lambaian tangan.
Dengan pandangan terkagum-kagum,
Intan
Melati menjalankan kudanya perlahan. Dihampi-
rinya Suropati yang tengah
nongkrong santai di
punggung kudanya sendiri.
"Hebat sekali kau, Suro...,"
puji Intan Mela-
ti.
Suropati cengar-cengir dengan
mata men-
gerjap-ngerjap. Wajah remaja
tampan ini sungguh
jadi tampak lucu. Bahkan mirip
orang kurang wa-
ras.
"Bukannya aku hendak pamer
kepandaian,
Intan...," ujarnya.
"Aku tadi berteriak-teriak, tapi
tak pernah kau pedulikan.
Agaknya kau masih
marah padaku. Lalu, aku berbuat
demikian karena
aku ingin bicara."
"Bicara lagi! Bicara
lagi!" sentak Intan Mela-
ti, teringat perbuatan Suropati
yang menciumnya
dengan akal bulus ingin bicara.
"Rupanya kau benar-benar
marah, Intan...,"
desah Pengemis Binal. "Aku
minta maaf...."
Bibir Intan Melati menyungging
senyum.
"Aku sudah tak marah lagi,
Suro. Kau tak
perlu minta maaf, karena kau
tidak bersalah."
Suropati menggaruk kepalanya
sebentar.
"Benar dugaanku. Kau cuma
pura-pura ma-
rah. Dan, aku pun tahu bila
sekarang kau ingin
kucium lagi"
"Ngawur! Berani kau lakukan
itu, kutang-
galkan hidungmu!" ancam
Intan Melati sambil me-
raba gagang pedang yang terselip
di punggung.
"Sungguh kau tak ingin ku
cium? Jangan-
jangan kau nanti menyesal.
Ayolah, mumpung aku
juga lagi ingin...," goda
Pengemis Binal.
Sring...!
Intan Melati benar-benar
menghunus pe-
dangnya, langsung menodongkannya
ke muka
Pengemis Binal. Tapi, Suropati
malah tertawa ter-
kekeh-kekeh seraya mendekatkan
ujung hidung-
nya ke ujung pedang Intan
Melati.
"Kalau kau ingin melihat
wajah orang yang
paling kau sukai jadi buruk,
tanggalkan saja ba-
tang hidungku...,"
tantangnya.
Gemas sekali Intan Melati
mendengar kata-
kata Pengemis Binal. Ingin
rasanya dia membabat
habis batang hidung Suropati.
Tapi..., entah kena-
pa dia tak mampu melaksanakan
ancamannya.
Ada sebuah bisikan yang
mengatakan kalau dia
menyukai remaja tampan yang kini
menatapnya
tanpa berkedip.
"Sudah! Sudah! Aku tak
ingin bergurau la-
gi!" ujar Intan Melati
sambil menyarungkan pe-
dangnya kembali. "Hari
hampir gelap. Kegelapan
hanya akan menyulitkan
perjalanan kita. Sedang
aku sendiri tidak begitu paham
jalan-jalan di seki-
tar sini. Aku masih perlu
bertanya kepada orang
tentang letak Lembah Bukitliman. Dan agaknya,
kau pun jadi orang asing di
tempat ini, Suro."
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Pengemis Binal,
melihat Intan Melati hendak
menghela kudanya la-
gi.
"Apa lagi?!" bentak
Intan Melati melotot. "Ki-
ta diburu waktu, Suro!"
"Kenapa kau marah-marah
terus, Intan?
Kau tak suka padaku?" tukas
Suropati.
Intan Melati diam saja.
"Kau bilang tadi, kegelapan
hanya akan
menyulitkan. Kukira, itu tidak
tepat."
"Maksudmu?" tanya
Intan Melati, terlihat
sungguh-sungguh.
"Kegelapan justru membuat
kita mudah un-
tuk...."
"Untuk apa?" kejar
Intan Melati, melihat Su-
ropati tidak segera melanjutkan
kalimatnya.
"Kau jadi penasaran,
Intan?"
"Huh! Aku benar-benar tak
ingin bergurau
lagi! Katakan, apa
maksudmu?!"
"Ya..., ya!" tukas
Pengemis Binal dengan
ujung hidung dinaikkan.
"Aku justru senang kalau
sesampai di Lembah Batuliman
nanti hari telah ge-
lap."
"Kenapa?"
"Kegelapan membuat kita
menjadi tak cang-
gung lagi untuk bermesra-mesraan...."
"Gila!" rutuk Intan
Melati seraya cepat
membedal kudanya.
