4
Pagi merayap menjelang siang.
Sebuah ke-
dai nasi yang berada di pinggir
kota Kadipaten
Bumiraksa masih saja terlihat
ramai oleh pengun-
jung yang hendak sarapan. Daya
tariknya mung-
kin berasal dari si pemilik
kedai, seorang janda
muda berparas lumayan dan
bertubuh sintal-
montok. Maka tak heran apabila
yang datang se-
bagian besar adalah para lelaki
hidung belang
yang ingin cuci mata dan berbuat
iseng. Nada bi-
cara mereka sungguh tak enak
didengar. Selain
keras, juga penuh kata-kata tak
sopan. Namun, si
pemilik kedai agaknya sudah
terbiasa menghada-
pi orang-orang macam mereka.
Sikapnya tenang-
tenang saja. Namun bila ada yang
masih berbuat
jahil, dia berusaha menangkisnya
dengan kata-
kata sopan tanpa menyinggung
perasaan.
"Hmm.... Masakanmu sungguh
enak. Pad-
mi...," puji seorang lelaki
kekar berkumis tebal
melintang sambil mengerling
penuh arti ke arah
pemilik kedai.
Namun si janda yang bernama
Padmi tak
ambil peduli. Wanita ini terus
saja menyeduh ko-
pi. Suara denting beradunya gelas
dan sendok
adukan terdengar jelas.
"Padmi sudah tidak perlu
pujian semacam
itu, Gatra...," sahut
lelaki kerempeng yang duduk
di kiri lelaki berkumis tebal
bernama Gatra.
"Mana ada perempuan tak
butuh pujian?"
tukas Gatra.
"Huh! Kau ini bodoh amat"
ujar lelaki ke-
rempeng, di dekat telinga Gatra.
"Semua orang
sudah tahu kalau masakan Padmi
enak. Jadi, tak
perlu mengatakannya lagi!"
Gatra menatap wajah temannya,
lalu men-
gedipkan sebelah matanya.
"Kalau kau ingin memuji,
katakan saja ka-
lau Padmi itu cantik, menarik,
dan tak pantas
menjadi penjual nasi...,"
lanjut lelaki kerempeng.
"Lalu, pantasnya jadi apa,
Sarpan?" tanya
Gatra, pura-pura tak mengerti.
"Katakan bila Padmi itu
lebih pantas jadi
istrimu!" sahut lelaki
kerempeng bernama Sarpan.
"Ha ha ha...!"
Gatra tertawa bergelak. Empat
lelaki lain-
nya langsung menyambuti dengan
tawa tak kalah
keras.
"Ya..., ya! Padmi memang
lebih pantas jadi
istriku...," angguk Gatra
sambil memelintir ku-
misnya.
Sementara, si pemilik kedai yang
menjadi
bahan pembicaraan tetap tak mau
ambil peduli.
Kopi seduhnya segera diulurkan
kepada seorang
remaja tampan berpakaian putih
bersih tapi pe-
nuh tambalan yang duduk di kursi
bambu paling
ujung.
"Hei?! Bukankah aku tadi
minta tambah
kopi? Kenapa kau layani dia
dulu, Padmi?!" ben-
tak Sarpan.
"Ini sedang kubuatkan,
Kang...," sahut
Padmi, kalem. Tangannya sibuk
mencari kopi lagi.
"Aku mau yang itu!"
Sarpan menunjuk se-
cangkir kopi yang berada di
hadapan remaja tam-
pan berpakaian penuh tambalan.
"Bersabarlah sedikit,
Kang...," pinta Padmi.
Nada suaranya sopan sekali.
"Ini juga hampir se-
lesai. "
Walau melihat si pemilik kedai
memperce-
pat seduhan kopinya, tapi Sarpan
tetap ngotot.
"Sudah kubilang, aku mau
kopi yang itu!"
katanya sambil menunjuk lagi
secangkir kopi
yang diinginkannya.
Remaja tampan berpakaian penuh
tamba-
lan tersenyum tipis.
"Silakan, Orang
Baik...," ucapnya sambil
menggeser cangkir kopinya ke
hadapan Sarpan.
"Nah, ini baru
enak...!" sambut Sarpan se-
raya mengulurkan tangannya untuk
menuang
kopi ke cawan.
Tapi, alangkah kagetnya lelaki
kerempeng
ini. Ketika tangannya hampir
menyentuh cangkir,
mendadak cangkir berisi kopi
panas itu bergeser.
Padahal tidak ada yang
menyentuhnya.
"Kau kenapa, Sarpan?"
tanya Gatra.
"Ah, tidak!" cepat
lelaki kerempeng itu me-
nyahut. Malu juga hatinya jadi
pusat perhatian.
"Silakan.... Kenapa hanya
dilihat saja?"
sindir si remaja tampan sambil
menerima kopinya
yang baru.
Sarpan mendengus. Segera
disambarnya
cangkir kopi yang ada di
hadapannya. Tapi....
Srettt!
"Bedebah!"
Lagi-lagi cangkir kopi itu
bergeser. Maka,
naik pitamlah Sarpan. Dia tahu
kalau sedang di-
permainkan.
"Hm.... Rupanya ada orang
yang belum
kenal Raden Mas Sarpan Sastro
Manggolo yang
bergelar Harimau Kerempeng
Jagoan Minum...,"
gumam Sarpan seraya bangkit
berdiri dan mende-
lik ke arah si remaja tampan.
"He he he...," remaja
tampan berpakaian
penuh tambalan malah tertawa
terkekeh. "Benar-
kah kau Harimau Kerempeng Jagoan
Minum?"
"Ya! Maka dari itu,
sebaiknya segera me-
nyingkir!" usir Sarpan,
sombong sekali.
"Aduh, sayang
sekali...," keluh si remaja
tampan tiba-tiba.
"Jauh-jauh aku datang kemari
memang hendak menemui orang yang
bergelar
Harimau Kerempeng Jagoan Minum.
Setelah ber-
temu, eh, dia malah
mengusirku...."
"Benar kau bermaksud
menemuiku?" tanya
Sarpan penuh selidik.
"Ya. Aku ingin menantang
minum." Men-
dengar jawaban si remaja tampan,
Sarpan dan
teman-temannya tertawa
terbahak-bahak.
"Kau layani saja dia,
Sarpan. Sekaligus beri
pelajaran!" usul lelaki
berikat kepala batik yang
duduk di samping Gatra.
"Benar, Bawor. Aku memang
harus mem-
berinya pelajaran!" sambut
Sarpan, cepat.
Sementara, si remaja tampan
malah terse-
nyum-senyum.
"Jadi kau menerima
tantanganku?" ujar-
nya, meminta kepastian.
"Di sini tidak jual
arak!" sergah Padmi,
yang mencuri dengar pembicaraan.
"Kami bukan mau minum arak,
tapi mau
minum kopi. Bukankah begitu,
Harimau Kerem-
peng Jagoan Minum yang baik
hati?" tukas rema-
ja tampan itu.
"Ha ha ha...!" Sarpan
tertawa bergelak.
"Rupanya kau bocah edan
yang berlaku sok wa-
ras! Mana ada orang bertanding
minum, tapi yang
diminum kopi?!"
"Kau menolak
tantanganku?"
"Tidak! Aku terima. Tapi,
kau yang bayar!"
Bibir si remaja tampan
menyungging se-
nyum.
"Kita sama-sama mempunyai
kopi panas.
Siapa yang paling cepat
menghabiskannya, dialah
yang menang."
Mendelik mata Sarpan mendengar
ucapan
calon lawannya. Lebih mendelik
lagi ketika meli-
hat kopi di hadapannya masih
mengepulkan asap
panas. Bagaimana dia bisa minum
kopi sepanas
itu?
"Ayo, Sarpan! Tunggu apa
lagi?!" lelaki
yang bernama Bawor mengompori.
"Segera kau beri pelajaran
bocah edan itu!"
timpal Gatra.
"Ayo! Kenapa bengong,
Sarpan?" tambah
yang lain.
Sementara teman-temannya
bersorak-
sorak memberi semangat, bibir
Sarpan malah me-
rengut. Pandangan matanya sayu.
"Aduh! Bagaimana ini? Aku
tidak mau ber-
buat konyol!" rungutnya
dalam hati.
Remaja tampan berpakaian penuh
tamba-
lan seperti tak peduli pada
sikap Sarpan.
"Sekarang akan kalian
saksikan sebuah
pertandingan minum kopi
panas...," kata si pe-
muda sambil menatap wajah
teman-teman Sar-
pan bergantian. "Setelah
hitungan ketiga, aku dan
Sarpan akan segera mengangkat
cangkir. Satu...,
dua..., tiga!"
Tenang saja si remaja tampan
memegang
cangkir berisi kopi panas.
Diliriknya Sarpan yang
masih duduk termangu.
"Kau sudah kalah sebelum
bertanding, Ha-
rimau Kerempeng Jagoan Minum
yang baik ha-
ti...," ejeknya.
"Siapa bilang?" tukas
Sarpan bergegas.
Lelaki berumur sekitar empat
puluh tahun
ini akhirnya memberanikan diri
juga. Cepat sekali
cangkir di hadapannya disambar.
Lalu, isinya di-
tenggak sampai tandas!
"Wuah...!" jerit
Sarpan setelah cangkir ko-
pinya diletakkan.
Selagi lelaki kerempeng itu berjingkrak-
jingkrak karena kepanasan, si
remaja tampan ter-
tawa terkekeh-kekeh.
"Rasakan itu! Kalau orang
mau menang
sendiri, begitulah
akibatnya!"
Usai berkata, si remaja tampan
turut me-
nenggak kopi panasnya.
Gerakannya perlahan
sekali. Bahkan, matanya terlihat
merem-melek,
seperti tengah merasakan
kenikmatan luar biasa.
"Bocah edan! Anak
Gondoruwo! Tunggu
pembalasanku! Wuah...!"
maki Sarpan seraya ber-
lari terbirit-birit sambil
mendekap mulutnya yang
terasa nyonyor. Teman-temannya
turut keluar da-
ri kedai, mengejar Sarpan yang
terus berlari sam-
bil mendekap mulutnya.
Remaja tampan berpakaian penuh
tamba-
lan itu pun mendelik.
"Hei! Hei! Jangan
pergi!" teriaknya tanpa
ada yang menyahuti. "Aduh!
Mati aku! Siapa yang
mesti membayar makanan
bergajul-bergajul ta-
di?"
"Tentu saja kau yang harus
bayar! Karena
ulahmu mereka semua lari!"
sambar si pemilik
kedai, ketika remaja tampan itu
kebingungan
sambil garuk-garuk kepala.
"Iya. Tapi...,
tapi...."
"Ayo! Kau tidak mau
bayar?!" tuding pemi-
lik kedai, marah.
"Eh..., eh...," si
remaja tampan gelagapan.
Kepalanya digaruk semakin keras.
Mendadak, muncul seorang lelaki
tinggi te-
gap berpakaian kuning-coklat.
Wajahnya tampan,
dihiasi kumis tipis. Rambutnya
diikat sehelai kain
putih.
"Aku yang akan bayar
semuanya!"
Begitu duduk di kursi bambu,
lelaki beru-
mur sekitar tiga puluh lima
tahun ini langsung
membuka suara.
Si janda pemilik kedai menatap
wajah
orang yang baru datang. Melihat
kesungguhan le-
laki berkumis tipis itu,
padamlah api amarahnya.
"Eh! Kau begitu baik hati.
Siapa...."
Si remaja tampan tak melanjutkan
bica-
ranya. Matanya melotot melihat
wajah lelaki ber-
kumis tipis.
"Bukankah kau Senopati
Guntur Selaksa?"
lanjutnya, setelah mengenali
lelaki yang baru da-
tang.
"Ya. Aku diutus Baginda
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit untuk
menyusulmu, Suro...,"
ujar lelaki berkumis tipis yang
memang Senopati
Guntur Selaksa, Panglima Perang
Kerajaan Pasir
Luhur.
Remaja tampan garuk-garuk kepala
lagi.
Melihat kebiasaannya ini, siapa
lagi dia kalau bu-
kan Suropati yang dikenal
sebagai Pengemis Bi-
nal, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti.
"Kepergianmu yang tanpa
pamit membuat
resah Baginda Prabu. Apalagi,
Tuan Putri Sekar
Tunjung Biru. Bahkan apabila kau
tak juga kem-
bali ke istana, Anggraini
Sulistya akan mencari-
mu, Suro...," lanjut
Senopati Guntur Selaksa.
"Lho? Bukankah Anggraini Sulistya telah
berbahagia bersama Raka
Maruta?" tukas Suro-
pati dengan kening berkerut.
"Ya. Tapi dia sangat
menyayangimu, Suro.
Sepertinya, dia tak mau berpisah
denganmu ba-
rang sekejap...," ungkap
Senopati Guntur Selaksa
penuh kesungguhan. "Dan
lagi, kupikir kau sebe-
narnya tak perlu kembali ke
Kerajaan Anggarapu-
ra. Kau putra mahkota Kerajaan
Pasir Luhur, Su-
ro. Kau berhak menikmati semua
kemewahan di
negeri yang dipimpin
ayahandamu." (Cerita ten-
tang asal-usul Suropati yang
ternyata putra Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit,
silakan baca
episode: "Pemberontakan
Subandira").
"Aku senang tinggal di
istana. Tapi aku ha-
rus tahu diri, Paman. Aku
mempunyai sebuah
perkumpulan yang anggotanya
orang-orang
miskin dan telantar. Aku
pemimpin mereka. Ten-
tu saja mereka membutuhkan
aku...."
"Aku bisa mengerti. Tapi,
entah Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit."
"Aku berjanji, suatu saat
akan kembali ke
Istana Pasir Luhur. Tapi yang
jelas, kedatanganku
bukan untuk mencari kemewahan
ataupun ke-
nikmatan duniawi. Aku datang
karena mempu-
nyai orangtua yang patut
mendapatkan darma-
baktiku."
Senopati itu tampak merenung
sejenak.
Ketika si janda pemilik kedai
menawarkan mi-
num, lelaki gagah ini cuma
menggeleng. Lalu, di-
tatapnya wajah Pengemis Binal
dalam-dalam.
"Baiklah, Suro. Aku tidak
akan memaksa-
mu untuk kembali ke istana.
Mudah-mudahan
Baginda Prabu, Tuan Putri Sekar
Tunjung Biru,
dan kakak-mu Anggraini Sulistya
mau mengerti
keadaan-mu...," desah
lelaki itu.
Bibir Suropati menyungging
senyum. Ke-
mudian dia garuk-garuk kepala.
Remaja tampan
yang rambutnya dibiarkan
tergerai ini lantas balik
menatap senopati itu.
"Kalau Paman Selaksa tak
mau minum
apa-apa, sebaiknya kita pergi.
