Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Tengkorak Kaki Satu
128 hal.
1
Langit sebelah timur terhias
semburat ca-
haya berwarna jingga menandakan
fajar telah me-
rayap, bangkit. Walau terang
belum sempurna be-
nar, tapi sepi di pulau kecil
itu telah terkoyak-
koyak oleh teriakan kekhawatiran
dan kata-kata
berseling tangis yang terdengar
menyayat hati.
"Larilah Intan Melati!
Larilah cepat...!" perin-
tah seorang lelaki setengah
baya. Suaranya serak-
parau bernada kekhawatiran
terhadap seorang ga-
dis yang dipanggil intan Melati.
"Tidak! Lebih baik kita
mati bersama,
Ayah...!" teriak gadis
remaja berumur sekitar tujuh
belas tahun. Kata-katanya
dibarengi lelehan air
mata.
"Pergilah dari Pulau Karang
ini, Anakku...,"
timpal seorang wanita cantik
yang berdiri di sisi le-
laki setengah baya itu. Sama
seperti si lelaki, wani-
ta ini juga memegang pedang
berlumuran darah di
tangan kanan. Namun, sikap
berdirinya tak lagi
tegak karena ada luka lebar di paha
kirinya. Cai-
ran darah kering tampak menodai
kain putih yang
dikenakannya.
"Pergilah, Anakku...,"
pinta lelaki setengah
baya berpakaian serba putih kali
ini penuh per-
mohonan kepada gadis yang
ternyata putrinya.
"Pergilah selagi para
begundal Tengkorak Kaki Sa-
tu belum tiba di tempat ini.
Salah seorang dari kita
harus selamat, sebab harus dapat
membalas ke-
biadapan Tengkorak Kaki
Satu!"
"Tidak, Ayah! Aku tak
mungkin pergi dari
tempat ini! Aku tak mungkin
membiarkan Ayah
dan Ibu bertempur melawan maut!
Kalau pergi, ki-
ta pergi bersama. Tapi kalau
mati, kita pun akan
mati bersama!" tegas Intan
Melati dengan air mata
terus berlelehan. Tangannya yang
memegang pe-
dang tampak bergetar. Rambutnya
yang hitam
panjang terburai tak karuan.
Pakaian berwarna
putih-kuning pembalut tubuhnya
yang tinggi se-
mampai penuh percikan darah
kering.
Mengetahui kekeraskepalaan
putrinya, si
ayah bingung. Sejenak ditatapnya
wanita cantik di
sisi kanan yang tak lain
istrinya sendiri. "Dinda
Nawangsih! Sebaiknya temanilah
Intan Melati me-
larikan diri. Carilah tempat
aman. Setelah lukamu
sembuh, carilah Paman Guru
Sawung Permadi.
Ceritakan apa yang terjadi di
Pulau Karang ini..."
"Tidak! Tidak, Kangmas. Aku
akan mem-
bantu Kangmas...," potong
wanita cantik bernama
Nawangsih. Lalu, ditatapnya
Intan Melati putri me-
reka yang telah menghentikan
tangisnya. "Anak-
ku.... Keturunan Pendekar Hati
Putih harus tetap
hidup. Turuti kata-kata ibumu.
Pergilah cepat! Ca-
rilah adik guru ayahmu yang bernama
Sawung
Permadi. Dia tinggal di sekitar
Hutan Kalirang.
Mintalah petunjuk
darinya...."
"Tidak, Ibu! Aku...."
"Intan!" Nawangsih
jadi kalut mendapati ke-
keras kepalaan putrinya.
"Kau harus pergi! Cepat!"
Melihat Intan Melati tetap
berdiam di tem-
patnya, wanita berusia sekitar
empat puluh dua
tahun itu melangkah tiga tindak.
Mendadak, tan-
gan kirinya melayang.
Tap!
Untunglah dengan sigap, ayah
Intan Melati
meloncat dan memegangi tangan
istrinya yang
hendak mendaratkan tamparan.
"Tenanglah.... Tenanglah,
Dinda Nawang-
sih...," ujar lelaki
setengah baya. "Jangan kalut.
Tindakanmu justru akan membuat
bingung anak
kita...."
Nawangsih menatap lekat wajah
suaminya.
Lalu dia berhambur memeluknya.
Saat itu juga,
bahunya terguncang-guncang
terbawa isakan tan-
gis.
"Istri Rama Ludira tak
patut bersikap seper-
ti ini...," tegas lelaki
bernama Rama Ludira yang
bergelar Pendekar Hati Putih
seraya melonggarkan
pelukan istrinya. Kendati
demikian nada suaranya
penuh kegetiran. "Kau harus
berhati baja, Dinda
Nawangsih. Dalam keadaan apa
pun! Tak terkecu-
ali, saat maut akan menjemput.
Inilah jiwa pende-
kar sejati...."
Mendengar kata-kata suaminya,
Nawangsih
malah memperkeras tangisnya
seraya mempererat
pelukannya lagi.
Sementara, Intan Melati yang
semula berdiri
terpaku pun turut memeluk Rama
Ludira alias
Pendekar Hati Putih. Jadilah
mereka saling peluk.
Hingga....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras terdengar
memekakkan
gendang telinga, menyentak
mereka. Saat itu juga
pelukan mereka terlepas dan
memandang ke arah
yang sama.
"Agaknya nama besar
Pendekar Hati Putih
hanya bualan semata! Dia tak
lebih dari lelaki cen-
geng, atau barangkali perempuan
yang berbaju le-
laki?!"
Saat itu pula dua puluh orang
lelaki berpa-
kaian serba hitam telah tiba di
tempat ini, dan
langsung melakukan pengepungan.
Namun bukan
salah seorang dari mereka yang
berkata barusan.
Melainkan, dari sosok yang
berdiri tegak di atas
sebuah bongkahan batu karang.
Sosok itu adalah manusia berwujud
menge-
rikan dengan jubah hitam dan
kerudung hitam.
Wajahnya hanya berupa tonjolan
tulang yang tak
lebih dari tengkorak terbalut
kulit tipis hanya pada
mulut ke bawah. Sedangkan
hidung, dahi, dan se-
bagian pipinya tak lagi
berdaging. Kakinya cuma
satu. Untuk menjaga keseimbangan
tubuhnya, di-
pakai sebuah tongkat di tangan
kin. Matanya yang
sangat cekung menatap lurus ke
sosok Rama Lu-
dira dan keluarganya.
Rama Ludira cepat mendorong
tubuh Intan
Melati. "Larilah! Aku akan
menahannya!"
"Cepat, Intan!" timpal
Nawangsih. "Aku
akan menemani ayahmu di
sini."
"Tidak! Aku pun akan tetap
di sini!" tolak
Intan Melati, mantap bercampur
kegetiran. "Aku
tak mau berpisah dengan Ayah dan
Ibu!"
Pandangan Rama Ludira jadi nanar
melihat
putrinya membandel.
"Larilah, Anakku...!"
perintah Rama Ludira
lagi setelah melihat kehadiran
manusia tengkorak
yang tak lain bergelar Tengkorak
Kaki Satu.
"Kita hadapi bersama
manusia-manusia ib-
lis ini. Ayah! Hiaaat...!"
pekik Intan Melati seraya
menerjang empat lelaki
bersenjata golok yang su-
dah melangkah mendekati.
Trang! Trang!
Keempat lelaki itu cepat
memapaki, mem-
buat benturan senjata yang
menimbulkan perci-
kan api tak dapat dihindari.
Namun secepat itu
pula Intan Melati membabatkan
pedangnya. Suara
babatannya menderu bagai ribuan
lebah terbang
terdengar menggiriskan. Sayang
yang diserang bu-
kanlah orang-orang kemarin sore.
Mereka pun ce-
pat memutar golok seraya memberikan serangan
balasan.
Pandangan Pendekar Hati Putih
menjadi
semakin nanar saja setelah
melihat putrinya dike-
royok empat orang.
"Tinggalkan mereka,
Intan!" teriak Rama
Ludira, sekuat tenaga.
"Tidak, Ayah!" tolak
Intan Melati. "Justru
aku akan memenggal kepala
mereka!"
Si gadis membabatkan pedangnya
semakin
cepat, mengandalkan jurus-jurus
yang diturunkan
dari ayahnya. Tapi, tak satu pun
lelaki bergolok
dapat segera dijatuhkannya.
Sementara, para pen-
geroyok lain yang bersenjata
golok terdengar
menggembor keras, lalu menerjang
Rama Ludira
dan istrinya!
Melihat pertempuran sengit yang
berlang-
sung di hadapannya, Tengkorak
Kaki Satu hanya
tertawa-tawa. Bila melihat
keadaannya, tak akan
ada yang pernah mengira bahwa
lelaki ini memiliki
kesaktian luar biasa. Tengah
malam tadi bersama
tiga puluh orang anak buahnya,
Tengkorak Kaki
Satu telah menggempur Perguruan
Hati Putih yang
dipimpin Rama Ludira. Murid Rama
Ludira yang
berjumlah lima puluh orang telah
dibantai habis.
Entah bagaimana nasib guru Rama
Ludira sendiri
yang jelas sewaktu Rama Ludira
disuruh mening-
galkan perguruan, keadaan lelaki
tua itu sudah
sangat kewalahan menghadapi
Tengkorak Kaki Sa-
tu. Sedangkan di pihak Tengkorak
Kaki Satu
hanya kehilangan sepuluh orang
anak buah.
"Larilah, Intan!"
teriak Nawangsih di antara
sambaran golok lawan-lawannya.
"Pergilah ke Hu-
tan Kalirang. Temui eyang
pamanmu, Sawung
Permadi!"
Tak ada kata-kata yang menimpali
ucapan
Nawangsih. Intan Melati rupanya
sedang terdesak
hebat. Enam golok saat itu
tengah mengirim tusu-
kan dan babatan secara
bersamaan.
Nawangsih menggeram marah. Tak
dipedu-
likannya luka lebar di paha
kirinya yang mulai
mengucurkan darah lagi. Segera
ditinggalkannya
para pengeroyok. Dia meloncat
jauh, langsung
memapaki golok yang mengancam
jiwa putrinya!
Trang...!
Terdengar benturan senjata tajam
enam kali
berturut-turut. Tiga berasal
dari tangkisan pedang
Intan Melati, tiga lagi berasal
dari pedang Nawang-
sih. Namun, istri Pendekar Hati
Putih ini tak me-
nyangka akan datangnya bahaya
dari belakang.
