Dalam waktu yang bersamaan Saka
Purdianta
telah sampai di lambung kapal.
Dengan mengerahkan
ilmu peringan tubuh, dia
menjejak pasir pantai hingga
menangkap pagar sisi kapal.
Perlahan-lahan kepala
pemuda tampan itu menyembul.
Perkiraannya tepat,
para dayang Anggraini Sulistya
berada di anjungan.
Jadi, tak satu pun awak kapal
yang mengetahui keha-
dirannya.
Beberapa lama Dewa Guntur
menggelantung
diam dengan mata terpejam.
Walaupun kedudukannya
sulit, dia berusaha sekuat
tenaga menghimpun selu-
ruh kekuatan batinnya. Dan, saat
pemuda tampan itu
membuka mata, dia menyunggingkan
senyum lebar.
"Aku telah mengetrapkan
ilmu 'Penghilang
Tanda Kehidupan'," kata
Saka Purdianta dalam hati.
Anggraini Sulistya dan seluruh
dayangnya tak akan
mendengar dengus napas dan detak
jantungku. Jan-
gankan manusia, serigala yang
mempunyai indera
penciuman sangat tajam pun tak
akan tahu aku bera-
da di dekatnya."
Dewa Guntur lalu meloncat
tinggi. Setelah ber-
salto beberapa kali di udara,
dia mendarat di atas atap
ruangan besar yang terletak di
tengah kapal. Tubuh
pemuda tampan itu terlihat
limbung, lalu jatuh terdu-
duk. Walaupun tubuh Dewa Guntur
telah hilang tanda
kehidupannya, tapi dia khawatir
juga gerakannya me-
nimbulkan suara.
Buru-buru Saka Purdianta
mendekap mulut-
nya yang hendak mengeluarkan
keluhan. Terlihat dari
sela-sela jari pemuda tampan itu
meleleh darah segar.
Tampaknya dia sedang menderita
luka dalam.
"Keparat kau, Aini!"
umpat Dewa Guntur dalam
hati. "Rupanya kau ingin
membunuhku. Akan kuhan-
curkan Kecapi Maut-mu, seperti
aku menghancurkan
orang-orang yang berkeinginan
memiliki mu!"
Di atas atap ruangan itu Saka
Purdianta duduk
bersila dengan mata terpejam.
Tangannya bersedekap
di dada. Dia sedang menghimpun
hawa murni untuk
mengatasi luka dalamnya.
Saat pemuda tampan itu membuka
mata, ter-
dengar olehnya suara pertempuran
di bawah atap yang
sedang ditempati. Kemudian, Saka
Purdianta membuat
lubang pada atap yang terbuat
dari bilah papan den-
gan menggunakan jari telunjuk
yang dialiri tenaga da-
lam.
Para dayang Anggraini Sulistya
yang juga men-
dengar suara pertempuran
langsung meloncat masuk
ke dalam ruangan besar.
"Kalian kembalilah ke tempat semula!" bentak
Putri Cahaya Sakti. "Aku
sedang berlatih dengan Suro-
pati."
Mendengar itu, wanita-wanita
cantik yang su-
dah berada di ambang pintu
langsung berloncatan
kembali untuk berdiri di pagar
anjungan.
"Kau jangan terus
menghindar, Suro!" bentak
Anggraini Sulistya.
"Balaslah seranganku bila kau tak
ingin mati penasaran!"
"Tidak, Aini!" kata
Pengemis Binal dengan sinar
mata redup. Pemuda itu menyimpan
rasa khawatirnya.
"Kita baru berjumpa, kenapa
menanam bibit permu-
suhan?"
"Aku tidak menanam bibit
permusuhan den-
ganmu, Suro! Aku hanya ingin
tahu, seberapa tinggi
kepandaianmu?"
"Aini...," desis
Suropati. "Walaupun gadis itu
menyerangku dengan penuh nafsu,
tapi aku dapat me-
lihat suatu tabir gelap menutupi
mata hatinya. Entah
apa yang berada di balik
pikirannya...,"
Pengemis Binal tak mempunyai
waktu untuk
berpikir lebih panjang.
Anggraini Sulistya telah men-
gayunkan kaki kanan yang
dibarengi totokan maut ke
arah ubun-ubun.
"Aini...!" pekik
remaja konyol itu seraya berkelit.
"Jangan sebut namaku!"
Putri Cahaya Sakti melanjutkan
serangannya
yang gagal. Mendadak, dari
sekujur tubuh gadis cantik
itu memancar cahaya perak yang
sangat menyilaukan
mata.
Suropati terkejut. Cepat-cepat
dia memalingkan
muka seraya menutupi matanya
dengan telapak tan-
gan karena merasakan pedih yang
sangat.
Dhes...!
"Argh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas
ke lantai.
Tendangan Anggraini Sulistya
bersarang tepat di da-
danya. Ketika remaja konyol itu
hendak bangkit, ca-
haya perak yang memendar ke
seluruh ruangan masih
menyakitkan pandangan.
Kesempatan itu tak disia-
siakan Putri Cahaya Sakti.
Seluruh kekuatan tenaga
dalamnya segera disalurkan ke
tangan kanan. Lalu di-
cengkeramnya tengkuk Suropati!
Namun, remaja konyol itu masih
sempat meng-
hindar dengan menggulingkan
tubuhnya ke kanan.
Punggung bajunya saja yang koyak
terenggut jemari
Anggraini Sulistya.
"Rupanya kepandaian
Pemimpin Perkumpulan
Pengemis tongkat Sakti hanya
sampai di situ!" sindir
Putri Cahaya Sakti. "Nah,
sekarang nikmati sebuah
irama merdu dari kecapi
ku!"
Dalam keadaan berdiri limbung
dan mulut be-
lepotan darah, Pengemis Binal
melihat cahaya perak
yang memancar dari sekujur tubuh
Anggraini Sulistya
mendadak sirna. Terlihat
kemudian gadis cantik itu te-
lah memegang alat musik kecapi.
Selintas senyum manis
tersungging di bibir Pu-
tri Cahaya Sakti. Matanya
menatap tajam ke arah Su-
ropati. Dan, jemari tangannya
siap melantunkan irama
Kecapi Mautnya!
"Tunggu...!" pekik
Pengemis Binal.
Anggraini Sulistya tersenyum
tipis. "Karena kau
tidak mau membalas seranganku,
dengan kecapi inilah
aku akan memaksamu untuk
memberikan perlawa-
nan."
"Tidak, Aini! Aku tidak
akan melawanmu!
Sungguh, aku rela mati di
tanganmu. Tapi aku mohon
kau sudi menjawab beberapa
pertanyaanku terlebih
dahulu."
"Tidak! Aku tak sudi
menuruti apa yang kau
minta, sebelum kau bersumpah
akan bertempur mati-
matian denganku!"
"Aini...."
Mendadak, tubuh Suropati melorot
ke lantai.
Dijambak-jambak rambutnya.
Setelah menjerit keras
dia memukul-mukul lantai kapal
hingga timbul suara
berderak-derak.
"Cih! Nama besar Pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ternyata tak
lebih baik dari seekor
monyet kecil!"
"Aini.... Aku merasa
seperti pernah berjumpa
denganmu. Hati kecilku pun
mengatakan kau orang
yang sangat dekat dalam hidupku.
Aku tak tahu men-
gapa mempunyai perasaan
demikian? Apakah kau juga
merasakannya, Aini?"
Anggraini Sulistya mendengus.
Seperti hendak
mengusir ketidakmengertiannya.
Kepalanya digeleng-
gelengkan.
"Jawablah, Aini! Apakah kau
juga merasakan
hal yang aku rasakan?"
"Tidak!" jawab Putri
Cahaya Sakti dengan suara
keras. "Buka telingamu
baik-baik, Suro. Akan ku per-
dengarkan kepadamu sebuah irama
merdu yang akan
mengantarkan jiwamu ke
surga!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
gadis cantik itu
menggerakkan jemari tangannya.
Sebuah petikan ke-
capi berirama lembut segera
terdengar.
"Aini...," desis
Suropati. Tangannya menggapai,
seperti menyuruh Anggraini
Sulistya untuk menghen-
tikan petikan kecapinya. Tapi,
gadis cantik itu hanya
mengerling. Jemari tangannya
terus bergerak lincah.
Sebentar kemudian, lantunan
irama kecapi
yang merdu dirasakan Suropati sebagai hujan petir.
Kekuatan dahsyat dari irama
Kecapi Maut milik
Anggraini Sulistya dapat
disalurkan sedemikian rupa.
Hanya orang yang dimaksudnya
lah yang merasakan
siksaan. Sedangkan orang lain
tetap mendengarnya
sebagai lantunan irama merdu
mendayu-dayu.
Tubuh Pengemis Binal tergetar
hebat. Keringat
bercampur darah berlelehan dari
hampir sekujur tu-
buh. Tak terkecuali dari lubang
hidung, telinga, dan
mulutnya. Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti itu mencoba untuk tak
mengeluarkan suara jeri-
tan. Padahal siksaan yang
menderanya dirasakan se-
perti siksaan di neraka.
Tubuh remaja tampan itu terus
bergetaran. Da-
lam keadaan demikian tak tampak
sedikit pun sifat
konyolnya. Akibat getaran keras
yang terjadi, baju
yang dikenakannya semakin
koyak-koyak.
Nyawa Suropati bagai telur di
ujung tanduk ke-
tika tiba-tiba muncul kekuatan
bawah sadar yang me-
nyuruhnya untuk bangkit. Remaja
tampan itu terlihat
terhuyung-huyung. Tangan dan
kakinya digerak-
gerakkan seperti sedang menari,
mengikuti irama yang
dilantunkan kecapi Anggraini
Sulistya.
Pengemis Binal dapat bertahan
hingga bebera-
pa lama. Putri Cahaya Sakti
mendengus, lalu menam-
bah kekuatan Kecapi Mautnya!
Terlihatlah kini tubuh Suropati
berjumpalitan,
menjejak dinding ruangan secara
bergantian, bersalto
di udara, kemudian berjumpalitan
lagi di lantai ruan-
gan. Karena gerakan-gerakan
itulah, baju Suropati
tanggal hingga membuatnya
bertelanjang dada. Tam-
paklah kulitnya yang semula
putih-bersih memerah
bersimbah darah!
Pada suatu gerakan yang masih
dilakukan da-
lam keadaan bawah sadar,
punggung kiri Pengemis
Binal menggores dinding ruangan.
Cairan darah yang
melekat jadi hilang.
"Dewata Agung...!"
desis Putri Cahaya Sakti.
Ia melihat toh sebesar uang
logam kecil di
punggung kiri Suropati.
Ditubruknya tubuh Suropati
yang tergeletak pingsan.
"Suro...!" jerit
Anggraini Sulistya. Dengan kalap
dibalikkannya tubuh Suropati.
Lalu mengusap-usap
toh di punggung remaja tampan
itu. "Kau... kau adik-
ku, Suro...," ratap Putri
Cahaya Sakti. Suaranya mirip
rintihan orang sakit.
"Kau... kau putra Ayahanda Pra-
bu Singgalang Manjunjung
Langit...."
Tentu saja Pengemis Binal yang
pingsan tak
mendengar ucapan gadis cantik
itu. Anggraini Sulistya
segera menotok beberapa aliran
darah di tubuh Suro-
pati.
"Aduh...! Argh...!"
Suropati menggeliat. Ketika
membuka mata,
terkejutlah dia mendapatkan
dirinya sedang dipeluk
Putri Cahaya Sakti.
"Apa... apa yang yang
kau.... Uoookkk...!" Pen-
gemis Binal tak dapat
melanjutkan kalimatnya. Darah
segar keburu menyembur dari
mulutnya, mengotori
pakaian Anggraini Sulistya.
"Kau adikku, Suro. Kau
putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit!"
"Ak... aku tak tahu apa
yang kau maksud." Da-
rah segar kembali menyembur dari
mulut Suropati.
Putri Cahaya Sakti segera
menotok beberapa aliran da-
rah di sekitar dada remaja
tampan itu.
"Suro!" panggil
Anggraini Sulistya. "Kau men-
dengar apa yang kukatakan?"
Pengemis Binal mengangguk lemah.
Tapi segera
kepalanya digelengkan. "Aku
tak tahu apa yang kau
maksud," ucapnya pelan.
"Kau adikku, Suro! Kau
putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit!"
Suropati menggeleng, lalu
tubuhnya terkulai.
Pingsan!
Anggraini Sulistya menjerit
keras. Air matanya
sudah tak mungkin dibendung
lagi. Seperti orang kehi-
langan ingatan, gadis cantik itu
menangis sambil men-
dekap erat tubuh Suropati yang
belepotan darah.
Sementara itu, para dayang yang
sedang berdiri
di pagar sisi kapal terkejut
mendengar tangisan
Anggraini Sulistya.
"Apa yang terjadi,
Andini?" tanya Purbawati.
Temannya itu cuma mengangkat
bahu. "Sudahlah, kita
tak perlu ikut campur urusan
Tuan Putri. Beliau su-
dah mengatakan kalau sedang
berlatih dengan Suro-
pati. Tuan Putri tak akan
apa-apa," ujar Andini beru-
saha bersikap bijaksana.
