Walau memanggul beban yang cukup
berat,
dua orang bayangan itu dapat
berlari demikian cepat-
nya. Hingga sosok aslinya
hampir-hampir tak terlihat.
Sampai di perbatasan wilayah
Kademangan Maospati
dengan kota Kadipaten Bumiraksa,
kedua sosok
"Sudah cukup jauh kita
berlari, Eyang. Dan
tampaknya nenek seram itu tak
mengejar...," kata so-
sok pertama sambil membaringkan
tubuh Suropati
yang tadi dipanggulnya ke tanah
berumput. Terlihatlah
kini sosok bayangan itu ternyata
seorang gadis cantik
berpakaian putih kuning. Dialah
Dewi Ikata atau Pen-
dekar Wanita Gila.
Sosok kedua segera menurunkan
tubuh
Bayangan Putih Dari Selatan di
samping tubuh Suro-
pati. Orang yang tak lain
Arumsari atau Dewi Tangan
Api itu lalu duduk bersandar,
pada sebatang pohon.
Sikapnya tampak acuh sekali.
Dewi Ikata memandang
gurunya dengan mata melotot.
"Eyang tidak memeriksa
keadaan mereka?"
tanya Pendekar Wanita Gila
masygul.
"Mereka tak apa-apa. Cuma
pingsan," ujar Dewi
Tangan Api sambil membenarkan
letak duduknya.
Dewi Ikata memandang sejenak
wajah gurunya.
Karena tak percaya, gadis itu
memeriksa sendiri kea-
daan Bayangan Putih Dari
Selatan. Hembusan napas
si kakek masih teratur. Detak
jantung dan aliran da-
rahnya pun berjalan normal.
Kemudian Dewi Ikata
memeriksa keadaan Suropati.
Remaja tampan ini pun
tak menderita luka dalam yang
berarti. Namun, lama
sekali Dewi Ikata memandangi
wajahnya.
"Suro...," desis
Pendekar Wanita Gila seraya
menyibak anak-anak rambut
Pengemis Binal yang me-
nutupi wajahnya.
"Uhh...!"
Suropati menggeliat. Remaja itu
tersadar dari
pingsannya. Begitu dilihatnya
seraut wajah cantik ten-
gah memandanginya, alis remaja
tampan ini bertaut.
"Dewi Ikata...," gumam
Suropati kemudian.
Banjaranpati atau Bayangan Putih
Dari Selatan
pun telah siuman. Setelah
menatap sejenak dewi-dewi
penolongnya, kakek berjubah
putih itu langsung ber-
semadi untuk memulihkan
tenaganya.
"Segeralah bersemadi,
Suro...," pinta Pendekar
Wanita Gila kepada Pengemis
Binal. Suaranya men-
gandung kekhawatiran yang
sangat, walau dia tahu
Suropati tak menderita luka
dalam yang parah.
Pengemis Binal menggeleng.
"Aku tidak apa-apa,"
katanya. Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu kemudian men-
garahkan pandangan pada sosok
Bayangan Putih Dari
Selatan yang sedang duduk
bersila. "Aku tidak perlu
bersemadi. Kakek Banjaranpati
mungkin sudah sedikit
loyo jadi dia perlu melakukan
itu."
"Sombong sekali kau,
Suro!" rungut Dewi Ikata.
"Eh, beruntung sekali kau
bisa menyelamatkan
aku dari gempuran 'Sinar Perak
Cairkan Wujud' milik
Ratu Air keparat itu,"
sahut Suropati dengan kalem-
nya.
"Huh! Yang beruntung kau!
Bukan aku!"
"Kau!" tuding
Suropati.
Mendengar ucapan Pengemis Binal
yang ngeyel
itu, Pendekar Gila mendengus.
"Nyawamu selamat bukan
karena kebetulan.
Sudah tidak mengucapkan terima
kasih, malah men-
gajak berdebat! Sebel aku
melihat tampangmu yang
kaya...."
"Hush!" potong
Pengemis Binal. "Aku ngomong
bukan asal bicara. Kalau kau
menolong aku, yang be-
runtung memang kau!"
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalau tidak kau tolong,
aku tentu mati. Tapi,
karena aku ini orang baik-baik,
arwahku pasti akan
masuk surga. Dan itu berarti aku
tidak menderita...."
"Lalu...," kejar
Pendekar Wanita Gila, terbawa
kekonyolan Suropati.
"Tapi kalau aku mati, kau
tentu akan menangis
karena merasa kehilangan. Jadi
setelah kau dapat me-
nyelamatkan aku, yang beruntung
itu kau!"
"Enak saja!" Dewi
Ikata memberengutkan bibir-
nya.
"Yang enak itu tetap
dirimu. Kau tidak jadi ke-
hilangan orang yang sangat kau
cintai."
"Siapa?" ujar Dewi Ikata
seraya memelototkan
matanya.
"He he he...."
Pengemis Binal tertawa
cengengesan. Dewi Ika-
ta memandang dengan wajah
ditekuk. Kesal juga gadis
ini digoda seperti itu.
Sementara Dewi Tangan Api yang
mendengarkan seloroh Pengemis
Binal ikut-ikutan
cemberut.
Arumsari teringat peristiwa di
Bukit Argapala.
Waktu itu dia sampai bertempur
mati-matian melawan
Bayangan Putih Dari Selatan demi
untuk mem-
perebutkan Suropati agar bisa
dijadikan murid. Tapi,
Suropati malah diambil murid
oleh si Periang Bertan-
gan Lembut (Baca episode :
"Pengkhianatan Dewa
Maut").
"Suro! Kenapa waktu Empat
Begundal Dari Gua
Larangan membunuh dua orang
anggota perkumpu-
lanmu, kau seperti menimpakan
kesalahan kepada-
ku?" tanya Pendekar Wanita
Gila. Dia teringat peristi-
wa di Kuil Saloka tempo hari.
"Kau salah mengerti, Ika.
Aku tidak menimpa-
kan kesalahan padamu. Kalau
waktu itu aku bersikap
tak acuh karena...,"
Pengemis Binal tak meneruskan
ucapannya. Matanya melirik ke
arah Dewi Tangan Api
yang sedang duduk terpekur.
Sementara Dewi Ikata
terlihat tak sabar ingin segera
mendengar kelanjutan
ucapan Pengemis Binal.
"Karena apa, Suro?"
desak Pendekar Wanita Gi-
la menunjukkan
ketidaksabarannya.
"Karena...," ucapan
Suropati terputus lagi. Pan-
dangannya tetap tertuju pada
Dewi Tangan Api. Nenek
yang masih tampak cantik itu
kini tertunduk. Entah
apa yang sedang dipikirkannya.
"Begini, Ika...," kata
Pengemis Binal kemudian.
"Aku bersikap acuh itu
karena ingin menguji seberapa
besar cintamu padaku."
"Huh! Siapa yang
mencintaimu?!" dusta Pende-
kar Wanita Gila.
"Hayo! Menipu diri
sendiri...," ujar Suropati
sambil mentowel dagu Dewi Ikata.
"Jangan kurang ajar!"
rungut Pendekar Wanita
Gila.
Pengemis Binal yang lagi kumat
konyolnya ti-
dak mau peduli. Segera
didekapnya tubuh Dewi Ikata.
Namun begitu matanya bersirobok
dengan sosok Dewi
Tangan Api, Suropati mengurungkan niatnya untuk
mencium Dewi Ikata.
"Jangan kurang ajar,
Suro!" bentak Pendekar
Wanita Gila yang melihat
Suropati cengar-cengir sendi-
ri.
"He he he...," tawa
Pengemis Binar. "Aku cuma
mau...."
Ucapan remaja konyol itu
terputus karena Dewi
Tangan Api keburu bangkit dari
duduknya dengan ma-
ta mendelik
"Kau tak perlu melayani
bocah gendeng itu, Ika.
Kita pergi sekarang!" ujar
Arumsari.
Mendengar perkataan gurunya,
Dewi Ikata ter-
tunduk sedih. Walau perilaku
Suropati sangat konyol
dan kurang ajar, tapi
sesungguhnya Dewi Ikata merasa
senang. Dia dapat merasakan
suatu perasaan yang
benar-benar membahagiakan dengan
melayani gu-
rauan-gurauan Suropati. Tapi,
bila Dewi Tangan Api
telah memerintahkan untuk pergi,
dapatkah dia meno-
lak?
"Tunggu apa lagi,
Ika?!" ujar Arumsari lagi den-
gan suara berat
Pendekar Wanita Gila tampak
ragu-ragu. Guru
pertamanya itu mempunyai sifat
keras kepala dan ser-
ing memaksakan kehendak. Bila
perintahnya tak dija-
lankan, tak segan-segan dia
menjatuhkan hukuman.
Mengingat hal ini Dewi Ikatan
bergegas bangkit dari
duduknya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Pendekar Wanita Gila
tertawa terbahak-bahak.
"Ya! Sebaiknya kita memang
harus cepat pergi dari sini,
Eyang."
Pengemis Binal terkejut. Tanpa
sadari dia
menggaruk-garuk kepalanya. Walau
Dewi Ikata terta-
wa, tapi dilihatnya sebutiran
mutiara bening menitik
dari sudut mata. Suropati
melihatnya dengan jelas.
"Kau mau meninggalkan aku,
Ika?" tanya Pen-
gemis Binal ketolol-tololan.
"Bagaimana kalau nenek
seram yang bergelar Ratu Air itu
datang ke sini. Lalu...,
lalu aku dibunuhnya...."
Dewi Ikata tertawa lagi
"Biar kau mati atau kau
mampus kek, aku tak
peduli!"
Sambil berkata demikian,
Pendekar Wanita Gila
menatap lekat-lekat wajah
Pengemis Binal. Suropati
balas menatap. Tahulah dia kalau
air mata Dewi Ikata
telah membanjir.
"Ika...," desis
Pengemis Binal. Berat juga ha-
tinya ditinggalkan gadis cantik
putri tunggal Adipati
Danubraja itu.
Pendekar Wanita Gila membalikkan
badan. Di-
tatapnya wajah Dewi Tangan Api
yang telah menung-
gunya. Tanpa berkata apa-apa
lagi, Dewi Ikata berke-
lebat meninggalkan tempat ini.
"Bocah edan! Kalau kau
berani main-main den-
gan muridku lagi, kuremukkan
kepalamu!" ancam De-
wi Tangan Api kepada Pengemis
Binal Nenek ini pun
segera mengejar bayangan Dewi
Ikata.
"Nenek cerewet tak tahu
aturan! Bawel! Banyak
omong! Kaya kentut...!"
olok Suropati keras-keras.
Namun, suaranya ditelan
kegelapan malam.
Suropati terperanjat ketika
merasakan tubuh-
nya ditepuk seseorang. Cepat
kepalanya menoleh. Ter-
nyata Bayangan Putih Dari
Selatan telah menyelesai-
kan semadinya.
"Sebaiknya kita pun pergi
dari tempat ini, Su-
ro...," ajak kakek berjubah
putih itu.
"Sebentar, Kek...,"
tolak Pengemis Binal. Wajah
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu
tampak tegang. Dia mendengar
suara gemerincing lon-
ceng kereta kuda yang saling
bersahutan. Juga suara
dengungan seperti ribuan lebah
sedang terbang menu-
ju ke arahnya. Semakin lama
suara itu semakin ter-
dengar jelas.
"Nyai Catur Asta...,"
desis Pengemis Binal.
Bayangan Putih Dari Selatan yang
tak menden-
gar apa-apa cuma bisa menatap
wajah Suropati den-
gan sinar mata tak mengerti.
"Ada apa, Suro?"
tanyanya penuh rasa ingin ta-
hu.
Pengemis Binal tak menjawab.
Karena, tepat
empat tombak di hadapannya telah
berdiri sesosok
wanita cantik berpakaian merah
gemerlap, layaknya
seorang ratu. Rambut wanita itu
digelung ke atas den-
gan hiasan tusuk konde emas
bermata intan. Tapi
anehnya, dia memiliki empat
tangan.
"Suro...," panggil
sosok wanita cantik yang baru
hadir. Wanita itu tak lain Nyai
Catur Asta. Penguasa
Kerajaan Siluman. "Untuk
kedua kalinya aku salah
menduga perihal kesaktian Ratu
Air. Ilmu 'Pukulan
Salju Merah' yang kuturunkan
kepadamu ternyata tak
berarti apa-apa baginya. Ilmu
'Sinar Perak Cairkan
Wujud' milik Ratu Air telah
mencapai taraf sempurna.
Semua itu diperolehnya berkat
bantuan kekuatan sakti
yang berasal dari Tongkat Sakti.
Tapi, Suro..., sampai
di mana pun ketinggian ilmu Ratu
Air, kau harus tetap
membantu menyelamatkan Kerajaan
Siluman dari
gempuran nenek jahat itu."
"Aku sudah berjanji padamu,
Nyai. Apa pun
yang terjadi. Ratu Air akan
tetap kuhadapi," sahut
Pengemis Binal menyatakan
kembali kesanggupannya
dulu.
Sementara Bayangan Putih Dari
Selatan yang
berdiri di samping Suropati
semakin tidak mengerti.
Tapi karena melihat Suropati tak
menunjukkan sikap
main-main, kakek berjubah putih
itu hanya diam saja.
Bayangan Putih Dari Selatan
memang tak dapat meli-
hat wujud gaib Nyai Catur Asta,
namun perasaannya
mengatakan kalau Suropati sedang
berhadapan den-
gan seseorang tokoh sakti.
