Pendekar Pulau Neraka - Darah Menggenang di Candi Laksa(1)

SATU
Gunung Waru tampak indah tersiram cahaya matahari pagi yang mengintip dari lekukan puncaknya yang selalu terselimut kabut tebal. Suasananya begitu tenang dan anggun. Namun di balik itu semua, tersimpan keangkuhan yang mengandung lingkaran misteri di dalamnya. Kabut tebal yang menyelimuti puncaknya, bagai selubung misteri yang selalu menantang untuk disingkap. Dan sampai kini, belum ada seorang pun yang berhasil menyingkapnya.

Namun ketenangan dan keanggunan Gunung Waru mendadak saja pecah oleh ledakan dahsyat menggelegar, hingga menggetarkan seluruh permukaan gunung itu hingga ke kaki yang terdapat beberapa perkampungan. Di sebelah Barat lereng gunung itu, terlihat jamur raksasa yang dibentuk dari debu dan bebatuan yang membumbung tinggi ke angkasa.

Belum lagi lenyap ledakan dahsyat tadi, tiba-tiba menyusul suara gemuruh dari batuan yang menggelinding menuruni lereng. Getaran semakin terasa, seakan-akan Gunung Waru ini mengamuk. Pohon-pohon bertumbangan tergulung longsoran batu besar dan kecil. Kemurkaan alam yang semula tenang, ternyata diakibatkan oleh dua orang manusia yang tengah berlaga di tepi jurang Lereng Gunung Waru sebelah Barat.

"Hiyaaa..."
"Yeaaah..."
Blarr

Ledakan-ledakan dahsyat terus terdengar ditingkahi teriakan-teriakan keras dari dua orang yang tengah bertarung. Mereka menggunakan ilmu-ilmu dahsyat, sehingga menghancurkan seluruh alam di sekitarnya. Entah apa yang menyebabkan mereka bertarung begitu dahsyat. Yang jelas, mereka sudah bertarung cukup lama. Terlihat dari simbahan keringat dan kotornya pakaian yang dikenakan.

Tidak jauh dari tempat pertarungan, terlihat empat orang wanita muda berwajah cantik tengah mengawasi jalannya pertarungan Masing-masing menyandang sebilah pedang di pinggang Potongan dan bentuk pakaian yang dikenakan sama persis. Hanya warna saja yang membuat mereka tampil berbeda. Pandangan mereka tidak berkedip ke arah salah seorang yang sedang bertarung.

Dia seorang wanita, mengenakan baju warna merah menyala. Potongan pakaiannya sama persis dengan empat wanita muda tadi. Sedangkan lawannya memakai jubah putih. Dia seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Kini masing-masing telah menggunakan pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuh satu sama lain.

"Hup Yeaaah..."

Tiba-tiba saja wanita berbaju merah melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat dimasukkan pedang ke dalam warangkanya di pinggang. Lalu dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua tangannya bergerak cepat Seketika terlihat benda-benda berwarna Jingga bertebaran mengarah ke laki-laki muda berjubah putih.

"Yeah Hiyaaa..."
"Hup Hiyaaat.."

Pemuda berjubah putih itu berjumpalitan sambil cepat mengecutkan pedangnya, berusaha menghindari serbuan benda-benda berbentuk bunga berwarna Jingga itu. Bunga-bunga anggrek berwarna Jingga itu bertebaran bagai hujan, dan seperti tak pernah habis. Tampak wanita berbaju merah ketat itu berputar cepat sambil terus melontarkan anggrek-anggrek Jingganya. Dan tiba-tiba saja....

"Hiyaaat.."

Wanita berbaju merah itu melentingkan tubuhnya ke udara sambil tidak henti-hentinya melontarkan anggrek-anggrek Jingganya. Bagaikan kilat, dicabut pedangnya, langsung dibabatkan ke kepala pemuda berjubah putih itu.

Cras
"Aaa..."

Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat. Tampak pemuda berbaju putih panjang itu limbung sambil memegangi kepalanya. Darah terlihat merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Tebasan pedang wanita cantik berbaju merah tepat membelah kepala pemuda berjubah putih itu. Dan sebelum pemuda itu ambruk ke tanah, sekali lagi wanita berbaju merah itu membabatkan pedangnya. Kali ini langsung membelah dada. Seketika darah muncrat keluar deras dari dada yang terbelah lebar.

"Hup"
Wanita berbaju merah itu melompat kebelakan sambil menyarungkan pedangnya kembali ke pinggang. Tampak pemuda berjubah putih terhuyung-huyung limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar tubuhnya masih menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.

"Ha ha ha...

wanita berbaju merah itu tertawa terbahak-bahak. Tawa wanita berbaju merah itu disambung empat wanita cantik yang sejak tadi berdiri saja menyaksikan pertarungan dahsyat. Kini terdengar tawa-tawa lepas berderai menggema ke seluruh Lereng Gunung Waru. Suara-suara tawa yang membuat bulu kuduk terbangun bila mendengarnya. ,

***

Sementara itu jauh di Kaki Gunung Waru, terdapat sebuah desa kecil. Hampir seluruh penduduknya disibuki oleh adanya tanah longsor yang datang dari lereng. Mereka bisa bernapas lega, karena longsoran tanah dan bebatuan itu tidak mencapai desa, karena terhalang lebatnya hutan. Tapi kejadian itu cukup membuat seluruh penduduk Desa Coket diliputi tanda tanya besar, karena belum pernah kejadian seperti ini dialami sebelumnya.

Berbagai macam dugaan dan pertanyaan seketika timbul. Hal itu juga merisaukan kepala desa dan pemuka-pemuka Desa Coket yang saat ini berkumpul di rumah kepala desa. Ada sekitar delapan orang memadati ruangan yang tidak terlalu besar. Ki Sampar, Kepala Desa Coket tampak lebih banyak diam dengan wajah datar tanpa cahaya.

"Sebaiknya kita periksa, apa sebab-sebab terjadinya longsor tadi," usul seorang laki-laki setengah baya yang berkumis tebal, sehingga penampilannya kelihatan angker. Orang sering memanggilnya, Ki Jalak.

"Aku rasa peristiwa ini tidak perlu dibesar-besarkan. Ini hanya kejadian alam biasa," sergah seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahun.

Dia mengenakan baju putih panjang dan berikat kepala putih. Seluruh penduduk desa mengenalnya sebagai Ki Dampil.

"Tapi kejadian ini belum pernah terjadi, Ki," potong seorang lagi yang duduk di samping Ki Jalak.

"Tidak ada seorang pun yang bisa menduga kejadian alam," kata Ki Dampil bijaksana. "Untuk apa diributkan? Sebaiknya kita tentramkan saja penduduk yang resah."

"Sebaiknya kita serahkan saja pada Ki Sampar untuk memutuskannya," celetuk salah seorang seraya melirik kepala desa.

Semua yang berada di ruangan itu langsung memandang Kepala Desa Coket yang sejak tadi hanya diam saja tak bersuara sedikit pun juga. Sementara Ki Sampar sendiri masih terdiam. Pandangannya terarah ke luar jendela, menatap Puncak Gunung Waru yang lalu diselimuti kabut tebal.

"Ki Sampar, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ki Jalak.

"Hhh..." Ki Sampar hanya menarik napas panjang. Kepala Desa Coket itu memandangi wajah-wajah yang mengharapkan keputusannya. Wajah-wajah resah diliputi tanda tanya besar karena peristiwa tanah longsor yang belum pernah terjadi di desa ini. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Belum juga Ki Sampar membuka mulut mendadak saja terdengar suara mendesing yang sangat halus. Kepala desa itu langsung mengegoskan kepalanya, dan dengan cepat mengibaskan tangan ke samping.

Tap

Semua orang yang berada dalam ruangan itu terkejut karena tiba-tiba saja Ki Sampar menangkap sebuah benda berbentuk bunga anggrek berwarna jingga. Baik Ki Sampar maupun yang lainnya bergegas bangkit dan melangkah ke luar. Tapi mereka jadi kecewa karena tidak mendapat apa-apa, selain para penduduk yang panik akibat terjadi tanah longsor di Lereng Gunung Waru.

"Apa itu, Ki?" tanya Ki Jalak yang berada di samping Ki Sampar. Ki Sampar tidak menjawab. Diserahkannya bunga anggrek jingga yang ditangkapnya barusan. Ki Jalak menerima bunga itu, dan memperhatikan dengan seksama. Kemudian bunga berwarna jingga itu berpindah dari tangan yang satu ke tangan lainnya, dan terakhir di tangan Ki Dampil. Tujuh orang yang mendampingi Ki Sampar saling berpandangan satu sama lain.

Mereka kemudian menatap Ki Sampar seakan meminta penjelasan tentang bunga anggrek jingga ini. Belum juga ada yang melontarkan pertanyaan, Ki Sampar sudah melangkah ke samping rumahnya. Sementara tujuh orang pemuka desa itu jadi bertanya-tanya terhadap sikap kepala desa itu yang terasa aneh. Dan mendadak saja semuanya dikejutkan suara ringkik kuda, lalu terlihat Ki Sampar memacu cepat kudanya.

"Ki..." teriak Ki Jalak memanggil. Tapi Ki Sampar tidak mempedulikan, dan terus memacu cepat kudanya membelah jalan berdebu. Orang-orang yang memadati jalan, langsung menyingkir. Sementara tujuh orang di depan rumah kepala desa itu hanya bisa bertanya-tanya sambil saling melemparkan pandang.

"Kenapa kalian diam saja? Ayo, ambil kuda. Kejar Ki Sampar" sentak Ki Dampil ketika tersadar. Tanpa banyak berbicara, mereka bergegas mengambil kuda masing-masing yang tertambat di bawah pohon, di samping rumah ini. Sebentar saja tujuh ekor kuda sudah berpacu cepat mengejar Ki Sampar yang sudah jauh memacu cepat kudanya. Penduduk desa yang sedang diliputi kepanikan, jadi bengong melihat kepala desa mereka beserta pemuka-pemuka desa lainnya berkuda dengan cepat menuju Lereng Gunung Waru.

***

Tak ada seorang pun yang membuka suara begitu sampai di Lereng Gunung Waru. Keadaan permukaannya begitu berantakan, seperti baru saja diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu bertebaran di mana-mana. Pepohonan besar dan kecil bertumbangan saling tumpang tindih. Delapan orang dari Desa Coket turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka tidak ingin mengambil resiko tergelincir karena terlalu sulit melalui jalan yang berantakan dengan pepohonan tumpang tindih tak beraturan. Belum lagi batu-batu yang sewaktu-waktu mungkin akan menggelinding. Ki Sampar berjalan paling depan. Mereka semua meninggalkan kuda di tempat yang aman.

