Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Sengketa Orang-orang Berkerudung
128 hal.
1
Pemuda tampan berpakaian putih
kuning itu
menatap lekat wajah gadis yang
berdiri di sisi kanan-
nya. Hembusan angin pantai
mempermainkan anak-
anak rambut si gadis. Pakaian
putihnya ikut berkibar-
kibar. Di depan sana, terlihat
perkampungan nelayan
sudah mengawali kegiatannya
sejak pagi buta tadi. Se-
bagian nelayan tampak telah
kembali ke rumah, hari
memang sudah menjelang siang.
Itu berarti pekerjaan
menangkap ikan di laut usai
sudah.
"Aini...," panggil si
pemuda. "Pandangan matamu
memang tertuju ke keramaian di
sana, tapi aku tahu
semua itu tak mempunyai arti
apa-apa. Karena suasa-
na hatimu mengalahkan
segalanya."
Gadis cantik yang bernama
Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya Sakti itu
tetap berdiri terpaku di
tempatnya. Pandangannya lurus
ke depan. Teriakan
anak-anak yang sedang bermain
terdengar ramai. Me-
reka berloncatan penuh
kegembiraan. Beberapa dari
mereka berlari-lari sambil
menyeret mainan kayu yang
terbuat dari batang pohon
kelapa.
"Aini..," panggilan
pemuda lagi "Dari Pantai Pasir
Putih wilayah Kerajaan
Anggarapura, hampir sepekan
penuh kita berlayar. Setelah
sampai di Kerajaan Pasir
Luhur ini, mestinya kau gembira,
Aini. Di atas kapal
kau selalu menceritakan tentang
kerinduanmu pada
ayah dan ibundamu,..."
"Maruta...," potong
Anggraini Sulistya. "Kebaha-
giaan rasanya sudah terpampang
jelas di depan mata-
ku. Ayah dan ibundaku tentu akan
sangat gembira
menyambut kedatanganku. Namun,
kebahagiaan itu
belum lengkap karena Suropati
tidak datang ke istana.
Ayahanda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit dan
Ibunda Sekar Tunjung Biru hanya
akan menerima ka-
bar bahagia, tapi sumber
kebahagiaan itu tidak ada.
Ah, seandainya Suropati bersedia
ikut menghadap
Ayahanda Prabu...."
Mendengar Anggraini Sulistya
mendesah, pemu-
da berwajah lembut yang bernama
Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang ini
tampak mengelam paras-
nya. Sejak dia mengenal putri
Prabu Singgalang Man-
junjung Langit itu, timbul
getar-getar aneh yang selalu
mengusik kalbunya. Getar-getar
aneh itu tak dapat di-
gambarkan dengan kata-kata.
Tapi yang jelas, Raka Maruta tak
bisa membiar-
kan Anggraini Sulistya terbawa
larut dalam rasa sedih.
Ada saja yang dia lakukan untuk
gadis cantik itu. Me-
mang, banyak sudah pengorbanan
Raka Maruta terha-
dap Anggraini Sulistya. Sampai
sekarang ini dia berse-
dia mengantarkan gadis itu
kembali ke Istana Pasir
Luhur, setelah beberapa pekan
lamanya Anggraini Su-
listya berada di wilayah
Kerajaan Anggarapura.
"Aini..., Suropati adalah
seorang pemimpin. Tentu
saja dia harus memikul tanggung
jawab dan kewaji-
bannya sebagai pemimpin,"
tutur Raka Maruta. "Di
Pantai Pasir Putih, Suropati
mengatakan dia masih
mempunyai urusan di kota
Kadipaten Bumiraksa. Ke-
mungkinan besar anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti sedang menghadapi
masalah pelik. Itu
pasti membutuhkan uluran tangan
Suropati. Tapi aku
yakin, setelah Suropati berhasil
mengatasi masalah-
nya, dia pasti akan menyusul
kita. Karena itu kau tak
perlu bersedih, Aini. Suropati
pasti datang menghadap
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. Masalahnya
hanya terbentur pada
waktu."
"Justru itu yang menjadi
pikiranku, Maruta. Aku
pun yakin Suropati pasti akan
menyusul kita. Tapi ka-
pan? Sepekan lagi? Sebulan lagi?
Setahun?"
"Aini.., Aini...,"
Pendekar Kipas Terbang ikut ter-
bawa perasaan sedih Putri Cahaya
Sakti. "Kita me-
mang tak tahu apa yang akan
terjadi esok hari, tapi ki-
ta boleh saja berharap.
Mudah-mudahan saja Suropati
akan segera menyusul
kita...."
Anggraini Sulistya menyibak
anak-anak rambut
yang menutupi wajahnya. Begitu
pandangannya tak
terhalang, dia membalikkan
badan. Dipandangnya
kapal yang telah tertambat, yang
baru saja mengan-
tarkan mereka untuk mencapai
wilayah Kerajaan Pasir
Luhur ini. Layar kapal yang
berwarna merah sudah di-
gulung depan rapi. Ombak kecil
pantai tak mampu
menggoyangkan lambung kapal.
Sementara di kejau-
han terlihat puluhan perahu
layar kecil bertebaran di
tengah laut. Udara mulai terasa
panas, ketika mentari
semakin beranjak naik
Anggraini Sulistya menerawang ke
bentangan ka-
ki langit sebelah selatan. Raka
Maruta segera menyen-
tuh bahu kiri gadis itu. Dia tak
mau Anggraini Sulistya
terbawa terus dalam lamunannya.
"Aini, perjalanan kita
masih jauh. Sebaiknya kita
segera mencari kuda," cetus
Pendekar Kipas Terbang.
Anggraini Sulistya tetap
mengarahkan pandan-
gannya ke tempat semula. Nun
jauh di sana dia seperti
melihat bayangan Suropati.
Anggraini Sulistya melam-
baikan tangannya. Suropati
tampak tersenyum. Sete-
lah membalas lambaian tangannya,
mendadak bayan-
gan Suropati lenyap.
"Ah...," desah Putri
Cahaya Sakti.
"Kau melamun lagi,
Aini...," bisik Pendekar Kipas
Terbang.
Anggraini Sulistya bukannya tak
tahu kebaikan
Raka Maruta, tapi entah kenapa,
hanya sosok Suropa-
tilah yang selalu membayang
dalam benaknya. Bayan-
gan Pengemis Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
itu tak pernah lepas barang
sekejap pun! Terus mele-
kat dalam ingatannya.
"Aini...!" panggil
Pendekar Kipas Terbang, agak
keras.
Putri Cahaya Sakti sekilas
memandang wajah
pemuda di sampingnya. Setelah
itu dia kembali me-
mandang perahu-perahu layar
kecil yang bertebaran di
tengah laut.
"Bila kau mau menunggu di
sini, akan kucarikan
kuda untukmu. Kau bisa
melanjutkan perjalanan seo-
rang diri. Karena, tampaknya
diriku sudah tak kau bu-
tuhkan lagi...."
Mendengar ucapan Raka Maruta,
Anggraini Su-
listya tercekat. Dia seperti
baru tersadar dari keadaan
mereka. Buru-buru dia mencegah
ketika Raka Maruta
hendak beranjak dari tempatnya.
"Kau mau ke mana,
Maruta?"
"Mencari kuda untukmu.
Setelah itu aku akan
kembali ke negeri kelahiranku,
Kerajaan Saloka Me-
dang," sahut Pendekar Kipas
Terbang bernada sedih.
Anggraini Sulistya mencekal
lengan Raka Maruta.
"Kau marah padaku?"
bisiknya dengan suara lembut
Pendekar Kipas Terbang
menggeleng. "Lalu, ke-
napa kau mau kembali ke negeri
asalmu?"
"Bila di negeri orang sudah
tak ada lagi yang bisa
dikerjakan, negeri kelahiran
layak dirindukan. Mung-
kin sekali tenaga dan pikiranku lebih dibutuhkan
di
sana."
"Benar kau tidak marah
padaku?" Anggraini ingin
menegaskan.
Pendekar Kipas Terbang
menggelengkan kepa-
lanya kembali. "Aku tidak
punya alasan untuk menja-
tuhkan amarah kepadamu, Aini.
Tapi, aku harus tahu
diri...."
"Tahu diri bagaimana?"
"Aku telah mengantarmu
pulang ke negeri Pasir
Luhur ini. Sudah tak ada lagi
yang dapat kukerjakan
untukmu. Bukankah itu berarti
pintu perpisahan telah
menyambut kedatanganku?"
"Tidak, Maruta...,"
Putri Cahaya Sakti mengge-
lengkan kepala perlahan.
Ditatapnya wajah Pendekar
Kipas Terbang lekat-lekat.
"Budi baikmu tak mungkin
dapat kubalas. Tanpa
pengorbananmu, tak mungkin
aku dapat menjejakkan kaki di
tanah kelahiranku ini.
Aku berhutang nyawa padamu.
Untuk itu, aku akan
memperkenalkan kau pada Ayahanda
Prabu. Barang-
kali saja beliau berkenan
memberikan...."
"Aini...!" bentak
Pendekar Kipas Terbang, memo-
tong kalimat Anggraini Sulistya.
"Aku sama sekali tak
mengharapkan balas budi darimu.
Aku tak mengha-
rapkan hadiah apa-apa dari
ayahmu. Kau salah men-
gerti, Aini! Aku...."
Tiba-tiba kepala Raka Maruta
tertunduk dalam.
Dia tersinggung mendengar ucapan
Putri Cahaya Sakti
barusan. Dan sebelum gadis
cantik berambut pendek
itu menyadari kesalahannya, Raka
Maruta telah beran-
jak dari sisinya. Lalu berlari
cepat tanpa menoleh lagi.
Pemuda itu berlari membawa
kekecewaan hatinya.
"Maruta...!" pekik
Putri Cahaya Sakti.
Panggilan itu sama sekali tak
dipedulikan Pende-
kar Kipas Terbang. Dia terus
berlari cepat. Sebentar
saja bayangannya telah hilang
dari pandangan.
"Maruta...," gumam
Anggraini Sulistya kepada di-
ri sendiri. "Maafkan aku,
Maruta...."
Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu
menatap gumpalan awan perak di
latar langit biru.
Samar-samar terlihat bayangan
Suropati di sana. Re-
maja tampan itu mengenakan
pakaian kebesaran seo-
rang pangeran. Berdiri dengan
senyum mengembang di
bibir. Tampak gagah sekali.
Sebelum Anggraini Sulistya
sempat melambaikan
tangannya, bayangan Pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu keburu
lenyap. Sebagai gantinya,
bayangan Raka Marutalah yang
muncul. Pemuda itu
mengenakan pakaian
compang-camping. Keadaan tu-
buhnya sangat mengenaskan.
Selain kotor, juga kurus
kering. Wajahnya muram penuh
kedukaan. Rasa sedih
jelas tersirat dari pancaran
matanya. Gambaran ini
menimbulkan rasa iba dalam diri
Anggraini Sulistya.
"Maafkan aku,
Maruta...," desah Anggraini. "Bu-
kan maksudku untuk menyinggung
perasaanmu. Kau
sangat baik. Hanya, perasaanmu
saja yang terlalu pe-
ka. Mudah-mudahan Tuhan masih
berkenan memper-
temukan kita. Agar aku bisa
menebus kesalahanku
ini...."
Putri Cahaya Sakti melangkah
perlahan sambil
menyaruk-nyaruk butiran pasir.