"Sebenarnya aku bisa
menghadapi sendiri Ratu
Air, Suro. Tapi, tubuh nenek
jahat itu sekarang telah
terselubungi kekuatan gaib yang
membuat mataku tak
dapat melihatnya. Karena itu
harapanku hanya tertuju
padamu, Suro. Tapi, aku pun tak
ingin kau mati di
tangan Ratu Air. Kau masih
memikul banyak tanggung
jawab selain janjimu untuk
melenyapkan keangkara-
murkaan Ratu Air."
"Lalu, bagaimanakah cara
memusnahkan ke-
kuatan 'Sinar Perak Cairkan
Wujud' milik Ratu Air itu,
Nyai?" tanya Suropati
ketika teringat kehebatan ilmu
lawannya itu.
"Aku tak tahu. Tapi, kau
bisa meminta bantuan
saudara seperguruan Ratu Air
yang bergelar Putri Ra-
cun. Hanya aku tak dapat
menunjukkan di mana Putri
Racun sekarang berada. Tubuh
gadis itu juga terselu-
bungi kekuatan gaib yang
membutakan mataku."
"Mudah-mudahan harapan Nyai
terkabul...,"
doa Suropati.
"Ingat, Suro! Purnama
kesatu akan datang tiga
hari lagi. Itu berarti aku harus
menjalani semadi sehari
penuh dengan ilmu kesaktian yang
telah lepas dari tu-
buh gaibku. Dan itu waktunya
pula bagi Ratu Air un-
tuk melaksanakan ancamannya
menghancurkan Kera-
jaan Siluman."
"Saya mengerti, Nyai.
Sebelum hari kesatu pur-
nama pertama, aku bersama Putri
Racun pasti telah
menggempur Ratu Air bersama
Empat Begundal Dari
Gua Larangan yang menjadi
pengikutnya," janji Suro-
pati sungguh-sungguh.
Bibir Nyai Catur Asta
menyunggingkan senyum.
"Kupegang janjimu itu,
Suro...," ucapnya lirih.
Kembali telinga Pengemis Binal
menangkap su-
ara gemerincing lonceng kereta
kuda. Disusul suara
dengungan bagai ratusan lebah
marah. Sosok Nyai Ca-
tur Asta tiba-tiba lenyap dari
pandangan Pengemis Bi-
nal.
"Siapakah tokoh kasat mata
yang baru saja
menemuimu itu, Suro?" tanya
Bayangan Putih Dari Se-
latan waktu melihat Suropati
menggaruk-garuk kepa-
lanya.
Pengemis Binal menatap wajah
kakek berjubah
putih itu sambil cengengesan
"Kalau kuberitahu
jangan-jangan kau nanti ja-
tuh cinta, Kek...,"
godanya.
"Jangan bergurau, Suro. Aku
bertanya sung-
guh-sungguh!" rungut
Bayangan Putih Dari Selatan.
"Lain waktu saja aku
ceritakan tentang Nyai
Catur Asta itu. Sekarang aku
tidak punya waktu," tu-
tur Pengemis Binal memberi
alasan. "Kau sebaiknya
ikut denganku kembali ke kota
Kadipaten Bumiraksa,
Kek. Aku akan mengungsikan
seluruh anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang berada di sa-
na. Ratu Air dan Empat Begundal
Dari Gua Larangan
terlalu berbahaya bagi mereka.
Setelah itu, kita akan
mencari seorang gadis cantik
yang bergelar Putri Ra-
cun. Kau tentu bersedia
membantuku, Kek. Keadaan-
nya sudah sangat gawat!"
Bayangan Putih Dari Selatan
hanya mengang-
gukkan kepala tanda setuju.
"Kalau begitu, kita
berangkat sekarang."
***
5
Tersiram sinar mentari pagi,
tubuh bocah lelaki
berumur dua belas tahun itu
tampak bermandikan ke-
ringat. Rompi kuning yang
dikenakannya telah lengket
dengan kulit. Anting perak besar
yang menghiasi telin-
ga kiri bergoyang-goyang saat
angin berhembus lebih
kencang.
Kicau burung menyapa alam yang baru
bangun
dari tidurnya. Beberapa di
antaranya mematuk-matuk
tanah berumput di kanan kiri si
bocah. Namun, sema-
di bocah ini sama sekali tidak
terusik. Tubuhnya tetap
tegak bersila dengan kelopak
mata terpejam rapat. Ke-
dua tangannya melekat erat di
dada.
"Kukira kau telah cukup
menyerap tenaga ma-
tahari, Gisa...," ujar
seorang gadis cantik berpakaian
ungu hitam yang berjalan
menghampiri si bocah.
Bocah beranting perak yang tak
lain Gisa Min-
tarsa atau Raja Syair membuka
kelopak matanya. Be-
gitu terlihat sosok gadis cantik
yang telah berdiri di
hadapannya, bibir si bocah
menggumam.
"Kusuma...."
Si gadis tersenyum tipis.
"Bila panas telah menyengat
dan peluh sudah
membanjir, tak ada yang lebih
baik dilakukan kecuali
berteduh. Apalagi luka dalammu
telah teratasi."
"Kupikir memang begitu.
Walau dada masih te-
rasa sesak, tapi rimbunan daun
pohon pasti memberi-
kan rasa nyaman," sahut
Raja Syair.
Gisa Mintarsa bangkit dari
duduknya. Bocah
itu lalu berjalan ke sebatang
pohon berdaun rindang.
Gadis yang dipanggil Kusuma
mengikuti di belakang-
nya. Gadis inilah yang bergelar
Putri Racun, saudara
seperguruan Ratu Air. Dia baru
saja menginjakkan ka-
ki di bumi setelah seratus tahun
lebih tinggal di Kera-
jaan Siluman. Karena
pengabdiannya tanpa cacat Nyai
Catur Asta berkenan mengirim
kembali Putri Racun ke
dunia tempat dia dilahirkan.
Gadis ini jugalah yang te-
lah menyelamatkan Raja Syair
sewaktu bertempur me-
lawan Ratu Air.
"Aku tahu kau adalah bocah
titisan yang mem-
punyai ilmu kesaktian cukup
tinggi. Tapi agaknya ilmu
kesaktian Ratu Air lebih tinggi
lagi. Walau begitu, tu-
gas para pendekar golongan putih
harus terus dilaksa-
nakan. Perilaku sesat seorang
tokoh jahat mesti dihen-
tikan," tutur Kusuma atau
Putri Racun, sambil mena-
tap lekat wajah Raja Syair yang
memerah karena sen-
gatan sinar mentari.
"Waktu kau belum mengabdi
pada Nyai Catur
Asta, aku mengenalmu sebagai
seorang pendekar wa-
nita yang halus budi. Rupanya
jiwa pendekarmu itu
terpanggil lagi. Tak peduli
saudara seperguruan, yang
salah mesti dihukum dan yang
jahat mesti dienyah-
kan...," sahut Gisa
Mintarsa. "Ada pepatah mengata-
kan bahwa ringan sama dijinjing
dan berat sama dipi-
kul. Lidi sebatang mudah
dipatahkan, sedang lidi sei-
kat punya kekuatan. Memang
tinggi ilmu kesaktian
Ratu Air, tapi bila tokoh-tokoh
aliran putih mengga-
bungkan kekuatan, setinggi apa
pun kesaktian tokoh
jahat kemenangan tetap akan
berada di pihak kita."
"Sudah cukup kita
berkata-kata, Gisa," ucap
Putri Racun kemudian setelah
terdiam beberapa saat
"Terkadang kata-kata memang
bisa menyele-
saikan masalah. Tapi, yang kita
butuhkan saat ini bu-
kan sekadar kata-kata. Tindakan
harus cepat dilaku-
kan. Ratu Air dan Empat Begundal
Dari Gua Larangan
telah menyebar kematian pada
para anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti.
Suropati pun tak
mampu menghentikan keganasan
manusia-manusia
berhati iblis itu."
Sejenak Gisa Mintarsa merenung.
Setelah me-
natap wajah Kusuma lekat-lekat,
dia berkata.
"Sebagai saudara
seperguruan, kau tentu tahu
kelemahan Kinanti atau Ratu Air
itu, Kusuma."
Putri Racun tampak menggeleng
kepalanya.
"Kau salah menduga, Gisa.
Walau aku dan Ki-
nanti saudara seperguruan, tapi
masing-masing dari
kami mempunyai ilmu yang
berbeda."
"Tapi bukan berarti ilmumu
lebih rendah," duga
Raja Syair.
"Aku tak tahu. Yang jelas,
ilmu kesaktian Ratu
Air telah berlipat ganda
sekarang. Bahkan, Nyai Catur
Asta yang pernah menghancurkan
Kerajaan Air pun
agaknya tak sanggup lagi
menaklukkan saudara se-
perguruanku itu. Mungkin sekali
karena sekarang dia
telah memiliki Tongkat
Sakti."
"Kalau begitu, kita harus
merebut tongkat itu,"
cetus Gisa Mintarsa.
Putri Racun tersenyum tipis.
"Bagaimana mungkin kita
merebut tongkat
yang dibawa Ratu Air kalau kita
tak mampu menga-
lahkannya?" tanyanya tak
yakin.
"Ah! Jalan satu-satunya
untuk menumpas Ratu
Air memang harus menyatukan
kekuatan aliran pu-
tih."
"Ya. Dan, tak perlu lagi
kita berkata-kata di
tempat ini."
Sekejap kemudian, tubuh Putri
Racun berkele-
bat ke timur menuju wilayah
Kadipaten Bumiraksa.
Raja Syair bergegas menyusul.
***
Dengan kepala tertunduk Empat
Begundal Dari
Gua Larangan mengekor langkah
Ratu Air yang sedang
mengikuti arus air Sungai
Bayangan.
"Hmm.... Kalau ternyata di
sekitar sini tak ter-
dapat sebuah gua, tak hendak
langkah kaki ini menu-
ju ke utara...," rungut
Ratu Air dalam hati. "Kupikir
Sungai Bayangan lebih dekat
dengan kota Kadipaten
Bumiraksa. Jadi, maksud hati
terbawa kemari. Ah!
Sudah kepalang basah. Tak pernah
dikata sang Ratu
Air mengurungkan niat."
Kaki Ratu Air terus mengayun
langkah lebar.
Sementara Empat Begundal Dari
Gua Larangan tetap
mengikuti di belakang. Tak ada
kata-kata yang keluar
dari mulut ke empat lelaki
berbadan kekar itu. Tata-
pan mata mereka kosong tak
mencerminkan tanda-
tanda kehidupan. Mereka memang
tengah berada da-
lam pengaruh sihir jahat Ratu
Air.
Ketika sampai di sebuah kelokan
di mana ter-
dapat pepohonan yang lebih
rimbun, Ratu Air terhe-
nyak hangat. Langkah kakinya
terhenti karena ma-
tanya melihat seekor ular sedang
melingkar di tepi
sungai. Tubuh ular itu berwarna
hijau kehitaman den-
gan garis-garis coklat. Besarnya
menyamai paha ma-
nusia dewasa. Kepalanya menempel
lemah di lingkaran
tubuh. Namun ketika Ratu Air
hendak melanjutkan
langkahnya, mendadak kepala ular
itu mengejang te-
gak. Lidahnya terjulur-julur
mengeluarkan desisan ke-
ras. Sedang matanya yang merah
menyala menyi-
ratkan ancaman mematikan.
"Ular buduk! Menghadang
perjalanan sang Ra-
tu Air sama halnya dengan
mencari mati!" ujar Ratu
Air dengan suara geram.
Kaki nenek berwajah seram itu
melangkah lagi.
Tak dipedulikannya ular yang
berada di hadapannya
siap mematuk. Namun begitu
kepala ular terjulur ce-
pat ke depan dengan mulut
menganga lebar, Ratu Air
menggerakkan Tongkat Sakti yang
dibawanya.
Prak..!
Karena cepatnya kelebatan batang
tongkat,
satwa melata itu tak mampu
menghindar. Darah segar
muncrat dari kepalanya yang
remuk. Tak ada yang da-
pat diperbuat lagi oleh binatang
itu, kecuali menggele-
par-gelepar menjemput ajal yang
segera tiba.
Ratu Air meloncat melewati tubuh
ular yang
sedang sekarat Empat Begundal
Dari Gua Larangan
yang berada di belakangnya
segera mengikuti.
"Haram jadah! Manusia
keparat!"
Terdengar umpatan yang dibarengi
kelebatan
sesosok tubuh. Sosok itu
menghadang langkah Ratu
Air dan Empat Begundal Dari Gua
Larangan.
"Hmm.... Hanya manusia yang
telah bosan hi-
dup yang berani mengumbar
kata-kata kotor di hada-
pan sang Ratu Air!" geram
Kinanti, sambil menatap ta-
jam sosok pemuda yang berdiri
lima tombak di hada-
pannya.
Tokoh muda yang baru hadir itu
berbadan se-
dang. Kulitnya kasar seperti
sisik ular. Matanya yang
sipit membalas tatapan Ratu Air
dengan tak kalah ga-
rang. Bajunya berwarna hijau
gelap terbuat dari kulit
ular.
"Sungai Bayangan termasuk
wilayah kekuasaan
Sawung Jenar yang bergelar Iblis
Selaksa Ular. Bila le-
wat tanpa izin, kematian layak
diterima. Apalagi ada
manusia usil yang berani
membunuh ular peliharaan
Sawung Jenar!" ancam si
pemuda yang memang tak
lain Sawung Jenar atau Iblis
Selaksa Ular (Tentang to-
koh muda yang berdiam diri di
Sungai Bayangan ini,
baca episode : "Asmara
Penggoda").
"Hmm.... Berani benar kau
berkata seperti itu,
Pemuda Muka Ular! Tidak tahukah
kau sedang berha-
dapan dengan siapa?!" ujar
Ratu Air memperlihatkan
kesombongannya.
