4
Bangunan papan yang telah hancur
itu didi-
rikan kembali. Sebuah bangunan
persegi empat yang
sangat sederhana dan berkesan
tergesa-gesa ketika di-
buat ini terletak di
tengah-tengah Kapal Rajawali.
Layar yang terbuat dari kain
merah dan kun-
ing terbentang lebar di
tiang-tiang layar. Tampak
menggembung oleh tiupan angin.
Dilihat dari kejauhan
Kapal Rajawali memperlihatkan
keindahannya. Tam-
pak gagah mengarungi Laut
Selatan yang luas.
Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah berdiri
di anjungan. Mereka berpegangan
pada pagar pemba-
tas sisi kapal. Sikap Raka
Maruta kepada Kakek Wajah
Merah tampak hormat sekali. Tak
heran, karena Raka
Maruta telah diangkat sebagai
murid oleh kakek itu.
Dan, pemuda berwajah lembut yang
bergelar Pendekar
Kipas Terbang ini telah mewarisi
beberapa ilmu keta-
biban dari guru barunya.
"Karena kita tak tahu di
mana Kerajaan Air
berada, haruskah kita mengarungi
seluruh penjuru
Laut Selatan ini, Kek...?"
kata Pendekar Kipas Terbang
sambil menatap debur-debur ombak
yang menghan-
tam lambung kapal.
"Apa yang kita lakukan
memang untung-
untungan. Tapi, aku yakin
Kerajaan Air akan dapat di-
temukan. Mungkin kerajaan itu
berada di sebuah pu-
lau yang terletak di Laut
Selatan ini. Aku tidak sepen-
dapat dengan Datuk Risanwari
yang mengatakan ka-
lau Kerajaan Air berada di dasar
laut. Mana mungkin
seorang manusia, dapat hidup di
dalam air?"
"Kalau begitu, kita mesti
menyinggahi setiap
pulau yang kita jumpai?"
ujar Raka Maruta seraya me-
natap wajah si Kakek Wajah
Merah.
"Ya. Kau keberatan?"
"Tidak!" sahut Raka
Maruta cepat. "Demi Su-
ropati dan Anggraini Sulistya,
apa pun akan kulaku-
kan."
"Kau sudah cukup banyak
berkorban untuk
mereka, Maruta."
Mata Pendekar Kipas Terbang
menerawang
jauh menatap garis kaki langit.
Siraman cahaya men-
tari tak terasa panas. Hembusan
angin melemahkan
sengatannya.
"Sebenarnya aku masih
mempunyai seorang
ayah. Tapi, beliau meninggalkan
keluarga ketika usia-
ku belum genap lima belas tahun.
Karena kepergian
ayah itulah, ibuku
sakit-sakitan, hingga kemudian
meninggal dunia...," tanpa
diminta Raka Maruta men-
ceritakan tentang dirinya.
"Jadilah aku hidup sebatang
kara. Untuk menghilangkan
kesepian aku mempelajari
'Kitab Penyuci Kalbu'
pening-galan ayahku. Kata be-
liau, kitab itu merupakan
warisan leluhur. Aku harus
menjaganya dengan baik, sampai
pada saatnya nanti
aku harus mewariskannya lagi
kepada keturunan-
ku...."
Kakek Wajah Merah mendengarkan
cerita
Pendekar Kipas Terbang dengan
penuh perhatian. Ta-
bib pandai itu memang telah
menaruh perasaan suka
sejak pertemuannya dengan Raka
Maruta di Bukit Ra-
wangun.
"Setelah berhasil menguasai
ilmu 'Kalbu Su-
ci', kemudian aku mengembara.
Karena tinggal di ru-
mah seorang diri membuatku tidak
kerasan. Aku lalu
berjumpa dengan Kipas Sakti. Dia
sangat baik terha-
dapku. Bahkan bersedia
mengangkatku sebagai murid.
Setelah aku berpisah dengan
tokoh hebat itu, aku me-
rasa sebatang kara lagi. Saat
berjumpa dengan Suro-
pati-lah aku benar-benar dapat merasakan kebaha-
giaan. Banyak pelajaran ku peroleh
darinya. Suropati
juga sebatang kara. Sejak kecil
dia hidup sebagai ge-
landangan dan berteman dengan
para pengemis. Tapi,
yang membedakan aku dengan
Suropati adalah perihal
sikap dan pandangannya tentang
hidup. Dalam hidup
tanpa sanak-saudara aku bersedih
pilu dan merasa
sebagai orang yang sangat
malang. Namun tidak bagi
Suropati.
Di masih dapat tersenyum ketika
perutnya
lapar melilit-lilit. Suropati
masih dapat tertawa senang
ketika cobaan datang
bertubi-tubi. Dia dapat menik-
mati kebahagiaan dalam
penderitaannya. Semua itu
memberikan pelajaran kepadaku.
Sampai akhirnya
timbul pengertian dalam diriku,
bahwa apa pun yang
ditimpakan Tuhan kepada manusia
mesti disyukuri."
"Lalu, kenapa kau bersedia
mengorbankan di-
ri demi Suropati? Apakah karena
alasan yang kau ke-
mukakan tadi?" tanya Wajah
Merah, ingin membuka
isi hati Raka Maruta lebih
dalam.
"Itu hanya sebagian alasan.
Selain Suropati
telah kuanggap sebagai adik
kandungku sendiri, aku
juga punya kewajiban untuk
menolong setiap orang
yang membutuhkannya...."
"Tentang Anggraini
Sulistya, apakah kau juga
bersedia menolongnya karena
gadis itu sedang mem-
butuhkan pertolongan?"
"Ya."
"Hanya karena itu?"
desak Kakek Wajah Me-
rah seperti tak percaya.
Raut wajah Raka Maruta tiba-tiba
berubah.
Dia tersipu dan tak berani
bertatap mata dengan ka-
kek Wajah Merah. Raka Maruta
hanya menundukkan
kepala untuk beberapa saat.
Kakek Wajah Merah tersenyum
tipis. Melihat
sikap Raka Maruta, tahulah tabib
pandai itu kalau Ra-
ka Maruta menyimpan perasaan
suka terhadap
Anggraini Sulistya. Bukan
sekadar perasaan suka se-
bagai seorang sahabat, tapi
lebih dari itu.
Suropati yang berdiri di buritan
kapal mena-
tap langit biru berhiaskan
gumpalan awan perak. Da-
lam hatinya tersimpan rasa
syukur yang sangat. Kakek
Wajah Merah dan Raka Maruta
telah bersedia mem-
bantunya menghilangkan pengaruh
racun Jarum Mati
Sekejap yang telah bercampur
dengan cairan darah-
nya.
Ketika Suropati membalikkan
badan menatap
bangunan papan di tengah kapal,
di mana Anggraini
Sulistya berada, Suropati
teringat kata-kata gadis itu
saat di puncak Bukit Rawangun.
"Anggraini Sulistya
mengatakan kalau inang
pengasuhnya telah menitipkan aku
kepada seorang ne-
layan sahabatnya. Tapi, yang ku
tahu sejak kecil aku
dipelihara seorang kakek penjual
obat..," kata Suropati
dalam hati. "Mungkinkah dia
telah membawaku dari
Kerajaan Pasir Luhur ke
Kadipaten Bumiraksa di Kera-
jaan Anggarapura, lalu
meninggalkan mata pencarian-
nya dan berganti menjadi seorang
penjual obat? Tapi,
kenapa dia tak pernah bercerita?
Mungkinkan dia sen-
gaja menyembunyikan jari diriku
sebenarnya. Ah, ka-
sihan Pak Tua penjual obat
itu.... Sebelum aku dapat
membalas jasa-jasanya, dia
keburu meninggal. Entah
dia orangtua kandungku atau
bukan, aku akan selalu
mengingat budi baiknya sampai
mati..."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya.
Padahal dia tak merasa gatal.
Kebiasaan buruk itu ter-
nyata tak pernah dapat
ditinggalkannya.
Kapal Rajawali terus bergerak
mengarungi
Laut Selatan. Percikan air laut
naik ke geladak. Tiba-
tiba, angin yang semula bertiup
ke arah tenggara ber-
ganti haluan dengan cepat.
Layar-layar kapal memper-
dengarkan suara meledak-ledak
karena dihantam
hembusan angin kencang dari dua
arah. Akibatnya la-
ju kapal terhambat. Sebentar
kemudian, kapal besar
itu, terombang-ambing dimainkan
lidah-lidah ombak
yang mengganas!
"Lindungi Anggraini
Sulistya, Suro!" teriak
Kakek Wajah Merah sambil berlari
ke tiang layar.
Sementara Pengemis Binal
memasuki bangu-
nan papan di tengah kapal, Kakek
Wajah Merah dan
Raka Maruta berusaha keras
menguasai keadaan den-
gan menurunkan layar. Namun,
usaha Kakek Wajah
Merah dan Raka Maruta tak banyak
membantu. Lam-
bung kapal terpukul dari sisi
kanan dan kiri oleh li-
dah-lidah ombak.
Seiring hembusan angin kencang
menderu-
deru, langit yang semula cerah
berubah gelap. Gumpa-
lan awan bergerak cepat menutupi
matahari. Kilatan
petir pun terlihat
susul-menyusul!
"Ya, Tuhan...," desis
Pendekar Kipas Terbang.
Pakaian pemuda berwajah lembut
itu basah kuyup
oleh terpaan air laut yang
menyerbu naik ke geladak.
Wajahnya pucat pasi membayangkan
malapetaka yang
akan segera menimpa. Tubuh Raka
Maruta pun terlon-
tar ke sana kemari terbawa
gerakan kapal yang di-
mainkan lidah-lidah ombak ganas!
Keadaan Kakek Wajah Merah tak
jauh berbe-
da. Tapi, masih untung dia dapat
berpegangan pada
tiang layar. Tubuhnya tidak
terlontar walau semburan
air kerap memukul. Namun,
keadaan yang mengun-
tungkan tabib pandai itu tidak
berlangsung lama. Ti-
ba-tiba tiang layar patah pada
pangkalnya. Akibatnya,
tubuh Kakek Wajah Merah
terhempas bersama lidah
ombak yang naik ke geladak.
"Bertahanlah agar tidak
terlontar ke laut,
Kek...!" teriak Pendekar
Kipas Terbang, menunjukkan
kekhawatirannya. Padahal dirinya
sendiri berada da-
lam kesulitan.
Sementara itu, di dalam bangunan
papan,
Suropati dan Anggraini Sulistya
saling berpelukan.
"Haruskah kita mati di
tengah laut ini, Su-
ro...?" ujar Anggraini
Sulistya dengan menyimpan rasa
takut.
"Hush! Tak baik berpikiran yang macam-
macam! Yakinlah bahwa dengan
Kekuasaan Yang di
Atas, kita akan selamat!"
"Aku berdoa untukmu,
Adikku.... Apa pun
yang terjadi kau harus dapat
menghadap Ayahanda
Prabu!"
Seiring deru ombak yang
menghempas lam-
bung kapal begitu keras, tubuh
Suropati dan Anggraini
Sulistya pun terlontar, dan
membentur dinding kiri
kanan bangunan papan secara
bergantian. Lalu...
Braaakkk!
Bangunan papan di tengah kapal
hancur be-
rantakan terhantam lidah ombak
raksasa. Tubuh Su-
ropati dan Anggraini Sulistya
terlempar keluar. Malang
bagi mereka, sudah tak mempunyai
kepandaian apa-
apa. Keduanya tercebur ke dalam
laut, lalu hilang dari
pandangan!
"Aini...!"
"Suro...!"
Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah yang
melihat kelebatan tubuh kedua
muda-mudi itu masih
sempat berteriak. Sayang,
teriakan itu tak membawa
manfaat apa-apa. Tubuh Suropati
dan Anggraini Sulis-
tya tetap lenyap tergulung ombak
ganas!
Ingin sekali Raka Maruta dan
Kakek Wajah
Merah memberikan pertolongan.
Tapi mana mungkin?