"Ki, ke sini..." tiba-tiba salah seorang berteriak. Semua orang yang bergerak menyebar, langsung menoleh ke arah suara tadi. Tampak salah seorang dari mereka yang kelihatan paling muda, berdiri tegak di samping sesosok tubuh berlumuran darah yang tergolek di atas batu besar. Mereka bergegas menghampiri.

"Santika...," desis Ki Sampar begitu dekat Kepala desa itu langsung menghambur dan memeluk tubuh tak bernyawa lagi Sementara, yang lainnya hanya bisa menarik napas panjang dan berat sambil menundukkan wajah. Ki Sampar mengangkat kepalanya, memandangi para pembantunya yang hanya diam dengan kepala tertunduk.

"Inilah yang kucemaskan sejak tadi...," suara Ki Sampar terdengar lirih dan agak tersendat. Tak ada yang membuka suara. Mereka semua tahu, kalau pemuda berbaju putih yang berada di pelukan Ki Sampar itu adalah Santika. Putra tunggal Ki Sampar itu baru saja menyelesaikan pelajarannya di sebuah padepokan yang terletak di sebelah Timur Kaki Gunung Waru ini. Baru dua pekan Santika berada di desa kelahirannya, dan sekarang tergolek berlumuran darah tak bernyawa lagi.

Dua orang langsung bergerak maju, lalu mengangkat tubuh Santika. Ki Sampar bangkit berdiri. Ditariknya napas panjang, mencoba meredakan gejolak yang menggelegak dalam dada. Entah apa yang ada di dalam hati kepala desa itu. Yang jelas, kematian Santika sangat memukul perasaannya. Dia tidak mampu lagi berkata-kata. Sementara tiga orang menggotong Santika menuruni lereng. Dua orang lagi mengikuti dari belakang. Tinggal Ki Jalak dan Ki Dampil yang masih menemani kepala desa itu.

"Ki Sampar...," panggil Ki Dampil pelan. Ki Sampar memutar tubuhnya menghadap dua orang pembantunya yang setia menemani. Dia mendesah panjang dan terasa begitu berat. Dipandanginya Ki Dampil dan Ki Jalak bergantian, seakan-akan mencari kekuatan pada dua orang di depannya ini.

"Sebaiknya kita cepat mengurus jasad Santika, Ki," usul Ki Dampil pelan. "Yaaah...," desah Ki Sampar lirih.

Ketiga orang itu mengayunkan kakinya pelahan menuruni lereng, menyusul lima orang lainnya yang sudah lebih dahulu berjalan membawa jasad Santika. Tampak Ki Sampar begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit ini. Putra satu-satunya tewas dengan tragis sekali, tanpa diketahui penyebabnya. Kematian Santika tepat waktunya dengan terjadinya tanah longsor, sehingga membuat kepanikan seluruh penduduk Desa Coket.

Sedangkan di dalam benak Ki Dampil dan Ki Jalak, terbetik satu pertanyaan yang sangat menggangu. Mereka tidak tahu, untuk apa Santika berada di lereng gunung ini? Mungkinkah Santika tewas terkena longsoran? Tapi rasanya tidak mungkin. Mereka tahu kalau Santika memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan suatu hal yang sulit bagi orang berkepandaian tinggi untuk menghindari tanah longsor, bagaimanapun dahsyatnya. Tapi mereka mendapatkan Santika tewas di antara reruntuhan longsoran tanah dan bebatuan. Kepalan pecah, dan dadanya terbelah sangat lebar.

Tubuh anak muda itu ditemukan tergeletak di atas sebongkah batu besar. Sedangkan sebelah kakinya terhimpit sebatang pohon. Melihat keadaan Santika yang demikian, memang kemungkinan besar terkena longsoran. Tapi, apa hubungannya dengan anggrek Jingga? Ki Sampar langsung ke lereng gunung ini begitu menerima bunga anggrek Jingga yang dilemparkan orang tidak dikenal, Inilah yang membuat Ki Dampil dan Ki Jalak jadi bertanya-tanya.

***

Kematian Santika merubah wajah Desa Coket yang semula selalu cerah, mendadak terselimut duka mendalam. Siapa yang tidak kenal Santika? Semua penduduk Desa Coket mengenal pemuda itu. Bukan saja sebagai putra kepala desa, tapi sebagai putra Desa Coket satu-satunya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Namun kini pemuda yang menjadi kebanggaan, seluruh penduduk desa itu telah tiada. Dia tewas tepat saat terjadinya longsor di Lereng Gunung Waru. Kematian Santika juga terdengar sampai ke Padepokan Sangga Langit, tempat pemuda itu mempelajari ilmu olah kanuragan. Eyang Palandara yang menjadi ketua sekaligus Guru Besar Padepokan Sangga Langit menyempatkan diri datang bersama enam orang muridnya ke Desa Coket. Dia begitu menyesalkan kematian Santika, karena pemuda itu salah seorang murid kesayangan yang memiliki bakat luar biasa dalam ilmu olah kanuragan.

"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki Sampar?" tanya Eyang Palandara ingin tahu.

"Entahlah.... Aku sendiri tidak habis mengerti, Eyang," jawab Ki Sampar lirih.

"Rasanya tidak mungkin kalau Santika tewas hanya karena longsoran," tegas Eyang Palandara setengah bergumam.

"Kami mendapatkannya sudah tewas di antara reruntuhan longsoran, Eyang," celetuk Ki Jalak.

"Hm..., apakah Santika memang selalu ke Lereng Gunung Waru?" tanya Eyang Palandara.

Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah dan ikat kepala putih itu, tidak percaya kalau Santika tewasnya karena tertimpa longsoran. Eyang Palandara tahu betul kalau muridnya itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bahkan ilmu-ilmu yang diturunkannya nyaris dikuasai sempurna. Sukar dipercaya kalau Santika tidak bisa selamat dari longsoran. Apalagi, longsoran itu tidak terlalu besar.

"Tidak, Eyang," sahut Ki Sampar.

Eyang Palandara memandang setiap orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Sampar ini. Jawaban Ki Sampar barusan membuatnya jadi berpikir lain. Dia tahu betul watak Santika. Pemuda itu tidak akan pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi jika tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Eyang, kami mengetahui Santika ada di lereng setelah menerima sekuntum bunga anggrek Jingga, sesaat setelah terjadi longsoran di lereng itu," jelas Ki Dampil.

"Benar, Eyang. Bahkan kami semua heran, karena Ki Sampar tiba-tiba saja mengambil kuda dan menuju lereng itu," sambung Ki Jalak.

"Hmm". Benar itu, Ki Sampar?" Eyang Palandara menatap Ki Sampar dalam-dalam.

"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar pelahan.
"Jadi sebelumnya kau tahu kalau Santika ada di Lereng Gunung Waru?" Eyang Palandara ingin ketegasan.

"Tidak Tapi..., entahlah Tiba-tiba saja aku mempunyai perasaan tidak enak," jawab Ki Sampar.

Eyang Palandara menatap Ki Sampar semakin dalam. Sedangkan yang ditatap hanya tertunduk saja tak sedikit pun mengangkat kepala. Ketua Padepokan Sangga Langit itu merasakan kalau kepala desa di depannya itu menyimpan sesuatu yang tidak ingin diungkapkan.

"Anggrek Jingga...,",desis Eyang Palandara. Beberapa saat lamanya di ruangan yang tidak terlalu besar itu sunyi. Tak ada seorang pun yang meml buka suara. Sementara Ki Sampar tetap tertunduk dalam. Bukan hanya Eyang Palandara yang tidak percaya terhadap semua jawaban Ki Sampar, tapi pemuka-pemuka Desa Coket juga tampaknya seperti tidak puas. Mereka tahu kalau sejak terjadinya longsor di lereng gunung, sikap Ki Sampar sudah terlihat aneh.

Bahkan dia cepat pergi begitu menerima sekuntum bunga anggrek yang dilemparkan orang tidak dikenal. Mereka semua tidak mau mempercayai, tapi tidak bisa mendesak Ki Sampar untuk mengatakan yang sebenarnya. Kepala desa itu sedang diliputi duka yang mendalam akibat kematian putra tunggalnya, dan kini hidupnya sebatang kara. Istrinya sudah meninggal berapa tahun yang lalu, dan sekarang anak tunggalnya menyusul. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Ki Sampar saat ini.

Merasa tidak mungkin bisa mendesak Ki Sampar untuk berterus terang, Eyang Palandara dan enam orang muridnya mohon diri. Mereka kembali ke Padepokan Sangga Langit di Kaki Gunung Waru sebelah timur. Ki Dampil dan beberapa pemuda desa lainnya Ikut mengantarkan mereka sampai ke batas desa. Ki Dampil dan empat orang pemuka desa baru berbalik setelah rombongan Eyang Palandara tidak terlihat lagi. Tapi belum juga bergerak, mendadak beberapa bunga anggrek berwarna Jingga meluruk deras ke mereka.

"Awas..." teriak Ki Dampil. Laki-laki tua itu cepat melompat dan berputaran di udara. Empat orang pemuka desa lainnya ikut berlompatan menghindari terjangan bunga-bunga anggrek tapi malang, dua di antaranya terhantam bunga-bunga anggrek Jingga itu. Jeritan melengking terdengar menyayat saling susul.

"Hi hi hi..."

"Heh" Ki Dampil tersentak kaget. Orang tua itu tidak sempat lagi memperhatikan dua orang pemuka desa yang tewas tertembus bunga anggrek Jingga. Sedangkan dua orang lagi bergegas mendekati Ki Dampil, tepat ketika empat orang wanita muda berwajah cantik muncul tiba-tiba.

"Siapa kalian?" bentak Ki Dampil.

"Kau tidak perlu tahu siapa kami, orang tua ceriwis" sahut gadis yang memakai baju biru.

Suaranya terdengar dalam, mengandung ketegasan berbau kekejaman.

"Kalian pasti yang membunuh Santika" dengus Ki Dampil langsung menebak.

Empat orang gadis cantik itu hanya tertawa saja. Sikap mereka begitu meremehkan. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata pada tiga orang pemuka Desa Coket ini. Pelahan-lahan Ki Dampil mencabut golok yang terselip di pinggang. Sementara dua orang yang berada di sampingnya langsung menggeser menjauh ke samping. Mereka juga segera mencabut golok masing-masing.

"Untuk apa kalian mencabut golok? Kami datang hanya ingin memberi peringatan. Jangan sok usil mencampuri urusan orang lain" tegas gadis yang berbaju merah.

"Katakan, apakah kalian yang membunuh Santika?" bentak Ki Dampil tidak menghiraukan ancaman gadis itu.

"Kalau iya, kau mau apa?"
"Iblis... Kau harus menerima hukumannya" desis Ki Dampil menggeram.

