PRAHARA DI KUIL SALOKA
Serial Pengemis Binal
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Prahara Di Kuil Saloka
128 hal.
1
Kakek berjubah putih ini
menajamkan penden-
garan. Bola matanya tampak
membesar. Alisnya yang
telah memutih saling bertaut.
Tapi, desir angin dan ce-
racau burung menenggelamkan
suara aneh yang tadi
didengarnya. Dia lebih
mempertajam lagi pendenga-
rannya. Sayang, suara aneh itu
kini benar-benar telah
lenyap.
"Hmm.... Ada orang usil
yang sengaja memper-
mainkan diriku. Menilik
kepandaiannya mengirimkan
suara jarak jauh, dia tentu
seorang tokoh yang tidak
boleh dipandang remeh. Siapa
dia? Hampir semua to-
koh sakti di wilayah selatan ini
telah kukenal. Tokoh
yang satu ini tampaknya masih
sangat asing bagiku...,"
kata si kakek kepada dirinya
sendiri.
Tokoh tua yang berusia tujuh puluh tahunan
ini berdiri mematung dengan
kening berkerut. Hembu-
san angin lereng bukit
mempermainkan jubah yang di-
kenakannya. Rambutnya yang putih
panjang dan di-
kuncir tampak bergoyang-goyang.
Rambutnya yang
putih panjang dan dikuncir
tampak bergoyang-goyang.
Dalam usianya yang sudah tidak
muda lagi tubuh ka-
kek ini masih kelihatan tegap.
Wajahnya halus berse-
mu merah sehat. Kakinya kokoh
mencengkeram tanah,
menopang tubuhnya yang tinggi
besar.
Baru saja timbul niatan si kakek
untuk berlalu
dari tempat itu, tiba-tiba suara
aneh yang tadi diden-
garnya muncul kembali. Kali ini
malah lebih keras.
Kening si kakek berkerut semakin
kentara. Wa-
lau hatinya diliputi perasaan
tak enak, dia tetap berta-
han di tempatnya. Suara aneh
yang didengar kakek
berjubah putih ini ternyata
sebuah syair.
Orang bijaksana tahu ke mana
mesti berkaca
Apa yang dilihat, didengar, dan
dirasa
Memberikan makna tentang hidup
dan
kehidupan, manusia dan
kemanusiaan,
serta Tuhan dan peribadatan
Semua peristiwa yang
mendatangkan musibah
ataupun anugerah, kesusahan
ataupun kesenangan, penderitaan
ataupun ke-
bahagiaan
Adalah cermin di mana orang
bijaksana berkaca
Selain mengabdi kepada diri
sendiri sebagai
wujud usaha untuk dapat terus
hidup
Orang bijaksana menghaturkan
sembah dan
baktinya kepada zat tunggal yang
berkuasa
atas segalanya
Adalah Tuhan yang menciptakan
pola dan,
aturan bagaimana manusia
bertindak dan ber-
pikir
Dari situ, orang bijaksana tahu
bahwa langkah kaki mesti lurus
ke depan,
pikiran mesti mengacu ke atas,
dan sikap mesti
mengikuti rasa pengabdian
sebagai makhluk ciptaan Sang
Penguasa Tung-
gal
Lain itu, orang bijaksana tak
akan pernah ber-
pangku tangan
Karena kebenaran mesti dijunjung
dan keadilan
mesti ditegakkan
Makin bertambah usia, makin
bijaksanalah dia
Makin tua, makin mengertilah dia
Orang bijaksana selalu bertanya
:
Benarkah langkah kakiku telah
lurus ke depan?
Benarkah pikiranku telah mengacu
ke atas?
Benarkah sikapku telah mengikuti
garis ciptaan
Tuhan?
Tanda tanya harus selalu ada
Karena, memang tak banyak yang
dimengerti
oleh manusia
Amatlah sulit menjadi manusia
yang mengerti
kodratnya sebagai manusia
Panas telinga si kakek mendengar
rentetan kata
yang begitu panjang.
"Sombong sekali orang
itu," pikirnya. "Aku bu-
kan lagi anak bau pupuk
lempuyang yang harus diatur
dan diarahkan. Petuah dan
nasihat memang baik Tapi,
dia mesti tahu kepada siapa
nasihat itu diberikan.
Hmm.... Diriku yang sudah bau
tanah ini tak perlu dis-
indir-sindir begitu
rupa...."
Terbawa rasa penasarannya, kakek
berjubah
putih berlari ke utara mengikuti jalan setapak yang
membujur di lereng bukit.
Keningnya kembali berke-
rut. Di sana asal syair
dilantunkan. Tapi, tak dijumpai
orang yang dicarinya. Malah ada
seorang bocah kecil
berumur sekitar dua belas tahun
menghalangi langkah
kakinya. Kerut di kening si
kakek segera memudar.
Senyum manis ganti mengembang di
bibirnya.
"Hei, Bocah! Tahukah kau ke
mana perginya
seseorang yang tadi berada di
tempat ini?" tanya si ka-
kek ramah sekali.
Bocah laki-laki yang mengenakan
rompi kuning
dan bercelana sebatas lutut
tampak menggelengkan
kepala. Anting besar yang
menghiasi daun telinga ki-
rinya bergoyang-goyang.
"Dari tadi yang berada di
tempat ini hanya aku
seorang," kata bocah itu.
Sikapnya tidak nampak dia
sedang bermain-main.
"Hmm.... Kalau benar apa
yang dikatakan bo-
cah ini, empu syair itu tentu
ingin memamerkan ilmu
memindahkan suaranya untuk
membuatku jadi pena-
saran," pikir si kakek
"Aku tahu hatimu tak
tenang," si bocah tiba-
tiba berkata. "Tapi, orang
yang kau cari sebenarnya
sudah ada di sini."
"Heh?! Apa maksudmu,
Bocah?"
"Jarang ada orang yang
mengakui kalau dirinya
tidak tahu. Kebanyakan orang
menganggap dirinya
serba tahu. Malah, dalam
ketidaktahuannya dia sering
merasa tahu. Hanya ada satu
sebutan yang pantas di-
berikan kepadanya, yakni
'manusia berotak kerbau'"
Si kakek tentu saja terkejut
mendengar perka-
taan itu. Bagaimana mungkin
seorang bocah berumur
dua belas tahun bisa merangkai
kata-kata bijak seperti
ini? Alis putih si kakek pun
kembali bertaut. Lama di-
pandanginya wajah si bocah.
"Berpikir dan merenung
memang baik. Tapi,
terlalu lama berpikir membuat
benak jadi kusut. Se-
dangkan benak yang kusut
cenderung membuat hati
jadi kalut. Kalau sudah begitu,
tak tetap lagi tujuan
kaki melangkah dan ke mana
perbuatan mesti diarah-
kan," lanjut si bocah
dengan arifnya.
"Aku tahu kau punya
kepandaian, Bocah. Tapi,
tak perlu kepandaianmu itu kau
pamerkan di hada-
panku. Aku sudah tua. Dalam
usiaku ini banyak su-
dah pelajaran hidup yang
kudapat. Maka dari itu, jan-
gan sok pandai menasihati
kakek-kakek ini...."
"Ha ha ha...!" si
bocah tertawa bergelak. Bahu
dan kepalanya bergoyang-goyang,
membuat anting pe-
rak besar di telinga kirinya
ikut bergoyang. "Lucu...,
lucu sekali. Dunia mungkin akan
tertawa bila menden-
gar apa yang kukatakan kepadamu.
Tapi biarlah! Ha
ha ha...."
Selagi bocah beranting perak
tertawa terbahak-
bahak, si kakek berkelebat
hendak meneruskan men-
cari si empunya syair. Tapi,
walau dia telah mengikuti
jalan setapak hingga mencapai
setengah lingkaran bu-
kit, usahanya tak menampakkan
hasil.
"Hmm.... Benar-benar sial
nasibku hari ini. Se-
telah mendapat sindiran dari
kata-kata syair, berjum-
pa pula dengan bocah edan yang
berlaku sok pandai."
Kakek berjubah putih ini
menggerutu panjang-
pendek Ketika dia hendak
melanjutkan langkahnya,
pandangannya bertumbuk pada
bocah beranting perak
yang enak-enakan duduk di atas
pohon. Dahan yang
dijadikan tempat duduk tampak
melengkung menahan
berat tubuhnya. Padahal dahan
pohon itu cukup besar
untuk dapat menahan tubuh kerbau
sekalipun. Tapi,
kenapa hanya menahan tubuh si
bocah yang tak sebe-
rapa besar malah melengkung dan
terayun-ayun?
"Bocah aneh...," kata
si kakek dalam hati. "Se-
jak semula aku menduga dia bukan
bocah sembaran-
gan. Tapi kalau dia mau berbuat
macam-macam, aku
akan memberi pelajaran."
"Ha ha ha...!" suara
tawa terdengar dari mulut
si bocah. "Sebenarnya yang
kau cari itu siapa, Banja-
ranpati?"
Kakek berjubah putih langsung
tercekat men-
dengar namanya disebut. Parasnya
yang semula cerah
berubah mengelam.
"He, Bocah! Kau menyebut
nama orang tua
tanpa sedikit pun menaruh
hormat. Agaknya kau me-
rasa punya kepandaian yang patut
dibanggakan," ujar
si kakek sambil menahan geram.
"Jadi, aku tidak boleh
menyebut namamu lang-
sung? Haruskah aku memanggil
dengan gelarmu yang
cukup panjang itu, Bayangan
Putih Dari Selatan?"