Suropati berteriak-teriak. Namun
tak lagi
dipedulikan gadis itu. Kali ini
Intan Melati benar-
benar kesal. Godaan Suropati
dianggap sudah ke-
terlaluan
***
Lembah Batuliman....
Di dalam sebuah gua di lamping
jurang,
Tengkorak Kaki Satu menutup
halaman terakhir
Kitab Ilmu Tapak Putih. Lelaki
yang wajahnya nya-
ris berupa tulang ini bangkit
dari duduknya. Den-
gan tongkat sebagai pengganti
kaki kirinya yang
buntung dia berjalan ke bibir
gua. Kepalanya me-
nengadah, melihat langit hitam
bertabur bintang.
Awan putih tipis tampak
mengabuti rembulan
yang memancarkan cahaya kuning
keemasan.
"Hari belum sampai tengah
malam. Tapi,
aku yakin Sawung Permadi telah
berada di lembah
ini...," gumam Tengkorak
Kaki Satu. "Apakah
orang-orangku tidak mampu
menghadapi si tua
bangka keparat itu? Hmm....
Umurmu hanya ting-
gal beberapa tarikan napas saja,
Sawung Permadi!
Rahasia kesaktian ilmu 'Tapak
Putih'-mu sudah
kuketahui."
Tengkorak Kaki Satu menatap
sejenak kitab
bersampul putih di tangannya.
Lalu dia meniti ba-
tang pohon yang tumbuh menjorok
di lamping ju-
rang dekat bibir gua. Begitu
berada di ujung po-
hon, tubuhnya digenjot.
Tap!
Dan ringan sekali Tengkorak Kaki
Satu
mendarat di bibir jurang,
sekitar sepuluh tombak
di atas mulut gua yang semula
ditempati.
"Kiranya kau yang disebut
Tengkorak Kaki
Satu!"
Tengkorak Kaki Satu terkejut,
ketika tiba-
tiba mendengar suara
menyambutnya yang diba-
rengi kelebatan bayangan putih
turun dari atas
pohon. Pandangan lelaki buntung
itu ditajamkan
untuk mengenali sosok manusia
yang baru mun-
cul. Begitu dapat memastikan,
Tengkorak Kaki Sa-
tu langsung tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Tak salah
dugaanmu, Sawung
Permadi! Aku memang Tengkorak
Kaki Satu. Aku
sengaja mengundangmu kemari.
Tapi, agaknya
kau datang lebih awal. Sungguh
besar nyalimu...."
Kakek berjubah putih yang tak
lain Sawung
Permadi tampak memajukan kaki
kanannya se-
langkah.
"Kupikir itu memang lebih
baik. Datang le-
bih awal, untuk membasahi
cecoro-cecoro anak
buahmu. Lalu, memecahkan batok
kepalamu sen-
diri," balas Sawung Permadi
dengan pandangan
berkilat tertuju ke sosok
mengerikan yang berdiri
sekitar tiga tombak dari
hadapannya.
"Ha ha ha...!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak lagi. "Sungguh kau
masih memiliki sifat
seperti dua puluh tahun yang
lalu, Permadi. Kau
pemberani dan amat keras
kepala!"
"Apa maksudmu?" Sawung
Permadi terkejut
mendengar ucapan Tengkorak Kaki
Satu.
"Apa maksudku? Ha ha ha...!
Agaknya kau
masih belum bisa menerka, siapa
sebenarnya aku
ini, Permadi. Cobalah layangkan
ingatanmu pada
peristiwa berdarah di Bukit
Tuntang dua puluh
tahun lalu."
"Tak perlu berkata
macam-macam! Segera
perkenalkan dirimu!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa lagi
menden-
gar bentakan Sawung Permadi.
"Di Bukit Tuntang,
kau dan kakakmu, Saka Permadi,
telah memper-
daya seorang pemuda bernama Jaka
Bagus. Kau
patahkan kaki kirinya. Sedangkan
kakakmu me-
nebarkan Racun Pelenyap Daging.
Tubuh Jaka
Bagus pun rusak
mengerikan…"
"Tak mungkin kau Jaka Bagus
itu!" sergah
Sawung Permadi, mulai dapat menerka siapa
Tengkorak Kaki Satu itu.
Ingatan lelaki ini segera
terbawa ke masa
dua puluh tahun yang lampau.
Kala itu bersama
Saka Permadi kakaknya, kakek ini
memang per-
nah bertempur melawan pemuda
tampan bernama
Jaka Bagus di Bukit Tuntang.
Terpaksa Saka Per-
madi dan Sawung Permadi
mengeroyok pemuda
itu karena memiliki kesaktian
lebih tinggi.
Jaka Bagus dapat dikalahkan.
Tubuhnya
terbaring di tanah dalam keadaan
mengerikan.
