Pendekar Rajawali Sakti 112 - Dendam Datuk Geni(1)


SATU

GUNUNG RINJANI yang gagah dan angker, di waktu pagi tampak berselimut kabut tebal. Di bawah puncaknya yang tinggi dan lancip, terdapat beberapa anak gunung yang mengelilingnya. Daerah ini, memang indah dengan segala jenis tanaman dan bebatuan. Namun pada salah satu anak gunung yang disebut Bukit Api, tanahnya gersang dan kering. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup di tempat itu. Semuanya kering dan mati. Yang tampak hanya bebatuan berwarna kemerahan, terpanggang hawa panas yang keluar dari perut bumi.

Namun bila terus berjalan ke atas, ada suatu tempat yang cukup luas dan datar. Di situ, hidup tumbuhan dan binatang-binatang yang amat langka dan mengandung racun ganas. Salah satunya yang paling mengerikan dan beracun adalah kalajengking api. Sedikit saja tubuh seseorang terkena sengatannya, maka dalam waktu yang tak lama akan tewas seketika dan tubuhnya berubah merah seperti kepiting direbus.

Sementara di salah satu sisi dindingnya terdapat sebuah goa yang memiliki ruangan cukup luas. Dan goa itu berhubungan dengan perut gunung, tumpahan lahar digodok di dalamnya. Dan di sebuah ruangan goa itu, tinggallah seorang laki-laki tua yang rambutnya tinggal sedikit, dan telah memutih di dekat tengkuknya. Dia tengah duduk bersila di atas sebuah batu berbentuk segi empat, setinggi satu jengkal dari tanah.

Wajahnya yang penuh kerut-kerut kaku bagaikan patung, dihiasi sepasang alis yang tinggi kulitnya kemerahan bercampur hitam. Tubuhnya kurus, sehingga tulang rusuknya yang bertonjolan terlihat di balik baju yang compang-camping. Pada jarak dua langkah di hadapan laki-laki tua itu, bersimpuh seorang pemuda bertubuh tegap. Raut wajahnya keras dan kedua rahang yang menonjol. Kulit tubuhnya merah kecoklatan. Baju yang dikenakannya terlihat lusuh, dengan sobekan-sobekan di beberapa bagian.

"Mintarja.... Kurasa telah tiba waktunya bagimu untuk turun ke dunia ramai. Pelajaran yang kau peroleh dariku telah selesai," kata laki-laki tua itu, pada pemuda yang rupanya murid satu-satunya.

"Eyang Sara Geni, berat hatiku untuk meninggalkanmu seorang diri di sini. Kau telah kuanggap sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Tapi aku tahu, kau akan membenciku kalau aku bersikap cengeng dan lemah. Maka apa pun perintahmu akan kulakukan," sahut pemuda yang dipanggil Mintarja, tenang.

"Hm... sebelum kau pergi, ada dua pesanku yang harus kau kerjakan," gumam laki-laki tua berkepala hampir botak, yang ternyata bernama Eyang Sara Geni itu.

"Apakah itu, Eyang?" tanya muridnya dengan kening berkerut.

"Pertama, kau harus menemui calon istrimu. Kau ingat, bukan?"

"Maksud Eyang, Kaniawati?" Mintarja ingin memastikan.

"Ya, kawan mainmu ketika kecil. Aku telah berjanji pada kedua orangtua kalian, untuk menjodohkanmu dengannya. Selain, mengangkatmu sebagai muridku. Seperti kau ketahui, Kaniawati telah diangkat murid oleh saudara seperguruanku, yaitu Nyi Lengser di puncak Gunung Rinjani," jelas Eyang Sara Geni.

"Aku akan melaksanakannya, Eyang!" jawab Mintarja, mengangguk hormat.

Sebentar suasana jadi hening. Tampak mata Eyang Sara Geni menerawang jauh, seperti mengenang sesuatu. Sedangkan Mintarja tetap tertunduk menekuri tanah.

"Yang kedua, kau harus balaskan sakit hati dan dendam orangtuamu yang tewas dibantai oleh tokoh-tokoh yang kusebutkan padamu," ujar Eyang Sara Geni.

"Aku pasti akan melaksanakannya, Eyang!" sahut pemuda itu mantap.

