Pendekar Pulau Neraka - Selir Raja(2)

"Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan kerajaan ini runtuh...," kata Eyang Wanari saat dalam perjalanan kembali setelah menengok salah seorang panglima yang tewas dengan cara mengerikan. Dan panglima itu baru kemarin bicara pada laki-laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya bagian kepala saja yang kelihatan masih utuh. Sama seperti korban-korban lainnya, yang mencoba mencari tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-benar menyelimuti Kerajaan Balungan.

"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang semua ini...," gumam Eyang Wanari bicara sendiri.

"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"

"Heh...?!"

Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema mengejutkan. Laki-laki tua pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara itu jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun memang kelihatan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.

"Hm..., siapa kau?" terdengar dalam nada suara Eyang Wanari.

"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak ingin kau ikut jadi korban, Eyang Wanari," kembali terdengar suara tanpa ujud.

Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga tajam, memandang sekitarnya. Jelas, itu suara seorang wanita. Dan nampaknya, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa menggema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari segera meningkatkan kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang mengeluarkan. suara itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa diketahui dari mana asalnya.

"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wanari. Dan Jangan sekali-kali ikut campur masalah ini," terdengar lagi suara keras menggema.

Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.

"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di mana aku berada, Eyang Wanari? Atau memang kau sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa melihatku...?"

Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki tua itu terkejut bukan main. Karena, tahu-tahu tidak jauh darinya sudah berdiri seseorang mengenakan baju serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua pertapa ini terbeliak, karena wajah orang itu menghitam hangus seperti baru saja terbakar. Di dalam hati, Eyang Wanari mengagumi kepandaian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui. Dan ini sudah memberi satu peringatan padanya untuk tetap berwaspada penuh.

"Nisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu mengacau Kerajaan Balungan?" tanya Eyang Wanari, agak perlahan suaranya.

"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari?? Kau sudah tahu, siapa aku, dan apa tujuanku berbuat begini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada suaranya.

"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari ingin meyakinkan.

"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih tahu, siapa aku sebenarnya, Eyang Wanari," sahut wanita itu tetap sinis.

"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin bisa mengenalimu. Hm.... Siapa kau sebenarnya, Nisanak?"

"Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh...?!"

Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita berwajah hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya, sampai-sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Seketika kedua bola matanya terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kau...?"
"Ha ha ha...!"

Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu tertawa terbahak-bahak Sedangkan Eyang Wanari seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia hanya dapat terpaku. Matanya terbeliak, dan mulutnya terbuka lebar. Tawa wanita berwajah hitam itu semakin keras dan panjang.
***
LIMA
"Ha ha ha....'"

Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu tidak akan pernah melupakan benda berbentuk keris kecil berwarna keemasan yang berada dalam gengga-man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai ajal datang pun, tidak akan mungkin bisa terlupakan

"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.

"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wanari. Maka sebaiknya kembali saja ke pertapaan dan jangan campuri urusanku!" dingin sekali nada suara wanita berwajah hitam itu.

"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Legok?" masih terbata suara Eyang Wanari.

Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hitam yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya adalah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia dulunya adalah seorang penari berwajah cantik, dan bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang memandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja untuk menatapnya. 

Dan semua lelaki pasti berangan-angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok juga membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Terlebih lagi wanita yang sudah mempunyai suami. Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau dirinya menjadi pusat perhatian banyak laki-laki, maka Nyai Legok memanfaatkannya.

Akibatnya tidak sedikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bahkan kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati Prabu Wijaya. Nyai Legok tak mampu berkutik, ketika Prabu Wijaya memintanya agar menari di istana. Bahkan selama tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi selir Prabu Wijaya. 

Namun entah kenapa, diam-diam perempuan itu selalu membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pangeran, dan pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-gila pada wanita ini. Akibatnya anak dan istri mereka telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli kalau Nyi Legok adalah selir Prabu Wijaya.

Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya, ternyata tercium juga oleh Prabu Wijaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah ketika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan salah seorang putra pembesar yang masih belia usianya. Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan lagi. Dengan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam dada wanita itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai di situ saja. Prabu Wijaya juga membakar Nyi Legok lalu membuangnya ke sungai deras.

"Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada di depannya adalah Nyai Legok. Dulu Legok begitu cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu mengerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mungkin dia Nyai Legok, dan sekarang membalas dendam atas perbuatan Prabu Wijaya? Pertanyaan ini masih menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.
***

"Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini Nyai Legok," ujar Eyang Wanari.

"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku, Eyang Wanari!" dengus wanita berwajah hitam itu.

"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu malah hendak membunuh anaknya sendiri."

"Membunuh anak sendiri... ? Apa maksudmu, Nyai Legok?"

"Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak perlu mencampuri urusan dunia. Kembali saja ke pertapaanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.

"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, " Eyang Wanari tersinggung.

"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya tidak ingin berlaku kasar padamu."

"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.

Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok dalam-dalam. Meskipun sudah menyebut perempuan berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun dihatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai Legok. Karena dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wijaya menikamkan keris kecil berwarna emas ke dada wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi Legok dihanyutkan ke sungai yang berair deras. Rasanya memang tidak mungkin kalau seseorang yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke dalam sungai, masih bisa hidup.

"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah ke pertapaan, dan jangan mencampuri urusan ini," kembali Nyai Legok memberi peringatan.

"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah membunuh muridku, dan mengadilinya di depan sidang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.

"Itu berarti kau harus berhadapan denganku, Eyang Wanari."

Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser kakinya ke kanan tiga langkah. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna kuning keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.

"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Legok dingin.

"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil saja. "Bersiaplah. Kita tentukan, siapa yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini.