Mendengar ucapan Andini, semua
dayang men-
jadi diam. Tapi tanpa
sepengetahuan mereka bahaya
sedang mengancam jiwa Putri
Cahaya Sakti....
Sinar mata Saka Purdianta atau
Dewa Guntur
berkilat tajam. Giginya
gemeletuk dengan rahang men-
geras. Apa yang dilihatnya dari
atap ruangan membuat
darah putra Tumenggung Sangga
Percona itu mendi-
dih. Anggraini Sulistya yang menangis
sambil memeluk
tubuh seorang remaja tampan
mengundang rasa cem-
buru Saka Purdianta. Cemburu
yang berubah menjadi
hawa amarah.
"Aini...," kata Dewa
Guntur dalam hati. "Kau te-
lah menyia-nyiakan cintaku yang
tulus. Sakit hatiku
lebih pedih dari sayatan seribu pedang. Namun, aku
tak ingin melihatmu sengsara,
Aini. Matilah kau, Gem-
bel Busuk!"
Pemuda tampan itu meraba-raba
ikat ping-
gangnya. Setelah mendapatkan apa
yang diinginkan,
dipukulnya atap ruangan dengan
kekuatan penuh!
Braaakkk...!
Atap yang terbuat dari
bilah-bilah papan itu
ambrol. Tubuh Saka Purdianta
meluncur turun seraya
menggerakkan tangan kanan.
Tak ada suara yang terdengar
ketika Suropati
tersentak dari pingsannya. Mata
remaja tampan itu
terbelalak lebar. Tubuhnya pun
lepas dari pelukan
Anggraini Sulistya. Dan jatuh,
tak bergerak-gerak lagi.
Di pelipis kanannya tertancap
sebatang jarum hitam
yang mempunyai daya bunuh sangat
ganas!
"Suro...!" jerit Putri
Cahaya Sakti.
Gadis cantik itu
mengguncang-guncangkan tu-
buh Pengemis Binal yang telah
mengejang. Ia hendak
menyadarkan remaja tampan itu.
Namun, cengkera-
man yang sangat kuat telah
menariknya. Tubuh
Anggraini Sulistya terlontar
membentur dinding ruan-
gan hingga jebol!
Para dayang terkejut bukan main.
Mereka ber-
loncatan untuk mengetahui apa
yang terjadi. Sebagian
memasuki ruangan besar, dan
sebagian lagi meng-
hampiri tubuh Putri Cahaya Sakti
yang tergeletak di
atas geladak.
"Saka Purdianta masih
hidup. Bunuh dia!" pe-
rintah Anggraini Sulistya sambil
meloncat bangkit.
Namun, sikap berdirinya tidak
sempurna. Punggung-
nya yang membentur dinding
ruangan membuat gadis
cantik itu sulit bernapas.
Matanya terasa berkunang-
kunang.
"Tuan Putri tidak
apa-apa?" tanya salah seo-
rang dayang.
Anggraini Sulistya menggeleng.
"Bunuh Saka
Purdianta! Dia telah melukai
Suropati dengan Jarum
Hitam," katanya kemudian.
Putri Cahaya Sakti lalu jatuh
terduduk. Ia me-
muntahkan darah segar!
"Putri...!" jerit
beberapa dayang, menyimpan ra-
sa khawatir yang sangat.
Anggraini Sulistya mendelik.
"Kenapa diam sa-
ja?! Cepat laksanakan
perintahku!"
Walaupun masih mengkhawatirkan
Putri Ca-
haya Sakti yang menderita luka
dalam, para dayang
segera menghemposkan tubuh
mereka menerjang Saka
Purdianta! Sementara, Anggraini
Sulistya langsung
bersila dan menghimpun hawa
murni. Luka dalam ga-
dis cantik itu bukan disebabkan
oleh benturan pada
punggungnya, melainkan akibat
totokan pada tengkuk
yang dilancarkan Saka Purdianta.
Dewa Guntur yang sudah tahu
Putri Cahaya
Sakti mempunyai kepandaian untuk
melepaskan toto-
kan, sengaja melancarkan totokan
ke tengkuk. Aliran
darah yang menuju ke otaknya
akan langsung terhen-
ti. Bila dibarengi dengan
benturan keras pada pung-
gung, akan mengakibatkan luka
dalam yang cukup pa-
rah!
Setelah berhasil menghimpun
seluruh hawa
murninya, Anggraini Sulistya
mengusap-usap tengkuk.
Kemudian dilanjutkan dengan
sebuah totokan.
"Uoookkk...!"
Darah kental menyembur dari
mulut gadis can-
tik itu. Aliran darah yang
menuju ke otak telah lancar
kembali.
Begitu dia hendak bangkit,
keterkejutan segera
menghantam! Tubuh salah seorang
dayangnya me-
layang dari dalam ruangan.
Setelah menjebolkan dind-
ing, tubuh itu jatuh tergeletak
di hadapan Putri Ca-
haya Sakti!
"Bangsat!" umpat gadis
cantik itu seraya meng-
hemposkan tubuh.
4
Seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap tampak
berjalan menyusuri pantai.
Pakaiannya sederhana,
berwarna putih-kuning dengan
ikat pinggang kain me-
rah. Angin laut yang berhembus
kencang memainkan
anak-anak rambutnya yang
dibiarkan tergerai. Wajah
si pemuda sangat tampan.
Walaupun matanya berso-
rot tajam, namun bibirnya yang
kemerahan selalu
mengisyaratkan keteduhan.
Usianya ditaksir sekitar
dua puluh lima tahun. Dia adalah
Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang.
Setelah mengorbankan diri
bersama si Wajah
Merah, Raka Maruta mati suri
atas usahanya untuk
menyelamatkan nyawa Suropati di
dalam sebuah gua
di Bukit Rawangun. Karena
dianggap telah berjasa dan
sebagai tanda penghormatan,
seorang brahmana yang
bernama Tuhisa Brama berkenan
menghadiahkan se-
botol kecil air sakti kepada
Suropati. Dan, pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mempergu-
nakannya untuk mengembalikan roh
Raka Maruta dan
si Wajah Merah yang lepas dari
raga. (Untuk lebih je-
lasnya, Raka Maruta alias
Pendekar Kipas Terbang si-
lakan baca serial Pengemis Binal
episode 'Tabir Air
Sakti')
Raka Maruta yang kehilangan
senjata andalan-
nya setelah bertempur dengan
Sekar Mayang atau si
Penghimpun Angkara, kemudian
memesan sebuah ki-
pas baja putih kepada seorang
ahli pembuat senjata di
suatu tempat tak jauh dari
Pantai Pasir Putih.
Terlihat Raka Maruta telah
mengeluarkan kipas
dari balik bajunya. Kipas itu
diamat-amatinya seben-
tar. "Ehm.... Empu
Danurabansa memang seorang ahli
pembuat senjata yang handal. Dia
bisa membuat lem-
pengan baja putih yang sangat
tipis, sehingga kipas ini
terasa sangat ringan. Tak salah
bila guruku yang ber-
gelar si Kipas Sakti sangat
mengagumi kepandaian-
nya."
Pendekar Kipas Terbang terus
berjalan menyu-
suri pantai sambil
menimang-nimang senjata andalan-
nya. Sesekali terlihat pemuda
berwajah lembut itu
menghemposkan tubuhnya. Setelah
bersalto beberapa
kali di udara, dia melontarkan
kipas baja putihnya. Ki-
pas itu melesat cepat, hingga
menjadi kilatan putih
yang hampir kasatmata. Begitu
kaki Raka Maruta
menjejak pasir, telapak tangan
disorongkan. Menda-
dak, kipas baja putih yang
sedang melesat cepat ber-
tahan di udara. Dan ketika Raka
Maruta melompat-
lompat seraya menggerakkan
tangan kanan, kipas itu
melayang-layang mengitari tubuh
Raka Maruta.
"Haya...!"
Dibarengi teriakan demikian,
tubuh Pendekar
Kipas Terbang meluncur kemudian
menangkap senjata
andalannya. Luncuran tubuh
pemuda berwajah lem-
but itu tegak lurus ke atas.
Kemudian, dia bersalto tiga
kali sebelum melesat ke bawah
dengan sangat cepat.
Srash...! Srash...!
Ketika kipas baja putih
menyentuh permukaan
pasir, tubuh Raka Maruta
berputar seperti gangsing.
Butiran pasir berhamburan
mengaburkan pandangan!
Sebentar kemudian, pemuda tampan
itu me-
nyunggingkan senyum lebar.
Ditatapnya kubangan pa-
sir dihadapannya yang cukup
dalam untuk mengu-
burkan bangkai seekor gajah.
"Atas petunjuk Eyang Guru,
aku telah dapat
menyempurnakan tenaga
dalamku," kata Pendekar Ki-
pas Terbang. "Semula untuk
mengendalikan senjata
andalanku, aku mesti menggunakan
seutas tali baja.
Tapi sekarang tidak. Dengan
tenaga isap, Kipas Sakti
dapat kulontarkan ke mana saja
aku suka. Kemudian
menangkapnya kembali tanpa
menggeser kedudukan
tubuh."
Sekali lagi pemuda berwajah
lembut itu melon-
tarkan senjata andalannya. Kipas
baja putih melesat
cepat. Ketika Raka Maruta
menyorongkan telapak tan-
gan, kipas yang sedang melesat
mendadak tertahan.
Lalu melesat kembali dan jatuh
tepat pada genggaman
Raka Maruta.
"Terima kasih,
Eyang...," desis pemuda berwa-
jah lembut itu.
Pendekar Kipas terbang kemudian
berlari-lari
kecil sambil terus
menyunggingkan senyum lebar. Se-
telah melewati julangan batu
karang yang berjajar
tinggi, dia tercekat. Nun jauh
di sana Raka Maruta me-
lihat sebuah kapal berbentuk
burung rajawali tampak
sedang berlabuh.
"Seperti kapal orang
asing...," gumam Pendekar
Kipas Terbang. "Aku akan
melihat lebih dekat."
Kaki pemuda berwajah lembut itu
menjejak pa-
sir. Tubuhnya melesat cepat
seringan kapas. Hanya
beberapa tarikan napas saja, dia
telah berada di satu
titik garis tegak lurus yang
menghubungkan garis pan-
tai dengan letak kapal.
Kening Raka Maruta berkerut.
Suara ledakan
ditangkap dengan jelas oleh
telinga pemuda berwajah
lembut itu. Terlihat ruangan
yang terletak di tengah
kapal hancur berantakan.
Samar-samar juga terdengar
jerit kesakitan yang menyayat
hati.
"Sebuah pertempuran yang
memakan kor-
ban...," gumam Pendekar
Kipas Terbang. "Mungkinkah
di atas kapal itu ada seorang
tokoh jahat yang sedang
menyebar kematian? Ah, aku tak
bisa membiarkan da-
rah orang tak berdosa
tumpah."
Berpikir demikian, pemuda
berwajah lembut itu
segera menghemposkan tubuh. Dia
berlari cepat di
atas air pantai.
Sementara di atas kapal,
dayang-dayang
Anggraini Sulistya atau Putri
Cahaya Sakti yang semu-
la berjumlah belasan orang kini
tinggal empat saja.
Mereka adalah Andini, Purbawati,
Saptini, dan Heksa-
ni. Yang lain terkapar di
geladak kapal dalam keadaan
tanpa nyawa. Walaupun Saka
Purdianta atau si Dewa
Guntur masih belum sembuh benar
dari luka dalam-
nya, namun pemuda tampan
berpakaian serba hijau
itu sama sekali tak terganggu.
Kibasan telapak tangannya selalu
menimbul-
kan suara gemuruh keras. Juga
gerakan kakinya yang
berputaran dan sesekali melejit,
hingga membuat tu-
buh kapal terombang-ambing bagai
diterpa ombak be-
sar. Pantas bila putra
Tumenggung Sangga Percona itu
dijuluki Dewa Guntur.
Putri Cahaya Sakti yang dibantu
keempat
dayangnya berusaha mati-matian
untuk segera me-
nyudahi riwayat Saka Purdianta.
Anggraini Sulistya
sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
yakni ilmu
'Cahaya Sakti' yang membuat
sekujur tubuh gadis
cantik itu terselubungi cahaya
perak menyilaukan ma-
ta. Tapi karena dia sedang
menderita luka dalam, ge-
rakan Putri Cahaya Sakti tidak
seberapa gesit
"Jangan paksa aku
menjatuhkan tangan maut,
Aini!" teriak Dewa Guntur
seraya berkelit dari tendan-
gan Andini yang mengarah ke
kepalanya. "Perintahkan
dayang-dayangmu untuk
menyingkir, Aini!"
"Tidak, Tuan Putri!"
sahut Purbawati. "Teman-
teman kami telah banyak yang
mati. Kami akan me-
nuntut balas!"
"Ha-ha-ha...." Dewa
Guntur tertawa bergelak.
"Ucapanmu sungguh lucu,
Purbawati. Kau hendak
menuntut balas kepada siapa?
Kalau kau tidak segera
menyingkir, justru Malaikat
Kematian akan menjem-
put nyawamu!"
Pemuda tampan itu kemudian
membuat ten-
dangan melingkar yang dibarengi
sorongan telapak
tangan. Purbawati yang berada
paling dekat cepat-
cepat meloncat ke belakang.