Orang-orang yang
menaruh perhatian padanya
sedikit pun tak dipeduli-
kan. Dia terus berjalan dengan
pandangan lurus ke
depan.
***
Mata Raka Maruta berkaca-kaca.
Pandangannya
jadi kabur. Namun, dia tak mau
menghentikan larinya.
Pemuda itu terus berlari karena
dikejar rasa kecewa.
Rasa ini bagai mengejar di
belakangnya. Maka, Raka
Maruta mengerahkan seluruh daya
kemampuannya
untuk berlari cepat. Tapi rasa
itu terus ada. Bahkan
kemudian menerkam jiwa Raka
Maruta hingga mem-
buatnya begitu terpukul oleh
rasa sedih yang menda-
lam.
"Aini...," desis
pemuda berwajah lembut itu.
Kaki Raka Maruta melangkah
gontai. Sudah ter-
kuras seluruh tenaganya, karena
berlari demikian
jauh. Sekujur tubuhnya bergetar
dan dipenuhi butiran
keringat Tak kuasa lagi Raka
Maruta menahan air ma-
ta. Walau dalam diri Raka Maruta
telah melekat pen-
gertian bahwa seorang pendekar
pantang mengelua-
rkan air mata, tapi bila rasa
sedih begitu mencengke-
ram kalbu, air mata pun menitik
tanpa dia sadari. Ra-
ka Maruta segera menguatkan
hatinya. Dia mengge-
leng-gelengkan kepala, berusaha
mengusir bayangan
penyebab rasa sedihnya. Ketika
dia membuka kelopak
matanya yang terpejam, di
hadapannya tampak tiga
sosok gadis cantik. Sosok-sosok
itu terlihat nyata. Bu-
kan bayangan.
"Tiga Dara Bengal!"
desis Pendekar Kipas Ter-
bang.
"Ha ha ha...!"
Tiga gadis cantik yang berdiri
tepat tiga tombak
dari hadapan Raka Maruta,
tertawa terbahak-bahak.
Walau ketiga gadis itu tidak
lagi mengenakan pakaian
serba ungu, tapi Raka Maruta
masih dapat mengenali
mereka. Tiga Dara Bengal memang
pernah menyatroni
Raka Maruta di Bukit Rawangun
(Baca episode : "Peta-
ka Kerajaan Air").
"Tak sia-sia aku mengejarmu
hingga ke negeri
Pasir Luhur ini, Maruta!"
ujar Ari Sambita. "Kami tidak
akan lagi memakai baju ungu
sebelum dapat memba-
laskan dendam Partai Iblis
Ungu!"
Pendekar Kipas Terbang menatap
seksama pe-
nampilan ketiga gadis di
hadapannya. Kain bawah me-
reka masih tetap berwarna ungu.
Hanya, baju mereka
telah berganti warna. Ari
Sambita berbaju kuning. An-
dan Sari berbaju merah.
Sedangkan Ajeng Menur me-
makai baju hijau.
"Ha ha ha..,!" Andan
Sari tertawa lagi. "Kulihat
wajahmu muram, Tampan. Tampaknya
hatimu tengah
bersedih. Apakah perpisahanmu
dengan putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
yang membuatmu begi-
tu berduka? Kalau memang benar
demikian, aku ber-
sedia jadi...."
Andan Sari mengedipkan mata dan
tersenyum
genit. Ajeng Menur mendengus
seraya mencekal lengan
saudaranya itu. Sementara si
baju kuning Ari Sambita
menatap tajam wajah Raka Maruta.
Tapi, senyum genit
segera mengembang pula di
bibirnya yang merah ba-
sah.
"Sebenarnya perihal
kematian Wiranti, ketua par-
tai kalian itu tidak ada
sangkut-pautnya denganku.
Tapi kalian tetap saja
mengejar-ngejar diriku. Apakah
kalian telah menjadi iblis haus
darah yang tega mem-
bunuh seseorang walau tahu dia
tidak bersalah?" ujar
Pendekar Kipas Terbang. Suaranya
masih terdengar
bergetar. Rupanya rasa sedih
masih menggeluti batin-
nya.
"Ha ha ha...!" Andan
Sari tertawa untuk ke sekian
kalinya. "Di Bukit Rawangun
sudah kubilang kalau
kau harus turut menanggung dosa
gurumu yang ber-
gelar si Kipas Sakti. Kami sudah
berbagi tugas dengan
Lelaki Genit Mata Banci. Dia
bertugas memecahkan
kepala Suropati dan Yaniswara.
Sedangkan kami ber-
tugas memenggal leher si Kipas
Sakti dan kau sendiri,
Maruta! Walau di Laut Selatan
tempo hari kau dapat
menyelamatkan diri, tapi jangan
harap keberuntungan
akan menjumpaimu sekarang
ini!"
Mendengar ucapan Andan Sari,
Pendekar Kipas
Terbang segera teringat pada
peristiwa di Kapal Raja-
wali. Ketika itu dia bersama
Anggraini Sulistya, si Wa-
jah Merah, dan Suropati. Mereka
sedang mencari
orang yang bergelar Putri Air.
Di tengah laut Selatan
kapal mereka dihempas badai
ganas. Ombak meme-
cahkan lambung kapal.
Selagi mereka berusaha keras
untuk menyela-
matkan diri, muncul Tiga Dara
Bengal dan Lelaki Genit
Mata Banci beserta belasan
orang-orang Partai Iblis
Ungu. Mereka langsung menyebar
maut dengan hujan
anak panah. Untunglah Nyai Catur
Asta berhasil me-
nyelamatkan jiwa Raka Maruta,
Anggraini Sulistya, si
Wajah Merah, dan Suropati.
"Hei! Kenapa kau diam saja,
Maruta!" hardik si
baju hijau Ajeng Menur.
"Rupanya kau sedang berpikir
untuk menyerah
bulat-bulat..."
"Menyerah tanpa memberi
perlawanan memang
bagus, Maruta!" sahut si
baju kuning Ari Sambita.
"Kami tidak akan melukaimu.
Bahkan...," gadis ini tak
melanjutkan kalimatnya. Bibirnya
tersenyum penuh
arti. Lalu, dengan genit dia
menyingkap kain bawah-
nya. Tampaklah paha mulus
terlihat jelas oleh Pende-
kar Kipas Terbang. "Pikiran
di benakmu memang tepat,
Maruta," lanjutnya.
"Sebelum ajal menjemput, kau bisa
merasakan...."
Ari Sambita mengakhiri
kalimatnya dengan ter-
tawa genit. Dia menurunkan
kembali kain bawahnya.
Sekejap kemudian, tiba-tiba dia
menerkam Pendekar
Kipas Terbang!
Raka Maruta terkesiap. Segera
dia mengegos ke
samping. Namun, karena masih
terbawa perasaan ha-
tinya yang tak karuan,
gerakannya kurang cepat. Len-
gannya berhasil ditangkap Ari
Sambita.
"Ah...!"
Pendekar Kipas Terbang
meringis kesakitan ka-
rena pergelangan tangan kanannya
dipeluntir. Sebe-
lum dia sempat mempergunakan
tangan kirinya yang
masih bebas untuk mendaratkan
pukulan, Ari Sambita
telah menyerampang kakinya!
Bruk...!
Pendekar Kipas Terbang jatuh
telentang. Andan
Sari dan Ajeng Menur tertawa
terbahak-bahak. Tapi,
mata mereka segera melotot lebar
ketika melihat Ari
Sambita meraba-raba dada Raka
Maruta. Pemuda itu
segera menyadari keadaan. Dengan
tangan kiri dia
menampar wajah Ari Sambita.
Tapi, gerakan gadis itu
lebih cepat. Dipeluntirnya lagi
lengan kanan Raka Ma-
ruta.
"Argkh...!"
Tubuh Pendekar Kipas Terbang menggelepar
ke-
sakitan. Rasa sakit menjalar
dari pergelangan tangan
kanannya. Saking sakitnya, mata
Pendekar Kipas Ter-
bang sampai kelihatan
berkaca-kaca.
"Bila rasa nikmat kau
tolak, rasa sakitlah yang
layak kau terima!" ujar Ari
Sambita.
Kembali gadis itu meraba-raba
Raka Maruta. La-
lu, dia mendaratkan ciuman
ganas. Raka Maruta terli-
hat pasrah. Tapi begitu melihat
kesempatan, pemuda
itu menarik lengan kanannya
hingga lepas dari ceng-
keraman Ari Sambita. Kemudian
dijejaknya permu-
kaan tanah. Sebuah pemandangan
indah terlihat kini.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang
melayang di angkasa.
Setelah berputaran beberapa
kali, dia mendarat mulus
dengan kedua tangan terpentang.
Sementara itu Ari
Sambita mengumpat-umpat tak
karuan, karena kein-
ginannya tidak terlaksana.
"Walau wujud kalian adalah
gadis-gadis cantik,
tapi jiwa kalian iblis!"
ujar Pendekar Kipas Terbang se-
belum melompat ke samping.
Karena secara tiba-tiba
Andan Sari dan Ajeng Menur telah
meluruk ke arahnya
dengan serangan mematikan.
Melihat dua saudaranya terlibat
pertempuran, Ari
Sambita bergegas turut mengambil
bagian. Mereka
mengeroyok Pendekar Kipas
Terbang dengan cecaran
selendang yang cukup
menggidikkan. Walau terbuat
dari kain lembut, tapi selendang
di tangan ketiga gadis
itu bisa menegang hingga
menyerupai sebatang tom-
bak. Apalagi setelah mereka
mengeluarkan senjata
ampuh Partai Iblis Ungu yang
berupa seutas tali yang
pada ujungnya terdapat besi
runcing. Serangan yang
menghujani Pendekar Kipas
Terbang datang silih ber-
ganti tanpa henti.
"Rupanya kalian benar-benar
iblis haus darah!"
ujar Raka Maruta seraya meloncat
tinggi, menghindari
cecaran ujung selendang merah
yang meluruk dari
berbagai penjuru.
"Lebih baik kau menyerah
saja, Maruta," sahut
Ari Sambita. "Sebelum ajal
menjemput, aku akan
memberi kesempatan kepadamu
untuk menikmati in-
dahnya surga dunia...."
"Huh! Lebih baik aku mati
daripada jatuh ke da-
lam pelukan gadis edan seperti
kalian!"
"Ha ha ha...!" Ari
Sambita tertawa bergelak-gelak.
"Buka matamu lebar-lebar,
Maruta! Tidakkah aku ini
lebih cantik dari Anggraini
Sulistya?"
Mendengar nama Putri Cahaya
Sakti disebut,
mendadak rasa sedih kembali
muncul dalam diri Raka
Maruta. Pemuda berwajah lembut
itu mendesah den-
gan kepala tertunduk. Sementara
Tiga Dara Bengal te-
lah bersiap-siap lagi untuk
mengawali serangan.
"Demi ketenangan arwah
Ibunda Wiranti, aku
meminta jantungmu, Maruta!"
teriak si baju hijau
Ajeng Menur. Dilemparkannya
ujung dua senjatanya.
Ujung selendang mengarah ke dahi, sedangkan bilah
besi runcing yang terdapat pada
ujung tali tertuju ke
jantung.
Mata Pendekar Kipas Terbang
masih mampu me-
lihat serangan mematikan itu,
tapi tiba-tiba saja
bayangan Anggraini Sulistya
muncul di benaknya. Hal
itu membuat Raka Maruta hanya
berdiri terpaku. Pa-
dahal nyawanya sudah berada di
ujung tanduk. Dua
senjata di tangan Ajeng Menur
terus meluncur cepat
tanpa dapat dicegah lagi.
