Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Misteri Pusaka Pedang Gaib
128 hal.
1
Seorang gadis cantik berkebaya
hijau ber-
diri mematung di perempatan
jalan utama Desa
Lebaksiu. Sikapnya seperti orang
bingung. Pan-
dangannya menebar ke seluruh
penjuru seperti
ada yang dicarinya. Rambutnya
yang panjang di-
biarkan tergerai, membuat
hembusan angin lelu-
asa memainkannya.
Merasa tidak ada yang menarik
perhatian-
nya, gadis bertubuh sintal ini
melanjutkan lang-
kahnya kembali. Diambilnya jalan
yang menuju
ke pintu gerbang kota.
Saat pandangannya tertumbuk pada
empat
lelaki yang berdiri di depan
kios pakaian, si gadis
memperlambat jalannya. Ada
pikiran yang ber-
gayut di benaknya.
"Melihat bentuk pakaian dan
pedang yang
terselip di punggung, orang
berbaju merah itu
tentu mengerti ilmu silat.
Ketiga temannya walau
berpakaian kedodoran, agaknya
juga mengerti il-
mu silat. Hmmm.....Aku harus berbuat seperti
yang telah kurencanakan...,"
gumam gadis berke-
baya hijau dengan tarikan senyum
tipis.
Cara berjalan si gadis kini
tampak dibuat-
buat. Langkahnya pendek-pendek.
Sementara
dua bukit indahnya terlihat
bergoyang-goyang.
Ketika berada di hadapan empat
lelaki yang se-
perti sedang menantikan sesuatu,
kepalanya me-
noleh seraya melempar kerlingan.
Tangan kirinya
melambai, bermakna ajakan.
"Kau kenal gadis itu,
Randu?" tanya lelaki
berbaju merah yang punggungnya
tersampir sebi-
lah pedang pada lelaki berbaju
kuning.
"Tidak," jawab lelaki
berbaju kuning yang
dipanggil Randu.
"Kau?" lelaki berbaju
merah memandang
kepada dua temannya yang memakai
baju putih
dan hitam secara bergantian.
Melihat dua temannya
menggelengkan ke-
pala, kening lelaki berbaju
merah berkerut.
"Kita tidak mengenal gadis
itu. Tapi kenapa
dia melambaikan tangannya ke
arah kita?" ka-
tanya setengah menggumam. Tapi,
teman-
temannya masih dapat
mendengarnya.
"Persetan dengan-gadis itu,
Garundi! Lu-
pakan dia! Urusan kita di sini
belum selesai!" de-
sis Randu.
"Bodoh! Kita tak boleh
melewatkan kesem-
patan ini. Tampaknya gadis tadi
ada minat kepa-
da salah seorang di antara
kita," ujar lelaki berba-
ju merah yang ternyata bernama
Garundi. "Kita
ikuti dia. Urusan di kota
Kadipaten Bumiraksa ini
kita tunda dulu. Ada urusan yang
lebih menye-
nangkan. Bukan begitu, Baskara?
Walengka?"
Lelaki berbaju putih yang
bernama Baska-
ra dan lelaki berbaju hitam yang
dipanggil Wa-
lengka mengangguk. Tampaknya
mereka ini me-
nyetujui usul Garundi.
Sementara, Randu
bersungut-sungut keti-
ka tiga temannya tergopoh-gopoh
membuntuti
gadis berkebaya hijau. Hati
lelaki berbaju kuning
akhirnya lumer juga. Segera dia
berlari, mengikuti
langkah ketiga temannya.
Sementara itu, langkah si gadis
berkebaya
hijau telah sampai di pintu
gerbang kota. Senyum
manisnya diumbar ke arah empat
orang prajurit
penjaga.
Prajurit-prajurit kadipaten ini
pun saling
berpandangan. Dan mata mereka
jadi terbeliak
penuh minat melihat tubuh bagian
atas si gadis
yang sengaja
digoyang-goyangkan. Namun minat
mereka pupus, dan langsung
berubah jadi cibiran
ketika muncul empat lelaki
mengikuti langkah si
gadis.
"Nona...! Nona...!"
panggil Garundi, setelah
agak jauh meninggalkan pintu
gerbang kota.
Gadis berkebaya hijau
menghentikan lang-
kah. Dengan gerakan gemulai
badannya berbalik.
"Tuan memanggil
Swani?" tanya si gadis
bernama Swani sambil melempar
senyum manis
pada empat lelaki yang telah
berdiri di hadapan-
nya. Suaranya terdengar manja.
"O, jadi namamu
Swani?" Garundi balik
bertanya dengan kepala sedikit
terangkat.
Si gadis menunduk. Kali ini
sikapnya ma-
lu-malu, seperti salah tingkah.
"Benar namamu Swani?"
ulang lelaki ber-
baju merah yang wajahnya lebar
dihiasi kumis ti-
pis ini.
"Ya, Tuan," sahut
Swani, menggemaskan
sekali nada suaranya.
"Jangan panggil 'Tuan'.
Namaku Garundi,"
ujar lelaki berbaju merah.
"Aku Walengka," timpal
lelaki berbaju hi-
tam. "Aku Baskara,"
unjuk lelaki berbaju putih.
"Aku Randu," lelaki
berbaju kuning turut mem-
perkenalkan diri.
Swani tampak bertambah
malu-malu. Ke-
palanya menunduk. Jemari
tangannya sibuk me-
milin-milin ujung kebayanya
membuat gemas
empat lelaki yang makin
menikmati kecantikan si
gadis. Apalagi ketika mulutnya
mendesah-desah.
Suaranya seperti hendak meminta
pertolongan,
tapi malu mengatakannya.
"Sebenarnya kau hendak ke
mana, Wu-
lan?" tanya Garundi.
Swani tak menjawab. Kini jemari
tangan-
nya sibuk memainkan kancing
kebayanya.
"Kalau kau hendak minta
bantuan, kata-
kan saja. Tak usah
malu-malu," desak Garundi,
penuh semangat. Seolah dia
hendak menjadikan
dirinya.
"Tapi...."
Swani hendak mengatakan sesuatu,
tapi
suaranya seperti tertahan di
tenggorokan.
"Sudah kubilang, tak usah
malu-malu."
Swani mengangkat wajahnya.
"Aku memang butuh bantuan.
Tapi, yang
bisa membantuku hanya orang
pandai berkela-
hi...," tuturnya dengan
raut wajah sungguh-
sungguh.
Garundi tertawa bergelak. Sigap
sekali pe-
dang yang terselip di
pinggangnya dihunuskan.
"Kau perhatikan
baik-baik!" ujar lelaki be-
rumur sekitar tiga puluh tahun
ini kepada Swani.
Swani tersenyum senang ketika
Garundi
memperlihatkan satu jurus permainan pedang-
nya. Tubuhnya meliuk-liuk ke
sana kemari den-
gan gerakan kaki yang lincah.
Tangannya mengi-
bas secara menyilang ke kiri dan
kanan. Kadang
pula menusuk, seolah di depannya
ada sasaran
yang ditujunya. Garundi lantas
menutup gera-
kannya dengan pedang tegak di
depan wajah.
Karena tak mau kalah, ketiga
teman Ga-
rundi meloloskan ikat pinggang
yang ternyata be-
rupa cambuk. Bersamaan mereka
memainkan sa-
tu jurus ilmu cambuk. Tiga lidah
cambuk tampak
menggeliat kesana kemari,
memperdengarkan su-
ara ledakan keras.
"Ya..., ya! Ternyata
Tuan-tuan adalah orang
pandai," puji Swani.
Ketiga teman Garundi
menghentikan gera-
kan disertai tawa senang. Mereka
mengusap pe-
luh di wajah masing-masing. Dan
mata mereka
tak urung pula mata Garundi,
jadi melotot ketika
melihat Swani membusungkan dada.
Salah satu
kancing kebayanya terbuka,
menampakkan ke-
mulusan kulit dua bukit indah di
balik kain hijau
itu. Jakun mereka kontan
naik-turun, berusaha
menelan ludah berkali-kali untuk
membasahi
tenggorokan yang mendadak
kering.
"Tuan-tuan bersedia
menolong Swani, bu-
kan?" pinta Swani dengan
suara manja.
"Ya..., ya..., ya!"
empat lelaki ini kontan me-
nyanggupi. Pandangan mereka tak
lepas dari da-
da kenyal si gadis.
"Sekarang ikuti
Swani...."
Gadis berkebaya hijau melempar
senyum
memikat. Tubuhnya berbalik, lalu
melangkah ge-
mulai. Segera Garundi dan ketiga
temannya men-
gikuti langkah si gadis.
Beberapa lama kemudian, langkah
keem-
pat lelaki itu jauh tertinggal.
Segera mereka berla-
ri, tapi tetap saja tak dapat
menyusul langkah si
gadis. Ketika menambah kecepatan
lari, Swani te-
tap tak dapat tersusul. Padahal,
gadis itu cuma
berjalan biasa!
"Aneh...," desah
Garundi. "Kita sudah ber-
lari-lari sekuat tenaga, tapi
gadis itu tetap saja
berada jauh di depan...."
"Silumankah dia?"
cetus Walengka, men-
dadak berpikir tak enak.
"Cepatlah...!" Sebelum
ada yang menyahuti
ucapan Walengka, telah terdengar
teriakan. Nun
jauh di sana, Swani tampak
melambaikan tan-
gannya.