Tendangan Saka Purdian-
ta pun luput. Namun, malang bagi
Saptini. Serang-
kaian angin pukulan yang muncul
dari telapak tangan
kanan Dewa Guntur bersarang
tepat di dadanya. Aki-
batnya, tubuh wanita naas itu
terloncat lalu tercebur
ke laut dalam keadaan hancur!
"Bangsat!" pekik
Anggraini Sulistya.
Tubuh gadis cantik yang
terselubung cahaya
perak itu berkelebat cepat. Di
atas Kapal Rajawali itu
timbul lesatan-lesatan cahaya
yang menyilaukan mata.
Tubuh Putri Cahaya Sakti
mendadak lenyap, tertelan
lesatan-lesatan cahaya itu.
Dewa Guntur yang tak mengetahui
di mana
Anggraini Sulistya berada segera
menghemposkan tu-
buhnya ke atas.
"Heaaa...!"
Sembari berteriak demikian, Saka
Purdianta
mengibaskan kedua telapak
tangannya secara bersa-
maan. Timbul pendaran cahaya
hitam. Dalam keadaan
masih melayang di udara, mata pemuda
tampan itu
dapat melihat sosok Anggraini
Sulistya sedang menge-
jar lesatan tubuhnya. Dewa
Guntur segera menepuk-
kan telapak tangan.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana.
Kilatan cahaya
kuning kemerahan menyambar tubuh
Anggraini Sulis-
tya. Wanita cantik itu jatuh
berdebam di atas geladak.
"Tuan Putri...!" jerit
ketiga dayang Anggraini Su-
listya yang masih tersisa.
Tiga wanita cantik itu menubruk
tubuh junjun-
gannya yang tergeletak lemah
dengan baju penuh noda
darah. Pertempuran langsung
terhenti. Namun, suasa-
na yang sunyi segera dipecahkan
oleh tawa kemenan-
gan Saka Purdianta.
"Kalau aku mau, aku bisa
membunuhmu, Aini!
Tapi itu tidak akan kulakukan.
Aku mencintaimu.
Sungguh aku mencintaimu,
Aini!"
Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut Putri
Cahaya Sakti. Matanya yang
berkilat tajam menggam-
barkan isi hati gadis cantik
itu. Betapa marah dan ge-
ramnya dia. Dengan mengumpulkan
sisa-sisa tenaga
Anggriani Sulistya menyorongkan
telapak tangan.
Maksudnya hendak melancarkan
pukulan jarak jauh.
Namun, tangan gadis cantik itu
segera jatuh terkulai.
Dia tak mempunyai kekuatan lagi!
Jerit keras tiga dayang
membarengi Putri Ca-
haya Sakti yang jatuh pingsan.
Cukup lama wanita-
wanita cantik itu memeluk tubuh
junjungannya. Keti-
ka mereka sadar Saka Purdianta
masih berada di atas
kapal, Andini dan kedua temannya
segera bangkit me-
nerjang.
"Perempuan Edan! Rupanya
kalian benar-benar
merindukan Malaikat
Kematian!" hardik Dewa Guntur.
Pemuda tampan itu tak mau
membuang-buang
tenaga. Dilontarkannya tiga
Jarum Hitam ke tubuh
dayang-dayang Putri Cahaya Sakti
yang masih me-
layang di udara.
"Argh...!"
Purbawati dan Heksani tersentak.
Tubuh mere-
ka jatuh berdebam di atas
geladak dalam keadaan ka-
ku kejang. Mata kedua wanita
cantik itu mendelik
dengan mulut ternganga. Pangkal
leher mereka ter-
tembus Jarum Hitam yang
dilontarkan Saka Purdian-
ta.
Andini terlihat bersalto
beberapa kali di udara.
Setelah berhasil menjejakkan
kakinya ke geladak, wa-
nita cantik itu terkejut
setengah mati melihat tubuh
Putri Cahaya Sakti tersentak,
kemudian mengejang
dengan mata mendelik dan mulut
menganga lebar.
Apa yang terjadi? Ketika Jarum
Hitam yang di-
arahkan ke pangkal leher Andini
meluncur cepat, wa-
nita cantik itu menyampok dengan
telapak tangan
yang dialiri seluruh tenaga
dalam. Luncuran Jarum Hi-
tam jadi melenceng. Malang bagi
Anggraini Sulistya.
Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang se-
dang pingsan itu menjadi sasaran
senjata rahasia Saka
Purdianta. Jarum Hitam yang
mengandung racun san-
gat ganas menancap di bahu kiri
Anggraini Sulistya!
"Tuan Putri.... Tuan
Putri...."
Andini memeluk erat tubuh Putri
Cahaya Sakti.
Air mata dayang yang sangat
setia itu tumpah deras.
Tangisnya terisak keras, penuh
rasa sesal.
Saka Purdianta berdiri terpaku
di tempatnya.
Gadis yang sangat dicintainya
telah menjadi korban
senjata rahasianya sendiri.
Pemuda tampan itu tiba-
tiba menjadi linglung. Tak tahu
apa yang mesti diper-
buat. Namun, tiba-tiba dia menjerit
keras seraya me-
lancarkan pukulan jarak jauh
pada ruangan yang be-
rada di tengah kapal.
Suropati atau si Pengemis Binal
tergeletak kaku
di ujung buritan setelah
dilontarkan tenaga ledakan
pukulan jarak jauh Saka
Purdianta. Tubuh Suropati
terbujur kaku. Sama sekali tak
menunjukkan gerak
kehidupan. Matanya mendelik.
Mulutnya menganga
lebar. Seluruh kulitnya yang
bersimbah darah mem-
buat ngeri siapa saja yang
memadangnya.
"Iblis Laknat!" teriak
Dewa Guntur begitu keras.
"Semua ini gara-gara kau,
Andini!"
Satu-satunya dayang Anggraini
Sulistya yang
masih tersisa itu meloncat
bangkit. Ditatapnya wajah
Saka Purdianta dengan sinar mata
berapi-api. Gejolak
amarah menguasai seluruh urat
syarafnya. Saka Pur-
dianta pun balas menatap. Tak
kalah garangnya. Da-
rah pemuda itu menggelegak naik
sampai ke ubun-
ubun. Matanya memerah menyimpan
amarah yang
sangat.
"Aku akan mencincang
tubuhmu, Andini!" ge-
ram Dewa Guntur.
"Aku pun akan mecongkel
matamu, Lelaki Ja-
hanam!" sambut Andini lebih
seram. "Walaupun aku
tak dapat membunuhmu, tapi
Baginda Prabu akan
murka setelah mengetahui putri
tunggalnya mendapat
celaka. Ini berarti kematian
bagimu!"
Saka Purdianta mendengus keras.
Kemudian
diterjangnya Andini.
"Terimalah kematianmu terlebih
dahulu!"
Andini yang mempunyai kepandaian
lebih ting-
gi dari dayang-dayang lain
segera menghemposkan tu-
buh. Lewat sodokan kaki kanan ke
dada, dia memapak
terjangan Saka Purdianta.
Dhes...!
Kaki kanan wanita cantik itu
membentur tela-
pak tangan Dewa Guntur yang
dialiri tenaga dalam pe-
nuh. Tubuh Andini langsung
terpelanting ke kanan
dan membentur pagar sisi kapal
hingga patah!
Sebelum kecebur ke laut, Andini
melentingkan
tubuhnya. Ia berusaha
menyarangkan pukulan ke da-
da lawan. Tapi, Saka Purdianta
telah menyiapkan se-
rangan mendadak. Tubuh pemuda
tampan itu melun-
cur cepat. Kepalan tangannya
akan segera meremuk-
kan kepala Andini.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya
perak meng-
hentikan gerak tubuh Dewa
Guntur!
Siiing...!
Terkejutlah pemuda tampan itu.
Tahu-tahu da-
da kirinya telah robek dan
mengucurkan darah segar.
Matanya yang sudah melotot
semakin melotot lebar
seperti hendak keluar dari
rongganya. Di hadapan Sa-
ka Purdianta telah berdiri
seorang pemuda berpakaian
putih-kuning dengan ikat
pinggang sehelai kain merah.
Tangan kanannya memegang sebuah
kipas dari baja
putih. Dialah Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Ter-
bang.
Andini yang telah terluka
menubruk pergelan-
gan kaki Raka Maruta. "Tuan
Pendekar, tolonglah
Tuan Putri. Beliau putri tunggal
Baginda Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit. Beliau
telah terkena Jarum
Hitam...," ratap gadis
cantik itu.
Pendekar Kipas Terbang
mengarahkan pandan-
gannya ke tempat yang
ditunjukkan Andini. Terlihat
oleh pemuda berwajah lembut itu
tubuh Anggraini Su-
listya tergeletak kaku di atas
geladak,
"Cepatlah, Tuan Pendekar.
Racun Jarum Hitam
mempunyai daya bunuh yang sangat
ganas," ratap
Andini lagi.
Raka Maruta mengambil napas
panjang. Ketika
pandangannya bersirobok dengan
sesosok tubuh ber-
lumuran darah yang tergeletak di
ujung buritan, terke-
jutlah dia.
"Suropati...!" desis
pemuda berwajah lembut
itu.
Walaupun sekujur tubuh Pengemis
Binal begitu
babak belur, Raka Maruta masih
dapat mengenali.
Dan bagi Raka Maruta, Suropati
bukan hanya sekadar
sahabat. Dia telah menganggapnya
sebagai adik sendi-
ri. Maka, bimbanglah hati pemuda
berwajah lembut
itu. Menolong junjungan dayang
yang sedang meratap-
ratap itu, atau Suropati?
Namun, tak ada waktu banyak bagi
Pendekar
Kipas Terbang untuk berpikir.
Saka Purdianta telah
melancarkan pukulan jarak
jauhnya.
Blaaammm...!
Setelah mendorong tubuh Andini
yang meme-
luk kakinya, Raka Maruta
meloncat. Pukulan jarak
jauh Dewa Guntur hanya mengenai
air laut, hingga
menimbulkan gelombang besar yang
membuat tubuh
kapal oleng.
Sesosok bayangan tiba-tiba
muncul melesat
sangat cepat. Sosok itu
menyambar tubuh Suropati
yang tergeletak di ujung
buritan. Dibawanya tubuh
Pengemis Binal melesat ke tengah
samudera.
"Cepatlah tolong Tuan
Putri, Tuan Pendekar!"
teriak Andini. "Aku akan
menghalangi manusia iblis
itu!"
Pendekar Kipas Terbang sendiri
sedang bingung
karena melihat Suropati telah
disambar seseorang
yang tidak diketahui maksudnya.
Mau tidak mau ia
pun segera menyambar tubuh
Anggraini Sulistya yang
tergeletak di geladak.
Sepeninggal Raka Maruta, dengan
tak mempe-
dulikan keselamatan diri Andini
menyerang Saka Pur-
dianta. Tangan dan kakinya yang
berkelebatan tak ten-
tu arah. Andini yang sudah kalap
menyerang Saka
Purdianta secara membabi buta.
Saat ketika pemuda
tampan itu berusaha menyarangkan
tendangan ke da-
da, Andini mendengus keras, lalu
membalas dengan
tendangan. Dewa Guntur yang tak
mau kaki lawan
menyentuh tubuhnya segera
menarik kembali seran-
gannya. Kemudian, dengan
menjatuhkan diri diceng-
keramnya pinggang Andini.
Bret...!
Tubuh Andini yang meluncur
mengikuti gerak
kaki kanannya membuat
cengkeraman Saka Purdianta
melenceng. Kain bawah pakaian
wanita cantik itu
koyak lebar.
"Ha-ha-ha...."
Dewa Guntur tertawa
terbahak-bahak. Matanya
melotot menyaksikan paha mulus Andini. Darah pe-
muda tampan itu jadi berdesir
aneh. Ada kekuatan
menghentak-hentak yang
membangkitkan kelelakian-
nya. Saka Purdianta pun lupa
pada kemarahannya.
Bayangan Anggraini Sulistya yang
terluka akibat Ja-
rum Hitamnya langsung lenyap,
berganti dengan sosok
Andini yang sangat cantik dan
begitu menarik.
Menyaksikan lawan memelototi
tubuh bagian
bawahnya yang terbuka, Andini
hanya mendengus. La-
lu, diterjangnya Saka Purdianta
dengan tendangan ter-
tuju ke arah kepala!
Gerakan wanita cantik itu justru
membuat De-
wa Guntur tersenyum senang. Kaki
kanan Andini yang
terangkat naik memaksa kain
bawah pakaiannya se-
makin tersingkap. Paha mulus
Andini terpampang je-
las. Saka Purdianta terpana,
hingga tanpa dia sadari....
Dhes...!
Walau tak bersarang tepat pada
sasaran, bahu
kiri Dewa Guntur terserempet
tendangan yang cukup
telak itu. Saka Purdianta jatuh terjerembab
ke geladak.
"Bangsat!" umpat
pemuda tampan itu.
"Matilah kau!" balas
Andini.
Wanita cantik itu melentingkan
tubuhnya.
Dengan kaki kiri sedikit
diangkat, kaki kanannya be-
rusaha menginjak dada lawan!