Saat tubuhnya melayang tadi,
salah seorang pen-
geroyoknya mengejar seraya
mengirimkan tusukan
maut!
Untung saja Rama Ludira cepat
melompat,
memotong gerakan si pembokong
dengan pedang-
nya.
Trang!
Baru saja Rama Ludira berhasil
menyela-
matkan nyawa istrinya, pada saat
yang sama
muncul satu serangan berupa
sebuah tendangan.
Diegkh...!
"Aaakh...!"
Tendangan itu telak bersarang di
punggung
Pendekar Hati Putih. Ketika
tubuhnya terjajar ke
depan, sebuah babatan golok
mengenai bahu ka-
nanya.
Crasss...!
Tak terdengar jerit kesakitan
keluar dari
mulut Rama Ludira. Tubuhnya
bergetar menahan
rasa sakit. Sementara, Nawangsih
menjerit keras
melihat orang yang dicintainya
terluka. Akibatnya
perhatiannya terpecah. Maka
dengan cepat lawan
memanfaatkannya.
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Dua golok menyambar wanita itu
dengan
cepat. Satu membuat luka di
punggung. Satu lagi
menusuk paha kanannya. Dengan
kedua kaki ter-
luka, goyahlah pertahanan
Nawangsih. Tubuhnya
melorot jatuh terduduk.
"Ibu...!" pekik Intan
Melati.
Segera gadis ini berkelebat.
Namun, usa-
hanya terlambat. Sebilah golok
telah menusuk
punggung ibunya hingga tembus ke
dada.
Crap!
"Aaa...!"
"Dinda Nawangsih...!"
pekik Pendekar Hati
Putih.
Tapi, lelaki setengah baya ini tak
mampu
berbuat banyak karena para
pengeroyoknya telah
menerjang lebih ganas. Rama
Ludira jadi kalap.
Pedangnya diputar sangat cepat,
disertai geraman
dari mulutnya.
Cras! Cras!
"Aaa...!"
Dua orang lawan jatuh ke
tanah-pasir ter-
kena babatan pedang Pendekar
Hati Putih.
"Minggir kalian
semua...!" perintah Tengko-
rak Kaki Satu tiba-tiba.
Para pengeroyok bersenjata golok
kontan
berloncatan keluar dari ajang
pertempuran. Rama
Ludira dan Intan Melati menghela
napas panjang.
Namun, ayah dan anak ini
terkejut ketika melihat
wajah Tengkorak Kaki Satu
mendadak memancar-
kan cahaya merah.
"Larilah, Intan!"
teriak Rama Ludira. "Manu-
sia iblis itu hendak
mengeluarkan ilmu 'Penghilang
Akal'!"
Mendengar teriakan ayahnya,
Intan Melati
bingung sesaat. Dari cerita
ayahnya, dia tahu ilmu
'Penghilang Akal' mampu membuat
orang lupa se-
gala-galanya. Orang yang terkena
akan selalu me-
nuruti perintah Tengkorak Kaki
Satu, termasuk
untuk melakukan bunuh diri.
Mengingat hal itu,
Intan Melati jadi bergidik
ngeri. Sungguh sulit di-
bayangkan apabila dirinya dan
ayahnya terkena
ilmu sesat yang berpangkal dari
ilmu sihir milik
Tengkorak Kaki Satu.
"Larilah Intan...!"
teriak Rama Ludira lagi,
lebih keras.
Namun tanpa disadari, kedua
rongga mata
Tengkorak Kaki Satu telah
menyorotkan dua larik
sinar merah yang tepat mengenai
wajah Rama Lu-
dira. Sebentar sinar itu
menerobos masuk ke ke-
dua rongga matanya, dan mengalir
ke jalan piki-
rannya.
"Ayah...!" pekik Intan
Melati, ketika melihat
ayahnya menggeleng-gelengkan
kepala.
Pekikan Intan Melati terdengar
makin keras
ketika Rama Ludira berdiri
terpaku dengan wajah
pucat. Sementara sorot matanya
berubah redup,
seperti orang yang sudah
kehilangan semangat hi-
dup.
"Ha ha ha...!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak. "Kita akan lihat
bagaimana Pendekar Ha-
ti Putih membunuh putrinya
sendiri. Hei, Pende-
kar Hati Putih! Bunuh putrimu!
Sekarang dia telah
menjadi musuhmu!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak lagi.
Rama Ludira menatap dingin Intan
Melati.
Dalam tatapannya sosok gadis tak
lagi berwujud
putrinya, tapi seorang musuh
yang harus dile-
nyapkan.
Tanpa perlu mendengar perintah
kedua,
Pendekar Hati Putih langsung
menerjang putrinya
sendiri! Terpaksa sekali gadis
ini memutar pedang
untuk menangkis tusukan ayahnya.
Lalu, secepat
kilat dia meloncat jauh ke
belakang.
"Ayah! Aku Intan Melati
anakmu!" teriak si
gadis, berusaha menyadarkan
ayahnya.
Rama Ludira mendengus, kemudian,
me-
loncat mendekati Intan Melati
seraya memba-
batkan pedang ke leher.
Intan Melati mau tak mau
terpaksa memu-
tar pedangnya kalau tak ingin
tersambar senjata
ayahnya sendiri.
Trang! Trang!
"Auuuwww...!"
Terdengar benturan senjata tajam
dua kali.
Intan Melati memekik nyaring.
Pedang yang digu-
nakan untuk membentengi diri
telah mencelat le-
pas dari pegangan. Jelas saja,
sebab tenaga da-
lamnya kalah dua tingkat
daripada ayahnya.
"Cepat bunuh gadis itu,
Rama Ludira!" pe-
rintah Tengkorak Kaki Satu, seperti
tak sabar me-
lihat Pendekar Hati Putih
berdiri mematung di de-
pan Intan Melati yang pucat
wajahnya.
"Aku Intan Melati,
Ayah...," ingat si gadis la-
gi.
Rama Ludira menggeleng-gelengkan
kepala,
seperti ada perang besar yang
sedang berkecamuk
dalam sanubarinya. Namun,
keadaan ini tidak ber-
langsung lama, karena tiba-tiba
pedangnya dite-
baskan kembali untuk memenggal
kepala putrinya
sendiri!
"Ayah...!" jerit Intan
Melati seraya meloncat
jauh ke samping.
Pendekar Hati Putih segera
memburu. Diter-
jangnya Intan Melati dengan
serangan-serangan
mematikan. Untuk beberapa
tarikan napas, si ga-
dis masih dapat bertahan. Tapi
setelah lengan ki-
rinya tergores pedang, disertai
jeritan keras dia
menggenjot tubuh untuk melarikan
diri.
"Kejar...!" teriak
Tengkorak Kaki Satu.
Pendekar Hati Putih mencengkeram
hulu
pedang lebih erat. Lalu, lelaki
setengah baya yang
sudah lupa diri ini segera
mengejar Intan Melati
yang berlari di antara
tonjolan-tonjolan batu ka-
rang menjulang tinggi.
***
Intan Melati mengerahkan seluruh
kemam-
puannya untuk dapat berlari
cepat. Ringan sekali
kakinya menjejak tanah pasir.
Saat tubuhnya me-
layang, tiga empat tombak
berhasil dilalui. Namun
anehnya, gadis ini bukan hendak
keluar dari Pu-
lau Karang walau tahu bahaya
sedang mengejar-
nya. Langkah kakinya justru
menuju puing-puing
Perguruan Hati Putih yang telah
dihancurleburkan
Tengkorak Kaki Satu dan anak
buahnya, setelah si
gadis dan kedua orangtuanya
diperintah pergi oleh
Saka Permadi.
Tak kuasa Intan Melati menahan
tetesan air
mata. Di hadapannya tergeletak
mayat-mayat ber-
pakaian serba putih yang tak
lain para murid
ayahnya. Api masih berkobar di
bangunan utama.
Perlahan namun pasti, tempat
tinggal Pendekar
Hati Putih bersama keluarga dan
para muridnya
mulai runtuh.
Sambil menahan isakan tangis,
Intan Melati
berlari berputar-putar.
Dilangkahinya mayat-
mayat yang berserakan.
Diterobosnya lidah-lidah
api yang menjilat ganas.
Mata Intan Melati mendadak bersinar
aneh
ketika melihat sesosok tubuh
terbujur lemah di
lantai. Pakaiannya yang serba
putih penuh noda
darah. Kedua tangannya mendekap
dada yang ma-
sih mengucurkan darah segar.
"Eyang! Eyang Saka
Permadi?! Kau masih
hidup, Eyang?!" panggil
Intan Melati dengan segala
kekalutannya.
Si gadis segera memburu ke arah
sosok itu.
"Eyang! Eyang Saka Permadi!
Tolonglah In-
tan, Eyang!" pinta Intan
Melati, langsung meng-
guncang-guncangkan sosok tubuh
lelaki tua yang
tergolek di lantai.
Karena tak mendapat jawaban,
Intan Melati
mengguncang-guncangkan tubuh
lelaki tua yang
memang Saka Permadi semakin
keras.
"Eyang tidak boleh mati! Eyang harus me-
nolong Intan Melati. Ayah telah
kena pengaruh si-
hir Tengkorak Kaki Satu,
Eyang!" pekik si gadis
dengan air mata menganak sungai.
"Bangunlah,
Eyang! Tolonglah Intan,
Eyang!"
Entah dari mana datangnya
kekuatan Saka
Permadi ketika tubuhnya yang
terbujur diam tiba-
tiba bergerak lemah. Lalu
kelopak matanya terbu-
ka.
"Intan...," desah guru
Pendekar Hati Putih.
"Oh, Eyang! Syukurlah....
Kau masih hidup,
Eyang. Tolonglah Intan! Ayah
telah terkena sihir
Tengkorak Kaki Satu!" pinta
Intan Melati dengan
harapan merebak dalam dada.
Tapi, alangkah kecewanya Intan
Melati me-
lihat kelopak mata Saka Permadi
yang telah terbu-
ka, mendadak terpejam kembali.
Bagai orang kese-
tanan, Intan Melati
mengguncang-guncangkan tu-
buh lelaki tua itu.
Sementara, suara gemeretak
kayu bangunan terdengar makin
keras. Lidah api
terus menjilat-jilat. Dan
bangunan tempat Intan
Melati berada sebentar lagi akan
roboh!
"Eyang!" pekik Intan
Melati, sangat keras.
"Tolonglah Intan,
Eyang!"
Kuasa Tuhan juga yang membuat
kelopak
mata Saka Permadi terbuka lagi.