Tentu saja Paman
yang bayar. Aku hanya punya
ini." Pengemis Bi-
nal menunjukkan sekeping uang
logam. "Uangku
tak cukup untuk membayar makanan
yang diha-
biskan bergajul-bergajul
tadi."
Senopati Guntur Selaksa
mengangguk.
***
"Aku tadi sempat melihat
bagaimana kau
meminum kopi panas. Kau hebat
sekali, Suro...,"
puji Senopati Guntur Selaksa di
tengah jalan, ke-
tika memasuki keramaian kota
Kadipaten Bumi-
raksa.
"Ah, Paman terlalu memuji.
Aku yang bo-
doh ini kebetulan memiliki ilmu
'Pukulan Salju
Merah'. Sehingga, mudah saja
bagiku untuk
membuat kopi panas jadi
dingin," tukas Pengemis
Binal, merendah. (Tentang ilmu pemberian Nyai
Catur Asta ini, dapat disimak
pada episode :
"Dendam Ratu Air").
"Tenaga dalammu juga hebat
sekali, Suro.
Aku pun sempat melihat kau
memindahkan
cangkir kopi di hadapan orang
kerempeng tadi
hanya dengan memegang pinggiran
meja."
"Ah! Jangan terus memuji,
Paman. Bisa be-
sar kepalaku nanti."
Pengemis Binal garuk-garuk
kepala untuk ke sekian kalinya.
"Eh, Paman kok
tahu apa yang terjadi barusan di
kedai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku
tadi duduk di
depan kedai. Hanya kau yang tak
melihat."
"Kenapa Paman tak langsung
menegurku?"
"Aku ingin tahu salah satu
perbuatan ko-
nyol-mu. Ternyata.... He he
he...."
Senopati Guntur Selaksa tertawa
terkekeh-
kekeh. Dengan pakaian biasa yang
sederhana,
orang tak akan tahu bila dia
adalah seorang peja-
bat tinggi kerajaan. Walau baru
beberapa pekan
mengenal Suropati, tapi sikapnya
sudah sangat
akrab. Baginya, Suropati adalah
seorang teman
menyenangkan. Tak heran apabila
panglima pe-
rang ini kemudian minta diantar Suropati
meli-
hat-lihat keramaian kota
Kadipaten Bumiraksa.
Di sepanjang jalan, semakin
tahulah Seno-
pati Guntur Selaksa kalau
Suropati adalah seo-
rang pemimpin yang penuh
perhatian kepada
anak buahnya. Hampir semua
pengemis dan ge-
landangan yang dijumpai
mengelu-elukan keda-
tangannya. Terlihat, bagaimana
mereka sangat
membutuhkan sosok pemimpin
seperti Suropati.
Walau sering berperilaku konyol,
tapi bisa menja-
di seorang Dewa Penolong yang
penuh welas asih.
"Kukira kau sudah cukup
menghabiskan
waktumu untuk menemaniku,
Suro...," cetus Se-
nopati Guntur Selaksa ketika
matahari mulai ter-
puruk dari titik tengahnya.
"Aku selalu punya waktu
untuk orang se-
baik Paman Selaksa...,"
balas Suropati.
"Sebaiknya aku minta diri
untuk kembali
ke istana. Akan kucoba untuk
memberi penger-
tian kepada Baginda Prabu
Singgalang Manjun-
jung Langit tentang keberadaanmu
di sini."
"Dalam waktu secepat ini,
Paman? Tidak-
kah Paman ingin melihat-lihat
wilayah Kerajaan
Anggarapura yang subur dan
makmur, serta pen-
duduknya yang ramah-ramah? Aku
akan mene-
mani-mu, Paman."
"Terima kasih, Suro. Apa
kau lupa kalau
aku adalah seorang pejabat? Aku
tidak bisa ber-
laku seenak perutku sendiri.
Banyak tugas yang
membutuhkan uluran
tanganku."
"Baiklah kalau begitu.
Sampaikan sembah-
sujudku kepada Ayahanda Prabu
dan Ibunda Se-
kar Tunjung Biru. Serta,
sampaikan salam ma-
nisku kepada Anggraini Sulistya
dan Raka Maru-
ta. Semoga mereka menjadi
pasangan bahagia se-
panjang masa."
Tepat di pasar hewan, Suropati
mengan-
tarkan Senopati Guntur Selaksa
untuk membeli
seekor kuda yang kuat. Dan
dengan menunggang
kuda itu, Senopati Guntur
Selaksa hendak kem-
bali ke Istana Pasir Luhur lewat
jalan barat. Se-
dangkan Suropati sendiri hendak
melanjutkan
perjalanannya ke puncak Bukit
Pangalasan untuk
menemui Kakek Gede Panjalu alias
Pengemis
Tongkat Sakti, sesepuh
perkumpulan pengemis
yang dipimpinnya.
***
"Tolong...!
Tolong...!"
Baru saja keluar dari kota
Kadipaten Bu-
miraksa, Suropati dikejutkan
oleh suara minta to-
long. Menyusul kemudian, tampak
seorang gadis
tengah berlari-lari ketakutan.
Malang, langkah kaki si gadis
terantuk ba-
tu. Tubuhnya tak terkendali
lagi, lalu jatuh ter-
sungkur.
Brukkk!
Pengemis Binal segera meloncat
mengham-
piri, kemudian membantu si gadis
untuk berdiri.
"Ada apa? Kenapa kau
berlari ketakutan?"
tanya Suropati.
"Tolong...! Tolong aku,
Tuan!" pinta si ga-
dis, gelagapan. Napasnya
terdengar memburu.
Sementara keringatnya membanjir.
"Tenanglah.... Kau aman bersamaku,"
bu-
juk Pengemis Binal, menenangkan.
"Harimau...! Aku..., aku
dikejar harimau,
Tuan!"
Di ujung kalimat si gadis,
Suropati melihat
seekor harimau besar tengah
berlari cepat menu-
ju ke arahnya. Segera pemuda ini
meloncat,
menghadang lari harimau yang
sudah melayang
menerkam.
"Pergi ke hutan sana,
Harimau Usil!" ujar
Pengemis Binal seraya
melancarkan tendangan.
Buk...!
Tubuh harimau itu kontan
terpental dan
jatuh bergulingan terkena
tendangan Suropati.
Ketika raja hutan itu bangkit,
Suropati sudah
berkelebat sambil mengebutkan
tongkatnya.
Tak!
"Graungr...!"
Hajaran Suropati cukup membuat
harimau
besar lari pontang-panting,
meninggalkan raun-
gan keras.
"Terima kasih..., terima
kasih, Tuan...,"
ucap gadis yang baru ditolong.
"Jangan panggil 'Tuan'.
Namaku Suropati,"
tukas Pengemis Binal sambil
menatap wajah si
gadis.
Tersenyum senanglah remaja
konyol ini.
Ternyata, gadis yang berdiri di
hadapannya ber-
paras cantik. Walau memakai
pakaian sederhana,
tapi kepadatan tubuhnya dapat
dilihat. Rambut-
nya hitam-pekat sebahu. Bila
ditaksir, umurnya
sekitar dua puluh tahun.
"Benarkah kau
Suropati?" kejut si gadis ti-
ba-tiba.
"Ya. Kenapa?" sahut
Suropati, balik ber-
tanya.
"Kau..., kau Pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti?"
"Ya. Tak senang berjumpa
denganku?"
"Tentu saja aku senang,
Tuan Suropati.
Aku...."
"Sudah kubilang, jangan
panggil 'Tuan'.
Cukup panggil aku Suro...."
"Ya..., ya, Suro. Aku
sangat senang ber-
jumpa denganmu. Ternyata, orang
yang bernama
Suropati sangat tampan dan
berkepandaian ting-
gi."
Pengemis Binal tersenyum-senyum
men-
dengar pujian si gadis.
"Ah, kau juga
cantik...," balasnya. "Siapa
namamu? Dan, bagaimana kau bisa
dikejar-kejar
harimau?"
Mendengar pertanyaan Suropati,
menda-
dak wajah si gadis berubah
murung.
"Eh, kau kenapa? Menyesal
berjumpa den-
ganku?" tanya si remaja
dengan konyol. Kumat
sudah penyakit lamanya melihat
seraut wajah
cantik.
Si gadis belum juga membuka
suara,
membuat Pengemis Binal berkerut
keningnya.
"Kau kenapa? Kau malu untuk
memintaku
mengantarkanmu pulang?"
lanjut si pemuda.
"Tidak. Aku tidak akan
pulang lagi. Aku
mau mencari ayahku yang telah
pergi meninggal-
kanku...," tutur si gadis
tanpa diminta.
"Katakan siapa namamu dulu,
baru berce-
rita," ujar Suropati.
"Namaku Swani. Dalam
perjalanan mencari
ayahku, aku tersesat di hutan.
Lalu, aku dikejar-
kejar seekor harimau. Untunglah
kau datang me-
nolongku, Suro. Aku tidak tahu,
bagaimana harus
membalas budi baikmu
ini...."
''Aah.... Kau tidak perlu
membalas budi,''
tukas Suropati. "Asal kau
mau jadi temanku, aku
sudah senang."
"Benar?"
Pengemis Binal mengangguk.
Diraihnya
tangan si gadis yang bernama
Swani, lalu dicium-
nya. "Kau cantik sekali,
Swani...," puji Suropati.
Si pemuda menatap wajah Swani
dalam-dalam.
Sementara, yang ditatap menunduk
malu.
"Kau sekarang hendak
mencari ayahmu ke
mana?" tanya Pengemis Binal
kemudian.
"Aku tak tahu," jawab
Swani, pelan sekali.
"Kalau begitu, ikut aku
saja. Aku akan
meminta bantuan anak buahku
untuk turut
mencari ayahmu."
"Ah! Kau baik sekali.
Suro."
"Jangan terlalu memuji.
Untuk gadis se-
cantik kau, apa pun akan
kulakukan,"
Suropati menggandeng tangan
Swani. Dan,
gadis itu pun menurut saja
ketika Suropati men-
gajak memasuki keramaian kota
Kadipaten Bumi-
raksa. Berjalan bersama gadis
cantik, Suropati
lupa pada tujuannya semula yang
hendak pergi
ke puncak Bukit Pangalasan.
5
Resi Raga Pamungkas berlari
bagai dikejar
setan. Walau luka di bahu
kirinya sudah tak
mengucurkan darah lagi, tapi
pedihnya masih te-
rasa menyengat. Pertapa ini
menggigit bibir, beru-
saha menahan sakit. Ketika
tubuhnya mulai
menggigil dan keringat deras
mengucur, langkah-
nya berhenti.
"Agaknya, Pedang Hijau yang
melukaiku
mengandung racun...," desah
pertapa bertubuh
kurus kecil ini, "Aku harus
bertindak cepat sebe-
lum kerja jantungku
terganggu."
Segera Resi Raga Pamungkas
mengambil
obat pulung dari lipatan kain
jubahnya. Sebutir
ditelannya. Sebutir lagi diremas
untuk kemudian
diborehkan pada luka di bahu
kiri. Lalu dengan
kain sobekan lengan jubahnya,
luka akibat ber-
tempur dengan Somagatra itu
dibalutnya.
"Aku yakin, pemuda yang
bernama Soma-
gatra itu terus mengejarku. Aku
harus menghin-
darinya sampai dapat memastikan
siapa yang te-
lah menyebar kabar bohong
itu...," kata batin Resi
Raga Pamungkas kemudian.
"Kurasa tempat yang
penting aman untuk bersembunyi
adalah kota
yang ramai. Walau nanti aku
kepergok, Somaga-
tra tak akan berani berbuat
macam-macam. Ka-
rena, dia tentu takut
perbuatannya akan diketa-
hui anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
lainnya."
Merasa mendapat gagasan bagus,
Resi Ra-
ga Pamungkas melanjutkan
langkahnya dengan
berlari menuju kota Kadipaten
Bumiraksa, yang
memang tak seberapa jauh dari
Bukit Ranuglagah
tempat pertapaannya.
Baru saja melewati pintu
gerbang, Resi Ra-
ga Pamungkas bersorak girang
dalam hati. Di de-
pan sana dari arah berlawanan,
dia melihat seo-
rang pemuda tampan membawa
sebatang tongkat
butut tengah berjalan bersama
seorang gadis can-
tik berkebaya hijau.
"Hmm.... Kalau tidak salah
aku melihat,
remaja tampan itu tentu Suropati
alias Pengemis
Binal. Kebetulan! Aku bisa
meminta perlindun-
gannya...," gumam Resi Raga
Pamungkas, seraya
mempercepat langkahnya.
Sementara itu, Suropati yang
sedang berja-
lan bersama Swani jadi terkejut
melihat lelaki tua
berjubah itu berhenti melangkah.
Lebih terkejut
lagi Swani. Gadis yang tampak
lemah itu sampai
berlari ketakutan. Ketika
Suropati hendak menge-
jar.
"Tolong aku, Suro...!"
Terpaksa Pengemis Binal
mengurungkan
niatnya. Dibiarkannya gadis itu,
karena lebih
mementingkan orang yang minta
pertolongan.
Saat mengalihkan pandangan,
remaja tampan ini
berseru kaget. Lelaki berjubah
yang baru datang
tampak jatuh tersungkur di tanah
sambil menge-
rang kesakitan.
"Kau kenapa, Pak Tua?"
tanya Suropati se-
raya berjongkok di dekat lelaki
tua berjubah yang
memang Resi Raga Pamungkas.
"Aduh! Tolong aku, Suro!
Aku terserang ra-
cun!" keluh sang resi
sambil mendekap balutan
luka di bahu kirinya. Rupanya,
obat pulung yang
digunakan untuk mencegah
menjalarnya racun
tak manjur.
Ketika meraba, Suropati
merasakan suhu
tubuh lelaki tua ini meninggi.
Cepat dibopongnya
tubuh Resi Raga Pamungkas lalu
dibawanya ber-
lari ke Kuil Saloka yang menjadi
tempat tinggal
para pengemis kota Kadipaten
Bumiraksa.
***
Tanpa berkata apa-apa Suropati
membuka
balutan luka sang resi. Walau
tidak seberapa le-
bar, tapi jelas menunjukkan
pengaruh racun. Ku-
lit di sekitar luka tampak
melepuh, berwarna biru
kehitaman.
Sigap sekali Pengemis Binal
menotok bebe-
rapa jalan darah di tubuh Resi
Raga Pamungkas.
Lalu, digedornya punggung
pertapa itu.
"Hoekkh...!" Resi
Raga Pamungkas lang-
sung muntah darah berwarna
kehitaman.
"Kendorkan seluruh
urat-urat sarafmu,
Kek. Aku akan menyalurkan hawa
mumi...," pinta
Pengemis Binal seraya
menempelkan dua telapak
tangannya ke dada Resi Raga
Pamungkas yang
duduk bersandar di dinding.