"Hmm.... Rupanya kau telah
mengenal siapa di-
riku, Bocah. Walau dirimu masih
bau kencur, jelas se-
kali kau bukanlah bocah
sembarangan. Tapi biar hati
ini tak tambah penasaran, ada
baiknya bila kau me-
nyebutkan nama. Dan siapa
gurumu? Mungkin sekali
dia seorang sahabatku. Jadi, aku
tak perlu berpra-
sangka buruk kepadamu...,"
kata si kakek yang me-
mang tak lain Banjaranpati atau
Bayangan Putih Dari
Selatan, seorang tokoh tua yang
cukup ternama di
rimba persilatan (Tentang sepak
terjangnya, baca epi-
sode-episode awal Serial
Pengemis Binal).
Mendengar ucapan kakek berjubah
putih yang
berubah lembut, si bocah malah
tertawa bergelak-
gelak. Waktu Banjaranpati
memandangnya dengan so-
rot mata tajam karena merasa
tersinggung, si bocah
menghentikan tawanya dan
langsung meloncat ke ha-
dapan tokoh tua ini.
Terdengar suara berderak
bersamaan dengan
telapak kaki si bocah yang
menginjak tanah. Bayangan
Putih Dari Selatan menoleh.
Terkejutlah dia. Dahan
pohon tempat si bocah duduk
tiba-tiba patah. Patahan
salah satu ujung dahan yang
jatuh ke tanah menancap
sedalam hampir setengahnya. Hal
itu menambah
keyakinan Banjaranpati kalau
bocah beranting perak
ini memang mempunyai ilmu
kepandaian yang cukup
luar biasa dibanggakan.
Bayangan Putih Dari Selatan mendengus
ketika
melihat si bocah tak segera
memperkenalkan diri. Bo-
cah itu malah menatap wajahnya
lekat-lekat seperti
sedang menyelidik.
"Bila tak ada maksud buruk,
kenapa mesti me-
nyembunyikan nama?" ujar
Banjaranpati kemudian
mencoba bersabar.
"Sebelum aku memperkenalkan
diri, kau mesti
menjawab pertanyaanku lebih
dulu, Banjaranpati.
Apakah kau masih mengingat
mendiang gurumu yang
bergelar Raja Syair?" tanya
si bocah dengan beraninya.
"Apa perlunya kau
menanyakan itu?" sahut
Banjaranpati tak senang
mendengar nama gurunya di-
bawa-bawa.
"Kalau kau tidak mau
menjawab pertanyaanku,
aku pun keberatan untuk
memperkenalkan diri. Itu
berarti, sampai mati pun kau
tidak akan tahu siapa di-
riku sebenarnya!"
Kening Bayangan Putih Dari
Selatan berkerut
dalam.
"Orang berbudi tak
melupakan kebaikan orang.
Murid yang baik tak akan
melupakan jasa gurunya,"
ujarnya seperti pada diri
sendiri.
Mendengar kalimat itu, si bocah
tertawa berge-
lak untuk ke sekian kalinya.
Kontan hati Banjaranpati
jadi panas. Tapi sebelum dia
berbuat sesuatu, sebuah
syair mengelus gendang
telinganya.
Memanglah benar apa yang telah
dikata
Budi baik perlu dikenang
sepanjang masa
Namun, bagi orang Jawa yang
mengerti adat
Budi baik tak cukup dikenang
sebagai jimat
Bukan maksud hati meminta balas
Hanya yang perlu diingat
jelas-jelas
Petuah sang guru mesti menyatu
dalam aliran
darah
Biar selalu terbawa ke mana kaki
melangkah
Tak patut pula orang berpangku
tangan
Melihat dunia dalam
kekacauan
Lebih baik mati sebagai kstaria
Daripada hidup berputih mata
Tanpa sadar Bayangan Putih Dari
Selatan ter-
surut dua tindak ke belakang.
Matanya membelalak
menatap si bocah. Sementara
bibirnya bergetar seperti
orang sedang menggumam.
"Sebagai tokoh tua yang
telah banyak menyak-
sikan keanehan di dunia, kau tak
perlu terkejut, Ban-
jaranpati...," ujar si
bocah yang baru saja melantunkan
syair.
"Apakah kau juga yang telah
memperdengarkan
syair di lereng bukit sebelah
sana?"
Mendengar pertanyaan Bayangan
Putih Dari
Selatan, si bocah tersenyum
tipis.
"Ya," jawabnya pendek.
"Tapi, kenapa di sana aku
mendengar suaramu
seperti suara orang tua yang
mengandung getaran-
getaran aneh?" tanya
Banjaranpati lagi karena tak ya-
kin.
Si bocah kembali tersenyum.
"Bagi Raja Syair, perihal
merubah warna atau
nada suara bukanlah soal yang
sulit."
"Apa?!" Banjaranpati
terkejut. "Jangan ngawur,
Bocah! Raja Syair adalah guruku
yang telah meninggal
puluhan tahun yang lalu. Jangan
mengaku-aku kalau
tidak ingin kupecahkan
kepalamu!" ancamnya.
"Ha ha ha.... Kalau kau
ingin menjadi murid
murtad, kau bisa melakukan
itu!"
"Kau membuat aku penasaran
saja, Bocah. Te-
rima salam perkenalanku!"
ujar Banjaranpati seraya
melayangkan telapak tangan
kanannya. Walau tidak
dilambari tenaga dalam penuh,
tapi jangan dikira se-
rangan itu tidak berbahaya.
Si bocah malah tersenyum melihat
serangan
Banjaranpati. Dia sama sekali
tak membuat gerakan
untuk menghindar. Hanya, tangan
kirinya yang men-
gibas pelan. Serangkum angin
pukulan meluruk deras
menghentikan gerakan tangan
Bayangan Putih Dari
Selatan. Bahkan sebelum kakek
berjubah putih ini
menyadari keadaan....
Duk...!
Mata Bayangan Putih Dari Selatan
tak dapat
menangkap gerak-gerik si bocah.
Tahu-tahu dia mera-
sakan tubuhnya limbung karena
pinggang kirinya te-
lah terpukul.
"Pukulan 'Tanpa
Bayangan'...!" desis Banjaran-
pati.
Jurus aneh tersebut adalah
ciptaan Raja Syair,
dan hanya diturunkan kepada
muridnya. Kalau si bo-
cah dapat memainkannya, apakah
di dunia ini ada dua
Raja Syair?
Selagi Banjaranpati diam
termangu-mangu, si
bocah berkata.
"Raja Syair cuma satu. Dia
telah meninggal pu-
luhan tahun yang lalu. Yang kau
hadapi sekarang ada-
lah titisannya, Banjaranpati,"
ujarnya seperti dapat
membaca jalan pikiran
Banjaranpati.
"Guru..," sebut
Bayangan Putih Dari Selatan.
"Badan wujudku memang
berupa bocah kecil
yang berumur dua belas tahun,
tapi jiwaku tetap jiwa
Raja Syair. Karenanya aku tahu
siapa kau. Aku datang
menemuimu karena ada sesuatu
keperluan denganmu,
Banjaranpati."
"Guru.. "
Hilang sudah rasa penasaran di
hati Banjaran-
pati. Melihat kesungguhan Raja
Syair, kakek berjubah
putih itu segera menghaturkan
hormat dengan berlu-
tut. Tapi, serangkum angin
pukulan menahan gera-
kannya.
"Tak perlu peradatan
macam-macam! Kalau
ada orang yang melihat kau
berlutut di hadapan seo-
rang bocah, dia akan
menertawakan mu. Bersikaplah
biasa saja seperti seorang kakek
kepada cucunya."
Bayangan Putih Dari Selatan mengangguk
pe-
lan. Sinar kegembiraan terpancar
dari bola matanya.
"Sebelum aku mengatakan
keperluan ku untuk
menemuimu, ada baiknya aku
pastikan tentang kabar
yang kudengar. Benarkah kakak
seperguruanmu, Aki
Barondeng, telah meninggal
dunia?" tanya Raja Syair.
"Benar, Guru...!"
"Jangan panggil aku Guru!
Panggil dengan na-
ma kecilku, Gisa Mintarsa atau
singkat saja dengan
panggilan Gisa!" bentak
guru Banjaranpati yang telah
menitis dalam tubuh seorang bocah.
"Baik..., Gisa. Aki
Barondeng memang telah
mati di tangan Suropati atau
Pengemis Binal. Namun,
kematian Aki Barondeng
sesungguhnya tak layak dija-
dikan penyesalan. Dia meninggal
karena mengikuti
hawa nafsunya untuk membalas
dendam atas kema-
tian putranya yang bernama
Brajadenta atau si Dewa
Maut, seorang pengkhianat
kerajaan yang teramat ke-
jam," jelas Banjaranpati
memberi penjelasan (Tentang
Aki Barondeng, baca episode:
"Kemelut Kadipaten Bu-
miraksa" dan "Bidadari
Lentera Merah").
"Hmm.... Mati untuk menebus
kesalahan sendi-
ri memang tak layak
disesali...," Gisa Mintarsa tampak
merenung sejenak. Lalu
lanjutnya, "Aku dengar pula
kau menurunkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Suk-
ma' kepada Suropati untuk
menghadapi ilmu
'Penghisap Sukma' milik Aki
Barondeng. Benar begitu,
Banjaranpati?"
"Benar. Kalau tindakan saya
salah, saat ini juga
saya siap menerima
hukuman," kata Banjaranpati
dengan kepala tertunduk dalam.
Karena bagaimana-
pun dengan cara memberikan ilmu
pada Suropati be-
rarti dia telah membantu untuk
menghabisi nyawa ka-
kak seperguruannya sendiri.
"Ha ha ha...!" Raja
Syair tertawa terbahak-
bahak. Anting perak besar yang
menghiasi telinga ki-
rinya sampai bergoyang keras.
"Aku sangat bangga
mempunyai murid sepertimu,
Banjaranpati. Kau selalu
mengutamakan kebenaran dan
keadilan di atas sega-
lanya. Aku tidak akan
menjatuhkan hukuman kepa-
damu. Aki Barondeng mati karena
jiwanya tidak ber-
sih. Sekarang, kenapa orang
tidak bersalah mesti di-
hukum? Kau hanya sekadar
perantara, Banjaranpati.
