DEWA GUNTUR
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Dewa Guntur
128 hal.
1
Setelah berlari cukup jauh
sambil membopong
tubuh Suropati, Dewi Ikata
menghentikan langkah ka-
kinya di tepi sebuah sungai.
Dilemparkannya tubuh
Suropati begitu saja ke tanah,
seperti melemparkan
barang tak berguna. Jerit
kesakitan keluar dari mulut
remaja konyol itu. Tulang
persendian lutut kanannya
yang lepas membentur sebongkah
batu. Tentu saja
bukan main sakitnya.
Dewi Ikata tampaknya tak mau
peduli dengan
penderitaan Suropati. Dia duduk berjongkok di tepi
sungai, memandang kilauan air
jernih yang tertimpa
sinar mentari.
"Aduh! Tolong aku,
Ika...!" teriak Pengemis Bi-
nal.
"Kau sudah kutolong! Jangan
minta tambah!"
sahut Pendekar Wanita Gila
dengan ketus. Wajahnya
tetap memandang kilauan air sungai. Tanpa sedikit
pun dipalingkan.
"Aduh! Tolong aku, Ika...!
Aku benar-benar tak
tahan!"
"Kau sudah kutolong! Jangan
merengek terus!"
Suropati mencoba berdiri untuk
mendekati De-
wi Ikata, tapi dia jatuh
terpeleset. Lutut kanannya
yang terluka terbanting ke
tanah. Jerit begitu keras
kembali terdengar. Lebih keras
dari lolongan serigala!
Mendengar itu, Pendekar Wanita
Gila malah
tertawa-tawa. Kontan amarah
Pengemis Binal meledak.
Dipungutnya batu sebesar kepalan
tangan, lalu dilem-
parkan.
Duk...!
Dewi Ikata meraba punggungnya.
Ditatapnya
Suropati dengan mata mendelik.
Lemparan remaja ko-
nyol itu tepat mengenai sasaran,
Dewi Ikata berkacak
pinggang sejenak di hadapan
Suropati. Lalu, secara ti-
ba-tiba saja telapak tangan
kanannya melayang.
Plak...!
"Aduh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas
kemudian
bergulingan di atas tanah.
Ketika berhenti, tak terden-
gar erangan kesakitan juga
adanya gerakan. Pemuda
itu jatuh pingsan!
"Astaga...!" pekik
Pendekar Wanita Gila. Dia se-
gera meloncat untuk memeriksa
keadaan Suropati.
Untung gadis cantik itu tak
melambari tamparannya
tadi dengan tenaga dalam. Bila
hal demikian terjadi,
kepala Suropati tentu sudah
remuk!
Dengan cekatan Dewi Ikata
melemaskan otot-
otot di sekitar pergelangan kaki
kanan Suropati. Ke-
mudian, tangan kiri gadis cantik
itu memegang pang-
kal paha Suropati. Tangan
kanannya bergerak mengu-
rut. Sebentar kemudian, betis
kanan Suropati dibetot-
nya kuat-kuat.
Timbul suara gemeretakan.
Disusul dengan lo-
long kesakitan Suropati yang
memilukan. Remaja ko-
nyol itu langsung jatuh pingsan
lagi.
Dewi Ikata memandang dengan
perasaan iba.
Dibelainya anak-anak rambut
Suropati yang tergerai
tak karuan. Butiran mutiara
bening tampak bergulir
dari sudut mata gadis cantik
itu.
"Suro...," desis Dewi
Ikata.
Dengan sehelai sapu tangan,
dibersihkannya
wajah Suropati yang kotor.
Kening remaja konyol itu
lalu dikecupnya lembut. Senyum
manis mengembang
di bibir Dewi Ikata. Air matanya
langsung berhenti
mengalir.
"Ha ha ha...."
Dewi Ikata tertawa bergelak.
Dibopongnya tu-
buh Suropati, lalu dilemparkan
ke dalam sungai. Begi-
tu menyentuh air Suropati langsung
siuman. Tangan-
nya bergerak menggapai-gapai
berusaha mencapai tepi
sungai. Dewi Ikata hanya
memandang sambil terus
mengeluarkan tawa bergelak.
"Setan Alas! Gondoruwo
Dekil! Kuntilanak
Bunting! Jrangkong Congek!"
Pengemis Binal men-
gumpat-umpat tak karuan setelah
mencapai tepi sun-
gai.
Mendengar itu, Pendekar Wanita
Gila malah
tertawa cekikikan sambil
menuding-nuding.
"Tidak ada yang lucu!
Kenapa kau tertawa?!"
bentak Suropati marah.
Dewi Ikata tetap tak
menghentikan tawanya.
Suropati menggaruk-garuk kepala
tak mengerti. Tanpa
sadar dia melihat bawah
tubuhnya. Sadarlah dia kini!
Celananya melorot hingga membuat
benda
'kesayangan'-nya hampir saja
melongok keluar!
Buru-buru Suropati mengencangkan
celananya
yang kendor. Saat itulah dia
tahu kalau tulang persen-
dian kaki kanannya telah kembali
pada tempatnya.
Namun, dia tak jadi girang. Pipi
kirinya terasa sangat
panas.
"Kenapa kau
menamparku?!" tanya Pengemis
Binal marah.
"Kenapa kau tak pakai
baju?!" Pendekar Wanita
Gila balik bertanya dengan tak
kalah garang.
"Aku tak punya!"
"Pakai bajuku mau?"
Dewi Ikata menawarkan
jasa.
"Tidak! Nanti dikira
banci!"
"Lihatlah dulu!"
Dewi Ikata lalu membawa buntalan
kain yang
diikatkan di pinggang.
Dilemparkannya sehelai baju hi-
jau. Suropati menangkapnya.
Setelah diamati, ternyata
baju pemberian Dewi Ikata adalah
baju laki-laki yang
terbuat dari bahan mahal. Kedua
alis Suropati tampak
bertaut.
"Aku tak pantas memakai
baju ini!"
"Siapa bilang? Bila memakai
baju itu kau akan
tampak semakin gagah dan
tampan."
Suropati mengibas-ngibaskan
celananya. "Kau
lihat celana ku
ini, Ika... penuh tambalan. Mungkin
tak sedap untuk dipandang. Bila
aku pakai baju pem-
berianmu ini, banyak orang
mengira aku telah mencu-
ri. Tak mungkin orang miskin
sepertiku bisa membeli
baju semahal ini...."
"Bodoh! Katakan saja kalau
itu pemberian
orang!" sergah Dewi
Ikata.
"Ah, sudahlah! Aku tak mau
pakai baju mahal.
Lebih baik bertelanjang
dada!"
Suropati melemparkan baju hijau
di tangannya.
Dengan kesal Dewi Ikata
menyambutnya. Mendadak
saja mata gadis cantik itu
terbelalak. Suropati me-
nanggalkan celananya!
"Ap... apa yang akan kau
lakukan?" tanya gadis
cantik itu gugup.
Suropati tertawa terkekeh.
"Kau kira, aku
mau.... Tak usah, ya...."
Sambil berucap, Pengemis Binal
mencebur ke
dalam sungai. Lalu mandi
sepuas-puasnya. Sejenak
dia lupa pada masalah berat yang
harus diselesaikan-
nya. Siulan nyaring pemuda
konyol itu mengiringi ke-
cipak air sungai.
***
Sang baskara telah bergeser ke
barat. Suropati
menggaruk-garuk kepalanya seraya
duduk di bawah
pohon besar. Dewi Ikata yang
duduk di depannya me-
mandang dengan tatapan tak
mengerti.
"Sepertinya kau sedang
menyandang masalah
berat, Suro," Dewi Ikata
menduga-duga.
"Ya."
"Mau mengatakannya
kepadaku?"
"Berjanjilah dahulu kau
akan bersedia mem-
bantuku," Suropati
mengajukan syarat.
"Katakan dulu
masalahnya!" tolak Dewi Ikata.
"Berjanjilah dulu!"
"Katakan dulu!" Dewi
Ikata bersikeras dengan
keinginannya.
"Edan! Pantas kau dijuluki
orang Pendekar
Wanita Gila! Otakmu memang tak
waras!"
Mendengar ucapan Suropati, raut
wajah Dewi
Ikata langsung berubah muram.
Kepalanya ditunduk-
kan dalam-dalam.
"Kau kenapa?" tanya
Suropati. "Marah?"
"Aku senang dijuluki orang
Pendekar Wanita
Gila. Tapi jangan sekali-kali
kau menyangka aku gila
sungguhan, Suro," rungut
Dewi Ikata.
"Tidak! Maafkan aku,
Ika...."
Pengemis Binal lalu meraih bahu
Dewi Ikata.
Dipeluknya dengan erat. Dewi
Ikata menikmati keba-
hagiaan itu. Kepalanya
disandarkan di dada Suropati
yang kini telah tertutup baju
hijau pemberian Dewi
Ikata. Namun baju itu telah
compang-camping. Senga-
ja dirobek-robek oleh Suropati.
"Jangan tinggalkan aku
lagi, Suro...," bisik Dewi
Ikata.
Pengemis Binal tak berucap,
Matanya meman-
dang jauh menatap langit biru
yang berhias gumpalan
awan. Sementara tangannya
membelai-belai rambut
Dewi Ikata yang menebarkan aroma
harum.
"Suro...," panggil
Dewi Ikata.
"Ehm...."
"Kau tidak mendengar
perkataan ku?"
"Apa?" Suropati
memalingkan wajahnya.
"Aku ingin kita selalu
bersama...."
"Tidak untuk saat ini, Ika.
Kecuali bila kau ber-
sedia membantuku. Tapi, nyawa
taruhannya...."
Suropati melonggarkan
pelukannya. Dewi Ikata
menatap wajah jejaka pujaan
hatinya itu dalam-dalam.
"Kau ingat janji kita di
taman keputren Kadipa-
ten Bumiraksa, Suro?" bisik
Dewi Ikata lirih.
"Aku selalu mengingatnya.
Tapi, mungkinkah
ayahanda mu menyetujui
perjodohan kita?"
"Aku tak peduli, Suro.