Menolong diri sendiri saja
mereka tak mampu, apalagi
membantu Suropati dan Anggraini
Sulistya yang telah
lenyap terbawa keganasan Laut
Selatan!
Dan, keganasan alam itu
tampaknya belum
puas kalau Kapal Rajawali masih
utuh. Angin berhem-
bus semakin kencang laksana
tiupan angin topan. Li-
dah ombak pun menjulang tinggi
melebihi dua batang
pohon kelapa. Lalu, kumpulan air
yang mempunyai
tenaga sangat kuat itu
menghantam lambung Kapal
Rajawali dengan telak!
Braaakkk!
Kuasa Tuhan juga yang menentukan
sega-
lanya. Termasuk hidup matinya
manusia. Lambung
Kapal Rajawali terbelah. Raka
Maruta dan Kakek Wa-
jah Merah terlontar jauh lalu
lenyap menyusul keper-
gian Suropati dan Anggraini
Sulistya.
***
Tak satu pun kekuatan yang
sanggup meng-
halangi kehendak Tuhan. Tuhan
mempunyai kekua-
saan penuh terhadap putaran roda
kehidupan di alam
fana dan alam barzah. Karena,
memang Dia-lah Sang
Pencipta Yang Maha Hebat. Dia
berhak secara mutlak
untuk menimpakan anugerah
ataupun petaka terha-
dap seluruh hasil ciptaan-Nya.
Salah satu contoh kekuasaan
Tuhan adalah
apa yang dialami Suropati, Anggraini Sulistya,
Raka
Maruta, dan Kakek Wajah Merah.
Begitu Kapal Raja-
wali yang mereka tumpangi hancur
berantakan, tiba-
tiba langit kembali cerah. Angin
berhembus perlahan.
Gulungan ombak ganas
perlahan-lahan melemah,
hingga tinggal riak-riak kecil
yang bergerak pelan.
Keadaan kembali seperti semula.
Tubuh Raka Maruta dan Kakek
Wajah Merah
mengapung dengan berpegangan pada
kayu pecahan
kapal. Samar-samar mereka
melihat Suropati berusa-
ha tetap mengapung sambil terus
memeluk tubuh
Anggraini Sulistya.
"Terima ini, Suro...!"
teriak Raka Maruta se-
raya melontarkan kayu yang
dipegangnya.
Bilah papan yang cukup besar itu
meluncur
ke permukaan air, dan langsung
ditangkap Suropati
dengan susah-payah karena
tenaganya telah terkuras.
Apalagi Anggraini Sulistya yang
berada dalam pelu-
kannya tengah tak sadarkan diri.
Sewaktu Raka Maruta dan Kakek
Wajah Me-
rah berenang ke arah Suropati,
dari arah utara melun-
cur sebuah kapal yang layarnya
terbuat dari bentan-
gan kain hitam.
Melihat kehadiran kapal itu timbul harapan
di hati Raka Maruta, Kakek Wajah
Merah, dan Suropa-
ti. Mereka pikir, inilah kuasa
Tuhan untuk memberi-
kan pertolongan.
Tapi, benarkah kapal layar itu
datang untuk
memberikan pertolongan? Ternyata
tidak! Di anjungan
kapal berdiri sosok Lelaki Genit Mata Banci dan Tiga
Dara Bengal. Mereka tertawa
terbahak-bahak meng-
gambarkan kegembiraan yang
meluap....
Di tepi geladak kapal berjajar
belasan anggota
Partai Iblis Ungu. Mereka
berdiri tegak dengan busur
panah terentang. Tiga Dara
Bengal tampak siap sedia
untuk memberikan aba-aba. Bila
ketiga gadis yang
punya tingkah laku aneh itu
tampak riang gembira,
belasan anggota Partai Iblis
Ungu lainnya tidak. Mere-
ka yang berpakaian serba ungu
juga itu berdiri dalam
keadaan tegang.
Suropati dan kawan-kawannya yang melihat
kapal terus melaju cepat
terkejut bukan main. Apalagi
setelah moncong kapal tinggal
belasan tombak dari
tempat mereka berada.
"Celaka!" keluh Raka
Maruta. "Mereka akan
menabrak kita...."
"Kita mesti menyelam!"
sahut Kakek Wajah
Merah.
Buru-buru Raka Maruta dan Kakek
Wajah
Merah memegang bahu Suropati
yang masih memeluk
erat tubuh Anggraini Sulistya.
Byaarrr...!
Kapal layar hitam melesat makin
cepat. Dan,
lenyaplah sosok Suropati dan
kawan-kawannya. Tawa
tergelak-gelak keluar dari mulut
Tiga Dara Bengal dan
Lelaki Genit Mata Banci.
Ketika sosok Suropati dan
kawan-kawannya
muncul lagi di permukaan air,
Tiga Dara Bengal lang-
sung memberi aba-aba untuk
menghujani mereka
dengan anak panah!
Cepat Raka Maruta mengambil
kipas baja pu-
tih yang terselip di balik
pakaiannya. Kakek Wajah Me-
rah pun demikian. Tabib pandai
itu menggenggam se-
ruling merah yang menjadi
senjata andalannya di tan-
gan kanan.
Srat! Srat!
Trang! Trang!
Belasan anak panah rontok
terkena benturan
senjata Pendekar Kipas Terbang
dan Kakek Wajah Me-
rah. Namun, hujan anak panah tak
pernah berhenti.
Kibasan senjata Raka Maruta dan
Kakek Wa-
jah Merah menimbulkan suara
menderu-deru. Mereka
mesti melindungi diri sendiri
dan Suropati serta
Anggraini Sulistya.
"Jangan bunuh Raka
Maruta!" teriak Ari
Sambita tiba-tiba.
"Tidak!" sahut Ajeng
Menur. "Mereka semua
harus mati!"
"Benar kata Sambita!"
Andan Sari menimpali.
"Raka Maruta jangan
dibunuh!" Tenaganya
masih bisa kita
pergunakan!"
Melihat Tiga Dara Bengal
bersitegang, Lelaki
Genit Mata Banci tertawa
bergelak.
"Bunuh saja mereka
semua!" teriak tokoh tua
berkelakuan aneh itu.
"Kau jangan macam-macam,
Monyet Buduk!"
umpat Ari Sambita kepada Lelaki
Genit Mata Banci.
"Keparat! Mestinya kau
tidak memanggilku
dengan sebutan itu!"
Ari Sambita tak mempedulikan
ucapan Lelaki
Genit Mata Banci. Gadis itu
memberi perintah kepada
belasan anggota Partai Iblis
Ungu yang masih membi-
dikkan anak panah.
"Jangan arahkan anak panah
pada Raka Ma-
ruta, Goblok!" kata Ari
Sambita marah-marah.
Yang diperintah bingung sesaat.
Tapi, mereka
terus saja membidikkan anak
panah tanpa mempedu-
likan Ari Sambita, Andan Sari
yang mencak-mencak
pun tak pula mereka perhatikan.
Puluhan anak panah
terus melesat menuju sasaran!
Darah segar mulai merembes menodai
air
laut. Sampai di mana pun usaha
keras Raka Maruta
dan Kakek Wajah Merah, kemampuan
manusia ada
batasnya. Sebatang anak panah
menancap di bahu kiri
Raka Maruta. Satu lagi menancap
di bahu kanan Ka-
kek Wajah Merah.
Cairan darah yang terus keluar
membuat te-
naga Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah terkuras.
Akibatnya, sebatang anak panah
lagi menancap di tu-
buh mereka. Malang bagi Suropati
dan Anggraini Su-
listya. Karena perlindungan Raka
Maruta dan Kakek
Wajah Merah mengendur, beberapa
anak panah me-
nancap di tubuh muda-mudi itu.
Pada keadaan genting di mana
Malaikat Ke-
matian sudah berada di depan
mata, seberkas cahaya
kehijau-hijauan tiba-tiba
meluruk datang ke arah Su-
ropati dan kawan-kawannya.
Begitu menyentuh tubuh
para pendekar itu, cahaya
kehijau-hijauan berpendar
semakin kuat. Suatu keanehan
terjadi! Bersamaan le-
nyapnya pendaran cahaya lenyap
pula tubuh Suropati,
Anggraini Sulistya, Raka Maruta,
dan Kakek Wajah
Merah.
Semua penumpang kapal layar
hitam terpe-
rangah. Mereka tak melihat
adanya cahaya kehijau-
hijauan yang membawa tubuh
Suropati dan kawan-
kawannya. Yang mereka lihat
hanyalah ombak besar
yang tiba-tiba muncul di depan
para pendekar itu. Dan
ketika ombak besar lenyap,
mereka tak melihat sosok
Suropati dan kawan-kawannya.
"Turunkan perahu
kecil!" perintah Lelaki Ge-
nit Mata Banci. "Cari
Anjing-anjing itu sampai dapat.
Dan, bunuh mereka semua!"
"Kecuali Raka Maruta!"
sahut Ari Sambita.
"Tidak! Bunuh saja mereka
semua!" pekik
Ajeng Menur.
"Kecuali Raka Maruta,
Goblok!" timpal Andan
Sari.
"Kau yang goblok,
Sari!" sela Lelaki Genit Ma-
ta Banci. "Mereka semua
musuh kita! Mereka harus
mati semua!"
Selagi keempat orang itu
bersitegang, belasan
anggota Partai Iblis Ungu telah
menurunkan empat pe-
rahu kecil. Dengan menggunakan
perahu itulah mere-
ka berputar-putar mencari sosok
Suropati dan kawan-
kawannya. Tapi, hingga beberapa
lama usaha manu-
sia-manusia sesat itu tak
membuahkan hasil.
Akhirnya, mereka kembali ke
kapal dengan
dugaan Suropati dan
kawan-kawannya telah menemui
ajal tenggelam di Laut
Selatan...
***
Di sebuah ruang pemujaan....
Seorang nenek tua renta duduk
bersila den-
gan kelopak mata terpejam.
Karena begitu renta, wu-
jud si nenek tampak sangat
mengerikan. Walau tu-
buhnya telah dibungkus pakaian
indah berwarna biru-
biru, wajahnya yang seram itu
tak sedikit pun tersa-
mar. Rongga matanya sangat
dalam. Pipinya keriput
tak karuan. Sudut bibirnya yang
sebelah kiri tertarik
ke bawah.
Dalam semadinya, si nenek
mendengar suara
mendengung seperti ribuan lebah
terbang mengelilin-
ginya. Suara dengungan itu
terdengar bersahut-
sahutan dengan gemerincing
lonceng sebuah kereta
kuda. Ketika suara aneh itu
terdengar makin keras,
tubuh si nenek bergetar. Tapi,
getaran tubuhnya sege-
ra lenyap bersamaan dengan
hilangnya suara aneh.
"Sang Ratu...." gumam
si nenek melalui tena-
ga batin.
Terdengarlah sahutan suara tanpa
wujud.
"Putri Air.... Aku datang
hendak menanyakan keadaan
tiga lelaki yang kutitipkan
kepadamu."
"Mereka baik-baik saja,
Ratu. Hamba telah
merawat luka-luka mereka dengan
sepenuh kemam-
puan hamba."
"Bagus! Bila telah sembuh,
antarkan mereka
ke tempat yang diinginkan. Satu
pesanku, jangan kau
langgar lagi pantanganmu...."
"Hamba akan mengingatnya,
Ratu..."
Tiba-tiba, suara dengungan yang
saling ber-
sahutan dengan suara lonceng
kereta muncul kembali.
Semakin lama semakin pelan, lalu
lenyap....
Si nenek membuka kelopak
matanya. Seben-
tar kemudian dia tertawa
bergelak.
"Ha ha ha...! Apakah
pedulimu, Tikus Bu-
suk?! Perjanjian tinggal
perjanjian! Aku tak mau kau
jadikan budak seumur
hidup!"
5
Suropati menggeliat lalu
mengucak-ucak ma-
tanya. Begitu dapat melihat dengan jelas, remaja ko-
nyol itu mendapatkan dirinya
berada di dalam sebuah
kamar yang menyebarkan aroma
harum.