Sesungguhnya Tuhan juga yang
berkehendak."
Usai mengucapkan
kalimat-kalimatnya, raut
wajah Gisa Mintarsa tampak
murung. Beberapa kali
dia diam terpaku dengan kepala
tertunduk. Mau tak
mau, Bayangan Putih Dari Selatan
ikut terbawa kea-
daan. Dia jadi diam terpekur.
"Sekarang juga kau mesti ke
kota Kadipaten
Bumiraksa. Di sana kau akan tahu apa yang harus
kau lakukan," ujar Raja
Syair kemudian. Suaranya
terdengar begitu berat dan penuh
tekanan.
Banjaranpati hanya dapat menatap
bayangan si
bocah ketika tanpa pamit, Raja
Syair berkelebat pergi
ke arah timur. Setelah terpaku
sejenak, akhirnya ka-
kek berjubah putih ini segera
berlalu menuju kota Ka-
dipaten Bumiraksa.
***
2
Walau sinar mentari sedang
bersinar terik, tapi
gelap tetap menyelimuti ruang
goa ini. Hanya di bagian
mulut gua yang masih terlihat
terang. Itu pun cuma
mencapai jarak satu tombak ke
dalam. Selebihnya ke-
gelapan semata.
Namun bila ditelusuri lebih dalam,
gua tersebut
mempunyai sebuah ruangan sempit
di mana bagian
atasnya terdapat lubang sebesar
telapak tangan orang
dewasa. Melalui lubang itulah
sinar mentari dapat me-
nerobos masuk. Dan, tepat
menerpa tubuh seorang
nenek tua renta!
Nenek itu sedang duduk bersila
di atas tonjolan
batu runcing dengan tangan
bersedekap. Tampaknya
dia mempunyai keseimbangan tubuh
yang cukup sem-
purna. Rongga mata wanita tua
itu sangat cekung. Pi-
pinya yang keriputan melesak ke
dalam dengan tulang
rahang menonjol keluar. Bibirnya
mencong, sudut se-
belah kiri tertarik ke bawah.
Rambut putih panjang
dan awut-awutan. Pakaiannya yang
dikenakannya ser-
ba biru. Penampilan nenek itu
cukup menggidikkan
hati. Siapa lagi dia kalau bukan
Ratu Air.
Sudah tiga hari penuh bekas Ratu
Kerajaan Air
yang telah runtuh itu bersemadi
di hadapan sebatang
tongkat yang ujungnya
ditancapkan ke lantai gua.
Pangkal tongkat itu berbentuk
kepala naga. Bagian
ujungnya yang menancap di lantai
gua tampak terpe-
luntir sepanjang dua jengkal.
Tertimpa biasan sinar
mentari yang menerobos dari atas
gua, batang tongkat
memancarkan cahaya
kehijau-hijauan. Dari cahaya
kehijauan itulah Ratu Air
merasakan getaran-getaran
aneh yang terus merasuk ke dalam
tubuhnya.
Tongkat itu memang bukan tongkat
sembaran-
gan. Namanya Tongkat Sakti. Dan
merupakan lam-
bang persatuan Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
Pembuat tongkat itu adalah Gede
Panjalu atau Penge-
mis Tongkat Sakti, putra Datuk
Risanwari yang men-
jadi pendiri Perkumpulan
Pengemis Tongkat Naga yang
pernah berjaya pada puluhan
tahun silam.
Oleh Gede Panjalu senjata ampuh
itu diberikan
kepada Suropati atau Pengemis
Binal, Ketua Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati mengguna-
kannya sebagai lambang persatuan
perkumpulan dan
disimpan di puncak Bukit
Pangalasan, tempat bermu-
kim para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti.
Dan kalau sekarang Tongkat Sakti
jatuh ke
tangan Ratu Air. Pastilah tokoh
jahat itu telah meram-
pas secara paksa. Ratu Air berniat
menggunakan
Tongkat Sakti sebagai kekuatan
untuk menggempur
Kerajaan Siluman milik Nyai
Catur Asta yang telah
menghancurkan Kerajaan Air-nya
(Baca episode :
"Dendam Ratu Air").
Suasana hening dalam ruangan gua
itu pecah
ketika Tongkat Sakti bergetar.
Semakin lama semakin
keras hingga lantai gua
berderak-derak. Saat batang
Tongkat Sakti bergetar hebat,
tiba-tiba ujung senjata
ampuh itu tercabut dari lantai
gua lalu melesat mengi-
tari ruangan. Sesaat kemudian,
ujungnya yang terpe-
luntir meluruk ke arah Ratu Air
yang masih duduk
bersemadi.
Wuttt..!
Ketika ujung tongkat hampir
menembus dada
Ratu Air, dari sekujur tubuh
nenek berwajah mengeri-
kan itu memancar cahaya perak.
Luncuran tongkat
berhenti di udara. Dan sebelum
jatuh ke lantai, tangan
kanan Ratu Air bergerak cepat menyambar batang
tongkat
"Hua ha ha...!" si
nenek tertawa keras seraya
meloncat dari tempat duduknya.
Batang tongkat di-
acungkannya tinggi-tinggi ke
udara. "Nyai Catur Asta!
Kau tak lebih cerdik dari babi
bunting yang terlalu ba-
nyak tidur! Pada hari kesatu
purnama pertama Kera-
jaan Siluman-mu akan hancur
lebur. Aku tahu kau te-
lah menurunkan ilmu 'Pukulan
Salju Merah' kepada
anjing buduk Suropati. Tapi,
jangan harap ilmu itu
akan sanggup menandingi kekuatan
'Sinar Perak Cair-
kan Wujud' yang telah
kusempurnakan. Dengan Tong-
kat Sakti yang melipatgandakan
kesaktian sang Ratu
Air, tubuh Suropati akan lumat
menjadi air yang tak
lebih berharga dari air
comberan! Itu berarti angkara
sang Ratu Air tak akan ada yang
menghalangi lagi. Ji-
wa Nyai Catur Asta akan
terlempar ke dunia gelap pe-
nuh siksa! Hua ha ha...!"
Ratu Air terus tertawa
terbahak-bahak. Tawa
yang mengandung kekuatan dahsyat
itu membuat seisi
ruangan gua bergoncang. Bebatuan
yang semula ber-
serakan jadi berterbangan
menghantam segala penjuru
dinding. Suara gemuruh yang
memekakkan gendang
telinga terdengar hiruk pikuk.
"Ratu Air memiliki dendam
membara laksana
magma gunung berapi. Dendam itu
tertuju padamu,
Nyai Catur Asta! Tak akan puas
hati ini sebelum den-
dam di hati terbalaskan!"
Usai melontarkan sumpahnya, si
nenek berke-
lebat ke luar gua. Namun,
matanya yang cekung seke-
tika terbelalak melihat seorang
bocah berumur dua be-
las tahun berdiri tegak tak
seberapa jauh dari mulut
gua. Si bocah mengenakan rompi
kuning dan bercela-
na pendek sebatas lutut. Anting
perak besar menghiasi
telinga kirinya.
"Selamat siang,
Nek...," sapa si bocah ramah.
Ratu Air mendengus. Ditatapnya
bocah tak di-
kenal itu dengan penuh selidik.
"Siapa kau?" tanyanya
dengan angkuh.
Si bocah tersenyum. Bibir
mungilnya lalu ber-
getar melantunkan syair.
Aku datang dari langit
Turun ke bumi menghirup udara
lagi
Datang ke sini mengikuti suara
hati
Untuk menemui Ratu Air si nenek
sakti
Aku datang dari langit
Membawa titah suci
Dari Hyang Widhi penguasa sejati
Untuk meluruskan jalan si ne....
"Cukup...!" hardik
Ratu Air dengan muka me-
rah padam. "Makna
kata-katamu memanaskan telinga.
Membuat tangan gatal untuk
memecahkan kepalamu.
Sombong sekali kau, Bocah
Ingusan! Kulitmu tipis. Tu-
langmu rapuh. Namun aku tahu di
balik semua itu
tersimpan kekuatan. Karenanya,
terimalah salam sang
Ratu Air!"
Belum hilang gema ucapannya,
tongkat di tan-
gan kanan Ratu Air meluncur
deras mengemplang ke-
pala si bocah.
"Uts!"
Cepat sekali bocah itu melangkah
mundur dua
tindak. Sambaran tongkat hanya
mengenai angin ko-
song. Kontan wajah Ratu Air
semakin merah padam.
Matanya melotot liar, menatap si
bocah seperti melihat
barang yang harus segera
dimusnahkan.
Anehnya, si bocah malah
cengar-cengir sambil
menggaruk pantatnya. Dan
bersamaan dengan suara
geraman dari mulut Ratu Air, dia
memejamkan mata.
Mulutnya mendesis seperti
merasakan kenikmatan
yang benar-benar melenakan.
Kemudian, dengan gera-
kan konyol dia membalikkan
badan.
Pruet! Brot...!
Si bocah kentut dengan pantat
disorongkan ke
muka Ratu Air. Siapa yang tak
akan meledak amarah-
nya melihat perbuatan kurang
ajar itu? Ratu Air pun
mendengus keras. Dihantamnya
pantat si bocah den-
gan Tongkat Sakti.
Namun, si bocah bergerak
tangkas. Dia melon-
cat tinggi. Saat masih melayang
di udara, bocah itu
menekuk tubuhnya. Lalu, kentut
lagi.
Pruet! Thit..!
"Bang... Huk!"
Ratu Air tak dapat melanjutkan
umpatannya.
Bau busuk keburu masuk ke lubang
hidungnya!