Hiyaaat..!"

Nyai Legok langsung melompat memberi serangan cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang sudah bersiap sejak tadi, segera mengegoskan tubuhnya sedikit untuk menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan perempuan berwajah hitam itu. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Dan mereka langsung melakukan pertarungan tingkat tinggi. Jurus-jurus yang digunakan begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda ada bakal yang terdesak. Dan Eyang Wanari sendiri tidak sempat untuk bermain-main. Disadari betul kalau lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Diakui, sukar baginya untuk mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan berwajah hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka melakukan pertempuran.

"Uts!"

Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus dada laki-laki tua pertapa itu. Untung saja Eyang Wanari segera berkelit dengan menarik tubuhnya ke samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya, satu tendangan menggeledek menyamping telah cepat dilepaskan Nyai Legok.

"Yeaaah...!"
"Heh!"

Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Namun tanpa diduga sama sekali, Nyai Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin terkejut. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari tendangan itu. Sehingga....

Buk!
"Akh...!"

Eyang Wanari menjerit keras tertahan. Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok telak menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak lagi, tubuh tua berjubah putih itu terpental deras ke belakang. Tendangan yang dilancarkan Nyai Legok memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Bruk!

Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam tanah. Dua kali laki-laki tua pertapa itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya mengeluarkan gumpalan darah kehitaman.

"Hiyaaa...!"

Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat memberi serangan. Sementara Eyang Wanari belum mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa sesak, dan jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat tendangan yang mendarat telak di dadanya.

"Modar...!"
Des!
"Akh...!"

kembali Eyang Wanari menjerit keras. Satu pukulan yang dilepaskan Nyai Legok dapat lagi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berkelit. Namun gerakannya memang sudah lamban, akibat pernafasannya belum sempurna. Seketika, tubuh laki-laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke belakang, sekitar lima batang tombak. Di saat Eyang Wanari tengah bergulingan di tanah, Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghunus keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan kanan. Memang tidak ada lagi kesempatan menghindar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali Legok, membuatnya benar-benar tidak berdaya lagi.

"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"

Namun begitu ujung keris hampir saja menghunjam dada Eyang Wanari, mendadak saja....

Slap!
Plak!
"Ah...!"
***

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menjegal maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu terpental balik sambil memekik keras. Namun keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai, dengan berputaran beberapa kali di udara. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Pada saat itu, dari balik sebuah pohon yang cukup besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang Wanari.

"Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda itu seraya membantu Eyang Wanari duduk.

"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari gembira melihat Raden Prayoga membantunya duduk.

Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu berpaling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian perhatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwajah hitam di depannya.

"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.

"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.

Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Bibirnya kemudian mengembang, membentuk senyuman. Namun sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntahkan darah kental agak kehitaman. Raden Prayoga terkejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dicegah laki-laki tua pertapa ini.

"Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."

"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat yang lebih teduh lagi."

"Baiklah. Bantu aku berdiri."

Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wanari pindah dari tempat itu, Bayu melangkah hendak kedepan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh keadaan dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.

"Heh! Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku!" bentak Nyai Legok geram.

"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada orang menganiaya orang yang sudah tua," sahut Bayu kalem.

"Apa pedulimu, heh?!" bentak Nyai Legok makin geram.

"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya kau menganiaya orang tua, Nisanak," tetap kalem suara Bayu.

"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok menggeram.

Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga yang kini berada di tempat yang cukup aman bersama Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyuman menyeringai.

"Apakah kau salah seorang jawara dari istana terdengar sinis nada suara Nyai Legok.

"Bukan," sahut Bayu.

"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau adalah seorang jawara yang mengawalnya. Bagus....

Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan sekalian keturunan tidak syah Prabu Wijaya. Dan kau....berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuatmu jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.

"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara istana? Aku tidak ada hubungan dengan orang orang istana manapun juga."

"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau masih melindungi orang tua itu dan Raden Prayoga, maka kau harus berhadapan denganku!"

"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka melirik Raden Prayoga. Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih itu ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mengenalnya. Dan lagi, Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan tentang dirinya yang sebenarnya.

"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai Legok. Sehabis berkata demikian, Nyai Legok langsung melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, mencoba menghadang arus wanita serba hitam itu.

"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"

Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tubuh ke belakang dan berputaran dua kali, terjangan Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwajah hitam itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Keparat! Rupanya kau ingin lebih dahulu ke neraka, heh!" bentak Nyai Legok.

"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.

"Hih!" Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan yang berada di dalam genggaman, di depan dadanya. Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk mata Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki perempuan berwajah hitam itu.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat cepat bagai kilat dengan keris terhunus ke depan. Bayu segera menarik kakinya ke belakang. Lalu, cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan wanita berwajah hitam itu. Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu secepat itu pula tangannya dihentakkan, langsung menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok. cepat bergerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka itu ditangkis dengan tangan kiri, sementara hunjaman kerisnya tidak bisa mengenai sasaran.

Plak!

Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi, beradu keras di udara. Saat itu terdengar pekikan keras agak tertahan. Kemudian, mereka sama-sama memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun manis sekali. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak tanah. Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu pukulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok cepat berkelit, memiringkan tubuhnya. Begitu pukulan Bayu lewat, segera diberikannya serangan balasan. Kerisnya langsung dihunjamkan ke arah perut,

"Uts! Yeaaah...!"

Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari tusukan keris kecil keemasan itu. Namun Nyai Legok terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau Bayu harus berjumpalitan, berputaran ke belakang menghindari hunjaman keris yang datang secara beruntun.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat melesat ke udara. Dan secepat itu pula dilontarkan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Namun tendangan Pendekar Pulau Neraka dapat dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh kekanan. Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian mendarat manis dan ringan sekali, sekitar satu tombak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam itu. Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah kembali melompat menyerang.