Sepeminum teh kemudian, wajah
pucat
Resi Raga Pamungkas
berangsur-angsur berubah
merah sehat. Sementara luka di
bahu kirinya
tampak melelehkan cairan kental
berwarna hijau.
"Cukup, Suro! Kukira, racun
di tubuhku
telah berhasil keluar...,"
ujar sang resi.
Suropati menarik telapak
tangannya dari
dada pertapa itu.
"Untung racunnya belum
menyerang jan-
tungmu, Kek...," desah si
remaja. "Kau siapa,
Kek? Dan, kenapa bisa sampai
terluka seperti
ini?"
Resi Raga Pamungkas
geleng-geleng kepa-
la.
"Kalau kau belum
mengenalku, kenapa
menolongku?" tanyanya.
Lelaki tua ini agaknya
ingin tahu isi hati Pengemis
Binal.
"Kau datang ke hadapanku
dalam keadaan
terluka, dan minta tolong. Lalu
apa aku harus di-
am saja?"
Resi Raga Pamungkas tersenyum.
"Semoga Hyang Widhi
membalas kebai-
kanmu, Suro...," doanya.
Pertapa ini lalu memba-
lut kembali luka di bahu
kirinya.
"Kau belum bercerita siapa
dirimu? Dan,
bagaimana bisa terluka...?"
pinta Pengemis Binal.
"Aku seorang pertapa yang
tinggal di Bukit
Ranuglagah. Namaku Raga
Pamungkas...."
"Raga Pamungkas?"
potong Suropati. "Ka-
lau kau tinggal di Bukit
Ranuglagah yang tidak
seberapa jauh dari kota
Kadipaten, Bumiraksa
ini, kenapa aku belum pernah
mendengar nama-
mu?"
"Di Bukit Ranuglagah, aku
memang baru
tinggal beberapa pekan.
Sebenarnya, aku berasal
dari Kerajaan Saloka Medang. Aku
sama sekali
tak menyangka bila kehadiranku
ada yang tak
menyukai. Tapi siapa orangnya,
aku tak tahu."
"Maksud Kakek?"
"Ada orang jahat yang
menyebarkan kabar
bahwa aku akan mewariskan sebuah
senjata pu-
saka yang bernama Pusaka Pedang
Gaib. Padahal
aku sendiri tak tahu-menahu
perihal senjata pu-
saka itu. Jangankan memiliki,
mendengar na-
manya saja baru kali itu."
"Lalu, kenapa Kakek bisa
terluka?" kejar
Pengemis Binal, mulai tertarik
pada cerita Resi
Raga Pamungkas.
"Tadi siang, di puncak
Bukit Ranuglagah
menjadi ajang pertumpahan darah.
Ada seorang
pemuda yang memenangkan
pertarungan. Dia
kemudian memintaku untuk
menyerahkan Pusa-
ka Pedang Gaib. Tentu saja aku
tidak bisa menu-
ruti keinginannya. Dia lalu
memaksaku sampai
terjadi pertempuran. Aku kalah
dan terluka.
Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu,"
papar
sang resi.
"Siapa pemuda itu?"
"Dia salah seorang anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Mungkin
kau mengenal-
nya. Dia memperkenalkan diri
bernama Somaga-
tra."
"Gatra?" kejut Pengemis Binal. Kontan in-
gatannya tertuju pada peristiwa
di kedai nasi
yang mengawali perjumpaannya
dengan Senopati
Guntur Selaksa. "Apakah
orangnya berkumis teb-
al dan umurnya sekitar empat
puluh tahun?"
Resi Raga Pamungkas menggeleng.
"Tadi
sudah kubilang, dia seorang
pemuda. Dia tidak
berkumis dan umurnya sekitar dua
puluh lima
tahun. Namanya bukan cuma Gatra,
tapi Soma-
gatra."
"Somagatra...," gumam
Pengemis Binal,
mencoba mengingat-ingat.
"Bagaimana kau bisa
memastikan kalau dia anggota
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti! Sedangkan
Kakek terluka
oleh senjata tajam? Seluruh
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti
pantang mengguna-
kan senjata tajam kalau tidak
dalam keadaan ter-
paksa."
"Aku juga tahu. Tapi pemuda
yang berna-
ma Somagatra juga membawa
tongkat berkepala
naga. Sedangkan pedangnya, aku
dapat memasti-
kan kalau itu milik Pendekar
Pedang Hijau.
Mungkin sekali Somagatra
berhasil merampas-
nya."
"Somagatra...," gumam
Pengemis Binal lagi.
"Anggota Perkumpulan
Tongkat Sakti berjumlah
ribuan. Aku tidak bisa mengenal
mereka satu per-
satu."
"Kau harus membantu
memecahkan per-
soalan ini, Suro. Sekaligus,
untuk memulihkan
nama baik perkumpulanmu.''
Suropati mengangguk lemah.
Keningnya
berkerut. Tanpa sadar remaja
tampan berambut
panjang tergerai ini menggaruk
kepalanya yang
tak gatal.
"Eh, bagaimana kau tadi
bisa tahu kalau
aku Suropati. Sedangkan, kita
belum pernah ber-
temu?" tanya si pemuda agak
menyimpang dari
arah pembicaraan.
"Nama Suropati alias
Pengemis Binal sudah
terkenal di rimba persilatan.
Hanya orang dungu
atau kurang pergaulan saja yang
belum menden-
gar namamu," jawab Resi
Raga Pamungkas, terse-
lip sebuah pujian.
"Jadi, kau mengenal
ciri-ciriku dari pembi-
caraan orang?"
Resi Raga Pamungkas mengangguk.
"Hmmm.... Rupanya aku sudah
menjadi orang
termasyhur...," gumam
Pengemis Binal. "Pantas
gadis bernama Swani yang
kujumpai tadi sangat
senang bertemu denganku. Aku
memang orang
terkenal...."
Bibir remaja konyol ini
menyungging se-
nyum. Tapi, wajahnya mendadak
berubah kelam.
"Aku tidak tahu kenapa
Swani tiba-tiba
berlari ketika bertemu Resi Raga
Pamungkas? Dia
tentu mempunyai sebuah urusan
dengan pertapa
ini, sehingga membuatnya sangat
terkejut, dan
menghindar, " gumamnya lagi
sambil merunduk
dan manggut-manggut kepada Resi
Raga Pa-
mungkas.
"Kenalkah kau pada seorang
gadis yang
bernama Swani, Kek?"
"Swani? Swani siapa?"
kening sang resi
berkerut.
"Gadis yang berjalan
bersamaku ketika kau
datang meminta
pertolongan."
Resi Raga Pamungkas tampak
berpikir.
"Tidak..., tidak! Aku tidak
mengenal gadis itu.
Memangnya ada apa, Suro?"
jawabnya kemudian,
seraya bertanya.
"Tidakkah kau melihat
keanehan pada diri
gadis yang kukatakan tadi? Dia
berlari ketika kau
datang. Sepertinya dia sengaja
menghindar."
"Ah! Kita kesampingkan dulu
perihal gadis
itu, Suro. Yang penting sekarang
adalah, bagai-
mana kita bisa mengetahui siapa
orang yang telah
menyebar kabar bohong perihal
Pusaka Pedang
Gaib. Dan, apa tujuan orang
itu."
"Ya..., ya! Aku pasti
membantumu, Kek.
Akan kucari pula Somagatra yang
telah melukai-
mu."
***
Cahaya bulan sepenggal tak kuasa
me-
nembus tebalnya awan. Kerlip
bintang hanya be-
rupa titik-titik kecil yang
timbul-tenggelam. War-
na hitam memenuhi langit.
Gelap-pekat.
Walau malam sangat kelam dan
dingin
menusuk tulang, keramaian kota
Kadipaten Bu-
miraksa terus berlangsung. Di
jalan, masih ba-
nyak orang berlalu-lalang dengan
urusan masing-
masing. Lampu-lampu kios yang
bersinar terang,
membuat gelap tak lagi berkuasa.
Sementara, di sebuah rumah
pelacuran
yang terletak di ujung utara
kota, belasan lelaki
tengah bersuka ria menenggak
arak. Tiada henti
mereka membuka suara kasar. Tawa
genit pada
wanita nakal pun membuat suasana
semakin ma-
rak.
Namun, suara-suara yang
terdengar lang-
sung terhenti ketika....
Brakkk!
Seorang pemuda berpakaian serba
hitam
tiba-tiba menggebrak meja.
"Aku ingin kalian semua
memasang telinga
baik-baik!" ujarnya seraya
bangkit berdiri. "Aku
mempunyai sebuah kabar rahasia.
Tapi, aku mau
berbaik hati untuk
menyampaikannya kepada ka-
lian."
Semua mata tertuju pada sosok
pemuda
yang sedang bicara. Wajah pemuda
berumur seki-
tar dua puluh tahun itu dihiasi
kumis dan jenggot
halus terawat rapi. Kulitnya putih.
Dan di pung-
gungnya terikat sebuah benda
panjang yang di-
bungkus kain hijau.
"Kalian tentu sudah
mendengar berita ke-
hebatan Pusaka Pedang Gaib milik
Resi Raga Pa-
mungkas yang tinggal di Bukit
Ranuglagah," lan-
jut si pemuda. "Tadi siang,
pertapa itu tidak jadi
mewariskan senjata pusakanya.
Karena, tidak
ada orang yang dianggap cocok.
Tapi, tahukah ka-
lian bila Resi Raga Pamungkas
sesungguhnya
adalah manusia culas yang hendak mengadu-
domba kaum rimba persilatan?
Setelah terjadi
pertumpahan darah di puncak
Bukit Ranuglagah,
dia malah melarikan diri dengan
membawa senja-
ta pusakanya. Aku yang
mengetahui kebusukan
pertapa itu lalu mengejarnya.
Karena kecerdikan-
nya, dia bisa meloloskan diri. Tapi, aku berhasil
merampas Pusaka Pedang Gaib
miliknya...."
"Bocah gemblung! Kau jangan
bicara nga-
wur di tempat ini!" potong
seorang lelaki brewo-
kan bertubuh tambun.
"Siapa yang mau percaya
pada bocah ingu-
san macam kau?!" sambung
lelaki lain.
Brakk...!
Mendadak, pemuda berpakaian
serba hi-
tam menggebrak lagi meja di
hadapannya. Kali ini
daun meja sampai pecah dan
keempat kakinya
patah. Perbuatannya seperti
sengaja memamer-
kan kekuatan tenaga dalamnya.
"Bodoh! Aku tidak akan
menipu kalian se-
mua!" ujar si pemuda dengan
suara lebih lantang.
"Apa kalian tak percaya
kalau aku telah berhasil
merampas Pusaka Pedang Gaib dari
tangan Resi
Raga Pamungkas?!"
"Apa buktinya? Dan, untuk
apa kau pa-
mer-pamer segala?" tanya
seorang pemuda ber-
muka bopeng yang duduk di sudut
ruangan.
Pemuda berpakaian serba hitam
menebar
pandangan sebentar. Lalu,
dilepasnya ikatan
benda panjang terbungkus kain
hijau di pung-
gungnya. Ternyata, benda itu
sebatang pedang.
Ketika pedang dihunuskan,
terbelalaklah semua
mata yang memandang. Maka pedang
penuh uki-
ran dan memancarkan cahaya
merah. Gagangnya
berbentuk kepala naga.
"Inilah Pusaka Pedang
Gaib...," kata pemu-
da berpakaian serba hitam itu
sambil menggerak-
kan sedikit pedang di tangan
kanannya.
Wuusss...!
Crass!
"Heh...?!"
Ruangan jadi gaduh bernada
terkejut keti-
ka seberkas cahaya merah yang
berasal dari bilah
pedang melesat menghantam
dinding, hingga
mengepulkan asap seperti
tersiram air panas.
"Masihkah kalian semua
tidak percaya pa-
da perkataanku?" tanya si
pemuda.
Sekali lagi pemuda tampan
berkulit putih
ini menggerakkan pedangnya.
Sinar merah kem-
bali melesat, menimbulkan suara
menderu.
Wusss...!
Blarrr...!
Kali ini timbul suara ledakan
ketika seber-
kas cahaya merah yang lebih
besar menghantam
dinding di sisi kiri si pemuda.
Suasana jadi bertambah gaduh
saat dind-
ing yang terkena luncuran cahaya
merah berlu-
bang sebesar gentong!
"Pusaka Pedang
Gaib...," desis beberapa
orang yang berada di ruangan.
"Benar-benar sebuah senjata
pusaka yang
hebat..," desis yang
lain.
Semua orang membelalakkan mata
dengan
mulut ternganga.
"Pusaka Pedang Gaib ini
akan menjadi mi-
lik salah seorang dari
kalian," lanjut si pemuda.
"Benarkah itu?" tanya
beberapa lelaki, ber-
samaan.
"Benar!" jawab si
pemuda sambil menya-
rungkan bilah pedangnya kembali.
"Tapi, dengan
satu syarat."
"Apa?" tanya beberapa
lelaki lagi.
"Tadi sudah kuceritakan
tentang kebusu-
kan Resi Raga Pamungkas. Cari
dia sampai dapat.
kepalanya akan kutukar dengan
Pusaka Pedang
Gaib yang kubawa!"
"Bagaimana kami bisa yakin
kalau kau ti-
dak akan mengingkari
janji?" tanya pemuda ber-
muka bopeng yang duduk di sudut
ruangan.
"Dua hari lagi pada saat
yang sama seperti
ini, aku akan kemari."
"Benar begitu?" cecar
pemuda bermuka
bopeng.
"Aku tidak memintamu untuk
menuruti
kemauanku. Tapi, aku akan
menepati apa yang
telah kukatakan!"
Usai berkata, pemuda berpakaian
serba hi-
tam mengeluarkan beberapa keping
uang emas
dari saku bajunya. Begitu
tangannya mengibas,
sinar-sinar keemasan melesat ke
dinding!
Slap...!
Lima keping uang emas menancap
di ba-
wah lubang di dinding, membentuk garis tegak
lurus. Untuk ke sekian kalinya,
orang-orang yang
berada di ruangan dibuat
terperangah.
"Uang itu sebagai ganti
kerusakan di si-
ni...," ujar pemuda
berpakaian serba hitam, se-
raya ngeloyor pergi.
Sepeninggal si pemuda suara
gaduh me-
landa ruangan. Beberapa lelaki
sibuk menyusun
rencana bersama teman-temannya.
Mereka lupa
pada arak yang masih tersedia di
atas meja. Se-
mentara yang sudah telanjur
masuk seperti men-
dapat kekuatan baru. Otak mereka
menjadi jernih
kembali. Belasan wanita nakal
jadi merengut ka-
rena tak dipedulikan.