"Ha ha ha...!" si
bocah tertawa terbahak-bahak
"Masing-masing orang
mempunyai cara tersendiri un-
tuk menyampaikan salam. Bila
Ratu Air menyampai-
kan salam berupa kemplangan
tongkat, Raja Syair
menyampaikan salamnya berupa
kentut berbau ha-
rum. Ha ha ha...!"
"Matilah kau, Bocah
Edan!" hardik Ratu Air se-
raya mengayunkan tongkatnya.
Kali ini sambaran
tongkat itu menimbulkan deru
angin dahsyat.
Si bocah terkesiap. Tawanya
langsung berhenti.
"Maaf! Maaf!" ucapnya
sambil menghemposkan
tubuh tinggi-tinggi. Tapi,
tongkat di tangan Ratu Air te-
rus memburu.
Wut...! Wut...!
"Hentikan! Hentikan!"
teriak si bocah seperti
menyimpan rasa takut yang
sangat.
Tapi, mana mungkin Ratu Air yang
sudah di-
kuasai amarah itu mau
menghentikan gempurannya.
Batang tongkat yang pangkalnya
berbentuk kepala na-
ga terus mencecar tubuh si
bocah.
"Hentikan! Hentikan!"
teriak si bocah lagi. Tu-
buhnya terus berloncatan ke sana
kemari. Deru angin
dari sambaran tongkat yang tak
mengenai sasaran
membuat dedaunan gugur. Lalu
berterbangan keras.
Ketika menyadari Ratu Air tak
mungkin meng-
hentikan serangannya, si bocah
meloncat jauh. Begitu
mendarat kedua kakinya
terpentang lebar mencipta-
kan kuda-kuda yang sangat kokoh.
"Matilah kau sekarang
juga!" hardik Ratu Air.
Tubuh nenek ini meluncur cepat
dengan pangkal tong-
kat tersorong ke depan.
Cepat si bocah mengibaskan kedua
telapak
tangannya. Serangkum angin
pukulan meluruk maju
menahan luncuran tubuh Ratu Air.
Akibatnya, kaki
wanita tua itu terhenyak ke
tanah. Tongkatnya terayun
ke belakang. Untung tidak lepas
dari pegang-an.
"Cukuplah kita main-main,
Kinanti...," ujar si
bocah dengan raut wajah
kesungguhan.
"Heh?! Kau tahu nama
kecilku," Ratu Air terke-
jut bukan main. "Agaknya
kau bocah yang tersusupi
roh seorang tokoh tua!"
duga nenek ini.
"Tepat! Roh itu tak lain
dari Gisa Mintarsa yang
bergelar Raja Syair."
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa ngakak "Ru-
panya kau tidak puas menerima
kematianmu puluhan
tahun yang lalu, Gisa! Bila
sekarang kau datang ke
hadapanku dalam wujud seorang
bocah, tentu kau
hendak menuntut balas. Tapi
kenapa kau tak melayani
seranganku?"
Raja Syair tersenyum tipis. Ia
tak menjawab
pertanyaan Ratu Air. Ingatannya
sedang melayang ke
masa silam. Sekitar lima puluh
tahun yang lalu Raja
Syair pernah berurusan dengan
Ratu Air. Waktu itu
Ratu Air masih jaya dengan
Kerajaan Airnya. Raja
Syair mempunyai tiga orang
murid. Mereka bernama
Aki Barondeng atau si Mayat
Hidup, Banjaranpati atau
Bayangan Putih Dari Selatan, dan
Kenanga yang ber-
gelar Putri Syair Kehidupan.
Dalam pengembaraannya Raja Syair
mendengar
kabar bahwa Kenanga berhasil
ditaklukkan oleh Ratu
Air. Di Kerajaan Air, Kenanga
dijadikan budak. Tentu
saja Raja Syair tak mau
berpangku tangan. Dia datang
ke Kerajaan Air untuk
membebaskan murid kesayan-
gannya.
Ratu Air adalah wanita cantik
yang sangat licik.
Dengan tipu muslihatnya dia
berhasil menawan Raja
Syair. Sejak itulah nama Raja
Syair hilang dari rimba
persilatan. Aki Barondeng dan
Banjaranpati berusaha
mencari gurunya. Sayang, daya
upaya mereka sia-sia.
Hingga kemudian, dua orang
saudara seperguruan itu
mendengar kabar kalau Raja Syair
telah meninggal.
Oleh sebab apa atau dibunuh oleh
siapa, mereka tidak
tahu.
Aki Barondeng dan Banjaranpati
akhirnya
menghentikan pencarian mereka.
Sedangkan Raja
Syair dan Kenanga kemudian
benar-benar dibunuh
oleh Ratu Air. Karena kebesaran
Tuhan, roh Raja Syair
yang penasaran dapat menyusup ke
jasad seorang bo-
cah. Hingga, hari ini Raja Syair
mengetahui kalau Ratu
Air sedang bersemadi di sebuah
gua. Raja Syair yang
berjiwa pendekar tak mau
mengusiknya. Dia menung-
gu sampai Ratu Air menyelesaikan
semadi.
"Hei, Gisa!" bentak
Ratu Air melihat Raja Syair
hanya berdiri termangu-mangu.
"Bila kau memang da-
tang kepadaku untuk menuntut
balas, tak ada gu-
nanya bersikap macam monyet kena
sumpit. Segera
keluarkan ilmu kesaktianmu. Ratu
Air akan melayani
dengan senang hati!"
"Bagiku, perkara balas
dendam tak seberapa
penting," ujar Raja Syair
sambil menatap wajah Ratu
Air lekat-lekat "Aku datang
ke hadapanmu karena ada
urusan yang lebih
penting..."
"Cepat kau katakan!"
sela Ratu Air tak sabaran.
Raja Syair tersenyum tipis
sebelum mengelua-
rkan kata-katanya.
"Dari dulu sikap dan
sifatmu tak pernah beru-
bah. Angkuh, dan sangat
membanggakan ilmu kesak-
tianmu. Tapi seperti yang
kubilang tadi, perkara mem-
balas dendam bagiku tak seberapa
penting."
"Cecurut busuk! Jangan
mengumbar kata-kata
di hadapanku. Segera katakan apa
yang kau inginkan!"
"Baik! Baik, Kinanti. Aku meminta kepadamu
untuk melenyapkan pengaruh sihir
dalam jiwa Empat
Begundal Dari Gua
Larangan!" pinta Raja Syair.
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa terbahak "Kau
ini lucu sekali, Gisa! Kau
adalah musuhku. Tak ada
alasan bagiku untuk menuruti
permintaanmu. Biarlah
empat lelaki itu menyebar
kematian bagi para anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Tak perlu kau
turut campur. Kalau kau mau
membalas dendam, ku-
layani sekarang juga!"
sambut Ratu Air dengan ang-
kuhnya.
Melihat Ratu Air mengacungkan
tongkat, Raja
Syair buru-buru mengangkat
telapak tangan kanan-
nya.
"Tunggu dulu! Semakin
bertambah usia semes-
tinya semakin pandai manusia
mengendalikan hawa
nafsu. Nafsu buruk yang diumbar
hanya akan menda-
tangkan siksa. Siksa yang tak
hanya datang di dunia,
tapi juga di akhirat nantinya.
Karena itu kau harus le-
bih mendekatkan diri kepada
Tuhan, Kinanti. Usiamu
sudah mendekati liang kubur.
Sebelum Malaikat Ke-
matian datang menjemput,
sebaiknya kau menghenti-
kan perbuatan sesatmu."
"Tak ada yang bisa
menghentikan keinginan
sang Ratu Air. Maka, tak perlu
kau banyak bacot lagi,
Gisa! Terima kematianmu sekarang
juga!" Ratu Air ge-
ram sekali, karena dinasihati
begitu bijak oleh musuh-
nya.
Usai berucap, Ratu Air langsung
menerjang ga-
nas. Tongkat Sakti di tangannya
melesat cepat mencari
jalan kematian di tubuh Raja
Syair. Untuk beberapa
lama si bocah masih mampu
mengimbangi gempuran
nenek sakti itu. Tapi setelah
Ratu Air memperlihatkan
kembangan jurus yang dilambari
dengan ilmu 'Sinar
Perak Cairkan Wujud', Raja Syair
terperangah.
Ternyata kesaktian Ratu Air
telah berlipat gan-
da. Amat jauh berbeda bila
dibanding saat dia bertem-
pur dengan nenek sakti itu
sekitar lima puluh tahun
yang lalu. Akibatnya, Raja Syair
pun terdesak hebat!
Sewaktu Raja Syair menghemposkan
tubuh un-
tuk menghindari bias sinar perak
yang timbul dari te-
lapak tangan kiri Ratu Air,
batang tongkat nenek ini
berkelebat cepat. Bagian
pangkalnya yang berbentuk
kepala naga berhasil menyerempet
bahu kiri Raja
Syair.
Srash...!
"Argh...!"
Tubuh Raja Syair terpeluntir ke
kanan. Tubuh-
nya terhuyung-huyung karena tak
dapat menguasai
keseimbangan. Sebuah tendangan
lagi mendarat tepat
di dadanya.
"Mati kau!" teriak
Ratu Air. Diperhatikannya
tubuh Raja Syair yang mencelat
jauh kemudian jatuh
terjerembab ke tanah.
Dengan susah payah Raja Syair
bangkit berdiri.
Dari mulutnya menyemburkan darah
segar. Raja Syair
menggeleng-gelengkan kepala
berusaha mengusir ke-
gelapan yang mengaburi
pandangan.
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa bergelak-gelak
penuh kemenangan melihat keadaan
lawannya. "Me-
mang ada gunanya kau datang ke
hadapanku, Gisa.