"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!?
***
ENAM
Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan Nyai Legok lewat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tubuh ke samping, lalu tangannya bergerak cepat menyodok ke dada wanita berwajah hitam itu. Sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Nyai Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghindari. Namun sebelum melakukan tindakan, sodokan tangan Bayu sudah mendarat telak sekali di dadanya.

Des!
"Akh...!"

Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terkena sodokan. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam, sehingga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka hitam itu.

"Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.

Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali dia mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang berada di tempat aman.

"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah keparat?!"

Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera berbalik, lalu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya sehingga dalam sekejapan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.

"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu setelah dekat.

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang Wanari seraya berdiri dibantu Raden Prayoga.

Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu Eyang Wanari bangkit berdiri. Sedangkan yang dilirik seperti tidak mengetahui. Perhatian Bayu kembali tertuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah kepayahan. Tampak ada bulatan hitam di dada Eyang Wanari.

"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.

"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut Eyang Wanari seraya melihat noda hitam di dadanya.

"Maaf...."

Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kembali ditatapnya Eyang Wanari, lalu menarik napas panjang. Dia tahu kalau noda hitam di dada laki-laki tua itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan mengandung racun. Tapi rupanya Eyang Wanari sudah mencegahnya dengan menotok beberapa titik jalan darah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan racun itu memang tidak membahayakan. Hanya dengan semadi sebentar, lalu menyayat kulit dadanya sedikit, racun itu bisa keluar.

"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam, Ki," kata Bayu memperingatkan.

Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip dihatinya mendengar peringatan anak muda yang belum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu beracun, hanya dengan meraba saja. Rasa kagum Eyang Wanari terlihat jelas dari sinar matanya tatkala memandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, siapa namamu tadi...?" ujar Eyang Wanari diiringi senyuman.

"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.

Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka, kemudian berbalik dan melangkah menuju kesebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari sudah menolaknya. Terpaksa pemuda itu hanya memandanginya saja.

"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden? Kenapa harus menutupi kenyataan...?" Bayu langsung menegur Raden Prayoga.

"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak bisa begitu saja mengatakan sesuatu yang benar," sahut Raden Prayoga.

Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden Prayoga begitu tepat. Memang tidak mungkin Raden Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan memang perlu, dan Bayu menyadari betul itu.

"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan denganmu. Apalagi untuk tahu tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku ceritakan saja. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, mudah-mudahan, aku dapat membantu menyelesaikannya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang.

"Aku memang memerlukan bantuan seseorang berkepandaian tinggi, Bayu. Kau sudah mengalami sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan Eyang Wanari sendiri tidak dapat mengatasinya," jelas Raden Prayoga.

Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan semadi di bawah pohon yang cukup rindang. Tampak di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental kehitaman. Rupanya Eyang Wanari sudah menyayat kulit yang bernoda hitam untuk mengeluarkan darah yang mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu sebelumnya.

"Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku percaya kau memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi perempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.

Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden Prayoga yang berjalan perlahan mencari tempat tenang dan nyaman untuk menceritakan semua peristiwa dikerajaannya.
***

Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan semua yang terjadi di kerajaannya, Eyang Wanari juga selesai bersemadi. Laki-laki tua itu menghampiri kedua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan Bayu pada Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden Prayoga menyebutkan julukan Bayu, Eyang Wanari jadi berkerut keningnya.

"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat Eyang Wanari mengamati Bayu begitu dalam.

"Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Tidak kusangka, ternyata orangnya masih muda dan gagah," ungkap Eyang Wanari.

"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebihan," ucap Bayu merendah.

Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Di situ, menempel sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat keperakan. Bayu agak risih juga dipandangi demikian, tapi mendiamkan saja.

"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.

"Benar," sahut Bayu jadi heran.

"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya Eyang Wanari lagi.

Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan tidak langsung menjawab. Tatapan matanya berubah lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada orang yang mengenal gurunya. Karena, dia sendiri juga mengembara untuk mencari orang-orang yang telah membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka yang gersang dan angker. Di samping itu, dia juga tetap berusaha mencari kabar tentang ibunya yang katanya masih hidup dan entah ada mana.

"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang tangguh. Dia juga menggunakan senjata seperti milikmu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang Wanari mengenang.

"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya Bayu.

"Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Cakra Maut. Tapi aku tidak pernah mencampuri urusannya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan hidup kami memang berbeda, tapi tetap bersahabat dan saling menghormati. Yaaah.... Aku sendiri menyesalkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya," kembali Eyang Wanari mengenang.

Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap mengandung kecurigaan. Hatinya belum yakin kalau Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun, sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak menampakkan kecurigaannya terhadap laki-laki tua ini. Bahkan berharap kalau Eyang Wanari bukan salah seorang da-ri mereka yang membuat Eyang Gardika jadi cacat seumur hidup, dan harus menderita di Pulau Neraka.

"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana...?" selak Raden Prayoga, mencoba mengusir kekakuan yang terjadi.

"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana, Bayu? Kau bersedia ikut ke istana? Nanti kita bisa bicara banyak di sana," sambut Eyang Wanari.

"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.

Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa mengangkat bahu untuk menyetujui permintaan ini. Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, mereka kemudian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Istana Balungan.
***

Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi. Namun Pendekar Pulau Neraka sempat mendapat suatu kesan janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang sukar dikatakan, karena perempuan setengah baya itu seperti tidak menyukai kehadirannya di lingkungan istana ini. 

Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidaksenangan Permaisuri Retna Nawangsih, tapi Eyang Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap Permaisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga berubah. Sempat juga Permaisuri Retna Nawangsih menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu dekat dengan Bayu. Malah laki-laki tua diminta untuk melarang Raden Prayoga banyak bicara dengan Pendekar Pulau Neraka.

Hal ini membuat Eyang Wanari jadi tidak mengerti. Dan dia berpendapat, hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara pada Raden Prayoga. Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya adalah murid Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari. Bayu membuka rahasia setelah merasa yakin kalau Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gurunya menderita cacat seumur hidup. Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kerajaan Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan pintu kamar yang disediakan untuk Bayu menginap diIstana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu diketuk perlahan, seakan-akan takut ada orang lain yang mengetahuinya.

"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.

"Aku," sahut Eyang Wanari.

Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah tampan dari baliknya. Begitu mengetahui siapa yang berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari bergegas masuk, lalu menutup kembali pintu kamar itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka lebar, dan melongok keluar. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut.

"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat tingkah laki-laki tua pertapa yang demikian aneh.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang tahu aku berada di sini," sahut Eyang Wanari seraya menghempaskan dirinya di kursi.

"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di tepi pembaringan.

"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai seorang pun di dalam istana ini."

Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, mengapa Eyang Wanari begitu khawatir. Laki-laki tua pertapa itu sudah mengatakan kecurigaannya pada Pendekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Balungan didalangi Permaisuri Retna Nawangsih. Bagi Bayu sendiri, kecurigaan itu memang beralasan. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan riwayat Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi seorang permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya memerintah kerajaan ini.

"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan denganku, Eyang?" tanya Bayu setelah melihat raut wajah Eyang Wanari mulai agak tenang.

"Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.

"Masalahnya...?"

"Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatanmu sendiri. Bahkan bukannya tidak mungkin, keberadaanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseorang," pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawatir kalau ada orang lain yang mendengar.

"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku?" tebak Bayu langsung.

"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi perasaanku mengatakan begitu," kata Eyang Wanari.

"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang. Atau mungkin itu merupakan suatu petunjuk yang nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas Bayu kalem.

"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak mengerti.

Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum saja. Segera Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia berdiri memandang ke luar, menikmati udara senja ini dan menikmati harumnya bunga-bunga yang bermekaran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.

"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan seseorang, merupakan satu petunjuk berarti yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak beralasan bila Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku. Kalau dia merasa kehilangan atas kematian suaminya, tentu sangat berharap dapat menemukan pembunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Bahkan seperti melupakan begitu saja, dan terus mendesak Raden Prayoga naik tahta," Bayu mencoba menjelaskan pengamatannya.

"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Bayu," puji Eyang Wanari, tulus.

"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpikir ke sana," Bayu merendah.

"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu, Bayu," pinta Eyang Wanari. Dia tahu kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ingin dipuji.

"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada seorang pun pembesar istana yang terlibat. Dan peristiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan Kerajaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah balas dendam," lanjut Bayu.

"Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.

Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatannya selama dua hari berada di Istana Balungan ini. Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perhatian. Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam. Pembicaraan itu berkisar dari peristiwa yang terjadi di istana ini. Bahkan Eyang Wanari secara gamblang membuka semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah kutukan yang datang dari para Dewata terhadap Prabu Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri Retna Nawangsih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar keterangan selama di Kerajaan Balungan. Dan ini membuat mereka menemukan suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan.
***
TUJUH
Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam kamar Pendekar Pulau Neraka. Walaupun laki-laki tua pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya, tapi Bayu belum begitu yakin akan hal ini. Masih sulit dipercaya kalau Prabu Wijaya melakukan persekutuan dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena tidak mendapatkan keturunan. 

Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wanari baru keluar dari kamar itu. Bayu mengantarkannya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu sempat memberi pesan agar Pendekar Pulau Neraka berhati-hati. Dan Bayu menanggapinya dengan senyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju kamarnya sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu kamarnya, dia tidak jadi membuka pintu.

"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang Wanari. Kembali kakinya melangkah, tidak jadi masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk istirahatnya. Laki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang bangunan istana. Dia terus berjalan sambil menikmati udara segar di pagi buta ini. Suara kokok ayam jantan semakin ramai terdengar, ditambah kicauan burung yang merdu, menyambut datangnya pagi.

"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa tegang. Udara bersih, kicauan burung, membuat jernih pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara sendiri.

"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wanari...."

"Heh...?!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba tiba saja terdengar suara dari belakang.

Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Eyang Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak menghindar. Hingga....

Begkh!
"Akh...!"

Eyang Wanari terpekik. Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental deras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam sebongkah batu sebesar perut kerbau. Namun dia cepat melompat bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi terasa sesak, sukar untuk bernapas. 

Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hitam berkelebat cepat menyambarnya. Eyang Wanari bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan hitam itu. Kemudian dia cepat melompat bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu menyerang kembali.

"Hap!"

Eyang Wanari segera bersikap menyambut serangan lawan. Namun orang berbaju hitam itu malah berdiri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi. Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa itu, seakan-akan tidak ingin wajahnya dikenali.

"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau terlalu keras kepala. Terpaksa aku harus membunuh-mu!" terdengar dingin suara orang itu.

Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah mengetahui kalau orang itu adalah wanita. Dan sebelum bisa memastikan siapa yang berdiri di atas dahan pohon, mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melentingkan tubuhnya. Dia berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah laki-laki tua pertapa itu.

"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara. Dan secara bersamaan, mereka menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan beradu keras di udara, hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.

Glarrr...!

Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, lalu berputaran di udara sebelum mendarat kembali ditanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang. Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat manis di tanah. Dan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya kembali melompat menerjang laki-laki tua pertapa itu.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut sebilah pedang dari balik lipatan baju, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah leher Eyang Wanari. Namun laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan menarik kepala ke belakang. Maka tebasan pedang keperakan yang tipis dan pendek itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya.