Kaki kirinya tanggal hingga ke
pangkal paha. Dag-
ing di tubuhnya pun hampir
lumat, terkena Racun
Pelenyap Daging. Semua itu
dilakukan Permadi
bersaudara karena dorongan
dendam meluap, Ja-
ka Bagus telah menodai dan
membunuh adik Saka
Permadi dan Sawung Permadi yang
bernama Ayu
Gandari.
Melihat Sawung Permadi berdiri
terpaku di
tempatnya, Tengkorak Kaki Satu
mendengus.
"Rupanya kau sudah teringat
peristiwa ber-
darah di Bukit Tuntang itu,
Sawung Permadi...,"
ujarnya dengan suara geram.
"Malaikat Kematian
masih bermurah hati untuk tak
segera mencabut
nyawa Jaka Bagus. Pemuda itu
masih hidup, tapi
dalam wujud menakutkan. Kau
pandang aku baik-
baik, Sawung Permadi.... Akulah
Jaka Bagus! Aku
rela hidup dalam keadaan seperti
ini, karena me-
nyimpan dendam maha hebat!"
"Tak mungkin! Tak
mungkin!" pekik Sa-
wung Permadi.
"Apanya yang tak mungkin,
Keparat?! Dua
puluh tahun lamanya aku terus
tinggal di Bukit
Tuntang untuk memperdalam ilmu
kesaktian. Ak-
hirnya, kemauan keras ku tak sia-sia. Saka Per-
madi telah kubunuh di Pulau
Karang. Kuhancur-
kan pula Perguruan Hati Putih.
Dan ketika aku
berniat membunuhmu, rupanya kau
telah memili-
ki ilmu kesaktian hebat yang
bernama 'Tapak Pu-
tih'. Tapi, aku tak lagi gentar.
Ilmu 'Tapak Putih'
telah kuketahui
rahasianya."
Di ujung kalimatnya, Jaka Bagus
alias
Tengkorak Kaki Satu mengeluarkan
kitab bersam-
pul putih dari balik kain hitam
yang membelit tu-
buhnya.
Sawung Permadi terkesiap ketika
tahu ka-
lau itu adalah Kitab Ilmu Tapak
Putih.
"Kembalikan kitab itu,
Iblis!" perintah Sa-
wung Permadi.
Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak. Tan-
gan kanannya mengacung ke atas
disertai tenaga
dalam amat tinggi. Sekejap mata
kemudian, kitab
Ilmu Tapak Putih telah hancur
teremas menjadi
bubuk putih.
Mendidih darah Sawung Permadi
melihat
kitab yang disusunnya selama
bertahun-tahun te-
lah musnah.
"Iblis laknat! Di Bukit
Tuntang kau boleh
selamat. Tapi kejadian itu tak
akan terulang lagi di
Lembah Batuliman ini!"
dengus lelaki tua itu. Ru-
panya dia telah yakin kalau
Tengkorak Kaki Satu
memang Jaka Bagus.
Tengkorak Kaki Satu mendengus
pendek
melihat Sawung Permadi
memutar-mutar kedua
tangannya di depan dada.
Keremangan malam ter-
sibak ketika kedua pergelangan
tangan Sawung
Permadi memancarkan cahaya putih
gemerlapan.
Dalam waktu beberapa kejap mata
saja, wu-
jud cahaya putih menyerupai
telapak tangan ber-
tambah banyak. Saat Sawung Permadi
menggem-
bor keras, telapak-telapak
tangan ciptaannya me-
luruk ke arah Tengkorak Kaki
Satu.
Zeb! Zeb!
Telapak-telapak tangan itu
menggempur da-
ri berbagai penjuru pertahanan
Tengkorak Kaki
Satu. Masing-masing telapak
tangan seperti mem-
punyai nyawa. Melesat ke sana
kemari, menimbul-
kan suara angin tajam yang seringkali dibarengi
ledakan.
Tengkorak Kaki Satu yang telah
mengetahui
rahasia ilmu 'Tapak Putih'
memutar tubuhnya
amat cepat. Tongkat di tangan
kirinya berkelebat
memperdengarkan suara mendengung
bagai ri-
buan lebah marah. Sesaat
kemudian, wujud Teng-
korak Kaki Satu menghilang dari
pandangan. Se-
bagai gantinya, terbentuk
gulungan sinar hitam
yang terus mengepulkan uap
berwarna hitam pula.
Lalu....
Blaaarrr...!
Sekitar dua puluh telapak tangan
berwarna
putih meledak buyar serta
berbenturan dengan gu-
lungan cahaya hitam yang
merupakan wujud lain
Tengkorak Kaki Satu.
Slap!