Dengan bantuan Tongkat Sakti aku
berhasil melipat-
gandakan kekuatan 'Sinar Perak
Cairkan Wujud'. Un-
tuk mengetahui kehebatannya, kau
telah menjadi ke-
linci percobaanku. Sekarang
bersiap-siaplah. Kalau
masih mempunyai ilmu simpanan
segera keluarkan
agar kau tak menyesal!"
Dua jari tangan kiri Ratu Air
kemudian ditem-
pelkan di dahi. Tongkat Sakti di
tangan kanannya diki-
ruskan di depan dada. Dalam
waktu bersamaan, Raja
Syair mementangkan kedua kakinya
dengan lutut se-
dikit ditekuk. Kedua pergelangan
tangannya menyilang
di depan dada. Melihat sikap
ini, Raja Syair tampaknya
akan mengeluarkan ilmu andalan.
"Jagat gelap memberi
kekuatan kepada sang
Ratu Air. Hari ini 'Sinar Perak
Cairkan Wujud' akan
meminta korban!"
Ratu Air mengangkat Tongkat
Sakti ke atas ke-
pala. Lalu, telapak tangan
kirinya disorongkan ke de-
pan dengan kekuatan penuh.
Weeesss...!
Seberkas sinar perak yang
menyilaukan mata
berpendar. Sinar yang dilambari
seluruh kekuatan
sakti Ratu Air itu meluruk deras
ke arah Raja Syair.
"'Tapak Suci Singkirkan
Badai!" teriak Raja
Syair seraya menepukkan kedua
telapak tangannya.
Jurus andalan itu yang
dipergunakannya untuk
menghadapi gempuran sinar perak
Ratu Air.
Blarrr...!
Diiringi suara menggelegar keras
tubuh Raja
Syair memancarkan seberkas
cahaya kuning. Cahaya
yang timbul dari penerapan ilmu
'Tapak Suci Singkir-
kan Badai' itu membentur sinar
perak yang memendar
dari telapak tangan lawan.
Sebuah ledakan dahsyat
menggelegar. Sinar pe-
rak membias ke berbagai penjuru
seperti membentur
dinding baja yang sangat kuat.
Sebagai biasan sinar
perak menerabas pohon dan
bebatuan yang banyak
terdapat di tempat itu.
Akibatnya sungguh mengeri-
kan. Dalam sekejap mata, pohon
dan bebatuan yang
tertimpa sinar langsung berubah
wujud menjadi cairan
kental berwarna keputih-putihan.
Sementara saat terjadi ledakan
dahsyat, cahaya
kuning yang memancar dari
sekujur tubuh Raja Syair
berbalik arah menghantam
pemiliknya sendiri. Naas
bagi bocah titisan itu. Tubuhnya
mencelat ke udara se-
tinggi pohon kelapa. Kemudian,
jatuh berdebam di ta-
nah dan tak bergerak-gerak lagi.
"Hua ha ha...!"
kesekian kalinya Ratu Air terta-
wa bergelak-gelak. Ketika
terjadi bentrokan dua tenaga
sakti tadi tubuh nenek ini tetap
berdiri tegak di tem-
patnya. Pertanda, ilmu
kesaktianya berada beberapa
tingkat lebih tinggi dari ilmu
kesaktian Raja Syair.
"Sungguh malang nasib Gisa
Mintarsa...," ujar
Ratu Air bicara sendiri.
"Baru saja dapat menghirup
udara segar kembali, jiwanya
mesti melayang untuk
kedua kali. Hua ha ha...!"
Selagi Ratu Air tertawa
mengikuti suara hatinya
yang penuh luapan kegembiraan,
sesosok bayangan
ungu berkelebat cepat. Bayangan
itu menyambar tu-
buh Raja Syair.
"Heh!"
Ratu Air terkesiap. Tawanya
berhenti menda-
dak. Walau sudah tua, tapi
matanya masih cukup
awas. Dia melihat gerakan si
bayangan ungu. Kontan
kakinya menjejak tanah untuk
mengejar. Namun
bayangan itu keburu lenyap
dengan membawa tubuh
Raja Syair.
"Bangsat!" umpat Ratu
Air. "Siapa pula tokoh
usil yang berani mencampuri
urusanku ini? Hmm....
Pada saatnya nanti aku pasti
akan memecahkan batok
kepalanya!"
Dengan penuh rasa kesal Ratu Air
kemudian
berkelebat ke arah utara. Dia
hendak menuju kota Ka-
dipaten Bumiraksa.
***
3
Perjalanan sang Baskara telah
sampai di ben-
tangan kaki langit sebelah
barat. Peredaran sinarnya
menciptakan warna kuning
keemasan. Walau hanya
terlihat setengah lingkaran,
tapi terang masih setia
menemani bumi.
Di sore yang cerah ini seorang
gadis bertubuh
langsing tampak duduk bersandar
pada sebatang po-
hon di pinggir kota Kadipaten
Bumiraksa. Mata gadis
berwajah cantik itu menatap
lurus ke aliran sungai
yang berada tak jauh di
hadapannya. Berulang kali ke-
luar desahan dari mulutnya.
Parasnya membersitkan
sebuah kesedihan.
Ketika angin bertiup lebih
kencang, anak-anak
rambutnya yang terurai panjang
tersibak dan menutu-
pi sebagian wajahnya. Namun, dia
tak ambil peduli.
Pandangannya tetap dilayangkan
lurus ke depan,
hampir-hampir tiada berkedip.
Gadis cantik itu adalah
Dewi Ikata atau Pendekar Wanita
Gila.
Ingatan putri tunggal Adipati
Danubraja itu tak
pernah lepas dari peristiwa yang
baru saja dialaminya.
Di depan Kuil Saloka dia tak
mampu menyelamatkan
nyawa dua orang anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti, karena
kedatangannya terlambat. Dua
orang anak buah Suropati atau
Pengemis Binal itu ma-
ti di tangan Empat Begundal Dari
Gua Larangan. Dan,
sikap Suropatilah yang membuat
sedih hati Dewi Ika-
ta. Suropati seperti menimpakan
kesalahan atas kema-
tian dua anak buahnya pada murid
si Perangai Gila itu
(Baca episode : "Dendam
Ratu Air").
"Suro...," gumam
Pendekar Wanita gila, menye-
but nama pemuda yang menjadi
pujaan hatinya. "Mati
hari ini atau besok bagiku sama
saja. Tapi aku tak
mau mati dalam kesedihan karena
orang menyalahkan
diriku, walau sebenarnya aku
sendiri tidak bersalah.
Suro, aku tahu tanggung jawabmu
sebagai seorang
pemimpin adalah sangat besar.
Karenanya, aku ingin
sekali meringankan bebanmu.
Namun...."
Gumaman gadis cantik ini
terhenti bersamaan
butiran mutiara bening yang
menitik dari sudut ma-
tanya. Pandangannya yang kosong
tetap terarah lurus
ke depan. Dia sama sekali tak
menyadari kalau di
sampingnya telah berdiri seorang
lelaki berperawakan
tegap. Rasa sedih membuat
kewaspadaan Dewi Ikata
lenyap. Untunglah orang yang
datang itu tidak mem-
punyai maksud buruk.
"Tuan Putri...," sapa
lelaki berperawakan tegap.
Dewi Ikata tersentak kaget.
Tanpa sadar dia
meloncat bangkit. Tapi setelah
mengetahui siapa orang
yang mengejutkannya, hatinya
menjadi lega.
"Kau mengejutkan aku saja,
Campa!" ujar Pen-
dekar Wanita Gila dengan suara
ketus.
"Maafkan saya, Tuan Putri.
Saya tidak sengaja,"
kilah lelaki yang dipanggil
'Campa'. Dia adalah salah
satu orang kepercayaan Adipati
Danubraja, ayahanda
Dewi Ikata.
"Hmm.... Aku tahu maksudmu
datang kemari..
Bukankah kau diutus ayahanda
untuk memintaku
kembali ke pendapa
kadipaten?"
"Benar, Tuan Putri. Gusti
Adipati berpesan agar
Tuan Putri secepatnya kembali ke
pendapa kadipaten.
Ibunda Rara Anggi masih belum
sembuh benar dari
sakitnya. Selain dari itu,
kemarin malam seorang ne-
nek berilmu tinggi marah-marah
di hadapan Gusti
Adipati. Nenek itu kecewa karena
kedatangannya tidak
menjumpai Tuan Putri."
"Hmm.... Orang itu tentu
guruku yang pertama,
Arumsari atau Dewi Tangan Api.
Aku mendengar kabar
kalau nenek sakti itu sedang
mencari-cari diriku," kata
Pendekar Wanita Gila dalam hati.
"Sebaiknya Tuan Putri
pulang ke pendapa ka-
dipaten sekarang. Kasihan Ibunda
Rara Anggi. Sejak
kepergian Tuan Putri, beliau
terus-menerus menyebut
nama Tuan Putri," ujar
Campa.
"Campa, aku tahu kau adalah
utusan ayahan-
da yang sangat setia mengemban
tugas. Tapi, ada
baiknya bila kau kembali ke
pendapa kadipaten. Kata-
kan kepada ayahanda kalau aku
tidak lama lagi akan
pulang," pesan Dewi Ikata.
Rasanya dia memang eng-
gan untuk pulang ke rumah dalam
waktu dekat ini.
"Besok?"
"Entah besok, entah lusa.
Yang jelas tidak akan
lama. Sampaikan saja apa yang
kukatakan kepada
ayahanda."
"Bagaimana dengan Ibunda
Rara Anggi?" tanya
Campa khawatir.
Mendengar ucapan Campa ini, Dewi
Ikata jadi
tercenung. Beberapa lama gadis
itu diam termenung,
Dewi Ikata tahu sakit yang
diderita ibunya tidaklah pa-
rah. Hanya sakit biasa yang
kemungkinan besar kare-
na memendam rasa rindu terhadap
putrinya. Tapi,
yang membuat Dewi Ikata jadi
serba salah adalah si-
kap beliau yang selalu
mengkhawatirkan keadaan di-
rinya. Dari rasa khawatir itulah ibu Dewi Ikata
jatuh
sakit.