"Berada di nirwanakah
aku?" gumam Suropa-
ti.
Remaja konyol itu turun dari
pembaringan.
Tubuhnya berputar pelan. Semua
yang menjadi sasa-
ran pandangannya berwarna serba
biru. Ketika mem-
perhatikan keadaan dirinya
sendiri, dia menggaruk-
garuk kepala dengan kening
berkerut.
"Aneh.... Ke mana anak-anak
panah yang
menancap di tubuhku? Luka-lukaku
telah terbalut pu-
la, dan sama sekali tidak terasa
sakit..."
Pengemis Binal meraba-raba
pakaian bagus
yang dikenakannya. Semula dia
mengenakan pakaian
compang-camping. Tentu ada orang
yang telah meng-
gantinya, pikir remaja konyol
itu
Sewaktu Suropati masih
terheran-heran me-
lihat keadaan dirinya, pintu
ruangan terkuak. Muncul-
lah seorang wanita setengah baya
mengenakan pa-
kaian serba biru. Dandanannya
sangat menor. Sikap-
nya tampak genit. Namun, sorot
matanya tajam bagai
sanggup menembus jantung
Suropati.
Wanita setengah baya itu meletakkan
nam-
pan berisi makanan di atas meja
yang berada di sisi
pembaringan. Ketika melakukan
itu, pinggulnya yang
besar bergoyang. Darah Suropati
berdesir aneh. Ma-
tanya sempat melihat payudara
wanita setengah baya
yang menyembul karena bajunya
tak terkancing.
"Makanlah...," kata
wanita berpakaian biru.
Dia tidak beranjak pergi. Malah
duduk di kursi yang
berada di sudut kamar.
Suropati menatap sosok wanita
itu lebih sek-
sama. Lalu, pandangannya
dialihkan pada hidangan di
atas meja. Walau dia lapar,
nafsu makannya tak bang-
kit. Suropati teringat suguhan
Saka Purdianta di Kapal
Rajawali yang dibubuhi Puyer
Perangsang.
"Kenapa bengong saja?"
tanya wanita yang
duduk di sudut kamar.
"Hidangan itu untukmu. Ma-
kanlah..."
"Di mana
teman-temanku?" Suropati teringat
Anggraini Sulistya, Raka Maruta,
dan Kakek Wajah
Merah.
"Makanlah dulu! Nanti
kuberitahu...."
"Aku tidak
lapar."
"Perlu kusuapi?"
Wanita setengah baya tersenyum
penuh arti.
Matanya mengerjap-ngerjap.
Sesaat jantung Pengemis
Binal berdegup lebih kencang.
Tapi, segera dianggap-
nya sikap wanita itu sebagai
angin lalu.
"Kau tidak mau makan. Apa
perlu kusuapi,
heh?" ulang wanita setengah
baya.
"Nanti juga aku makan
sendiri. Cobalah kau
ceritakan bagaimana aku bisa
sampai di sini. Dan di
mana teman-temanku,
Nisanak?"
"Panggil aku Kica...."
"Yah, Kica. Cobalah kau
bercerita kepada-
ku..."
Kica berjalan mendekati
Suropati, lalu duduk
di tepi pembaringan. Perasaan
Suropati jadi semakin
tak enak.
"Duduklah, Suro...."
"Kau tahu namaku?"
tanya Suropati kehera-
nan.
"Jangan berprasangka buruk!
Kami semua
yang berada di sini diperintahkan untuk melayanimu
dengan baik. Maka dari itu,
duduklah yang enak. Aku
akan segera bercerita...."
Dengan hati tak karuan, akhirnya
Pengemis
Binal duduk juga di tepi
pembaringan. Kica melempar
senyum sebelum berkata.
"Kau sangat beruntung,
Suro...."
"Beruntung?" Suropati
memandang Kica ta-
jam-tajam.
"Ya. Sang Ratu berkenan
menolongmu dan
menempatkanmu di sini."
"Siapa 'Sang Ratu'
itu?"
"Nyai Catur Asta, Penguasa
Kerajaan Silu-
man," Kica mengucapkannya
dengan penuh rasa se-
gan.
"Jadi... jadi aku sekarang
berada di Kerajaan
Siluman?"
"Apakah kau lihat aku
seperti siluman?" Kica
tersenyum seraya menunjuk
dadanya sendiri.
"Tidak."
"Kalau tidak, kenapa kau
menduga berada di
Kerajaan Siluman? Jangan
berpikiran yang macam-
macam, Suro!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya.
"Sang Ratu memerintahkan
junjunganku un-
tuk merawatmu dengan baik. Kau
harus berterima ka-
sih kepadanya."
"Siapa
junjunganmu?"
"Ratu Air."
"Ratu Air?!" Suropati
terkejut. Tapi, senyum
lebar segera mengembang di sudut
hatinya. "Apa hu-
bungannya Ratu Air dengan Putri
Air?"
"Ratu Air ya Putri
Air."
"Jadi, aku sekarang ini
berada di Kerajaan
Air?!" Suropati hampir saja
melonjak kegirangan.
"Ya. Tapi sayang, Kerajaan
Air telah hancur
beberapa tahun lalu...."
"Kenapa?"
Kica menatap tajam wajah
Suropati.
"Mestinya aku tidak boleh
bercerita tentang
Kerajaan Air. Tapi, aku kira
Ratu Air tak akan tahu...."
"Kalau begitu, kau mau
bercerita kepadaku?"
tegas Suropati.
"Berjanjilah untuk tak
membuka mulut!"
"Ya, aku berjanji."
Senyum manis mengembang di bibir
Kica.
Beberapa kali dia mengerjapkan
mata. Saat wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan
cantik jelita itu me-
narik napas panjang, buah
dadanya membusung. Da-
rah Suropati berdesir tak
karuan. Jantungnya pun
berdegup lebih kencang. Namun,
dia mencoba bersikap
tenang.
Mulailah Kica bercerita.
"Puluhan tahun yang lalu
Ratu Air mendiri-
kan Kerajaan Air dengan bantuan
sang Ratu. Ratu Air
dapat mewujudkan impiannya untuk
dapat memiliki
sebuah istana. Tanpa bantuan
sang Ratu, tentu saja
impian Ratu Air tak akan
terwujud. Walau Ratu Air
memiliki kesaktian luar biasa,
tapi dia tetap manusia
biasa. Untuk membangun istana
yang diimpikannya
dibutuhkan waktu puluhan tahun.
Ratu Air tak mau
membuang-buang waktu. Dia
membuat perjanjian
dengan sang Ratu. Akhirnya, sang
Ratu dapat mewu-
judkan impian Ratu Air dalam
waktu singkat. Namun,
semua itu mesti ditebus dengan
pengabdian Ratu Air
selama hidupnya. Dan, sang Ratu
menetapkan satu
pantangan yang tak boleh
dilanggar oleh Ratu Air....."
"Pantangan apa itu?"
"Ratu Air tidak boleh
menyentuh seorang
pria."
"Lalu, karena Ratu Air
melanggar pantangan-
nya, sang Ratu menghancurkan
Kerajaan Air?"
"Tepat! Ratu Air harus
bersusah payah mem-
bangunan Kerajaan Air-nya
lagi."
"Tanpa bantuan sang Ratu?"
"Ya. Ratusan wanita pekerja
paksa diperas
tenaganya oleh Ratu Air untuk
membangun istana di
bawah tanah."
"Hah?!"
"Jangan heran!"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Jadi, sekarang perjanjian
sang Ratu dengan
Ratu Air sudah tidak ada
lagi?"
"Masih."
"Kenapa begitu?"
Suropati jadi tak mengerti.
"Istana yang hendak
dibangun Ratu Air bera-
da di wilayah kekuasaan sang
Ratu. Tentu saja dia ha-
rus tunduk kepada sang
Ratu."
"Lalu, di mana ketiga
temanku?"
Kica tampak berpikir sebentar,
lalu cetusnya,
"Kedua teman laki-lakimu
berada di kamar sebelah.
Sedang yang perempuan dibawa
sang Ratu ke Kera-
jaan Siluman...."
"Ke Kerajaan Siluman?"
"Ya."
Suropati menarik napas panjang.
Lalu di-
hembuskannya udara dalam
paru-parunya dengan de-
ras. Suara desahnya keluar dari
mulut.
"Sang Ratu tidak akan
membuat celaka
orang-orang yang tak bersalah.
Yakinlah...."
Mendengar perkataan Kica, hati
Pengemis Bi-
nal jadi sedikit lega. Remaja
konyol itu kemudian te-
ringat cairan darahnya yang
telah tercampur racun
ganas. Hal demikian mengingatkan
dirinya pada Putri
Racun yang harus dia cari.
"Apakah Ratu Air mempunyai
saudara seper-
guruan yang bergelar Putri
Racun?" tanya Suropati
kemudian.
"Ya. Tapi, sekarang Putri Racun
berada di Ke-
rajaan Siluman. Dia di sana
sejak puluhan tahun yang
lalu. Tenaganya dibutuhkan oleh
sang Ratu."
"Dari mana kau tahu?"
"Sejak kecil aku diangkat
murid oleh Ratu Air.
Tentu saja aku tahu perihal
saudara seperguruan gu-
ruku."
"Sekarang pertemukan aku
dengan kedua
teman laki-lakiku," pinta
Suropati.
"Tunggu dulu! Kau
belum...."
"Belum apa?
Makan?"
"Bukan! Maksudku
belum...."
"Belum apa? Katakan
saja!" desah Pengemis
Binal.
"Belum mengungkapkan terima
kasihmu ke-
padaku...," Kica
menggantung ucapannya.
"Dengan apa?" sergah
Suropati tak sabar.
Tanpa diduga Kica memeluk tubuh
Suropati.
Dihempaskannya Pemimpin
Perkumpulan Tongkat
Sakti itu ke pembaringan. Tentu
saja Suropati berusa-
ha melawan, tapi pelukan Kica
sekuat jepitan baja.
Pengemis Binal yang tak bisa
menyalurkan tenaga da-
lam cuma dapat mengeluh.
"Ap... apa yang kau
lakukan? Kau jangan
menyentuhku. Istana Kerajaan Air
yang sedang diban-
gun akan hancur lagi. Sang Ratu
akan murka...."
"Hush! Pantangan itu hanya
berlaku bagi Ra-
tu Air. Aku tidak! Ehm..."
Kica memeluk tubuh Suropati
makin erat, Bi-
bir remaja tampan itu pun
dipagutnya penuh nafsu.
Perlakuan Kica terlihat sangat
kasar.
"Oh...! Jangan...! Jangan
lakukan itu...!"
"Bersikaplah manis, Suro.
Kita akan mereguk
kenikmatan...."
"Tidak!"
Kica mendengus. Ditatapnya wajah
Pengemis
Binal dengan mata mendelik.
Tapi, kekerasan di wa-
jahnya segera redup. Dengan
penuh nafsu diciuminya
lagi bibir Suropati. Keluh kesah
Pengemis Binal tak di-
pedulikannya.
Sebelum Kica berbuat lebih jauh,
tiba-tiba
terdengar teriakan memanggil.
"Kica...!"
Buru-buru Kica melepaskan
pelukannya.
Dengan tergesa-gesa pula dia
merapikan pakaiannya
yang kusut. Lalu, dibukanya
pintu dan berlalu dari
kamar Suropati.
"Kau dari mana, Kica?"
tanya seorang nenek
tua renta ketika Kica sampai di
sebuah lorong. Nenek
tua renta itulah yang dipanggil
Ratu Air atau Putri Air.
"Mengantarkan makanan untuk
Suropati...,"
jawab Kica dengan kepala
tertunduk. Jawaban itu ter-
dengar lemah, terbawa rasa takut
yang mendera hati
Kica. Seandainya Ratu Air tahu
apa yang barusan di-
perbuatnya terhadap Suropati,
dia tentu akan dijatuhi
hukuman mati.
Ratu Air mendehem. Matanya
bersinar tajam
penuh selidik. "Mengantarkan
makanan saja kenapa
begitu lama?"