Garundi dan teman-temannya
saling ber-
pandangan. Ketika melihat Swani
menarik kain
yang dikenakan, mata keempat
lelaki ini melotot
lagi. Walau tak seberapa jelas,
tapi masih dapat
melihat paha mulus Swani. Saat
itu pula seman-
gat mereka bangkit kembali.
"Tunggulah di situ!"
teriak Garundi seraya
berlari cepat. Ketiga temannya
segera mengikuti
dari belakang.
Seperti tak sabar, Swani
melangkah lagi.
Hanya berjalan biasa, tapi
Garundi dan teman-
temannya yang berlari tetap tak
dapat menyusul-
nya. Agaknya nafsu kotor yang
telah menutupi
akal sehat, membuat mereka tak
menyadari kea-
daan. Hingga tanpa terasa,
Garundi dan ketiga
temannya telah berada di kaki
Bukit Ranuglagah
yang terletak di utara kota
Kadipaten Bumiraksa.
Walau belum seberapa jauh
meninggalkan
kota, tapi napas mereka
terengah-engah kini.
Dan, mereka pun celingukan,
karena tiba-tiba so-
sok Swani menghilang entah ke
mana.
"Setan...!" desis
Randu, menyimpan rasa
takut. "Bukan! Dia bukan
setan!" sergah Garundi.
"Tidak ada setan pada hari
siang seperti ini!"
Garundi tampak celingukan terus.
Dia ber-
jalan ke sana kemari mencari
Swani. Mau tak
mau, ketiga temannya turut pula
mencari. Tiba-
tiba....
"Heh?!"
Mereka berteriak kaget ketika
berkelebat
sesosok bayangan hitam yang
langsung mendarat
di depan mereka.
"Kalian mencari
siapa?!" bentak Sosok
bayangan hitam yang ternyata
seorang pemuda
berpakaian serba hitam. Wajahnya
halus tampan
dihiasi kumis dan jenggot tipis.
"Kami sedang mencari
seorang gadis ber-
kebaya hijau," sahut
Garundi, memberanikan diri.
Siapa tahu si pemuda dapat
menunjukkan di ma-
na Swani berada. Begitu pikirnya
Pemuda berpakaian serba hitam
tersenyum
tipis.
"Aku tak melihat seorang
pun manusia di
tempat ini. Kecuali,
kalian...."
"Tapi..., dia benar-benar
lewat sini tadi...."
"Seperti Paman ini tak
mempercayai uca-
pan ku. Sejak pagi aku berada di
tempat ini. Tak
ada manusia yang lewat, kecuali
kalian!"
"Tapi..., tapi...."
"Sudahlah....," selak
si pemuda dengan su-
ara lebih lembut. "Lupakan
saja gadis itu. Aku
akan menunjukkan sesuatu yang
lebih menarik."
"Apa?" tanya Garundi
dan ketiga temannya,
hampir bersamaan.
"Sesuatu yang amat menarik.
Pasti kalian
tercengang dan
terkagum-kagum!"
"Coba katakan apa
itu?" desak Baskara.
"Apakah seorang gadis yang
lebih cantik daripada
Swani?"
"Siapa Swani?" pemuda
berkumis tipis ba-
lik bertanya.
"Gadis yang sedang kami
cari."
"Ah! Lupakan saja itu.
Ikuti aku sekarang.
Aku akan menunjukkan sesuatu
yang lebih hebat
daripada kecantikan seorang
gadis," ujar si pe-
muda.
"Katakan dulu apa
itu!" ujar Baskara, se-
tengah membentak.
Bibir si pemuda tersenyum tipis.
"Sebuah senjata
pusaka," katanya pelan.
"Aku tidak tertarik!"
sergah Baskara, cepat.
"Bodoh! Kalau kau
mendapatkan senjata
pusaka itu, akan menjadi manusia
sakti yang tak
tertandingi. Kau bisa berbuat
apa saja tanpa seo-
rang pun dapat menghalangi. Kau
bisa mencari
gadis-gadis cantik
sebanyak-banyaknya!"
"Benarkah itu?"
Baskara melongo.
Tiga teman lelaki lain yang
berdiri di ka-
nan-kirinya pun juga membulatkan
mulut.
"Bukan hanya itu,"
lanjut si pemuda. "Den-
gan senjata pusaka itu, kalian
dapat menjadi raja
di raja rimba persilatan. Dan
tentu saja, kalian
dapat mewujudkan semua
keinginan. Yah.... Ba-
rangkali kalian berjodoh dengan
senjata pusaka
itu."
Bujukan si pemuda berhasil.
Garundi dan
teman-temannya segera mengekor
tanpa curiga
sedikit pun, ketika pemuda
berpakaian serba hi-
tam, yang baru dikenal melangkah
ringan. Ru-
panya empat lelaki ini gampang
sekali percaya
pada perkataan orang. Tapi
apakah si pemuda tak
hendak membohongi mereka?
***
Garundi dan teman-temannya
benar-benar
dibuat tercengang dan
terkagum-kagum. Di da-
lam sebuah gua, masih di kaki
Bukit Ranuglagah,
pemuda berpakaian serba hitam
yang mengajak
mereka memperlihatkan sebilah
pedang pusaka
yang ujungnya menancap di
sebongkah batu. Bi-
lah pedang yang penuh ukiran
memancarkan ca-
haya merah gemerlapan. Sehingga,
dinding gua
turut berwarna merah. Sedangkan
sarung pedang
tergeletak tak jauh dari bilah
pedang yang berdiri
tegak lurus
"Itulah Pusaka Pedang
Gaib," jelas si pe-
muda.
"Pusaka Pedang Gaib?"
kejut Garundi dan
teman-temannya.
"Uts! Kalian tetap berdiri
di sini!" cegah si
pemuda saat melihat empat lelaki
yang berdiri di
sisinya hendak mendekati pedang
pusaka yang
memancarkan cahaya merah.
"Aku ingin melihat pedang
itu lebih dekat!"
ujar Garundi.
"Tidak cuma melihat. Tapi,
aku ingin me-
milikinya" tandas
Baskara.
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Si pemuda mendengus ketika
Garundi dan
ketiga temannya nekat hendak
menyentuh Pusa-
ka Pedang Gaib.
"Jangan mendekat!"
teriaknya.
Tapi, empat lelaki ini tak mau
peduli. Me-
reka terus berjalan mendekati
pintu besar di tem-
pat Pusaka Pedang Gaib
tertancap.
Disertai dengusan, si pemuda
menggenjot
tubuhnya. Tubuhnya berputaran
dua kali, lalu
mendarat ringan di hadapan empat
lelaki itu.
"Heh?!"
Terkejutlah Garundi dan
teman-temannya
ketika tahu-tahu si pemuda telah
berada di hada-
pan mereka.
Namun karena terbawa keinginan
meluap-
luap, keempat lelaki ini jadi
gelap mata. Garundi
langsung mencabut pedangnya yang
tersampir di
punggung. Sementara Walengka,
Baskara, dan
Randu meloloskan cambuk
masing-masing. Na-
mun sebelum mereka berbuat lebih
jauh....
"Hih...!"
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
Disertai geraman pemuda
berpakaian serba
hitam mengibaskan kedua
tangannya. Maka se-
kejap mata kemudian, Garundi dan
teman-
temannya jatuh terpelanting ke
lantai gua. Mere-
ka mendekap bagian wajah
masing-masing yang
tertampar.
"Pusaka Pedang Gaib adalah
milik Resi Ra-
ga Pamungkas," desis si
pemuda. "Dia akan me-
wariskan pedang pusaka itu
kepada siapa saja
yang berhak. Orang yang berhak
adalah yang ter-
cerdik di antara yang
tercerdik."
Garundi dan teman-temannya yang
telah
merasakan tamparan si pemuda
terdiam dengan
hati penasaran.
"Saat Pusaka Pedang Gaib
diwariskan ada-
lah tiga pekan besok, terhitung
mulai hari ini,"
lanjut si pemuda. "Sekarang
tugas kalian adalah
menyebarkan berita ini kepada
kaum rimba persi-
latan."
Garundi dan ketiga temannya
tetap diam.
"Kalian dengar
tidak?!" bentak si pemuda.
Keempat lelaki yang berdiri di
hadapan si
pemuda kontan mengangguk-angguk.
Tapi, agak-
nya Garundi hendak berbuat
curang. Perlahan-
lahan tubuhnya membungkuk dalam.
Diam-diam
diambilnya sebilah pisau kecil
dari balik bajunya.
Lalu, mendadak tangannya
mengibas ke arah si
pemuda!
Sing...!
"Heaaah...!"
Pemuda berpakaian serba hitam
tak beran-
jak dari tempatnya berdiri.
Namun dengan tela-
pak tangan kanan telanjang,
disampoknya pisau
yang melesat ke dada.
Tak! Crap!
"Aaa...!"
Garundi memekik tinggi. Lesatan
pisau
yang berbalik arah tahu-tahu
menancap di leher-
nya. Tubuhnya kontan jatuh
terjengkang sambil
memegangi lehernya. Sejenak dia
meregang nya-
wa, lalu diam untuk
selama-lamanya.