Gulungan cahaya hitam itu lalu
melesat ce-
pat ke arah Sawung Permadi yang
tengah dalam
keterkejutan, karena ilmu 'Tapak
Putih'-nya dapat
dilumpuhkan. Namun bagaimanapun
terkejutnya,
dia adalah tokoh tua yang sudah
matang pengala-
man. Sejenak saja keterkejutan
menguasai dirinya,
sebentar kemudian kesadarannya
segera pulih.
"Heaaa...!"
Sawung Permadi yang dapat
mengetahui
adanya bahaya mengancam jiwa,
cepat mengem-
pos tubuhnya tinggi-tinggi.
Sambil bersalto di uda-
ra, kedua tangannya dihentakkan
ke arah gulun-
gan sinar hitam.
Zeb! Zeb!
Dua telapak tangan berwarna
putih berki-
lauan meluncur deras,
seakan-akan merupakan
dua telapak tangan Sawung
Permadi yang tanggal.
Padahal itu hanya sinar putih
berwujud telapak
tangan. Sejurus
kemudian....
Blaaarrrr...!
Sunyi malam kembali terobek saat
terden-
gar lagi suara menggelegar. Dua
telapak tangan
putih berkilauan tepat membentur
gulungan sinar
hitam.
Untuk kedua kalinya Sawung
Permadi di-
hantam keterkejutan. Sekitar
sepuluh tombak dari
tempatnya berdiri, Tengkorak
Kaki Satu tetap ber-
diri tegak dengan punggung
membelakangi. Ujung
tongkatnya menyentuh tanah,
sebagai pengganti
kaki kirinya. Perlahan-lahan
lelaki bertampang se-
ram ini membalikkan badan.
Dengan bantuan cahaya rembulan,
Sawung
Permadi dapat melihat seringai
aneh di bibir Teng-
korak Kaki Satu. Seringai itu lalu
berubah jadi ta-
wa meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Hanya sampai
di sinikah kehe-
batan ilmu 'Tapak Putih'-mu,
Permadi?!"
"Jangan keburu senang dulu,
Keparat!" sa-
hut Sawung Permadi.
"Terimalah puncak dari ilmu
andalanku ini!"
Di ujung kalimatnya, Sawung
Permadi me-
narik kedua pergelangan tangan
hingga sejajar
pinggang, lalu menyorongkannya
ke depan. Perla-
han saja gerakannya.
Namun.....
Wusss...!
Seketika timbul suara bersiut
amat keras,
yang apabila didengar orang
biasa dapat meme-
cahkan gendang telinga. Suara
bersiut itu memba-
rengi melesatnya sepuluh telapak
tangan putih
yang empat kali lebih besar
daripada yang tadi ter-
lihat, dan terdiri dari lima
baris. Dua di depan, dua
lagi di belakang, hingga
membentuk barisan tan-
gan bersap lima. Kecepatan
lesatnya pun tak terki-
ra, melebihi kecepatan anak
panah!
Wuuttt...!
Sekali lagi, Tengkorak Kaki Satu
memutar
tubuhnya dengan tongkat
berkelebatan. Sosok le-
laki bertampang seram ini
hilang, berganti gulun-
gan sinar besar yang mengepulkan
uap lebih
menggidikkan lagi. Lalu......
Blaarrr!
Gelegar dahsyat terdengar lima
kali bertu-
rut-turut membuat bumi
berguncang. Daun-daun
pohon di sekitar ajang
pertarungan kontan bergu-
guran. Ranting dan dahan
berpatahan. Bahkan,
beberapa pohon tercabut dari
dalam tanah, terlon-
tar hingga belasan tombak
jauhnya.
Namun, sungguh mengherankan
keadaan
Tengkorak Kaki Satu. Dia tampak
berdiri tegak da-
lam keadaan tak kurang suatu
apa. Padahal keku-
atan ilmu 'Tapak Putih' yang
dilancarkan Sawung
Permadi barusan sudah sanggup
menghancurkan
sebuah bukit karang setinggi
pohon kelapa!
Kontan pucat pasi wajah Sawung
Permadi
melihat ilmu pamungkasnya tak
mampu mero-
bohkan lawan. Keringat dingin
mengucur di seku-
jur tubuhnya. Peluh sebesar biji
jagung pun mele-
leh dari keningnya. Saat itu
juga kakek berjubah
putih ini jadi punya pikiran
yang bukan-bukan.
Apakah Tengkorak Kaki Satu itu
adalah roh Jaka
Bagus yang hendak menuntut
balas? Dan karena
berupa roh, dia tentu tak
mungkin dibinasakan?