"Hup!"

Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali sebelum mendarat kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, orang berbaju serba hitam itu sudah kembali menyerang. Bahkan kini di kedua tangannya tergenggam sepasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal. Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat luar biasa, membuat Eyang Wanari agak kewalahan menghadapinya. 

Namun berkat pengalamannya bertarung dalam rimba persilatan, ditambah lagi tingkat kepandaiannya yang tinggi, laki-laki tua itu masih mampu meredam setiap serangan yang datang mengancam nyawanya. Hingga suatu ketika, Eyang Wanari melentingkan tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua itu bergerak cepat menjambret kain yang menutupi kepala orang itu.

Bret!
"Auw...!"

Orang berbaju hitam itu terpekik kaget. Cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang tiga kali. Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di tangan Eyang Wanari. Kini wajah orang itu dapat jelas terlihat. Eyang Wanari terperanjat begitu dapat melihat muka orang itu.

"Heh...! Kau...?"

Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja wanita berbaju hitam itu sudah melontarkan satu pedangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah terpana, tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Bles!
"Aaakh...!"

Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus kerempeng tertutup jubah putih panjang. Eyang Wanari menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang itu menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya mencuat sampai ke punggung. Dan sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang terjadi, wanita berbaju hitam itu sudah melompat cepat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetarkan jantung.

"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!

Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang lagi dibabatkan ke leher laki-laki tua pertapa itu. Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya sebentar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-ju hitam itu mencabut pedang yang tertanam dalam di dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke tanah. Kepalanya terpisah dari leher. Darah seketika menyembur deras sekali dari leher yang terpenggal buntung.

"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku, Eyang Wanari," desis wanita itu dingin.

Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang, kemudian disimpannya kembali di balik lipatan baju. Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar langkah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju kearahnya. Tampak sekitar dua puluh prajurit berlarian mengikuti Raden Prayoga menuju ke tempat ini.

"Hup!"

Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tubuh, meninggalkan mayat Eyang Wanari yang terbujur tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher. Bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu, Raden Prayoga dan prajurit-prajurit yang mengikuti tiba. Mereka terkejut begitu melihat tubuh Eyang Wanari terbujur kaku tak berkepala lagi.

"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.
***

Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Balungan, seseorang berpakaian serba hitam berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua kakinya tidak menjejak tanah sama sekali. Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada di sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikitpun kecepatan larinya tidak dikurangi, meskipun sudah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan gelap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan diri, meskipun kokok ayam jantan dan kicauan burung sudah sejak tadi memanggilnya.

Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayunan kakinya berhenti. Sebentar kepalanya menoleh kebelakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Kakinya kembali terayun beberapa tindak, mendekati semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu. Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada dibalik semak belukar kering. Bergegas dimasukinya gua itu.

"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam gua.

"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.

Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar. Seonggok api unggun terlihat menyala di bagian tengah, membuat gua ini terasa hangat dan terang. Tampak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang juga mengenakan pakaian hitam. Seluruh kulit tangan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti bekas terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti bisul di wajahnya. Dan di sudut lain, tampak seorang gadis tengah berbaring dengan tangan terikat merentang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan sutra halus berwarna biru muda.

"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas menghampiri orang berbaju hitam yang baru saja datang.

"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam itu seraya. melirik gadis yang terbaring dengan tangan terikat.

"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan," sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu memandang gadis berwajah buruk.

"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku tetap begini," sahut wanita itu yang ternyata adalah Nini Anjar.

"Maaf, kau harus menanggung semuanya."

"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri. Semua ini aku lakukan demi membalas budi Gusti Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah menyelamatkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hukuman buang"

"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang ayahmu yang menjalankan hukuman buang.

"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikirkannya lagi."

Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang Permaisuri Retna Nawangsih, kembali mengalihkan pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemuda ini tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sebenarnya, Nini Anjar memang orang suruhan Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan niat permaisuri itu, wanita berwajah buruk itu diharuskan menyebarkan kutukan kepada seluruh rakyat. Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wijaya. Namun, di luar dugaan Nini Anjar bisa bebas, walaupun juga menderita luka bakar.

"Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajahmu mirip sekali dengan Prayoga. Dan dengan sedikit perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisuri Retna Nawangsih.

Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya tersenyum saja. Dia memang mirip sekali dengan Raden Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Raden Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Widura sama sekali tidak mempunyai. Dan kalau dia memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.

"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya Widura.

"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan menggantikannya. Dan untuk selamanya kau akan menjadi raja di Balungan."

"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu...?'

"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura? Prayoga bukanlah anakku. Waktu aku mengandung dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari saja. Mungkin karena kehendak Yang Maha Kuasa, wajahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."

"Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini. Juga kenapa aku diasingkan. Bahkan Ibu mengangkat Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta penjelasan.

"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya, Anakku. Seperti juga Prayoga yang lahir dari selir. Dia juga bukan putra Prabu Wijaya. Kau tahu, Anakku. Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia mendapat kutukan dari Dewata, karena telah membunuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup, dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya, kenapa aku mau melakukan penyelewengan hingga kau lahir."

"Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"

"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman setelah berjanji tidak akan berbuat lagi. Maka aku terpaksa membunuh ayah kandungmu yang sebenarnya. Dia adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini kulakukan demi kau. Agar kau bisa menjadi Raja Balungan. Sebab untuk menghindari hal hal yang tak diinginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra mahkota. Di lain hal, Prabu Wijaya memang sudah tidak kuat lagi menanggung malu karena tidak memiliki keturunan. 