"Bagus! Karena untuk itulah kau kubawa ke sini. Orangtuamu dan orangtua Kaniawati adalah kawan-kawan baikku. Semula aku ingin membalas kematian mereka dengan tanganku sendiri. Tapi melihatmu dan Kaniawati timbul pikiran lain. Kalian lebih pantas untuk membalaskannya. Maka, untuk itulah kalian kami didik." jelas Eyang Sara Geni lagi.

Kembali suasana jadi hening. Sementara muridnya mencoba mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata tua itu di depannya sebentar.

"Eyang... Kalau boleh kutahu, kenapa kami dididik secara terpisah?" tanya Mintarja pelan, seraya kembali menunduk.

Eyang Sara Geni tidak langsung menjawab. Ditatapnya Mintarja yang menunduk. "Mintarja, perlu kau ketahui. Meskipun bibi gurumu adalah saudara seperguruanku, tapi ilmu kami memiliki aliran berbeda. Seperti yang kau ke tahui, aliran ilmu yang kuajarkan padamu mengandung unsur api. Sedangkan bibi gurumu mengandung unsur air. Sehingga apabila kedua aliran itu dipadukan, maka akan tercipta suatu paduan yang hebat dan sulit terkalahkan. Karena kedua aliran itu tak bisa dituntut satu orang, maka itu sebabnya kalian dipisahkan," jelas Ki Sara Geni.

Mintarja mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu.

"Kemudian ada hal yang perlu disadari bahwa ilmu pukulan 'Racun Api' yang kau miliki masih belum sempurna. Jadi hal itu tak bisa dianggap enteng. Dan ilmu itu tak bisa kuberikan seluruhnya, karena kau harus melatihnya sendiri di dekat kawah di bawah sana selama puluhan tahun. Dan hal ini akan menghabiskan umurmu. Aku khawatir jika menyuruhmu untuk menyempurnakannya, maka musuh-musuhmu keburu mati tanpa merasakan pembalasan darimu. Kau mengerti, Mintarja?" lanjut Eyang Sara Geni.

"Aku mengerti, Eyang," kata Mintarja mantap.

"Nah kuharap kau tak kecewa. Karena apa yang kau miliki sama dengan yang dimiliki Kaniawati. Dia pun tak memiliki pukulan sempurna yang diajarkan gurunya, karena akan memakan waktu yang lama sekali. Kalau memang kau telah mengerti, maka bawalah ini sebagai senjatamu," tambah Eyang Sara Geni seraya menyerahkan dua pucuk tongkat runcing sepanjang kira-kira empat jengkal.

"Eyang .?' pemuda itu mendongak, memandang wajah gurunya dengan rasa tak percaya bercampur takjub.

Eyang Sara Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Dan Mintarja ragu-ragu menerimanya. Memang pemberian ini adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi dirinya. Sebab dia tahu, bagaimana dahsyat kedua tongkat yang dinamakan Sepasang Tongkat Api itu. Apabila dipukulkan satu sama lain, maka akan menyemburkan lidah api yang panjang dan mampu menyerang lawan. Dan bila beradu dengan benda keras lain, akan memercikkan bunga api yang diiringi ledakan menggelegar laksana sambaran geledek.

Mintarja tahu bahwa senjata itu ada dua pasang. Dan sebelumnya, memang sudah diduga kalau yang sepasang akan diberikan kepadanya. Karena Eyang Sara Geni memang amat menyayanginya. Diakui, Mintarja belum pernah menggunakannya. Tapi dia merasa yakin, mampu menggunakan sepasang senjata itu. Karena, gurunya pernah menjelaskan secara seksama.

"Nah, sekarang pergilah. Doaku menyertaimu," ujar Eyang Sara Geni.

"Baiklah, Eyang Aku mohon doa restu," desah Mintarja, seraya menyelipkan sepasang Tongkat Api ke pinggangnya. Kemudian dia memberi hormat, lalu bangkit berdiri.

"Aku merestuimu, anakku." kata Eyang Sara Geni, lalu bangkit berdiri.

Orang tua itu sendiri tak menunjukkan raut wajah sedih ataupun gembira. Malah dia tetap berada dalam goa. Dan ketika Mintarja telah keluar goa, laki-laki tua itu bangkit Lalu, kakinya terus melangkah ke bagian dalam yang menjorok ke bawah. Di sana terdapat sebuah kolam lahar yang berwarna kemerahan dan selalu bergejolak. Di tengah-tengah, terdapat sebuah batu hitam yang agak tinggi yang bagian bawahnya membara kemerahan. Ke atas batu itulah Eyang Sara Geni melompat dan terus duduk bersila. Dia langsung melanjutkan tapanya, tanpa menghiraukan hawa panas yang menyengat seperti dalam ruang pembakaran!

