TABIR AIR SAKTI
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Tabir Air Sakti
128 hal.
1
Tiba di Kademangan Maospati,
rombongan
Ekspedisi Kencana Mega
beristirahat untuk makan
siang. Yaniswara yang menjadi
kepala rombongan ber-
jalan mengitari sebuah kereta
kuda. Sementara dua
puluh orang pemuda berperawakan
kekar langsung
memasuki sebuah kedai.
"Bragas...!"
Teriakan Yaniswara membuat
seorang pemuda
berumur dua puluh lima tahun
berlari menghampiri.
Pakaian seragamnya yang berwarna
putih kuning den-
gan garis dada hijau berkibaran.
Tak sadar dia telah
berlari dengan mempergunakan
ilmu meringankan tu-
buh.
"Ada apa, Tuan?" tanya
pemuda itu sedikit
membungkukkan badan.
"Nanti kau makan bersamaku,
setelah mereka
usai."
Mendengar itu, Bragas tersenyum.
Perasaan
hatinya seperti melayang di
udara. Siapa yang tidak
senang makan bersama seorang
gadis cantik. Berbibir
mungil dan bermata bak bintang
kejora. Tubuhnya pa-
dat berisi dengan kulit yang
begitu halus mulus.
"Kenapa kau
tersenyum?" selidik Yaniswara.
"Ah, tidak. Kebetulan
sekali Tuan mengatakan
itu. Saya sebenarnya juga belum
lapar."
Yaniswara berjalan tiga tindak.
Kemudian, ber-
sandar pada kereta kuda yang
berdinding bilah-bilah
papan berwarna kuning keemasan.
Bragas berdiri ter-
paku. Lalu berjalan mengelilingi
kereta kuda.
"Kenapa kau berjalan
seperti itu?" tanya Yanis-
wara keheranan.
"Tampaknya Tuan begitu
melindungi kereta
kuda. Saya jadi ingin memastikan
kereta kuda ini da-
lam keadaan baik. Kalau saya
boleh tahu, apakah
hanya karena barang yang harus
dikirimkan itu milik
seorang pejabat kerajaan
sehingga Tuan memberi pen-
gawalan begitu ketat?"
"Itu hanya sebagian alasan.
Yang harus kau ta-
hu, barang yang berada di dalam
kereta kuda ini har-
ganya melebihi nyawa
kita!"
"Ah!"
"Karena itulah, kau bersama
anak buahmu da-
pat memberi kepastian akan
keselamatan barang yang
dipercayakan pengirimnya kepada
Ekspedisi Kencana
Mega ini."
Bragas terdiam. Dia tak hendak
bertanya ba-
rang apa sesungguhnya yang
berada di dalam kereta.
Selama hampir tujuh tahun
bekerja pada Ekspedisi
Kencana Mega dan kini sudah
diangkat sebagai kepala
pengawalan, Bragas tak pernah
diberitahu wujud ba-
rang yang harus dikawalnya.
Kerahasiaan barang bagi
Ekspedisi Kencana Mega tampaknya
sangat dijunjung
tinggi.
Karena itulah, banyak saudagar
kaya dan para
pejabat tinggi lebih
mempercayakan pengiriman ba-
rangnya kepada perusahaan
pengiriman barang itu.
Tapi karena Yaniswara yang
merupakan putra Lodra
Sawala, pemilik Ekspedisi
Kencana Mega, ikut membe-
ri pengawalan barang yang hendak
dikirimkan kepada
seorang pejabat Kerajaan
Anggarapura itu, hati Bragas
jadi bertanya-tanya.
"Apakah kali ini aku sedang
mengawal barang
yang sangat langka. Sehingga
Tuan Yaniswara menga-
takan kalau barang itu lebih
berharga dari nyawa se-
mua rombongan pengawal? Tapi
bila memang barang
itu sangat berharga, kenapa Tuan
Lodra Sawala hanya
menugaskan dua puluh orang
pengawal. Padahal jum-
lah pengawal pada Ekspedisi
Kencana Mega tidak ku-
rang dari seratus lima puluh.
Kenapa pula Yaniswara
ditugaskan untuk memimpin
rombongan? Walaupun
berilmu tinggi, bukankah gadis
cantik itu belum begitu
berpengalaman?" Bragas
bertanya-tanya sendiri di da-
lam hati.
"Kau memikirkan apa?"
tanya Yaniswara men-
gejutkan Bragas.
Pemuda bertubuh kekar yang
mengenakan ge-
lang akar bahar itu menatap
sejenak wajah Yaniswara.
"Apakah barang yang
dipercayakan pengiri-
mannya kepada Ekspedisi Kencana
Mega kali ini ada-
lah intan permata yang
sedemikian mahal harganya?"
tanya Bragas. Tak dapat dia
memendam rasa penasa-
rannya.
"Kau tak perlu tahu. Yang
jelas, dugaanmu ke-
liru," jawab Yaniswara
berahasia.
"Jadi, bukan intan permata
atau barang ber-
harga sejenisnya?"
"Hmmm...."
"Lalu apa?"
"Sudah kubilang, kau tak
perlu tahu!"
Mendengar ucapan Yaniswara yang
sedikit
membentak, Bragas mengerutkan
kening. Kedua alis-
nya yang terangkat seperti
gambaran sayap elang me-
nukik, menambah kegagahannya.
"Bragas...," panggil
Yaniswara kemudian den-
gan suara pelan.
"Ya, Tuan...."
"Ayahanda Lodra Sawala akan
membuka ca-
bang. Bila kita berhasil
mengirimkan barang Tuan Tu-
hisa Brama dalam keadaan
selamat, kau akan diang-
kat sebagai ketua cabang dengan
membawahi lima pu-
luh orang pengawal."
"Ah, benarkah itu?"
Bragas hampir melonjak
kegirangan.
"Benar. Karenanya, tugasmu
kali ini juga ter-
masuk ujian bagi kesetiaan dan
pengorbanan mu ter-
hadap Ekspedisi Kencana
Mega."
Sampai di situ pembicaraan
mereka terhenti.
Seorang lelaki tua bertubuh
kurus kering dan berpa-
kaian compang-camping berjalan
menghampiri.
"Kasihanilah saya,
Den...," iba lelaki tua itu
dengan memasang wajah memelas.
"Sudah sejak ke-
marin saya belum makan."
Yaniswara memperhatikan wajah di
hadapan-
nya. Lelaki tua berjanggut lebat
itu tampak tak teru-
rus. Telapak tangan kanannya
diacungkan, sedang
yang kiri mendekap perut. Raut
mukanya menunjuk-
kan dia seperti menderita lapar
yang hebat.
"Kau segera pergilah,"
kata Bragas seraya me-
nyorongkan sekeping uang logam.
"Terima kasih, Den."
Si lelaki tua membalikkan badan.
Tapi Yanis-
wara mencegah.
"Apakah Pak Tua anggota
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti?" tanya
gadis cantik itu.
Lelaki tua itu menyunggingkan
senyum. Lalu
kepalanya menggeleng.
"Seluruh anggota perkumpulan
pengemis itu selalu membawa
tongkat, sedangkan saya
tidak...."
Kening Yaniswara berkerut. Dia
melihat tatap
mata lelaki tua bersinar tajam.
"Aku menduga orang ini
bukan tokoh semba-
rangan. Mungkinkah dia sedang
menyamar?" kata hati
gadis cantik itu. "Ah, aku
harus berhati-hati."
"Terima kasih,
Den...," ucap lelaki tua itu sekali
lagi sebelum berlalu dari tempat
itu.
"Kau melihat keanehan pada
penampilan dan
sikap orang itu, Bragas?"
tanya Yaniswara sambil me-
natap tubuh lelaki tua yang
menghilang di tikungan ja-
lan.
Bragas hanya terdiam. Ketika
bahunya ditepuk,
dia terperanjat kaget.
"Kau mendengar
pertanyaanku, Bragas?"
"Eh, ya. Orang itu memang
aneh," Bragas keli-
hatan gugup.
"Dari mana kau melihat
keanehannya?"
"Cara berjalannya seperti
orang pesilat tangguh.
Saya pun tak mendengar langkah
kakinya saat dia da-
tang."
"Kita harus waspada. Siapa
tahu dia mata-mata
gerombolan perampok. Sebagai
pendatang yang belum
begitu paham akan seluk-beluk
Kerajaan Anggarapura,
kita mesti memasang mata dan
telinga lebar-lebar,"
Yaniswara memberi petunjuk.
"Di Kerajaan Saloka Medang
di mana kita ting-
gal, Kerajaan Anggarapura
dikenal sebagai kerajaan
yang aman tenteram...,"
dalih Bragas.
"Hal itu belum menjamin.
Bukankah kita hanya
mendengar kabar burung. Kita
belum pernah mem-
buktikannya, bukan?" kata
Yaniswara penuh kesung-
guhan. "Walaupun tak ada
peraturan tertulis, rimba
persilatan merupakan tempat
tersendiri yang terpisah
dari kewenangan seorang raja.
Banyak tokoh aneh
berkecimpung di dalamnya. Mereka
biasa hidup bebas
dan tak pernah mau mengakui
kekuasaan yang ber-
niat mengikat. Tindakan mereka
pun sering kali hanya
mengikuti hawa nafsu."
Seorang pemuda berpakaian putih
kuning sa-
ma seperti yang dikenakan Bragas
datang menghadap.
"Kami sudah selesai makan
siang, Tuan."
"Jagalah kereta dengan
kewaspadaan penuh!"
perintah Yaniswara. Bersama
Bragas, gadis cantik
yang rambutnya diikat kain
kuning itu berjalan menu-
ju kedai makan.
"Bragas...," ucap Yaniswara pelan.
"Kau lihat lelaki tua itu?
Bukankah dia yang tadi me-
nemui kita?"
Bragas hanya diam. Matanya
menatap tajam
orang yang dimaksud Yaniswara.
Lelaki tua itu duduk
bersimpuh di sisi pintu kedai.
Seorang pelayan terden-
gar membentak-bentak.
"Gembel busuk! Segera enyah
dari tempat ini!"
"Kasihanilah saya, Den.
Sejak kemarin saya be-
lum makan...."
"Apa peduliku?! Biar kau
mampus sekalian!
Jangan mengotori tempat
ini!" teriak si pelayan kedai.
Sambil mengucapkan kalimat itu,
telapak ka-
kinya mendorong keras. Akibatnya
lelaki tua itu jatuh
terjengkang.
"Enyah kau, Gembel
Busuk!"
Lelaki tua menggigit bibir
seperti menahan rasa
sakit, ia beringsut menjauh
kemudian berjalan terta-
tih-tatih.
Yaniswara menepuk bahu Bragas.
"Kau makan-
lah terlebih dahulu. Aku ada
keperluan sedikit."
"Tuan hendak menemui lelaki
tua itu? Kata
Tuan, kita sedang mengawal
barang yang sangat ber-
harga. Kenapa Tuan mau membuang
waktu untuk
persoalan sepele?"
"Ah, sudahlah. Setelah kau
selesai makan dan
aku belum kembali, kau bersama
anak buahmu be-
rangkatlah terlebih
dahulu."
Yaniswara kemudian mengekor
langkah lelaki
tua yang dipandangnya sangat
aneh itu. Bragas berja-
lan memasuki kedai sambil
menggelengkan kepala me-
lihat sifat keras kepala
Yaniswara.
Seperti tak tahu ada orang yang
mengikutinya,
lelaki tua berpakaian
compang-camping itu mengaduh-
aduh kecil sambil terus mendekap
dada.
"Tunggu dulu, Pak
Tua!" teriak Yaniswara se-
tengah membentak.
"Jika perut sudah lapar,
tak hendak hati me-
nunggu kata-kata. Kecuali bila
nasi disodorkan di de-
pan mata."
Yaniswara mengangkat alis
mendengar rang-
kaian kata yang cukup bagus itu.
Hal tersebut me-
nambah keyakinan gadis cantik
itu kalau si lelaki tua
bukanlah tokoh sembarangan.