Bret! Thing!
Ajeng Menur terperangah. Ketika
dua senjatanya
hampir mencapai sasaran,
tiba-tiba arah luncurannya
melenceng. Kontan gadis itu
mendengus marah. Ma-
tanya mendelik ke arah Ari
Sambita yang telah meng-
gagalkan serangannya dengan
senjata serupa.
"Kenapa kau menghalangi
niatku untuk membu-
nuh musuh partai kita, Sambita?!"
geram Ajeng Menur.
Ari Sambita tersenyum tipis.
"Aku tidak bermak-
sud menghalangi niatmu, Menur.
Tapi, Raka Maruta
tidak boleh mati cepat. Aku
masih memerlukannya un-
tuk...."
Ari Sambita tak meneruskan
kalimatnya. Ma-
tanya mengedip penuh arti ke
arah Raka Maruta yang
masih berdiri terpaku.
"Benar kata Sambita,"
timpal si baju merah An-
dan Sari.
"Benar apanya?!"
bentak Ajeng Menur.
"Raka Maruta akan kita
jadikan tawanan dulu"
"Untuk apa?"
Andan Sari tak menjawab. Dia
cuma tersenyum-
senyum. Sementara Ajeng Menur
menatapnya dengan
mata berkilat. Di antara Tiga
Dara Bengal, Ajeng Me-
nur memang mempunyai perbedaan
sifat dengan ke-
dua saudaranya. Walau sama-sama
beringas dan ke-
jam, tapi dia tidak suka
mengumbar nafsunya dengan
paksa pada seorang lelaki.
"Kalian pikir menangkap
Raka Maruta hidup-
hidup pekerjaan mudah?!"
tandas Ajeng Menur kemu-
dian.
"Di Bukit Rawangun, Raka
Maruta boleh mem-
buat kita keteter. Tapi setelah
Lelaki Genit Mata Banci
menyempurnakan ilmu kepandaian
kita, membuat Ra-
ka Maruta bertekuk-lulut
bukanlah pekerjaan sulit,"
tutur Andan Sari penuh
keyakinan.
"Benar!" tegas Ari
Sambita. "Bila kau tak percaya,
akan kubuktikan sekarang!"
Usai berucap, Ari Sambika
langsung menerjang
Pendekar Kipas Terbang.
Selendang dan tali di tangan-
nya berusaha membelit tubuh
pendekar muda itu.
Ringan saja Raka Maruta meloncat
ke belakang.
Tapi, dua senjata di tangan Ari
Sambita terus menge-
jar. Andan Sari pun turut
mengirim serangan.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar
Kipas Terbang
menghindar. Namun rasa kecewa
yang mendatangkan
kesedihan di hatinya begitu
mencengkeram jiwa. Raka
Maruta tidak sepenuh hati
meladeni serangan dua ga-
dis itu. Senjata andalannya yang
berupa kipas baja pu-
tih pun tidak dikeluarkan.
Srat! Srat!
Ari Sambita dan Andan Sari
tertawa penuh ke-
menangan. Mereka berhasil
membelit tubuh Raka Ma-
ruta dengan selendang dan tali.
Dengan cepat Ari
Sambita menotok tubuh pendekar
muda itu, hingga
tubuh bagian atas Raka Maruta
tak mampu lagi dige-
rakkan.
"Sebentar lagi kita akan
bersenang-senang, Sa-
ri...," ujar Ari Sambita
sambil menyeret Pendekar Kipas
Terbang.
Andan Sari terlihat mengulum
senyum. Sementa-
ra Ajeng Menur hanya menatap
perilaku binal kedua
saudaranya dengan hati kesal.
Mau tak mau dia pun
mengikuti ke mana Andan Sari dan
Ajeng Menur me-
nyeret Pendekar Kipas Terbang
yang sudah tak ber-
daya.
***
2
Dengan pakaian kebesarannya,
sosok Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
tampak gagah berwiba-
wa. Raja Pasir Luhur itu duduk
terpaku di singgasana.
Wajahnya yang sudah menunjukkan
garis-garis ke-
tuaan terlihat tegang. Sorot
matanya tampak begitu ta-
jam.
Di hadapan Prabu Singgalang
Manjunjung Langit
duduk di lantai balairung para
pejabat tinggi kerajaan.
Di deret sebelah kanan tampak
Patih Sanca Singapasa,
Adipati Menak Pamenang, dan
beberapa orang tu-
menggung. Lalu dideret sebelah
kiri duduk bersila Se-
nopati Guntur Selaksa. Andipati
Bayu Geni, dan empat
orang pejabat tinggi lainnya.
Termasuk di antara me-
reka seorang kepala pengawal
istana yang bernama I
Halu Rakryan Subandira.
Suasana pertemuan itu diselimuti
kesunyian wa-
lau telah banyak orang yang
hadir. Semua diam me-
nunggu titah raja. Namun,
tampaknya Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit tak akan
segera membuka su-
ara. Matanya memandang nanar ke
pintu besar yang
memisahkan balairung dengan
ruang depan istana.
Sementara para pejabat kerajaan
duduk bersila mena-
tap lantai balairung. Tak
terdengar suara berisik sedi-
kit pun.
Tak tahan dengan kesunyian yang
terasa mence-
kam, akhirnya Patih Sanca
Singapasa membuka pem-
bicaraan terlebih dahulu.
"Ampunkan hamba, Baginda
Prabu...," kata lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun
itu. "Apakah tidak le-
bih baik kita mengesampingkan
terlebih dahulu keha-
diran Tumenggung Sangga Percona?
Karena, hamba
kira waktu sangat berharga dalam
keadaan genting se-
perti sekarang ini...."
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit mendehem.
Matanya menatap tajam wajah
Patih Sanca Singapasa.
Yang ditatap merasa tidak enak.
Cepat-cepat dia me-
nyambung bicaranya yang
terputus.
"Bila ternyata gagasan
hamba tidak berkenan di
hati Baginda Prabu, hamba
memohon ampun..."
"Kau tidak perlu meminta
ampunan, Adi Patih.
Kau tidak bersalah. Gagasanmu
memang benar
adanya. Ada baiknya bila kita
mengesampingkan dulu
tentang ketidakhadiran
Tumenggung Sangga Percona,"
ujar Prabu Singgalang Manjunjung
Langit
"Daulat, Baginda Prabu,"
sahut Patih Sanca Sin-
gapasa.
Raja menatap wajah bawahannya
satu persatu.
"Adi Patih Sanca Singapasa,
Senopati Guntur Selaksa,
Adipati Menak Pamenang, Adipati
Bayu Geni, para tu-
menggung, dan punggawa kerajaan
yang hadir di tem-
pat ini..., saya kira kalian
semua sudah mengetahui
kalau gerakan pemberontak telah berhasil menyusup
ke kotapraja. Ratusan bala
tentara tak dikenal meng-
galang kekuatan dengan menyamar
sebagai rakyat je-
lata. Kita tak bisa mengenali
mereka satu persatu.
Memang saat ini mereka tidak
menunjukkan gerakan
apa-apa. Tapi pada saatnya
nanti, mereka akan beru-
bah menjadi api maha panas yang
sanggup meluluh-
lantakkan Kerajaan Pasir Luhur.
Kedudukan kita se-
karang ini sangat lemah. Kita
tidak tahu siapa otak ge-
rakan itu. Karenanya, saya
mengundang kalian untuk
turut bertukar gagasan guna
mengatasi kemelut yang
akan segera mencengkeram
Kerajaan Pasir Luhur ini."
Usai Prabu Singgalang Manjunjung
Langit berbi-
cara, suasana jadi hening
kembali. Namun keheningan
itu tidak berlangsung lama, I
Halu Rakryan Subandira
segera menyahuti.
"Ampun beribu ampun, Baginda Prabu. Hamba
hanya ingin menyampaikan apa
yang ada dalam benak
hamba. Saat ini hamba menaruh
curiga dengan keti-
dakhadiran Tumenggung Sangga
Percona dalam per-
temuan ini."
Kening Prabu Singgalang
Manjunjung Langit ber-
kerut. "Apa yang kau maksud
dengan kata-katamu itu,
Subandira?"
"Ampunkan hamba, Baginda
Prabu. Tumenggung
Sangga Percona tentu tahu kalau
pertemuan ini sangat
penting. Kita sedang membahas
kelangsungan hidup
kerajaan di mana rakyat kecil
yang tak tahu apa-apa
ikut pula menanggung akibatnya.
Tapi, kenapa Tu-
menggung Sangga Percona tak
hadir dalam pertemuan
ini?"
Sewaktu Prabu Singgalang
Manjunjung Langit
tengah mempertimbangkan pendapat
I Halu Rakryan
Subandira, Adipati Menak
Pamenang menyatukan ke-
dua telapak tangannya di depan
dahi.
"Ampun, Baginda
Prabu...," ujar lelaki itu dengan
badan dibungkukkan. "Hamba
kira, Baginda Prabu tak
perlu mengambil kecurigaan
seperti yang dikatakan
Adi Subandira. Hamba tahu dengan
pasti apa yang se-
dang dilakukan Tumenggung Sangga
Percona, Katu-
menggungan Lemah Abang, tempat
Tumenggung
Sangga Percona menduduki
jabatannya adalah wilayah
Kadipaten Buring Sawitri yang
hamba pimpin. Sepekan
yang lalu hamba memerintahkan
Tumenggung Sangga
Percona untuk membuat sebuah
candi di wilayah Ka-
tumenggungan Lemah Abang. Tentu
dia sangat sibuk
sekarang, karena candi itu harus
diselesaikan dalam
waktu satu purnama tepat."
"Hal itu belum cukup untuk
dijadikan alasan ba-
gi Tumenggung Sangga Percona
untuk tidak hadir da-
lam pertemuan ini. Bagaimanapun
sikapnya dia, Tu-
menggung Sangga Percona
mempunyai junjungan yang
lebih tinggi. Dia pun harus
melaksanakan segala titah
beliau!" sahut I Halu
Rakryan Subandira dengan bera-
pi-api.
"Jadi, kau menuduh
Tumenggung Sangga Perco-
na sebagai otak gerakan yang
hendak memberontak
terhadap kerajaan,
Subandira?!" tandas Adipati Menak
Pamenang. Kali ini ucapannya
bernada sinis. "Tidak-
kah kau bisa menilai seberapa
besar kekuasaan seo-
rang tumenggung. Adakah dia
mempunyai kekuatan
untuk melakukan pemberontakan?
Mestinya kau ber-
pikir secara jernih,
Subandira."
"Aku tidak menuduh
Tumenggung Sangga Perco-
na sebagai otak pemberontakan.
Aku hanya menyam-
paikan sebuah kecurigaan. Siapa
tahu Tumenggung
Sangga Percona adalah
alat..."
"Kata-katamu terlalu
berani, Subandira!" potong
Adipati Menak Pamenang.
I Halu Rakryan Subandira
tersenyum tipis.
"Siapa pun yang hadir di
tempat ini tentu tahu
siapa Tumenggung Sangga Percona.
Dia seorang peja-
bat yang mempunyai perangai
buruk. Bukan satu-dua
kali penduduk Lemah Abang
menyampaikan keluhan,
karena kebijaksanaan
Tumenggung Sangga Percona
lebih banyak berdasarkan
kepentingan pribadinya,"
sahut kepala pengawal istana
itu.