Namun aku yakin, kalau
Ayahanda seorang adipati beliau
tak akan memandang
sebelah mata kepadamu. Rencana
pemberontakan Pa-
tih Wiraksa begitu hebat. Kalau
tidak ada kau, mana
mungkin Ayahanda masih bisa menduduki
tahta Kadi-
paten Bumiraksa?"
"Aku tak berjasa apa-apa.
Jangan kau besar-
besarkan hal itu, Ika...,"
ucap Suropati merendahkan
diri.
"Tidak, Suro. Kenyataannya
memang demikian.
Aku yakin Ayahanda akan
menyetujui perjodohan kita.
Oleh sebab itu, aku tak mau
berpisah denganmu."
"Sudah kukatakan, tidak
untuk saat ini. Aku
mempunyai persoalan pelik.
Ah.... Aku tak jadi memin-
ta bantuanmu," Suropati
segera berubah pikiran.
"Aku mencintaimu, Suro. Aku
mau melakukan
apa saja untukmu!" bantah
Dewi Ikata.
"Tapi, aku tak mau nyawamu
terancam!"
"Aku pun tak mau nyawamu
terancam!"
"Sungguh?" tanya
Suropati penuh selidik.
"Demi Tuhan..."
Suropati memeluk Dewi Ikata
kembali. "Kau
sangat cantik luar dalam,
Ika...," bisiknya kemudian.
Suasana menjadi hening. Suara
desir air sungai
terdengar, ditengahi kicau
burung yang menari di atas
dahan. Suropati menatap wajah
Dewi Ikata dalam-
dalam. Kemudian, dikecupnya
kening gadis cantik pu-
tri tunggal Adipati Danubraja
itu.
Jiwa Dewi Ikata seperti melayang
di angkasa,
bermain-main di antara tebaran
awan lembut. Dewi
Ikata pun terlena dengan mata
terpejam.
Mendadak, Pengemis Binal
melepaskan pelu-
kannya. "Aku bukan
laki-laki normal lagi, Ika"..." keluh
pemuda itu.
Pendekar Wanita Gila tersentak.
"Apa maksudmu?!"
"Dalam darahku tersimpan
racun yang sangat
ganas. Aku tak bisa menjadi
suami yang baik, karena
aku terlalu berbahaya...."
"Maksudmu?"
"Bila aku melakukan
hubungan suami-istri,
maka racun ganas dalam darahku
akan mengalir ke
tubuh pasangan ku. Dan akibatnya
adalah kematian."
"Ya, Tuhan...."
"Bukan hanya itu, Ika. Aku
telah menjadi seo-
rang laki-laki lemah. Kurasa aku
pun tak pantas men-
jadi pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
lagi. Seluruh ilmu kepandaianku
telah musnah...."
"Benar apa yang kau katakan
itu, Suro?" Dewi
Ikata tak percaya.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
Dewi Ikata
memandang wajah jejaka pujaan
hatinya itu dengan
mata berkaca-kaca. Kesedihan
segera menyelimuti ha-
tinya. Gadis itu tampak menggeleng-gelengkan kepa-
lanya seperti tidak mempercayai
apa yang baru saja
didengar.
"Suro...!" jerit Dewi
Ikata kemudian seraya me-
meluk Suropati. Air mata Dewi
Ikata pun berjatuhan.
"Jangan menangis, Ika. Kau
jangan membua-
tku sedih," ucap Suropati
tak senang.
"Tidak! Tidak, Suro....
Semua ini tidak boleh
terjadi!"
Dewi Ikata memeluk Suropati
lebih erat. Air
matanya terus bergulir, sampai
dada Suropati terasa
basah.
"Tenanglah, Ika....
Ingatlah kebesaran Tuhan.
Dia tak akan menimpakan cobaan
pada umatnya me-
lebihi kekuatan manusia."
"Suro.... Aku mencintaimu!
Aku Ingin mati ber-
samamu!"
"Bodoh! Kenapa kau ingin
mati bersamaku?!
Aku masih belum ingin
mati!" bentak Suropati sambil
melonggarkan pelukan Dewi Ikata.
"Hidup ini sangat
berharga, Ika. Banyak orang yang
menghadapi sakara-
tul maut pun masih merindukan
untuk terus bisa hi-
dup. Mereka tahu, dengan hidup
banyak yang bisa di-
perbuat."
Tak henti-hentinya air mata Dewi
Ikata bergu-
lir. Dipeluknya lagi tubuh
Suropati. Wajahnya disan-
darkan di dada jejaka pujaan
hatinya itu.
"Ika, apa yang sedang ku
alami ini adalah se-
buah tantangan. Meskipun sangat
berat, aku harus te-
gar menghadapinya," lanjut
Suropati.
"Suro...."
"Berilah kekuatan kepadaku,
Ika.... Kau jangan
menangis terus! Itu hanya akan
menambah berat
langkah kakiku."
"Suro, aku bersedia
mengorbankan nyawaku
untukmu."
"Hush! Apa kau lupa pada
asal-usulmu, Ika?
Kau lahir ke dunia dan dapat
menghirup udara kehi-
dupan adalah dengan perantaraan
ayah bundamu.
Semua pengorbanan mu seharusnya kau berikan ke-
pada mereka, Ika...."
Suasana hening kembali. Suropati
dan Dewi
Ikata saling bertatapan mata,
kemudian berpelukan
erat. Hati Dewi Ikata terbawa
dalam keharuan yang
sangat. Air matanya telah
berhenti mengalir. Dengan
menyandarkan kepalanya di dada
Suropati, dia mera-
sakan kebahagiaan yang
sesungguhnya.
"Untuk memulihkan keadaanmu
aku akan setia
mendampingimu, Suro...,"
bisik Dewi Ikata.
Pengemis Binal tersenyum.
Dibelainya rambut
Dewi Ikata yang harum.
"Terima kasih, Ika. Aku mena-
rik kata-kataku kembali. Aku tak
jadi meminta ban-
tuanmu. Aku ingat, kau masih
mempunyai orang tua.
Aku tak man terjadi sesuatu yang
tak diinginkan me-
nimpa dirimu, hingga akan
membuat kedua orangtua
mu bersedih...."
"Tapi...."
Dewi Ikata tak melanjutkan
kalimatnya. Suro-
pati keburu bangkit berdiri
ketika melihat kehadiran
seorang lelaki setengah baya
bertubuh tinggi tegap. Le-
laki yang baru datang itu
membungkukkan badannya
untuk memberi hormat. Dia adalah
salah seorang ke-
percayaan ayahanda Dewi Ikata.
"Kenapa kau kemari,
Tunggul?" tanya Dewi Ika-
ta.
Lelaki setengah baya
membungkukkan badan-
nya kembali. "Hamba diutus
Gusti Adipati untuk me-
nyampaikan kabar kalau Tuan
Putri Rara Anggi sa-
kit,..."
"Ibu sakit?!" Dewi
Ikata tersentak kaget. Dita-
tapnya utusan ayahandanya itu
dengan sinar mata tak
percaya. Kemudian, pandangan
Dewi Ikata beralih ke
wajah Suropati.
"Pulanglah, Ika...,"
kata Suropati dengan lem-
but. "Ibunda mu memerlukan
kedatanganmu."
"Tapi, Suro...."
"Jangan kau pikirkan
keadaanku. Aku bisa
mengurus diriku sendiri. Hanya
doa mu yang kuperlu-
kan...."
***
Ingin rasanya Suropati mengejar
bayangan De-
wi Ikata yang menghilang di
kelokan sungai. Namun,
dia tak akan melakukan hal itu.
Suropati tahu apa
yang harus dilakukannya. Lebih
baik menyuruh Dewi
Ikata menengok ibunya yang sakit
daripada memenuhi
permintaan gadis itu untuk
menyertai dirinya. Bagi
Suropati, pada saat orang tua
mengalami kesusahan,
mereka membutuhkan perhatian
dari anak. Saat itu-
lah orangtua bisa mengukur
sampai di mana kesung-
guhan bakti si anak kepada
mereka.
Sementara itu, cahaya kuning
kemerahan telah
memancar dari arah barat. Sang
baskara separo, teng-
gelam di bentangan kaki langit.
Suropati beranjak dari
duduknya, kemudian berjalan
meninggalkan tepian
sungai. Setelah berhasil
menghilangkan bayangan De-
wi Ikata, mendadak pikirannya
membayangkan
Anggraini Sulistya atau Putri
Cahaya Sakti.
"Benarkah putri Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit itu kakak
kandungku?" tanya Pengemis Binal
dalam hati. "Bila memang
benar demikian dan aku
adalah satu-satunya anak lelaki
mereka, bukankah
aku putra mahkota yang kelak
akan menduduki tahta
Kerajaan Pasir Luhur? Sudah
menjadi tradisi di Tanah
Jawa kedudukan raja diturunkan
kepada anak lela-
kinya. Anak perempuan hanya bisa
menjadi raja apabi-
la anak lelaki tidak
ada...."
Suropati tersenyum-senyum
seorang diri.
"Kalau kelak aku menjadi
raja.... Ehm... alang-
kah enaknya."
Mendadak, remaja konyol itu
memukul kepa-
lanya sendiri. "Bodoh
sekali aku ini! Kalau melam-
bungkan angan terlalu tinggi,
jatuhnya akan terasa
sakit. Aku tak mau hal itu
terjadi. Aku harus mencari
tahu terlebih dahulu tentang
kebenarannya. Aku ha-
rus mencari Anggraini Sulistya!
Tapi...."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepala sambil
nyengir. Otaknya dipaksa bekerja
keras untuk berpi-
kir. "Pemuda berpakaian
serba hijau yang hendak
membunuhku di lereng Bukit Hantu
mengatakan ka-
lau dia telah melukai Anggraini
Sulistya dengan Jarum
Hitam. Aku tak tahu apa
sebabnya. Apakah masih ada
kemungkinan Anggraini Sulistya
masih hidup? Kalau-
pun masih hidup, apakah seluruh
ilmu kepandaiannya
telah hilang seperti diriku? Apakah dia juga harus
mencari Putri Air guna mendapat
petunjuk di mana
Putri Racun berada?"