Walengka, Baskara, dan Randu
terkejut
bukan main. Mereka berdiri
takut-takut meman-
dang si pemuda.
"Jangan bunuh
kami...," ratap mereka,
dengan nyali ciut.
Seperti tak mau peduli, si
pemuda berbalik.
Dicabutnya Pusaka Pedang Gaib
yang menancap
di bongkahan batu. Dipandangnya
pamor pedang
itu sebentar.
Walengka, Baskara, dan Randu
kontan ter-
kencing-kencing, menduga hendak
dibunuh si
pemuda.
Wuutt...!
"Ohh...?!"
Dan mereka mendesah pasrah dengan
ma-
ta terpejam ketika si pemuda
membabatkan pe-
dang.
Blarrr...!
Timbul ledakan amat keras yang
dibarengi
jebolnya dinding gua di belakang
Walengka dan
kedua temannya.
"Aku tidak bermaksud
membunuh ka-
lian...," gumam si pemuda
enteng, sambil menya-
rungkan pedang. "Teman
kalian yang mati itu ka-
rena ulahnya sendiri."
"Ya..., ya, kami
mengerti...," desah Waleng-
ka dengan badan gemetar dan
suara tercekat di
tenggorokan.
"Masih ingat apa yang
kukatakan baru-
san?" tanya si pemuda,
tanpa membutuhkan ja-
waban. "Pusaka Pedang Gaib
ini milik Resi Raga
Pamungkas. Dia akan mewariskan
kepada orang
yang tercerdik, di antara yang
tercerdik pada tiga
pekan besok. Terhitung, mulai
hari ini.... Ingat
itu! Sebarkan berita ini kepada
kaum rimba persi-
latan. Awas kalau kalian tak
melakukannya. Ku-
cincang tubuh kalian menjadi
serpihan daging
untuk makanan anjing!"
"Ya..., ya! Kami akan
melakukannya,
Tuan...," gegas Walengka
dan kedug temannya.
Si pemuda tertawa bergelak. Lalu
dis-
orongkannya kedua telapak tangan
ke depan.
Wusss!
"Aaahh...!"
Timbul gelombang angin keras.
Disertai
pekikan kaget tubuh Walengka,
Baskara, dan
Randu terlontar dan jatuh
berdebam di luar gua.
Begitu bangun, mereka langsung
lari terbirit-birit
menuju kota Kadipaten Bumiraksa
***
2
"Apakah kabar yang kau
dengar dapat di-
pastikan kebenarannya,
Somagatra?" tanya seo-
rang pemuda kurus kecil
terbungkus pakaian pe-
nuh tambalan.
"Kenapa? Kau ragu,
Gadawesi?" tukas pe-
muda yang dipanggil Somagatra
balik bertanya.
Seperti temannya yang dipanggil
Gadawesi pemu-
da ini juga berpakaian penuh
tambalan. Hanya
saja, tubuhnya tampak lebih
tegap berisi.
"Aku tidak ragu, Somagatra.
Aku hanya
menanyakan, apakah kabar yang
kau dengar bu-
kan kabar burung semata,"
tegas Gadawesi se-
raya menghentikan langkah.
"Tapi, nada bicaramu
menandakan kalau
kau masih menyangsikan
keteranganku," rungut
Somagatra, seraya menghentikan
langkah pula.
Gadawesi menatap wajah temannya
lekat-
lekat.
"Aku merasa perlu
menanyakan itu. Kare-
na bagaimanapun juga, aku tak
mau kedatangan
kita di Bukit Ranuglagah hanya
mendapat keke-
cewaan. Lagi pula, aku takut
seandainya Kakek
Gede mengetahui perbuatan kita.
Bukankah be-
liau telah berpesan selama kita
masih memegang
tongkat, pantang mempergunakan
senjata tajam.
Apalagi dengan sengaja
mencari-carinya?" jelas
Gadawesi.
"Pesan tinggal pesan. Siapa
yang tak ingin
mendapatkan Pusaka Pedang Gaib?
Yakinlah...!
Setelah kita mendapatkan pedang
maha hebat
itu, sepuluh Kakek Gede pun tak
akan mampu
mengalahkan kita," kata
Somagatra, bernada
membujuk.
"Jadi, kau hendak
mengkhianati perkum-
pulan?"
"Tidak. Aku hanya ingin
memberi ketega-
san padamu bahwa dengan Pusaka
Pedang Gaib,
kita akan menjadi tokoh terpandang yang pilih
tanding."
Gadawesi tak menyambung
pembicaraan.
Setelah menghela napas panjang,
kakinya me-
langkah kembali. Sementara,
bibir Somagatra
tampak menyungging senyum.
Segera disusulnya
langkah kaki temannya yang
setengah berlari.
Di atas sana, awan berwarna
perak menga-
buti bentangan langit biru.
Hangat sinar mentari
menyapa pucuk-pucuk cemara yang
meliuk-liuk
lemah di punggung Bukit
Ranuglagah. Kabut
membubung ke angkasa bersama
geliatan alam
yang baru bangun dari tidurnya.
"Menurut desas-desus yang
terdengar, Pu-
saka Pedang Gaib mampu membunuh
orang tan-
pa melukainya terlebih
dahulu," kata Gadawesi
setelah sampai di puncak bukit.
"Benarkah itu,
Somagatra?"
Yang ditanya tak memberi
jawaban. Malah
pandangan matanya tertuju pada
jajaran pohon
cemara yang tadi dilalui.
Sikapnya seperti tengah
mengagumi panorama lereng bukit.
Tapi di balik
itu, ketegangan meliputi
hatinya.
"Kau tidak mendengar
pertanyaanku?" usik
Gadawesi, menepuk bahu
Somagatra.
"Aku mendengar. Tapi ada
sesuatu yang
lebih menarik
perhatianku...," sahut Somagatra,
setengah berbisik.
Melihat Somagatra bicara tanpa
mengalih-
kan pandangan, kening Gadawesi
berkerut. Tan-
pa sadar diikutinya pandangan
Somagatra.
"Apa yang kau lihat?"
tanya Gadawesi, pe-
nasaran.
"Kau perhatikan dengan
seksama jajaran
pohon cemara di lereng bukit
itu...," ujar Somaga-
tra sambil mengacungkan telunjuk
jari tangan
kanannya.
Gadawesi kontan menggeram. Dari
arah
yang ditunjukkan Somagatra,
terlihat sosok-sosok
manusia berpakaian serba merah
tengah berlari
cepat menuju puncak bukit.
"Hmmm.... Sepertinya
orang-orang Partai
Beruang Merah juga menginginkan
Pusaka Pe-
dang Gaib. Kalau mereka datang
bersama Kuda
Ayodra, mati kutu-lah kita...," desah Gadawesi,
seolah menyesali mengapa
menuruti kemauan
Somagatra ke tempat ini.
"Kau lihat itu!" ujar
Somagatra lagi menun-
juk ke bagian lain.
Tidak seberapa jauh di belakang
orang-
orang Partai Beruang Merah,
melesat sebuah tan-
du tertutup rapat yang terbuat
dari bilah papan
berwarna kuning.
"Setan Muka Kuning!"
pekik Gadawesi. Na-
da suaranya agak tercekat,
terbawa keterkejutan-
nya.
Pemuda yang rambutnya dibiarkan
tergerai
ini mencengkeram erat tongkat
berkepala na-
ganya.
"Tenanglah...," ujar
Somagatra.
Walau diliputi ketegangan, tapi
pemuda
yang merupakan anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini masih bisa mengendalikan
pe-
rasaannya. Sementara
pandangannya tetap terpa-
tri ke arah tandu berwarna
kuning yang diusung
empat lelaki bertubuh tegap.
"Cepat kita pergi dari
tempat ini...," usul
Gadawesi tiba-tiba. Pandangan
matanya nanar
menuju ke lereng bukit.
"Jangan jadi pecundang,
Gadawesi!" bentak
Somagatra. "Tak pantas
anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti bersikap
seperti dirimu!"
"Tapi..., Partai Beruang
Merah adalah par-
tai sesat yang semua anggotanya
sudah terbiasa
berbuat kejam. Apalagi, ketuanya
yang bernama
Kuda Ayodra. Dan bila ditambah
Setan Muka
Kuning dan keempat anak buahnya,
kita ini
hanya dua ekor nyamuk yang
hendak melawan
puluhan elang!"
"Bodoh!" maki
Somagatra. "Kau tahu, Kuda
Ayodra dan Lembu Akirah
bermusuhan! Dan kita
dapat memanfaatkan keadaan
ini."
Usai berkata, Somagatra menjejak
tanah.
Ringan sekali tubuhnya
berkelebat. Gadawesi
menggaruk rambutnya sebentar,
lalu mengikuti
Somagatra yang berkelebat
mengandalkan selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya.
Setelah sampai di puncak bukit
lelaki ke-
kar berpakaian serba merah yang
dikenal berna-
ma Kuda Ayodra berkacak
pinggang. Dengan ba-
hasa isyarat, anak buahnya
diperintahkan untuk
menyebar.
"Hamba melihat tandu Setan
Muka Kuning
sedang menuju kemari...,"
lapor salah seorang
anak buah lelaki kekar yang
rambutnya dikuncir
itu.
Mendapat laporan, Kuda Ayodra
menden-
gus.
"Bentuk ‘Barisan Beruang
Menghalau Ba-
dai’!" perintahnya.