"Bila ada tawaran baik,
bisakah langkah kaki
dihentikan untuk menerima
sekadar pemberian?" ucap
Yaniswara kemudian.
"He he he...," lelaki
tua membalikkan badan se-
raya tertawa terkekeh.
Yaniswara terperangah melihat
jajaran gigi yang
begitu rapi dan utuh. Padahal,
bila ditaksir usia lelaki
tua itu tak kurang dari tujuh
puluh tahun.
"Kau hendak memberi ku apa,
Bocah Manis?"
tanya pengemis aneh itu.
"Bila kau menginginkan
nasi, aku akan membe-
rikannya untukmu. Tunggulah di
sini...."
"Eit!" cegah lelaki
tua itu waktu melihat Yanis-
wara hendak meninggalkannya.
Yaniswara tersenyum tipis.
"Pancingan ku ber-
hasil," katanya dalam hati.
"Sebenarnya aku tidak
lapar, Bocah Manis" Ya-
niswara sedikit terperanjat
ketika melihat lelaki tua itu
mengubah sikap berdirinya. Yang
semula bongkok dan
tanpa tenaga, mendadak berubah
tegap serta berkesan
gagah.
"Kau terkejut,
Yaniswara?"
"Hei! Kau tahu
namaku?!" Yaniswara berteriak
kaget.
"Tentu. Aku pun tahu kau
putri tunggal Lodra
Sawala, pemilik Ekspedisi
Kencana Mega."
"Siapa kau sebenarnya, Pak
Tua?"
"Siapa aku? He he he... Kau
tak perlu tahu,"
pengemis aneh itu masih
berahasia.
"Jangan membuatku
penasaran!" bentak Ya-
niswara gusar.
"Uts! Rupanya kau gampang
naik darah, Ya-
niswara. Sikap seperti itu tak
patut menjadi panutan."
Usai mengucapkan kalimatnya,
lelaki tua ber-
pakaian pengemis itu berjalan
lenggang-kangkung.
Yaniswara menggerutu. Lalu
meloncat tinggi ke udara.
Setelah bersalto beberapa kali,
dia mendarat di hada-
pan orang yang membuat hatinya
gusar.
"Ck... ck... ck.... Hebat!
Putri tunggal Lodra Sa-
wala memang hebat," ucap
lelaki tua tanpa menghen-
tikan langkah.
Yaniswara terkejut setengah mati
merasakan
kekuatan angin yang mendorong
tubuhnya. Sikap ber-
diri gadis cantik itu bergeser
ke samping. Padahal lela-
ki tua sama sekali tak membuat
gerakan berarti.
"Kenalkan dirimu, Pak
Tua!" bentak Yaniswara.
"He he he.... Apalah
untungnya mengenali
orang hina-dina seperti
diriku?"
Yaniswara mendengus. "Untuk
memperkenal-
kan diri kau merasa keberatan.
Aku jadi curiga kepa-
damu!"
"Ah, begitukah? Satu sikap
lagi yang tak patut
menjadi panutan."
"Apakah kau seorang
mata-mata perampok
yang hendak mengincar barang
kawalan Ekspedisi
Kencana Mega?" tanya Yaniswara
setengah menuduh.
"Sebuah pertanyaan bodoh!
Kalaupun benar
apa yang kau katakan, orang
jahat tak akan mau
mengakui maksud jahatnya."
"Jadi benar kau mata-mata
perampok?!" Hati
Yaniswara tiba-tiba diliputi
perasaan tidak enak.
"Siapa yang mengatakan
begitu?" sahut penge-
mis aneh dengan ringannya.
"Huh! Bicaramu hanya
membuat darahku
mendidih!"
Yaniswara melayangkan telapak
tangannya.
Tapi, hanya dengan sedikit
menggerakkan kepala lelaki
tua yang tampak misterius itu
sanggup menepis tam-
paran.
Saat itulah terdengar teriakan
kesakitan. Tata-
pan mata Yaniswara berubah
nyalang. Dia tahu teria-
kan itu berasal dari arah tempat
anak buahnya bera-
da.
"Untuk merampok barang
kawalan Ekspedisi
Kencana Mega kau harus berpikir
seribu kali, Pak Tia!"
ancam Yaniswara.
Kemudian tubuhnya melesat
kembali ke tempat
kereta kuda yang
ditinggalkannya. "Ada apa?" tanya
gadis cantik itu setelah sampai.
"Seseorang telah membokong
kita," jawab Bra-
gas yang sudah selesai makan
siang. Dia bersama
orang-orang Ekspedisi Kencana
Mega lainnya sedang
mengerumuni Gendingan yang
mengaduh-aduh sambil
mendekap bahu kiri.
"Coba kulihat lukamu,"
pinta Yaniswara. "Ah,
kau terkena jarum beracun."
Gadis cantik itu segera
mengambil sebutir pil
merah dari bajunya.
Setelah menelan pil itu,
lingkaran merah kehi-
tam-hitaman yang berada di bahu
kiri Gendingan be-
rangsur lenyap.
"Kau cabut sendiri jarum
beracun itu. Kita tak
punya waktu."
Dengan sigap Yaniswara meloncat
ke atas kere-
ta. Kemudian menyendat kendali
kuda kuat-kuat.
"Heaaa...! Heaaa...!"
Debu mengepul tebal ketika
rombongan Ekspe-
disi Kencana Mega berlalu dari
tempat itu.
2
Dari Kademangan Maospati untuk
menuju Ko-
ta-praja Kerajaan Anggarapura
setiap orang harus me-
lewati sebuah jalan berkelok
selebar lima depa. Sisi
kanan jalan itu dibatasi tebing
cadas setinggi setengah
pohon kelapa. Hampir tak ada
semak yang tumbuh.
Hanya benjolan batu-batu besar
yang mencuat. Sisi
tebing tegak, nyaris tak
mempunyai kemiringan.
Sedangkan di sisi kiri jalan
menganga jurang
lebar. Cukup mengundang perasaan
giris bagi siapa
saja yang melewati jalan itu.
Walaupun dasar jurang
tak begitu dalam, tapi banyak
diseraki bebatuan. Hal
itu sanggup mengundang Malaikat
Kematian bagi kuda
dan penunggangnya yang
terpeleset jatuh.
Siang hari itu saat sengatan
sinar mentari cu-
kup membakar kulit, Gerombolan
Rantai Maut yang
dipimpin Barong Kala tampak
berdiri berjajar di atas
tebing. Jumlah mereka sekitar
lima puluh orang. Pada
pinggang masing-masing melingkar
seutas rantai besi
yang salah satu ujungnya
diselipkan ke paha kanan.
Karena tertutup kain celana,
sebilah pisau tajam se-
panjang satu jengkal yang
menyatu pada ujung rantai
jadi tak terlihat.
"Srenggi...!" teriak
Barong Kala kepada salah
seorang anak buahnya.
Seorang lelaki berbadan kekar
dengan wajah
brewokan berlari tergopoh-gopoh
menghampiri ketua
gerombolan.
"Hamba, Ketua,"
Srenggi membungkukkan ba-
dannya.
Barong Kala menatap sebentar
kehadiran anak
buahnya. "Benarkah apa yang
kau katakan kalau Eks-
pedisi Kencana Mega singgah
terlebih dahulu di Kade-
mangan Maospati?" tanyanya
kemudian.
"Benar, Ketua!" jawab
Srenggi pasti.
"Untuk apa?"
"Menurut perkiraan hamba
tentu untuk makan
siang."
"Hmmm.... Untuk makan siang
saja kenapa
memakan waktu begini lama?"
"Mungkin mereka
menyempatkan diri untuk
beristirahat," duga
Srenggi.
"Tapi kau yakin Ekspedisi
Kencana Mega sing-
gah di Kademangan
Maospati?"
"Hamba, Ketua...,"
Srenggi membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam.
"Kekuatan mereka terdiri dari
dua puluh orang pemuda
bersenjata pedang. Masing-
masing menunggang seekor kuda
pilihan. Mereka
mengawal sebuah kereta kuda yang
dikendalikan seo-
rang gadis cantik berumur
kira-kira dua puluh tahun."
"Gadis cantik?!"
Barong Kala memelototkan ma-
tanya tak percaya.
"Hamba, Ketua."
"He he he...."
Barong Kala yang bertubuh tinggi
besar itu ter-
tawa terkekeh. Wajahnya yang
ditumbuhi bulu lebat
dengan sepasang mata merah
membersitkan sinar ke-
gembiraan.
"Siapa gadis itu,
Srenggi?" tanya ketua Gerom-
bolan Rantai Maut itu.
"Tampaknya dia pemimpin
rombongan."
"Pemimpin rombongan? He he
he.... Bila pe-
mimpin Ekspedisi Kencana Mega
seorang gadis cantik,
anak buahnya tentu jinak-jinak.
He he he...."
Barong Kala tertawa semakin
keras. Perutnya
yang buncit bergoyang-goyang.
Sedangkan kedua ma-
tanya menyempit dan hampir
terpejam.
Tiba-tiba terdengar teriakan
yang memberita-
hukan kedatangan sekelompok
penunggang kuda yang
hendak melintas jalan di bawah
tebing.
Barong Kala segera memerintahkan
anak
buahnya untuk bersiap-siaga.
Dalam sekejap seluruh
anggota Gerombolan Rantai Maut
hilang dari pandan-
gan. Mereka bersembunyi di balik
batu-batu besar
yang banyak bertebaran di atas
tebing.
"Sebentar lagi aku akan
berpesta pora dengan
makanan lezat, he he
he...," ucap Barong Kala seraya
meloncat di sisi sebongkah batu
sebesar kerbau.
Sementara itu, sepuluh kuda
tinggi tegap dan
tampak gagah dipacu dengan
kecepatan tinggi. Di be-
lakangnya sebuah kereta yang
ditarik empat ekor kuda
berlari kencang. Di belakangnya
lagi terdapat sepuluh
ekor kuda berlari menyusul. Debu
mengepul tebal ke-
tika rombongan Ekspedisi Kencana
Mega melintasi ja-
lan sempit itu.
Yaniswara yang memegang kendali
kereta kuda
sudah tak sabar lagi untuk
segera sampai di kotapraja.
Peristiwa di Kademangan
Maospati, di mana salah seo-
rang anak buahnya terkena
bokongan jarum beracun,
membuat gadis itu jadi tegang.
Walaupun tidak sampai
memakan korban nyawa, tapi sudah
cukup untuk di-
jadikan isyarat kalau ada orang
jahat yang hendak
mengincar barang kawalan
Ekspedisi Kencana Mega.
"Pacu kuda lebih
cepat!" teriak Yaniswara ke-
pada sepuluh penunggang kuda yang
berada di depan.
"Heaaa...! Heaaa...!"
Rombongan Ekspedisi Kencana Mega
mengikuti
perintah Yaniswara. Suara
gemuruh hentakan kaki
kuda di tanah semakin terdengar
keras. Debu pun se-
makin mengepul tebal.
Mendadak, Bragas yang sudah
berpengalaman
dalam menempuh berjalanan jauh
mengekang kendali
kuda kuat-kuat.
"Awaaasss...!" teriak
Bragas sekuat tenaga.
Kuda-kuda mengangkat kedua kaki
depannya
tinggi-tinggi diiringi ringkikan
keras. Karena kesigapan
para penunggangnya yang sudah
begitu berpengala-
man, maka tubuh mereka tidak
terlontar dari pung-
gung kuda.
Sebongkah batu sebesar kerbau
meluncur ja-
tuh, menimbulkan bunyi
menggelegar bagai gunung
meletus ketika menimpa tanah
kira-kira satu tombak
dari hadapan kuda Bragas yang
berdiri paling depan.
Malang bagi kereta kuda yang
dikendalikan Ya-
niswara. Gadis cantik itu
menghentak kayu pengham-
bat putaran roda kereta dengan
tiba-tiba, maka badan
kereta terpelanting ke samping
kanan dan membentur
tebing.