"Kau..., kau benar Intan
Melati...?" desah le-
laki tua itu lirih.
"Ya! Aku Intan Melati,
Eyang!" sahut si ga-
dis, cepat
Saka Permadi merintih. Kedua
tangannya
menekan keras luka di dadanya.
"Larilah, Intan! Carilah
adik Eyang yang
bernama Sawung Permadi. Balaslah
kebiadaban
Tengkorak Kaki Satu...."
"Bagaimana Intan bisa
melarikan diri,
Eyang? Di luar, banyak orang
mengejar. Dan, Ayah
pun telah terkena sihir manusia
iblis itu. Ayah pun
hendak membunuh Intan!"
"Di..., di mana
ibumu...?" tanya Saka Per-
madi sambil menekan luka di
dadanya keras-
keras.
Agaknya, lelaki tua ini mulai
menghadapi
sakaratul maut. Wajahnya
menegang dan kedua
kakinya menghentak-hentak ke
lantai.
"Ibu..., Ibu telah
meninggal, Eyang...," sahut
Intan Melati penuh tekanan
sambil terus meng-
guncang-guncang tubuh Saka Permadi.
Mendadak mata Saka Permadi
melotot. Ke-
dua tangannya yang menekan dada
terlihat men-
gejang kaku. Lelaki tua ini
rupanya didera rasa
sakit luar biasa. Namun,
dicobanya sekuat tenaga
untuk dapat memberikan pesan terakhir, kepada
Intan Melati.
"Teluk.... Patung....
Menyelamlah.... Gua
bawah la... ut..!"
"Eyaaang...!"
Intan Melati menjerit keras
ketika kepala
Saka Permadi tergolek di kiri.
Air matanya pun
mengucur makin keras.
Dipanggil-panggilnya na-
ma eyangnya. Tentu saja lelaki
tua yang sudah di-
jemput Malaikat Kematian itu
sudah tak mampu
berbuat apa-apa lagi.
Mendadak, terdengar suara
gemeretak keras
tepat di atas kepala Intan
Melati. Walau terhantam
kesedihan yang sangat, cepat si
gadis menyadari
keadaan. Seketika dia meloncat
merapat ke dind-
ing sebelah kanan.
Blarrr...!
"Eyaaang... !"
Suara keras terdengar kini.
Intan Melati
menjerit parau ketika melihat
mayat Saka Permadi
tertimbun reruntuhan bangunan.
Intan Melati
sendiri tak bisa terlalu lama
berdiam di tempatnya,
karena atap bangunan yang runtuh
tengah men-
gancam jiwanya.
Tanpa perhitungan lagi, Intan
Melati mene-
robos kepungan api. Tak
dipedulikannya rasa pa-
nas yang mendera sekujur
tubuhnya. Tepat ketika
kakinya menginjak halaman,
bangunan utama
Perguruan Hati Putih runtuh
sudah.
***
"Teluk.... Patung...,"
gumam Intan Melati,
menirukan ucapan Saka Permadi
begitu tiba di te-
luk yang dituju.
Mata Intan Melati bersinar
girang saat meli-
hat perahu yang biasa
digunakannya untuk ber-
main-main ke laut. Segera
dilepasnya ikatan pera-
hu. Lalu, dikayuhnya dayung
dengan amat terge-
sa-gesa. Karena kayuhan Intan
Melati disertai
pengerahan tenaga dalam, maka
perahu yang di-
tumpanginya dapat melesat cepat.
"Setan cilik keparat! Mau
lari ke mana
kau?!" Baru dua puluh
tombak perahu melesat,
mendadak terdengar bentakan
keras. Gadis itu ta-
hu, pasti para pengejarnya telah
tiba di tepi pantai.
Memang, Tengkorak Kaki Satu
telah sampai
di pantai. Di belakangnya, Rama
Ludira dan bela-
san lelaki bersenjata golok
tampak berdiri me-
nunggu aba-aba.
Melihat perahu Intan Melati
terus meluncur
cepat meninggalkan Pulau Karang,
Tengkorak Kaki
Satu menggembor keras.
Secepatnya memungut
kayu kecil yang kebetulan berada
di bawah ka-
kinya.
Ketika kayu itu dilemparkan ke
air pantai,
sesaat kemudian Tengkorak Kaki Satu menjejak-
kan tongkat di tangan kirinya ke
batu karang. Ma-
ka secepat kilat tubuh Tengkorak
Kaki Satu me-
layang ke arah kayu tadi.
Tak!
Kaki tunggal Tengkorak Kaki Satu
mendarat
tepat di kayu kecil yang
mengapung di air pantai,
membuat belasan lelaki
bersenjata golok berdecak
kagum ketika melihat tubuh
Tengkorak Kaki Satu
meluncur cepat di atas air walau
hanya bertumpu
pada sebatang kayu yang tak
lebih besar dari per-
gelangan tangan.
"Celaka!" pekik Intan
Melati, melihat Teng-
korak Kaki Satu mampu mendekati
perahunya.
"Patung. Aku harus mencapai
patung buatan
Eyang Saka Permadi, sebelum
Tengkorak Kaki Sa-
tu lebih mendekat...!"
Sekitar sepuluh tombak di depan,
Intan Me-
lati melihat patung kayu
berbentuk setengah ba-
dan manusia mengapung di laut. Patung itu tak
terbawa arus, karena di bawahnya
terdapat tali
pengikat dengan besi sebagai
pemberat.
"Matilah kau, Setan
Cilik!" pekik Tengkorak
Kaki Satu seraya menghentakkan
tangan kanan
yang dialiri kekuatan tenaga
dalam.
Wuuttt...!
"Heh...?!"
Kebetulan Intan Melati tengah
menoleh ke
belakang, jadi dapat melihat
selarik sinar merah
menggidikkan yang meluncur deras
ke arahnya.
Bergegas kakinya menjejak dasar
perahu.
"Hiaaa...!"
Brakkk!
Ketika tubuh si gadis melayang
di udara,
terdengar ledakan keras. Perahu
yang terkena pu-
kulan jarak jauh Tengkorak Kaki
Satu hancur be-
rantakan, menjadi
serpihan-serpihan kecil!
Byurrr!
Tengkorak Kaki Satu tertawa
penuh keme-
nangan melihat tubuh Intan
Melati tercebur ke
laut. Disiapkannya pukulan jarak
jauh lagi sambil
menanti tubuh Intan Melati
timbul di permukaan
air. Tapi hingga menunggu
beberapa lama, tubuh
yang diharapkan tak juga tampak
di depan mata.
"Setan cilik keparat!"
umpat Tengkorak Kaki
Satu seraya menghantamkan
pukulan jarak jauh
secara ngawur.
2
Pagi yang datang menghantarkan
terang,
membuat keramaian Kampung
Randublatung seo-
lah memulai kehidupan kembali.
Banyak perahu
nelayan menambat, setelah
semalaman menga-
rungi laut. Belasan lelaki kekar
berjalan cepat
sambil menjinjing keranjang
berisi ikan. Belasan
lelaki lainnya masih sibuk
menyeret perahu naik
ke pantai. Sementara, cuaca yang
cukup cerah se-
perti tengah menggambarkan isi
hati para nelayan
yang diliputi kegembiraan. Ikan
hasil tangkapan
mereka hari ini melimpah. Itu
berarti imbalan atas
keringat yang mengucur cukup
sepadan.
Hembusan angin laut membuat
rambut
panjang remaja tampan berpakaian
putih penuh
tambalan yang berdiri tegak di
tepi pantai berkiba-
ran. Kakinya kokoh-kuat menopang
tubuh yang
tegap berisi. Tangan kanannya
bertelekan seba-
tang tongkat butut. Matanya menerawang
jauh
tanpa bosan ke arah garis langit
yang menyatu
dengan garis air laut membujur
nun jauh di sana.
"Lapar...," desis si
remaja sambil menepuk
perutnya. Sikapnya jadi tampak
aneh ketika tan-
gan kirinya menggaruk-garuk
kepala.
Dengan langkah kaki setengah
berlari, re-
maja ini mendekati seorang
pemuda berkulit hitam
yang tengah menjinjing
sekeranjang ikan.
"Mari kubantu
membawakan...," pinta re-
maja tampan itu mencegat langkah
si pemuda.
Sekilas pemuda berkulit hitam
menatap wa-
jah remaja yang berdiri di
hadapannya.
"Aku tidak butuh
bantuan!" tolaknya kasar.
Si remaja mengernyitkan hidung.
Wajahnya
jadi tampak lucu.
"Kenapa marah? Bukankah aku
menawar-
kan jasa baik?" tukas si
remaja ini, konyol.
Pemuda berkulit hitam mendengus.
Kakinya
melangkah lagi. Kedua tangannya
yang penuh ton-
jolan urat tampak bergetar.
Agaknya, keranjang
ikan yang sedang dijinjingnya
terasa berat.
"Hei! Aku bisa meringankan
bebanmu!" te-
riak si remaja. "Aku tidak
butuh imbalan banyak.
Cuma dua-tiga ekor ikan
cukup!"
Remaja tampan berpakaian putih
penuh
tambalan itu cemberut melihat si
pemuda tak
mendengarkan kata-katanya. Dia
melangkah ter-
gesa-gesa. Keranjang ikan
jinjingannya semakin
terasa berat.
"Uh! Pelit!" gerutu si
remaja sambil mengge-
drukkan tongkatnya ke pasir.
Remaja bertingkah
konyol ini melangkah gontai.
Berulang kali kepa-
lanya yang tak gatal digaruk.
"Hmm.... Aku minta orang
itu saja...," cetus
si remaja ketika melihat empat
lelaki tengah me-
nambatkan perahu.
Remaja konyol itu segera
berlari-lari meng-
hampiri. Begitu melihat ikan
berserakan di lantai
perahu, bibirnya menyungging
senyum lebar.
"Boleh minta dua ekor ikan
itu, Pak?" pinta
si remaja kemudian.
Lelaki berikat kepala hitam
menatap lekat
seraut wajah remaja tampan di
hadapannya. Dia
tertawa geli melihat remaja itu
mengernyitkan hi-
dung. Tiga lelaki yang sedang
mengikat tali perahu
menghentikan kesibukan. Tahu ada
orang hendak
minta ikan, mereka turut
tertawa. Seumur hidup,
baru kali ini mereka bertemu
pengemis ikan.