Tiba-tiba Pendekar Wanita Gila
tersenyum-
senyum sendiri.
"Kau kembalilah ke pendapa
kadipaten, Campa.
Katakan kepada ibunda bahwa putri
tunggalnya telah
memiliki ilmu kesaktian hebat.
Jadi, beliau tak perlu
merasa khawatir akan keselamatan
diriku."
Melihat Pendekar Wanita Gila
tersenyum-
senyum, kening Campa berkerut.
"Tuan Putri...,"
sergahnya. Tapi junjungannya
tetap saja tersenyum-senyum
sendiri.
"Tunggu apa lagi, Campa?!
Kembalilah seka-
rang juga. Ibunda Rara Anggi
tidak akan bersedih lagi.
Bukankah aku kemarin pulang ke
pendapa kadipaten
membawa seorang bayi yang
montok? Bayi itu akan
menjadi pengganti diriku!"
(Baca episode: "Dendam Ra-
tu Air").
Campa memandang wajah Dewi Ikata
dengan
sinar mata heran. Tapi, akhirnya
mengertilah pungga-
wa kadipaten ini kenapa Dewi
Ikata dijuluki orang se-
bagai Pendekar Wanita Gila.
Rupanya putri tunggal
Adipati Danubraja itu mempunyai
perangai aneh.
"Hei! Kenapa kau tidak
segera menyingkir dari
tempat ini, Campa?!"
bentak Dewi Ikata. Wajahnya
tampak tegang karena menyimpan
amarah.
"Tapi, Tuan Putri...,"
ujar Campa. "Saya tidak
berani kembali ke pendapa
kadipaten tanpa mendapat
kepastian kapan Tuan Putri akan
menyusul."
Dewi Ikatan menatap Campa dengan
sinar ma-
ta berapi-api.
"Keparat!" umpatnya
seraya menonjok mulut le-
laki yang berdiri di hadapannya
itu.
Dengan mudah Campa menghindar.
Namun,
tak disadari tindakan
menghindari itu justru membuat
Dewi Ikata semakin marah.
Sebelum Campa sempat
berkata-kata, Dewi Ikata telah
mencecarnya dengan
serangan ganas.
"Tuan Putri! Tuan
Putri...!" sergah Campa sam-
bil berloncatan menghindar ke
sana kemari.
Pendekar Wanita Gila yang sedang
kumat gen-
dengnya tak mempedulikan ucapan
Campa. Dia terus
mencecar dengan pukulan dan
tendangan yang cukup
berbahaya. Campa yang tidak
berani membalas tentu
saja jadi kerepotan. Apalagi
serangan Dewi Ikata tam-
paknya tidak main-main. Hingga,
pada suatu kesem-
patan....
Desss...!
"Augkh...!"
Bahu kanan Campa tertimpa
kepalan tangan
Dewi Ikata. Pukulan itu memang
tidak dilambari tena-
ga dalam penuh, tapi cukup untuk
membuat tubuh
Campa terpeluntir ke kiri lalu
jatuh berdebam di ta-
nah.
Pendekar Wanita Gila tertawa
bergelak.
"Kalau kau tetap nekat tak
mau menyingkir da-
ri tempat ini, jangan salahkan
aku bila tiba-tiba Malai-
kat Kematian datang menjemput nyawamu!" ancam
gadis itu.
Susah payah Campa bangkit
berdiri. Melihat
kesungguhan Dewi Ikata, punggawa
kadipaten ini ter-
surut ke belakang dua tindak.
Tapi ketika teringat tu-
gas yang harus diembannya, Campa
tak mempeduli-
kan ancaman Pendekar Wanita
Gila.
"Daripada mengecewakan
Gusti Adipati dan
Gusti Rara Anggi, saya rela mati
di tangan Tuan Putri,"
kata Campa sambil menatap wajah
Dewi Ikata lekat-
lekat
"Ha ha ha...!" kembali
Pendekar Wanita Gila ter-
tawa bergelak-gelak. "Kau
memang seorang punggawa
yang setia, Campa. Kau patut
mendapat kepercayaan
dari ayahanda. Tapi kalau kau
tetap nekat, Malaikat
Kematian akan benar-benar datang
menjemput nya-
wamu!"
Menerima ancaman yang bernada
kematian itu,
nyali Campa tak menjadi ciut.
Bahkan ketika melihat
pergelangan tangan kanan Dewi
Ikata telah berubah
merah membara akibat ilmu
'Pukulan Api Neraka',
Campa sama sekali tak beranjak
dari tempatnya berdi-
ri.
"Hei, Campa!" hardik
Pendekar Wanita Gila.
"Berpikirlah sekali lagi
sebelum aku menjatuhkan tan-
gan maut terhadapmu!"
Campa menggeleng lemah.
"Tidak, Tuan Putri. Saya
tetap pada pendirian
semula...."
Dewi Ikata mendengus. Kaki
kirinya menjejak
tanah. Ringan sekali tubuh gadis
ini melayang. Kepa-
lan tangan kanannya yang
terkepal meluncur deras
hendak mengepruk kepala Campa.
Campa terlihat pasrah saja
menerima kema-
tian. Ketika merasakan sambaran
hawa panas tertuju
ke arahnya, Campa memejamkan
mata. Kepalan tan-
gan kanan Dewi Ikata yang
berwarna merah membara
terus meluncur tanpa tercegah
lagi! Sebuah peristiwa
mengerikan akan terjadi.
Namun...
Duk...!
Sesosok bayangan hijau
berkelebat menangkis
pukulan Pendekar Wanita Gila.
Selamatlah jiwa Cam-
pa.
"Bang..., eh...?"
Dewi Ikata tak melanjutkan
umpatannya. Sosok
yang baru hadir itu adalah
Arumsari atau Dewi Tangan
Api, gurunya yang pertama.
Pantas nenek itu berani
menangkis pukulan Dewi Ikata.
Karena jangankan len-
gan manusia, besi pun bisa lumer
terkena pukulan pu-
tri tunggal Adipati Danubraja
ini.
"Kau jangan sembarangan
menjatuhkan tangan
maut, Ika!" ujar Dewi
Tangan Api memperingatkan.
Nenek yang masih terlihat cantik
dengan tubuh sintal
ini menatap muridnya dengan mata
mendelik.
"Maafkan Ika, Eyang. Ika
khilaf," kilah Pende-
kar Wanita Gila dengan kepala
tertunduk.
"Ha ha ha...," Dewi
Tangan Api tertawa lunak.
"Kau khilaf atau sedang
kumat gendengmu?" katanya
dengan tersenyum.
Dewi Ikata tak dapat menjawab
pertanyaan gu-
runya. Sementara Campa yang
telah terbebas dari lu-
bang kematian hanya dapat
berdiri termangu-mangu.
Namun, punggawa kadipaten ini
jadi terkesiap ketika
Dewi Tangan Api menatapnya
dengan mata mendelik.
"Kau sudah kuselamatkan!
Apa lagi yang kau
inginkan? Segera pergi dari
tempat ini!" usir Dewi Tan-
gan Api.
"Maaf, Nek. Saya harus
menjalankan tugas dari
Gusti Adipati Danubraja,!"
sahut Campa dengan badan
terbungkuk memberi penghormatan.
Bagaimanapun
Dewi Tangan Api telah
menyelamatkan nyawanya. Ma-
ka, selayaknya Campa
menghaturkan rasa hormat.
"Jangan bersikap bodoh, Punggawa!
Aku telah
menghadap Adipati Danubraja.
Urusan Dewi Ikata dis-
erahkan kepadaku. Maka, tak
perlu lagi kau berada di
tempat ini. Kembalilah ke
pendapa kadipaten. Kau te-
lah menjalankan tugas dengan
baik. Adipati Danubraja
maupun Gusti Rara Anggi tidak
akan kecewa. Lagi pu-
la, di pendapa kadipaten
tenagamu lebih dibutuhkan,"
sahut Dewi Tangan Api.
"Benarkah demikian?"
tanya Campa ragu.
"Nama besar Dewi Tangan Api
menjadi jami-
nannya."
Melihat kesungguhan guru pertama
Dewi Ikata,
Campa menganggukkan kepala.
Tampaknya keteran-
gan Dewi Tangan Api cukup bisa
dipercaya. Campa la-
lu menjura hormat dan memohon
diri.
"Semoga Tuhan selalu
bersama Tuan Putri Dewi
Ikata...," doa Campa untuk
Pendekar Wanita Gila sebe-
lum pergi.
"Terima kasih, Campa.
Maafkan perlakuan ka-
sarku barusan. Aku
menyesal...," sahut Dewi Ikata.
"Sampaikan salamku pada
ayahanda dan ibunda ka-
takan kalau beliau berdua tak
perlu khawatir lagi ter-
hadap keselamatanku. Aku akan
bersama guruku
sampai saatnya nanti kembali ke
pendapa kadipaten."
Sekali lagi Campa membungkuk
hormat. Lalu
membalikkan badan dan berlalu
dari hadapan Dewi
Ikata serta Dewi Tangan Api.
"Kudengar kau telah berguru
pada saudara
kandungku yang bergelar si
Perangai Gila, Ika...," ujar
Dewi Tangan Api pada Dewi Ikata.
"Benar, Eyang. Tapi beliau
sekarang sudah me-
ninggal."
"Kasihan sekali. Sekar
Arum. Hidupnya tidak
bahagia. Sayang, pada hari-hari
terakhirnya aku tidak
bisa menemani," desah Dewi
Tangan Api dengan wajah
muram. Tapi dengan segera nenek
ini berusaha men-
gusir rasa sedih dalam hatinya.