***
"Tunggu dulu, Orang
Asing!"
Seorang pemuda berpakaian serba
hitam
menghentikan langkahnya. Ketika
mendengar te-
riakan yang dituju untuk
dirinya. Di balik kere-
mangan, matanya menatap tajam
seorang lelaki
berumur sekitar tiga puluh tahun
berpakaian
ringkas hijau-kuning. Rambutnya
yang hitam
panjang diikat sehelai sutera
merah.
"Ada urusan apa kau
memanggilku?" seli-
dik pemuda berpakaian serba
hitam.
"Namaku Danar Pangeran dan
bergelar
Pendekar Pedang Hijau. Tapi, aku
tak mungkin
memakai gelarku lagi karena ada
orang culas
yang telah merampas senjata
andalanku...," tutur
lelaki yang bahunya dibalut.
Suaranya lembut
dan sopan. Dia tak lain memang
Danar Pangeran
yang bergelar Pendekar Pedang
Hijau. Balutan di
bahunya diakibatkan luka oleh
sambaran pe-
dangnya sendiri, yang dirampas
Somagatra di
puncak Bukit Ranuglagah.
"Lalu, apa urusannya
denganku?" tanya si
pemuda berpakaian serba hitam,
dengan kening
berkerut.
"Aku baru datang dari rumah
pelacuran
yang terletak di ujung utara
kota ini. Di sana,
orang masih ramai membicarakan
seorang pemu-
da berpakaian serba hitam yang
membawa se-
buah senjata pusaka yang bernama
Pusaka Pe-
dang Gaib. Menurut pembicaraan
yang kudengar,
pemuda itu bersedia menukarkan
pedang yang
dibawanya kepada orang yang
dapat menyerah-
kan kepala Resi Raga
Pamungkas....," tutur Danar
Pangeran, lebih panjang.
"Aku menduga, pemuda
yang membawa Pusaka Pedang Gaib
adalah kau,
bila menilik pakaianmu yang
serba hitam. Keda-
tanganku hanya ingin menanyakan,
apakah kau
benar-benar akan menyerahkan
Pusaka Pedang
Gaib kepada orang yang berhasil
menyerahkan
kepala Resi Raga
Pamungkas?"
"Aku tak perlu menjawabnya.
Tanyalah pa-
da dirimu sendiri, apakah orang
seperti aku ini
bisa dipercaya atau tidak."
"Ha ha ha...!"
Mendengar nada ketus bicara
pemuda ber-
pakaian serba hitam, Danar
Pangeran tertawa
bergelak.
"Kau sepertinya menyimpan
kesumat pada
Resi Raga Pamungkas, Orang
Asing! Tapi, terus
terang aku tak percaya kau
bersedia menukar
Pusaka Pedang Gaib dengan kepala
pertapa kurus
kecil itu!" lanjut Pendekar
Pedang Hijau.
"Percaya atau tidak,
terserah kau. Aku tak
punya waktu untuk melayani orang
usil seperti-
mu!"
Pemuda berpakaian serba hitam
berbalik
untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi, Danar Pan-
geran meloncat tinggi dan
mendarat di hadapan-
nya.
"Kepandaian murahan tak
perlu dipamer-
kan di hadapanku!" ejek
pemuda berpakaian ser-
ba hitam.
"Ha ha ha...!" Danar
Pangeran tertawa ber-
gelak. "Aku bukan bermaksud
pamer kepandaian.
Aku hanya ingin menanyakan
beberapa hal lagi
kepadamu. Karena semakin lama
kulihat, dirimu
mempunyai daya tarik aneh....
Katakan siapa
kau?! Dan, bagaimana bisa
mempunyai dendam
kesumat pada Resi Raga
Pamungkas?"
"Kau tidak perlu
tahu!" bentak pemuda
berpakaian serba hitam.
Danar Pangeran tertawa bergelak
lagi. "Kau
tak mau memperkenalkan diri tak
jadi apa. Asal,
tinggalkan pedang yang kau
sandang di pung-
gungmu."
"Bangsat!" maki pemuda
berpakaian serba
hitam seraya menghujamkan kepalan
tangan ke
muka Danar Pangeran.
Mudah saja Danar Pangeran
berkelit. Dan
sebelum pemuda yang sudah naik
pitam itu men-
gawali lagi serangannya,
Pendekar Pedang Hijau
meloncat dua tombak ke belakang.
"Sebenarnya aku tak hendak
membuat
permusuhan denganmu, Orang
Asing. Tapi bila
kau memaksa, aku pun bisa
bersikap keras!"
dengus Danar Pangeran.
"Kau memakai gelar
pendekar. Namun ke-
lakuanmu sungguh sangat
memuakkan!" timpal
pemuda berpakaian serba hitam.
"Kau terlalu
mencampuri urusan orang lain.
Sifat busukmu
nampak jelas. Dan aku tak bisa
menuruti keingi-
nanmu, untuk menyerahkan Pusaka
Pedang Gaib
kecuali bila kau pergunakan
untuk bunuh diri!"
Danar Pangeran mendengus marah
men-
dengar kata-kata pemuda di
hadapannya. Segera
pedangnya yang terselip di
pinggangnya dilo-
loskan.
"Walau pedang ini pedang
biasa yang tak
mempunyai kesaktian apa-apa,
tapi cukup mam-
pu untuk merobek mulutmu!"
ancam Danar Pan-
geran sambil menyorongkan pedang
ke muka pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Ucapanmu terbalik. Justru
aku yang akan
merobek mulutmu, Pendekar
Gadungan!"
Cepat sekali pemuda berpakaian
hitam itu
menghunus Pusaka Pedang Gaib
yang tersandang
di punggung.
"Heh?!"
Danar Pangeran terperangah.
Tanpa sadar
pemuda bersifat jumawa ini
melangkah mundur
setindak, ketika melihat bilah
Pusaka Pedang
Gaib di tangan pemuda berpakaian
serba hitam
yang memancarkan cahaya merah
menggidikkan
dan sangat menyilaukan mata.
Walau Danar Pan-
geran memiliki senjata mustika
yang bernama Pe-
dang Hijau, tapi pamornya tidak
sehebat itu.
"Aku akan menjadi raja
pedang yang tak
tertandingi bila memiliki Pusaka
Pedang Hijau...,"
gumam Danar Pangeran dalam hati.
"Tapi, mam-
pukah aku merebutnya dari tangan
pemuda asing
itu?"
Danar Pangeran tercenung di
tempatnya.
Sementara pemuda berpakaian
serba hitam tak
mau membuang-buang waktu lagi.
Segera bilah
pedangnya digerakkan ke samping
kanan.
Blarrr!
Wuss...!
Dibarengi sebuah ledakan,
selarik sinar
merah meluncur deras ke arah
Danar Pangeran!
Betapa terkejutnya Pendekar
Pedang Hijau.
Segera pedangnya diputar untuk
membentengi di-
ri.
Tras!
"Heh...?!"
Danar Pangeran kembali terkejut.
Ternyata
pedangnya terpotong menjadi tiga
bagian. Dan
sebelum dia menyadari keadaan,
tiga larik sinar
merah meluncur lagi!
"Uts...!"
Susah-payah Danar Pangeran
membuang
diri, menghindari tiga larik
sinar merah yang da-
tang beruntun. Tak mau mendapat
kesulitan le-
bih banyak, begitu bangkit segera diterjangnya
pemuda berpakaian serba hitam
walau hanya
bersenjata sisa potongan
pedangnya.
Pertempuran seru segera
berlangsung. Un-
tunglah tempatnya sudah di
pinggir kota, sehing-
ga tak mengundang perhatian
orang, yang ke-
mungkinan bisa menjadi korban kedahsyatan
Pu-
saka Pedang Gaib.
"Aku benar-benar tak punya
waktu untuk
main-main denganmu, Pendekar
Gadungan!" de-
sis pemuda berpakaian serba
hitam seraya men-
gempos tubuh, menjauhi ajang
pertempuran.
Menyangka lawan hendak melarikan
diri,
Danar Pangeran segera mengejar.
Namun, du-
gaannya keliru. Pemuda
berpakaian hitam ternya-
ta malah menunggu luncuran
tubuhnya. Ketika
sudah dekat, dia berbalik
langsung ditiupnya bi-
lah senjata pusaka di tangannya!
Wuusss.,.!
Seberkas cahaya merah yang amat meng-
gidikkan berpendar. Danar
Pangeran yang belum
bisa mengendalikan gerak
tubuhnya terkejut se-
tengah mati. Akibatnya....
"Aaa...!"
Jeritan panjang Danar Pangeran
membelah
kesunyian malam. Tubuhnya jatuh
berdebam ke
tanah dalam keadaan terbakar!
"Itulah akibatnya bila
terlalu mencampuri
urusan orang!" desis pemuda
berpakaian serba
hitam ini. Setelah menyarungkan
pedangnya
kembali, ditinggalkannya Danar
Pangeran yang
masih menjerit-jerit melawan api
yang menjilati
tubuhnya....
6
Wuuusss...!
Hembusan angin berhawa dingin
menyen-
gat tiba-tiba menerpa tubuh
Danar Pangeran. Api
yang menjalar di tubuh pemuda
naas ini padam
seketika. Tapi, dia sudah tak
kuasa lagi berdiri.
Dalam keadaan telentang,
Pendekar Pedang Hijau
masih dapat melihat kehadiran
seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh
tambalan ber-
sama seorang kakek berjubah
putih.
"Suropati...," desis
Danar Pangeran seraya
mengucek matanya yang hampir
lengket terma-
kan api.
"Ya. Aku memang Suropati.
Aku datang
bersama Resi Raga
Pamungkas," kata remaja
tampan berpakaian putih penuh
tambalan yang
memang Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat
Sakti inilah yang telah
memadamkan api yang
membakar tubuh Danar Pangeran.
Disertai ilmu
'Pukulan Salju Merah' Suropati
mengibaskan te-
lapak tangannya untuk membuat
hembusan an-
gin berhawa dingin.
"Aku..., aku Danar
Pangeran...," kata Pen-
dekar Pedang Hijau,
terbata-bata.
"Ya. Aku masih dapat
mengenalimu," sahut
Pengemis Binal seraya memeriksa
keadaan Danar
Pangeran.
Mengenaskan sekali keadaan
pemuda yang
terkena kedahsyatan Pusaka
Pedang Gaib itu. Pa-
kaian yang dikenakannya musnah
terbakar. Kulit
di sekujur tubuhnya melepuh.
Kepalanya yang
tanpa rambut tampak mengelupas
sebagian ku-
litnya. Wajahnya pun rusak,
nyaris tak dapat di-
kenali.
Resi Raga Pamungkas berjongkok
di sisi ki-
ri Danar Pangeran. Berkali-kali
dia menyebut as-
ma Sang Penguasa Tunggal.
"Apa yang terjadi, Danar?
Bagaimana kau
bisa seperti ini?" tanya
Pengemis Binal.
Sorot mata remaja tampan ini
menggam-
barkan kekhawatiran. Walau Danar
Pangeran di-
kenal sebagai pendekar
berangasan tapi tetap be-
raliran putih. Suropati pun
mengenalnya. Walau-
pun tak begitu akrab. Dan
Pengemis Binal me-
nyayangkan apabila Danar Pangeran
keburu me-
ninggal.
"Aku tahu umurku tidak lagi
panjang...,"
tutur Danar Pangeran.
"Maukah kau menuruti
permintaanku, Suro...?"
"Ya. Kalau bisa, aku pasti
akan melu-
luskannya...," sahut
Suropati. Keharuan menye-
limuti hatinya. Dia tahu benar,
nyawa Danar
Pangeran tak mungkin ditolong
lagi.
"Aku minta kau merebut
kembali Pedang
Hijau di tangan
Somagatra...," pinta Danar Pange-
ran, menguatkan diri.
"Daripada jatuh ke tangan
orang tak bertanggung jawab,
musnahkan saja
pedang itu...."
"Ya. Aku akan merebut
kembali Pedang Hi-
jau milikmu. Aku pun telah tahu
kejahatan So-
magatra."
Dengan susah-payah Danar
Pangeran me-
malingkan wajahnya untuk dapat
menatap Resi
Raga Pamungkas.
"Aku tadi bertempur dengan
seorang pe-
muda berpakaian serba hitam. Dia
membawa Pu-
saka Pedang Gaib. Hati-hatilah
kau, Resi Raga
Pamungkas.... Pemuda itu
menginginkan kema-
tianmu. Siapa yang dapat
memenggal kepalamu,
akan diberi senjata pusaka yang
dibawanya....
Maafkan aku. Res....
Res...."
Sampai di situ ucapan Danar
Pangeran
terhenti. Kepalanya terkulai ke
samping kanan.
Suropati segera mengatupkan
mulutnya yang
ternganga.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas.
***
Pengemis Binal dan Resi Raga
Pamungkas
telah mengubur jenazah Danar
Pangeran di tepi
sungai yang cukup jauh dari
pusat keramaian ko-
ta Kadipaten Bumiraksa.
"Untunglah kita tadi masih
sempat men-
dengar penuturan Danar
Pangeran...," ujar Resi
Raga Pamungkas ketika mereka
kembali mema-
suki keramaian kota.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Ternyata, Pusaka Pedang
Gaib itu ada...,"
katanya, pelan sekali.
"Aku tidak mendengar
bicaramu, Suro," be-
ritahu Resi Raga Pamungkas.
"Benar katamu, Kek. Kita
beruntung masih
sempat mendengar penuturan Danar
Pangeran.
Kita jadi tahu kalau Pusaka
Pedang Gaib ternyata
memang ada. Entah, siapa
pemiliknya. Tapi yang
jelas, senjata mustika itu
sekarang dibawa pemu-
da yang telah membunuh Danar
Pangeran. Menu-
rutnya, pemuda itu berpakaian
serba hitam. Na-
mun, kita tak bisa menentukan,
siapa dia. Kare-
na, ada banyak pemuda yang juga
suka memakai
pakaian serba hitam...,"
jelas Suropati.
"Menurut Danar Pangeran,
pemuda itu
hendak menukar Pusaka Pedang
Gaib yang diba-
wa dengan kepalaku.
Aneh...," desah Resi Raga
Pamungkas mengerutkan kening.
"Sepertinya pe-
muda itu menyimpan dendam
kesumat kepada-
ku. Padahal, aku merasa tidak
punya musuh?
Sudah hampir dua puluh tahun aku
mengasing-
kan diri dengan menjadi seorang
pertapa...."
Suropati menggaruk-garuk kepala.
Agak-
nya kalau sedang bingung remaja
konyol ini suka
berbuat demikian.
"Benar katamu,
Kek...," kata si pemuda
kemudian. "Peristiwa ini
memang aneh. Kalau
pemuda itu benar-benar ingin
membunuhmu, ke-
napa dia tidak langsung saja
mencarimu. Bukan-
kah dia membawa Pusaka Pedang
Gaib yang ko-
non memiliki kesaktian luar
biasa?"