Kampung Randublatung terletak di
Pantai
Utara yang terpencil. Jadi,
jarang ada orang luar
singgah. Sehingga, kehadiran si
remaja yang lang-
sung meminta ikan cukup
mengundang tawa geli
mereka. Apalagi wajah si remaja
yang tampak ke-
bodoh-bodohan dengan tubuh
terbungkus pakaian
penuh tambalan.
"Maaf, Anak Muda...,"
ucap lelaki berikat
kepala hitam kemudian.
"Agaknya kau pengemis
yang tengah tersesat jalan.
Tapi, ketahuilah. Kam-
pung Randublatung ini tidak bisa
menerima keha-
diran seorang pengemis. Untuk
dapat makan,
orang harus bekerja."
Si remaja menggaruk-garuk kepala
men-
dengarnya. Perutnya yang terasa
melilit-lilit mem-
buatnya sedikit nekat.
"Kulihat hasil tangkapan
Pak Tua cukup
banyak. Tidakkah kau ingin
membagi rezeki kepa-
da orang miskin seperti aku
ini?" katanya, seten-
gah memohon
"Sudah kubilang, untuk
dapat makan,
orang harus bekerja...!"
sentak lelaki berikat kepa-
la hitam agak keras.
Lelaki berumur sekitar lima
puluh tahun itu
lalu naik ke perahu.
Dimasukkannya ikan-ikan
yang berserakan di lantai perahu
ke keranjang. Ke-
tiga temannya segera membantu,
tak mempeduli-
kan si remaja tampan lagi.
"Uh! Dasar pelit!"
umpat si remaja dalam
hati. "Kampung macam apa
ini? Kenapa pendu-
duknya begitu kikir?"
Mendadak, mata remaja berpakaian
penuh
tambalan berkilat aneh.
"He, Pak Tua!" panggil
si remaja kemudian.
"Aku bukan hendak mengemis,
tapi akan menukar
dua ekor ikan dengan sebuah
pertunjukan mena-
rik...."
"Pergi kau! Jangan ganggu
aku!" tolak lelaki
berikat kepala hitam.
Si remaja menggaruk kepala
sebentar. Lalu,
tangan kirinya memegang ujung
papan perahu!
Akibatnya, empat lelaki yang
berada di dalamnya
terkejut setengah mati ketika
badan perahu berge-
tar. Serta-merta mereka
berloncatan keluar. Dan
mata mereka kontan terbelalak,
melihat si remaja
tidur telentang dengan punggung
tersangga seba-
tang tongkat kayu yang
ditancapkan ke dalam pa-
sir.
"Setan!" pekik lelaki
berikat kepala hitam
dengan tubuh menggigil.
"Bukan! Dia bukan setan!
Dia sedang mem-
pertontonkan kemahiran!"
sahut salah seorang
temannya.
"Ya! Ya, dia sedang bermain
ketangkasan!"
sahut yang lain.
"He he he...!"
Si remaja tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan-
lahan kedua kakinya turun ke
pasir, lalu berdiri
gagah.
"Aku telah memperlihatkan
pertunjukan
yang cukup menarik, bukan?"
katanya sambil
mencabut tongkatnya.
"Imbalannya.... Tentu saja
dua ekor ikan...."
Tenang sekali si remaja
mengambil dua ekor
ikan besar dari dalam perahu.
Kakinya lalu me-
langkah lenggang. Empat lelaki
yang ditinggalkan-
nya cuma dapat berdiri
terlongong bengong.
Di bawah naungan batu karang
besar, re-
maja berpakaian penuh tambalan
membuat pera-
pian dari daun kelapa kering untuk
membakar
dua ekor ikan yang dibawanya.
Sebentar saja asap
beraroma gurih membuat perutnya
semakin meli-
lit-lilit. Matanya
mengerjap-ngerjap. Tangannya tak
henti menggaruk kepala. Melihat
kebiasaan remaja
tampan ini, siapa lagi dia kalau
bukan Suropati
alias Pengemis Binal.
"Wuih! Sedap benar aroma
ikan bakar
ini...," gumam Suropati
yang merupakan Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Hidungnya
terlihat kembang-kempis.
"Cacing-cacing dalam
perutku ini semakin banyak tingkah saja. Bersa-
barlah sedikit, Bodoh!"
Pengemis Binal menggaplok
perutnya sendi-
ri. Seperti orang kehilangan
ingatan, dia lalu ber-
jingkrak-jingkrak. Tangannya
sibuk mencubit dag-
ing ikan panas yang baru saja
diangkatnya dari
perapian.
"Hmm.... Nyam nyam nyam....
Sedap seka-
li...," desis Pengemis
Binal dengan daging panas di
mulutnya.
Sebentar kemudian, dua ekor ikan
sebesar
lengan orang dewasa amblas
sudah. Tulang-
tulangnya berserakan di dekat
perapian. Sementa-
ra, Pengemis Binal mengusap-usap
perutnya yang
tak lagi keroncongan.
Lalu dikeluarkannya secarik
kertas dari ba-
lik bajunya. Setelah menggaruk
kepala sebentar,
diejanya barisan huruf yang
tertera di atas kertas.
Untuk Pendekar Besar Suropati,
Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Dengan se-
gala kerendahan hati, kami
mengundang Tuan
Pendekar untuk datang ke Pulau
Karang. Perguruan
Hati Putih membutuhkan beberapa
petunjuk. Besar
harapan kami agar Tuan Pendekar
bersedia datang
secepatnya.
Rama Ludira alias Pendekar Hati
Putih
Suropati menyimpan kembali surat
undan-
gan yang telah dibaca berulang
kali itu. Lalu, ma-
tanya menerawang jauh.
Ditatapnya langit biru.
Ditatapnya burung-burung yang
bercengkerama di
atas laut. Ditatapnya keramaian
Kampung Ran-
dublatung. Lalu, digaruknya
kepalanya yang tak
gatal.
"Pulau Karang...,"
gumam Suropati. "Menu-
rut keterangan yang kuperoleh
pulau itu terletak
di sekitar Pantai Utara. Tapi
letaknya yang pasti
tak ada yang tahu.
Aneh...."
Suropati menggaruk kepala
semakin keras.
"Kenapa ada pendekar
mendirikan sebuah
perguruan silat di pulau yang
tersembunyi. Siapa
pula Pendekar Hati Putih itu?
Ah! Haruskah aku
menyeberangi lautan hanya untuk
menghadiri un-
dangan yang membingungkan ini?"
Mata Suropati kembali menerawang
jauh.
Ditatapnya lagi langit biru,
burung-burung terbang
di atas laut, keramaian Kampung
Randublatung.
Lalu, remaja konyol ini
menggaruk kepala lagi
sambil cengar-cengir.
***
Intan Melati jantungnya hendak
meledak.
Sakitnya bagai diremas-remas.
Namun, semangat-
nya tak hilang untuk mengikuti
tali yang terjuntai
tegak lurus ke dasar laut yang
ternyata dangkal,
karena berada di dekat teluk.
"Teluk.... Patung....
Menyelamlah.... Gua
bawah laut...," gumam Intan
Melati, menirukan
pesan terakhir Saka Permadi guru
ayahnya. "Aku
harus menemukan gua bawah laut
itu. Aku harus
dapat meloloskan diri. Aku harus
dapat membalas
kebiadaban Tengkorak Kaki Satu.
Aku harus dapat
membebaskan Ayah dari pengaruh
sihir jahat iblis
laknat itu...."
Dengan semangat berkobar dalam
dada, ga-
dis ini terus menyelam. Dia
mampu menahan na-
pas hingga beberapa lama, karena
sejak kecil ter-
biasa hidup di laut. Sehingga,
membuatnya pandai
menyelam dan mengatur
pernapasan.
Namun, kemampuan manusia ada
batas-
nya. Air laut mulai terhirup
oleh Intan Melati. Pa-
ru-parunya semakin terasa sakit.
Matanya pun te-
rasa amat pedih kini. Untunglah,
sebelum sampai
di titik batas kemampuannya, dia
melihat mulut
gua yang berada di kaki daratan
yang menjorok ke
dalam laut. Segera gerakan
tangan dan kakinya
dipercepat.
Mengikuti lorong gua yang
ditemukannya,
tubuh Intan Melati terbawa naik.
Dalam hati gadis
ini bersorak girang ketika
tahu-tahu kepalanya
muncul di permukaan air.
Bergegas dia menepi.
Pandangannya langsung menebar.
Kiranya, dia be-
rada di pantai pulau kecil yang
terletak cukup
jauh dari Pulau Karang.
Intan Melati menarik napas sepanjang
mungkin. Dadanya yang sesak
membuat tubuhnya
gemetar. Gadis ini lalu menekan
perutnya.
"Hoeeekkk...!"
Air laut pun tumpah dari mulut
Intan Mela-
ti. Payah sekali keadaannya.
Seluruh tenaganya te-
lah terkuras habis. Keluh pendek
keluar menyertai
pandangannya yang mengabur.
Kepalanya pusing
bukan main, lalu tubuhnya
terbanting ke sebuah
papan yang tergolek di pasir.
Debur ombak memukul-mukul garis
pantai.
Suaranya bergemuruh tiada henti.
Perlahan na-
mun pasti, lidah ombak menyeret
tubuh lemah In-
tan Melati yang terbujur di atas
papan. Hingga ak-
hirnya..., tubuh malang ini pun
benar-benar ter-
bawa ke tengah laut!
***
Suropati mengedarkan pandangan
ke utara.
Ditatapnya pulau kecil nun jauh
di sana. Pandan-
gannya dialihkan lagi. Rupanya,
banyak pulau ke-
cil yang tertangkap mata tajam
Pengemis Binal.
Segera terlihat kerut di
keningnya.
"Banyak benar pulau kecil
di sekitar Laut
Utara ini...," gumam
Pengemis Binal. "Adakah di
antaranya yang bernama Pulau
Karang? Haruskah
aku menyinggahinya satu persatu?
Atau, aku ber-
tanya dulu pada penduduk Kampung
Randubla-
tung? Ah, tidak! Sudah empat
kali aku bertanya
pada mereka, tapi tak satu pun
yang dapat mem-
beri jawaban."
Selagi Pengemis Binal terbawa
pikiran di
benaknya, kakinya melangkah
tanpa sadar. Na-
mun, dia terhenyak ketika
tatapan matanya mem-
bentur sosok tubuh berpakaian
putih-kuning
mengapung di tengah laut di atas
papan.
"Mayat? Orang bunuh
diri?" tanya Suropati
dalam hati. "Jangan-jangan
dia masih hidup!"
Bergegas Pengemis Binal
berkelebat ke air
pantai. Dan seketika tubuhnya
mencebur ke laut.