"Aku tahu rasa heran
bercampur gentar te-
lah menyelimuti hatimu, Permadi!" leceh
Tengko-
rak Kaki Satu, pongah. "Aku
tahu, kau terbayang
peristiwa berdarah di Bukit
Tuntang. Agaknya pe-
ristiwa itu akan berbalik rupa
di Lembah Batuli-
man ini. Akulah kini yang akan
mengoyak-ngoyak
tubuhmu, dan menjadikan wajahmu
lebih buruk
dari yang kupunya. Ha ha ha...!
Kulihat tubuhmu
gemetar, Permadi! Apakah
terpikir olehmu niatan
untuk melarikan diri?"
"Huh! Aku tak takut mati!
Kedua tanganku
telah seringkali berlumur darah
manusia-manusia
iblis sepertimu. Tapi kalau
kedua tanganku berlu-
mur darahku sendiri, tak akan
pernah ada penye-
salan dalam diri ini. Apa beda
mati esok atau seka-
rang, kalau sebelum mati orang
bertindak sebagai
pecundang?"
"Sungguh bagus ucapanmu,
Permadi.
Agaknya kau telah merasa bahwa
ajalmu telah de-
kat kini."
Sawung Permadi tak menyambuti
kata-kata
Tengkorak Kaki Satu lagi. Segera
dipasangnya ku-
da-kuda, ketika melihat manusia
bertampang iblis
itu telah menggebrak dengan
putaran tongkatnya.
"Hup!"
Si kakek menggenjot tubuh
sekitar tiga
tombak dari permukaan tanah.
Lalu dengan gera-
kan 'Lingkaran Trenggiling
Melesat', tubuhnya ber-
salto di udara dalam keadaan
menekuk. Saat ter-
julur lurus kembali, kedua
tangannya menghentak
ke depan!
"Uts...!"
Tengkorak Kaki Satu yang melihat
adanya
bahaya mengancam dari belakang,
segera menggu-
lingkan tubuh ke tanah.
Tongkatnya berkelebat
cepat, menghajar pergelangan
tangan kiri Sawung
Permadi.
Prak...!
"Wuaaah...!"
Sawung Permadi berdiri limbung
setelah
menjerit keras. Tangan kirinya
menggelantung le-
mas karena tulang di atas
sikunya telah remuk.
"Sekarang tangan kananmu
yang akan ku-
hancurkan, Permadi!" ancam
Tengkorak Kaki Sa-
tu.
Wuuttt...!
"Uts...!"
Sawung Permadi cepat berkelit ke
kiri, keti-
ka Tengkorak Kaki Satu
menyambar. Tapi justru
gerakannya membuat Tengkorak
Kaki Satu terse-
nyum senang. Tubuh Sawung
Permadi yang ber-
geser cepat, dipapaki dengan
sebuah tendangan.
Desss!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan keras Sawung
Permadi
saat tendangan Tengkorak Kaki
Satu tepat meng-
hajar pinggangnya. Belum sampai
tubuh si kakek
jatuh ke tanah, sebuah tendangan
lagi bersarang
di dadanya!
"Eyang...!"
Sebuah teriakan membarengi tubuh
Sa-
wung Permadi yang mencelat bagai
segumpal ka-
pas tertiup angin kencang. Saat
tubuhnya jatuh
berdebam di tanah, sesosok
bayangan putih men-
gejar.
Suara tangis menggerung kini
memenuhi
permukaan lembah. Seorang gadis
berpakaian
serba putih tampak memeluk tubuh
lemah Sa-
wung Permadi dengan air mata
menganak sungai.
"Tinggalkan Eyang,
Intan...!" perintah Sa-
wung Permadi kepada gadis yang
ternyata Intan
Melati.
"Tidak, Eyang! Aku harus
menolong Eyang!"
"Jangan bodoh! Manusia
iblis itu akan
membunuhmu! Cepat lari!
Argh!" ujar Sawung
Permadi seraya mendekap dadanya.
Mulutnya ter-
buka, dan segera menyemburkan
darah berwarna
kehitam-hitaman.
Intan Melati menggeleng-gelengkan
kepa-
lanya. Gadis ini merasa terharu
melihat keadaan
lelaki tua paman guru ayahnya.
Teringat dia keja-
dian Pulau Karang. Teringat
saat-saat terakhir Sa-
ka Permadi, kakak Sawung Permadi
menutup ma-
ta. Haruskah Intan Melati
menyaksikan pula saat-
saat terakhir Sawung Permadi
menutup mata?
Sementara itu, Tengkorak Kaki
Satu tertawa
bergelak-gelak penuh kepuasan.