"Ya. Itulah anehnya,"
sambut Resi Raga
Pamungkas. "Aku menduga,
orang yang menye-
barkan kabar bohong bahwa aku
akan mewa-
riskan Pusaka Pedang Gaib adalah
pemuda yang
telah membunuh Danar
Pangeran."
"Aku juga menduga
demikian," tegas Pen-
gemis Binal. "Setelah tahu
kau selamat dari keja-
ran orang yang menginginkan
Pusaka Pedang
Gaib, pemuda itu membuat ulah
baru. Jelasnya,
dia ingin membunuhmu dengan
meminjam tan-
gan orang lain. Atau paling
tidak, ingin mem-
buatmu menjadi repot karena
dikejar-kejar
orang."
Resi Raga Pamungkas mengangguk-
angguk. "Sudah mulai
terkuak sekarang tabir ten-
tang Pusaka Pedang
Gaib...," lanjut Pengemis Bi-
nal. "Untuk membuat keadaan
menjadi jernih, ki-
ta harus segera menemukan pemuda
yang mem-
bawa senjata pusaka itu.
Termasuk, mencari So-
magatra yang telah
menyimpang."
Suropati dan Resi Raga
Pamungkas terus
berjalan memasuki kota Kadipaten
Bumiraksa.
Karena hari sudah lewat tengah malam,
suasana
jadi sunyi.
Suropati lantas mengajak Resi
Raga Pa-
mungkas untuk beristirahat di
Kuil Saloka. Perja-
lanannya yang semula untuk mencari Somagatra
akan dilanjutkan keesokan
harinya. Namun be-
lum sampai di tempat tujuan.
Serrr...!
"Heh...?!"
Suropati dikejutkan oleh suara
desir halus
yang meluncur dari arah
belakang! Sejenak ma-
tanya mencari, lalu....
"Awas...!" teriak
Pengemis Binal seraya me-
nyambar tubuh Resi Raga
Pamungkas untuk di-
bawa meloncat tinggi.
Tadi ketika melirik, Suropati
sempat meli-
hat beberapa sinar keperakan
yang meluncur de-
ras. Untunglah dia cepat
bertindak, sehingga si-
nar-sinar keperakan yang tak
lain jarum-jarum
beracun hanya menyambar angin.
Begitu kaki mereka menginjak
tanah kem-
bali, di tempat itu telah
berdiri sepuluh orang le-
laki bersenjata trisula yang
langsung mengepung.
"Membokong orang bukan
perbuatan ksa-
tria!" sindir Pengemis
Binal.
"Kami dari Partai Trisula
Sakti bukan un-
tuk berurusan denganmu,
Suropati...," kata pe-
muda bermuka bopeng di antara
pengepung.
"Kami hanya hendak
berurusan dengan Resi Raga
Pamungkas...."
Bersama sembilan temannya,
pemuda bo-
peng itu memang sengaja mencari
Raga Pamung-
kas setelah tahu kalau kepala
pertapa itu dapat
ditukar dengan Pusaka Pedang
Gaib.
"Hmm.... Tak pernah
kusangka bila dalam
tubuh Partai Trisula Sakti
bercokol manusia yang
tak bisa dipegang kata-katanya.
Tidak hendak be-
rurusan denganku, tapi
kenyataannya aku dis-
erang jarum beracun...,"
sindir Pengemis Binal la-
gi.
"Aku Bagus Kembara. Karena
masih me-
mandang mukamu, maka kuminta kau
menying-
kir dari tempat ini,
Suropati...," ujar pemuda bo-
peng dengan sikap jumawa.
"Ketahuilah, Bagus
Kembara.... Resi Raga
Pamungkas telah menjadi sahabat
baikku. Saking
baiknya, sampai-sampai Resi Raga
Pamungkas
menganggap urusannya adalah
urusanku juga.
Maka dari itu, aku tak bisa
meninggalkan pertapa
di sampingku ini. Apalagi sedang
berhadapan
dengan kalian yang sengaja
datang membawa
senjata. Dan tentunya, kalian
mempunyai mak-
sud tak baik."
Sebelum Bagus Kembara menyahuti
uca-
pan Pengemis Binal, Resi Raga
Pamungkas unjuk
diri.
"Anak muda! Agaknya kau
terkena hasutan
orang...," katanya kepada
Bagus Kembara.
"Aku tidak kena hasut, Pak
Tua! Aku sadar
apa yang sedang kulakukan! Aku
tahu, kau ada-
lah penjahat culas yang
bersembunyi di balik ju-
bah putihmu."
"Apa maksudmu, Anak
Muda?" tanya Resi
Raga Pamungkas, tersinggung.
"Kabar yang santer
terdengar mengatakan
kalau kau hendak mewariskan
Pusaka Pedang
Gaib siang tadi di puncak Bukit
Ranuglagah. Ter-
nyata, kau bukan hanya ingkar
janji. Kau pun
punya maksud buruk hendak
membuat kericu-
han di rimba persilatan."
Terkejut Resi Raga Pamungkas
mendengar
penuturan Bagus Kembara.
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," sebut-
nya. "Siapa yang mengatakan
hal itu, Anak Mu-
da?"
Bagus Kembara tersenyum penuh
ejekan.
"Orang yang berhasil
merampas Pusaka
Pedang Gaib dari tanganmu,"
jawabnya.
Resi Raga Pamungkas dan Suropati
saling
pandang.
"Rupanya, orang yang
memusuhimu itu
sangat pandai membuat kabar
bohong, Kek...,"
Kata Pengemis Binal. Lalu,
pandangannya beralih
pada orang-orang Partai Trisula Sakti, "Kalian
semua sudah kena hasutan. Resi
Raga Pamung-
kas sama sekali tidak
tahu-menahu tentang Pu-
saka Pedang Gaib. Ada orang yang
memusuhinya.
Dia ingin meminjam tangan kalian
untuk mem-
bunuh pertapa yang tak bersalah
ini."
"Ha ha ha...!" Bagus
Kembara tertawa ber-
gelak. "Tangan kami
dipinjam pun tak mengapa.
Bukankah Pusaka Pedang Gaib
imbalannya?"
Usai berkata, Bagus Kembara
memberi
aba-aba kepada kesembilan
temannya untuk me-
nyerang Resi Raga Pamungkas.
Ujung-ujung tri-
sula tajam pun meluruk dari
berbagai penjuru.
Tentu saja Suropati tak mau berpangku
tangan. Cepat tongkat bututnya
diputar sambil
berkelebat melingkar!
Trang! Trang! Trang!
Serangan orang-orang Partai
Trisula Sakti
menemui kegagalan. Tiga orang di
antaranya ter-
kejut karena senjata yang
dipegang telah jatuh ke
tanah terbentur tongkat Pengemis
Binal. Namun,
mereka kemudian berteriak keras
seraya merang-
sek ganas walau hanya dengan
tangan kosong.
Sementara Bagus Kembara pun
segera membantu
teman-temannya.
Pertempuran sengit tak bisa lagi
dihindari.
Walau dalam keremangan malam,
tapi gerakan
orang-orang Partai Trisula Sakti
amat cepat dan
penuh tipuan mematikan. Terutama
serangan
Bagus Kembara yang menjadi
pemimpin.
Resi Raga Pamungkas mengeluarkan
selu-
ruh daya kemampuan untuk dapat
memperta-
hankan diri. Sementara, Pengemis
Binal yang
membantunya terus memutar
tongkat dengan pe-
rasaan heran. Setahunya, Partai
Trisula Sakti
adalah partai lurus tempat
bernaungnya para
pendekar muda. Tapi kenapa
mereka bisa berbuat
ganas seperti ini? Apakah keinginan
untuk memi-
liki Pusaka Pedang Gaib
benar-benar telah mem-
butakan mata hati mereka?
Suropati tak punya waktu banyak
untuk
berpikir, karena pengeroyoknya
melakukan se-
rangan-serangan gencar. Segera
remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan
ini memben-
tengi diri dengan jurus 'Tongkat
Memukul Anjing'.
Lalu disusul jurus 'Tongkat
Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Tak! Tak! Tak!
"Aaah...!"
Tak lebih sepeminum teh kemudian
tiga
orang anggota Partai Trisula
Sakti terpukul jatuh
oleh gebukan tongkat Pengemis
Binal. Mereka
menjerit kesakitan saling sahut,
sambil meme-
gangi bagian tubuh yang memar.
"Jangan gentar! Bunuh
pertapa itu lebih
cepat!" ujar Bagus Kembara,
memberi semangat
teman-temannya.
Tapi, maksud mereka tak juga
terwujud
karena perlindungan yang
diberikan Suropati be-
gitu rapat. Gusarlah hati Bagus
Kembara seketika
dikeluarkannya jurus-jurus
trisula yang lebih he-
bat.
Sewaktu Pengemis Binal sibuk
melayani
serangan Bagus Kembaran,
mendadak sesosok
bayangan berkelebat cepat ke
arah Resi Raga Pa-
mungkas. Begitu dekat langsung
dilancarkan to-
tokan ke punggung lelaki tua
yang tengah meng-
hadapi tiga orang lawan.
Tuk! Tuk!
"Uh...!" keluh Resi
Raga Pamungkas den-
gan tubuh lemas bagai tak
bertenaga.
Sebelum tubuh pertapa ini
benar-benar ja-
tuh ke tanah, sesosok bayangan yang telah me-
lancarkan totokan segera
menyambarnya.
"Hei! Lepaskan dia!"
teriak Pengemis Binal.
Suropati sempat melihat kejadian
itu. Tapi,
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
tak mampu mengejar, karena lima
trisula telah
menghadang secara bersamaan.
Trang!
Suropati menangkis dengan
tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh.
Akibatnya, lima trisu-
la mencelat dan hilang tertelan
kegelapan malam.
"Tinggalkan Suropati! Kejar
penculik Resi
Raga Pamungkas!" perintah
Bagus Kembara.
Pengemis Binal tak mau
melewatkan ke-
sempatan. Segera tubuhnya
digenjot. Dikejarnya
sosok bayangan yang telah
melarikan Resi Raga
Pamungkas. Sementara,
orang-orang Partai Trisu-
la Sakti mengikuti jauh di
belakang. Tapi mereka
segera kehilangan jejak, tak
tahu ke mana Suro-
pati berlari. Tak tahu pula ke
mana Resi Raga
Pamungkas dilarikan.
***
Berkali-kali Resi Raga Pamungkas
menye-
but asma Sang Penguasa Tunggal.
Tubuhnya te-
rasa sangat lemas seperti tiada
bertulang. Semen-
tara, orang yang melarikan
pertapa itu memper-
cepat kelebatan tubuhnya.
Setelah cukup jauh
meninggalkan kota Kadipaten
Bumiraksa, dia
berhenti di tepi sebuah aliran
sungai. Langsung
dilemparkannya tubuh lelaki tua
dalam pondon-
gannya.
Mata Resi Raga Pamungkas kontan
bersi-
nar nyalang ketika tahu siapa
yang telah melari-
kan dirinya.
"Somagatra...,"
desahnya. Lalu, pertapa ini
menyebut lagi asma Sang Penguasa
Tunggal.
"Ha ha ha...!" sosok
yang tak lain Somaga-
tra tertawa bergelak.
"Ternyata matamu belum
lamur, Pak Tua. Aku memang
Somagatra!"
"Apa maksudmu
menculikku?!" tanya Resi
Raga Pamungkas, setengah
membentak. Dikua-
tkan hatinya untuk melawan
debar-debar dalam
dadanya.
Somagatra tertawa bergelak lagi.
"Rupanya kau berhasil
membujuk Suropa-
ti, Pak Tua! Tapi, manusia culas
macam kau ku-
kira tak akan panjang umur.
Kecuali, bila kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib
padaku. Maka,
umurmu akan ku
perpanjang...."
"Bagaimana aku bisa
meyakinkan bahwa
aku benar-benar tak tahu apa-apa
tentang senja-
ta pusaka yang kau inginkan itu,
Somagatra...?"
keluh Resi Raga Pamungkas.
"Aku tak butuh keyakinan!
Aku butuh kau
menyerahkan Pusaka Pedang
Gaib!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...,"
sebut
Resi Raga Pamungkas.
"Sadarlah kau, Somagatra.
Bujukan setan telah merasuki
jiwamu."
Mendengar ucapan sang resi,
Somagatra
malah menendang punggung Resi
Raga Pamung-
kas. Lelaki tua itu pun
terpental, bergulingan di
tanah.
"Aku tak butuh perkataan
macam-macam,
Pak Tua!" hardik Somagatra
seraya berjongkok di
sisi tubuh sang resi yang
telentang tak berdaya.
"Mumpung aku masih bisa
berbaik hati, cepat ka-
takan mana Pusaka Pedang Gaib
tersimpan?!"
Mendadak, terlintas gagasan
bagus di be-
nak sang resi.
"Kembalilah ke kota
Kadipaten Bumiraksa.
Di sana tersebar kabar baru. Kau
akan tahu sen-
diri, di mana Pusaka Pedang Gaib
berada," un-
gkap sang resi.
"Jangan menipuku, Pak
Tua!" bentak So-
magatra.
"Sebenarnya berat untuk
mengatakan. Ta-
pi, apa boleh buat? Aku masih
ingin hidup...," ka-
ta sang resi, memasang wajah
takut.
"Kau hendak berkata apa,
Pak Tua?.'" kejar
Somagatra, mulai memuncak
amarahnya.
"Pusaka Pedang Gaib dibawa
seorang pe-
muda berpakaian serba
hitam."
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak
lagi. "Hanya bocah ingusan
yang mau percaya pa-
da tipuan macam ini, Pak Tua!
Hih...!"
Diegkh...!
"Agkh...!"
Di ujung kalimatnya, Somagatra
menya-
rangkan kepalan tangan ke wajah
Resi Raga Pa-
mungkas. Keluh kesakitan
terdengar memilukan
ketika darah segar mengalir dari
bibir sang resi
yang robek. Belum cukup sampai
di situ, Somaga-
tra menendang lagi tubuh pertapa
itu.
Dess!
"Aaakh...!"
Resi Raga Pamungkas terpental
tiga tom-
bak.
"Aku beri kesempatan sekali
lagi, Pak Tua.
Di mana kau simpan Pusaka Pedang
Gaib?!"
tanya Somagatra. Suaranya penuh
kegeraman.
"Hyang Widhi Maha
Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas. "Sudah
kukatakan pada-
mu, Pusaka Pedang Gaib dibawa
seorang pemuda
berpakaian serba
hitam."
Plak...!
Somagatra menampar wajah sang
resi.