"Aku memang tak tahu siapa
dirimu. Tapi, ka-
rena kau telah membunuh salah
satu binatang peliha-
raanku, siapa pun dirimu tak
akan lebih kuanggap se-
bagai lawan yang mesti segera
dikirim ke neraka!"
Mendengar ucapan Sawung Jenar
yang begitu
berapi-api, Ratu Air tertawa.
"Hua ha ha...! Berkata
tanpa bukti adalah gen-
tong kosong tak berisi. Namun
melihat keberanianmu,
kau tentu memiliki ilmu
kesaktian yang patut dibang-
gakan. Sungguh ini merupakan
suatu anugerah bagi
sang Ratu Air. Dua hari lagi sang
Ratu Air akan meng-
gempur Kerajaan Siluman. Kau
harus menjadi abdi se-
tiaku, Anak Muda Muka
Ular!"
Usai berucap, Ratu Air menatap
lekat-lekat wa-
jah Sawung Jenar. Dan, sekejap
kemudian dari mata
Ratu Air meluruk dua larik sinar
perak ke arah pemu-
da itu.
"Tak semudah yang kau kira,
Nenek Seram
Muka Tikus!" hardik Iblis
Selaksa Ular seraya menge-
goskan tubuhnya ke samping,
Dua larik sinar perak yang
melesat cepat ke
dua matanya itu pun tak mengenai
sasaran. Sawung
Jenar tahu kalau sinar itu mempunyai
kekuatan sihir.
Kalau sampai masuk ke rongga
mata, dia bisa lupa se-
gala-galanya. Sawung Jenar yang
pernah terkena pen-
garuh ilmu 'Asmara Penggoda' tak
mau hal itu terjadi
lagi.
Ilmu 'Asmara Penggoda' yang
diterapkan Rat-
nasari atau Bidadari Bunga Mawar
memang pernah
membuat Sawung Jenar lupa
ingatan. Sehingga, dia
mau saja diperbudak oleh
Ratnasari (Baca episode :
"Asmara Penggoda")
Ratu Air tersenyum sinis melihat serangannya
tidak berhasil.
"Sudah kuduga kau memang
cukup mempu-
nyai ilmu kesaktian. Namun,
kemplangan tongkat ini
akan menguji lebih lanjut!"
Serta merta Ratu Air
menggerakkan Tongkat
Sakti di tangan kanannya.
Dibarengi luncuran tubuh-
nya, tongkat itu meluruk deras
hendak memecahkan
kepala Iblis Selaksa Ular.
Cepat sekali Sawung Jenar
mencabut seruling
gading yang terselip di
pinggangnya. Lalu, seruling itu
dikibaskan ke atas memapak
kemplangan tongkat Ra-
tu Air.
Tak...!
Terbentur seruling, tongkat di
tangan Ratu Air
terpenggal. Kenyataan itu
membuat Ratu Air terperan-
gah, karena tangannya terasa
kesemutan. Ini menun-
jukkan kalau Sawung Jenar
mempunyai tenaga dalam
cukup sempurna. Tapi, Ratu Air
yang sudah cukup
pengalaman bertempur segera
me-ngemplang lagi
tongkatnya.
"Permainan anak
kecil!" ujar Iblis Selaksa Ular
seraya berkelit ke samping.
Tanpa disadari, serangkum
angin pukulan justru memapak
gerakannya itu.
Blarrr...!
Pukulan jarak jauh yang
dilancarkan Ratu Air
tepat mengenai dada Sawung
Jenar. Tubuh pemuda
bersisik ular itu pun terlontar
jauh, lalu jatuh bergu-
lingan di tanah. Namun seperti
tak terjadi apa-apa, dia
bangkit dengan mata mendelik dan
rahang menggem-
bung menahan hawa amarah.
Dua kali Ratu Air terperangah.
Pukulan jarak
jauh yang dilancarkannya barusan
sudah cukup un-
tuk menghancurkan batu sebesar
kerbau. Tapi, kena-
pa tubuh Sawung Jenar dapat
bertahan? Padahal dada
Sawung Jenar tertimpa dengan
telak pukulan jarak
jauh itu!
"Ha ha ha...!" ganti
Iblis Selaksa Ular yang ter-
tawa terbahak-bahak. "Nenek
Seram Muka Tikus! Bila
kau memang ingin menjajal
kesaktian Sawung Jenar,
sekarang akan kutunjukkan!"
Iblis Selaksa Ular mendekatkan
seruling gading
di bibirnya yang tipis dan
monyong. Begitu dia meniup,
seruling gading mengeluarkan
suara melengking tinggi.
Ratu Air yang sudah menduga akan
bahaya
yang mengancam segera
mengerahkan hawa murni.
Begitu pula dengan Empat
Begundal Dari Gua Laran-
gan yang berdiri di belakang
Ratu Air. Namun, bahaya
yang sesungguhnya bukan datang
dari lengkingan su-
ara seruling.
"Awas...!" teriak Ratu
Air memberi peringatan
kepada Empat Begundal Dari Gua
Larangan.
Cepat bukan main keempat lelaki
ini melo-
loskan pedang yang terselip di
pinggangnya. Lalu, pe-
dang itu mereka putar membentuk
perisai tajam. Ratu
Air pun memutar Tongkat Sakti di
tangan kanannya
untuk melindungi diri. Karena,
ratusan ular tiba-tiba
meluruk datang. Ular-ular itu
cuma sebesar telunjuk
jari, tapi mereka dapat terbang
laksana punya sayap!
"Cacing-cacing tanah!
Mampus kalian semua!"
hardik Ratu Air sambil terus
memutar Tongkat Sakti.
Terlihat kemudian, puluhan ular
yang meluruk
ke arah Ratu Air dan Empat
Begundal Dari Gua La-
rangan terlempar ke tanah dalam
keadaan terpotong-
potong. Bau anyir darah pun
menebar.
Seperti tak ada habisnya,
puluhan ular lainnya
muncul dari semak-semak dan air
sungai. Satwa-
satwa melata itu terus
menghujani tubuh Ratu Air dan
Empat Begundal Dari Gua
Larangan. Mereka berusaha
mematuk untuk mengalirkan racun
ganas!
Begitu banyaknya ular yang
muncul sehingga
pemandangan di tepi Sungai
Bayangan itu terlihat
sangat menggidikkan hati.
Apalagi permukaan tanah di
tempat itu pun telah diseraki
bangkai-bangkai ular
yang berlumuran darah.
Dalam hati Iblis Selaksa Ular
mengumpat tak
karuan. Binatang piaraannya
dapat dibantai oleh Ratu
Air dan Empat Begundal Dari Gua
Larangan. Namun,
tetap saja dia meniup
serulingnya. Jumlah ular yang
muncul pun semakin banyak!
Diserang ular-ular ganas dari
berbagai penjuru,
tentu saja Ratu Air dan Empat
Begundal Dari Gua La-
rangan lama-lama jadi kerepotan
juga. Sebelum sesua-
tu yang tak diinginkan terjadi,
tiba-tiba Ratu Air berte-
riak nyaring.
"Minggir kalian
semua!"
Mendengar itu, Empat Begundal
Dari Gua La-
rangan langsung berloncatan
menjauhi serbuan bina-
tang peliharaan Iblis Selaksa
Ular. Ratu Air sendiri
menghemposkan tubuh ke atas. Di
udara tangan ki-
rinya dikibaskan dengan
dilambari ilmu 'Sinar Perak
Cairkan Wujud'.
Weesss...!
Seberkas sinar perak memendar
dari telapak
tangan kiri Ratu Air. Ular-ular
peliharaan Sawung Je-
nar yang terkena sinar itu
langsung berpentalan ke ta-
nah. Sekejap mata kemudian,
satwa-satwa melata be-
rubah wujud menjadi cairan kental
berwarna kemerah-
merahan yang mengeluarkan bau
sangat anyir.
Selagi Iblis Selaksa Ular
berdiri terpaku di tem-
patnya karena dihantam
keterkejutan, Ratu Air mengi-
baskan lagi telapak tangan
kirinya.
"Mati kau, Anak Muda Muka
Ular!"
Sawung Jenar menggeram keras.
Dia masih
sempat meloncat tiga tombak ke
belakang. Tapi sebe-
lum kakinya menginjak tanah, dua
berkas sinar perak
meluruk dari kanan dan kiri
tubuhnya.
"Cahaya Bisa Ular
Sakti!" teriak Sawung Jenar
seraya mengibaskan telapak
tangan kanan dan kirinya
dua kali.
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat
menggelegar di angka-
sa. Dua berkas sinar perak yang
meluruk ke arah Iblis
Selaksa Ular membentur
sinar kelabu yang muncul
dari telapak tangan kanan dan
kiri pemuda bersisik
ular itu.
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa penuh keme-
nangan. Dilihatnya Sawung Jenar
jatuh terduduk te-
pat tiga tombak di hadapannya.
"Bangsat kau, Nenek Seram
Muk.... Argh,..!"
Kalimat Iblis Selaksa Ular tak berlanjut. Rasa
sesak keburu menghantam dadanya.
Lalu, darah ken-
tal kehitaman menyembur dari
mulutnya. Dengan wa-
jah pucat pasi dia mencoba
bangkit berdiri.
Dess...!
Tubuh Ratu Air meluncur cepat.
Pangkal tong-
kat berkepala naga tepat
menyodok dada Sawung Je-
nar.
Diiringi jerit panjang tubuh
pemuda bersisik
ular itu terlontar, lalu
tercebur ke dalam sungai dan
tenggelam!
Kesekian kalinya Ratu Air
tertawa bergelak-
gelak. Raut wajahnya
mencerminkan kepuasan yang
sangat. Lama dia menunggu
munculnya tubuh Iblis
Selaksa Ular dari dasar sungai.
Tapi, tampaknya hara-
pan nenek bertampang seram ini
sia-sia belaka. Tubuh
Iblis Selaksa Ular tak pernah
muncul-muncul lagi.
"Hmm.... Sayang sekali
pemuda yang menyebut
dirinya sebagai Sawung Jenar
atau Iblis Selaksa Ular
itu harus mati. Padahal aku sama
sekali tidak berniat
membunuhnya. Aku ingin
menjadikan dia sebagai
pengikutku. Tapi kalau sekarang
dia mati, berarti ke-
beruntungan belum mau datang ke
pangkuan Sang
Ratu Air."
Kinanti atau Ratu Air masih
berdiri terpaku di
tempatnya. Diperhatikannya gelombang air sungai
tempat di mana tubuh Sawung
Jenar tercebur.
"Kekuatan Empat Begundal
Dari Gua Larangan
kukira sudah cukup untuk
menggempur Kerajaan Si-
luman. Dan, melemparkan Nyai
Catur Asta ke dunia
gelap penuh siksa!" ujar
nenek itu kemudian.
Ratu Air meneruskan
perjalanannya untuk
mencari sebuah gua yang paling
dekat dengan kota
Kadipaten Bumiraksa. Empat
Begundal Dari Gua La-
rangan mengikuti ke mana kaki
wanita tua itu me-
langkah.
Sementara itu jauh di dasar
sungai, tubuh Iblis
Selaksa Ular terbaring
telentang. Kedua tangannya
terpentang dan tampak
terayun-ayun karena arus
sungai mempermainkannya. Kaki
kanannya menekuk,
ditopang batu sebesar kepala.
Dengan bibir dan kelo-
pak mata terkatup rapat tak
terlihat tanda-tanda kehi-
dupan pada diri pemuda bersisik
ular itu. Namun keti-
ka beberapa ekor ular kecil
mematuk-matuk tubuh-
nya, telapak tangan kanan Sawung
Jenar yang terbuka
tiba-tiba mengepal. Bersamaan
dengan itu, kepalanya
menggeleng-geleng dengan kelopak
mata terbuka.
"Oh, di mana aku?"
bisik Iblis Selaksa Ular da-
lam hati.
Merasakan jalan nafasnya tersedak air, sadar-
lah pemuda bersisik ular itu
kalau dirinya berada di
kedalaman sungai. Dicobanya
untuk berenang ke atas.
Tapi sekujur tubuhnya terasa
ngilu dan tak bertenaga.
Terutama di bagian dadanya yang
bagai dipukul-pukul
palu godam.
"Kalau aku terus dalam
keadaan seperti ini,
Malaikat Kematian akan segera
datang menjemput
nyawaku...," batin Sawung
Jenar. "Lebih baik ku coba
mengerahkan ilmu 'Pernapasan
Ular Air'."
Berpikir demikian, Iblis Selaksa
Ular memejam-
kan mata. Tak lama kemudian
tubuh pemuda itu tam-
pak melayang di kedalaman air.
Pada saat kelopak ma-
tanya terbuka kembali, dia
menarik napas panjang.
Aneh! Tak ada air yang masuk ke
lubang hidungnya.
Begitu udara dalam paru-paru
Sawung Jenar dikelua-
rkan, gelembung-gelembung air
muncul dari mulut
pemuda penghuni Sungai Bayangan
ini. Ditariknya lagi
napas panjang. Tetap tak ada air
yang masuk ke lu-
bang hidung. Hingga, Sawung
Jenar mampu bernapas
dalam air layaknya seekor ikan.
Itulah kehebatan ilmu
'Pernapasan Ular Air' yang
sedang diterapkan Iblis Se-
laksa Ular.
"Hmm.... Pukulan tongkat
nenek bertampang
seram yang bergelar Ratu Air itu
benar-benar meng-
hantam telak dadaku. Untung aku
memiliki ilmu
'Lembu Sekilan'. Sehingga tidak
ada tulang igaku yang
patah...," kata hati Sawung
Jenar.