Empat kuda yang menariknya
terkejut. Dengan
ringkikan keras kuda-kuda itu
menggeprak kaki ke ta-
nah, kemudian berlari sekencang-kencangnya.
Kereta yang roda-rodanya telah
lepas dari poros
ikut terseret. Tak ingin melihat
keadaan kereta ber-
tambah parah, Yaniswara segera
mencabut pedang.
Kemudian....
Tas...! Tas...!
Dua bilah kayu panjang bersama
tali pengikat
keempat kuda putus. Hal itu
menambah kecepatan lari
kuda-kuda.
Sepuluh orang pengawal barang
Ekspedisi Ken-
cana Mega terkejut melihat
kuda-kuda tampak kalap.
Mereka segera menyendat kendali
kuda untuk minggir.
Sedangkan keempat kuda yang
berlari bagai dikejar se-
tan terus melaju. Ketika di
hadapannya menghadang
sebongkah batu besar, kuda-kuda
itu meloncat. Tu-
buhnya melayang melewati batu
yang menghadang ja-
lan. Kemudian berlari cepat dan
menghilang dari pan-
dangan.
"Bangsat!" umpat
Yaniswara yang tampak gu-
sar.
"Ha ha ha...."
Diiringi gelak tawa dari Barong
Kala, Gerombo-
lan Rantai Maut berloncatan turun
dari atas tebing.
Gerakan mereka sangat ringan dan
tangkas, padahal
ketinggian tebing dari permukaan
tanah tidak kurang
dari setengah pohon kelapa.
Seluruh para pengawal barang
Ekspedisi Ken-
cana Mega tentu saja terkejut.
Mereka telah terkepung
dari depan dan belakang.
Barong Kala yang berdiri tegak
di atas batu be-
sar untuk menghalangi jalan
tampak berkacak ping-
gang dengan wajah angker.
Matanya memerah mena-
tap Bragas dengan tajam.
"Panggil kepala rombonganmu
ke hadapanku!"
bentak lelaki bertubuh tinggi
besar itu.
Bragas mendengus keras. Sadarlah
dia kalau
rombongan Ekspedisi Kencana Mega
telah dihadang
gerombolan perampok. Sebenarnya
hal seperti ini su-
dah sering kali dialami pemuda berumur dua puluh
lima tahun itu. Tapi karena gerombolan
perampok ini
baru saja mempertontonkan ilmu
meringankan tubuh-
nya yang cukup bisa
diperhitungkan, mau tak mau ha-
ti Bragas gusar juga. Karena
pengalamannya maka dia
bisa bersikap tenang.
"Apa maumu, Kisanak?"
tanya Bragas.
Barong Kala tertawa keras.
"Hanya kerbau dungu yang
tak tahu maksud
Gerombolan Rantai Maut!"
"Kami tidak punya waktu
untuk main-main!
Kau segeralah menyingkir bersama
seluruh orang-
orangmu!" teriak Bragas
dengan suara lantang.
"Ha ha ha.... Tanpa disuruh
pun Gerombolan
Rantai Maut akan menyingkir bila
maksud hari kami
telah kesampaian. Tapi, lebih
baik kalian menyingkir
terlebih dahulu dengan
meninggalkan isi kereta itu!"
"Sudah jelas mereka
perampok hina. Tak perlu
dilayani dengan kata-kata, Bragas!"
teriak Yaniswara
dari arah belakang.
Mendengar itu, seluruh pengawal
barang Eks-
pedisi Kencana Mega yang sudah
memegang hulu pe-
dang masing-masing langsung
berloncatan turun dari
punggung kuda. Mereka lalu
memutar pedang hingga
menimbulkan suara menderu-deru.
Maksudnya adalah
untuk membuat gentar Gerombolan
Rantai Maut.
"Ha ha ha...," tawa
Barong Kala. "Hanya per-
mainan anak kecil. Kenapa mesti
dipamerkan?"
Barong Kala kemudian bersuit
nyaring. Seluruh
anak buahnya langsung menerjang
dengan seutas ran-
tai besi yang pada ujungnya
terdapat sebilah pisau ta-
jam berkilat.
Trang...! Trang...!
Suara benturan senjata logam
yang menimbul-
kan percikan bunga api membahana
di angkasa.
Gerombolan Rantai Maut merangsek
ganas. Pi-
sau tajam berkilat yang menyatu
dengan rantai besi
meliuk-liuk bagai kepala ular
berbisa, mencari jalan
kematian di tubuh lawan.
Gerombolan perampok yang
sudah terbiasa berbuat kejam itu
menyerang sambil
menggeram-geram bagai iblis haus
darah.
Tentu saja para pengawal barang
Ekspedisi
Kencana Mega tak mau
dipecundangi. Mereka yang ra-
ta-rata sudah cukup
berpengalaman memberikan per-
lawanan sengit. Kelebatan pedang
yang menimbulkan
suara bersiutan cukup merepotkan
Gerombolan Rantai
Maut. Tapi karena para pengawal
Ekspedisi Kencana
Mega kalah dalam jumlah, mereka
akhirnya terdesak!
"Kerbau-kerbau hina! Kalian
memang patut di-
enyahkan dari muka bumi!"
teriak Yaniswara di antara
sambaran pisau keempat
pengeroyoknya.
Dengan suatu gerakan kilat ujung
pedang gadis
cantik itu nyaris menembus dada
salah seorang anggo-
ta Gerombolan Rantai Maut.
Trang...!
Sambaran rantai besi temannya
menyela-
matkan nyawa orang itu. Namun,
tak urung ketajaman
pedang Yaniswara membabat
bahunya. Segumpal dag-
ing melayang bersama muncratnya
cairan merah.
Lelaki naas itu menjerit seraya
mendekap ba-
gian tubuhnya yang terluka.
Nafsu amarah segera
membelenggu jiwanya. Setelah
memungut kembali
senjatanya yang jatuh ke tanah,
dia menerjang Yanis-
wara dengan membabi buta.
Masih tetap berdiri tegak di
atas batu besar
yang menghalangi jalan, Barong
Kala tertawa terba-
hak-bahak. Diperhatikannya
Bragas yang terdesak he-
bat oleh keroyokan sepuluh
lawannya.
"Ayo, cincang tubuhnya!
Jangan beri kesempa-
tan untuk bernapas!" teriak
lelaki tinggi besar itu
memberi semangat kepada anak
buahnya.
Cecaran pisau tajam di ujung
rantai kesepuluh
pengeroyoknya benar-benar
membuat Bragas tak
mampu menarik napas. Kembangan
jurus-jurus anda-
lannya hanya dapat membuat
pemuda gagah itu ber-
tahan beberapa saat. Hingga
kemudian....
Trang...!
Bragas terkejut setengah mati.
Pedangnya
membentur senjata lawan. Dan...
senjata andalan pe-
muda gagah itu terbelit rantai
besi seorang anggota
Gerombolan Rantai Maut.
Terpaksa Bragas melepas
pedangnya yang tak
dapat ditarik kembali. Padahal,
sembilan pisau tajam
meluncur deras ke arah pemuda
gagah itu.
"Ha ha ha...!"
Tawa Barong Kala terdengar
semakin keras
tatkala Bragas menjatuhkan diri
ke tanah untuk
menghindari serangan. Tak urung,
sambaran sebilah
pisau anak buah Barong Kala
merobek dada pemuda
itu. Jerit kesakitan keluar dari
mulut Bragas. Dengan
nekat dia menerjang.
Sambaran pisau di ujung rantai
tiga orang ang-
gota Gerombolan Rantai Maut
telah mendahului. Tam-
paknya Malaikat Kematian
benar-benar akan menjem-
put nyawa Bragas!
Namun, mendadak kelebatan sinar
perak sang-
gup menghentikan gerakan tiga
anak buah Barong Ka-
la. Tak ada jeritan yang
terdengar. Tiga lelaki kasar
yang naas itu berdiri dengan
tubuh tanpa kepala. Dan,
perlahan-lahan tubuh mereka
jatuh berdebam di atas
tanah! Rupanya, ketajaman pedang
Yaniswara telah
menyelamatkan nyawa Bragas.
Melihat adegan yang cukup
mengiriskan itu,
Barong Kala mendengus keras
seraya meloncat dari
atas batu besar.
"Punya kepandaian juga kau
rupanya, Manis!"
Yaniswara tak memperhatikan
ucapan lelaki
bertubuh tinggi besar itu.
Ditatapnya Bragas yang se-
dang memasang kuda-kuda. Lalu
katanya, "Bergabun-
glah dengan teman-teman, Bragas.
Bentuklah
'Himpunan Kencana Mega'!"
Bragas langsung menghemposkan
tubuhnya
tinggi-tinggi, meninggalkan para
pengeroyoknya yang
tinggal tujuh orang.
"Himpunan Kencana
Mega'!" teriak Bragas den-
gan suara lantang.
Para pengawal barang Ekspedisi
Kencana Mega
segera berloncatan meninggalkan
lawan-lawan mereka.
Kemudian, membentuk barisan
berbanjar tiga di mana
Bragas berdiri paling depan.
Dengan serentak mereka
menjatuhkan pedang ke tanah.
Masing-masing melo-
loskan ikat pinggang yang
berwarna kuning keemasan.
Blaaakkk...!
Seluruh ikat pinggang para
pengawal barang
Ekspedisi Kencana Mega yang
terbuat dari kain di-
kembangkan lebar-lebar. Setelah
itu, mereka berdiri
diam bagai terpaku ke bumi.
Hanya mata mereka yang
bersorot tajam menatap
Gerombolan Rantai Maut yang
menghentikan serangan.
"Jangan membuang waktu!
Segera kita be-
reskan mereka!" teriak
seorang anak buah Barong Kala
seraya menerjang. Teman-temannya
langsung mengi-
kuti.
Teman-teman Bragas segera
berloncatan den-
gan tetap mengembangkan kain di
tangan mereka. Se-
luruh anak buah Barong Kala yang
sedang mengayun-
kan rantai besinya menjadi
terkejut. Mendadak tubuh
para pengawal barang Ekspedisi
Kencana Mega lenyap
tertutup kain-kain kuning
keemasan yang disatukan.
Ujung-ujung rantai yang terdapat
bilah pisau
tajam di tangan anak buah Barong
Kala terpental keti-
ka membentur kain. Belum sempat
sekawanan peram-
pok itu berbuat sesuatu, dari
sela-sela kain kuning
keemasan meluncur puluhan logam
tipis selebar tela-
pak tangan.
Jerit kesakitan membahana di
angkasa. Benda
berwarna emas itu menghujani
tubuh Gerombolan
Rantai Maut. Dua puluh orang
jatuh terjengkang seca-
ra bersamaan tanpa mampu bangkit
lagi. Tubuhnya
terhunjam senjata rahasia yang
dilontarkan barisan
pengawal barang Ekspedisi
Kencana Mega.
Tiga puluh orang anak buah
Barong Kala yang
tertinggal menjadi giris. Tapi,
mereka nekat menerjang.
Kembali kain kuning keemasan
yang dibentangkan pa-
ra pengawal barang Ekspedisi
Kencana Mega dapat
mementalkan senjata lawan. Suara
desingan senjata
rahasia mereka membuat nyali
anak buah Barong Kala
menjadi kecut.
Lima orang lagi jatuh
terjungkal. Rupanya, ke-
hebatan 'Himpunan Kencana Mega'
tak dapat ditembus
oleh Gerombolan Rantai Maut.
Ketika Bragas bersama
teman-temannya ber-
loncatan di udara sambil tetap
mengembangkan kain
kuning keemasannya, teriakan
menyayat hati memba-
hana panjang. Tubuh sepuluh
orang anak buah Ba-
rong Kala mencelat masuk ke
dalam jurang di sisi ja-
lan.
Kuda-kuda tunggangan para
pengawal barang
Ekspedisi Kencana Mega meringkik
ketakutan me-
nyaksikan jalannya pertempuran.
Sebagian telah mela-
rikan diri membawa perasaan
ngeri.