Tapi, Saka Purdianta yang sudah
menyadari
keadaan segera menggulingkan
tubuhnya ke samping.
Kemudian dengan cepat tangannya
bergerak.
Wek...!
Terkejutlah Andini. Kain bawah
pakaiannya ti-
ba-tiba lepas terenggut tangan
Saka Purdianta. Tubuh
bagian bawah wanita cantik itu
kini benar-benar telan-
jang.
"Keparat!" umpat
Andini. "Kubeset wajahmu
yang kotor itu!"
"Ho-ho-ho...! Lakukanlah
bila kau mampu! Tapi
yang pasti, aku akan senang
seandainya kau mau
mendekat kemari....."
Andini langsung duduk bersimpuh
di lantai. Ia
tak mau menampakkan bagian
tubuhnya yang terla-
rang. Kalau mau mengawali
serangannya, tentu dia
harus bangkit terlebih dahulu.
Sedangkan kalau berdi-
ri itu sama saja memamerkan
sesuatu yang orang lain
tak boleh tahu.
"Ayo, mendekatlah ke
mari...," kata Dewa Gun-
tur seraya mengulum senyum
lebar. "Segeralah kau
laksanakan kehendakmu, agar
secepatnya aku bisa
merasakan kehalusan jemari
tanganmu."
Mata Andini melotot lebar
menimpali perkataan
Saka Purdianta. Saat pemuda
tampan yang sudah di-
rasuki nafsu itu berjalan
mendekati, sinar mata Andini
berubah nyalang. Dengan nekat
dia memegang kepa-
lanya dengan kedua tangan. Gadis
cantik itu menda-
dak bunuh diri dengan mematahkan
batang lehernya!
Namun, Dewa Guntur lebih cepat.
Ujung jari
tangan kanan dan kirinya
berkelebat laksana kilat,
menotok aliran darah di pangkal
lengan Andini. Wanita
cantik itu tak dapat lagi
menggerakkan kedua tangan-
nya.
Dengan sentakan pelan tubuh
Andini telah ter-
baring telentang di geladak.
Beberapa lama Saka Pur-
dianta menatap pemandangan indah
di hadapannya.
"Bunuh Aku!" hardik
Andini dengan gigi geme-
letuk menahan kemarahan. Hatinya
jadi tak karuan.
Dia tak bisa membayangkan
dirinya akan menjadi kor-
ban kebiadaban Saka Purdianta.
Rasa takut wanita
cantik itu membayang jelas di
matanya. Sosok Saka
Purdianta telah berubah menjadi
makhluk jahat yang
sangat mengerikan. Lebih
menakutkan dari sosok Ma-
laikat Kematian.
"Ho-ho-ho...," tawa
Dewa Guntur yang sedang
dalam kegembiraan meluap.
"Kenapa kau mesti takut
kepadaku, Andini? Tidakkah kau
lihat aku sangat ga-
gah dan tampan? Aku adalah putra
Tumenggung
Sangga Percona? Bila aku
menginginkan dirimu, bu-
kankah itu merupakan suatu
kehormatan bagimu?"
Sinar mata Andini semakin
nyalang. Ingin seka-
li rasanya dia merobek-robek
mulut Saka Purdianta.
Lalu mencincang tubuh pemuda itu
hingga menjadi
serpihan-sepihan daging tak
berguna. Namun, semua
itu tak akan mungkin dia
lakukan. Totokan Saka Pur-
dianta pada beberapa aliran
darah di tubuhnya mem-
buat kedua tangan dan kakinya
tak dapat digerakkan.
Perlahan-lahan air mata Andini
menetes.
"Bunuh aku...," desis
wanita cantik itu penuh
rasa iba.
Mendengar itu, Dewa Guntur
tertawa bergelak.
"Baiklah, kalau memang itu
kemauanmu!"
Kaki kanan Saka Purdianta
bergerak cepat. An-
dini pun memejamkan mata. Dia
berharap kaki putra
Tumenggung Sangga Percona itu
menginjak kepalanya
hingga pecah. Kematian memang
rasanya lebih baik
daripada mendapat perlakuan
biadab Saka Purdianta.
Namun, apa yang diharapkan
Andini tak menjadi ke-
nyataan. Saat dia membuka mata,
terkejutlah wanita
cantik itu melihat bajunya telah
tanggal!
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Dewa Guntur membahana ke
setiap pelo-
sok Pantai Pasir Putih. Begitu
terhenti tawa pemuda
tampan berpakaian serba hijau
itu, jakunnya terlihat
naik-turun. Hembusan nafasnya
terdengar memburu.
Mata pemuda itu tak berkedip
menatap buah dada
Andini yang membusung tanpa
tertutup selembar kain
pun.
"Jangan pandang aku seperti
itu, Jahanam!"
pekik Andini.
Saka Purdianta malah tersenyum
senang. Per-
lahan-lahan dia merundukkan
tubuhnya, lalu menjilati
pergelangan kaki Andini. Lidah
pemuda yang sudah di-
rasuki nafsu setan itu terus
merayap naik. Jeritan-
jeritan Andini tak dipedulikan
lagi.
"Andini...," bisik
Saka Purdianta. "Aku akan
membebaskan totokanmu. Namun
berjanjilah kau ber-
sedia melayani
kehendakku...."
"Cih! Siapa sudi! Bunuh
saja aku, Keparat!"
"Sayang bila wanita
secantik kau harus mati.
Cobalah pejamkan matamu, dan
nikmatilah ciumanku
ini...."
Dewa Guntur menelungkupkan
tubuhnya. Li-
dahnya menelusuri leher jenjang
Andini.
"Uh! Lepaskan
totokanmu!" teriak wanita cantik
itu dengan perasaan jengah.
"Apa? Kau berjanji mau
menuruti permintaan-
ku?"
"Lekaslah!"
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak.
Jemari tan-
gannya bergerak cepat
membebaskan totokan di tubuh
Andini. Begitu selesai, pemuda
tampan itu langsung
memeluk dengan erat seraya
melumat bibir Andini.
Mendadak, sinar mata Andini
berkilat tajam.
Tanpa disangka Dewa Guntur,
wanita cantik itu men-
cengkeram tengkuknya. Tubuh Saka
Purdianta digu-
lingkannya ke samping seraya melancarkan pukulan
yang dilambari tenaga dalam
penuh.
Dhes...!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Guntur bergulingan di
atas gela-
dak. Dadanya terasa sangat
sesak, terkena pukulan
Andini yang beratnya laksana
palu godam lima kati.
Darah segar mengalir dari sudut
bibir pemuda tampan
itu.
Saat dia bangkit berdiri
dilihatnya Andini se-
dang berusaha mematahkan batang
lehernya sendiri.
Untuk mencegah pemuda tampan itu
tak mempunyai
kesempatan lagi. Namun,
tiba-tiba dia melemparkan
sesuatu. Asap berwarna kemerahan
menyerbu ke arah
Andini.
"Oh...!" keluh wanita
cantik itu. Perlahan-lahan
tubuhnya terkulai jatuh ke
geladak.
"Ha-ha-ha...!" untuk
kesekian kalinya tawa Sa-
ka Purdianta membahana di atas
Kapal Rajawali. "Kau
telah menghirup puyer
perangsang, Andini. Kau akan
menjadi wanita binal yang
kelewat binal. Nafsu birahi
mu akan menghentak-hentak melebihi nafsu kuda
liar."
"Ha-ha-ha...."
Begitu usai tawa Dewa Guntur,
mendadak An-
dini bangkit berdiri. Ditatapnya
Saka Purdianta dengan
sinar mata aneh.
"Saka...," desis
wanita cantik itu.
Dewa Guntur tertawa
terbahak-bahak. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih
terasa sesak, di-
terkamnya tubuh polos Andini.
Kedua anak manusia
berlainan jenis itu bergulingan
di atas geladak. Mereka
saling peluk. Bibir mereka
saling pagut. Suara rintihan
terdengar silih berganti.
Di atas langit telah
menyemburkan warna jing-
ga. Mentari mencapai bentangan
garis cakrawala. Om-
bak laut mulai membesar seiring
jatuhnya malam.
Kapal Rajawali terombang-ambing.
Saka Purdianta melepaskan
pelukannya. Andini
berusaha mendekap tubuh pemuda
tampan itu lebih
erat. Bibirnya terus
mendesah-desah. Mulutnya terpe-
jam dengan hembusan napas
memburu. Puyer perang-
sang yang ditebarkan Saka
Purdianta benar-benar
mempengaruhi jiwa wanita cantik
itu. Andini seper-
tinya belum puas dengan apa yang
baru saja mereka
lakukan. Tapi, dengan sentakan
pelan tangan wanita
cantik itu terlepas.
"Saka...," desis
Andini.
"Kau mau apa lagi,
Andini?"
"Kau sangat tampan dan
perkasa, Saka. Peluk
aku...."
Kedua tangan Andini menggapai-gapai.
Dewa
Guntur hanya menatapnya dengan
mata berkilat.
"Kau ingin meneruskan
permainan tadi, Andi-
ni?" tanya pemuda tampan
itu kemudian.
Mata Andini terpejam rapat.
Bibirnya terbuka.
Perlahan-lahan dia menjilati
bibirnya sendiri.
"Ayolah, Saka. Kita reguk
sekali lagi kenikma-
tan ini...."
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak.
Mendadak,
kaki kanannya berkelebat cepat.
Praaakkk...!
Tubuh Andini yang tanpa selembar
benang pun
terlontar tinggi. Lalu melayang
jatuh ke laut dengan
berkepala pecah bersimbah darah!
"Reguklah kenikmatan
bersama hiu-hiu jantan,
Andini...," gumam Dewa
Guntur.
Saat rembulan dan bintang muncul
di langit hi-
tam, Saka Purdianta bangkit dari
duduk bersilanya.
Pandangannya tertuju lurus ke
utara.
"Ehm... ilmu 'Pelacak
Jejak'-ku tak dapat men-
gikuti ke mana pemuda yang
melarikan Anggraini Su-
listya...," gumam Dewa
Guntur. "Aku tak dapat men-
dengar getaran tubuh gadis
jelita yang sangat kucintai
itu. Seperti ada kekuatan maha
hebat yang menutupi.
Rupanya, pemuda bersenjata kipas
itu bukan orang
sembarangan. Ehm.... Kau telah
melukai dada kiriku,
Keparat! Suatu saat nanti kau
akan merasakan bala-
san dariku. Akan kucincang
tubuhmu seperti mencin-
cang buah labu!"
Dengan geram Saka Purdianta
berlari-lari di
atas geladak kapal.
Ditendanginya bangkai-bangkai
dayang Anggraini Sulistya yang
mati di tangannya.
Bangkai-bangkai itu tercebur ke
laut untuk segera
menjadi santapan hiu.
"Di mana bangkai remaja
yang semula berpelu-
kan dengan Anggraini Sulistya?"
tanya Dewa Guntur
dalam hati. Dia tak menemukan
tubuh Suropati atau
si Pengemis Binal. "Ehm....
Aku ingat sekarang. Rema-
ja itu dibawa pergi sesosok
bayangan. Mungkinkah dia
masih hidup? Akan ku lacak dia
dengan ilmu 'Pelacak
Jejak'-ku...."
Dewa Guntur duduk bersila.
Tangannya berse-
dekap dengan mata terpejam.
Perlahan-lahan dia men-
capai keheningan mayapada.
Dengan kekuatan batin-
nya, pemuda tampan itu berusaha
menyibak getaran-
getaran yang berbaur tak karuan
di atas bumi. Tak be-
rapa lama kemudian dia telah
membuka mata. Tertim-
pa cahaya rembulan, mata Saka
Purdianta berkilat
aneh.
"Rupanya dia belum
mati!" bisik pemuda tam-
pan itu kepada dirinya sendiri.
"Tapi selama masih ada
Saka Purdianta yang bergelar
Dewa Guntur, jangan
coba-coba memiliki Anggraini
Sulistya! Aku akan men-
gisap darahmu, Gembel
Busuk!"
5
Dalam sebuah gua di Bukit
Hantu....
Seorang kakek duduk diam dalam
semedinya.
Kakek itu sudah sangat renta.
Rambutnya putih pan-
jang terjuntai sampai ke lantai.
Sebagian terselampir di
punggungnyya. Sebagian lagi
terurai menutupi wajah.
Pakaian yang dikenakan sangat
mengenaskan, berupa
untaian kain compang-camping
yang tak kentara lagi
warna aslinya.
Tubuh kurus si kakek tak mampu
menyembu-
nyikan tulang-belulang
bertonjolan dengan berhias se-
rabut-serabut otot. Kulit
keriput di sekujur tubuhnya
di sana-sini ditumbuhi jamur. Di
hadapan si kakek
tampak seorang remaja duduk diam
dalam semadi.
Remaja itu bertelanjang dada.
Tubuh Bagian
atasnya kotor oleh lumuran darah
kering. Rambutnya
riap-riapan. Wajahnya yang
tampan juga ternoda oleh
cairan darah mengering.
"Datuk Risanwari...,"
gumam si remaja tampan
setelah menyelesaikan semadinya.
Dia adalah Suropati
atau Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sak-
ti itu duduk terpekur sejenak.