Bahkan dia juga tidak melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Itu pula sebabnya, kenapa selir-selirnya selalu melakukan penyelewengan. Tapi mereka yang merasa hamil, langsung bunuh diri sebelum dihukum mati Prabu Wijaya. Hanya satu yang bisa hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiarkan selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya aku harus mengasingkan mu. Karena anak selir itu, harus menggantikan mu sebagai anakku."

"Lalu, gadis itu...?"

"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada lagi seorang selir yang hamil. Aku meminta pada Prabu Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu. Kemudian aku berpura-pura mengandung hingga selir itu melahirkan"

"Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"

"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau Prabu Wijaya bisa memiliki keturunan. Apalagi semua pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata. Dengan cara begini, keraguan semua orang jadi terhapus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Wijaya padaku, dia memperbolehkan aku merawat dan mengangkat Prayoga serta Dian Lestari sebagai anak. Tanpa seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Eyang Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini pada siapa pun juga. Dan jika rahasia ini diceritakan pada orang lain, maka dia dan orang itu harus mati."

"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau Neraka, Gusti Permaisuri," selak Nini Anjar.

"Hm, dari mana kau tahu?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa ke luar. Dan aku juga pernah bertemu pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan Eyang Wanari."

"Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"

"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena kudengar mereka mulai mencurigaimu. Terutama sekali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini kulakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak berhutang budi padamu. Bukan saja kau menyelamatkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga merawat dan membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya membunuh ibuku dan menghanyutkannya ke sungai. Aku pun rela menanggung derita setelah menyebarkan kutukan itu pada rakyat"

"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu lagi. Biarkan Nyai Legok, ibumu itu tenang. Dan setelah ini, jika kau mau, kau bisa mencari ayahmu."

"Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi bertemu ayahku."

"Kenapa? Karena sekarang wajahmu rusak?"

Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja. Memang setelah Prabu Wijaya menjatuhi hukuman bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi bertemu ayahnya kembali, yang kini berada di mana. Apalagi tubuhnya sempat terjilat api. Untung saja Permaisuri Retna Nawangsih cepat menyelamatkannya, tanpa sepengetahuan siapa pun.

"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku kenal seorang tabib yang bisa mengembalikan kecantikanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih, bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.

"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja. Bahkan aku sempat mengecoh orang-orang istana dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan begitu, mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi, tidak ada yang memusatkan perhatian padamu, atau padaku."

"Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.

"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas mencari ayahmu?"

Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mungkin bisa memulihkan keadaan wajah dan kulit tubuhnya yang telah rusak begini, akibat terbakar.

"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempala, seorang ahli obat-obatan. Aku pernah belajar beberapa ilmu pengobatan padanya. Aku yakin, kau akan diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Katakan saja kalau kau adalah muridku. Dan dia pasti tahu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi tahu.

"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta, Gusti," sahut Nini Anjar.

"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap Widura.

Nini Anjar hanya tersenyum saja.

"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman, tidurlah. Aku akan kembali ke istana. Aku tidak ingin ada yang tahu, kalau aku keluar dari kamar."

"Hati-hati, Ibu."

"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka. Aku tidak ingin dia jadi korban. Cukup sampai di situ saja pengorbanannya. Hm.... Maafkan aku, Dian. Terpaksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadikan boneka hidup," kata Permaisuri Retna Nawangsih.

"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.

Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian memutar tubuhnya. Dia langsung cepat melesat pergi. Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan semak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali, lalu melirik Nini Anjar yang sudah membaringkan tubuhnya, di atas selembar permadani cukup tebal.

"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini Anjar berpesan.

"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.

"Aku penasaran pada pemuda itu."

"Pendekar Pulau Neraka...?"

"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya dengan Raden Prayoga."

"Mungkin juga hanya teman biasa saja."

"Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar teman. Tampaknya dia telah tahu banyak, dan membahayakan kita semua."

"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."

"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Untung saja kau cepat menolongku, Widura. Aku yakin dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan segala pekerjaannya."

"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu? Widura memberikan saran.

"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua ini aku tangani sendiri," Nini Anjar menolak.

"Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Aku sendiri mungkin tidak akan mampu menghadapinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir setara dengan ibu."

"Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang aku, Widura," ucap Nini Anjar.

"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada salahnya jika aku mencemaskan mu, Kak."

Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keharuan di hatinya mendengar kata-kata pemuda ini. Dia menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah mengemukakan isi hatinya, kalau sebenarnya tidak menyetujui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela ibunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.

"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur."

Tapi Nini Anjar memang sudah tidur. Dengkurnya begitu halus dan lembut sekali. Dia pasti lelah, karena semalaman tidak memejamkan mata sedikit pun. Sedangkan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun. Beberapa kali matanya melirik Dian Lestari yang tampak tertidur lelap.

"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengizinkan aku terlalu dekat denganmu," desah Widura.
***
DELAPAN
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika membuka pintu kamarnya. Ternyata di dalam kamar sudah berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Neraka, serta sepuluh orang prajurit. Juga ada beberapa pembesar lainnya.

Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah bisa menghapus kecurigaan Pendeta Suratmaja yang menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pendekar Pulau Neraka. Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan ancaman hukuman bakar. Dan pada kenyataannya, Panglima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden Prayoga. Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja mencurigai Panglima Pangkar.

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih terkejut lagi, karena di belakangnya kini sudah berdiri berjajar sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang terhunus.

"Prayoga! Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul semua di sini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Raden Prayoga perlahan. Nada suaranya agak tertahan, dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.

"Menangkapku...? Kau jangan gila, Anakku. Aku ini ibumu. Kenapa kau ingin menangkapku...?" agak keras suara Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden Prayoga balik bertanya.