"Ha ha ha..." Keempat gadis cantik itu tertawa terbahak-bahak. Sementara Ki Dampil semakin geram saja melihat tingkah gadis-gadis yang memuakkan ini. Tanpa banyak bicara lagi, orang tua itu langsung melompat menerjang sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaat.."

Serangan Ki Dampil diikuti dua orang yang menyertainya. Sedangkan gadis yang berbaju merah langsung melompat mundur, dan tiga gadis lainnya bergerak menyongsong serangan itu. Sengaja mereka menghadapi satu lawan satu. Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi. Namun gadis-gadis cantik itu rupanya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi juga. Buktinya mereka seperti bermain-main saja melayani orang-orang tua Pemuka Desa Coket ini.

Namun setelah beberapa jurus berlangsung, baru gadis-gadis itu menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. Dan, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking menyayat. Tampak salah seorang pemuka desa terhempas dan tergeletak di tanah. Darah mengucur deras dari dadanya yang terbelah. Belum lagi lenyap jeritan panjang melengking tadi, kembali menyusul jeritan menyayat Tampak satu orang lagi menggelepar bersimbah darah. Ki Dampil yang menyadari kalau gadis-gadis ini memiliki kepandaian jauh di atasnya, langsung melompat mundur.

Tapi gadis berbaju hijau yang bertarung dengannya tidak memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Cepat-cepat diterjangnya laki-laki tua itu sambil dikebutkan pedangnya. Terpaksa Ki Dampil harus kembali bertarung, meskipun hatinya sudah tidak yakin akan dapat mengungguli lawannya. Sementara ketiga gadis lainnya hanya menyaksikan sambil tersenyum-senyum.

"Yeaaah..." Tiba-tiba saja gadis berbaju hijau itu berteriak lantang. Dan dengan satu kecepatan bagai kilat, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek. Tendangan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada Ki Dampil. Akibatnya orang tua itu terpekik dan terpental ke belakang. Keras sekali Ki Dampil terjatuh ke tanah. Sebentar dia menggeliat, laki mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri, gadis berbaju hijau sudah melompat sambil menghunus pedangnya yang tajam berkilatan.

Teriakannya keras membuat jantung orang tua itu bergetar. Ki Dampil tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dipejamkan matanya menerima saat-saat kematian. Namun begitu ujung pedang gadis berbaju hijau itu hampir memanggang leher Ki Dampil, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuhnya.

Slap

***
DUA
"Setan" geram gadis berbaju hijau itu begitu ladangnya hanya menghunjam tanah kosong. Sementara Ki Dampil entah berada di mana. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat dan menyambar tubuh orang tua itu, sehingga keempat gadis itu tidak bisa melihatnya. Bahkan tidak disadari sama sekali. Ketiga gadis lain segera menghampiri gadis berbaju hijau yang mengumpat dan memaki-maki sendirian.

"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang datang," ajak gadis berbaju merah.

"Huh" gadis berbaju hijau itu bersungut-sungut.

"Ayo, cepat.."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka cepat berlompatan meninggalkan tempat itu dan meninggalkan empat mayat bergelimpangan berlumuran darah. Setelah empat gadis cantik itu tidak terlihat lagi, dari balik sebuah pohon besar, keluar Ki Dampil bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.

"Oh...," Ki Dampil mengeluh menyaksikan empat orang temannya tewas. Orang tua itu memandangi empat sosok tubuh tak bernyawa di depannya. Darah terus mengucur keluar dari luka-luka di tubuh mereka. Sementara di samping Ki Dampil berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau yang tadi menolongnya. Dia hanya diam saja memandangi empat sosok mayat yang masih mengucurkan darah segar. Wajahnya begitu datar tanpa ada sinar sedikit pun.

"Anak muda. Terima kasih atas pertolongan sehingga nyawaku terselamatkan. Tapi mereka., sungguh malang nasibnya...," ucap Ki Dampil seraya merayapi empat orang temannya yang sudah menjadi mayat. Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya diam saja. Diayunkan kakinya mendekati salah satu mayat, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit Dengan dua jari, dicabutnya sekuntum bunga anggrek yang tertancap di dada mayat itu. Dipandanginya bunga anggrek Jingga itu. Ki Dampil menghampiri. Laki-laki tua itu memungut anggrek Jingga yang tergeletak di tanah.

"Siapa mereka, Ki?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Aku tidak tahu siapa mereka," sahut Ki Dampil.

Pemuda itu menatap Ki Dampil. Digenggamnya bunga anggrek Jingga yang berlumuran darah. Kemudian pandangannya beralih ke arah empat gadis cantik tadi pergi. Dan tanpa berkata sesuatu, pemuda itu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan.

"Heh...?" Ki Dampil terperanjat. Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya lebih dulu lenyap bagaikan tertelan bumi. Ki Dampil hanya bisa memandangi arah kepergian pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Hhh..., kenapa aku tidak menanyakan namanya tadi..? Siapa anak muda itu..?" desah Ki Dampil pelahan. Sebentar orang tua itu masih berdiri dengan benak bertanya-tanya. Kemudian diayunkan kakinya cepat menuju Desa Coket kembali. Dia harus mengabarkan tentang peristiwa ini pada kepala desa, dan segera membawa penduduk untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.

***

Malam sudah begitu larut Angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang menggigilkan. Suasana seperti ini membuat seluruh penduduk Desa Coket lebih senang mengurung diri dalam kamar. Hanya ada beberapa peronda malam saja yang terpaksa menjalankan tugasnya, bergelut melawan dinginnya udara malam ini Hampir semua penduduk Desa Coket terlelap dalam buaian mimpi. Tapi tidak demikian halnya di sebuah kedai minum.

Meskipun malam begitu kelam dan udara menggigilkan, namun pengunjung setia kedai minum itu tidak menghiraukannya. Terlebih lagi kedai ini juga menyediakan wanita-wanita untuk menghibur dan menghangatkan suasana. Kedai ini memang letaknya agak jauh dari perumahan penduduk lainnya. Bahkan bisa dikatakan menyendiri, dekat perbatasan desa. Tidak heran, meskipun buka sampai jauh malam, tidak ada satu penduduk pun yang merasa terganggu ketenangannya.

Tepat tengah malam, seekor kuda berjalan pelan menuju kedai minum itu. Penunggangnya seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju ketat warna merah, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Dihentikan kudanya tepat di depan kedai, lalu ditambatkannya. Ayunan langkahnya tenang ketika memasuki kedai. Beberapa pasang mata menatap liar tak berkedip. Namun wanita itu tetap melangkah tenang, dan duduk di bangku yang kosong menghadapi sebuah meja bundar kecil. Seorang pelayan wanita bertubuh gemuk menghampiri.

"Beri aku arak yang terbaik," pinta wanita itu sebelum pelayan wanita gemuk menyapanya.

"Berapa guci, Nisanak?" tanya wanita gemuk itu.

"Lima."

Saat itu terdengar tawa terbahak-bahak dari arah samping kanan. Wanita berbaju merah itu hanya melirik saja. Tampak dua orang laki-laki sedang tertawa sambil memandangi dirinya. Beberapa laki-laki lain juga memandang ke arahnya. Memang, semua pengunjung kedai ini semuanya laki-laki, jadi terasa sangat aneh kalau ada seorang wanita masuk ke dalam kedai ini. Terlebih lagi di tengah malam buta seperti ini. Wanita cantik berbaju merah itu tidak mempedulikan ocehan-ocehan beberapa laki-laki yang diselingi tawa lepas berderai. Dia tahu, kalau ocehan itu tertuju padanya dan sedikit pun tidak dipedulikan.

Sementara pelayan wanita bertubuh gemuk sudah pergi mengambil pesanan tamunya ini. Pandangan wanita itu tertumbuk pada seorang pengunjung kedai yang duduk agak menyendiri di sudut. Seorang pemuda memakai baju kulit harimau

"Hm...," gumam wanita berbaju merah itu pelan. Pelayan wanita gemuk datang lagi sambil membawa lima guci arak yang dipesan wanita itu. Saat pelayan itu selesai meletakkan guci-guci arak di atas meja dan ingin kembali, wanita berbaju merah itu mencekal lengannya.

"Satu guci berikan pada orang yang di sudut itu," perintah wanita berbaju merah itu. Tanpa menjawab sedikit pun, wanita bertubuh gemuk itu mengambil satu guci arak dan membawanya kepada pemuda yang duduk di sudut. Diletakkannya guci arak itu di atas meja di depan pemuda itu.

"Maaf, aku tidak memesan arak lagi," tolak pemuda itu.

"Gadis itu yang memberikannya," jelas pelayan gemuk itu sambil menunjuk wanita berbaju merah.

Pemuda berbaju kulit harimau itu melirik sedikit, dan keningnya agak berkerut. Sementara pelayan wanita gemuk sudah meninggalkannya, kembali sibuk melayani tamu-tamu lain. Tampak wanita cantik itu mengangkat gelas bambunya dan tersenyum pada pemuda di sudut. Diteguknya sedikit arak di dalam gelas yang terbuat dari bambu halus.

Saat itu seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok menghampiri gadis berbaju merah itu. Tubuhnya agak limbung saat berjalan, sehingga guci arak yang dibawanya terguncang-guncang. Suara tawa terkekeh terdengar sumbang di telinga. Dia berdiri di seberang meja wanita berbaju merah itu.

"He he he.... Nisanak, aku mengundangmu datang ke mejaku. Biar aku yang bayar semua minuman di sini. He he he...," suara laki-laki berwajah kasar terdengar serak karena kebanyakan arak.

"Terima kasih. Aku biasa minum sendiri," tolak wanita itu halus.

"Nisanak, tidak ada seorang pun yang bisa menolak undangan Kebo Rimang" sentak laki-laki itu.

"Cocok sekali," ringan sekali wanita itu berkata.

"Heh Apanya yang cocok...?"

"Sesuai dengan namamu. Kau memang mirip kerbau"

Seketika suara tawa meledak di kedai ini. Sedangkan laki-laki yang mengaku bernama Kebo Rimang itu jadi memerah wajahnya. Dia memang seperti kerbau. Wajahnya kasar penuh brewok, dan tubuhnya tinggi besar dengan dada berbulu lebat. Sebuah gagang golok menyembul keluar dari pinggang.

"Keparat! Kau berani menghinaku, Cah Ayu...?" geram Kebo Rimang, meluap amarahnya. Digebrakkan kepalan tangannya yang besar ke meja, sehingga seketika itu juga meja di depan gadis berbaju merah itu hancur berantakan. Tapi gadis itu kelihatan tenang saja, sedikit pun tidak mempedulikan meja di depannya yang hancur berantakan

"Malam ini kau harus ikut denganku" Kebo Rimbang menjulurkan tangannya ke wajah gadis itu. Tapi mendadak saja gadis itu mengibaskan tangannya. Dan....