Sejurus kemudian, sekitar tiga
puluh lelaki
berpakaian serba merah
berloncatan, membentuk
barisan berbanjar tiga di
belakang lelaki berkun-
cir.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, terdengar suara gelak
tawa keras
yang dibarengi datangnya sebuah
tandu kuning
yang dipikul empat lelaki
berpakaian serba putih.
Kuda Ayodra menatap tajam tandu
kuning
yang telah turunkan ke tanah.
"Lembu Akirah...! Apakah
gelar Setan Mu-
ka Kuning akan kau tanggalkan di
puncak Bukit
Ranuglagah ini? Penyebabnya
tentu nafsumu
sendiri yang ingin memiliki
Pusaka Pedang Gaib.
Tahukah kau, riwayatmu akan
berakhir di tangan
Kuda Ayodra Ketua Partai Beruang
Merah?" leceh
Kuda Ayodra penuh jumawa.
"Ha ha ha...!" suara
gelak tawa menggema
dari dalam tandu kuning yang
tertutup rapat..
"Ucapanmu seperti Dewa
Peramal saja, Kuda
Ayodra! Tengoklah tengkukmu
sendiri. Apakah
kau cukup pantas memiliki Pusaka
Pedang Gaib?
Kedatanganmu ke puncak bukit ini
saja harus
disertai puluhan anak
buahmu?"
Lelaki kekar Ketua Partai
Beruang Merah
itu menggeram. Kunciran
rambutnya yang pan-
jang dilemparkan ke kiri.
Bersamaan dengan itu,
sikap berdirinya dirubah dengan
bertumpu pada
tumit
"Heaaah...!"
Ketika lelaki setengah baya ini
membentak
keras, mendadak tubuhnya
berputar sangat ce-
pat. Maka saat itu juga,
beberapa anggota Partai
Beruang Merah meloncat tinggi.
Sementara, tu-
buh Kuda Ayodra sendiri sudah
amblas ke dalam
tanah!
"Awas!" teriak Setan
Muka Kuning alias
Lembu Akirah yang berada di
dalam tandu kun-
ing.
Secepat kilat empat lelaki
berpakaian serba
putih menyambar kayu penyangga
tandu. Dan
sambil memanggul tandu itu,
mereka melesat ce-
pat!
Blaaarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar
dari da-
lam tanah yang semula ditempati
tandu kuning.
Begitu gumpalan tanah menyebar,
sosok Kuda
Ayodra muncul dengan kedua
telapak tangan
menghadap ke atas.
Sementara tandu kuning terus
melesat.
Namun mendadak beberapa anggota
Partai Be-
ruang Merah segera meloncat menghadang. Na-
mun pada saat yang bersamaan
dari dalam tandu
melesat beberapa sinar kuning.
Jder! Jder...!
"Aaa...!"
Empat jerit kematian
berkumandang saling
susul di angkasa, diiringi
jatuhnya empat lelaki
berpakaian serba merah ke
tanah. Empat lelaki
berpakaian serba merah lainnya
mampu meng-
hindar. Namun begitu bangkit,
beberapa sinar
kuning kembali melesat.
Dan.....
Jderr! Jderrr!
"Aaa...!"
Tanpa dapat dihindari, tubuh
mereka jatuh
terjengkang terhantam
sinar-sinar kuning. Seje-
nak mereka meregang nyawa, lalu
diam tak ber-
kutik lagi.
"Bangsat!" geram Kuda
Ayodra. "Hancur-
kan kandang babi itu!"
Sebuah pemandangan indah
terlihat ketika
sekitar dua puluh lelaki
berpakaian serba merah
meloncat ke angkasa saling
susul. Namun.....
Wusss...!
Jder! Jderrr!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Jerit kematian pun terdengar
saling susul.
Loncatan anggota-anggota Partai
Beruang Merah
itu telah disambut oleh sinar
kuning yang muncul
dari dalam tandu tempat Lembu
Akirah alias Se-
tan Muka Kuning berada.
Maka tak dapat dibendung lagi
kemarahan
Kuda Ayodra melihat anak buahnya
tinggal empat
orang saja. Rahang lelaki
setengah baya ini berge-
melutuk. Bola matanya melotot,
Seperti hendak
keluar dari rongganya.
"Ha ha ha...!" tawa
Setan Muka Kuning ter-
dengar dari dalam tandu.
"Bila kau sedang ma-
rah, wajahmu lebih buruk
daripada kadal terin-
jak, Ayodra!"
"Keparat!" maki Kuda
Ayodra. "Jangan ter-
lalu bangga dengan ilmu
kesaktian yang baru saja
kau tunjukkan! Sebelum
mendapatkan Pusaka
Pedang Gaib, Kuda Ayodra akan
meremukkan tu-
lang-belulangmu!"
"Ha ha ha...! Semakin
marah, wajahmu
semakin buruk saja, Ayodra.
Rupanya nama Ku-
da Ayodra sangat cocok untukmu.
Tampangmu
memang mirip kuda. Ha ha
ha...!"
"Haram jadah!" maki
Kuda Ayodra, merasa
terhina. "Kurobek mulutmu,
Setan!"
Di ujung kalimatnya, Ketua
Partai Beruang
Merah ini hentakkan kakinya yang
dilambari ke-
kuatan tenaga dalam. Saat
permukaan tanah ber-
guncang, tubuh Kuda Ayodra
amblas ke dalam
tanah.
Brolll!
Begitu Kuda Ayodra muncul di
permukaan
tanah dengan kedua tangan
menyentak ke atas,
empat lelaki berpakaian serba
putih telah memin-
dahkan tandu kuning. Namun pada
saat yang
sama berhembus angin dingin ke
arah empat le-
laki berpakaian serba putih yang
telah menurun-
kan tandu kembali.
"Ha ha ha...!" kali
ini suara tawa keluar da-
ri mulut Kuda Ayodra.
"Mampuslah kalian!"
Empat lelaki berpakaian serba
putih terke-
jut luar biasa ketika mendadak
kedudukan kaki
mereka goyah.
"Aaakh...!"
Dan sebelum menyadari apa yang
terjadi,
tubuh mereka telah jatuh
terduduk dengan mulut
menyemburkan darah segar. Hingga
beberapa la-
ma, tubuh anak buah Setan Muka
Kuning tak
bergeming sedikit pun. Saat
angin berhembus le-
bih kencang, empat tubuh tanpa
nyawa itu jatuh
bersujud ke tanah!
"Ha ha ha...!" Kuda
Ayodra tertawa lebih
keras. "Monyet-monyet
bodoh! Begitu mudahnya
aku mengecoh kalian dengan ilmu
'Racun Angin'-
ku!"
"Jangan keburu gembira,
Ayodra!" sahut
Lembu Akirah dari dalam tandu
kuning. "Kau li-
hat keadaan anak buahmu!"
Kuda Ayodra segera mengalihkan
pandan-
gan. Dan mengkelaplah hati
lelaki setengah baya
ini. Sekitar sepuluh tombak di
hadapannya, em-
pat orang anggota Partai Beruang
Merah yang ter-
sisa telah terbaring di tanah
tanpa nyawa.
Kematian mereka memang datang
sama
cepatnya dengan kematian empat anak
buah
Lembu Akirah. Ketika tandu
kuning telah ditu-
runkan ke tanah, Lembu Akirah
mengeluarkan
salah satu ilmunya bernama
'Cahaya Kuning Pe-
cahkan Jantung', yang
keganasannya tak mampu
dihindari anak buah Kuda Ayodra.
Seberkas ca-
haya kuning yang meluruk dari
dalam tandu, te-
pat menghantam mereka dengan
telak. Dan bila
isi dada empat orang anggota
Partai Beruang Me-
rah itu dibongkar, jantung
mereka telah dalam
keadaan lumat!
Kuda Ayodra menatap tandu kuning
den-
gan darah menggelegak naik sampai
ke ubun-
ubun. Tanpa sadar, mulutnya
menceracau tak
karuan. Panas sinar mentari yang
telah beranjak
naik, seakan membuat amarahnya
semakin ber-
golak.
"Keluar kau dari kandang
babi itu, Akirah!"
teriak Ketua Partai Beruang
Merah.
Perlahan-lahan tirai bambu
kuning terbu-
ka. Dan, muncullah sesosok tubuh
kecil mirip bo-
cah berumur tujuh tahun. Anehnya, rambut so-
sok itu telah memutih semua.
Wajahnya yang ke-
riputan berwarna kuning kasar
seperti buah na-
nas.
Melihat Lembu Akirah alias Setan
Muka
Kuning telah menampakkan diri.
Kuda Ayodra
mendengus. Segera pergelangan
kakinya dibuka
setengah ditekuk. Kedua
pergelangan tangannya
bergetar ketika ditarik ke
belakang, sejajar ping-
gang.
"Terimalah 'Pukulan Beruang
Merah' ini,
Akirah!" pekik Kuda Ayodra
seraya menyorongkan
kedua telapak tangan ke
depan.
Wuusss...!
Dua larik sinar merah seketika
meluncur
ke arah Setan Muka Kuning. Tapi,
bibir kakek
kerdil itu malah menyungging
senyum tipis. Pada
jarak setengah tombak dipapaknya
pukulan jarak
jauh Kuda Ayodra dengan pukulan
jarak jauh pu-
la.
