ASMARA PUTRI RACUN
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Asmara Putri Racun
128 hal.
1
Semburat cahaya jingga di langit
menan-
dakan fajar telah menyingsing.
Ranting-ranting
pohon meliuk gemulai terbawa
irama hembusan
sang bayu. Butiran embun
berjatuhan dari lem-
bar-lembar daun, membasahi tanah
kering mu-
sim kemarau.
Pemuda tampan yang tidur di atas
dahan
pohon ini tersentak tatkala
telinganya menangkap
suara titir kentongan. Dia
pertajam pendengaran-
nya untuk mengetahui dari mana
asal suara yang
didengarnya.
"Dusun Pakiaplang agaknya
sedang tertim-
pa musibah...," kata hati
si pemuda. "Tadi siang
beberapa warga dusun itu telah
menyambutku
seperti layaknya menerima tamu
terhormat. Me-
reka telah menanam budi
kepadaku. Maka, ber-
dosalah aku bila tak memberi
pertolongan."
Berpikir demikian, pemuda
bernama Saka
Purdianta alias si Dewa Guntur
ini lalu meloncat
dari atas dahan yang telah
menopang tubuhnya
semalaman. Pakaiannya yang
berwarna coklat
bergaris-garis hitam tampak
berkibar saat tubuh-
nya meluncur turun setinggi dua
tombak.
Tak ada suara yang terdengar
ketika putra
Tumenggung Sangga Percona ini
mendarat di ta-
nah dengan bertumpu pada ujung
jari kaki. Se-
perti bola karet, tubuh pemuda
tampan ini lalu
mental ke udara. Dalam keadaan
masih me-
layang, dia merenggangkan
otot-ototnya yang ka-
ku. Begitu menginjak tanah lagi,
tubuhnya mele-
sat secepat kilat ke utara.
Untuk kedua kalinya Saka
Purdianta ter-
kesiap. Segera pemuda ini
menghentikan lesatan
tubuhnya, lalu menyusup ke
semak-semak yang
tumbuh di tepi jalan. Walau
samar-samar, mata
Saka Purdianta dapat menangkap
kelebatan tu-
buh seorang lelaki tinggi besar
berpakaian serba
kuning.
"Hmm.... Menilik buntalan
yang dikempit-
nya di tangan kanan, orang itu
tentu habis mela-
kukan pencurian atau perampokan
di Dusun Pa-
kiaplang. Aku akan menangkapnya
hidup-hidup.
Biar kepala dusun yang
menghukumnya."
Namun, Saka Purdianta jadi
kecewa karena
orang yang hendak ditangkapnya
tidak lewat di
depannya. Orang itu membelokkan
arah larinya
memasuki hutan. Bergegas Saka
Purdianta me-
loncat dari tempat
persembunyiannya.
Diam-diam Saka Purdianta merasa
kagum
akan kegesitan orang yang sedang
dikuntitnya.
Lelaki tinggi besar yang
rambutnya dikuncir dua
itu dapat melesat cepat hingga
tubuhnya berubah
jadi bayangan yang hampir tak
dapat diikuti pan-
dangan mata. Agaknya dia telah
mengerahkan se-
luruh ilmu meringankan tubuhnya.
Berkat matanya yang tajam, walau
dalam
remang-remang fajar, Saka
Purdianta masih da-
pat melihat benda terbungkus
kain selimut di
kempitan lelaki tinggi besar.
Saka Purdinta men-
jadi geram sekali ketika
sayup-sayup didengarnya
suara rintihan menyayat hati.
Suara itu berasal
dari benda yang dikempit lelaki
tinggi besar. Tak
salah lagi, itu adalah tangisan
bayi yang agaknya
telah mengalami siksaan hebat.
Terbersit dari rin-
tihannya yang putus-putus.
"Menurut cerita ayahku, di
rimba persila-
tan ada beberapa tokoh tua yang
menggunakan
darah bayi sebagai sarana untuk
menyempurna-
kan ilmu kesaktiannya. Apakah
orang itu salah
satu dari mereka? Hmm.... Walau
aku juga bukan
orang baik-baik, tapi hati
kecilku tak rela melihat
seorang bayi tak berdosa mesti
mati karena dija-
dikan tumbal...."
Saka Purdianta mengerahkan
seluruh ke-
mampuan berlari cepatnya. Tapi,
lelaki tinggi-
besar yang sedang dikejarnya agaknya memang
bukan tokoh sembarangan. Setiap
kali menjejak
tanah, tubuhnya akan melesat
cepat sejauh lima-
enam tombak. Apalagi ketika
memasuki padang
ilalang setinggi manusia dewasa,
tubuh lelaki
tinggi-besar benar-benar laksana
lenyap dari
pandangan.
Saka Purdianta berkali-kali
mengumpat
dalam hati. Pemuda ini jadi
sangat penasaran.
Hanya karena bantuan matanya
yang tajam, dia
tidak sampai kehilangan jejak.
Remang-remang fajar terusir oleh
cahaya
perak Sang baskara yang telah
beranjak naik.
Tanpa terasa Saka Purdianta
telah berlari dua
peminum teh lamanya. Pemuda
tampan yang
rambutnya diikat ke belakang ini
tampak celingu-
kan ketika bayangan orang yang
dikuntitnya hi-
lang mendadak.
Saka Purdianta menghentikan
langkahnya
di mulut gua kecil bergaris
tengah dua kaki.
"Mungkinkah orang itu
memasuki gua kecil ini?"
tanyanya dalam hati.
Berkali-kali Saka Purdianta
mengedarkan
pandangan. Pemuda ini jadi
sangsi, akan mene-
ruskan pengejarannya atau tidak.
Akan tetapi ka-
rena sudah kepalang tanggung,
dia memasuki
gua kecil yang ditemukannya.
Oleh sebab mulut
gua terlalu sempit untuk dapat
dimasuki, Saka
Purdianta mempergunakan ilmunya
yang berna-
ma ‘Melemaskan Tulang
Mengerutkan Otot’.
Baru saja Saka Purdianta
memasukkan
kepala-nya, dia mendengar suara
tawa bergelak
dari dalam gua. Maka, hatinya
jadi yakin bila si
penculik bayi itu berada di
dalam gua.
Sedikit pun tak terdengar suara
ketika Sa-
ka Purdianta menyelinap masuk.
Di saat pemuda
ini bangkit berdiri, matanya
melihat sosok bayan-
gan kuning jauh di ujung gua
yang ternyata amat
lebar bagian dalamnya. Saka
Purdianta tahu bila
itu adalah bayangan orang yang
sedang dikejar-
nya.
Saka Purdianta hendak mengejar,
namun
dia terkesiap. Hingga, niatnya
jadi urung. Ruan-
gan gua yang dimasukinya
ternyata dindingnya
dipenuhi tulang-belulang anak
kecil. Tulang-
belulang itu ditata beraturan
hingga tidak tampak
dinding gua yang asli. Cepat
Saka Purdianta me-
nekan perasaannya yang jadi tak
karuan. Dengan
menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya, pe-
muda ini memasuki lorong gua
yang ada. Saka
Purdianta merasakan hawa yang
lembab dan din-
gin. Ditambah kesunyian yang
mencekam, bulu
kuduk Saka Purdianta pun
berdiri. Apalagi selu-
ruh dinding gua dipenuhi
tulang-belulang.
Setelah melalui jalan
berkelok-kelok yang
naik-turun tak rata, Saka
Purdianta sampai di
sebuah ruangan lebar bercahaya
terang. Agaknya
sinar matahari dapat menerobos
masuk dari ce-
lah-celah atas.
Kali ini Saka Purdianta
benar-benar dibuat
merinding hingga keringat dingin
keluar bercucu-
ran. Lantai gua di mana dia
berada dipenuhi tem-
purung kepala bayi! Penuh sampai
ke sudut-
sudut ruangan gua!
Menurut perasaan Saka Purdianta,
walau
sinar matahari dapat menerobos
masuk, tapi dia
yakin ruangan gua tempatnya
berdiri berada jauh
di bawah tanah. Ini terbukti
ketika dia memasuki
lebih jauh ke lorong gua. Bagian
atas gua dipenu-
hi tanah kapur berujung runcing.
Ada yang
menggantung hingga mencapai
lantai gua hingga
menyerupai tiang. Tapi, lebih
banyak yang ber-
bentuk kerucut menggantung.
Menurut cerita
ayah Saka Purdianta, Tumenggung
Sangga Perco-
na yang berpengetahuan luas,
tonjolan-tonjolan
itu terjadi dari hasil campuran
tetesan batu kapur
dan air hujan. Karena sangat
banyak dan terjadi
bertahun-tahun, cairan itu lalu
membeku. Seba-
gian menggantung dalam bentuk
kerucut Seba-
gian lagi dapat mencapai lantai
gua hingga ber-
bentuk seperti tiang. (Sekarang
benda-benda bua-
tan alam itu disebut sebagai
stalagtit dan stalag-
mit).
Dari balik stalagtit yang cukup
besar, Saka
Purdianta mengedarkan pandangan.
Jantung pe-
muda ini berdegup lebih kencang
tatkala melihat
tubuh bayi yang masih merah
berada di atas sta-
lagtit yang sengaja dirobohkan.
Menilik kain seli-
mut yang dijadikan alas, Saka
Purdianta yakin bi-
la itu adalah bayi yang diculik
lelaki tinggi besar
yang berpakaian serba kuning.
Karena si bayi ti-
dak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan, Saka
Purdianta mengurungkan niatnya
untuk memberi
pertolongan. Pemuda ini
menyumpah-nyumpah
dalam hati, mengutuk perbuatan
si penculik yang
sedemikian kejam. Membunuh bayi
yang baru sa-
ja dapat menghirup udara dunia!
Kini tahulah Saka Purdianta bila
tulang-
belulang yang baru saja
dijumpainya di mulut
gua adalah berasal dari bayi
korban lelaki tinggi-
besar yang agaknya menganut ilmu
sesat
Saka Purdianta terkesiap. Dan,
cepat sekali
pemuda ini menyembunyikan
tubuhnya di balik
stalagtit. Terlihat olehnya
sesosok bayangan ber-
kelebat menghampiri bayi yang
terbaring tanpa
nyawa. Karena ingin tahu apa
yang akan diper-
buat oleh lelaki tinggi besar
itu, Saka Purdianta
tetap bersembunyi di tempatnya.
Terdengar suara tawa dingin
menyeram-
kan. Lelaki tinggi besar
meloncat ke atas stalagtit
tempat tubuh bayi terbaring.
Orang ini agaknya
belum sadar bila ada sepasang
mata yang men-
gawasi gerak-geriknya.
Kebetulan si lelaki tinggi-besar
duduk den-
gan muka menghadap Saka
Purdianta. Sehingga
dengan jelas Saka Purdianta
melihat wajahnya
yang penuh bulu kasar. Kulit
tubuhnya juga pe-
nuh bulu kasar seperti orang
hutan. Dahi dan
kedua pipinya terdapat banyak
luka goresan sen-
jata tajam. Saka Purdianta tidak
mengenal siapa
tokoh yang sedang diintainya itu walau dia seo-
rang pemuda yang sudah cukup
matang penga-
laman karena banyak mengembara
dan berjumpa
dengan tokoh-tokoh tua rimba
persilatan.
