Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Cinta Bernoda Darah
128 hal.
1
Digerakkan oleh tenaga angin,
sebuah kapal
bergerak pelan. Layar-layarnya
terbuat dari bentangan
kain merah dan kuning. Kapal itu
tampaknya milik
seorang bangsawan. Pada bagian anjungan terdapat
pahatan kayu besar berupa kepala
rajawali, sedang
pada lambung kiri dan kanan
diberi bentukan sayap
menangkup. Ukiran pada badan
kapal masih dite-
ruskan sampai buritan, yakni
bergambar ekor rajawali
mengembang. Kapal yang dicat
dengan bauran warna
merah dan kuning itu terlihat
sangat indah dan men-
colok mata.
Di buritan seorang gadis cantik
berusia dua pu-
luh tahun tengah terbaring
telentang. Mata gadis itu
ditutup selembar kain hitam.
Dalam telentangnya, si
gadis tampak begitu memikat.
Tubuhnya yang sintal
dan padat berisi hanya tertutup
sehelai kain berenda
yang sangat tipis, sehingga
kulitnya yang begitu halus
terlihat dengan jelas.
Si gadis menggeliat. Perlahan
dia mengusap
rambutnya yang hitam pekat dan
dipotong pendek. La-
lu, kedua telapak tangannya
digunakan sebagai alas
kepala. Bibirnya yang merah
basah mengeluarkan si-
ulan pendek. Bersamaan dengan
itu, dia menekuk kaki
kirinya. Belasan orang gadis
berpakaian kuning-merah
yang berdiri di tepi pagar sisi
kapal tampak membung-
kukkan tubuh, kemudian berlalu
dari tempatnya.
Si gadis yang sedang terbaring
telentang meraih
sebuah kecapi. Alat musik itu
didekapnya sebentar.
Setelah menarik napas panjang,
barulah dia memetik
dawai-dawainya.
Bersama deburan ombak berhias
riak gelom-
bang sebuah irama mengalun
syahdu, menyusup ke
dalam kalbu. Getarannya begitu
lembut terbawa hem-
busan angin.
Seorang perawan menari di atas
panggung cinta
Saat semua mata berbinar
menyatakan suka-
cita
Dia menangis dalam dekapan
asmara
Hati tersayat sembilu neraka
Sukma terpenjara dalam kutukan
Dewata.
Sang perawan turun dari panggung
cinta
Saat semua mata mengolok penuh
cela
Dia berjalan di atas permadani
derita
Nestapa tak lewatkan waktu
cengkerama
Terus mencabik dan mengoyak,
ciptakan duka
Perawan luka berlari pejamkan
mata
Tak mampu lihat dunianya yang
teraniaya
Dalam gelap justru ada
bahagia
Tak ada dinding pisahkan
keinginan dari goda
Segala direguk, jiwa pun lena
Duka-lara perawan terkubur dalam
tebaran
mega
Hidup larut dalam hitam nafsu
dunia
Angkara dikejar demi cita-cita
Akan hadirnya seorang jejaka
empu cinta meng-
gelora
Jadikan kekasih setia sampai
hayat menutup
mata
Begitu usai tembang dilantunkan,
si gadis
mendesah. Terdengar
langkah-langkah kaki mendeka-
ti. Gadis cantik itu mendekap
erat kecapinya.
"Kekasihku...,"
panggil seorang pemuda tam-
pan. Tubuhnya dibaringkan di
samping si gadis. "Tem-
bang mu sungguh merdu, membuat
aku hanyut dan
terbuai."
Si gadis cantik tak berucap.
Pemuda yang baru
datang berusaha meraih kecapi
yang didekapnya. Na-
mun, si gadis tak rela
melepaskannya. Dengan lembut
dia menepis jemari si pemuda.
"Tak layak seorang gadis
cantik sepertimu larut
dalam kesedihan...," kata
pemuda tampan. "Aku tahu,
'sang perawan' yang kau maksud
dalam tembang mu
adalah kau sendiri."
"Menjelang kapal menepi,
aku ingin sendiri," si
gadis cantik tampaknya tak ingin
membicarakan hal
itu. Ia segera mengalihkan
pembicaraan.
"Ah, kenapa, kekasihku? Aku
datang justru un-
tuk menghiburmu."
"Menghibur ku?" si
gadis menaikkan sudut bi-
bir kirinya. "Kau tak akan
pernah dapat menghibur
ku," ujarnya agak sinis.
"Apakah dengan cinta yang menggebu
dan se-
gala pengorbanan ku, aku tak
akan dapat menghibur-
mu?" tanya pemuda tampan
dengan bersungguh-
sungguh.
"Omong kosong!"
Pemuda tampan menatap wajah si
gadis dalam-
dalam. Diraihnya jemarinya untuk
didekap di dada.
"Sungguh aku mencintaimu,
Aini. Untuk membuatmu
bahagia apa pun akan
kulakukan...."
"Aku bisa memegang
kata-katamu?" ujar si ga-
dis tak percaya.
"Kenapa tidak?"
Bibir gadis cantik
menyunggingkan senyum ti-
pis.
"Aku mencintaimu,
Aini...."
Si gadis tak berucap, Pemuda
tampan menu-
runkan kecapi dari dada gadis
cantik yang bernama
Anggraini Sulistya.
"Sebentar lagi kapal
menepi. Tinggalkan aku,
Saka," tolak si gadis.
"Tidak, Aini. Saat kapal
menepi, aku ingin me-
lihatmu bahagia...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
pemuda tam-
pan yang bernama Saka Purdianta
itu menatap tajam
pada si gadis.
"Semenjak berangkat dari
Kerajaan Pasir Lu-
hur, kau selalu menutupi matamu
dengan kain hitam
itu. Kenapa Aini?"
"Aku telah
bersumpah."
"Bersumpah?"
"Ya. Aku berlayar ke
Kerajaan Anggarapura
demi mendapatkan cinta suci
seorang jejaka yang ku
idam-idamkan. Sebelum bertemu
dengannya, aku ti-
dak akan melepas penutup
mataku," jawab Anggraini
Sulistya penuh keyakinan.
"Jadi... kau tidak
mencintai ku, Aini?" desak
Saka Purdianta.
"Terima kasih atas segala
perhatianmu, Saka.
Terima kasih pula atas
kesediaanmu mengantarku."
Saka Purdianta mendesah panjang.
Ditatapnya
langit biru yang dipenuhi
gumpalan awan berserakan.
Ada kesedihan terbayang di
matanya. Ucapan Anggrai-
ni Sulistya bak sayatan sembilu.
Pedih terasa sampai
ke lubuk hati.
"Tidak, Aini! Kau tidak
boleh menjadi milik
orang lain. Kau harus menjadi
milikku! Aku mencin-
taimu, Aini...," tiba-tiba
Saka Purdianta jadi begitu pa-
nik.
"Apakah kau ingin
memaksakan kehendakmu,
Saka? Walaupun aku tak pernah
membeda-bedakan
pangkat dan derajat seseorang,
tapi kau mesti tahu,
Saka.... Kau tak dapat
memaksakan kehendakmu ke-
padaku," sahut Anggraini
Sulistya mencoba tenang.
"Aku tahu maksud ucapanmu.
Aku hanyalah
putra seorang tumenggung, sedang
kau putri seorang
raja. Tapi, apakah cinta
membeda-bedakan kedudukan
seseorang?"
"Sudahlah, Saka. Aku tak
mau berdebat ten-
tang itu. Sebaiknya kau kembali
ke kamarmu...."
Sinar mata Saka Purdianta
berkilat tajam. Den-
gan dengus napas menderu,
ditotoknya beberapa jalan
darah di tubuh Angraini Sulistya. Gadis cantik itu
hendak menjerit. Namun, suaranya
tersekat di tenggo-
rokan. Pangkal lehernya juga
menjadi sasaran totokan.
Beberapa lama Saka Purdianta
menatap kein-
dahan tubuh Anggraini Sulistya.
Kemudian, kain yang
menempel di tubuh gadis cantik
itu perlahan ditang-
galkan. Juga kain hitam penutup
mata.
"Mulai hari ini kau resmi
menjadi milikku, Ai-
ni...," bisik Saka
Purdianta dengan bibir menyentuh
daun telinga Anggraini Sulistya.
Mata gadis cantik itu mendelik.
Darahnya men-
didih. Jantungnya pun berdegup
lebih kencang oleh
hantaman rasa marah. Dia tak
mampu berbuat apa-
apa ketika Saka Purdianta
meraba-raba tubuhnya.
"Aku mencintaimu,
Aini...," bisik Saka Purdian-
ta lagi seraya memagut bibir
Anggraini Sulistya.
Pemuda tampan itu terus melumat
bibir si ga-
dis sampai nafasnya
terengah-engah. Karena dorongan
nafsu setan yang
menghentak-hentak, Saka Purdianta
lupa segala-galanya. Bibir
pemuda tampan itu terus
bergerak menelusuri leher
Anggraini Sulistya yang jen-
jang.
Dayang-dayang Anggraini Sulistya
yang berada
di dalam sebuah kamar besar,
terletak di tengah kapal,
melihat adegan itu dari balik
tirai. Namun mereka tak
berbuat apa-apa. Mereka
menyangka tindakan Saka
Purdianta memang dikehendaki
oleh Anggraini Sulis-
tya. Saat Saka Purdianta berbuat
yang lebih berani,
mereka jadi jengah dan
memalingkan wajah, tak berani
melihat lebih lama.
Di atas burung-burung laut
mengepakkan
sayapnya, kemudian hinggap pada
tiang-tiang layar.
Mereka menjadi saksi perbuatan
Saka Purdianta yang
bejat. Satu persatu pemuda
tampan itu menanggalkan
pakaiannya sendiri. Lalu
ditatapnya sejenak wajah
Anggraini Sulistya.
"Aku akan menjadi suami
yang baik bagimu,
Aini...," bisik Saka
Purdianta seraya menjatuhkan tu-
buhnya.