Perlahan namun
pasti, kakinya melangkah
menghampiri tubuh le-
mah Sawung Permadi yang berada
dalam pelukan
Intan Melati Matanya
berkilat-kilat. Timbul niatan
dalam dirinya untuk menghabisi
Sawung Permadi
dan Intan Melati secara
bersamaan. Tangan kanan
lelaki bertampang mengerikan itu
pun telah mem-
persiapkan pukulan jarak jauh.
Tapi...
"Tak tahu aturan! Hendak
membunuh
orang yang sudah tak berdaya
adalah perbuatan
amat keji!"
Tengkorak Kaki Satu mendengus
seraya
menoleh. Tahu-tahu di samping
kanan sejauh lima
tombak telah berdiri seorang
remaja tampan ber-
pakaian penuh tambalan. Sebatang
tongkat butut
tampak berada di tangan kanan.
"Siapa kau?!" bentak
Tengkorak Kaki Satu.
"Aku Suropati. Datang
hendak menghenti-
kan perbuatan keji," aku si
remaja yang memang
Suropati alias Pengemis Binal.
Mendengar ucapan Pengemis Binal,
Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak.
Sementara, Sa-
wung Permadi telah muntah darah
lagi. Si pemuda
yang tahu kakek berjubah putih
itu menderita lu-
ka dalam cukup parah, segera
memberi bisikan
dengan cara mengirim suara jarak
jauh.
"Jangan menyerah pada
kematian. Segera
atur pernapasan. Gunakan hawa
sakti untuk
mengatasi luka dalammu."
Mendengar bisikan yang ditujukan
kepada
dirinya, Sawung Permadi
menguatkan tekad. Dan
dengan susah-payah serta
pertolongan Intan Mela-
ti, dia akhirnya dapat duduk
bersila. Tangan ka-
nannya menekan lutut. Tapi,
tangan kirinya tam-
pak menggantung lemah, karena
tulangnya telah
remuk terhantam tongkat
Tengkorak Kaki Satu.
"Hmm.... Agaknya di Lembah
Batuliman ini
aku akan berpesta
darah...," gumam Tengkorak
Kaki Satu pongah. Kedua matanya
yang amat ce-
kung menatap tajam ke sosok
Pengemis Binal.
Melihat Tengkorak Kaki Satu
telah mema-
sang kuda-kuda, Suropati turut
memasang kuda-
kuda. Walau remaja tampan ini
belum tahu masa-
lah apa yang membuat Tengkorak Kaki
Satu dan
Sawung Permadi menjadi
bermusuhan, tapi diya-
kini kalau lelaki berwajah
mengerikan itu adalah
manusia kejam yang patut
dilenyapkan dari muka
bumi. Maka, begitu Tengkorak
Kaki Satu membu-
ka serangan tak sungkan-sungkan
lagi Suropati
menyambutnya.
Lembah Batuliman kini kembali
menjadi
ajang pertempuran sengit.
Tongkat di tangan Pen-
gemis Binal dan Tengkorak Kaki
Satu sama-sama
berkelebatan, mencari jalan
kematian di tubuh sa-
tu sama lain. Walau Tengkorak
Kaki Satu adalah
orang cacat yang hanya mempunyai
kaki satu, tak
urung membuat kagum Pengemis
Binal melihat
kehebatan jurus-jurusnya.
Sebaliknya, Tengkorak Kaki Satu
pun demi-
kian. Dia tak dapat
menyembunyikan kekagu-
mannya. Suropati yang belum
genap berusia dua
puluh tahun, telah dapat
memperlihatkan kepan-
daian luar biasa!
Pada satu kesempatan, tubuh
Suropati me-
lesat ke atas dengan kedua
tangan terpentang le-
bar. Saat berada di udara, kedua
tangannya dis-
atukan. Telapak tangannya
terbuka menghadap ke
atas. Inilah gerakan 'Pengemis
Meminta Sedekah'
yang memiliki kehebatan tak
terkira. Tongkat bu-
tut yang terjepit jari telunjuk
dan tangan kanan
tampak meluncur, mengarah di
antara dua mata
Tengkorak Kaki Satu.
Tengkorak Kaki Satu terkesiap.
Segera tu-
buhnya berputar hingga membentuk
gulungan si-
nar hitam. Sementara, Pengemis
Binal pun dibuat
terkesiap juga. Lalu...
Blarrr...!
Ujung tongkat Pengemis Binal
membentur
gulungan sinar hitam,
menimbulkan ledakan ke-
ras. Hampir saja tongkat itu
terlepas dari pegan-
gan. Namun tak urung telapak
tangannya terasa
seperti digigit ribuan semut.