Mendadak, sambil mengeluarkan
gerengan
keras yang bercampur dengan
suara tawa, lelaki
muka buruk yang sudah berusia
lanjut mengang-
kat si bayi di depan wajahnya.
Di lain kejap, ke-
pala si bayi sudah masuk dalam
cengkeraman ja-
ri-jari panjang penuh bulu, yang
kemudian di-
angkat tinggi-tinggi
Geram kemarahan yang menggeluti
hati
Saka Purdianta semakin
menjadi-jadi melihat
perbuatan si muka buruk yang
akan ditimpakan
kepada si bayi. Saka Purdianta
hendak meloncat
keluar dari persembunyiannya.
Tapi karena dia
tahu bila si bayi sudah tiada
bernyawa, maka dia
mengurungkan niatnya untuk
memberi pertolon-
gan sekaligus mengajar adat si
muka buruk yang
sudah dapat dipastikan sebagai
tokoh jahat yang
suka berbuat kejam. Akhirnya,
Saka Purdianta
cuma memperhatikan lebih lanjut
perbuatan
orang yang sedang diintainya.
Tampak kemudian, si muka buruk
menan-
capkan jari-jari kedua tangannya ke kepala si
bayi. Sebuah aliran tenaga dalam
dahsyat menga-
lir, membuat hancur isi perut si
bayi. Lebih hebat
lagi, darah si bayi yang hampir
membeku terhisap
masuk ke pembuluh-pembuluh darah
si muka
buruk lewat sepuluh jari
tangannya!
Saka Purdianta terperangah
sekaligus ter-
kejut luar biasa. Waktu si bayi
diturunkan, tu-
buhnya telah kering layu tanpa
tulang. Hanya be-
rupa kulit tanpa darah ataupun
daging! Keterke-
jutan Saka Purdianta berubah jadi
perasaan ngeri
ketika melihat si muka buruk
melempar bangkai
di bayi seperti melempar kertas!
Sambil menarik napas panjang
berulang
kali, Saka Purdianta menekan
perasaannya yang
menyentak-nyentak tak karuan.
Apa yang dilihat-
nya barusan mengingatkannya pada
cabang pela-
jaran ilmu tenaga dalam India
yang lihai bukan
main. Untuk dapat menguasainya
membutuhkan
waktu sekurang-kurangnya sepuluh
tahun. Dan,
apabila sudah mencapai tingkatan
terakhir, orang
yang mempelajarinya membutuhkan
darah bayi
sebagai sarana penyempurnaan.
Tidak sedikit to-
koh rimba persilatan tanah Jawa
yang mengeta-
huinya. Tapi karena ilmu itu
terlalu kejam, mere-
ka jadi tidak sampai hati
mempelajari atau men-
dalaminya.
"Hmm... Siapa sebenarnya
orang itu?"
tanya Saka Purdianta dalam hati.
"Menilik tu-
buhnya yang tinggi-besar dan
kulitnya yang pe-
nuh bulu, tampaknya dia memang
orang India.
Tapi kalau dilihat dari cara
berpakaiannya, me-
nunjukkan bahwa dia orang Jawa.
Mungkinkah
dia orang India yang telah lama
tinggal di tanah
Jawa?"
Terbawa rasa penasaran, Saka
Purdianta
menajamkan penglihatannya untuk
terus mengin-
tai gerak-gerik si muka buruk.
Saka Purdianta
melihat cukup jelas lelaki
tinggi-besar itu menge-
luarkan sebuah kitab putih dari
balik bajunya.
Terdengar si muka buruk tertawa
terkekeh-kekeh
sambil menimang kitab di
tangannya. Akan teta-
pi, tiba-tiba dia menghentikan
tawanya seraya
memalingkan muka seperti sedang
menajamkan
pendengaran. Dan dengan gerakan
yang luar bi-
asa cepatnya, dia menyimpan
kembali kitab pu-
tihnya ke balik bajunya.
"Hei! Siapa itu?! Cepat
tunjukkan batang
hidung!" si muka buruk
membentak dengan bola
mata melotot lebar.
Saka Purdianta terkesiap. Pemuda
ini
menduga bila tempat persembunyiannya
telah di-
ketahui. Saka Purdianta jadi tak
habis mengerti.
Bukankah dia telah menggunakan
ilmu simpa-
nannya pada tingkat yang paling
tinggi? Apakah
lelaki tinggi-besar itu mampu
mencium kebera-
daannya walau dia telah
mengetrapkan ilmu
'Penghilang Tanda Kehidupan'?
Ilmu 'Penghilang
Tanda Kehidupan' adalah ilmu
ajaran guru Saka
Purdianta yang dapat menyamarkan
dengus na-
pas dan detak jantung. Jangankan
manusia, seri-
gala yang mempunyai indera
penciuman tajam
pun tak akan dapat mengetahui
keberadaan Saka
Purdianta bila dia telah
mengetrapkan ilmunya
itu. Tapi bila si muka buruk
dapat mengeta-
huinya, dia tentu tokoh sakti
pilih tanding yang
pasti melebihi kesaktian Saka
Purdianta atau
bahkan gurunya sekalipun!
Namun pada saat Saka Purdianta
hampir
menampakkan diri, berkelebat
sesosok bayangan
dari lorong gua yang sebelah
depan. Kelebatan
bayangan itu disertai runtuhnya
tiga buah sta-
lagmit, yang meluncur deras dari
atas hendak
meremukkan tubuh si muka buruk!
Blarrr...!
Timbul ledakan keras saat si
muka buruk
menghantam tiga buah stalagmit
yang mengan-
cam jiwanya. Batu kapur
berbentuk kerucut itu
kontan hancur berkeping-keping!
Si muka buruk mendengus gusar
ketika
melihat seorang nenek telah
duduk santai di atas
stalagtit, sekitar tiga tombak
dari stalagtit yang
ditempatinya.
Saka Purdianta bernapas lega.
Kiranya
yang diteriaki si muka buruk
bukan dirinya, me-
lainkan nenek yang baru datang
itu. Lewat ma-
tanya yang tajam, Saka Purdianta
dapat melihat
wajah si nenek yang ternyata
sama buruk dengan
walah lelaki berbulu lebat yang
didatanginya. Dia
memakai pakaian putih-hitam, dan
tampak kotor
sekali sepertinya dia habis
keluar dari pertapaan.
"Ah, kiranya kau yang
datang, Nenek Kepa-
rat!"
Terdengar si kakek berteriak
memekakkan
telinga. Nada ucapannya sungguh
membuat Saka
Purdianta tersenyum geli. Walau
si kakek berte-
riak keras sekali, namun jelas
menunjukkan nada
kasih sayang dan kerinduan.
Suatu tanda bahwa
dia pernah berhubungan dekat
dengan si nenek.
"Angin apakah yang telah
membawamu
kemari, Prabandati?" lanjut
kakek muka buruk,
menyebut nama si nenek.
"Tua bangka keparat Prajna
Singh! Lupa-
kah kau pada perjanjian kata dua
puluh tahun
yang lalu?!"
Prajna Singh? Tergerak hati Saka
Purdian-
ta mendengar nama kakek muka
buruk yang jelas
menunjukkan nama orang India.
Segera mengin-
gat-ingat cerita ayahnya. Hanya
dalam beberapa
tarikan napas saja Saka
Purdianta sudah dapat
mengetahui siapa sebenarnya
orang India itu.
Prajna Singh adalah putra kedua seorang
raja di India. Karena bukan
putra mahkota, dia
tak mungkin menggantikan
kedudukan ayahnya.
Terbawa ketamakannya, dia
bermaksud merebut
takhta secara paksa. Namun
karena dia berotak
cerdas, dicarinya cara halus.
Dia menjual rahasia
istana kepada negara tetangga
dengan harapan di
kelak kemudian hari negara
tetangga itu bersedia
membantunya untuk melakukan
pemberontakan.
Sayangnya, siasat liciknya
terbongkar. Orang-
orang istana pun membencinya,
tak terkecuali se-
luruh rakyat. Ayahnya berniat
menjebloskannya
ke dalam penjara. Tapi, rakyat
malah menuntut
agar dia dijatuhi hukuman mati.
Untuk menyelamatkan diri,
terpaksa Praj-
na Singh melarikan diri. Hingga
bertahun-tahun
kemudian, tak terdengar lagi
kabar beritanya.
Banyak orang mengatakan bahwa
Prajna Singh
telah bunuh diri karena tak
tahan hidup menderi-
ta. Banyak pula yang mengatakan
bila Prajna
Singh menemui ajalnya karena
dikeroyok tokoh-
tokoh sakti yang membencinya.
Tapi sesungguh-
nya Prajna Singh melarikan diri
ke tanah Jawa.
Kemudian, dia bertemu dengan
Prabandari, nenek
yang kini mendatanginya.
"Oh ya! Sungguh kau
mempunyai ingatan
yang baik. Aku sendiri
benar-benar telah lupa.
Kalau tidak salah, dua puluh
tahun yang lalu,
aku berjanji akan menyambut
kedatanganmu di
liangku ini. Sungguh aku sudah
tua dan menjadi
pelupa.... Mari... mari minum
bersamaku...," ajak
Prajna Singh sambil melambaikan
tangannya.
"Pelupa?" ejek
Prabandari. "Kukira kau
hanya pura-pura lupa! Aku tidak
butuh arak ha-
rammu! Aku datang hanya untuk
menagih janji-
mu. Bersiap-siaplah...!"
Di ujung kalimatnya, si nenek
bangkit ber-
diri. Sesaat kemudian, tubuhnya
melesat cepat,
yang dibarengi kata-kata,
"Aku hendak melihat
kemajuan apa yang telah kau
peroleh selama dua
puluh tahun ini!"
Lelaki muka buruk Prajna Singh
tertawa
bergelak. Dia tidak menangkis
atau memberi per-
lawanan. Ketika pukulan si nenek
sudah dekat,
dia cuma menggeser tubuh ke
kanan.
"Nenek keparat Prabandari!
Apakah kau ti-
dak dapat bersabar? Atau, otakmu
memang telah
kena Racun Ingatan, yang membuat
dirimu jadi
lupa bahwa kita pernah sama-sama
mencicipi
manisnya hidup sebagai
suami-istri selama sepu-
luh tahun? Tak perlu kau
tergesa-gesa. Tenang-
kan pikiranmu. Marilah kita
minum arak sambil
menceritakan pengalaman
masing-masing. Sete-
lah sekian lama berpisah,
tidakkah kau ingin me-
lepas rindu?" ujar Prajna
Singh dengan nada
sungguh-sungguh.
"Hmm.... Baiklah, kuterima
tawaranmu.
Anggaplah untuk babak pertama
ini aku telah
takluk oleh bujuk-rayumu. Hi hi
hi...!"
Sambil tertawa genit, Prabandari
yang pa-
rasnya sama buruk dengan Prajna
Singh, duduk
di hadapan bekas suaminya itu.
Sementara, Praj-
na Singh tertawa bergelak penuh
luapan rasa
gembira. Dia lalu meloncat dari
atas stalagtit. Be-
berapa kejap mata kemudian, dia
telah kembali
ke hadapan di nenek dengan
membawa belahan
tempurung kepala bayi berisi
arak merah.
"Terimalah ini cawan
arakku...," ujar Praj-
na Singh seraya menyodorkan
tempurung kepala
bayi berisi arak merah.
Prajna Singh bersikap
menghormati sekali.