"Suropati tidak mau makan.
Hamba harus
membujuknya...."
"Ehm.... Begitu?"
"Hamba, Ratu...."
Ratu Air mengangguk-angguk.
"Segera awasi para pekerja.
Awas! Jangan kau
sakiti Atika dan Sinta dengan
cambukmu lagi. Aku tak
ingin gadis kembar itu mati
sebelum Istana Air selesai
dibangun!"
"Hamba, Ratu...."
Kica membungkukkan tubuhnya
dalam-
dalam sebelum berlalu dari
hadapan Ratu Air. Ketika
Kica berjalan pergi dia masih
sempat melihat sosok Ra-
tu Air berubah wujud. Sikap
berdiri Ratu Air yang se-
mula melengkung ke depan menjadi
tegak menantang.
Rambut putihnya yang riap-riapan
berubah hitam pe-
kat dan tergerai indah. Dan saat
Ratu Air menatap ke
arah Kica, tampaklah wajah
Ratu Air telah berubah
cantik jelita!
Namun, apa yang dilihat Kica tak
membuat
wanita setengah baya itu
terkejut. Sejak lama Kica te-
lah tahu Ratu Air mempunyai
kesaktian yang luar bi-
asa. Perubahan yang terjadi pada
diri Ratu Air barusan
adalah pameran sebagian dari
ilmu kesaktiannya.
Kica terus berjalan menuju
tempat para pe-
kerjaan paksa. Tapi, hati Kica
tak luput dari gangguan
tanda tanya.
"Aku tidak melihat alasan
pasti kenapa Ratu
Air merubah wujudnya. Dia tentu
mempunyai maksud
tertentu. Tapi, apakah
maksud Ratu Air itu untuk....
Ah! Tak mungkin dia berani
melakukannya. Dia sudah
cukup mendapat pelajaran dari
sang Ratu..."
Pengemis Binal terkejut
mendapati daun pin-
tu kamarnya diketuk orang.
Lamunannya seketika
buyar.
"Suro..."
Suropati tak menyahut. Dia
menyangka orang
yang menyebut namanya adalah
Kica. Tapi, kening Su-
ropati jadi berkerut. Suara yang
terdengar amat berbe-
da dengan suara Kica.
Suara itu begitu lembut dan
mempunyai geta-
ran aneh yang sanggup
mendebarkan hati Suropati.
Siapa empunya suara itu?
Bidadarikah?
Tak ada niat Suropati untuk
membuka daun
pintu. Tapi karena pintu itu tak
terkunci, akhirnya da-
pat juga dibuka dari luar.
Terpampanglah di depan
mata Suropati seorang gadis
cantik jelita yang terse-
nyum ramah kepadanya.
Mata Pengemis Binal terbeliak.
Sosok gadis
cantik yang berdiri di
hadapannya mengingatkan Pe-
mimpin Perkumpulan Tongkat Sakti
itu kepada Dewi
Ikata. Gadis itu tengah menjenguk
ibunya yang sedang
sakit di kota Kadipaten
Bumiraksa.
"Suro...."
Mendengar namanya disebut,
lamunan Suro-
pati langsung buyar. Sambil
menggaruk-garuk kepala
remaja konyol itu lalu menatap
keindahan yang berada
di hadapannya. "Kau
siapa?"
Si gadis tersenyum manis.
Matanya mengerl-
ing indah menakjubkan. Kontan
Suropati merasakan
sebagian hatinya hilang terbawa
senyum dan kerlingan
itu.
"Kau bidadari?" tanya
Suropati lagi dengan
konyolnya.
"Apakah aku seperti
bidadari?" si gadis kem-
bali mengerjapkan matanya.
"Jadi, kau bukan
bidadari?"
"Terserah apa
katamu!"
"Ehm...," Suropati
menggumam pelan.
"Ehm... apa?"
"Kau... sangat cantik.
Namamu?"
"Hik hik hik...!" si
gadis cantik tertawa mengi-
kik.
"O.... Namamu hik hik
hik?" ujar Suropati
sambil menahan senyum.
Si gadis tersenyum lebar.
Deretan giginya
yang putih bersih bak mutiara
berjajar terlihat oleh
Suropati. Debar di hati Suropati
pun semakin terasa.
Walau Suropati sudah amat sering
berjumpa dengan
gadis cantik, tapi gadis yang
berdiri di hadapannya itu
mempunyai pesona
tersendiri.
"Suro...," panggil
gadis cantik itu mesra.
"Apa?"
"Kau tampan
sekali...."
"Semua gadis mengatakan aku
demikian,"
sambut Suropati dengan agak
menyombongkan diri.
"Uh! Sombong!" rungut
si gadis.
"Jangan marah! Nanti
cantikmu hilang. Kau
belum menyebutkan namamu,"
Suropati mengingatkan
pertanyaannya yang belum
terjawab.
"Pentingkah itu
bagimu?"
"Tentu. Biar aku bisa
memanggilmu."
"Panggil saja dengan
'Putri'," si gadis cantik
menyebutkan namanya dengan suara
ditekan.
"Putri apa?" tanya
Suropati tak jelas.
"Putri Air."
"Hah?!"
Mata Pengemis Binal langsung
terbeliak lebar.
Dia dihantam keterkejutan yang
sangat!
"Eh..., kau kenapa?"
si gadis cantik meman-
dang Suropati dengan wajah
keheranan.
"Benar... benarkah kau
Putri Air?"
"Ya. Kenapa? Apakah
terdengar aneh di telin-
gamu?"
Tak ada jawaban dari mulut
Suropati. Dia
menundukkan kepalanya. Benarkah
gadis cantik jelita
itu Putri Air? Suropati menduga
usia Putri Air tentu
seratus tahun lebih. Tapi,
kenapa dia bisa berwujud
demikian cantik? Apakah Suropati
tidak salah lihat?
Atau, barangkali Putri Air
memiliki ilmu 'Awet Muda'
yang sangat hebat?
Melihat Suropati terus tertunduk
dan melen-
guh-lenguh macam kerbau habis
dicocok hidungnya,
Putri Air berjalan lebih dekat.
Dia lalu duduk di tepi
pembaringan. Dibelainya rambut
Suropati yang hitam
panjang.
"Akulah yang merawat
luka-luka di tubuhmu,
Suro. Bila kau buka balutannya,
tak akan kau temu-
kan bekas-bekasnya...."
"Kau pula yang mengganti
pakaianku?"
"Ya."
"Jadi, kau sempat
menelanjangiku?" Suropati
melototkan matanya.
"Kenapa? Kau tak
suka?" Suropati terdiam.
Getar-getar dalam hatinya
berubah menjadi rasa ngeri.
Belaian Ratu Air pada rambutnya
pun menjadikan tu-
buh pemuda itu menggigil.
Keringat dingin mengucur
deras....
Ketika jemari Ratu Air bergerak
makin berani,
Suropati meloncat. Rasa ngeri
terbayang jelas di ma-
tanya. Ratu Air cuma tersenyum.
"Kau kenapa? Kau tidak suka
padaku?
Atau...."
Tiba-tiba, Ratu Air menarik kain
yang menu-
tupi tubuh bagian bawahnya.
Betis dan sebagian pa-
hanya langsung terlihat. Putih
mulus seperti milik pe-
rawan tujuh belas tahun. Belum
cukup berbuat demi-
kian, Ratu Air mendesah pendek
seraya mengangkat
wajahnya. Buah dadanya yang
besar menantang lang-
sung menyembul dari bajunya yang
tak terkancing.
Akibatnya jakun Suropati
terlihat naik-turun.
"Ssshhh.... Mendekatlah
kemari, Suro...," bi-
sik Ratu Air seraya melambaikan
tangannya dan men-
gerling penuh arti.
Melihat sikap yang menantang
itu, pikiran
Suropati jadi tak karuan. Tapi,
remaja konyol itu sege-
ra teringat akan Kebesaran
Tuhan. Di matanya lalu
berkelebat bayangan Periang
Bertangan Lembut, gu-
runya yang telah meninggal.
"Suro..., di dunia ini ada
banyak keanehan.
Ada dua penyebab kenapa suatu
benda atau kejadian
menjadi aneh. Pertama, benda
atau kejadian itu me-
mang dikehendaki Tuhan untuk
menjadi aneh. Kedua,
pandangan manusia sendiri yang
terkecoh untuk men-
jadikannya sebagai sesuatu yang
aneh. Bila penyebab
kedua yang terjadi, keanehan itu
akan hilang dengan
keteguhan iman yang berasal dari
kekuatan batin."
Mengingat kata-kata mendiang gurunya itu,
Suropati sadar kalau dia
mempunyai kemampuan me-
nolak kekuatan sihir. Tapi
sanggupkah dia menghim-
pun kemampuannya itu, sementara
racun Jarum Mati
Sekejap masih bersemayam dalam
aliran darahnya?
Kini, bayangan Datuk
Risanwari-lah yang
muncul di benak Suropati. Di
Bukit Hantu tokoh sakti
itu pernah mengatakan kalau ilmu
kepandaian Suro-
pati telah musnah seluruhnya,
tapi hanya yang ber-
sumber pada pengerahan tenaga
dalam atau pe-
nyaluran hawa murni. Kalau
begitu, Suropati masih
dapat menghimpun kekuatan
batinnya!
Ketika Ratu Air merintih-rintih
kecil sambil
membuka kedua pergelangan
kakinya lebar-lebar
sampai kain bawah tubuhnya
tersingkap semua, ce-
pat-cepat Suropati menutup
kelopak matanya. Sesaat
hening dirasakan oleh Suropati.
Lalu, pikirannya ter-
bawa ke suatu tempat yang maha
luas, namun tak te-
risi apa-apa! Dalam kekosongan
pikiran itulah kekua-
tan batin Suropati terhimpun.
Hingga, saat dia mem-
buka kelopak matanya kembali....
"Ya, Tuhan...!" sebut
Suropati.
Wujud Ratu Air yang cantik
jelita telah beru-
bah menjadi nenek tua renta
berwajah mengerikan.
Suropati terkejut bukan main.
Tanpa sadar kakinya
bergerak-gerak seperti hendak
lari.
Ketika Ratu Air merintih panjang
sambil
memberi tatapan sayu, Suropati
berkata dengan nada
memelas, "Aku mohon dengan
sangat, pergilah kau,
Ratu. Aku sudah tahu wujudmu
yang asli...:"
Mendengar ucapan itu, Ratu Air
langsung ter-
cekat. Sadarlah dia kalau
kekuatan sihirnya dapat di-
musnahkan Pengemis Binal. Namun
karena hasrat
yang menggelora dalam hatinya
tak dapat di-bendung
lagi, Ratu Air menerkam
Suropati!
Pergumulan seru terjadi. Dengan
sekuat te-
naga Suropati berusaha menepis pelukan Ratu Air.
Tapi, kedua tangan nenek yang
sudah lupa diri ini se-
kuat jepitan baja. Sampai di
manapun usaha Suropati
untuk melepaskan diri, dia hanya
menemui kegagalan.
Bahkan, karena terlalu banyak
mengeluarkan tenaga,
jantungnya terasa amat sakit
bagai diremas-remas.
Rupanya racun Jarum Mati Sekejap
langsung bekerja
begitu Suropati mengerahkan
tenaga terlalu banyak.
"Kau sangat tampan,
Suro...," desis Ratu Air
sambil meraba-raba dada Suropati
yang bidang. Suara
yang keluar dari mulutnya
terdengar mengorok seperti
rintihan orang menjelang ajal.
"Jangan...!" keluh
Suropati. "Jangan lakukan
semua ini, Ratu. Ingat Kerajaan
Air-mu. Istana yang
sedang kau bangun akan hancur.
Sang Ratu akan
murka...."
Ratu Air tercekat. Matanya
mendelik. Namun,
sebentar kemudian bibirnya yang
pencong menunjuk-
kan seringai aneh. Tatapan
matanya, pun kembali me-
redup.
Suropati melihat kesempatan itu
untuk mele-
paskan diri. Pengemis Binal
bergegas meloncat turun
dari pembaringan. Namun,
seberkas cahaya putih ben-
ing meluruk ke arah tubuhnya!