Suropati berenang ke tengah
laut. Cepat sekali tu-
buhnya melesat bagai luncuran
ikan pari. Dan se-
bentar saja, disambarnya sosok
tubuh yang terku-
lai lemah di atas papan. Lalu
kembali tubuhnya
meluruk ke pantai. Begitu
menginjak pasir pantai
lagi, Pengemis Binal menggaruk
kepalanya.
"Wuih! Gadis cantik....
Gadis cantik...," gu-
mam Suropati berulang kali.
Pengemis Binal jadi linglung.
Dia tahu, si
gadis masih hidup. Tapi,
bagaimana mesti meno-
long gadis yang napasnya sudah
satu-satu itu?
"Napas buatan!" cetus
Suropati kemudian
dengan mata berbinar. Tapi,
remaja konyol ini ter-
lihat garuk-garuk kepala lagi.
"Dengan cara apa
aku memberi napas buatan? Dari
mulut ke mulut?
Ah! Kenapa tidak? Bukankah aku
bermaksud
baik?"
Segera Pengemis Binal
menempelkan bibir-
nya ke bibir si gadis yang
tergeletak pingsan. Pen-
gemis Binal jadi linglung lagi.
Bibirnya menyentuh
daging lembut yang sangat
melenakan. Matanya
pun terpejam, seolah begitu
menikmati.
"Bodoh!" maki Suropati
seraya menggaplok
kepalanya sendiri.
Kepala remaja konyol ini lalu
menggeleng-
geleng. Dicobanya melenyapkan
pikiran mesum di
benaknya. Setelah menyebut nama
Sang Penguasa
Tunggal berkali-kali, dia
menarik napas panjang.
Kemudian, diberikannya napas
buatan ke mulut si
gadis.
Suropati menghentikan
pertolongannya, ke-
tika kepala gadis itu bergerak
lemah. Dan betapa
terkejutnya si gadis ketika
pandangannya berben-
turan dengan tatapan Pengemis
Binal.
Gadis berpakaian putih-kuning
meloncat.
Tapi, tubuhnya segera terkulai.
Tenaganya belum
pulih. Dia cuma dapat menatap
wajah Pengemis
Binal yang berjongkok tak jauh
darinya.
"Siapa kau?" tanya si
gadis, curiga.
"Tenanglah, Nona...,"
ujar Suropati. "Aku
bukan orang jahat. Aku melihatmu
tadi menga-
pung di tengah laut. Lalu aku
membawamu kema-
ri."
"Mengapung di tengah
laut?" tanya si gadis
dalam hati. "Bukankah aku
telah berada di pan-
tai?"
Gadis berpakaian putih-kuning
menebar
pandangan. Memang betul, dia
berada di pantai.
Tapi bukan pantai tempat sewaktu
dia jatuh ping-
san.
"Mungkin aku terbawa lidah ombak...," pi-
kirnya kemudian.
"Apakah kau sengaja hendak
bunuh diri,
Nona? Atau kau salah seorang
penumpang kapal
naas yang terhantam ombak
panas?" tanya Suro-
pati, memperlihatkan
kesungguhan.
"Benarkah kau yang
menolongku?" bukan-
nya menjawab, si gadis malah
balik bertanya.
"Ya. Kenapa?"
"Terima kasih...,"
ucap si gadis seraya
bangkit, hendak meninggalkan
Pengemis Binal.
"Eit! Tunggu, Nona!"
cegah si konyol Suro-
pati! "Kau belum
memperkenalkan diri. Barangkali
kita ada jodoh untuk berjumpa
lagi."
Walau sempoyongan, tapi gadis
berpakaian
putih-kuning terus melangkah.
Suropati yang ter-
tarik pada kecantikan si gadis
tampak mengikuti
di sisi kirinya.
"Kau masih harus memulihkan
kesehatan-
mu...," ingat Pengemis
Binal.
Si gadis menghentikan
langkahnya. Dita-
tapnya seraut wajah tampan milik
Pengemis Binal.
Pandangannya mereka bertubrukan
lagi. Kontan
gadis cantik itu menunduk malu.
Pada saat itulah
disadari kalau pakaiannya
basah-kuyup, hingga
lekuk-lekuk tubuhnya tergambar
jelas.
"Pergi kau!" usir si
gadis tiba-tiba.
Sejenak Pengemis Binal terpaku
di tempat-
nya. Tanpa sadar kepalanya
digaruk.
"Kau marah? Kau menyesal
bertemu Suro-
pati?" tanya Pengemis
Binal. Kesal juga hati remaja
konyol ini akhirnya.
"Suropati...," sebut
gadis berpakaian putih-
kuning menggumam.
"Sepertinya, Ayah pernah
menyebut-nyebut nama
itu...."
"Apa yang kau katakan,
Nona?" tanya Pen-
gemis Binal.
"Aku.... Aku Intan Melati.
.," kata gadis ber-
pakaian putih-kuning yang memang
Intan Melati.
"Ayahku pernah
menyebut-nyebut nama Suropati.
Kiranya, kau orangnya...."
"Siapa nama ayahmu?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal,
mendadak wajah Intan Melati
berubah muram. In-
gatannya seketika melayang ke
Pulau Karang. Ke-
matian saudara-saudara
seperguruannya, Saka
Permadi eyangnya, ibunya,
mengusik pikirannya
kini. Teringat pula ayahnya yang
terkena pengaruh
ilmu 'Penghilang Akal'. Semua
itu membuat gun-
dah hatinya. Maka wajar bila
raut wajahnya men-
jadi muram.
Suropati yang telah menyadari
keadaan, ce-
pat merengkuh bahu Intan Melati.
Dibimbingnya
gadis itu untuk duduk berjemur
di sisi batu ka-
rang. Pakaian mereka memang sama
basah, maka
perlu untuk dikeringkan.
"Aku tahu kau mengalami
beban berat, In-
tan. Raut wajahmu menunjukkan
itu...," buka
Pengemis Binal kemudian.
Pandangan Intan Melati mengabur
karena
air mata. Dicobanya untuk menahan
isakan tan-
gis, tapi tiada kuasa. Peristiwa
berdarah di Pulau
Karang begitu menyedihkan. Namun
ketika terin-
gat Tengkorak Kaki Satu si
pembuat malapetaka,
jemari tangannya langsung
mengepal dengan wa-
jah menegang. Amarah dan dendam
kini memenu-
hi dadanya yang siap meledak!
"Ceritakan apa yang terjadi
pada dirimu, In-
tan...," pinta Pengemis
Binal sambil menatap wa-
jah gadis di sisinya
lekat-lekat. "Barangkali aku
masih bisa memberikan bantuan.
Atau paling ti-
dak, kau bisa membagi beban
batinmu."
Intan Melati tetap diam. Tapi
kemudian,
matanya yang sendu menatap wajah
Pengemis Bi-
nal yang menampakkan
kesungguhan.
"Hidup bersama Ayah, Ibu,
Eyang Saka
Permadi, dan saudara-saudara
seperguruan ada-
lah hidup yang sangat
menyenangkan. Kami se-
mua telah sepakat untuk
memisahkan diri dari
dunia ramai, walau untuk
sementara waktu. Ta-
pi..., aku tak tahu kenapa iblis
laknat itu tiba-tiba
datang dan menghancurkan
kebahagiaan kami...,"
ungkap gadis itu memulai.
"Siapa yang kau maksud
dengan 'iblis lak-
nat' itu, Intan?" tanya
Pengemis Binal.
"Dia memperkenalkan diri
sebagai Tengko-
rak Kaki Satu...," ketika
mengucapkan kalimat ini,
menegang lagi wajah Intan
Melati. "Aku harus
membunuhnya! Aku harus
membebaskan Ayah
dari pengaruh sihir
jahatnya!"
"Tenanglah, Intan...,"
bisik Pengemis Binal
melihat Intan Melati jadi kalut.
"Sudah kewajiban
orang-orang golongan putih untuk
melenyapkan
keangkaramurkaan di muka bumi
ini. Aku berjanji
akan membantumu menumpas musuh
keluarga-
mu itu, Intan...."
"Herannya manusia biadab
itu bisa menda-
tangi tempatku...," ucap
Intan Melati dengan mata
merenung jauh.
"Aku menduga kau tentu
tinggal di sebuah
tempat yang amat
terpencil," kata Suropati.
"Tadi sudah kukatakan aku dan
keluargaku
memang sengaja hendak memisahkan
diri dari ke-
ramaian dunia. Kami tinggal di
Pulau Karang."
Terkejut Suropati mendengar
penuturan In-
tan Melati.
"Pulau Karang...,"
desis remaja konyol ini
segera teringat surat undangan
yang baru diteri-
manya beberapa pekan yang lalu.
"Kalau memang
tinggal di Pulau Karang, kau
tentu kenal Rama
Ludira alias Pendekar Hati
Putih?"
"Dia ayahku," jawab
Intan Melati, cepat.
Untuk kedua kalinya Suropati
terkejut.
Tanpa sadar kepalanya
digaruk-garuk. Memang,
menyebalkan sekali melihat
kebiasaan remaja ko-
nyol ini.
"Hmmm.... Ada apa di balik
undangan Ra-
ma Ludira ini?" tanya
Pengemis Binal dalam hati.
"Apakah memang ada
hubungannya dengan mala-
petaka yang menimpa keluarga dan
para murid-
nya? Jauh-jauh sebelumnya,
apakah dia sudah
merasa akan datangnya bahaya?
Kemudian dia
mengundangku. Untuk minta
bantuan?"
Mengikuti pikiran di benaknya,
Suropati la-
lu mengeluarkan secarik kertas
dari balik bajunya.
Tentu saja kertas itu telah
basah oleh air laut tadi.
Tapi ketika disodorkan, Intan
Melati masih bisa
mengeja barisan huruf yang
tertera.
"Surat ini memang ayahku
yang membuat-
nya," tandas Intan Melati.
"Agaknya, Ayah hendak
meminta bantuanmu, Suro. Dia rupanya
sudah
tahu bila Tengkorak Kaki Satu
akan datang men-
ciptakan peristiwa
berdarah...."
Mendadak, Intan Melati bangkit
dari du-
duknya. "Kau tadi telah
menyatakan kesedian mu
untuk membantu, Suro. Sekarang
temani aku per-
gi ke Hutan Kalirang. Aku harus
mencari paman
guru ayahku yang bernama Sawung
Permadi," pin-
ta gadis itu, merasa seolah
sudah akrab.