Tempurung kepala bayi yang
tercengkeram di an-
tara sepuluh jarinya disorongkan
ke muka den-
gan badan membungkuk dan kepala
menghadap
ke bawah. Namun, apa yang dia
lakukan bukan-
lah penghormatan yang
sewajarnya. Lewat sepu-
luh jarinya yang panjang-panjang
berbulu, dia
mengalirkan tenaga dalam tingkat
tinggi.
"Terima kasih... terima
kasih...," sambut
Prabandari dengan mengulurkan
kedua tangan-
nya.
Agaknya Prabandari pun telah
mengetahui
maksud tersembunyi Prajna Singh
yang ingin
menjajal kepandaiannya. Pada
saat kedua tangan
Prabandari terjulur ke depan,
urat-uratnya terli-
hat membiru. Jelas bila
Prabandari juga menga-
lirkan tenaga dalam tingkat
tinggi.
Prajna Singh tak menarik kedua
tangannya
ketika Prabandari telah
menyentuh tempurung
kepala bayi. Mendadak, arak
merah mendidih
kemudian bergolak dan
mengepulkan asap tebal
seperti habis direbus di atas
api ribuan derajat
panasnya. Prajna Singh dan
Prabandari sama-
sama tersenyum. Tapi di balik
senyum itu, mas-
ing-masing menambah kekuatan
tenaga dalam.
Tak ayal lagi, arak merah
mengobarkan api, yang
kemudian bermuncratan. Dua kejap
mata kemu-
dian, tempurung kepala bayi yang
menadahinya
meledak pecah!
Cepat sekali Prajna Singh dan
Prabandari
menggeser duduknya ke belakang
untuk meng-
hindari cipratan arak merah yang
panas luar bi-
asa. Permukaan stalagtit yang
mereka tempati
tampak berlubang-lubang terkena
cipratan mi-
numan keras yang menjadi alat
adu kekuatan te-
naga dalam itu!
Menyaksikan kehebatan tenaga
dalam dua
manusia yang sedang diintainya,
Saka Purdianta
terkagum-kagum dalam hati.
Pemuda ini semakin
tertarik untuk terus mengetahui
apa yang akan
diperbuat oleh Prajna Singh dan
bekas istrinya.
"Ha ha ha...!" Prajna
Singh tertawa berge-
lak. "Selama dua puluh
tahun kita berpisah, ter-
nyata kau telah maju pesat,
Perempuan Keparat!
Wajahmu juga semakin cantik
saja. Tergerak ha-
tiku untuk dapat
bermesra-mesraan lagi dengan-
mu.... Melihat keadaanmu ini,
tentunya kau sela-
lu baik-baik saja. Ha ha
ha...!"
"Hmm... hi hi hi...!"
Prabandari turut terta-
wa sambil mempermainkan bola
matanya dan
menggoyang-goyangkan kepalanya.
Bertolak bela-
kang dengan sikapnya saat baru
datang. "Tepat
sekali dugaanmu itu, Lelaki
Bangsat! Memang, se-
jak perpisahan kita tempo hari,
aku selalu baik-
baik saja. Malah untuk menagih
janjimu, yang
aku duga pasti kau ingkari, aku
telah berusaha
keras melemaskan urat,
menebalkan daging, bela-
jar membekukan darah dan
mengeraskan tulang.
Apakah kitab itu masih tersimpan
baik?"
Mendengar ucapan-ucapan Prajna
Singh
dan Prabandari yang sering
menggunakan kata-
kata kasar, Saka Purdianta
tertawa geli dalam ha-
ti walau sebenarnya dia muak
melihat sikap Pra-
bandari yang dibuat-buat. Namun,
Saka Purdian-
ta tak pernah bosan mendengarkan
ucapan me-
reka. Dia makin tertarik untuk
mengetahui apa
yang akan diperbuat bekas suami-istri
itu. Dan,
kitab apa pula yang dimaksud
oleh Prabandari?
"Ha ha ha...! Sudah
kubilang, kau tak perlu
tergesa-gesa, Perempuan Keparat!
Cobalah kau
lupakan dulu urusan lama kita.
Aku ingin meme-
luk tubuhmu yang menggairahkan
dan mencium
bibirmu yang tentunya lebih
hangat dari yang du-
lu pernah kurasakan...."
"Huh! Lelaki bangsat tak
tahu malu! Kau
kira aku tak tahu apa yang ada
di balik keingi-
nanmu itu! Dari tulang-belulang
bayi yang berse-
rakan di tempat ini, tentunya
kau telah mengua-
sai ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa'. Hmmm.... Hi
hi hi...! Ketika aku terlena
dalam pelukanmu, kau
pasti akan membunuhku dengan
ilmu setanmu
itu!''
"Ha ha ha...! Sungguh buruk
pikiranmu,
Perempuan Keparat! Aku memang
ingin membu-
nuhmu, tapi tidak dalam waktu
dekat ini. Karena,
aku masih ingin mengulang
masa-masa indah ki-
ta sebagai suami-istri. Dan
ketahuilah, Perem-
puan Keparat Istriku Sayang....
Aku telah mengu-
asai ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa' dengan sem-
purna. Beberapa bayi yang
kujadikan tumbal ak-
hir-akhir ini bangkainya tak
akan bertulang. Itu
tandanya ilmu yang kubawa dari
tanah kelahi-
ranku telah sempurna. Tidakkah
kau merasa
bangga akan berita ini,
Sayang...?"
"Cih! Tak punya malu! Lelaki
bangsat! Jan-
gan katakan aku bangga atas
kemajuan yang kau
peroleh. Ilmu setanmu itu pada
akhirnya pasti
akan kau pergunakan untuk
membunuhku. Tapi,
jangan dikira aku tak punya
penangkalnya!"
Usai berkata, Prabandari tertawa
ngakak.
Suaranya keras
menggelegar, hingga stalagtit
yang ada di hadapannya runtuh
separo tanpa
menimbulkan sedikit pun suara.
Yang terdengar
hanyalah tawa panjang Prabandari
yang terus
meledak-ledak.
Melihat kehebatan tenaga dalam
yang di-
tunjukkan bekas istrinya, Prajna
Singh terkesiap.
Tapi, tak hendak lelaki tinggi
besar ini memperli-
hatkan rasa kagumnya. Cepat dia
berkata, "Agak-
nya kau sengaja pamer
kepandaian. Semakin la-
ma, kau membuatku semakin gemas
saja. Ha ha
ha...!"
Prajna Singh melanjuti tawa
Prabandari.
Stalagtit yang telah runtuh
separo tadi tiba-tiba
hancur-luluh rata dengan lantai
gua. Juga tak
memperdengarkan suara sedikit
pun!
"Bedebah...!" geram
Prabandari. Mukanya
yang buruk penuh keriput semakin
bertambah
buruk, karena terbawa luapan
amarahnya.
"Maafkan aku, Perempuan
Keparat! Bu-
kannya aku hendak pamer
kepandaian, tapi mak-
sud hati ini hanya untuk
memperlihatkan bahwa
diriku masih pantas untuk
menjadi suamimu.
Bukankah begitu, Sayang? Melihat
kepandaian-
mu barusan, kau pun masih pantas
menjadi is-
triku."
Mendengar ucapan Prajna Singh,
Praban-
dari tersenyum genit. Matanya
mengerling penuh
arti. Hilang sudah amarah di
hati nenek ini.
"Agaknya kau sudah dapat
menguasai diri.
Sekarang terimalah peluk
kerinduan Prajna Singh
yang gagah-perkasa...."
Prabandari sama sekali tak
mengelak keti-
ka secara tiba-tiba Prajna Singh
menerkamnya!
2
Prabandari memejamkan matanya
seraya
balas memeluk. Dengan satu
sentakan kasar
Prajna Singh menggulingkan tubuh
Prabandari.
Dan, nenek tua renta ini
merintih panjang tatkala
Prajna Singh mendaratkan ciuman
ganas di le-
hernya.
"Aku ingin tahu apakah kau
lebih perkasa
dari yang dulu, Lelaki
Bangsat...!" ucap Praban-
dari di sela-sela rintihannya.
"Tak usah kau minta, aku
pasti akan me-
nunjukkannya. Aku akan membuatmu
menggeliat
seperti cacing
kepanasan...," sahut Prajna Singh.
"Oh, benarkah itu...?"
"Aku segera
membuktikannya...."
Kasar sekali Prajna Singh
menanggalkan
pakaian Prabandari satu persatu.
Semakin ganas
ciuman Prajna Singh menelusuri
sekujur tubuh
Prabandari. Kini bukan rintihan
yang keluar dari
mulut Prabandari, melainkan
erangan keras yang
menyertai kedua tangan dan
kakinya yang me-
nyentak-nyentak.
"Ough.... Kau benar-benar
lebih perkasa...,"
ujar Prabandari dengan mata
terpejam rapat
Prajna Singh tak menyahuti
ucapan yang
didengarnya. Dia membenamkan
wajahnya ke
dada Prabandari. Si nenek yang
tengah digeluti
nafsu itu pun menggelinjang
seraya mendekap
kepala Prajna Singh erat-erat
"Tak tahu malu!" umpat
Saka Purdianta di
tempat persembunyiannya.
"Kalau tahu mereka
akan berbuat menjijikkan seperti
itu, tak bakalan
aku berlama-lama diam di tempat
ini."
Saka Purdianta menundukkan
kepala. Pe-
muda ini benar-benar tak tahan
menyaksikan
adegan yang berlangsung sekitar
sepuluh tombak
dari hadapannya. Namun karena
masih tersim-
pan rasa penasaran di hatinya,
dia memperta-
hankan diri untuk tak beranjak
dari tempatnya
bersembunyi. Pemuda ini baru
menatap lurus ke
depan lagi saat terdengar tawa
puas Prajna Singh.
"Ha ha ha...! Ternyata
tubuhmu masih te-
tap hangat seperti dulu. Bahkan,
geliatanmu
hampir saja membuat aku
kewalahan. Ha ha
ha...!"
Prabandari tak menimpali ucapan
Prajna
Singh. Begitu pakaiannya telah
usai dikenakan,
nenek ini mendengus dengan
pandangan berkilat
menatap wajah Prajna Singh
lekat-lekat
"Tak dapat kupungkiri bila
kau memang le-
laki jantan yang sangat perkasa
walau usiamu te-
lah bau tanah...," ujar si
nenek kemudian. "Sete-
lah kita sama-sama mereguk
kenikmatan, sam-
pailah saatnya kita membuka
urusan lama. Se-
perti janjimu dua puluh tahun
yang lalu, seka-
rang ini kau harus menyerahkan
kitab putih itu!"
"Ha ha ha.,.!" suara
tawa Prajna Singh me-
nyambung ucapan Prabandari.
"Tidak masuk ak-
al! Sungguh tidak masuk akal!
Tua bangka seperti
dirimu yang sebentar lagi akan
memeluk bumi se-
lama-lamanya, kenapa masih
menginginkan kitab
yang hanya pantas dimiliki oleh
anak muda...."
"Tutup mulutmu!"
potong Prabandari. "Le-
kas serahkan kitab itu, atau
kupecahkan batok
kepalamu!"
"Ha ha ha...! Aku tak akan
menyerahkan-
nya. Karena, kau tak pantas
memilikinya! Ha ha
ha...!"