Remaja konyol itu terus berjalan
tanpa arah tu-
juan. Sambil terus memeras otak,
dia menyepak-
nyepak batu kecil yang
bertebaran di jalan setapak
yang dilewatinya.
"Aku harus menentukan
pilihan, mencari Putri
Air terlebih dahulu atau mencari
kebenaran tentang
diriku? Kalau mencari Putri Air,
aku harus ke Laut Se-
latan. Namun bila mencari
kebenaran tentang diriku,
aku harus mencari Anggraini
Sulistya. Tapi bila gadis
itu memang terkena serangan
Jarum Hitam, sangat
kecil kemungkinan aku bisa
menemukannya. Atau, le-
bih baik aku langsung ke Istana
Kerajaan Pasir Luhur
saja? Ah, tidak! Kalau ternyata
aku bukan putra Prabu
Singgalang Manjunjung Langit,
duh betapa malunya
aku.... Tidak mustahil beliau
akan murka karena me-
rasa terhina, lalu menjatuhkan
hukuman kepadaku.
Wah, urusannya bisa kacau....
Kalau begitu, aku men-
cari Putri Air saja. Setelah
Putri Racun nanti menyem-
buhkan diriku, aku bisa
menentukan langkah selan-
jutnya tanpa dibayangi perasaan
takut lagi...."
Selagi Suropati berpikir
demikian, tiba-tiba saja
sesosok bayangan berkelebat
menghadang langkahnya.
Suropati terkejut, namun
dicobanya untuk bersikap
tenang. Sosok yang menghalangi
langkahnya ternyata
Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur!
"Nasib telah mempertemukan
kita lagi, Suropa-
ti...," kata Saka Purdianta
sambil menyunggingkan se-
nyum mengejek.
"Nasib juga yang akan
menentukan apakah aku
akan mati di tanganmu atau
tidak?" balas Suropati
dengan suara setenang mungkin.
"Ha ha ha...!" Saka
Purdianta tertawa bergelak.
"Ehm.... Tidak kulihat
sosok orang yang telah menye-
lamatkan nyawamu. Tahukah kau,
Suropati, kesempa-
tanmu untuk menghirup udara
segar tinggal beberapa
kejapan mata saja?"
"Kematian berkenaan dengan
takdir Tuhan.
Aku tak akan mati bila Tuhan
belum berkehendak."
Dewa Guntur kembali tertawa
bergelak, "Kare-
na kau percaya pada takdir
Tuhan, maka kau pun ha-
rus percaya aku adalah perantara
Tuhan untuk men-
cabut nyawamu!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
pemuda tam-
pan berpakaian serba hijau itu
menarik napas pan-
jang. Kemudian, perlahan-lahan
tangannya yang ber-
getar ditarik ke belakang.
Pengemis Binal langsung ter-
cekat. Dia tahu Saka Purdianta
hendak menjatuhkan
tangan mautnya.
"Tunggu dulu, Orang
Baik!" kata Suropati buru-
buru sambil mengangkat kedua
tangannya.
"Ehm.... Apa lagi yang akan
kau katakan? Se-
bagai Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang kesohor, kau tabu menolak
tantangan!"
"Aku tahu. Tapi, tidakkah
kau mau menye-
butkan nama dan gelarmu terlebih
dahulu. Aku kha-
watir apabila kau mati di
tanganku, kuburmu hanya
ditandai nisan tak
bernama," ucap Suropati dengan
beraninya.
"Ha ha ha...!"
Dewa Guntur tertawa
terbahak-bahak untuk
kesekian kalinya. Keterkejutan
menghantam Suropati.
Dia merasa gendang telinganya
seperti ditepuk-tepuk
keras. Jantungnya pun berdegup
sangat kencang. Ali-
ran darahnya berdesir tak
karuan. Sadarlah remaja
konyol itu, tawa Saka Purdianta
dialiri tenaga dalam
yang mengundang kematian!
Kalau saja Suropati bebas
menyalurkan hawa
murni dan tenaga dalamnya,
keadaan itu tak akan
menjadi masalah. Tapi sekarang?
Bila dia membenten-
gi diri dengan tenaga dalam, itu
sama saja dengan
mempercepat kematian. Begitu
Suropati menghimpun
tenaga dalam, jantungnya akan
langsung meledak!
Melihat Suropati meringis
kesakitan sambil
mendekap kedua telinga, Saka
Purdianta semakin
memperkeras suara tawanya. Hal
itu dirasakan Suro-
pati sebagai siksaan yang sangat
menyakitkan. Seku-
jur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk
ribuan jarum. Kepa-
lanya laksana dihantami palu
godam. Jerit kesakitan
Suropati pun melengking tinggi
di angkasa, membuat
satwa-satwa yang kebetulan
berada di sekitar tempat
itu berlari dikejar rasa
ketakutan.
"Ehm.... Rupanya kau
sedikit pun tak mempu-
nyai ilmu, Gembel Busuk!"
ejek Dewa Guntur
"Argh...! Kalau kau ingin membunuhku, cepat
lakukan! Jangan siksa aku
seperti ini!"
Saka Purdianta tersenyum penuh
kemenangan.
Lalu dia membentak nyaring,
"Mati kau!"
Malang bagi Pengemis Binal.
Bentakan yang di-
aliri tenaga dalam penuh itu
membuat tubuhnya ter-
lontar bagai dihempaskan tangan
raksasa. Dan saking
hebatnya deraan rasa sakit, dia
langsung jatuh ping-
san!
"Aku sudah menduga Pemimpin
Perkumpulan
Tongkat Sakti itu tak mempunyai
kemampuan apa-
apa. Semua itu akibat pengaruh
racun Jarum Hitam
yang mengenai pelipis
kanannya..." kata Dewa Guntur
dalam hati. "Tapi, kenapa
dia masih dapat bertahan
sampai sedemikian lama? Menurut
penuturan guruku,
tak satu pun manusia yang
sanggup bertahan apabila
cairan darahnya telah tercampuri
racun Jarum Hitam.
Apakah gembel busuk itu
mempunyai keajaiban, se-
hingga dia mampu bertahan hidup
dengan cairan da-
rah bercampur racun?"
Saka Purdianta berjalan
menghampiri tubuh
Suropati yang tergolek di tanah.
Dengan menggunakan
telapak kaki diperiksanya
pernapasan pemuda itu.
"Ehm.... Dia hanya pingsan.
Harusnya aku
membunuhnya sekarang? Bila hal
itu tak kulakukan,
gembel busuk ini akan menjadi
duri dalam daging. Aku
telanjur mengatakan kepadanya
kalau aku telah melu-
kai Anggraini Sulistya. Walau
kejadian itu tak disenga-
ja, Prabu Singgalang Manjunjung
Langit tetap akan
murka. Dan, malapetaka akan
menimpa ku. Tapi, hal
itu tidak akan terjadi bila aku
melenyapkan saksi hi-
dup ini. Ehm... Kau memang
pantas untuk mati, Gem-
bel Busuk!"
Dewa Guntur mengangkat kaki
kanannya ting-
gi-tinggi. Kaki yang dialiri
tenaga dalam itu kemudian
berkelebat cepat hendak
meremukkan kepala Suropati.
Sementara Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah tak mempunyai
kemampuan sedikit
pun untuk menghindar!
Ketika telapak kaki Saka
Purdianta tinggal seu-
sap lagi mencabut nyawa Pengemis
Binal, mendadak
gerakannya terhenti.
"Ah! Terlalu bodoh membunuh
tokoh yang cu-
kup terpandang ini...,"
pikir Dewa Guntur. "Aku mem-
punyai rencana lain. Aku memang
akan tetap membu-
nuhnya, tapi tidak dengan
tanganku sendiri...."
Saka Purdianta kemudian tertawa
terbahak-
bahak. Pemuda tampan putra
Tumenggung Sangga
Percona itu dalam kegembiraan
yang sangat. Dia telah
menyusun suatu rencana jitu
untuk menuruti nafsu
membunuhnya yang menghentak!
2
Alam bangun dari tidurnya.
Ranting pepohonan
menggeliat menyambut hadirnya
sang surya. Hangat
terasa menerpa. Butiran embun
yang mengembang di
permukaan daun bergulir jatuh
membasahi rumput
dan permukaan tanah. Langit
tampak cerah mengha-
dirkan pesona indah bagi makhluk
di bumi.
Seorang pengemis tampak
memasuki pintu
gerbang kotapraja Kerajaan
Anggarapura. Tidak seperti
keadaan para pengemis lainnya,
dia berpenampilan
lumayan. Walau pakaiannya penuh
tambalan, namun
kelihatan bersih. Tubuhnya
tinggi tegap dengan dada
membusung. Pertanda dia
mempunyai kekuatan tu-
buh yang bisa diandalkan.
Wajahnya yang tidak sebe-
rapa tampan dihiasi julangan
alis gagah laksana sayap
burung rajawali terpentang.
Sorot matanya tajam dan
gerak-geriknya sangat tenang.
Pemuda pengemis berusia sekitar
dua puluh
tujuh tahun itu di tangan
kanannya memegang seba-
tang tongkat. Pangkal tongkatnya
berukir kepala naga,
sedangkan pada ujungnya yang
agak pipih dipeluntir
sepanjang satu jengkal. Menilik
ciri-ciri tongkat yang
dibawanya, agaknya dia anggota
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti.
Di depan sebuah kedai nasi
pemuda gagah
yang bernama Carang Gati itu
menghentikan langkah.
Dirogohnya saku baju sebentar,
lalu kakinya melang-
kah kembali.
Kedai nasi yang dituju Carang
Gati termasuk
kedai yang mempunyai kelas
tersendiri. Cukup banyak
pejabat kerajaan menjadi
langganan di sana. Kalau se-
karang Carang Gati yang
berpakaian penuh tambalan
memasukinya, tentu saja dia
menjadi pusat perhatian
orang. Hampir seluruh pengunjung
mengerutkan ken-
ing. Mereka pikir, Carang Gati
tentu seorang pengemis
yang kesasar. Mana mampu dia
membayar makanan
di kedai yang cukup mahal ini?