Berbinar mata Pengemis Binal
mendengar
ajakan Intan Melati. Bagi remaja konyol ini, me-
nemani perjalanan seorang gadis
cantik adalah
pekerjaan sangat menyenangkan.
Maka, tak hen-
dak dia melepas kesempatan baik
ini.
"Ya! Ya, aku akan
menemanimu ke Hutan
Kalirang!" tegas Pengemis
Binal begitu bangkit dari
duduknya. "Tapi...."
Suropati tak melanjutkan
kalimatnya. Ke-
ningnya berkerut, seperti sedang
berpikir berat.
"Ada apa, Suro?" tanya
Intan Melati, tak
mengerti.
"Kau cantik sekali,
Intan...," bisik Pengemis
Binal. Intan Melati tertunduk
malu. Memang, baru
Suropatilah yang mengatakan
kalau dirinya can-
tik. Saudara-saudara seperguruannya
di Pulau Ka-
rang tak ada yang berani
menyatakannya. Bahkan,
ayahnya sendiri pun tak pernah.
Hingga, pujian
Pengemis Binal membuat merebak
isi hatinya.
Sementara, Pengemis Binal yang
melihat ke-
luguan si gadis tampak
tersenyum-senyum. Tan-
gannya yang nakal lalu membelai
rambut Intan
Melati yang setengah basah.
"Kau benar-benar cantik,
Intan...," pujinya
lagi.
Dalam dada Intan Melati timbul
debar-
debar aneh. Otaknya tiba-tiba
tak bisa lagi dibuat
berpikir. Rasa senang dan malu
bercampur-aduk
jadi satu. Malah dibiarkannya
saja ketika Penge-
mis Binal memegang dagunya. Dan
perlahan-lahan
wajah Pengemis Binal mendekat
untuk mencium
bibir Intan Melati. Tapi...
Duk...!
"Wadouw...!"
Pengemis Binal meraung
kesakitan. Dia ber-
jingkrak-jingkrak sambil
mendekap bagian milik-
nya yang amat berharga bagi
seorang lelaki. Ru-
panya lutut Intan Melati telah
mendarat telak di
daerah itu.
"Kita baru kenal! Kenapa
kau hendak ber-
buat macam-macam, Suro?!"
hardik Intan Melati.
Tapi, dalam hati gadis ini
menyesal melihat Suro-
pati tampak sangat kesakitan.
"Kau..., kau...."
Mendengar bicara Pengemis Binal
yang ter-
gagap, Intan Melati pura-pura
memasang wajah
ketus.
"Aku bisa pergi ke Hutan
Kalirang seorang
diri. Aku tak butuh bantuan
lelaki edan macam
kau!"
Melihat Intan Melati berjalan
meninggalkan
dirinya, Suropati nyengir kuda.
Dia tahu, gadis itu
pura-pura marah. Namun,
dicobanya untuk men-
galah.
"Maafkan aku,
Intan...," ucap Pengemis Bi-
nal seraya mengejar langkah
Intan Melati. "Hutan
Kalirang jauh sekali dari sini.
Di sepanjang perja-
lanan, banyak orang jahat. Tak
baik gadis cantik
sepertimu berjalan seorang
diri...."
Intan Melati tak menjawab.
Namun, lang-
kahnya terhenyak ketika
tiba-tiba muncul seorang
lelaki di hadapannya. Tanpa
sadar kakinya tersu-
rut mundur dua tindak, hingga
punggungnya
membentur dada Suropati.
"Lelaki Genit Mata
Banci...," desis Pengemis
Binal dengan mata tak berkedip
memandang lelaki
berumur sekitar enam puluh tahun
yang muncul
secara mendadak.
"Ha ha ha...!" kakek
berjuluk Lelaki Genit
Mata Banci tertawa bergelak.
"Kita berjumpa lagi,
Suro. Agaknya kita memang
berjodoh. Ha ha ha...!"
Intan Melati yang telah berdiri
di sisi kiri
Suropati turut memandang Lelaki
Genit Mata Ban-
ci tanpa berkedip. Penampilan
kakek itu cukup
mencolok mata. Tubuhnya yang
tinggi-ramping di-
bungkus pakaian merah jingga,
terbuat dari bahan
mahal. Rambutnya yang telah
berwarna dua diikat
sehelai sutera kuning.
Gerak-geriknya tampak di-
buat-buat, seperti seorang
wanita. Gadis ini jadi
jengah dan muak melihat tatapan
nakal si kakek
yang terus tertuju pada wajah
tampan Suropati.
"Kukira di antara kita
sudah tak ada lagi
urusan, Pak Tua. Sebaiknya,
menyingkirlah. Kare-
na aku tak tahan melihat
tingkah-lakumu yang
genit!" ujar Pengemis Binal
datar.
"Ha ha ha...! Tidak benar!
Itu tidak benar"
sergah Lelaki Genit Mata Banci.
"Kita masih mem-
punyai urusan, Suro! Di Laut
Selatan, kau me-
mang bisa lepas dari lubang
kematian. Tapi, tidak
untuk saat ini."
Mendengar ucapan si kakek banci,
Suropati
teringat peristiwa beberapa
bulan lalu. Kala itu,
Pengemis Binal bersama Anggraini
Sulistya, Raka
Maruta, dan si Wajah Merah,
sedang mengarungi
Laut Selatan untuk mencari Putri
Air. Ketika Kapal
Rajawali yang ditumpangi
hancur-berantakan ter-
hantam ombak ganas, Lelaki Genit
Mata Banci
muncul bersama Tiga Dara Bengal
dan belasan
anak buahnya dan langsung
menghujani anak pa-
nah dari atas perahu layar
hitam. Suropati,
Anggraini Sulistya, Raka Maruta,
dan si Wajah Me-
rah terluka parah. Untunglah
mereka ditolong Nyai
Catur Asta, Ratu Kerajaan
Siluman (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial
Pengemis Binal dalam
episode : "Petaka Kerajaan
Air").
"Aku heran melihat ulah
orang-orang uzur
yang aneh. Padahal bila melihat
umurnya sendiri
yang sudah mendekati liang
kubur, mestinya bisa
berpikir lebih jernih. Kenapa
hanya karena masa-
lah sepele saja, hati jadi panas
penuh nafsu mem-
bunuh?"
Mendengar sindiran Pengemis
Binal, Lelaki
Genit Mata Banci malah tertawa
bergelak. Begitu
tawanya terhenti, kakek banci
ini mendengus gu-
sar.
"Ketua Partai Iblis Ungu
yang bernama Wi-
ranti adalah sahabat baikku,
Bocah Gemblung!
Aku dan Wiranti menjalin tali
persahabatan sejak
masih anak-anak. Dan..., kau
telah memutuskan-
nya! Kau bunuh Wiranti! Itu sama
saja mencong-
kel satu biji mataku!"
desis Lelaki Genit Mata Ban-
ci (Kisah Wiranti yang mati di
tangan Suropati bisa
dibaca pada episode : 'Tabir Air
Sakti").
"Wiranti mati karena
ketelengasannya sen-
diri!" sahut Pengemis
Binal, cepat "Tak tahukah
kau, Pak Tua. Wiranti telah
membunuh dua puluh
pengawal penjual jasa pengiriman
Kencana Mega,
termasuk ketuanya yang bernama
Lodra Sawala.
Bukan itu saja. Dia pun telah
membunuh Tuhisa
Brama, seorang Brahmana yang
tidak punya uru-
san apa-apa dengannya. Melihat
kekejamannya,
kukira sudah sepatutnya Wiranti
menerima kema-
tian. Oleh karenanya, buka mata
hatimu lebar-
lebar, Pak Tua! Kau sebagai
lelaki tua yang telah
matang pengalaman, pasti dapat
membedakan
mana yang salah dan mana yang
benar. Kukira
kau bukan manusia yang gampang
dibujuk se-
tan...."
"Hentikan khotbahmu, Bocah
Edan!" potong
Lelaki Genit Mata Banci.
"Aku tak butuh nasihat
macam-macam dari mulutmu yang
sontoloyo! Aku
tahu, apa yang harus kuperbuat!
Aku harus mem-
balaskan kematian Wiranti!
Tapi...," ucapan kakek
banci ini terhenti. Matanya
mengerling nakal. "Aku
mau melupakan urusan Wiranti
asal..., asal kau
mau me..., ha ha ha…!"
"Gila!" rutuk Suropati
yang bisa menebak
maksud ucapan Lelaki Genit Mata
Banci.
"Bagaimana? Apakah kau
bersedia?"
Tanpa menunggu jawaban, Lelaki
Genit Ma-
ta Banci cepat dengan kedua
tangan terbuka. Me-
lihat gerakan kakek banci yang
hendak memeluk-
nya, Suropati mencabut tongkat butut
yang terse-
lip di ikat pinggangnya.
Wuuttt!
"Heh?!"
Lelaki Genit Mata Banci
terkesiap. Karena
tak mau dadanya tersodok,
luncuran tubuhnya
dihentikan.
"Bangsat!" umpat kakek
banci. "Menolak
keinginan Lelaki Genit Mata
Banci sama saja men-
gundang Malaikat Kematian!"
"Terserah apa yang kau
katakan. Tapi yang
jelas, aku tak sudi melayani
kemauan gilamu!
Tampangmu saja persis monyet
dibedaki!"
Mendidih darah Lelaki Genit Mata
Banci
mendengar ejekan Pengemis Binal.
Bola matanya
hendak keluar dari rongganya.
Dengan rahang
menggembung, giginya bertautan
memperdengar-
kan bunyi bergemelutuk.
"Aku menduga kau terlalu
banyak berpiki-
ran mesum terhadap sesama lelaki, Pak Tua.
Otakmu jadi bebal. Dan,
lebih-lebih lagi, jadi tak
waras!" lanjut Pengemis
Binal. "Sebaiknya kau
menghadap seorang pertapa.
Mintalah nasihat.
Dengan begitu, mungkin kau bisa
menghindari
perbuatan menyimpang."
"Haram jadah! Ku lumatkan tubuhmu!
Heaaa...!" Dengan napas
memburu terbawa luapan
amarah, Lelaki Genit Mata Banci
menghentakkan
kedua telapak tangannya ke
depan. Seketika dua
larik sinar kuning yang
memancarkan hawa panas
meluncur deras ke arah Suropati.
Sementara, Suropati yang sudah
jengkel tak
mau membuang-buang waktu. Segera
digunakan-
nya ilmu 'Pukulan Salju Merah'
untuk memapaki
dua larik sinar kuning wujud
dari pukulan jarak
jauh Lelaki Genit Mata Banci!