Dengan melompat-lompat ringan menuruni tebing curam dan terkadang licin, Mintarja terus berlari cepat. Sehingga dalam waktu singkat, pemuda itu telah berada di bawah Gunung Rinjani. Dipandanginya untuk beberapa saat Gunung Rinjani yang berdiri gagah perkasa. Berkali-kali dihirupnya udara sebanyak-banyaknya hingga dadanya terangkat tinggi. Tempat itu memang membawa banyak kenangan, namun Mintarja tak mau terhanyut lebih lama. Pemuda itu menghela napas panjang sesaat, kemudian segera melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan gunung yang berdiri di belakangnya.

Sudah lebih dari setengah harian berjalan, Mintarja terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat yang memang tujuannya. Dan menjelang sore ini, pemuda itu tiba di suatu tempat yang pemandangannya menakjubkan. Di tempat itu, berjejer perbukitan kecil yang memiliki lubang kawah berisi air yang memiliki warna berbeda. Tiga buah lubang kawah tampak berbentuk segitiga. Yang kiri mempunvai air berwarna biru, sedangkan yang kanan berwarna hijau. Sementara yang berada agak ke atas, sedikit berwarna bening kemerah-merahan.

Saat itu Mintarja memang tengah di atas sebuah bukit yang agak tinggi, sehingga matanya leluasa sekali menikmati keindahan alam yang menakjubkan itu. Dalam keadaan itu, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar suara pertarungan tak jauh dari tempat ini

Maka seketika matanya merayapi sekitar tempat itu. Dan sebentar kemudian, ringan sekali tubuhnya melompat ke satu arah. Mintarja melesat cepat menuju sebuah bukit yang agak rendah di bawah. Memang teletak tidak jauh, maka sebentar saja dia sudah tiba. Dan di suatu tempat yang agak datar dan ditumbuhi rerumputan Mintarja melihat dua orang laki-laki berwajah seram dengan tubuh besar tengah bertarung. Lawan mereka adalah seorang gadis cantik berpakaian ungu. Rambutnya panjang, dan bagian belakangnya diikat pita merah. Mulanya Mintarja bermaksud turun tangan untuk membela gadis itu. Namun setelah mengamati rupanya sedikit pun gadis itu tak terdesak.

"Hmm... Siapa gadis itu? Ilmu olah kanuragannya cukup hebat. Bahkan kedua lawannya dibuatnya seperti bulan-bulanan" gumam Mintarja dalam hati dengan wajah kagum.

Apa yang dilihat Mintarja memang tak salah. Gerakan gadis itu demikian gesit dan cepat. Dia mampu melayang ringan seperti kapas. Tampak kedua lawannya dibuat jatuh bangun tak berdaya. Namun dia seperti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawan-lawannya untuk balas menyerang.

"Yaaa ! Keparat-keparat busuk! Kalian akan mampus di tanganku!" geram gadis itu langsung menendang kedua lawannya. Tubuh gadis itu berputaran di udara dengan kedua kaki saling menyilang. Dan seketika dihajarnya langsung kedua lawan dengan telak.

Duk!

Dess!

"Aaaakh!"

Kedua laki-laki itu memekik kesakitan begitu wajah masing-masing terhajar dendangan gadis itu. Darah tampak mengucur dari hidung mereka yang pecah. Dan agaknya gadis berpakaian ungu tak melepaskan mereka begitu saja. Tubuhnya langsung melesat ke arah lawan-lawannya sebelun sempat bersiap-siap lagi. Begitu cepat tendangan gadis itu sehingga tak seorang pun yang bisa mengelak. Maka...

"Hiyaaa!"

Des!

Krek!

"Mampuslah kalian!" dengus gadis itu, ketika kedua kakinya menghantam dada lawan-lawannya.

"Aaa...!"

Kedua laki-laki itu kontan menjerit kesakitan begitu dadanya terasa remuk. Mereka langsung ambruk ke tanah, dan mati dalam keadaan mata melotot lebar.

"Hebat! Kepandaianmu sungguh hebat, Nisanak. Persoalan apa hingga sampai membunuh mereka?" tanya Mintarja, ketika keluar dari persembunyiannya. Dan pemuda itu kini melangkah mendekati gadis yang sorot matanya tajam.

