DENDAM RATU AIR
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Dendam Ratu Air
128 hal.
1
Hembusan, angin kencang
menderu-deru tiada
henti. Gelombang air laut pun
terbentuk, menimbul-
kan gemuruh dahsyat seiring
terlemparnya lidah-lidah
ombak yang tinggi menjulang
seperti hendak mengga-
pai langit. Ketika angin
berhembus lebih kencang, li-
dah-lidah ombak semakin
meninggi. Suara gemuruh
lebih dahsyat terdengar.
Wajah sang Candra hadir
memancarkan cahaya
keemasannya. Pasang naik air
laut telah mencapai titik
puncak. Hembusan angin perlahan
melemah. Tinggal
desiran kecil yang tidak
bertenaga. Permukaan air taut
menjadi tenang. Riak-riak putih
sesekali menimpali
alunan ombak yang tak seberapa
besar. Keganasan
Laut Selatan telah pergi.
Nun jauh di sana, terlihat
sebuah titik hitam ber-
gerak meluncur cepat lalu diam
tak bergerak. Titik hi-
tam itu ternyata sesosok
manusia! Dalam keadaan te-
lentang tubuhnya mengambang di
permukaan air. Dia
mengenakan pakaian serba biru.
Rambutnya putih
panjang dan awut-awutan. Rongga
mata orang ini san-
gat cekung. Pipinya yang telah
dipenuhi keriput mele-
sak ke dalam. Tulang rahangnya
menonjol. Sudut bi-
birnya yang sebelah kiri
tertarik ke bawah.
Saat lidah ombak kecil membentur
tubuh sosok
ini, belahan bajunya tersingkap.
Tampaklah sebagian
payudaranya yang tipis
menggantung layu. Dia ternya-
ta seorang nenek!
Tiba-tiba kelopak mata si nenek
terbuka. Bersa-
maan dengan itu, kedua telapak
tangan dan kakinya
mengibas. Pelan saja. Tapi,
akibat yang ditimbulkan-
nya sungguh luar biasa. Tubuh
nenek itu meluncur,
cepat bagai lesatan anak panah
lepas dan busur!
Ketika jarak yang dilalui telah
mencapai lima pu-
luh tombak, luncuran tubuh si
nenek menjadi pelan,
lalu berhenti sama sekali.
Kembali kelopak mata wani-
ta tua ini terpejam. Kini
terlihat bibirnya yang mencong
komat-kamit merapal mantera.
Sebentar kemudian...
"Sebelum bumi dijadikan
tempat berpijak, adalah
gumpalan es padat yang terus
berputar. Seiring berla-
lunya waktu gumpalan es mencair
hingga terbentuk
daratan. Es yang mencair adalah
air! Separo lebih ba-
gian bumi adalah air! Tak satu
pun makhluk di bumi
dapat hidup tanpa air! Air
adalah sumber hidup. Ke-
kuatan air pun sanggup
menghancurkan gunung, me-
nenggelamkan daratan! Air
sanggup membuat dunia
jadi kiamat! Maka, sang Ratu Air
pun memiliki kekua-
tan luar biasa. Sang Ratu Air
memiliki sebagian kuasa
jagat. Maka, dengan itu sang
Ratu Air memanggil
Makhluk Penyelamat
Jiwa...!"
Aneh sekali! Walau si nenek
mengucapkan begitu
banyak kata, tak sepercik pun
air laut masuk ke dalam
mulutnya. Tubuhnya terus
mengapung seperti sedang
terbaring di tempat tidur.
Tiba-tiba....
Byaaarrr...!
Tubuh si nenek terlontar ke
atas, lalu jatuh lagi
ke permukaan air dalam keadaan
tengkurap dan tetap
mengapung! Melalui cahaya
rembulan tampaklah ka-
lau punggung si nenek ternyata
berlubang!
Lubang luka itu sangat
mengerikan. Menganga
selebar dua telapak tangan.
Dagingnya membeliak ba-
nyak yang terbuang. Namun,
tulang belakangnya tetap
utuh, membujur kaku seperti
titian sungai. Selampir
kain baju biru si nenek yang
koyak menyatu dengan
garis pinggir luka. Dari garis
pinggir luka inilah sera-
but-serabut otot menyembul
keluar.
"Makhluk Penyelamat Jiwa!
Dari derita yang telah
menghunjam dalam sang Ratu Air
merindukan dara-
tan! Karenanya, bawa aku ke
pantai sebelah utara...!"
Suara yang keluar dari mulut si
nenek terdengar
menggelegar, menimbulkan gaung
aneh. Belum selesai
gaung yang terdengar, mendadak
tubuh si nenek mele-
sat cepat. Padahal gerakan kedua
tangannya yang ter-
pentang maupun pergelangan
kakinya yang terbujur
tidak terlalu kuat
Sebentar kemudian, garis pantai
telah terlihat.
Bibir si nenek yang mencong
memperlihatkan seringai
aneh. Tampaklah sebagian gusinya
yang merah darah
tanpa gigi.
"Hua... ha... ha...! Jagat
kelam berlumur air hi-
tam membuat gelap dunia. Dalam
kepekatan nafsu
layak dipentang. Hasrat larut
dengan angkara murka.
Sang Ratu Air kembali datang
dengan kekuatannya.
Kedahsyatan akan segera
menyeruak! Bumi terbelah
menenggelamkan musuh-musuh
laknat... Biar hilang
amarah ini! Biar hilang dendam
kesumat ini! Hua...
ha... ha,..!"
Usai berucap, wanita tua itu
lalu menepuk per-
mukaan air. Tepukan yang dialiri
kekuatan tenaga da-
lam ini menimbulkan gelombang
permukaan air besar.
Terlihat tubuh si nenek
melenting tinggi. Setelah ber-
putaran di angkasa, kemudian
meluncur deras ke ba-
wah laksana bintang jatuh. Tak
terdengar suara ketika
telapak kakinya mendarat di
hamparan pasir.
"Sang Ratu Air telah
menyentuh daratan! Ungka-
pan terima kasih layak
dihaturkan kepada Makhluk
Penyelamat Jiwa...."
Si nenek memusatkan pandangannya
ke satu ti-
tik air laut yang terdapat
sebuah gelombang kecil. Ke-
mudian, tubuhnya dibungkukkan
memberi penghor-
matan. Pada titik pandangan si
nenek mendadak terli-
hat gelombang air membesar.
Lalu....
Byaaarrr...!
Sesosok makhluk besar berkulit
hitam legam
muncul dari dalam air. Makhluk
hitam ini melayang ke
atas dan berjumpalitan beberapa
kali di udara. Tam-
paklah sosok sebenarnya makhluk
itu. Seekor ikan
paus!
"Terima kasih, Makhluk
Penyelamat Jiwa...," kata
si nenek sambil menegakkan
kembali tubuhnya. Ma-
tanya yang cekung menatap
kepergian ikan paus. Ikan
raksasa itulah yang tadi telah
membantunya mencapai
pantai,
Tak lama kemudian, dari mulut si
nenek keluar
tawa nyaring. Tawa yang
menyiratkan suatu kegembi-
raan.
Blaarrr...!
Timbul julangan ombak tinggi.
Begitu ujung lidah
ombak menyentuh permukaan air,
tubuh si nenek te-
lah lenyap. Namun, suara tawanya
masih terdengar
hingga beberapa lama....
***
Desa Tanjunganom terletak di
pesisir Pantai Sela-
tan. Desa yang biasanya ramai,
malam ini tampak
sunyi senyap. Yang terdengar
hanya suara-suara bina-
tang malam dan serangga tanah.
Di malam yang dingin dan menusuk
tulang ini
dari ujung desa sebelah barat
terlihat berkelebat seso-
sok bayangan. Karena gelap,
gerakan bayangan ini
seolah-olah dapat menghilang.
Ketika sampai di depan
sebuah rumah yang halamannya
diterangi lampu sen-
tir, sosok bayangan menghentikan
gerak tubuhnya.
Dia seorang nenek bermuka seram.
Rambutnya yang
putih panjang tergerai tak
karuan. Sebagian menutupi
wajahnya, sebagian lagi menutupi
punggung yang ter-
dapat luka menganga!
"Hmmm... Mudah-mudahan apa
yang kuperlukan
dapat ku peroleh
sekarang juga...," gumam nenek ini
sebelum mengetuk daun
pintu.
Tok! Tok!
Tidak ada sahutan dari dalam
rumah.
Si nenek mengetuk daun pintu
lagi, lebih keras.
Terdengar gerutuan dari mulut
seorang wanita. Dis-
usul suara derit dipan kayu yang
bergoyang.
"Siapa...?" tanya
suara wanita dari dalam rumah.
"Aku ada perlu. Segera
bukakan pintu...," sahut
si nenek, kalem.
Suasana hening kembali. Wanita
pemilik rumah
seperti sedang berpikir. Namun
karena suara yang di-
dengarnya tadi adalah suara
seorang nenek, dia segera
menyeret kakinya mendekati daun
pintu. Mungkin ne-
nek itu memang membutuhkan
pertolongan, pikirnya.