Lalu, ditatapnya wajah
Dewi Ikata dalam-dalam.
"Kudengar pula sebelum
meninggal si Perangai
Gila menyalurkan seluruh tenaga
dalamnya ke tu-
buhmu. Benar begitu, Ika?"
tanya Dewi Tangan Api,
yang rupanya mengetahui banyak
apa yang dialami
muridnya selama dalam
pengembaraan.
"Benar, Eyang. Sesungguhnya
hal itu sama se-
kali tidak Ika inginkan. Karena,
Ika tahu tindakan
Eyang Sekar Arum akan berakibat
buruk terhadap di-
rinya sendiri. Tapi Ika tak bisa
menolak...," tutur Pen-
dekar Wanita Gila. Sosok si
Perangai Gila yang pernah
menyelamatkan nyawanya terbayang
kembali dalam
ingatan putri tunggal Adipati
Danubraja ini (Tentang si
Perangai Gila, baca episode :
"Malaikat Bangau Sakti"
dan "Dendam Para
Pengemis").
"Kematian tak perlu
disesali, Ika. Cepat atau
lambat semua manusia pasti akan
mengalaminya.
Yang perlu kita ingat adalah ke
mana kaki mesti di-
langkahkan. Mengikuti jalan
lurus atau menyimpang.
Kalau langkah telah mengikuti
jalan lurus, kematian
bukan lagi sesuatu hal yang
harus ditakutkan. Semoga
arwah si Perangai Gila diterima
oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa."
Pendekar Wanita Gila tertunduk dalam. Ha-
tinya turut berdoa untuk arwah
si Perangai Gila yang
pernah menjadi gurunya.
"Ika...," panggil Dewi
Tangan Api.
"Ya, Eyang."
"Kukira kau telah memiliki
tenaga dalam yang
cukup sempurna. Karena itu, aku
akan menurunkan
salah satu ilmu andalanku. Ilmu
itu belum sempat ku-
berikan kepadamu karena kita
keburu berpisah."
"Ilmu apa, Eyang?"
tanya Dewi Ikata dengan
mata bersinar karena rasa
senang.
"Ilmu 'Rambut Penyambar
Sukma'."
Mata Dewi Ikata mengerjap pelan.
Seulas se-
nyum tersungging di bibirnya.
Gadis ini kemudian ber-
sujud di hadapan Dewi Tangan Api.
***
4
Senja merayap menyapa sang Dewi
Malam. Ge-
lap menghantar kelam. Namun,
sunyi malam di hala-
man Kuil Saloka telah
terobek-robek. Jerit kematian
dan denting senjata tajam beradu
menenggelamkan
suara-suara serangan malam.
Cahaya rembulan cukup terang
untuk mem-
bantu mengenali siapa yang
sedang bertempur. Tiga le-
laki kekar anggota Empat
Begundal Dari Gua Larangan
tengah mengamuk ganas dengan
pedang di tangan.
Mereka tak lain Tunggul, Boma,
dan Gangsar. Sedang-
kan lawan-lawan mereka adalah
belasan prajurit kadi-
paten bersenjata pedang dan
tombak. Prajurit-prajurit
itu bertempur bahu membahu
dengan dibantu pulu-
han anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Dilihat dari kelebatan tubuh dan
sambaran pe-
dang di tangan Tunggul, Boma,
dan Gangsar tampak-
nya ketiga lelaki ini berada di
atas angin. Telah belasan
tubuh lawan bergeletakan di
tanah tanpa nyawa. Dan
tampaknya mereka akan terus
menyebar kematian.
Tapi, para prajurit dan anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bukanlah
orang-orang bernyali ciut. Wa-
lau terdesak, mereka terus
memberi perlawanan.
Para prajurit kadipaten itu
memang mengem-
ban tugas dari Adipati Danubraja
untuk menumpas
Empat Begundal Dari Gua
Larangan. Keempat orang
itu telah banyak membuat
kekacauan. Seperti yang
kali ini mereka lakukan dengan
menyerang para pen-
gemis yang tidak bersalah
apa-apa.
Di halaman samping kuil Saloka
juga terlihat
sebuah pertempuran seru. seorang
lelaki berewokan
sedang bertempur sengit melawan
remaja tampan ber-
pakaian putih penuh tambalan.
Lelaki brewokan yang
tak lain Gentho, Pemimpin Empat
Begundal Dari Gua
Larangan ini terus mencecar si
remaja tampan dengan
kelebatan pedangnya dalam
jurus-jurus ampuh. Tapi
walau si remaja tampan hanya
bertangan kosong, dia
cukup mampu melayani serangan
Gentho. Bahkan,
beberapa kali kepala lawan
nyaris kena pukul.
"Bangsat!" umpat
Gentho. "Kucincang tubuhmu
menjadi serpihan daging!"
Remaja tampan itu cuma
mendengus. Cepat
sekali dia kemudian menyodok
perut Gentho dengan
telapak kaki kiri. Gentho
berusaha menghindari den-
gan mempergunakan tebasan
pedangnya. Tapi, telapak
tangan kiri si remaja justru
mendarat di kepalanya.
Plak...!
"Mati kau sekarang, Cecurut
Busuk!" Terdengar
teriakan nyaring si remaja.
Lalu, dengan kelebatan tu-
buh yang luar biasa cepat,
tahu-tahu sebuah tendan-
gan bersarang di dada Gentho.
Kontan tubuh lelaki be-
rewokan itu mencelat jauh dan
jatuh terbanting di ta-
nah keras. Tapi, laki-laki itu
dengan sigap segera
bangkit berdiri dan siap
melanjutkan pertempuran.
Tiba-tiba, tiga jerit kesakitan
terdengar dari ha-
laman depan Kuil Saloka. Si
remaja tampan terkesiap.
Tiga orang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti terlempar ke tanah dengan
tubuh berlumuran
darah.
Remaja tampan itu menggeram
marah. Sekejap
kemudian, tubuhnya melayang
cepat. Dan....
Plak! Plak! Plak!
Tiga kali berturut-turut telapak
tangan kanan
dan kiri si remaja berhasil
mendarat di kepala Tung-
gul, Boma, dan Gangsar. Tiga
lelaki itu mengaduh ke-
sakitan. Tubuh mereka
terpelanting sebelum jatuh ter-
jerembab di tanah. Namun,
seperti halnya dengan
Gentho, mereka pun dapat bangkit
lagi tanpa kurang
suatu apa. Semua orang yang
melihat kejadian ini jadi
terperangah kaget.
Si remaja pun terpaku keheranan.
Telapak tan-
gannya tadi dialiri tenaga dalam
penuh. Jangankan
tubuh manusia, batu sebesar
kerbau pun akan hancur
berkeping-keping bila terkena
tamparan. Kini, bagai-
mana mungkin Empat Begundal Dari
Gua Larangan
bisa bertahan?
Sewaktu si remaja berdiri
terpaku terbawa rasa
herannya, berkelebatan sesosok
bayangan. Dengan
senjata pedang bayangan itu
berusaha menebar leher!
"Awas, Suro...!"
teriak beberapa orang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti.
Si remaja terkesiap. Sementara
gerakan bayan-
gan itu sangat cepat. Nyawa si
remaja tampan benar-
benar berada di ujung tanduk.
Duk...!
"Argh...!"
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu sesosok
bayangan putih berkelebat cepat
memukul tengkuk
bayangan yang bersenjata pedang.
Akibatnya, tubuh
lelaki berpedang itu jatuh
tersungkur. Kini terlihat je-
las siapa dia. Ternyata Gentho,
Pemimpin Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan.
"Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan...!" seru si
remaja setelah tahu kalau
penolongnya adalah seorang
kakek berjubah putih yang tak
lain Banjaranpati.
"Tampaknya malapetaka telah
terjadi di tempat
ini, Suro," kata Bayangan
Putih Dari Selatan, menye-
but nama si remaja yang memang
Suropati atau Pen-
gemis Binal.
"Kebetulan sekali kau
datang, Kek. Tolong ban-
tu aku melenyapkan Empat
Begundal Dari Gua Laran-
gan itu."
Bersamaan dengan selesainya
ucapan Suropati,
Gentho bangkit dan langsung
melancarkan serangan
untuk membabat pinggang.
Kelebatan cahaya perak
itu menimbulkan suara mendesing.
Tapi, kali ini Suro-
pati telah berada dalam
kewaspadaan penuh. Dengan
sigap dia menghindar. Lalu
ditendangnya pergelangan
lengan kanan Gentho yang
memegang pedang.
Pertempuran sengit segera
berlangsung kemba-
li. Dengan kedatangan Bayangan
Putih Dari Selatan,
kini Suropati beserta anak
buahnya dan belasan pra-
jurit kadipaten berada di atas
angin. Namun, kesaktian
Empat Begundal Dari Gua Larangan
benar-benar luar
biasa. Mereka dapat menahan
pukulan dan tendangan
yang datang bertubi-tubi.
Kemplangan tongkat, tusu-
kan tombak, dan sambaran pedang
pun tak membuat
tubuh mereka terluka.
Tentu saja keadaan ini membuat
Pengemis Bi-
nal dan Bayangan Putih Dari
Selatan jadi penasaran.
Tapi sebelum dua pendekar ini
mengeluarkan ilmu an-
dalan masing-masing, terdengar
suara suitan nyaring.
Lalu, secara bersamaan Empat
Begundal Dari Gua La-
rangan menghemposkan tubuh.
Mereka mendarat di
belakang seorang nenek tua renta
yang tahu-tahu te-
lah berdiri di tepi halaman
depan Kuil Saloka.
"Ratu Air akan segera
melampiaskan sebagian
dendam kesumatnya!" ujar
nenek berpakaian serta bi-
ru itu. Suaranya terdengar
begitu angkuh.