Lembu Akirah bukannya tidak tahu
kalau
'Pukulan Beruang Merah' yang
dilancarkan Kuda
Ayodra disertai ilmu 'Racun
Angin' yang membuat
udara di sekitar tempat itu
diliputi racun ganas
itu amat mematikan. Tapi karena
dia sangat ya-
kin akan kemampuan dirinya yang
kebal terha-
dap segala jenis racun, maka
dipapakinya puku-
lan jarak jauh Kuda Ayodra
seperti tanpa perhi-
tungan.
Blarrr...!
Dan inilah salah satu keunggulan
Lembu
Akirah yang cerdik. Ketika dua
kekuatan tenaga
dalam bertemu diudara, tubuh
Lembu Akirah ma-
lah mencelat ke depan membarengi
ledakan dah-
syat yang terdengar.
Kuda Ayodra sangat terkejut.
Semakin de-
kat dengan tubuhnya, pengaruh
racun makin ga-
nas. Tapi, kenapa Lembu Akirah
malah berusaha
mendekatinya?
Segera Kuda Ayodra mengeluarkan
ilmu
'Beruang Memantek Tanah'. Saat
dua telapak
tangan Lembu Akirah yang dilambari ilmu
'Cahaya Kuning Pecahkan Jantung'
hampir me-
nyentuh dadanya, tubuhnya
berputar cepat lak-
sana gangsingan.
Wusss...!
Saat itu pula timbul gelombang
angin be-
sar. Saat itu juga tubuh Lembu
Akirah terlontar
deras ke belakang.
"Kentut busuk! Setan alas
keparat!" umpat
Setan Muka Kuning begitu bangkit
dari jatuh te-
lentangnya.
Rupanya, kakek kerdil ini salah
perhitun-
gan. Kesaktian Kuda Ayodra lebih
hebat dari apa
yang dikiranya.
Terlihat kemudian, Setan Muka
Kuning
membanting-bantingkan kakinya ke
tanah. Sosok
Kuda Ayodra telah lenyap,
setelah berhasil melon-
tarkan tubuh Lembu Akirah.
Tubuhnya telah am-
blas ke dalam tanah.
"He, Kuda Ayodra! Jangan
kira kau dapat
mengecoh Setan Muka
Kuning!" teriak Lembu
Akirah, lantang. "Bila
hanya mengandalkan ilmu
'Beruang Memantek Tanah', mana
dapat menga-
lahkan aku?! Kau hanya cecunguk
yang cuma
pandai bersembunyi,
Ayodra!"
Mendadak, permukaan tanah di
belakang
Lembu Akirah menggunduk.
Kemudian....
Blarrr!
Terdengar suara ledakan yang
dibarengi
melesatnya sosok tubuh
berpakaian serba merah!
Lalu dengan kecepatan kilat,
sosok merah itu me-
lepas hantaman telak.
Desss...!
"Argh...!"
Telak sekali punggung Setan Muka
Kuning
tergedor. Akibatnya, tubuh kakek
kerdil berwajah
mirip nanas itu jatuh
menggelinding di tanah se-
jauh sepuluh tombak. Ketika
bangkit, darah segar
meleleh dari sudut bibirnya.
"Ha ha ha...!"
Kuda Ayodra yang baru saja
menyarangkan
pukulan, tertawa penuh
kemenangan.
"Walau tubuhmu kebal racun,
jangan ha-
rap dapat lolos dari kematian.
'Pukulan Beruang
Merah' telah merusak seluruh isi
dadamu! Ha ha
ha...!"
Waktu Kuda Ayodra tertawa
bergelak,
Lembu Akirah merasakan keanehan
pada dirinya.
Mendadak saja dia tak dapat
menarik napas. Ce-
pat dada kirinya diraba. Sinar
matanya kontan
berubah nyalang. Jantungnya
ternyata sudah tak
berdetak lagi!
"Kita akan mati
bersama-sama, Ayodra!"
pekik Setan Muka Kuning seraya
mengempos tu-
buh dengan telapak tangan lurus
ke depan.
Kuda Ayodra tertawa makin keras.
Tanpa
perhitungan sama sekali, dia
malah berkacak
pinggang seolah siap menerima
pukulan Setan
Muka Kuning.
Sementara, Setan Muka Kuning
sendiri
yang sudah tak dapat mengalirkan
tenaga dalam
bersorak girang dalam hati.
Lalu.....
Crash...!
"Wuah...!"
Dua jari tangan kanan Lembu
Akirah ber-
gerak cepat, dan tepat menusuk
Kuda Ayodra. Ke-
tua Partai Beruang Merah itu
jatuh ke tanah dan
menggelepar kesakitan. Pada saat
yang sama, tu-
buh kecil Setan Muka Kuning
jatuh telungkup ke
tanah sambil mendekap dadanya.
Untuk beberapa lama, lolong
kesakitan
Kuda Ayodra membahana ke seluruh
penjuru
Bukit Ranuglagah.
Dan entah kapan datangnya, di
atas lem-
pengan batu besar tak jauh dari
tempat Kuda
Ayodra, telah berdiri tegak
seorang lelaki berumur
tiga puluh tahun. Pakaiannya
ringkas berwarna
hijau-kuning. Di punggungnya,
terselip sarung
pedang besar terbuat dari kayu
berukir. Rambut-
nya yang hitam panjang diikat
sehelai kain sutera
merah. Wajahnya halus, bahkan
bisa dibilang
tampan. Sedangkan sorot matanya
yang tajam tak
pernah lepas dari sosok Kuda
Ayodra yang masih
saja menggelepar-gelepar di
tanah.
"Kasihan sekali kau, Kuda
Ayodra...," kata
lelaki berpedang seperti
mendesah. "Aku Danar
Pangeran atau Pendekar Pedang
Hijau ingin me-
nolongmu. Tapi apalah gunanya?
Kedua matamu
telah telanjur buta...."
Mendengar kata-kata ditujukan
kepada di-
rinya, Kuda Ayodra menguatkan
hatinya untuk
dapat menahan sakit. Dengan
berdiri sempoyon-
gan, kepalanya menggeleng-geleng
untuk mem-
pertajam pendengaran. Dia
berusaha mencari di
mana si pemilik suara yang
didengarnya berada.
Mengenaskan sekali keadaan Ketua
Partai Be-
ruang Merah ini. Hampir seluruh
wajahnya ter-
lumuri cairan darah. Demikian
pula kedua tela-
pak tangannya.
Lelaki yang mengaku bernama
Danar Pan-
geran bergelar Pendekar Pedang
Hijau mendehem.
"Aku di sini,
Ayodra...," katanya. "Dalam
keadaan seperti itu apakah kau
masih ingin me-
neruskan keinginanmu untuk
memiliki Pusaka
Pedang Gaib?"
"Pantang Kuda Ayodra
mengurungkan
niat!" tandas Ketua Partai
Beruang Merah man-
tap. "Kedua mataku yang
buta justru memper-
kuat keinginanku untuk memiliki
Pusaka Pedang
Gaib!"
Bibir Danar Pangeran menyungging
se-
nyum tipis.
"Kalau begitu, kau harus
mampu menga-
lahkan aku, Ayodra...."
Kuda Ayodra yang sudah
mengetahui tem-
pat Pendekar Pedang Hijau lewat
pendengaran-
nya, segera mengalirkan seluruh
kekuatan tenaga
dalam ke kedua telapak
tangannya. Dan ketika
telapak tangannya dihentakkan ke
depan...
Wuuuttt...!
Dua larik sinar merah seketika
menghujam
deras ke arah Danar
Pangeran!
Blaarrr...!
Terhantam pukulan jarak jauh
Kuda Ayo-
dra, lempengan batu besar
hancur-luluh menjadi
bongkahan-bongkahan kecil yang
menebar ke
berbagai penjuru. Sedangkan
tubuh Pendekar Pe-
dang Hijau sudah melenting ke
atas. Begitu melu-
ruk menyarangkan tendangan ke
dada Kuda Ayo-
dra yang sama sekali tidak
menyangka. Akibat-
nya.....
Desss...!
"Argh...!"
Tendangan Danar Pangeran yang
telak
mengenai sasaran membuat tubuh
Kuda Ayodra
terpental dan jatuh bergulingan
ke bawah bukit.
Puncak Bukit Ranuglagah jadi
sunyi.
Hanya desau angin yang terdengar
ditimpali kicau
burung. Pendekar Pedang Hijau
menarik napas
panjang. Ditatapnya langit biru.
Sang Baskara te-
lah memayung di atas kepala.
"Resi Raga Pamungkas!"
sebut Pendekar
Pedang Hijau dengan suara
lantang. "Keluarlah
kau dari pertapaanmu! Di puncak
Bukit Ranugla-
gah ini hanya ada aku seorang.
Berarti, aku yang
akan mewarisi Pusaka Pedang
Gaib!"
Danar Pangeran menunggu sampai
sepu-
luh tarikan napas. Tapi orang
yang disebutnya
sebagai Resi Raga Pamungkas tak
juga muncul.
Namun sesaat kemudian terdengar
suara derap
langkah yang berasal dari
munculnya orang-
orang tak dikenal.
"Serang...!"