"Kau bunuh pun, hanya itu
yang dapat ku-
katakan...," kata Resi Raga
Pamungkas sambil
menahan rasa sakit yang mendera
sekujur tu-
buhnya.
"Ada banyak pemuda
berpakaian serba hi-
tam. Lantas, apa ciri lainnya,
Pak Tua? Siapa pula
namanya?!" tanya Somagatra,
keras. Agaknya dia
mulai percaya pada ucapan sang
resi.
"Kembalilah ke kota
Kadipaten Bumiraksa.
Tanyalah pada orang yang
tahu...."
"Itu sama juga bohong, Pak
Tua! Mungkin
kalau sudah kucungkil biji
matamu, baru kau
mau mengatakannya!"
Somagatra menghunus bilah Pedang
Hijau
yang tersandang di punggungnya.
Sementara Resi
Raga Pamungkas kontan menutup
mata. Bukan
karena takut, melainkan silau
akibat pancaran
sinar Pedang Hijau.
"Kau lihat dulu pamor
Pedang Hijau ini,
Pak Tua!" ujar Somagatra.
"Biar kau tak menyesal
setelah matamu benar-benar
kubuat buta!"
"Bunuh saja aku,
Somagatra...," pinta Resi
Raga Pamungkas, lirih.
"Hmm.... Agaknya pertapa
ini mengatakan
hal sebenarnya...," pikir
Somagatra kemudian.
"Mungkin sekali bila aku ke
kota Kadipaten Bu-
miraksa akan kudapatkan kabar
tentang Pusaka
Pedang Gaib."
Mendapat gagasan demikian,
Somagatra
segera mengangkat Pedang Hijau
tinggi-tinggi,
siap membelah tubuh Resi Raga
Pamungkas yang
sama sekali tidak berdaya karena
pengaruh toto-
kan.
"Berdoalah sebentar, Pak
Tua. Karena, aku
meluluskan permintaanmu yang
ingin mati."
Tangan Somagatra bergetar.
Sementara,
Pedang Hijau siap mencabut nyawa
sang resi. Ta-
pi....
"Tahan...!"
Sebuah teriakan membuat
Somagatra
mengurungkan niatnya.
Terkejutlah pemuda ini,
karena tak jauh darinya telah
berdiri seorang re-
maja tampan berpakaian putih
penuh tambalan
yang tak lain Suropati.
"Jangan mendekat,
Suro!" hardik Somaga-
tra, menyembunyikan
keterkejutannya. "Bila kau
mendekat kemari, tubuh pertapa
ini akan kube-
lah jadi dua!"
"Hmm.... Kaukah yang
bernama Somaga-
tra?" tanya Pengemis Binal,
tenang. Pengemis Bi-
nal memang tak mungkin mengenali
nama anggo-
tanya satu persatu.
"Ya! Menyingkirlah
jauh-jauh dari tempat
ini kalau tak ingin melihat Resi
Raga Pamungkas
mandi darah!"
"Kau tak pantas menjadi
anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti,
Somagatra. Letak-
kan senjatamu! Mungkin Kakek
Gede masih bisa
mengampuni kesalahanmu...."
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak.
"Sejak kedatanganku di
Bukit Ranuglagah, aku
keluar dari perkumpulan. Dan,
aku pun tak lagi
mengenal siapa itu Kakek
Gede!"
"Murid murtad!" geram
Pengemis Binal.
Tapi, remaja tampan ini tak bisa
berbuat
apa-apa, karena takut Somagatra
benar-benar
akan melaksanakan ancamannya.
Namun, men-
dadak bibir remaja yang sering
berperilaku konyol
ini menyungging senyum. Dia
teringat ilmu sihir
ajaran guru pertamanya yang
bergelar Periang
Bertangan Lembut.
"Mendekatlah kemari,
Somagatra!" perintah
Pengemis Binal. Tatapannya tajam
menusuk di-
lambari kekuatan ilmu sihir.
Somagatra tampak bingung
sejenak. Men-
dadak pikiran warasnya lenyap. Lalu,
bagai ker-
bau dicocok hidungnya dia
berjalan perlahan
menghampiri Pengemis Binal.
"Berikan pedangmu!"
perintah Pengemis
Binal lagi.
Ketika Somagatra telah
menyerahkan Pe-
dang Hijau, Pengemis Binal
melepas pengaruh il-
mu sihirnya.
Somagatra kontan terkejut.
Begitu tahu
Pedang Hijau tak lagi berada di
tangannya, dia
segera berlutut.
"Ampun.... Ampun,
Suro...," pinta Somaga-
tra, mengiba.
"Kau minta ampun? Agar tak
kubunuh, be-
gitu?" tanya Pengemis Binal
seraya membetot sa-
rung Pedang Hijau di punggung
Somagatra.
"Ya..., ya. Aku minta
ampun...," hiba So-
magatra disertai tetesan air
mata.
Suropati menggeram. Lalu kakinya
berge-
rak ke depan. Dan....
Desss!
"Aaakh…!"
Terpentallah tubuh Somagatra,
begitu re-
maja tampan itu melepaskan
tendangan.
7
Begitu bangkit, Somagatra
menatap penuh
kebencian pada Pengemis Binal.
Hilang sudah air
matanya yang tadi sempat
menetes. Sekarang ju-
stru sifat angkuhnya yang
terlihat. Pemuda ini-
berdiri berkacak pinggang walau
sebenarnya tahu
bila tak akan menang melawan
Pengemis Binal.
"Aku masih mau bermurah
hati padamu,
Somagatra...," ujar
Pengemis Binal, mencoba ber-
sabar. "Datanglah ke puncak
Bukit Pangalasan.
Di hadapan Kakek Gede, akui
semua kesalahaa-
mu...."
"Baiklah, Suro...,"
sahut Somagatra cepat
"Aku akan datang ke hadapan
Kakek Gede."
Usai berkata, Somagatra
berbalik. Lalu tu-
buhnya berkelebat menembus
kegelapan malam.
"Kenapa kau malah menyuruh
dia pergi,
Suro?" tanya Resi Raga
Pamungkas, heran. Ma-
tanya terus menatapi kepergian
Somagatra.
Suropati menatap sejenak wajah
sang resi
yang lebam-lebam.
"Kalau Somagatra tidak
menyadari kesala-
hannya, dan tidak pula menghadap
Kakek Gede
untuk menerima hukuman, sampai
ke ujung lan-
git pun dia akan
kukejar...."
Sang resi mengangguk-angguk.
Pengemis
Binal memungut Pedang Hijau yang
tergeletak di
tanah.
"Inikah yang bernama Pedang
Hijau milik
Danar Pangeran, Kek?" tanya
Pengemis Binal
sambil menimang pedang di
tangannya.
"Ya," jawab sang resi,
pendek.
"Seperti pesan terakhir
Danar Pangeran,
aku harus memusnahkan pedang
ini."
"Jangan dulu, Suro!"
cegah Resi Raga Pa-
mungkas.
Sambil menatap wajah sang resi,
Suropati
garuk-garuk kepala.
"Sebaiknya pedang itu kau
bawa dulu. Sia-
pa tahu, nanti ada
gunanya...," lanjut sang resi.
"Tapi, aku tidak bisa
bersenjata pedang,
Kek."
"Sudahlah... Turuti saja
permintaanku...."
"Baiklah...," ucap
Pengemis Binal kemu-
dian.
Suropati lalu mengajak Resi Raga
Pamung-
kas kembali ke Kuil Saloka.
Sengaja mereka me-
lewati pinggiran kota walau
gelapnya malam
hampir membutakan mata. Karena,
Suropati
khawatir Resi Raga Pamungkas
akan berjumpa
orang-orang yang menginginkan
kematiannya.
Penghadangan orang-orang Partai
Trisula Sakti
bisa dijadikan pelajaran.
"Kasihan sekali kau,
Kek...," kata Pengemis
Binal di tengah jalan.
"Setelah sampai di Kuil Sa-
loka nanti, aku akan meminta
anak buahku un-
tuk merawat luka-lukamu."
"Kau terlalu baik,
Suro...," sahut Pengemis
Binal. "Tapi, tak pada tempatnya
di tengah malam
seperti ini kau membuat repot
anak buahmu yang
sedang beristirahat"
"Kalau begitu, aku sendiri
yang akan me-
rawat luka-lukamu, Kek. Seperti
yang kulakukan
sore tadi. Aku ada sedikit ilmu
pengobatan hasil
ajaran seorang tabib pandai
bergelar si Wajah Me-
rah."
"Terima kasih, Suro. Lukaku
hanya luka
luar yang tidak seberapa parah.
Kau tak perlu
khawatir...."
Pada kokok ayam pertama, barulah
Pen-
gemis Binal dan Resi Raga
Pamungkas sampai di
Kuil Saloka yang terletak di sebelah
selatan kota
Kadipaten Bumiraksa.
***
Semburat cahaya mentari
berpendar di
ufuk timur. Pagi datang
menghantar terang. Cua-
ca cerah. Tapi, tidak demikian
isi hati Somagatra.
Pemuda ini diliputi rasa kesal
bukan main. Se-
bab, selain gagal mendapatkan
Pusaka Pedang
Gaib, Pedang Hijau di tangannya
pun berhasil di-
rampas Pengemis Binal. Tak heran
apabila wa-
jahnya terlihat sangat muram.
Langkah kakinya
terseok, bagai orang tak punya
semangat hidup.
"Aku tak habis mengerti,
kenapa Suropati
membiarkan aku pergi? Padahal,
dia telah tahu
perbuatan jahatku. Apakah dia
mempunyai se-
buah rencana? Atau, dia memang
berotak
udang?" kata batin
Somagatra sambil melangkah
menyusuri sungai yang membujur
di pinggir kota
Kadipaten Bumiraksa.
"Suropati menyuruhku da-
tang menghadap Kakek Gede
Panjalu di puncak
Bukit Pangalasan. Huh! Siapa
sudi?!"
Somagatra terus melangkah
memasuki ke-
sibukan kota yang baru mulai.
Kini, jalannya tak
lagi terseok karena mendadak
mendapat harapan
baru.
"Mudah-mudahan apa yang
dikatakan Resi
Raga Pamungkas benar. Pusaka
Pedang Gaib
memang dibawa seorang pemuda
berpakaian ser-
ba hitam. Menurut pertapa itu,
aku bisa mencari
keterangan di kota ini."
Somagatra melangkah lebih cepat.
Namun,
baru saja melewati pintu
gerbang, pemuda ini ter-
henyak. Di kejauhan, matanya
melihat beberapa
pemuda tengah berjalan cepat
seperti sedang
mencari sesuatu.
"Bukankah itu para pemuda
yang tadi ma-
lam mengeroyok Suropati dan Resi
Raga Pamung-
kas?" pikir Somagatra.
"Aku tahu, mereka tentu
sedang mencari Resi Raga
Pamungkas. Karena,
mereka juga menginginkan Pusaka
Pedang Gaib.
Hm.... Aku akan mengorek
keterangan dari mere-
ka...."
Merasa mendapat gagasan bagus,
Somaga-
tra lalu berlari-lari mengejar
rombongan pemuda
yang menghilang di tikungan
jalan.
"Tunggu dulu!, Teman!"
teriak Somagatra
setelah beberapa tombak di
belakang para pemu-
da yang tak lain para anggota
Partai Trisula Sakti.
Para pemuda itu menghentikan
langkah
dan berbalik. Tapi setelah melihat
sosok Somaga-
tra yang berpakaian penuh
tambalan mereka
mendengus penuh hinaan. Lalu
mereka melan-
jutkan perjalanan.
"Hei! Tunggu dulu,
Sahabat-sahabat Baik!"
Sembari berkata demikian,
Somagatra me-
ngemposkan tubuhnya, langsung
menghadang di
hadapan para pemuda itu.
"Pengemis Hina! Kau hendak
mencari per-
kara rupanya?!" hardik
pemuda yang berwajah
bopeng yang tak lain Bagus
Kembara.
"Aku tahu jika para sahabat
ini adalah
anggota Partai Trisula
Sakti...," ujar Somagatra,
tenang. "Aku pun tahu, para
sahabat ini tengah
mencari seseorang."
"Kau memanggil kami 'para
sahabat'. Ka-
pan kami mengikat tali
persahabatan denganmu,
Pengemis Hina?!" hardik
Bagus Kembara lagi, le-
bih menyakitkan.
"Hem.... Tidak patutkah
seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti menjadi
sahabat kalian? Apakah Partai
Trisula Sakti telah
menjadi sebuah partai yang
begitu congkak? Pa-
dahal, aku tahu pasti kalau
kalian membutuhkan
keterangan dariku...."
"Kau jangan bicara ngawur,
Pengemis
Edan! Kita belum pernah
mengenal. Kenapa kau
bisa mengatakan kalau kami
membutuhkan kete-
rangan darimu?"
"Seperti yang kukatakan di
depan, aku ta-
hu bila kalian tengah mencari
seseorang. Aku pun
tahu, di mana orang yang sedang
kalian cari se-
karang."
"Jangan hiraukan pemuda
kurang waras
itu, Kembara!" ujar salah
seorang teman Bagus
Kembara.
Tapi, agaknya Bagus Kembara
tertarik pa-
da bicara Somagatra.
"Kalau kau memang bisa
membantu kami,
katakan dulu siapa yang sedang
kami cari?" tanya
pemuda berwajah bopeng.
Somagatra kontan tersenyum.
"Agaknya
para pemuda ini tidak tahu bila
akulah yang telah
melarikan Resi Raga Pamungkas
semalam...," ka-
tanya dalam hati.
Somagatra lantas memasang wajah
sung-
guh-sungguh.
"Bukankah orang yang kalian
cari itu ada-
lah Resi Raga Pamungkas?"
"Hei! Bagaimana kau tahu
itu?" kejut Ba-
gus Kembara.
Bibir Somagatra menyungging
senyum lagi.
"Hal itu aku tak bisa
mengatakannya. Tapi
yang jelas, aku bersedia
membantu kalian."
"Ikut mencari Resi Raga
Pamungkas?"
tanya teman Bagus Kembara yang
lainnya.
"Tidak. Aku hanya ingin
menunjukkan, di
mana pertapa itu sekarang
bersembunyi," jawab
Somagatra.
"Jangan mendustai kami,
Pengemis Jelek!"
hardik Bagus Kembara.
"Semalam Resi Raga Pa-
mungkas dilarikan orang.
Bagaimana kau bisa
mengatakan bila pertapa itu
sedang bersem-
bunyi?"
"Resi Raga Pamungkas tidak
dilarikan
orang. Melainkan, diselamatkan!
Dan kini pertapa
itu memang sedang
bersembunyi."
"Bagaimana kau tahu
itu?" selidik Bagus
Kembara.
"Maaf. Aku tak bisa
mengatakannya. Tapi,
aku bisa memberitahu tempat
persembunyian Re-
si Raga Pamungkas."