Plak

"Akh..." Kebo Rimang terpekik keras. Tubuh yang besar itu terpental ke belakang, menabrak sebuah meja hingga hancur berantakan. Semua pengunjung kedai jadi terkejut Sungguh tidak disangka kalau gadis yang kelihatan lemah, ternyata mampu membuat Kebo Rimang yang bertubuh besar itu terjungkal.

"Keparat..." Kebo Rimang menggeram marah. Cepat-cepat laki-laki kasar itu bangkit berdiri, langsung mencabut goloknya. Sambil menggerung keras, dia melompat seraya membabatkan goloknya ke arah gadis berbaju merah itu. Cepat sekali gerakannya, dan semua pengunjung kedai menahan napas, tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Gadis itu tetap duduk tenang di kursi. Entah bagaimana kejadiannya, tangannya hanya digerakkan sedikit sambil tubuhnya ditarik ke belakang. Dan tahu-tahu, Kebo Rimang menjerit melengking tinggi.

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tampak goloknya sendiri menancap dalam di dada yang berbulu tebal. Kebo Rimang jatuh menggelepar, langsung mengerang meregang nyawa. Tak berapa lama kemudian, dia diam tak bergerak-gerak lagi, tewas tertancap goloknya sendiri. Melihat kejadian itu, sebagian pengunjung kedai langsung berlarian ke luar. Tapi bagi mereka yang mempunyai nyali cukup besar, tetap bertahan di tempatnya. Terutama empat orang laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Kebo Rimang. Mereka langsung berlompatan sambil mencabut golok masing-masing.

"Perempuan keparat..."

Tanpa banyak bicara lagi, keempat laki-laki langsung menyerang. Golok mereka mengibas ke arah wanita berbaju merah itu. Tapi mendadak saja wanita itu melesat ke atas, dan tahu-tahu sudah duduk kembali di kursi lain. Laki-laki bersenjata golok itu jadi kelabakan, karena orang yang diserang tahu-tahu sudah berpindah tempat tanpa diketahui gerakannya. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, wanita berbaju merah itu cepat mengibaskan tangannya. Terlihat kilatan cahaya Jingga berkelebat menerjang empat laki-laki itu.

Seketika terdengar jeritan-jeritan melengking, disusul ambruknya keempat laki-laki itu Hanya sebentar mereka menggelepar, kemudian diam tidak berkutik lagi.

"Anggrek Jingga...," terdengar desisan tertahan.

Desisan yang begitu pelan, rupanya terdengar juga sampai ke seluruh ruangan kedai itu. Dan hal itu membuat semua pengunjung kedai yang semula masih bertahan, langsung angkat kaki mengambil langkah seribu. Kini di dalam kedai itu tinggal si wanita berbaju merah dan pemuda berbaju kulit harimau yang masih saja tetap duduk tenang di sudut ruangan kedai minum ini. Entah ke mana, tahu-tahu semua pelayan dan wanita penghibur di kedai ini lenyap begitu saja. Mungkin mereka merasa takut begitu wanita berbaju merah ini mengeluarkan anggrek Jingga untuk menyudahi ke sombongan empat laki-laki itu.

***

Nama Anggrek Jingga memang menjadi momok menakutkan di Desa Coket ini. Sejak terbunuhnya empat orang pemuka desa di dekat perbatasan sebelah Timur, nama itu semakin terkenal dan ditakuti Karena senjata anggrek berwarna Jingga itu, maka seluruh penduduk desa menyebutnya si Anggrek Jingga. Padahal tak seorang pun yang tahu, siapa dan ada berapa orang si Anggrek Jingga itu.

"Kau tidak pergi, Pendekar Pulau Neraka?" lembut namun terdengar tajam suara wanita cantik berbaju merah itu.

Pandangan matanya lurus dan tajam tertuju langsung pada pemuda berbaju kulit harimau yang duduk di sudut ruangan. Pemuda itu mengangkat kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan tajam. Tampak sorot mata pemuda itu begitu terkejut, namun mampu ditutupi dengan sikap yang tenang dan senyuman tersungging di bibir.

"Dari mana kau tahu julukanku, Nisanak? Sedangkan aku tidak tahu siapa dirimu," datar sekali nada suara pemuda itu.

Pemuda berbaju kulit harimau itu memang Pendekar Pulau Neraka, yang nama aslinya Bayu Hanggara. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri dan melangkah tenang menghampiri, lalu duduk di depan Bayu. Kedua orang itu hanya dibatasi sebuah meja bundar kecil.

"Seperti kata mereka, aku bernama Anggrek Jingga," ujar wanita itu.

"Aku ingin tahu namamu yang sebenarnya," dingin nada suara Bayu.

"Kau cukup mengenalku begitu," balas Anggrek' Jingga tidak kalah dingin.

"Baiklah. Lalu, apa maksudmu membuat onar di sini?"

"Aku...?" Anggrek Jingga tertawa renyah. "Apakah kau tidak melihat? Bukan aku yang memulai, tapi mereka"

"Kedatanganmu ke sini yang mengundang, Anggrek Jingga."

"Hhh Dasar laki-laki" dengus Anggrek Jingga. "Apa ada larangan wanita datang ke sini? Dasar mereka saja yang tidak tahu diri"

"Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja mencariku," potong Bayu tegas.

"Nah Ada keperluan apa kau ingin bertemu denganku?"

"Ternyata kau tidak bisa sedikit santai, Pendekar Pulau Neraka. Kenapa kau selalu tidak bisa menganggap enteng semua persoalan?"

"Tidak semua"

"Baik..., memang tidak semua. Tapi kau selalu memandang serius setiap persoalan yang bukan persoalanmu. Dan kau terlalu suka ikut campur urusan orang lain" agak lantang suara Anggrek Jingga.

"Apa maksudmu, Anggrek Jingga?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Aku tahu, kau seorang pengelana. Dan kau bebas berada di mana saja, di tempat yang kau suka. Hanya saja yang tidak kusukai, kehadiranmu di sini dan kelancanganmu mencampuri urusanku" agak tertekan nada suara Anggrek Jingga.

"Hm.... Jadi kau yang membantai pemuka-pemuka desa di sini?" Bayu mulai bisa menangkap maksud wanita cantik ini.

"Bukan aku, tapi mereka yang membunuh diri sendiri"

"Kenapa kau lakukan itu?"

"Sudah kukatakan bukan aku, tapi mereka sendiri" bentak Anggrek Jingga.

"Kau atau siapa saja, yang jelas kehadiranmu telah meresahkan seluruh penduduk desa ini. Dan..., maaf. Aku tidak bisa diam begitu saja melihat kejahatan berlangsung di depan mataku" tegas kata-kata Bayu.

"Sudah kuduga kau akan menjawab begitu," ujar Anggrek Jingga sinis. "Tapi percayalah, kau tidak akan bisa melakukan apa-apa di sini." Setelah berkata demikian, Anggrek Jingga langsung bangkit berdiri dan berjalan tenang ke luar kedai. Sementara Bayu masih tetap duduk di tempatnya sambil memandangi wanita cantik berbaju merah itu hingga lenyap dari pandangan. Sebentar kemudian terdengar suara kaki kuda dipacu cepat meninggalkan kedai ini.

"Hm..., siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu merayapi kedai yang sudah sepi. Tampak beberapa meja kursi berentakan. Dia meneguk habis minumannya, lalu bangkit berdiri setelah meletakkan beberapa keping uang perak di atas meja. Ayunan kakinya begitu tenang meninggalkan kedai ini, dan terus berjalan ke luar. Sementara malam terus merambat semakin larut, udara pun bertambah dingin menusuk kulit. Bayu berjalan semakin jauh meninggalkan kedai.

***

"Berhenti..."

Bayu menghentikan langkahnya ketika mendengar bentakan keras dari belakang. Ketika diputar tubuhnya, tampak dua orang berjalan cepat menghampiri Salah seorang membawa obor yang terbuat dari bambu. Nyala api obor menerangi sekitarnya, meskipun sukar mengalahkan kegelapan malam ini.

"Siapa kau? Ada apa malam-malam keluyuran?" tanya salah seorang yang membawa obor.

Belum juga Bayu menjawab, terdengar suara ringkik kuda. Kemudian terdengar derap langkah kaki kuda mendekati. Tampak dari selimut kegelapan, muncul, seekor kuda coklat belang putih, ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah panjang yang hampir pudar warnanya. Dua orang yang menegur Bayu langsung menyingkir. Penunggang kuda itu melompat turun begitu sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Salah seorang memegangi tali kekang kuda itu. Bayu mengenali laki-laki tua ini. Orang tua yang ditolongnya dari maut.

"Ada apa ini?" tanya Ki Dampil.

"Orang asing ini mencurigakan, Ki," sahut salah seorang yang memegangi kuda.

"Hm...," Ki Dampil mengamati pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Pelahan kepalanya terangguk lalu tersenyum. Kemudian dihampiri dan ditepuknya pundak Bayu. Sedangkan dua orang peronda itu jadi bengong tidak mengerti.

"Kalian kembali saja. Dia bukan orang asing, tapi sahabatku yang akan berkunjung," kata Ki Dampil.

"Oh, maaf," ucap kedua orang itu hampir berbarengan. Bayu hanya tersenyum saja. Dan dua orang peronda itu bergegas pergi. Ki Dampil memegangi tali kekang kudanya, kemudian mengajak Bayu berjalan. Mereka berjalan bersisian, tanpa ada yang berbicara sampai beberapa saat lamanya.

"Aku dengar ada keributan di kedai tadi," kata Ki Dampil membuka suara lebih dahulu. Bayu masih tetap diam.

"Beberapa pengunjung kedai menyebut tentang dirimu. Itu sebabnya aku cepat mengejar ke sini," sambung Ki Dampil lagi. Bayu hanya menggumam kecil.

"Kisanak, kudengar kau bicara dengan si Anggrek Jingga di kedai. Hm.... Boleh aku tahu, apa yang kau bicarakan?" pinta Ki Dampfl lagi.

"Dia hanya memintaku untuk meninggalkan desa ini," sahut Bayu terus terang.

"Edan... Apa haknya mengusirmu?" dengus Ki Dampil. Bayu diam lagi, tapi tidak menghentikan ayunan langkahnya. Sementara Ki Dampil jadi bersungut-sungut tidak karuan. Sebentar dihentikan langkahnya dan Bayu terpaksa berhenti berjalan.

"Kisanak...."

"Bayu," potong Bayu cepat. "Panggil saja aku Bayu."

"Aku Ki Dampil"

"Hm. Apa yang ingin kau katakan, Ki?" tanya Bayu.

"Apa kau ingin pergi dari desa ini?" tanya Ki Dampil.