Puncak Bukit Ranuglagah tak lagi sunyi
ketika sekitar dua puluh orang
yang baru datang
langsung menerjang Pendekar
Pedang Hijau. Me-
reka semua bersenjata golok,
yang ketika diba-
batkan menimbulkan suara
menderu-deru.
"Manusia-manusia mencari
mati!" Danar
Pangeran menggembor keras.
Tubuhnya seketika
melesat ke udara. Sebelum
mendarat ke tanah,
pedang di punggungnya
diloloskan. Saat itu juga
pendaran cahaya hijau memenuhi
puncak bukit.
Saat senjata dikibaskan, empat
orang ber-
senjata golok jatuh memeluk bumi
dengan tubuh
terpotong jadi dua!
3
Danar Pangeran berdiri tegak
dengan pan-
dangan lurus ke depan. Tangan
kanannya men-
cengkeram erat gagang pedang
berukir kepala bu-
rung rajawali. Terjilat sinar
mentari, mata pedang
tokoh muda ini memancarkan
cahaya hijau ge-
merlap. Tak heran kalau gelarnya Pendekar Pe-
dang Hijau.
Sementara, para lelaki yang baru
muncul
memandang dengan perasaan ngeri.
Apalagi telah
ada korban di pihak mereka.
Wajah Danar Pange-
ran yang tersapu biasan sinar
pedang jadi ber-
warna hijau.
"Pendekar Pedang Hijau tak
akan menja-
tuhkan tangan maut bila orang
tak membuat per-
kara lebih dulu...," desis
Danar Pangeran dengan
suara berat berwibawa.
"Maka dari itu, enyahlah
kalian semua dari tempat ini.
Jangan bermimpi
untuk memiliki Pusaka Pedang
Gaib!"
"Danar Pangeran! Kau memang
seorang
pendekar pedang yang hebat. Kau
pun memiliki
sebilah pedang pusaka yang tak
kalah hebat. Lan-
tas, kenapa masih ingin memiliki
Pusaka Pedang
Gaib?" sindir seorang
lelaki berikat kepala warna
hitam. Wajahnya kasar ditumbuhi
brewok.
"Ha ha ha...!" Pendekar Pedang Hijau ter-
tawa bergelak. "Rupanya kau
telah hadir di tem-
pat ini, Wanengpati! Apakah
Gerombolan Golok
Terbangmu sudah bosan tinggal di
tengah hutan,
sehingga kau mengajak mereka
datang ke puncak
bukit ini? Untuk mendapatkan
Pusaka Pedang
Gaib, atau hanya sekadar mencari
tempat ber-
naung baru?"
Lelaki brewokan yang disebut
sebagai Wa-
nengpati mendengus.
"Kau ini memang dungu atau
pura-pura
dungu?" ejeknya. "Kaum
rimba persilatan kukira
telah tahu bila Resi Raga
Pamungkas hendak
mewariskan Pusaka Pedang Gaibnya
kepada
orang yang berhak. Tentu saja
aku datang untuk
keperluan itu!"
Pendekar Pedang Hijau tertawa
bergelak la-
gi.
"Kalau memang itu maumu,
tak menyesal
aku membunuh empat orang anak
buahmu tadi.
Tapi bila kau mau menuruti
nasihatku, segeralah
enyah dari tempat ini. Pedang
Hijau yang kupe-
gang ini sepertinya hendak minta
korban!"
Ancaman Danar Pangeran dijawab
Wa-
nengpati dengan geram kemarahan.
Langsung di-
terjangnya tokoh berpakaian
hijau-kuning itu, di-
ikuti anak buahnya.
Pendekar Pedang Hijau tak kalah
sigap.
Pedangnya, segera bergerak cepat
memapak se-
rangan yang datang bertubi-tubi.
Trang! Trang! Trang!
Suara benturan senjata tajam
terdengar
memekakkan gendang telinga. Dan
suara itu ma-
sih ditingkahi suara
keterkejutan orang-orang Ge-
rombolan Golok Terbang. Senjata
andalan mereka
ternyata telah terbabat putus
oleh ketajaman Pe-
dang Hijau milik Danar Pangeran.
Pertempuran berlangsung tidak
lebih dari
satu jurus. Pendekar Pedang
Hijau telah berada di
atas angin. Pedang di tangannya
berkelebatan
menimbulkan suara menderu yang
disusul den-
gan jerit kematian para anggota
Gerombolan Go-
lok Terbang.
Wanengpati kontan menggembor
keras. Di-
keluarkannya seluruh daya
kemampuannya. Tapi,
Pendekar Pedang Hijau terlalu
kuat untuk dapat
ditundukkan. Sampai anak buahnya
habis tak
tersisa, lelaki brewok ini masih
belum dapat me-
nunjukkan perlawanan berarti.
"Aku memberi kesempatan
padamu, Wa-
nengpati!" kata Danar
Pangeran. "Segera enyah
dari tempat ini sebelum habis
kesabaranku!"
Wanengpati menyebar pandangan.
Kini se-
luruh anak buahnya telah
bergelimpangan di ta-
nah tanpa nyawa. Dan ini membuat
nyalinya kian
ciut. Tapi, hawa amarah agaknya
menguasai akal
sehatnya. Dengan nekat
diterjangnya Pendekar
Pedang Hijau!
"Manusia tak tahu diuntung!
Diberi hidup
malah ingin mati!"
Di ujung kalimatnya, Danar
Pangeran
menggenjot tubuh ke atas. Lalu
sambil menukik
turun, pedangnya dibabatkan dari
atas ke bawah.
Crash...!
"Aaah...!"
Tanpa dapat dicegah, tubuh
Wanengpati
yang masih melayang di udara
terbelah jadi dua,
dari kepala membujur sampai ke
selangkangan.
Ketika jatuh ke tanah, barulah
belahan tubuh le-
laki naas itu terpisah dengan
darah menggenangi
bumi.
Tenang sekali Danar Pangeran
menyarung-
kan pedangnya. Bau anyir darah
tak dihiraukan
lagi.
"Resi Raga Pamungkas...!
Kau tahu kini,
siapa yang berhak mewarisi
Pusaka Pedang Gaib!"
teriak Pendekar Pedang Hijau
disertai tenaga da-
lam.
Teriakan Danar Pangeran
membahana un-
tuk beberapa lama. Namun,
teriakan ini segera
disahuti desau angin dan kicau
burung belaka.
Sosok Resi Raga Pamungkas tak
juga menampak-
kan diri. Kening Pendekar Pedang
Hijau berkerut.
"Apakah kabar tentang Resi
Raga Pamungkas
yang hendak mewariskan Pusaka
Pedang Gaib
hanya kabar bohong semata?"
tanyanya dalam
hati. "Atau, semua ini
merupakan ulah Resi Raga
Pamungkas yang ingin membuat
onar rimba per-
silatan? Hmmm.... Kalau memang
pertapa itu
hendak berbuat yang tidak-tidak,
Pendekar Pe-
dang Hijau yang akan
menghukumnya!"
Belum juga pertanyaan Danar
Pangeran
terjawab, seorang pemuda berpakaian
penuh
tambalan tiba-tiba muncul dan
melangkah tenang
menghampiri.
"Menilik dari tongkatmu,
kau tentu salah
seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti," tebak Danar
Pangeran. "Hmm.....Sejak ka-
pan perkumpulan pengemis
bersenjata tongkat
itu berubah pikiran untuk
menggunakan senjata
pedang?"
Pemuda yang baru datang menjura
hormat.
"Benar tebakanmu, Pendekar
Pedang Hi-
jau. Aku memang salah seorang
anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti.
Namaku Somaga-
tra. Namun bila kau menyangka
kedatanganku ke
puncak bukit ini untuk turut
berebut Pusaka Pe-
dang Gaib, itu tidaklah
benar...," sahut pemuda
yang tak lain Somagatra, setelah
menegakkan tu-
buhnya.
Mendengar nada bicara Somagatra
yang
sangat menghormatinya, Pendekar
Pedang Hijau
malah mendengus.
"Kalau bukan untuk berebut
Pusaka Pe-
dang Gaib, lalu untuk apa kau
datang kemari?"
selidiknya setengah mencibir.
"Seperti yang kau ketahui,
seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti pantang
menggunakan senjata pedang kalau
tidak dalam
keadaan terpaksa. Aku tidak
perlu menegaskan
lagi bahwa kedatanganku kemari
memang bukan
untuk berebut Pusaka Pedang
Gaib. Kedatangan-
ku karena mempunyai sedikit
urusan dengan Resi
Raga Pamungkas. Dan hanya suatu
kebetulan sa-
ja bila kedatanganku ini
menjumpai sisa pertem-
puran yang sedemikian ganas. Dan
kau keluar
sebagai pemenangnya."
"Siapa yang mau percaya
pada omongan
mu?! Kabar tentang Pusaka Pedang
Gaib begitu
santer terdengar. Aku sama
sekali tak percaya bi-
la kau tak ingin
memilikinya!"
"Terserah apa katamu. Dan
aku tidak perlu
mengulang-ulang apa yang telah
kukatakan. Yang
jelas pula, aku tidak bermaksud
membuat perten-
tangan denganmu...."
"Ha ha ha...!" tawa
Pendekar Pedang Hijau
menyahuti ucapan Somagatra,
memperlihatkan
sifat congkaknya. "Aku tahu
di balik nada bica-
ramu yang begitu sopan,
tersimpan maksud ter-
sembunyi. Tak perlu bermanis
kata, Somagatra!
Sinar matamu telah menunjukkan
isi hatimu!"
Mendengar tuduhan Danar Pangeran,
So-
magatra tersenyum tipis.
"Benar atau tidaknya apa
yang telah kuka-
takan, sebentar lagi akan kita
buktikan bersama."
Begitu selesai ucapan Somagatra,
dari arah
utara bukit berkelebat sesosok
bayangan putih.
Setelah bersalto beberapa kali
di udara, bayangan
itu mendarat di tanah,
membelakangi Danar Pan-
geran dan Somagatra.
Ternyata, sosok yang baru muncul
adalah
seorang lelaki bertubuh kurus
kecil mengenakan
jubah putih. Rambutnya digelung
ke atas, tertu-
tup sorban putih.
Danar Pangeran bersorak girang
dalam ha-
ti. Walau tak dapat melihat
wajah orang itu, tapi
dapat dipastikan kalau yang
hadir adalah Resi
Raga Pamungkas.
"Terima kasih atas
kehadiranmu, Somaga-
tra...," ucap lelaki
berjubah putih tanpa memper-
lihatkan wajahnya. "Namun,
hari ini aku mempu-
nyai urusan yang lebih penting.
Semoga Hyang
Widhi memberimu kesabaran
beberapa jenak,
sampai urusanku dengan Danar
Pangeran alias
Pendekar Pedang Hijau
selesai...."
"Ha ha ha...!"
Danar Pangeran tertawa bergelak.
Semakin
lama semakin terlihat
kecongkakan tokoh ini.
"Rupanya aku telah salah
menilai orang.
Maafkan aku, Somagatra...,"
ucap Pendekar Pe-
dang Hijau.
Walau Danar Pangeran mengucapkan
kata
penyesalan, tapi pandangannya
sedikit pun tak
terarah pada Somagatra. Sedangkan
Somagatra
sendiri tak merasa tersinggung.
Bibirnya malah
menyungging senyum lebar.
"Danar Pangeran...,"
panggil lelaki berjubah
putih, "Kau memang seorang
pendekar pedang
yang sangat hebat. Dengan Pedang
Hijau-mu saja,
kau dapat menjadi seorang raja
pedang. Apalagi
bila telah memiliki Pusaka
Pedang Gaib. Seperti
kabar yang kau dengar, hari ini
aku memang
hendak mewariskan Pusaka Pedang
Gaib kepada
orang yang kuanggap berhak. Dan
orang itu ter-
nyata kau, Danar
Pangeran...."
Pendekar Pedang Hijau kontan
tertawa
bergelak. Sementara, Somagatra
yang berdiri tak
seberapa jauh terlihat
mengetukkan ujung tong-
katnya ke tanah.
"Danar Pangeran...,"
lanjut lelaki berjubah
putih. "Sebelum aku
menunjukkan tempat Pusa-
ka Pedang Gaib tersimpan, kau
harus mengang-
kat sumpah terlebih
dahulu...."
"Sebentar...," sela
Pendekar Pedang Hijau
tiba-tiba, "Apa yang Resi
Raga Pamungkas kata-
kan, memberi makna bahwa Pusaka
Pedang Gaib
tidak berada di tempat ini. Aku
ingin...."
"Aku tahu apa yang ada
dalam benakmu,
Danar Pangeran...," potong
lelaki berjubah putih
yang melihat Pendekar Pedang
Hijau tak segera
melanjutkan kalimatnya.
"Kau tak perlu khawatir.
Walau Somagatra berada di tempat
ini, dia tak
akan berbuat apa-apa. Pusaka
Pedang Gaib akan
menjadi milikmu. Somagatra tak
akan membuka
rahasia tentang keberadaan
pedang pusaka maha
hebat itu."
"Hmm.... siapa yang mau
percaya pada
pemuda berpakaian penuh tambalan
itu?" kata
hati Danar Pangeran. "Tapi,
tak jadi apa. Setelah
Resi Raga Pamungkas pergi dari
tempat ini, aku
akan membunuhnya...."
Berpikir demikian, Danar
Pangeran mena-
tap berbinar-binar ke arah
lelaki tua berjubah pu-
tih itu.
"Baiklah, Resi Raga
Pamungkas. Aku ber-
sedia mengangkat sumpah."
"Bagus!" puji lelaki
berjubah putih, tetap
membelakangi Danar Pangeran.
"Bersumpahlah
bahwa kau akan tetap memegang
teguh kebena-
ran dan keadilan, setelah
mendapatkan Pusaka
Pedang Gaib."
"Aku bersumpah demi langit
dan bumi!" te-
gas Pendekar Pedang Hijau,
mantap.
"Serahkan pedangmu kepada
Somagatra!"
ujar Resi Raga Pamungkas.
"Untuk apa?" tanya
Danar Pangeran, sedi-
kit curiga.
"Kau akan mendapatkan
sebuah pedang
pusaka yang lebih hebat daripada
Pedang Hijau
yang kau miliki sekarang. Jadi,
kau harus me-
nanggalkan pedang yang terselip
di punggung-
mu."
Danar Pangeran diam. Hatinya
diliputi ke-
raguan.
"Agaknya kau menyangsikan
kehebatan
Pusaka Pedang Gaib. Kalau
begitu, segera enyah-
lah dari tempat ini...,"
ujar lelaki berjubah putih,
berat memerintah.
"Yah, baiklah...,"
desah Pendekar Pedang
Hijau.
Walau masih diliputi rasa ragu,
Danar
Pangeran akhirnya melepas ikatan
pedangnya.
Lalu dilemparkannya Pedang Hijau
ke arah So-
magatra.
"Sekarang, mendekatlah
kemari...."
Seperti kerbau dicocok
hidungnya, Pende-
kar Pedang Hijau melangkah lima
tindak, mende-
kati lelaki berjubah putih.
"Ha ha ha...!"
mendadak Somagatra tertawa
bergelak seraya meloloskan bilah
Pedang Hijau
dari sarungnya. "Bodoh
sekali kau, Danar Pange-
ran!"
Mendengar ucapan Somagatra itu,
tentu
saja Danar Pangeran terkejut.
Sadarlah dia kalau
telah terkena tipu muslihat.
Ketika tatapannya
kembali ke sosok lelaki berjubah
putih, dia sema-
kin terkejut saja. Ternyata
orang yang disangka
Resi Raga Pamungkas telah
melepas jubahnya.
Dan begitu berbalik, sosok itu
tak lebih dari seo-
rang pemuda berwajah tirus yang
tak lain Gada-
wesi, teman Somagatra.
"Kurang ajar!" maki
Pendekar Pedang Hi-
jau.
Namun sebelum tokoh muda ini
berbuat
sesuatu, Somagatra telah
menerjang dengan Pe-
dang Hijau.
Gadawesi yang telah menanggalkan
sor-
bannya pun segera mengeroyok. Sedang jubah
putih yang digunakan untuk
menyamar sebagai
Resi Raga Pamungkas dibuang
begitu saja.
Pertempuran seru segera
berlangsung
kembali. Tanpa memegang senjata
andalannya,
Danar Pangeran tak mampu berbuat
banyak.
Apalagi dua orang pengeroyoknya
memiliki ke-
pandaian tinggi. Mereka adalah
murid langsung
Kakek Gede Panjalu, sesepuh
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti.
Lewat dua jurus kemudian, bahu
kiri Da-
nar Pangeran terkoyak ketajaman
Pedang Hijau di
tangan Somagatra. Merasa tak
mampu memberi
perlawanan, segera tubuhnya
dikempos untuk
melarikan diri.
"Tunggu pembalasanku,
Cecurut-cecurut
Busuk!" teriak Pendekar
Pedang Hijau seraya ber-
kelebat.
Ancaman Danar Pangeran hanya
ditimpali
suara tawa Somagatra.
Dibiarkannya bayangan
Danar Pangeran yang menghilang
di antara jaja-
ran pohon cemara.
"Kita akan menjadi pewaris
Pusaka Pedang
Gaib, Somagatra!" teriak
Gadawesi, kegirangan.
"Bukan kita,
Gadawesi!" tukas Somagatra.
"Bukan kita? Lalu
siapa?" tanya Gadawesi,
heran.
"Kau memang telah
menjalankan siasat
yang kubuat dengan baik. Tapi,
aku masih mem-
punyai satu siasat
lagi...," jelas Somagatra.
"Apa?" Gadawesi jadi
tak sabaran.
"Kau ingin tahu?"
"Tentu saja!"
"Baiklah.... Kau lihat
itu!"
Somagatra menunjuk sebuah tempat
di le-
reng bukit dengan ujung Pedang
Hijau.
Saat Gadawesi membalikkan
badannya,
mata Somagatra berkilat aneh.
Lalu, Pedang Hijau
di tangannya berkelebat! Dan....
Crash...!
Tak ada jeritan yang terdengar,
tatkala ke-
pala Gadawesi jatuh
menggelinding di tanah. Un-
tuk beberapa lama, tubuh pemuda naas
itu masih
berdiri tegak di tempatnya.
"Ha ha ha...!"