Lalu ditatapnya dalam-
dalam kakek yang duduk di
hadapannya
Sesaat kemudian terlihat
Suropati menggaruk-
garuk kepala. Disisirnya rambut
dengan menggunakan
jari. Mendadak, pemuda itu tampak
kebingungan.
"Aduh!" pekiknya.
"Kenapa tubuhku terasa
aneh seperti ini? Separoh terasa
ringan, dan separuh
lagi terasa berat. Perutku mual.
Dan kepalaku...."
Suropati memijit-mijit
pelipisnya. Saat itulah
dia merasakan pelipis kanannya
begitu lunak seperti
tak bertulang lagi!
"Apa yang terjadi?"
tanya Pengemis Binal dalam
hati. Pikirannya langsung
melayang pada kejadian di
Kapal Rajawali. "Ah, gadis
cantik yang bernama
Anggraini Sulistya itu telah
menyerangku dengan peti-
kan Kecapi Maut-nya, membuat
siksaan yang luar bi-
asa sakit hingga aku jatuh
pingsan. Namun ketika aku
siuman, kenapa dia memelukku?
Dan ucapannya
sungguh membuatku tak percaya!
Mana mungkin aku
ini adiknya? Katanya aku ini
putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit, Raja Kerajaan
Pasir Luhur."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya yang tak
gatal. Otaknya mendadak jadi
bebal.
"Anggraini Sulistya....
Putri Cahaya Sakti...,"
gumam Suropati pelan.
"Sebelum malam petaka ini
terjadi, kenapa aku merasa gadis
cantik itu orang yang
sangat dekat denganku? Bahkan
ketika ia melantun-
kan petikan Kecapi Maut-nya, aku
sama sekali tak
mempunyai kemauan untuk melawan.
Sepertinya aku
memasrahkan hidup dan matiku
kepadanya. Mung-
kinkah apa yang dikatakannya itu
benar? Aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit? Ah.... Lalu, sia-
pa Pak Tua Penjual Obat yang
memelihara aku sejak
bayi? Sayang, dia meninggal
ketika umurku baru men-
ginjak sembilan tahun...."
Tanpa sepengetahuan Suropati,
kakek renta
yang duduk di hadapannya telah
menyelesaikan sema-
di. Kakek yang tak lain Datuk
Risanwari itu menatap
wajah kusut Suropati dari balik
riap-riapan rambutnya
yang menutupi wajah.
"Suro...," panggil
Datuk Risanwari dengan sua-
ra mirip rintihan orang sakit.
Pengemis Binal sedikit terkejut.
Setelah mena-
tap sosok Datuk Risanwari,
pemuda itu lalu berlutut.
"Terima kasih, Kek. Kau
telah menyelamatkan
jiwaku," ucap Suropati.
"Duduklah seperti semula,
Suro...," ujar Datuk
Risanwari. "Apa yang kau
lakukan itu terlalu berlebi-
han. Kau belum tahu apa yang
telah terjadi pada diri-
mu."
Perlahan-lahan Pengemis Binal
bangkit dari si-
kap berlututnya, kemudian duduk
bersila. Diperhati-
kannya wajah Datuk Risanwari
yang tersembunyi di
balik riap-riapan rambut putih.
"Apa maksud Kakek?"
"Kau pijit pelipis kananmu
Suro...," Datuk Ri-
sanwari tidak langsung menjawab.
"Sudah, Kek. Tulang pelipis
kanan aku tiba-tiba
jadi sangat lunak."
"Itu karena pengaruh racun
Jarum Hitam."
"Jarum Hitam?"
Suropati mengerutkan kening-
nya.
"Ya. Jarum Hitam mempunyai
kandungan ra-
cun yang sangat ganas. Benda itu
mempunyai daya
bunuh yang sangat tinggi.
Racunnya berasal dari cam-
puran racun kalajengking kutub,
kura-kura api, dan
sejenis pohon kaktus yang hanya
tumbuh di Gurun
Angkara. Masing-masing racun itu
sudah mempunyai
daya bunuh yang sangat tinggi,
apalagi bila dicampur-
kan. Di dunia ini tidak mungkin
ditemukan obat pe-
nawarnya, kecuali
keajaiban...."
Mendengar penuturan Datuk Risanwari,
Suro-
pati terperangah kaget. Tanpa
sadar dia menggaruk-
garuk kepala.
"Aneh...," pikir
Suropati. "Kenapa tiba-tiba Ja-
rum Hitam bisa menancap di
pelipis kananku? Mung-
kinkah itu perbuatan Anggraini
Sulistya? Ah, aku kira
tidak mungkin! Ketika dia
memelukku, aku mendengar
ucapannya yang mengatakan aku
adalah adiknya. Hal
itu diucapkan dengan berlinang
air mata. Tampaknya
ia menyesal telah melukaiku
dengan petikan Kecapi
Maut-nya. Pasti ada orang
ketiga. Yah! Tapi siapa?"
"Suro...," panggil
Datuk Risanwari.
"Ya, Kek...."
"Dalam dirimu terkandung
sebuah keajaiban.
Hal itulah yang membuatmu semasa
kecil selalu jadi
rebutan tokoh-tokoh rimba
persilatan untuk dijadikan
murid. Kau memiliki sesuatu yang
tidak semua orang
memilikinya. Hawa murnimu dapat
bekerja dengan
sendirinya di bawah alam kesadaran. Karena itulah
Jarum Hitam tidak sampai
menembus otakmu. Hawa
murnimu telah menahan jarum
beracun itu hingga
hanya menancap di tulang
tempurung. Tapi...."
Datuk Risanwari menghentikan
bicaranya. Se-
pertinya ada sesuatu yang sangat
mengganjal pera-
saannya. Suropati cepat tanggap.
"Apakah Kakek keberatan
mengatakan kenya-
taan sesungguhnya?" tanya
remaja itu.
Datuk Risanwari mendesah.
"Maafkan aku, Su-
ro...."
"Maaf? Justru aku yang
harus menghaturkan
beribu-ribu terima kasih. Kakek
telah menyelamatkan
jiwaku."
"Tapi, Suro...."
"Apa, Kek?"
"Apakah kau tidak merasakan
perubahan da-
lam tubuhmu?"
"Yah! Aku merasa tubuhku
sangat lemas dan
tak bertenaga," desah
Suropati. Dia baru benar-benar
merasakan keanehan keadaan
tubuhnya.
"Itu akibat pengaruh racun
yang terkandung
dalam Jarum Hitam, Suro.
Walaupun racun itu tidak
sampai merenggut jiwamu, namun
sesungguhnya aki-
bat yang lebih mengerikan telah
terjadi padamu...."
Pengemis Binal terpana mendengar
penuturan
Datuk Risanwari.
"Tapi kau mesti tahu, Suro.
Semua ini terjadi
atas kehendak Sang Penguasa
Tunggal juga. Setiap ke-
jadian di dunia fana ini tentu
ada hikmahnya. Tergan-
tung bagaimana manusia menilai
setiap kejadian yang
menimpanya."
"Maksud Kakek?"
"Sebelum Jarum Hitam
menancap di pelipis
kananmu, kau telah terluka dalam
yang sangat parah.
Itu mempengaruhi hawa murni yang
bekerja dalam tu-
buhmu. Kekuatannya jadi lemah.
Ketika aku mengelu-
arkan Jarum Hitam itu, tahulah
aku kalau racunnya
telah menyatu dalam aliran
darahmu. Bahkan telah
mempengaruhi kerja
jantung!"
"Ya, Tuhan...," sebut
Suropati dengan kepala
tertunduk.
"Hanya keajaibanlah yang
membuat kau tetap
hidup dengan darah telah
bercampur racun...."
Pengemis Binal segera teringat
pada kejadian di
Bukit Argapala semasa dia masih
berusia sepuluh ta-
hun. Kala itu Suropati dalam
pengaruh totokan Banja-
ranpati yang bergelar Bayangan
Putih Dari Selatan.
Karena ingin membebaskan diri,
Suropati mempergu-
nakan kekuatan batinnya untuk
memerintahkan see-
kor ular guna membantunya
melepas totokan di pung-
gung. Tanpa dia sadari, dalam
tubuhnya telah tersim-
pan racun ganas yang berasal
dari patukan ular. Ular
yang tampak jinak itu ternyata
sejenis ular langka
yang mempunyai bisa sangat
ampuh. Hanya keajai-
banlah yang membuat Suropati
dapat bertahan hidup,
sampai kemudian Pragolawulung
atau si Periang Ber-
tangan Lembut datang
menolongnya.
"Darahku pernah tercampuri
racun. Dan men-
diang guruku yang bergelar
Periang Bertangan Lembut
mengeluarkan racun itu dengan
mempergunakan te-
naga dalam," beritahu
Suropati pada Datuk Risanwari.
"Kalau sekarang itu dapat
dilakukan, tentu aku
sudah mengeluarkan racun yang
menyatu dalam cai-
ran darahmu, Suro...."
"Jadi, aku akan hidup
dengan racun ganas ber-
sarang dalam tubuhku?"
"Ya. Itu mempunyai dua
akibat yang tentunya
sangat tidak kau inginkan."
"Akibat apa, Kek,"
tanya Suropati dengan pe-
nuh rasa ingin tahu.
"Pertama, bila kau
melakukan hubungan sua-
mi-istri, maka racun yang
menyatu dalam darahmu
akan mengalir ke tubuh
pasanganmu...."
"Ya, Tuhan...."
"Tapi, setiap kematian yang
diterima wanita
yang menjadi pasanganmu itu akan
membawa manfaat
bagimu. Sedikit demi sedikit
racun dalam tubuhmu
akan musnah...."
"Jadi, racun itu dapat
hilang dengan cara de-
mikian?"
"Ya."
"Ah! Mana mungkin aku
melakukan cara seper-
ti itu. Biarlah aku hidup dengan
darah bercampur ra-
cun. Toh, aku tidak akan mati
secepatnya hanya kare-
na pengaruh racun itu,"
kilah Suropati mencoba me-
nenangkan diri.
"Kau salah mengira,
Suro...," ujar Datuk Ri-
sanwari dengan suara berat.
"Seperti yang kukatakan
tadi, akibat yang lebih
mengerikan telah kau rasakan."
"Akibat apa?" tanya
Pengemis Binal tak menger-
ti.
"Selain kau tidak boleh
melakukan hubungan
suami-istri, kau juga harus
merelakan seluruh ilmu
kepandaianmu musnah..."
"Hah?"
Saking terkejutnya Suropati
sampai melompat
bangkit. Tapi, gerakannya
terlihat kaku. Pemuda itu
lalu jatuh terduduk kembali.
"Oh.... Aku benar-benar
telah menjadi orang
yang lemah...," gumam
Pengemis Binal. Ditatapnya Da-
tuk Risanwari dalam-dalam.
"Apakah aku bisa men-
gembalikan ilmu kepandaianku
lagi, Kek?" tanyanya
kemudian.
"Bisa. Dengan buah pala
ajaib...."
"Ah!"
Suropati menunduk.
"Suro...," panggil
Datuk Risanwari. "Sudah ku-
katakan tadi kalau semua
kejadian di dunia fana ini
tentu ada hikmahnya. Tergantung
bagaimana kau
memetik manfaat atas kejadian
yang menimpamu ini."
"Kek, ketika bertempur
melawan Margana Kal-
pa atau si Malaikat Bangau
Sakti, aku juga pernah
mengalami hal serupa. Seluruh
ilmu kepandaianku
musnah. Beruntunglah aku karena
Kakek Gede Panja-
lu memberikan buah pala ajaib.
Tapi, mungkinkah
benda yang sangat langka itu
bisa ditemukan lagi?"
"Suro, sebenarnya semua
yang kau alami ini
bersumber pada racun yang
bersarang di tubuhmu.
Kalau racun itu hilang, seluruh
ilmu kepandaianmu
akan kembali."
"Bagaimana bisa demikian,
Kek?"
"Kekuatan racun Jarum Hitam
telah mempen-
garuhi urat-urat syaraf di
tubuhmu. Kau masih bisa
melakukan apa-apa yang biasa
dilakukan orang pada
umumnya. Kecuali, mengeluarkan
tenaga terlalu ba-
nyak, apalagi mencoba
menyalurkan tenaga dalam. Bi-
la kau mengeluarkan tenaga
terlalu banyak, jantung-
mu akan bekerja lebih keras.
Bagian tubuhmu yang
penting itu telah tak normal
lagi."
"Ya, Tuhan...," keluh
Suropati seperti putus
asa.
"Sebagai seorang tokoh yang
selalu menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan,
tentu saja kau tidak
boleh melakukan hubungan
suami-istri hanya demi
terbebas dari cobaan
ini..."
"Apakah aku harus pasrah
terhadap semua ini,
Kek?"
"Tentu saja tidak, Suro.
Setiap manusia diwa-
jibkan untuk berusaha. Aku
mendengar ada seorang
ahli racun yang sangat pandai.
Tapi, aku tak tahu
apakah dia masih hidup atau
telah mati. Orang biasa
menyebutnya Putri Racun."
"Putri Racun? Di mana aku
bisa menemuinya,
Kek?" Suropati tampak
begitu bersemangat.