Namun, sebelum pemuda yang telah
dirasuki
nafsu setan itu berbuat lebih
jauh, mendadak dari se-
kujur tubuh Anggraini Sulistya memancar
cahaya ke-
biru-biruan.
Dibarengi suara desisan tubuh
Saka Purdianta
terlontar, dan membentur pagar
pembatas sisi kapal.
Anggraini Sulistya meloncat
bangkit seraya mengusap-
usap pangkal lehernya. Gadis
cantik itu lalu memberi
sebuah isyarat tangan. Belasan
dayangnya segera ber-
hamburan keluar. Salah seorang
dari mereka langsung
mengenakan piyama pada tubuh
telanjang Anggraini
Sulistya.
Saka Purdianta yang dihantam
keterkejutan
berdiri terhuyung-huyung.
Anggraini Sulistya mena-
tapnya dengan sinar mata penuh
kemarahan. Tapi se-
nyum tipis mengembang di
bibirnya.
"Kau..., kau...," kata
Saka Purdianta tergagap.
"Kenapa kau bisa lepas dari
totokanku?"
"Ha-ha-ha...!"
Anggraini Sulistya tertawa berge-
lak. "Kau lupa aku adalah Putri Cahaya Sakti,
Saka!
Selama bumi masih tersiram
cahaya, kekuatan alam
akan terhisap ke dalam tubuhku.
Bila hanya totokan
lemah seperti yang kau miliki,
tak akan lama mempen-
garuhi ku!"
Saka Purdianta mendengus. Dia
melangkah sa-
tu tindak. "Kau pun lupa,
kalau aku Dewa Guntur, Ai-
ni!"
"Dewa Guntur? Ha-ha-ha....
Gelarmu itu hanya
bualan anak kecil saja, Monyet
Busuk!" maki Anggraini
Sulistya dengan lantang.
"Jangan memandang rendah kepadaku, Aini!
Akan kutunjukkan sesuatu padamu...."
Saka Purdianta membuka kaki
lebar-lebar se-
raya membentangkan tangan.
Sejenak kemudian, ke-
dua pergelangan tangan pemuda
tampan itu bergetar.
Saat dia menghembuskan napas
kuat-kuat, langit
yang semula berwarna biru bersih
mendadak jadi gelap
pekat. Bersamaan dengan itu
gumpalan awan berge-
rak-gerak bagai dipermainkan
tangan raksasa. Lalu
bertumpuk-tumpuk menjadi
satu.
"Amarah Dewa Guntur!"
pekik Saka Purdianta
seraya menepukkan telapak
tangannya di atas kepala.
Blaaarrr...!
Petir menyambar permukaan laut,
membuat
ombak besar setinggi bukit.
Kapal yang datang dari Ke-
rajaan Pasir Luhur itu terlontar
ke atas. Anggraini Su-
listya segera menjejak geladak.
Tubuh kapal pun kem-
bali meluncur ke permukaan air
laut.
Salah seorang dayang Anggraini
Sulistya tam-
pak tercekat. Kepalanya
mendongak melihat benda
panjang berwarna kuning keemasan
yang melesat
jauh.
"Kecapi Tuan Putri!"
teriak dayang itu seraya
menghemposkan tubuhnya,
menyambar kecapi
Anggraini Sulistya. Saat tubuh
si dayang meluncur tu-
run, kakinya menginjak
geladak.
"Terima kasih,
Andini...," kata Anggraini Sulis-
tya seraya menerima kecapinya.
Gadis cantik yang bergelar Putri
Cahaya Sakti
itu lalu menatap wajah Saka
Purdianta. Senyum tipis
tersungging di bibirnya yang
merah merekah.
"Permainanmu tak cukup
pantas untuk mem-
bangunkan Raja Penidur, Monyet
Busuk!" ejek
Anggraini Sulistya. "Tapi,
ehm.... wajahmu cukup tam-
pan untuk menerima anugerah
cinta dariku."
"Benarkah itu, Aini? Aku
mencintaimu setulus
hati," sambar Saka
Purdianta cepat seraya menebar-
kan senyum lebar.
Anggraini Sulistya tertawa
bergelak.
"Calon suamiku haruslah
jejaka yang pintar
dan berkepandaian tinggi, Saka.
Bila kau berhasrat
untuk meminang ku, coba kau
resapi laguku ini...."
Putri Cahaya Sakti menatap
kecapinya seben-
tar. Lalu, melemparkan senyum ke
arah Saka Purdian-
ta. Perlahan-lahan dawai kecapi
dipetiknya. Irama
lembut mengalun syahdu, mengelus
gendang telinga.
Sambil memainkan alat musiknya,
Anggraini Sulistya
meliuk-liukkan tubuh. Gerakannya
indah sekali mirip
bidadari sedang menari.
"Kau sangat cantik,
Aini...," desis Saka Purdian-
ta. Matanya menatap lekat-lekat
gadis pujaan hatinya.
Anggraini Sulistya membalas
dengan senyu-
man. Jiwa Saka Purdianta pun
seperti terbang me-
layang ke angkasa. Namun, dia terperangah ketika
gendang telinganya bergetar
keras. Saat jantung Saka
Purdianta berdegup lebih
kencang, sadarlah pemuda
tampan itu. Dirinya tengah
menjadi sasaran kekuatan
serangan kasat mata. Segera dia
mengerahkan tenaga
dalam untuk membentengi diri.
Sementara jemari tangan
Anggraini Sulistya te-
rus bergerak lincah memetik
dawai kecapi. Dia meli-
ukkan tubuhnya lebih cepat untuk
mengikuti lantu-
nan irama musik. Tubuh gadis
cantik itu berloncatan
di atas geladak. Bahkan beberapa
kali bersalto di uda-
ra. Irama musiknya pun semakin
melengking-lengking.
Mata Saka Purdianta atau Dewa
Guntur men-
delik. Suara petikan kecapi
Putri Cahaya Sakti tidak
lagi lembut dan membuai,
melainkan menghujam-
hujam. Sekujur tubuhnya bagai
ditusuk-tusuk pulu-
han jarum. Serta-merta dia duduk
bersila seraya ber-
sedekap. Matanya terpejam rapat,
berusaha menghim-
pun tenaga murni untuk menghalau
kekuatan. kasat-
mata yang mendera tubuhnya.
Saat Anggraini Sulistya membuat
irama musik
lebih tinggi, air laut bergolak
dan bergelombang besar.
Timbul suara menderu-deru yang
disertai ledakan
dahsyat. Langit yang kelam
bertambah lebih kelam.
Gumpalan awan bergerak tak
menentu bagai dihem-
pas-hempaskan seribu kekuatan
angin topan. Kilat
dan petir menyambar-nyambar bulu
kuduk.
Perlahan-lahan dari sudut bibir
Saka Purdianta
mengalir darah segar. Menyusul
dari lubang hidung
dan telinga. Ketika petikan
kecapi Putri Cahaya Sakti
membuat irama yang lebih tinggi
lagi, jantung Saka
Purdianta terasa bagai
diremas-remas. Tubuh pemuda
tampan itu bergetar keras bagai
terserang demam he-
bat
"Argh...!"
Saka Purdianta mengeluarkan
keluhan pendek.
Bersamaan dengan itu darah segar
menyembur keluar
dengan derasnya. Tubuh pemuda
tampan itu terhem-
pas di geladak.
"Ha-ha-ha...! Lelaki
Durjana! Tanpa seizin ku
kau telah menjamah tubuhku.
Pintu neraka terkuak
lebar untukmu!"
Dengan satu sentakan pelan,
dawai kecapi
Anggraini Sulistya bergetar kencang.
Sebuah kekuatan
kasat mata yang maha dahsyat
menghantam tubuh
Soka Purdianta. Pemuda itu
terlontar jauh dan jatuh
tercebur ke laut!
"Tuan Putri...!" desis
dayang Putri Cahaya Sakti
yang bernama Andini.
Saat Anggraini Sulistya
menurunkan keca-
pinya, air laut yang semula
bergolak menjadi tenang
kembali. Langit pun menjadi
cerah. Gumpalan awan
tak lagi menutupi cahaya
mentari. Putri Cahaya Sakti
menatap wajah Andini
lekat-lekat.
"Kau seperti mengisyaratkan
kekhawatiran,
Andini...," cetus gadis
cantik itu.
"Bagaimana bila Tumenggung
Sangga Percona
menanyakan putranya?"
Andini mengajukan perta-
nyaan.
"Kita katakan yang
sebenarnya. Saka Purdianta
hendak berbuat gila terhadapku,
tapi Dewata keburu
menjatuhkan kutukan. Tubuhnya
terlempar ke dalam
laut lalu menjadi santapan
hiu," jawab Anggraini Sulis-
tya dengan begitu ringannya.
"Tumenggung Sangga Percona
terkenal berke-
pandaian tinggi dan sangat keras kepala. Bagaimana
bila beliau menyangka Tuan Putri
sengaja membunuh
Saka Purdianta?"
"Terima kasih atas
kekhawatiranmu, Andini.
Tapi, apakah kau lupa aku adalah
putri Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit, penguasa
Kerajaan Pasir Lu-
hur?"
Andini terdiam. Teman-temannya
pun tak be-
rani berucap. Mendadak, Anggraini
Sulistya tercekat.
Ia teringat sesuatu yang sangat
penting.
"Celaka...!" desisnya.
"Monyet busuk itu telah
melepas kain hitam penutup
mataku. Dan, aku lupa
untuk memakainya kembali."
Tubuh Putri Cahaya Sakti
bergetar. Lalu, per-
lahan-lahan melorot jatuh.
Musnah sudah seluruh ke-
kuatannya.
"Tuan Putri...!"
Panggil belasan dayang-dayang
serempak.
"Cepat! Ambilkan kain hitam
ku!"
Belasan dayang-dayang langsung
berloncatan
ke kamar besar yang terletak di
tengah kapal. Gerakan
mereka sangat cepat. Dalam
sekejapan kemudian me-
reka telah kembali ke tempatnya
dengan membawa
kain berwarna-warni
"Celaka,..!" desis
Putri Cahaya Sakti lagi ketika
melihat kain yang dibawa para
dayang-dayangnya. Ti-
dak ada kain yang berwarna
hitam.