Somagatra-tertawa bergelak
ketika melihat tubuh temannya
perlahan-lahan
jatuh ke tanah. "Akulah
yang akan menjadi pewa-
ris Pusaka Pedang Gaib! Ha ha
ha...!"
Tawa puas Somagatra menyelubungi
Bukit
Ranuglagah. Sementara, Sang
Baskara telah ber-
gulir ke barat. Perlahan namun
pasti, hawa dingin
mulai datang.
Tawa Somagatra baru berhenti
ketika meli-
hat kehadiran lelaki berjubah
putih yang berjalan
menghampirinya. Lelaki itu
berusia sekitar enam
puluh tahun. Rambutnya yang
telah memutih ter-
juntai dari balik sorban yang
dikenakan. Wajah-
nya halus. Sinar matanya teduh,
menyiratkan si-
fat welas asih.
"Resi Raga
Pamungkas...," sebut Somaga-
tra.
Kakek berjubah putih yang tak
lain dari
Resi Raga Pamungkas tampak
memandang kea-
daan sekelilingnya.
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," sebut
tokoh tua itu sambil menunduk
dalam. "Apa yang
telah terjadi di tempat
ini?"
Mendengar pertanyaan Resi Raga
Pamung-
kas, Somagatra mendengus.
"Mayat-mayat yang kau lihat
adalah kor-
ban dari nafsunya sendiri, Resi
Raga Pamungkas,"
katanya, enteng.
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," ucap
kakek berjubah putih itu lagi.
"Kau bilang mereka
menjadi korban nafsunya sendiri?
Nafsu yang ba-
gaimana?"
"Tentu saja nafsu untuk
memiliki Pusaka
Pedang Gaib!" jawab Somagatra, sedikit jengkel
melihat sikap Resi Raga
Pamungkas yang tampak
kebodoh-bodohan.
"Untuk mendapatkan sebuah
benda yang
belum jelas bagaimana wujudnya,
mereka sampai
berkorban nyawa. Alangkah
bodohnya manusia....
Alangkah kejamnya nafsu yang
memperbudak
manusia...," keluh Resi
Raga Pamungkas.
"Tak perlu berkata
macam-macam, Pak
Tua!" sentak Somagatra,
mulai ketus. "Di tempat
ini hanya ada aku dan kau.
Segera serahkan Pu-
saka Pedang Gaib seperti yang
kau janjikan!"
"Sebentar, Anak Muda!"
sergah Resi Raga
Pamungkas. "Aku tidak
mengenal siapa dirimu.
Kapan, dan di mana aku mengucap
janji kepada-
mu?"
Mendengar kalimat Resi Raga
Pamungkas,
mata Somagatra kontan mendelik.
"Lalu, siapa yang telah
membuat kabar ka-
lau kau akan mewariskan Pusaka
Pedang Gaib di
puncak Bukit Ranuglagah
ini?!" bentak Somaga-
tra mulai kalap.
Resi Raga Pamungkas tampak
terkejut.
"Pusaka Pedang Gaib?
Kapankah aku ber-
keinginan mewariskan pedang itu
kepada orang
lain? Aku sama sekali tak
mengerti, Anak Mu-
da...?"
"Jangan bersilat lidah, Pak
Tua!" hardik
Somagatra. "Setelah jatuh
korban sedemikian ba-
nyak, tak pantas kau menjilat
ludahmu sendiri!"
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas untuk
kesekian kalinya.
"Aku benar-benar tak tahu,
apa yang kau mak-
sud, Anak Muda. Ceritakanlah....
Biar hati ini tak
jadi penasaran. "
Somagatra tampak berpikir
sejenak.
"Beberapa pekan ini, di
tengah rimba persi-
latan tersebar kabar kau hendak
mewariskan Pu-
saka Pedang Gaib kepada orang
yang kalau di-
anggap berhak. Menurut kabar
yang kudengar
pula, orang yang berhak mewarisi
Pusaka Pedang
Gaib adalah orang tercerdik di
antara yang ter-
cerdik adalah aku. Maka,
sekarang juga aku me-
minta kau menyerahkan Pusaka
Pedang Gaib ke-
padaku!" ungkap Somagatra.
Mendengar penuturan Somagatra,
kerut di
kening Resi Raga Pamungkas
semakin kentara.
"Ada-ada saja ulah manusia
di dunia ini...,"
desahnya. "Untuk apa orang
menyebar kabar
yang tak benar bila hanya akan
meminta banyak
korban?"
"Rupanya kau hendak
mungkir, Pak Tua!"
tuduh Somagatra.
"Jangan turuti hawa
amarahmu, Anak Mu-
da. Aku memang tak tahu-menahu
tentang kabar
yang tersebar di dunia
luar...," kilah Resi Raga
Pamungkas penuh kesabaran.
"Menilik tongkat
berkepala naga yang berada di
tangan kirimu,
kau tentu anggota Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti. Untuk apa kau
menginginkan sebuah
senjata tajam? Bukankah hal itu
akan melanggar
pantanganmu? Dan lagi, kenapa tangan
kananmu
memegang sebilah pedang
berlumuran darah? Ka-
lau tak salah duga, pedang itu
tentu milik Pende-
kar Pedang Hijau. Apakah kau
telah membunuh-
nya?"
"Jangan banyak bacot, Pak
Tua! Aku So-
magatra tak ingin membunuh
orang. Tapi bila
kau masih terus saja mungkir,
kepalamu akan
kubuat menggelinding di
tanah!"
"Hyang Widhi Maha
Pengampun..."
Ketika menyebut asma Sang
Penguasa
Tunggal, paras Resi Raga
Pamungkas berubah
sangat keruh.
"Heaaah...!"
Sementara, Somagatra yang sudah
tak da-
pat menahan hawa amarahnya
berteriak keras.
Lalu, anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu mengirim totokan
dengan menggunakan
ujung tongkat di tangan kiri.
"Kau telah terkena tipu
muslihat orang,
Somagatra!" ujar Resi Raga
Pamungkas seraya
mengegos tubuhnya ke kiri.
"Rupanya kau layak diberi
pelajaran dulu,
Pak Tua!"
Sambil berucap, Somagatra
menusukkan
tongkat di tangan kiri ke dada
Resi Raga Pa-
mungkas. Sedangkan Pedang Hijau
di tangan ka-
nan, ditebaskan ke pinggang!
Melihat serangan beruntun itu,
Resi Raga
Pamungkas melempar tubuhnya jauh
ke kiri. Ta-
pi, tongkat dan pedang di tangan
Somagatra terus
mengejar. Saat pemuda ini
memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing', Resi
Raga Pamungkas
dibuat kelabakan.
Hingga...,
Duk...!
"Argh...!"
Dada kiri Resi Raga Pamungkas
tahu-tahu
tersodok ujung tongkat
Somagatra. Selagi dia
menghela napas yang terhenti,
Pedang Hijau di
tangan kanan Somagatra bergerak
cepat, hendak
memenggal pergelangan tangan
kirinya!
Wuutt!
"Uts...!"
Cras!
Terpaksa Resi Raga Pamungkas
menjatuh-
kan diri ke tanah. Tapi, tak
urung bahu kirinya
terbabat ketajaman Pedang Hijau.
Cairan darah
segar pun menodai jubah Resi
Raga Pamungkas.
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak.
"Masihkah kau berkeras
kepala untuk tak menye-
rahkan Pusaka Pedang Gaib, Pak
Tua?!"
"Aku heran melihat seorang
anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
bisa berbuat
nekat semacam ini...,"
desah Resi Raga Pamung-
kas, sambil mendekap luka di
bahu kirinya.
"Aku tidak nekat! Aku sedang
menuntut
hak!" kilah Somagatra.
"Aku meminta kau menye-
rahkan Pusaka Pedang Gaib, Pak
Tua! Atau, tu-
buhmu akan kucincang!"
Melihat sikap Somagatra yang
semakin ne-
kat, Resi Raga Pamungkas
mengeluh dalam hati.
Pertapa ini sebenarnya memang
tidak tahu-
menahu perihal kabar Pusaka
Pedang Gaib yang
hendak diwariskan. Lagi pula,
dia merasa tak
memiliki pedang yang
didesas-desuskan maha
hebat itu.
"Kenapa kau diam saja, Pak
Tua?!" bentak
Somagatra, sambil mengacungkan
Pedang Hijau
di tangannya.
Hati Resi Raga Pamungkas semakin
tak ka-
ruan. Bagaimana kenekatan
Somagatra bisa di-
hentikan? Dalam keadaan biasa
saja dia tak
mampu memberi perlawanan.
Apalagi dalam kea-
daan terluka!
"Sebaiknya aku menghindar
dulu dari pe-
muda yang mengaku bernama Somagatra ini...,"
pikir Resi Raga Pamungkas.
Lalu.....
Wusss...!
Somagatra terkejut ketika Resi
Raga Pa-
mungkas tiba-tiba melancarkan
pukulan jarak
jauh. Segera pemuda berpakaian
penuh tambalan
ini meloncat ke atas. Setelah
mendarat di tanah,
dia menggeram marah. Ternyata
sosok Resi Raga
Pamungkas telah menghilang dari
pandangan.
"Hmm.... Sampai ke kolong
langit pun, kau
akan kukejar, Resi Raga
Pamungkas...," batin
Somagatra. "Kau harus
menyerahkan Pusaka Pe-
dang Gaib!"
Emoticon