Yaniswara yang sedang bertempur
melawan Ba-
rong Kala menjadi gusar. Sambil
mengirimkan sebuah
tebasan ke arah leher lawan,
gadis cantik itu berteriak,
"Jangan biarkan kuda-kuda
kita lari! Segera sudahi
pertempuran!"
Seluruh anak buah Yaniswara
langsung mem-
perhebat serangan. Yaniswara
sendiri mengeluarkan
jurus puncaknya yang diberi nama
'Mega Kencana
Menggempur Petir'.
Gadis cantik itu melayangkan
kain lebar kuning
keemasan. Kain itu mengembang
meluncur ke arah
Barong Kala. Kibasan rantai di
tangannya jadi tak be-
rarti. Kain kuning keemasan
Yaniswara menerpa tu-
buh Barong Kala dan menjerat
kedua tangannya.
Lalu....
Crash...!
Kepala ketua Gerombolan Rantai
Maut itu jatuh
ke tanah. Terkena tebasan pedang
Yaniswara. Sung-
guh suatu pemandangan yang mengerikan.
Yaniswara
yang berparas cantik dan tampak
lemah dapat berbuat
sedemikian sadis!
Setelah menjambret kain kuning
keemasan
yang membelit tubuh Barong Kala,
kepala rombongan
Ekspedisi Kencana Mega itu
menatap sejenak anak
buahnya yang masih berkutat
dengan pertempuran
sengit.
"Segera sudahi perlawanan
mereka!" teriak Ya-
niswara. Dia lalu meloncat
ke sisi badan kereta yang
telah hancur berantakan.
"Ah, kenapa barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama hanya berisi
kotak kayu kecil?"
gumam gadis itu keheranan. Dia
melihat peti kayu be-
sar tutupnya telah pecah. Di
dalamnya terdapat se-
buah kotak kayu kecil.
Setelah mengerahkan tenaga dalam
untuk me-
mungut kotak kayu kecil yang
dipakukan di dasar peti
besar, Yaniswara meloncat untuk
membantu anak
buahnya menghalau sisa-sisa
Gerombolan Rantai
Maut.
Namun, tiba-tiba dari mulut
jurang berserabu-
tan tali-tali yang ujungnya
terdapat sebilah besi runc-
ing dan menancap di tebing
cadas. Dengan menyentak
tali, belasan wanita berbaju
ungu berloncatan dan
langsung menggempur para
pengawal barang Ekspedi-
si Kencana Mega!
Tentu saja Yaniswara bersama
seluruh anak
buahnya terkejut bukan main
mendapati serbuan para
anggota Partai Iblis Ungu.
Setahu mereka, partai besar
yang beranggotakan para wanita
berkepandaian tinggi
dan mengenakan pakaian serba
ungu dengan senjata
seutas tali berujung besi
runcing itu hanya terdapat di
Kerajaan Saloka Medang.
Tapi, kenapa sekarang para
anggota partai itu
menyebar ke wilayah Kerajaan
Anggarapura?
Keterkejutan tidak hanya melanda
para pen-
gawal barang Ekspedisi Kencana
Mega, sisa-sisa ang-
gota Gerombolan Rantai Maut pun
ikut merasakan.
Kawanan perampok itu tak sempat
berbuat apa-apa
lagi waktu tubuh mereka terbelit
seutas tali. Lalu,
ujung tali yang terdapat sebilah
besi runcing berkele-
bat dan menancap di dahi!
Dengan diiringi jerit
mengiriskan hari seluruh
anggota Gerombolan Rantai Maut
melepas nyawa. Me-
reka menyusul kepergian Barong
Kala ke alam baka.
Jeritan kembali terdengar
susul-menyusul keti-
ka anak buah Yaniswara tahu-tahu
menggelosor ke
tanah dengan jantung koyak,
tertembus senjata anggo-
ta Partai Iblis Ungu.
Yaniswara sendiri bersama Bragas
dan dua
orang temannya masih tersisa.
Tapi, tampaknya mere-
ka juga akan segera masuk ke
lubang maut. Tempat
itu dihujani jarum beracun!
Sambil mendekap kotak kayu
berukir di tangan
kiri, Yaniswara berusaha
menghalau serbuan senjata
rahasia yang ditebarkan para
anggota Partai Iblis Un-
gu.
Srat...! Srat...!
Jarum-jarum beracun rontok ke
tanah. Malang
bagi Bragas dan kedua temannya.
Tubuh mereka men-
jadi sasaran empuk. Puluhan
jarum beracun menan-
cap tanpa dapat dihindari lagi.
Lalu, suatu jeritan yang
mendirikan bulu roma
membahana di angkasa. Dengan
suatu belitan tali
yang sangat kuat, tubuh tiga
orang pengawal barang
Ekspedisi Kencana Mega itu
dilontarkan hingga mem-
bentur tebing cadas. Akibatnya
sungguh mengerikan.
Tubuh mereka menancap dengan
kepala terlebih da-
hulu!
Melihat lawan yang sedemikian
hebat, tanpa
mau membuang waktu lagi
Yaniswara segera meloncat
ke punggung kuda yang kebetulan
berada di dekatnya.
"Heaaa...!"
Tali kendali disendat kuat-kuat.
Kuda pun me-
lesat. Yaniswara membungkukkan
tubuh sambil me-
mutar pedang di belakang
punggung untuk menghalau
serbuan jarum beracun.
Wiranti yang merupakan ketua
Partai Iblis Un-
gu langsung meloncat ke sisi
kereta Ekspedisi Kencana
Mega yang telah hancur.
"Bangsat...!" umpat
wanita setengah baya den-
gan rambut dibiarkan tergerai
itu. "Barang Tuhisa
Brama sudah tak ada lagi. Tikus
kecil anak Lodra Sa-
wala itu telah membawa lari.
Kejar dia!"
Seluruh anggota Partai Iblis
Ungu langsung me-
lesat dengan mengendalikan ilmu
meringankan tubuh.
Mereka berlari cepat mengejar
Yaniswara yang melari-
kan diri dengan menunggang kuda.
Wiranti sendiri meloncat ke atas
tebing cadas.
Matanya memandang tajam ke arah
jalan berkelok dari
wilayah Kademangan Maospati.
"Si Kipas Sakti...,"
gumam ketua Partai Iblis
Ungu itu. Tampak olehnya titik
hitam berkelebat cepat
hendak melintasi jalan yang baru
saja dijadikan arena
pertempuran.
Wiranti meloncat dari atas
tebing untuk meng-
hadang langkah bayangan yang
sedang berkelebat ce-
pat. Namun, wanita setengah baya
itu menjadi terke-
jut. Tahu-tahu sambaran kipas
baja putih berkelebat
hendak memancung lehernya!
"Ih...!"
Wiranti meloncat ke belakang.
Sosok bayangan
itu terus berlari mengikuti arah
jalan anggota Partai
Iblis Ungu yang sedang mengejar
Yaniswara.
"Berhenti kau, Kakek
Peot!" teriak Wiranti se-
raya mengejar sosok bayangan
yang baru saja diha-
dangnya.
Yaniswara terus memacu kuda
semakin cepat.
Terbawa oleh perasaan tegang,
sinar mata gadis cantik
itu menjadi nyalang. Nafasnya
terdengar memburu.
Ketika dia menoleh ke belakang,
keterkejutan
yang luar biasa menghantam dada
Yaniswara. Tak se-
berapa jauh di belakang kudanya
belasan anggota Par-
tai Iblis Ungu tampak mengejar.
Kecepatan lari mereka
melebihi kecepatan langkah kaki
kuda yang ditung-
gangi Yaniswara.
Srat...! Srat...!
Dua kaki belakang kuda Yaniswara
terbelit tali
yang dilontarkan seorang anggota
Partai Iblis Ungu.
Ketika disendat dengan keras
tubuh kuda melayang
tinggi, kemudian jatuh ke tanah
dengan kepala remuk!
Yaniswara yang telah melompat
dari punggung
kuda bersalto beberapa kali di
udara sebelum menda-
rat dengan sigap. Cepat dia
mengikat kotak kayu beru-
kir ke pinggang dengan
menggunakan tali pengikat
rambutnya. Gadis cantik itu kini
menatap tajam bela-
san anggota Partai Iblis Ungu
yang berdiri di hadapan-
nya.
"Apa mau kalian?!"
bentak Yaniswara seraya
meloloskan pedang dari
sarungnya. Tangan kirinya
memegang kain lebar berwarna
kuning keemasan.
Tak ada jawaban yang terdengar
dari para ang-
gota Partai Iblis Ungu. Mereka
bergerak memutar men-
gepung Yaniswara.
"Bangsat! Katakan apa mau
kalian?!" bentak
gadis cantik itu kembali.
"Serahkan kotak kayu
berukir yang berada di
pinggangmu itu!" perintah
seorang anggota Partai Iblis
Ungu.
"Huh! Tidak tahukah kalian
kalau barang ini
milik Tuan Tuhisa Brama yang
harus diserahkan ke-
pada seorang pejabat Kerajaan
Anggarapura?"
"Tak peduli barang itu
milik siapa! Yang pent-
ing, Partai Iblis Ungu
menginginkannya. Maka dari itu
kalau kau masih sayang pada
nyawamu, segera serah-
kan barang yang kau bawa!"
"Sundal-sundal busuk! Nama
besar Partai Iblis
Ungu ternyata tak lebih dari
sekumpulan perampok
hina-dina!"
Mendengar cacian pedas
Yaniswara, seluruh
anggota Partai Iblis Ungu
menggeram.
"Cepat tentukan pilihan!
Serahkan barang, atau
nyawa akan melayang!" ancam
salah seorang dari me-
reka sambil menggerak-gerakkan
tali di tangannya.
"Aku sudah menentukan
pilihan sejak tadi!"
sahut Yaniswara lantang.
"Bagus! Cepat kau katakan
pilihan itu!"
"Aku akan membuntungi
lengan kalian satu
persatu."
"Bangsat!"
Yaniswara menghemposkan tubuhnya
tinggi-
tinggi ketika tiga orang anggota
Partai Iblis Ungu me-
nerjang dengan sabetan besi
runcing ke arah dada.
"Ih...!"
Yaniswara terperangah. Waktu
tubuhnya masih
melayang di udara, besi-besi
runcing lainnya telah me-
nyusul dari berbagai penjuru
mata angin.
"Sundal-sundal busuk!
Perampok hina-dina!"
umpat gadis cantik itu seraya
memutar pedang untuk
melindungi sekujur tubuhnya.
Tapi, keterkejutan kembali dia
rasakan. Secara
mendadak besi-besi runcing yang
dikendalikan seutas
tali itu meliuk dan menghunjam
dari arah bawah. Me-
mapaki luncuran tubuh Yaniswara
yang hendak men-
darat!
Blak...!
Untunglah, gadis cantik itu
masih sempat men-
gembangkan kain lebar di tangan
kirinya. Besi-besi
runcing yang hendak menyate
tubuhnya terpental. La-
lu dengan sebuah kibasan yang
dilambari tenaga da-
lam penuh, kain kuning Yaniswara
membuat kitiran
angin yang menimbulkan aroma
harum.
"Racun picisan tak akan sanggup
merobohkan
kami!" teriak salah seorang
anggota Partai Iblis Ungu.
Dilancarkannya sebuah tendangan
tanpa mempeduli-
kan hawa beracun yang
menyelubungi tempat itu.
Kesekian kalinya Yaniswara
terkejut. Lawan se-
pertinya kebal terhadap racun
yang ditebarkannya.
Padahal pengaruh racun itu
sangat ganas. Siapa saja
yang menghirupnya akan mati
seketika dengan darah
segar meleleh dari seluruh
pori-pori tubuh. Karena itu-
lah sebelum berangkat untuk
mengantarkan barang
Tuan Tuhisa Brama, Yaniswara
telah diwanti-wanti
oleh ayahnya untuk menggunakan
racun itu bila da-
lam keadaan sangat terpaksa.