"Di mana?" kejar Bagus
Kembara, mulai
percaya
"Katakan dulu, kenapa
kalian mencari per-
tapa itu?! Apakah ada
hubungannya dengan Pu-
saka Pedang Gaib?"
"Hmm.... Kelihatan belangmu
sekarang,
Pengemis Hina!" ejek Bagus
Kembara tiba-tiba.
"Jangan berprasangka buruk
dulu! Aku
sama sekali tidak ingin memiliki
Pusaka Pedang
Gaib. Bukankah kalian tahu, aku
adalah anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti? Pantang
bagiku mempergunakan senjata
tajam. Apalagi,
mencari-carinya."
"Lalu, apa maksud
pertanyaanmu tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja.
Terus terang,
aku penasaran karena beberapa
pekan ini nama
Resi Raga Pamungkas tiba-tiba
menjadi sangat
termasyhur."
"Hmm.... Baiklah kalau
begitu, kujawab
pertanyaanmu. Tapi, bila kau
ternyata menipu,
kami tak segan mencincang
tubuhmu!"
"Sebenarnya kau tak perlu
mengancam,
Sahabat...," ujar Somagatra
dengan tenang. "Ja-
wab saja pertanyaanku, kenapa
kalian mencari
Resi Raga Pamungkas?"
Bagus Kembara mengambil napas
panjang.
"Ada orang yang mau menukar
kepala pertapa itu
dengan Pusaka Pedang Gaib."
"Hmm.... Menyesal aku
kenapa tadi malam
aku tidak cepat-cepat saja
memenggal kepala Resi
Raga Pamungkas...," kata
batin Somagatra. "Se-
karang itu sudah tidak mungkin
dilakukan, kare-
na pertapa itu dalam
perlindungan Suropati."
"Hei! Kenapa kau diam,
Pengemis Hina?!
Sekarang katakan di mana Resi
Raga Pamungkas
bersembunyi?!" sentak Bagus
Kembara.
"Dia disembunyikan Suropati
alias Penge-
mis Binal. Kalau mau mencari
Resi Raga Pa-
mungkas, cari saja Suropati.
Paksa dia untuk
mengatakannya!"
Usai berkata, Somagatra berlari
mening-
galkan Bagus Kembara dan
teman-temannya. Ge-
rakannya cepat sekali karena
mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
"Bangsat! Pengemis Edan
Keparat!" umpat
Bagus Kembara.
"Kita sudah kena tipu
mentah-mentah,
Kembara!" sahut salah
seorang teman pemuda
bermuka bopeng itu.
"Tidak! Dia tidak
menipu!" sanggah Bagus
Kembara.
"Maksudmu?"
"Keterangannya yang
membuatku naik pi-
tam. Kalau Resi Raga Pamungkas
disembunyikan
Suropati, bagaimana mungkin kita
bisa memeng-
gal kepala pertapa itu? Sedang
memaksa Suropati
bicara saja kita tak akan
mampu!"
"Aku ada gagasan...,"
teman Bagus Kemba-
ra yang lain menyela.
"Gagasan apa?"
"Kita tak perlu susah-susah
mencari Resi
Raga Pamungkas. Kita langsung
saja merebut Pu-
saka Pedang Gaib dari pemuda
berpakaian serba
hitam itu pada hari yang
dijanjikannya. Besok
malam!"
"Ya..., ya! Sebuah gagasan
bagus!"
Bagus Kembara lalu mengajak
teman-
temannya pergi dari tempat itu.
Namun sama se-
kali tak terduga, karena
ternyata ada seseorang
yang telah menguping bicara
mereka barusan.
Orang itu bersembunyi di atas
atap kios kelon-
tong di dekat mereka berdiri.
Begitu hilang sosok
para anggota Partai Trisula
Sakti itu, si pencuri
dengar meloncat turun, dan
berjalan lenggang-
kangkung. Ternyata, dia adalah
Somagatra!
***
Suropati berjalan sambil
menyeret tongkat
bututnya. Tatapan matanya
menerawang jauh.
Beberapa anggota Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti yang menyapanya hanya
dijawab ang-
gukan kepala. Bingung memang
Suropati memi-
kirkan masalah yang sedang
dihadapi. Walau ti-
dak langsung menyangkut dirinya,
tapi jiwa ke-
pendekarannya terpanggil. Dan
hal itu membuat-
nya tak bisa berpangku tangan
untuk membiar-
kan Resi Raga Pamungkas menghadapi masalah
sulit seorang diri.
Langkah kaki Suropati terhenyak
ketika
melewati sebuah penginapan
bertingkat tiga.
Pandangan matanya menangkap
sosok gadis can-
tik berkebaya hijau yang tengah
berjalan setengah
berlari seperti ada sesuatu yang
ditakutinya. Ter-
bawa rasa ingin tahu, cepat
Pengemis Binal men-
gejar. Namun tiba-tiba sosok si
gadis lenyap di
sebuah kelokan jalan.
"Hmm.... Kalau tak salah
penglihatanku,
gadis itu tentu Swani...,"
gumam Pengemis Binal
teringat pada gadis yang pernah
ditolongnya dari
kejaran seekor harimau beberapa
hari yang lalu.
"Aneh sekali gadis itu.
Ketika berjumpa Resi Raga
Pamungkas, dia melarikan diri.
Sepertinya dia di-
hantam oleh keterkejutan yang
sangat. Aku men-
duga bila dia sengaja
menghindar. Hmmm..., Ta-
bir apakah yang menyelimuti diri
gadis itu?"
Mengikuti perasaan hatinya,
Suropati ber-
putar-putar untuk mencari Swani
yang tadi sem-
pat dilihatnya, Tapi hingga
keringat mengucur de-
ras, sosok gadis itu tetap tak
dijumpainya. Swani
seperti lenyap ditelan bumi.
"Ketika berjumpa denganku,
sepertinya ga-
dis itu sengaja menyembunyikan
kepandaian. Ta-
pi, kenapa dia berlari ketika
ada seekor harimau
mengejar? Apakah dia sengaja
hendak mengela-
bui aku? Lalu, apa
maksudnya?"
Selagi Pengemis Binal diliputi
berbagai
tanda tanya, seorang pemuda
bertubuh jangkung
berlari menghampirinya.
"Ada apa, Ganda?"
tanya Pengemis Binal,
ketika matanya menatap sosok
pemuda berpa-
kaian penuh tambalan yang
berdiri di hadapan-
nya itu.
"Kabar yang kau inginkan
telah kuda-
patkan, Suro!" ujar pemuda
yang dipanggil Gan-
da.
"Pusaka Pedang Gaib
benar-benar ada?"
"Ya! Seperti yang kau
katakan semula, sen-
jata pusaka itu dibawa oleh
seorang pemuda ber-
pakaian serba hitam," tutur
Ganda penuh ke-
sungguhan.
"Dari mana kau mendapat
kabar itu?"
tanya Pengemis Binal untuk lebih
memastikan.
"Hampir semua tokoh
persilatan yang kebe-
tulan berada di kota Kadipaten
Bumiraksa tahu
kalau pemuda berpakaian serba
hitam itu muncul
kemarin malam di rumah pelacuran
milik Mak
Gatri. Dia bersedia menukar
senjata mustika yang
dibawanya kepada siapa pun yang
dapat menye-
rahkan kepala Resi Raga
Pamungkas."
"Lalu, kenapa pemuda itu
akan muncul la-
gi?"
"Besok malam di tempat yang
sama!"
"Kau yakin?"
"Itulah kabar yang
kudengar. Aku tidak bi-
sa memastikan kebenarannya.
Tapi, tampaknya
semua orang percaya."
Pengemis Binal
mengangguk-angguk.
"Terima kasih,
Ganda...," ucap Suropati
kemudian.
Setelah Ganda meninggalkan
tempat, Su-
ropati bersorak girang. Apa yang
dikatakan Ganda
membuat kegelapan yang
menyelimuti pikirannya
pudar. Tapi, teringat pada Resi
Raga Pamungkas,
kening Pengemis Binal langsung
berkerut.
"Bila benar kabar yang
disampaikan Gan-
da, nyawa Resi Raga Pamungkas
semakin teran-
cam...," pikir Pengemis
Binal. "Aku tak bisa mem-
biarkan pertapa itu seorang diri
di Kuil Saloka.
Aku harus menyembunyikannya di
tempat yang
lebih aman."
Bergegas Pengemis Binal
melangkah. Nya-
wa Resi Raga Pamungkas seperti
menjadi tang-
gungannya kini. Dia tak akan
membiarkan ada
orang mengganggu pertapa itu.
Apalagi, mengin-
ginkan kematiannya!
8
Cuaca malam ini tidak seperti
kemarin.
Langit bersih, tak segumpal awan
terlihat. Hingga,
bulan sepotong masih mampu
membuat terang
mayapada. Kedip bintang bagai
tebaran intan di
layar hitam. Sementara, udara
sejuk terasa men-
gelus kulit.
Dengan langkah pasti, seorang
pemuda
berpakaian serba hitam memasuki
pelataran ru-
mah pelacuran milik Mak Gatri
yang terletak di
ujung utara kota Kadipaten
Bumiraksa. Di pung-
gungnya, terikat sebuah benda
panjang yang di-
bungkus kain hijau. Namun,
pemuda ini terke-
siap ketika....
"Serahkan Pusaka Pedang Gaib yang kau
bawa, Orang Asing!"
Mendadak terdengar bentakan yang
dis-
usul munculnya belasan pemuda
bersenjata tri-
sula dari samping kiri bangunan.
Jelas, para pe-
muda itu anggota dari Partai
Trisula Sakti. Bagus
Kembara yang berwajah bopeng
tampak di antara
mereka.
"Orang-orang edan!"
bentak pemuda ber-
pakaian serba hitam.
"Adakah kalian membawa
kepala Resi Raga
Pamungkas?!"
"Untuk mendapatkan Pusaka
Pedang Gaib,
kami tak perlu membawa kepala
resi itu!" sahut
Bagus Kembara, pongah.
"Hmm.... Berarti kalian
ingin merampas
Pusaka Pedang Gaib secara
paksa...."
"Tepat! Kami merasa tak
perlu berbasa-basi
lagi. Serahkan buntalan kain
hijau di punggung-
mu!"
"Ambillah sendiri!"
Sambil berkata, pemuda
berpakaian serba
hitam mengedarkan pandangan.
Orang yang
mengepungnya ternyata bukan
belasan orang la-
gi. Lebih dari tiga puluh!
Selain para anggota Par-
tai Trisula Sakti, di tempat itu
telah muncul to-
koh-tokoh silat lainnya.
Sebentar kemudian, tiga orang
lelaki seten-
gah baya maju dua langkah.
Mereka sama-sama
memegang tombak pendek.
"Kami adalah Tiga Saudara
Tombak
Maut...," kata lelaki di
tengah memperkenalkan
diri. "Seperti yang kau
katakan, kami akan men-
coba mengambil Pusaka Pedang
Gaib di pung-
gungmu, Orang Asing!"
Pemuda berpakaian serba hitam
menden-
gus pendek ketika tiga lelaki
yang berdiri di hada-
pannya menerjang secara
bersamaan.
Wuuttt...!
Tiga ujung tombak pendek
meluncur deras
mencari jalan kematian di tubuh
si pemuda. Na-
mun hanya dengan menggeser
kakinya sedikit se-
rangan itu berhasil dihindari.
Lalu, cepat sekali
tubuhnya berkelebat
memutar!
Prak! Prak! Prak!
"Aaa...!"
Terdengar suara berderak tiga
kali, seperti
benda keras yang terpukul pecah.
Diiringi jerit
menyayat hati, tubuh tiga lelaki
bersenjata tom-
bak pendek jatuh ke tanah.
Mereka menggeliat
sebentar, lalu diam untuk selama-lamanya den-
gan kepala pecah berlumur darah!
Melihat kejadian itu, semua mata
menun-
jukkan pandangan kaget.
Sementara, pemuda
berpakaian serba hitam
mengedarkan pandangan
sekali lagi.
"Berpikirlah masak-masak
untuk meram-
pas Pusaka Pedang Gaib. Aku
sudah menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan
kepala Resi
Raga Pamungkas. Kenapa malah
nekat?" kata
pemuda ini dingin.
"Memenggal kepala Resi Raga
Pamungkas
atau memenggal kepalamu, kukira
sama saja!"
sahut seorang lelaki bertubuh
gempal. "Ayo, kita
kerubuti pemuda itu!"
"Heaaa...!"
Lima orang lelaki segera
menerjang ketika
lelaki bertubuh gempal yang
bersenjata pedang
meluruk maju.
Pemuda berpakaian serba hitam
mengge-
ram marah. Cepat dihunusnya
Pusaka Pedang
Gaib yang menimbulkan suara
berdesing dibaren-
gi berpendarnya cahaya merah
menggidikkan. La-
lu....
Cras! Cras!
"Aaa...!"
Jerit kematian amat keras
langsung mem-
bahana di angkasa ketika si
pemuda menge-
butkan pedangnya. Enam tubuh
manusia jatuh
berdebuk di tanah. Mereka mati
dengan dada
mengepulkan asap seperti habis
terbakar.
Selagi orang membelalakkan mata
melihat
kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib,
pemuda ber-
pakaian serba hitam sudah
meloncat meninggal-
kan tempat.
"Kejar...!" teriak
Bagus Kembara kepada
teman-temannya.
Namun, pemuda bermuka bopeng ini
jadi
kecewa, karena tak satu pun
anggota Partai Tri-
sula Sakti yang menjalankan
perintahnya. Agak-
nya, nyali mereka telah hilang
melihat sembilan
orang mati dalam keadaan
mengerikan.
"Manusia-manusia bodoh!
Kalian memang
tak pantas memiliki Pusaka
Pedang Gaib!" geram
Bagus Kembara, seraya meloncat
untuk mengejar
pemuda berpakaian serba hitam
yang telah pergi.
Sementara itu, pemuda
berpakaian serba
hitam terus berlari mengandalkan
seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Tanpa
disadari, seorang
remaja bersenjata tongkat berlari
cepat di bela-
kangnya.
"Bangsat!" umpat
pemuda berpakaian ser-
ba hitam begitu sadar kalau ada
yang mengiku-
tinya. Larinya segera
dihentikan. "Kenapa kau
mengikutiku, heh?! Apakah kau
merasa punya
nyawa rangkap, sehingga berani
berbuat nekat?!"
Usai berkata, si pemuda
berbalik. Dan dia
kontan tersurut mundur karena
terkejut. Ma-
tanya melihat sosok remaja
tampan yang berdiri
di belakang Bagus Kembara.
"Suropati...,"
desisnya.