Namun setelah melihat tongkat
yang dipegang
Carang Gati, mereka segera
mengalihkan pandangan.
Pemuda gagah itu pasti sedang
mempunyai urusan.
Siapa yang tak tahu kebesaran
nama Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti? Walau
hanya sebuah per-
kumpulan pengemis, namun sepak
terjang para anggo-
tanya sangat terkenal di rimba
persilatan. Bukan
hanya melindungi para
gelandangan yang merupakan
teman senasib, tapi juga
menyatroni kaum sesat.
Pada mulanya para pelayan pun
memandang
sinis pada kehadiran Carang
Gati. Tapi, seorang pe-
layan setengah baya segera
menegur teman-temannya
itu.
"Tumben Nak Gati mampir ke
sini...," kata pe-
layan setengah baya kemudian di
depan meja Carang
Gati. Tampaknya dia sudah
mengenal anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu.
"Kebetulan ada yang
mengundangku, Pak
Tua...," sahut Carang Gati
seraya menyunggingkan se-
nyum.
"Kau pesan apa,
Nak?"
"Air putih saja."
Mendengar ucapan Carang Gati,
kontan selu-
ruh pengunjung kedai tertawa.
Namun, tawa mereka
langsung terhenti ketika Carang
Gati mendehem.
Tak lama kemudian, pelayan
setengah baya da-
tang mengantarkan pesanan Carang
Gati. Setelah mi-
num air putih separuh gelas,
Carang Gati menyebar
pandangan. Tempat duduknya yang
berada di pojok
cukup banyak membantu. Tidak
kurang dua puluh li-
ma lelaki perempuan mengisi
ruangan kedai. Mereka
semua berpenampilan seperti
layaknya orang kaya.
Kenyataan itu membuat Carang
Gati menjadi minder.
Keinginan untuk meninggalkan
kedai berkecamuk di
benaknya. Tapi, dicobanya untuk
terus bertahan den-
gan menundukkan kepala menatap
lantai kedai.
Seorang gadis cantik berusia
sekitar dua puluh
tahun muncul di ambang pintu
kedai. Pakaiannya
kuning merah dihiasi
pernik-pernik gemerlap. Ram-
butnya disanggul ke atas dengan
tusuk konde emas.
Giwang yang dipakainya berbentuk
pipih pan-
jang, ujungnya bermata intan.
Gelang keroncong yang
juga terbuat dari emas menyembul
dari ujung lengan
bajunya.
Si gadis berdiri sebentar di
ambang pintu de-
pan. Setelah dilihatnya sosok
Carang Gati, dia melang-
kah tenang lalu duduk berhadapan
dengan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu.
Seluruh pengunjung kedai menatap
kehadiran
si gadis. Mereka seperti tidak
mempercayai apa yang
dilihatnya. Tampaknya Carang
Gati pun terkejut. Dia
tidak menyangka orang yang
ditunggunya ternyata pu-
tri Prabu Arya Dewantara. Walau
bukan putri yang la-
hir dari rahim permaisuri, tapi
kalau duduk berhada-
pan dengan Carang Gati yang
miskin, tentu saja men-
jadi suatu pemandangan ganjil.
"Sudah lama menunggu,
Gati?" tanya si gadis,
tanpa mempedulikan tatapan orang
di sekitarnya.
"Ah, hamba tidak menduga
kalau yang men-
gundang kemari adalah Tuan Putri
Rani Paramita...,"
kata Carang Gati dengan
canggung. "Hamba tidak pan-
tas duduk berhadapan dengan Tuan
Putri."
Rani Paramita buru-buru mencegah
Carang
Gati yang hendak beranjak dari
tempat duduknya.
"Jangan bersikap canggung
seperti itu. Aku
sengaja menulis undangan dengan
meminjam nama
salah seorang prajurit, agar kau
bersedia datang. Aku
pun sengaja tak membuat
pertemuan di istana. Aku
ingin orang-orang mengetahui
kalau Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti mempunyai
hubungan dekat
dengan pihak kerajaan. Jadi, kau
tidak perlu bersikap
canggung seperti ini. Kau
bernaung di bawah bendera
suatu perkumpulan besar. Sudah
selayaknya orang
sepertimu mendapat
penghormatan...."
Rani Paramita kemudian memesan
masakan
yang lezat-lezat serta satu guci
besar arak wangi yang
termahal. Carang Gati cuma
memandang dengan tata-
pan tak mengerti. Ketika dia
hendak bertanya perihal
maksud undangan Rani Paramita,
niat itu diurung-
kannya karena pesanan sudah
keburu datang. Ru-
panya, pemilik kedai memberikan
pelayanan yang ce-
pat agar tak mengecewakan putri
Prabu Arya Dewanta-
ra.
"Kita nikmati dulu hidangan
ini, Gati...," kata
Rani Paramita, membuat Carang
Gati salah tingkah.
Seumur hidup baru kali ini dia
diperlakukan begitu
hormat oleh orang yang sangat
terpandang.
Ketika di atas meja hanya
tinggal guci besar be-
risi arak wangi dan dua gelas
kecil, Carang Gati me-
nunduk. Sementara Rani Paramita
menuang arak ke
dalam gelas. Saat gadis cantik
itu menyulanginya, ter-
kejutlah Carang Gati. Bagaimana
mungkin putri seo-
rang raja yang begitu lemah
lembut tampak terbiasa
minum arak?
"Sebelum aku memulai
pembicaraan, terima
kasih atas kesediaanmu datang
kemari," ucap Rani Pa-
ramita seraya meletakkan gelas
araknya ke atas meja.
"Suatu kehormatan besar
bagi hamba, Tuan
Putri..," sahut Carang Gati
dengan agak gugup.
"Kau tahu Putra Mahkota
Arya Wirapaksi, Ga-
ti?"
"Kenapa, Tuan Putri?"
"Dia dan aku sama-sama senang belajar ilmu
silat. Bulan depan kami
bermaksud akan bertarung
untuk mengukur ketinggian ilmu
silat yang kami mili-
ki. Arya Wirapaksi adalah kakakku,
tapi sebagai adik,
aku tak mau kalah dengannya.
Maka dari itu aku
mengundangmu kemari...."
Rani Paramita diam sejenak untuk
menarik na-
pas panjang. Carang Gati pun
sabar menunggu sampai
gadis cantik itu menyambung
ucapannya kembali. Se-
mentara itu beberapa pengunjung
kedai sudah me-
ninggalkan ruangan.
"Untuk mengundang Suropati,
aku tak tahu dia
berada di mana. Wirogundi pun
aku dengar sedang
bertapa di Danau Ular. Sedangkan
bila mengundang
Kakek Gede Panjalu, aku malu
pada diriku sendiri. Il-
mu kepandaianku masih dangkal.
Maka aku mengun-
dangmu, Gati..."
"Untuk apa?" Carang
Gati tak dapat memben-
dung hasrat hatinya untuk
bertanya.
"Aku ingin bertanding silat
denganmu. Jurus-
jurus ilmu silat Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
tentulah lihai. Aku bermaksud
menjajal ilmu kepan-
daianku."
"Ah, mana hamba berani,
Tuan Putri?" ujar Ca-
rang Gati walau merasa
tersanjung.
"Jangan merendahkan diri,
Gati. Aku tunggu
kau di kelokan sungai sebelah
barat kotapraja...."
Usai berkata, Rani Paramita
beranjak dari kur-
sinya. Gadis itu berkelebat
cepat dari hadapan Carang
Gati. Untuk beberapa lama pemuda
gagah itu cuma
dapat duduk termangu. Matanya
menatap tanpa arti
sekeping uang emas yang ditinggalkan
Rani Paramita.
"Ah, mimpi apa aku
kemarin?" kata Carang Ga-
ti dalam hati. "Bisa
berhadapan dengan putri Prabu
Arya Dewantara adalah pengalaman
membanggakan
yang dapat kuceritakan kepada
anak-cucuku kelak...."
Sengaja Carang Gati tak
mempergunakan tong-
katnya. Rani Paramita telah
membuka pertempuran
dengan tangan kosong. Namun,
Carang Gati berdecak
kagum melihat kehebatan gadis
cantik itu. Walau ge-
rak-geriknya lemah lembut, tapi
ketika memperagakan
jurus-jurus silat tubuhnya bisa
bergerak demikian ge-
sit. Pukulan dan tendangannya
pun selalu mengelua-
rkan desir angin yang memedihkan
kulit. Ternyata te-
naga dalam Rani Paramita tidak
bisa dianggap enteng.
"Ayo! Balas seranganku,
Gati!" teriak Rani Pa-
ramita. Tendangan melingkarnya
meluncur cepat.
Carang Gati berkelit. Karena tak
mau membuat
Rani Paramita kecewa, pemuda
gagah itu mengawali
serangannya dengan berlambarkan
jurus ‘Pengemis
Menghiba Rembulan'.
Des...!
Pukulan Carang Gati yang mengarah
ke bahu
kiri ditangkis oleh Rani
Paramita. Lengan mereka sa-
ma-sama bergetar dan terasa
kesemutan. Agaknya te-
naga dalam mereka seimbang.
Lewat sepuluh jurus kemudian
Rani Paramita
mulai terdesak. Carang Gati
telah mempergunakan ju-
rus gabungan dari 'Pengemis
Menghiba Rembulan',
'Pengemis Menebah Dada', dan
'Pengemis Meminta Se-
dekah'.
Mendadak, Rani Paramita meloncat
jauh ketika
Carang Gati melancarkan sebuah
tendangan lurus.
Dan, Carang Gati terkejut
melihat Rani Paramita tahu-
tahu saja telah menggenggam
sebilah, pedang pendek
yang memancarkan cahaya
keemasan.
"Pergunakan tongkatmu,
Gati!" teriak Rani Pa-
ramita.
"Hamba hanya menuruti
perintah, Tuan Pu-
tri...."
Kini, dengan memainkan senjata
andalannya
masing-masing kedua petarung itu
bertempur semakin
seru. Kelebatan pedang Rani
Paramita menimbulkan
gaung aneh yang kadang-kadang
berubah jadi desin-
gan memekakkan telinga. Pancaran
keemasan pe-
dangnya pun menyilaukan
pandangan.