"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, langsung memerah wajahnya.

"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga lagi. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, balik bertanya.

Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kamarnya. Dia mulai merasa kalau segala apa yang telah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri di samping Raden Prayoga. Sorot mata penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawangsih yakin kalau Pendekar Pulau Nerakalah yang telah membongkar semua kepalsuan dan keinginannya untuk menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.

"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Permaisuri Retna Nawangsih mulai mengepalkan tangannya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih. Dan pasti mereka semua telah menunggunya kembali dari hutan.

"Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membunuh Eyang Wanari," gumam Permaisuri Retna Nawangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda keparat itu...!"

Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang ditatap, membalas tidak kalah tajam.

"Kenapa ini harus terjadi, Bu? Apakah Ibu tidak sadar, kalau niat buruk pasti akan ketahuan juga...?" terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga semakin tersendat.

"Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri Retna Nawangsih tegas.

Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Dan ini memang sudah diperkirakan sejak semula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan terbongkar begitu cepat, sebelum maksud utamanya menguasai seluruh wilayah Kerajaan Balungan terlaksana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya sebagai raja di kerajaan ini.

"Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang bernama Nyai Legok. Dan aku sudah bersumpah untuk, membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?" tetap lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut mendengar pengakuan Permaisuri Retna Nawangsih. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita ini adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diangkat selir oleh Prabu Wijaya. Tapi Nyai Legok melakukan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya sendiri yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya diperintahkan membuangnya ke sungai. Selama itu memang tidak ada yang tahu tentang asal-usul Nyai Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang diangkat selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini Anjar.

"Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaiknya ibu jangan melakukan perlawanan, agar hukumannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan perasaan berat.

"Ha ha ha?! Tidak semudah itu menangkapku, Prayoga!"

Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih seketika bergerak cepat. Tubuhnya diputar sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi di balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah berganti baju, tidak lagi mengenakan pakaian hitam-nya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri Retna Nawangsih, sehingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa prajurit di belakang perempuan separuh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat berbuat sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat cepat keluar dari kamar ini.

Hihaaa....'"
Brak!

Jendela kamar seketika hancur berantakan diterjang Permaisuri Retna Nawangsih. Di saat tubuh perempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar, Gerakan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

"Kenapa kalian diam saja...? Kejar...!" teriak Panglima Pangkar, yang lebih dahulu tersadar yang lainnya. Mereka semua tersentak kaget mendengar bentakan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung berlompatan menerobos jendela yang sudah hancur untuk mengejar Permaisuri Retna Nawangsih.

"Bayu.... Heh! Di mana Bayu...? Kalian melihatnya...?" Raden Prayoga tersentak bangun dari keterpanaannya, sehingga langsung menanyakan Pendekar Pulau Neraka. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang masih tinggal menemani, tidak ada yang menjawab. Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.

"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga lagi. Dia seperti orang kebingungan saja.

"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami harus menjaga keselamatan Raden di sini," sahut panglima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun lebih.

"Ke mana perginya?"

"Ke arah Timur."

Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak ditatapnya jendela yang jebol berantakan. Tanpa berkata apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju warna putih itu melesat cepat menerobos jendela kamar ini. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang berada di dalam kamar ini bergegas berlompatan mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu sudah sepi. Tak terlihat seorang pun, selain dua orang prajurit penjaga pintu kamar ini.
***

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah jauh meninggalkan Istana Balungan. Dia terus menuju ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak beberapa orang berlari cepat mengejarnya. Jarak mereka memang terlalu jauh.

"Hiyaaa.,.!"

Permaisuri itu melompat indah begitu sampai dihutan tempat persembunyiannya selama ini. Tubuhnya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wanita separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dia sengaja tidak berlari untuk menghi-langkan jejak dari para pengejarnya.

"Hup....'"

Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sampai di sebuah tempat yang penuh semak kering. Tempat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak begitu rapat. Sebentar kepalanya menoleh ke kenan dan ke kiri, lalu kakinya terayun menuju sebuah gerumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan kakinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-gesa sekali.

Srek!

"Cukup nyaman juga tempat ini...."

"Heh...?!"

Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main begitu menyibakkan semak, terdengar suara dari arah belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar Pulau Neraka tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku ingin pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri Retna Nawangsih," kata Bayu, terdengar sinis nada suaranya.

"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku Pendekar Pulau Neraka...?" desis Permaisuri Retna Nawangsih geram.

"Semudah membalikkan telapak tangan."

"Setan..! Hiyaaa...!"

Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Kini benar-benar jelas. Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi pagi hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pemuda berbaju kulit harimau itu sudah menunggu disini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertambah. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, dan dahsyat luar biasa.

"Hup! Yeaaah...!"

Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar benar tidak lagi memberi kesempatan bagi Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa memberi sedikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepasang pedang tipis kecil di tangan perempuan separuh baya itu berkelebatan cepat. Begitu cepatnya, sehingga hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.

Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena Permaisuri Retna Nawangsih langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Neraka agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pedang lawan hampir bersarang di tubuhnya, namun pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu mengelakkannya. Bahkan mampu pula memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis tebasan pedang itu dengan Cakra Maut yang berada dipergelangan tangan kanannya.

Setiap kali senjata beradu keras, selalu menimbulkan percikan bunga api disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua logam beradu. Suara ribut pertarungan itu membuat Widura dan Nini Anjar yang berada di dalam gua yang tertutup semak belukar keluar dari persembunyiannya. Mereka terkejut bukan main melihat Permaisuri Retna Nawangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu, Permaisuri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya meliuk ke kanan. Lalu dengan tubuh agak berputar sedikit, Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang dilakukan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga, Permaisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar, karena baru saja menghindari satu tendangan pancin-gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Des!