Ketika jemari tangan wanita
pemilik rumah telah
menyentuh palang pintu yang
terbuat dari kayu, seje-
nak ia menjadi ragu. Malam-malam
begini, biasanya
hantu senang berkeliaran.
Jangan-jangan suara yang
didengarnya adalah....
"Cepat buka pintu.... Aku
bukan hantu! Aku ma-
nusia!" ujar si nenek yang
berdiri di ambang pintu. Ka-
ta-katanya seperti
mengisyaratkan kalau dia dapat
membaca pikiran orang.
"Kau siapa?" tanya
wanita pemilik rumah,
"Aku nenek yang tinggal di
pulau kecil di sebelah
selatan desa ini."
"Siapa?"
"Ratu Air," jawab si
nenek menyebut dirinya.
Wanita pemilik rumah yang
mendengar jawaban
si nenek langsung mengangakan
mulutnya. Sesaat dia
berdiri mematung seperti orang
kehilangan ingatan.
Namun begitu kesadarannya
kembali, wanita ini segera
berlari ke biliknya. Dibangunkan
suaminya yang terti-
dur lelap. Wanita ini jadi
panik ketika melihat sua-
minya tak mau bangun. Malah,
umpatan yang dia te-
rima. Tiba-tiba....
Braaakkk...!
Terdengar benturan keras pada
daun pintu. Wa-
nita pemilik rumah dihantam
keterkejutan. Terbawa
rasa ingin tahu, dia berlari ke
depan. Terlihatlah oleh-
nya seorang nenek bertampang
seram berdiri di am-
bang pintu yang telah jebol.
"Kau... kau...," ucap
wanita ini dengan tangan
menuding. Bola matanya melotot
lebar.
"Hua... ha... ha...!"
tawa si nenek cukup keras.
"Sudah kukatakan, aku ada
perlu denganmu. Kenapa
kau tak segera membuka
pintu?!"
Dari dalam bilik tiba-tiba
muncul seorang lelaki
dengan senjata parang di tangan.
Senjata tajam yang
mengkilat tertimpa sinar lampu
damar ini berkelebat
ke arah si nenek yang baru saja
menjebol pintu.
Cuuusss,,,!
"Aaaa...!"
Malang bagi lelaki itu. Sebelum
parangnya me-
nyentuh sasaran, jari telunjuk
jari kanan si nenek
mengucur air seperti pancuran.
Anehnya, kucuran air
ini bisa berubah tegang seperti
anak panah. Ujungnya
menancap di dahi si lelaki
hingga tembus ke belakang
kepala!
Bruukkk!
Tubuh lelaki itu jatuh terjengkang.
Dia masih
sempat mendekap dahinya yang
bolong sebelum ajal
menjemput. Parang yang semula
dipegangnya terlem-
par ke lantai hingga menimbulkan
suara bergemerinc-
ing.
Melihat suaminya terbujur tanpa
nyawa, wanita
pemilik rumah menjerit ngeri.
Dia berlari menghambur
lalu memeluk tubuh suaminya
seraya mengguncang-
guncangkannya.
Wanita ini tampaknya tidak
mempercayai apa
yang baru saja dilihatnya. Tubuh
suaminya terus saja
diguncang-guncangkan, berharap
suaminya akan ban-
gun. Ratap tangis dan jerit
memanggil- manggil sebuah
nama merobek malam yang sunyi.
Namun, wanita malang ini tak
bisa terus berbuat
demikian. Si nenek telah
mencengkeram tengkuknya
dan menatap wajahnya
dalam-dalam.
"Kau punya bayi?"
tanya si nenek setengah mem-
bentak.
Hanya isakan tangis yang
didengar si nenek. Wa-
nita tua ini mendengus. Bau
busuk menyebar dari lu-
bang luka di punggungnya.
"Kau punya bayi?"
ulang si nenek.
"Ti... tidak...."
Mendengar jawaban terputus itu,
si nenek meng-
geram. Dicampakkannya dengan
kasar tubuh wanita
pemilik rumah. Kepala wanita itu
membentur lantai.
Terdengar erangan pendek.
Setelah menggeliat, tubuh-
nya diam tak bergerak-gerak
lagi. Ternyata kepalanya
telah pecah bersimbah darah.
Si nenek menatap sejenak dua
mayat yang bera-
da di hadapannya. Dia lalu
melangkah ke dalam bilik.
Matanya jadi bersinar nyalang.
Apa yang diinginkan-
nya ternyata tidak ada.
Bersama suara geraman yang
keluar dari mulut-
nya, wanita tua ini berkelebat
keluar rumah. Sesampai
di halaman dia mendongakkan
kepala dan memen-
tangkan kedua tangannya ke atas.
Cahaya rembulan
yang menerpa membuat bola mata
nenek ini meman-
carkan sinar berkilat.
Bibir mencong si nenek tampak
berkomat kamit.
Bersamaan dengan kaki kanannya
yang ditarik ke be-
lakang, kedua tangannya yang
terpentang menghentak
ke atas.
Dari telapak tangan itu melesat
dua larik sinar
perak, dan menyusup tepat di
genangan air pantai
yang berada tiga puluh tombak
dari hadapannya. Keti-
ka si nenek mengangkat kedua
tangannya, genangan
air yang terselubungi sinar
perak ikut terangkat. Ge-
nangan air itu meluruk ke utara
dengan kecepatan
tinggi laksana air bah
diturunkan dari langit!
Byaaarrr...!
Genangan air besar menghantam
empat rumah
yang berada jauh di sana hingga
roboh. Permukaan
tanah terguncang seperti terjadi
gempa. Genangan air
pun meluber dan menghantam
beberapa rumah di se-
kitarnya. Malam yang sunyi
terobek-robek suara hi-
ruk-pikuk. Apalagi setelah
terdengar teriakan-teriakan.
"Banjir...!"
"Banjir...!"
Bunyi kentongan saling
bersahutan. Puluhan
manusia berlarian keluar dari
rumah. Jerit ngeri para
wanita terdengar menyayat hati.
Pada saat itulah si nenek
pembuat petaka men-
dengar tangisan bayi. Ya, suara
tangisan bayi! Berarti
ada salah seorang penduduk Desa
Tanjunganom yang
memiliki bayi. Dan, bayi itulah
yang dibutuhkan!
***
Tengah malam telah lewat.
Berganti dengan din-
gin mencekam suasana dini hari.
Seiring air but yang
mulai pasang surut, hembusan
angin berganti arah.
Nenek bertampang seram
menengadahkan wajah
menghadap ke hamparan langit
luas. Walau berdiri
dengan tubuh bongkok, tapi kedua
kakinya kokoh
kuat mencengkeram bumi.
Perlahan-lahan tangan kiri si
nenek terpentang
ke atas. Disusul kemudian dengan
tangan kanannya
yang memegang sosok bayi yang
baru saja diculiknya.
Bayi ini sudah tidak lagi
mengeluarkan raungan tan-
gis. Mungkin sudah terlalu
lelah. Namun, yang jelas
anak manusia yang baru seminggu
menghirup udara
dunia ini masih hidup. Tubuhnya
hangat dan hembu-
san nafasnya teratur.
"Upacara penyembahan akan
segera dilangsung-
kan. Korban telah siap di atas
kepala. Sang Ratu Air
memiliki sebagian kuasa jagat.
Dengan bantuan peng-
huni alam kelam, sang Ratu Air
akan kembali kepada
kejayaannya...!"
Usai berucap, telunjuk jari
tangan kiri si nenek
diluruskan. Terdengar dengus
pendek dari mulutnya.
Setelah bibirnya yang mencong
berkomat-kamit, men-
dadak,...
Cuuusss...!
Dari ujung telunjuk jari tangan
kiri wanita tua ini
meluncur selarik sinar perak.
Dan, tepat menembus
tengkuk sang jabang bayi!
Sebelum darah segar meleleh dari
lubang luka di
tengkuk, si nenek bergerak
cepat. Lubang luka itu di-
pagutnya dengan bibirnya yang mencong!
Tubuh sang bayi tak
memperlihatkan gerakan-
gerakan lagi walau cairan
darahnya sedang dihisap.
Nyawa makhluk kecil ini telah
melayang begitu men-
dapat luka di tengkuknya. Dengan
penuh nafsu si ne-
nek terus menghisap cairan darah
sang jabang bayi,
hingga habis tak tersisa.
Bayi tanpa nyawa itu dicampakkan
begitu saja
seperti membuang barang tak
berguna. Senyum men-
gembang di bibir mencong si
nenek yang belepotan da-
rah segar. Lalu...
Byuuurrr...!
Pelan saja kedua telapak kakinya
menghentak
pasir pantai. Tapi, cukup untuk
membuat tubuh si
nenek melayang tinggi dan
tercebur ke laut
Timbul putaran gelombang bersama
air yang
bermuncratan. Tubuh si nenek
lenyap. Entah apa yang
dilakukannya di dalam air. Yang
jelas, manusia kejam
ini tak juga muncul ke permukaan
air hingga sepemi-
num teh lamanya.
Saat putaran gelombang air laut
muncul kembali,
melesat sesosok tubuh dan
mendarat di hamparan pa-
sir pantai. Sosok tubuh ini tak
lain nenek yang baru
saja meminum darah bayi. Dia menatap
lurus ke per-
mukaan air laut. Luka menganga
yang terdapat pada
punggung si nenek telah lenyap!
Lubang luka telah menutup. Kulit
pada bagian
belakang tubuhnya telah rata.
Tak sedikit pun ada be-
kas luka di situ. Hanya baju
birunya yang tetap koyak
selebar dua telapak tangan.
Sebuah tawa nyaring penuh luapan
kegembiraan
membahana. Begitu terhenti,
tubuh si nenek berputar
laksana gangsing yang ditarik
benang sangat kuat.
Srashhh...! Srashhh...!
Dari putaran tubuh si nenek
muncul gulungan
air besar. Gulungan air itu
bermuncratan ke segala
penjuru.
Sesaat kemudian si nenek
menghentikan gerakan
tubuhnya. Pandangan wanita tua
itu kini tertuju ke sa-
tu titik di permukaan air laut.
"Terima kasih... terima
kasih, Makhluk-makhluk
Penyembuh Luka...," kata si
nenek dengan tangan ter-
pentang ke atas seperti sedang
menghiba. "Dengan ke-
kuatan sang Ratu Air yang akan
menemukan ke-
jayaannya kembali, abadilah kau
Makhluk-makhluk
Kerajaan Air!"
Kemudian, tubuh wanita tua ini
berkelebat le-
nyap!
2
Kain layar telah digulung. Sauh
pun sudah ditu-
runkan. Lambung kapal bergoyang
pelan ketika ombak
kecil memukulnya. Usai sudah
perjalanan yang mema-
kan waktu hampir seharian penuh.
Siraman mentari pagi terasa
hangat menerpa ku-
lit. Angin bertiup sepoi basah
mengelus relung sukma.
Di atas geladak kapal, seorang
remaja tampan berpa-
kaian putih penuh tambalan
tampak mementangkan
tangannya, lalu teriakan nyaring
keluar dari mulutnya.
Begitu keras seakan segala beban
yang semula menin-
dih jiwanya dapat keluar lepas
bersama teriakannya
itu.
Dengan satu kali lompatan saja
tubuh remaja ini
kemudian melayang jauh dan
mendarat mulus di
hamparan pasir pantai. Dia kini
melonjak-lonjak kegi-
rangan seperti anak kecil yang
mendapat mainan. Se-
telah lonjakannya terhenti,
kepalanya mendongak me-
natap mentari pagi. Bola mata
remaja ini berkilat se-
nang. Senyum manis mengembang di
bibirnya yang
kemerahan.
"Ha... ha...
ha...!"
Diiringi derai tawa yang lepas
bebas remaja ber-
pakaian putih penuh tambalan itu
menyaruk-nyaruk
butiran pasir. Tubuh remaja ini
lalu melenting ke uda-
ra. Begitu mendarat, kedua
tangan dan kakinya meng-
hentak-hentak memperagakan
sebuah jurus silat. Ge-
rakannya sangat cepat hingga
sulit diikuti pandangan
mata. Namun bagi seorang tokoh
kawakan, gerakan
jurus remaja ini tentu dapat
dikenali, karena sudah
tak asing lagi bagi tokoh-tokoh
silat golongan atas. Ju-
rus 'Pengemis Meminta Sedekah'!
Tak lama kemudian, si remaja
tampan meng-
hemposkan tubuhnya ke atas. Saat
masih melayang di
udara, kaki kirinya ditekuk lalu
ditarik ke belakang.
Kaki kanannya ditekuk condong ke
depan seperti se-
dang berjongkok. Kedua telapak
tangan remaja tampan
itu dihadapkan ke atas.
Pandangannya lurus ke depan.
Ketika tubuh remaja ini tinggal
satu depa lagi menyen-
tuh hamparan pasir, kedua
pergelangan tangannya di-
tarik ke belakang sejajar
pinggang, lalu dihentakkan
dengan cepat!
Wuuusss....!
Blaaarrr...!
Dua larik sinar kebiru-biruan
melesat begitu ce-
pat. Bersamaan dengan ledakan
dahsyat yang mengge-
legar tepat sepuluh tombak di
depan si remaja tampan
butiran pasir beterbangan hingga mengaburkan pan-
dangan. Bumi terasa bergoncang.
Jauh di sana tiba-
tiba muncul ombak besar
menghantam lambung kap-
al.
Ketika butiran pasir telah
memudar, di tempat itu
terbentuk sebuah kubangan yang
sangat dalam. Cu-
kup untuk menguburkan bangkai
tiga ekor gajah!
Melihat kehebatan pukulan jarak
jauhnya, si re-
maja tampan mendekap wajah penuh
rasa syukur.
Kemudian, tokoh muda yang
berkepandaian cukup
tinggi ini menengadahkan wajah.
Ungkapan rasa syu-
kur tampak dari kilatan bola
matanya.
"Terima kasih, Tuhan....
atas kuasa-Mu, racun
Jarum Mati Sekejap tidak lagi
bersemayam dalam da-
rahku. Ilmu kepandaianku telah
kembali seperti sedia-
kala...," ucap si remaja
tampan dengan sepenuh pera-
saan. "Aku Suropati alias
Pengemis Binal akan dapat
mengemban kewajibanku lagi.
Semoga kabut dan ba-
dai di rimba persilatan dapat
terhalau..."
Ya, tokoh muda ini memang tak
lain Suropati
atau Pengemis Binal, Pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti. Dia baru saja
mendapat ilmu ke-
pandaiannya lagi setelah lenyap
akibat pengaruh ra-
cun Jarum Mati Sekejap. Di
Kerajaan Siluman, Suro-
pati telah mendapat pengobatan
dari Putri Racun,
Selagi remaja tampan ini
terpekur, hanyut dalam
keharuan, dari geladak kapal
berkelebat enam sosok
bayangan dan mendarat tepat satu
tombak di bela-
kangnya. Empat orang di
antaranya adalah wanita.
Yang seorang berpakaian ungu
hitam. Rambutnya
yang hitam panjang digelung ke
atas dengan hiasan
tusuk konde emas bermata
berlian. Wajahnya bulat te-
lur, terlihat cantik rupawan.
Padahal umurnya hampir
mencapai seratus lima puluh
tahun!
Gadis ini bergelar Putri Racun.
Karena tinggal di
Kerajaan Siluman, dia tidak ikut
dalam putaran waktu.
Hal inilah yang menyebabkan dia
tetap awet muda.
Hampir satu abad lamanya Putri
Racun mengabdi
dengan setia kepada Nyai Catur
Asta. Kini dia diperke-
nankan untuk kembali ke
dunianya, ke alam fana ini,
setelah berhasil mengobati
Suropati atau Anggraini Su-
listya yang juga terkena
pengaruh racun Jarum Mati
Sekejap.
Di sisi kiri Putri Racun berdiri
seorang gadis can-
tik berambut hitam pendek. Dia
menatap Suropati
hampir-hampir tanpa berkedip.
Gadis berusia sekitar
dua puluh tahun ini mengenakan
pakaian gemerlap
seperti layaknya putri seorang
pembesar kerajaan. Wa-
lau tampak kotor, tapi
keindahannya tetap terlihat.
Gadis inilah yang bernama
Anggraini Sulistya.
Gelarnya, Putri Cahaya Sakti.
Dia putri Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit, Penguasa
Kerajaan Pasir Lu-
hur.
Di sisi kiri Anggraini Sulistya
berdiri dua orang
gadis kembar. Pakaian yang
dikenakan kedua gadis ini
tampak mengenaskan.
Compang-camping tak karuan.
Tubuhnya kurus kering hingga
tulang-belulangnya
bertonjolan. Wajahnya sebenarnya
cantik. Karena kea-
daannya yang mengenaskan,
kecantikannya jadi pu-
dar. Rambutnya saja yang masih
sedap untuk dipan-
dang. Hitam panjang tergerai
sampai ke pinggang. Na-
ma kedua gadis ini, Atika dan
Sinta.
Atika dan Sinta baru saja
terbebas dari kung-
kungan derita akibat kerja paksa
selama tinggal di Ke-
rajaan Air. Wajar bila
keadaannya tampak menyedih-
kan. Namun seperti orang yang
baru lolos dari maut,
sorot mata gadis kembar ini
memancarkan kebaha-
giaan yang sangat.
Di belakang empat gadis yang
berjajar rapi itu
tampak dua orang lelaki. Yang
muda berusia dua pu-
luh lima tahun. Wajahnya halus
lembut seperti wajah
bayi. Pakaiannya putih kuning.
Dadanya terlihat tegap
dan gagah. Dia adalah Raka
Maruta atau Pendekar Ki-
pas Terbang.
Di sebelahnya berdiri seorang
kakek dengan tu-
buh agak bungkuk. Wajah lelaki
tua ini berwarna me-
rah seperti buah tomat matang.
Karenanya, dia dijulu-
ki orang-orang persilatan si Wajah
Merah. Kakek ini
seorang tabib pandai yang sudah
cukup ternama.
Walau Pengemis Binal telah tahu
di belakangnya
berdiri enam sosok manusia yang
terus memperhati-
kannya, tapi dia tetap saja
berlutut. Keningnya me-
nyentuh butiran pasir. Begitu
pula dengan anak-anak
rambutnya yang tergerai bebas.
"Suro...," bisik
Anggraini Sulistya seraya menge-
lus punggung Pengemis Binal
Tak ada jawaban yang keluar dari
mulut remaja
ini. Setelah menunggu sesaat,
Anggraini Sulistya me-
nyambung ucapannya.
"Bila kau mau ke Kota
Kadipaten Bumiraksa,
pergilah! Aku tak ikut."
"Apa?!"
Suropati melompat lalu menatap
wajah Putri Ca-
haya Sakti dengan sinar nyalang.
"Kenapa kau tak
ikut?" tanyanya heran.
Anggraini Sulistya tiba-tiba
tertawa. Tawa gadis
ini pun segera disahut dengan
suara tawa dari kelima
orang yang berdiri di
belakangnya.
Pengemis Binal menggaruk-garuk
kepala. Tak ta-
hu apa yang mereka tertawakan.
Bola matanya tampak
berputar-putar. Akhirnya, dia
melenguh-lenguh seperti
kerbau dicocok hidungnya.
"Apa yang kalian
tertawakan?!" sentak remaja
tampan ini.
"Hik hik hik... Kau tahu
monyet dibedaki, Suro?"
goda Anggraini Sulistya.
"Seperti aku?" tebak
Suropati sekenanya.
"Ya. Hik hik hik...!"
Buru-buru Pengemis Binal meraba
wajahnya.
Nah, tahulah dia kalau kening
dan kedua pipinya di-
tempeli butiran pasir tebal.
Juga ujung hidungnya.
"Sialan!" umpat remaja
konyol ini sambil mem-
bersihkan wajah dengan ujung
lengan bajunya. "Eh,
kau tadi mengatakan tak mau ikut
ke Kota Kadipaten
Bumiraksa, kenapa?"
lanjutnya mengulang pertanyaan
tadi.
Mendengar pertanyaan itu, Putri
Cahaya Sakti
mencibir. "Siapa yang sudi
ikut dengan bocah gem-
blung sepertimu?! Di sana kau
tentu akan berbuat
seenak perutmu sendiri. Ngaku
saja kalau kau ingin
bermesra-mesraan dengan
kekasihmu itu!"
"Siapa?"
"Dewi Ikata!"
"Ha ha ha...!"
Pengemis Binal tertawa bergelak.
"Kalau ya, kau mau apa?
Bukankah dia cantik, baik
hati, halus lembut tutur
katanya, berilmu tinggi, putri
seorang bangsawan,
dan...."
"Sudah... sudah...!"
sela Anggraini Sulistya. "Se-
tinggi apa pun kau
memujinya, Dewi Ikata dijuluki
orang sebagai Pendekar Wanita
Gila! Hik hik hik....
Ternyata Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti yang kesohor seantero
jagat punya kekasih gi...."
"Sudah... sudah...!"
ganti Suropati yang menyela.
"Gila sedikit nggak
apa-apa. Pokoknya nggak sungguh-
sungguh gila. Yang penting lagi,
dia cantik! Titik!"
Remaja ini tampak nyengir, lalu
menyebar pan-
dangan. Semua orang yang melihat
ke arahnya terse-
nyum-senyum. Tanpa sadar
Suropati menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kalian semualah yang
gila!" rungut Pengemis Bi-
nal dalam hati.
Selagi Suropati cengar-cengir
mencari cara untuk
dapat memaksa Anggraini Sulistya
menuruti kemaua-
nnya, Raka Maruta berjalan
tenang menghampiri lalu
menepuk bahu Suropati.
"Aku dan Anggraini Sulistya
telah membuat ren-
cana lain, Suro...," kata
pemuda berwajah lembut ini,
seperti tahu isi hati Pengemis
Binal.
"Apa?"
"Aku dan Anggraini Sulistya
akan kembali ber-
layar."
"Hah?!"
Mata Suropati mendelik menatap
wajah Raka
Maruta. Orang yang belum kenal
betul dengan remaja
konyol ini tentu mengira dia
memiliki otak udang. Si-
kapnya memang sering kali
menjengkelkan dan tam-
pak sangat bodoh. Tapi bagi yang
sudah mengenalnya
dengan baik, sikap konyol
Suropati justru mendatang-
kan keasyikan tersendiri.
Termasuk Raka Maruta.
Melihat Suropati terkejut,
pemuda yang bergelar
Pendekar Kipas Terbang itu malah
tersenyum senang.
Tentu saja Suropati merengut
marah. Tapi setelah re-
maja konyol ini berulah
macam-macam, Putri Cahaya
Sakti segera mendekat.
"Raka Maruta bersedia
mengantarku pulang ke
istana Ayahanda Prabu...,"
bisik Anggraini Sulistya di
dekat telinga Pengemis Binal.
"Hah?!" Mata Suropati
mendelik lebih lebar. "Ja-
di, kau benar-benar tak mau ikut
ke Kota Kadipaten
Bumiraksa?"
Anggraini Sulistya mengangguk.
"Seharusnya kau
ikut denganku, Suro. Ayahanda
Prabu tentu sangat
merindukanmu. Apalagi Ibunda Sekar
Tunjung Bi-
ru...."
Suropati tampak berpikir
sebentar, lalu kepa-
lanya menggeleng lemah.
"Aku pasti akan datang
selama Tuhan berkenan
memberikan umur panjang. Kalau
memang benar Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit
adalah ayah kan-
dungku dan aku lahir dari rahim
Gusti Ratu Sekar
Tunjung Biru, sembah sujudku
untuk beliau ber-
dua...."
"Aku sangat yakin kau
adalah adik kandungku,
Suro. Kenapa kau masih ragu? Kau
putra Ayahanda
Prabu Singgalang Manjunjung
Langit," sergah Anggrai-
ni Sulistya.
Sebenarnya, Suropati pun ingin
sekali bisa men-
jumpai Prabu Singgalang
Manjunjung Langit yang di-
katakan Anggraini Sulistya
sebagai ayahnya. Tapi, se-
jak racun Jarum Mati Sekejap
dapat dikeluarkan dari
dalam tubuhnya, Suropati
mempunyai firasat buruk.
Dan firasat buruk itu mampu
mengalahkan keinginan
Suropati untuk berjumpa dengan
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit. Terbayang
dalam benak Suropati
sebuah malapetaka besar akan
menimpa para anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang berada di
Kota Kadipaten Bumiraksa.
Sebagai pemimpin tentu
saja Suropati harus turun
tangan.
"Ya... ya...! Aku pasti...
akan datang untuk meng-
hadap beliau. Tapi, tidak
sekarang. Sampaikan saja sa-
lamku. Aku berdoa untuk
kesehatan beliau...," kata
Suropati akhirnya.
Anggraini Sulistya menatap wajah
Suropati da-
lam-dalam. Mendadak matanya
berkaca-kaca. Tanpa
dapat dibendung lagi setitik
mutiara bening bergulir
membasahi pipinya.
"Suro...," desis Putri
Cahaya Sakti seraya ber-
hambur memeluk Pengemis Binal.
"Sebenarnya aku
ingin terus bersama denganmu,
Adikku. Tapi bila aku
meninggalkan istana terlalu
lama, Ayahanda Prabu
tentu cemas memikirkan aku.
Apalagi Ibunda.... Beliau
sering terbangun dari tidurnya
karena mimpi buruk.
Aku tidak tega meninggalkannya
terlalu lama...."
Mau tak mau Suropati ikut
terbawa dalam keha-
ruan. Tapi, firasat buruk dalam
diri Suropati benar-
benar mampu mengalahkan
kepentingan pribadinya.
Sementara Putri Cahaya Sakti
cuma dapat memeluk
erat tubuh Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti ini. Tangisnya
terisak-isak dan air matanya men-
galir deras.
Putri Racun, Atika, dan Sinta
tampak menatap
bentangan kaki langit nun jauh
di sana. Mereka tak
sanggup melihat kesedihan
Anggraini Sulistya, Si Wa-
jah Merah menundukkan kepala.
Selama Anggraini
Sulistya tinggal beberapa hari
di Bukit Rawangun, ka-
kek ini telah berusaha
mati-matian untuk dapat me-
nyelamatkan jiwa gadis ini yang
terkena racun Jarum
Mati Sekejap. Selama beberapa
hari itulah Kakek Wa-
jah Merah lebih mengenal
kepribadian Anggraini Sulis-
tya. Kini melihat gadis itu
menangis tersedu-sedu, pe-
rih juga rasa hati si Wajah
Merah.
Pendekar Kipas Terbang pun
demikian. Sejak
bertemu dengan Anggraini
Sulistya, timbul getar-getar
aneh dalam dirinya. Getar-getar
aneh itu selalu men-
desaknya untuk dapat memberikan
apa yang terbaik
bagi Anggraini Sulistya. Dia tak
mau melihat Anggraini
Sulistya bersedih hati. Raka
Maruta ingin selalu me-
nyenangkan gadis itu. Sekarang
pun demikian.
Tapi bagaimana? Kalau kata-kata hiburan, dia
tak bisa merangkainya. Raka
Maruta memang pemuda
yang sangat pendiam, juga
pemalu. Adakah sesuatu
yang dapat membuat Anggraini
Sulistya, bahagia? Ra-
sanya, Raka Maruta kalau diminta
untuk menyeberan-
gi lautan api atau mencebur ke
kawah gunung berapi
pun dia akan sanggup
melakukannya. Asal hal ini da-
pat membuat bahagia Anggraini
Sulistya. Lama Raka
Maruta termenung.
"Sudahlah, Aini...,"
kata Suropati sambil mereng-
gangkan pelukan Anggraini
Sulistya. Ditatapnya wajah
gadis itu dengan penuh rasa
kasih. "Aku tahu pera-
saanmu. Tapi, kau juga mesti
tahu kalau aku mempu-
nyai kewajiban yang tidak bisa
kutinggalkan dalam
waktu dekat ini...."
Seperti tak memperhatikan
perkataan Suropati,
Putri Cahaya Sakti menoleh ke
arah Raka Maruta.
"Kita berangkat sekarang,
Maruta...," ucap
Anggraini Sulistya pelan sekali.
Pendekar Kipas Terbang menatap
wajah Penge-
mis Binal sejenak. "Aku
minta pamit, Suro...."
Suropati mengangguk. "Jaga
Anggraini Sulistya
baik-baik, Maruta...."
Pendekar Kipas Terbang pun
mengangguk. Sete-
lah mengucap salam perpisahan
kepada Putri Racun,
Atika, Sinta, dan juga Kakek
Wajah Merah, pemuda
berwajah lembut ini melangkahkan
kaki mengikuti
Anggraini Sulistya menuju kapal.
Sebentar saja layar telah
dibentangkan kembali.
Sauh pun ditarik. Kapal layar
merah siap untuk men-
garungi lautan menuju wilayah
Kerajaan Pasir Luhur.
"Suatu hari nanti aku akan
datang ke Bukit Ra-
wangun untuk melanjutkan
pelajaran darimu, Kek...!"
teriak Pendekar Kipas Terbang
kepada Kakek Wajah
Merah.
Si Wajah Merah melambaikan
tangannya Sedih
juga hatinya berpisah dengan muridnya yang belum
tuntas mendapat pelajaran itu.
Memang, selama ting-
gal di Bukit Rawangun Raka
Maruta telah diangkat
murid oleh Kakek Wajah Merah
untuk menerima aja-
ran ilmu ketabiban.
Begitu kapal layar merah
berlayar semakin jauh
dan pandangan, Pengemis Binal
menggaruk-garuk ke-
pala. Sesaat kemudian keluar
desahan dari mulutnya.
Tapi, apalah arti perpisahan
bagi remaja konyol ini.
Memang benar perpisahan
mendatangkan rasa sedih.
Namun haruskah rasa sedih itu
dibiarkan berlarut-
larut?
Ada perjumpaan, tentu ada
perpisahan. Ada ke-
bahagiaan, tentu ada
penderitaan. Begitulah penger-
tian yang selalu melekat dalam
diri Suropati. Karena
pengertian inilah, di mana pun
dan dalam keadaan
apa pun, Suropati tak pernah
membiarkan rasa sedih
terus mencengkeram jiwanya.
"Kita berangkat
sekarang...," ajak pendekar muda
ini kemudian kepada keempat
orang yang masih berdi-
ri tak seberapa jauh darinya.
"Ya," sahut Kakek
Wajah Merah. "Tak ada gu-
nanya kita berdiri
termangu-mangu di tempat ini...."
Tabib pandai ini melangkah
santai tanpa mem-
pedulikan Suropati, Putri Racun,
Atika maupun Sinta.
"Eh, kau mau ke mana,
Kek?" cegah Pengemis
Binal. "Tidakkah kau ikut
denganku ke Kota Kadipaten
Bumiraksa?"
Si Wajah Merah tak menjawab.
Menoleh pun ti-
dak. Langkah kakinya diperlebar
sambil sesekali me-
nyaruk butiran pasir. Melihat
sikap acuh ini, kontan
hati Pengemis Binal mendongkol.
Cepat dia menen-
dang batu karang yang berada di
depan kakinya.
Dukkk...!
Batu bergerigi sebesar kepala
orang dewasa itu
meluncur deras ke pantat Kakek
Wajah Merah. Tabib
pandai ini tak sedikit pun
memperlihatkan gerakan
untuk menghindar. Malah, dia
menekuk pinggang se-
hingga pantatnya yang tepos
menyembul ke belakang.
Bruoottt...!
Bersamaan dengan suara kentut
yang terdengar
'merdu', batu karang yang
ditendang Suropati jatuh ke
hamparan pasir. Aneh? Tidak!
Bagi si Wajah Merah
yang memiliki kepandaian tinggi,
kentut pun bisa diali-
ri tenaga dalam.
"He he he...!" Kakek
Wajah Merah tertawa terke-
keh tanpa menoleh. "Kalau
kau ada perlu denganku,
datanglah ke Bukit Rawangun,
Suro...!"
Belum sempat Pengemis Binal
menyahut, tubuh
Kakek Wajah Merah telah
berkelebat sangat cepat.
Dan, hilang dari pandangan.
"Kalian ikut aku
sekarang...," ajak Suropati ke-
mudian. Kakinya melangkah, tapi
segera terhenti kem-
bali. Putri Racun, Atika, dan
Sinta tak beranjak dari
tempatnya berdiri.
"Aku dan Sinta sudah
sepakat untuk kembali ke
kampung halaman, Suro...,"
kilah Atika.
Mata Pengemis Binal mendelik.
"Kalian juga tak
mau ikut ke Kota Kadipaten
Bumiraksa?!"
"Ya," sahut Sinta.
"Bodoh!"
"Tidak! Kalau aku ikut
denganmu, justru orang
akan mengatakan aku bodoh.
Hampir tiga tahun aku
meninggalkan kedua orangtua ku.
Sekaranglah aku
ingin pulang untuk menengok
mereka."
"Benar," timpal Atika
seraya menggamit lengan
saudara kembarnya.
Suropati hanya dapat menatap
kepergian mereka
tanpa mampu berbuat apa-apa.
Sewaktu menoleh, un-
tuk kesekian kalinya mata
Suropati mendelik. Putri
Racun pun telah berkelebat
lenyap!
***
Jalan kecil di pinggir hutan
yang tak seberapa
jauh dari Kota Kadipaten
Bumiraksa ini biasanya ra-
mai dilewati orang. Tapi, di
pagi yang cerah ini tampak
lengang. Orang-orang lebih suka
mengambil jalan me-
lingkar yang tentu saja lebih
jauh. Mereka merasa ta-
kut karena jalan yang biasa
dilalui itu telah dikuasai
oleh Empat Begundal Dari Gua
Larangan.
Ceracau burung terdengar
lamat-lamat di dalam
hutan. Satwa-satwa itu terkejut
melihat empat sosok
bayangan berkelebat. Suara gaduh
terdengar saat
keempat bayangan ini menginjak
semak-semak. Di de-
pan sebuah rumah papan mereka
berhenti.
"Hasil kita hari ini cukup
banyak, Tunggul. Un-
tuk sementara simpan saja di
tempat ini," kata lelaki
brewok yang mengenakan ikat
kepala hitam.
Orang yang dipanggil Tunggul
segera memasuki
rumah gadang. Barang yang
membebani pundaknya
ditaruh di dalam bangunan papan
itu. Tunggul kemu-
dian kembali menghadap lelaki
berikat kepala hitam.
"Pergilah ke tepi hutan!
Barangkali ada prajurit
kadipaten yang menguntit langkah
kita!" kata lelaki be-
rikat kepala hitam memberi
perintah.
"Sebaiknya Gangsar ikut
denganku. Untuk berja-
ga-jaga. Barangkali dugaanmu
tepat, Gentho..." pinta
Tunggul. Lelaki berbadan kekar
ini lalu melambaikan
tangannya. Lelaki lain yang
dipanggil Gangsar segera
mengikuti langkah kaki Tunggul.
Gentho yang merupakan pemimpin
dari teman-
temannya mengajak lelaki yang
masih berdiri di hada-
pannya untuk memasuki rumah
papan. Tapi, lelaki ini
menolak.
"Kenapa kau suruh Tunggul
ke tepi hutan? Bah-
kan kau perbolehkan dia mengajak
Gangsar. Bukan-
kah setiap jalan di pinggir
hutan ini telah dijauhi orang
semenjak Empat Begundal Dari Gua
Larangan berco-
kol di sini?" kata lelaki
itu tak senang.
"Yah, barangkali saja ada
beberapa orang prajurit
kadipaten yang punya nyali
besar. Kita harus menjaga
segala kemungkinan,
Boma...," kilah Gentho.
"Kau takut?" cibir
Boma. Gentho mendengus.
"Gunakan otakmu itu,
Goblok! Kita ini memang
perampok yang tak takut mati.
Tapi bila kita tertang-
kap prajurit kadipaten, kita
akan disiksa. Ingat itu,
Boma! Kita akan disiksa! Empat
Begundal Dari Gua
Larangan telah membuat resah
penduduk kota, Gusti
Adipati tentu murka. Kita akan
disiksa setengah mati
setengah hidup!"
Mendengar ucapan Gentho yang
berapi-api, hati
Boma jadi ciut juga. Apalagi
ketika melihat mata Gen-
tho mendelik, hilanglah seluruh
keberaniannya. Buru-
buru dia menguntit langkah kaki
Gentho yang mema-
suki rumah papan. Tapi....
Gentho dan Boma terkesiap.
Telinga mereka me-
nangkap suara gemerosokan yang
timbul dari langkah
kaki orang menginjak
semak-semak. Kedua lelaki ini
segera siap siaga untuk
menghadapi segala kemungki-
nan yang terjadi. Namun, rasa
gusar yang mendera ha-
ti lenyap seketika tatkala tahu
kalau yang datang ada-
lah Tunggul dan Gangsar.
Napas mereka terdengar memburu.
Matanya jela-
latan tak karuan. Tapi anehnya,
bibir mereka me-
nyunggingkan senyum
"Ada apa, Tunggul?!"
tanya Gentho. Suaranya
lantang terbawa keingintahuan
yang sangat.
"Di sana...," tunjuk
Tunggul, lalu mengatur jalan
nafasnya.
"Bicara yang lengkap,
Goblok!" bentak Gentho tak
sadar.
"Wanita cantik...,"
Gangsar yang bicara. Mata
Gentho mendelik. Begitu juga
dengan Boma.
"Maksudmu di sana ada
wanita cantik?" tebak
Boma mendahului Gentho yang
hendak bertanya.
"Ya," sahut Tunggul
dan Gangsar bersamaan.
Kontan Gentho tertawa bergelak.
"Ha ha ha...!
Kenapa tidak kalian seret
kemari?"
"Tanpa dipaksa pun dia mau
datang kemari as-
al...," Tunggul menggantung
ucapannya.
"Asal apa?" sahut
Gentho tak sabaran.
"Asal kita berempat yang
menjemputnya!"
"Ha ha ha...!" Gentho
tertawa bergelak lagi. Ketiga
temannya ketawa menyambung.
"Baik, kita jemput dia
sekarang...!" ajak Gentho
kemudian.
***
Di pinggir hutan di mana
terdapat sebuah jalan
kecil yang menghubungkan
Kademangan Maospati
dengan Kota Kadipaten Bumiraksa
itu tampak lengang.
Seorang gadis cantik yang
berusia dua puluh tiga ta-
hun berdiri mematung di tepi
jalan. Sikap gadis ini ter-
lihat tenang-tenang saja, walau
dia tahu daerah tem-
patnya berada kini telah
dikuasai Empat Begundal Da-
ri Gua Larangan.
Mata si gadis menatap lurus ke
dalam hutan. Se-
sekali mengerjap, membuat bola
matanya yang hitam
legam bergerak-gerak indah. Bulu
mata gadis itu len-
tik. Alisnya pun menggaris rapi
seperti ditata seorang
ahli.
Saat angin bertiup kencang,
pakaiannya yang
serba biru berkibar, lekuk liku
tubuhnya jadi terlihat
jelas. Buah dadanya montok
menantang. Pinggangnya
ramping pinggulnya cukup besar
menggairahkan.
Rambut hitamnya digelung di atas
dengan hiasan tu-
suk konde emas bermata berlian.
Bibir si gadis yang merah basah
tampak me-
nyunggingkan senyum manis
tatkala matanya me-
nangkap empat sosok lelaki
berbadan tegap berlari-lari
menghampiri. Setelah sampai di
hadapan si gadis, ter-
nyata empat sosok lelaki itu
adalah Gentho, Boma,
Tunggul, dan Gangsar.
"Hmmm.... Inikah yang
menamakan diri sebagai
Empat Begundal Dari Gua
Larangan?" ujar si gadis
sambil mengerling genit.
"Ho ho ho...!" tawa
Gentho. Matanya menjilati tu-
buh si gadis dengan liar.
"Benar apa katamu, Manis....
Kami adalah Empat Begundal Dari
Gua Larangan.
Namaku, Gentho Sastro
Wardoyo!"
"Hik hik hik...," si
gadis tertawa cekikikan.
"Agaknya kau adalah pemimpin
dari teman-temanmu.
Tapi, namamu aneh. Aku bingung,
mesti memanggil
apa?"
"Gentho. Den Mas
Gentho," sahut Gentho cepat
"Kau cantik sekali. Siapa
namamu?"
"Hmmm...."
Si gadis menggerakkan bola
matanya, lalu melen-
gos seperti jual mahal. Tapi, dia
membusungkan da-
danya. Kontan mata Empat
Begundal Dari Gua Laran-
gan melotot melihat payudara si
gadis yang menyem-
bul besar, karena belahan
bajunya tak di kancingkan.
"Si... siapa namamu?"
tanya Tunggul, sedikit ge-
lagapan akibat jalan nafasnya yang tiba-tiba terasa
buntu.
"Hmmm.... Kalian semua mau
tahu namaku?"
tanya si gadis seraya membasahi
bibirnya dengan li-
dah.
"Ya... ya...," sahut
Empat Begundal Dari Gua La-
rangan.
"Kinanti."
"Kinanti? Hmmm.... Nama
yang sangat merdu di-
dengar," ucap Gentho.
"Kinanti, kaukah yang meminta
dua temanku untuk menyuruh kami
semua menjem-
putmu?"
"Ya. Kau keberatan?"
"Tidak. Justru aku malah
senang."
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Di dalam hutan
sana kau tentu mempunyai tempat
tinggal. Aku...."
Ucapan si gadis terputus karena
disela tawa Gen-
tho.
"Ha ha ha...! Ssshhh....
Kau cantik sekali. Apa
pun yang kau minta akan
kuturuti. Termasuk mengi-
nap di tempat
tinggalku."
"Tapi, aku tak bisa
lama-lama..."
"Kenapa?" tanya Gentho
kecewa.
"Hmmm...."
Si gadis membusungkan dadanya
lagi. Lebih ke
depan. Napas Empat Begundal Dari
Gua Larangan
langsung megap-megap seperti
ikan terlalu lama di da-
rat. Pemandangan yang terpampang
di hadapan empat
lelaki berbadan kekar ini
benar-benar sangat menggai-
rahkan.
"Ssshhh...!" si gadis
mendesis dengan kelopak
mata terpejam. Kaki kanannya
diangkat. Pahanya yang
putih mulus menyeruak dari
belahan kain birunya.
Gentho yang sudah tak mampu lagi
mengendali-
kan hasrat hatinya segera
menyambar tubuh si ga-
dis....
***
Di dalam rumah papan, si gadis
didudukkan di
kursi kayu. Dengan penuh nafsu
Gentho menci-
uminya. Tapi, si gadis mengelak.
"Uh! Jangan kasar
begini!" sentak gadis cantik
itu. "Panggil ketiga
temanmu kemari!"
"Untuk apa?" tanya
Gentho sambil mengatur na-
fasnya yang memburu.
"Sudahlah.... Kalau kau
ingin sesuatu dariku,
mestinya kau turuti
permintaanku."
Buru-buru Gentho melangkah ke
pintu lalu me-
manggil ketiga temannya yang
tampak sedang me-
nunggu giliran. Begitu mendengar
panggilan itu, cepat-
cepat mereka bergegas masuk.
"Pfeif... phuih...
whuih...!"
Tak jelas apa yang hendak
diucapkan Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan. Mata
keempat lelaki ini
tampak jelalatan memandang liar
ke arah si gadis yang
tengah menengadahkan wajah
sambil menyingkap
kain bajunya. Tapi ketika Empat
Begundal Dari Gua
Larangan berjalan mendekat, si
gadis menutup kemba-
li kain bajunya.
"Kalian mesti
bersabar,..," ujar si gadis seraya
menatap penuh arti.
"Berdirilah berjajar. Akan kutun-
jukkan kepada kalian sebuah
pemandangan yang le-
bih... hmmm..."
Tanpa mengalihkan pandangan dari
si gadis,
Empat Begundal Dari Gua Larangan
segera melangkah
mundur. Mereka lalu dengan
patuhnya berdiri berjajar.
Tunggul di ujung kiri dan Gentho
di ujung kanan.
"Hmmm.... Kalian memang
lelaki-lelaki penurut.
Aku sangat suka. Hua... ha...
ha...!" si gadis tertawa
terbahak-bahak. Payudaranya yang
besar menantang
tampak terguncang-guncang.
Terhantam hasrat hati yang
semakin menggelora,
Empat Begundal Dari Gua Larangan
tak dapat berdiri
tegak lagi. Kaki mereka bergeser
dengan tubuh meng-
gigil. Mata melotot seperti mau
keluar dari rongganya.
Napas mereka pun terdengar
menderu-deru bagai ha-
bis berlari ratusan tombak
jauhnya.
Gentho tak kuasa lagi menahan
gelegak kelela-
kiannya. Dia maju selangkah.
Lalu, tubuhnya berkele-
bat menerkam si gadis yang
sedang tersenyum-
senyum.
Wuuusss...!
Serangkum angin pukulan menahan gerakan
Gentho. Lelaki brewokan ini terjajar
mundur tiga lang-
kah ke belakang. Sebelum dia
tahu apa yang sedang
terjadi, mendadak terdengar
suara bersiutan. Gentho
terkejut bagai disambar petir.
Seluruh anggota badan-
nya tidak bisa digerakkan lagi,
Kaku!
"Hua... ha... ha...!"
Tawa si gadis terdengar aneh.
Matanya mendelik
berkilat-kilat. Tiga teman
Gentho yang ditatap cuma
bisa melenguh-lenguh. Terdengar
lagi suara bersuitan.
Tubuh teman-teman Gentho pun
mendadak jadi kaku.
"Hua... ha... ha...!"
Tawa si gadis terdengar meledak-ledak. Begitu
terhenti, dia mendengus. Mata
Empat Begundal Dari
Gua Larangan terbeliak lebar.
Bukan karena rangsan-
gan nafsu, melainkan melihat
pemandangan yang begi-
tu mengejutkan.
Perlahan-lahan rambut si gadis
yang semula hi-
tam berkilau berubah jadi putih
kekuning-kuningan.
Matanya yang indah tiba-tiba
melesak ke dalam, ham-
pir-hampir tak terlihat lagi.
Pipinya berubah peot ber-
gelambir. Bibirnya jadi keriput,
sudutnya yang sebelah
kiri tertarik ke bawah. Lalu,
seluruh kulitnya yang se-
mula halus mulus jadi
berkerut-kerut kasar. Payudara
pun mengempes.
Empat Begundal Dari Gua Larangan
disergap ra-
ta takut yang sangat. Apalagi
ketika sosok nenek ber-
tampang seram di hadapan mereka
itu melangkah
mendekati. Ingin rasanya empat
lelaki berbadan tegap
ini lari sekencang-kencangnya.
Tapi apa daya, bergem-
ing saja mereka tak mampu.
"Kalian akan segera menjadi
abdi setia sang Ratu
Air," ujar nenek bertampang
seram.
"Jjjggg... uf...
iinrghiih...," suara ini keluar dari
mulut Gentho. Lidahnya yang kelu
tak bisa lagi diajak
merangkai kata kata. Bola
matanya berputar-putar
menyimpan rasa ngeri.
"Hua... ha... ha...!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak
seraya memen-
tangkan kedua tangannya ke atas.
Tubuhnya tampak
bergetar seperti terserang demam
hebat. Setelah ta-
wanya terhenti, kedua tangannya
diturunkan kembali.
Bibirnya yang mencong kini
berkomat-kamit. Wajah
seram itu tampak mengelam.
Semakin mengerikan.
Srash...!
Dari rongga mata si nenek
memancar delapan la-
rik sinar perak. Sinar-sinar itu
menyusup masuk ke
bola mata Empat Begundal Dari
Gua Larangan
"Khhhrrrggghhh...!"
Bola mata Empat Begundal Dari
Gua Larangan
berputar-putar. Bulatan hitamnya
tertarik ke atas,
hingga yang terlihat hanya
putihnya saja. Mendadak,
tubuh keempat lelaki kekar ini
bergetar hebat. Tapi,
semakin lama semakin lemah lalu
diam tak bergerak
dengan kepala tertunduk
"Hua... ha... ha.... Kalian
telah menjadi abdi setia
sang Ratu Air!" teriak si
nenek lantang. "Pergilah ke
Kota Kadipaten Bumiraksa. Bunuh
semua anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti! Bila berjumpa
dengan Suropati atau Pengemis
Binal, bunuh sekalian
Kunyuk Busuk itu!"
Empat Begundal Dari Gua Larangan
segera
membalikkan badan. Dengan
sentakan pelan mereka
dapat berkelebat sangat cepat.
Keluar dari rumah pa-
pan laksana melayang. Jelas,
kepandaian Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan telah
berlipat ganda!
***
3
Kuil Saloka adalah bangunan tua
yang terbuat
dari susunan batu. Entah berapa
ratus tahun usianya.
Yang jelas, bangunan yang semula
digunakan sebagai
tempat pemujaan ini telah rusak
berat, bahkan nyaris
hancur. Bangunan pelengkap yang
terletak di sisi be-
lakang sudah tak beratap lagi.
Di sana-sini jamur dan
lumut menyebar rata. Hanya ruang
utamanya yang
masih cukup baik. Di ruang yang
cukup besar inilah
para pengemis dan gelandangan
Kota Kadipaten Bumi-
raksa bertempat tinggal.
Lantainya disapu bersih. Bila
malam, seratus orang lebih tidur
di tempat ini.
Sang Baskara hampir tegak di
atas kepala. Kuil
Saloka tampak sepi. Sejak pagi
tadi para penghuninya
telah pergi ke pusat kota untuk
melakukan mata pen-
cahariannya sehari-hari. Di
teras kuil hanya terlihat
seorang lelaki tua dan seorang
ibu yang sedang me-
nyusui bayinya. Seperti layaknya
para pengemis, tu-
buh mereka pun kurus kering
terbungkus pakaian pe-
nuh tambalan.
Si kakek duduk terpekur sambil
menatap hampa-
ran tanah berdebu. Pandangannya
kosong, seperti te-
lah bosan mengarungi hidup yang
penuh derita. Se-
dangkan sang ibu berdiri
menimang-nimang bayinya
yang mulai terlelap. Dari mulut
wanita setengah baya
ini keluar lantunan tembang.
Setuhunipun mboten wonten Gusti
ingkang sinem-
bah
Kajawi Gusti whujut howo ingkang
maha suci
Hyang Maha Suci.
Ingkang kinarya Duto Suci,
utusan sipat kawoso
Ingih ingkang kasebat asma: sang
Puspito Kresno,
Nenggih Risang Brahmono Jawodipo
Inggih sang Panembahan Senopati
Agung ing Ma-
diyo Bawono
Ingkang minangka kinarya panutan
pandoming
kawula
Den wajibaken manuntun mring
marga pepadang
Lan kasampurnaning para kawula
darah tura sing
suci
Artinya:
Sesungguhnya tidak ada Tuhan
yang disembah
Kecuali Tuhan wujud yang maha
suci
Tuhan Maha Suci
Sebagai Duta Suci, utusan
berkuasa
Yang disebut dengan nama: sang
Puspito Kresno
Juga, Risang Brahmono Jowodipo
Juga, sang Panembahan Senopati
Agung di dunia
Yang dijadikan sebagai suri
tauladan manusia
Yang diwajibkan menuntun pada
jalan kebenaran
Dan kesempurnaan manusia
keturunan suci.
Usai tembang dilantunkan, sang
jabang bayi ter-
lelap sudah. Sang ibu melangkah
ke dalam kuil, se-
dang si lelaki tua tetap
terpekur dalam duduk diam-
nya. Kakek ini akhirnya bosan
juga. Dia bangkit lalu
menekuk pinggangnya yang
pegal-pegal. Ketika mene-
gakkan kembali tubuhnya,
tahu-tahu di depannya te-
lah berdiri empat lelaki kekar
bertambang angker. Bola
mata mereka menatap si kakek
dengan berkilat-kilat.
"Si... si...."
Kalimat si kakek tercekat di
tenggorokan. Tiba-
tiba saja seorang lelaki di
hadapannya melayangkan te-
lapak tangan. Dia mencoba
mengelak, tapi....
"Aaahhh....!"
Tubuh si kakek terpental keras
lalu membentur
dinding kuil. Kepalanya remuk
bersimbah darah! Se-
saat lelaki naas ini meregang
nyawa sebelum diam tak
bergerak lagi.
"Si... siapa kalian? Kenapa
berbuat sekejam ini?!"
kata wanita setengah baya
gelagapan.
Ibu yang baru saja menidurkan
bayinya ini terke-
jut mendengar teriakan si kakek.
Dia berlari keluar
dan menemukan tubuh temannya di
tanah dalam kea-
daan mengerikan.
"Si... siapa kalian?"
kata ibu itu sekali lagi.
Lelaki yang brewokan maju
selangkah. Setelah
keluar dengus keras dari
mulutnya, dia melayangkan
tangan kanan. Gerakannya sangat
cepat
"Aaahhh..,!"
Tanpa dapat dihindari lagi,
telapak tangan lelaki
ini menghantam kepala wanita
setengah baya. Tubuh
ibu malang ini berpusing lalu
membentur dinding kuil.
Begitu jatuh ke lantai, tak
nampak gerakan sedikit pun
darinya. Mati dengan kepala
remuk!
Lelaki brewokan lalu melangkah
memasuki kuil.
Tiga temannya mengikuti di
belakang. Sesaat mereka
menyebar pandangan. Terlihat di
pojok ruangan sang
bayi terbangun dari tidurnya.
Kedua tangan dan ka-
kinya menghentak-hentak.
Kemudian, suara tangisnya
terdengar melengking tinggi.
Empat lelaki bertampang angker
cuma menden-
gus. Mereka melangkah keluar
kuil karena tak mene-
mukan apa yang dicari. Baru saja
sampai di halaman,
sebuah bentakan menghentikan
langkah keempatnya.
"Cecurut-cecurut Busuk!
Tanpa susah-susah
mencari akhirnya tampak juga
batang hidung kalian!"
Seorang gadis cantik berpakaian
putih kuning
melangkah santai. Tubuhnya
langsing. Rambutnya
yang hitam panjang diikat dengan
sapu tangan merah.
Pandangannya yang sangat tajam
menyimpan amarah.
Mendengar bentakan gadis ini,
empat lelaki kekar
menggeram gusar. Yang brewokan
melangkah ke de-
pan.
"Siapa kau?!" sentak
lelaki itu. Suaranya terden-
gar sengau dan mengandung
getaran aneh.
"Ha ha ha...!" si
gadis tertawa lebar. "Aku Dewi
Ikata! Akulah wakil Adipati
Danubraja yang akan sege-
ra menjatuhkan hukuman mati
terhadap kalian!"
Selagi empat lelaki kekar
menggeram marah, De-
wi Ikata terkesiap. Telinganya
menangkap suara tangis
bayi dari dalam kuil. Gadis ini
menatap ke depan kuil.
Terlihat olehnya noda darah
segar menempel di dind-
ing bangunan itu. Tahulah dia
kalau di tempat ini baru
saja terjadi pembunuhan keji.
"Empat Begundal Dari Gua
Larangan memang ib-
lis-iblis laknat yang haus
darah!" geram Dewi Ikata
yang bergelar Pendekar Wanita
Gila.
Putri tunggal Adipati Danubraja
ini segera meng-
hemposkan tubuhnya. Gerakannya
ringan dan cepat.
Tubuh langsing itu melayang di
atas kepala Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan, dan
mendarat tepat di am-
bang pintu kuil. Dewi Ikata bergegas
masuk ke dalam
kuil untuk mengambil sang bayi.
Begitu berada dalam
dekapan gadis cantik itu, sang
Jabang bayi langsung
terdiam dari tangisannya.
Mungkin dia merasa aman
berada dalam dekapan Dewi Ikata.
"Keparat! Cecurut-cecurut
Kudisan!" umpat Pen-
dekar Wanita Gila setelah sampai
di teras kuil kembali.
Sosok Empat Begundal Dari Gua
Larangan sudah
tak tampak lagi. Tentu saja hal
itu membuat Dewi Ika-
ta kesal. Sudah beberapa hari
ini dia mendengar kega-
nasan Empat Begundal Dari Gua
Larangan yang suka
merampas harta penduduk kota.
Maka setelah tahu
buruannya lenyap, Dewi Ikata pun
marah bukan main.
Tapi begitu dilihatnya wajah
sang bayi cukup
montok dan lucu, Dewi Ikata lupa
pada kemarahan-
nya. Gadis ini tertawa terkekeh
sambil menimang-
nimang bayi dalam bopongannya.
Sang bayi pun tam-
paknya senang-senang saja.
Bibirnya yang mungil me-
nyunggingkan senyum.
"He he he.... Kau tampan
sekali, Sayang...," ujar
Pendekar Wanita Gila.
"Namamu siapa? Mau nggak
ikut ke Pendapa Kadipaten? Tentu
mau, ya? Heh, apa?
Nggak mau? Oo... mau sama ibumu?
Aduh, Sayang....
Ibumu sudah meninggal. Ikut Ika
saja, ya?"
Rupanya kegilaan Dewi Ikata
sedang kambuh.
Dia terus bicara sendiri dan
sesekali tertawa terkekeh.
Mata sang bayi pun
berbinar-binar senang.
Tanpa disadari Pendekar Wanita
Gila, di halaman
kuil telah berdiri seorang
remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan. Remaja ini
memandang tingkah
laku Dewi Ikata dengan kening
berkerut. Alisnya yang
tebal ikut bertaut.
"Dewi Ikata punya
anak?" gumam remaja tampan
itu. "Ah, masa'? Punya
suami saja belum! Tapi, ba-
rangkali ia punya anak namun tak
punya suami. Ah,
mana bisa? Bisa saja!"
Tiba-tiba remaja ini menampar
kepalanya sendiri. "Bodoh! Aku
tahu siapa Dewi Ikata.
Luar dalam. Sedalam-dalamnya.
"Ikkkaaa...!" teriaknya
lantang.
Tentu saja Pendekar Wanita Gila
terkejut. Dia
tengah asyik dengan bayi dalam
dekapannya. Namun
begitu tahu siapa yang
memanggil, senyum manis
mengembang di bibirnya.
"Surrrooo...!" teriak
Dewi Ikata seraya berhambur
ke arah si remaja tampan yang
memang Suropati atau
Pengemis Binal. Dewi Ikata yang
sedang kambuh kegi-
laannya lupa kalau dia tengah
membopong bayi. Ke-
dua tangannya yang terjulur ke
depan membuat tubuh
mungil sang bayi terlontar.
Suropati yang melihat kejadian
ini segera men-
gambil tindakan. Secepat kilat
tubuhnya meluncur.
Dukkk!
"Aduh...!"
Kepala remaja konyol ini
terantuk batu kuil dan
jatuh dalam keadaan tengkurap.
Tapi, tindakan sangat
cepat namun tanpa perhitungan
ini membuahkan ha-
sil. Tubuh mungil sang bayi
jatuh di punggung Penge-
mis Binal. Lengket seperti
diberi perekat!
"Oeee...!"
Sang bayi menjerit keras. Bukan
jerit tangis ka-
rena terkejut, melainkan jerit
karena merasa senang.
Pendekar Wanita Gila yang
menyadari kesala-
hannya segera meraih sang bayi
Ditimang-timangnya
bayi mungil itu. Sementara
Suropati yang masih
menggelosor ditanah meraba-raba
kepalanya yang ben-
jol. Saat itulah dia mencium bau
anyir darah. Bergegas
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini
meloncat bangkit. Matanya
terbelalak melihat dua
anggota perkumpulannya mati
dengan keadaan men-
genaskan.
"Biadab...!" geram
Suropati.
Lupa sudah remaja konyol ini
kepada keberadaan
Dewi Ikata. Satu persatu
dibawanya mayat dua anggo-
ta perkumpulannya ke halaman
belakang kuil. Lalu,
digalinya tanah untuk dijadikan
makam.
"Suro...," panggil
Dewi Ikata setelah Pengemis Bi-
nal menguburkan dua mayat itu.
Remaja konyol ini
duduk terpekur di bawah pohon
trembesi.
Melihat kehadiran Pendekar
Wanita Gila yang
masih menimang-nimang sang bayi,
Suropati menatap
hambar.
"Aku tidak akan menuduhmu
melakukan perbua-
tan kejam ini. Tapi, kenapa kau
membiarkan dua
orang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
dibantai?" sentak Pengemis
Binal.
"Maaf, Suro.... Aku datang
terlambat," kilah Dewi
Ikata seraya menghentikan
gerakan tangannya. Sang
bayi tampak terlelap dalam
tidurnya.
"Kau tahu siapa biang
keladi pembunuh ini?"
"Empat Begundal Dari Gua
Larangan."
Pengemis Binal bangkit dari
duduknya. Tanpa
berkata apa-apa lagi Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini menjejak
tanah. Tubuhnya berkele-
bat lenyap.
"Surrrooo...!"
Panggilan Dewi Ikata hanya
disambar angin yang
berhembus kencang. Untung sang
bayi yang tidur da-
lam dekapannya tidak terbangun.
Hanya, kedua tan-
gan sang bayi menggeliat
kecil.
"Suro..,," desis
Pendekar Wanita Gila. "Tampak-
nya kau sudah tak suka lagi
padaku. Mungkin sekali
kau jadi membenciku. Tapi,
Suro.... Seharusnya kau
bisa mengerti. Aku pun tidak
mengharapkan peristiwa
ini terjadi."
Butiran mutiara bening bergulir
dari sudut mata
Dewi Ikata. Semakin lama semakin
deras. Tangisnya
terdengar terisak-isak. Agaknya,
jiwa putri tunggal
Adipati Danubraja ini terpukul
melihat sikap Suropati
yang seperti menimpakan
kesalahan kepadanya.
Berulang kali Dewi Ikata
menyebut nyebut nama
Pengemis Binal. Mendadak,
melintas di matanya masa-
masa indah yang pernah
dilewatinya bersama remaja
tampan itu. Masa-masa indah di
mana mereka saling
memadu kasih. Saat itu penuh
canda.
Begitu membahagiakan!
"Oh, Suro...," desis
Dewi Ikata untuk kesekian
kalinya.
Gadis cantik jelita ini lalu
melangkah gontai me-
ninggalkan Kuil Saloka.
Ditatapnya wajah sang bayi
yang masih tertidur lelap dalam
dekapan. Sekejap di-
ciumnya kening sang bayi. Air
matanya telah berhenti
mengalir.
"Kau tampan
sekali...," kata Dewi Ikata sambil
mengelus bibir sang bayi.
"Kau jangan bersedih, ya?
Relakan ibumu pergi. Tak perlu
disesali. Sekarang dia
telah berada di tempat yang
paling membahagiakan di
sisi Tuhan. Aku akan membawamu
ke Pendapa Kadi-
paten. Ibunda Rara Anggi tentu
akan senang melihat-
mu. Ibunda Rara Anggi sangat
baik. Kau akan baha-
gia...."
Dewi Ikata terus melangkah
dengan membawa
perasaan sedih.
***
Emoticon