"Siapa kau?! Apakah kau kawan kedua orang ini?!" bentak gadis itu galak.

"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan sedang menunggu seorang kawan di tempat seperti ini," sahut Mintarja tenang.

"Huh! Kau pikir aku bisa percaya omonganmu itu!"

"Apa maksudmu?"

"Kau sama saja dengan kedua laki-laki ini, hendak berbuat kurang ajar terhadapku!" dengus gadis itu geram.

"Nisanak! Jangan sembarangan kalau bicara! Apa kau kira setelah membunuh kedua laki- laki itu, kau bisa menggertakku begitu?" sahut Mintarja, jadi tak senang.

"Kalau betul, kau mau apa?" tantang gadis itu sambil berkacak pinggang.

Melihat sikap gadis itu, amarah Mintarja jadi tak terbendung lagi. Ditatapnya gadis itu dalam dalam dengan sorot mata tajam. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat sambil menggeram pelan.

"Ingin kulihat. sampai di mana kehebatanmu sehingga bisa membuatmu besar kepala!"

"Huh! Majulah kalau kau ingin mampus!"

"Hup, yeaaa!"

Dengan sekali melompat, tubuh Mintarja bergerak cepat mengirim pukulan keras sambil berputaran. Namun gadis yang agaknya telah menduga hal itu cepat melenting tinggi ke atas menghindarinya. Kemudian tubuhnya menukik tajam laksana rajawali hendak menyambar mangsanya, ke arah Mintarja yang sudah menunggunya. Mintarja langsung saja menangkis dengan kedua tangannya ketika gadis itu hendak menghantam batok kepalanya.

"Hih!"

Plak!

"Uhh...!"

Dan ketika kedua tangan mereka beradu, terlihat wajah masing-masing berkerut menahan sakit. Agaknya, mulai disadari kalau kemampuan masing-masing setara. Namun itu bukan berarti salah satu ada yang mau mengalah. Bahkan gadis itu semakin bernafsu saja menyerang dan bermaksud menghabisi pemuda itu secepatnya. Sebaliknya, Mintarja merasa penasaran, karena gadis yang dianggapnya mudah ditundukkan temyata memberi perlawanan sengit dan hebat.

"Hiyaaa!"

"Uts..."

Kaki kanan gadis itu cepat menghantam ke arah dada Mintarja. Namun pemuda itu telah me lenting ke belakang dengan gerakan bersalto. Dan begitu mendarat, kakinya seketika melepaskan tendangan saat gadis itu mencoba mengikuti gerakannya. Dan pada saat yang bersamaan gadis itu juga telah melepaskan satu sodokan yang keras ke dada. Maka....

Plak!

Kali ini terlihat paras gadis itu berkerut, menahan rasa sakit ketika kepalan tangannya beradu dengan kaki Mintarja. Dan seketika hawa panas terasa mengalir di tangannya, sehingga membuatnya tersentak. Buru-buru tangannya ditarik. Masih untung, dia cepat membuang diri ke samping ketika pemuda itu menyapu mukanya dengan kaki satunya. Gadis itu lalu cepat-cepat bangkit dan berdiri, kemudian....

Sring!

Dengan geram gadis itu mencabut pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat siap mengayunkan pedangnya membelah tubuh lawan. Tentu saja hal itu membuat Mintarja terkejut. Maka buru-buru senjatanya yang berupa sepasang tongkat runcing di cabut untuk menangkis.

Trasss!

Heh?!"

Begitu mendarat manis di tanah, kedua orang itu tersentak kaget ketiga senjata satu sama lain beradu. Tadi seperti terdengar suara besi panas membara yang diceburkan ke dalam air. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah seraya memandang senjata masing-masing. Kemudian mereka saling menatap dengan wajah heran.

"Nisanak' Siapa kau sebenarnya? Pedangmu mengandung hawa dingin yang mampu meredam nyala api tongkatku. Di dunia ini, yang mampu menahan tongkatku ini hanya pedang milik bibi guruku, yaitu Nyi Lengser yang berdiam di puncak Gunung Rinjani." kata pemuda itu membuka suara setelah terdiam beberapa saat.

Gadis itu terpana. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.

"Apakah kau... kau murid Eyang Sara Geni?" tanya gadis itu, lirih.

"Betul. Dan kau murid bibi guruku?" timpal Mintarja. Si pemuda balik bertanya.