"Aku tak tahu, Suro. Namun,
tak ada buruknya
bila kau berusaha mencari. Kau
bisa mencari keteran-
gan di mana dia tinggal kepada
Putri Air. Hanya dialah
yang tahu. Putri Racun dan Putri
Air adalah saudara
seperguruan yang mendapat
kepandaian berbeda dari
guru mereka. Kalau sekarang
mereka masih hidup,
tentu sudah sangat tua. Hampir
sama tua denganku."
"Di mana aku mesti mencari
Putri Air itu, Kek?"
tanya Suropati.
"Dia tinggal di sekitar
Laut Selatan. Putri Air
mendirikan sebuah kerajaan yang
diberi nama Kera-
jaan Air. Letaknya yang pasti,
aku tak tahu. Bukan
mustahil Kerajaan air terletak
di dasar Laut Selatan...."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Untuk mencari Putri Air
dalam keadaan begini,
tidak tertutup kemungkinan aku
akan menemui ajal
sebelum menjumpai tokoh pandai
itu. Aku tak mem-
punyai ilmu kepandaian sedikit
pun. Mungkinkah
usahaku akan berhasil? Bagaimana
kalau aku ber-
jumpa dengan tokoh jahat yang
ingin membunuhku?
Rimba persilatan menyimpan
banyak tokoh sakti. Di
antara mereka tentu ada yang
menaruh iri dengki. Ba-
gaimana aku dapat melepaskan
diri bila mereka men-
jatuhkan tangan maut
kepadaku?"
"Apa yang kau pikirkan,
Suro?"
Pertanyaan Datuk Risanwari
menyadarkan
Pengemis Binal dari lamunannya.
Namun, dia tak
mampu menjawab pertanyaan yang
diajukan.
"Suro, sekali lagi
kukatakan kepadamu, setiap
manusia diwajibkan untuk
berusaha."
"Aku tahu, Kek...."
"Lalu, apa yang membuatmu
ragu?"
"Ah, tidak...," jawab
Suropati asal saja.
"Syukurlah, kalau begitu.
Selekasnya kau be-
rangkat. Satu pesanku,
berhati-hatilah. Jangan men-
geluarkan banyak tenaga..."
"Ya, Kek."
"Aku tidak bisa membantumu
lagi, Suro. Selu-
ruh ilmu kepandaianku telah
hilang dalam jangka
waktu tiga puluh tiga
hari."
"Ah! Bagaimana bisa
demikian?"
"Semula aku menyangka akan
dapat mengelua-
rkan racun dalam darahmu. Tapi,
kenyataannya tidak.
Tenaga dalam yang kusalurkan ke
tubuhmu telah ber-
balik dan menghantamku dengan
telak..."
Pengemis Binal terkejut. Tubuh
Datuk Risan-
wari tiba-tiba bergetar keras
seperti terserang demam
hebat.
"Kek...."
Tak ada jawaban yang keluar dari
mulut Datuk
Risanwari. Suropati pun menjadi
cemas. Rambut putih
Datuk Risanwari yang terurai
menutupi wajahnya
mendadak merah bersimbah darah.
Tokoh sakti yang
pernah berjaya dengan
Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Naga itu benar-benar
mengalami luka dalam yang
cukup parah!
6
Di bentangan kaki langit sebelah
timur sang
baskara menampakkan wujudnya.
Sinar perak mene-
robos sela-sela daun. Embun yang
menempel di re-
rumputan perlahan lenyap. Dingin
berlalu dengan da-
tangnya kehangatan.
Suropati berjalan terseok
menuruni Bukit Han-
tu. Sinar matanya menggambarkan
kesedihan yang
sangat. Dengan rambut
riap-riapan dan bertelanjang
dada, gambaran kesedihan itu
semakin terlihat jelas.
"Baru kali ini aku
mengalami perasaan cemas
yang begitu mendera...,"
kata Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu dalam
hati. "Ada tiga per-
soalan berat yang harus kuselesaikan. Pertama, aku
harus mencari Putri Air yang
tinggal di sekitar Laut Se-
latan. Aku tak yakin akan bisa
menemuinya. Kedua,
seandainya aku berhasil menemui
Putri Air, aku mesti
melanjutkan perjuanganku untuk
mencari Putri Racun
yang entah di mana tempat
tinggalnya. Aku pun tak
yakin akan bisa menemukan tokoh
pandai itu. Namun,
mudah-mudahan Tuhan senantiasa
melindungiku. Ke-
tiga, aku harus dapat menyibak
tabir tentang diriku
sendiri. Benarkah aku ini Putra
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit? Untuk mencari jawabannya, aku
harus mencari Anggraini Sulistya
yang bergelar Putri
Cahaya Sakti. Tapi, aku tak tahu
di mana sekarang dia
berada. Menurut Datuk Risanwari
ketika dia memba-
waku pergi dari geladak Kapal
Rajawali, kakek itu tak
melihat sosok Anggraini
Sulistya. Ia hanya melihat seo-
rang dayangnya sedang meratap
kepada Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang.
Sementara, seorang pe-
muda berpakaian serba hijau
tampak memandang
dengan geram. Ah, mudah-mudahan Raka
Maruta da-
tang ke geladak Kapal Rajawali
untuk menyelamatkan
Anggraini Sulistya.
Tapi...."
Belum tuntas pikiran di benak
Pengemis Binal,
sesosok bayangan menghadang
langkahnya.
"Biarkan aku lewat..,"
kata Suropati.
Sosok yang baru datang cuma
tersenyum sinis.
Pengemis Binal menatap dengan
alis bertaut. Setelah
diperhatikan orang yang berdiri
di hadapan Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu ternyata pe-
muda tampan berpakaian serba
hijau. Sorot matanya
tajam seperti menggambarkan
kebencian yang sangat.
Di dada kirinya ada sebuah luka
sepanjang satu jeng-
kal, mirip luka akibat sayatan
benda tajam.
Dia adalah Saka Purdianta atau
si Dewa Gun-
tur. Dengan ilmu 'Pelacak
Jejak'-nya, dia dapat men-
dengar getaran tubuh Suropati.
Hingga, dapat mene-
mukan remaja tampan yang telah
kehilangan seluruh
ilmu kepandaiannya itu.
"Rupanya kau benar-benar
masih hidup, Gem-
bel Busuk!" bentak Saka
Purdianta. Rahang pemuda
tampan itu mengeras.
"Biarkan aku lewat, Orang
Baik."
"Katakan dulu siapa
kau?!" bentak Saka Pur-
dianta lagi.
"Mestinya aku yang
bertanya, kau datang se-
pertinya sengaja
mencariku."
"Aku adalah kekasih
Anggraini Sulistya!"
"Kekasih?
He-he-he...," Suropati tertawa terke-
keh. "Kau keliru, Orang
Baik. Aku ini laki-laki. Aku
bukan kekasihmu! Oleh sebab itu,
biarkan aku lewat!"
"Ehm...."
"Ehm..., apa?" tanya
Suropati dengan konyol-
nya.
"Aku mau membunuhmu,
Bangsat!"
"Hik-hik-hik... Membunuh
itu dosa, Orang
Baik. Sayang bila kau nanti
masuk neraka."
"Ha-ha-ha...!" ganti
Saka Purdianta yang terta-
wa. "Gembel Busuk! Kau saja
yang masuk ke neraka!
Namun sebelum aku memecahkan
kepalamu, katakan
siapa kau? Biar aku bisa
menuliskan sesuatu pada ni-
sanmu!"
Melihat kesungguhan pemuda yang
berdiri di
hadapanya, alis Pengemis Binal
bertaut.
"Apakah pemuda berpakaian
serba hijau ini
yang dilihat Datuk Risanwari?
Bila memang demikian,
sangat besar kemungkinan pemuda
ini yang telah me-
lontarkan Jarum Hitam ke pelipis
kananku...."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Kemu-
dian, sambil cengar-cengir dia
melangkah mundur.
"Ya..., ya, Orang
Baik...," kata remaja tampan
itu. "Aku memang pantas
masuk ke neraka. Tapi,
alangkah terpujinya bila aku
berpamitan dulu pada
ibuku. Maklum, dia sudah tua,
berpenyakitan lagi.
Akan kukatakan kepadanya kalau
aku akan pergi
jauh. Tunggu aku di sini, Orang
Baik."
Pengemis Binal lalu membalikkan
badan. Dia
berlari sekencang-kencangnya.
Tapi, malang bagi re-
maja konyol itu. Akibat kurang
hati-hati kakinya te-
rantuk batu.
Bruuukkk...!
"Aduh...!"
Suropati menjerit keras.
Tubuhnya jatuh terte-
lungkup. Dan jidatnya membentur
batu. Ketika remaja
konyol itu bangkit berdiri
seraya meraba-raba, jidatnya
telah benjol!
"Eh, sabar dulu, Orang
Baik...," kata Pengemis
Binal sambil mengacungkan
telapak tangannya, me-
nahan langkah Saka Purdianta
yang berjalan mende-
katinya. "Sabarlah
sebentar. Aku akan segera kembali.
Aku benar-benar mau berpamitan
pada ibuku. Tung-
gulah di sini, Orang Baik."
Suropati terus melangkah mundur.
Setelah ja-
rak antara dirinya dengan Dewa
Guntur sudah cukup
jauh, remaja konyol itu
membalikkan badan untuk
berlari sekencang-kencangnya
kembali. Namun, nasib
malang datang untuk kedua kali.
Waktu membalikkan
badan, dia membarenginya dengan
langkah cepat. Pa-
dahal sebatang pohon besar
menghalangi jalannya.
Akibatnya, sungguh sama sekali
tak diinginkan
Suropati. Jidatnya membentur
batang pohon hingga
remaja konyol itu jatuh
terjengkang. Pekik kesakitan
kembali terdengar. Pengemis
Binal meraba-raba bagian
yang sakit. Benjolan di jidatnya
bertambah besar, men-
jadikan wajah remaja konyol itu
tak sedap dipandang!
"Ha-ha-ha...!" Saka
Purdianta tertawa bergelak.
"Rupanya kau remaja
gemblung yang kelewat gem-
blung! Remaja edan yang kelewat
edan! Cepatlah se-
butkan nama atau gelarmu, biar
aku bisa pamitkan
kepada ibumu!"
"Kalau aku sudah
menyebutkan nama atau ge-
lar, aku khawatir kau akan
berdiri terkencing-kencing.
Kemudian jatuh pingsan karena
kaget," sahut Suropati
dengan ringannya.
"Huh! Tampangmu tak lebih
baik dari tikus ke-
cebur lumpur. Mana aku akan
kaget mendengar na-
mamu?!" ejek Saka Purdianta
meremehkan.
"Baiklah, kalau kau tak
percaya. Bersiap-
siaplah. Aku akan membisikkan namaku di telinga-
mu...."
Sambil menggaruk-garuk
kepala, Pengemis
Binal melangkah mendekati dan
seperti terkena sihir,
Dewa Guntur merundukkan
kepalanya untuk men-
dengar bisikan remaja konyol
itu. Tapi, tanpa diduga
Suropati membalikkan badan,
hingga pantatnya
menghadang wajah Saka Purdianta!
Lalu....
"Bruooottt...!"
Udara perut Pengemis Binal
keluar dengan me-
nimbulkan bau busuk yang
melebihi bau bangkai seri-
bu ekor tikus!
Kontan Dewa Guntur meloncat ke
belakang.
Dia berdiri dengan tubuh
limbung. Pemuda tampan itu
mengibas-ngibaskan telapak
tangannya. Udara bera-
cun yang keluar dari perut
Suropati telah masuk ke
paru-paru!
"Bangsat!" umpat Saka
Purdianta.
Saat pemuda tampan itu menatap
ke depan,
dia tak melihat sosok Suropati
lagi. Dengan kesal Saka
Purdianta menggedruk-gedrukkan
kakinya ke tanah.
Bumi berguncang laksana
terserang gempa. Satwa-
satwa yang kebetulan berada di
sekitar tempat itu
langsung berlari kencang dengan
meninggalkan leng-
kingan tinggi.
Suropati terus berlari tanpa
sekali pun menoleh
ke belakang. Perasaan cemas
begitu menghantui piki-
rannya. Remaja konyol itu tak
bisa membayangkan
apabila dia dibunuh dengan
disiksa terlebih dahulu.
"Hiii...!"
Pengemis Binal bergidik ngeri.
Bulu kuduknya
sampai berdiri membayangkan
siksaan yang akan di-
alaminya. Dia segera menambah
kecepatan larinya.
Tapi....
"Argh...!" remaja
konyol itu mengaduh sambil
mendekap dada kirinya.
"Jantungku terasa diremas-
remas. Mungkinkah ini akibat yang
dikatakan Datuk
Risanwari. Jantungku tak kuat
bila aku terlalu banyak
mengeluarkan tenaga. Celaka!
Bagaimana aku bisa
melepaskan diri dari cengkeraman
maut? Uh! Jangan-
jangan pemuda berpakaian serba
hijau itu dapat me-
nyusulku. Aduh! Mati aku!"
Pandangan Suropati berubah
nyalang. Dia
menggaruk kepalanya dengan
keras. Lalu, menjatuh-
kan tubuhnya ke tanah seraya
mengangkat tangan
tinggi-tinggi.