Tapi, kenapa para anggota Partai
Iblis Ungu
sama sekali tak terpengaruh?
Apakah tubuh mereka
kebal terhadap segala jenis
racun? Atau, mereka mem-
punyai obat penawar seperti yang
dimiliki Lodra Sawa-
la, pemilik Ekspedisi Kencana
Mega. Dari mana mere-
ka mendapatkannya?
Tak ada waktu bagi Yaniswara
untuk mencari
jawaban pertanyaan-pertanyaan
itu. Belasan anggota
Partai Iblis Ungu telah
menyerang dengan bertubi-tubi.
Dan tampaknya mereka begitu
bernafsu untuk segera
menyudahi riwayat gadis cantik
ini.
Seperti tidak mempercayai akan
keadaan, Ya-
niswara mengibaskan kembali kain
kuning di tangan
kirinya. Aroma harum menebar
untuk kedua kali.
"Ha ha ha...!" Seorang
anggota Partai Iblis Ungu
tertawa terbahak-bahak.
"Sudah kubilang, racun pici-
san tak akan sanggup merobohkan
kami."
"Jangan kaget bila kalian
menemui ajal dengan
tubuh bersimbah darah!"
ucap Yaniswara tak ingin ja-
tuh semangat.
"Ha ha ha... Kami akan mati
kena racun picisan
itu? Jangan mimpi, Gadis Bengal!
Kami sudah mem-
punyai obat penawarnya."
"Dari mana kalian
mendapatkannya?!" Yanis-
wara terkejut bukan main. Hanya
ayahnya yang memi-
liki obat penawar racun itu.
"Setelah kau berangkat
bersama anak buahmu,
ketua kami menghancurleburkan
Ekspedisi Kencana
Mega lalu membunuh ayahmu!"
Mendengar ucapan itu, Yaniswara
menjerit se-
raya menundukkan kepala. "Benarkah
apa yang di-
ucapkannya? Benarkah Ekspedisi
Kencana Mega telah
hancur dan Ayah telah
berpulang?" Hati Yaniswara di-
liputi kekacauan hebat
Menyaksikan lawan berdiri
termangu, salah
seorang anggota Partai Iblis
Ungu menyeringai seraya
menggerakkan tangan kirinya.
Gerakan itu ringan saja.
Namun, kelebatan besi runcing di
ujung tali yang ter-
pantul tak mampu lagi diikuti
oleh pandangan mata
Yaniswara. Hingga kemudian....
Ting...!
Si penyerang terkejut luar
biasa. Senjata anda-
lannya terpental ketika
membentur dada Yaniswara.
Terdengar bunyi seperti
berbenturan dengan logam.
Kain baju Yaniswara yang robek
memperlihatkan kalau
gadis cantik itu mengenakan
pelindung dada dari sen-
jata tajam yang berwarna hitam
legam.
"Rompi Pelindung
Jiwa!" desis seluruh anggota
Partai Iblis Ungu hampir
bersamaan.
Mereka jadi gusar. Benda ampuh
itu merupa-
kan benda pusaka Kerajaan Saloka
Medang yang dis-
impan dalam ruangan dengan
pengawalan ketat. Tapi,
kenapa benda pusaka itu bisa
dipakai Yaniswara yang
tidak mempunyai hubungan dengan
pihak kerajaan?
Tanpa mau berpikir lebih panjang
lagi seorang
anggota Partai Iblis Ungu
menerjang. "Walau kau dilin-
dungi benda kiriman Dewa
sekalipun, maut tetap akan
menjemput mu, Kelinci Besar
Kepala!"
Serangan susul-menyusul segera
menghujani
tubuh Yaniswara. Gadis cantik
yang sinar matanya te-
lah menampakkan sinar kedukaan
itu menjadi berin-
gas, ia menggeram keras seraya
memutar pedang un-
tuk menghalau cecaran besi
runcing yang mengarah
kepalanya. Sedangkan besi
runcing lainnya yang tertu-
ju ke dada dan punggung dia
biarkan saja.
Benturan senjata logam yang
terjadi secara be-
runtun menimbulkan suara
gemerincing memekakkan
telinga. Seluruh senjata andalan
di tangan anggota
Partai Iblis Ungu terpental.
Lalu, Yaniswara mengem-
bangkan kain kuning keemasannya
seraya berputar
cepat menyerupai gangsing.
Seluruh anggota Partai Ib-
lis Ungu pun terperangah. Ujung pedang Yaniswara
mendadak berlipat jumlahnya
bagai ribuan tangan
maut
Tapi, para anggota Partai Iblis
Ungu bukanlah
tokoh kemarin sore. Dengan
jejakan ringan di tanah
tubuh mereka melayang ke udara
secara berpencar.
Lalu, dalam keadaan masih
melayang mereka melon-
tarkan senjata andalannya secara
bersamaan. Besi-
besi runcing yang terdapat di
ujung tali saling bertau-
tan. Ketika tubuh mereka
bergerak turun, tali-tali yang
telah terjalin bergerak seperti
jala, membuat perangkap
terhadap Yaniswara.
Crash...! Crash...!
Kain kuning keemasan di tangan
kiri Yaniswara
menahan tali-tali yang mengepung
tubuhnya dari atas.
Pada saat senjata anggota Partai
Iblis Ungu ter-
tahan di udara, pedang Yaniswara
berkelebat cepat.
Dua jeritan panjang membahana di
angkasa. Karena,
dua pasang kaki sebatas lutut
telah terpenggal. Pemi-
liknya langsung roboh dan
menggelepar kesakitan!
"Perampok hina-dina seperti
kalian memang pa-
tut mendapat perlakuan
keji!" kata Yaniswara sambil
meraih ujung kain kuning
keemasannya. Bersamaan
dengan itu, kilatan mata pedang
berusaha menusuk
tenggorokan salah seorang lawan.
Yang menjadi sasaran mendengus.
Kedudu-
kannya digeser ke samping.
Mendadak, dia membuat
gerakan terhuyung-huyung seperti
orang mabuk. Tu-
buhnya lalau terjengkang ke
belakang. Namun, dengan
kecepatan kilat telapak kaki
anggota Partai Iblis Ungu
itu menyepak!
Duk...!
Tubuh Yaniswara bergetar keras.
Tendangan
itu mengenai betisnya. Dalam
keadaan limbung sepa-
sang kaki gadis cantik itu terus
dicecar dengan ten-
dangan. Ketika dia hendak meloncat
ke atas, tali-tali
yang telah terjalin menjadi jala
menghalangi gerakan-
nya.
Yaniswara berusaha membabat
putus tali-tali.
Tapi mata pedangnya seperti
membentur benda kenyal
yang tak mempan oleh senjata
tajam.
"Jurus 'Jala Iblis Mabuk'
akan segera mengha-
bisi nyawamu!" teriak salah
seorang anggota Partai Ib-
lis Ungu dengan sinar mata
berkilat tajam.
Ucapan wanita berpakaian serba
ungu itu be-
nar-benar akan terbukti saat
tubuh Yaniswara ter-
hempas ke tanah oleh tendangan
yang tepat bersarang
di pinggang. Belum sempat gadis
cantik itu bangkit,
belasan besi runcing yang telah
menyatu meluncur ke
arah kepala!
Trang...!
Kibasan pedang menyelamatkan
nyawa Yanis-
wara. Tapi gadis itu
terperangah. Batang pedangnya
terjepit besi-besi runcing. Kemudian,
dengan sebuah
sentakan pedang Yaniswara pun
terlepas dari pegan-
gan.
Tak pula disangka oleh gadis
cantik itu ketika
sebilah besi runcing lepas dari
jalinan, dan meluncur
deras menghunjam ke dahi!
Yaniswara masih sempat
menggerakkan tubuhnya untuk
menadahi luncuran
besi runcing itu dengan dada.
Ting...!
Rompi Pelindung Jiwa yang
dikenakan Yanis-
wara membuat senjata lawan
terpental. Namun, tanpa
dinyana gadis cantik itu merasa
pedih pada kedua ka-
kinya. Saat dia hendak meloncat
bangkit, gerakannya
tertahan. Mata Yaniswara
terbeliak lebar melihat cucu-
ran darah merembes dari kain
celananya. Rupanya,
dua bilah besi runcing telah
menancap ke paha Yanis-
wara, dan tembus masuk ke dalam
tanah.
Jerit kesakitan yang mendirikan
bulu roma se-
gera keluar dari mulut gadis
cantik itu, saat kedua
tangannya tertusuk besi runcing
lawan yang langsung
menghunjam ke dalam tanah. Dalam
keadaan demi-
kian kaki dan tangan Yaniswara
tak mampu lagi dige-
rakkan
Hanya selang waktu satu kejapan
mata, sebilah
besi runcing lainnya telah
meluncur deras mengarah
tenggorokan. Malaikat Kematian
benar-benar mengin-
tai nyawa Yaniswara!
Namun sebelum keadaan yang tak
diinginkan
terjadi, sesosok bayangan
berkelebat cepat. Empat
anggota Partai Iblis Ungu
terperangah. Tali-tali di tan-
gan mereka yang semula kencang mendadak kendor
dan terkulai. Tali-tali itu
telah putus karena sambaran
senjata yang sangat, ampuh. Besi
runcing yang semula
hendak merenggut jiwa Yaniswara
pun hanya meng-
hunjam ke tanah kosong.
Seluruh wanita berpakaian serba
ungu di tem-
pat itu mengumpat-umpat tak
karuan. Tubuh Yanis-
wara mendadak lenyap
meninggalkan empat genangan
darah di mana pada
tengah-tengahnya terdapat ujung
tali anggota Partai Iblis Ungu
yang telah putus.
"Bodoh...!"
Sebuah teriakan menyadarkan
mereka. Wiranti
yang telah hadir di tempat itu
langsung memberi perin-
tah untuk mengejar.
Bersama anak buahnya Wiranti
menghemposkan tu-
buh mengikuti bayangan yang
telah menyelamatkan
Yaniswara. Sayang, sosok
bayangan itu berlari demi-
kian cepat Yang terlihat tinggal
titik hitam yang kemu-
dian lenyap seperti ditelan
bumi.
3
Tatkala Yaniswara tersadar dari
pingsannya,
pada bagian kaki dan tangannya
yang terluka tampak
terbebat kain putih bersih. Tak
ada warna merah di
sana. Agaknya cairan darahnya
telah mampet Gadis
cantik itu bangkit untuk duduk.
Yang pertama dia la-
kukan adalah menggerakkan tangan
meraba pinggang
kanannya.
"Barang titipan Tuan Tuhisa
Brama masih
aman. Tapi, siapakah yang telah
menyelamatkan diri-
ku?" tanya Yaniswara dalam
hati.
Gadis cantik itu lalu menebarkan
pandangan.
Sebuah bukit kecil terpampang di
hadapannya. Ketika
dia menoleh ke samping, aliran
air sungai yang tak se-
berapa lebar membelah lereng di
antara dua bukit.
"Uh...!"
Keluh kecil keluar dari mulut
Yaniswara. Kedua
kakinya kejang saat hendak
digerakkan. Rasa kejang
itu sudah cukup untuk
mengurungkan niatnya berja-
lan ke arah sungai.
Namun, kerongkongannya yang
kering mende-
saknya untuk berusaha mencapai
tepian sungai. Den-
gan beringsut Yaniswara
menggeser tubuh. Sampai ju-
ga akhirnya dia di tepi sungai.
Diraupnya air sungai
untuk membasahi kerongkongannya
yang haus.
Air sungai yang bening
memantulkan wajah ga-
dis cantik itu. Rambutnya
riap-riapan karena tanpa
ikatan.
Yaniswara segera menggelung
rambutnya. Ke-
mudian, dia membasuh wajah
sepuas-puasnya tanpa
mempedulikan rasa kejang di
kedua pergelangan tan-
gannya.
"Siapa pun orang yang telah
menolongku, tentu
dia seorang pendekar budiman
yang berkepandaian
sangat hebat," gumam gadis
cantik itu.