"Hmm.... Manusia jahat itu
dapat menyatu-
kan kekuatan ilmu sihir dengan
tenaga dalam," pi-
kir Pengemis Binal. "Akan
ku gempur dulu kekua-
tan ilmu sihirnya dengan
kekuatan ilmu sihir pu-
la...."
Cepat Suropati memusatkan
kekuatan ba-
tinnya pada satu titik.
Dihimpunnya kekuatan si-
hir hasil ajaran mendiang si
Periang Bertangan
Lembut. Kemudian.....
"Lenyap!"
Terdengar bentakan Pengemis
Binal yang
nyaring. Dan dibarengi gedrukan
kaki Suropati,
putaran tubuh Tengkorak Kaki
Satu terhenti. Aki-
batnya, gulungan sinar hitam
beruap hitam le-
nyap.
Melihat lawan berdiri terpaku
karena dihan-
tam keterkejutan, Suropati
segera memanfaatkan
kesempatan ini. Digunakannya
gerak tipu
'Pengemis Menghiba Rembulan'.
Tubuh Pengemis
Binal cepat meluncur ke atas
dengan kedua tela-
pak tangan tengadah di depan
wajah. Gerakan ini
seperti tidak melakukan
serangan. Kehebatannya
memang terletak pada gerak
lanjutannya.
Sementara itu, Tengkorak Kaki
Satu tampak
melentingkan tubuhnya dengan
tongkat terjulur
lurus ke depan. Pada saat itulah
tiba-tiba Suropati
merundukkan tubuhnya. Dalam keadaan masih
melayang di udara, kaki kanannya
bergerak me-
mutar.
Tengkorak Kaki Satu mengira
Suropati hen-
dak mendaratkan tendangan. Maka
tongkatnya
yang gagal menusuk kepala
Suropati kini diguna-
kan untuk mengemplang kaki.
Tapi....
Prak...!
"Wuah...!"
Tengkorak Kaki Satu jatuh
berdebam di ta-
nah. Tulang bahu kanannya remuk
terhantam
tongkat Pengemis Binal. Terbawa
kemarahan yang
meluap, tokoh tua itu jadi
nekat. Tubuhnya kem-
bali melesat cepat dengan ujung
tongkat tertuju ke
jantung.
Tapi, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti telah menggeser
tubuhnya ke samp-
ing kiri. Lalu, dimainkannya
jurus ‘Tongkat Meng-
hajar Maling’.
Prak!
"Aaakh...!"
Sekali lagi jerit kesakitan
keluar dari mulut
Tengkorak Kaki Satu. Punggungnya
terhantam
tongkat Pengemis Binal!
Tubuh Tengkorak Kaki Satu jatuh
bergulin-
gan. Kerudungnya lepas. Saat
berdiri, terlihat ka-
lau kepalanya yang tanpa kulit.
Wajahnya yang se-
ram semakin nampak menyeramkan.
Mendadak,
tokoh tua itu bersuit nyaring.
Lalu....
"Heaaa...!"
Nekat sekali Tengkorak Kaki Satu
mengem-
pos tubuhnya kembali. Sementara
Suropati pun
mengempos tubuhnya untuk
memapaki. Remaja
tampan ini sama sekali tak
menduga kalau Teng-
korak Kaki Satu hanya bermaksud
memecah per-
hatiannya. Karena, pada saat itu
meluncur sosok
bayangan putih dengan ujung pedang mengarah
ke tengkuk Pengemis Binal!
Wuuutt....!
Untung, pada saat yang gawat
berkelebat
sosok bayangan putih lainnya
menyelamatkan
nyawa Pengemis Binal.
Trang!
Tak!
Pedang yang hendak menusuk
tengkuk
Pengemis Binal tertangkis.
Sementara, tongkat
Pengemis Binal berbenturan
dengan tongkat Teng-
korak Kaki Satu.
"Ayah...!"
Sosok bayangan putih yang
ternyata Intan
Melatilah yang memberi
pertolongan kepada Pen-
gemis Binal. Gadis itu berdiri
dengan pandangan
nanar. Di hadapannya, terlihat
lelaki setengah
baya berpakaian serba putih
tengah memandang
tak berkedip. Tangannya yang
memegang sebilah
pedang bergetar seperti
menyimpan kemarahan.
Dia tak lain dari Rama Ludira,
ayah Intan Melati
yang terkena pengaruh ilmu
'Penghilang Akal' mi-
lik Tengkorak Kaki Satu.
"Bunuh gadis di hadapanmu
itu, Ludira!"
perintah Tengkorak Kaki Satu
kemudian.
Sementara Rama Ludira menyerang
pu-
trinya sendiri, Suropati segera
menggempur Teng-
korak Kaki Satu. Pertempuran
yang lebih seru se-
gera berlangsung.