Walau keadaannya masih lemah,
tapi pemuda
itu terus berusaha berenang ke
atas. Ketika melihat
sebuah benda bulat panjang
tergeletak di antara beba-
tuan dasar sungai, mata Sawung
Jenar bersinar aneh.
"Seruling Ular...,"
desis pemuda ini seraya be-
renang kembali ke dasar sungai.
Diambilnya senjata
yang terbuat dari gading itu.
Iblis Selaksa Ular segera
menggerakkan tangan dan kakinya
kembali untuk
mencapai permukaan air.
Sungai Bayangan cukup dalam.
Sawung Jenar
harus berjuang sekuat tenaga
untuk mencapai permu-
kaannya. Luka dalam yang
diderita memang tak sebe-
rapa parah, tapi cukup untuk
membuat lemas tangan
dan kakinya.
Matahari telah condong ke barat
ketika Iblis Se-
laksa Ular berhasil keluar dari
kedalaman sungai. Kini
pemuda berambut jarang itu
tampak bersemadi di tepi
sungai. Di kanan kirinya masih
terlihat ceceran cairan
kemerahan membeku yang berasal
dari tubuh ratusan
ular yang terkena 'Sinar Perak
Cairkan Wujud' dari il-
mu andalan Ratu Air.
Usai bersemadi, rasa sesak di
dada Sawung Je-
nar telah dapat diatasi. Jalan
darahnya pun tak lagi
kacau. Itu berarti hawa murni
dalam tubuhnya dapat
bekerja sebagaimana biasa.
Sawung Jenar berdiri lalu
mengarahkan pan-
dangan ke sekeliling. Melihat
banyaknya cairan keme-
rahan yang telah membeku di
tanah, pemuda bersisik
ular itu menggeram keras.
"Nenek seram muka tikus!
Ratu Air keparat!
Membunuh seekor ular di Sungai
Bayangan sama den-
gan mengundang kematian untuk
diri sendiri. Sawung
Jenar akan menuntut balas!"
***
Seperti biasanya, orang tetap
saja ramai berla-
lu-lalang di setiap jalan
kotapraja Anggarapura walau
malam telah menjelang. Ada saja
yang mereka kerja-
kan. Dari yang hanya sekadar
jalan-jalan, sampai yang
bersibuk diri karena mencari
pencahariannya pada
kehidupan malam. Di antara
sekian banyak manusia
itu, terlihat Wirogundi dan
Ingkanputri sedang duduk
di tempat yang agak gelap di
depan sebuah toko pa-
kaian.
Mata Wirogundi dan Ingkanputri
tak pernah le-
pas memperhatikan orang-orang
yang berlalu-lalang di
hadapan mereka. Muda-mudi itu
memang sedang
mencari Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur yang te-
lah melarikan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi mi-
lik Ingkanputri (Baca episode :
"Dendam Ratu Air").
"Agaknya aku keliru
mengajakmu mencari Saka
Purdianta di kotaraja
ini...," kata Wirogundi atau Pen-
dekar Patah Hati dengan suara
lirih mirip gumaman.
"Tidak, Wiro," sahut
Ingkanputri yang kini ber-
gelar Dewi Baju Merah.
"Gagasanmu untuk mengajak-
ku mencari Saka Purdianta kemari
tidak keliru. Saka
Purdianta memang orang buronan
pihak kerajaan. Ta-
pi, dia adalah seorang pemuda
yang sangat cerdik.
Siapa akan menyangka kalau
seorang buronan kera-
jaan justru telah berada di
kotapraja?"
"Telah hampir seharian
penuh kita berputar-
putar, namun tak dapat kita
menemukan jejaknya.
Bahkan, seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti di kotapraja ini
pun tak dapat memberi-
kan keterangan," keluh
Wirogundi seperti putus asa.
Mendengar ucapan Pendekar Patah
Hati, In-
gkanputri terdiam. Sejak dari
pagi tadi mereka me-
mang telah menyisir seluruh tempat
di kotapraja Ang-
garapura. Tapi, mencari jejak
Saka Purdianta bak
mencari jarum dalam tumpukan
jerami.
Dalam duduk menghadap ke jalan,
Wirogundi
dan Ingkanputri merasakan waktu
berlalu cepat.
Orang-orang yang berlalu-lalang
mulai berkurang. Ma-
lam makin larut dan dinginnya
udara telah bercampur
kabut.
"Sebaiknya kau mencari
penginapan, Putri...,"
cetus Pendekar Patah Hati
melihat gadis di sebelahnya
meringkuk kedinginan.
"Terima kasih, Wiro. Aku
akan tetap di sini ber-
samamu," tolak Dewi Baju
Merah.
"Itu tak baik bagi
dirimu," Wirogundi berusaha
mengingatkan.
"Duduk di tempat ini pun
sebenarnya tak baik
bagi dirimu, Wiro. Udara malam
bisa mendatangkan
penyakit"
Wirogundi tersenyum tipis.
"Kau lupa siapa aku, Putri,"
ujarnya sambil
menatap wajah Dewi Baju Merah
dari balik kereman-
gan lampu toko.
"Aku tidak lupa. Kau
Wirogundi kekasih kakak
seperguruanku yang telah
meninggal," goda Ingkanpu-
tri.
Pendekar Patah Hati tertunduk.
Bayangan An-
jarweni tiba-tiba berkelebat di
depan mata. Dan, itu
membuat sedih dalam hati
Wirogundi muncul kembali.
Terdengar desahan berat dari
mulutnya.
Melihat ini, Ingkanputri jadi
merasa tak enak.
Tak sengaja dia telah
mengingatkan peristiwa yang
menyedihkan itu dalam benak Wirogundi.
"Maafkan aku,
Wiro...," bisik gadis berpakaian
serba merah itu.
"Ah, tak apa,
Putri...," ucap Pendekar Patah Ha-
ri berusaha mengusir kegalauan
di hatinya.
"Malam semakin larut.
Sebaiknya kau turuti
usulku. Carilah penginapan. Aku
akan tetap di sini
menunggu. Kalau memang Saka
Purdianta ada di ko-
tapraja ini, aku berani menjamin
dia akan kutemu-
kan."
"Kasihan sekali kau bila
harus duduk di tempat
ini terus. Padahal udara malam
begini dingin," Ingkan-
putri merasa semakin tak enak.
Dia telah merepotkan
Wirogundi ke dalam masalahnya.
"Kau lupa siapa aku, Putri.
Sejak kecil aku bi-
asa hidup di alam bebas.
Aku...."
"Hush!" Ingkanputri
memotong ucapan Wiro-
gundi dengan menegakkan telunjuk
jarinya di bibir.
"Kau bukan lagi seorang
gelandangan. Kau Anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang hebat. Wa-
lau pakaianmu penuh tambalan,
tapi sesungguhnya
kau tidak miskin. Kau kaya.
Kekayaanmu tidak ada
bandingnya, karena berupa budi
luhur seorang pende-
kar...."
"Hush!" ganti
Wirogundi yang menegakkan te-
lunjuk jarinya di depan bibir.
"Bicaramu terlalu pan-
jang. Aku tak mengerti."
"Jangan terus
merendah!"
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Wirogundi tertawa
keras. Dia berusa-
ha menampakkan kegembiraan. Tapi,
Ingkanputri me-
rasa nada suara tawa Wirogundi
terdengar hambar. Di
balik tawa itu memang tersimpan
kesedihan yang san-
gat.
"Kasihan sekali murid Gede
Panjalu ini...," bisik
Dewi Baju Merah dalam hati.
"Rasa kehilangan akibat
kematian kakak seperguruanku
terus menghantui ji-
wanya."
"Hei, apa yang kau
pikirkan, Putri?" tanya Pen-
dekar Patah Hati.
"Ah, tidak. Aku cuma
memikirkan kemungki-
nan Saka Purdianta telah kembali
ke negeri kelahiran-
nya, Pasir Luhur," jawab
Ingkanputri berdusta.
"Hmm.... Aku juga punya
pikiran begitu...," wa-
jah Wirogundi tampak menegang.
"Tadi sore salah seo-
rang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
mengabarkan kalau orang yang
bergelar Ratu Air ber-
sama Empat Begundal Dari Gua
Larangan semakin
mengganas di kota Kadipaten
Bumiraksa. Banyak ang-
gota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang mere-
ka bunuh. Karena itu, secepatnya
kita harus pergi ke
kota Kadipaten Bumiraksa.
Agaknya Suropati tak bisa
mengatasi masa-lah itu seorang
diri. Setelah berhasil
menumpas Ratu Air bersama
pengikutnya, barulah ki-
ta mengejar Saka Purdianta ke
negeri Pasir Luhur."
Baru saja Pendekar Patah Hati
menyelesaikan
kalimatnya, mata Ingkanputri
bersinar aneh. Bukan
disebabkan oleh ucapan
Wirogundi. Tapi mata gadis
itu melihat seorang remaja
tampan berpakaian putih
penuh tambalan sedang berjalan
menenteng tongkat
butut di tangan kanan.
"Suro...!" teriak
Ingkanputri girang.
Remaja tampan yang dipanggil
namanya itu
menolehkan kepala.
"Putri...!" sebutnya
seraya meloncat, dan tepat
mendarat di hadapan Dewi Baju
Merah. Dipeluknya
gadis cantik itu erat-erat.
"Uh! Jangan kurang ajar,
Suro!" hardik Ingkan-
putri berusaha melepaskan
pelukan Suropati.
"He he he...."
Remaja tampan yang memang
Suropati atau
Pengemis Binal ini tertawa
terkekeh. Dia hendak men-
cium bibir Ingkanputri. Tapi,
niatnya itu segera di-
urungkan karena matanya melihat
sosok pemuda ku-
rus yang duduk di belakang
Ingkanputri.
"Wirogundi?" desis
Suropati.
"Ya, aku Wirogundi,
Suro," sahut Pendekar Pa-
tah Hati sambil bangkit berdiri.
"Kau telah menyelesaikan
tapa bratamu di Da-
nau Ular?"
Wirogundi menggeleng.
"Aku tidak bisa
melanjutkannya. Hatiku dihan-
tui perasaan tidak enak. Aku
telah menculik Rani Pa-
ramita, putri Prabu Arya
Dewantara, atas perintah seo-
rang pemuda yang menyamar
sebagai dirimu," tutur
Pendekar Patah Hati.
"Kau tidak bersalah, Wiro.
Pemuda bergelar
Dewa Guntur itu memang seorang
penjahat culas! Aku
mempunyai perhitungan tersendiri
dengannya."
"Aku sudah tahu kalau
diriku telah diperalat.
Biarlah Kakek Gede Panjalu
menghukum diriku, kare-
na aku tidak melanjutkan tapa
brataku," Wirogundi
mengucapkan kata-kata itu dengan
kepala setengah
tertunduk.
"Kakek Gede Panjalu tengah
terluka dalam san-
gat parah," beritahu
Pengemis Binal.
Kening Pendekar Patah Hati
berkerut. Ditatap-
nya Suropati tajam-tajam untuk
meminta penjelasan.
"Seorang nenek berwajah
seram telah melukai
sesepuh perkumpulan kita di
Bukit Pangalasan. Dia
pun telah merampas Tongkat
Sakti," lanjut Suropati.
"Keparat!" umpat
Pendekar Patah Hati dengan
mata mendelik dan rahang
menggembung. "Apakah
nenek seram itu juga yang telah
membunuhi para ang-
gota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti di kota Ka-
dipaten Bumiraksa?"
"Ya. Dia bergelar Ratu
Air."
"Sebaiknya kita ke kota
Kadipaten Bumiraksa
sekarang!"
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Pengemis Binal meli-
hat Wirogundi hendak beranjak
dari tempatnya. "Ratu
Air kemungkinan besar tak lagi berada
di sana. Aku te-
lah mengungsikan seluruh anggota
perkumpulan kita."
"Berarti kita membiarkan
saja tindakan kejam
Ratu Air itu?!" tukas
Pendekar Patah Hati tidak puas.
Sementara Ingkanputri cuma
mendengarkan dengan
raut wajah menampakkan kesungguhan,
karena ter-
bawa perasaan tegang.
"Kemarin malam di halaman
Kuil Saloka, aku
telah bertempur dengan Ratu Air.
Tapi, aku tak dapat
menandingi ilmu ‘Sinar Perak
Cairkan Wujud’ yang
menjadi andalannya. Padahal aku
sudah dibantu oleh
Kakek Banjaranpati yang bergelar
Bayangan Putih Dari
Selatan. Untung Dewi Ikata dan
Dewi Tangan Api da-
tang menolong...."
Paras muka Pendekar Patah Hari
berubah mu-
rung.
"Kalau kau saja tak mampu
menghadapi Ratu
Air, apalagi diriku,"
katanya lirih
"Jangan merendah, Wiro! Aku
tahu sejak diri-
mu memakan buah pala ajaib, ilmu
kesaktianmu telah
berlipat ganda. Tapi, kurasa itu
pun belum menjamin
untuk dapat melenyapkan keangkaramurkaan Ratu
Air. Nenek seram itu memang
terlalu sakti."
"Kalau begitu, haruskah
kita mengumpulkan
bala bantuan," usul
Wirogundi. Gagasan itu tiba-tiba
saja muncul di benaknya.
"Tidak perlu! Masalah ini
adalah masalah per-
kumpulan kita sendiri. Kita
tidak perlu melibatkan
orang lain. Hanya saja aku telah
mendapat petunjuk
dari Nyai Catur Asta untuk
mencari saudara sepergu-
ruan Ratu Air yang bergelar
Putri Racun," Suropati
menolak usul yang diajukan
Wirogundi.
"Siapa mereka?" tanya
Wirogundi yang belum
pernah sebelumnya mendengar nama
itu.