Tapi, Carang Gati adalah anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
sudah cukup berpenga-
laman. Dia juga salah satu murid
Gede Panjalu yang
telah mewarisi seluruh ilmu
kepandaian tokoh itu.
Maka dengan mengandalkan jurus
‘Tongkat Memukul
Anjing', Carang Gati dapat mengimbangi
kehebatan ju-
rus pedang Rani Paramita.
Sang surya telah naik dan
memayung di atas
kepala. Seorang pemuda tampan
tampak duduk di
atas dahan pohon. Hampir-hampir
matanya tak berke-
dip memperhatikan pertempuran
yang berlangsung di
bawahnya. Pemuda tampan itu
menaikkan alisnya ke-
tika melihat benturan senjata di
tangan Rani Paramita
dan Carang Gati.
Trang...!
Walau senjata Carang Gati hanya
sebatang
tongkat kayu, tapi tidak patah
ketika bertemu dengan
ketajaman pedang Rani Paramita.
Bahkan, ujung
tongkat berhasil menyodok jemari
tangan gadis cantik
itu.
"Ih...!"
Terpaksa Rani Paramita
melepaskan pegangan-
nya pada hulu pedang. Hawa panas
terasa menjalar
dari jemari tangannya yang
tersodok ujung tongkat Ca-
rang Gati.
Mendadak saja, pemuda tampan
yang duduk di
dahan pohon menghemposkan tubuh.
Disambarnya
pedang Rani Paramita yang
terlontar tinggi. Saat ka-
kinya mendarat di tanah, dia
langsung menjura.
"Maafkan atas kelancangan
saya...," kata pe-
muda tampan itu seraya
menyodorkan pedang Rani
Paramita,
"Siapa kau?!" bentak
gadis cantik itu setelah
menerima pedangnya. Carang Gati
hanya memandang
dengan kening berkerut.
Sekali lagi pemuda tampan
menjura hormat.
"Nama saya Saka Purdianta.
Saya hanya seorang pen-
gembara yang kebetulan lewat di
tempat ini."
Rani Paramita menatap lebih
seksama sosok
Saka Purdianta. Pemuda tampan
yang bergelar Dewa
Guntur itu telah mengganti
pakaiannya yang serba hi-
jau dengan kuning coklat
bergaris-garis hitam. Dan
meski terbuat dari bahan murah,
tapi sanggup me-
nampilkan ketampanan pemuda itu.
"Maafkan saya. Saya telah
mencuri pandang
pertempuran Nona yang
cantik jelita dengan pemuda
yang gagah perkasa ini...."
"Kalau kau tahu siapa aku,
kau tidak akan be-
rani melakukannya!" sergah
Rani Paramita menimpali
ucapan Saka Purdianta.
"Saya yang bodoh ini memang
tidak tahu siapa
Nona adanya. Tapi, saya bisa
mengenali jurus pedang
yang baru saja Nona mainkan.
Kalau tidak salah, jurus
itu bernama 'Desingan Pedang
Membelah Gunung'."
Mendengar ucapan demikian,
tahulah Rani Pa-
ramita kalau pemuda tampan yang
menyambar pe-
dangnya itu bukanlah orang
sembarangan.
"Dari mana kau tahu jurus yang kumainkan
adalah 'Desingan Pedang Membelah
Gunung'?"
"Suara gaung yang timbul
dari kelebatan pe-
dang Nona dapat berubah menjadi
desingan meme-
kakkan telinga. Yang lebih
membuat saya yakin adalah
gerak tubuh Nona. Saya hapal
betul setiap gerakan ju-
rus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung'. Karena,
saya pernah mempelajarinya dari
seorang ahli pedang
yang bernama Ki Ageng Manik
Rei."
"Ketua Perguruan Pedang
Kencana itu apakah
gurumu?" tanya Rani
Paramita penuh selidik. Kaget
juga dia mendengar penjelasan
Saka Purdianta tadi.
"Saya yang bodoh ini tidak
pantas menjadi mu-
rid beliau. Ki Ageng Manik Rei
pernah singgah di Ka-
tumenggungan Lemah Abang di
wilayah Kerajaan Pasir
Luhur. Di sanalah saya bertemu
dengan beliau. Dan,
beliau berkenan mengajarkan
salah satu jurus anda-
lannya, yakni 'Desingan Pedang
Membelah Gunung'"
Mendengar ucapan Saka Purdianta
yang lemah
lembut, kecurigaan di hati
Carang Gati langsung hi-
lang. Semula dia menyangka Saka
Purdianta seorang
tokoh usil yang suka mencampuri
urusan orang lain.
Tapi dilihatnya Rani Paramita
tampak mempercayai
ucapan pemuda tampan itu.
Bahkan, menaruh sedikit
perhatian.
"Kalau saya boleh tahu,
siapakah dua tokoh
muda yang sedang berhadapan
dengan saya ini?"
tanya Saka Purdianta dengan
sopannya.
Buru-buru Rani Paramita
mendahului Carang
Gati yang hendak memperkenalkan
diri. "Saya hanya-
lah seorang gadis biasa yang
kebetulan mempunyai jo-
doh untuk berguru kepada Ki
Ageng Manik Rei. Se-
dangkan yang baru saja
memperagakan Jurus tong-
katnya yang hebat adalah Carang
Gati, anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat
Sakti."
Mendengar penuturan Rani
Paramita, Saka
Purdianta membungkukkan badannya
berulang kali ke
arah Carang Gati. Carang Gati
pun jadi kikuk menda-
pat penghormatan yang berlebihan
itu.
"Rupanya saya sedang
berhadapan dengan seo-
rang pendekar gagah yang menjadi
anggota suatu per-
kumpulan besar...."
"Saudara tidak perlu
berlebihan," bantah Ca-
rang Gati.
"Jangan panggil saya dengan
sebutan
'saudara.'. Nama saya Saka
Purdianta. Panggil saja
'Saka'. Saya akan merasa senang bila kalian berdua
bersedia menerima uluran
persahabatan dari saya"
Saka Purdianta memandang wajah
Rani Para-
mita dan Carang Gati bergantian.
'"Desingan Pedang Membelah
Gunung' adalah
jurus pedang yang hebat. Tapi,
jurus tongkat yang Ka-
kang Gati mainkan lebih hebat
lagi. Saya melihat bebe-
rapa kelemahan dari gerak tubuh
Adi Rani. Karena itu
saya ingin mencoba jurus
'Desingan Pedang Membelah
Gunung' yang saya kuasai untuk
melawan jurus tong-
kat Kakang Gati...."
Carang Gati menatap tajam wajah
Saka Pur-
dianta. Namun karena tak melihat
sesuatu yang men-
curigakan di sana, dia segera
membungkukkan ba-
dannya menerima tantangan pemuda
tampan itu. Ak-
hirnya, Rani Paramita
meminjamkan pedangnya kepa-
da Saka Purdianta. Sebentar
kemudian terjadilah per-
tempuran sengit. Carang Gati mengeluarkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' nya.
Dan Saka Purdianta
benar-benar memperagakan jurus
'Desingan Pedang
Membelah Gunung"!
Tapi, Carang Gati dibuat
terkejut setengah ma-
ti. Walau jurus yang diperagakan
Saka Purdianta sama
persis dengan Rani Paramita,
namun gerakan Saka
Purdianta lebih cepat. Desingan
pedangnya pun lebih
keras hingga dapat menggetarkan
isi dada. Akibat-
nya....
Des...!
Tendangan Saka Purdianta tepat
bersarang di
bahu kiri Carang Gati. Tubuh
anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu
terpelanting, lalu terjerem-
bab ke tanah.
"Hebat!" puji Rani
Paramita. Sementara muka
Carang Gati jadi masam. Dia
segera membungkukkan
badan, mengakui kehebatan
lawan.
"Sebenarnya ada salah
pengertian pada Adi Ra-
ni...," kata Saka Purdianta
kemudian kepada Rani Pa-
ramita. "Jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung'
tidak hanya bertumpu pada
ketajaman pedang, me-
lainkan juga pada tendangan.
Suara desingan yang
timbul dari kelebatan pedang
adalah untuk mengecoh
lawan. Ketika lawan hanya
memperhatikan kelebatan
pedang, tiba saatnya kaki
menunjukkan kehebatan-
nya."
"Terima kasih atas petunjuk
Kakang Saka...,"
ujar Rani Paramita sambil
menerima pedangnya kem-
bali. Gadis cantik itu lalu
pergi berlalu setelah berpa-
mitan kepada Saka Purdianta dan
Carang Gati. Ada
sesuatu yang harus dia kerjakan.
***
"Maafkan saya, Kakang
Gati...," ucap Saka Pur-
dianta setelah kepergian Rani
Paramita.
"Ah, tidak menjadi apa.
Jurus 'Desingan dang
Membelah Gunung' memang sungguh
hebat."
"Kakang terlalu memuji.
Kalau boleh saya tahu,
siapakah sebenarnya gadis murid
Ki Ageng Manik Rei
itu? Melihat pakaian yang
dikenakannya, aku kira dia
bukan tokoh silat
biasa...."
"Tentu saja, Adi Saka. Dia
putri Prabu Arya
Dewantara," ujar Carang
Gati dengan tersenyum.
"Penguasa Kerajaan
Anggarapura ini?!" Saka
Purdianta seperti tak
percaya.
"Ya."
"Kenapa dia bisa berada di
tempat seperti ini,
dan bertanding ilmu silat
denganmu?"
Carang Gati lalu menceritakan
tentang Rani Pa-
ramita yang hendak menjajal
kepandaiannya, karena
bulan depan gadis cantik itu
akan mengadu ilmu silat
dengan kakaknya, Arya Wirapaksi.
Saka Purdianta manggut-manggut,
Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum.
"Sungguh beruntung aku hari
ini, bisa berkena-
lan dengan putri Prabu Arya
Dewantara yang cantik je-
lita. Tapi, lebih beruntung lagi
dapat berkenalan den-
gan salah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang
kesohor...."