"Sebenarnya aku hanya lewat saja di sini, dan memang tidak punya urusan di desa ini," jelas Bayu kalem.

"Kalau aku meminta, apakah kau bersedia tinggal di sini untuk beberapa hari?" pinta Ki DampiL.

"Untuk apa, Ki? Lagi pula ada yang tidak menghendaki kehadiranku di sini," Bayu mencoba menolak.

"Kau tentu sudah tahu kalau desa ini sedang mengalami kesulitan," bujuk Ki Dampil.

"Mungkin...," sahut Bayu seenaknya.

"Dan aku juga tahu kalau kau memiliki kepandaian tinggi. Kisanak, desa ini memerlukan seseorang yang berkemampuan tinggi untuk menghadapi si Anggrek Jingga," sambung Ki Dampil.

"Maaf, Ki. Bukannya hendak menolak, tapi aku tidak punya urusan di desa ini. Lagi pula aku tidak tahu, siapa itu Anggrek Jingga," sergah Bayu sopan.

"Kau sudah bicara dengannya di kedai tadi, Kisanak."

"Dia yang mengajakku bicara, dan aku tidak mengenalnya."

"Dia wanita berhati iblis. Sudah beberapa orang menjadi korbannya. Dan kau tahu sendiri, empat orang pemuka desa telah tewas olehnya."

"Rasanya bukan dia yang melakukannya, Ki," bantah Bayu.

"Sekutunya. Anggrek Jingga bukan satu orang, entah berapa orang. Yang jelas dia sudah menjarah desa ini, tanpa diketahui siapa saja orang-orangnya. Kisanak, jika keadaan seperti ini tetap dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mustahil seluruh penduduk desa ini akan dibantai habis."

"Oh..., apakah sampai sejauh itu?"

"Memang baru lima korban. Empat pemuka desa, dan satu putra kepala desa. Tiga hari ini belum ada lagi jatuh korban."

"Belum...," gumam Bayu seperti bicara pada dirinya sendiri. "Pasti akan jatuh korban berikut, Kisanak." Bayu terdiam membisu, dan kembali mengayunkan langkahnya pelahan.

Sementara Ki Dampil mengikuti di samping sambil menuntun kudanya. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka saat ini. Apakah permintaan Ki Dampil diterima, atau perjalanannya terus dilanjutkan?

***
TIGA
Ki Sampar memacu cepat kudanya menyusuri tepian jurang di Lereng Gunung Waru. Begitu cepa nya kuda hitam itu dipacu, seakan-akan tidak peduli jika sewaktu-waktu bisa tergelincir masuk ke jurang yang sangat dalam di sebelahnya. Kepala Desa Coket itu menghentikan lari kudanya setelah sampai di depan sebuah bangunan tua dari batu.

Sebuah bangunan candi yang biasa digunakan untuk menyembah Hyang Jagat Nata. Dengan gerakan ringan, laki-laki tua itu melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar dirayapi sekitarnya, kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri candi itu. Kudanya ditinggalkan begitu saja, dan binatang itu kini merumput dengan tenang. Pelahan kaki laki-laki tua itu terus terayun semakin mendekati bangunan batu yang tidak begitu besar didepannya. Dia berhenti tepat sekitar dua tombak di depan pintu candi itu. Bentuk pintunya lebih mirip mulut gua batu.

"Kaukah itu, Sampar...?" terdengar suara lantang dan berat dari dalam candi.

"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar.

"Ada apa kau datang ke sini?" terdengar lagi suara berat.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Eyang."

"Untuk apa? Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri, dan tidak lagi mengindahkan peringatanku. Pulanglah, tidak ada gunanya lagi berada di Candi Laksa ini."

"Eyang, ijinkan aku bicara sedikit saja," pinta Ki Sampar memohon.

"Apa kau sudah tidak mendengar kata-kataku lagi, Sampar...?"

"Dengar, Eyang."

"Kenapa masih di situ?"

"Eyang...."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sampar. Aku minta secepatnya kau tinggalkan Candi Laksa ini. Kedatanganmu akan membawa bencana saja. Kau ingin darah menggenang di Candi Laksa ini? Pulanglah, Sampar. Jangan kau rusak lagi tempat ini" tegas kata-kata yang keluar dari dalam candi itu.

Ki Sampar terdiam dengan kepala tertunduk dalam. Pelahan diangkat kepalanya, memandang lurus ke dalam candi yang gelap. Hanya dari pintu batu ini jalan masuk ke dalam candi. Sedangkan tadi, sudah jelas kalau dia tidak diperkenankan masuk. Bahkan tegas-tegas disuruh pulang.

"Aku akan menunggu di sini sampai Eyang bersedia menerimaku," tekad Ki Sampar pelan. Setelah berkata demikian, Ki Sampar duduk bersila di depan pintu Candi Laksa. Tangannya diletakkan di lutut, dan pandangannya lurus seakan-akan ingin menembus kegelapan di dalam candi itu.

"Apa yang kau lakukan, Sampar?" terdengar lagi suara keras dari dalam candi.

"Aku akan menunggu di sini, Eyang," sahut Sampar tenang.

"Heh... Kau tidak boleh di..."

"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu Eyang," potong Ki Sampar cepat.

"Anak setan..." terdengar geraman dari dala candi.

Ki Sampar tidak peduli, meskipun geraman sudah menandakan kemarahan. Laki-laki tua itu tetap duduk bersila, dan pandangannya tidak berkedip arah pintu batu yang menyerupai mulut gua itu.

"Tidak ada gunanya berkeras kepala, Sampar. Kau akan mati jika tidak menuruti kata-kataku," bujuk suara itu lagi. Ki Sampar diam saja. Dia tetap duduk bersila tanpa bergeming sedikit pun.

"Sampar Kukatakan sekali lagi, pulanglah. Tidak ada yang bisa kau peroleh di sini"

Tetap saja Ki Sampar tidak peduli. "Anak setan Keras kepala..." terdengar lagi geraman gusar. Rupanya Ki Sampar benar-benar sudah nekad. Sedikit pun tidak dipedulikan suara-suara dari dalam candi yang sudah mulai bernada gusar. Dia tetap duduk bersila bagai arca batu di depan pintu candi itu. Sementara suara dari dalam candi tidak terdengar lagi. Mungkin sudah kesal, karena Ki Sampar tidak mempedulikannya.

"Baik, aku ingin tahu sampai di mana kekerasan hatimu" dengus suara itu lagi. Ki Sampar sedikit menyunggingkan senyuman tipis. Tampak sinar matanya berbinar mendengar suara terakhir itu. Dalam hati, laki-laki tua itu sudah merasa menang. Dia tahu, kalau pemilik suara di dalam candi Itu tidak akan selamanya bertahan, dan pasti aka keluar menemuinya.

"Kau pasti akan menemuiku, Eyang," gumam Ki Sampar dalam hati.

***

Sementara itu di Desa Coket, Ki Dampil jadi kelabakan karena seharian tidak menemukan Ki Sampar. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menunggu saja di depan rumah kepala desa itu. Dari dalam, Ki Dampil menghampiri dengan wajah lesu. Saat itu Ki Jalak dan beberapa orang berkuda datang. Mereka langsung melompat turun dari kuda. Ki Jalak menghampiri Ki Dampil yang sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka, sedangkan beberapa orang lainnya menunggu di luar.

"Bagaimana, Ki Jalak?" tanya Ki Dampil langsung. Ki Jalak mengangkat bahunya.

"Hhh..., belum pernah Ki Sampar begitu...," keluh Ki Dampil.

"Mungkin ke rumah sanak keluarganya," duga Bayu.

"Dia tidak punya keluarga lagi," ujar Ki Jalak.

"Ki Jalak...." Ki Dampil memberi isyarat dengan matanya, maka Ki Jalak langsung mendekat Kemudian Ki Dampil mengajak Ki Jalak menjauh dari Bayu.

"Apa sudah kau cari ke rumah istri mudanya, bisik Ki Dampil.

"Sudah, Ki. Tapi rumah itu kosong."

"Pembantunya?"

"Tidak ada lagi. Menurut tetangganya, Nyi Renggas sudah lama pergi bersama semua pembantunya.

"Kau tidak tanyakan ke mana perginya?"

"Sudah, tapi tidak ada yang tahu."

"Sudah berapa lama?"Sekitar dua purnama ini." Ki Dampil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian kembali menghampiri Bayu yang tetap menunggu. Sedangkan Ki Jalak menghampiri kudanya, lalu melompat naik dengan gerakan indah dan ringan sekali.

"Aku akan mencari lagi, Ki," kata Ki Jalak.

"Carilah ke tempat-tempat yang mungkin dikunjungi," ujar Ki Dampil. Ki Jalak langsung menggebah kudanya, diikuti pengikutnya. Debu mengepul begitu kuda-kuda itu melaju cepat meninggalkan halaman depan rumah Ki Sampar. Sementara Bayu dan Ki Dampil hanya memandangi saja.

"Aneh...," gumam Bayu tanpa disadari.

"Ya...," desah Ki Dampil.

"Ki Dampil, apa tidak mungkin Ki Sampar pergi ke Padepokan Sangga Langit? Bukankah anaknya menuntut ilmu di sana?" Bayu menduga.

"Hm..., memang benar. Santika memang menuntut ilmu di Padepokan Sangga Langit. Tapi..., untuk apa ke sana?"

"Yang jelas, ini ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga itu, Ki"

Ki Dampil memandangi Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Dugaan Bayu yang tiba-tiba itu memang tidak pernah terpikirkan olehnya. Memang ada kemungkinan Ki Sampar pergi ke Padepokan Sangga langit Tapi, untuk apa ke sana...? Inilah yang harus dibuktikan. Dan Bayu sudah menduga kalau kepergian Ki Sampar bukan saja karena kematian anaknya, tapi juga ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga.

Sedangkan sampai sekarang ini belum ada yang tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Jingga itu. Dan apa maksudnya membunuh Santika. Sekarang, meskipun tidak nyata, tapi sudah membuat gelisah seluruh penduduk Desa Coket ini. Memang Anggrek Jingga belum mengganggu ketentraman penduduk. Apalagi sampai mengambil korban penduduk desa. Tapi baik Bayu maupun Ki Dampil berkeyakinan, jika hal ini didiamkan berlarut-larut, bukannya tidak mustahil penduduk desa akan terkena juga.

"Kau tahu di mana letak padepokan itu, Ki?" tanya Bayu.

"Baru dua kali aku ke sana. Itu pun jika tidak lupa jalanannya," jawab Ki Dampil ragu-ragu.

Tunjukkan saja letaknya, aku akan pergi sendiri ke sana," jelas Bayu.

"Tidak mungkin, Bayu."

"Kenapa?"