"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik keras agak tertahan.

Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dada perempuan separuh baya itu, hingga terlempar sejauh tiga batang tombak ke belakang.

"Ibu...!" seru Widura terperanjat.

Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna Nawangsih, lalu mendesis menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!

"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun Widura sudah keburu melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya langsung dicabut, dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke belakang, sehingga tebasan pedang Widura hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Sebelum Widura bisa menarik pulang pedangnya, Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah perut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau Bayu bisa melakukan serangan cepat di saat tengah menghindari satu serangan.

Begkh!
"Hegk...!"

Widura mengeluh pendek. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk. Dan pada saat itu, Bayu cepat melontarkan satu pukulan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, Widura meraung keras begitu pukulan yang dilepaskan Bayu menghantam wajahnya.

"Hiyaaa...!"

Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung memberikannya satu tendangan keras menggeledek ke tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh belakang, diiringi jeritan panjang melengking tinggi.

"Hiyaaat..!"

Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar sudah melompat menyerang cepat bagai kilat. Pada saat yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini Bayu harus menghadapi dua serangan sekaligus. Namun dua orang wanita itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. 

Hal ini terbukti dari serangan-serangan yang datang, sehingga membuat Bayu benar benar kewalahan dibuatnya. Pada saat Bayu benar-benar kewalahan, datang para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi mengejar Permaisuri Retna Nawangsih. Kedatangan mereka membuat kedua wanita yang tengah menyerang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-serangan mereka tidak terkendali lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan Bayu untuk balas memberi serangan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Nini Anjar berhasil menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan memiringkan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawangsih terlambat bertindak. Sehingga satu pukulan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka bersarang didadanya.

Begkh!
"Akh...!"

Permaisuri Retna Nawangsih menjerit kencang. Perempuan setengah baya itu kembali terlontar deras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar melompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang tengah bergulingan di tanah. Tapi sebelum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh perempuan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu melompat. Pedangnya langsung dibabatkan ke pedang Panglima Pangkar.

Trang!
"Hup!"

Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua tindak. Belum lagi panglima itu melakukan sesuatu, dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta dua orang patih, sudah meluruk menyerang Widura. Sedangkan yang lainnya langsung meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu berdiri kembali.

"Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak Bayu lantang. Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar teriakan Bayu, bergegas masuk ke dalam gua, Sementara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis itu kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya sudah terkepung puluhan prajurit bersenjata lengkap.

"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking" tinggi dan menyayat.

"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terkapar bersimbah darah.

Sebatang pedang seorang panglima, telah menghunjam dalam di dada Permaisuri Retna Nawangsih. Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah. Gadis itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan keras bertenaga dalam penuh ke dadanya.

Dieghk!
"Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"

Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang, Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur deras. Dan....

Crab!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini Anjar begitu dadanya tertembus Cakra Maut. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat dari dada Nini Anjar.

"Hiyaaa...!"

Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat disambarnya pedang salah seorang prajurit. Satu tendangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu. Widura yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian ibunya di tangan salah seorang panglima, tak dapat lagi menghindari tendangan Bayu.

Degkh!
"Akh...!"

Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dada Widura, hingga terpental ke belakang. Bayu cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leher Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua orang prajurit bergegas mendekat langsung meringkus pemuda itu. Widura benar-benar tak berdaya lagi. Dia hanya bisa memandang lesu mayat ibunya yang tergeletak dengan pedang menembus dada. Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang panglima dan prajurit pengawalnya sampai di tempat ini. Raden Prayoga bergegas menghampiri gadis yang kelihatan lemah dan pucat itu.

"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden Prayoga.

Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah sekali. Pendeta Suratmaja tetap memapahnya agar bisa berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian, pandangannya beralih pada Widura. Dia agak terkejut melihat wajah Widura mirip dengannya.

"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.

"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri Retna Nawangsih," sahut Patih Laksana.

"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" terdengar sinis nada suara Raden Prayoga. "Bawa dia pergi, dan masukkan ke penjara!"

Widura digiring dengan tangan terikat tambang. Raden Prayoga kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.

Sementara Bayu membiarkan saja.

"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku sudah mati," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Raden," Bayu merendah.

"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau tidak ingin menolaknya, kan...?"

Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran Raden Prayoga bernada memaksa. Raden Prayoga tersenyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan Nini Anjar, kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke istana.

"Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?" tanya Raden Prayoga berbisik.

"Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra Prabu Wijaya," sahut Bayu.

"Tapi aku anak selir yang menyeleweng."

"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan terbawa bersama kepergianku."

"Kau akan meninggalkan Balungan?"

Bayu mengangguk pasti. Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk tetap tinggal di Istana Balungan. Dia tahu, seorang pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada satu tempat.

"Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu," pinta Raden Prayoga penuh harap.

"Akan ku usahakan, Raden."

"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu akan ku umumkan pada hari penobatan ku nanti. Untuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada hari penobatan. Setelah itu, aku tidak bisa lagi menahan jika memang pengembaraanmu hendak kau lanjutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai rasa terima kasihku padamu."

Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa cepat memutuskan permintaan Raden Prayoga. Dan sebenarnya dia ingin terus melanjutkan pengembaraannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat Raden Prayoga kecewa.

"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.

"Ya. Aku juga tidak memaksamu"

Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka terus berjalan menuju Kotaraja Balungan. Sepanjang perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung telah terhapus dari langit Balungan. Seluruh rakyat bisa bernapas lega. Dan mereka tinggal menunggu saat penobatan raja baru mereka yang sempat gagal.


TAMAT
Episode Selanjutnya: