PEMBERONTAKAN SUBANDIRA
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Pemberontakan Subandria
128 hal.
1
Setelah mengetahui ayahnya
bersekongkol
dengan I Halu Rakryan Subandira
untuk membe-
rontak terhadap Prabu Singgalang
Manjunjung
Langit, timbul rasa sedih dalam
diri Saka Pur-
dianta atau Dewa Guntur. Rasa
sedih itu bercam-
pur dengan kekecewaan. Karena,
orangtua yang
selama ini disanjung-sanjungnya
ternyata mem-
punyai perangai buruk, tidak
seperti yang ia kira.
Kedudukan ayahnya sebagai
seorang tumenggung
masih dirasa kurang tinggi.
Kalau ini dijadikan alasan
melakukan
pemberontakan terhadap Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit, alangkah tidak
berbudinya ayah
Saka Purdianta. Bukankah dengan
menjadi orang
nomor satu di Katumenggungan
Lemah Abang
sudah merupakan suatu kehormatan
yang tidak
setiap orang dapat memilikinya?
"Ah...," desah Saka
Purdianta. "Sudah ke-
palang basah aku jadi orang
jahat. Satu lagi sebu-
tan untukku sebagai anak
durhaka. Biarlah bumi
menelanku dan langit menimbunku,
Dewa Gun-
tur pantang berbelok
keyakinan!"
Langkah kaki pemuda tampan ini
memba-
wanya ke sebuah hutan kecil, tak
seberapa jauh
dari pusat pemerintah
Katumenggungan Lemah
Abang. Pakaiannya yang berwarna
coklat dengan
garis-garis hitam tampak sobek
di sana-sini oleh
sayatan semak-belukar. Namun,
Saka Purdianta
tak ambil peduli. Kakinya terus
melangkah.
"Menyesal aku telah melukai
Anggraini Su-
listya di geladak Kapal
Rajawali. Walau Jarum
Mati Sekejap tidak kutujukan
pada dirinya, tapi
putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu te-
lah menderita luka dalam yang
cukup parah...,"
kata hati Dewa Guntur.
"Hmmm.... Sejak peristiwa
naas itu aku tak
pernah berjumpa lagi dengannya.
Namun, fira-
satku mengatakan dia masih
hidup, seperti hal-
nya dengan Suropati yang juga
terkena Racun Ja-
rum Mati Sekejap...."
Kepala Saka Purdianta
menengadah. Dita-
tapnya langit cerah nun jauh di
sana. Gumpalan
awan perak mengabut, tertembus
sinar matahari.
Tampak seperti tebaran kapas.
Alangkah terke-
jutnya Saka Purdianta ketika
dari balik gumpalan
awan melesat titik hitam menuju
ke arahnya!
"Aih...!"
Dewa Guntur segera melempar
tubuhnya
ke samping kanan. Benda hitam
yang tadi dili-
hatnya seperti hendak mencaplok
kepala. Belum
hilang keterkejutan pemuda
tampan ini, gelom-
bang angin besar meluruk dari
arah belakang.
"Setan alas!" maki
Dewa Guntur sambil
melempar kembali tubuhnya.
"Ha ha ha...! Wajah keruh
menandakan ha-
ti yang galau. Alangkah bodohnya
manusia. Kesu-
litan adalah bagian dari hidup.
Kenapa mesti di-
pikirkan terlalu jauh. Karena,
selamanya manusia
tak mungkin lepas dari
kesulitan."
Saka Purdianta menebarkan
pandangan.
Hingga dia berdiri
berputar-putar, pemilik suara
itu tak juga didapatkan. Kerut
di kening pemuda
tampan ini semakin terlihat
jelas. Raut wajahnya
tampak menegang.
"Hei, Penyerang
Gelap!" teriak Saka Pur-
dianta lantang. "Adab dan
sopan santun rimba
persilatan kenapa mesti
ditinggalkan? Kau me-
nyerang, gembar-gembor, lalu
bersembunyi! Apa-
kah ini tindakan yang
menunjukkan kesopanan?"
Dewa Guntur menunggu sejenak
untuk
memperoleh tanggapan atas
kata-katanya. Dita-
riknya napas panjang sebelum
dihembuskan den-
gan deras. Dia mengumpat dalam
hati. Orang
yang baru saja membokongnya tak
juga mau me-
nampakkan diri.
"Dewa Guntur mengucapkan
terima kasih
atas segala peradatan yang kau
tunjukkan, Orang
Edan! Membuat gara-gara dengan
Dewa Guntur
sama halnya menyulut api di
jantung sendiri!"
Tanpa mau peduli lagi pada
keadaan seke-
lilingnya, Saka Purdianta
kembali melangkah.
Namun pandangan matanya kini
terlihat penuh
kewaspadaan. Sesampainya di tanah datar yang
agak lapang, Saka Purdianta
menghentikan lang-
kah. Tubuhnya yang tegap berdiri
tegak dengan
pandangan lurus ke depan.
"Ha ha ha...! Setelah
menerima salam per-
kenalan, kenapa kau tidak segera
menuju ke ma-
ri? Apakah kau mengira burung
gagak raksasa,
gelombang angin, dan si pemilik
suara masih di
sana? Kalau memang semua ini
benar, alangkah
lucunya. Ha ha ha...! Penampilan
lahir tampak
pandai, tapi cuma kebodohan yang
ada di dalam-
nya...."
Dada Dewa Guntur bergemuruh
menahan
kemarahan. Giginya
bergemelutukkan, hingga ra-
hangnya menggembung berbentuk
segi empat.
Dengan pandangan tajam
ditatapnya orang yang
barusan mengumbar kata-kata.
Di bawah kerindangan pohon besar
tampak
duduk bersila seorang
lelaki setengah baya. Tu-
buhnya yang ditopang sebongkah
batu besar keli-
hatan kokoh kuat, terbungkus
pakaian ketat ber-
warna putih. Ada selampir kain
hijau di pundak-
nya. Bukan selendang, karena
lebih kecil dan
pendek.
Wajah orang itu halus. Di atas
alis mata
kanannya terdapat bekas luka
kecil sepanjang jari
kelingking. Yang menjadikan penampilan
orang
itu tampak angker adalah adanya
seekor burung
gagak besar. Saka Purdianta
menduga burung
gagak raksasa yang tadi hampir
mencaplok kepa-
lanya. Maka, meledaklah amarah
Dewa Guntur.
"Hei, Orang Asing yang tak
tahu sopan-
santun!" dengus Saka
Purdianta. "Aku tidak tahu
siapa dirimu. Aku pun tidak tahu
apa maumu.
Namun menilik sikapmu, aku bisa
memastikan
kau tak lebih dari anjing kurap
sok pandai yang
layak untuk digebuki!"
Mendengar makian Dewa Guntur,
orang
berpakaian putih malah tertawa
terbahak-bahak.
Dia kemudian menjentikkan ujung
jari kirinya ke
arah gagak besar. Timbul suara
bersuit nyaring.
Gagak besar mendongakkan kepala,
lalu melesat
cepat
"Kaaakkk...!"
"Kurang ajar...!"
Suara nyaring yang keluar dari
mulut ga-
gak besar ditimpali makian Dewa
Guntur. Pemu-
da tampan ini segera mengegos ke
samping kiri.
Lalu, dengan kibasan telapak
tangan kanan yang
dialiri tenaga dalam penuh,
hendak dipapakinya
luncuran tubuh gagak besar.
"Kaaakkk...!"
Cepat sekali gerakan burung
gagak. Tu-
buhnya yang hitam kelam
melenting ke atas, lalu
menukik hendak mencaplok kepala
Dewa Guntur.
"Kentut busuk! Salam
perkenalanmu kute-
rima!" ujar Saka Purdianta
seraya merundukkan
tubuh. Serangan gagak besar pun
gagal. Sebelum
satwa perkasa itu mengawali lagi
serangannya,
Saka Purdianta telah mengirimkan
pukulan jarak
jauh.
Saat itu juga terdengar gemuruh
angin
kencang. Di langit muncul suara
ledakan yang
memekakkan gendang telinga.
Orang berpakaian
putih yang masih duduk bersila
terkejut bukan
main. Tanpa sadar dia meloncat
bangkit.
"Monyet busuk!"
Orang berpakaian putih memandang
wajah
Dewa Guntur dengan sinar mata
berkilat. Sekitar
lima tombak dari tempatnya
berdiri, bertebaran
serpihan daging berbau anyir.
Sementara di ang-
kasa beterbangan bulu hitam dari
tubuh gagak
besar yang telah menemui ajal.
"Ha ha ha...!" Dewa
Guntur mengeluarkan
tawa ejekan. "Salam
perkenalan dari gagak naas-
mu sudah kuterima dengan baik.
Kenapa wajah-
mu malah mengelam, Sahabat?
Apakah salah bila
kekerasan dibalas dengan
kekerasan? Satwa peli-
haraanmu sudah layak mati,
karena kesalahan-
mu sendiri!"
"Saka Purdianta!"
sebut orang berpakaian
putih. "Aku menemuimu bukan
hendak membuat
permusuhan...."
"Ha ha ha...!" Dewa
Guntur memotong
ucapan itu dengan tawanya yang
nyaring. "Kau
tahu siapa diriku. Kukira kau
pun tahu kemam-
puanku. Tapi dengan menyuruh
satwa peliha-
raanmu menyerangku, itu sama
saja dengan me-
nunjukkan kemampuan otakmu yang
tak lebih
cakap dari seekor kerbau!"
Wajah orang berpakaian putih
semakin
merah-padam. Kata-kata Dewa
Guntur sangat
menusuk perasaan. Namun,
dicobanya untuk
bersikap wajar.
Senyum tipis tampak di bibirnya.
"Hei, Saka!" ujar
lelaki itu sambil membu-
sungkan dada. "Kata-katamu
memang pedas di
telinga. Wajar saja bila kau
menunjukkan kebe-
ranianmu. Kau belum tahu siapa
aku...."
Dewa Guntur tersenyum sinis.
"Tidakkah
kau pernah mendengar bicara
orang? Dewa Gun-
tur tak punya rasa takut. Dewa
Guntur berhati
baja dan pantang menyerah. Walau
kau menye-
but nama dan gelar segala iblis,
Dewa Guntur tak
akan gentar! Apalagi kau telah
menunjukkan sifat
picik dan culas. Mana mungkin
Dewa Guntur ciut
nyalinya. Justru kepalan tangan
ini akan meme-
cahkan batok kepalamu!"
Tepat di ujung kalimatnya, Saka
Purdianta
mengepalkan jari tangan kanan.
Dan ketika dis-
orongkan ke depan, gumpalan
sinar kelabu melu-
ruk begitu cepat.
Wuuusss...!
Orang berpakaian putih tersenyum
tipis.
Tanpa bergerak sedikit pun, ditadahinya
pukulan
jarak jauh Dewa Guntur.
Blaaarrr...!
Saka Purdianta terkesiap.
Terheran-heran
dipandangnya sosok lelaki
setengah baya yang
berdiri lima tombak di
hadapannya. Dada orang
itu jelas terhantam telak
pukulan jarak jauh mi-
liknya. Tapi, bagaimana mungkin
orang berpa-
kaian putih tak mengalami
apa-apa. Bahkan ber-
geming dari tempatnya pun tidak.
Sewaktu Saka Purdianta masih
terbawa ra-
sa heran, orang berpakaian putih
tertawa berge-
lak penuh kemenangan. "Ha
ha ha...! Kenapa he-
ran melihat kemampuanku. Itu
menunjukkan
Dewa Guntur kurang
pengalaman!"
"Tutup mulutmu!" geram
Saka Purdianta.
"Di balik bau busuk
kata-katamu, ada tersimpan
sedikit kepandaian. Sebutkan
nama dan gelarmu
sebelum kita mengawali sebuah
persahabatan
atau permusuhan!"
Orang berpakaian putih mengusap
bajunya
yang masih mengepulkan asap.
Kembali senyum
tipis diperlihatkan.
"Dari semula aku sudah
katakan kalau aku
bukan hendak membuat permusuhan.
Hanya,
mungkin caraku yang keliru sehingga membuat
darahmu naik, Saka...."
"Jangan bertele-tele!"
sela Dewa Guntur.
"Aku tak punya waktu untuk
menghadapi urusan
sepele. Segera sebutkan nama dan
gelarmu. Apa-
bila kau punya urusan, lain kali
bisa menemui
aku lagi. Sekarang aku
benar-benar menghargai
waktu!"
"Ah, kiranya Dewa Guntur
kini orang yang
sibuk. Bukan maksud hatiku untuk
menyita wak-
tumu. Aku bernama Karma Salodra,
dan bergelar
Malaikat Baju Putih. Sebenarnya
aku datang ke-
padamu bukan atas kemauan
pribadiku. Aku da-
tang atas perintah
junjunganku...."
"Siapa junjunganmu
itu?" tanya Dewa
Guntur tak sabar.
"Tumenggung Sangga
Percona."
Saka Purdianta tertegun.
Tumenggung
Sangga Percona adalah ayah
kandungnya. Dan,
Saka Purdianta tidak mengenali
orang yang me-
nyebut dirinya Karma Salodra
atau Malaikat Baju
Putih. Tapi, kenapa dia
mengatakan sebagai
orang suruhan ayahnya?
"Jangan main-main,
Salodra!" bentak Dewa
Guntur. "Ayahku tidak punya
orang suruhan se-
perti dirimu. Semua pembantu
ayahku selalu ber-
sikap hormat kepadaku, sedang
kau tidak!"
"Ha ha ha...!" Karma
Salodra tertawa keras.
"Aku bukan pembantu ayahmu,
Saka. Kalau aku
mau membantu ayahmu, itu karena
diberi imba-
lan besar...."
"Keparat!" umpat Dewa
Guntur. "Dasar
orang tak berguna. Menjual tenaga
dan kemam-
puan hanya untuk harta
dunia!"
"Justru aku ini sangat
berguna, Saka.
Ayahmu tahu betul hal
ini..."
"Jangan lagi banyak bacot!
Segera katakan
mengapa ayahku menyuruh orang
culas seperti-
mu untuk menemuiku!"
Malaikat Baju Putih menarik napas pan-
jang. Sikapnya tampak tenang
sekali. Setelah be-
berapa tarikan napas, dia tak
juga membuka sua-
ra. Tentu saja Saka Purdianta
menjadi penasaran.
"Enyahlah kau dari
hadapanku bila mu-
lutmu tak bisa bicara!"
bentak Dewa Guntur, ge-
ram.
"Sabarlah, Saka...,"
ujar Karma Salodra
lembut. "Terlalu
tergesa-gesa itu tidak baik. Seha-
rusnya kau tahu makna ujar-ujar
orang dahulu,
bahwa di mana pun kaki berpijak,
di sanalah lan-
git dijunjung."
"Aku tak butuh nasihat, Orang
Edan!" ma-
ki Saka Purdianta. "Segera
katakan apa kemauan
ayahku, atau kau akan menyesal
karena tak da-
pat menjumpai Dewa Guntur
lagi!"
"Baiklah kalau begitu,
Saka...," kata Malai-
kat Baju Putih. "Aku datang
ke hadapan Dewa
Guntur untuk meminta Kitab
Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi."
Mendelik mata Saka Purdianta
mendengar
penuturan Karma Salodra.
"Tak mungkin...," bisik
Saka Purdianta dalam hati.
"Hei! Kenapa kau malah
terbengong-
bengong macam kerbau sakit
ingatan?" ejek Ma-
laikat Baju Putih melihat Dewa
Guntur berdiri
terpaku di tempatnya.
"Sedikit pun aku tak
mempercayai kata-
katamu!" ujar Saka
Purdianta.
Senyum tipis mengembang ke bibir
Karma
Salodra.
"Apa perlunya aku berbohong
kepadamu.
Ayahmu memang menyuruhku untuk
meminta
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
yang di balik
bajumu...," sambil berkata
demikian, pandangan
lelaki setengah baya ini tertuju
pada bagian yang
menonjol di pinggang Saka
Purdianta. Memang, di
balik baju Saka Purdianta
terselip Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi (Tentang
asal-usul Saka
Purdianta mendapatkan kitab ini,
baca episode :
"Dendam Ratu Air").
Dewa Guntur tetap berdiri
terpaku. Melihat
itu, Malaikat Baju Putih segera
menyambung
ucapannya.
"Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi seba-
gian berisi siasat dan strategi
perang. Karena kau
tak mau membantu perjuangan
ayahmu, maka
Tumenggung Sangga Percona
menginginkan kitab
itu. Saat ini penghalang paling
berbahaya bagi ci-
ta-cita Tumenggung Sangga
Percona adalah pu-
tranya sendiri. Tiada lain kau,
Saka Purdianta!"
Mengelam paras Dewa Guntur
mendengar
tudingan Malaikat Baju Pulih.
"Berani benar kau
berkata seperti itu!"
bentaknya. Namun sebelum
pemuda tampan ini menyambung
ucapannya.
Karma Salodra keburu menyela.
"Ha ha ha...! Cita-cita
memang perlu se-
tinggi langit. Semua orang pun
tahu bila semakin
tinggi cita-cita, semakin besar
pengorbanan yang
diperlukan. Dan, Tumenggung
Sangga Percona
tahu benar akan hal itu.
Karenanya, bila kau in-
gin jasadmu mempunyai jiwa,
segera serahkan Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi.
Bila kau meno-
lak permintaan, ini, Tumenggung
Sangga Percona
telah menyerahkan segala
sesuatunya kepadaku.
Itu berarti aku mempunyai kuasa
untuk berbuat
apa saja kepadamu!"
"Bangsat!" umpat Dewa
Guntur penuh lua-
pan kemarahan.
Pemuda tampan yang keras kepala
ini se-
gera memasang kuda-kuda.
Kedudukan kaki ka-
nannya digeser ke samping.
Kemudian, dengan
badan sedikit berjongkok
ditariknya kedua tangan
ke belakang.
"Heaaah...!"
Gelombang angin dahsyat meluncur
cepat
dari kedua telapak tangan Saka
Purdianta yang
disorongkan ke depan. Inilah
salah satu ilmu an-
dalannya yang bernama 'Tapak
Dewa Guntur Sa-
tukan Badai'. Kehebatannya tidak
dapat disang-
kal lagi. Gemuruh angin yang
ditimbulkan laksa-
na suara geledek.
Ketika gelombang angin dahsyat
menghan-
tam tubuhnya, Malaikat Baju
Putih telah me-
nyiapkan ilmu untuk memperberat
tubuh. Sambil
membuka kedua telapak tangan di
depan dada,
kaki kanannya ditarik ke
belakang. Lalu....
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar di
angkasa.
Tanah tempat Dewa Guntur dan
Malaikat Baju
Putih berpijak terasa
berguncang. Dan, tiba-tiba
saja langit yang semula cerah
berubah gelap-
pekat. Keadaan ini terjadi
karena gumpalan tanah
bercampur bebatuan beterbangan
ke atas. Bah-
kan, beberapa pohon besar
tercabut hingga ke
akar-akar dan melayang tinggi ke
angkasa.
Saat keadaan telah kembali
seperti semula,
permukaan tanah tampak tak
karuan. Banyak
terdapat kubangan-kubangan
dalam, sementara
di sekitarnya batang-batang
pohon besar rebah
melintang. Dewa Guntur dan
Malaikat Baju Putih
tetap berdiri di tempatnya.
Kedua orang ini saling
bertatapan dengan sorot mata
tajam bak sebilah
pedang. Wajah mereka pun
sama-sama tegang.
Dewa Guntur terlihat menyeringai dingin, se-
dangkan Malaikat, Baju Putih
mengatupkan gigi
kuat-kuat
"Kiranya nama besar Dewa
Guntur bukan
isapan jempol belaka...,"
puji Karma Salodra.
"Hmm... Walau aku baru
mengenalmu per-
tama kali ini, tapi aku bisa
merasakan keheba-
tanmu. Namun tak hendak aku
memberikan ka-
ta-kata pujian. Di antara kita
telah terpaut be-
nang permusuhan!"
"Kalau kau menganggap
diriku sebagai
musuh, tidak menjadi apa, Saka.
Tapi kau harus
tahu bahwa aku ini hanyalah
orang upahan. Aku
mesti menjalankan perintah
tuanku."
"Apa bedanya kau hendak
membuat per-
musuhan denganku atau tidak. Kau
telah mem-
buat pertentangan
denganku?!" sahut Saka Pur-
dianta.
"Baik! Apa pun tanggapanmu,
aku tetap
pada tujuanku semula. Serahkan
Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi!" Karma
Salodra rupanya
sudah kehabisan kesabaran.
"Seujung rambut pun tak ada
niat dalam
hatiku untuk melepaskan kitab
warisan Panglima
Pranasutra!"
"Kalau begitu, jangan
salahkan aku bila
terjadi apa-apa! Sekarang
sebutkan apa maumu
sebelum pintu gerbang neraka
menyambut keda-
tanganmu!" ujar Malaikat
Baju Putih seraya men-
cabut sebilah pedang pendek dari
balik bajunya.
Tertimpa sinar matahari, bilah
pedang itu me-
mantulkan kilatan-kilatan cahaya
yang menya-
kitkan mata.
"Hmm.... Kiranya kau telah
siap untuk
memaksaku. Seperti katamu,
baiklah aku akan
menyampaikan kemauanku terlebih
dahulu sebe-
lum kita bertarung...,"
ucap Saka Purdianta tanpa
mengalihkan pandangan dari wajah
Karma Salo-
dra.
"Apa?"
"Tusuklah jantungmu dengan
pedang yang
kau bawa!"
"Baik!"
Kesanggupan itu dikatakan Karma
Salodra
tanpa pikir panjang lagi.
Dicengkeramnya gagang
pedang dengan kedua tangan.
Lalu, ditariknya bi-
lah pedang itu di depan dada
dengan ujung lurus
tertuju ke jantung. Tampaknya
dia benar-benar
hendak menusuk jantungnya
sendiri!
Jrep...!
Mata Saka Purdianta mendelik.
Bagaimana
mungkin Malaikat Baju Putih
melakukan tinda-
kan sebodoh itu? Bunuh diri
dengan menikam
jantung sendiri.
Keterkejutan yang menghantam
Dewa
Guntur semakin bertambah tatkala
melihat tubuh
Malaikat Baju Putih tak juga
roboh ke tanah, pa-
dahal darah mengalir demikian
deras. Sebelum
Saka Purdianta sempat menyadari
keadaan, ter-
dengar suara berdesing yang
dibarengi kelebatan
bayangan putih.
Dewa Guntur tampak linglung. Tak
tahu
apa sesungguhnya yang terjadi.
Dan ketika akal
sehatnya telah kembali, dia
meraba bajunya yang
robek sejengkal Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke
Bumi telah lenyap!
Saka Purdianta menebar
pandangan. So-
sok Malaikat Baju Putih tak lagi
berada di tem-
patnya. Dia lenyap bagai ditelan
bumi.
"Sihir...!" desis Dewa
Guntur. Tak ada kata-
kata yang dapat diucapkan lagi
selain sumpah se-
rapah.
2
Suropati berdiri termangu.
Anggraini Sulis-
tya terlihat menggandeng
tangannya untuk diajak
memasuki lorong bawah tanah.
Tapi, kaki remaja
tampan berpakaian putih penuh
tambalan itu tak
juga melangkah. Matanya terus
memandang ke
bawah, hanya kegelapan yang
didapat. Sementara
Raka Maruta yang berdiri di
belakangnya mende-
sah terus. Entah apa yang
dipikirkan pemuda
bergelar Pendekar Kipas Terbang
itu.
"Ayolah, Suro...,"
ajak Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya Sakti.
"Kenapa kau ragu? Bu-
kankah kita hendak menghadap
Ayahanda Pra-
bu?"
"Iya. Tapi..., kenapa
beliau berada di tem-
pat seperti ini?" tolak
Suropati atau Pengemis Bi-
nal. Hati remaja tampan yang
sering berperilaku
konyol ini masih diselimuti
keraguan.
"Aduh, Suro! Kau ini bodoh
benar!" gerutu
Anggraini Sulistya. Pegangan
tangannya ditepis
oleh Pengemis Binal.
"Bukankah sudah kukata-
kan kalau Ayahanda Prabu
kusembunyikan di lo-
rong bawah tanah karena
keberadaan sangat ti-
dak memungkinkan. Kenapa semakin
hari kau
bertambah bodoh saja? Di negeri
Pasir Luhur ini
telah bercokol pasukan
pemberontak...."
"Aku sudah tahu!" sela
Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, kenapa kau menolak
kuajak meng-
hadap Ayahanda Prabu?"
"Bukannya aku menolak. Aku
hanya ragu,
apakah benar aku ini putra Prabu
Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Kenapa kau masih saja
menyangsikan hal
itu, Suro? Di punggung kirimu
terdapat toh yang
menandakan kau adalah adik
kandungku. Kau
putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang
hilang ketika masih bayi."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepa-
lanya lagi. Kali ini diikuti
dengan hidungnya yang
berkernyit. Ingatannya melayang
pada peristiwa
di geladak Kapal Rajawali. Di
sanalah Anggraini
Sulistya mendapat keyakinan,
Suropati adalah
putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit (Ten-
tang cerita ini, silakan baca
episode : "Cinta Ber-
noda Darah").
"Sebaiknya kita turuti
ajakan Anggraini Su-
listya, Suro...," cetus
Pendekar Kipas Terbang
yang sedari tadi diam saja.
Dalam keremangan cahaya,
Suropati me-
malingkan wajah untuk menatap
Raka Maruta.
Pemuda berwajah lembut itu
cepat-cepat menun-
dukkan kepala ketika Putri
Cahaya Sakti turut
menatap ke arahnya.
"He he he...," kekeh
Pengemis Binal. "Ru-
panya hatimu telah tercuri
Anggraini Sulistya,
Maruta..."
"Hush...! Jangan bicara
sembarangan, Su-
ro!" sergap Anggraini
Sulistya sambil mencekal
lengan Pengemis Binal. Kepala
Raka Maruta se-
makin tertunduk. Tebakan
Suropati sanggup me-
nerbangkan keberaniannya untuk bersitatap
den-
gan Putri Cahaya Sakti.
Sambil tersenyum-senyum,
Pengemis Binal
menurunkan kaki kanannya ke
pintu ruang ba-
wah tanah. Setindak-dua tindak
akhirnya dia be-
nar-benar memasuki ruangan itu.
Sebentar saja
sosok Pengemis Binal telah
hilang. Anggraini Su-
listya malah tak beranjak dari
tempatnya berdiri.
Dalam hati gadis cantik putri
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit ini tertawa
geli. Ia melihat Ra-
ka Maruta belum juga
mendongakkan kepala.
"Pendekar budiman yang
tampan rupa-
wan...," bisik Putri Cahaya
Sakti dalam hati.
"Sayang, dia sangat
pemalu."
"Hoiii...!"
Tiba-tiba dari arah ruangan
bawah tanah
terdengar teriakan. Anggraini
Sulistya dan Raka
Maruta tersentak. Suara yang
terdengar menya-
darkan mereka untuk mengikuti langkah
Suropa-
ti.
"Ayolah, Maruta...,"
ajak Putri Cahaya Sak-
ti. Kaki kanannya sudah meniti
tangga batu yang
menuju ke bawah. Mau tak mau
Raka Maruta
pun mengikuti.
Anggraini Sulistya dan Raka
Maruta hanya
membutuhkan sepuluh langkah
untuk dapat me-
nyusul Suropati. Kiranya, remaja
tampan Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu
sengaja menunggu kemunculan
mereka.
Ketika anak tangga yang menuju
ke bawah
telah mereka lalui, jalan di
depan berbelok ke kiri.
Gelap tak lagi menyelimuti. Pada
dinding-dinding
lorong terdapat cahaya yang
berasal dari nyala api
obor. Dengan mengikuti kelokan
jalan inilah ak-
hirnya ketiga muda-mudi itu
sampai di sebuah
ruangan lebar berlantai marmer.
Ruangan itu ter-
nyata buntu. Anggraini Sulistya
menyenggol len-
gan Suropati yang berdiri
keheranan.
"Bila sedang bingung
wajahmu jadi mirip
monyet kena sumpit!" ejek
Putri Cahaya Sakti.
Suropati hanya menggaruk-garuk
kepa-
lanya sambil nyengir kuda.
Ditebarkannya pan-
dangan. Hampir seluruh ruangan
dipenuhi ba-
rang-barang istana yang sudah
tak berguna.
"Orang-orang di istana
hanya tahu tempat
ini gudang bawah tanah...,"
jelas Anggraini Sulis-
tya. "Tapi tidak semua
orang tahu bila di bawah
gudang ini terdapat sebuah
ruangan."
"Ruang rahasia?" tebak
Pengemis Binal.
"Ya," Anggraini
Sulistya menganggukkan
kepalanya.
"Jadi, Prabu Singgalang
Manjunjung Langit
dan Permaisuri Sekar Tunjung
Biru berada di ba-
wah lantai manner ini?"
Kembali Anggraini Sulistya
mengangguk.
"Maka dari itu, sebelum aku
mengajakmu dan
Raka Maruta datang ke tempat
ini, aku telah me-
mastikan tidak ada orang yang
mengikuti kita."
Pengemis Binal
mengangguk-angguk. Raka
Maruta menatap wajah Anggraini
Sulistya lewat
sudut mata. Sayang, gerakan yang
sangat rahasia
itu berhasil diketahui oleh
Suropati.
"He he he...,"
Suropati tertawa terkekeh.
"Kebesaran nama Pendekar
Kipas Terbang ki-
ranya tiada berarti ketika
berdekatan dengan seo-
rang gadis cantik."
Mendengar sindiran Suropati,
Pendekar Ki-
pas Terbang cuma mengeluh dalam
hati. Mulut-
nya tetap terkunci rapat.
Anggraini Sulistya berdi-
ri tampak acuh tak acuh. Gadis
berpakaian sute-
ra putih itu melangkah ke salah
satu sudut ruan-
gan. Setelah menyingkirkan
beberapa kotak kayu
yang menutupi lantai, dia
melambaikan tangan-
nya.
"Kemarilah...," ajak
Anggraini Sulistya ke-
pada Suropati dan Raka Maruta.
Kedua pendekar muda itu segera
mende-
kat. Anggraini Sulistya
menginjak tonjolan batu
kecil yang terdapat di lantai. Suropati dan Raka
Maruta merasakan lantai tempat
kaki mereka
berpijak bergetar. Sebelum
mereka sempat men-
duga apa yang akan terjadi,
tubuh ketiga orang
muda itu terjeblos ke bawah!
Ketiganya mampu
mendarat di lantai ruang rahasia
dengan kedudu-
kan tetap berdiri.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru
yang berada di
ruang rahasia terkejut melihat
kehadiran
Anggraini Sulistya dan kedua
kawan lelakinya.
"Aini...," panggil
Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit.
Baginda Raja langsung bangkit
dari tempat
duduknya. Diikuti oleh
permaisuri. Wanita seten-
gah baya yang masih menampakkan
kecantikan-
nya ini segera memeluk Anggraini
Sulistya.
"Kau datang bersama siapa.
Aini?" tanya
permaisuri setengah berbisik.
Putri Cahaya Sakti melepas
pelukan
ibunya. Ditatapnya wajah wanita
setengah baya
itu lekat-lekat. Sebentar
kemudian, pandangan-
nya beralih pada sosok Suropati.
"Apakah Ibunda Sekar
Tunjung Biru masih
merindukan putra Ibu yang hilang
ketika masih
bayi?" tanya Anggraini
Sulistya dengan tatapan
tetap tertuju pada Suropati.
"Apa maksud pertanyaanmu
ini, Aini?"
Permaisuri balik bertanya.
"Jawablah pertanyaanku
dulu, Ibu." Per-
maisuri menatap lekat wajah
putrinya.
"Ibu dan anak mempunyai
ikatan batin
yang tak mungkin dapat
dipisahkan...," katanya.
"Seandainya putra Ibu yang
hilang itu
kembali, apakah Ibu akan merasa
bahagia?"
"Tentu saja,
Anakku...."
Bibir Anggraini Sulistya
mengembangkan
senyum. "Lihatlah dia,
Ibu...," pintanya sambil
menunjuk ke arah Suropati.
Kening ibunda Anggraini Sulistya
tampak
berkerut. Sesaat degup
jantungnya mengencang.
"Kau..., kau anakku?"
desisnya hampir tak ke-
dengaran.
Suropati cuma menggaruk-garuk
kepala.
Namun, remaja konyol ini tak
dapat menipu diri
sendiri. Ada getar-getar aneh
yang memerintah-
kannya untuk segera berlutut ke
hadapan Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit yang
sejak tadi tak pernah lepas
memperhatikan sosok
Pengemis Binal terdengar
mendehem. Lalu, tan-
gan kanannya melambai ke arah
pemuda konyol
itu.
"Kemarilah...."
Mendengar titah sang Raja,
Suropati segera
melangkah empat tindak.
Gerakannya tampak
konyol dan terkesan tidak menghormat. Namun
begitu berada di dekat sang
Raja, dia menjatuh-
kan diri untuk berlutut.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit men-
gelus rambut Pengemis Binal.
"Buka bajumu...,"
pintanya kemudian.
Suropati menurut saja. Begitu
bajunya ter-
lepas, tak berkedip mata sang
Raja menatap toh
di punggung kiri Suropati. Kalau
penguasa negeri
Pasir Luhur ini masih dapat
mengendalikan pera-
saan, lain halnya dengan
Permaisuri Sekar Tun-
jung Biru. Dia langsung
berhambur memeluk Su-
ropati, dan menangis
tersedu-sedu.
"Anakku....
Anakku...," isak permaisuri be-
rulang-ulang.
Ada dorongan dalam hatinya yang
mem-
buat Suropati tak dapat menolak
keinginan itu.
Dorongan yang begitu kuat
sehingga Suropati tak
dapat menguasai diri. Dibalasnya
pelukan Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru.
Mendengar sedu-
sedan wanita itu, butiran
mutiara bening menitik
dari sudut mata Suropati. Hilang
sudah semua
kekonyolannya. Yang ada hanyalah
rasa bahagia
bercampur haru yang sangat
"Ibu...," bisik
Pengemis Binal setelah me-
longgarkan pelukan. Ditatapnya
wajah Permaisuri
Sekar Tunjung Biru, lalu
dipeluknya lagi semakin
erat. Kembali mereka
bertangisan.
Di kursi yang terbuat dari kayu
jati seder-
hana, Prabu Singgalang
Manjunjung Langit tak
kuasa pula menahan perasaan.
Walau dia tak be-
ranjak dari tempat duduk, tapi
pandangan ma-
tanya menggambarkan sebuah
pelukan mesra.
Wajah Anggraini Sulistya tampak
meme-
rah. Sedari tadi air matanya
telah mengalir. Raka
Maruta pun merasakan keharuan
yang sangat.
Pemuda berwajah lembut yang
sangat pemalu itu
tampak berusaha keras menahan
jatuhnya air
mata.
***
Di depan pintu yang menuju
lorong bawah
tanah, Ingkanputri atau Dewi
Baju Merah tampak
berjaga-jaga. Dia berdiri tegak
di ambang pintu
dengan tangan bersedekap. Ruang
tempatnya be-
rada itu jarang dijamah orang.
Hanya beberapa
pelayan yang bertugas
memindahkan barang-
barang tak terpakai yang sering
memasuki tempat
tersebut Ingkanputri melihat dua
orang prajurit
menghampiri tempatnya berada.
Menurut penu-
turan Anggraini Sulistya, hampir
semua orang is-
tana tak dapat dipercayai lagi,
termasuk para pra-
jurit. Itu berarti nyawa sang
Raja beserta orang-
orang yang bersamanya di ruang
rahasia berada
di tangan Ingkanputri.
"Ah, bukankah Nona sahabat
Tuan Putri
Anggraini Sulistya?" sapa
prajurit bertubuh jang-
kung.
"Benar," angguk
Ingkanputri.
"Kenapa Nona berada di
tempat ini? Dan,
di nana pula Tuan Putri?"
tanya prajurit berkumis
tebal.
Kening Dewi Baju Merah berkerut.
Dia
tampak berpikir. Karena tak
menemukan alasan
untuk menjawab pertanyaan itu.
Ingkanputri ba-
lik bertanya. "Kau sendiri
mengapa berada di
tempat ini, Prajurit?"
"Saya sedang jaga
berkeliling, Nona. Bu-
kankah Nona tahu di istana telah
bercokol ba-
nyak pemberontak?"
"Hmm.... Benar
begitu?"
"Nona mencurigai
kami?" tanya prajurit
jangkung sambil menatap tajam
wajah Dewi Baju
Merah. Gadis cantik itu jadi
jengah dan sedikit
tersinggung. Sebagai sahabat
putri raja, dia me-
rasa diperlakukan tak hormat
"Aku tidak suka tatapan
matamu, Prajurit!"
bentak Ingkanputri.
Prajurit jangkung
tersenyum tipis. "Nona
belum menjawab pertanyaan
temanku," katanya.
"Kenapa Nona berada di
tempat ini? Dan, di mana
Tuan Putri Anggraini Sulistya
berada?"
"Apa urusanmu?!"
bentak Dewi Baju Merah
lagi. "Segera kembali
bersama temanmu! Tempat
ini aman. Selama ada aku, tidak
akan ada orang
yang berani menyusup
kemari!"
"Hmm.... Benar kata Nona.
Tuan Putri
Anggraini Sulistya tentu tak
salah memilih saha-
bat. Nona pasti memiliki
kepandaian tinggi."
Usai berkata, prajurit jangkung
memberi
isyarat lewat kedipan mata
kepada temannya un-
tuk segera berlalu. Begitu sosok
mereka lenyap di
balik pintu, Ingkanputri menarik
napas lega. Na-
mun beberapa kejap mata kemudian
muncul seo-
rang lelaki berjubah kuning.
Usianya sekitar lima
puluh tahun. Wajahnya halus dan
bertubuh se-
dang.
"I Halu Rakryan
Subandira...!" terkejut bu-
kan main Dewi Baju Merah.
Dia berdiri terpaku dengan
tatapan tertuju
lurus pada sosok yang baru
datang. Ingkanputri
benar-benar tidak dapat mempercayai pengliha-
tannya. Sebelum datang ke ruang
bawah tanah
ini bersama Anggraini Sulistya,
Suropati dan Ra-
ka Maruta, ia yang dibantu Raka
Maruta berhasil
membekuk pengkhianat kerajaan
tersebut. Masih
segar di ingatannya, bagaimana I
Halu Rakryan
Subandira terluka dalam cukup
parah sewaktu
mengadakan perlawanan.
Melalui pertarungan yang alot,
akhirnya I
Halu Rakryan Subandira dapat
dibekuk juga.
Sengaja pengkhianat kerajaan itu
tidak dibunuh.
Karena, rasanya terlalu ringan
bila hukuman itu
dijatuhkan kepadanya. Biarlah
nanti pengadilan
istana yang akan memutuskan
hukuman apa
yang tepat baginya. Mungkin
penjara seumur hi-
dup di ruang bawah tanah hukuman
yang paling
setimpal dengan perbuatannya
yang hendak ma-
kar terhadap kerajaan. Biar I
Halu Rakryan Sub-
andira merasakan bagaimana
tersiksanya hidup
terkurung dengan segala
kebebasan yang terba-
tas. Dan, melihat bagaimana
usaha pemberonta-
kannya yang telah disusun
demikian matang, ak-
hirnya hancur berantakan tanpa
guna.
Ingkanputri tidak tahu yang
terjadi sebe-
narnya setelah I Halu Rakryan
Subandira berhasil
dikalahkan. Ia dan Raka Maruta
diajak Anggraini
Sulistya menuju ruang bawah
tanah untuk men-
jumpai Prabu Singgalang
Manjunjung Langit dan
permaisuri.
Sementara I Halu Rakryan
Subandira di-
bawa oleh Patih Sanca Singapasa
serta Senopati
Guntur Selaksa untuk dijebloskan
ke dalam pen-
jara.
Di saat-saat yang tidak
menguntungkan I
Halu Rakryan Subandira itulah
datang pertolon-
gan untuk dirinya. Seorang tokoh
persilatan yang
tak dikenal pihak istana datang
membebaskan.
Tokoh yang cukup lihai itu
berhasil melumpuh-
kan kedua perwira tinggi istana
yang menawan I
Halu Rakryan Subandira. Tidak
itu saja. Tokoh
yang tiba-tiba muncul ini pun membantu
me-
nyembuhkan luka dalam I Halu
Rakryan Suban-
dira.
Ternyata tokoh yang datang
menyelusup ke
dalam lingkungan istana itu
memang bertugas
melancarkan jalannya
pemberontakan. Buktinya,
tidak hanya I Halu Rakryan
Subandira saja yang
ditolongnya. Tumenggung Sangga
Percona pun
demikian. Dia kemudian pergi ke
taman keputren
untuk membebaskan ayah Saka
Purdianta itu da-
ri totokan yang dilancarkan
Pengemis Binal. Tu-
menggung Sangga Percona dan
penolongnya lalu
bergegas pergi meninggalkan
istana. Mereka ber-
pisah di tengah perjalanan.
Ingkanputri bukannya tak melihat
gelagat
tak baik yang ditunjukkan I Halu
Rakryan Sub-
andira.
Kecurigaannya terbukti. Tapi, ia
membiar-
kan saja ketika ujung jari I
Halu Rakryan Suban-
dira mendaratkan beberapa
totokan di tubuhnya.
I Halu Rakryan Subandira
tersenyum sinis
melihat Ingkanputri masih
termangu-mangu.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan. Dia
baru saja melan-
carkan totokan jarak jauh. Dan...,
berhasil. Tu-
buh Ingkanputri terjatuh lemas
ke lantai.
"Apa yang kau lakukan,
Subandira?!" ben-
tak Dewi Baju Merah.
"Apa yang kulakukan? Ha ha
ha...!" I Halu
Rakryan Subandira tertawa
bergelak. "Tanyalah
kepada dirimu sendiri, Nona
Ingkanputri yang
cantik jelita...."
"Tua bangka keparat!"
umpat Ingkanputri
dengan sinar mata berkilat.
"Hmm.... Kau memang seorang
gadis yang
sangat berani, Putri. Boleh saja
sekarang ini kau
mengatakan aku sebagai 'tua
bangka', tapi nanti
setelah aku jadi raja masihkah
kau akan menga-
takan demikian?"
"Pengkhianat busuk!"
Mendengar cacian Dewi Baju
Merah, I Halu
Rakryan Subandira malah
tersenyum-senyum.
Perlahan sekali diloloskan
sebilah pedang dari ba-
lik jubah kuningnya. Pandangan
Ingkanputri se-
makin berkilat ketika pedang itu
disorongkan ke
pangkal lehernya.
"Kau takut, Putri?"
tanya I Halu Rakryan
Subandira, setengah mengejek.
"Cih! Siapa yang takut pada
ular berkepala
dua sepertimu?!" jawab Dewi
Baju Merah, garang.
"Aku menghargai keberanianmu.
Tapi, bi-
sakah kau membayangkan wajahmu
yang cantik
jelita ini, kuhancurkan dengan
ujung pedang?"
"Pengkhianat busuk! Tak
perlu kau men-
gancam! Katakan apa maumu!"
"Hmm.... Rupanya kau sangat
menghargai
kecantikanmu, Putri. Baiklah,
aku katakan ke-
mauanku...," I Halu Rakryan
Subandira terse-
nyum.
Ingkanputri mendengus.
"Cepat katakan!"
bentaknya.
Wajah I Halu Rakryan Subandira
tampak
berubah tegang. "Kau
diminta Anggraini Sulistya
berada di tempat ini untuk keperluan apa?" ta-
nyanya sungguh-sungguh.
"Untuk memperhatikan
gelagat para
pengkhianat seperti dirimu, Tua
Bangka Keparat!"
Plak...!
Tubuh Ingkanputri yang semula
bersandar
ke dinding langsung terpelanting
dua depa. Tam-
paran I Halu Rakryan Subandira
mendarat telak
di pipinya.
"Berani kau berkata kasar
lagi, kurusak
wajahmu sekarang juga!"
ancam I Halu Rakryan
Subandira. Ujung pedangnya
ditempelkan ke mu-
lut Ingkanputri. "Sayang
sekali bila aku harus
merobek bibir seranum
ini...," ujarnya. "Tapi, aku
tak akan melakukannya bila kau
berkata jujur.
Untuk apa kau berada di
sini?"
Pertanyaan I Halu Rakryan
Subandira
hanya dijawab oleh sorot mata
tajam Ingkanputri.
"Aku tanya sekali lagi,
untuk apa kau be-
rada di tempat ini?"
"Itu sudah kujawab!"
"Hmm.... Ya, baiklah....
Aku terima jawa-
banmu. Lalu, di mana Anggraini
Sulistya dan ke-
dua temannya berada?"
"Apa urusanmu menanyakan
itu?" selidik
Ingkanputri. Tentu saja ia
menaruh kecurigaan.
"Jawab saja
pertanyaanku!"
Dewi Baju Merah tampak berpikir
sejenak.
"Mereka sedang berunding
untuk mengha-
dapi pemberontak busukmu,
Subandira!" katanya
kemudian.
"Di mana?"
"Aku tak tahu!"
"Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira
tertawa bergelak. "Aku tahu
sekarang. Kau hen-
dak menipuku. Tapi, justru tipuanmu
yang men-
jebak dirimu sendiri...."
Di ujung kalimatnya, I Halu
Rakryan Sub-
andira bertepuk tangan tiga
kali. Dalam sekejap
mata di tempat itu bermunculan
dua puluh orang
pengawal istana kelas satu.
"Geledah gudang bawah
tanah!"
Mendengar perintah I Halu
Rakryan Sub-
andira, wajah Dewi Baju Merah
langsung berubah
pucat pasi....
***
Ruang rahasia bawah tanah....
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru,
Anggraini Sulistya,
Suropati, dan Raka Maruta
tampaknya sudah da-
pat mengendalikan perasaan.
Suasana haru tak
lagi menyelimuti.
"Kau belum memperkenalkan
temanmu
yang satu lagi, Aini...,"
ujar permaisuri.
Putri Cahaya Sakti sejenak
melempar liri-
kan ke arah Raka Maruta.
"Dia bernama Raka Maruta.
Orang membe-
rinya gelar Pendekar Kipas
Terbang. Dia lahir di
negeri Saloka Medang...,"
ujar Anggraini Sulistya.
Senyum manis mengembang di
bibirnya. "Raka
Maruta sengaja datang menghadapi
Ibunda dan
Ayahanda Prabu. Selain untuk
membantu menga-
tasi kemelut di Pasir Luhur,
juga untuk memi-
nang...."
Kalimat Putri Cahaya Sakti tak
berlanjut.
Karena keburu dipotong Pendekar
Kipas Terbang.
"Aini...! Aku...,
aku...."
"Kenapa malu-malu,
Maruta?" tukas
Anggraini Sulistya.
"Salahkah apa yang kukata-
kan?"
"Aduh, Aini...," ucap
Raka Maruta. Dikum-
pulkannya seluruh keberanian.
"Aku ini orang bi-
asa, Aini. Aku berasal dari kaum
jelata. Aku tidak
pantas menyampaikan sebuah
pinangan kepada
putri seorang raja...."
"Kalau kau berhasil
membantu menumpas
para pemberontak, Ayahanda Prabu
akan membe-
rimu gelar bangsawan. Dan itu
berarti kau layak
meminangku!" tegas Putri
Cahaya Sakti.
Mendengar penuturan gadis itu,
Pendekar
Kipas Terbang malah jadi linglung.
Apakah yang
dikatakan Anggraini Sulistya
hanya sekadar eje-
kan? Atau, Anggraini Sulistya
selama ini telah
menyimpan perasaan
cinta terhadapnya? Alis
Pendekar Kipas Terbang bertaut
rapat.
"He he he...," suasana
hening itu dipecah-
kan oleh tawa terkekeh Pengemis
Binal. "Persoa-
lan yang satu belum
terselesaikan, kenapa mesti
menambah persoalan lagi?
Memikirkan cara un-
tuk dapat bertahan hidup saja
sulit, kau malah
membicarakan sesuatu yang tak
layak dibicara-
kan saat ini."
"Ha ha ha...!" Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit tertawa senang.
"Pandai sekali kau
merangkai kata-kata, Suro.
Bangga aku mempu-
nyai putra seperti dirimu.
Memang, negeri Pasir
Luhur tengah dibakar api
pemberontakan. Jadi
kenapa kita sekarang memikirkan
tentang perjo-
dohan?"
"Hmm.... Yah, memang benar
juga yang di-
katakan Suropati," sahut
Anggraini Sulistya den-
gan tersipu-sipu. "Sekarang
ini istana tengah
memerlukan penguasa tunggalnya.
Kalau Aya-
handa Prabu terus berdiam di
sini, tampuk peme-
rintahan kosong. Aku khawatir
para pemberontak
akan segera memanfaatkan keadaan
ini."
"Tepat! Padahal,
kelangsungan hidup ra-
kyat Pasir Luhur sepenuhnya
adalah tanggung
jawabku."
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit
bangkit dari duduknya.
Permaisuri Sekar Tunjung
Biru mengikuti. Begitu pula
Suropati. Raka Maru-
ta masih berdiam di tempatnya.
Ketika Anggraini
Sulistya lewat di sisinya,
pemuda berwajah lem-
but itu mencekal lengan gadis
itu.
"Ada-ada saja kau,
Aini...," tegur Raka Ma-
ruta. "Siapa yang bermaksud
meminangmu?"
"Jadi, kau tidak cinta
padaku?" Putri Ca-
haya Sakti balik bertanya.
"Iya. Tapi...,
tapi...."
"Tapi apa?"
"Bukan begitu caranya. Kau
membuat aku
malu."
"Tapi senang juga, kan? Kau
telah tahu isi
hatiku."
"Iya, eh, ti...."
"Ayo, mau bilang
apa?!" sergap Anggraini
Sulistya.
"Iya. Aku mencintaimu,
Aini...."
"Dan kau mau meminangku
setelah kita
berhasil mengatasi kemelut di
Pasir Luhur ini,
bukan?"
"I..., iya."
Melihat Raka Maruta tersipu,
Anggraini Su-
listya menyunggingkan senyum
simpul. Kedua
muda-mudi lalu bergegas menuju
pintu rahasia
untuk mengikuti Prabu Singgalang
Manjunjung
Langit.
I Halu Rakryan Subandira
terkejut seten-
gah mati. Ingkanputri yang tadi
tergeletak tak
berdaya tiba-tiba meloncat
bangun seraya mengi-
rimkan pukulan maut ke dada.
"Uts...!"
Walau dihantam keterkejutan yang
sangat,
kepala pengawal istana itu masih
sempat berkelit.
Tubuhnya melenting, dan mendarat
tiga depa di
hadapan Ingkanputri yang berdiri
tegak menatap-
nya dengan pandangan berapi-api.
"Bagaimana kau bisa lepas
dari totokan-
ku?" tanya I Halu Rakryan
Subandira, heran.
"Ilmu 'Totokan Tembre' yang
kau miliki
mana bisa melumpuhkan aku?"
ujar Dewi Baju
Merah. Ketika gadis cantik ini
ditotok, sebenarnya
dia telah menerapkan ilmu
'Pemancar Jalan Da-
rah' ajaran gurunya yang
bergelar Dewi Tangan
Api. Ilmu itu membuatnya tak
mempan ditotok.
Dan ketika dia terbaring lemah,
itu hanya pura-
pura saja.
Dua puluh orang pengawal kelas
satu yang
diperintahkan menggeledah
ruang bawah tanah
telah kembali. Mereka tak dapat
menemukan
ruang rahasia tempat sang Raja
dan permaisuri
bersembunyi.
"Kalian tak menemukan
apa-apa?" tanya I
Halu Rakryan Subandira, memastikan
hasil kerja
bawahannya.
"Tidak ada yang dapat kami
laporkan.
Ruang bawah tanah kosong belaka.
Hanya berisi
tumpukan barang tidak
berguna," jelas salah seo-
rang pengawal.
I Halu Rakryan Subandira
mendengus.
"Tangkap gadis itu! Jangan
biarkan dia lolos!"
Para pengawal istana kontan
menyerbu
Dewi Baju Merah. I Halu Rakryan
Subandira sen-
diri turut mengeroyok.
Menghadapi lawan yang
begitu banyak, Ingkanputri
terdesak hebat. Para
pengawal istana ternyata
memiliki kepandaian
tinggi. Mereka juga begitu
bernafsu menjatuhkan
tangan maut. Keadaan ini sangat
merepotkan In-
gkanputri.
Suara desing pedang mengundang
rasa
ngeri. I Halu Rakryan Subandira
sendiri langsung
mengeluarkan ilmu pedang
andalannya. Tubuh
lelaki itu berkelebatan cepat
dengan ujung pedang
mencecar jalan kematian di tubuh
Ingkanputri.
"Bedebah! Pengkhianat
busuk!" umpat De-
wi Baju Merah di sela-sela
sambaran pedang.
"Merutuklah sepuasmu
sebelum Malaikat
Kematian menjemput!" ejek I
Halu Rakryan Sub-
andira.
Dewi Baju Merah segera melepas
selendang
merah yang melilit pinggangnya.
Begitu terlepas,
selendang itu langsung
mengejang. Ujungnya me-
liuk-liuk bagai kepala ular
hendak mematuk
mangsa. Inilah jurus selendang
merah hasil aja-
ran Sekar Mayang semasa
Ingkanputri menjadi
anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah
(Tentang kisah Ingkanputri
bersama Sekar
Mayang, baca episode :
"Bidadari Lentera Merah"
dan "Asmara
Penggoda").
Trang! Trang!
Para pengeroyok Dewi Baju Merah
terke-
siap.
Ketika pedangnya membentur
selendang
merah di tangan gadis itu,
ternyata ketajaman
pedang tak mampu menebas putus
selendang da-
ri kain sutera.
"Punya kepandaian juga kau rupanya,
Anak Manis!" ujar I Halu
Rakryan Subandira.
Ingkanputri tak menjawab. Saat
dia hampir
berhasil merobohkan salah
seorang lawan, kepala
pengawal istana itu mengalirkan
kekuatan tenaga
dalam ke bilah pedang.
Set! Tas!
Ingkanputri mendengus gusar. Selendang-
nya berhasil dibabat putus
pedang I Halu Ra-
kryan Subandira.
"Jangan gembira dulu,
Bangsat!" rutuk
Dewi Baju Merah.
Tubuh gadis itu melompat jauh
saat pe-
dang I Halu Rakryan Subandira
hendak memba-
bat leher. Begitu kakinya
mendarat di lantai, Dewi
Baju Merah mengalirkan seluruh
tenaga dalam ke
kedua pergelangan tangan.
Sekejap mata kemu-
dian, dari kedua tangan
Ingkanputri menyebar
hawa panas akibat penerapan ilmu
'Pukulan Api
Neraka'. Potongan selendang yang
masih dipegang
gadis cantik itu terbakar jadi
abu.
"Kalian mundur semua!"
perintah I Halu
Rakryan Subandira kepada anak
buahnya.
"Hmmm.... Rupanya kau
hendak menye-
rahkan diri, Pengkhianat!"
ujar Ingkanputri. "Ku-
pikir itu lebih baik. Barangkali
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit berkenan
menjatuhkan hu-
kuman yang lebih ringan!"
"Jangan salah mengerti,
Gadis Manis...,"
sahut I Halu Rakryan Subandira
sambil me-
nyunggingkan senyum tipis.
"Orang-orangku ku-
suruh mundur bukan untuk
menyerah. Karena
kau telah memamerkan ilmu
kesaktian, tergerak
hatiku untuk menjajal
kehebatannya."
"Baik! Terimalah ini!"
Tubuh Dewi Baju Merah melenting
tinggi.
Setelah bersalto tiga kali di
udara, tubuh ramping
yang terbungkus pakaian serba
merah itu mele-
sat.
Seluruh anak buah I Halu Rakryan
Suban-
dira mendelikkan mata. Tuannya
terlihat tak
mencoba menghindar. Dan,
teriakan penasaran
pun memenuhi tempat itu ketika
kedua telapak
tangan Ingkanputri yang merah
membara mem-
bentur dada I Halu Rakryan
Subandira!
Blaaarrr...!
Betapa terkejutnya Ingkanputri.
Ketika te-
lapak tangannya membentur dada I
Halu Rakryan
Subandira, terasa ada kekuatan
yang menyentak.
Tenaga dalam yang tersalur ke
kedua tangannya
berbalik memukul diri sendiri.
"Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan.
Dilihatnya tubuh
Dewi Baju Merah mencelat, lalu
membentur dind-
ing ruangan hingga retak. Dia
sendiri cuma mun-
dur setindak oleh pukulan
Ingkanputri.
Susah-payah Dewi Baju Merah
mencoba
berdiri. Begitu kedua kakinya
berhasil ditegak-
kan, darah segar mengalir dari
sudut bibir. Kepa-
lanya terasa pening dan
pandangannya menga-
bur. I Halu Rakryan Subandira
menatap tajam ke
arah murid Dewi Tangan Api itu.
"Bunuh dia!" perintah
I Halu Rakryan Sub-
andira.
Seperti para pekerja paksa berebut
maka-
nan, dua puluh orang pengawal
istana merangsek
ke depan dengan pedang terhunus.
Dewi Baju Merah masih mencoba
berkelit.
Dua-tiga sambaran pedang dapat
ditepisnya. Na-
mun setelah darah segar mengalir
lagi dari sudut
bibir, pertahanan gadis itu pun
goyah.
Sing...!
Satu babatan pedang mengarah ke
leher.
Satu babatan lagi tertuju ke
pinggang. Disusul
kemudian dengan sebuah tusukan
ke arah jan-
tung! Mustahil Dewi Baju Merah
dapat menyela-
matkan diri.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar tiga kali benturan
senjata tajam
yang memekakkan gendang telinga.
Lalu, tiga pe-
kik kesakitan menambah
hiruk-pikuk dalam
ruangan ini.
I Halu Rakryan Subandira
menggeram ma-
rah. Tiga anak buahnya
berkelojotan di lantai
sambil memegang bahu kanan masing-masing.
Bawahannya yang lain berloncatan
mundur.
"He he he...," tawa
kekeh orang yang baru
menyelamatkan jiwa Ingkanputri
ternyata Suro-
pati atau Pengemis Binal. Dia
berdiri tegak den-
gan tangan kanan mencengkeram sebatang
tong-
kat kayu butut.
"Kurang ajar!" geram I
Halu Rakryan Sub-
andira.
Kepala pengawal istana ini
menghentak-
hentakkan kakinya ke lantai.
Pandangannya na-
nar setelah mengetahui Suropati
hadir bersama
Anggraini Sulistya, Raka Maruta,
Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit beserta
permaisurinya.
"Kedokmu sudah terbuka,
Subandira!" ujar
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. "Apa lagi
yang dapat kau kerjakan kecuali
berlutut dan
menyerahkan diri untuk menerima
hukuman?"
"Itu hanyalah mimpi di siang
bolong, Sapi
Tua!" balas I Halu Rakryan
Subandira. Lelaki se-
tengah baya ini segera memberi
isyarat kepada
bawahannya untuk menyerang.
Putri Cahaya Sakti yang berdiri
di sisi ka-
nan ayahnya, bersuit nyaring.