"Tentang Nyai Catur Asta,
aku akan mencerita-
kan di lain waktu. Yang penting
hari ini kau harus
membantuku mencari Putri Racun.
Dia harus dapat
kita temukan sebelum hari kesatu
purnama pertama
jatuh dua hari lagi."
"Kenapa begitu?"
Ingkanputri ikut bertanya.
Pengemis Binal menatap wajah
Dewi Baju Me-
rah sekilas.
"Pada hari itu Ratu Air
akan menggempur Kera-
jaan Siluman. Karena, Ratu Air
mempunyai dendam
kesumat terhadap Nyai Catur
Asta. Dan, aku harus
dapat mencegahnya untuk menetapi
janjiku pada Pen-
guasa Kerajaan Siluman
itu."
"Tapi, tidak adakah
kemungkinan Putri Racun
berada di kota Kadipaten
Bumiraksa. Kalau dia men-
dengar kekejaman saudara
seperguruannya, dia tentu
akan pergi ke sana," cetus
Dewi Baju Merah.
"Hmm.... Ucapanmu ada
benarnya, Putri," sa-
hut Suropati setelah berpikir
sejenak. "Namun, Kakek
Banjaranpati sekarang berada di
sana. Dia membantu-
ku untuk mencari Putri Racun.
Seandainya telah ber-
temu, Kakek Banjaranpati tentu
akan memberitahu-
ku."
"Kalaupun benar Kakek
Banjaranpati telah ber-
temu dengan Putri Racun, dia
tentu menempuh perja-
lanan jauh untuk memberitahukan
kepadamu, Suro,"
ujar Pendekar Patah Hati.
"Tidak perlu.
Kesaktian kakek yang bergelar
Bayangan Putih Dari Selatan itu
cukup tinggi. Dia da-
pat memberitahukan sesuatu
melalui bisikan batin da-
ri jarak jauh," Suropati
mengingatkan tentang keting-
gian ilmu Banjaranpati. Dan,
Suropati mengatakannya
dengan nada sedikit bangga.
"Kau yakin itu?"
"Ya," jawab Pengemis
Binal yakin sekali. Ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang kumiliki adalah
ajaran Kakek Banjaranpati. Jadi,
aku tak perlu me-
nyangsikan kekuatan batin kakek
yang selalu menge-
nakan jubah putih itu."
Wirogundi mengangguk-anggukkan
kepalanya
pelan. Sementara Suropati
mentowel dagu gadis cantik
yang berdiri di hadapannya.
"Jangan kurang ajar,
Suro!" teriak Ingkanputri.
"He he he...,"
Pengemis Binal hanya tertawa
terkekeh.
***
6
Belasan pemuda tampak bergotong
royong
membangun kembali rumah yang
terbuat dari susu-
nan batu ini telah hancur
berantakan. Mereka bekerja
dengan mulut bungkam seribu
bahasa. Kedukaan ter-
pancar jelas dari mata mereka.
Bukan saja Tongkat
Sakti, lambang persatuan
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti, telah hilang
dirampas orang. Tapi juga
karena keadaan Gede Panjalu yang
terluka dalam cu-
kup parah demi mempertahankan
tongkat itu. Ditam-
bah lagi adanya pembantaian di
Kuil Saloka yang men-
gakibatkan puluhan anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti meninggal. Maka,
wajar bila kini seluruh
penghuni puncak Bukit
Pangalasan merasa sangat
berduka.
Di antara belasan pemuda yang
sedang bekerja
giat membangun tempat tinggal
Gede Panjalu itu, tam-
pak seorang pemuda kurus
berwajah kusam berjalan
gontai. Berulang kali suara
desahan bercampur gera-
man amarah tertahan dari
mulutnya.
"Hei! Apa yang sedang kau
lakukan, Gati? Dari
tadi kau cuma mondar-mandir
tanpa melakukan apa-
apa!" tegur pemuda yang
baru saja meletakkan se-
bongkah batu di tanah.
Pemuda yang ditegur segera
menghentikan
langkah. Wajahnya terangkat.
Tampak rahangnya yang
mengeras karena menyimpan hawa
amarah.
"Aku tidak bisa tinggal
terus di tempat ini," ka-
tanya seraya meninggalkan
teman-temannya.
Semua mata menatap ke arah
pemuda yang
bernama Carang Gati. Sementara
Carang Gati bergegas
melangkahkan kakinya ke sebuah
rumah papan bera-
tap rumbai daun tebu. Begitu
sampai dia langsung
mengetuk daun pintu.
"Siapa?" terdengar
suara tanya dari dalam ru-
mah.
"Saya, Kek. Carang
Gati," jawab si pemuda.
Setelah membuka daun pintu,
Carang Gati ber-
diri terpaku di ambang pintu.
Matanya menatap seo-
rang kakek bungkuk yang sedang
duduk bersila di alas
tikar daun pandan. Wajah si
kakek terlihat pucat den-
gan sinar mata redup. Dia tak
lain Gede Panjalu atau
Pengemis Tongkat Sakti. Kakek
ini memang belum
sembuh benar dari luka dalamnya
setelah bertempur
dengan Ratu Air demi
mempertahankan Tongkat Sakti.
"Ada perlu apa kau ke sini,
Gati?" tanya Gede
Panjalu. "Pagi ini mestinya
kau membantu teman-
temanmu."
"Aku tahu kewajibanku
itu, Kek...," sahut Ca-
rang Gati sambil melangkah tiga
tindak. "Tapi, ada se-
suatu yang mengharuskan aku
untuk menghadap Ka-
kek Gede."
"Duduklah dulu. Jangan
berdiri seperti itu."
Carang Gati duduk bersila di
hadapan Gede
Panjalu. Gerakannya lemah
seperti orang kehabisan
tenaga. Hingga beberapa lama
pemuda itu pun belum
membuka suara. Gede Panjalu
memperhatikan wajah
Carang Gati yang kusut masai.
Sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini
menarik napas panjang, la-
lu dihembuskannya kuat-kuat.
"Gati.... Gati...,"
kepala Gede Panjalu mengge-
leng-geleng lemah. "Hidup
ini memang penuh dengan
cobaan. Itulah yang namanya
tantangan. Dari tantan-
gan itu, kita jadi tahu kalau
hidup ternyata memang
sulit. Tapi, tidak bagi orang
yang bisa memahami arti
kehidupan itu sebenarnya."
Mendengar nasihat Gede Panjalu,
kepala Ca-
rang Gati malah tertunduk dalam.
Sesuatu yang hen-
dak dia bicarakan jadi sulit
untuk diutarakan. Mulut-
nya tiba-tiba terkunci rapat.
"Kau datang ke hadapanku
tentu ada yang
hendak kau bicarakan. Apa?
Kenapa kau diam saja?"
desak Gede Panjalu.
"Aku turut merasakan
penderitaanmu, Kek..,"
cetus Carang Gati kemudian tanpa
mengangkat wajah.
Senyum tipis terkulum di bibir
Gede Panjalu.
"Melihat musibah yang
terjadi, wajar bila kau
berkata seperti itu. Tapi
tahukah kau kalau musibah
ini juga mendatangkan hikmah
yang sangat berharga,
Gati? Kita jadi tahu bahwa
kejahatan lebih banyak
mendatangkan penderitaan bagi
orang lain. Bagi si
pembuat keonaran, dia memang
akan mendapatkan
kepuasan. Tapi, kepuasan itu
sementara saja sifatnya.
Pada saatnya nanti dia akan
dikejar-kejar perasaan
bersalah. Sampai kemudian hukum
Tuhan diberlaku-
kan bagi dirinya."
"Aku mengerti, Kek. Tapi,
menurutku hukuman
Tuhan terhadap orang jahat pasti
membutuhkan pe-
rantara. Karenanya aku ingin
membalas kejahatan Ra-
tu Air. Siapa lagi yang akan
menghukum nenek jahat
itu kalau bukan kita anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti? Untuk inilah aku
datang menghadap
Kakek. Aku minta ijin untuk
turun bukit mencari Ratu
Air."
"Gati.... Gati...,"
desah Gede Panjalu. "Urusan
balas membalas kejahatan hanya
akan menambah
penderitaan."
"Tapi, Kek..," sela
Carang Gati. "Haruskah kita
membiarkan tindakan Ratu Air
yang kejam itu?"
"Tentu saja tidak,
Gati."
"Kalau begitu, izinkan aku
mencari Ratu Air se-
karang juga."
Melihat raut wajah Carang Gati
yang berubah
tegang, Gede Panjalu cuma
tersenyum tipis. Carang
Gati jadi penasaran dibuatnya.
"Kakek tidak
mengiakan?" cecar pemuda itu.
"Kemarin malam Suropati
telah mengungsikan
seluruh pengemis di kota
Kadipaten Bumiraksa ke Bu-
kit Pangalasan ini. Itu berarti
dia belum dapat menga-
tasi kekejaman Ratu Air. Kita
tahu sampai di mana il-
mu kesaktian Suropati. Tapi
bertempur dengan Ratu
Air dia kalah. Oleh sebab itu,
aku tak mau kau celaka
di tangan nenek jahat itu, Gati.
Bukan aku meragukan
kemampuanmu, tapi cobalah kau
berpikir lebih dalam.
Jangan menuruti hawa amarah
saja." Gede Panjalu be-
rusaha menasihati Carang Gati.
Kepala Carang Gati terlihat
makin tertunduk.
"Aku mencintai seluruh
muridku. Termasuk
engkau, Carang Gati,"
lanjut Gede Panjalu. "Sebaiknya
kau urungkan niatmu itu.
Yakinlah akan usaha Suro-
pati untuk menumpas Ratu Air.
Kemarin malam dia
juga bercerita kepadaku kalau
untuk mengalahkan Ra-
tu Air, Suropati harus menemukan
terlebih dahulu
orang yang bergelar Putri
Racun."
Carang Gati mengangkat wajahnya.
Matanya
terlihat berkilatan.
"Aku mohon diri, Kek,"
katanya seraya bangkit
berdiri.
"Kau akan membantu
teman-temanmu mem-
bangun kembali rumah susunan
batu?" tegas Gede
Panjalu.
"Tidak, Kek Aku akan
membantu Suropati
mencari Putri Racun."
Merasakan kemauan keras Carang
Gati, Gede
Panjalu hanya dapat mendesah.
"Kalau sudah mempunyai
kemauan, anak mu-
da memang keras kepala. Sulit
sekali membelokkan
niatnya," katanya dalam
hati. Sementara matanya me-
natap punggung Carang Gati yang
segera hilang tertu-
tup daun pintu.
Agak tergesa-gesa Carang Gati
berjalan menu-
runi bukit. Orang-orang yang
melihatnya merasa he-
ran. Namun, Carang Gati sama
sekali tak menghirau-
kan.
"Hei, Gati! Kau hendak ke
mana?"
Ketika telinganya menangkap
suara teriakan
yang ditujukan kepada dirinya.
Carang Gati menoleh
tanpa menghentikan langkah.
"Tunggu! Tunggu,
Gati!" pinta seorang pemuda
bertubuh agak pendek. Dia
berlari mengejar langkah
Carang Gati. Sama halnya dengan
Carang Gati, pemu-
da itu juga mengenakan pakaian
penuh tambalan dan
membawa sebatang tongkat
berkepala naga yang
ujungnya terpeluntir sepanjang
satu jengkal.
Carang Gati menatap wajah pemuda
itu. "Ada
apa, Katabang?" tanyanya
dengan suara berat.
"Kau hendak ke mana?"
Katabang balik ber-
tanya.
Carang Gati tidak segera
menjawab. Ditatapnya
wajah Katabang lekat-lekat.
"Kau hendak ke mana,
Gati?" ulang Katabang.
"Aku akan membantu Suropati
mencari orang
yang bergelar Putri Racun."
"Aku ikut," sahut
Katabang cepat.
"Kakek Gede Panjalu tidak
mengizinkanmu," to-
lak Carang Gati.
"Aku tahu kau pun tidak
diizinkan. Tapi, kau
nekat."
"Tapi kau tidak boleh
nekat," Carang Gati tetap
menolak.
"Untuk kebaikan, apa pun
akan kulakukan,"
sahut Katabang tak kalah keras
kepalanya.
Carang Gati tak memperhatikan
ucapan Kata-
bang. Kakinya kembali melangkah.
Namun Katabang
mengikuti di belakang.
"Kau jangan ikut!"
bentak Carang Gati tiba-tiba.
"Aku ikut! Termasuk
teman-teman kita itu!"
Katabang menunjuk ke satu arah.
Kening Ca-
rang Gati berkerut melihat
sekitar tiga puluh orang
temannya berlari-lari menghampiri. Masing-masing
mereka membawa sebatang tongkat.
"Hei! Hei! Untuk apa kalian
mengikutiku!" ben-
tak Carang Gati. "Suropati
baru mengungsikan kalian.
Kenapa mau menuruni bukit
lagi?!"
"Kau dan aku sama-sama
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti,
Gati. Kalau kau ingin tu-
run bukit, kami pun ingin
berbuat yang sama," kilah
salah seorang pemuda yang baru
datang.
"Tapi, ini bukan untuk
kepentinganku sendiri.
Aku akan membantu Suropati
mencari Putri Racun."
jelas Carang Gati dengan alis
bertaut.
"Kami pun ingin mencari
Putri Racun," pemuda
berambut lebat itu berkilah
lagi.
Carang Gati memandangi wajah
para pemuda
yang berdiri di hadapannya.
Karena merasa tidak
mungkin mencegah maksud mereka,
akhirnya Carang
Gati berkata.
"Baiklah kalau begitu. Tapi
kalau Kakek Gede
Panjalu marah, kalian tanggung
sendiri akibatnya!"