Byarrr!
Seberkas cahaya putih bening
yang tepat
mengenai sasaran berubah menjadi
guyuran air. Kon-
tan Pengemis Binal basah kuyup.
"Ha ha ha...!" Ratu
Air tertawa bergelak. "Mau
lari ke mana kau, Suro?! Kau
harus melayaniku seka-
rang juga!"
Perlahan saja Ratu Air
mengibaskan telapak
tangan kanannya. Dan, seberkas
cahaya putih bening
kembali meluruk ke arah tubuh
Suropati!
Byaaarrr...!
Cahaya yang berubah menjadi
guyuran air
tersebut kali ini dapat menyeret
tubuh Pengemis Binal.
Dan, jatuhlah dia ke dalam
pelukan Ratu Air! Suropati
benar-benar tak berdaya
menghadapi wanita itu.
Ratu Air tertawa bergelak
kembali. Kali ini le-
bih keras.
"Biarlah Nyai Catur Asta
melihat perbuatan-
ku. Aku tak peduli! Aku
membangun Istana Air atas
kemampuanku sendiri. Dia tak
perlu ikut campur uru-
sanku!"
Suropati merasakan ciuman dingin
mendarat
di pipinya. Kontan remaja konyol
ini bergidik jijik.
Seumur hidup belum pernah dia
dicium nenek-nenek
yang sedang dirasuki nafsu
setan. Mimpi pun tidak!
Uh! Benar-benar menjijikkan!
Dengan satu sentakan pelan tubuh
Suropati
terguling ke lantai. Ratu Air
langsung menekannya
sambil terus menciumi!
"Uf...! Jangan,
Ratu...!"
Tak ada kata yang menimpali
ucapan Suropa-
ti. Akal sehat Ratu Air
benar-benar telah tertutup ha-
srat hatinya yang semakin
menggelora....
Namun sebelum sesuatu yang tak
diinginkan
terjadi, mendadak saja tubuh
Rata Air bergetar keras.
Terdengar jerit tertahan dari
mulutnya.
"Pfef...!"
Suropati tak tahu apa yang
sedang terjadi ke-
tika tiba-tiba pelukan Ratu Air
terlepas. Sekejap mata
kemudian....
Bruummm...!
Tubuh Ratu Air melayang bagai
dilontarkan
tangan raksasa. Tubuh nenek tua
renta ini membentur
dinding ruangan hingga jebol!
Melihat dinding yang tebalnya
dua jengkal sa-
ja dapat jebol, tentu tubuh Ratu
Air ikut remuk. Tapi
ternyata tidak! Ratu Air dapat
bangkit dengan sigap.
Tak ada keluh kesakitan keluar
dari mulutnya. Hanya,
wajahnya berubah merah padam.
Bola matanya melo-
tot seperti hendak keluar dari
rongga.
"Bangsat!" umpat Ratu
Air sambil menatap ke
tempat kosong dari balik
reruntuhan dinding.
Nenek tua renta ini kemudian
meluruskan ja-
ri tengah dan telunjuknya. Aneh!
Dari kedua jari tan-
gan kanannya itu mengucur air
bening!
Suropati yang melihat kejadian itu
terperan-
gah. Tanpa sadar dia
menggaruk-garuk kepala. Apalagi
setelah air bening yang mengucur
dari kedua jari tan-
gan Ratu Air menegang, dan
berubah menjadi bilah
pedang yang sangat tajam!
"Perjanjian kita kubatalkan
sampai di sini.
Kau terlalu banyak mencampuri
urusanku!" hardik
Ratu Air sambil terus menatap
tempat kosong dari ba-
lik reruntuhan dinding.
Tiba-tiba terdengar suara
bergemuruh keras.
Ratu Air buru-buru meloncat ke
samping. Akibatnya....
Bruuummm!
Dinding ruangan jebol untuk
kedua kalinya.
Entah dari mana datangnya
kekuatan kasat mata yang
menghantam. Tapi yang jelas,
kini Ratu Air tampak
meloncat-loncat sambil melakukan
serangan ganas
dengan Pedang Air-nya.
Suropati mengerutkan kening,
kepalanya
yang tidak gatal digaruk-garuk
kembali. Apa yang ter-
jadi?
Dengan siapakah Ratu Air
bertempur?
Akibat yang ditimbulkan oleh
pertempuran
Ratu Air melawan wujud gaib itu
benar-benar dahsyat.
Keempat dinding ruangan hancur
semua. Atapnya me-
lesak runtuh. Debu bercampur
pecahan batu dinding
beterbangan ke berbagai penjuru.
Tentu saja keadaan
ini membahayakan jiwa Suropati.
Untunglah, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis
Tongkat Sakti ini bisa cepat
menyadari keadaan. Dia
meloncat keluar dari gelanggang pertempuran
sebelum
pecahan-pecahan batu dinding
menimpa tubuhnya.
"Aku menduga Ratu Air
sedang bertempur
dengan Nyai Catur Asta. Ratu Air
telah melanggar pan-
tangannya, yakni tak boleh
menyentuh laki-laki...," bi-
sik Pengemis Binal kepada
dirinya sendiri. "Aku jadi
ingin tahu wujud Nyai Catur Asta
yang kasatmata itu.
Sesuai dengan namanya, benarkah
dia memiliki empat
tangan? Ah, sebaiknya kucoba
ilmu 'Mata Awas'-ku...."
Ilmu 'Mata Awas' adalah ilmu
tembus pan-
dang hasil ajaran guru Pengemis
Binal, si Periang Ber-
tangan Lembut. Karena ilmu ini
tidak memerlukan pe-
nyaluran tenaga dalam ataupun
hawa mumi, maka
Pengemis Binal dapat
mengetrapkannya. Tapi.... Di an-
tara tebaran batu dinding dan
debu tebal, mata Pen-
gemis Binal dapat melihat sosok
Ratu Air yang sedang
melancarkan serangan
bertubi-tubi. Namun sosok Nyai
Catur Asta tetap tak tampak.
Pengemis Binal tak dapat
berpikir panjang la-
gi ketika dilihatnya sekujur
tubuh Ratu Air meman-
carkan cahaya putih bening yang
meluruk ke berbagai
penjuru!
Byaarr...!
Cahaya putih bening berubah
menjadi guyu-
ran air ganas yang mempunyai
daya hancur luar biasa.
Bangunan yang menjadi ajang
pertempuran hancur
berkeping-keping. Dinding serta
atapnya rata dengan
permukaan tanah.
Untung Suropati masih dapat
menyelamatkan
diri. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga luarnya un-
tuk berlari cepat, remaja konyol
ini dapat sampai di
tempat yang aman. Ketika dia
menebar pandangan,
tahulah dia kalau dirinya
ternyata berada di sebuah
pulau kecil yang sangat gersang.
Sejauh mata meman-
dang hanya terlihat
tonjolan-tonjolan batu karang dan
hamparan pasir luas. Tak ada
satu batang pohon pun
yang tumbuh di atasnya,
Tersiram cahaya mentari yang
panas me-
nyengat, mata Suropati melihat
sebuah tungku raksa-
sa yang dapat memanggang dua
ekor gajah sekaligus.
Tungku raksasa ini terbuat dari
susunan batu. Walau
tak ada lidah api yang terlihat,
Suropati menduga ha-
wa di dalam tungku itu tentu
sangat panas. Ini bisa
dibuktikan dari adanya asap
kehitaman yang tiada
berhenti mengepul keluar.
Tiga puluh tombak dari tungku
raksasa tam-
pak sebuah kubangan bergaris
tengah setinggi orang
dewasa. Dari dalam kubangan
berkelebat keluar empat
sosok bayangan biru. Ketika
kelebatan empat bayan-
gan ini berhenti tak seberapa
jauh dari ajang pertem-
puran, mereka hanya berdiri
termangu-mangu tanpa
tahu apa yang harus diperbuat.
Mereka hanya melihat
Ratu Air sedang bertempur. Tapi,
mereka tak menge-
tahui lawan junjungannya.
Sesosok bayangan biru lain
berkelebat datang
dan berhenti di sisi kanan empat
wanita berpakaian
serba biru. Pengemis Binal
memastikan sosok yang ba-
ru muncul itu adalah Kica.
"Apa yang terjadi,
Kica?" tanya salah seorang
wanita berpakaian serba biru.
"Aku tak tahu. Tapi,
tampaknya junjungan ki-
ta sedang bertempur melawan sang
Ratu."
"Hah?!" keempat teman
Kica terkejut bukan
main.
"Kalau junjungan kita
kalah, tempat ini akan
hancur dan kita semua akan
mati!" lanjut Kica.
"Kenapa Ratu Air bertempur
dengan Nyai Ca-
tur Asta?" tanya teman Kica
lainnya. Suaranya terden-
gar diliputi kekhawatiran yang
sangat.
"Itu pun aku tak tahu.
Tapi, aku menduga
Ratu Air kembali melanggar
pantangannya. Kau ingat
tiga lelaki yang dititipkan Nyai
Catur Asta kepada Ratu
Air? Mungkin sekali Ratu Air
telah menyentuh dengan
disertai hawa nafsu terhadap
salah seorang di antara
mereka...."
"Kalau benar demikian, apa
yang harus kita
perbuat?"
"Tak ada. Tak ada yang
dapat kita perbuat..."
"Jadi, kita hanya menunggu
datangnya Ma-
laikat Kematian?" ujar
teman Kica dengan wajah me-
nampakkan kengerian.
"Ya."
6
Masih berada di pulau yang sama
tampak tu-
buh Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah terbujur
lemah. Mata keduanya terpejam
rapat dengan telapak
tangan menempel di atas perut.
Wajah kedua pendekar
itu pucat pasi seperti mayat.
Tapi, napas mereka ma-
sih teratur. Inilah yang
menunjukkan kalau mereka
masih hidup.
Anehnya, tubuh Raka Maruta dan
Kakek Wa-
jah Merah mengapung di permukaan
air danau kecil.
Tak ada gelembung air yang
menopang tubuh kedua-
nya. Tapi, tubuh mereka dapat
bertahan hingga tak
tenggelam.
Setelah Nyai Catur Asta
menitipkan kedua
orang ini kepada Ratu Air,
luka-luka di tubuh mereka
akibat hujan anak panah para
anggota Partai Iblis Un-
gu memang mendapat perawatan
yang baik. Tapi, sete-
lah itu Ratu Air yang mempunyai
maksud makar ter-
hadap Nyai Catur Asta
berkehendak menyingkirkan
Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah!
Keduanya dibuat pingsan. Lalu,
dalam kea-
daan tak berdaya tubuh mereka
diletakkan di permu-
kaan air Danau Mati Dalam Hidup!
Setiap orang yang ditempatkan di
Danau Mati
Dalam Hidup jangan harap dapat
meloloskan diri. Wa-
lau mereka masih memiliki
tanda-tanda kehidupan,
tapi tak akan dapat berbuat
apa-apa sampai ajal men-
jemput!
Akankah Raka Maruta dan Kakek
Wajah Me-
rah menemui hari naasnya di
tempat itu? Tampaknya
Tuhan berkenan mengirim sang
penyelamat. Di tepi
Danau Mati Dalam Hidup terlihat
dua orang wanita
berpakaian compang-camping
sedang berdiri memper-
hatikan kedua orang yang
mengapung itu.
Mereka adalah dua orang gadis
kembar yang
mempunyai rambut hitam panjang
tergerai indah.
Rupanya, ketika kelima pengawas
kerja yang
juga merupakan murid Ratu Air
keluar dari kubangan,
diam-diam Atika dan Sinta juga
pergi. Tempat yang di-
tuju Atika dan Sinta adalah
Danau Mati Dalam Hidup.
"Kita harus segera menolong
mereka, Sin-
ta...," kata Atika kepada
saudara kembarnya.
"Ya. Kita harus bertindak
cepat sebelum inti
kekuatan tubuh kedua lelaki itu
tersedot habis."