"Heaaa...!"
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Ledakan keras terdengar
membahana di
angkasa. Udara yang diselumuti
hawa dingin dibe-
lah oleh jeritan panjang Lelaki
Genit Mata Banci.
Tubuh lelaki tua itu jatuh
terjengkang terbungkus
salju tipis berwarna merah.
Suropati yang tetap berdiri
tegak di tempat-
nya memandang dingin.
"Aku tak bermaksud
membunuhmu, Pak
Tua!" ujar Pengemis Binal.
"Pergilah! Berpikirlah
seribu kali sebelum kau
melampiaskan dendammu
kepadaku!"
Dengan tubuh menggigil
kedinginan, Lelaki
Gerut Mata Banci bangkit
berdiri. Untung Suropati
hanya mengerahkan setengah
bagian tenaga da-
lamnya. Sehingga, kakek banci
ini tak mengalami
cedera berarti. Namun, sebagai
tokoh tua yang su-
dah bertahun-tahun berkecimpung
di rimba persi-
latan, harga dirinya benar-benar
terasa terinjak.
Dia tak mau dipecundangi
Suropati yang dianggap
masih bocah ingusan. Maka....
"Heaa...!"
Sambil berteriak keras, Lelaki
Genit Mata
Banci menerjang!
Melihat sebuah tendangan tertuju
ke da-
danya, Pengemis Binal miringkan
tubuhnya. Lalu
dengan gerakan 'Pengemis
Menghiba Rembulan',
tubuhnya melenting ke atas
seraya mengibaskan
tongkatnya.
Tak!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan Lelaki
Genit Mata
Banci ketika pantatnya kena
gebuk tongkat butut
Pengemis Binal! Tubuhnya nyusruk
mencium ta-
nah.
"Pergilah!" bentak
Pengemis Binal begitu
mendarat di tanah kembali.
Matanya menatap ta-
jam Lelaki Genit Mata Banci yang
merangkak ban-
gun.
Tapi, kakek
banci yang sudah gelap mata
tak mau ambil peduli. Begitu
dapat berdiri tegak,
tangan kanannya berkelebat
hendak menampar
wajah Pengemis Binal!
Wuuuttt...!
"Tampar wajahmu
sendiri!"
Mendengar bentakan Pengemis
Binal, gera-
kan Lelaki Genit Mata Banci
terhenti di udara. La-
lu, kakek banci itu menampari
wajahnya sendiri
beberapa kali.
Plak! Plak...!
Kedua pipi Lelaki Genit Mata
Band kontan
lebam-lebam dan bibirnya
berdarah setelah tan-
gannya menampar pipinya sendiri.
Sungguh suatu
tindakan aneh.
"Sekarang pergilah! Dan,
lupakan sakit ha-
timu!"
Aneh! Usai menampari wajahnya
sendiri,
Lelaki Genit Mata Banci
melaksanakan perintah
Pengemis Binal lagi. Dia lari
terbirit-birit, tak sekali
pun menoleh ke belakang!
"Apa..., apa yang
sebenarnya terjadi, Su-
ro...?" tanya Intan Melati
heran melihat peristiwa
barusan.
"Orang tua yang tak tahu
adat, sekali-sekali
perlu diberi pelajaran,"
sambut Pengemis Binal.
"Kakek itu tadi kenapa
menampari wajah-
nya sendiri?"
"Aku telah mempengaruhi
jalan pikirannya"
"Kau menyihirnya?"
"Ya. Ilmu itu kuperoleh
dari guru pertama-
ku yang bergelar Periang
Bertangan Lembut."
Mata Intan Melati berbinar.
"Kau hebat sekali,
Suro," pujinya. Tanpa
sadar gadis cantik ini memegang
lengan Pengemis
Binal.
"Rupanya kau sudah tak
marah padaku, In-
tan," ledek Pengemis Binal
dengan senyum manis
tersungging di bibir. "Kita
ke Hutan Kalirang seka-
rang?"
Intan Melati mengangguk.
3
Dari sela-sela bebatuan yang
kanan-kirinya
dipenuhi tumbuhan merambat, air
bening menga-
lir membasahi tanah cadas di
bawahnya. Permu-
kaan air memantulkan titik-titik
gemerlapan oleh
sinar matahari yang menerobos
dedaunan pohon
tinggi menjulang. Udara tak lagi
panas, karena
siang telah lama lewat. Segar
tiupan angin senja
membuat burung-burung enggan menghentikan
kicaunya.
Dengan menggunakan gayung
tempurung
kelapa, seorang pemuda bertubuh
tinggi-tegap ber-
telanjang dada mengisi dua
gentong tanah liat. Air
yang berasal dari sumber yang
mengalir dari ba-
gian tanah lebih tinggi itu
cukup melimpah. Se-
hingga, gentong si pemuda cepat
penuh. Maka se-
gera dia beranjak dari situ
dengan pikulan ber-
gayut di pundak.
Walau jalan yang dilalui
berkelok-kelok dan
penuh semak-belukar, tapi si
pemuda sama sekali
tak mendapat kesulitan. Bahkan
mampu melon-
cat-loncat mencari tempat
pijakan yang tepat. Se-
mentara air di dalam dua gentong
yang dipikulnya
pun tak tumpah sedikit pun.
Padahal isinya penuh
rata dengan bibir gentong.
Hanya dalam beberapa tarikan
napas saja,
pemuda bertelanjang dada itu
telah jauh mening-
galkan mata air yang terletak di
tengah hutan.
Namun dia meloncat setinggi tiga
tombak. Ketika
tubuhnya masih melayang, pikulan
di pundaknya
dilepaskan.
"Hiih...!"
Pada saat itulah bambu itu
meluncur turun,
si pemuda menjejaknya. Anehnya,
dua gentong
yang terikat di pikulan mendarat
dengan mulus di
tanah. Dan airnya sama sekali
tak tumpah! Se-
dangkan tubuh si pemuda terlihat
meluncur den-
gan tangan kanan terjulur,
hendak menangkap
sebuah sinar keperakan yang
meluncur ke arah-
nya!
Tap!
Si pemuda berhasil menangkap
sinar kepe-
rakan yang ternyata sebilah
pisau. Begitu menda-
rat, pandangannya langsung
menebar ke sekelil-
ing. Tapi orang yang melempar
tak tampak oleh
penglihatannya. Pemuda berambut
pendek keriting
itu lalu mengamati pisau yang
berada di tangan
kanannya.
"Hmmm.... Agaknya,
begundal-begundalnya
Tengkorak Kaki Satu yang
melakukan perbuatan
ini...," gumam si pemuda
melihat gagang pisau
berhias tempurung kepala
manusia.
Pemuda ini lantas memutar hiasan
pisau
itu ke kiri. Ternyata, gagang
pisau berlubang ba-
gian tengahnya. Dari dalamnya,
dikeluarkannya
gulungan kertas berwarna merah
yang ternyata
berisi sebuah pesan. Segera
dibacanya deretan hu-
ruf yang ditulis dengan tinta
emas.
Raksa Wijaya,
Waktu untuk melenyapkan Sawung
Permadi
telah mendesak. Aku tak mau
berlama-lama tinggal
di Perguruan Tapak Putih. Segera
kirim kabar, di
mana kelemahan Sawung Permadi.
Tengkorak Kaki Satu
Usai membaca, pemuda
bertelanjang dada
ini meremas kertas merah di
tangan kanannya.
Ketika jari tangannya terbuka
kembali, kertas itu
telah berubah menjadi abu hitam!
Jelas, betapa
tingginya tenaga dalam si
pemuda.
Wajah pemuda yang ternyata
bernama Rak-
sa Wijaya ini terlihat keruh
kini. Disandangnya pi-
kulan itu lagi dengan setengah
hati. Namun memi-
kirkan tugas yang harus
diselesaikannya, dia sege-
ra memacu semangatnya untuk
dapat berlari ce-
pat.
Keringat membanjir di sekujur
tubuh Raksa
Wijaya ketika langkah kakinya
sampai di pringgi-
tan yang terletak di sisi kanan
bangunan utama
Perguruan Tapak Putih. Gentong
airnya diletakkan
begitu saja. Matanya berbinar ketika telinganya
mendengar suara pembicaraan dari
dalam ruan-
gan utama. Lalu dibukanya pintu
samping pringgi-
tan yang menghubungkan dengan
ruang utama.
Sementara itu, di sebuah ruangan
berlantai
papan, seorang kakek tampak
duduk bersila.
Rambutnya yang telah memutih
digelung ke atas
dengan ikatan akar bahar. Sorot
matanya teduh.
Wajahnya menggambarkan keluhuran
budi. Dan
walau bertubuh kurus, tapi sikap
duduknya tegak-
kokoh bagai karang. Kakek
berjubah putih inilah
yang bernama Sawung Permadi yang
dikenal seba-
gai Pendekar Tapak Putih.
Beliaulah pendiri Pergu-
ruan Tapak Putih.
Duduk bersila pula di hadapan
Sawung
Permadi adalah seorang pemuda
tampan. Sikap
duduknya menunduk hormat.
Rambutnya yang hi-
tam panjang dibiarkan tergerai.
Tubuhnya yang
kekar dibungkus pakaian ketat
serba putih. Dia
adalah murid utama Sawung
Permadi yang ber-
nama Bantar Gurdi.
"Bukannya aku tak mau
mengajarkan ilmu
kesaktianku kepada Raksa Wijaya,
Gurdi...," tutup
Sawung Permadi. "Hanya
saja, dalam diriku timbul
perasaan aneh bila sedang
berhadapan dengan
pemuda itu. Perasaan aneh itulah
yang membua-
tku jadi ragu untuk menurunkan
ilmu kesaktian-
ku kepadanya."
"Apakah karena Raksa Wijaya
baru bebera-
pa bulan tinggal di perguruan
ini, sehingga Guru
bersikap demikian? Atau mungkin
Guru menyang-
sikan maksud baik pemuda
itu?" timpal Bantar
Gurdi. "Aku yakin, dia
pemuda berjiwa pendekar,
Guru. Akulah yang mengajaknya
kemari. Berarti,
tingkah-lakunya juga menjadi
tanggung jawabku.
Aku berjumpa dengannya saat
pemuda itu ber-
tempur melawan para perampok.
Aku melihat dia
terdesak. Lalu, aku membantunya.
Maka sampai-
lah dia di sini, di mana aku
meminta kepada Guru
untuk mengangkatnya sebagai
murid."
Mendengar kata-kata muridnya
yang cukup
panjang, Sawung Permadi diam.
Kerut-kerut di
wajahnya semakin kentara
terlihat.
"Raksa Wijaya memang
seorang pemuda ra-
jin. Selama empat bulan di sini,
tidak sekali pun
berbuat salah. Dia juga seorang
pemuda ramah...,"
papar Pendekar Tapak Putih
kemudian. "Tapi...,
kenapa dalam diriku seperti
timbul rasa curiga?"
"Sebagai seorang sahabat,
aku mengerti
keinginan Raksa Wijaya untuk
menimba ilmu ke-
pada Guru. Tapi bila kecurigaan
Guru itu benar,
akulah yang harus menerima
hukuman. Namun,
bila kecurigaan itu ternyata
salah, berarti Guru te-
lah menyia-nyiakan maksud baik
Raksa Wijaya
yang ingin menambah ilmu untuk
digunakan di ja-
lan kebenaran."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi
yang sedi-
kit menuduh, Sawung Permadi
menghela napas
panjang.
"Aku punya firasat bahwa
kehadiran Raksa
Wijaya merupakan awal timbulnya
peristiwa ber-
darah...."
Terkejut bukan main Bantar Gurdi
men-
dengar ucapan gurunya. Sikapnya
seperti tak per-
caya.
"Peristiwa berdarah? Apakah
Guru mempu-
nyai musuh besar, sehingga dia
merasa perlu
mengirimkan telik sandi?"
Pendekar Tapak Putih menggeleng.
"Aku
merasa tidak punya musuh. Tapi,
entah bila ada
orang yang sengaja
memusuhiku...."
"Kalau begitu, firasat Guru
tidak beralasan."
"Firasat bukan buatan
manusia. Firasat be-
rasal dari alam bawah sadar yang tidak bisa di-
jangkau akal manusia. Jadi, firasatku
entah benar
entah tidak, aka tak tahu. Yang
ku tahu, firasat
datang kepada diri manusia agar
bisa sedikit tahu
apa yang akan terjadi esok
hari...."
Bantar Gurdi terdiam.
"Sudah cukupkah keperluanmu
untuk da-
tang ke hadapanku, Gurdi?"
tanya Sawung Perma-
di kemudian.
Bantar Gurdi tak juga membuka
suara lagi.
Agaknya, pemuda itu kecewa
karena usulnya tak
disetujui Sawung Permadi.
"Sudahlah...," ujar
Pendekar Tapak Putih
dengan suara lembut. "Aku
tahu perasaanmu,
Gurdi. Tapi, sebaiknya kita tak
usah membicara-
kan perihal Raksa Wijaya.
Sekarang dia tentu telah
menyelesaikan tugasnya mencari
air. Aku tak ingin
dia mendengar pembicaraan
kita."
Di ujung kalimat Sawung Permadi,
Raksa
Wijaya yang tengah mencuri
dengar pembicaraan
dengan merapat ke dinding papan
segera beranjak
dari tempatnya berdiri.
Digunakannya ilmu merin-
gankan tubuh agar langkah
kakinya tak terdengar.
"Agaknya, usahaku selama
empat bulan ini
akan menemui kegagalan...,"
pikir Raksa Wijaya
sambil membenarkan letak gentong
air di pringgi-
tan. "Naluri Sawung Permadi
begitu peka. Jelas bi-
la orang tua itu menyimpan
kecurigaan kepadaku.
Apa dayaku sekarang? Bagaimana
aku dapat men-
jalankan tugas yang diberikan
Tengkorak Kaki Sa-
tu?"
Teringat isi surat yang
diterimanya ketika
mencari air barusan, paras Raksa
Wijaya jadi
mengelam. Pikirannya kini kalut.
Dia tahu, Teng-
korak Kaki Satu adalah manusia
kejam yang tak
segan menjatuhkan tangan maut.
Apalagi, kepada
orang yang tak bisa menjalankan
tugas dengan
baik.
"He, Wijaya...."
Terdengar suara panggilan. Walau
lemah,
tapi cukup membuat pemuda itu
terkejut.
"Oh? Kiranya kau,
Gurdi...?" ujar Raksa Wi-
jaya, menyembunyikan
keterkejutannya, melihat
Bantar Gurdi tahu-tahu telah
berdiri empat tom-
bak di sampingnya.
Bantar Gurdi yang berdiri di
pintu pringgi-
tan tersenyum sekilas. Lalu,
kakinya melangkah
menghampiri Raksa Wijaya.
"Aku tadi sudah bicara
dengan Guru," jelas
Bantar Gurdi. "Tapi, kau
mesti bersabar lagi. Guru
masih belum berkenan menurunkan
beberapa il-
mu kesaktiannya kepadamu.''
"Lalu, sekarang Guru berada
di mana?"
tanya Raksa Wijaya. Suaranya pelan seperti me-
nyimpan kekhawatiran.
"Beliau di halaman
belakang. Mungkin un-
tuk melihat para murid tataran
rendah yang se-
dang berlatih."
Terlintas rasa senang di hati
Raksa Wijaya
mendengar ucapan Bantar Gurdi.
"Guru bergelar Pendekar
Tapak Putih. Apa-
kah ilmu andalannya juga bernama
Tapak Putih?"
tanyanya.
"Kenapa dengan ilmu 'Tapak
Putih?" Bantar
Gurdi balik bertanya.
"Ah, tidak. Aku hanya
sekadar bertanya.
Benarkah apa yang kukatakan
tadi?"
"Ya! Guru memang mempunyai
ilmu anda-
lan yang bernama 'Tapak
Putih'," jawab Bantar
Gurdi tanpa curiga.
"Kehebatannya? "
"Aku belum pernah tahu
sendiri. Tapi ka-
barnya, setiap orang yang
terkena pukulan 'Tapak
Putih' akan mempunyai tanda
putih menyerupai
telapak tangan di
tubuhnya."
"Hanya itu?"
"Itulah yang ku tahu."
Raksa Wijaya kecewa mendengar
jawaban
Bantar Gurdi. Namun, dicobanya
terus untuk
mengorek keterangan dari murid
utama Sawung
Permadi itu.
"Kau sendiri, apakah sudah
menguasai ilmu
'Tapak Putih'?" tanya Raksa
Wijaya kemudian.
"Belum. Guru baru
mengajarkan dasar-
dasarnya."
Jawaban Bantar Gurdi semakin
membuat
kecewa Raksa Wijaya. Tak ingin
perubahan air
mukanya terlihat, cepat Raksa
Wijaya menepuk
bahu Bantar Gurdi.
"Rupanya Guru adalah orang
yang sangat
berhati-hati."
"Maksudmu?"
"Kalau Guru bukan orang
yang sangat ber-
hati-hati dalam bertindak, tentu
telah mengajar-
kan ilmu andalannya kepadamu.
Bukankah kau
sudah tinggal di sini lebih dari
sepuluh tahun?"
"Bukan itu alasannya kenapa
Gum belum
mengajarkan ilmu ‘Tapak Putih’
kepadaku. Menu-
rut Guru, aku mesti menyempurnakan
tenaga da-
lam dulu. Karena, tanpa tenaga
dalam sempurna,
ilmu 'Tapak Putih' tak mungkin
dapat dikuasai se-
cara sempurna pula."
Raksa Wijaya mengangguk-angguk.
"Hari sudah menjelang
malam. Aku akan
menyalakan lampu-lampu,"
kata Bantar Gurdi
kemudian.
"Tunggu dulu!" cegah
Raksa Wijaya. "Aku
masih punya satu pertanyaan lagi
untukmu."
"Apa?"
"Di mana ruang baca pribadi
Guru?"
Kerang Bantar Gurdi berkerut
mendengar
pertanyaan Raksa Wijaya.
"Kau mau apa?"
selidiknya, kali ini timbul
rasa curiga.
"Aku sekadar
bertanya," kilah Raksa Wijaya.
"Selama empat bulan tinggal
di sini, janggal ra-
sanya bila tak mengetahui tempat
Guru biasa me-
nyendiri. Selain mencari air,
bukankah tugasku
juga membersihkan seluruh
ruangan perguruan?"
"Ya. Ya, aku tahu. Tapi,
simpan dulu perta-
nyaanmu itu," ujar Bantar
Gurdi.
"Apa susahnya menjawab
pertanyaanku,
Gurdi?" cecar Raksa Wijaya.
"Kukira kau benar-
benar telah mengangkat saudara
kepadaku. Nya-
tanya, kau hanya bermanis mulut
belaka."
Mengelam paras Bantar Gurdi
mendengar
sindiran Raksa Wijaya. Tapi,
dicobanya untuk te-
tap bersabar.
"Besok pagi-pagi sekali aku
akan pergi dari
tempat ini...," ujar Raksa
Wijaya bernada sedih.
"Selain kehadiranku tak
disukai pemilik perguruan
ini, orang yang mengaku sebagai
sahabat pun ma-
lah mencurigaiku."
"Kau sadar pada apa yang
kau ucapkan, Wi-
jaya?" tanya Bantar Gurdi,
meminta penjelasan.
"Kau tak perlu bertanya,
Gurdi. Karena, kau
pun tak mau menjawab
pertanyaanku."
Bantar Gurdi terdiam. Otaknya
diputar.
"Baiklah aku jawab
pertanyaanmu. Kupikir tak
ada salahnya kau mengetahui
ruang baca pribadi
Guru. Tempat tidur Guru adalah
ruang baca pri-
badinya juga," jelas Bantar
Gurdi setelah menda-
pat akal bagus. Raksa Wijaya
kontan bersorak gi-
rang dalam hati.
Ditepuknya bahu Bantar Gurdi
berulang
kali.
"Kau memang sahabat sejati,
Gurdi...," ka-
tanya.
Bantar Gurdi tersenyum.
"Kelak aku pasti
meminta bantuanmu,
Wijaya...," gumamnya.
"Ha? Apa yang kau katakan,
Gurdi?" tanya
Raksa Wijaya. Rupanya, pemuda
ini mendengar
gumaman Bantar Gurdi.
"Ah, tidak. Aku hanya
berkata pada diriku
sendiri."
"Hmmm.... Ya?"
Bantar Gurdi kembali tersenyum,
lalu ke-
luar dari pringgitan untuk
menyalakan lampu-
lampu perguruan. Sementara Raksa
Wijaya tetap
di tempatnya. Benaknya telah
terusik untuk men-
cari cara agar dapat mengemban
tugas dengan
baik.
***
Emoticon