"Ah, Adi Saka terlalu
berlebihan," Carang Gati
tersenyum bangga mendengar
perkumpulannya dipuji
orang.
"Tidak. Kenyataannya memang
demikian. Jauh-
jauh aku datang dari Kerajaan
Pasir Luhur adalah un-
tuk menjumpai tokoh-tokoh
penting perkumpulan be-
sar itu."
"Ada urusan apa?"
selidik Carang Gati.
"Urusan penting sih tidak.
Tapi sebagai pen-
gembara seperti saya ini, tentu
akan senang bila dapat
berkenalan dengan tokoh-tokoh
rimba persilatan yang
termasyhur. Oleh sebab itu,
apakah Kakang Gati dapat
membawaku untuk berkenalan
dengan Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang bernama Su-
ropati?"
Kening Carang Gati berkerut.
Entah mengapa
tiba-tiba timbul kecurigaan
dalam hatinya. Namun me-
lihat tutur kata dan sikap Saka
Purdianta yang sopan,
dia mengusir kecurigaan itu.
"Pemukiman para anggota
Perkumpulan pen-
gemis Tongkat Sakti berada di
puncak Bukit Pangala-
san. Namun, saat ini Suropati
tidak berada di sana."
Saka Purdianta menyunggingkan
senyum. "La-
lu, di mana aku bisa menjumpai
Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
itu?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak bisa
menjawabnya. Kalau Adi Saka
memang seorang pengembara, suatu
saat tentu akan
berjumpa dengannya di
perjalanan."
"Ehm.... Suropati tentu
mempunyai seorang
yang dapat mewakili dirinya.
Apakah saya bisa ber-
jumpa dengannya?"
"Apakah Wirogundi yang kau
maksud?" Carang
Gati balas bertanya.
"Siapa Wirogundi?"
"Dia tangan kanan Suropati.
Ilmu kepandaian-
nya sangat tinggi., Bila
dibanding denganku, seperti
bumi dan langit."
"Oh, begitu? Saya akan ke
puncak Bukit Panga-
lasan sekarang," putus Saka
Purdianta tanpa pertim-
bangan lagi.
"Eit! Tunggu dulu!"
Hati Saka Purdianta langsung
bersorak girang.
Pancingannya berhasil. Dia
menghentikan langkah, la-
lu memandang wajah Carang Gati.
Pura-pura tak men-
gerti maksud anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu.
"Apakah tidak sembarang
orang diperbolehkan
mengunjungi pemukiman
perkumpulanmu itu, Kakang
Gati?" tanya pemuda tampan
itu.
"Bukan begitu, Adi Saka.
Seperti halnya Suro-
pati. Wirogundi pun tidak berada
di sana."
"Kalau begitu, di mana aku
bisa menjumpai Wi-
rogundi?"
Carang Gati tampak berpikir.
Namun akhirnya
dia berkata terus terang.
"Wirogundi sedang menjalani
hukuman..."
"Hukuman? Apakah dia
mempunyai kesala-
han?"
Carang Gati mengangguk pelan.
"Sejak kema-
tian kekasihnya yang bernama
Anjarweni, hati Wiro-
gundi dilanda kesedihan yang
sangat. Pikirannya ser-
ing kali tak terkendali. Sampai
akhirnya dia berjumpa
dengan seorang gadis yang
bernama Yaniswara. Wajah
Yaniswara sangat mirip dengan
Anjarweni. Mungkin
karena itulah Wirogundi hampir
saja menodainya...,"
Saka Purdianta mengangguk-angguk.
Raut wa-
jahnya dibuat redup, seakan-akan
ikut merasa priha-
tin atas peristiwa yang baru
didengarnya.
"Tapi, untunglah Tuhan
membuka mata hati
Wirogundi. Peristiwa memalukan
yang akan mencoreng
nama besar Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu
tidak sampai terjadi...."
"Aku turut bersyukur,
Kakang Gati. Tapi, kena-
pa Wirogundi tetap menjalani
hukumannya? "
"Wirogundi sangat menyesali
perbuatannya,
namun pada mulanya dia tak mau
mengatakan hal
yang sebenarnya. Dia harus
bertapa di Danau Ular se-
lama empat puluh hari empat
puluh malam. Menurut
Kakek Gende Panjalu, dengan
demikian Wirogundi
akan terbebas dari kekalutan
yang terus menghantui
pikirannya."
"Ehm.... Kasihan sekali
Wirogundi...," kata Saka
Purdianta dengan penuh
keprihatinan. "Kau tadi me-
nyebut 'Kakek Gede Panjalu',
apakah dia sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti,
kang Gati?"
"Ya."
"Suatu saat aku akan
meminta beberapa we-
jangan darinya."
"Kakek Gede Panjalu selalu
berada di puncak
Bukit Pangalasan, kecuali kalau
ada urusan penting
yang memaksanya untuk turun
bukit. Kau bisa men-
jumpainya di sana, Adi
Saka...," Carang Gati tanpa ra-
sa curiga sedikit pun
menceritakan kesemuanya.
"Terima kasih, Kakang Gati.
Aku pasti akan
menjumpainya. Tapi, tidak
sekarang. Aku masih mem-
punyai beberapa urusan...."
Saka Purdianta lalu
membungkukkan badan-
nya. Carang Gati membalas
penghormatan itu. Mereka
pun berpisah. Carang Gati
melangkahkan kakinya me-
nuju kotapraja, sedangkan Saka
Purdianta menuju
Danau Ular.
"Ehm.... Sebentar lagi
rimba persilatan akan
geger...," gumam Saka
Purdianta dalam hati. "Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti akan mati
dengan cara mengenaskan.
Suropati akan mati dengan
keadaan nista, penuh
coreng-moreng di mukanya...."
Saka Purdianta tertawa
terbahak-bahak.
Bayangan kemenangan sudah
terpampang jelas di de-
pan matanya. Maka dengan tak
sabar dia berlari cepat,
mengandalkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya.
***
Semua orang yang berada di depan
pintu ger-
bang Perguruan Pedang Kencana
membungkukkan
badannya dalam-dalam ketika Rani
Paramita lewat di
hadapan mereka.
"Apakah Eyang Manik Rei
berada di dalam?"
tanya Rani Paramita sesampai di
pintu padepokan.
"Eyang Manik Rei belum
turun dari semadinya,"
jawab seorang pemuda.
"Terima kasih. Kalau Eyang
sudah menyelesai-
kan semadinya, tolong katakan
pada beliau aku me-
nunggu di halaman
belakang."
"Baik."
Rani Paramita menepuk bahu
pemuda di hada-
pannya, lalu kakinya melangkah.
Di pelataran lapang
yang berada di belakang
padepokan, Rani Paramita
melihat belasan pemuda sedang
giat berlatih. Dada
mereka yang telanjang tampak
berkilat-kilat karena
keringat. Mereka tak
menghiraukan sengatan sinar
matahari yang hampir naik.
Rani Paramita tahu betul jurus
yang sedang
dimainkan saudara-saudara
seperguruannya itu ada-
lah 'Desingan Pedang Membelah
Gunung'. Belasan
pemuda itu murid utama Ki Ageng
Manik Rei. Hanya
merekalah yang bisa memainkan
jurus 'Desingan Pe-
dang Membelah Gunung’ Jurus itu
memang tidak di-
berikan pada setiap murid-murid
padepokan.
Rani Paramita duduk di
undak-undakan batu-
batu. Hampir dia tak berkedip
menatap setiap gerakan
yang diperagakan kakak-kakak
seperguruannya. Da-
lam penguasaan jurus 'Desingan
Pedang Membelah
Gunung' Rani Paramita sebenarnya
tidak tertinggal
jauh. Hanya, dalam kekuatan
tenaga dalam dia kalah.
Sehingga kelebatan pedang di
tangan kakak-kakak se-
perguruannya terdengar lebih
keras.
"Aneh...," pikir Rani
Paramita. "Jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung' yang
dimainkan pemuda
bernama Saka Purdianta kenapa
jauh lebih hebat? Pa-
dahal, kakak seperguruanku itu
telah bertahun-tahun
mempelajari gerakan dasarnya.
Saka Purdianta men-
gatakan dirinya bukan murid
Eyang Manik Rei, tapi
kenapa dia dapat dengan mudah
merobohkan Carang
Gati?"
Rani Paramita tak meneruskan
pikirannya. Dia
dikejutkan oleh suara berat
berwibawa yang memang-
gil namanya.
"Eh, Eyang Manik
Rei...," kata gadis cantik itu
seraya memberi hormat
Di hadapan Rani Paramita telah
berdiri seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun.
Dia memakai jubah
kuning. Walau kain jubahnya
sangat longgar, tapi tak
menutupi kegagahan kakek itu
yang mempunyai tu-
buh tinggi tegap. Wajah si kakek
tampak bersih dan
memancarkan kewibawaan yang
sangat. Janggutnya
putih pendek serta terawat rapi.
Rambutnya dikuncir
menjadi jalinan panjang. Dia
adalah Ki Ageng Manik
Rei, pendiri Perguruan Pedang
Kencana.
"Tidak seperti biasanya kau
datang kemari, Ra-
ni...," kata kakek gagah
itu. Ketika dia menyebut pang-
gilan Rani Paramita, ada getar
penghormatan terselip
di dalamnya.
"Saya mempunyai satu
keperluan, Eyang...."
"Ehm.... Aku sudah
menduganya. Tapi, bi-
asanya urusan ayahanda mu yang
meminta ku datang
ke istana."
"Ah, saya tidak ingin
merepotkan Eyang. Saya
datang tidak membawa urusan
penting. Namun, walau
begitu saya perlu
membicarakannya secara langsung
dengan Eyang."
Ki Ageng Manik Rei merengkuh
bahu Rani Pa-
ramita. Dibimbingnya gadis itu
masuk ke ruang dalam.
"Saya baru saja berjumpa
dengan seorang pe-
muda bernama Saka Purdianta. Dia
memperagakan ju-
rus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung'. Tapi, gera-
kannya sungguh sangat luar
biasa. Dengan mudah dia
merobohkan Carang Gati yang
memainkan jurus
'Tongkat Memukul
Anjing'...."