Prabandari, menggeram marah
mendengar
ucapan Prajna Singh. Matanya
melotot dan gi-
ginya yang tinggal beberapa buah
terdengar ber-
kerot-kerot. Lupa sudah nenek
ini pada keme-
sraan yang baru saja
didapatkannya dari Prajna
Singh. Lalu dengan suara
kaku-dingin, dia berka-
ta, "Aku sudah menduga bila
kau akan berbuat
culas mengingkari janjimu,
Lelaki Bangsat! Tapi,
aku masih mau memberi kesempatan
untuk ber-
pikir agar kau tak menyesal
nantinya bila aku
terpaksa menjatuhkan tangan
maut!"
"Baiklah... baiklah akan
kuserahkan kitab
itu. Tapi, tidak sekarang. Kau
tunggu setelah aku
selesai mempelajarinya. Kitab
itu akan kuserah-
kan kepadamu setelah ku rubah
bentuknya men-
jadi abu. Ha ha ha...!"
Semakin mendidih darah
Prabandari men-
dengar ucapan Prajna Singh.
Kemarahannya me-
muncak sampai membuat
terengah-engah napas-
nya. Nenek ini semakin lupa bila
Prajna Singh
adalah bekas suaminya. Sambil
menggereng ke-
ras, dia meloloskan empat buah
gelang dari perge-
langan tangannya. Gelang-gelang
itu berwarna hi-
tam legam. Bulatannya tidak
rata. Terbuat dari
perak, yang entah telah diapakan
sehingga war-
nanya bisa berubah hitam-legam.
Di tempat persembunyiannya, Saka
Pur-
dianta memandang heran. Apa yang
akan diper-
buat si nenek dengan empat buah
gelang yang ga-
ris tengahnya hanya sekitar
seperempat kaki itu?
Karena sudah mempunyai
pengalaman cukup
luas, dapatlah Saka Purdianta
menduga bila ge-
lang si nenek tentu senjata yang
amat ampuh.
Terlihat kemudian, Prabandari
melontar-
kan salah satu gelangnya
disertai dorongan tena-
ga dalam yang luar biasa
kuatnya. Karena khawa-
tir lontaran gelang pertamanya
dapat dihindari
Prajna Singh, dia melontarkan
juga gelang kedua
dan ketiganya!
Sing! Sing! Sing!
Prajna Singh sama sekali tak
menjadi ter-
kejut melihat serangan mematikan
itu. Dia sudah
menduga sebelumnya. Cepat sekali
dia menggu-
lingkan tubuh ke lantai
stalagmit seraya melon-
tarkan tempurung kepala manusia!
Prakkk...!
Walau tenaga lontaran
masing-masing sa-
ma kuat, tetapi tempurung kepala
manusia jelas
kalah keras bila dibanding
dengan gelang perak.
Senjata Prajna Singh
hancur-luluh. Akan tetapi
karena hempasan tenaga dorong
yang amat kuat,
ketiga gelang Prabandari melesat
balik hendak
menghajar tuannya!
Prabandari terkesiap, tapi cepat
sekali ne-
nek ini dapat menyadari keadaan. Dengan sigap
dia menjulurkan tangan kanannya.
Ketiga gelang
melesat masuk ke tempat asalnya.
Hebatnya, per-
gelangan tangan Prabandari
laksana dapat beru-
bah jadi karet yang amat kenyal.
Ketiga gelang
miliknya terlontar lagi.
Sedangkan satu gelang
yang berada di tangan kiri, yang
tadi belum digu-
nakan, turut dia lontarkan pula.
Semuanya men-
gancam jalan darah penting di
tubuh Prajna
Singh!
Karena masih khawatir
serangannya men-
galami kegagalan, Prabandari
menjejak lantai sta-
lagmit, hingga tubuhnya melesat
cepat dengan
kedua tangan telah mencekal
sepasang kapak!
Gerakan ini cepat sekali,
sampai-sampai Saka
Purdianta yang tengah mengintai
menduga bila
Prabandari dapat menghilang!
Tak kalah cepatnya Prajna Singh
meron-
tokkan gelang-gelang yang
menghujamnya den-
gan melontarkan beberapa
tempurung kepala
manusia. Di lain kejap, kakek
tinggi besar ini te-
lah mencekal senjata
tulang-belulang yang di-
rangkaikan dengan tempurung kepala
berada di
ujung,
Disertai suara tawa keras
menyeramkan,
Prajna Singh menggerakkan
senjata cambuk tu-
langnya ke muka. Sepasang kapak
Prabandari
hendak dibelitnya!
Seperti seekor bajing meloncat,
Prabandari
melentingkan tubuhnya ke atas.
Alangkah terke-
jutnya nenek keriputan itu.
Sewaktu tubuhnya
melayang di atas kepala Prajna
Singh, dia mera-
sakan hembusan angin keras dari
arah belakang.
Cambuk tulang Prajna Singh
berbelok arah hen-
dak menggedor punggung
Prabandari!
Trakkk...!
Untunglah Prabandari masih
sempat me-
lindungi punggungnya dengan
putaran salah satu
kapaknya ke belakang. Cambuk
tulang tertangkis.
Namun, Prabandari menjerit kecil
karena tubuh-
nya melesat cepat tanpa
terkendali karena tenaga
dorongan cambuk tulang di tangan
Pranam
Singh!
Dengan bersalto beberapa kali di
udara,
Prabandari dapat mendarat dengan
mulus di lan-
tai gua. Sementara, Prajna Singh
tertawa bergelak
seraya meloncat turun dari
stalagtit
"Kulihat wajahmu pucat,
Perempuan Kepa-
rat!" ejek Prajna Singh.
"Tidakkah kau mengu-
rungkan niatmu untuk meminta
kitab putih? Aku
punya dua tawaran untuk dapat
kau pilih baik-
baik. Pertama, tinggalkan tempat
ini setelah aku
bersumpah untuk tak akan
menampakkan ba-
tang hidung di hadapanku lagi.
Kedua, kau boleh
tinggal di tempat ini selama kau
suka, tapi kau
pun harus bersumpah untuk tak
mengungkit-
ungkit lagi masalah kitab putih.
Bila tawaran ke-
dua yang kau pilih, kita bisa
menjadi suami-istri
lagi, yang tentunya hari-hari
akan kita lalui den-
gan penuh kemesraan. Ha ha
ha...!"
"Jahanam! Lelaki
bangsat!" geram Praban-
dari. "Mestinya kau
mengajukan tiga tawaran,
Kunyuk Busuk! Dan, aku pasti
akan memilih ta-
waran yang ketiga itu!"
"Tak ada tawaran ketiga,
Perempuan Ba-
wel!"
"Ada! Tawaran itu aku
sendiri yang mem-
buatnya!"
"Apa?"
"Aku akan pergi dari tempat
kotor ini sete-
lah kau berlutut di hadapanku.
Mengakui kesala-
hanmu, dan menyerahkan kitab
putih, lalu bu-
nuh diri dengan memecahkan batok
kepalamu
sendiri!"
"Ha ha ha...! Rupanya
semakin tua, bukan
saja kau semakin menggairahkan,
tapi juga se-
makin pandai melucu. Ha ha
ha...!"
Prajna Singh tertawa
terbahak-bahak. Ba-
hunya naik-turun dengan kepala
tengadah ke
atas. Lelaki itu agaknya hendak
berlaku licik.
Sambil terus tertawa, dia
menggerakkan cambuk
tulangnya. Namun, Prabandari pun
berlaku tak
kalah liciknya. Dia menendang
bongkahan batu
kapur yang kebetulan berada di
depan kakinya!
Wusss...!
Blaaarrr...!
Batu kapur sebesar kepala kerbau
hancur
berkeping-keping terhantam ujung
cambuk tu-
lang yang berupa tempurung
kepala. Segera Pra-
bandari meloncat ke belakang
karena senjata
Prajna Singh hendak menyodok
dadanya. Betapa
terkejutnya nenek tua-renta ini
melihat cambuk
tulang yang tak lebih dari dua
tombak panjang-
nya ternyata dapat bertambah
panjang. Dengan
mengeluarkan suara berkeretekan,
senjata Prajna
Singh seakan telah berubah
menjadi seekor ular
hidup yang terus
menyambar-nyambar mencari
jalan kematian di tubuh
Prabandari.
Dalam keterkejutannya Prabandari
masih
sempat membuat gerakan 'Bangau
Bermain di
Atas Air'. Sambaran cambuk
tulang dapat dihin-
darinya. Ketika masih melambung
di udara, Pra-
bandari melentingkan tubuhnya
seraya melan-
carkan serangan beruntun dengan
sepasang ka-
paknya.
Prajna Singh dan Prabandari
segera terlibat
dalam pertarungan sengit.
Keduanya sama-sama
mempunyai ilmu simpanan yang
aneh-aneh.
Membuat Saka Purdianta yang juga
bukan tokoh
sembarangan jadi terkagum-kagum.
Dan, berkat
kecerdasannya, Saka Purdianta
dapat menangkap
beberapa gerakan Prajna Singh
dan Prabandari,
yang lalu dicatat dalam otaknya.
Walau dalam gebrakan pertama
Prabandari
telah dibuat terkejut oleh
kehebatan senjata Praj-
na Singh, tapi karena dia mampu
bergerak gesit,
melebihi kegesitan Prajna Singh yang bertubuh
tinggi-besar, pertempuran jadi
berjalan seimbang.
Tanpa terasa seratus jurus telah
berlalu. Tak
tampak sedikit pun siapa yang
akan kalah. Kedu-
anya masih sama-sama tangguh.
Satu ketika, Prajna Singh ingat
sifat ganjil
Prabandari semasa mereka masih
hidup bersama-
sama sebagai suami-istri.
Prabandari amat takut
pada anjing. Bahkan, pada anak
anjing yang baru
lahir sekalipun, Prabandari akan
lari terbirit-birit
ketakutan. Teringat akan hal
itu, Prajna Singh se-
gera mendapat akal bagus untuk
dapat menyu-
dahi perlawanan Prabandari.
Sigap sekali Prajna Singh
meloncat dari
ajang pertempuran. Lalu, kakek
berbulu lebat itu
berteriak-teriak dengan sikap
seperti sedang me-
manggil anjing. "Belang!
Hitam! Segera sergap ke-
dua kaki nenek bawel itu! Kamu
Putih, terkam
punggungnya! Cepat...!"
Wajah Prabandari jadi pucat
mendadak.
Nenek tua-renta ini agaknya
termakan muslihat
Prajna Singh. Belum sempat
Prabandari berpikir
apa yang harus diperbuatnya,
cambuk tulang
Prajna Singh telah berkelebat
mengincar beberapa
jalan darah penting di tubuhnya.
Prabandari jadi kerepotan.
Selain harus
menghindari cecaran cambuk
tulang, dia pun
mesti menjaga kedua kaki dan
punggungnya yang
dia kira hendak dijadikan
sasaran terkaman anj-
ing-anjing Prajna Singh.
Dalam keadaan seperti
itu, pertahanan Prabandari
berkurang enam ba-
gian. Dan, tentu saja Prajna
Singh tak mau me-
nyia-nyiakan kesempatan yang
telah diperoleh-
nya.
Prabandari meloncat tinggi
seraya memba-
batkan salah satu kapaknya ke
belakang tubuh-
nya. Maksudnya untuk membelah si
Putih yang
dikira benar-benar hendak
menerkam punggung-
nya. Malang bagi nenek
berpakaian lusuh-kotor
ini. Begitu babatan kapaknya
mengenai angin ko-
song, dia memekik kesakitan.