"Setahuku, letak Padepokan Sangga Langit sangat terpencil. Malah tidak sembarang orang bisa memasukinya. Akan sulit bagimu untuk mencapai ke sana. Harus ada seseorang yang dikenal."

"Apakah ada orang lain di desa ini yang sering ke sana?"

"Tidak. Selain Ki Sampar sendiri dan aku yang dikenal sehingga bebas keluar masuk."

"Tapi kau tidak mungkin meninggalkan desa ini dalam keadaan seperti ini, Ki."

"Yaaah.... Itulah sulitnya, Bayu. Sudah menjadi kebiasaan, jika Ki Sampar tidak ada maka seluruh tanggung jawab berada di tanganku," nada suara Ki Dampil seperti mengeluh.

"Kau tidak bisa meninggalkan desa ini, Ki. Sedangkan harus ada yang ke Padepokan Sangga Langit," tegas Bayu lagi.

"Aku serahkan padamu, Bayu. Rasanya memang hanya kaulah yang bisa ke sana, meskipun aku rasa apakah bisa bertemu Eyang Palandara atau tidak.

"Akan kuusahakan, Ki," ujar Bayu bertekad.

"Terima kasih," ucap Ki Dampil.

"Maaf, aku menghambat perjalananmu."

"Lupakan saja."

***

Dengan kuda pemberian Ki Dampil, Bayu meninggalkan Desa Coket. Tujuannya sudah jelas, hendak pergi ke Padepokan Sangga Langit Satu-satunya tempat yang diduga Ki Sampar berada. Tapi, baik Bayu maupun Ki Dampil serta semua pemuka Desa Coket tidak yakin kalau Ki Sampar ada di padepokan itu. Namun dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan bisa saja terjadi dan harus dibuktikan terlebih dahulu.

Sementara Bayu semakin jauh meninggalkan Desa Coket Diikutinya petunjuk Ki Dampil agar. menyusuri Kaki Gunung Waru, menuju ke Timur. Hanya ada satu jalan setapak kecil dan ini memudahkannya untuk memacu kudanya agar lebih cepat. Seekor kuda hitam yang gagah, dengan kecepatan lari yang sangat mengagumkan. Namun demikian, Bayu sebenarnya lebih tenang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Karena dengan begitu, bisa melatih dan semakin meningkatkan kemampuannya. Tapi pemberian Ki Dampil sulit untuk ditolak.

"Ini kuda kesayanganku, Bayu. Tidak ada duanya di desa ini. Bahkan di seluruh Gunung Waru," jelas Ki Dampil saat itu. Bayu hanya tersenyum saja setiap kali mengingat kata-kata Ki Dampil yang selalu mengagumi kuda hitam ini.Sepertinya laki-laki tua itu berat sekali menyerahkannya. Dan Bayu memang mengakui kehebatan kuda hitam yang kini ditungganginya. Bukan saja bentuknya yang indah dan gagah, tapi larinya pun sangat cepat Kuda ini juga tangkas, seakan-akan bisa mengerti setiap kata yang diucapkan penunggangnya.

Hiya Hiyaaa..." Bayu terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Jalan setapak yang dilalui kini terasa menanjak, dan juga semakin menyempit. Bahkan kini berbatu, yang di kanan dan kirinya terdapat semak belukar berduri. Tampak tidak seberapa jauh di sebelah kiri, terdapat jurang yang cukup besar dan dalam Bayu memperlambat laju kudanya, agar tidak tergelicir. Memang jalan yang dilalui semakin mendekati jurang, dan pada akhirnya benar-benar berada di tepi jurang.

"Hhh...," Bayu menarik napas panjang ketika melongokkan kepalanya ke dalam jurang. Sungguh dalam. Sampai-sampai dasarnya tidak terlihat dari atas sini, karena gelap tertutup kabut yang bergulung-gulung. Pendekar Pulau Neraka itu melayangkan pandangannya ke seberang jurang. Dalam hati diukurnya besar bibir jurang ini Sekali lagi dia mendesah menghembuskan napas panjang.

"Tidak mungkin melompatinya dengan sekali lesatan saja," desah Bayu dalam hati. Bayu merasakan jalan yang dilalui semakin sulit.Malah beberapa kali kaki kuda hitamnya hampir tergelincir karena menginjak batu kerikil yang bertebaran di sekitar tepi jurang ini. Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu, kecuali melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar matanya menatap ke depan, lalu memandangi kuda hitam di sampingnya.

"Kau tidak boleh ditinggalkan di sini, Hitam. Ayo, ikuti aku," kata Bayu seraya menepuk-nepuk leher kuda itu. Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan mengerti ucapan Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum.

"Ayo." Bayu meneruskan langkahnya hati-hati sekali sambil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, untuk mengurangi beban. Batu yang dipijaknya terasa begitu rapuh. Dan kalau sewaktu-waktu runtuh, bisa langsung jatuh ke dalam jurang. Dan benar juga. Belum juga jauh berjalan, mendadak saja....

"Oh..." Bayu tersentak kaget Kepalanya terdongak ke atas, tampak sebongkah batu yang cukup besar jatuh menggelinding dari atas tebing. Suaranya menggemuruh menggetarkan seluruh tebing ini. Sementara batu-batu lain juga berguguran, makin membuat seluruh tepi jurang ini bergetar. Belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, mendadak saja jalan batu yang dipijaknya retak.

"Oh, tidak..." desah Bayu agak terpekik.

"Hieeegh..."

Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluruk jatuh ke dalam jurang bersama kuda hitam yang meringkik melengking tinggi. Batu-batu berguguran menimbulkan getaran hebat dan suara menggemuruh. Bayu terus meluncur jatuh ke dalam jurang bersama kuda hitamnya serta reruntuhan batu.

***

Bayu mencoba tenang. Diraihnya sebongkah batu yang berada di dekatnya. Cepat-cepat batu itu ditotoknya, lalu tubuhnya melenting mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pendekar Pulau Neraka berputar sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari batu-batu yang berguguran masuk ke dalam jurang. Beberapa kali Bayu menjejakkan kakinya di bongkahan batu, lalu melesat ke atas.

Dengan mempergunakan batu-batu yang berguguran, Bayu mencapai ke atas. Memang tidak mudah. Namun berkat kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Pendekar Pulau Neraka itu mampu mencapai tepi jurang. Dan sekali lagi ditotoknya batu dengan ujung jari kaki, lalu melesat naik. Cepat sekali tubuhnya melesat ke atas, lalu meraih sebuah dahan pohon yang menjorok keluar dari tepi jurang. Sebentar Bayu berayun-ayun, lalu sambil memutar tubuh, dilentingkan tubuhnya dan hinggap di tepi jurang.

"Hhh...," Bayu menarik napas panjang. Dipandangnya tebing batu yang berguguran. Dengan merapatkan tubuh ke dinding batu, Bayu bisa menghindari hujan batu yang seperti tidak ada habisnya. Kala matanya memandang ke dalam jurang, ada kesenduan pada sinar matanya.

"Kasihan kau, Hitam," desah Bayu lirih. Seluruh tebing dinding batu di tepi jurang maut ini masih bergetar. Meskipun sudah berkurang, namun batu-batu masih juga berguguran dari atas. Bayu tetap merapatkan punggungnya, berlindung dari hujan batu di bawah sebongkah batu yang agak menjorok keluar. Dijulurkan kepalanya, untuk mendongak ke atas. Tampak batu-batu masih saja berjatuhan.

"Hhh..., aku tidak boleh menunggu di sini Sepertinya hujan batu ini tidak akan berhenti," gumam Bayu pelahan. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati keadaan sekitarnya, kemudian melesat. Dengan be kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu menembus hujan batu. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, seakan-akan kedua kakinya mengambang. Beberapa batu kecil menimpa tubuhnya tapi sedikit pun tak dirasakan. Bayu terus berlari, kadang-kadang berlompatan menghindari reruntuhan batu.

Cukup lama juga pemuda berbaju kulit harimau itu harus berlari cepat, dan akhirnya tiba di tempat yang aman. Pendekar Pulau Neraka tiba di sebuah padang rumput yang tidak seberapa luas. Padang rumput ini dibelah oleh jurang yang menyempit mengecil, dari berakhir pada sebuah tebing batu cadas yang sangat terjal Bayu memperhatikan sekitarnya. Dan, belum juga Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kaki, mendadak saja dari segala arah bertebaran benda kecil berwarna Jingga. Benda-benda berbentuk bunga anggrek itu meluruk deras bagai hujan ke arah pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Sial" rungut Bayu.

"Hiyaaat.."

Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan menghindari serbuan anggrek jingga yang bertebaran bagai hujan. Sukar baginya untuk memastikan arah datangnya serangan, karena tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk melayangkan mata. Bunga-bunga anggrek jingga itu terus bermunculan seperti tidak pernah habis.

"Hiya Yeaaah..."

Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu, diputar tubuhnya cepat sambil merentangkan tangan. Dan seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba bertiup angin kencang yang menderu bagai topan. Bunga-bunga anggrek jingga itu berhamburan terhempas angin yang diciptakan Bayu. Pelahan-lahan tubuh Pendekar Pulau Neraka yang berputaran bagai baling-baling itu meluruk turun. Dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Dia tidak-lagi berputar, tapi tangannya tetap merentang lebar ke samping.

"Yeaaah..."

Sambil berteriak nyaring melengking, Bayu menghentakkan tangannya ke atas hingga kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala. Lalu dengan cepat ditarik tangannya ke depan dada. Matanya beredar memandang tajam sekitarnya. Pelahan-lahan diturunkan tangannya. Dan kini tak ada lagi serangan bunga-bunga anggrek jingga.

"Hmm, tampaknya kedatanganku memang sudah ditunggu," gumam Bayu dalam hati. Baru saja Pendekar Pulau Neraka itu hendak mengayunkan kakinya, mendadak saja dari atas pohon bertebaran jaring-jaring yang mengembang ke arahnya. Sesaat Bayu terkesiap, lalu cepat-cepat melompat ke depan. Tapi kembali bermunculan jaring-jaring berwarna hitam. Dan Bayu berlompatan menghindarinya.

"Keparat..."

***
EMPAT
Beberapa kali Bayu berhasil menghindar dari perangkap jaring-jaring yang bertebaran. Namun ketika dua buah bunga anggrek jingga melesat ke arahnya, Pendekar Pulau Neraka itu jadi terkesiap. Dia berusa menghindar dari terjangan dua bunga anggrek jin itu, tapi tidak bisa menghindar dari sergapan sebuah jaring.

"Ih..." Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu bisa melepaskan diri dari jaring hitam yang mengurungnya datang lagi dua jaring dan langsung membungkus dirinya. Dan Bayu benar-benar tidak berdaya, sehingga jatuh tergulung jaring. Sia-sia Pendekar Pulau Neraka mencoba memberontak, karena jaring-jaring ini begitu kenyal dan sukar diputuskan.