"Kakang Mintarja!" gadis itu mendadak terpekik dengan wajah girang, seketika pedangnya disarungkan kembali ke balik punggungnya.

Mintarja juga terkejut dan menghampiri gadis itu. Lalu mereka saling berhadapan, setelah Mintarja menyelipkan kembali kedua tongkatnya. "Kaniawati!"

Mereka saling bertatapan beberapa saat, kemudian gadis itu tertunduk malu.

"Kakang! Oh, tak kukira bahwa kau orangnya. Maafkan kekeliruanku, Kakang...," lirih suara gadis yang dipanggil Kaniawati.

"Tak apa, Kania. Aku pun salah. Maafkan kekasaranku..." sahut pemuda itu dengan suara pelahan.

Kini mereka kembali terdiam, sehingga suasana hening seperti di pekuburan. Kaniawati masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajah pemuda itu. Sementara Mintarja sendiri salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi lama-kelamaan, akhirnya diberanikannya untuk memegang jemari gadis itu.

"Kania..." panggil pemuda itu, berbisik.

"Hmmm..."

"Tak sadar kau sudah besar dan cantik," puji Mintarja tersenyum kecil.

"Kau pun demikian, Kakang. Dulu ketika kecil kau kurus dan cengeng. Tapi sekarang kau gagah dan tampan...," sahut Kaniawati dengan wajah bersemu merah.

"Bagaimana keadaanmu selama disana?"

"Baik, Kakang. Eyang Guru sangat menyayangiku. Kakang sendiri?"

"Ya! Eyang Sara Geni pun berlaku demikian padaku..."

Kembali mereka terdiam. Namun, kali ini Mintarja lebih berani mengajak gadis itu untuk duduk di sebuah pohon yang lebih rindang. Dan kali ini pun, Kaniawati terlihat lebih berani mencuri-curi pandang, menatap wajah pemuda itu yang memang tampan. "Kau pun disuruh Eyang Lengser untuk menemuiku di sini?" tanya Mintarja. Kaniawati mengangguk. "Apakah beliau juga bicarakan tentang kita?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, dan memandang pemuda itu sejurus lamanya. "Aku ingin tahu, apakah Kakang setuju soal perjodohan yang telah ditetapkan sebelum kedua orangtua kita tewas?"

"Kenapa tidak?"

"Kakang terpaksa menyetujuinya?"

"Kalau dulu aku tak tahu apa artinya. Maka aku setuju saja agar mereka senang. Tapi setelah dewasa begini, mana mungkin aku akan menolak kalau ternyata gadis yang dijodohkan padaku ternyata cantik tiada tara!" kata Mintarja, diiringi senyum manis.

Kaniawati tersenyum manis, kemudian membuang pandang sejurus lamanya.

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Mintarja, sehingga membuat Kaniawati menoleh kembali.

"He, apa?"

Apakah kau menolak perjodohan kita?"

Kaniawati tak langsung menjawab, tapi malah tersenyum. "Menurutmu bagaimana?"

"Entalah. Eyang Sara Geni tak mengajarkan padaku bagaimana membaca hati orang. Aku hanya bisa tahu kalau orang itu mengaku. Nah, bagaimana jawabmu?"

Kaniawati menundukkan kepala, lalu mengangguk pelan. Tapi kemudian cepat dipandangnya pemuda itu dalam-dalam, masalahnya Mintarja menyinggung soal perkawinan mereka.

"Kakang, aku ada satu pertanyaan?"

"Apa itu?"

Paras wajah gadis itu seketika berubah kelam. Dia mendengus dan senyumnya terlihat sinis.

"Huh! Aku harus membalaskan dendam dua orangtuaku lebih dulu!" tegas Kaniawati.

"Kania! Bukan kau saja yang berpikir begitu. Aku pun memiliki dendam yang tak kalah besarnya denganmu. Dan Eyang Sara Geni juga berpesan, demikian. Jadi mana mungkin aku bisa bersenang-senang, selama mereka masih berkeliaran. Arwah kedua orangtuaku tentu tak akan tenang, kata Mintarja kembali.

"Terima kasih, Kakang. Kau tentu sabar menunggu, bukan?" ucap gadis itu.

"Tentu saja. Nah. lihatlah. Sebentar lagi malam tiba. Apakah kita akan menginap di sini. atau mencari desa yang terdekat untuk menumpang nginap?"

"Apakah kau tidak bisa tidur di hamparan rumput ini?" ledek Kaniawati. Gadis itu tersenyum.