Atika dan Sinta berpandangan
sejenak. Lalu
keduanya terlihat menganggukkan
kepala.
"Dengan berenang kita akan
membawa mere-
ka ke tepi," ujar Sinta
kemudian.
"Jangan gegabah!"
cegah Atika mengingatkan.
"Kenapa?"
Atika tak memberikan jawaban.
Dia berjong-
kok di tepi danau. Ujung jarinya
lalu dimasukkan ke
dalam air. Sesaat gadis ini tak
merasakan apa-apa, ke-
cuali hawa dingin yang menjalar
dari telunjuk jarinya.
Namun....
"Ih...!"
Buru-buru Atika menarik jari
tangannya yang
tercelup. Wajah gadis ini
terlihat pucat dan diliputi ke-
terkejutan yang sangat
"Kenapa kau, Tika?"
Sinta mencemaskan
saudara kembarnya.
"Air danau ini mempunyai
kekuatan gaib
yang hebat! Tiba-tiba saja
tubuhku jadi lemas. Tena-
gaku seperti tersedot!"
"Benar begitu?"
"Ya. Tapi, kau tak usah
membuktikannya.
Aku punya akal untuk
menyelamatkan kedua lelaki
yang mengapung di permukaan air
itu. Kita lemparkan
mereka ke atas dengan
mempergunakan pukulan jarak
jauh, dengan begitu kita tak
perlu menyeberangi da-
nau ini."
Sejenak Atika dan Sinta berdiri
berdampingan
di tepi danau. Lalu....
"Heaaa...!"
Byarrr!
Secara bersamaan kedua gadis
kembar itu
menyorongkan kedua telapak
tangannya ke permu-
kaan air danau. Empat larik
sinar kebiruan-biruan
meluncur deras!
Genangan air danau muncrat
hingga menim-
bulkan gelombang besar. Tubuh
Raka Maruta dan Ka-
kek Wajah Merah terlontar ke
atas. Sebelum tubuh ke-
dua pendekar ini jatuh lagi ke
permukaan air, Atika
dan Sinta bertindak cepat.
Mereka berkelebat me-
nyambar tubuh Raka Maruta dan
Kakek Wajah Merah
yang masih melayang!
"Hup...!"
Atika dan Sinta mendarat dengan
mulus di
tepi danau sebelah sana. Kedua
gadis kembar ini lalu
meletakkan tubuh Raka Maruta dan
Kakek Wajah Me-
rah di atas tanah berpasir.
Setelah diberikan beberapa
totokan, Raka Maruta dan Kakek
Wajah Merah meng-
geliat sadar dari pingsannya.
"Uh! Apa yang
terjadi?" keluh Pendekar Kipas
Terbang sambil
mengerjap-ngerjapkan mata. Kakek
Wajah Merah terdengar mengambil
napas panjang. Di-
cobanya menduga apa yang baru
saja dialaminya.
"Tubuh kalian masih sangat
lemah," kata Ati-
ka. "Akan kucoba
mengembalikan inti kekuatan tubuh
kalian...."
Tanpa diminta Sinta segera
mendudukkan
Kakek Wajah Merah. Atika
melakukan hal yang serupa
kepada Pendekar Kipas Terbang.
Dengan menempelkan telapak
tangan ke dada
kedua pendekar itu, Atika dan
Sinta menyalurkan ha-
wa murni. Perlahan-lahan wajah
Raka Maruta dan Ka-
kek Wajah Merah tampak memerah
dan segar. Namun,
Sinta yang menyalurkan hawa
murni kepada Kakek
Wajah Merah tersentak kaget.
Wajah kakek di hada-
pannya berubah sangat merah
seperti buah tomat ma-
tang!
"Eh, apa yang terjadi
denganmu, Kek...?"
tanya Sinta keheranan.
Kakek Wajah Merah yang merasakan
keadaan
tubuhnya kembali seperti sedia
kala tampak terse-
nyum simpul.
"Kenapa?" Tabib pandai
ini balik bertanya.
"Wajahmu.... Wajahmu,
Kek...."
"Kenapa? Wajahku memang
demikian. Sejak
lahir wajahku berwarna merah
matang. Karenanya aku
dijuluki orang si Wajah
Merah."
"Ooo...."
Sinta melongo, lalu diliriknya
saudara kem-
barnya. Atika sedang
bercakap-cakap dengan Pendekar
Kipas Terbang.
Saat terdengar sebuah ledakan
dahsyat yang
membuat bumi bergetar hebat,
keempat anak manusia
itu mengarahkan pandangan ke
satu titik. Di kejauhan
mereka melihat batu-batu karang
berpentalan tak ka-
ruan.
"Siapa yang sedang
bertempur?" tanya Pen-
dekar Kipas Terbang.
"Kita harus segera
menyingkir! Nyai Catur As-
ta sedang murka. Mimpiku
benar-benar akan menjadi
kenyataan...."
"Mimpi?"
"Ya," jawab Atika.
Gadis ini lalu menceritakan
perihal mimpinya tentang
kehancuran Kerajaan Air.
"Jadi, aku sekarang berada
di Kerajaan Air.
Lalu, siapa kalian berdua yang
telah begitu baik meno-
longku dan Kakek Wajah
Merah?"
"Tak ada waktu untuk
menjawab. Sebaiknya
kita segera menyingkir. Di
kubangan sebelah sana...,"
Atika menunjuk dengan ujung
jarinya. "Ratusan wani-
ta pekerja paksa sedang
membangun Istana Air. Tem-
patnya di bawah tanah. Sebaiknya
kita menolong me-
reka terlebih dahulu...."
***
Pengemis Binal berdiri dengan
wajah tegang.
Berkali-kali keluh panjang
keluar dari mulutnya. Pan-
dangannya yang sudah dilambari
ilmu 'Mata Awas' tak
pernah lepas dari ajang
pertempuran, di mana Ratu Air
sedang berusaha sekuat tenaga
mengalahkan kekua-
tan kasat mata yang berasal dari
kemurkaan Nyai Ca-
tur Asta.
Tiba-tiba Pengemis Binal
menggaplok kepa-
lanya sendiri. "Bodoh!
Kenapa tidak kucoba ilmu
'Penembus Alam Gaib' warisan
Kakek Wajah Merah?"
Memang, di Bukit Rawangun
Suropati pernah
mendapat sebuah kitab yang
berisi tentang petunjuk
untuk dapat melihat hal-hal yang
berbau gaib. Kitab
itu pemberian si Wajah Merah. Di
lereng Bukit Bangau,
Suropati telah mempelajarinya.
Ilmu 'Penembus Alam
Gaib' pernah digunakan Suropati
untuk menumpas
Margana Kalpa atau Malaikat
Bangau Sakti yang me-
miliki kesaktian luar biasa,
karena tokoh itu dibantu
oleh arwah gurunya yaitu Dewa
Tapak Hitam.
Dengan mengetrapkan ilmu
'Penembus Alam
Gaib' akhirnya Pengemis Binal
dapat melihat wujud
Nyai Catur Asta. Penguasa
Kerajaan Siluman ini ter-
nyata benar-benar mempunyai
empat tangan, sesuai
dengan namanya.
Namun begitu Nyai Catur Asta
memiliki wajah
yang sangat cantik. Tubuhnya
sintal, terbungkus pa-
kaian merah gemerlap seperti
layaknya seorang ratu.
Rambutnya hitam mengkilat.
Digelung ke atas dengan
berhiaskan tiga tusuk konde emas
bermata intan.
Gerak tubuh Nyai Catur Asta
lemah gemulai.
Sangat berbeda dengan gerak
tubuh Ratu Air yang
sangat cepat dan penuh nafsu
membunuh. Tapi, da-
lam gerak yang kelihatan lamban
itulah Ratu Air di-
buat terperangah. Serangannya
yang gencar lak-sana
air bah tak pernah mengenai
sasaran. Bahkan, Ratu
Air tampak terdesak!
"Yang mengingkari janji
terhadap Nyai Catur
Asta layak untuk mendapat
hukuman berat..," kata
Penguasa Kerajaan Siluman, Nyai
Catur Asta.
"Mulutmu terlalu nyinyir,
Keparat!" umpat
Ratu Air seraya menerjang dengan
sambaran Pedang
Air.
Pelan saja Nyai Catur Asta
mengegoskan tu-
buhnya ke samping. Lalu, dengan
kekuatan penuh sa-
tu tangannya yang sebelah atas
berkelebat cepat.
Weerrr!
Sebuah titik kecil berwarna
kelabu muncul.
Titik kecil ini meluruk cepat
dan mendadak berubah
menjadi gulungan angin dahsyat!
Ratu Air melentingkan tubuhnya
tinggi-tinggi.
Gulungan angin dahsyat itu pun
melesat lalu meng-
hantam permukaan air laut
Blarrr!
Terciptalah gelombang ganas.
Suaranya
menggelegar dengan disertai
lidah ombak yang tiba-
tiba menjulang setinggi bukit.
Ketika ombak ini meng-
hempas ke bawah, pinggiran pulau
yang tertimpa me-
lesak hingga tergenang air laut.
"Bila janji terhadap Nyai
Catur Asta diingkari
untuk kedua kalinya, hukuman
yang tepat adalah ma-
ti!" kata Nyai Catur Asta
lagi.
"Kau saja yang mati!"
pekik Ratu Air, Nenek
tua renta itu mengibas-ngibaskan
telapak tangan ki-
rinya. Bersamaan dengan suara
dentuman keras se-
perti gunung meletus, seberkas cahaya berpendar ke
berbagai penjuru. Pendaran
cahaya putih bening ini
kemudian berubah menjadi guyuran
air yang sangat
panas, dan meluncur deras dari
atas ke arah Nyai Ca-
tur Asta!
Byarrr...!
Air yang menimpa permukaan tanah
berpasir
menciptakan danau selebar lima
puluh tombak! Se-
mentara Nyai Catur Asta terlihat
berdiri tegak di per-
mukaan air.
"Hukuman dijatuhkan!"
teriak Nyai Catur As-
ta seraya memutar tubuhnya
hingga menyerupai
gangsing.
Wraaammm...!
Genangan air bergulung-gulung
menyerbu ke
arah Ratu Air!
Ratu Air bergegas membuang
Pedang Air-nya.
Dengan sigap dia menyorongkan
kedua telapak tan-
gannya ke depan. Sebuah pukulan
jarak jauh yang
disertai kekuatan tenaga dalam
penuh meluncur de-
ras!
Wusss!
Genangan air yang meluncur ke
arah Ratu Air
berkelok, dan menerpa kubangan
di mana di dalamnya
terdapat ratusan wanita pekerja
paksa!
Samar-samar terlihat Raka
Maruta, Kakek
Wajah Merah, Atika, dan Sinta
yang sedang berdiri di
pinggir kubangan tertimpa
genangan air yang melen-
ceng arahnya.
Tubuh keempat orang itu
terlontar jauh. Un-
tunglah mereka orang-orang yang
berkepandaian cu-
kup tinggi, sehingga dapat
berdiri tegak kembali tanpa
mengalami luka yang berarti.
Namun, mereka melihat kubangan
yang se-
mula hendak mereka masuki, telah
digenangai air.
Tentu saja ini berakibat matinya
ratusan wanita peker-
ja paksa yang berada di
dalamnya.
"Kita harus menolong
Suropati dan Anggraini
Sulistya. Tapi, di mana
mereka?" desah Pendekar Ki-
pas Terbang seraya menebar
pandangan.
Si Wajah Merah menudingkan jari
telunjuk-
nya ke satu arah. "Itu
Suropati!" teriaknya girang. Ter-
lihat oleh tabib pandai ini
sosok Pengemis Binal yang
sedang berlindung di balik
julangan batu karang.
Raka Maruta dan Wajah Merah
bergegas ber-
kelebat ke arah Suropati. Tindakan
kedua pendekar ini
segera diikuti Atika dan Sinta.
"Syukurlah kau selamat,
Suro...," kata Pen-
dekar Kipas Terbang telah berada
di dekat Pengemis
Binal.