Yaniswara kemudian mengerahkan
tenaga da-
lam untuk mengatasi rasa kejang
di kedua pergelangan
kaki dan tangannya. Setelah itu,
dia berjalan menyu-
suri tepian sungai. Walaupun
langkah kakinya tim-
pang, tapi kelincahannya tetap
terlihat. Sambil melon-
cat-loncat di antara tonjolan
batu besar, Yaniswara
membuka selembar kulit samakan
yang bergambar pe-
ta penunjuk arah.
"Bila benar sungai ini yang
ditunjukkan dalam
peta, maka dengan menyusuri
tepian sungai yang ber-
lawanan dengan arus, akan segera
menemukan jalan
yang bisa membawaku ke Kotapraja
Kerajaan Angga-
rapura...."
Setelah berpikir demikian,
Yaniswara memper-
cepat langkah. Mentari telah
condong ke barat. Na-
mun, langkah kakinya terhenti
waktu melihat seorang
kakek berpakaian penuh tambalan
sedang asyik me-
mancing di bawah rimbunan
sebatang pohon besar
yang agak menjorok ke arah
sungai.
Wajah si kakek yang penuh kerutan mencer-
minkan usia tuanya. Rambutnya
putih diikat tali dari
besetan kulit batang bambu.
Sedangkan janggutnya
yang lebat tergerai hampir
menyentuh pangkuan. Hi-
dung lelaki tua itu mancung.
Pada bagian ujungnya
berwarna merah seperti buah
tomat masak. Bibir yang
juga keriput karena gigi yang
hampir tanggal semua
selalu mengulum senyum. Matanya
tak berkedip me-
natap gelombang kecil yang
ditimbulkan tali pancing.
"Hup! He he he...."
Si kakek tertawa terkekeh waktu
dia menyendat
joran pancingnya. Terlihat
olehnya seekor ikan sepat
putih sebesar telapak tangan
menggelepar di atas ta-
nah.
Belum sempat kakek berpakaian
penuh tamba-
lan itu melepas mata pancing
dari mulut si ikan, seso-
sok bayangan berkelebat.
Tampaknya sosok Yaniswara
berdiri tegak sambil menatap
tajam wajah si kakek.
"Hei! Bukankah kau kakek
aneh yang kutemui
di Kademangan Maospati?!"
ujar Yaniswara setengah
berteriak.
Si kakek hanya menatap sejenak,
lalu menyen-
dat joran pancing dan si ikan
meronta keras. Tahu-
tahu tubuhnya telah berada dalam
genggaman tangan
kiri si kakek. Hanya dengan satu
gerakan kecil saja,
mata pancing telah terlepas dari
mulut ikan naas itu.
Setelah merentengi hasil
pancingannya bersa-
ma ikan-ikan lain dengan rumput
ilalang, si kakek
memasang umpan kembali.
Dilontarkannya mata kail
ke permukaan air sungai. Sikap
kakek itu tampak
acuh tak acuh.
Yaniswara menjadi gusar
melihatnya. Tapi, dia
tak mau berbuat kasar. Yaniswara
telah tahu kepan-
daian si kakek. Ada pula pikiran
di benak Yaniswara
kalau orang yang telah
menyelamatkan nyawanya dari
keroyokan anggota Partai Iblis
Ungu adalah kakek di
hadapannya ini. Karena itu
Yaniswara mencoba me-
masang wajah manis.
"Maaf, bila kehadiranku
mengganggu keasyikan
mu, Pak Tua...," kata gadis
cantik itu kemudian. "Tapi
aku tak dapat membendung
hasratku untuk bertanya.
Apakah Pak Tua yang telah
menyelamatkan diriku?"
Tak ada jawaban yang terdengar.
Mulut kakek
itu terkatup rapat. Kemudian,
menyungging senyum
lebar saat tali kail mengencang.
Umpan pada kailnya
telah disambar seekor ikan.
Kakek berpakaian penuh
tambalan itu segera menggerutu
panjang pendek saat
dia menyendat joran pancing dan
ternyata si ikan le-
pas. Tercebur kembali ke air
sungai setelah meronta
keras di udara.
"Pak Tua...," ucap
Yaniswara. "Tidakkah kau
mendengar pertanyaanku?"
Tanpa menoleh, karena sibuk
memasang um-
pan kembali, si kakek berkata,
"Para anggota Partai Ib-
lis Ungu tak lagi mengejarmu.
Kenapa kau tak segera
menuju ke kotapraja?"
"Tapi, aku mesti tahu
terlebih dahulu apakah
Pak Tua yang telah menyelamatkan
diriku?"
"Ah, itu tak penting. Kalau
Tuhan memang be-
lum menghendaki, maut tak akan
menjemput"
"Jadi, benar Pak Tua yang
telah menyela-
matkan diriku?" Yaniswara
berusaha menegasi.
"Siapa bilang
demikian?" tanya si kakek.
Mendengar perkataan itu, dahi
Yaniswara ber-
kerut. Walau masih muda dia
telah banyak berjumpa
dengan tokoh persilatan yang
berperilaku aneh. Tapi
tak seperti sikap kakek ini.
"Kenapa malah berdiri
termangu? Segeralah
kau lanjutkan perjalananmu. Kau
hanya mengusik
keasyikan ku saja," kata
kakek berpakaian penuh
tambalan sambil mengayunkan
joran pancing. Um-
pannya tercebur hampir ke tengah
sungai.
Yaniswara tak juga beranjak dari
tempatnya.
Kini matanya memandang penuh
selidik.
"Siapa kau sebenarnya, Pak
Tua?" tanya gadis
cantik itu. "Di Kademangan
Maospati tampaknya kau
telah begitu mengenal siapa
diriku. Jangan membuat
aku penasaran."
"Lalu, maumu apa?"
tanya si kakek masih tetap
acuh tak acuh.
"Kenalkan siapa
dirimu."
"Siapa aku? He he
he...."
Kakek berpakaian penuh tambalan
itu tertawa
terkekeh menampakkan gusi tanpa
gigi. Yaniswara
terkejut. Ketika dia berjumpa
dengannya di Kademan-
gan Maospati kakek itu bergigi
lengkap. Mungkinkah
waktu itu dia memakai gigi
palsu?.
"Nasihat yang baik tak
dituruti, malah berdiri
termangu seperti seekor kera
kena sumpit."
Ucapan si kakek membuat
Yaniswara menden-
gus. Lalu, sambil menggedruk
tanah dia membentak,
"Cepat katakan siapa
dirimu, Pak Tua!"
"Hei, tidakkah kau sadar
kalau baju yang kau
kenakan telah koyak-koyak.
Segeralah pergi ke kota-
praja. Ganti bajumu itu di sana.
Dan, antarkan barang
titipan Tuhisa Brama ke
tujuan!"
Selesai berucap, mendadak si
kakek melempar-
kan joran pancing ke tengah
sungai. Lalu dia beranjak
dari duduknya seraya menyambar
rentengan ikan di
tanah.
Sambil bersiul-siul dia
melangkah dengan rin-
gan.
"Tunggu dulu, Pak
Tua!" cegah Yaniswara se-
raya menghemposkan tubuhnya
menghadang jalan.
Tapi, si kakek tak mau
menghentikan langkah.
Tahu-tahu, tubuh Yaniswara
terlontar ke samping se-
jauh dua tombak! Tentu saja
gadis cantik itu terkejut.
Dia sama sekali tak melihat
gerakan kakek itu yang
berlambarkan tenaga dalam. Hanya
kedua kakinya te-
rus melangkah. Tapi kenapa tubuh
Yaniswara bisa ter-
lontar sedemikian rupa?
Belum sempat Yaniswara menyadari
keadaan,
suatu keterkejutan kembali
melanda. Tubuh si kakek
lenyap tanpa bekas seperti
siluman saja.
"Ih...!"
Yaniswara bergidik ngeri. Kalau
saja tidak siang
hari, tentulah dia menyangka
kakek itu hantu gen-
tayangan.
"Ah, apa perlunya berpikir
tentang tokoh aneh
itu? Lebih baik aku segera
menuju kotapraja. Mudah-
mudahan sebelum malam tiba aku
telah sampai di sa-
na...," gumam gadis cantik
itu.
Ditimangnya sebentar kotak
berukir yang dia
talikan di pinggang kanan.
Kemudian, Yaniswara ber-
lari cepat menyusuri tepian
sungai dengan melawan
arus. Gerakannya sangat tangkas.
Luka di kedua per-
gelangan kaki dan tangan
tampaknya sudah tak mem-
buat masalah lagi. Sejak kecil
Yaniswara memang telah
digembleng sedemikian rupa. Dia
sudah terbiasa un-
tuk tak memanjakan dirinya.
***
Seorang remaja tampan yang
rambutnya di-
biarkan tergerai panjang tampak
menanggalkan pa-
kaian yang dia kenakan. Lalu,
pakaian penuh tamba-
lan itu dilemparkannya ke atas
tanah. Waktu dia hen-
dak mencopot celana kolor pendek
yang masih dikena-
kannya, si remaja tampan itu
ragu sejenak. Tanpa sa-
dar dia menggaruk-garuk kepala.
"Celana dalam ini dilepas
atau tidak, ya?" gu-
mam pemuda itu. "Kalau
dilepas jangan-jangan ada
wewe nyasar kemari. Kalau dia
tahu 'anu'-ku, wah bisa
berabe...,"
digaruk-garuknya kepala semakin keras
sambil nyengir. "Tapi kalau
tidak dilepas, celana kolor
ku ini pasti basah. Untuk
memakainya kembali mesti
menunggu kering terlebih dahulu.
Padahal sinar men-
tari sudah mulai redup...."
Berpikir sampai di situ,
tiba-tiba dia memukul
kepalanya sendiri.
"Goblok! Kenapa otakku jadi
bebal banget? Sore
hari begini mana ada wewe mau
menampakkan diri?
Tapi kalau dia nekat muncul,
akan kukencingi dia.
Beres!"
Remaja tampan itu segera
mencopot celana ko-
lornya. Lalu, dilemparkan ke
atas tumpukan pakaian-
nya yang lain. Setelah berbuat
demikian, dia mencebur
ke dalam sungai sambil tertawa
terkekeh.
Air sungai yang cukup dalam
membuat remaja
tampan itu leluasa mandi
sepuas-puasnya. Suara ke-
cipak air yang dibarengi tawa
terkekeh mengundang
perhatian seekor monyet. Hewan
itu meloncat-loncat di
atas dahan pohon sambil
mengeluarkan suara bercoe-
tan. Tindakan itu tampaknya
mengganggu keasyikan si
remaja tampan.
"Hei, Monyet!" teriak
pemuda itu. "Kau kurang
kerjaan, ya? Ekor mu masih utuh,
Goblok! Kau tak
perlu meloncat-loncat tak karuan
untuk mencarinya.
Suaramu menyakitkan telingaku,
ngerti?!"
Melihat dirinya dituding-tuding,
si monyet bu-
kannya takut. Dia malah melonjak
senang. Sambil
nyengir monyet itu balas
menuding. Bibirnya yang teb-
al dibuka lebar-lebar seperti
mengejek.
"Uh, dasar monyet!"
gerutu si remaja tampan.
"Jangan-jangan dia monyet
perempuan. Mungkin dia
tadi sempat melihat 'anu'-ku,
jadinya dia...."
Si remaja tampan tercekat
seperti baru teringat
sesuatu. Buru-buru dia menenggelamkan
tubuhnya
hingga sebatas dada.
"Pergi kau, Monyet!"
hardiknya seraya mengi-
baskan telapak tangan kanan.
Gerakan yang dilambari
tenaga dalam itu membuat air
muncrat cukup jauh
dan menyiram tubuh si monyet.
Tentu saja satwa itu terkejut.
Tapi, dia tetap tak
mau pergi. Tubuhnya yang basah
sama sekali tak dihi-
raukan. Si monyet terus
meloncat-loncat sambil men-
geluarkan suara coetan semakin
keras.
Si remaja tampan menggaruk-garuk
kepala.