"Hei? Kenapa tidak? Dengan adanya kau di sini, di mana pun aku bisa tidur!"

"Nah! Kenapa sulit-sulit segala mencari tempat?"

"Baiklah. Kita bermalam di sini saja, sambil merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari. Mereka tak akan lolos dari kejaran kita. Dan, tak seorang pun boleh menghalangi dendam kita!" tegas Mintarja.

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

***
DUA
Matahari bersinar garang siang ini, membuat udara semakin panas menyengat. Pucuk-pucuk dedaunan tampak layu. Beberapa rumput yang tumbuh di tempat itu kelihatan meranggas kekeringan. Udara yang panas demikian membuat seorang gadis berbaju biru muda dan berwajah cantik mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya yang berkeringat. Dia duduk bersandar di bawah pohon, dengan pandangan ke satu arah. Tampak di punggungnya tersimpan sebilah pedang bergagang kepala naga. Sementara di pinggangnya, terlihat sebuah kipasnya putih yang menguncup.

Mendadak gadis itu tersentak, dan cepat bangkit ketika melihat sosok bayangan yang berkelebat cepat ke arahnya. Dan sebentar saja telah berdiri laki-laki bertubuh besar di hadapannya. Wajahnya yang lebar dihiasi codet, sehingga menambah keseraman wajahnya. Rambut tipis, sementara kedua kakinya kelihatan lebih pendek dari pada tubuhnya yang tak terurus. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tampak membawa tongkat bambu di tangannya. Dan bibirnya langsung menyeringai lebar ketika melihat gadis itu.

"Ha, ha, ha...! Apakah saat ini aku tengah bermimpi? Seorang gadis cantik tersesat di daerah kekuasaan Gendil Sugolo!" kata orang itu kesenangan.

"Siapa kau! Dan apa yang kau lakukan di sini?" bentak gadis yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Pandan Wangi.

"Oh! Apakah kau tuli? Bukankah aku telah menyebutkan namaku tadi?" sahut orang yang mengaku bernama Gendil Sugolo, pura-pura terkejut.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi, keras.

"Mau apa? Apakah tidak terbalik? Akulah seharusnya yang bertanya begitu padamu. Tempat ini adalah kekuasaanku. Sejauh mata memandang, di hadapanmu adalah daerah kekuasaan Gendil Sugolo yang tampan dan gagah perkasa," kata Gendil Sugolo sambil membentangkan kedua tangan. Sementara mulutnya mengumbar tawa lebar.

"Orang gila sinting! Menyingkirlah dari hadapanku! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" bentak Pandan Wangi kembali. Wajahnya tampak mencerminkan kegeraman dan perasaan jengkel melihat ulah orang itu.

"He, he, he...! Kau hendak pecahkan kepalaku? Silakan, Cah Ayu!" tantang Gendil Sugolo sambil mengangsurkan kepalanya. Melihat itu, Pandan Wangi semakin kalap saja. Dengan gemas kepalan tangannya diayunkan menghantam ke arah batok kepala laki-laki itu.

"Hiiih!"
"Eit! Ha, ha, ha...!"

Gendil Sugolo memiringkan tubuhnya begitu sesaat lagi kepalan tangan gadis itu akan menghantam kepalanya. Sehingga luput serangan itu.

Pandan Wangi bertambah geram karena serangannya luput. Maka lutut kanannya cepat di sodokkan ke perut Gendil Sugolo. Tubuh laki-laki seram itu sudah melenting ke atas sambil berputaran. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang Pandan Wangi. Langsung diremas pantat gadis itu.

"Ouuuw...!" Gadis itu kontan menjerit kaget sambil memaki-maki tak karuan.

"Hm... aku tahu! Aku tahu! Kau tentu masih perawan ting-ting. He, he, he...! Gendil Sugolo memang harus berjodoh dengan gadis cantik jelita dan yang masih perawan." ucap laki-laki berwajah seram itu.

"Setan keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" dengus Pandan Wangi kalap.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Kenapa bersikap galak pada calon suamimu? Ayo, bersikaplah yang manis!" ledek Gendil Sugolo dan tertawa menakutkan.

Melihat hal ini, Pandan Wangi segera melepaskan satu sapuan yang mengarah ke pinggang. Namun serangan itu berhasil dihindari Gendil Sugolo dengan memiringkan tubuh sedikit. Maka tentu saja Pandan Wangi semakin kalap saja, sehingga terpaksa pedangnya dicabut.