Rani Paramita menceritakan
peristiwa yang ba-
ru saja dialaminya. Rupanya ke
sinilah dia pergi ketika
tadi berpamitan pada Carang Gati
dan Saka Purdianta.
"Saka Purdianta mengaku pernah
bertemu den-
gan Eyang di Katumenggungan
Lemah Abang, di wi-
layah Kerajaan Pasir Luhur. Dia
mengatakan Eyang
pernah mengajar jurus 'Desingan
Pedang Membelah
Gunung' kepadanya. Benarkah itu
Eyang? Tapi kenapa
jurus yang dimainkannya lebih
hebat dibandingkan
kakak-kakak seperguruan yang
telah berlatih dasar ju-
rus itu selama
bertahun-tahun?"
Ki Ageng Manik Rei
mengangguk-angguk pelan.
Rani Paramita kaget melihat
perubahan raut wajah gu-
runya yang mendadak menjadi
muram
"Ada apa, Eyang? Benarkah
Eyang pernah
mengajarkan jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gu-
nung' kepada Saka
Purdianta?"
"Aku memang pernah berjumpa
dengan pemu-
da itu di Katumenggungan Lemah
Abang," aku Ki
Ageng Manik Rei.
"Jadi, benar Eyang telah
mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah
Gunung' kepada Saka
Purdianta?" tegas Rani
Paramita.
"Jangan menyela cerita ku,
Rani....." Ki Ageng
Manik Rei buru-buru memotong.
"Peristiwa itu terjadi
tujuh tahun yang lalu. Saat itu
Saka Purdianta masih
berusia delapan belas
tahun...."
Ki Ageng Manik Rei kemudian
bercerita. Beliau
adalah seorang pengembara.
Sebagian besar usianya
dipergunakan untuk malang
melintang di rimba persi-
latan. Ketika sudah merasa tua,
dia bermaksud ber-
diam di suatu tempat Ki Ageng
Manik Rei datang
menghadap Tumenggung Sangga
Percona.
"Di Katumenggungan Lemah
Abang ini hamba
banyak melihat pemuda-pemuda
gagah...," kata Ki
Ageng Manik Rei pada waktu itu.
"Untuk itulah, hamba
memberanikan diri menghadap
Gusti Tumenggung.
Hamba meminta izin dari Gusti
Tumenggung untuk
mendirikan sebuah perguruan
silat..."
"Ehm.... Perguruan silat
apa?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona penuh
selidik.
"Hamba mempunyai kepandaian
memainkan
senjata pedang. Pedang hamba itu
bernama Pedang
Kencana. Oleh sebab itu, hamba
akan mendirikan sua-
tu perguruan yang diberi nama
Perguruan Pedang
Kencana."
"Tujuannya?"
"Para murid akan hamba
bekali ilmu olah ka-
nuragan untuk membela diri dari
kekuatan jahat yang
mengancam. Hamba akan didik
mereka menjadi pen-
dekar-pendekar yang selalu
berjalan di atas kebenaran
dan keadilan...."
Tak pernah disangka oleh Ki
Ageng Manik Rei,
Tumenggung Sangga Percona akan
tertawa bergelak
mendengar penuturannya. Dia pun
menuding-nuding
muka Ki Ageng Manik Rei.
"Hei, Manik Rei! Tampangmu
tak lebih bagus
dari kerbau dicocok hidungnya!
Aku curiga kau mem-
punyai maksud buruk. Kau hanya
mencari ketenaran!
Setelah itu, suatu saat kau
tentu akan mengajak mu-
rid-muridmu untuk memberontak kepadaku! Itu tak
akan terjadi, Manik Rei!
Kepandaianmu hanya sedalam
cawan dan setinggi telapak
kaki!"
Tentu saja Ki Ageng Manik Rei
terkejut dan me-
rasa tersinggung. Dia mencoba
bersabar. Sekali lagi di-
jelaskan maksudnya untuk
mendirikan Perguruan Pe-
dang Kencana.
"Tak pernah terbersit dalam
benak hamba me-
rebut tahta seorang pejabat,
Gusti Tumenggung. Ham-
ba hanyalah seorang pengembara
yang tak mengerti
ilmu pemerintahan. Hamba hanya
ingin mendirikan
Perguruan Pedang Kencana untuk
mengamalkan ke-
pandaian ilmu silat
hamba...."
"Ha ha ha...! Kalau begitu,
kau sudah merasa
sangat yakin akan kemampuanmu.
Baik! Sepuluh
orang prajurit akan menguji
kemampuanmu, Manik
Rei!"
Akhirnya, ilmu silat Ki Ageng
Manik Rei benar-
benar teruji. Di depan pendopo
sepuluh orang prajurit
kekar bersenjata tombak dan
pedang mengeroyok to-
koh tua itu. Dengan hanya
mengandalkan jurus-jurus
tangan kosong, Ki Ageng Manik
Rei dapat merobohkan
lawan-lawannya.
Walau para prajuritnya tidak ada
yang menga-
lami luka parah, Tumenggung
Sangga Percona tetap
murka. Dia merasa dilecehkan
oleh Ki Ageng Manik
Rei.
"Jangan terlalu bangga
karena berhasil mero-
bohkan sepuluh prajuritku, Manik
Rei! Mendirikan
perguruan silat tidak semudah
yang kau kira. Pendi-
rinya harus seorang yang pilih
tanding. Itu untuk men-
jaga nama baik perguruan yang
hendak didirikannya.
Karena itu, akan ku jajal
kemampuanmu, Manik Rei!"
Mendengar ucapan Tumenggung
Sangga Perco-
na, Ki Ageng Manik Rei langsung
tercekat Tumenggung
Sangga Percona adalah seorang
pejabat yang mempu-
nyai ilmu olah kanuragan tinggi.
Tapi, bukan karena
itu hati Ki Ageng Manik Rei jadi
bingung. Tumenggung
Sangga Percona seorang pejabat
yang cukup terpan-
dang, mana berani Ki Ageng Manik
Rei menjatuhkan
tendangan dan pukulan
kepadanya?
Selagi Ki Ageng Manik Rei sedang
berpikir-pikir,
datang seorang remaja tampan.
Dia menyebut na-
manya Saka Purdianta, putra
tunggal Tumenggung
Sangga Percona.
"Hei, Pak Tua! Untuk
menjajal kemampuanmu,
aku akan mewakili ayahku. Aku
tak ingin tangan
ayahku ternoda karena menyentuh
kulit tubuhmu
yang kotor!"
Tumenggung Sangga Percona
tertawa terbahak-
bahak.
"Baik! Kau wakili ayahmu
ini, Saka. Hajar
orang tua yang terlalu sok
itu!"
Hati Ki Ageng Manik Rei jadi
semakin tak ka-
ruan. Tapi, dia tak mempunyai
waktu lama untuk ber-
pikir. Saka Purdianta telah
menyerangnya dengan pe-
nuh nafsu membunuh!
Mau tak mau Ki Ageng Manik Rei
mesti me-
layaninya. Karena tak mau
melihat Saka Purdianta ter-
luka, Ki Ageng Manik Rei
bertempur dengan menggu-
nakan tangan kosong. Tokoh tua
itu terkejut setengah
mati mendapati kelihaian Saka
Purdianta. Remaja
tampan itu tak bersenjata, namun
kedua telapak tan-
gannya mengeluarkan suara
gemuruh yang memekak-
kan gendang telinga. Serangannya
selalu mengincar ja-
lan kematian.
Ki Ageng Manik Rei terdesak.
Keadaan ini terja-
di karena Ki Ageng Manik Rei tak
sungguh-sungguh
dalam memberikan perlawanan.
Ilmu silat tokoh tua
itu pun sebenarnya bertumpu pada
jurus-jurus pe-
dang.
Namun, ketika Ki Ageng Manik Rei
telah mera-
sakan tendangan dan pukulan Saka
Purdianta, tokoh
tua itu mencabut Pedang
Kencananya dengan sangat
terpaksa.
Ki Ageng Manik Rei memainkan
jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung' untuk
mendesak Saka
Purdianta. Putra Tumenggung
Sangga Percona itu
mencoba terus memberikan
perlawanan. Padahal kele-
batan pedang Ki Ageng Manik Rei
telah mengurung-
nya. Kalau mau, tokoh tua itu
bisa saja membuatnya
celaka.
"Akuilah kekalahanmu, Nak
Mas...," kata Ki
Ageng Manik Rei.
"Tidak! Aku belum
kalah!"
Saka Purdianta tak mau mundur.
Karena tak
melihat cara lain untuk
menyadarkan remaja tampan
itu, Ki Ageng Manik Rei
menggores bahu kirinya.
Melihat putra tunggalnya
terluka, Tumenggung
Sangga Percona semakin murka. Diperintahkannya
se-
luruh prajurit Katumenggungan
untuk menangkap Ki
Ageng Manik Rei. Tokoh tua itu
lalu dijebloskan ke da-
lam penjara.
Untunglah, ada seorang prajurit
yang tak tahan
melihat kesewenang-wenangan
Tumenggung Sangga
Percona. Dia melaporkan
peristiwa itu kepada Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Akhirnya, Ki Ageng
Manik Rei dapat keluar dari
penjara. Tumenggung
Sangga Percona hanya mendapat
teguran. Dengan ke-
licikannya pejabat itu dapat
meyakinkan Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit kalau
peristiwa yang terjadi
timbul karena kesalahpahaman
semata.
3
"Begitulah ceritanya,
Rani..," Ki Ageng Manik
Rei mengakhiri penuturannya.
"Aku kemudian mene-
ruskan pengembaraan untuk dapat
mendirikan Pergu-
ruan Pedang Kencana. Sampai
akhirnya aku sampai di
tempat ini."
"Kalau begitu, Eyang tidak
mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung' kepada Saka
Purdianta. Tapi kenapa pemuda
itu bisa memainkan-
nya, bahkan lebih hebat dariku
yang telah belajar se-
kian tahun kepada Eyang?"