Dari arah lorong
ruang sebelah kiri tampak
berkelebatan dua pu-
luh bayangan hitam memapaki
serangan para
pengikut I Halu Rakryan
Subandira.
Dua puluh orang yang mengenakan
pa-
kaian ketat hitam dan kerudung
kepala hitam. Di
pinggang mereka terlilit seutas
tali putih. Dengan
senjata pedang panjang, gerakan
mereka sangat
gesit dan tampak sangat
terlatih. Mereka adalah
Pasukan Hitam yang dibentuk
Anggraini Sulistya
untuk membantu mengatasi kemelut
pemberon-
takan di negeri Pasir Luhur.
Sekembalinya dari pengembaraan
di Kera-
jaan Anggarapura dan mengetahui
adanya pem-
berontakan, Anggraini Sulistya
mengusulkan ke-
pada ayahnya untuk meminta
bantuan Ki Banyak
Sungsang yang menjadi Ketua
Perguruan Pedang
Sakti. Karena Ki Banyak Sungsang
tak mau lagi
mengurusi dunia luar, maka dia
hanya mengirim-
kan dua puluh orang muridnya.
Mereka adalah murid-murid utama
pergu-
ruan. Kemampuan mereka tak perlu
disangsikan
lagi. Anggraini Sulistya
membentuk mereka seba-
gai Pasukan Hitam. Ini untuk
mengecoh salah sa-
tu kekuatan pemberontak yang
dibantu para nin-
ja yang juga berpakaian dan
berkerudung hitam
(Sepak terjang Pasukan Hitam
untuk menumpas
para ninja negeri Matahari
Terbit bisa diikuti pa-
da episode : "Sengketa
Orang-orang Berkeru-
dung").
Pertempuran Pasukan Hitam
melawan para
pengikut I Halu Rakryan
Subandira berlangsung
seru. Suropati segera meloncat
ke hadapan In-
gkanputri.
"Kau terluka, Putri?"
tanya Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu, khawatir.
"Hanya luka dalam ringan,
Suro," jelas Dewi Baju
Merah. "Hadanglah
Subandira! Aku melihat gela-
gat dia hendak melarikan
diri."
Di ujung kalimat Ingkanputri,
Pengemis
Binal bergegas meloncat, dan
berdiri tepat dua
tombak di depan I Halu Rakryan
Subandira yang
masih memegang pedang.
"Sudah tua bukannya
menumpuk pahala
dengan berbuat kebajikan, malah
mengikuti naf-
su busuk. Mengumbar keinginan
yang tak benar!"
sindir Pengemis Binal sambil
mengetuk-
ngetukkan tongkatnya ke lantai.
"Bocah gemblung tak tahu
diuntung! Kau
yang masih ingusan lebih baik
menetek lagi pada
ibumu, daripada tanggal kepalamu
terkena sam-
baran pedangku!" balas I
Halu Rakryan Subandi-
ra.
"Hati-hati, Suro!"
Ingkanputri memberi per-
ingatan. "Dia mengenakan
jubah pusaka yang
membuat tubuhnya jadi
kebal!"
"Jangan khawatir,
Putri!" sahut Suropati.
Remaja tampan berpakaian putih
penuh
tambalan itu segera memutar
tongkat memainkan
jurus 'Tongkat Menghajar
Maling'. Dengan tubuh
melayang, beberapa kali
tongkatnya menyambar
dan mengeluarkan suara
menderu-deru. Tentu
saja I Halu Rakryan Subandira
tak mau dipecun-
dangi. Segera pula kepala
pengawal istana yang
hendak makar itu mengeluarkan
seluruh daya
kemampuan.
Putri Cahaya Sakti telah
merangsek untuk
membantu Pasukan Hitam.
Sedangkan Pendekar
Kipas Terbang meloncat dengan
kipas baja putih
di tangan. Digempurnya I Halu
Rakryan Subandi-
ra.
Beberapa tarikan napas kemudian,
terden-
gar empat kali jerit kematian. I
Halu Rakryan
Subandira yang tengah bertempur
mati-matian
melihat empat anak buahnya roboh
bermandikan
darah. Karena dilanda kemarahan
hebat, dia pun
menggempur lawannya laksana
banteng terluka.
Diputarnya pedang lebih cepat.
Jurus-jurus yang
lebih hebat dikeluarkan. Tapi,
semua serangan-
nya membentur benteng pertahanan
yang kokoh.
Suropati dan Raka Maruta terlalu
tangguh untuk
segera dapat dirobohkan.
Ketika melihat dua anak buahnya
jatuh
terjungkal lagi, I Halu Rakryan
Subandira sema-
kin murka. Dengan satu lompatan
yang sangat
cepat, tubuhnya berputar di
udara meninggalkan
ajang pertempuran. Kebetulan
sekali ruangan cu-
kup luas sehingga I Halu Rakryan
Subandira le-
luasa bergerak.
"Hendak lari ke mana
kau?!" pekik Penge-
mis Binal seraya mengejar.
Pendekar Kipas Ter-
bang mengikuti.
Teriakan Suropati dibalas dengan
geram
kemarahan I Halu Rakryan
Subandira. Dike-
butkan ujung jubah kuning yang
dipakainya.
Wuuusss...!
Gelombang angin dahsyat
menerjang tu-
buh Pengemis Binal dan Pendekar
Kipas Terbang
yang masih melayang di udara. Karena
tak men-
duga datangnya serangan, tubuh
kedua pendekar
muda itu pun terhempas.
Permaisuri Sekar Tunjung Biru
dan In-
gkanputri menjerit ngeri. Prabu
Singgalang Man-
jujung Langit tersurut mundur
setindak. Tubuh
Suropati dan Raka Maruta melesat
ke atas. Sete-
lah membentur atap ruangan, lalu
jatuh berde-
bam amat keras ke lantai.
Raka Maruta mengaduh kesakitan
sambil
mencari senjata andalannya yang terlepas dari
pegangan. Tapi tidak dengan
Suropati, pemuda
itu langsung meloncat bangkit.
Tak dipedulikan
rasa sakit yang merejam
tubuhnya.
"Kadal tua kurang
kerjaan!" maki Pengemis
Binal yang masih memegang
tongkat. "Kucungkil
matamu baru tahu rasa!"
Saat Suropati menerjang lagi,
tiga jerit ke-
matian anak buah I Halu Rakryan
Subandira ter-
dengar. Pandangan lelaki
setengah baya itu jadi
nanar. Belum sempat dia
mengambil tindakan,
Pengemis Binal telah mencecarnya
dengan seran-
gan mematikan. Suropati
memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' yang
digabung dengan
'Tongkat Mengejar Kucing'.
Buk...!
Dada I Halu Rakryan Subandira
terhantam
telak pukulan tongkat Pengemis
Binal. Anehnya,
dia cuma mendengus tanpa
menunjukkan sedikit
pun rasa sakit. Bahkan, tubuhnya
hanya terjajar
setindak. Padahal pukulan
tongkat Suropati
mampu untuk menghancurkan kepala
seekor
banteng.
"Kubantu kau, Suro!"
teriak Ingkanputri.
Diterjangnya I Halu Rakryan
Subandira tanpa
mempedulikan luka dalamnya. Raka
Maruta yang
telah mendapatkan kembali kipas
baja putihnya
ikut merangsek maju.
Melihat keadaan yang tak
menguntungkan
apalagi setelah belasan prajurit
yang masih setia
pada sang Raja bermunculan. I
Halu Rakryan
Subandira bergegas melenting ke
belakang. Begi-
tu mendarat, Pusaka Jubah
Kuning-nya dike-
butkan tiga kali.
Gelombang angin dahsyat meluruk
deras.
Putri Cahaya Sakti meninggalkan
ajang pertem-
puran untuk melindungi ibunya.
Pendekar Kipas
Terbang pun meloncat untuk
melindungi Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Ingkanputri sege-
ra merapat ke dinding karena tak
mau tubuhnya
terlontar.
Ketika gelombang angin ciptaan I
Halu Ra-
kryan Subandira lenyap, kepala
pengawal istana
yang berkhianat itu juga tak
berada di tempatnya.
"Kalian tetaplah di sini,
aku akan mengejar
pengkhianat busuk itu!"
seru Pengemis Binal ke-
pada Ingkanputri dan Raka
Maruta. Saat terjadi
tiupan angin laksana badai tadi,
remaja konyol ini
mempergunakan ilmu memperberat
tubuh untuk
melindung diri.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru
memandang lurus
ke arah hilangnya kelebatan tubuh
Pengemis Bi-
nal. Sepertinya mereka tidak
merelakan kepergian
Suropati.
Emoticon