"Ya, Tuhan...," iba
remaja yang biasanya konyol
itu. "Lindungilah aku. Aku
masih belum ingin mati.
Aku masih perjaka ting-ting. Aku
belum punya ketu-
runan. Kalau aku mati, alangkah
sengsaranya aku. Ti-
dak ada yang akan menangisi
kematianku. Dan, siapa
yang akan mendoakanku agar aku
masuk sorga? Ya,
Tuhan.... Lindungilah aku.
Dengarkan permohonanku.
Aku masih belum ingin
mati...."
Pengemis Binal memejamkan
matanya sung-
guh-sungguh. Ketika dia
menggaruk-garuk kepala
sambil melihat ke depan,
keterkejutan menghantam
remaja konyol itu.
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur telah ber-
diri di depannya dengan berkacak
pinggang. Suara ta-
wanya membuat gendang telinga
Suropati bergetar ke-
ras. Jantungnya pun berdegup
lebih kencang. Remaja
konyol itu meringis kesakitan
sambil mendekap kedua
daun telinganya. Untunglah Saka
Purdinata segera
menghentikan tawanya yang
dilambari tenaga dalam.
"Gembel Busuk! Gara-gara
kau keadaanku jadi
terjepit...," kata Dewa
Guntur kemudian. "Secara tak
sengaja aku telah melukai
Anggraini Sulistya dengan
Jarum Hitam. Kemungkinan besar
putri Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit itu telah
mati. Semua ini gara-
gara kau, Gembel Busuk! Aku pun
telah membunuh
semua dayang gadis yang sangat
kucintai itu. Namun
sebelum tokoh-tokoh Kerajaan
Pasir Luhur mencariku,
aku akan mencincang tubuhmu,
Keparat!"
Mendengar ucapan Saka Purdianta
yang penuh
kemarahan, Pengemis Binal
tertunduk dalam sambil
mendekap wajahnya. Lubang
kematian telah mem-
bayang di pelupuk matanya. Kalau
semula dia sangat
takut menghadapi maut, mendadak
saja perasaannya
jadi ringan tanpa beban. Dia
telah pasrah untuk mene-
rima takdir Sang Penguasa
Tunggal.
"Hei! Gembel Busuk!"
hardik Saka Purdianta.
"Jangan menekuk lutut macam
trenggiling melingkar!
Berdirilah! Aku memberi
kesempatan kepadamu untuk
mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaianmu!"
Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut Su-
ropati. Karena kepasrahan yang
dalam, dia merasakan
jiwanya sedang melayang di
angkasa luar. Jiwa remaja
konyol itu lalu masuk ke ruang
gelap yang sangat ke-
lam. Namun, dalam kegelapan itu
jiwanya menemukan
kesejukan yang membuat damai.
Kesejukan itu begitu
nikmat, hingga....
"Oaaahhh...!"
Pengemis Binal menguap. Dia
terserang kantuk
yang sangat. Perlahan-lahan
tubuhnya menggeliat, lalu
rebah di atas tanah sambil
memeluk lutut. Tidur!
Semakin lama hembusan napas
Suropati se-
makin teratur. Bersamaan dengan
itu, dengkurannya
pun terdengar. Tentu saja ini
membuat amarah Saka
Purdianta semakin meledak-ledak.
"Setan Alas!" umpat
pemuda itu. "Diberi ke-
sempatan untuk mengeluarkan ilmu
kepandaian, ma-
lah ngorok! Jangan kira aku akan
mengurungkan
niatku untuk membunuhmu,
Keparat!"
Dewa Guntur melangkah mendekati
Pengemis
Binal yang sudah tertidur pulas.
Pemuda tampan itu
mengangkat kaki kanannya
tinggi-tinggi. Dan siap di-
turunkannya dengan cepat untuk
menginjak kepala
Suropati!
Dhuk...!
Keanehan terjadi. Ketika nyawa
Pengemis Binal
tinggal melayang saja untuk
lepas dari raganya, dia
menggeliat dalam keadaan masih tertidur
pulas. Kaki
Saka Purdianta yang dilambari
tenaga dalam hanya
menginjak tanah kosong, hingga
melesak sampai ke
betis.
Dewa Guntur terperangah. Dia
menarik perge-
langan kaki kanannya yang
melesak ke dalam tanah.
Lalu, dihantamkan ke punggung Suropati
yang tergele-
tak membelakangi.
Wuuuttt...!
Deru angin menyambar,
menimbulkan suara
berdesing seperti babatan
pedang. Sekali lagi Suropati
menggeliat. Tendangan Saka
Purdianta pun luput.
Menggeramlah pemuda tampan itu,
laksana harimau
lapar pada puncak kemarahannya.
"Gembel Busuk! Matilah
kau!"
Dengan menyalurkan seluruh
tenaga dalamnya
ke kedua pergelangan tangan,
Dewa Guntur membuat
pukulan jarak jauh. Dua larik
sinar hitam meluncur
deras ke arah Suropati!
Blaaammm...!
Terdengar ledakan dahsyat mirip
letusan gu-
nung berapi. Gumpalan tanah
bercampur batu dan ke-
rikil berhamburan membuat cahaya
mentari pagi ter-
tutup.
Saat terang merebak kembali, di
tempat itu
muncul lubang sangat besar.
Pohon-pohon di sekitar-
nya terlihat hangus. Sebagian
tumbang dengan batang
patah dan akar-akarnya tercabut
dari tanah!
Saka Purdianta mengedarkan
pandangan.
"Ehm.. Aku tak melihat
bangkai Gembel Busuk
itu. Mungkinkah tubuhnya telah
hancur bercampur
dengan gumpalan tanah? Tapi, aku
tak seberapa yakin
dia dapat demikian mudah
kubunuh...."
Dewa Guntur celingukan mencari
sosok Suro-
pati. Hingga beberapa lama, apa
yang diharapkannya
tak membuahkan hasil. Dengan
geram kakinya lalu di-
gedrukkan ke tanah. Bumi
berguncang seperti terse-
rang gempa. Sambil menggerutu
panjang pendek Saka
Purdianta pun berlalu dari
tempat itu.
"Ah, Gembel Busuk itu
mungkin benar-benar
telah mati," pikir Saka
Purdianta.
Belum genap dua puluh langkah
pemuda tam-
pan itu berjalan, sejurus
pandangan di depan terlihat
olehnya sosok Suropati sedang
tidur menggelantung di
atas dahan pohon!
"Keparat! Kuremukkan batok
kepalamu!"
Saka Purdianta menerjang dengan
kemarahan
meluap. Dia merasa sedang
dipermainkan. Maka, sege-
ra dikeluarkannya seluruh
kemampuan untuk menyu-
dahi riwayat Pengemis Binal.
Namun, walau yang men-
jadi sasaran serangan dalam
keadaan tertidur pulas,
tak satu pun pukulan atau
tendangan Saka Purdianta
yang berhasil.
Dewa Guntur dihantam
keterkejutan yang san-
gat. Namun, benaknya sudah
tertutup oleh nafsu
membunuh. Tak henti-hentinya dia
terus menyerang.
Timbul suara hiruk-pikuk seperti
raksasa mengamuk.
Permukaan tanah
berkubang-kubang, puluhan batang
pohon tumbang
tertimpa pukulan jarak jauh yang
nyasar.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan
Suropati
untuk menghindari setiap
serangan Saka Purdianta
adalah akibat penerapan ilmu
'Arhat Tidur'. Datuk Ri-
sanwari yang mengatakan kalau
seluruh ilmu kepan-
daian Suropati telah musnah,
ternyata keliru. Suropati
mempunyai ilmu bawah sadar yang
berasal dari pe-
nyucian kalbu hasil ajaran
mendiang gurunya yang
bergelar Periang Bertangan
Lembut.
Walaupun darah Suropati telah
bercampur
dengan racun ganas, tapi ilmu
'Arhat Tidur' dapat be-
kerja dengan sendirinya. Dengan
kata lain, ilmu itu
bekerja tanpa dikehendaki
terlebih dahulu. Jadi cara
kerjanya mengikuti alur naluri
dalam keadaan bawah
sadar.
Kehebatan ilmu 'Arhat Tidur'
yang telah dikua-
sai dengan sempurna oleh
Suropati terlihat sangat luar
biasa. Walau sedang tertidur
pulas, seluruh serangan
lawan bisa dipatahkan. Padahal
gerak tubuh Suropati
hanya berupa geliatan-geliatan.
Sesekali disertai den-
gan lentingan. Itu pun dilakukan
dengan mata terpe-
jam rapat, dan terlihat
asal-asalan!
Keringat dingin membanjir di
sekujur tubuh
Saka Purdianta. Sudah lewat dua
puluh jurus dia be-
rusaha menghabisi riwayat
Suropati. Sayang, harapan
di hatinya tak juga datang!
"Aneh...," gumam
pemuda tampan itu. "Apakah
Gembel Busuk itu mempunyai ilmu
setan? Ehm.... Wa-
laupun seluruh setan neraka
melindungimu, Dewa
Guntur pantang putus asa!"
7
Saka Purdianta membuka
pergelangan kakinya
dengan sedikit ditekuk. Kedua
tangannya dipentang-
kan ke samping. Bersamaan dengan
tubuhnya yang
bergetar keras, kedua tangan
pemuda sadis itu ditarik
ke atas secara perlahan-lahan.
Mendadak, muncul
gumpalan awan hitam di langit.
Cahaya mentari pun
lenyap. Digantikan oleh
kegelapan. Saat angin ber-
hembus kencang, lidah petir
menyambar-nyambar di-
barengi ledakan menggiriskan.
"'Amarah Dewa
Guntur'...!" pekik Saka Purdian-
ta seraya mempertemukan kedua
telapak tangannya di
atas kepala.
Lidah petir yang semula hanya
menyambar-
nyambar di angkasa, kini
menyerbu tubuh Suropati
yang terbujur lemas. Suara
gemuruh mirip letusan gu-
nung berapi terdengar. Suasana
di lereng Bukit Hantu
itu bagai tertimpa hari kiamat!
Tubuh Suropati melenting ke sana
kemari
menghindari hujan lidah-lidah petir. Udara berubah
panas. Permukaan tanah
mengepulkan asap. Pepoho-
nan tumbang dalam keadaan hangus
terbakar.
Bagaimanapun kehebatan ilmu
'Arhat Tidur'
milik Pengemis Binal, bila udara
di sekitarnya menjadi
sangat panas, sedikit demi
sedikit hawa panas itu
menjalar ke tubuh Suropati.
Dengan demikian, pusat
kekuatan batinnya akan buyar.
Gerakan bawah sadar
yang dilakukannya jadi
lambat.
"Ha-ha-ha...!"
Tawa kemenangan Saka Purdianta
menggemu-
ruh. "Mampus kau, Gembel
Busuk!"
Tanpa diduga oleh pemuda tampan
itu, tiba-
tiba saja tubuh Pengemis Binal
mencelat bagai dilon-
tarkan tangan raksasa. Dalam
gerak kilat itu kaki ka-
nan Suropati terselonjor lurus
ke depan.
Dheeesss...!
"Argh...!"
Tendangan bawah sadar Suropati
tepat bersa-
rang di dada Saka Purdianta.
Namun, keluh kesakitan
bukan keluar dari mulut pemuda
tampan itu, melain-
kan dari mulut Suropati sendiri!
Dada Saka Purdianta terlindungi
tenaga dalam.
Hingga, tendangan Suropati
seperti membentur tem-
bok baja. Tubuh Suropati
mencelat lagi, dan jatuh ber-
debam ke permukaan tanah. Tulang
persendian lutut
kanannya terlepas!
Saka Purdianta terlihat
menyeringai dingin. Ka-
lau saja tendangan Suropati
dilambari kekuatan tena-
ga dalam, jangan harap pemuda
tampan itu masih bisa
menghirup udara segar. Tapi, apa
yang dilakukan Su-
ropati sudah cukup untuk
memecahkan pusat kekua-
tan batin Saka Purdianta. Ilmu
'Selaksa Guntur' yang
sedang diterapkannya pun lepas.
Gemuruh di lereng
Bukit Hantu langsung hilang.
Cahaya mentari kembali
menerobos, menyinari bumi.
Gumpalan awan tersibak
menampakkan wajah perak sang
baskara.
Pengemis Binal mengerang
kesakitan. Tubuh-
nya berguling ke sana kemari
sambil mendekap lutut
kanannya. Karena tak tahan akan
deraan rasa sakit,
remaja konyol itu berteriak
sekencang-kencangnya.
"Ha-ha-ha...!" Tawa
kemenangan Saka Purdian-
ta kembali memecah keheningan.
"Teruskan teriakan
mu, Gembel Busuk! Tapi, di
sela-sela teriakan mu itu
cobalah untuk berdoa sedikit.
Agar kematian yang
akan kau terima tak begitu
menyakitkan!"
"Uh! Mati adalah takdir
Tuhan, Orang Jelek!
Siapa takut mati?!"
Suropati masih juga bisa menimpa-
li ucapan Saka Purdianta.
Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Pernahkah kau membayangkan betapa sakit-
nya orang yang giginya
ditanggalkan satu persatu, lalu
kuku jarinya dicabuti, kemudian
wajahnya dibeset?