Kemudian, dia menyelam untuk
menjejak dasar sun-
gai. Tubuh itu lalu melayang ke
udara dalam keadaan
membelakangi si monyet usil.
Mendadak, si remaja
tampan membungkukkan tubuhnya.
Terdengarlah su-
ara, "Brooottt...!"
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh
remaja
tampan itu ke dalam air, aroma
'harum' mirip seribu
bangkai tikus menyebar....
"Rasain!" kata si
remaja tampan sambil menye-
lam.
Hidung si monyet yang pesek
bergerak naik-
turun karena menghirup udara
'beracun'. Serta-merta
dia menutup lubang hidungnya.
Namun, aroma udara
'beracun' tetap tembus. Untuk
beberapa lama dia
menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu, melengking tinggi
dan berlari ketakutan bagai
dikejar ribuan lebah.
"He he he...."
Terdengar suara tawa terkekeh
dari mulut si
remaja tampan. Dia meloncat-loncat
di dalam air.
Ulahnya tak terkendalikan
seperti bocah yang belum
tahu apa-apa.
Melihat perilaku remaja tampan
yang konyol
itu, siapa lagi dia kalau bukan
Suropati atau si Penge-
mis Binal. Walaupun tingkah
lakunya terlihat sangat
bodoh, tapi sesungguhnya dia
berotak cerdas. Sifat
konyolnyalah yang membuat dia
tampak mirip manu-
sia berotak udang. Dan, soal
kehebatan ilmu bela di-
rinya sudah tak dapat dipandang
rendah lagi. Dia ada-
lah pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang sedemikian kesohor di
seantero rimba persilatan.
"Wuih, segaaarrr...,"
ucap remaja tampan itu
saat kepalanya muncul ke
permukaan air sungai. Ka-
rena masih ingin merasakan
kenikmatan lebih lama,
dia menyelam kembali.
Sementara itu, Yaniswara yang
sedang berlari
cepat menyusuri tepian sungai
mendadak menghenti-
kan langkah. Di hadapannya
tampak setumpuk pa-
kaian penuh tambalan yang
menarik perhatian.
"Apakah pakaian ini milik
Pak Tua yang kute-
mui barusan?" tanya gadis
cantik itu. Ketika dia meli-
hat gelombang air di tengah
sungai, seulas senyuman
mengembang di bibirnya.
"Kalau Pak Tua tadi telah
mempermainkan diriku,
sekaranglah aku membalas-
nya."
Serta-merta Yaniswara menyambar
onggokan
pakaian di depannya. Lalu
berkelebat cepat bersem-
bunyi di balik semak-semak.
"Rasain kau, Pak Tua!"
ucap gadis cantik itu.
"Memperkenalkan diri saja
tak mau. Sekarang kau ra-
sakan bila tubuhmu telanjang
bulat. Masihkah keang-
kuhan mu itu kau
pertahankan..."
Perlahan namun pasti mentari
bergeser ke ba-
rat. Sinarnya terasa hangat. Di
antara hembusan angin
yang mengalun lembut burung
berkicau riang di atas
ranting pepohonan. Langit
berwarna merah jingga.
Awan putih membentuk gumpalan
yang bergerak pelan
melukiskan rona-rona indah.
Suropati menggelengkan kepalanya
keras-keras
saat menyembul dari permukaan
air sungai. Cipratan
air menyebar bersama gerakan
rambut remaja tampan
itu. Setelah menyemburkan air
dari dalam mulutnya,
Suropati berenang ke tepian. Sesampainya
di darat dia
mencari-cari tumpukan
pakaiannya.
"Uh! Mungkinkah di sore ini
ada wewe kesa-
sar?" gumam pemuda itu
keheranan. "Apa perlunya
mencuri pakaian yang tiada
harganya? Kalau kepingin
melihat 'anu'-ku, mbok bilang
saja. Tidak perlu ber-
buat macam-macam...."
Sambil menggerutu tak karuan
Suropati terus
berusaha mencari pakaiannya yang
mendadak lenyap.
"Ah, mungkinkah wewe kurang
kerjaan itu me-
nyembunyikan pakaianku di balik
semak-semak itu...,"
Suropati melangkah ke tempat
yang dimaksud.
Yaniswara yang melihat langkah
Suropati tertu-
ju ke tempatnya bersembunyi,
mendekap mulut kuat-
kuat. Matanya terbelalak lebar.
Tapi segera dipejamkan
karena tak tahan menyaksikan
pemandangan yang be-
gitu 'aduhai'.
"Hei, wewe usil itu
ternyata sangat cantik!" te-
riak Suropati saat melihat
Yaniswara yang tidak berani
menatap ke arahnya. "Cepat
kembalikan pakaianku!"
Mendengar bentakan Suropati,
Yaniswara cepat
menyadari keadaan. Tanpa pikir
panjang lagi dilem-
parkannya pakaian yang tadi
dicurinya. Setelah itu,
dia menghemposkan tubuh dan
berlari cepat karena
rasa malu.
"Wuih! Tak disangka hari
ini aku bertemu wewe
yang sedemikian cantik,"
ujar Suropati sambil memun-
gut pakaiannya yang tergeletak
di atas tanah. Lalu di-
kenakannya dengan terburu-buru.
Suropati kemudian
berlari cepat mengikuti arah
Yaniswara yang pergi.
Hanya memakan waktu beberapa
tarikan napas
saja remaja konyol itu sudah
dapat menyusul langkah
Yaniswara. Suropati menjejak
tanah kuat-kuat. Tu-
buhnya melayang tinggi dan
mendarat tepat satu tom-
bak di hadapan Yaniswara.
Mau tak mau Yaniswara menghentikan lang-
kahnya. Tapi karena tak
menyangka akan dipapaki
demikian, gadis cantik itu tidak
sempat lagi mengatasi
luncuran tubuhnya. Jatuhlah dia
ke dalam pelukan
Pengemis Binal....
Plak...!
Rasa senang tidak jadi hinggap
di hati Suropati.
Sebuah tamparan yang cukup keras
mendarat di pi-
pinya. Suropati mengeluh sambil
menatap tajam wajah
Yaniswara. Tiba-tiba, Pengemis
Binal mendelik seperti
melihat suatu keajaiban.
Yaniswara ikut terperangah.
Orang yang semu-
la disangkanya kakek berpakaian
ala pengemis itu ter-
nyata seorang remaja tampan
bertubuh tinggi tegap
dengan dada bidang. Kulitnya
yang putih halus mirip
kulit seorang wanita.
Suropati tiba-tiba menggamit
lengan Yaniswara
sambil berkata,
"Anjarweni...."
Dengan sigap Yaniswara menarik
lengannya.
Dia tidak mau mendapat perlakuan
kurang ajar.
"Minggir kau!" bentak
gadis cantik itu.
Dahi Pengemis Binal berkerut.
Kedua alisnya
yang mirip sayap burung rajawali
terpentang tampak
bergerak ke atas. Sambil nyengir
dia menggaruk-garuk
kepalanya.
"Oh, aku salah
sangka...," ucap Suropati kebo-
doh-bodohan. "Ternyata kau
bukan Anjarweni."
"Minggir!" bentak Yaniswara.
"Eit! Nanti juga aku akan
minggir. Tapi, se-
butkan dulu namamu."
"Untuk apa?!"
"Kau sangat mirip temanku.
Aku jadi penasa-
ran," dalih Suropati.
"Hanya karena alasan itu
kau ingin tahu na-
maku?"
"Tentu saja tidak. Kau
cantik. Eh...," Suropati
tak melanjutkan bicaranya. Dia
melihat balutan kain
putih di kedua pergelangan kaki
dan tangan Yaniswa-
ra.
"Aku tidak punya waktu
melayani orang gila
sepertimu!" sentak
Yaniswara seraya hendak berlalu
dari tempat itu. Gerakannya
terhenti karena tangan ki-
rinya dipegang Pengemis Binal.
"Kenapa mesti
buru-buru?" tanya pemuda itu
ingin tahu.
Tak ada kata-kata yang menjawab
pertanyaan
Suropati. Yaniswara berusaha
mendaratkan kembali
tamparannya. Tapi, kali ini
pergelangan tangan ka-
nannya berhasil ditangkap
Pengemis Binal.
Dalam keadaan kedua tangan
terpegang Yanis-
wara meronta keras. Namun,
cengkeraman Suropati
melebihi kekuatan besi penjepit.
"Lepaskan!" teriak
Yaniswara keras.
Pengemis Binal hanya tertawa
terkekeh. Sema-
kin keras Yaniswara meronta,
semakin senanglah hati
remaja konyol itu. Mendadak....
Cup...!
Sebuah kecupan mendarat di pipi
kiri Yaniswa-
ra. Tentu saja gadis cantik itu
meluap amarahnya.
Dengan mata mendelik dia menatap
wajah Suropati.
Ketika rontaannya berhenti,
Yaniswara mengangkat lu-
tutnya.
"Aduh...!"
Pengemis Binal melonjak-lonjak
sambil mende-
kap 'burung'-nya yang baru saja
mendapat hadiah.
Sakitnya tak bisa digambarkan
lagi. Lebih sakit dari
hantaman palu godam.
"Mampus kau!" hardik Yaniswara. Walaupun
dia sudah bebas dari pegangan
Suropati, tapi tak sege-
ra beranjak dari tempatnya.
Yaniswara malah tertawa
senang melihat ulah Pengemis
Binal yang mengipasi
'burung'-nya dengan telapak tangan.
"Wewe cantik tapi sadis!
Kenapa burung tak
berdosa dijadikan sasaran?"
Melihat perubahan raut muka
Suropati yang
mirip kerbau dungu, Yaniswara
tertawa keras. Entah
kenapa hatinya menjadi senang
setelah berjumpa den-
gan remaja konyol itu. Namun karena
tak mau perja-
lanannya ke Kotapraja Kerajaan
Anggarapura terha-
dang malam, Yaniswara segera
membalikkan badan
kemudian berlari cepat.
"Eh, tunggu!" Pengemis
Binal tahu-tahu telah
menghalangi langkah Yaniswara.
"Apa maumu?!" bentak
Yaniswara.
"Siapa namamu?"
"Begitu pentingkah
namaku?"
"Ya," Suropati
menganggukkan kepalanya den-
gan mimik wajah
bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu jawab
pertanyaanku dulu, baru
ku turuti permintaan mu."
"Baik," Suropati
menyanggupi.
"Apakah kau tadi melihat seorang
kakek om-
pong berpakaian mirip
denganmu?" tanya Yaniswara.
"Ciri-cirinya yang lain
apa?"
"Rambutnya putih. Diikat
dengan tali kulit
bambu. Janggutnya panjang tak
terurus. Tubuhnya
kurus, tapi bila berdiri tampak
tegap."
"Mempunyai ilmu
beladiri?" tanya Suropati.
"Sangat tinggi."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya.
"Kuajak kau ke kotapraja.
Di sana banyak anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku bisa me-
nunjukkan kepadamu ialah seorang
di antara mereka."
"Orang yang ku maksud bukan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat
Sakti," bantah Yaniswara
tak sabar.
"Dari mana kau
tahu?"
"Dia mengatakan
sendiri."
"Kalau aku tidak berjumpa
dengan orang yang
kau maksud, apakah kau tidak mau
menyebutkan
namamu?" desak Suropati.
"Tentu saja."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya la-
gi. "Kenapa kau jual mahal?
Apakah aku tidak cukup
berharga untuk mengetahui
namamu?"
"Bukan begitu. Aku hanya
bersikap hati-hati di
wilayah Kerajaan Anggarapura
yang belum begitu ku-
pahami ini," Yaniswara
menggelengkan kepalanya
kuat-kuat.
"Kalau begitu kau termasuk
orang asing."
"Ya. Aku datang dari
Kotapraja Kerajaan Saloka
Medang," beritahu putri
Lodra Sawala.
"Pantas. Bentuk pakaian
yang kau kenakan
berbeda. Eh, apakah kau habis
bertempur? Bajumu
koyak-koyak. Kedua pergelangan
kaki dan tanganmu
tampak terluka."