"Berkata-kata memang mudah,
Subandira. Tapi,
dapatkah kau membuktikan apa
yang telah kau kata-
kan itu?!" sahut Adipati
Menak Pamenang, ketus.
"Bila kau masih meminta
bukti perihal perangai
buruk Tumenggung Sangga Percona,
berarti kau ku-
rang memperhatikan keadaan
bawahanmu!"
Mendengar ucapan I Halu Rakryan
Subandira,
paras Adipati Menak Pamenang
langsung menegang.
Sinar matanya berkilat. Dengus
nafasnya pun terden-
gar berat. Sebelum suasana
berubah semakin panas,
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit mengangkat te-
lapak tangan kanannya.
"Cukup!" titah sang
raja dengan penuh wibawa.
Cepat-cepat I Halu Rakryan
Subandira dan Adi-
pati Menak Pamenang menghaturkan
sembah.
"Ampunkah hamba, Baginda
Prabu...," ujar ke-
dua lelaki itu hampir bersamaan.
"Aku mengerti apa yang
kalian perdebatkan. Tapi
kalian juga harus tahu, bahwa
perdebatan yang mem-
buat hati panas sesungguhnya
tidak perlu. Itu hanya
akan memecah persatuan. Sementara
pada keadaan
seperti ini, justru persatuanlah
yang kita perlukan."
"Ampunkah hamba, Baginda
Prabu...," sembah I
Halu Rakryan Subandira dan
Adipati Menak Pamenang
lagi.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit kemudian
menatap wajah Patih Sanca Singapasa.
"Bagaimana
menurut pendapatmu, Adi
Patih?"
Patih Sanca Singapasa
menghaturkan sembah.
"Ampun, Baginda Prabu.
Hamba kira penuturan I Halu
Rakryan Subandira ada benarnya.
Bagaimanapun juga
kita mesti memperhatikan segala
kemungkinan yang
ada. Bukannya menaruh curiga
terhadap Tumenggung
Sangga Percona, tapi ada baiknya
bila Baginda Prabu
mengirim utusan untuk menanyakan
ketidakhadiran
tumenggung yang terkenal keras
kepala itu...."
Merasakan kebenaran dari ucapan
Patih Sanca
Singapasa, sang raja lalu
memanggil seorang kepala
prajurit untuk diperintahkan
pergi ke Katumenggun-
gan Lembah Abang.
"Bawa sepuluh orang
bawahanmu, Punggawa!" ti-
tah Prabu Singgalang Manjunjung
Langit.
Sebelum kepala prajurit yang
mendapat perintah
beranjak dari balairung, I Halu
Rakryan Subandira
mengajukan diri. "Ampun,
Baginda Prabu...," sembah-
nya. "Perkenankan hamba
ikut serta."
"Untuk apa?" tanya
sang raja dengan kening ber-
kerut
"Jabatan hamba di sini
sebagai kepala pengawal
istana. Keamanan istana berikut
isinya adalah tang-
gung jawab hamba. Termasuk juga
menjaga keselama-
tan Baginda Prabu. Bukan hanya
itu, hamba pun ha-
rus dapat menjaga kewibawaan
Baginda Prabu. Kare-
nanya, hamba tak ingin utusan
Baginda Prabu nanti
dilecehkan oleh Tumenggung
Sangga Percona, yang
tentu saja hal itu akan
menjatuhkan wibawa Baginda
Prabu. Maka, perkenankanlah
hamba memimpin rom-
bongan prajurit yang hendak
pergi ke Katumenggun-
gan Lemah Abang...," pinta
I Halu Rakryan Subandira.
"Bagaimana dengan keamanan
dalam istana ini?"
tanya sang raja.
"Ampun, Baginda Prabu.
Bukankah di sini sudah
ada Senopati Guntur Selaksa.
Dan, kepergian hamba
bukankah cuma sebentar? Tidak
lebih dari dua hari,
Baginda Prabu....."
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit tampak
berpikir sejenak. Sebentar
kemudian kepalanya diang-
gukkan. "Baik. Kau pergi
sekarang, Subandira. Satu
pesanku, jangan memancing api di
keadaan yang su-
dah panas seperti ini."
"Daulat, Baginda
Prabu...."
I Halu Rakryan Subandira
mengundurkan diri.
Diikuti oleh kepala prajurit
yang tadi dipanggil Baginda
Raja. Suasana pertemuan terasa
lengang kini. Namun
segera Prabu Singgalang
Manjunjung Langit angkat bi-
cara.
"Dari sini kita akan tahu
kebenaran ucapan I Ha-
lu Rakryan Subandira. Apa-benar
tuduhan yang dija-
tuhkannya kepada Tumenggung
Sangga Percona, atau
barangkali dia sendiri yang
merupakan duri dalam
daging."
***
Memasuki wilayah Katumenggungan
Lemah Ab-
ang, senja telah merayap
mendekati malam. Dalam ke-
remangan I Halu Rakryan
Subandira menghentikan
langkah kudanya, lalu mengangkat
telapak tangan se-
jajar kepala. Tangan kanan itu
dikebutkan ke depan.
"Kalian berjalan lebih
dahulu!" perintah lelaki te-
gap itu kepada kesebelas
prajurit berkuda anak buah-
nya.
Pelan saja kuda-kuda yang telah
menempuh per-
jalanan jauh itu menjejaki
tanah. Para penunggangnya
tak sedikit pun membuka suara.
Sementara I Halu Ra-
kryan Subandira yang menjadi
pemimpin rombongan
tampak menegang wajahnya.
Hatinya diliputi perasaan
tak enak.
Mendadak, pengawal istana yang
berusia sekitar
lima puluh tahun itu menyentak
kendali kudanya
kuat-kuat. Kuda putih itu
meringkik panjang, lalu ber-
lari kencang ke arah depan.
"Cepat kalian kejar
aku!" perintah I Halu Rakryan
Subandira dengan suara lantang.
Melihat perubahan sikap pemimpin
rombongan-
nya yang begitu mendadak,
kesebelas prajurit berkuda
merasa heran: Beberapa lama
kemudian, mereka ter-
paku tidak segera menjalankan
perintah. Tapi setelah
bayangan I Halu Rakryan
Subandira bersama kudanya
telah terlihat jauh di depan,
mereka segera menggebah
kuda masing-masing.
"Heaa,..!"
"Heaaa...!"
Diiringi suara ribut-ribut
berderak, debu menge-
pul tebal ke angkasa senja.
Langkah kaki kuda terden-
gar berderap karena dipacu
cepat. Sesampai di sebuah
kelokan jalan, sebelas prajurit
yang semuanya me-
nyandang sebilah pedang di
punggung itu memper-
lambat laju kuda. Mereka menebar
pandangan. Tanpa
sadar mereka lalu menghentikan
langkah kuda-kuda
mereka.
"Di mana Tuan
Subandira?" tanya salah seorang
prajurit
Tak terdengar suara jawaban.
Semua sedang si-
buk mengedarkan pandangan untuk
mencari I Halu
Rakryan Subandira yang tiba-tiba
menghilang bersama
kudanya.
"Apa yang harus kita
lakukan?" terdengar suara
tanya lain.
"Kita akan tetap
menjalankan titah Baginda Pra-
bu. Kita meneruskan perjalanan
ke Pendapa Katu-
menggungan Lemah Abang walau
tanpa Tuan Suban-
dira," tutur seorang
prajurit berwajah penuh bulu. Te-
man-temannya tampak berpikir
sejenak mempertim-
bangkan ucapannya.
"Sebaiknya memang
begitu," timpal prajurit lain
sesaat kemudian.
"Barangkali Tuan Subandira malah
sudah berada di sana."
Kesebelas prajurit itu kembali
memacu kudanya.
Namun betapa terkejutnya mereka.
Tubuh mereka ti-
ba-tiba saja terlontar tinggi
karena kuda yang ditung-
gangi menggeliat keras seraya
mengeluarkan ringkikan
kesakitan yang menyayat hati!
Dengan sigap para prajurit yang
sudah terlatih
baik itu mendaratkan kaki di
tanah. Segera mereka
memeriksa keadaan kuda
masing-masing yang kese-
muanya tergeletak di tanah dan
berkelojoran seperti
dijemput maut.
"Bangsat!" umpat salah
seorang prajurit. Ru-
panya dia telah dapat memastikan
kalau kudanya
menjadi sasaran serangan gelap.
Kepala kudanya pe-
cah tertimpa lontaran benda
keras yang agaknya
hanya bisa dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai
ilmu tinggi.
Selagi para prajurit hendak
menyebar guna men-
cari siapa yang telah berbuat
jahat itu, mendadak saja
suara tawa memecah ketegangan
dalam diri mereka.
"Ha ha ha...!
Prajurit-prajurit gemblung! Kenapa
kalian mau saja mengikuti usulan
Patih Sanca Singa-
pasa yang bangkotan itu,
heh?!"
Kesebelas prajurit yang sedang
menjalankan pe-
rintah junjungan mereka itu,
mencabut pedang dari
sarungnya. Mata mereka berkilat
menatap sesosok tu-
buh yang berdiri angker di
tengah jalan. Sosok itu
mengenakan pakaian ketat serba
hitam. Wajahnya tak
dapat dikenali karena tertutup
kerudung yang juga
berwarna hitam.
"Siapa kau?!" dengus
prajurit brewokan sambil
mengacungkan pedang.
"Ha ha ha...! Prajurit
edan! Tak perlu kau mena-
nyakan itu! Kembalilah bersama
temanmu ke istana.
Katakan pada Prabu Singgalang
Manjunjung Langit,
bahwa Tumenggung Sangga Percona
telah menerima
kedatangan kalian. Sebentar lagi
dia akan mengirim
utusan untuk menjelaskan duduk
persoalannya!" ujar
orang berkerudung.
"Keparat!" umpat
prajurit brewokan. "Agaknya
kau sengaja memanaskan telinga!
Bagaimana kami bi-
sa kembali ke istana bila kuda
kami telah kau bunuh?
Dan lagi. siapa sudi menuruti
perintah penjahat kejam
sepertimu?!"
"Ha ha ha...!" orang
berkerudung hitam tertawa
terbahak-bahak. "Peduli
setan dengan apa kalian akan
kembali ke istana! Yang pasti,
bila kalian masih sayang
pada nyawa, segera angkat kaki
dari Katumenggungan
Lemah Abang ini!"
Para prajurit yang sudah
diliputi hawa marah
semakin menggelegak saja darah
mereka. Dibarengi
suara dengusan keras, prajurit
brewokan memberi
isyarat dengan tangan kiri.
Teman-temannya segera
menggeser kedudukan untuk
mengepung si pencegat
berkerudung hitam.
"Siapa sebenarnya kau,
Keparat?! Bila kau orang
suruhan, katakan siapa
tuanmu?!"
Mendengar pertanyaan yang
bernada ancaman
dari prajurit brewokan, orang
berkerudung hitam ter-
tawa lagi. Namun, tawanya segera
terhenti ketika kila-
tan pedang berdesingan menuju ke
arahnya.
"Kentut busuk! Rupanya
kalian tak mau diberi
hati. Jangan salahkan aku bila
kalian pulang hanya
tinggal nama!" ujar orang
berkerudung hitam seraya
mengibaskan telapak tangan
kanannya.
Wuusss...!
Walau gerakan orang itu tampak
lemah, tapi aki-
batnya sungguh luar biasa.
Serangkum angin pukulan
yang timbul dari telapak tangan
kanannya mampu
mementalkan empat orang
prajurit. Tubuh orang-
orang yang sedang mengemban
tugas raja itu lalu ja-
tuh berdebam ke tanah dalam
keadaan tanpa nyawa.
Pakaian mereka yang semula
berwarna putih bersih te-
lah dipenuhi noda darah. Cairan
merah itu muncrat
dari seluruh pori-pori di
tubuhnya.
Tentu saja tujuh prajurit yang
tersisa terkejut
bukan main. Mereka bukanlah
prajurit-prajurit tingkat
rendah. Tapi, bagaimana mungkin
orang berkerudung
hitam itu bisa menjatuhkan
tangan maut dengan begi-
tu mudah? Pertanyaan itu
tergambar jelas di mata me-
reka.
"Ha ha ha...!" congkak
sekali orang misterius
yang berpakaian serba hitam ini
tertawa sambil berka-
cak pinggang. "Aku masih
mau memberi kesempatan
kepada kalian untuk berpikir
panjang. Segera kembali
ke istana sebelum habis
kesabaranku!"
Walau hati ketujuh prajurit yang
tersisa diliputi
rasa gentar, tapi mereka tidak
juga meninggalkan tem-
pat itu. Kesetiaan mereka pada
kerajaan terlalu mahal
untuk ditebus dengan gertakan.
Dua prajurit yang be-
rada di belakang orang
berkerudung hitam melompat
cepat seraya menebaskan
pedangnya.
Swing! Swing...!
Tanpa menoleh ke belakang
sekilas pun orang
berkerudung hitam menjejak
tanah. Lalu cepat sekali
tubuhnya melayang. Setelah
berjumpalitan dia menda-
rat di belakang kedua prajurit
yang tengah mengirim-
kan serangan. Mendadak saja
tubuh kedua prajurit itu
terlontar ke depan. Pedang
mereka mencelat lepas dari
pegangan, dan tubuh mereka
sendiri segera memeluk
bumi dengan punggung hangus
mengepulkan asap hi-
tam!
"Iblis laknat!" geram
prajurit brewokan. Tusukan
pedangnya tertuju ke jantung
orang berkerudung hi-
tam. Gerakan prajurit ini segera
diikuti keenam te-
mannya.
Melihat dirinya diserang dari
berbagai penjuru,
orang berkerudung hitam
menggeram keras. Tubuhnya
lalu berputaran di tempat!
Plak! Plak! Plak!
Terdengar pecahnya batok kepala
yang diiringi je-
rit panjang membahana. Enam
lelaki yang masih me-
megang senjata pedang tampak
berkelojotan di tanah.
Mereka meregang nyawa terkena
tamparan keras
orang berkerudung hitam.
Sementara prajurit brewo-
kan sempat menusukkan ujung
pedangnya ke dada
orang misterius yang baru saja
menjatuhkan tangan
maut kepada teman-temannya.
Tapi, keterkejutan segera
menghantam. Ketaja-
man pedang prajurit bertubuh
kekar itu hanya mampu
merobek baju orang berkerudung,
tanpa melukai sedi-
kit pun kulit tubuhnya!
"Sss..., siapa kau?
Setan?" ucap prajurit brewo-
kan dengan tubuh gemetar.
Keringat mengucur deras
dari tubuhnya.
"Ha ha ha...!" untuk
ke sekian kalinya orang ber-
kerudung hitam tertawa penuh
kemenangan. "Aku ma-
sih mempunyai rasa sayang kepada
nyawamu. Praju-
rit!" ujarnya. "Tapi
sebagai kenang-kenangan dariku
sebelum kau kembali ke istana,
lihatlah ini..."
Dengan gerakan lemah seperti
tanpa tenaga,
orang berkerudung hitam
mengeluarkan sebilah keris
dari balik bajunya. Dalam
keremangan senja prajurit
brewokan masih dapat mengenali
bentuk keris berle-
kuk sembilan yang diacungkan ke
mukanya. Pamor
keris itu memancarkan cahaya
merah muda. Terlihat
sangat menggidikkan hati karena
menebarkan hawa
panas.
"Sengkelit Bayu
Geni...!" desis prajurit brewokan,
menyebut nama keris yang
dipegang orang berkeru-
dung hitam.
Melihat lelaki di hadapannya tak
mampu lagi
berdiri tegak karena dihantam
rasa takut yang sangat,
orang berkerudung hitam tertawa
terbahak-bahak. Ke-
ris di tangannya itu memang
bukan keris sembaran-
gan. Sedikit saja senjata itu
menggores kulit, jangan
harap nyawa akan tetap berada di
dalam tubuh. Kor-
bannya akan mati dengan kulit
melepuh oleh serangan
racun ganas. Dia juga akan merasakan siksaan yang
luar biasa sakitnya. Sekujur
tubuh akan terasa seperti
ditusuk-tusuk ribuan jarum,
sebelum mati dalam kea-
daan sangat mengenaskan.
"Jajj..., jangan kau bunuh
aku dengan keris itu!"
pinta prajurit brewokan.
Tubuhnya bergetar hebat oleh
rasa takut
Orang berkerudung hitam cuma
mendengus.
Dengan gerak cepat dia
menggerakkan tangan kanan-
nya.
Srat.,!
Kedua kelopak mata prajurit
brewokan telah ter-
katup rapat. Dia merasakan
tubuhnya seperti dilem-
parkan ke angkasa. Tapi kematian
tidak segera men-
jemputnya. Rupanya, keris di
tangan orang misterius
hanya menebas rambut prajurit
brewokan yang dige-
lung ke atas.
Perlahan sekali orang
berkerudung hitam mema-
sukkan kembali kerisnya ke dalam
warangka yang ter-
selip di balik baju hitamnya.
Dia lalu memegang dagu
lelaki brewokan yang berdiri
terbungkuk di hadapan-
nya.
"Prajurit! Kau dengar
kata-kataku! Kembalilah ke
istana! Katakan pada Prabu Singgalang
Manjunjung
Langit bahwa Tumenggung Sangga
Percona akan men-
girim utusan untuk menjelaskan
duduk persoalannya!
Kau dengar itu, Prajurit?!"
"Ya..., ya, aku
mendengar...," sahut prajurit bre-
wokan, gelagapan. "Ha ha
ha..,!"
Diiringi suara tawa panjang,
tubuh orang berke-
rudung hitam lenyap dari
pandangan. Tubuhnya ber-
kelebat begitu cepat. Tinggallah
prajurit brewokan ja-
tuh terpuruk di tanah.
***
Kuda putih yang ditunggangi I
Halu Rakryan
Subandira terus berlari kencang
bagai dikejar setan.
Gelap malam yang hanya tersiram
cahaya rembulan
temaram tak menghalangi langkah
kaki kudanya. Begi-
tu sampai di jalan setapak yang
di kanan-kirinya ba-
nyak ditumbuhi ilalang setinggi
pinggang, I Halu Ra-
kryan Subandira mengekang
kendali kuda kuat-kuat.
Tap!
Kuda putih meringkik keras
seraya mengangkat
kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Tindakan I Halu
Rakryan Subandira yang sangat
mengejutkan itu ter-
nyata justru menyelamatkan
nyawanya. Mata I Halu
Rakryan Subandira yang awas
sempat melihat benda
pipih panjang meluncur cepat
dari samping kanan
menuju leher kudanya. Ketika
punggawa tinggi kera-
jaan itu menoleh, tampak olehnya
sebilah tombak me-
nancap di batang pohon!
"Keparat!" geram I Halu
Rakryan Subandira. Di-
tebarkannya pandangan sambil
menenangkan ku-
danya yang masih terus
meringkik-ringkik.
Karena tak menemukan apa-apa, I
Halu Rakryan
Subandira kemudian menghela
kudanya kembali. Kali
ini derap kaki kuda putih itu
terdengar perlahan. Be-
lum genap sepuluh langkah, I
Halu Rakryan Subandira
telah menghentikan langkah kaki
kudanya.
"Membokong adalah perbuatan
tak terpuji. Lebih
tak terpuji lagi bila mengikuti
langkah kaki dengan
sembunyi-sembunyi. Jelas ini
menyimpan maksud tak
baik!" ujar I Halu Rakryan
Subandira dengan suara
lantang.
Apa yang terjadi malah sama
sekali tidak diingin-
kan kepala pengawal istana itu.
Mendadak, angin ber-
hembus sangat kencang. Baju yang
dikenakan I Halu
Rakryan Subandira jadi
berkibar-kibar. Rambutnya
yang digelung di atas kepala
terlepas. Tampak kemu-
dian, kuda yang ditungganginya
melangkah tersaruk-
saruk ke samping terbawa
hembusan angin.
"Aji 'Bayu
Segara'...!" desis I Halu Rakryan Sub-
andira.
Tak ingin dirinya terlontar
bersama kudanya, se-
gera I Halu Rakryan Subandira
mengibaskan telapak
tangan kanannya tiga kali.
Weesss...!
Kibasan telapak tangan yang
dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi itu menimbulkan
gelombang angin dah-
syat. Dan ketika I Halu Rakryan Subandira mengi-
baskan telapak tangan kanannya
sekali lagi, terdengar
suara ledakan menggelegar di
langit. Disusul suara ge-
rutuan.
"Aku yang bernama I Halu
Rakryan Subandira
datang ke Katumenggungan Lemah
Abang ini bukan
dengan maksud buruk. Kenapa mesti disambut den-
gan peradatan jahat sebagai
seorang durjana saja
layaknya?" ujar I Halu
Rakryan Subandira.
Tepat di ujung kalimat yang
diucapkan kepala
pengawal istana ini, berkelebat
sesosok bayangan. So-
sok itu berhenti tepat tiga
tombak di depan kuda putih
yang ditunggangi utusan raja.
I Halu Rakryan Subandira menarik
napas pan-
jang. Matanya menatap tanpa
berkedip seraut wajah
tampan seorang pemuda gagah yang
baru muncul.
Pemuda itu mengenakan pakaian
coklat dengan garis-
garis hitam. Rambutnya yang
panjang dibiarkan terge-
rai di punggung.
Setelah dapat mengenali siapa
kiranya pemuda
itu, I Halu Rakryan Subandira
mengulum senyum.
"Ah, kiranya kau, Saka
Purdianta...," ucapnya lirih
sambil melompat turun dari
punggung kuda.
"Benarkah Paman Subandira
datang bukan den-
gan maksud buruk? Tidakkah Paman
diutus Baginda
Prabu untuk menangkap Ayahanda
Tumenggung
Sangga Percona?" tanya
pemuda tampan yang tak lain
memang Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur, putra
Tumenggung Sangga Percona.
Kembali bibir I Halu Rakryan
Subandira me-
nyunggingkan senyum.
"Kenapa kau berkata seperti
itu, Saka?" lelaki setengah
baya ini balik bertanya.
"Paman Subandira memang
belum tahu atau pu-
ra-pura tidak tahu?!"
bentak Saka Purdianta terus me-
nyelidik.
Melihat kesungguhan pemuda
tampan yang su-
dah cukup terkenal ilmu
kesaktiannya di wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur itu, senyum I
Halu Rakryan Subandi-
ra langsung sirna mendadak.
"Sebelum Paman Subandira
menginjakkan kaki
di Pendapa Katumenggungan,
katakan apa maksud
Paman yang sesungguhnya! Bila
memang hendak me-
nangkap Ayahanda Tumenggung,
langkahi dulu mayat
Dewa Guntur!"
"Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira tertawa
tergelak. "Saka...,
Saka..., kau memang seorang anak
yang tahu menghaturkan bakti
kepada orangtua. Ta-
pi..., sayang sekali kau kurang
pandai mengendalikan
hawa nafsu."
"Apa maksud Paman?!"
tukas Saka Purdianta.
Suaranya terdengar berat
menggeram.
"Kau tahu, Saka..., aku dan
ayahmu adalah sa-
habat baik. Persahabatanku
dengan ayahmu itu bukan
persahabatan yang baru dipupuk.
Kami sudah lama
saling mengenal, sejak usia
belasan tahun. Dan, ikatan
persahabatan itu tak dapat
diputuskan oleh apa pun
dan sampai kapan pun!"
"Tapi, kenapa Paman
Subandira diam saja ketika
tahu orang-orang istana menyebar
fitnah bahwa Aya-
handa Tumenggung hendak
melakukan pemberonta-
kan?" cecar Saka Purdianta.
Pemuda itu tampaknya
belum mempercayai keterangan I
Halu Rakryan Sub-
andira.
"Hmm.... Agaknya aku memang
harus berterus-
terang kepadamu, Saka...,"
lanjut I Halu Rakryan Sub-
andira dengan suara berat
"Itu lebih baik! Bila Paman
Subandira masih me-
nyembunyikan sesuatu, selamanya
aku tidak akan
percaya. Itu berarti maksud
Paman untuk datang ke
Pendapa Katumenggungan harus
diurungkan!"
"Saka...."
I Halu Rakryan Subandira tak
melanjutkan kali-
matnya, karena tiba-tiba muncul
seorang lelaki seten-
gah baya berperawakan tinggi
besar. Walau remang-
remang, cahaya rembulan masih
mampu membantu
untuk dapat mengenali siapa
orang itu. Dilihat dari
pakaian yang dikenakannya, jelas
dia seorang pembe-
sar. I Halu Rakryan Subandira
mengembangkan kedua
tangannya ketika orang yang baru
datang melangkah
menghampiri.
"Adi Sangga
Percona...," panggil I Halu Rakryan
Subandira. Dipeluknya orang
nomor satu di Katu-
menggungan Lemah Abang, yang
tidak lain Tumeng-
gung Sangga Percona.
"Bagaimana keadaanmu,
Kakang Subandira?"
tanya Tumenggung Sangga Percona
sambil menepuk
bahu I Halu Rakryan Subandira.
"Seperti yang kau lihat.
Tidak ada yang kurang
pada diriku," jawab I Halu
Rakryan Subandira.
"Kau hendak ke Pendapa
Katumenggungan? Ke-
napa berhenti di sini?"
"Putramu menghalangi
langkahku." Mendengar
jawaban pendek itu, Tumenggung
Sangga Percona
mendengus. Dia segera
membalikkan badan. Ditatap-
nya lekat-lekat wajah Saka
Purdianta atau si Dewa
Guntur. "Berani benar kau
berlaku tak sopan kepada
sahabat baik ayahmu ini,
Saka?!" bentaknya.
"Maafkan aku,
Ayah...," ucap Saka Purdianta. Pe-
lan namun terkandung rasa heran.
"Aku mengikuti
suara hatiku yang merasa
curiga...."
"Hmm.... Kau mencurigai
Kakang Subandira? Ha
ha ha...!" Tumenggung
Sangga Percona tertawa keras.
Tentu saja hal ini semakin
membuat Saka Purdianta
terheran-heran.
"Jadi, Paman Subandira
memang tidak bermak-
sud menangkap Ayahanda
Tumenggung?" ucap pemu-
da tampan itu, ragu-ragu.
"Ya," tukas Tumenggung
Sangga Percona. "Keta-
huilah, Saka..., fitnah yang
mengatakan bahwa aku
hendak melakukan pemberontakan
itu sesungguhnya
berasal dari mulut Paman
Subandira sendiri"
"Apa?!" Saka Purdianta
bertambah tidak mengerti
saja.
"Semua ini hanya siasat,
Saka. Siasat yang sudah
lama kususun bersama Pamanmu
ini, sejak kau men-
gembara ke Kerajaan Anggarapura
bersama Anggraini
Sulistya," jelas ayah Saka
Purdianta.
"Siasat apa?"
"Di depan Baginda Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit, Kakang Subandira selalu
mengatakan tentang
kecurigaannya padaku. Katanya,
aku hendak melaku-
kan pemberontakan...."
"Dan Ayah diam
saja...?" kejar Saka Purdianta.
"Ini sekadar
siasat..," lanjut Tumenggung Sangga
Percona. Melihat raut wajah
putranya yang berubah
kebodoh-bodohan, senyum tipis
tersungging di bibir-
nya. "Sesungguhnya Kakang
Subandira hendak men-
gambil muka Baginda Prabu. Dan,
ternyata siasatnya
ini dapat berjalan sesuai
rencana. Ha ha ha..."
Sewaktu Tumenggung Sangga
Percona tertawa
terbahak-bahak, Saka Purdianta
menggeram gusar.
Matanya mendelik. Sebentar
kemudian, nafasnya jadi
tersengal.
"Eh! Ada apa denganmu,
Saka?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona, melihat
perubahan pada diri pu-
tranya. "Kau sakit?
Sebaiknya kau kembali ke Penda-
pa...."
"Tidak!" sahut Dewa
Guntur, cepat. "Katakan apa
maksud Ayah dengan membuat
siasat bersama Paman
Subandira!"
Mendengar bentakan Saka
Purdianta, Tumeng-
gung Sangga Percona menatap
nanar wajah putranya
itu. I Halu Rakryan Subandira
yang berdiri di sam-
pingnya pun demikian. Mereka
berdua terkejut, tapi
keduanya segera dapat memaklumi.
Tabiat Saka Pur-
dianta memang kasar dan keras
kepala.
Saka Purdianta sendiri balas
menatap pandangan
kedua lelaki setengah baya itu.
Segera disambungnya
ucapan yang tak mendapat
tanggapan tadi.
"Di kotapraja Pasir Luhur
sekarang banyak ber-
cokol para pemberontak. Pejabat
kerajaan banyak pula
yang berkhianat. Aku tak ingin
Ayahanda Tumenggung
ikut-ikutan dalam hal ini.
Mengambil keuntungan di
air keruh!"
"Bocah gemblung!"
umpat Tumenggung Sangga
Percona melihat keberanian
putranya. "Dirimu masih
bau pupuk lempuyang! Tak perlu
memberi nasihat ke-
pada ayahmu yang sudah bau tanah
ini!"
"Tidak!" sahut Saka
Purdianta, ketus. "Aku sadar
diriku ini memang bukan orang
baik, tapi aku masih
memiliki kesetiaan pada ratu
gustiku yang harus ku-
junjung setinggi langit. Aku
menentang kehendak Aya-
handa!"
Tumenggung Sangga Percona dan I
Halu Rakryan
Subandira saling berpandangan.
"Haram jadah! Anak tak tahu
diuntung!" umpat
Tumenggung Sangga Percona kemudian.
"Sadarlah, Ayah! Jangan
membuat api bila tak
ingin terbakar...."
Mendelik mata Tumenggung Sangga
Percona
mendengar kata-kata putranya.
Seandainya hari tidak
malam, akan dapat dilihat
bagaimana perubahan raut
wajah lelaki tinggi besar itu.
Kaku membesi! Memerah
bagai udang direbus!
"Tenanglah, Adi
Percona...," ucap I Halu Rakryan
Subandira mencoba menenteramkan
hati sahabatnya.
"Putramu masih terlalu muda
untuk bisa mengerti apa
tujuan kita sebenarnya...."
"Aku bukan anak kecil lagi,
Paman!" sela Dewa
Guntur. "Aku tahu Paman dan
Ayah telah membuat
persekongkolan untuk
pemberontakan terhadap kebi-
jaksanaan Baginda Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit. Aku menduga pasukan
tersembunyi yang bera-
da di sekitar kotapraja adalah
orang-orang kalian..."
"Keparat!" caci
Tumenggung Sangga Percona.
Semakin jengkel dan marah hati
lelaki ini. "Kau te-
ruskan lagi kata-katamu itu,
kubunuh kau!" ancam-
nya.
Saka Purdianta tersenyum tipis.
Ditatapnya lan-
git bertabur bintang. Lalu, dari
mulutnya keluar se-
nandung kecil.
Oh, Kakang Kawah Adi Ari-ari....
Adakah kau dengar keluh hati
saudaramu ini?
Di antara dua, aku sama berat
memilih
Ayahanda tercinta atau negeri
tumpah darah?
Semua sama berat
Tapi, tak mungkin aku memilih
keduanya....
"Bocah edan!" maki
Tumenggung Sangga Perco-
na. seraya menerjang untuk
mendaratkan tamparan.
Mengetahui gerakan ayahnya, Saka
Purdianta se-
gera berkelit ke samping.
Mendidihlah darah Tumeng-
gung Sangga Percona mendapati
tamparannya hanya
mengenai angin kosong. Sambil
menggeram keras, dia
melayangkan kaki kanannya.
Wut...!
Sekali lagi Saka Purdianta dapat
menghindari se-
rangan ayahnya. Baju coklat yang
dikenakannya tam-
pak berkibar. Pertanda,
tendangan Tumenggung Sang-
ga Percona dialiri tenaga dalam
tinggi.
"Berani kau mempermainkan
ayahmu! Kubunuh
kau!" teriak lelaki tinggi
besar itu. Dia melanjutkan se-
rangannya yang lebih berbahaya.
"Aku tidak mau punya Ayah
seorang pemberon-
tak!" sahut Saka Purdianta
sambil meloncat jauh.
Tumenggung Sangga Percona
bergegas mengejar.
Semakin kuat hawa amarah yang
menggelayuti ha-
tinya. Hingga, dia lupa kalau
Saka Purdianta adalah
putra tunggalnya. Matanya yang
telah gelap menjadi-
kan nafsu membunuh datang
meluap-luap. Digempur-
nya Saka Purdianta dengan
serangan-serangan mema-
tikan. Sementara I Halu Rakryan
Subandira yang me-
lihat kejadian itu cuma diam
terpaku tanpa berbuat
apa-apa.
"Sadarlah, Ayah! Janganlah
kekuasaan membuat
gelap matamu!" ujar Dewa
Guntur di sela-sela gempu-
ran ayahnya.
"Jangan banyak bacot!"
balas Tumenggung Sang-
ga Percona. "Anak yang
berani membangkang pada
orangtua lebih baik dipecahkan
kepalanya!"
Tumenggung Sangga Percona
meloncat tinggi.
Tubuhnya lalu meluncur
cepat dengan jemari tangan
kanan terbuka lebar. Rupanya dia
benar-benar hendak
memecahkan batok kepala Saka
Purdianta. Namun,
ringan saja pemuda tampan, itu
menggeser tubuhnya
ke kanan.
Wesss...!
Saka Purdianta terkesiap. Walau
tamparan ayah-
nya tak mengenai sasaran, tapi
hawa panas menerpa
wajahnya. Sadarlah dia kalau
ayahnya telah mengelu-
arkan ilmu ‘Pukulan Gurun Pasir’
yang memiliki
keampuhan luar biasa. Kalau saja
tamparan Tumeng-
gung Sangga Percona tadi
mengenai sasaran, kepala
Saka Purdianta tentu telah remuk
menjadi debu.
"Maafkan aku,
Ayah...!" teriak Saka Purdianta ti-
ba-tiba.
Tumenggung Sangga Percona
terkejut melihat tu-
buh putranya berkelebat sangat
cepat. Selain serangan
susulannya hanya mengenai angin
kosong, dia pun tak
melihat lagi di mana sosok Saka
Purdianta.
"Haram jadah!" umpat
Tumenggung Sangga Per-
cona. Digedruknya tanah dengan
kaki kanan. Akibat-
nya, bumi bergetar. Kuda yang
berdiri di samping I Ha-
lu Rakryan Subandira meringkik
panjang karena terke-
jut.
"Sudahlah, Adi
Percona...," ujar I Halu Rakryan
Subandira setelah melompat ke
hadapan Tumenggung
Sangga Percona.
"Dia akan menjadi duri bagi
kita!" ujar Tumeng-
gung Sangga Percona, ketus.
"Dia putramu. Bila dia
berbuat macam-macam,
kau harus dapat mencegahnya.
Namun saat ini aku
tak ingin membicarakan hal itu.
Kebetulan aku datang
atas izin Baginda Prabu. Jadi,
tak ada yang mencuri-
gaiku. Kuharap kau bersedia
menyerahkan Pusaka
Jubah Kuning kepadaku, seperti
janjimu dulu."
"Hmm...," Tumenggung
Sangga Percona terpekur
sejenak. Lalu ujarnya, "Aku
tidak akan lupa pada jan-
jiku, Kakang Subandira. Di
saat-saat seperti ini kau
memang membutuhkan benda pusaka.
Aku sudah
menduganya. Kita tak perlu
repot-repot ke Pendapa
Katumenggungan. Aku telah
membawa benda pusaka
yang kau inginkan."
Tumenggung Sangga Percona
mengeluarkan lipa-
tan kain kuning dari balik
bajunya. I Halu Rakryan
Subandira menatap tajam kain
itu. Wajahnya tampak
tegang ketika menerimanya.
"Aku percaya padamu, Adi
Percona. Tapi, aku be-
lum begitu yakin akan keampuhan
benda pusaka ini
setelah bertahun-tahun
disimpan."
Usai berkata, I Halu Rakryan
Subandira melem-
parkan lipatan kain kuning yang
dipegangnya. Sebe-
lum kain itu jatuh ke tanah, dia
meloloskan pedang
dari pinggangnya. Lalu....
Srat! Srat!
I Halu Rakryan Subandira tertawa
terbahak-
bahak melihat kain kuning tak
mempan oleh tebasan
pedangnya.
"Pusaka Jubah Kuning memang
ampuh. Ha ha
ha...!"
Tumenggung Sangga Percona
menimpali tawa
kepala pengawal istana itu
dengan tawa pula. "Penggal
kepala sapi ompong Singgalang
Manjunjung Langit se-
cepatnya, Kakang
Subandira!" pintanya di sela-sela
suara tawa.
"Ya..., ya...! Akan
kulakukan itu secepat mung-
kin. Dan kita akan.... Ha ha
ha...!"
Setelah puas tawanya, wajah I
Halu Rakryan
Subandira berubah tegang.
"Ada apa, Kakang
Subandira?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona yang melihat
perubahan raut wa-
jah sahabatnya itu.
"Saka Purdianta...,"
desis I Halu Rakryan Suban-
dira. "Aku tak mau dia
menjadi biang penghalang!"
Di ujung kalimatnya, I Halu
Rakryan Subandira
melompat ke punggung kuda putih,
lalu dipacunya
dengan cepat.
"Urusan Saka Purdianta menjadi
tanggung ja-
wabmu!"
Kata-kata itu mengiang di
telinga Tumenggung
Sangga Percona, walau sosok I
Halu Rakryan Subandi-
ra telah lenyap ditelan
kegelapan....
***
3
"Apa yang terjadi,
Sangkala?"
Mendengar pertanyaan yang dibarengi tepukan
pada bahunya, prajurit brewokan
yang tengah dikuasai
rasa takut hebat tiba-tiba jatuh
pingsan. Tubuhnya
melorot ke tanah dalam keadaan
telentang. Matanya
mendelik dengan mulut menganga
lebar!
Lelaki yang baru datang
mengerutkan kening.
Melihat keadaan prajurit yang
dipanggil Sangkala itu,
diam-diam timbul rasa iba dalam
hatinya. Apalagi di
sekeliling tubuh Sangkala
berserakan sepuluh mayat
prajurit bersama kuda mereka.
Agaknya di tempat itu
baru saja terjadi sebuah
pembunuhan keji. Bau anyir
darah sangat menusuk hidung.
Bergegas lelaki setengah baya
berjubah kuning
itu memeriksa keadaan Sangkala.
Mengetahui Sangka-
la tidak mempunyai luka sedikit
pun, orang itu mena-
rik napas panjang. Ditotoknya
beberapa jalan darah di
tubuh Sangkala.
"Uh...!"
Sangkala menggeliat lemah.
Pandangannya bersi-
robok dengan seraut wajah tua
berbulu halus. Sangka-
la terkejut. Dan dia hendak
melompat bangkit, tapi ce-
kalan tangan yang kokoh
menghentikan gerakannya.
"Ini aku,
Sangkala...," ujar lelaki berjubah kuning
dengan suara lembut.
Sangkala membuka matanya
lebar-lebar untuk
memperjelas pandangan.
"Tuan Subandira...,"
desis prajurit brewokan itu.
I Halu Rakryan Subandira
mengangguk. "Apa
yang terjadi, Sangkala? Apakah
rombonganmu dicegat
para perampok?"
Sangkala beringsut duduk.
Kepalanya lalu meng-
geleng perlahan. "Bukan
perampok, Tuan Subandira.
Tapi...."
"Tapi apa? Siapa orang yang
telah berbuat sekeji
ini?" desak I Halu Rakryan
Subandira tak sabar.
"Orang
berkerudung...."
"Kau mengenalnya?"
Sangkala menggeleng.
"Orang itu mengenakan
pakaian ketat serba hi-
tam. Kepalanya dibalut kerudung
berwarna hitam pu-
la, seperti..., seperti pembunuh
bayaran dari negeri
Matahari Terbit..."
"Ninja?"
Sangkala mengangguk. Tangannya meraba-raba
bagian bawah tubuhnya. Sadarlah
dia kalau celananya
telah basah terkena air
kencingnya sendiri yang keluar
tanpa dia sadari. Pada saat
itulah bau pesing menebar.
Tapi, tampaknya I Halu Rakryan
Subandira tak mau
peduli.
"Apa maksud ninja itu
dengan melakukan pem-
bantaian sekejam ini? Dan
tampaknya dia sengaja me-
ninggalkanmu hidup-hidup. Kau
tentu. menerima pe-
san darinya, Sangkala. Apa
itu?"
Mendengar cecaran pertanyaan I
Halu Rakryan
Subandira, Sangkala menarik
napas panjang.
"Aneh...," bisiknya.
"Apanya yang aneh?"
rupanya I Halu Rakryan
Subandira mendengar gumaman
Sangkala.
"Biasanya ninja bersenjata
pedang, tapi orang
berkerudung itu tidak. Dia
mempunyai senjata keris.
Keris Sengkelit Bayu Geni!"
"Hah?!"
I Halu Rakryan Subandira tampak
terperangah.
Keris Sengkelit Bayu Geni
merupakan lambang kekua-
saan raja negeri Pasir Luhur.
Tapi, kenapa bisa berada
di tangan seorang pembunuh
kejam?
"Jelas orang itu bukan
ninja!" cetus I Halu Ra-
kryan Subandira kemudian.
"Dia hanya menyamar se-
bagai ninja agar jati dirinya
tak dikenali."
"Tepat, Tuan
Subandira!" tegas Sangkala. "Semua
ucapannya dapat kumengerti
dengan jelas. Kalau dia
benar-benar seorang ninja dari
negeri Matahari Terbit,
mana bisa dia bertutur kata
dengan bahasa kita?"
"Lalu, apa yang dia
pesankan kepadamu?"
"Saya diperintahkan untuk
kembali ke istana,"
sahut Sangkala dengan perasaan
lega.
"Untuk apa?"
"Menyampaikan pesannya
kepada Baginda Pra-
bu. Orang berkerudung itu
mengatakan kalau utusan
Tumenggung Sangga Percona akan
segera mengirim
utusan untuk menjelaskan duduk
persoalannya. Per-
soalan apa, saya tidak
tahu."
"Hmm.... Kalau begitu, kita
harus segera kembali
ke istana," ajak I Halu
Rakryan Subandira.
"Sebentar, Tuan Subandira...,"
tolak Sangkala.
"Ketika musibah ini
terjadi, Tuan Subandira sendiri
berada di mana? Apakah Tuan
telah sampai di Penda-
pa Katumenggungan Lemah
Abang?"
"Sudahlah,
Sangkala...," ujar I Halu Rakryan
Subandira. "Kita tak
mempunyai waktu banyak. Aku
khawatir utusan Sangga Percona
yang hendak datang
ke istana akan membuat
kerusuhan. Kita harus mela-
porkan peristiwa ini terlebih
dahulu kepada Baginda
Prabu."
I Halu Rakryan Subandira tak mau
mendengar
bantahan Sangkala. Bergegas dia
menghampiri kuda
putih yang talinya diikat pada
sebatang pohon. Dengan
sebuah lompatan ringan
ditungganginya kuda terse-
but.
"Cepat kau naik ke
belakangku, Sangkala!"
Buru-buru Sangkala bangkit dari
duduknya dan
menuruti perintah I Halu Rakryan
Subandira. Seben-
tar kemudian, I Halu Rakryan
Subandira telah mema-
cu kuda putihnya menuju istana
kembali. Walau jalan
telah gelap, tapi kuda itu dapat
berlari demikian cepat
bagai dikejar setan.
Malam belum larut benar ketika
langkah kaki
kuda memasuki gerbang kotapraja.
Prajurit-prajurit
penjaga tentu saja terkejut
melihat seekor kuda putih
berlari sangat cepat menapaki
jalan menuju istana.
Tapi setelah mereka melihat
siapa penunggangnya,
prajurit-prajurit itu diam saja.
Sebagai kepala pengaw-
al istana, I Halu Rakryan
Subandira memang sosok le-
laki yang dihormati dan penuh
wibawa.
"Sekarang juga aku harus
bertemu dengan Ba-
ginda Prabu. Ada kabar penting
yang akan kusampai-
kan kepada beliau," ujar I
Halu Rakryan Subandira se-
telah sampai. di depan pintu
istana. Dia melompat tu-
run dari pelana kuda. Gerakannya
itu segera diikuti
oleh Sangkala.
"Kebetulan sekali, Tuan
Subandira. Baginda Pra-
bu sekarang sedang berada di
ruang pertemuan khu-
sus. Beliau bersama Gusti Patih
Sanca Singapasa dan
Senopati Guntur
Selaksa...," sahut seorang prajurit
penjaga yang merupakan bawahan I
Halu Rakryan
Subandira sendiri.
Dengan langkah tergesa-gesa I
Halu Rakryan
Subandira memasuki istana.
Sangkala mengekor lang-
kah lelaki berjubah kuning itu.
Namun, betapa terke-
jutnya I Halu Rakryan Subandira
ketika telinganya
menangkap suara benturan senjata
tajam empat kali
berturut-turut.
"Nyawa Baginda Prabu
terancam!" ujar I Halu
Rakryan Subandira seraya
menghempaskan tubuh.
Satu kelebatan saja, dia telah
sampai di depan pintu
ruang pertemuan khusus yang
letaknya di sebelah kiri
balairung.