Kalau belum pernah, semua itu
akan segera kau rasa-
kan, Gembel Busuk!"
Suropati bergidik ngeri.
Walaupun dia sudah
pasrah menghadapi kematian, namun
bila terlebih da-
hulu disiksa dengan kejam, mau
tak mau nyali remaja
konyol itu jadi mengkeret.
Tubuhnya yang terbaring di
atas tanah diseret-seret untuk
menjauhi Saka Purdian-
ta. Tapi, sungguh malang nasib
Suropati. Tubuhnya
jatuh terperosok ke dalam lubang
besar yang tercipta
akibat pukulan jarak jauh Saka
Purdianta. Tulang per-
sendian lutut Suropati yang
telah lepas membentur
dasar kubangan. Tak ayal lagi,
lolong kesakitan keluar
dari mulut Suropati!
Dewa Guntur menyaksikannya
sambil tertawa-
tawa.
"Rupanya kau telah masuk ke
dalam lubang
kuburmu sendiri, Gembel
Busuk!"
Suropati terus mengerang
kesakitan. Dia men-
coba untuk bangkit. Ditatapnya
tajam-tajam wajah
Saka Purdianta yang berada di
pinggir kubangan.
"Kau bisa menyiksaku, Orang
Jelek!" kata Su-
ropati dengan sinar mata
berkilat. "Tapi, seumur hi-
dupmu kau akan dikejar-kejar
orang-orang Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat
Sakti!"
"Huh! Apa hubunganmu dengan
perkumpulan
orang-orang malas itu?"
"Aku adalah
pemimpinnya!"
"Ha-ha-ha...! Kau
pemimpinnya? Jangan men-
gigau, Gembel Busuk! Mana
mungkin perkumpulan itu
dipimpin seorang remaja bodoh
sepertimu?!" sahut Sa-
ka Purdianta dengan pedas.
"Kau tak percaya?! Tanya
kepada kakek dan
nenek moyangmu! Akulah Suropati
yang bergelar Pen-
gemis Binal! Akulah Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang sudah kondang
sampai ke ujung
dunia!"
"Ehm.... Benarkah apa yang
dikatakan remaja
edan itu?" tanya Dewa
Guntur dalam hati. Dia sung-
guh menyangsikan ucapan
Suropati. "Kalau memang
benar, aku tidak boleh
sembarangan membunuhnya.
Aku telah membuat celaka putri
tunggal Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit.
Orang-orang Istana Kerajaan
Pasir Luhur tentu akan
mengejarku untuk menjatuh-
kan hukuman mati. Kalau aku
membunuh remaja
yang mengaku sebagai Pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu,
urusannya pasti akan sema-
kin parah...."
"Hei! Kenapa kau berdiri
terbengong-bengong
seperti kunyuk kena sumpit?
Lebih baik kau tolong
aku keluar dari kubangan
ini!" teriak Suropati.
Mendengar itu, Saka Purdianta
tertawa berge-
lak.
"Biarpun kau benar Pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, aku akan
tetap membunuh-
mu! Sudah kepalang tanggung aku
tercebur ke dalam
kancah kejahatan.
Ha-ha-ha...!"
Usai tertawa bergelak, Dewa
Guntur menyalur-
kan seluruh tenaga dalamnya ke
pergelangan tangan.
Lalu, disorongkannya ke depan.
Dua larik sinar hitam
meluncur deras ke arah Suropati.
Remaja konyol itu
sudah tak mempunyai kemampuan
lagi untuk meng-
hindar. Malaikat Kematian
tampaknya akan segera
menjemput nyawanya!
Sebelum sesuatu yang tak
diinginkan terjadi,
sesosok bayangan berkelebat
sangat cepat menyambar
tubuh Suropati. Pukulan jarak
jauh Saka Purdianta
hanya mengenai tanah kosong,
membuat kubangan
semakin bertambah dalam.
Dewa Guntur tampak berdiri
terpaku di tem-
patnya. "Keparat...!"
umpat Saka Purdianta. Lamat-
lamat dia mendengar lantunan
tembang yang menggu-
nakan ilmu mengirimkan suara
dari jarak jauh.
Setan tak pernah berhenti menggoda
manusia
Manusia terpuruk ke dalam lembah
dosa
Hidup hanya mengikuti nafsu
angkara
Tak tahu bila semua mesti
ditebus dengan kar-
ma
Nyawa orang terkasih sangat
berharga
Mesti dibela sepenuh jiwa
Siapa mengganggu Suropati
tercinta
Hadapi Pendekar Wanita Gila
Setelah lantunan itu selesai
terdengar, manusia
yang membawa tubuh Suropati pun
sudah tidak keli-
hatan lagi bayangannya.
***
Sang baskara berada tegak lurus
di atas kepa-
la. Sinarnya yang menyengat
terasa membakar. Per-
mukaan tanah terlihat
mengepulkan asap. Rumput ila-
lang layu merunduk.
Raka Maruta atau Pendekar Kipas
Terbang me-
nurunkan tubuh Anggraini
Sulistya ke tempat yang
terlindung, di bawah naungan
sebatang pohon besar.
"Tubuh gadis ini mulai
memanas lagi. Aku ha-
rus melakukan sesuatu,"
kata Raka Maruta dalam ha-
ti.
Pemuda berwajah lembut itu
mengamati seben-
tar luka kecil di ujung jari
telunjuk tangan kirinya. La-
lu, dikeluarkannya kipas baja
putih dari balik baju.
Dengan menggunakan senjata andalannya
itu Raka
Maruta memperlebar luka di ujung
jari telunjuknya.
"Nona... Nona...."
Pendekar Kipas Terbang kemudian
meng-
goyang-goyang bahu Putri Cahaya
Sakti. Gadis cantik
itu pun membuka mata. Ditatapnya
wajah Raka Maru-
ta dalam-dalam.
"Nona, kau isap darahku
lagi.,.," kata Pendekar
Kipas Terbang seraya menyodorkan
ujung jari telunjuk
tangan kirinya yang mengucurkan
darah segar.
Anggraini Sulistya memandang
sejenak. Lalu
diraihnya pergelangan tangan
Pendekar Kipas Terbang.
Darah yang mengucur dari ujung
jari telunjuk diisap-
nya kuat-kuat.
Merasakan cairan darah di
pergelangan tan-
gannya berdesir cepat, mata Raka
Maruta mendelik.
Tapi, senyum manis segera
mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Tuan
Pendekar...," ucap Putri
Cahaya Sakti. Suara yang keluar
dari mulutnya mirip
gumaman.
Senyum di bibir Raka Maruta semakin men-
gembang. Cepat ditekannya jalan
darah yang menuju
ke jari telunjuk. Darah segar
yang masih mengucur
langsung berhenti.
Apa yang sedang dilakukan
Pendekar Kipas
Terbang dengan meminumkan cairan
darahnya pada
Anggraini Sulistya, adalah
sebagai usaha untuk me-
nyelamatkan jiwa gadis cantik
putri tunggal Prabu
Singgalang Manjunjung Langit
itu. Seperti diketahui,
Jarum Hitam yang mengandung
racun ganas telah
menancap di bahu kiri Putri
Cahaya Sakti.
Setelah berhasil mengeluarkan
jarum beracun
itu, tahulah Raka Maruta kalau
nyawa Putri Cahaya
Sakti tak mungkin diselamatkan
lagi. Darahnya telah
bercampur dengan racun.
Jantungnya pun terganggu
daya kerjanya. Raka Maruta
kemudian teringat pada
kata-kata Wajah Merah di Bukit
Rawangun kalau dia
pernah meminum air sakti. Air
yang mempunyai kha-
siat luar biasa itu telah
menyatu dengan darahnya.
Menurut penuturan Wajah Merah
pula, darah
Raka Maruta sanggup
menghilangkan racun atau
memperlemah daya bunuh racun.
Teringat akan hal
itu, Raka Maruta mencoba
mengikuti penuturan si Wa-
jah Merah. Hingga, dengan setiap
kali meminum darah
Raka Maruta, sedikit demi
sedikit racun dalam tubuh
Anggraini Sulistya melemah daya
kerjanya.
"Terima kasih, Tuan
Pendekar...," ucap
Anggraini Sulistya sekali lagi.
"Jangan panggil aku dengan
sebutan itu. Na-
maku Raka Maruta. Kau bisa
memanggilku dengan
'Maruta'...."
"Terima kasih,
Maruta...."
Senyum kembali mengembang di
bibir Pende-
kar Kipas Terbang.
"Keadaanmu sudah agak lumayan,"
katanya. "Kau sudah bisa
berkata-kata sekarang. Ra-
cun Jarum Hitam tampaknya sudah
tidak memba-
hayakan jiwamu."
Anggraini Sulistya hanya
membisu. Mendadak,
pikirannya melayang pada
kejadian di atas Kapal Ra-
jawali.
"Suropati...," desis
wanita cantik itu. "Kau kenal
dengan dia?" tanya Raka
Maruta. Anggraini Sulistya
hanya menatap wajah pemuda itu.
"Kau kenal dengan Suropati,
Nona?" ulang Pen-
dekar Kipas Terbang.
"Panggil aku dengan 'Aini'.
Namaku Anggraini
Sulistya. Kenal dengan Suropati
secara pribadi belum.
Namun, kedatanganku dari
Kerajaan Pasir Luhur ada-
lah untuk menemuinya."
"Ada urusan penting?"
Putri Cahaya Sakti menggeleng.
Dia tak sang-
gup mengatakan tujuan semula
untuk menjumpai Su-
ropati. Karena, tidak pada
tempatnya seorang gadis
meminang seorang jejaka.
"Kau sendiri kenal dengan
Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti
itu?" tanya Anggraini
Sulistya kemudian, mengalihkan
pertanyaan Raka Ma-
ruta.
"Bukan hanya kenal.
Suropati adalah saha-
batku yang paling baik. Dia
sudah kuanggap sebagai
adik sendiri...."
Mata Anggraini Sulistya
mengerjap. Raka Maru-
ta terpesona sesaat. Kecantikan
gadis yang duduk di
hadapannya itu memang begitu sempurna.
"Kenapa kau memandangku
seperti itu?"
Pertanyaan Anggraini Sulistya
membuat Raka
Maruta jadi kelabakan. Seumur
hidup, baru kali inilah
dia merasakan debar-debar aneh
dalam hatinya.
"Kau belum menceritakan
saat-saat terakhir di
geladak Kapal Rajawali,
Maruta...," Anggraini Sulistya
membebaskan Raka Maruta dari
sikap salah tingkah-
nya.
"Eh, ya.... Ketika aku
datang, seorang wanita
cantik mengatakan kalau kau
adalah putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit.
Waktu itu kau telah
terluka akibat Jarum Hitam.
Maka, aku segera me-
nyambar tubuhmu setelah melihat
ada sesosok bayan-
gan menyelamatkan
Suropati."
"Jadi, adikku masih ada
kemungkinan hidup?"
"Adikmu?"
"Ya. Aku yakin Suropati adalah adikku. Di
punggung kirinya ada toh seperti
ciri khusus adikku
yang hilang semenjak bayi."
Pendekar Kipas Terbang
tercenung. Pada saat
dia berpikir-pikir, Anggraini
Sulistya tiba-tiba muntah
darah.
"Aini...!" pekik Raka
Maruta.
Putri Cahaya Sakti jatuh
tertelungkup di pang-
kuannya. Buru-buru Raka Maruta
menopang bahu kiri
gadis cantik itu. Tangan
kanannya digunakan untuk
menyalurkan hawa murni.
"Ehm.... Selain terserang
racun ganas, rupanya
gadis ini juga mengalami luka
dalam yang sangat pa-
rah...."
Belum selesai Raka Maruta menyalurkan
hawa
murni, mendadak saja suhu badan
Anggraini Sulistya
menjadi sangat panas.
"Celaka...!" desis
Pendekar Kipas Terbang. "Ra-
cun Jarum Hitam bekerja kembali.
Apa boleh buat,
aku harus mengesampingkan dulu
luka dalamnya.
Akan. ku minumkan
cairan darahku terlebih dahulu
kepadanya."
Tak pernah disangka oleh
Pendekar Kipas Ter-
bang, sesungguhnya racun yang
terkandung pada Ja-
rum Hitam lebih ganas daripada
yang dia kira. Cairan
darah Raka Maruta yang
mengandung khasiat air sakti
hanya sanggup menghentikan daya
kerja racun untuk
sementara. Dan, cairan darah
Anggraini Sulistya tetap
saja tercampuri racun ganas itu.
Raka Maruta berlari cepat sambil
membopong
tubuh Anggraini Sulistya. Hati
pemuda berwajah lem-
but ini sangat kalut memikirkan
keselamatan wanita
cantik itu. Rupanya, bunga-bunga
cinta mulai ber-
kembang di hati Raka Maruta.
"Aku harus menemui Kakek
Wajah Merah...,"
desis Pendekar Kipas Terbang
seraya mempercepat
langkah kakinya.
SELESAI
Bagaimanakah usaha Raka Maruta
untuk me-
nolong Anggraini Sulistya yang
terkena Jarum Hitam
milik Dewa Guntur?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam
episode
DEWA GUNTUR
Emoticon