Lewat lima jurus kemudian, Rama
Ludira
berhasil mendesak Intan Melati.
Gadis cantik ini
tak mampu berbuat banyak
menghadapi serangan
maut ayahnya yang sudah lupa
segala-galanya.
"Suro...!" pekik Intan
Melati, seperti hendak
meminta bantuan.
Pengemis Binal yang kala itu
telah berhasil
mendesak lawan, dapat melihat
keadaan Intan Me-
lati yang terancam. Segera
remaja tampan ini me-
loncat ke belakang.
Tengkorak Kaki Satu tak ingin
lawannya le-
pas. Cepat dia mengejar. Sayang,
dia tak tahu ka-
lau Pengemis Binal telah
menghimpun kekuatan
semesta.
Tubuh remaja itu kini
memancarkan cahaya
kebiru-biruan. Inilah salah satu
ilmu andalan Pen-
gemis Binal yang bernama 'Kalbu
Suci Penghem-
pas Sukma' yang diperoleh dari
seorang tokoh tua
bergelar Bayangan Putih Dari
Selatan. Sesaat ke-
mudian....
Blarrr...!
Terdengar suara menggelegar.
Tengkorak
Kaki Satu yang membentur inti
kekuatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
tak dapat lagi
mempertahankan nyawa. Tubuhnya
kontan terlon-
tar dalam keadaan hancur menjadi
potongan-
potongan kecil!
"Bantu aku, Suro...!"
teriak Intan Melati.
Saat itu, pedang Rama Ludira
sudah berke-
lebat cepat hendak menusuk ulu
hati Intan Melati.
Tapi....
"Ohh...?"
Pada waktu nyawa Intan Melati
benar-benar
akan dijemput Malaikat Kematian,
Rama Ludira
menghentikan serangannya
disertai keluhan. Ke-
pala lelaki setengah baya ini
menggeleng-geleng.
Pedangnya lepas terjatuh ke
tanah.
"Intan...!" sebut Rama
Ludira.
"Ayah! Kau telah sadar,
Ayah?!" sambut In-
tan Melati.
"Di manakah kita ini,
Intan?"
Melihat Rama Ludira menebar
pandangan
seperti orang linglung, Intan
Melati segera tahu ka-
lau ayahnya telah terbebas dari
pengaruh ilmu
'Penghilang Akal'. Dan sesungguhnya,
memang
demikian. Kematian Tengkorak
Kaki Satu di tan-
gan Pengemis Binal telah
melenyapkan pengaruh
ilmu 'Penghilang Akal'.
Sewaktu Rama Ludira dan Intan
Melati sal-
ing peluk dalam tangis
kebahagiaan, Pengemis Bi-
nal menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Ketika
remaja ini melihat sosok Sawung
Permadi yang
tengah duduk bersila, segera
dihampirinya. Lalu,
dibantunya kakek itu dalam
menyalurkan hawa
sakti.
***
Dalam siraman sinar mentari
pagi, tiga ekor
kuda tampak berlari pelan keluar
dari Lembah Ba-
tuliman. Yang di depan
ditunggangi dua orang le-
laki. Mereka adalah Sawung
Permadi dan Rama
Ludira
Tangan kiri Sawung Permadi
bergayut di
dada terselempang kain putih. Wajahnya masih
tampak pucat, tapi luka dalamnya
sudah tak
membahayakan jiwanya lagi.
Sementara, Rama
Ludira menopang punggung Ketua
Perguruan Ta-
pak Putih itu agar dapat duduk
tegak
"Apakah kau hendak kembali
ke Pulau Ka-
rang?" tanya Suropati yang
berkuda di sisi kanan
Intan Melati.
"Tidak. Sejak peristiwa berdarah
itu, kupikir
Pulau Karang bukan lagi tempat
yang menyenang-
kan," jawab Intan Melati.
Agaknya gadis ini sudah
tak marah lagi pada Suropati.
"Lalu, kau mau ke
mana?" tanya Suropati.
"Terserah ke mana Ayah
mengajak."
"Tidak ingin ikut denganku?"
"Ke mana?"
"Ke mana?" ulang
Suropati. "Yang jelas bu-
kan ke neraka."
Intan Melati tersenyum.
Tanpa sepengetahuan Rama Ludira
dan
Sawung Permadi, gadis ini
meloncat dari punggung
kuda.
Suropati berlaku serupa.
Sementara kuda
kedua lelaki itu terus berlari,
Intan Melati dan Su-
ropati saling berpelukan. Mereka
berciuman. La-
ma... sekali.
SELESAI
Segera terbit episode:
PEWARIS MUSTIKA API
Emoticon