"Keinginan ini tercetus
dari dalam diri kami
sendiri. Kenapa mesti orang lain
yang menanggung
akibatnya!" tegas Katabang.
Sebentar kemudian, pemuda-pemuda
gagah be-
rani yang bernaung di bawah
bendera Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu
tampak berlari-lari menu-
runi puncak Bukit Pangalasan.
***
Raja Syair dan Putri Racun
merasa heran. Se-
tiap orang mereka jumpai di kota
Kadipaten Bumirak-
sa selalu membersitkan sinar
ketakutan di matanya.
Banyak toko dan kedai yang
tutup. Orang-orang yang
sedang melakukan kegiatannya
sehari-hari juga tam-
pak tergesa-gesa ingin segera
kembali ke rumah mas-
ing-masing. Puluhan prajurit
berjalan mondar-mandir
dalam kewaspadaan penuh.
"Rupanya Ratu Air telah
menjadi momok yang
sangat menakutkan bagi seluruh
warga kota Kadipaten
Bumiraksa. Kekejamannya terhadap
para anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
benar-benar sudah
kelewat batas," ujar Putri
Racun. Lalu dihelanya napas
panjang menyesali per-buatan
saudara seperguruan-
nya itu.
"Dari tadi aku tak melihat
seorang pengemis
pun. Kemungkinan besar mereka
telah mengungsi.
Agaknya Suropati belum bisa
mengatasi kemelut da-
lam perkumpulannya," tambah
Raja Syair.
Putri Racun menggandeng bocah
lelaki berant-
ing perak besar di telinga kirinya itu. Kening
mereka
sama-sama berkerut. Tidak ada
satu rumah pun yang
daun pintunya terbuka. Para ibu
dan anak-anak lebih
banyak mengurung diri di dalam.
Ini terjadi semenjak kemunculan
Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan yang
suka membuat onar.
Apalagi setelah mereka menjadi
pengikut Ratu Air yang
kejam. Membunuh bagi mereka
merupakan pekerjaan
biasa. Tentu saja hal ini
membuat takut seluruh warga
kota Kadipaten Bumiraksa.
Apalagi prajurit-prajurit
kadipaten pun banyak pula yang
telah mati di tangan
Ratu Air dan Empat Begundal Dari
Gua Larangan.
Sesampai di halaman Kuil Saloka
yang meru-
pakan tempat tinggal para
pengemis kota Kadipaten
Bumiraksa, kerut di kening Raja
Syair dan Putri Racun
semakin kentara. Mereka melihat
sisa-sisa pertempu-
ran. Dan, hidung mereka mencium
bau anyir darah.
Raja Syair mengedarkan pandangan
ke sekelil-
ing tempat ini seperti mencari
sesuatu. Tiba-tiba saja
dia menghemposkan tubuh dan
hinggap di sebatang
pohon di halaman kiri kuil. Dia
lalu duduk di dahan
dengan kaki terayun-ayun. Wajah
Raja Syair terlihat
lembut dan lucu. Seiring
hembusan angin yang meng-
gerakkan dedaunan, melantunlah
kata-kata syair dari
mulut bocah lelaki itu.
Dari sekian banyak cinta pada
diri manusia
Semua bersumber dari satu cinta
Cinta kepada Sang Pencipta
Yang menuntun manusia untuk
cinta kepada se-
sama
Dan alam lingkungan
Dari situ timbul satu arahan
Ke mana kaki dilangkahkan
Sekadar menuruti nafsu atau
menuruti jalan ke-
benaran?
Kenapa pula orang membunuh
sesama
Bila yang didapat hanya kerugian
semata
Pada saatnya nanti Tuhan memberi
pengadilan
Yang jahat menerima pembalasan
"Dalam keadaan seperti ini
kata-kata syairmu
itu tidak ada gunanya,
Gisa!" tegur Kusuma atau Putri
Racun.
"Aku sedang menghibur diriku
sendiri, Kusu-
ma. Hatiku sedih melihat kebrutalan manusia-
manusia kejam itu. Apakah perlu
orang membunuh
sesama hanya untuk sebuah
pelampiasan? Rasa benci
dan dendam memang bisa membuat
manusia lupa.
Tapi, haruskah perasaan itu
dituruti bila akan menda-
tangkan rugi? Karma itu ada.
Yang baik akan meneri-
ma kebaikannya. Yang jahat
menerima kejahatannya.
Karena, semua akan berpulang
kepada diri sendiri...."
"Kau jangan ngelantur,
Gisa!"
Putri Racun sedikit jengkel
mendengar Gisa
Mintarsa yang bicara
berpanjang-panjang. Bibir Putri
Racun yang kemerahan tampak
merengut.
"Ha ha ha...!" Gisa
Mintarsa malah tertawa ter-
bahak-bahak. Kedua kakinya yang
menjuntai di dahan
pohon diayun-ayunkan.
"Tidak ada yang lucu,
Gisa!" mata Kusuma
mendelik menampakkan
kejengkelan. "Tertawa tidak
pada tempatnya hanya mengundang
cela."
"Lalu, bila aku tertawa ini
berarti aku salah?"
"Huh! Kau hanya pandai
merangkai kata-kata,
tapi tak tahu maknanya! Melihat
kekejaman Ratu Air
seharusnya kau turut prihatin.
Kenapa malah tertawa-
tawa?!"
"Kau salah mengerti,
Kusuma. Aku tertawa bu-
kan karena merasa ada yang lucu.
Aku menertawakan
diriku sendiri. Alangkah
bodohnya aku ini. Walau tu-
buhku kini berupa bocah kecil,
tapi umurku telah se-
ratus tahun lebih. Tapi selama
itu aku tak pernah tahu
bagaimana menjadi manusia yang
sesungguhnya.
Apakah dengan berbuat baik diri
ini telah menjadi ma-
nusia yang sebenarnya? Atau
dengan lebih mende-
katkan diri kepada Tuhan, aku
akan tahu siapa diriku
ini? Atau...."
"Cukup!" potong Putri
Racun. "Kau tidak akan
mampu menjawab pertanyaan itu.
Karena sesungguh-
nya kemampuan manusia terbatas.
Kenapa harus
memikirkan hal-hal itu kalau
sekarang masih ada yang
lebih layak untuk
dipikirkan?"
"Ya..., ya! Memang betul
apa yang kau katakan,
Kusuma. Aku memang ingin
kata-kata itu keluar dari
dirimu. Kemampuan manusia
terbatas, Kemampuan
Ratu Air pun terbatas.
Karenanya, nenek kejam itu
pasti akan dapat ditumpas!"
Rasa kesal di hati Putri Racun hilang
sudah.
Rupanya Raja Syair memang tidak
sedang main-main.
Tapi, mendadak keningnya
berkerut lagi.
"Aku tidak tahu bagaimana
bisa mengalahkan
Ratu Air, Walau dia adalah
saudaraku," desah gadis
berwajah cantik ini.
"Kenapa mesti ragu bila
kita berada di pihak
yang benar? Ada banyak cara
Tuhan untuk meme-
nangkan kebenaran...."
Gisa Mintarsa hendak menyambung
lagi kali-
matnya yang terdengar begitu
bijak, tapi mata bocah
laki-laki itu keburu melihat
sosok seorang kakek ber-
jubah putih yang sedang berjalan
menuju kuil.
"Banjaranpati..!"
desis Raja Syair menyebut
nama muridnya. Kakek berjubah
putih yang dilihatnya
memang Banjaranpati atau
Bayangan Putih Dari Sela-
tan.
Dengan satu sentakan pelan pada
dahan pohon
yang didudukinya, tubuh Raja
Syair melenting tinggi
lalu mendarat di hadapan
Banjaranpati.
"Guru...," sebut
Bayangan Putih Dari Selatan,
agak terkejut.
"Jangan panggil aku
Guru!" bentak Gisa Min-
tarsa.
"Ya..., ya, Gisa,"
Banjaranpati mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Kau sudah bertemu
Suropati?"
"Sudah."
"Ikut melindungi para
pengemis di kota kadipa-
ten ini?" cecar Raja Syair.
"Ya."
"Bagaimana
kesudahannya?"
"Ratu Air terlalu sakti
untuk dikalahkan," keluh
Banjaranpati pelan.
Gisa Mintarsa tertawa.
"Bukan Ratu Air yang
terlalu sakti, tapi kita
yang terlalu bodoh!"
"Aku sedang mencari saudara
seperguruan Ra-
tu Air yang bergelar Putri
Racun, Gisa...," beritahu
Bayangan Putih Dari Selatan.
"Kau lihat gadis yang
berdiri di samping kuil
itu? Dialah Putri
Racun!"
Banjaranpati mengarahkan
pandangannya ke
tempat yang ditunjukkan Gisa
Mintarsa. Seorang gadis
berpakaian ungu hitam tampak
berdiri di sana. Kalau
saja Banjaranpati belum mendengar penuturan dari
Suropati, dia tak akan menyangka
gadis itu adalah
saudara seperguruan Ratu Air
yang umurnya telah
mencapai seratus tahun lebih.
"Mendekatlah kemari,
Kusuma!" pinta Raja
Syair dengan suara lantang.
Putri Racun melangkah tenang.
Dipandanginya
wajah Banjaranpati lekat-lekat.
Banjaranpati balas
menatap.
"Hmm.... Sungguh cantik
gadis yang bergelar
Putri Racun ini...," puji
Bayangan Putih Dari Selatan
dalam hati. "Kalau dia
selalu berada di dekat Suropati,
jangan-jangan dia akan jadi
korban kebinalan remaja
konyol itu."
"Kau mencariku?" tanya
Kusuma kemudian.
"Ya. Tunggulah di sini. Aku
akan memanggil
Suropati."
Aneh! Berkata hendak mencari
Suropati. Banja-
ranpati malah berjalan memasuki
kuil. Padahal dia ta-
hu di dalam sudah tidak ada
orang.
Bayangan Putih Dari Selatan lalu
duduk bersila
dengan kedua tangan bersedekap
di depan dada. Den-
gan kelopak mata terpejam, dia
berusaha menembus
batas ruang yang memisahkan
manusia dengan alam
sekelilingnya.
***
Suropati yang tengah berada di
kotapraja tiba-
tiba merasakan sesuatu perasaan
tidak enak mengge-
luti jalan pikirannya. Langkah
kaki remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan
ini ter-henti. Wiro-
gundi dan Ingkanputri yang
berjalan di sampingnya
ikut menghentikan langkah.
"Ada apa, Suro?" tanya
Ingkanputri melihat wa-
jah Pengemis Binal berubah
tegang.
Suropati tak menjawab.
Telinganya mendengar
suara gaung aneh. Dan, gaung
aneh itu segera lenyap
digantikan dengan suara bisikan
Bayangan Putih Dari
Selatan.
"Hmm.... Rupanya Kakek
Banjaranpati telah
bertemu dengan Putri Racun di
Kuil Saloka," gumam
Pengemis Binal pelan.
"Ada apa, Suro?" ganti
Wirogundi yang ber-
tanya. Ia mendengar Suropati
menggumamkan kata-
kata yang tidak begitu jelas.
"Nanti kau akan tahu
sendiri," jawab Suropati.
"Kita ke kota Kadipaten
Bumiraksa sekarang."
Tubuh Pengemis Binal langsung
berkelebat. Wi-
rogundi dan Ingkanputri sejenak
saling berpandangan.
Lalu, kedua orang muda ini pun
segera menyusul ke-
lebatan tubuh Pengemis Binal
yang menuju ke Kuil Sa-
loka di pinggir kota Kadipaten
Bumiraksa.
***
Tiba di tempat yang dituju
Pengemis Binal dis-
ambut Banjaranpati, Gisa
Mintarsa, dan Kusuma yang
memang telah menantikan
kedatangannya di halaman
Kuil Saloka.
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepala meli-
hat seorang bocah lelaki
bergayut manja di lengan Pu-
tri Racun. Suropati pun menatap
sosok bocah itu le-
kat-lekat. Dia merasa heran. Di
daun telinga kiri si bo-
cah terdapat anting perak besar
yang lebih tepat dis-
ebut gelang tangan. Rompi kuning
dan celana pendek
sebatas lutut yang dikenakan si
bocah memendarkan
warna kuning yang menyilaukan
mata ketika tertimpa
sinar matahari.
"Hei, Bocah! Bajumu bagus.
Boleh kupinjam?"
masih sempat-sempatnya Suropati
menggoda.
"Untuk apa?" tanya
Raja Syair, pura-pura tak
tahu kekonyolan Suropati.
"Boleh kupinjam?"
ulang Suropati.
"Untuk apa dulu?" *
"Untuk lap keringat. He he
he...!"
"Boleh pula aku pinjam
bajumu?" balas Gisa
Mintarsa.
"Untuk apa?"
"Menyumpal mulutmu yang
bawel. He he he...."
Suropati dan Gisa Mintarsa
tertawa terkekeh
bersama. Sementara Banjaranpati
dan Kusuma cuma
tersenyum tipis melihat
kekonyolan mereka.
"Eh, wajahmu ganteng,
Bocah. Siapa nama-
mu?" tanya Pengemis Binal
lagi.
Gisa Mintarsa hendak menjawab.
Tapi, kalah
cepat dengan Bayangan Putih Dari
Selatan.
"Dia adalah guruku. Namanya
Gisa Mintarsa,
dan bergelar Raja Syair,"
tutur kakek berjubah putih
kepada Suropati.
"Apa?!"
"Tak usah terkejut,
Suro," Banjaranpati lalu
menceritakan tentang arwah
gurunya yang menitis pa-
da tubuh bocah yang berdiri di
sampingnya.