Suropati hanya nyengir.
Ditatapnya Raka Ma-
ruta dan Kakek Wajah Merah
bergantian. Ketika pan-
dangannya tertuju pada Atika dan
Sinta, Pengemis Bi-
nal menggaruk-garuk kepala.
"Siapa kalian?" tanya
Suropati.
Atika dari Sinta tak menjawab.
Mereka saling
bertatapan.
"Segera saja kita pergi
dari tempat ini," kata
Atika kemudian.
"Dengan apa kita
pergi?" sahut Sinta. "Pulau
ini berada di tengah laut luas.
Tanpa perahu atau kap-
al mustahil kita dapat
meninggalkan tempat ini..."
Tiba-tiba saja terdengar suara
tanpa wujud.
"Lihat ke tenggara. Di sana
ada sebuah kapal. Pergilah
kalian...."
"Nyai Catur Asta...!"
desis Atika dan Sinta
bersamaan.
Kedua gadis ini menoleh ke arah
yang ditun-
jukkan suara tanpa wujud. Nun
jauh di sana terlihat
sebuah kapal yang lambungnya
berwarna merah.
Layarnya yang juga berwarna
merah tampak meng-
gembung oleh tiupan angin.
"Kita pergi sekarang. Nyai
Catur Asta meno-
long kita...," kata
Atika.
Gadis itu segera berkelebat
menuju kapal.
Sinta bergegas mengikuti. Namun,
Raka Maruta dan si
Wajah Merah menatap Suropati
dalam-dalam.
"Di mana Anggraini
Sulistya?" tanya Raka
Maruta. .
"Dia dibawa Nyai Catur Asta
ke Kerajaan Si-
luman," jawab Pengemis
Binal.
"Siapa Nyai Catur
Asta?" tanya Raka Maruta.
"Yang sedang bertempur
melawan Ratu Air
itu."
Mendengar jawaban Suropati, Raka
Maruta
dan Kakek Wajah Merah
mengalihkan pandangannya
ke gelanggang pertempuran.
Kening Raka Maruta berkerut. Dia
tak meli-
hat apa-apa, kecuali semburan
air bercampur beba-
tuan dan gumpalan tanah pasir.
Namun, Kakek Wajah
Merah yang memiliki ilmu
'Penembus Alam Gaib' dapat
melihat sebuah pertempuran
dahsyat sedang berlang-
sung antara dua tokoh sakti yang
mempunyai kepan-
daian luar biasa. Yang satu
nenek tua renta berpa-
kaian serba biru, dan yang
seorang lagi adalah wanita
cantik. Si Wajah Merah dihantam keterkejutan saat
matanya melihat si wanita cantik
memiliki empat tan-
gan!
"Yang kau sebut Nyai Catur
Asta apakah wa-
nita cantik yang memiliki empat
tangan itu, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah.
"Ya, Kek. Namanya saja
Catur Asta," jawab
Pengemis Binal.
Tiba-tiba, dari tengah ajang
pertempuran me-
luncur genangan air laksana air
bah turun dari langit!
"Awas...!" teriak
Wajah Merah. Tabib pandai
ini menyambar tubuh Pengemis
Binal untuk dibawa
meloncat jauh. Raka Maruta
langsung mengikuti.
Byarrr!
Kembali sebuah danau kecil
terbentuk. Pulau
di mana Ratu Air bertempat
tinggal benar-benar teran-
cam tenggelam!
"Tampaknya kita memang
harus segera pergi
dari tempat ini," kata
Kakek Wajah Merah begitu men-
daratkan tubuhnya.
Tanpa meminta persetujuan
Pendekar Kipas
Terbang, kakek yang mempunyai
wajah mirip buah
tomat matang itu menyambar tubuh
Pengemis Binal
kembali. Sebentar kemudian dia
telah berada di gela-
dak kapal layar merah. Raka
Maruta yang masih dili-
puti tanda tanya akhirnya
mengikuti jejak kakek itu.
Atika yang telah berada di atas
kapal lang-
sung menarik sauh. Sedangkan
Sinta yang memegang
kemudi mengarahkan laju kapal ke
utara.
***
Pertempuran antara Ratu Air
melawan Nyai
Catur Asta masih berlangsung
dengan seru. Kini tan-
gan kanan Nyai Catur Asta yang
sebelah atas telah
memegang senjata cakra. Wujud
kasatmata Penguasa
Kerajaan Siluman ini berdiri
tegak. Wajahnya yang
cantik memancarkan sinar angker.
"Heh! Tampaknya dedemit
busuk itu hendak
mengeluarkan ilmu
pamungkas...," bisik Ratu Air da-
lam hati. Nenek tua renta ini
bergegas memutar tu-
buhnya menghadap ke selatan.
Begitu terlihat kelima
muridnya sedang berdiri
termangu-mangu, segera diki-
rimnya sepuluh larik sinar
kebiru-biruan melalui pan-
caran mata.
"Ssshhhh...!"
Kica dan keempat temannya
merasakan pedih
di mata. Kontan mereka memekik
dengan kelopak ma-
ta terpejam rapat. Tapi begitu
mereka membuka kelo-
pak matanya kembali, kelima
wanita itu dapat melihat
sosok Nyai Catur Asta yang
memegang senjata cakra.
"Ayo, cepat! Gempur dedemit
busuk itu!" pe-
rintah Ratu Air kepada Kica dan
keempat temannya.
Sejenak kelima wanita setengah
baya itu me-
rasa ragu, namun akhirnya
diterjangnya juga Nyai Ca-
tur Asta secara bersamaan.
Melihat terjangan itu, Nyai
Catur Asta mengi-
baskan senjata cakranya.
Terbentuklah lengkungan
sinar yang semakin membesar dan
berwarna merah
menyala. Tubuh Kica dan keempat
temannya yang ma-
sih melayang langsung terhantam.
Keluh pendek ke-
luar dari mulut mereka....
Tubuh Kica dan keempat temannya
terpental
jauh lalu tercebur ke laut. Dan,
tenggelam!
"Keparat!" umpat Ratu
Air seraya meluruskan
sepuluh jari tangannya.
Sraattt!
Sepuluh Pedang Air meluncur
deras bagai hu-
jan anak panah! Namun, Nyai
Catur Asta hanya terse-
nyum simpul. Dia mengibaskan
senjata cakranya dua
kali.
Dua lengkungan sinar merah
memapak lun-
curan sepuluh Pedang Air.
Terdengar ledakan dahsyat
melebihi salakan seribu petir!
Ratu Air terperangah. Matanya
melotot dan
bibirnya yang pencong bergetar.
Paras mukanya tam-
pak mengelam. Ternyata, sepuluh
Pedang Air-nya me-
leleh. Tak kuasa menggempur
lengkungan sinar merah
yang muncul dari kibasan senjata
cakra Nyai Catur As-
ta.
"Hukuman dijatuhkan!
Hancurlah bersama
Kerajaan Air-mu!" teriak
Nyai Catur Asta seraya me-
lemparkan senjata cakranya ke
atas.
Langit yang semula cerah
mendadak berubah
gelap gulita. Timbullah kilatan
cahaya merah di langit.
Kilatan cahaya itu semakin lama
semakin banyak,
menghujani Ratu Air yang masih
berdiri dalam keter-
panaan!
Blaarrr...!
Selarik sinar merah tepat
menghantam pung-
gung Ratu Air. Walau nenek tua
renta ini memiliki ke-
saktian luar biasa, tubuhnya
terlontar juga. Sebelum
mendarat, selarik sinar merah
lagi menghantam telak.
Blaarrr...!
Tubuh Ratu Air melesat dengan
kecepatan ki-
lat. Begitu tercebur ke laut,
gelombang yang sangat be-
sar bergolak. Air laut bagai
diaduk-aduk tangan raksa-
sa. Gempa bawah laut terjadi.
Getarannya sangat kuat.
Pulau di mana Ratu Air tinggal
terlihat retak.
Kemudian, timbul ledakan maha
dahsyat! Tepat di ten-
gah pulau muncul semburan air
besar seperti mata air
raksasa. Beberapa kejap mata
kemudian, di tempat itu
tak terlihat lagi gundukan
tanah. Pulau Ratu Air teng-
gelam. Kerajaan Air pun musnah!
Dari geladak kapal layar merah,
Pengemis Bi-
nal beserta Raka Maruta dan
Kakek Wajah Merah ma-
sih dapat melihat kehancuran
Kerajaan Air, walau
kapal yang mereka tumpangi telah
melaju bermil-mil
jauhnya. Sementara Atika dan
Sinta yang juga melihat
peristiwa itu langsung menyebut
nama Tuhan. Kedua
gadis kembar itu sangat
bersyukur berhasil terbebas
dari derita yang selama ini
mengungkungnya.
Kapal layar merah terus melaju
ke arah uta-
ra....
7
Pendekar Kipas Terbang tercekat.
Matanya
melihat sebuah pantulan cahaya
putih dan merah da-
tang dari sisi kiri geladak
kapal.
"Astaga!" pekik pemuda
berwajah lembut ini.
Pantulan cahaya itu ternyata
berpendar dari kipas baja
putih dan seruling merah milik
si Wajah Merah yang
tertimpa sinar mentari.
"Tidakkah benda-benda ini
tenggelam di laut saat aku dan
Kakek Wajah Merah
terluka oleh hujan anak panah
orang-orang Partai Iblis
Ungu?"
Si Wajah Merah dan Suropati pun
tak kalah
terkejut. Tapi, Atika segera
menjelaskan.
"Semua ini karena kebaikan
Nyai Catur Asta.
Dia pula yang membisikkan letak kapal ini.
Padahal,
tadi dia tentu sedang
gencar-gencarnya menerima se-
rangan Ratu Air...."
Pengemis Binal menatap wajah
Kakek Wajah
Merah seperti meminta
persetujuan. "Aku harus me-
nemui Nyai Catur Asta
sekarang," katanya.
"Untuk apa?"
"Selain meminta kembali
Anggraini Sulistya
yang dibawanya ke Kerajaan
Siluman, juga untuk me-
minta pertolongan Putri
Racun."
"Apakah Putri Racun berada
di Kerajaan Si-
luman?"
"Ya. Salah seorang murid
Ratu Air mengata-
kannya padaku. Aku sangat yakin
Putri Racun akan
bersedia mengeluarkan racun
Jarum Mati Sekejap
yang bersemayam dalam aliran
darahku."
"Bagaimana kau bisa pergi
ke Kerajaan Silu-
man, Suro?" tanya Raka
Maruta sambil menyelipkan
kipas baja putih ke balik
bajunya.
Pengemis Binal tersenyum.
"Aku telah mem-
pelajari bagian terakhir dari
Kitab Penembus Alam
Gaib pemberian Kakek Wajah Merah."
"Jadi, kau telah menguasai
ilmu 'Ngrogoh
Sukma'?" sahut si Wajah
Merah dengan wajah berbi-
nar.
"Aku memiliki ilmu 'Mata
Awas' ajaran men-
diang guruku, si Periang Bertangan Lembut. Dengan
dasar ilmu tembus pandang itu,
mudah saja bagiku
untuk menguasai ilmu 'Ngrogoh
Sukma'."
Pengemis Binal kemudian berjalan
ke buritan.
Pemuda itu langsung duduk
bersila dengan mata ter-
pejam. Pikirannya dipusatkan ke
satu arah. Si Wajah
Merah dan Pendekar Kipas Terbang
hanya mengikuti
dengan pandangan mata. Atika
serta Sinta pun demi-
kian. Walau gadis kembar ini
belum tahu siapa Suro-
pati, tapi mereka dapat menduga
Suropati tentu memi-
liki ilmu kepandaian yang sangat
tinggi.
Jiwa Pengemis Binal beserta
badan wadagnya
terbawa melayang ke hamparan alang tanpa batas
yang dipenuhi kabut kelabu.
Lalu, kabut kelabu ini
berbaur dengan percikan-percikan
sinar biru bening
seperti sinar bintang. Semakin
lama kabut kelabu se-
makin pudar. Hingga, akhirnya
lenyap dan berganti
dengan pancaran sinar terang.