Sring!

"Tua bangka keparat! Kubunuh kau saat ini! Hiyaaa!"

Pandan Wangi langsung melesat seraya mengibas ngibaskan pedangnya ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Bet! Bet!

"Uts...! Hm, bagus! Bagus! Calon istriku ternyata hebat sekali Ah! Aku semakin gemas saja ingin cepat-cepat mendekapmu!" Ujar Gendil Sugolo sambil melompat ringan ke sana kemari, menghindari sambaran pedang gadis yang terus mencecarnya seperti tiada henti.

"Hiyaaa!"

Disertai bentakan nyaring Gendil Sugolo berusaha membuat agar pedang di tangan Pandan Wangi terlepas, maka yang harus dihantamnya adalah pergelangan tangan gadis itu.

Namun Pandan Wangi cukup cerdik. Dengan gesit dihindarinya serangan lawan yang mengincar pergelangan tanganya. Namun Gendil Sugolo agaknya tak kurang akal. Maka tiba-tiba, tubuhnya melenting ke atas dan bermaksud menotok gadis itu. Untung saja cepat mengibaskan pedangnya ke atas.

Wut!

Terpaksa Gendil Sugolo menarik pulang tangannya, lalu kembali melenting tinggi. Dan dengan gerakan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah.

"Jangan coba-coba memperdayaku. Kau akan celaka sendiri!" geram Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Aku semakin suka melihatmu, Cah Ayu." sahut Gendil Sugolo terkekeh-kekeh.

Laki-laki seram itu melompat ke belakang, karena Pandan Wangi kembali menyerangnya dengan satu sebetan pedang. Disertai geraman menyeramkan, Gendil Sugolo yang sudah berdiri kokoh di tanah segera memutar tongkatnya menggulung pedang gadis itu. Tubuhnya kemudian terangkat tinggi, disertai tendangan keras dan cepat.

Pandan Wangi tak punya jalan lain, kemudian menghindari dengan melenting ke belakang. Namun, justru hal itulah yang diharapkan lawan. Begitu Pandan Wangi melenting, Gendil Sugolo menarik serangannya. Dan seketika, tubuhnya melesat mengejar Pandan Wangi. Dan tepat ketika gadis itu mendarat di tanah, dua buah jari tangan kanan laki-laki itu cepat menyambar ke arah perut Pandan Wangi.

Agaknya Pandan Wangi memang tak akan mampu menghindari totokan itu. Tapi tiba-tiba....

"Orang asing, hentikan perbuatan kotormu! Hiiih!"

"Heh!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Gendil Sugolo tersentak kaget dan menarik pulang serangannya. Dan sebentar kemudian berkelebat sosok bayangan putih, dan tahu tahu sudah berdiri tak jauh dari gadis itu.

"Siapa kau?! Berani-beraninya mengganggu urusan Gendil Sugolo? Sudah bosan hidup, he?!" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kakang Rangga! Oh, syukurlah kau cepat datang!"

Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu belum sempat menjawab, karena Pandan Wangi sudah menghambur kearahnya. Langsung dipeluknya tubuh pemuda itu dengan wajah lega.

"Hm... aku tahu. Kalian ternyata sepasang kekasih. Atau, barangkali kakak adik? Huh, apa peduliku?! Aku berhak menentukan apa yang kuinginkan di wilayahku ini! He, Bocah! Minggir kau. Dan, pergilah dari sini! Tinggalkan gadis calon istriku itu!" bentak Gendil Sugolo seperti orang tak waras.

"Oo... Jadi gadis ini calon istrimu? Apakah telah kau tanyakan padanya? Kalau dia memang setuju, dengan senang hati aku akan meninggalkan tempat ini. Tapi kalau tidak, harap jangan suka mengganggu dan memaksa orang yang tak suka, Kisanak," sahut Pandekar Rajawali Sakti, enteng.

"Sial! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu terhadapku, he?!" bentak laki-laki berwajah lebar itu sambil melototkan mata dan berkacak pinggang.

"Tua bangka sinting! Bicaramu ngawur tak karuan. Apa kau pikir dirimu sudah hebat, sehingga bisa berbuat sesuka hatimu?!" bentak Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Melihat kau bicara, aku bertambah senang saja. Tapi untuk urusan ini, sebaiknya kau tenang-tenang saja. Aku akan membereskan pangacau busuk ini!" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa.