"Ooo...," Pengemis
Binal manggut-manggut Na-
mun begitu, tatapan matanya
tertuju pada Putri Ra-
cun, "Kekejaman saudara
seperguruanmu sudah kele-
wat batas. Kau harus membantuku
untuk mele-
nyapkannya, Putri!" ujarnya
kemudian.
"Namaku Kusuma."
"Ya..., ya, Kusuma! Nyai
Catur Asta mengata-
kan kalau kau bisa membantuku
untuk mengalahkan
ilmu kesaktian Ratu Air."
"Benar begitu?"
"Untuk apa aku
berbohong," kilah Suropati.
"Ah, aku sendiri tak tahu
bagaimana melawan
kesaktian saudara seperguruanku
yang kejam," desah
Putri Racun.
"Bila Ratu Air mempunyai
ilmu andalan yang
bernama 'Sinar Perak Cairkan
Wujud', kau tentu juga
mempunyai sebuah ilmu andalan,
Kusuma."
Putri Racun menganggukkan
kepala.
"Aku mempunyai ilmu
'Pukulan Racun Pem-
buat Serbuk'. Tapi, aku tak
yakin apakah ilmuku itu
sanggup menandingi ilmu 'Sinar
Perak Cairkan Wu-
jud'. Kesaktian Ratu telah
berlipat ganda sekarang,"
ujar Kusuma ragu-ragu.
"Keparat!" umpat
Pengemis Binal tiba-tiba. "Itu
tentu berkat Tongkat Sakti yang
telah dirampasnya da-
ri penjagaan Kakek Gede Panjalu.
Semua kebiadaban
Ratu Air pantas dibalas dengan
kematiannya!"
Pengemis Binal mengeluarkan
kata-kata anca-
man itu sambil menggaruk-garuk
kepala dan nyengir
kuda. Melihat sikap aneh remaja
tampan ini, Putri Ra-
cun tertawa geli dalam hati.
***
Ingkanputri atau Dewi Baju Merah
yang baru
tiba di tempat itu jadi
terkesiap melihat Suropati ten-
gah asyik bercakap-cakap dengan
seorang gadis can-
tik. Langkahnya terhenti di tepi
jalan yang menuju ke
Kuil Saloka.
"Dasar Pengemis
Binal!" umpat gadis itu dalam
hati.
Tapi, cepat dihalaunya perasaan
cemburu yang
tiba-tiba muncul. Menurut
dugaannya, gadis berpa-
kaian ungu hitam itu tentu Putri
Racun yang sedang
dicari-cari Suropati untuk
dimintai bantuan. Jadi,
cemburu dalam hati Ingkanputri
sebenarnya tak perlu.
"Kenapa berhenti di sini, Putri?"
tanya Wiro-
gundi yang berdiri di
sampingnya.
Ingkanputri tak menjawab.
Kakinya melangkah
memasuki halaman kuil bobrok
tempat tinggal para
pengemis kota Kadipaten
Bumiraksa.
Sementara Suropati, Gisa
Mintarsa, dan Kusu-
ma terkejut melihat kehadiran
tiga puluh orang pen-
gemis bersenjata tongkat.
Wirogundi dan Ingkanputri
juga memandang heran kedatangan
para pengemis itu.
Setahu mereka, Suropati telah
mengungsikan seluruh
anggota perkumpulannya yang
berada di kota Kadipa-
ten Bumiraksa ke Bukit
Pangalasan.
"Hei! Kenapa kau membawa teman-temanmu
datang ke tempat ini lagi,
Gati?!" tegur Pengemis Binal
ketika dilihatnya Carang Gati
yang agaknya menjadi
pemimpin rombongan.
"Kami semua akan membantumu
mencari Putri
Racun," kata Carang Gati
penuh semangat.
"Untuk apa?" tanya
Suropati menyelidik.
"Lho, bukankah untuk
mengalahkan Ratu Air
kau harus terlebih dahulu
menemukan orang yang
bergelar Putri Racun?"
"Sok tahu kau, Gati!"
umpat Suropati.
"Jadi, tindakanku ini
salah?"
"He he he...!" melihat
paras muka Carang Gati
berubah kelam, Pengemis Binal
malah tertawa. "Kalau
kau kuberi tugas mencari Ratu
Air, bagaimana?"
"Aku akan mencari Putri
Racun Dulu. Baru
mencari Ratu Air."
"He he he...,"
Pengemis Binal tertawa terkekeh
lagi. "Kau memang sok tahu,
Gati. Kau kira gadis yang
berdiri di sampingku ini
siapa?"
Carang Gati menatap wajah gadis
cantik berpa-
kaian ungu hitam yang berdiri di
sisi kiri Suropati.
"Dia Putri Racun?"
tebaknya ragu-ragu.
"Makanya kau jangan
berlagak sok pintar, Ga-
ti," sahut Suropati dengan
tersenyum penuh kemenan-
gan. "Karena aku telah
bertemu dengan Putri Racun,
segera saja kau dan
teman-temanmu kembali ke Bukit
Pangalasan."
"Tidak! Tidak!"
"Tidak! Tidak!"
Mendadak, terdengar suara
tolakan keras dari
mulut para pengemis bersenjata
tongkat yang datang
bersama Carang Gati. Suropati
hanya garuk-garuk ke-
pala saja menerima penolakan
itu.
"Kalau berada di tempat
ini, terus apa yang
akan kalian lakukan? Tidak takut
kalau sewaktu-
waktu Ratu Air datang lagi ke
tempat ini?"
"Tidak! Tidak!"
"Tidak! Tidak!"
Para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini berteriak lantang
sambil mengacung-
acungkan tongkat. Pengemis Binal
tampak menger-
nyitkan hidung dengan wajah
ketolol-tololan.
"Tenaga pemuda-pemuda
berani ini sebaiknya
ku manfaatkan saja," pikir remaja konyol itu kemu-
dian.
Suropati melihat ke atas.
Matahari telah con-
dong ke barat. Berarti malam
akan segera tiba. Dia lalu
memerintahkan seluruh anak
buahnya untuk men-
gumpulkan ranting-ranting
kering. Serta-merta para
pengemis muda itu pun
berhamburan melaksanakan
perintah pimpinannya. Sebentar
saja di tengah hala-
man dengan Kuil Saloka telah
menggunduk ranting-
ranting kering untuk membuat
perapian.
"Nah, sekarang kalian semua
duduk melingkari
api unggun yang akan segera
kubuat?" perintah Pen-
gemis Binal.
Tanpa bertanya-tanya, Carang
Gati dan teman-
temannya segera menuruti
perintah itu. Sementara Gi-
sa Mintarsa, Kusuma, Wirogundi,
dan Ingkanputri cu-
ma memperhatikan tanpa tahu apa
yang direncanakan
Suropati.
"Apa yang akan kau lakukan,
Suro?" tanya In-
gkanputri yang tidak sabar
menahan rasa ingin ta-
hunya.
"Aku akan memancing Ratu
Air datang ke tem-
pat ini. Besok sudah masuk pada
hari kesatu purnama
pertama. Itu berarti aku harus
segera menepati janjiku
kepada Nyai Catur Asta. Aku
harus mencegah Ratu Air
menyerbu Kerajaan Siluman,"
jelas Pengemis Binal.
"Dengar cara apa kau akan
memancing Ratu
Air datang ke sini?"
"Nanti kau akan tahu
sendiri. Aku yakin Ratu
Air dan Empat Begundal Dari Gua
Larangan masih be-
rada di dekat-dekat sini."
Suropati masih menyusun
rencananya.
"Kau pun yakin akan bisa menghadapi nenek
seram itu?" tegas Ingkanputri.
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Ingkan-
putri menatap dengan kening
berkerut
"Jangan nekat, Suro,"
ujar gadis ini khawatir.
Tapi, mana mau Suropati yang
konyol dan suka
berbuat macam-macam itu
mempedulikan peringatan
Ingkanputri. Sementara para
pengemis yang sudah
duduk melingkar tampak menunggu
perintah Suropati
selanjutnya.
Pengemis Binal kemudian membakar
ranting-
ranting kering yang dikelilingi
tiga puluh orang anak
buahnya. Setelah api menyala
besar, remaja konyol itu
berkata lantang.
"Kalian tirukan ucapanku
keras-keras : Ratu
Air, Ratu Edan! Nenek keparat
muka setan!"
Carang Gati dan teman-temannya
tanpa ba-
nyak membantah segera menirukan
kata-kata itu den-
gan suara gegap-gempita.
"Ratu Air, Ratu Edan! Nenek
keparat muka se-
tan!"
"Ratu Air, Ratu Edan! Nenek
keparat muka se-
tan!"
Kalimat ejekan itu terus
terdengar membahana
tanpa henti. Melihat kekonyolan
Suropati dan anak
buahnya, Gisa Mintarsa beserta
Banjaranpati, Wiro-
gundi, Kusuma, dan Ingkanputri
cuma dapat tampak
tertawa terkekeh-kekeh.
***
7
Ratu Air bangkit dari duduk
bersilanya. Ma-
tanya yang cekung terlihat
membesar dan memandang
nanar. Bibirnya yang mencong
membersitkan seringai
garang. Paras buruk itu makin tampak mengerikan.
Nafasnya pun terdengar memburu bagai seekor ban-
teng habis diadu.
Dengan satu loncatan ringan,
Ratu Air me-
nyambar Tongkat Sakti yang
berdiri menancap di lan-
tai gua. Lalu, kedua kaki nenek
seram ini melangkah
ke mulut gua.
"Huh! Berani mengusik
semadi Ratu Air berarti
manusia-manusia yang telah bosan
hidup! Menghina
Ratu Air sama saja halnya dengan
merindukan neraka!
Huh!"
Ratu Air marah bukan main. Walau
samar-
samar, tapi telinganya masih
dapat menangkap kali-
mat pedas yang ditujukan kepada
dirinya.
"Ratu Air, Ratu Edan! Nenek
keparat muka se-
tan!"
"Ratu Air, Ratu Edan! Nenek
keparat muka se-
tan!"
Kalimat yang berentetan saling
susul-menyusul
itulah yang membuat darah Ratu
Air naik sampai ke
ubun-ubun. Apalagi masih
ditambah dengan kata-kata
"Ratu Air matilah kau!
Kurobek mulutmu! Ku-
cungkil matamu!"
"Huh!"
Darah Ratu Air makin mendidih
saja. Mengge-
legak meluapkan amarah! Wajahnya
yang seram makin
bertambah seram. Sorot matanya
mengandung anca-
man kematian!
"Abdi setia Ratu Air! Kita
gempur Kuil Saloka!"
teriak Ratu Air sambil
menggedrukkan kakinya ke ta-
nah. Terdengar bunyi letusan
keras membarengi bumi
yang berguncang. Agaknya, hawa
amarah dalam diri
Ratu Air sudah tak mungkin
dibendung lagi.
Dari dalam gua tempat Ratu Air
bersemadi tadi,
berloncatan empat lelaki kekar
dengan pedang terhu-
nus. Mereka bukan lain Gentho,
Tunggul, Boma, dan
Gangsar. Empat Begundal Dari Gua
Larangan!
Sambil tersenyum, Ratu Air
menghemposkan
tubuh dan berlari cepat menembus
hari yang sudah di-
jemput malam. Empat Begundal
Dari Gua Larangan
mengikuti di belakang. Makin
dekat dengan tempat
yang dituju, Ratu Air makin
bertambah marah saja.
Suara ejekan yang ditujukan
kepada dirinya semakin
keras terdengar.
"Binatang bosan hidup! Ratu
Air akan memper-
cepat ajal kalian!" ancam
Kinanti atau Ratu Air begitu
menginjakkan kaki di halaman
Kuil Saloka.
Sementara Empat Begundal Dari
Gua Larangan
telah siap-siap di belakang
nenek ini. Namun ketika
Ratu Air hendak menggeprak para
pengemis yang se-
dang duduk bersila mengelilingi
api unggun, dua
bayangan berkelebat
menghadangnya. Suropati dan
Kusuma!
Melihat saudara seperguruannya
memihak la-
wan, mulut Ratu Air
menggeram-geram tak karuan.
Putri Racun cuma menatap sambil
mengembangkan
senyum tipis di bibir.
"Akhirnya kau datang juga,
Ratu Edan!" ujar
Pengemis Binal sambil
mengacungkan kepalan tangan
kanannya ke muka.
"Huh! Bocah gendeng! Mati
kau!" hardik Ratu
Air. Cepat bagai kilat nenek ini
meloncat dan mengem-
plangkan Tongkat Sakti ke kepala
Suropati.
"Hentikan!" teriak
Suropati dengan mengerah-
kan ilmu sihirnya.
Kontan, tubuh Ratu Air yang
masih melayang
di udara jadi kaku, lalu jatuh
tersungkur ke tanah.
Wanita tua ini mendelik
merasakan keanehan yang
terjadi.
"Kembalikan Tongkat Sakti
kepadaku!" perintah
Suropati lagi, tetap dilambari
kekuatan sihirnya.
Ratu Air terlihat linglung.
Namun, nenek seram
yang sudah kenyang makan asam
garam rimba persi-
latan ini segera menyadari
keadaan. Cepat dia mem-
bentengi jalan pikirannya dengan
kekuatan batin.
"Baik! Kuserahkan tongkat
ini!" cetus Ratu Air
kemudian seraya bangkit berdiri.
Tubuh nenek berpakaian serba
biru itu tampak
melayang lagi. Dan, Tongkat
Sakti di tangannya berke-
lebat cepat, mengepruk kepala
Pengemis Binal!
Tahu sihirnya tak mempan!
Suropati segera
melentingkan tubuh ke atas.
Dengan kecepatan luar
biasa dijewernya kuping Ratu
Air.
"Wadow...!"