Bahu kanannya
kena hajar cambuk tulang. Oleh
karena senjata
Prajna Singh itu digerakkan oleh
tenaga yang luar
biasa kuatnya, otak Prabandari
sampai turut ber-
getar. Hingga, Prabandari jadi
linglung beberapa
kejap mata. Pada saat cambuk
tulang ganti
menghajar dadanya, Prabandari
memekik lebih
keras. Tubuhnya terlontar, dan
membentur dind-
ing gua yang penuh rangkaian
tulang-belulang!
Susah-payah Prabandari bangkit
berdiri.
Dari mulutnya menyembur darah
segar. Tenaga
dalam nenek ini sudah sedemikian
tinggi, hingga
tulang bahu dan dadanya tidak
sampai remuk.
"Setan alas!" maki
Prabandari yang telah
menyadari bila dirinya telah
kena tipu.
"Ha ha ha...!" Prajna
Singh tertawa bergelak
"Sebetulnya aku tidak tega
untuk mencabut nya-
wamu, Nenek Keparat. Tapi kalau
kau nekat, jan-
gan menyesal kalau aku jadi lupa
diri dan menja-
dikan dirimu sebagai korban ilmu
'Lima Jari Pen-
cabut Jiwa'!"
Prabandari menggembor. Dalam
keadaan
terluka dalam, nenek ini merasa
tak mungkin da-
pat mengalahkan Prajna Singh.
Namun, benaknya
dipenuhi keinginan untuk mati
bersama-sama
daripada mati sendiri. Maka
tanpa memikirkan
keselamatannya sendiri, dia
meloncat ke depan
seraya melontarkan sepasang
kapaknya bergan-
tian. Begitu kapaknya terlepas
dari cekalan, ne-
nek yang sudah gelap mata ini
menghentakkan
kedua telapak tangannya ke
depan, melancarkan
pukulan jarak jauh. Tapi,
Prabandari tiba-tiba tak
dapat melihat lagi, semua jadi
gelap. Menyusul
kemudian, tubuhnya jadi sangat
ringan, lalu me-
layang jatuh ke lantai gua.
Seketika itu juga jan-
tungnya berhenti berdetak!
Rupanya kepala Prabandari telah
pecah
terkena hantaman cambuk tulang.
Sementara,
Prajna Singh sendiri mesti
merelakan sebagian
daging bahu kirinya tersayat
salah satu kapak
yang disambitkan Prabandari.
Prajna Singh marah bukan
alang-kepalang.
Matanya berkilat-kilat menatap
Prabandari yang
telah terbujur kaku tanpa nyawa.
Tanpa mempe-
dulikan bahwa mayat itu adalah
bekas istrinya,
Prajna Singh melangkah maju lima
tindak. Lalu,
sepuluh jari tangannya meraup
kepala Prabandari
yang sudah tak karuan lagi
wujudnya. Luar biasa
sekali! Mendadak, tubuh
Prabandari terangkat
naik dengan kepala tercengkeram
sepuluh jari
Prajna Singh!
"Ha ha ha...! Perempuan
keparat Prabanda-
ri! Hari ini kau akan merasakan
kehebatan ilmu
'Lima Jari Pencabut Jiwa'!"
Wajah Prajna Singh jadi tegang.
Diiringi
suara menggembor amat keras,
tiba-tiba perge-
langan kaki Prabandari yang
terjulur ke atas
tampak terkulai layu. Sekejap
mata kemudian,
tubuh Prabandari telah berubah
jadi selembar
kulit tanpa daging dan tulang!
Prajna Singh melemparkan
lembaran kulit
yang di tangannya. Mendadak,
kakek ini menjerit
nyaring. Luka di bahu kirinya
terasa panas bukan
main bagai ditempeli besi cap
kuda yang habis di-
tempa. Kalau ada orang terkejut
karena disambar
petir, seperti itulah yang
dirasakan Prajna Singh
saat ini. Luka di bahu kirinya
ternyata bertambah
lebar dan semakin lama semakin terasa panas.
"Kurang ajar! Racun...!
Racun...!" Prajna Singh
memekik-mekik melihat luka di
bahu kirinya yang
terus melebar dan membengkak.
Dalam kekalu-
tannya, terlintas di benak kakek
ini sebuah ilmu
mengeluarkan racun yang pernah
dipelajari di ne-
geri kelahirannya, India.
Bergegas Prajna Singh menggenjot
tubuh-
nya ke atas, lalu mendarat dalam
keadaan terba-
lik. Kedua telapak tangan
menopang tubuhnya
yang terjulur lurus ke atas.
Kemudian, dia berge-
rak melompat-lompat. Lompatan
yang disertai
pengerahan tenaga dalam membuat
aliran darah-
nya kacau, memberi tekanan ke
kanan dan ke ki-
ri. Luka di bahu kirinya segera
mengalirkan darah
kental kehitaman. Darah yang
mengandung ra-
cun itu lalu menggumpal di
punggung telapak
tangan kiri Prajna Singh.
Sepuluh lompatan selanjutnya,
panas yang
dirasakan Prajna Singh
berangsur-angsur lenyap.
Kejernihan otaknya pulih
kembali. Tubuhnya pun
menjadi lebih segar.
Pada lompatan selanjutnya,
mendadak ki-
tab putih yang ada di balik baju
Prajna Singh me-
loncat keluar. Saka Purdianta
yang sedang men-
gintai melototkan mata. Timbul
niat buruk dalam
benak pemuda ini. Kitab yang
baru saja jadi rebu-
tan Prajna Singh dan Prabandari
tentu kitab ilmu
kesaktian yang luar biasa,
demikian pikir Saka
Purdianta. Maka tanpa pikir
panjang lagi, pemuda
yang pada dasarnya punya sifat
jahat ini segera
meloncat dari tempat
persembunyiannya. Karena
telah tahu kesaktian Prajna
Singh, dia mengelua-
rkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tu-
buhnya, yang membuat loncatannya
melebihi ke-
cepatan anak panah lepas dari
busur!
Tahu ada bayangan orang
berkelebat ke
arahnya, Prajna Singh terkesiap.
Cepat dia nor-
malkan aliran darahnya. Karena
masih dalam
keadaan berdiri terbalik, Prajna
Singh tidak men-
dapatkan cara lain untuk menghentikan
maksud
si bayangan yang hendak menyambar kitabnya,
kecuali menyampokkan gumpalan
darah yang ada
di punggung tangan kirinya!
Srattt...!
Saka Purdianta yang sudah merasa
senang
karena akan dapat menyambar
kitab putih den-
gan mudah, mendadak memekik.
Gumpalan da-
rah bercampur racun yang hampir
membeku me-
nyiram mukanya. Karena terkejut,
mulutnya jadi
terbuka. Akibatnya, lebih dari
setengah bagian
gumpalan darah masuk tertelan
dan tak dapat
dimuntahkan lagi!
Gagal sudah usaha Saka Purdianta
yang
hendak menyambar kitab putih
yang tergeletak di
lantai sekitar satu depa dari
muka Prajna Singh.
Loncatannya terhenti, dan
tubuhnya berdiri ter-
huyung-huyung karena
pandangannya mulai ge-
lap. Pada saat inilah cambuk
tulang Prajna Singh
meluncur deras hendak memecahkan
batok kepa-
lanya
Antara sadar dan tidak, Saka
Purdianta
menjulurkan kedua tangannya ke
depan untuk
melindungi kepalanya. Apa yang
terjadi sungguh
di luar dugaan. Cambuk tulang
Prajna Singh
hancur berantakan ketika
membentur telapak
tangan Saka Purdianta!
"Celaka...!" pekik
Prajna Singh. Kakek ini
tak habis mengerti pada kejadian
yang baru saja
terjadi. Cambuk tulangnya
bukanlah senjata
sembarangan. Untuk membuatnya
membutuhkan
waktu yang cukup lama. Setelah
tulang-belulang
dirangkaikan menjadi satu
jalinan, senjata itu
dimandikan sinar matahari selama
tiga ratus ha-
ri, mulai matahari muncul sampai
terbenam, dan
tak boleh sekejap pun tertimpa
cahaya rembulan.
Sesudahnya, direndam dalam
tumpukan salju se-
lama seratus hari. Usai
digembleng, cambuk tu-
lang itu disimpan di ruang gelap
selama tujuh ha-
ri, barulah kemudian dapat
dipergunakan. Sela-
ma malang-melintang di rimba
persilatan, belum
ada satu pun senjata yang mampu
menandingi
kekerasan cambuk tulang Prajna
Singh. Semua
senjata tajam, baik yang terbuat
dari logam biasa
maupun logam simpanan, akan
patah atau han-
cur bila membentur senjata yang
terbuat dari
rangkaian tulang-belulang
manusia itu. Kecuali,
sepasang kapak Prabandari yang
memang berupa
senjata mustika.
Tapi, sekarang.... Kenapa
senjata ampuh
milik Prajna Singh bisa
hancur-berantakan saat
membentur telapak tangan Saka
Purdianta? Bah-
kan, urat-urat di sekujur tubuh
Prajna Singh pun
turut bergetar menimbulkan rasa
nyeri!
Dalam keterkejutannya, Prajna
Singh men-
gira Saka Purdianta adalah setan
gentayangan
yang hendak membalas segala
kekejamannya.
Maka tanpa pikir panjang lagi,
Prajna Singh me-
mutar tubuh, lalu lari
terbirit-birit keluar gua. Dia
tidak peduli lagi pada kitab
putih yang tergeletak
di lantai, yang baru saja dia
pertahankan dengan
taruhan nyawa.
Beberapa saat setelah
bayangan Prajna
Singh tak tampak lagi, Saka
Purdianta jatuh
pingsan. Entah berapa lama
tubuhnya terbaring
telentang di lantai gua, yang
Saka Purdianta tahu
ketika siuman, ruangan gua telah
remang-
remang. Apa yang telah terjadi?
Bagaimana tena-
ga Saka Purdianta bisa berlipat
ganda tapi otak-
nya jadi gelap setelah tanpa
sengaja minum darah
Prajna Singh yang telah
bercampur racun?
Sebenarnya Prajna Singh pun tak
tahu bila
darahnya yang bercampur racun
memiliki khasiat
luar biasa. Racun yang masuk
melalui babatan
kapak Prabandari dilawan kuat
oleh darah putih
Prajna Singh yang dibantu dengan
ilmu 'Hawa
Kodok Kahyangan'. Racun kapak
yang bertemu
dengan darah putih menjadi
senyawa yang beru-
bah sifat menjadi anti racun
yang amat kuat.
Hingga apabila ada orang yang
minum senyawa
darah itu setetes saja, tenaganya
akan bertambah
besar. Jadi, tak mengherankan
apabila cambuk
tulang Prajna Singh hancur
berantakan ketika
berbenturan dengan telapak
tangan Saka Pur-
dianta yang telah minum senyawa
darah Prajna
Singh cukup banyak. Karena tambahan tenaga
itu berlangsung cepat, jantung
Saka Purdianta
pun berdegup lebih kencang dan
berlanjut dengan
aliran darahnya yang kacau. Hal
inilah yang
membuat Saka Purdianta jatuh
pingsan.
"Uh!" keluh Saka
Purdianta sambil bangkit
berdiri. Pandangan pemuda tampan
ini masih
berkunang-kunang. Hatinya
diliputi perasaan
sangsi, apakah dirinya masih
hidup.
Saka Purdianta menggigit
bibirnya. Karena
merasa sakit, sadarlah pemuda
ini bila dirinya
masih berada di alam fana.
Segera dia mengge-
leng-gelengkan kepala untuk mengusir bayang-
bayang gelap yang mengabuti
pandangannya.
Saka Purdianta menghela napas
panjang
saat melihat bangkai Prabandari
yang tinggal ku-
lit tipis bagai selembar kertas
lebar. Pemuda itu
jadi heran melihat lantai gua
tempatnya berbaring
telah berlubang sejengkal mirip
cap manusia.
"Bagaimana tubuhku bisa
jadi sedemikian
berat sampai lantai gua yang
keras ini pun dapat
berlubang tertimpa tubuhku
tatkala aku jatuh
pingsan tadi?" tanya Saka
Purdianta kepada diri
sendiri.
Selang beberapa saat, setelah
ingatannya
terkumpul kembali, Saka
Purdianta mencium bau
amis dan mulutnya terasa asin.
Teringat dirinya
telah minum darah tanpa sengaja,
segera Saka
Purdianta mengambil sikap semadi
untuk kemu-
dian mengatur jalan
pernapasannya.
Heran tiada terkira Saka
Purdianta. Pemu-
da ini pun semakin tak habis
mengerti. Tidak ada
tanda-tanda tubuhnya telah
terserang racun.
Bahkan, dia merasa tenaganya
bertambah besar.
Dirasa tak perlu melakukan
semadi, dia lalu
bangkit berdiri. Mendadak,
matanya bersinar
aneh. Sekitar dua depa di hadapannya, tergolek
kitab putih yang tadi hendak
dirampasnya.
Ketika kitab putih telah
dipungutnya, Saka
Purdianta mengumpat-umpat dalam
hati. Bukan
kitab ilmu kesaktian yang didapatkannya,
me-
lainkan sebuah kitab yang
sebetulnya tak pantas
untuk dimiliki Prajna Singh
ataupun Prabandari.
Sampul kitab putih itu
bertuliskan : 'Seni Memi-
kat Pria dan Wanita'.
"Gila...!" maki Saka
Purdianta seraya me-
remas kitab di tangannya. Pemuda
ini terkejut se-
tengah mati. Walau dia hanya
mengerahkan se-
perdelapan tenaga dalam, tapi kitab yang dire-
masnya dapat hancur menjadi abu,
bahkan me-
nyemburkan lidah api biru.
"Ya, Tuhan.... Apa yang
telah terjadi pada
diriku...?" sebut Saka Purdianta
kemudian. Walau
benaknya masih dipenuhi berbagai
tanda tanya,
pemuda ini berkelebat keluar
dari gua. Merasa
tubuhnya dapat bergerak lebih
ringan dari bi-
asanya, dia tertawa
terbahak-bahak.
3
Remaja tampan berpakaian putih
penuh
tambalan ini duduk di atas
pelana kuda dengan
kening berkerut. Hembusan
napasnya panjang
dan berat, pertanda dia tengah
memikirkan sesu-
atu yang sulit Sementara kudanya
melangkah pe-
lan menapaki jalan kecil di
pinggiran desa, dia
mendongak sebentar. Dilihatnya
langit cerah sore
hari. Lalu, remaja tampan yang
menyelipkan
tongkat butut di pinggang ini
menggaruk kepa-
lanya walau tak terasa gatal.
"Ini hari kedua aku mencari
Kusuma alias
Putri Racun. Kalau sampai empat
hari lagi aku
tak menemukannya, jiwa Arya
Wirapaksi tak akan
tertolong lagi...," gumam
si remaja. "Kasihan dia.
Kasihan juga Baginda Prabu Arya
Dewantara. Aku
tak dapat membayangkan bagaimana
sedih hati
beliau ketika menjumpai putra
mahkotanya telah
terbujur kaku menjadi mayat. Ah...."
Sambil mendesah panjang, remaja
tampan
ini menggaruk kepalanya lagi.
Melihat jalan pan-
jang di depan yang tampak sepi,
dia cengar-cengir
dan tangan kanannya terus
menggaruk-garuk,
hingga rambutnya yang panjang
jadi terburai tak
karuan. Melihat sikap yang amat
menyebalkan
ini, siapa lagi dia kalau bukan
Suropati atau Pen-
gemis Binal.
"Hei...!" seru
Suropati tatkala melihat seo-
rang gadis meluncur di atas kuda
yang muncul
dari kelokan jalan di depan.
Karena seruannya tak mendapat
sahutan,
Suropati segera menggebah
kudanya. Kuda yang
ditunggangi Suropati adalah kuda
Adipati Danu-
braja yang dipinjamkan
kepadanya. Selain mem-
punyai daya tahan tinggi yang membuatnya tak
cepat lelah, juga bertenaga dalam.
Sehingga se-
bentar saja Suropati telah dapat
menyusul kuda
yang berlari cukup jauh di
depannya.
"Hei...!" seru
Suropati lagi.
Gadis penunggang kuda menoleh.
Raut wa-
jahnya yang semula muram,
berubah cerah men-
dadak. "Oh, kau,
Suro...," sahutnya seraya meng-
hentikan laju kudanya.
Mata Suropati berbinar melihat
seraut wa-
jah cantik yang telah
dikenalnya. Gadis di atas
punggung kuda yang berpakaian
biru-biru adalah
Puspita atau si Pedang Perak,
salah seorang dari
kepercayaan Prabu Arya
Dewantara. Suropati
mengenalnya tatkala Puspita
menyusup ke sarang
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah untuk me-
numpas sekelompok orang yang
hendak makar
terhadap kerajaan itu (Baca
serial Pengemis Binal
dalam episode : "Bidadari
Lentera Merah").
"Kebetulan sekali aku
berjumpa denganmu
di tempat ini, Suro...,"
ujar Puspita dengan mata
berbinar pula.
"Kebetulan pula aku
berjumpa denganmu.
Ada sesuatu yang harus
kusampaikan kepada-
mu," sahut Suropati.
"Hmm.... Yah! Beberapa hari
ini aku men-
carimu. Setiap anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kutanya tak
dapat menunjuk-
kan di mana kau berada. Aku
butuh bantuanmu,
Suro. Dan, aku membawa sepucuk
surat dari Ba-
ginda Prabu untuk disampaikan
kepadamu."
Usai berkata, Puspita mengeluarkan
gu-
lungan kertas kecil dari balik
lipatan bajunya. Su-
ropati menerimanya tanpa turun
dari punggung
kuda. Sebelum membuka gulungan
kertas, dia
menatap wajah cantik Puspita
dalam-dalam.
"Kenapa kau menatapku
seperti itu, Suro?"
tanya Puspita, sedikit jengah.
"Setelah lama kita tak
berjumpa, kau tam-
bah cantik saja," puji
Suropati. "Kau masih se-
nang tinggal di istana?"
Puspita diam. Pendekar pedang
ini menun-
duk dalam. Tak mampu membalas
tatapan Suro-
pati.
"Bagaimana kabar Kapi
Anggara?" tanya
Suropati lagi. Kapi Anggara atau
Pendekar Asma-
ra juga sahabat baik Suropati.
Dalam menjalan-
kan tugas yang diembankan Prabu
Arya Dewanta-
ra, Kapi Anggara biasanya selalu
bersama Puspi-
ta.
"Dia baik-baik saja,
Suro," jawab Puspita.
"Karena suatu hal, kami
harus berpisah."
"Kau bertengkar?"
"Ah, sudahlah. Kenapa kau
bertanya yang
tidak-tidak. Bacalah surat dari
Baginda Prabu
itu."
Perlahan sekali Suropati membuka
gulun-
gan kertas yang dibawanya. Tak
ada perubahan
raut wajah tatkala Suropati
membaca tulisan
yang tertera. Remaja tampan ini
memang telah
menduga isi yang tersirat
sebelumnya.
Untuk Pendekar Budiman Suropati,
Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Bukan
sekali-dua Kerajaan Anggarapura
membutuhkan
pertolonganmu. Untuk itu, saya
haturkan banyak
terima kasih. Namun, kali ini
istana dilanda musi-
bah lagi. Putra mahkota Arya
Wirapaksi menghi-
lang. Ssya sudah menyebar tokoh
istana, tapi ha-
silnya sia-sia belaka. Bila kau
baca surat ini, sudi-
lah kau membantu mencarinya.
Budi baikmu akan
tercatat dalam sejarah kerajaan.
Arya Dewantara
"Arya Wirapaksi di tempat
yang aman seka-
rang," beri tahu Pengemis
Binal. Suaranya ringan
dan datar, namun tersimpan
kekhawatiran.
"Jadi, kau sudah menemukan
Arya Wira-
paksi?" kejut Puspita.
Sinar matanya menyala-
nyala, terbawa luapan rasa
gembira.
Suropati mengangguk lemah.
"Di mana dia? Kita harus
membawanya
kembali ke istana. Baginda Prabu
sangat cemas
memikirkan keadaannya."
Pengemis Binal menggeleng
"Tidak mung-
kin," ucapnya, perlahan dan
hampir tak dapat di-
dengar.
"Kau bilang apa, Suro? Arya
Wirapaksi tak
mungkin dibawa kembali ke
istana? Kenapa? Apa
yang telah terjadi pada
dirinya?" cecar Puspita.
Kegembiraan di hatinya langsung
hilang, berganti
dengan kekhawatiran.
"Ingatannya telah
hilang."
"Hah?!"
Bukan main terkejutnya si Pedang
Perak.
Kalau saja yang bicara bukan
Suropati, gadis can-
tik ini tentu tak akan percaya
pada apa yang telah
didengarnya.
"Apa maksudmu, Suro?
Apakah... apakah
dia telah...."
"Tenanglah. Saat ini Kakek
Wajah Merah
tengah merawatnya di Pendapa
Kadipaten Bumi-
raksa."
"Kakek Wajah Merah? Tabib
ternama itu?"
"Ya. Dan menurut
penuturannya, usia Arya
Wirapaksi tinggal empat hari saja."
Mengelam paras Puspita mendengar
pem-
beritahuan Pengemis Binal.
Saking terkejutnya,
mulut gadis ini sampai terbuka
beberapa saat.
"Bagaimana bisa begitu,
Suro? Apakah dia benar-
benar tak dapat ditolong
lagi?"
"Arya Wirapaksi telah
mempelajari sebuah
ilmu kesaktian dahsyat. Entah
karena dia keliru
menerapkannya atau karena suatu
hal yang lain,
jalan pikirannya jadi terganggu.
Bila sedang kam-
buh, dalam jiwanya terkandung
keinginan mem-
bunuh. Tak peduli siapa pun dia,
semua yang di-
temuinya akan
dibunuhnya...."
"Celaka!" seru Puspita
sambil mendekap
mulutnya.
"Kakek Wajah Merah
mengatakan bahwa
otak Arya Wirapaksi telah
tercampuri racun ga-
nas, sehingga dia tak dapat
berpikir jernih lagi.
Karena otaknya telah bercampur
racun, dia tak
mungkin hidup lama. Empat hari
lagi dia akan
mati."
"Aku harus memberitahukan
hal ini kepa-
da Baginda Prabu," ujar si
Pedang Perak.
"Tunggu dulu!" cegah
Suropati melihat
Puspita hendak menggebah
kudanya.
"Ada apa lagi, Suro. Aku
tak punya waktu.
Dari sini untuk menuju istana
butuh waktu se-
tengah hari. Ini gawat Baginda
Prabu harus cepat
diberi tahu. Kau carilah Kapi
Anggara. Suruh dia
kembali ke istana. Ceritakan apa
yang kau keta-
hui."
'Tunggu dulu, Puspita! Aku belum
selesai
bicara!" ujar Pengemis
Binal, setengah memben-
tak.
"Apa lagi yang akan kau
katakan?" bum
Puspita, tak sabaran.
"Daripada kembali ke
istana, bantulah aku
mencari Putri Racun."
"Putri Racun? Siapa
dia?"
"Dia seorang ahli racun
yang telah berumur
lebih dari satu abad, tapi
wajahnya masih cantik-
jelita persis gadis berumur dua
puluh tahunan."
"Kenapa bisa begitu? Dia
mempunyai ilmu
awet muda? Kalau sudah kita
temukan, apakah
dia bisa menolong nyawa Arya
Wirapaksi?"
"Mudah-mudahan begitu. Aku
juga pernah
disembuhkan olehnya. Dulu
darahku pernah ter-
campuri racun ganas yang membuat
seluruh ke-
saktianku lenyap, dan Putri
Racun-lah yang me-
nyembuhkannya."
"Kau katakan tadi Putri
Racun telah beru-
mur satu abad lebih tapi
wajahnya masih cantik-
jelita, kenapa bisa
begitu?"
"Sejak muda dia tinggal di
Kerajaan Silu-
man milik Nyai Catur Asta. Di
sana, dia tak ikut
dalam putaran waktu."
"Kalau begitu, kita cari
dia sekarang. Tapi,
ke mana?" (Tentang
Putri Racun, silakan baca
serial Pengemis Binal dalam
episode : "Petaka Ke-
rajaan Air").
Kening Pengemis Binal berkerut.
Ketika se-
dang menggaruk kepalanya yang
tak gatal, wajah
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
ini jadi tampak lucu dan bodoh.
"Seandainya ada Saka
Purdianta atau si
Dewa Guntur, kita bisa minta
pertolongan kepa-
danya...," ucap Suropati.
"Pemuda itu mempunyai
ilmu 'Pelacak Jejak'. Dia bisa
mendengar getaran
tubuh seseorang dari jarak
ribuan tombak."
"Dia tak bersama kita, Suro.
Jangan berpi-
kir macam-macam. Saka Purdianta
belum tentu
mau membantu. Kudengar, dia
adalah musuh be-
sarmu. Dia sangat membencimu.
Mana mungkin
dia mau memberi
pertolongan."
"Itu dulu," sergah
Pengemis Binal, cepat,
"Sejak ayah Saka Purdianta,
Tumenggung Sangga
Percona meninggal, dia telah insyaf dan kukira
dia telah menjadi orang
baik-baik sekarang. Dia
pernah membantuku untuk menumpas
pembe-
rontakan I Halu Rakryan
Subandira di Kerajaan
Pasir Luhur." (Baca serial
Pengemis Binal dalam
episode : "Pemberontakan
Subandira").
"Hmm.... Yah! Tapi, kita
tak punya waktu
banyak. Sebaiknya kita cari
Putri Racun secepat-
nya. Barangkali juga kita bisa
berjumpa dengan
Saka Purdianta, dan dia bersedia
membantu."
"Itu gagasan bagus. Kita ke
kota Kadipaten
Tanah Loh sekarang," cetus
Suropati penuh keya-
kinan.
"Kenapa mesti ke
sana?"
"Kupikir dia di sana. Kalau
dia di kotapraja
atau di kota Kadipaten Bumiraksa
atau tempat-
tempat di sekitarnya, anak
buahku pasti sudah
menemukannya."
Puspita mengangguk, lalu
menggebah ku-
danya kuat-kuat Pengemis Binal
berbuat serupa.
Kuda mereka pun melaju cepat.
Hari sudah ham-
pir gelap ketika mereka memasuki
pintu gerbang
kota Kadipaten Tanah Loh.
"Sudah lama kudengar arak
merah Kedai
Melati tersohor harum dan
nikmat. Tidakkah kita
lebih baik mencoba satu-dua
cawan sambil mele-
pas lelah, Puspita?" cetus
Pengemis Binal sambil
memperlambat laju kudanya.
Si Pedang Perak tak memberi
tanda perse-
tujuan, tapi dia memperlambat
juga laju kudanya.
Suropati menduga si gadis
menyetujui ga-
gasannya. Maka, remaja tampan
ini lalu meng-
hentikan kudanya di depan sebuah
kedai besar
yang lebih pantas disebut rumah
makan.
Ketika menambatkan kudanya,
Suropati
melihat seekor kuda merah
gagah-tegap dan ba-
gus sekali. Seluruh bulu
tubuhnya berwarna me-
rah, termasuk keempat kakinya.
Polos, tiada noda
warna lain. Suropati menambatkan
kudanya di
samping kuda yang menarik
perhatiannya itu.
Pengemis Binal memasuki kedai
dengan
langkah tenang. Remaja tampan
ini sama sekali
tak mempedulikan tatapan orang
yang ditujukan
kepadanya. Pakaiannya yang penuh
tambalan
tentu saja menarik perhatian
orang. Tapi melihat
Puspita yang berpakaian bagus
berjalan di si-
sinya, orang-orang jadi tahu
bila Suropati bukan-
lah orang sembarangan.
Suropati dan Puspita mengambil
tempat
duduk di pojok utara yang
kebetulan kosong. Sa-
tu tombak dari jendela, duduk
seorang pemuda
tampan berpakaian ungu-hitam.
Cara berpa-
kaiannya menunjukkan bahwa dia
mengerti ilmu
silat. Seorang diri dia minum
araknya.
Suropati merasa heran melihat
wajah pe-
muda yang tengah minum arak itu.
Wajahnya
yang halus sepertinya hanya
pantas dimiliki oleh
seorang gadis. Gerak-geriknya
pun lemah-lembut.
Di sebelah timur pemuda itu,
terpaut satu meja
kosong, duduk dua orang lelaki
berwajah kasar.
Yang satu gemuk dan satunya lagi
kurus. Asyik
sekali dua lelaki itu menenggak
araknya. Dua po-
ci besar berada di atas mejanya.
Agaknya mereka
adalah jago-jago minum. Yang membuat
Suropati
tertarik adalah sikap kedua
lelaki berwajah kasar
itu yang sering melirik si
pemuda tampan berpa-
kaian ungu-hitam.
Pemuda tampan yang mirip wanita
itu
agaknya sudah terlampau banyak
minum. Sikap
duduknya sudah tak lagi tegak.
Dilihat dari air
mukanya, dia seperti sedang
bersusah hati. Ter-
bukti dari kepalanya yang
sebentar-sebentar di-
goyang-goyangkan dan tangannya
yang mengepal-
ngepal. Beberapa kali terdengar
suara ngorok dari
dalam perutnya.
"Pemuda itu menyimpan beban
batin berat,
sepertinya mempunyai urusan
besar. Tapi, kena-
pa dia masih saja melanjutkan
minumnya? Ti-
dakkah dia menyadari bila sedang
diincar dua
orang jahat? Apakah dia
benar-benar begitu to-
lol?" pikir Pengemis Binal.
Sementara, Puspita yang duduk di
sisi Su-
ropati sama sekali tak
memperhatikan keadaan di
sekelilingnya. Dia benar-benar
menikmati arak
merah yang telah disajikan.
Sebelum diangkat se-
bagai orang kepercayaan Prabu
Dewantara, Pus-
pita adalah seorang pendekar
pedang yang suka
berpetualang. Jadi, soal minum
arak, dia sudah
terbiasa walau dia seorang
gadis.
Sementara itu, si gemuk di timur
terdengar
berseru, "Hayo, Kawan, kau
harus minum dua ra-
tus cawan! Tidak boleh
curang!"
Sang kawan yang bertubuh kurus
mengge-
drukkan kaki ke lantai.
"Kau sinting!" bentaknya.
"Kau sendiri belum habis
sepuluh cawan, sudah
mendesak aku untuk minum dua
ratus cawan!"
"Bodoh! Tubuhmu kurus. Kau
membutuh-
kan lebih banyak air agar
tubuhmu lekas gemuk,
dan bisa jadi panas setiap kali
minum. Untuk itu,
paling sedikit kau harus minum
dua ratus cawan.
Tidak boleh kurang!"
"Kentut busuk! Kentut
bau!" maki si kurus
dengan hati tambah dongkol.
"Tidak! Aku tidak
mau minum lagi. Cukuplah sampai
di sini!"
"Eh! Tidak mau minum?!
Kupaksa kau!"
ujar si gemuk seraya mengangkat
salah satu poci
arak untuk kemudian dituangkan
ke mulut te-
mannya.
Si kurus mendengus gusar. Dia
tampak
naik pitam. Dengan kasar
ditepisnya tangan si
gemuk. Karena si gemuk memaksa,
cairan arak
merah tumpah menyiram wajah dan
pakaian si
kurus.
"Keparat kau!" caci si
kurus seraya menon-
jok wajah si gemuk, tapi
berhasil dikelitkan. Si
gemuk terus memaksa, hingga
bergumullah me-
reka. Seperti disengaja,
pergumulan mereka me-
nabrak meja pemuda tampan berpakaian ungu-
hitam.
"Kurang ajar!" geram
si pemuda seraya
bangkit dari duduknya. Tanpa
disadari oleh pe-
muda ini, karena gerakannya
tergesa-gesa, kan-
tung sulam yang terikat di
pinggangnya jatuh ke
lantai. Dan, dari dalam kantung
itu meloncat ke-
luar beberapa keping uang emas.
Mendengar suara gemerincing
jatuhnya
uang logam, si gemuk dan
temannya menghenti-
kan pergumulan mereka. Mata
kedua orang ini
terbeliak melihat beberapa
keping uang emas ber-
ceceran di lantai. Namun sebelum
mereka berha-
sil meraupnya, si pemuda tampan
meloncat un-
tuk menghalangi niat buruk si
gemuk dan te-
mannya.
"Maling busuk! Kalian
hendak merampas
uangku?!" bentak si pemuda
tampan dengan ta-
tapan garang menyimpan amarah.
Si gemuk dan temannya cepat
bangkit. Ka-
rena ketahuan niat jahat mereka,
wajah mereka
jadi bersemu merah menahan rasa
malu.
"Siapa hendak merampas
uangmu?!"
pungkir si gemuk.
"Jangan sembarang menuduh
orang! Kuha-
jar kau nanti," ancam si kurus
turut memungkiri
niat jahatnya.
Menyaksikan ketiga orang ini
ribut dan se-
perti hendak berkelahi, beberapa
orang pengun-
jung kedai meninggalkan tempat
duduknya untuk
melerai. Sementara, Suropati
tertawa dalam hati
melihat ulah si gemuk dan temannya.
Jelas sekali
bila mereka bukanlah orang
baik-baik. Mereka
sengaja bergumul hanya untuk
menjatuhkan
kantung uang emas si pemuda
tampan untuk di-
rampas. Hanya karena si pemuda
tampan lebih
cepat bertindak, maksud mereka
jadi tak kesam-
paian.
Tanpa mempedulikan lagi si gemuk
dan
temannya yang terus menatapnya
dengan tajam,
si pemuda tampan memunguti uang
emasnya
yang berceceran di lantai, lalu
memasukkannya
kembali ke kantung sulam.
Beberapa orang yang
semula hendak melerai kembali ke
tempat duduk
masing-masing.
Pengemis Binal yang seringkali
berperilaku
konyol tiba-tiba bangkit dari
tempat duduknya.
"Kalian sudah sinting!
Kenapa ribut-ribut dengan
teman sendiri?!" bentaknya
seraya mendorong
dada di gemuk dan temannya.
Tanpa sepengeta-
huan mereka, Suropati meraba
saku mereka dan
mengambil uangnya. Setelah itu,
Suropati mendo-
rong dada mereka lebih keras,
hingga mereka ja-
tuh ke lantai dan mengerang
kesakitan.
"Bangsat kau!" hardik
si gemuk. "Kenapa
mencampuri urusan orang?!"
"Sudah. Sudahlah! Kalianlah
yang bersa-
lah. Kalian telah menubruk
orang. Seharusnya
kalian minta maaf, bukannya
malah marah-
marah seperti itu," ujar
Suropati. "Lanjutkan saja
minum kalian. Kalau masih belum
puas, minum-
lah di rumah sampai jebol perut
kalian!"
Merasakan dorongan keras
Suropati, si
gemuk dan temannya tahu bila
remaja berpa-
kaian penuh tambalan ini
bukanlah orang semba-
rangan. Maka, mereka segera
mengambil tempat
duduk lagi walau disertai gerutu
panjang-pendek.
Pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam
mengangkat cawannya ke arah
Pengemis Binal.
"Saudara baik sekali. Mari
minum bersama,"
ajaknya.
Suaranya menyebarkan bau arak
yang ke-
ras.
"Terima kasih. Aku sudah
punya teman,"
tolak Suropati sambil
mengalihkan pandangan ke
Puspita yang tetap duduk tenang
di kursinya.
"Ajaklah teman itu untuk
turut minum
bersama," buru si pemuda
tampan.
"Terima kasih. Aku
menghargai ajakan
Saudara. Tapi, untuk kali ini
aku tidak bisa me-
nerimanya," tolak Suropati
lagi. Remaja tampan
ini lalu kembali ke tempat
duduknya semula. Si
pemuda tampan pun agaknya tak
merasa tersing-
gung atas tolakan Suropati.
Sementara, si gemuk dan temannya
duduk
dengan wajah ditekuk. Agaknya
kedua orang ini
masih mendongkol. Mata mereka
menatap si pe-
muda tampan dengan tajam. Si
kurus bangkit da-
ri duduknya. Bukan untuk membuat
perkara lagi,
melainkan berteriak memanggil
pelayan. Seorang
pelayan setengah baya datang
tergopoh-gopoh.
Pelayan setengah baya
menyebutkan jum-
lah uang yang harus dibayar. Si
kurus merogoh
saku bajunya. Namun, betapa
terkejutnya lelaki
berwajah kasar ini. Dia tak
dapat menemukan
uang yang tersimpan di dalam
saku bajunya.
"Uangku...?" desis si
kurus dengan mata je-
lalatan. Tangannya sibuk meraba-raba
saku baju
dan celananya. Karena masih tak
dapat menemu-
kan apa yang dicarinya, mata
lelaki ini tambah je-
lalatan. "Uangku...?
Uangku...?" desisnya beru-
lang kali.
"Kenapa dengan
uangmu?" tanya si gemuk
dengan air muka amat keruh.
"Uangku hilang!" beri
tahu si kurus. Tubuh
lelaki ini mendadak terkulai
layu dan jatuh ter-
duduk di kursinya tanpa sadar.
"Keparat! Jangan kau tipu
aku!" hardik si
gemuk. "Kau ajak aku minum
di sini, bukankah
kau yang bayar! Sekarang kau
hendak bikin ulah.
Kau minta aku yang bayar,
bukan?!"
Mendengar bentakan temannya,
wajah si
kurus makin pucat-pasi saja,
"Sungguh! Aku ti-
dak bohong! Uangku benar-benar
hilang!" beri ta-
hunya dengan penuh kesungguhan.
Usai berkata, si kurus
mengedarkan pan-
dangan ke lantai kedai. Tentu
saja dia tak akan
dapat menemukan uangnya di
lantai karena si
konyol Suropati telah
mengambilnya secara diam-
diam tadi.
"Sungguhkah uangmu
hilang?" tanya si
gemuk, mulai percaya pada
keterangan teman-
nya.
"Ya! Ya! Untuk apa aku
berbohong!" tegas
si kurus. "Kau bayarlah
dulu. Aku hutang kepa-
damu!"
Si gemuk menyeringai seperti
monyet men-
ginjak tahi. Lelaki bertubuh
tambun ini tak me-
nemukan pula uangnya di saku
bajunya. Untuk
beberapa saat, dia tak dapat
membuka suara.
Hanya matanya yang melotot
lebar.
"Celaka!" desis si
gemuk akhirnya. "Ada
apa?" tanya si kurus, tak
mengerti. "Uangku juga
hilang!"
Pengemis Binal berusaha keras
untuk da-
pat menahan tawanya ketika
melihat si gemuk
dan si kurus celingukan ke sana
kemari untuk
mencari uang mereka yang mereka
pikir tentu ter-
jatuh ke lantai. Sementara,
pelayan setengah
baya yang menunggu pembayaran
jadi tak saba-
ran.
"Cepatlah bayar! Tunggu apa
lagi?! Masih
banyak tugas yang harus
kukerjakan!" ujar si pe-
layan dengan nada keras.
Si kurus menatap wajah pelayan
lekat-
lekat, lalu dilemparnya sebuah
senyum. "Boleh-
kah saya membayar lain kali
saja?" rayunya den-
gan raut wajah dibuat seperti
tak berdosa.
Pelayan setengah baya mendengus.
Tanpa
berkata apa-apa, lelaki ini lalu
masuk ke ruang
dalam. Hanya dalam beberapa
kejap mata, dia te-
lah kembali bersama lelaki
gendut berpakaian ba-
gus yang tak lain si pemilik
kedai.
"Tuan, uang kami hilang.
Kami harap Tuan
bisa mengerti. Kami akan
membayar di lain wak-
tu...," pinta si kurus yang
telah mengenali si pe-
milik kedai.
"Tidak! Kedai ini akan
bangkrut bila aku
mengizinkan orang
berhutang!" bentak pemilik
kedai, garang sekali.
Pelayan setengah baya yang sudah
merasa
tak senang pada si gemuk dan si
kurus turut
angkat bicara. "Kedatangan
kalian ke kedai ini
apakah bukan sengaja untuk
membuat onar?!
Sudah minum sepuas-puasnya,
malah berlagak
berkelahi sampai menubruk orang!
Kalau bukan
hendak membuat onar, mau apa
lagi?!"
"Jika kalian benar-benar
tak punya uang,
buka semua baju kalian!"
tambah pemilik kedai.
Kasar dan keras sekali perkataan pemilik
kedai. Melihat wajah si gemuk
dan si kurus yang
makin pucat-pasi, seluruh
pengunjung kedai jadi
tertawa. Pengemis Binal pun tak
kuasa lagi me-
nahan tawanya. Dia tertawa
terkekeh-kekeh sam-
pai matanya berkaca-kaca.
Puspita yang duduk di
sampingnya turut tertawa pula.
Hanya pemuda
tampan berpakaian ungu-hitam
yang tak mem-
perlihatkan perubahan. Raut
wajahnya tetap mu-
ram.
"Memang mereka berdua
hendak membuat
onar...!" beberapa orang
turut bicara untuk mem-
beratkan kesalahan si gemuk dan
si kurus.
"Cepat buka baju
kalian!" bentak pemilik
kedai makin kasar dan keras.
Si gemuk dan si kurus saling
pandang.
Terpaksa kedua lelaki berwajah
kasar ini membu-
ka baju mereka.
Pemilik kedai mengamati sebentar
dua po-
tong baju yang diberikan
padanya. Lalu, dilihat-
nya dua poci besar di meja yang
semula ditempati
si gemuk dan si kurus. Lelaki
gendut ini kemu-
dian menggerendeng.
"Kalian telah menghabiskan
dua poci arak
merah yang paling baik. Dua
potong baju saja be-
lum cukup untuk
membayarnya!" ujar pemilik
kedai. "Buka celana
kalian!"
Selagi seluruh pengunjung kedai
tertawa
bergelak mendengar ucapan
pemilik kedai, si ge-
muk dan si kurus mendelikkan
mata. Tubuh me-
reka kontan terasa lemas. Tanpa
sengaja kedua
lelaki itu melihat Suropati yang
tengah tertawa
terbahak-bahak keras sekali.
"Keparat!" umpat si
gemuk dalam hati. "Ke-
tika bocah edan itu mendorong
dadaku tadi, dia
tentu telah mengambil uangku.
Hmmm.... Tunggu
pembalasanku!"
"Hei! Kenapa malah
bengong?! Cepat buka
celana kalian!" bentak
pemilik kedai.
Si gemuk menatap wajah pemilik
kedai se-
bentar, lalu membuka celananya.
Perbuatannya
segera diikuti oleh si kurus.
Dengan menyimpan
rasa malu dan marah luar biasa,
kedua lelaki ini
berlari keluar kedai hanya
dengan mengenakan
cawat. Tawa riuh-rendah seluruh
pengunjung ke-
dai mengiringi kepergian mereka.
Puas sekali hati Pengemis Binal
berhasil
mempermainkan mereka. Begitu
tawanya berhen-
ti, remaja konyol ini
mengeringkan dua cawan
araknya. Ketika menoleh ke arah
pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam, kening
Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini berkerut.
Digaruk-garuknya kepalanya yang
tak gatal
"Sudah pasti si gemuk dan
temannya tadi
bukan orang baik-baik. Mendapat
hinaan seperti
barusan, mereka tentu berniat
untuk membalas.
Hmm..., Kemungkinan besar mereka
akan kemba-
li dengan membawa banyak teman
atau barang-
kali memanggil ketua
mereka..." pikir Suropati.
"Jangan-jangan mereka
menimpakan kesalahan
pada pemuda tampan itu. Kasihan
sekali dia. Pe-
muda tampan itu tak tahu
apa-apa. Sudah punya
masalah berat yang membuat
wajahnya muram,
kini justru akan dibebani
masalah lagi. Ini gara-
gara ulahku! Bodoh sekali aku
ini!"
Puspita terkejut ketika
tiba-tiba Pengemis
Binal menggaplok kepalanya
sendiri.
"Eh, kau kenapa,
Suro?" tanyanya, heran.
"Emmm... Ah! Tak apa-apa.
Hanya ada la-
lat yang hinggap di
kepalaku," jawab Suropati se-
kenanya sambil cengar-cengir.
Karena merasa kasihan pada
pemuda ber-
pakaian ungu-hitam, Suropati
berniat mengajak-
nya untuk cepat-cepat
meninggalkan kedai. Na-
mun sebelum remaja konyol ini
bangkit dari tem-
pat duduknya, di depan kedai
terdengar suara ri-
but-ribut. Disusul kemudian,
belasan lelaki yang
wajahnya rata-rata bengis serta
bertubuh tinggi-
besar, masuk ke kedai
menimbulkan suara derap
keras karena langkah mereka
sengaja diperberat.
Emoticon