"Setan..." Bayu mengumpat geram. Pendekar Pulau Neraka itu tidak lagi memberontak ketika empat orang gadis bermunculan dari balik pohon dan semak belukar. Mereka masing-masing mengenakan baju warna biru, kuning, hijau dan putih. Dihampirinya Bayu yang terjerat jaring hitam. Salah seorang yang memegang tambang, langsung mendekati.

Dengan gerakan cepat dan lincah, gadis itu berlompatan di sekitar pemuda berbaju kulit harimau yang kini tak berdaya. Dan tahu-tahu, seluruh tubuh Bayu sudah terikat tambang. Gadis berbaju biru yang memegang tambang, menyerahkan dua ujung tambang pada gadis lainnya. Mereka tersenyum-senyum memandangi Pendekar Pulau Neraka yang sudah tidak berdaya lagi.

"Hei Siapa kalian?" teriak Bayu bertanya. Empat gadis cantik itu hanya tertawa saja. Dua orang segera menyeret Bayu yang terikat di dalam jaring hitam. Sedangkan dua orang lain berjalan di belakang. Pendekar Pulau Neraka itu mencoba memberontak, tapi usahanya sia-sia saja. Membebaskan diri dari jaring ini saja sudah sulit, apalagi harus melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya.

Menyadari usahanya tidak akan berhasil, Bayu membiarkan saja tubuhnya terseret Diperhatikan sekitarnya, menghapal jalan yang dilalui empat orang gadis cantik ini. Bayu mengerahkan hawa murni untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya terantuk batu atau akar-akar pohon yang tersembul keluar dari dalam tanah. Tapi dengan mengerahkan hawa murni, semua rasa sakit tidak terasakan lagi.

"Tunggu" seru gadis yang mengenakan baju biru tiba-tiba. "Ada apa?" tanya gadis yang mengenakan baju kuning.

"Orang ini harus dibuat pingsan. Dia tidak boleh mengetahui jalan yang dilalui," usul gadis berbaju biru itu. lagi.

Hmm, benar," sahut gadis baju hijau. Tanpa banyak bicara lagi, gadis baju hijau menggerakkan tangannya beberapa kali ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sedikit pemuda berbaju kulit harimau itu mengeluh, lalu pandangannya jadi nanar. Dan sebentar kemudian tidak sadarkan diri lagi. Bayu tidak tahu lagi, ke mana dibawa pergi oleh keempat gadis cantik ini.

***

"Oh...," Bayu merintih lirih. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan kepalanya, kemudian membuka matanya sedikit Kembali digeleng-gelengkan kepalanya. Seketika Bayu terkejut, begitu mengetahui berada di suatu ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari batu Dan tubuhnya kini berada di sebuah pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Bayu mencoba menggelinjang, tapi jadi terkejut bukan main.

Seluruh tubuhnya terasa mati, tidak bisa digerakkan. Sekali lagi dicobanya menggerakkan tangan, tapi tangannya benar-benar lumpuh. Bayu sadar kalau pusat jalan darahnya sudah tertotok, dan tak mungkin bisa bebas meskipun mengerahkan hawa murni. Hal ini disadari karena bagian kepalanya masih bisa bergerak, sedangkan bagian tubuh lainnya lumpuh. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba ruangan yang semula remang-remang ini mendadak terang benderang.

Kini seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Sebuah ruangan yang cukup besar, berdinding batu hitam agak berlumut. Tidak ada jendela, tapi ada sebuah pintu dari kayu jati tebal yang tertutup rapat. Pandangan Bayu tertumbuk pada seorang wanita cantik mengenakan baju warna merah muda yang longgar dan tipis. Begitu tipisnya sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. Wanita itu berdiri di depan pintu yang tertutup. Bayu mengenalinya, karena pernah bertemu di kedai di pinggiran Desa Coket.

"Di mana aku?" tanya Bayu. Wanita cantik itu tidak menjawab, tapi malah tersenyum. Dengan langkah gemulai, wanita itu menghampiri Bayu dan duduk di tepi pembaringan. Tercium aroma harum yang menyebar dari tubuh wanita cantik Ini. Bayu hanya bisa memandangi saja karena seluruh tubuhnya sudah tertotok, tak mampu lagi digerakkan.

"Kau berada di tempatku, pemuda tampan," jelas wanita itu lembut.

"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Bayu beruntun.

"Kau sudah mengenal siapa aku, bukan?" tetap lembut suara wanita itu.

"Yang pasti, namamu bukan Anggrek Jingga" dengus Bayu.

"Ternyata kau seorang pemuda yang selalu ingin tahu tentang wanita."

Bayu mendengus sengit

"Baik Kau boleh memanggilku Kandita. Itu namaku yang sebenarnya. Dan semua orang lebih mengenalku dengan julukan Anggrek Jingga. Terserah kau, ingin memanggilku yang mana," kata wanita itu memperkenalkan namanya.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Bayu lagi.

"Hanya untuk pengamanan saja, Bayu," sahut Kandita lembut.

Kandita menjulurkan tangannya yang halus berjari lentik ke dada Pendekar Pulau Neraka. Dengan gerakan halus dan lembut, direbahkan kepalanya ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tercium bau harum yang sangat menusuk hidung Bayu. Pelahan wanita cantik itu mengangkat kepalanya, lalu merebahkan diri sehingga menghimpit tubuh Bayu. Sangat terasa, dua bukit kembar yang terselubung kain merah itu lembut menekan dada Pendekar Pulau Neraka.

Seketika Bayu merasakan napasnya sesak. Dan napasnya tertahan ketika Kandita dengan lembut sekali mengecup bibirnya. Hanya sedikit, namun sangat lembut dan hangat sehingga membuat Bayu sampai menahan napas. Tanpa dapat dicegah lagi, Pendekar Pulau Neraka itu menikmati kecupan lembut di bibirnya tadi.

"Kau tampan sekali, Bayu," desah Kandita.

"Hhh Dari mana kau tahu namaku?" dengus Bayu.

"Mudah sekali mengetahui tentang dirimu, pemuda tampan," sahut Kandita seraya tertawa lembut.

"Aku tahu siapa dirimu. Seorang pendekar digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sungguh... Tak kusangka kalau semudah ini bisa membawamu ke sini. Ah..., ternyata Pendekar Pulau Neraka tidak sehebat yang dikatakan orang."

"Licik Curang..." dengus Bayu gusar.

"Untuk mencapai apa yang diinginkan, segala cara akan kutempuh. Tidak ada kata licik, curang, atau kata-kata lain. Kau bisa melihat bagaimana aku melakukan sesuatu dengan perencanaan matang."

''Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Bayu ingin tahu.

"Untuk apa...?" Kandita tertawa renyah. Wanita itu bangkit, menjauhkan tubuhnya dari Pendekar Pulau Neraka, tapi masih duduk di tepi pembaringan ini Jari-jari tangan yang lentik mengelus-elus dada bidang pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Katakan, untuk apa kau lakukan semua ini?" desak Bayu.

"Sudahlah, Bayu. Tidak perlu kau ketahui semuanya. Percayalah Kalau urusanku sudah selesai, kau akan kubebaskan. Kau boleh pergi sesuka hatimu, bagai burung yang merdeka, bebas terbang ke mana saja," Kandita mencoba mengelak.

"Kenapa tidak kau bebaskan saja sekarang?"

"Belum saatnya, Bayu. Nanti, kalau sudah saatnya tiba. Tenang sajalah di sini. Semua keperluanmu akan dilayani murid-muridku. Mereka semua cantik-cantik. Tapi, awas... Jangan sekali-sekali merayu mereka. Dan kau juga jangan terpikat oleh godaannya. Selama berada di sini, kau menjadi milikku" agak tajam nada suara Kandita.

"Enak saja" dengus Bayu.

"Kau tidak bisa menolak, Bayu." Kandita melepaskan pakaian yang dikenakan Pendekar Pulau Neraka.

"Heh Apa yang akan kau lakukan...?" sentak Bayu terkejut.

"Tenanglah.... Kau laki-laki, dan aku wanita. Aku rasa kau seorang laki-laki normal yang juga butuh belaian halus seorang wanita," tenang sekali suara Kandita.

"Edan Kau tidak bisa seenaknya me...." Belum habis Bayu bicara, Kandita sudah menyumpal mulut Pendekar Pulau Neraka itu dengan mulutnya. Sehingga hanya keluhan dan gumaman saja yang terdengar. Bayu mencoba memberontak. Tapi totokan pada jalan darahnya begitu kuat, dan benar-benar tidak berdaya lagi. Sementara jari-jari tangan Kandita sudah mulai menggerayangi tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kini pemuda berbaju kulit harimau itu jadi terbeliak, manakala Kandita juga melepaskan pakaiannya sendiri.

"Setan kau, Kandita" geram Bayu, memerah wajahnya.

"Ssst.."

Kandita tidak mempedulikan makian pemuda berbaju kulit harimau itu. Napasnya sudah mendengus memburu. Diciuminya seluruh wajah dan leher Bayu. Terasa hangat di kulit, mencoba merangsang gairahnya. Kandita terus berusaha membangkitkan gairah Pendekar Pulau Neraka ini dengan ciuman-ciumannya yang lembut dan hangat, dan rabaan jari-jarinya yang halus dan menggelitik.

Sekuat daya Bayu mencoba bertahan, tapi rangsangan yang diberikan wanita cantik ini benar-benar membuat kepalanya pening. Seluruh darah di tubuh Pendekar Pulau Neraka itu mulai menggolak mendidih, dan tubuhnya jadi menggeletar. Saat itu Kandita tersenyum, karena kali ini benar-benar berada di atas kemenangan. Seluruh tubuh wanita itu sudah dibasahi keringat. Napasnya semakin hangat mendengus, bagai kuda pacu yang didera kencang. Bayu memejamkan matanya kuat-kuat Gerahamnya bergemeletuk keras.

Sementara Kandita semakin buas, dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang bertambah liar. Suara desisan dan erangan lirih terdengar. Hingga akhirnya tiba-tiba saja wanita itu terpekik tertahan. Tubuhnya langsung jatuh lunglai, menggelimpang ke samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pelahan Bayu membuka matanya, melihat Kandita mengenakan pakaiannya kembali sambil tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan. Bayu benar-benar muak melihat senyum wanita itu, meskipun wajahnya sangat cantik dan senyumnya memikat.

"Aku akan membunuhmu, perempuan iblis..." desis Bayu menggeram.

"Itu tidak akan terjadi, Bayu," sambut Kandita diiringi derai tawanya.