Ratu Air menjerit keras merasakan
daun telin-
ganya yang melar. Sementara
pukulan tongkatnya tak
mengenai sasaran. Sebelum nenek
ini menyusuli se-
rangannya lagi, Suropati
berkelebat cepat untuk kedua
kali.
Buk...!
Pruet...!
Pantat Ratu Air kena tendang
dengan telak.
Bau busuk langsung menebar.
Rupanya, bertepatan
dengan tendangan Suropati tadi,
Ratu Air kentut!
"Uh! Angsat au, Au
Air!" umpat Pengemis Binal
sambil memencet hidungnya. Dia
tak tahan menghirup
udara busuk yang berasal dari
dalam perut Ratu Air.
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa terpingkal-
pingkal. Tapi, sebentar kemudian
dia menghentikan
tawanya dan memandang Suropati
dengan sinar mata
garang. "Sekarang saatnya
kau kukirim ke neraka!"
Ratu Air menerjang Pengemis
Binal dengan se-
rangan-serangan mematikan.
Melihat itu, Putri Racun
segera membantu Pengemis Binal.
"Keparat kau, Kusuma!
Sundal busuk! Haram
jadah!" umpat Ratu Air.
"Kekejamanmu sudah
melampaui batas, Kinan-
ti. Di antara kita tidak ada
lagi ikatan persaudaraan.
Kejahatan yang memisahkannya!"
ujar Putri Racun
menyambuti makian saudara
seperguruannya.
Ratu Air yang sudah dikuasai
hawa amarah
menyerang Putri Racun dengan
kalap. Putri Racun
pun membalas serangan nenek ini
dengan tak kalah
berbahayanya. Apalagi dia
dibantu oleh Pengemis Bi-
nal. Namun, Ratu Air bukanlah
tokoh rimba persilatan
kemarin sore. Dilayaninya
serangan Putri Racun dan
Pengemis Binal dengan penuh
semangat. Tongkat Sak-
ti di tangannya berkelebatan
cepat menimbulkan suara
menderu-deru yang sanggup
merontokkan dedaunan.
Empat Begundal Dari Gua Larangan
tak mau
tinggal diam. Tapi, gerakannya
terhadang oleh keleba-
tan tubuh Raja Syair, Bayangan
Putih Dari Selatan,
Pendekar Patah Hati, dan Dewi
Baju Merah! Carang
Gati dan teman-temannya pun ikut
membantu menge-
royok.
Kali ini Empat Begundal Dari Gua
Larangan
benar-benar dibuat kalang kabut.
Walau pedang mere-
ka berkelebat cepat tapi selalu
dapat diredam lawan.
Pukulan tongkat tiga puluh orang
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
datang saling susul me-
nyusul bak guyuran air hujan.
Suasana di Kuil Saloka jadi
sangat hiruk pikuk.
Apalagi dari arah pusat kota
berhamburan datang pu-
luhan prajurit kadipaten yang
bersenjata pedang dan
tombak. Sebagian dari mereka
menyerang Ratu Air.
Sebagian lagi ikut mengeroyok
Empat Begundal Dari
Gua Larangan.
Ilmu kesaktian Ratu Air dan
Empat Begundal
Dari Gua Larangan memang
benar-benar luar biasa.
Walau dikeroyok demikian banyak
orang, mereka
mampu bertahan hingga beberapa
lama. Bahkan, seki-
tar dua puluh prajurit kadipaten
telah menggeletak di
tanah tanpa nyawa.
Tak mau melihat korban bertambah
banyak,
Pengemis Binal berteriak
lantang.
"Ratu edan! Tak perlu
menyebar kematian!
Akan kuhadapi ilmu 'Sinar Perak
Cairkan Wujud' mu!"
Ratu Air mendengus keras, lalu
menghem-
poskan tubuhnya menjauhi ajang
pertempuran. Masih
sempat dia menembaskan
tongkatnya beberapa kali.
Terdengar jeritan kesakitan
membahana di angkasa.
Lima prajurit kadipaten
terjungkal ke tanah dengan
kepala remuk.
Suropati segera menyusul
kelebatan tubuh Ra-
tu Air. Putri Racun pun tak mau
ketinggalan. Kini ter-
lihatlah Pengemis Binal dan
Putri Racun berdiri tepat
lima tombak di hadapan Ratu Air.
"Jangan kau kira ilmu
'Pukulan Racun Pem-
buat serbuk' mampu menandingi
ilmu 'Sinar Perak
Cairkan Wujud', Kusuma!"
geram Ratu Air dengan ma-
ta berkilat.
"Namun, kebenaran selalu
berada di pihak yang
menang!" sahut Putri Racun.
"Hua ha ha...!" Ratu
Air tertawa tergelak-gelak.
"Apa pun yang kau katakan,
maut akan tetap menjem-
putmu. Tubuhmu yang molek itu
akan menjadi cairan
kental berbau anyir. Dan sebelum
kau pasti akan me-
rasakan siksa yang amat
menyakitkan!"
"Jangan pongah, Ratu
Edan!" sergah Suropati
tak tenang. "Mulutmu bicara
asal terbuka saja. Tidak-
kah kau mencium bau mulutmu
sendiri sama dengan
bau kentutmu tadi?!"
"Bajingan!"
"Kau yang bajingan!"
"Keparat kau, Bocah
Gemblung!"
"He he he...!"
Pengemis Binal tertawa terkekeh.
"Kalau marah wajahmu makin
cantik saja, Ratu Edan!
Aku punya monyet jantan yang
belum kawin. Maukah
kau jadi istrinya?" goda
remaja konyol ini.
"Huh!"
Ratu Air mengeluarkan seluruh
udara dalam
paru-parunya. Bola matanya
melotot seperti hendak
melompat keluar dari rongga.
Ratu Air benar-benar
marah luar biasa. Suropati
tertawa lagi.
"Kalau kau tak sudi
dikawini monyet jantan,
aku punya seekor kuda liar. Amat
pantas bila kau ber-
sanding dengannya. Bukankah itu
yang kau mau? He
he he...."
"Mulutmu terlalu ceriwis,
Bocah Edan!" sentak
Kinanti murka.
"Yang edan itu kau! Bukan
aku!" balas Suropa-
ti.
Merasa tak ada gunanya melayani
kekonyolan
Pengemis Binal, Ratu Air segera
mengangkat Tongkat
Sakti tinggi-tinggi. Lalu dari
batang tongkat itu menga-
lir seberkas
cahaya kehijau-hijauan yang me-
nyelubungi sekujur tubuh Ratu
Air. Setelah menan-
capkan Tongkat Sakti ke tanah,
kedua tangan Ratu Air
pun menghentak ke depan!
Bersamaan dengan itu, Pengemis
Binal dan Pu-
tri Racun menghentak kedua tangannya
pula. Suropati
mengeluarkan ilmu 'Pukulan Salju
Merah'. Sementara
Kusuma menerapkan ilmu 'Pukulan
Racun Pembuat
Serbuk'.
Wuuusss...!
Blaarrr...!
Seberkas sinar merah dan ungu
membentur si-
nar perak yang melesat dari
kedua telapak tangan Ra-
tu Air. Begitu ledakan dahsyat
menggelegar di angka-
sa, seluruh halaman Kuil Saloka
dipenuhi percikan
api. Namun anehnya, udara di
tempat itu jadi sangat
dingin.
Terlihat kemudian tubuh Pengemis
Binal dan
Putri Racun terlontar dan jatuh
berdebuk di tanah. Ra-
tu Air cuma terjajar tiga tindak
ke belakang. Jelas ilmu
'Sinar Perak Cairkan Wujud'
lebih unggul!
Ratu Air tertawa tergelak-gelak
penuh keme-
nangan. "Hari ini sang Ratu
Air akan berpesta darah!"
Namun sebelum Ratu Air
mengeluarkan lagi il-
mu 'Sinar Perak Cairkan
Wujud'nya, tiba-tiba berkele-
bat sesosok bayangan.
"Ratu Air keparat! Nenek
seram muka tikus!
Perbuatanmu di Sungai Bayangan
akan kubalas seka-
rang!" ancam seorang pemuda
berbaju kulit ular yang
tak lain Sawung Jenar atau Iblis
Selaksa Ular.
"Huh! Rupanya kau belum
mati, Anak Muda
Muka Ular!" ujar Ratu Air
dalam keterkejutannya. Ne-
nek ini dengan pandainya dapat
menguasai perasaan.
Ratu Air segera menyambar
Tongkat Sakti yang
menancap di tanah di sisi
kanannya. Tapi, Sawung Je-
nar telah menyorongkan Seruling
Ularnya.
Ratu Air tak pernah menyangka
kalau sorongan
seruling Iblis Selaksa Ular
mengandung ancaman ke-
matian. Walau tak terdengar
suara, tapi dari dalam se-
ruling melesat seekor ular
sebesar lidi. Ular itu melesat
cepat menembus dada kiri Ratu
Air.
"Huh!"
Tubuh Ratu Air terdorong mundur
dua tindak.
Ketika dia masih bertanya-tanya
apa yang terjadi, jan-
tungnya telah dimakan habis ular
kecil yang melesat
dari dalam seruling Sawung
Jenar. Kontan tubuh Ratu
Air terjungkal. Setelah
berkelojotan sejenak, tubuh ne-
nek seram itu mengejang kaku.
Nyawanya melayang
dengan bola mata melotot dan
mulut menganga lebar.
Ular kecil yang baru saja
merenggut nyawa Ra-
tu Air kemudian melesat lagi.
Masuk kembali ke dalam
seruling Sawung Jenar.
"Membunuh binatang
peliharaan Iblis Selaksa
Ular harus ditebus dengan
kematian!" ujar Sawung
Jenar seraya menghemposkan tubuh
dan menghilang
dalam kegelapan malam.
Tak lama setelah Ratu Air
menemui ajal, Raja
Syair berhasil menghadiahkan
pukulan telak ke dada
Gentho, Pemimpin Empat Begundal
Dari Gua Laran-
gan jatuh tersungkur ke tanah.
Sebelum dia sempat
bangkit, tubuhnya telah dihujani
pukulan tongkat dan
tebasan pedang serta tusukan
tombak! Jerit kematian
Gentho pun membahana di angkasa.
Menyusul kemudian, Tunggul
terkena kem-
plangan tongkat Wirogundi.
Kepalanya remuk. Nyawa
lelaki itu melayang dengan tubuh
menggelosor ke ta-
nah bagai ayam habis disembelih.
Boma mendahului Gansar dengan
mati di tan-
gan Bayangan Putih Dari Selatan.
Sementara Gansar
sendiri harus merelakan nyawanya
dijemput Malaikat
Kematian. Ingkanputri berhasil
menyarangkan
'Pukulan Api Neraka'nya ke tubuh
laki-laki itu. Aki-
batnya, tubuh Gangsar hangus
terbakar menjadi se-
tumpuk abu!
Pertempuran langsung terhenti.
Malam di Kuil
Saloka menjadi sunyi kembali.
Hawa dingin terasa me-
nyusupi tulang-tulang yang
kelelahan setelah bertem-
pur. Tak ada seorang pun yang
membuka suara. Se-
mua menatap sosok Suropati dan
Putri Racun yang
sedang duduk bersila. Agaknya
kedua pendekar ini
menderita luka dalam.
Wirogundi yang telah menenteng
Tongkat Sakti
segera meminta kepada para
prajurit yang masih tersi-
sa untuk kembali ke pendapa
kadipaten. Sementara
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang
berjumlah sekitar tiga puluh
orang membersihkan si-
sa-sisa pertempuran.
Raja Syair, Bayangan Putih Dari
Selatan, dan
Dewi Baju Merah berdiri di
hadapan Suropati dan Ku-
suma yang masih belum menyelesaikan
semadinya.
Pandangan mereka membersitkan
rasa khawatir yang
sangat.
Setelah Raja Syair dan Bayangan
Putih Dari Se-
latan membantu menyalurkan hawa
murni ke tubuh
Pengemis Binal serta Putri
Racun, luka dalam yang di-
derita kedua pendekar itu segera
dapat diatasi.
Begitu bangkit dari duduk
bersilanya, Suropati
langsung menggaruk-garuk kepala.
Dia heran melihat
pertempuran telah usai.
"Ke mana ratu edan
itu?" tanya Pengemis Binal.
"Dia telah mati,"
jelas Bayangan Putih Dari Se-
latan.
"Siapa yang
membunuhnya?"
"Seorang pemuda berbaju
kulit ular yang ku-
kenal sebagai penghuni Sungai
Bayangan. Namanya
Sawung Jenar atau Iblis Selaksa
Ular."
"Aku harus berterima kasih
pada pemuda itu,"
Suropati seperti menyesalkan
kepergian Sawung Je-
nar.
"Tapi dia telah
pergi."
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepalanya la-
gi. "Lalu, Empat Begundal
Dari Gua Larangan bagai-
mana?"
"Mereka juga telah
mati!"
Lagi-lagi Pengemis Binal
menggaruk-garuk ke-
palanya.
"Kalau begitu, aku tak
punya urusan lagi di ko-
ta Kadipaten Bumiraksa. Besok
pagi aku akan berang-
kat ke negeri Pasir Luhur,
menyusul Anggaraini Sulis-
tya dan Raka Maruta yang telah
berangkat terlebih da-
hulu. Aku harus menghadap Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit."
"Aku ikut, Suro," kata
Ingkanputri tiba-tiba.
"Untuk apa?"
"Aku menduga Saka Purdianta
telah melarikan
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
ke sana."
"Keparat!" umpat
Pengemis Binal.
"Aku juga mempunyai urusan
pribadi dengan
putra Tumenggung Sangga Percona
itu."
SELESAI
Segera hadir:
SENGKETA ORANG-ORANG BERKERUDUNG
Emoticon