Gadis cantik itu
membentur-benturkan dahinya
ke geladak. Butiran mutiara
bening bergulir tanpa
mampu dibendung lagi. Wajahnya
pucat seperti me-
nyimpan ketakutan.
"Oh, Dewata Yang
Agung...," rintih Anggraini
Sulistya. Kedua tangannya
diangkat ke atas seperti se-
dang mengiba. "Ampuni dosa
Anggraini Sulistya. Apa
yang terjadi bukan kehendak
hamba...."
Putri Cahaya Sakti kembali
membenturkan da-
hinya ke geladak. Sesaat
kemudian tak bergerak-gerak
lagi. Para dayang tak ada yang
bersuara. Mereka berdi-
ri terpaku tanpa tahu apa yang
harus diperbuat.
Saat itulah, dari kejauhan
sesosok bayangan
meluncur cepat di atas permukaan
laut dengan ber-
landaskan sepotong papan.
Bayangan yang ternyata
sosok gadis bertubuh ramping itu
bergerak sangat ge-
sit. Saat luncuran tubuhnya
terhalang oleh julangan
ombak tinggi, dia meloncat. Dan
kembali mendaratkan
kakinya di atas permukaan papan
seraya meluncur le-
bih cepat
Sebentar kemudian dia telah
berada di sisi
kapal. Kaki kirinya disilangkan.
Ketika kaki kanannya
menyentak di papan, tubuhnya
berputar dan melesat
ke atas. Ia hinggap di pentangan
kayu tiang layar yang
paling tinggi.
Para dayang terperangah melihat
kehadiran ga-
dis itu. Mereka langsung
bergerak menyebar, takut ka-
lau-kalau si gadis bertujuan
jahat
"Ha-ha-ha...!"
Gadis yang duduk di pentangan
kayu tiang
layar mengeluarkan tawa keras.
Lalu tubuhnya melun-
cur turun ke atas geladak.
Terlihatlah kini rupa si ga-
dis. Rambutnya digelung ke atas.
Ada hiasan kain su-
tera hitam dililitkan pada
gelungan. Wajahnya sangat
cantik. Matanya berbinar bak
bintang kejora. Berhi-
dung mancung dan pipi merona
merah. Bibirnya basah
laksana delima merekah. Gadis
itu berpakaian kuning.
Agaknya terbuat dari bahan
mahal. Usianya sekitar tu-
juh belas tahun.
Si gadis tersenyum-senyum
melihat para
dayang telah mengepungnya.
Matanya yang indah ke-
mudian mengerjap. Dengan suara
lembut bibirnya me-
lantunkan sebuah tembang.
Burung datang tanpa
diundang
Kerap kali orang salah memandang
Bukan maksud hati menjadi
perintang
Hanyalah sekadar untuk menumpang
Andini memberi isyarat kepada
teman-
temannya untuk mengepung lebih
rapat. Namun gadis
yang baru datang tak
menghiraukan. Lantunan tem-
bangnya terus berlanjut.
Tak hendak burung membuat
pertentangan
Apalah guna permusuhan bagi jiwa
yang luhur
Mengikuti bujuk nafsu setan
Jadikan bangkai berkaparan
"Siapa kau?"! bentak
Andini.
Si gadis tersenyum manis.
Kemudian, mengge-
leng-gelengkan kepalanya seperti
merasa heran. Tiba-
tiba terdengar suara sahutan
tembang si gadis.
Kalau memang burung datang tak
hendak ber-
musuhan
Menyingkirlah dayang-dayang
penuh kesetiaan
Sang empu kapal sedang
membutuhkan uluran
tangan
Serahkan kain hitam pada
gelungan
Si gadis berpakaian kuning
menatap Anggraini
Sulistya yang masih bersujud di
atas geladak. "Kepan-
daian gadis itu sangat
hebat...," pikirnya. "Dari mana
dia tahu aku melilitkan kain
hitam pada gelungan ku?"
Benarlah apa yang dikatakan Tuan
Membuat permusuhan sama halnya
mengabdi
pada setan
Sang burung akan mengulurkan
tangan
Terimalah kain hitam sebagai
tanda persahaba-
tan
Usai melantunkan tembang, gadis
berpakaian
kuning melepas kain hitam yang
melilit gelungannya.
Dilontarkannya kain itu ke
hadapan Anggraini Sulis-
tya. Gadis cantik yang bergelar
Putri Cahaya Sakti itu
segera mengambil kain hitam
tersebut untuk menutupi
matanya.
Kemudian, Anggraini Sulistya
bergerak bangkit
dan menjura kepada gadis yang
baru saja mengulur-
kan tangan baik. Walau matanya
tertutup, dia tahu
pasti di mana gadis itu berdiri.
"Sudilah sahabat
mengenalkan nama dan ge-
lar," kata Anggraini
Sulistya dengan penuh kerenda-
han.
Gadis berpakaian kuning
mengerjap-
ngerjapkan mata, lalu, bola
matanya digerakkan ke kiri
dan ke kanan dengan gerakan
lucu. Ditariknya napas
panjang sebelum melantunkan
sebuah tembang.
Sebenarnya benak sudah tak
hendak mengingat
nama
Tapi bila Sang Putri
menginginkannya
Ayah-bunda memberi nama Dewi
Ikata
Senanglah hati disebut Pendekar
Wanita Gila
"Dewi Ikata...," gumam
Anggraini Sulistya. "Ke-
napa gadis secantik ini bergelar
Pendekar Wanita Gila?
Apakah otaknya memang tak
waras?"
Anggraini Sulistya terkejut
ketika mendengar
tawa keras Dewi Ikata.
"Sang burung sudah
menyebutkan jati diri. Gi-
liran Sang Putri berucap
ganti," ucap gadis berpakaian
kuning kemudian.
"Namaku Anggraini Sulistya.
Aku bergelar Putri
Cahaya Sakti."
"Ehm.... Nama dan gelar
yang bagus. Dewi Ika-
ta harus memanggil apa?"
"Aini."
Mendadak, salah seorang dayang
Anggraini Su-
listya berteriak, "Kapal
telah mencapai pantai!"
"Turunkan layar, dan
lemparkan sauh!" Sahut
Anggraini Sulistya.
Belasan dayang berloncatan
melepas tali pengi-
kat layar. Beberapa kejapan mata
kemudian kain layar
telah digulung. Sauh pun
diceburkan ke laut.
"Terima kasih atas
tumpangan ini, Aini. Semoga
Tuhan masih mempertemukan
kita," kata Dewi Ikata
kemudian meloncat turun dari
geladak.
Putri Cahaya Sakti hendak
mencegah. Namun
tubuh Pendekar Wanita Gila telah
meluncur cepat me-
nuju pantai. Beberapa lama tawa
gadis cantik berpa-
kaian kuning itu masih terdengar
di atas kapal.
"Dewi Ikata...," desis
Anggraini Sulistya. "Gadis
aneh berkepandaian hebat. Aku
sangat suka tembang-
tembangnya. Mudah-mudahan Yang
Kuasa memper-
temuan kami kembali."
Gadis cantik itu berpikir-pikir
sebentar. Lalu
diberinya isyarat tangan.
Belasan dayang segera ber-
kumpul di hadapannya.
"Andini, Purbawati,
Saptini, dan Heksani...," ka-
ta Putri Cahaya Sakti.
"Seperti rencanaku untuk pergi
ke Kerajaan Anggarapura ini,
pergilah kalian ke pun-
cak Bukit Pangalasan. Temui
pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
bernama Suropati. Sam-
paikan undanganku!"
Gadis cantik itu memberi isyarat
lagi. Salah
seorang dayangnya berlari
memasuki kamar besar di
tengah kapal, dan kembali dengan
membawa gulungan
kulit rusa yang diikat pita
merah. Gulungan kulit rusa
itu menebarkan aroma harum.
Anggraini Sulistya me-
nerimanya lalu menyerahkan benda
itu kepada Andini.
"Hamba menjalankan
perintah...," kata Andini
bersama ketiga temannya.
Setelah membungkukkan tubuhnya
dalam-
dalam, mereka meloncat turun
dari kapal dan berlari-
lari di atas pasir pantai.
Senyum manis tersungging di
bibir Putri Cahaya Sakti, melepas kepergian empat
dayangnya.
Anggraini Sulistya berjalan
memasuki kamar.
Walau mata gadis cantik itu
tertutup kain hitam, tapi
cara berjalannya seperti
mempunyai mata ketiga. Begi-
tu tegap dan pasti.
Sesaat kemudian dari dalam kamar
sayup-
sayup terdengar petikan dawai
kecapi. Iramanya men-
galun syahdu mengelus kalbu.
Menyanyikan lagu rin-
du....
2
Langit kelam terbawa malam.
Dalam kepekatan
malam kemerlip bintang
memberikan rona indah. Pan-
caran cahaya Sang Dewi Malam
menerpa kapal. Om-
bak kecil Pantai Pasir Putih
membuat tubuh kapal ber-
gerak pelan.
Dalam kamar berlentera terang
benderang
Anggraini Sulistya bersandar
pada sisi pembaringan.
Jemari tangannya bergerak lembut
memetik dawai ke-
capi. Terbawa irama pilu, wajah
gadis cantik itu tam-
pak murung.
Seorang wanita setengah baya
memasuki ka-
mar tanpa mengetuk daun pintu.
Setelah meletakkan
nampan yang berisi segelas
minuman di atas meja pa-
da sisi pembaringan, ditatapnya
wajah Anggraini Sulis-
tya dalam-dalam.
"Kita sudah sampai di
wilayah Kerajaan Angga-
rapura, Aini. Apa yang kau
risaukan lagi?" tanya wani-
ta setengah baya itu. Dia adalah
inang pengasuh
Anggraini Sulistya.
Putri Cahaya Sakti meletakkan
kecapinya. Na-
mun, dia tak hendak
berkata-kata. Hembusan napas
berat terdengar dari mulutnya.
"Minumanmu sudah berada di
atas meja, Ai-
ni...."
Hembusan napas berat kembali
menimpali ka-
limat wanita setengah baya.
Wanita itu lalu duduk di
sisi Anggraini Sulistya. Perlahan-lahan
dipijitnya kaki
gadis cantik itu.
"Apa yang kau risaukan,
Aini?"
Putri Cahaya Sakti menatap wajah
inang pen-
gasuhnya sejenak. "Aku
takut, Mbok...," katanya ke-
mudian dengan suara pelan.
"Pada kejadian tadi
siang?"
"Ya. Saka Purdianta telah
melepas kain penu-
tup mataku. Apakah itu pertanda
Dewata tak merestui
keinginanku?"
"Jangan berpikiran yang
tidak-tidak, Aini. Se-
mua yang terjadi atas kehendak
Dewata," inang penga-
suh mencoba menghibur.
"Itu berarti...."
"Jangan salah menafsir.
Manusia hanyalah se-
kadar wayang yang digerakkan
sang dalang. Di dunia
ini tak ada satu manusia pun
yang mau berbuat salah.
Tapi, Dewata telah membuat
garis-garis nasib yang ha-
rus dijalani. Dan manusia wajib
berdoa serta berusa-
ha, agar garis nasib yang
dijatuhkan kepadanya adalah
garis lurus yang berisi
kebaikan."
Anggraini Sulistya hanya
membisu. Wanita se-
tengah baya menatapnya dengan
penuh haru dan pe-
rasaan kasih.
"Tak baik banyak merenung,
Aini. Terlalu ba-
nyak merenung akan membuat
pikiran kusut, hingga
perbuatan kita jadi tak
terkendali."
"Mbok...," panggil
Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini..."
"Aku ingin Simbok
melanjutkan cerita kemarin
malam."
"Cerita apa, Aini?"
"Tentang Ayahanda Prabu
yang membuang pu-
tranya."
Mendengar permintaan Anggraini
Sulistya, raut
wajah wanita setengah baya
berubah kelam. Ditarik-
nya napas dalam-dalam. Lalu,
dihembuskan dengan
deras seperti hendak membuang
jauh kenangan masa
silam yang penuh kepahitan.
"Lekaslah, Mbok...,"
pinta Anggraini Sulistya la-
gi.
Wanita setengah baya mengusap
butiran mu-
tiara bening yang bergulir dari
sudut matanya. "Sean-
dainya bayi laki-laki yang
dibuang Ayahanda mu itu
masih hidup, dia tentu telah
menjadi remaja tampan
yang berusia sekitar delapan
belas tahun. Dia lahir
terpaut tiga tahun denganmu,
Aini."
"Kenapa Ayahanda Prabu tega
membuang da-
rah dagingnya sendiri?"
Anggraini Sulistya tak bisa
mengerti dengan tindakan
Ayahandanya.
"Itu bukan atas kehendak
Ayahanda mu sendi-
ri, Aini. Ayahanda mu termakan
hasutan mendiang Pa-
tih Jaya Wongateleng. Patih
jahat itu mengatakan ka-
lau Ndara Putri Sekar Tunjung
Biru telah berbuat se-
rong dengan punggawa kerajaan
yang bernama I Halu
Rakryan Subandira...."
"Sebentar, Mbok...,"
sela Putri Cahaya Sakti.
"Apakah yang kau maksud
Ndara Putri Sekar Tunjung
Biru itu adalah ibunda ku?"
"Ya, Aini. Waktu itu usiamu
masih tiga tahun.
Setelah Ayahanda mu membuang si
jabang bayi yang
tak lain adikmu, beliau
memenjarakan Ndara Putri Se-
kar Tunjung Biru dalam ruang
bawah tanah. Setahun
setelah peristiwa itu, Patih
Jaya Wongateleng melaku-
kan pemberontakan. Sesaat
sebelum patih jahat itu
dapat ditumpas oleh Ayahanda mu,
dia membuka ke-
doknya. Patih Jaya Wongateleng
mengakui kalau dia
telah menghasut Ayahanda mu
untuk membuang pu-
tra kandungnya sendiri. Setelah
tahu demikian, Aya-
handa mu menyebar orang-orang untuk mencari
adikmu, Aini...."
"Berhasilkah usaha Ayahanda
Prabu, Mbok?"
Wanita setengah baya menarik
napas berat. Ke-
sedihan terbayang jelas di
matanya. "Aku ikut berdosa,
Aini...," desahnya lirih.
"Kenapa, Mbok?"
"Akulah yang telah mendapat
perintah Ayahan-
da mu untuk membuang putra
kandungnya."
"Di mana kau buang bayi
itu?" desak Anggraini
Sulistya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak ku buang. Tapi,
kutitipkan kepada seo-
rang nelayan. Sayang...."
"Kenapa?" sergah
Anggraini Sulistya.
"Sehari setelah menerima
bayi dariku, nelayan
itu pergi entah ke mana..."
Sampai di situ percakapan
terhenti. Anggraini
Sulistya dan inang pengasuhnya
larut dalam pikiran
masing-masing. Di luar Sang Dewi
Malam ditemani
bintang-bintang masih setia
memancarkan cahayanya.
Awan tipis bergerak perlahan
membentuk tirai-tirai in-
dah bagai sekat kamar bidadari.
"Sebaiknya kau tidur,
Aini...," kata wanita se-
tengah baya kemudian.
"Ya, Mbok. Tapi, aku ingin
mendengar dulu sa-
tu jawaban atas pertanyaanku
ini."
"Apa, Aini?"
"Bila aku masih mungkin
berjumpa dengan
adikku itu, adakah ciri-ciri
lahir yang terdapat pa-
danya?"
"Ketika masih bayi, adikmu
itu mempunyai toh
sebesar biji jagung di punggung
kirinya. Apabila Dewa-
ta berkenan memberi umur
panjang, sekarang toh itu
tentu lebih besar sedikit"
***
Puncak Bukit Pangalasan
berselimut kabut.
Sang Raja Siang masih enggan
menampakkan diri.
Hanya sinar keperakannya yang
memancar dari ufuk
barat. Butiran embun jatuh
membasahi rumput. Hem-
busan angin lembut memaksa
ranting pohon menanti.
Di lereng bukit itu gemericik
air sungai mengi-
ringi satwa-satwa mengawali
kehidupannya hari ini.
Sungai kecil berair jernih. Di
tepinya seorang
remaja tampan duduk bersandar
pada sebatang po-
hon. Rambutnya hitam-panjang
tergerai ke punggung.
Alisnya yang tebal laksana sayap
burung rajawali ter-
pentang. Berhidung mancung dan
bibirnya kemera-
han. Kulitnya putih-bersih
dibungkus pakaian penuh
tambalan.
Pakaian yang hanya layak
dikenakan seorang
pengemis atau gelandangan itu
tak mampu menutupi
ketampanan si pemakai. Dengan
tubuh tegap berdada
bidang serta sorot mata tajam,
cukuplah dijadikan
gambaran kalau dia bukanlah
seorang pengemis biasa.
Remaja tampan itu tengah asyik
memancing.
Anehnya, ujung tali yang
tercebur ke dalam air bukan
kail yang diberi umpan,
melainkan batu sebesar buah
kedondong!
Air sungai yang jernih membuat
pandangan si
remaja tampan dapat melihat batu
pada ujung talinya
sedang dikerumuni ikan. Mata si
remaja tampan tam-
pak berbinar. Bibirnya
menyunggingkan senyum lebar.
Dengan satu sentakan pelan pada
joran pancing, see-
kor ikan sebesar telapak tangan
orang dewasa me-
layang ke atas. Lalu, dengan
sigap remaja itu menju-
lurkan sebatang bambu yang
ujungnya terdapat jaring.
Ikan jatuh tepat pada jaring
itu.
Ketika ikan diletakkan ke tanah,
sama sekali
tak menunjukkan gerak kehidupan.
Rupanya sentakan
si remaja tampan pada joran
pancing membuat batu
yang diikat pada tali membentur
kepala si ikan naas
hingga remuk!
"Ha-ha-ha...!" Si
remaja tampan tertawa seo-
rang diri. "Ehm.... Ikan
ini dibuntal lempung terus di-
bakar, tentu sip buat sarapan!
Wuah! Ehm...."
Senyum di bibir remaja tampan
itu semakin
mengembang. Setelah
menggaruk-garuk kepala seben-
tar, dilemparkannya kembali batu
pancing ke dalam
sungai. Namun, hingga menunggu
beberapa lama tidak
ada ikan yang mendekat
"Uh! Bodohnya aku!"
rungut si remaja tampan.
"Belum tua sudah
pikun!"
Buru-buru dia menarik batu
pancingnya kem-
bali. Batu itu diolesinya dengan
sejenis getah pohon
yang berbau amis. Ketika
dilemparkan kembali ke da-
lam sungai, ikan-ikan berenang
mendekati.
"Nah, begitu baru ikan yang
baik. Ayo, lebih
dekat lagi! Ayolah, cepat! Nah,
rasakan sekarang!"
Habis berkata-kata seorang diri,
si remaja tam-
pan menyentak joran pancingnya.
Dua ekor ikan me-
layang bersamaan. Jaring si
remaja tampan kembali
menerimanya. Tanpa disadari
remaja tampan itu, batu
pancingnya melayang tinggi lalu
membelit ranting po-
hon tempat sandaran punggungnya.
Thak...!
"Wadouw...!"
Si remaja tampan menjerit
kesakitan. Batu
pancing yang membelit ranting
pohon berputar, dan
membentur kepalanya hingga
terasa cukup sakit!
"Kambing Congek! Kadal
Bunting! Monyet Bu-
duk! Tikus Rembes!" umpat
si remaja tampan sambil
mengusap-usap bagian kepalanya
yang sakit.
Mendadak, dia terkejut ketika
melihat empat
bayangan berkelebatan di
pucuk-pucuk pohon. Terdo-
rong rasa ingin tahu, si remaja
tampan itu berlari
mengejar. Ditinggalkannya begitu
saja ikan hasil tang-
kapannya.
"Hei! Tunggu...!"
teriak remaja tampan. Empat
sosok bayangan menghentikan
kelebatan tubuhnya.
Kaki mereka menginjak sebatang
ranting pohon yang
paling tinggi. Hingga, dilihat
dari bawah mereka seperti
burung besar yang sedang
hinggap. Pakaian mereka
berwarna kuning merah. Tampak
berkibaran ditiup
angin.
Si remaja tampan menatap dengan
penuh pera-
saan kagum. Kakinya menginjak
ranting pohon. Empat
tombak dari keempat sosok
bayangan yang ternyata
wanita-wanita cantik.
"Wuih...! Hari ini aku
telah berjumpa empat bi-
dadari cantik yang baru turun
dari kahyangan,". desis
remaja tampan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mata remaja tampan itu
berbinar-binar sebagai
pernyataan rasa kagum yang
sangat Namun....
Krosaaakkk...!
"Wadouw...!"
Akibat kurang hati-hati, tubuh si remaja tam-
pan meluncur jatuh. Cepat-cepat
dia bangkit berdiri.
Dengan tubuh limbung si remaja
tampan menatap
keempat wanita cantik yang masih
bertengger di atas
pohon.
"Turunlah,
Bidadari-Bidadari Cantik!" teriak
remaja itu sambil mengusap-usap kepalanya
yang sa-
kit.
Salah seorang dari keempat
wanita cantik
memberi isyarat. Lalu tubuhnya
dihemposkan dan
mendarat di hadapan si remaja
tampan. Gerakan wani-
ta cantik itu segera diikuti
teman-temannya.
Si remaja tampan tertawa
terkekeh.
"Rupanya kalian bukan
bidadari. Hanya, wajah
kalian yang mirip bidadari.
He-he-he...."
Empat wanita cantik yang tak
lain dayang-
dayang Anggraini Sulistya atau
Putri Cahaya Sakti
memperhatikan dengan seksama
penampilan si remaja
tampan.
"Apakah kau anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti?" tanya
Andini.
"Apakah kau ada perlu
dengan perkumpulan
pengemis itu?" si remaja
tampan ganti bertanya.
"Jawab pertanyaanku,
Bocah!" bentak Andini
tak senang.
"Jawab pertanyaanku dulu,
Eyang!"
Kening Andini langsung berkerut.
"Aku bukan
nenekmu. Kenapa kau panggil
'Eyang'?!"
"Aku bukan cucumu, kenapa
kau panggil
'Bocah'?!" balas Suropati.
"Bocah Gemblung!" maki
Andini keras.
"Sudahlah, Andini...,"
teman Andini yang ber-
nama Purbawati berusaha
menengahi. "Kita tak perlu
melayani remaja konyol itu.
Secepatnya kita segera ke
puncak bukit."
Para dayang Anggraini Sulistya
membalikkan
badan, tapi si remaja tampan
yang berkelakuan konyol
mencegah.
"Eit! Tunggu dulu! Ke
puncak bukit? Kalian ada
perlu apa? Mungkin aku bisa
membantu...."
"Tanpa bantuanmu kami bisa
menyelesaikan
urusan ini," kata Andini
setengah membentak.
"Apakah urusan itu ada
sangkut pautnya den-
gan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti?"
tanya si remaja tampan.
"Bukan anggotanya, tapi
pemimpinnya!"
"Kau tahu siapa
pemimpinnya?" kejar remaja
tampan.
"Suropati."
"Gelarnya?"
"Pengemis Binal."
"Orangnya?"
"Kenapa dengan
orangnya?" dengus Andini.
"Pernah berjumpa?"
"Belum," Andini
menggelengkan kepalanya per-
lahan.
"Ha-ha-ha...!" Si
remaja tampan tertawa berge-
lak. "Orangnya yang ada di
depanmu sekarang....!"
"Siapa yang percaya
bualanmu, Bocah Gem-
blung?!" bentak Andini.
Diberinya isyarat kepada te-
man-temannya untuk segera
berlalu. Namun, si remaja
tampan menghalangi jalan mereka.
"Kenapa kalian tidak
percaya kalau aku Suro-
pati?" tanya si remaja
tampan.
"Kita tak perlu meladeni
bocah edan ini, Andi-
ni...," ujar Saptini.
"Sebaiknya memang
begitu." Empat dayang
Anggraini Sulistya kembali
menghemposkan tubuh. Si
remaja tampan hendak mencegah,
namun serangkaian
angin pukulan menahan
gerakannya.
"Keparat! Bedebah!"
umpat si remaja tampan
sejadi-jadinya.
Sementara keempat dayang yang
cantik-cantik
itu telah melesat jauh menuju
puncak Bukit Pangala-
san. Sesampainya di sana
kedatangan mereka disam-
but dengan tatapan aneh dari
para anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti.
Pakaian mereka yang ter-
buat dari bahan mahal dengan
perhiasan emas mem-
buat takjub orang yang
memandangnya. Apalagi wajah
mereka cantik-cantik. Para
pemuda tak bosan membe-
lalakkan mata dengan mulut
terbuka.
"Kita jadi bahan perhatian,
Andini," kata Hek-
sani.
"Aku sudah tahu,"
sahut Andini.
"Wajah mereka kotor-kotor.
Jangan-jangan pe-
mimpin mereka berpenampilan
sama. Aku tak bisa
membayangkan Tuan Putri
Anggraini Sulistya yang
cantik jelita mendapat jodoh
lelaki dekil seperti itu...."
"Hush! Jangan ngawur!"
sergah Saptini menye-
la. "Kau lihat penampilan
remaja konyol yang baru kita
jumpai tadi?"
"Kenapa?" tanya
Heksani.
"Jangan menutupi perasaan
sendiri. Kau terta-
rik padanya, bukan?"
"Ngaco!"
"Hik-hik-hik...."
Saptini tertawa terkikik. "Keti-
ka Andini sedang berkata-kata
dengannya, bukankah
matamu tak pernah berkedip
memandang wajah rema-
ja konyol itu? Ehm.... Dia
memang tampan, Heksani.
Akui saja kalau kau
naksir!"
"Kau juga, bukan?"
sahut Purbawati.
"Apakah kau tidak?"
ucap Saptini.
Ganti Purbawati yang tertawa
terkikik.
"Yah, kita memang harus
mengakui remaja ko-
nyol yang baru kita jumpai di
lereng bukit sana berwa-
jah sangat tampan.
Tapi...."
"Tapi apa, Purbawati?"
Potong Andini.
"Walau remaja konyol itu
berpakaian penuh
tambalan, apakah dia anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti?"
"Aku yakin dia anggota
perkumpulan pengemis
di sini. Namun kalau melihat
penampilannya, dia tentu
punya jabatan yang lumayan
penting," sahut Saptini.
"Maksudmu, bisa jadi
pemimpinnya lebih tam-
pan dari dia?"
"Bisa begitu. Bisa juga
tidak."
"Maksudmu?" desak
Andini.
"Ah, sudahlah! Yang
penting, kita tahu kalau
ternyata tidak semua anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kotor-kotor."
"Kalau begitu, Tuan Putri
Anggraini Sulistya ti-
dak salah menaksir
pemimpinnya," jelas Andini.
"Yah, begitulah...."
Keempat wanita cantik itu
melangkahkan kaki
menuju sebuah rumah yang
berdinding batu. Andini
yang tertua di antara mereka,
menduga rumah itu
tempat tinggal pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Bangunannya
terlihat lebih kokoh dan
rapi dibanding yang lain.
Seorang kakek bongkok tampak
berjalan den-
gan bantuan sebatang tongkat.
Dia menghampiri para
dayang Anggraini Sulistya yang
sudah sampai di hala-
man rumah berdinding batu.
"Ada perlu apakah Nona-nona
Cantik ini datang
kemari?" tanya kakek
bongkok yang tak lain Gede Pan-
jalu.
Para wanita cantik itu segera
menjura memberi
hormat. Andini lalu melangkah
setindak ke depan.
"Kami hendak bertemu dengan
pemimpin perkumpu-
lan pengemis di sini,"
ujarnya mengatakan maksud ke-
datangannya.
Perkataan Andini disampaikan
dengan penuh
kerendahan. Ia melihat sosok
Gede Panjalu yang ber-
sorot mata tajam menunjukkan
kalau kakek bongkok
itu bukanlah tokoh sembarangan.
Apalagi para pemu-
da maupun orang tua yang
kebetulan lewat di sekitar
tempat itu tampak membungkukkan
badan memberi
hormat kepada Gede Panjalu.
Andini dan teman-
temannya menduga kakek bongkok
yang berdiri di ha-
dapannya tentulah sesepuh
Perkumpulan Pengemis
Tongkat sakti.
"Ehm... Suropatikah yang
kalian cari?" tanya
Gede Panjalu.
"Kami datang dari Kerajaan
Pasir Luhur. Jun-
jungan kami, Tuan Putri
Anggraini Sulistya, putri ba-
ginda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit, berkenan
menyampaikan sesuatu kepada
pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat
Sakti."
Gede Panjalu lalu mempersilakan
para dayang
Anggraini Sulistya untuk
memasuki rumah berdinding
batu.
"Kalian bicaralah sendiri
kepadanya...," kata
Gede Panjalu setelah sampai di
ruangan tengah. Kakek
bongkok itu kemudian melangkah
ke luar ruangan.
Andini dan teman-temannya
menatap sesosok
manusia berjubah hitam tengah
duduk di atas kotak
kayu besar menghadap dinding. Si
jubah hitam itu
sama sekali tak bergerak,
seperti sedang bersemadi.
Andini yang tak bisa melihat
wajah si jubah hi-
tam jadi ragu untuk berkata.
Tapi mengingat tugas
yang diembannya, dia
memberanikan diri.
"Tuan Pendekar...,"
panggil wanita cantik itu. Si
jubah hitam tetap diam di
tempatnya. Sepertinya dia
tak mendengar panggilan Andini.
"Tuan Pendekar...,"
ulang wanita cantik itu.
"Ehm.... Aku tidak tuli.
Kenapa kau memang-
gilku dua kali?!" kata si
jubah hitam dengan suara be-
rat dan penuh wibawa.
Para dayang Anggraini Sulistya
saling berpan-
dangan. Kemudian, pandangan mereka
kembali beralih
pada sosok manusia berjubah
hitam.
"Kami datang dari Kerajaan
Pasir Luhur," jelas
Andini. "Tuan Putri kami
yang bernama Anggraini Su-
listya dan bergelar Putri Cahaya
Sakti, berkenan me-
nyampaikan sesuatu kepada Tuan
Pendekar."
"Ehm.... Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya
Sakti. Siapa dia?"
"Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit"
"Cantikkah orangnya?"
Mendengar pertanyaan itu, Andini
berbisik-
bisik kepada tiga temannya.
Suasana di ruangan itu
jadi sedikit gaduh. Mendadak,
terdengar suara benta-
kan dari si jubah hitam.
"Kalian sangat tidak sopan!
Katakan pada jun-
jungan kalian itu kalau pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti menolak apa
yang hendak disam-
paikan kepadanya!"
Andini terkejut bukan main.
Teman-temannya
pun demikian. Rasa bersalah dan
takut terbayang jelas
di mata mereka. Keempatnya
serentak menjatuhkan
diri dan bersujud di lantai.
"Maafkan kami, Tuan
Pendekar...."
"Ehm.... Enak saja kalian
minta maaf! Kalian
telah menyinggung perasaan tokoh
nomor wahid yang
sudah kesohor sampai ke kolong
jagat. Tak hendak ha-
tiku memberi maaf kepada kalian.
Segeralah minggat
dari tempat ini!"
Para dayang Anggraini Sulistya
semakin terpu-
ruk dalam rasa bersalah. Karena
takut tak dapat men-
gemban tugas dengan baik, mereka
segera mengiba-
iba.
"Ampun kami, Tuan
Pendekar...," kata Andini
dengan suara bergetar.
"Bila Tuan Pendekar menolak
undangan Tuan Putri Anggraini
Sulistya, kami takut
akan mendapat hukuman
berat."
"Hah?! Apa katamu? Menolak
undangan?!" kata
si jubah hitam bernada keras.
"Kalian telah bersikap
tidak sopan. Junjungan kalian
tentu demikian pula
halnya. Pergilah kalian! Aku
menolak undangan jun-
jungan kalian itu!"
"Ampun... ampun, Tuan
Pendekar...," iba Andi-
ni. "Kami mohon dengan
sangat Tuan Pendekar tidak
menolak undangan Tuan Putri.
Kami akan melakukan
apa saja untuk menebus kesalahan
kami...."
"Benarkah itu?"
"Benar, Tuan
Pendekar."
"Tiga temanmu tidak
menjawab. Itu berarti aku
tetap menolak undangan junjungan
kalian," si jubah
hitam tetap bersikeras dengan
keinginannya. Teman-
teman Andini tampak pucat.
"Kami pun bersedia mela-
kukan apa saja untuk menebus
kesalahan," kata tiga
teman Andini kemudian dengan
serentak.
"Ehm.... Baiklah, kalau
begitu...," kata si jubah
hitam dengan suara lebih ringan.
"Di lereng bukit ini
ada sebuah sungai kecil. Kalau
kalian benar-benar in-
gin menebus kesalahan,
menceburlah kalian di sana.
Jangan buka pakaian. Kedatangan
kalian kembali ke
sini harus dalam keadaan basah
kuyup. Kuberi waktu
kepada kalian sepuluh hitungan.
Cepat! Satu...,
dua...."
Mendengar itu, para dayang
Anggraini Sulistya
langsung melompat ke luar
ruangan. Tubuh mereka
berkelebat cepat laksana dapat
menghilang. Keempat-
nya berlari menuju sungai kecil di lereng bukit.
Tak
lama kemudian, mereka telah
kembali dalam keadaan
basah kuyup. Air menetes-netes
dari ujung-ujung pa-
kaian mereka.
Si jubah hitam terdengar masih
menghitung.
"Enam belas..., tujuh
belas..., delapan belas...."
"Kami sudah datang, Tuan
Pendekar...," lapor
Andini.
"Kalian terlambat. Jadi,
percuma saja usaha
kalian itu. Pergilah kalian. Aku
mau melanjutkan se-
madiku!"
Kembali para dayang Anggraini
Sulistya menja-
tuhkan diri ke lantai.
"Ampuni kami, Tuan
Pendekar...," kata mereka
serentak. "Beri kami
kesempatan sekali lagi."
"Baik. Tapi, kalian harus
tahu, hanya orang-
orang yang berkepandaian tinggi
yang dapat mengun-
dangku. Karena aku tidak tahu
tingkat kepandaian
junjungan kalian, aku mengukur
kepandaian kalian
saja. Bagaimana?"
"Kami bersedia, Tuan
Pendekar...," kata Andini
dan ketiga temannya bersamaan.
"Kuberi sepuluh hitungan
lagi. Keringkan baju
kalian!"
Sebelum si jubah hitam menyebut
angka bilan-
gan, para dayang Anggraini Sulistya
segera menang-
galkan pakaian mereka dengan
terpaksa. Dalam kea-
daan telanjang dan penuh malu,
mereka mengibas-
ngibaskan telapak tangan yang
dialiri tenaga dalam ke
permukaan pakaian yang telah
diletakkan di lantai.
Si jubah hitam yang sedang
menghitung terke-
jut merasakan hawa panas
menjalar ke seluruh ruan-
gan. Namun, dia berusaha menekan
rasa terkejutnya.
Disalurkannya hawa murni ke
sekujur tubuh untuk
melindungi dari hawa panas.
"Tujuh..., delapan...,
sembilan..., sepuluh! Nah,
waktu kalian sudah habis!"
kata si jubah hitam.
"Pakaian kami sudah kering,
Tuan Pendekar.
Eh...."
Andini dan ketiga temannya kaget
bukan main.
Sosok manusia berjubah hitam
sudah tak ada lagi di
tempatnya. Sambil membenarkan
pakaian yang kedo-
doran, mereka celingukan
mencari-cari si jubah hitam.
"He-he-he...!"
Terdengar suara tawa terkekeh.
Para dayang
Anggraini Sulistya mendongak.
Terlihatlah oleh mereka
sosok si jubah hitam sedang
duduk di kayu penopang
atap ruangan.
Mata Andini dan ketiga temannya
mendelik.
Mereka baru menyadari kalau
telah diintip ketika se-
dang mengeringkan pakaian.
Padahal ketika itu mere-
ka dalam keadaan telanjang!
Namun, mereka tak be-
rani berkata apa-apa. Hanya
menatap punggung si ju-
bah hitam yang duduk menghadap
sekat atas ruan-
gan.
"Turunlah, Tuan
Pendekar...," kata Andini ke-
mudian. "Kami sudah menebus
kesalahan."
"Baik. Aku turun...."
Usai mengucapkan kalimatnya, si
jubah hitam
menanggalkan jubahnya.
Dilemparkannya jubah itu ke
arah Andini dan ketiga temannya.
Wuuusss...!
Empat wanita cantik itu terkejut
melihat jubah
hitam berubah menjadi seekor
naga! Walau tak sebe-
rapa besar, namun wujud naga itu
cukup mengerikan.
Lidahnya yang bercabang dan
berwarna merah terjulur
keluar. Taringnya putih
mengkilat setajam mata tom-
bak. Matanya melotot penuh
kemarahan!
Belum hilang keterkejutan empat
dayang
Anggraini Sulistya, si naga
telah menyerang dengan
semburan api. Wanita-wanita
cantik itu mempunyai
kepandaian yang cukup tinggi,
maka dengan sigap me-
reka dapat menghindari serangan.
Si naga segera melentingkan
tubuhnya. Ekor-
nya yang panjang berusaha
menjerat Andini dan te-
man-temannya. Sekali lagi,
keempat wanita cantik itu
dapat menghindari serangan.
"'Cahaya Empat Penjuru
Angin'...!" teriak Andi-
ni memberi aba-aba.
Wanita-wanita cantik itu melejit
ke atas. Ketika
masih melayang di udara, mereka
menyorongkan tela-
pak tangan. Empat sinar perak
meluncur deras ke
arah si naga!
Blaaash...!
Empat sinar perak yang keluar dari
telapak
tangan kanan dayang-dayang
Anggraini Sulistya itu
tepat menghantam kepala ular
naga. Tubuh satwa itu
langsung terhempas ke lantai dan
tak bergerak-gerak
lagi.
Suatu keanehan terjadi,
perlahan-lahan wujud
ular naga berubah menjadi jubah
hitam yang koyak-
koyak dan hampir hancur.
"Sihir...!" gumam
keempat dayang Anggraini
Sulistya.
"Ha-ha-ha...!"
Terdengar suara tawa
berkepanjangan. Andini
dan ketiga temannya mendongak.
Terlihat oleh mereka
seorang remaja tampan berpakaian
penuh tambalan
sedang duduk ongkang-ongkang
kaki di kayu atap.
Wanita-wanita cantik itu
terperangah. Remaja tampan
yang sedang tertawa senang itu
tak lain yang mereka
temui di lereng bukit.
"Jadi... jadi memang benar
kau Suropati...," ka-
ta Andini sedikit tergagap.
Si remaja tampan meloncat turun.
"Di lereng
bukit sana sudah kukatakan kalau
aku Suropati yang
bergelar Pengemis Binal. Kenapa
kalian tidak percaya?
Sekarang baru tahu rasa!"
ujar tenang.
Para dayang Anggraini Sulistya
mendelik. Na-
mun, mereka tak berani berbuat
macam-macam. Ta-
kut pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
itu akan menolak undangan
junjungan mereka. Walau
dengan hati dongkol, karena
merasa dipermainkan,
Andini dan ketiga temannya
segera menjura. Si remaja
tampan yang memang Suropati itu
tak membalas
penghormatan mereka. Bahkan
suara tawa kembali
keluar dari mulutnya.
"Kenapa Tuan Pendekar
tertawa-tawa? Apakah
ada yang lucu?" tanya
Purbawati.
Suropati mengerling.
"Ehm.... Kalian berempat
sungguh cantik. Aku tak bisa
membayangkan bagai-
mana kecantikan junjungan kalian
yang bergetar Putri
Cahaya Sakti. Apakah benar-benar
secantik bidadari?
Atau, malah lebih cantik? Ah,
belum tentu! Walau
dayang-dayangnya cantik, tidak
menjamin junjungan-
nya lebih cantik. Bagaimana
kalau lebih jelek? Tua,
kurus kering, keriputan,
cerewet, penyakitan.... Wuih!
Bagaimana, ya? Kalau begitu, aku
tak sudi."
Mendengar ucapan Suropati yang
seperti orang
kehilangan ingatan, Andini dan
ketiga temannya saling
berpandangan. Mereka pikir,
mungkin pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini punya penyakit
rada gila!
"Hei! Kenapa kalian cuma
bengong?!" bentak
Pengemis Binal tiba-tiba.
"Sebelum aku menerima un-
dangan junjungan kalian, coba
katakan bagaimana
wujud junjungan kalian
itu!"
Andini maju selangkah.
"Sudah kami katakan
kalau junjungan kami adalah
putri Baginda Prabu
Singgalang Manjunjung Langit,
Raja Kerajaan Pasir
Luhur. Tentu saja junjungan kami
itu cantik jelita. Le-
bih cantik dari kami semua
ini."
"Ha-ha-ha...!"
Suropati tertawa bergelak.
Namun, suara ta-
wanya segera tersekat di
tenggorokan. Dia mendengar
Andini dan ketiga temannya
mengikuti tawanya.
"Kenapa kalian
tertawa?!" bentak Pengemis Bi-
nal.
"Tuan Pendekar lucu,"
sahut Andini.
"Apanya yang lucu?"
"Itu...," Andini
menuding.
Suropati melihat ke bawah. Dan,
terkejutlah
dia. Celana yang dia pakai
ternyata robek di bagian
depan.
Buru-buru Pengemis Binal menarik
celananya
lebih ke atas.
"Diam...!" bentak remaja tampan tapi konyol
itu.
Andini dan ketiga temannya yang
masih terta-
wa cekikikan kontan terdiam,
lalu menjura beberapa
kali. Sementara Suropati
berkelebat cepat lenyap ke
ruang dalam untuk mengganti
celananya.
3
Siraman cahaya mentari menerpa
Kapal Raja-
wali yang berlabuh di Pantai
Pasir Putih. Ombak kecil
yang ditimbulkan oleh hembusan
angin laksana men-
gusap-usap. Tubuh kapal
bergerak-gerak pelan mem-
buai para penumpangnya.
Dikelilingi para dayang,
Anggraini Sulistya du-
duk di kursi pendek di atas
geladak. Mata Anggraini
Sulistya yang tertutup sehelai
kain hitam menerawang
jauh.
"Kenapa Tuan Putri sedari
tadi diam saja?"
tanya salah seorang dayang
memberanikan diri. Dico-
banya untuk mengalihkan pikiran
Anggraini Sulistya.
"Pada hari siang secerah
ini, alangkah indahnya bila
melantunkan petikan kecapi. Akan
hamba ambilkan
alat musik Tuan Putri. Hamba
bersama dayang-dayang
yang lain tentu akan senang
mendengarkan tembang-
tembang yang Tuan Putri
mainkan...."
Putri Cahaya Sakti mengangguk
lemah. Si
dayang segera berlalu. Tak lama
kemudian, dia kemba-
li dengan menenteng sebuah
kecapi berwarna kuning
keemasan. Anggraini Sulistya
menerima alat musik ke-
sayangannya itu. Dielus-elusnya
sebentar, sebelum
memetik dawai-dawai kecapi
dengan jemari tangannya
yang lentik.
Sebuah irama mengalun syahdu
laksana buluh
perindu. Getarannya menyusup ke
sanubari. Diiringi
desau angin yang terdengar lamat-lamat,
petikan ke-
capi Putri Cahaya Sakti terus
berkumandang.
Pilu hati terlalu lama menunggu
Bila tak datang, sayatan sembilu
perihkan kalbu
Mohon Dewata Agung, turunkan
karsa-Mu
Cepatlah datang wahai utusanku
Datang menghadap, sembuhkan
rindu
Sendu luruh, penantian panjang
pun berlalu
Begitu usai Anggraini Sulistya
melantunkan
tembang, salah seorang dayangnya
berkata, "Andini
dan ketiga dayang lainnya sedang
menuju kemari,
Tuan Putri."
Putri Cahaya Sakti langsung
berdiri dari tempat
duduknya. Matanya yang tertutup
kain hitam berusa-
ha melihat bentangan garis
pantai. Walau mata lahir
gadis cantik itu hanya
mendapatkan kegelapan, na-
mun mata batinnya dapat
menangkap gerakan manu-
sia yang sedang menuju kapalnya.
Puluhan tombak dari kapal tampak
empat
dayang Anggraini Sulistya
berlari-lari. Keempat wanita
cantik itu memegang selembar
kain lebar bergaris kun-
ing dan merah. Kain yang
dibentangkan di atas bahu
itu terlihat mengejang. Seorang
remaja tampan berpa-
kaian penuh tambalan duduk
bersila di atasnya. Dia
adalah Suropati atau si Pengemis
Binal.
Dalam duduknya, mata remaja
konyol itu tam-
pak terpejam. Tubuhnya sama
sekali tak bergeming.
Keadaan demikian cukup dijadikan
gambaran akan ke-
tinggian ilmunya. Karena,
apabila yang duduk di atas
tandu kain adalah orang biasa,
tubuhnya akan terlon-
tar oleh terpaan angin yang
timbul dari cepatnya lang-
kah kaki Andini dan ketiga
temannya.
Jarak antara garis pantai dengan
kapal pulu-
han tombak. Tapi, hanya beberapa
kejapan mata telah
dilalui empat dayang Anggraini
Sulistya. Melalui sen-
takan lembut pada permukaan
pasir, tubuh wanita-
wanita cantik itu melayang lalu
mendarat di atas gela-
dak kapal.
"Lepas!"
Andini memberi aba-aba. Ketiga
temannya
langsung melepas ujung kain yang
dipegang. Perlahan-
lahan tubuh Suropati turun ke
geladak, seperti ada
kekuatan kasatmata yang menopang
dari bawah. Tidak
ada suara yang timbul ketika
kakinya yang duduk ber-
sila menyentuh geladak.
Melihat pertunjukan ilmu
peringan tubuh yang
sedemikian hebat, para dayang
Anggraini Sulistya ber-
decak kagum, termasuk Anggraini
Sulistya sendiri.
Gadis cantik itu dapat
mengetahui apa yang terjadi di
atas geladak kapalnya lewat mata
batin.
"Hamba telah melaksanakan
perintah," kata
Andini yang berdiri berjajar
dengan ketiga temannya.
"Suropati...," desis
Anggraini Sulistya.
"Benar, Tuan Putri. Remaja
yang hamba hadir-
kan di sini adalah Suropati,
Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti."
Mendengar penuturan dayangnya,
Putri Cahaya
Sakti mendongak seraya
mengangkat kedua tangan-
nya. "Terima kasih Dewata
Agung. Telah kau hadirkan
jejaka pujaan hatiku. Kini,
sudah saatnya aku melepas
sumpah...."
Perlahan-lahan gadis cantik itu
membuka kain
hitam yang menutupi matanya. Dia
mengerjap-ngerjap
sebentar untuk menghilangkan
bayangan hitam yang
masih mengabuti pandangan.
Anggraini Sulistya lalu
memberi isyarat kepada
dayang-dayangnya. Para wani-
ta cantik itu segera melangkah
ke pagar sisi kapal. Me-
reka berdiri di sana menatap
laut lepas.
Anggraini Sulistya memandang
wajah Suropati
tanpa berkedip. Sedangkan remaja
tampan itu masih
duduk bersila dengan mata
terpejam rapat. Kedua tan-
gannya menekan lutut.
"Suropati...," desis
Putri Cahaya Sakti.
Tak ada tanggapan yang
ditunjukkan Pengemis
Binal. Anggraini Sulistya
menatap wajah remaja konyol
itu lebih dalam. Dia sungguh tak
menyangka jejaka
pujaan hatinya masih berusia
begitu muda, sekitar de-
lapan belas tahun.
"Pergi kau! Keparat...!"
Mendadak, Suropati mengumpat.
Tentu saja
Anggraini Sulistya terkejut.
Dengan penuh rasa heran,
gadis cantik itu menatap
Pengemis Binal yang sedang
menggaruk-garuk kepalanya.
"Siapa yang kau suruh
pergi?" tanya Anggraini
Sulistya.
"Nenek Bawel," jawab
Suropati tanpa membuka
mata.
"Di sini tidak ada nenek
bawel."
"Nenek yang agak
bawel?"
"Juga tidak ada."
Pengemis Binal membuka matanya.
Diperhati-
kannya Anggraini Sulistya
sebentar. Lalu kepalanya
celingukan seperti mencari-cari
sesuatu. Tak menda-
patkan apa yang dicari, dia
menggaruk-garuk kepala.
"Uh! Rupanya aku sedang
bermimpi," keluh Su-
ropati kesal.
"Apa katamu?" tanya
Putri Cahaya Sakti.
Suropati menatap wajah gadis
cantik itu dalam-
dalam. "Ehm.... Alangkah
cantiknya...," gumamnya pe-
lan. "Apakah kau yang
menulis undangan di kulit rusa
yang beraroma harum?"
"Ya. Aku Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya
Sakti. Sebaiknya kita bicara di
ruang dalam...."
Anggraini Sulistya melangkah ke
ruangan besar
yang terletak di tengah kapal.
Sambil menggaruk-
garuk kepalanya Suropati
berjalan mengikuti. Tiba-tiba
saja perasaan remaja konyol itu
tak enak. Tidak seperti
biasanya kalau berjumpa dengan
gadis cantik.
Perjumpaannya dengan Anggraini Sulistya
membuat hati Pengemis Binal
berdebar-debar aneh.
Debaran itu begitu kuat. Dan,
remaja konyol ini sung-
guh tak tahu mengapa hal
demikian terjadi. Yang jelas,
debar-debar itu bukan disebabkan
oleh dorongan naf-
su.
"Aneh...," kata
Suropati dalam hati. "Tidak se-
perti biasanya aku merasakan hal
ini. Sepertinya aku
pernah berjumpa dengan gadis
cantik yang bernama
Anggraini Sulistya itu. Namun,
kenyataannya tidak.
Aku belum pernah berjumpa
dengannya. Tapi, kenapa
aku merasa sudah pernah
berjumpa? Apakah dalam
mimpi? Perasaanku mengatakan dia
adalah seseorang
yang sangat dekat dalam hidupku.
Apakah ini meru-
pakan firasat? Ah, aku tak
tahu...."
"Masuklah! Kenapa bengong
di depan pintu?"
Perkataan Anggraini Sulistya
memutuskan la-
munan Suropati. Buru-buru dia
melangkah masuk.
Setelah duduk di atas permadani
lembut, remaja ko-
nyol itu mengedarkan pandangan.
Banyak hiasan-
hiasan indah tergantung di
dinding ruangan. Pandan-
gan remaja konyol itu beralih
pada sosok Anggraini Su-
listya yang sedang menuang
anggur pada gelas emas.
"Seorang gadis yang sangat
luar biasa cantik-
nya...,." desis Suropati.
"Tapi, kenapa perasaan tak
enak ini masih mengikutiku
terus? Apakah ini firasat
buruk?"
***
Sementara itu, di tengah
samudera sesosok
manusia tampak berkutat melawan
maut. Belasan
ekor ikan hiu meluncur cepat
mengejar sosok manusia
yang sedang berenang. Ia
berpakaian serba hijau dan
berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Berwajah tam-
pan, namun sinar matanya
menggambarkan kemara-
han yang meluap-luap. Dia adalah
Saka Purdianta
atau Dewa Guntur. Rupanya,
hantaman kekuatan ka-
satmata dari Kecapi Maut milik
Anggraini Sulistya tak
membuat pemuda tampan itu mati.
Hanya, tubuhnya
terpental dan tercebur ke dalam
laut.
Sudah seharian penuh Saka
Purdianta bere-
nang untuk mencapai pantai. Dan,
puluhan ekor ikan
hiu yang hendak memangsanya
telah mati di tangan
pemuda berkepandaian tinggi itu.
"Hiu-hiu keparat!"
umpat Saka Purdianta. "Se-
jak kemarin kalian hanya
menggangguku saja!"
Mendadak, pemuda tampan itu
menghentikan
gerakan tubuhnya yang sedang
berenang. Dengan si-
nar mata berkilat tajam
ditunggunya kedatangan bela-
san hiu yang sedang mengejar.
Bersamaan dengan da-
tangnya gulungan ombak besar,
belasan ikan pemang-
sa daging itu meluncur cepat.
Saka Purdianta menya-
lurkan tenaga dalam ke kedua
telapak tangan, lalu di-
pukulnya permukaan air.
Gulungan ombak setinggi pohon
kelapa terdo-
rong ke belakang. Tubuh belasan
ekor hiu terlontar ke
atas. Sebelum jatuh ke air, Dewa
Guntur telah mengi-
baskan kedua telapak tangannya.
Serangkaian angin
pukulan membuat tubuh belasan
ekor hiu terlontar ke
atas kembali. Kali ini dalam
keadaan hancur. Saat ter-
cebur ke air, darah menyebar
cepat!
"Rasakan, Keparat!"
hardik Saka Purdianta se-
raya menatap bangkai belasan hiu
yang berceceran.
Kemudian, dia meneruskan
usahanya untuk mencapai
pantai.
Pemuda tampan itu terus berenang
tanpa ber-
henti. Tiba-tiba Dewa Guntur
menjerit keras. Luapan
rasa gembira meledak-ledak dalam
dadanya. Dari ke-
jauhan terlihat olehnya Kapal
Rajawali milik Anggraini
Sulistya.
"Pantai!" teriak
pemuda tampan itu. "Aku akan
segera menemukan pantai.
Berakhirlah semua siksaan
ini!"
Dengan semangat menggebu-gebu,
Saka Pur-
dianta mempercepat gerakan
tangan dan kakinya. Tu-
buhnya melesat cepat melebihi
kecepatan renang ikan
hiu.
***
"Suro...," panggil
Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini."
"Bersediakah kau bila aku
mengajak mu pergi
ke istana Kerajaan Pasir
Luhur?"
"Untuk apa?" tanya
Suropati tak mengerti.
"Menghadap Ayahanda Prabu
Singgalang Man-
junjung Langit. Atas persetujuan
beliau, kita menikah,
Suro..."
"Apa?"
Pengemis Binal terkejut bukan
main mendengar
ucapan Putri Cahaya Sakti. Tak
pernah terlintas di be-
nak remaja konyol itu dia akan menikah. Kemudian,
terikat dalam urusan rumah
tangga.
"Kenapa kau terkejut,
Suro?" tanya Anggraini
Sulistya. "Apakah kau
menolak permintaanku?"
"Ah, tidak...."
"Kalau begitu, kau
menerima?" wajah Anggraini
Sulistya tampak berbinar.
"Juga tidak. Aku...
aku...."
Melihat Suropati yang gelagapan,
Putri Cahaya
Sakti tertunduk. Sedari tadi
ucapannya hanya ditimpa-
li Pengemis Binal dengan
jawaban-jawaban singkat. Bi-
la tak ditanya, remaja tampan
itu tak berucap. Melihat
jejaka pujaan hatinya bersikap
seperti orang linglung,
timbul pertanyaan dalam hati
Anggraini Sulistya.
"Tampaknya Suropati tidak
menyukaiku. Ha-
ruskah aku paksakan kehendakku kepadanya?
Ah,
untuk datang ke wilayah Kerajaan
Anggarapura ini sa-
ja aku telah menyimpan rasa malu
yang dalam. Seba-
gai putri raja, sebetulnya
sangat memalukan mengelu-
arkan perasaan hati kepada
seorang jejaka miskin se-
perti Suropati. Tapi, kenapa aku
sangat merindukan
kehadirannya? Apakah karena
keharuman namanya?
Atau, barangkali karena sesuatu
yang aku sendiri tak
tahu?"
Melihat Anggraini Sulistya yang
tertunduk di-
am, Suropati ikut-ikut
tertunduk. "Aneh...," pikirnya.
"Debar-debar dalam hatiku
semakin terasa. Aku jadi
tak tahu apa yang harus
kulakukan. Mungkinkah ga-
dis cantik ini mempunyai
kekuatan batin yang bisa
membuat orang jadi linglung?
Atau, aku saja yang
canggung karena tak pernah
berjumpa dengan putri
seorang raja?"
Lama Anggraini Sulistya dan
Suropati larut da-
lam pikiran masing-masing.
Suropati yang biasanya
bersikap konyol dan urakan
mendadak jadi sangat
alim. Dia sangat mengagumi
kecantikan Anggraini Su-
listya, tapi kenapa dia menolak
ketika gadis itu hendak
mengajaknya ke istana Kerajaan
Pasir Luhur? Bukan-
kah menikah dengan putri tunggal
seorang raja akan
membawa kemewahan yang melimpah
ruah?
"Suro...," panggil
Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini."
"Kau menolak permintaanku,
bukan?"
"Ah, bagaimana, ya?"
Suropati kebingungan
sendiri.
"Katakan terus terang,
Suro. Itu lebih baik."
"Aku takut menyinggung
perasaanmu, Aini.
Sungguh, aku ingin bersahabat
denganmu. Tapi bukan
menikah...."
Putri Cahaya Sakti tersentak.
Pipinya merona
merah. Sinar matanya mendadak
jadi sayu. Perlahan-
lahan air mata bergulir turun.
Gadis cantik itu lalu
mendekap wajahnya. Dia melepas
kekecewaannya me-
lalui tangis.
Suropati yang merasa kelepasan
bicara ikut ter-
tunduk. Melihat Anggraini
Sulistya terpuruk dalam ra-
sa sedih, rasa sesal menghantam
dadanya.
"Maafkan aku,
Aini...," kata Pengemis Binal.
"Bukan maksudku membuatmu
sedih. Namun, kau
harus mengerti. Aku tak dapat
meninggalkan Kerajaan
Anggarapura. Aku juga mempunyai
sebuah perkumpu-
lan yang masih membutuhkan
tenagaku. Kau harus
mengerti, Aini...."
Putri Cahaya Sakti mengangkat
wajah. Dis-
ekanya air mata dengan ujung
lengan baju.
"Sebuah perkumpulan besar
tentu dipimpin
oleh seorang tokoh pilih
tanding. Keharuman nama
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti sudah sampai
ke Kerajaan Pasir Luhur. Hari
ini aku ingin menjajal
kepandaian pemimpinnya...."
Cepat gadis cantik itu
membalikkan tubuh. Se-
buah tendangan dilancarkan.
Suropati yang tak mau
kepalanya menjadi sasaran segera
menggerakkan tan-
gan.
Dhuk...!
Tanpa disangka, benturan
pergelangan tangan
kanannya dengan kaki Anggraini
Sulistya membuat
tubuh Suropati terguling, lalu
membentur dinding
ruangan.
"Kenapa kau menyerangku,
Aini?" tanya Suro-
pati.
"Sudah kubilang, aku ingin
menjajal kepan-
daian Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti!"
***
Emoticon