Setelah merapikan pakaiannya sendiri, wanita itu kemudian merapikan pakaian Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pipi pemuda itu dengan lembut. Sekali lagi diberikannya satu kecupan tipis di bibir. Bayu hanya bisa mengumpat dengan bara api kemarahan menggelegak di dada.

"Istirahatlah, Sayang," ucap Kandita lembut.

"Keparat Kubunuh kau, Iblis..." geram Bayu muak.

"Ha ha ha..." Kandita hanya tertawa saja. Begitu lepas derai tawanya. Wanita itu bangkit berdiri, turun dari pembaringan. Sambil memperdengarkan tawa yang lepas, dia berjalan keluar dari ruangan itu. Tinggal Bayu memaki-maki dan mengumpat sambil berteriak teriak mengancam. Bukan main marahnya Pendekar Pulau Neraka itu, karena benar-benar merasa terhina oleh kelakuan Kandita.

Belum juga reda kemarahan Bayu, muncul seorang gadis cantik lagi mengenakan baju biru ketat Bayu mendengus memberengut kesal, dan benar-benar muak melihatnya. Dia hanya menatap tajam dengan mulut terkunci rapat. Gadis berbaju biru itu menarik sebuah kursi di dekat pembaringan, lalu duduk di sana.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu mendengus.

"Malam ini aku ditugaskan menjagamu," jawab gadis itu kalem.

Bayu menatap gadis itu dalam-dalam dengan sinar mata tajam. Sedangkan yang ditatap malah kelihatan tidak peduli, dan hanya duduk tenang tanpa membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka ini.

"Siapa namamu?" tanya Bayu iseng. "Ranti," sahut gadis berbaju biru itu.

"Dan yang lainnya?" tanya Bayu lagi.

"Kami hanya empat, ditambah guru."

"Aku tanya nama yang lainnya."

"Yang pakai baju kuning namanya Dewi. Sedangkan yang berbaju hijau namanya Saras. Dan Pinanti yang berbaju putih," sahut Ranti menjelaskan dengan nada suara tenang tanpa tekanan sedikit pun "Kenapa kau tanya-tanya?"

"Tidak apa-apa," suara Bayu terdengar ketus. Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi. Dipejamkan matanya sambil mencoba mengerahkan hawa murni untuk membebaskan totokan pada pusat jalan darahnya. Meskipun disadari tidak akan berhasil, tapi paling tidak harus dicoba.

***

Sementara itu di lain ruangan, Kandita sudah mengenakan baju merah menyala yang sangat ketat. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggang. Pada ujung gagang pedang, terukir sekuntum bunga anggrek berwarna Jingga. Dia duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang sangat indah. Sedangkan di depannya tiga orang gadis berwajah cantik duduk bersila di lantai beralaskan permadani berbulu tebal.

"Dewi...," panggil Kandita seraya menatap gadis yang mengenakan baju kuning.

"Ya, Nini Guru?" sahut Dewi penuh rasa hormat.

"Apakah tua bangka itu masih ada di depan?" tanya Kandita, datar nada suaranya. "Masih, Nini Guru," sahut Dewi. "Laki, bagaimana si tua lainnya, Saras?"

Kandita menatap gadis yang mengenakan baju hijau.

"Dia terlalu menyusahkan, Nini Guru," sahut Saras.

"Apa maksudmu?" tanya Kandita.

"Dia selalu saja duduk bersemadi, tidak mau makan dan minum. Semua makanan dan minuman yang disediakan tidak dijamah sama sekali," lapor Saras.

"Biarkan saja, jangan diurusi" dengus Kandita. 'Toh kita tidak lama lagi di sini. Biar dia mati kelaparan"

"Baik, Guru."

"Nah Sekarang giliranmu, Pinanti," Kandita menatap muridnya yang memakai baju putih.

"Ya, Nini Guru," lembut sekali sahutan Pinanti.

"Bagaimana tugasmu?" tanya Kandita.

"Tidak ada masalah, Nini Guru. Semua berjalan lancar sesuai rencana," jawab Pinanti.

"Apa kau sudah dengar tentang Eyang Palandara?"

"Belum."

"Heh... Bukankah tugasmu memancing Eyang Palandara keluar dari padepokannya?" sentak Kandita agak gusar.

"Semua sudah dilaksanakan, Nini Guru. Tapi orang itu tetap saja tidak mau keluar, dan sepertinya sudah mengetahui pancingan ini."

"Mustahil Dari mana dia tahu?" dengus Kandita. "Dengar, Tujuan kita yang paling utama adalah si tua keparat Palandara. Kalau dia sudah mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita untuk menguasai seluruh daerah di Gunung Waru ini. Kita akan mendirikan kerajaan kecil di sini, dan hidup senang selama-lamanya."

"Tapi, Nini Guru...," selak Dewi.

"Ada apa lagi, Dewi?" tanya Kandita.

"Bukankah di sekitar Kaki Gunung Waru ini bukan hanya Padepokan Sangga Langit saja yang ada? Masih banyak padepokan lainnya," sergah Dewi.

"Bodoh Kau bicara asal menguap saja, Dewi" sentak Kandita.

"Maaf, Nini Guru," buru-buru Dewi memohon maaf.

"Aku hanya mengingatkan saja."

"Kalian semua tahu. Di sekitar Kaki Gunung Waru ini hanya ada satu padepokan kuat, yaitu Padepokan Sangga Langit. Nah Kalau kita sudah menguasai padepokan itu, tidak perlu banyak menguras tenaga untuk menaklukkan yang lain. Terlebih lagi partai-partai golongan hitam. Mereka pasti akan bergabung dengan sendirinya."

Ketiga gadis itu hanya diam mendengarkan.

"Kalian harus ingat Aku memberi jurus-jurus tingkat tinggi bukannya tidak ada tujuan, tapi untuk membuat kalian menjadi wanita tangguh yang disegani dan ditakuti semua orang. Dan inilah saatnya untuk membuktikan kalau kaum wanita bukanlah kaum lemah. Kalian dengar itu?" lantang sekali suara Kandita.

"Mengerti, Nini Guru," ucap ketiga gadis itu berbarengan.

"Nah, Jadi jangan banyak macam-macam. Ikuti saja perintahku. Dan satu hal yang perlu kalian ketahui. Siapa saja berani membangkang, aku tidak segan segan menjatuhkan tangan. Paham..."

"Paham, Nini Guru," sahut ketiga gadis itu kembali berbarengan.

"Sudah jauh malam, sebaiknya kalian beristirahat saja," kata Kandita seraya bangkit berdiri. Wanita cantik berbaju merah itu mengayunkan kakinya meninggalkan ketiga muridnya, lalu masuk ke dalam sebuah kamar.

Sedangkan ketiga gadis cantik itu masih tetap duduk bersila. Mereka baru bangkit berdiri setelah cukup lama Kandita tidak keluar kamar lagi. Dua gadis masuk ke dalam kamar lain, sedangkan gadis yang berbaju putih masuk ke dalam kamar yang berpintu kayu jati tebal. Di kamar itu ternyata Bayu berada dijaga seorang gadis cantik berbaju biru.

Gadis yang bernama Ranti itu mengangkat kepalanya saat mendengar pintu terbuka, lalu bangkit berdiri dan menghampiri begitu melihat siapa yang datang. Pinanti menutup pintu kembali. Kedua gadis itu menarik kursi ke dekat pintu dari duduk di sana. Mereka memandang Bayu yang tampaknya sedang tidur lelap.

"Bagaimana dia?" tanya Pinanti. "Tidur. Mungkin kelelahan," sahut Ranti seraya tersenyum penuh arti. Sedangkan Pinanti hanya tersenyum tipis sekali. Terasa hambar senyuman gadis berbaju putih itu. Dipalingkan pandangannya, beralih pada Ranti yang duduk di sebelahnya.

"Ada apa, Pinanti? Nini Guru marah lagi?" lembut suara Ranti. Pinanti hanya mengangguk saja.

" Kalian pasti sudah menyinggung perasaannya lagi," tebak Ranti.

"Dewi yang memulai," ujar Pinanti pelan.

"Kan sudah kuperingatkan, jangan singgung-singgung masalah itu lagi. Kita ini hanya murid, dan semuanya ada di tangan Nini Guru Kandita. Lagi pula semua yang dilakukannya demi kita semua," tegas Ranti, agak pelan suaranya seperti takut terdengar Bayu.

Pinanti hanya diam saja. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Diarahkan pandangannya pada pemuda berwajah tampan mengenakan baju dari kulit harimau yang terbaring lelap dalam buaian mimpi.

"Ranti, kenapa dia ditangkap?" tanya Pinanti tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari Bayu.

"Pertanyaanmu aneh, Pinanti," desah Ranti.

"Aku hanya ingin tahu saja , Ranti."

"Dia terlalu banyak ingin tahu, dan Nini Guru tidak pernah menyukai itu," jelas Ranti.

"Aku tahu watak Nini Guru, karena telah lebih lama ikut dengannya daripada kau dan yang lainnya."

"Tapi, kenapa harus ditangkap? Kenapa tidak dibunuh saja seperti yang lain?" tanya Pinanti.

"Aku tidak tahu itu, Pinanti. Tapi yang jelas, Nini Guru menyukai pemuda tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi. Ah, sudahlah. Nanti pemuda itu pasti juga dilenyapkan, kalau semuanya sudah selesai." Pinanti menganggukkan kepalanya pelahan.

"Sudah malam, tidur sana. Besok kau harus ke Padepokan Sangga Langit, bukan?"

"Iya Aku tinggal dulu, Ranti." Pinanti bangkit berdiri Dibukanya pintu, dan dilangkahkan kakinya keluar. Ranti kembali menghampiri Bayu yang masih terbaring dengan mata terpejam. Sebentar dipandangi wajah pemuda itu, kemudian duduk di tepi pembaringan. Pelahan tangannya terulur dan mengusap dada pemuda itu dengan halus.

"Kau tampan sekali...," desah Ranti pelahan. Pelan-pelan Ranti membaringkan tubuhnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya wajah tampan di sampingnya, lalu diletakkan kepalanya di dada pemuda itu. Dia tidak tahu kalau Bayu membuka matanya, dan kembali terpejam saat Ranti mengangkat kepalanya, langsung memandangi wajah pemuda tampan itu. Pelahan-lahan Ranti mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut bibir Bayu. Ranti beringsut turun dari pembaringan, kemudian duduk di kursi dekat pembaringan itu.

Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat. Terdengar tarikan napas panjang dan terasa berat seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Malam ini gadis itu tidak boleh tidur, karena mungkin saja Pendekar Pulau Neraka itu bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan pada jalan darahnya. Kalau hal itu terjadi, Bayu harus cepat diberi totokan kembali sebelum sempat melakukan sesuatu. Sungguh berat tugasnya, tapi tidak bisa ditolak.

***