Trang! Trang! Trang!
Benturan senjata tajam itu
terdengar lagi. I Halu
Rakryan Subandira langsung
menjebol daun pintu
yang terkunci. Matanya terbelalak
melihat empat orang
berkerudung hitam sedang
mengeroyok Senopati Gun-
tur Selaksa. Sedangkan seorang
berkerudung hitam
lainnya tampak memburu Patih
Sanca Singapasa den-
gan senjata pedang panjang, sama
dengan senjata di
tangan keempat temannya!
Belum hilang keterkejutan I Halu
Rakryan Sub-
andira, salah seorang dari
pengeroyok Senopati Guntur
Selaksa melentingkan tubuh.
Dikirimkannya tusukan
maut ke dada Prabu Singgalang
Manjujungan Langit
yang berdiri merapat ke dinding.
"Penjahat busuk!" maki
I Halu Rakryan Subandi-
ra. Tubuhnya meloncat ke depan
dengan pedang ter-
hunus.
Trang!
Pedang panjang di tangan orang
berkerudung hi-
tam mencelat lepas dari pegangan
ketika berbenturan
dengan pedang I Halu Rakryan
Subandira.
Sebelum orang itu sempat menoleh
untuk menge-
tahui siapa yang telah
menggagalkan serangannya, I
Halu Rakryan Subandira telah
mengirimkan tebasan
pedang.
Cras!
"Wuaah...!"
Orang berkerudung hitam berdiri
kaku di tem-
patnya. Kepalanya telah
menggelinding ke lantai. Da-
rah memercik ke wajah Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit. Terbayang rasa ngeri di
mata Pemimpin Kera-
jaan Pasir Luhur itu. Namun,
setelah tahu siapa yang
telah menyelamatkan nyawanya,
dia menarik napas le-
ga.
"Sebaiknya Baginda Prabu
pergi dari tempat ini!"
pinta I Halu Rakryan Subandira.
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit bergegas
hendak keluar ruangan. Namun
ketika hampir menca-
pai pintu, salah seorang
pengeroyok Senopati Guntur
Selaksa datang memburu. Dengan
kedua telapak tan-
gan mencekal erat hulu pedang,
dia membabat ping-
gang sang raja!
Trang!
Kali ini Senopati Guntur Selaksa
yang dapat me-
nyelamatkan nyawa Baginda Prabu.
Pedangnya berha-
sil memapaki serangan orang
berkerudung.
"Selamatkan Baginda Prabu,
Sangkala!" teriak I
Halu Rakryan Subandira yang
melihat Sangkala cuma
berdiri termangu di ambang
pintu.
Dengan sedikit menyeret Sangkala
membawa
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit keluar dari ruang
pertemuan. Melihat sang raja
dapat meloloskan diri,
orang berkerudung hitam yang
sedang menggempur
Patih Sanca Singapasa menggeram
keras. Tubuhnya
lalu bergerak sangat cepat.
Pedang panjang di tangan-
nya berubah menjadi kilatan
sinar perak.
Trang!
"Argh...!"
Patih Sanca Singapasa mencoba
menangkis sam-
baran pedang yang tertuju ke
lehernya dengan mem-
pergunakan keris. Sayang, keris
itu terpental lepas da-
ri pegangan dan cairan darah
segera memercik ke
dinding. Rupanya, bahu kanan
Patih Sanca Singapasa
robek lebar terkena tebasan
pedang lawan!
Tubuh patih yang berusia sekitar
lima puluh ta-
hun itu kemudian mencelat
menghantam dinding.
Tendangan orang berkerudung
telah menghujam tepat
di dadanya.
Orang berkerudung hitam yang
berhasil menja-
tuhkan Patih Sanca Singapasa
lalu melompat ke am-
bang pintu. Hendak dikejarnya ke
mana perginya Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit
bersama Sangkala.
Tapi, kelebatan I Halu Rakryan
Subandira menggagal-
kan maksud itu.
"Hadapi aku, Penjahat
Culas!" hardik I Halu Ra-
kryan Subandira seraya
mengirimkan tebasan pedang
ke leher lawan.
Pelan saja orang berkerudung
hitam merunduk-
kan tubuhnya. Lalu, pedang
panjang di tangannya
berdesing hendak memapras tubuh
bagian bawah I
Halu Rakryan Subandira. Namun
serangan itu tak
menghasilkan apa-apa. Yang
menjadi sasaran telah
melompat tinggi.
Saat itulah terdengar sebuah
suitan nyaring.
Orang berkerudung hitam yang
sedang berhadapan
dengan I Halu Rakryan Subandira
mendengus. Bola
matanya yang terlihat dari dua
lubang sempit di keru-
dung tampak membesar. Cepat dia
mengambil sebuah
benda bundar dari balik bajunya.
Dilemparkannya
benda itu ke hadapan I Halu
Rakryan Subandira.
Blar! Blar! Blar! Blar!
Ledakan keras terdengar empat
kali. Benda bulat
yang dilemparkan orang
berkerudung hitam itu ternya-
ta bahan peledak. Tiga ledakan
lainnya berasal dari
lemparan tiga pengeroyok
Senopati Guntur Selaksa.
Beberapa lama ruang pertemuan
khusus yang ti-
dak seberapa lebar itu dipenuhi
asap hitam tebal. Bau
sangit yang menebar menimbulkan
rasa pedas di mata.
Ketika asap telah lenyap, empat
orang berkerudung hi-
tam ikut lenyap pula. Sementara
Senopati Guntur Se-
laksa dan I Halu Rakryan
Subandira berdiri nanar
dengan pedang melintang di depan
dada. Di sudut
ruangan Patih Panca Singapasa
duduk berselonjor ka-
ki sambil mendekap bahu kanannya
yang terluka.
I Halu Rakryan Subandira
menggeram gusar.
Mayat orang berkerudung hitam
yang tadi berhasil di-
tebas lehernya telah hilang.
Termasuk kepalanya yang
semula tergeletak merapat di
dinding dekat pintu.
"Kita harus segera
memastikan keselamatan Ba-
ginda Prabu!" cetus
Senopati Guntur Selaksa.
Kepala pasukan yang masih muda,
berumur seki-
tar tiga puluh tahun itu,
bergegas keluar dari ruangan.
Gerakannya segera diikuti I Halu
Rakryan Subandira.
Patih Sanca Singapasa pun
bangkit dari duduknya,
kemudian mengikuti langkah kedua
punggawa kera-
jaan itu.
Sesampai di lorong jalan yang
hendak menuju ke
kamar raja, mereka menghentikan
langkah. Mereka
melihat tidak kurang dari dua
lusin prajurit penjaga is-
tana tengah berkerumun. Betapa
terkejutnya I Halu
Rakryan Subandira ketika melihat
sesuatu yang men-
jadi pusat kerumunan itu
ternyata mayat Sangkala!
I Halu Rakryan Subandira lalu
berlari-lari menge-
lilingi segala penjuru istana.
Tapi, tak satu pun orang
yang ditemuinya dapat
menunjukkan di mana Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
berada. Bahkan, pada
dayang dan Permaisuri Sekar
Tunjung Biru sendiri.
I Halu Rakryan Subandira
bergegas kembali ke
lorong jalan tempat mayat
Sangkala tergeletak. Di sana
sudah tak ada lagi kerumunan.
Yang ada cuma Seno-
pati Guntur Selaksa yang sedang
memeriksa mayat
Sangkala.
Mengetahui kedatangan I Halu
Rakryan Subandi-
ra, Senopati Guntur Selaksa
mendongak. "Kau lihat
benda ini, Kakang
Subandira" ujarnya sambil menun-
jukkan dua lempengan besi
berbentuk bintang.
"Shuriken!" desis I
Halu Rakryan Subandira.
"Senjata rahasia ninja ini
kutemukan menancap di
kening dan tenggorokan
Sangkala," jelas Senopati
Guntur Selaksa.
"Hmm.... Agaknya para
pembunuh bayaran dari
negeri Matahari Terbit sengaja
menyatroni istana. Tapi
siapa pun yang menjadi otak
pembunuhan ini, jelas
mereka mengincar kematian
Baginda Prabu."
"Apa sebaiknya kukerahkan
lebih banyak lagi
prajurit untuk mengejar
orang-orang berkerudung hi-
tam itu, Kakang Subandira?"
ujar Senopati Guntur Se-
laksa meminta pertimbangan.
"Percuma saja, Guntur.
Kalau benar mereka ada-
lah ninja, tak mungkin langkah
kaki mereka dapat di-
kejar. Aku dapat merasakan
kehebatan kendo atau il-
mu pedang khas ninja yang
tangguh. Belum lagi senja-
ta mereka yang disebut shuriken
itu. Para prajurit
yang mengejar akan menjadi
makanan empuk!"
Sambil berkata demikian, benak I
Halu Rakryan
Subandira mengingat peristiwa
pembunuhan di Katu-
menggungan Lemah Abang.
"Hmm.... Apakah ninja-
ninja tadi mempunyai hubungan
dengan orang berke-
rudung hitam yang dituturkan
Sangkala telah mem-
bunuh sepuluh temannya
itu?" tanya I Halu Rakryan
Subandira dalam hati. "Ah,
sebaiknya peristiwa itu ku-
simpan saja. Terlalu konyol
untuk menceritakannya
kepada orang lain...."
I Halu Rakryan Subandira lalu
memanggil seo-
rang pengawal untuk mengurus
mayat Sangkala. Ber-
sama Senopati Guntur Selaksa,
kepala pengawal ista-
na itu kemudian memasuki ruang
pengobatan. Di sana
tampak seorang tabib tua tengah
membalut luka di
bahu kanan Patih Sanca
Singapasa.
"Bagaimana lukamu, Kakang
Sanca?" tanya I Ha-
lu Rakryan Subandira. Walau usia
mereka sebaya, I
Halu Rakryan Subandira memanggil
'kakang', karena
kedudukan Patih Sanca Singapasa
yang lebih tinggi.
Mendengar pertanyaan kepala
pengawal istana
itu, Patih Sanca Singapasa malah
memandang heran:
"Kenapa kalian berada di
sini?" tanyanya sambil me-
mandang wajah I Halu Rakryan
Subandira dan Seno-
pati Guntur Selaksa bergantian.
"Apa maksud Paman
Sanca?" Senopati Guntur
Selaksa ganti bertanya.
Patih Sanca Singapasa mendengus
gusar. Dite-
pisnya tangan tabib tua yang
masih sibuk membalut
luka di bahu kanannya.
"Bukankah kalian tahu kalau
Baginda Prabu jadi
korban penculikan? Tapi kenapa
kalian malah enak-
enakan berada di tempat
ini?!" ujar tokoh kedua di Ke-
rajaan Pasir Luhur itu dengan
setengah membentak.
"Lima puluh prajurit telah
mengejar orang-orang
berkerudung hitam itu,"
kilah Senopati Guntur Selak-
sa.
"Kau pikir mereka akan
mampu menyelamatkan
Baginda Prabu?"
Senopati Guntur Selaksa terdiam.
I Halu Rakryan
Subandira tampak mengerutkan
kening.
"Aku curiga pada kalian
berdua!" cetus Patih
Sanca Singapasa seraya melangkah
keluar ruangan.
I Halu Rakryan Subandira dan
Senopati Guntur
Selaksa mengikuti kepergian
lelaki tua itu dengan
pandangan mata nanar. Sedikit
banyak mereka merasa
tersinggung dengan tuduhan patih
itu.
***
Emoticon