"Hmm.... Agaknya kau yang
bergelar Ratu Air.
Melihat wujudmu yang buruk rupa
itu, tak pantas kau
disebut 'Ratu'. Kau lebih tepat
diberi julukan 'Tikus
Comberan'!" ejek Suropati
dengan geram kemarahan.
Sementara, para anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti dan prajurit
kadipaten menebar di kiri
dan kanannya. Bayangan Putih
Dari Selatan berdiri
berdampingan dengan Suropati.
Ratu air tersenyum sinis.
Pandangan matanya
terlihat sangat meremehkan
lawan.
"Aku tahu kau telah
memiliki ilmu 'Pukulan
Salju Merah'. Namun, jangan
harap ilmu milik Nyai
Catur Asta itu sanggup
menghadapi kekuatan 'Sinar
Perak Cairkan Wujud'!"
Mendengar kesungguhan dalam
ucapan Ratu
Air, Pengemis Binal memberi
isyarat kepada anak
buahnya dan para prajurit
kadipaten untuk menying-
kir. Dan, tampaknya orang-orang
itu pun menyadari
keadaan. Mereka segera menjauh
dan mencari tempat
berlindung. Karena malapetaka
justru akan menimpa
bila mereka tetap bertahan di
halaman Kuil Saloka.
Kini Suropati dan Ratu Air
saling beradu pan-
dang dengan wajah tegang. Empat
Begundal Dari Gua
Larangan tetap berdiri tegak di belakang Ratu Air.
Bayangan Putih Dari Selatan
tampak mengerutkan
kening. Kakek ini tahu Suropati
akan segera menga-
wasi pertarungan antara hidup
dan mati.
"Suro...," panggil
Bayangan Putih Dari Selatan.
Kakek itu tampak agak khawatir.
Kakek berjubah pu-
tih ini memang mengetahui kalau
Pengemis Binal
mempunyai ilmu kesakitan tinggi,
tapi sering kali pe-
muda itu bertindak nekat tanpa
perhitungan.
"Tenanglah, Kek...,"
kata Suropati berusaha
meyakinkan Bayangan Putih Dari
Selatan akan tinda-
kannya. "Aku sedang
mengemban tugas dari seorang
tokoh yang bernama Nyai Catur
Asta. Aku akan mele-
nyapkan keangkaramurkaan Ratu
Air. Karena urusan
ini tidak ada sangkut pautnya
denganmu, sebaiknya
kau menyingkir saja,
Kek..."
Bayangan Putih Dari Selatan
menatap wajah
Pengemis Binal lekat-lekat.
"Menciptakan ketenteraman
di rimba persilatan
adalah tanggung jawab
bersama," katanya. "Bila dalam
rimba persilatan telah bercokol
seorang pengacau, ma-
ka tugas untuk menyingkirkannya
adalah kewajiban
bersama."
Pengemis Binal tak berkata-kata
lagi. Dibalas-
nya tatapan Bayangan Putih Dari
Selatan. Remaja ko-
nyol itu tak meragukan
kepandaian kakek berjubah
putih yang berdiri di
sampingnya. Kakek inilah yang
dulu pernah menurunkan ilmu
'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma' kepada dirinya.
Kehebatan ilmu itu bukan
alang kepalang. Tampaknya kali
ini pun Pengemis Bi-
nal akan menerima uluran tangan
kakek itu lagi.
Ratu Air yang turut mendengar
ucapan Bayan-
gan Putih Dari Selatan tadi
terdengar tertawa terba-
hak-bahak.
"Banjaranpati," ujar
nenek itu kemudian. "Me-
mang ada baiknya kau berada di
pihak bocah gem-
blung itu. Biar sekalian kukirim
nyawamu ke neraka,
menyusul gurumu yang bergelar
Raja Syair. Ilmu
'Tapak Suci Singkirkan Badai'
miliknya tak sanggup
menghadapi kehebatan 'Sinar
Perak Cairkan Wujud'!"
Ratu Air lalu kembali tertawa
keras dengan
pongahnya. Bayangan Putih Dari
Selatan yang men-
dengar penuturan si nenek tampak
mengerutkan ken-
ing heran. Baru tadi siang dia
bertemu dengan Raja
Syair yang jiwanya telah menitis
ke tubuh seorang bo-
cah. Bagaimana mungkin Ratu Air
mengatakan kalau
dia telah membunuh bocah titisan
itu? Tapi melihat
kesungguhan Ratu Air, kontan
Bayangan Putih Dari
Selatan menggeram marah.
Lewat cahaya rembulan Ratu Air
dapat melihat
wajah Bayangan Putih Dari
Selatan berubah merah
padam. Hal itu justru membuat
Ratu Air tertawa se-
makin keras. Lalu, dia
mengangkat tongkat berkepala
naga di tangan kanannya
tinggi-tinggi.
"Dengan Tongkat Sakti di
tangan, sang Ratu Air
akan semakin banyak meminta
korban!" teriak si ne-
nek lantang.
Suropati mengetahui tongkat yang
dibawa Ratu
Air adalah lambang persatuan
perkumpulannya, me-
mandang dengan sinar mata
menyala. Apalagi setelah
teringat bagaimana Ratu Air
merampas tongkat itu di
puncak Bukit Pangalasan.
Pengemis Binal terdengar
mendengus keras. Terlintas dalam benaknya sosok
Gede Panjalu yang terluka dalam
parah. Beberapa
anak buahnya juga menemui ajal
karena berusaha
mempertahankan Tongkat Sakti
itu.
"Keparat kau, Nenek Muka
Wewe!" umpat Su-
ropati keras.
Ratu Air tertawa untuk kesekian
kalinya.
"Tak perlu banyak cincong
lagi. Segera kelua-
rkan ilmu 'Pukulan Salju Merah'
milik Nyai Catur Asta.
Aku ingin tahu apakah ilmu itu
sanggup menandingi
kekuatan 'Sinar Perak Cairkan
Wujud' yang telah ku-
sempurnakan!"
"Kalau begitu,
bersiap-siaplah, Nenek Edan!"
Pengemis Binal mementangkan
pergelangan
tangannya ke samping, lalu
ditarik perlahan-lahan ke
depan untuk kemudian ditarik
lagi ke belakang sejajar
pinggang. Begitu tenaga dalamnya
tersalur, dari pang-
kal lengan Suropati memancar
sinar merah yang san-
gat menyilaukan mata.
Bersamaan dengan itu Ratu Air
mencengkeram
erat Tongkat Sakti dengan kedua
tangannya. Suara
dengusan keluar dari mulut nenek
itu. Dan, sinar ke-
hijauan yang memancar dari
batang tongkat menyu-
sup masuk ke pergelangan tangan
Ratu Air. Sebentar
kemudian, sekujur tubuh Ratu Air
memancarkan sinar
perak kehijau-hijauan.
"Malaikat Kematian segera
menjemput nyawa-
mu, Bocah Gemblung!" seru
Ratu Air seraya menan-
capkan Tongkat Sakti di samping
kirinya. Tongkat itu
amblas ke tanah hingga
setengahnya.
Kemudian, kedua tangan Ratu Air
ditarik ke be-
lakang sejajar pinggang. Sekejap
saja dengan cepat se-
kali dihentakkan ke depan.
Wuusss...!
Seberkas sinar perak meluncur
deras dari ke-
dua telapak tangan Ratu Air.
Sinar itu membias lebar
dan meluruk sangat cepat.
Pengemis Binal yang telah
menyalurkan selu-
ruh kekuatan ilmu 'Pukulan Salju
Merah' ke kedua
pergelangan tangannya segera
pula menghentakkan-
nya ke depan.
Wuuusss...!
Dari kedua telapak tangan
Pengemis Binal me-
luncur sinar merah yang sangat
menyilaukan mata.
Bayangan Putih Dari Selatan yang
ingin membantu
Suropati bergegas pula
menyorongkan kedua telapak
tangannya. Seberkas cahaya putih
bening yang ber-
lambarkan ilmu 'Pukulan Tanpa
Bayangan' turut me-
mapak biasan sinar perak Ratu
Air.
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan dahsyat memecah
kesunyian ma-
lam. Halaman depan Kuil Saloka
yang semula terang
benderang semakin terlihat
terang. Tubuh Pengemis
Binal dan Bayangan Putih Dari
Selatan mencelat jauh,
lalu jatuh bergulingan di atas
tanah. Sementara Ratu
Air tetap berdiri tegak di
tempatnya.
Di udara terlihat seberkas sinar
perak men-
gambang. Pada waktu terjadi
ledakan dahsyat tadi, si-
nar menggidikkan itu tertahan
oleh dua berkas sinar
merah dan putih bening. Tapi,
dua sinar yang timbul
dari kekuatan Pengemis Binal dan
Bayangan Putih Da-
ri Selatan itu kemudian lenyap.
Belum dapat Pengemis Binal dan
Bayangan Pu-
tih Dari Selatan bangkit
berdiri, sinar perak yang men-
gambang di udara tiba-tiba
meluruk ke arah mereka.
Itu berarti lubang kematian akan
segera menelan jiwa
mereka!
"Kejahatan tidak selamanya
menang!"
Terdengar sebuah seruan yang
dibarengi kele-
batan dua sosok tubuh.
Sosok-sosok bayangan itu
menyambar tubuh Pengemis Binal
Dan Bayangan Pu-
tih Dari Selatan.
"Bangsat!" umpat Ratu
Air yang hanya dapat
melihat dua sosok bayangan itu
menghilang.
Sementara biasan sinar perak
yang semula ter-
tuju ke tubuh Pengemis Binal dan
Bayangan Putih Da-
ri Selatan langsung menghantam
pepohonan. Peman-
dangan mengerikan segera
terlihat. Pepohonan itu be-
rubah wujud menjadi cairan
kental berwarna keputih-
putihan!
***
Emoticon