Karena keterkejutan yang luar
biasa, tanpa
sadar pemuda berpakaian serba
hitam tersurut
mundur lagi. Dan sebelum si
remaja tampan me-
langkah menghampirinya, cepat
dia kembali ber-
balik seraya berlari cepat bagai
habis melihat se-
tan.
"Hai! Tunggu dulu!"
cegah remaja tampan
berpakaian penuh tambalan yang
memang Suro-
pati.
Pemuda berpakaian serba hitam
tak mau
ambil peduli. Dia terus
menggenjot tubuh untuk
segera dapat meninggalkan
Suropati yang berlari
di belakangnya.
Sepuluh tarikan napas kemudian,
Penge-
mis Binal menghempos tubuh ke
atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara,
kakinya mendarat di
depan pemuda berpakaian serba
hitam yang ma-
sih berlari cepat.
Karena bingung, pemuda
berpakaian serba
hitam menghunus Pusaka Pedang
Gaib yang tadi
telah disarungkan. Lalu dalam
keadaan masih
meluncur ke depan, senjata
pusaka di tangannya
ditebaskan.
Wut...!
Sigap sekali Pengemis Binal
mengegoskan
tubuhnya. Tapi Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kontan terkejut
karena sekujur tu-
buhnya tiba-tiba terasa sangat
panas bagai dijala-
ri api.
Lebih terkejut lagi ketika
melihat sebagian
lengan bajunya mengepulkan asap,
lalu muncul
lidah api!
Buru-buru Pengemis Binal
menepis-nepis
kain bajunya yang terbakar
disertai pengerahan
ilmu 'Pukulan Salju Merah' yang
berhawa dingin.
Lidah api langsung lenyap,
meninggalkan lubang
bergaris hitam di lengan
bajunya.
"Hmm.... Pusaka Pedang Gaib
ternyata be-
nar-benar senjata pusaka yang
amat mengeri-
kan...," kata batin
Suropati. "Walau pendaran si-
narnya tak mengenaiku, tapi
sanggup membuat
bajuku terbakar. Aku harus
berhati-hati."
Sewaktu Suropati berdiri terpaku
di tem-
patnya, pemuda berpakaian serba
hitam mencoba
mengambil langkah seribu lagi.
Tapi, mendadak
sesosok bayangan memapaki
luncuran tubuhnya
yang masih menghunus pedang.
"Wuaah...!"
Jerit kematian merobek kesunyian
malam.
Pengemis Binal terkejut melihat
tubuh Bagus
Kembara telah terbaring di tanah
dalam keadaan
terpotong dua dan tahu-tahu
mengepulkan asap
hitam.
"Aku tahu benar bila pemuda
berpakaian
serba hitam itu hanya sedikit
menggerakkan pe-
dang yang dibawanya. Kenapa
tubuh Bagus Kem-
bara yang menerjangnya tiba-tiba
terbelah dua?
Pusaka Pedang Gaib benar-benar
senjata yang
mengandung kesaktian luar biasa...,"
kata batin
Pengemis Binal.
Sementara, pemuda berpakaian
serba hi-
tam telah menggenjot tubuh untuk
dapat mening-
galkan Suropati. Namun....
"Serahkan pedang yang kau
bawa, Orang
Asing!"
Sebuah teriakan yang dibarengi
kelebatan
empat benda kecil putih
mengkilat membuat pe-
muda berpakaian serba hitam itu
terhenyak den-
gan langkah terhenti. Namun
secepat kilat pe-
dangnya diputar.
Trang...!
Saat itu juga, rontohlah
benda-benda kecil
berupa pisau kecil yang
mengancam jiwanya.
Menggeramlah Suropati melihat
siapa yang
telah melemparkan senjata
rahasia itu. Dia tak
lain Somagatra!
"Kau kuperintahkan untuk
pergi mengha-
dap Kakek Gede. Lantas kenapa
masih berada di
sini, Somagatra?!" bentak
Pengemis Binal.
"Aku akan menghadap Kakek
Gede, setelah
mendapatkan Pusaka Pedang Gaib,
Suro!" sahut
Somagatra berani.
"Kau tahu bila seluruh
anggota perkumpu-
lan kita pantang memiliki
senjata tajam?!"
"Ya. Aku tahu benar hal
itu. Tapi bila kau
pun menginginkan Pusaka Pedang
Gaib, kenapa
aku tidak?" ujar Somagatra
semakin berani.
Dituduh demikian, Pengemis Binal
men-
dengus gusar.
"Aku akan menjatuhkan
hukuman sendiri
bila kau tak segera pergi dari
tempat ini untuk
menghadap Kakek Gede!"
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak.
Matanya meli-
rik ke kiri. Tahu pemuda
berpakaian serba hitam
lengah, cepat tongkatnya
disodokkan mengarah
ke ulu hati. Gerakannya tidak
main-main karena
disertai seluruh kekuatan tenaga
dalam tinggi.
Tampaknya pemuda berpakaian serba
hi-
tam pun tak akan mampu
menghindar lagi. Ta-
pi...
"Hauuum...!"
Mendadak berkelebat sesosok
bayangan lo-
reng menerkam tubuh Somagatra!
Ketika jatuh
berdebam ke tanah, pemuda itu
sudah bergelut
dengan seekor harimau besar.
Pergulatan tidak berlangsung
lama. Hari-
mau loreng tiba-tiba meraung
keras, lalu tubuh-
nya menggelepar dijemput
Malaikat Kematian.
Sementara tubuh Somagatra
sendiri pun tampak
terbujur kaku dengan luka lebar
di leher bekas
gigitan harimau yang telah
menyelamatkan pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Rimang...!" pekik si
pemuda seraya ber-
hambur memeluk tubuh harimau
loreng yang te-
lah diam tak bergerak lagi.
Dicabutnya sebilah pi-
sau kecil hasil tikaman
Somagatra yang menan-
cap di jantung harimau itu.
Suropati hanya dapat memandang
si pe-
muda yang tengah menangis
tersedu-sedu. Rema-
ja tampan ini terperangah karena
tangis yang ter-
dengar adalah tangis seorang
wanita!
Mata Suropati terbelalak ketika
melihat
Wajah si pemuda yang telah
terangkat. Agaknya
kumis dan jenggotnya lepas
ketika menciumi
bangkai macan loreng.
"Rimang...!
Rimang...!" panggil si pemuda.
"Kenapa kau meninggalkan
aku, Rimang? Tidak-
kah kau ingin melihat aku
bahagia, karena ber-
hasil membalaskan sakit hati
Ibunda Sawitri?"
Suropati mempertajam
penglihatannya.
Beberapa kali matanya mengerjap.
Tapi sosok
yang terlihat tetap tak berubah.
Sosok pemuda
yang dikenali Pengemis Binal
sebagai seorang ga-
dis.
"Swani...," desis
Pengemis Binal seperti tak
yakin pada penglihatannya
sendiri.
Sosok gadis yang menyamar
sebagai pe-
muda memang tak lain dari Swani.
Gadis itu me-
natap Pengemis Binal. Air mata
masih berlelehan.
Pipinya memerah. Dan, bahunya
terguncang-
guncang karena menahan isakan
tangis.
"Maafkan aku,
Suro...," ucap Swani. "Tem-
po hari aku telah mengelabuimu.
Semula, aku in-
gin menghasutmu untuk turut
memusuhi Resi
Raga Pamungkas. Tapi, orang
jahat itu keburu
menampakkan diri. Sehingga aku
berlari meng-
hindarinya...."
"Jadi, harimau yang
mengejarmu itu sebe-
narnya binatang
peliharaanmu?" tanya Pengemis
Binal, sambil melangkah
mendekati Swani.
Si gadis mengangguk lemah.
Isakan tan-
gisnya terdengar lagi.
"Kau katakan tadi hendak
menghasutku
untuk turut memusuhi Resi Raga
Pamungkas.
Berarti, kau menyimpan api
permusuhan pada
pertapa itu. Bagaimana asal
mulanya?"
Swani menyeka air matanya.
"Dua puluh
tahun yang lalu, Raga Pamungkas
bertemu seo-
rang gadis bernama Sawitri.
Mereka lalu terlibat
jalinan asmara. Sawitri
mengandung. Tapi..., tapi
kemudian Raga Pamungkas
mengkhianatinya.
Dia pergi meninggalkan tanggung
jawab...," tutur
gadis ini sambil mengucurkan air
mata. "Sawitri
pun merana. Timbul rasa bencinya
terhadap
orang yang semula sangat
dicintainya. Setelah
bayinya lahir, dia memberi nama
Swani. Dan
Swani itu adalah aku,
Suro..,."
Swani tak kuasa melanjutkan
ceritanya.
Gadis ini menangis
menggerung-gerung. Didekap-
dekap-nya mayat harimau loreng
yang telah ter-
bujur kaku.
"Oleh sebab itu kau lalu
memusuhi Resi
Raga Pamungkas?" tanya
Pengemis Binal, diliputi
rasa haru.
"Ya," jawab Swani,
cepat. "Ibuku kemudian
meninggal karena kesedihannya.
Sebelumnya, be-
liau mewariskan Pusaka Pedang
Gaib kepadaku.
Aku pun berjanji dalam hati,
untuk membalaskan
sakit hati ibuku. Aku harus membunuh
Resi Raga
Pamungkas. Tapi, aku tak kuasa
melakukannya
sendiri. Karena, bagaimanapun
juga dia ayah-
ku...."
Pengemis Binal menghela napas
panjang
berulang kali. Tanpa sadar,
kepalanya yang tak
gatal digaruk-garuk. Cerita
Swani begitu menyen-
tuh perasaannya.
"Tapi..., tapi aku akan
tetap membunuh-
nya!" tandas Swani
tiba-tiba.
Suropati terkejut ketika
mendadak di tem-
pat itu muncul lelaki tua
berjubah dan bersorban
putih yang tak lain Resi Raga
Pamungkas. Agak-
nya, pertapa itu telah menguping
cerita Swani....
"Anakku...," desis
sang resi. "Aku menyada-
ri kesalahanku, Nak. Makanya
kemudian aku
menjadi seorang
pertapa...."
"Pertapa palsu!" sahut
Swani seraya me-
mungut Pusaka Pedang Gaib yang tergeletak di
sisinya.
"Jangan...!" teriak
Pengemis Binal melihat
Swani tiba-tiba menerjang Resi
Raga Pamungkas.
Rupanya, sang resi masih belum
ingin mati
cepat. Tahu bahaya mengancam
jiwanya, segera
dia meloncat seraya menyambar
Pedang Hijau
yang terikat di punggung
Pengemis Binal. Saat itu
juga pedang di tangannya
dikebutkan.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar benturan keras yang
memekak-
kan gendang telinga. Percikan
api membuat gelap
tersibak.
Resi Raga Pamungkas terkejut
luar biasa
ketika tahu Pedang Hijau di
tangannya telah ter-
potong menjadi tiga bagian yang
berjatuhan di
bawah kakinya. Dan sebelum dia
menyadari kea-
daan, Pusaka Pedang Gaib di
tangan Swani berke-
lebat amat cepat!
Suropati terkesiap. Walau dalam
kegelapan
malam, tapi matanya cukup tajam
untuk dapat
melihat apa yang akan diperbuat
Swani. Sebelum
Pusaka Pedang Gaib memenggal
kepala Resi Raga
Pamungkas, cepat sekali tubuhnya
melesat!
Pengemis Binal berhasil
menyambar tubuh
sang resi. Tubuh mereka bergulingan di tanah.
Namun, Suropati dapat bernapas
lagi, karena
usahanya tak sia-sia. Kelebatan
Pusaka Pedang
Gaib di tangan Swani hanya
mengenai angin ko-
song.
"Kau sadar terhadap apa
yang telah kau
perbuat, Swani...?" ujar
Suropati seraya bangkit
berdiri, melindungi Resi Raga
Pamungkas yang
masih merangkak bangun di
belakangnya.
"Kau tak perlu ikut campur,
Suro!" sentak
Swani sambil mengacungkan pedang
pusaka di
tangannya. "Ini urusan
keluarga! Tak ada sang-
kut-pautnya denganmu!"
"Resi Raga Pamungkas adalah ayahmu,
Swani. Dialah pengukir jiwa-ragamu.
Kenapa kau
masih ingin membunuhnya, padahal
dia telah
menyadari kesalahannya?"
bujuk Suropati.
"Tidak...!" jerit
Swani keras. "Dia bukan
ayahku! Dia mesti
kubunuh...!"
"Swani...!" desis
Suropati, ikut terbawa
keadaan. Sebelum remaja tampan
ini berbuat se-
suatu untuk menenangkan
kekalutan Swani,
mendadak Resi Raga Pamungkas
mencekal ba-
hunya.
"Aku memang manusia banyak
dosa, Su-
ro...," desah sang resi,
lirih. "Mungkin sudah men-
jadi takdirku untuk mati di
tangan putriku sendi-
ri...."
Mulut Suropati seperti
terbungkam. Dia
tak mampu mengucapkan kata-kata
lagi. Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini pun
tak dapat mencegah, ketika Resi
Raga Pamungkas
maju tiga tindak.
"Anakku...," desah
sang resi dengan mata
berkaca-kaca. "Dosaku pada
Sawitri ibumu, me-
mang terlalu besar untuk dapat
dimaafkan. Aku
rela mati sekarang, Swani.
Mungkin dengan ke-
matianku ini, dadamu akan lapang
untuk mem-
beri kata maaf...."
Dengan sinar mata nanar, Swani
menatap
Resi Raga Pamungkas yang berdiri
menunduk di
hadapannya. Agaknya sang resi
benar-benar telah
siap menyambut datangnya
Malaikat Kematian.
Namun pedang pusaka di tangan
Swani
terlihat bergetar.
"Ohh...!"
Bersamaan suara keluhan pendek,
pedang
itu jatuh ke tanah. Dan, Swani sendiri lalu ber-
hambur memeluk sang resi....
"Maafkan Swani, Ayah....
Maafkan Swani,
Ayah...," ucap Swani dengan
air mata menganak
sungai. Agaknya melihat
kepasrahan Resi Raga
Pamungkas, gadis ini jadi tak
tega untuk menja-
tuhkan tangan maut.
"Anakku...," desis
sang resi. Dibalasnya pe-
lukan Swani erat-erat. Air mata yang coba dita-
hannya pun jebol sudah.
Melihat ayah dan Anak saling
berpelukan
dengan cucuran air mata,
Pengemis Binal mende-
sah panjang. Hatinya kontan
tersentuh haru. Se-
belum air matanya ikut menetes,
cepat kepalanya
berpaling. Lalu dia berjalan
perlahan meninggal-
kan Resi Raga Pamungkas dan
Swani yang sama-
sama menangis dalam
kebahagiaan....
SELESAI
Segera terbit!!! episode:
TENGKORAK KAKI SATU
Emoticon