"Saka Purdianta seorang
pemuda yang cerdas
dan sangat berbakat. Aku
mempunyai dugaan ketika
kau sedang bertempur dengan
Carang Gati, Saka Pur-
dianta telah menghapalkan setiap
gerakan jurus
'Desingan Pedang Membelah
Gunung'."
"Kenapa dia mengatakan
Eyang yang menga-
jarkan jurus pedang itu?"
"Entahlah. Aku juga tak
tahu maksudnya. Tapi,
pada saatnya nanti kita pasti
mengetahuinya. ..."
"Terima kasih atas cerita
Eyang. Karena hari te-
lah menjelang sore, saya harus
kembali ke istana."
Ki Ageng Manik Rei melepas
kepergian putri
Prabu Arya Dewantara itu dengan
senyum lebar. Na-
mun begitu lenyap sosok Rani
Paramita, lenyap pula
senyuman Ki Ageng Manik Rei.
"Ada apa di balik
kebohongan Saka Purdianta
itu?" tanya Ki Ageng Manik
Rei dalam hati. "Kedatan-
gannya di wilayah Kerajaan
Anggarapura ini apakah
memang ada urusan penting atau
hanya kebetulan sa-
ja? Ah, kenapa perasaanku jadi
tidak enak? Mungkin-
kah ini firasat buruk?"
***
Danau Ular memang tak seberapa
lebar. Na-
mun, dari kemilau airnya yang
jernih dan tampak te-
nang terkandung ancaman yang
mengerikan. Pada te-
pinya tersembunyi ratusan liang
ular berbisa. Bila di-
perhatikan dengan seksama, air
danau yang jernih
pun banyak menunjukkan
gerakan-gerakan aneh. Tu-
buh ular besar dan kecil
terlihat meluncur gesit di ba-
wah permukaan air.
Pada bagian tengah danau
terdapat sebongkah
baru besar yang mencuat ke atas
menyembul permu-
kaan air. Seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh
dua tahun tampak duduk tenang di
atasnya. Tak se-
lembar benang pun menempel di
tubuh pemuda kunis
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi
menggambarkan
kedukaan yang sangat. Rambutnya
dibiarkan tergerai
riap-riapan.
Dia duduk bersila dengan kelopak
mata tertu-
tup rapat. Yang membuat
pemandangan jadi sangat
menggiriskan adalah karena
pinggang si pemuda ter-
belit seekor ular hitam sebesar
paha manusia dewasa.
Di bahu kirinya terselampir
beberapa ekor ular kecil.
Walaupun ular-ular itu tampak
ganas tapi tak berani
mengusik si pemuda yang sedang
bertapa brata.
Dia adalah Wirogundi. Pemuda itu
harus men-
jalani hukumannya untuk bertapa
di Danau Ular se-
lama empat puluh hari empat
puluh malam.
Mentari sudah memayung ke barat
ketika seo-
rang remaja tampan berpakaian
penuh tambalan ber-
diri tegak di pinggiran danau.
Rambut panjangnya
yang dibiarkan tergerai
berkibaran dimainkan angin.
Matanya tak lepas menatap
Wirogundi.
"Ehm.... Inikah pemuda yang
sedang menjalani
tapa brata itu?" gumam si
remaja tampan. "Wajahnya
muram. Rupanya dia benar-benar
sedang patah hati."
Remaja tampan itu tahu Wirogundi
tak mung-
kin dibangunkan dengan panggilan
lahir. Maka, dia
segera memejamkan mata dengan
tangan bersedekap.
Hendak ditembusnya alam pikiran
Wirogundi.
Pertama-tama yang ditemuinya
hanyalah ruang
gelap sangat pekat. Ruang gelap
itu perlahan diterangi
seberkas cahaya, hingga kemudian
menjadi sebuah
pancaran besar berserat kuning.
Ruang gelap itu le-
nyap, berganti dengan hamparan
tanah luas tiada ber-
tepi. Cahaya putih kuning
memancar terang bende-
rang.
Si remaja tampan menambah
kekuatan batin-
nya. Di ruang luas tiada bertepi
itu muncullah sosok
Wirogundi yang sedang duduk
bersila.
"Pendekar Patah
Hati...," panggil si remaja tam-
pan.
Dia menunggu sejenak. Tapi
jawaban yang di-
nantinya tak muncul. Maka,
diulanginya panggilan itu
sekali lagi.
"Pendekar Patah
Hati...."
"Siapa yang kau panggil?
Dan di mana wujud
mu, aku tak tahu...."
"Yang kupanggil adalah kau,
Wirogundi. Kau
tak tahu wujud ku karena aku
hanyalah pancaran ke-
kuatan batin."
"Menyingkirlah! Jangan
ganggu tapa ku!" ben-
tak Wirogundi yang merasa
terusik.
"Ada tugas yang harus
segera kau laksanakan,
Pendekar Patah Hati. Hentikan
dulu tapamu sampai di
sini!"
"Kau menyebut aku dengan
'Pendekar Patah
Hati', aku tak suka! Dan, aku
tak tahu siapa kau. Ke-
napa menyampaikan tugas
kepadaku?"
"Aku orang yang sangat
dekat denganmu. Aku
adalah pemimpinmu. Karena itu,
aku berhak memberi
julukan dan tugas
kepadamu...."
"Kau Suropati?"
"Bawa alam pikiranmu ke
alam nyata. Bukalah
matamu. Lihat baik-baik siapa
yang sedang berdiri di
hadapanmu!"
"Tidak! Ini baru memasuki
hari kesepuluh. Ta-
pa ku belum selesai. Aku tak
ingin melanggar perintah
Kakek Gede Panjalu."
"Dengar, Pendekar Patah
Hati! Aku datang atas
nama perkumpulan. Itu berarti
Kakek Gede Panjalu te-
lah menyetujui. Maka, kau tak
perlu ragu. Selesaikan
tapamu cukup sampai di
sini!"
Tubuh Wirogundi yang telah mati
rasa tampak
bergetar. Perlahan-lahan rasa
lahirnya kembali. Dia
dapat merasakan hembusan angin
yang menyentuh
kulitnya. Ketika Wirogundi
membuka mata, terkejutlah
dia mengetahui tubuhnya
dijadikan tempat bertengger
beberapa ekor ular. Dia juga
melihat seorang remaja
tampan berdiri tegak di pinggir
danau, menatap ke
arahnya.
"Suropati...," desis
Wirogundi.
"Segeralah kau menepi,
Pendekar Patah Hati."
Dengan usapan lembut Wirogundi
menurunkan bebe-
rapa ekor ular kecil yang
bergelayutan di bahu kirinya.
Lalu, dia mengelus pelan ular besar
yang melingkar di
pinggangnya. Ular itu menurut
saja ketika Wirogundi
membetot tubuhnya untuk
dimasukkan ke dalam air
danau. Sekejap mata kemudian
tubuh Wirogundi me-
lesat ke atas dan mendarat ke
tepian. Dikenakannya
pakaian yang penuh tambalan, lalu
berjalan ke arah
remaja tampan yang sedang
menunggunya.
"Apakah Kakek Gede Panjalu
tidak akan marah
kau membangunkan aku sebelum
waktunya, Suro?"
"Jangan khawatir...,"
kata si remaja tampan
yang dipanggil Suropati.
"Apa yang kulakukan tentu
saja atas persetujuan beliau.
Ketahuilah, ada tugas
penting yang harus kau lakukan
hari ini juga."
"Tugas apa?"
"Kau tahu Rani
Paramita?" tanya si remaja
tampan.
"Putri Prabu Arya
Dewantara?"
"Ya. Kau harus membawa
gadis itu ke hada-
panku. Kutunggu di sini sampai
kokok ayam pertama.
Lewat dari waktu yang telah
kutentukan, Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti tak layak
menerima kehadi-
ranmu, persaudaraan di antara
kita pun harus putus!"
"Suro! Apa yang kau
katakan?!" Wirogundi ter-
kejut setengah mati.
"Bagaimana aku bisa menculik
putri Prabu Arya Dewantara?
Bukankah itu perbuatan
jahat yang akan membuat murka
Baginda Prabu?"
"Aku mempunyai urusan
dengan Rani Parami-
ta. Kau tak perlu khawatir. Aku
tak akan mencelakai
gadis itu."
"Istana selalu dijaga
ketat. Bagaimana kalau
aku ketahuan?"
"Itu aku tak mau tahu. Yang
penting, kau ha-
rus membawa Rani Paramita ke
tempat ini nanti ma-
lam, sebelum kokok ayam
pertama."
"Tapi...."
"Kau bukan orang bodoh. Aku
sangat yakin
akan kemampuanmu!" sergah
si remaja tampan.
"Tidakkah ini akan
mencemarkan nama baik
perkumpulan kita?"
Wirogundi mencoba bertanya,
"Tidak! Segera kau
berangkat sekarang. Dan,
tancapkan ini di dinding dalam
Istana!"
Sambil berkata demikian, si
remaja tampan
mengeluarkan sebilah bambu dari
balik bajunya. Se-
paruh panjang bilah bambu
dililit selembar kulit
kambing. Tampaknya itu sebuah
pesan. Dengan hati
ragu dan penuh tanda tanya,
Wirogundi menerima
pemberian si remaja tampan.
"Pesan ini sangat rahasia,
Pendekar Patah Hati.
Hanya orang istana yang boleh
mengetahuinya" Wiro-
gundi mengangguk pelan.
"Berangkatlah sekarang.
Semoga Tuhan
melindungimu...."
Wirogundi menatap dalam-dalam
wajah si re-
maja tampan
"Aku sadar sepenuhnya hati
kecilku menolak
untuk melaksanakan perintahmu.
Tapi, apa boleh
buat. Aku tak mau meninggalkan
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti. Terlebih
memutuskan tali per-
saudaraan di antara kita,
Suro...."
Selesai berkata, Wirogundi
segera membalikkan
badan dan berkelebat cepat
meninggalkan Danau Ular.
"Tuhan melindungimu,
Pendekar Patah Hati!"
Teriakan si remaja tampan
menggema, mengi-
ringi kelebatan tubuh Wirogundi.
***
Emoticon