"Apa perlumu menanyakan hal
itu?" Yaniswara
kelihatan tidak senang.
"Uh! Apakah aku memang tak
pantas untuk
mengenalmu. "
Yaniswara tak menjawab. Suropati
menyam-
bung bicaranya, "Kalau kau
sudah mengenal siapa
aku, kau tak mungkin bersikap
jual mahal seperti ini,"
gerutu pemuda itu.
Yaniswara tertawa kecil.
"Walau tampan kau te-
tap saja seorang
pengemis...."
"Tapi bukan sembarang pengemis!"
bentak Su-
ropati jengkel.
"Pengemis ya tetap
pengemis!"
"Aku pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti. Namaku Suropati.
Gelarku Pengemis Binal.
He he he...."
"Ha?!"
Melihat mata Yaniswara yang
terbelalak lebar
dengan mulut terbuka, Suropati
tertawa semakin ke-
ras.
"Kau benar pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang sudah sangat
kesohor itu?!" tanya
Yaniswara seperti tak percaya
apa yang baru saja dia
dengar.
"Apa kau tuli?"
Suropati balik bertanya sambil
tersenyum.
"Jadi, pendekar muda yang
sangat hebat itu
adalah kau?"
"Ya. He he he...."
"Uh! Tak kusangka pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ternyata
hanya seorang remaja
konyol yang sangat kurang
ajar!" omel Yaniswara ke-
cewa.
"Kau menyesal berjumpa denganku?"
Pengemis
Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, aku sangat
senang berjumpa denganmu. Kau
sangat mirip teman-
ku."
"Siapa dia?"
"Namanya Anjarweni. Namun dia sudah me-
ninggal."
"Kekasihmu?" kejar
Yaniswara.
"Bukan. Dia kekasih salah
seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti."
Yaniswara menarik napas panjang.
Mendengar
jawaban Suropati, mendadak
hatinya menjadi senang.
Lalu ditatapnya wajah tampan di
hadapannya dengan
tanpa berkedip. Pengemis Binal
jadi jengah melihatnya.
Namun segera ia mengembangkan
senyum manis. Ya-
niswara pun balas tersenyum.
"Kau mau menolongku?"
tanya gadis cantik itu.
"Oh, tentu!" jawab
Suropati dengan cepat.
"Setelah aku mengantarkan
barang Tuan Tuhi-
sa Brama, maukah kau membantuku
menumpas Par-
tai Iblis Ungu yang telah
menghancurkan Ekspedisi
Kencana Mega?"
"Apa hubunganmu dengan
perusahaan pengi-
riman barang itu?"
"Aku adalah putri tunggal
pemilik Ekspedisi
Kencana Mega. Ayahku bernama
Lodra Sawala meme-
rintahkan aku untuk mengantarkan
barang pada seo-
rang punggawa Kerajaan
Anggarapura. Setelah aku be-
rangkat, menurut penuturan salah
seorang anggota
Partai Iblis Ungu, ketuanya yang
bernama Wiranti te-
lah membunuh ayahku...."
"Apakah kau yakin penuturan
orang yang kau
maksud itu benar?" Suropati
tidak mau buru-buru
menyanggupi permintaan
Yaniswara.
"Sebenarnya aku tidak
begitu yakin. Namun
aku tidak mempunyai pikiran
lain. Orang-orang Partai
Iblis Ungu sangat bernafsu untuk
menghabisi ri-
wayatku."
"Jadi, luka-luka di tubuhmu
itu kau dapatkan
setelah bertempur dengan
mereka."
"Tepat! Dan, seorang tokoh
yang tidak ku tahu
siapa dia telah menyelamatkan
nyawaku. Tapi, aku
mengira orang yang kutanyakan
kepadamu itulah yang
menjadi dewa penolongku."
"Kakek berpakaian ala
pengemis yang mengaku
bukan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
itu?" tanya Suropati
menegaskan.
"Ya."
"Lalu, sekarang kau hendak
ke mana?"
"Ke kotapraja untuk
mengantarkan barang
yang kubawa ini," Yaniswara
menunjuk kotak kayu be-
rukir yang diikatkan di pinggang
kanannya.
"Aku akan mengantarmu. Aku
banyak mengen-
al para punggawa Kerajaan
Anggarapura," Suropati
menawarkan jasa.
"Terima kasih...."
Yaniswara bergegas melangkah. Namun
len-
gannya digamit oleh Suropati.
"Ucapanmu itu bermakna
tolakan atau mene-
rima tawaran baikku?"
Suropati rupanya masih belum
mengerti.
"Aku menerima."
"Tapi, kau jangan
tergesa-gesa," Suropati men-
gajukan syarat.
"Aku tidak mau tiba di kotapraja
saat hari telah
menjelang malam," Yaniswara
mencoba membantah.
"Kau takut mendapat
kesulitan?"
"Tidak. Hanya berjaga-jaga.
Lagipula, aku ha-
rus mengantarkan barang yang
kubawa ini secepat-
nya."
Kibasan lengan Yaniswara membuat
pegangan
Pengemis Binal terlepas. Namun,
remaja konyol itu se-
gera menyorongkan wajahnya ke
hadapan Yaniswara.
"Kau belum menyebutkan
namamu...," katanya seten-
gah merajuk.
"Yaniswara."
"Yaniswara? Hmmm.... Sebuah
nama yang ba-
gus. Sukakah kau bila aku
memanggilmu dengan
'Yani'?"
"Kau panggil apa saja, aku
akan suka," Yanis-
wara menerima saja apa yang
dikatakan Suropati.
"Benar?"
"Ya."
"Yani sayang.... He he
he...."
Sambil tertawa terkekeh,
Suropati mentowel
dagu Yaniswara. Si gadis
merengut marah. Namun Su-
ropati malah senang. Pipi
Yaniswara yang merona me-
rah ditatapnya tanpa bosan.
"Kau sangat
cantik...," gumam Suropati dengan
konyolnya.
"Jangan kurang ajar!"
bentak Yaniswara.
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya.
"Baik. Kita berangkat ke
kotapraja sekarang," putus-
nya kemudian.
"Lepaskan pegangan
mu!" bentak Yaniswara
sambil mengibaskan lengannya
kembali saat Suropati
menggamit.
"Ah, kita berjalan sambil
bergandengan tangan.
Bukankah kelihatan lebih
mesra?" rajuk Suropati.
"Kau pikir aku
apamu?"
"Kau tidak suka
padaku?"
Mendengar pertanyaan itu, kepala
Yaniswara
tertunduk dengan bibir terkatup
rapat. Dia sendiri tak
tahu kenapa perasaannya mendadak
tak karuan.
"Yani...," bisik
Pengemis Binal. Tangan kanan-
nya membelai rambut Yaniswara.
Lalu, remaja konyol
itu memegang dagu gadis cantik
yang menarik perha-
tiannya ini.
Kepala Yaniswara terdongak.
Namun, dia tak
kuasa memandang tatapan mata
Suropati. Kelopak
mata gadis cantik itu terpejam.
Belaian Pengemis Binal
pada rambutnya menimbulkan
getar-getar aneh yang
terus menjalar ke lubuk hati.
Hingga, ketika Suropati
memeluk tubuhnya dia cuma
pasrah.
Tak lama kemudian, Yaniswara
mendengar bi-
sikan mesra yang sanggup
melenyapkan segala daya
ingatnya.
Gadis cantik itu sudah tak
mempunyai kekua-
tan lagi untuk membuka kelopak
mata. Apalagi berka-
ta-kata. Yaniswara mendesah saat
merasakan kehan-
gatan menyentuh bibirnya. Rasa hangat itu begitu
lembut dan membuat lena. Tanpa
sadar Yaniswara
membalas pelukan Suropati.
Kedua tangan Pengemis Binal
menopang kepala
Yaniswara. Selanjutnya dia
mendaratkan ciuman-
ciuman mesra. Jiwa Yaniswara
seakan lepas dari ra-
ganya, melayang-layang di
angkasa laksana kapas ter-
tiup angin.
"Yani...," bisik
Suropati kemudian. "Kau sangat
cantik...."
Tak ada kata-kata yang
menyambung ucapan
itu. Dua bibir anak manusia
berlainan jenis itu telah
berpagut erat. Hanya desah yang
terus terdengar. Bila
semula bibir Pengemis Binal
memberi getaran lembut,
kini berubah sedikit liar. Tubuh
Yaniswara menggigil.
Diiringi desahan panjang
Yaniswara membalas. Bibir
mereka menempel ketat seperti
tak mungkin dipisah-
kan.
Dengan tangan kiri tetap
memegang kepala Ya-
niswara, tangan kanan Suropati
bergerak turun men-
capai pinggang. Lalu, melalui
sentakan lembut. Seke-
jap saja tubuh Yaniswara telah
berada dalam pondon-
gan Pengemis Binal.
Remaja tampan itu berjalan lima
tindak. Tubuh
Yaniswara dibaringkannya di atas
rumput tebal. Ya-
niswara membuka kelopak matanya.
Saat dia menatap
sinar mata Suropati yang lembut
kelopak matanya
kembali terpejam.
"Suro...," bisik gadis
cantik itu.
Suropati membelai rambut
Yaniswara. Lalu,
menyatakan kekagumannya dengan
kata-kata indah
yang membuat Yaniswara semakin
terlena. Setelah
Pengemis Binal menghadiahkan
ciuman yang lebih
menyentuh rasa, mendadak
Yaniswara tersentak bagai
habis disambar petir.
"Apa yang akan kau
lakukan?!" kata gadis can-
tik itu setengah membentak.
Gerakannya untuk bang-
kit tertahan oleh tubuh
Suropati. Tak ada jawaban
atas pertanyaan Yaniswara. Bibir
Pengemis Binal telah
bekerja cepat. Dibarengi dengan
belaian-belaian yang
membangkitkan gairah, hingga
Yaniswara kembali ter-
lena.
"Maafkan aku,
Yani...," ucap Suropati kemu-
dian.
Yaniswara langsung menyadari
keadaan. Buru-
buru dia membenahi pakaiannya
yang awut-awutan.
Mendadak sinar matanya tampak
berapi-api. Yaniswa-
ra menatap Pengemis Binal yang
duduk terpekur den-
gan kepala tertunduk. Lalu....
Duk...!
Tubuh Suropati terlontar dan
jatuh bergulingan
lima tombak jauhnya. Tendangan
Yaniswara yang di-
lancarkan dengan kekuatan penuh
telah menghan-
tamnya.
Darah segar merembes dari sudut
bibir Penge-
mis Binal. Dihelanya napas
panjang sambil tetap
membiarkan tubuhnya rebah di
atas tanah. Hati Ya-
niswara jadi kalut. Dengan
diliputi rasa sesal dihampi-
rinya Suropati yang tampak tak
berdaya.
"Maafkan aku,
Suro...," gumam gadis cantik itu.
Ada kesedihan tergambar di
matanya. Namun, Yanis-
wara jadi senang ketika melihat
Pengemis Binal bang-
kit dari tidurannya. "Kau
tak apa-apa?" tanya gadis itu
agak cemas.
"Seperti yang kau lihat,
Yani," Suropati terse-
nyum kecil.
Remaja tampan itu tak menderita
luka dalam
akibat tendangannya. Tahulah
Yaniswara kalau Pen-
gemis Binal benar-benar
mempunyai kepandaian yang
hebat. Kalau saja tendangan
Yaniswara barusan me-
nimpa punggung seorang pesilat
biasa, tentulah orang
itu akan mati seketika.
"Kita berangkat ke
kotapraja sekarang...," kata
Suropati lembut dan bernada
penuh perlindungan.
Yaniswara terpaku sejenak di
tempatnya. Na-
mun ketika Pengemis Binal
menggandeng lengannya,
gadis cantik itu membiarkan
saja. Sebentar kemudian
tubuh kedua muda-mudi itu
berkelebat cepat...
Emoticon