Tapi, pancaran sinar te-
rang ini pun berangsur-angsur
lenyap. Pada saat ham-
paran ruang tanpa batas hanya
dihiasi tebaran kabut
putih tipis, mata Pengemis Binal
menangkap sosok
Anggraini Sulistya. Tampaknya
Anggraini Sulistya pun
sedang menantikan kehadiran
Pengemis Binal.
"Sura..!" pekik
Anggraini Sulistya seraya
menghambur memeluk Suropati.
"Aku sangat bahagia
kau ternyata segera datang,
Suro. Putri Racun sedang
menunggumu...."
"Bagaimana dia bisa tahu
aku akan datang?"
"Nyai Catur Asta yang
mengatakannya. Ayo-
lah, Suro. Kau harus segera
mendapat pengobatan dari
Putri Racun."
Dengan tak sabar Anggraini
Sulistya meng-
gamit lengan Pengemis Binal.
Sampai di suatu tempat,
mata Suropati tak berkedip
menatap sesosok gadis
cantik yang berusia dua puluh
tahunan. Dia hanya
mengenakan pakaian sederhana,
warnanya kuning
tua. Selendang coklat membelit
pinggangnya yang
ramping.
"Siapa itu?" tanya
Pengemis Binal kepada
Anggraini Sulistya.
"Putri Racun."
"Hah?!"
Mulut Pengemis Binal menganga
lebar. Ba-
gaimana remaja konyol ini tidak
heran? Menurut taksi-
rannya, usia Putri Racun tentu
tak berbeda jauh den-
gan Putri Air atau Ratu Air.
Kalau Ratu Air telah men-
jadi nenek tua renta bertampang
seram, bagaimana
Putri Racun masih sedemikian
cantik?
"Kau heran melihat wujudku,
Suro?" ujar ga-
dis cantik di hadapan Pengemis
Binal.
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya yang
tidak gatal. Tak ada kata yang
keluar dari mulut pe-
muda itu. Hanya matanya terus
menatap wajah si ga-
dis.
"Aku memang Putri Racun,
Suro...," lanjut si
gadis cantik. "Usiaku
sesuai dengan taksiranmu. Tak
berbeda jauh dengan Ratu Air.
Tapi, di Kerajaan Silu-
man ini aku tak ikut dalam
putaran waktu. Jadi aku
bisa tetap awet muda."
"Ooo...," Pengemis Binal
melongo. Kebiasaan-
nya dilanjutkan, yaitu menggaruk-garuk kepala
yang
tidak gatal.
Suropati kemudian
dibawa Putri Racun ke
suatu tempat di mana terdapat
banyak sekali tong
kayu besar yang agaknya
digunakan tempat mandi be-
rendam.
"Buka bajumu!"
perintah Putri Racun. Melihat
kesungguhan gadis cantik itu,
Pengemis Binal segera
melepas bajunya. "Celanamu
sekalian....".
"Apa?!"
Mata Suropati mendelik. Wajahnya
merah
padam. Walau konyol, tapi remaja
ini tak cukup berani
untuk tampil telanjang di
hadapan seorang gadis.
"Kenapa tak menuruti
perintahku? Kau tak
mau mendapat pengobatan
dariku?" tanya Putri Ra-
cun.
"Ayolah, Suro. Buka
celanamu...," timpal
Anggraini Sulistya. "Putri
Racun tak akan berbuat ja-
hat. Barusan aku juga demikian."
"Jadi, kau telah mendapat
pengobatan da-
rinya?"
"Ya."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepala. Se-
telah menatap wajah Putri Racun
dan Anggraini Sulis-
tya bergantian, akhirnya mau
juga dia menanggalkan
celananya. Untunglah Pengemis
Binal mengenakan
cawat, sehingga 'miliknya' tidak
sempat melongok ke-
luar.
"Cawat ini tidak perlu
kutanggalkan, bukan?"
kata Suropati sambil nyengir
kuda.
Putri Racun mengangguk.
Ditudingnya salah
satu tong kayu. "Berendamlah
di sana!" perintahnya
lagi.
Kembali mata Pengemis Binal
mendelik. Tong
kayu yang ditunjukkan Putri
Racun berisi air berwarna
merah darah. Permukaannya
dipenuhi gelembung-
gelembung dan riak putih.
Sesekali timbul letupan-
letupan kecil. Asap tampak
mengepul keluar. Agaknya
air merah darah dalam tong kayu
itu sedang mendidih.
Tentu saja Suropati tak mau
direbus hidup-hidup!
Maka, dia bertahan di tempatnya.
"Rupanya kau sangat Bandel,
Suro!" ucap Pu-
tri Racun melihat Pengemis Binal
terus berdiri sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mau mati!"
teriak Suropati.
"Siapa yang mau
membunuhmu?" sergah
Anggraini Sulistya. Gadis ini
segera mendekati tong
kayu. Jari telunjuk kanannya
dicelupkan ke air merah
darah.
"Air itu tak panas?"
tanya Suropati "Kau lihat
jariku tak apa-apa, bukan?"
Anggraini Sulistya menun-
jukkan telunjuk jari kanannya ke
hadapan Suropati.
Pengemis Binal menatap wajah
Putri Racun
sebentar, lalu tangannya
dicelupkan ke dalam air me-
rah darah. Ternyata air itu
dingin!
"Segeralah berendam,
Suro!" terdengar perin-
tah Putri Racun. "Air itu
berisi campuran berbagai ra-
cun ganas. Tapi, kau tak perlu
khawatir. Racun dalam
tubuhmu akan melawannya. Karena
kekuatannya
yang seimbang, kedua racun itu
akan musnah."
Mata Pengemis Binal langsung
berbinar. Se-
nyum lebar mengembang di
bibirnya. Dengan tak sa-
bar dia mencebur ke dalam tong
kayu yang berisi air
merah darah.
Beberapa lama kemudian, warna
air memu-
dar. Kembali bening seperti sebelum
Putri Racun men-
campurinya dengan berbagai jenis
racun ganas.
Usai berendam, Suropati
berbaring telentang
di atas meja panjang. Putri
Racun menusukkan pulu-
han batang jarum emas ke seluruh
pusat aliran darah
penting di tubuh Suropati.
Selesai dengan pekerjaan-
nya, tubuh remaja konyol ini
bergetar. Namun hanya
sebentar. Setelah jarum-jarum
emas dicabut, Suropati
merasakan tubuhnya sangat
ringan.
Sekali lagi Pengemis Binal
berendam dalam
air tong kayu. Tapi, kali ini
airnya berwarna hijau ge-
lap. Usai berendam giranglah
Suropati. Pemuda itu
merasakan putaran hawa murni di
tubuhnya bergerak
normal. Berarti dia sudah dapat
menyalurkan tenaga
dalam!
"Terima kasih,
Putri...," ucap Pengemis Binal.
Dia telah mengenakan pakaiannya
kembali. "Ilmu ke-
pandaianku sudah kembali
seluruhnya. Budi baikmu
akan kuingat sepanjang
masa..."
Pengemis Binal membungkukkan
tubuhnya
dalam-dalam. Putri Racun hanya
tersenyum. Sementa-
ra Anggraini Sulistya menatap haru.
Gadis itu lalu
menghambur memeluk Suropati.
"Kita telah terbebas dari
pengaruh racun Ja-
rum Mati Sekejap,
Adikku...."
Tempat itu tiba-tiba dipenuhi
suara dengun-
gan seperti ribuan lebah
terbang. Semakin lama sema-
kin keras, berbaur dengan suara
gemerincing lonceng.
Kemudian, samar-samar dari
kejauhan tampak melun-
cur sebuah kereta merah yang
ditarik empat ekor kuda
berbulu putih.
"Nyai Catur Asta...!"
desis Putri Racun. Kini,
di hadapan mereka terlihatlah
sosok Nyai Catur Asta
yang duduk di kereta kuda.
Senyum manis mengem-
bang di bibirnya yang merah
basah.
"Putri Racun...," ujar
Nyai Catur Asta kemu-
dian. "Karena kau telah
puluhan tahun mengabdi ke-
padaku tanpa sekalipun berbuat
kesalahan, maka kau
kuizinkan untuk pergi dari
Kerajaan Siluman. Terima
kasih atas jasa-jasamu,
Putri...."
Putri Racun tak mengucapkan kata
sepatah
pun. Dia hanya membungkukkan
tubuh dalam-dalam.
Sementara Nyai Catur Asta
menatap Suropati dan
Anggraini Sulistya.
"Kalian tak perlu lama-lama
tinggal di tempat
ini. Putri Racun akan pergi
bersama kalian," ujar Ratu
Kerajaan Siluman itu.
Begitu usai kalimat Nyai Catur
Asta, geme-
rincing lonceng kereta
terdengar. Empat kuda putih
pun melesat pergi. Diiringi
suara dengungan yang se-
makin lama semakin perlahan,
kemudian lenyap sama
sekali.
Anggraini Sulistya dan Putri
Racun terkesiap.
Telinganya menerima perintah
"Pejamkan mata kalian, dan
kosongkan piki-
ran. Aku akan mengantar kalian
ke kapal layar me-
rah."
Anggraini Sulistya dan Putri
Racun tahu ka-
lau itu suara Nyai Catur Asta.
Maka, mereka segera
mengikuti perintahnya. Kini
Pengemis Binal yang ter-
kesiap. Tahu-tahu sosok
Anggraini Sulistya dan Putri
Racun telah hilang dari
pandangan.
"Mereka tentu telah dikirim
Nyai Catur Asta
ke alam nyata," pikir
Suropati. Segera pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini menghimpun
kekuatan batinnya....
***
Di atas geladak kapal layar
merah, Suropati
tampak bercakap-cakap dengan
Anggraini Sulistya.
Muda-mudi ini telah kembali ke
alam nyata bersama
Putri Racun yang cantik jelita.
Dengan bantuan Nyai Catur Asta,
akhirnya
Anggraini Sulistya dan Putri
Racun dapat sampai di ge-
ladak kapal layar merah. Juga,
jiwa Suropati beserta
badan wadagnya berhasil muncul
lagi di buritan dalam
keadaan duduk bersila.
"Kenapa laju kapal menuju
utara, Suro?"
tanya Anggraini Sulistya setelah
kapal layar merah
mengarungi lautan beberapa lama.
"Kita akan ke Kota Kadipaten
Bumiraksa," ja-
wab Pengemis Binal pelan.
"Kenapa mesti ke sana?
Seharusnya kita ke
Istana Kerajaan Pasir Luhur.
Ayahanda Prabu akan
sangat berbahagia bila
mengetahui putranya telah
kembali...."
"Sebenarnya aku pun sangat
ingin bertatap
muka dengan Prabu Singgalang
Manjunjung Langit.
Aku ingin tahu bagaimana rupa
orang yang kau sebut
sebagai ayahku itu.
Tapi...," Suropati menggantung
ucapannya, hingga Anggraini
Sulistya penasaran.
"Tapi apa?" sergah
gadis itu.
"Kau pernah berjumpa dengan
Dewi Ikata
yang bergelar Pendekar Wanita
Gila?" Bukannya men-
jawab pertanyaan itu, Suropati
malah mengajukan per-
tanyaan lain.
"Pernah. Di atas geladak
Kapal Rajawali."
"Dewi Ikata adalah putri
tunggal Adipati Da-
nubraja. Aku mempunyai firasat
buruk. Mungkin ter-
jadi sesuatu yang tak diinginkan
di Kota Kadipaten
Bumiraksa. Dan, Dewi Ikata
membutuhkan perto-
longanku."
Sejenak Anggraini Sulistya
terdiam. Tapi, ke-
mudian dia mencibirkan bibir.
"Katakan saja kau rindu
pada gadis itu! Tak perlu cari
alasan macam-macam!"
ujarnya.
Pengemis Binal hanya tersenyum
kecut. Lalu
menggaruk-garuk kepalanya.
SELESAI
Segera terbit:
DENDAM RATU AIR
Emoticon