"Pandan, orang ini kelihatan tak waras. Kita akan semakin gila kalau meladeninya. Lebih baik, tinggalkan saja tempat ini," bisik Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Dia telah berbuat kurang ajar padaku. Aku harus menghajarnya lebih dulu!" sahut Pandan Wangi.

"Eee, apa yang kalian bisik-bisikan? Cah Ayu! Ke sini kau! Mendekatlah padaku! Jangan sampai kau dipengaruhinya!" bentak Gendil Sugolo nyaring, dengan wajah tak senang.

"Tua bangka sinting! Tutup mulutmu! Kau pikir bisa mengaturku seenak perutmu!" balas Pandan Wangi.

"He, he, he...! Kenapa! Kenapa kau malah marah padaku? Apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?" ucapan Gendil Sugolo makin tak karuan.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kelakuan orang itu. Jelas sudah kalau orang bernama Gendil sugolo itu sinting dan tak bisa diajak bicara baik-baik. Sangat disayangkan. Padahal kepandaiannya cukup hebat. Entah, apa yang membuatnya demikian. Tapi, pemuda itu tak mau repot-repot mengurusinya. Maka dipaksanya Pandan Wangi untuk tidak meladeni laki-laki itu. Meskipun semula Pandan Wangi sangat dendam sekali, namun akhirnya menurut juga ajakan Rangga.

"Kisanak, maaf. Kami tidak bisa meladenimu," sahut Rangga, hendak pergi dari situ.

Demikian pula halnya Pandan Wangi. Meskipun wajahnya terlihat cemberut dan geram, akhirnya dituruti juga ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Namun mendadak, Gendil Sugolo melenting menghadang mereka. Tangan kirinya berkacak pinggang. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat bambu, dituding-tudingkan ke arah Rangga. Wajahnya tampak garang dengan mata melotot.

"Bocah sialan! Apa hakmu membawa-bawa calon istriku pergi?! Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat? Hiiih!"

Begitu selesai memaki-maki Gendil sugolo langsung melayangkan tongkatnya ke batok kepala Pandekar Rajawali sakti. Tentu saja dia tak bisa tinggal diam. Maka tubuhnya cepat menunduk. Namun, Gendil Sugolo telah bersiap dengan ayunan kaki yang keras.

"Mampus...!"
"Sial!"

Rangga memaki geram seraya melenting ke atas untuk menghindari tendangan lawan. Dan tubuhnya terus berputaran di udara, sementara Gendil Sugolo terus mengejar sambil menyabetkan tongkat di tangannya.

"Bocah gendeng! Gila! Mampus kau! Mampus...!" maki Gendil Sugolo berkali-kali. Dan dia terus mengejar Pendekar Rajawali Sakti disertai kemarahan meluap-luap.

"Dasar sinting! Aku tak bisa terus-terusan begini menghadapinya. Dia harus diberi pelajaran!" gerutu Rangga sambil mengumpat kesal.

Begitu mendapat kesempatan Rangga mulai membalas menyerang. Namun pada saat yang sama, Gendil Sugolo membabatkan senjatanya. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala Gendil Sugolo. Dan begitu menginjak tanah, tangannya cepat diayunkan ke arah dada.

"Hiiih!"

"Uts, kurang ajar!" maki Gendil Sugolo. Ham-pir saja tangan Rangga menembus dada kiri laki-laki sinting itu, untung tubuhnya cepat diputar ke kiri, sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depannya.

Tapi siapa sangka, ketika tiba-tiba tangan Pendekar Rajawali Sakti berbalik siap menghajar leher Gendil Sugolo. Maka dengan kalang kabut laki-laki sinting itu melompat ke belakang.

"Hiyaaa!"

Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar dengan serangan cepat ke arah pinggang. Namun dengan tangkas Gendil Sugolo menangkis. Namun pada saat yang sama kaki kiri Rangga menyodok dari bawah ke atas menghajar punggung. Maka bukan main terkejutnya Gendil Sugolo. Meskipun tangannya masih gemetar akibat senjatanya beradu tadi, namun tongkatnya masih sempat dibabatkan untuk menghajar tulang kering kaki Pendekar Rajawali Sakti setelah berbalik dengan cepat. Melihat hal itu Rangga cepat menarik pulang tendangannya. Dan seketika, sambil melompat berputar, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan dua buah jari tangan kanannya begitu cepat gerakannya, sehingga Gendil Sugolo tak sempat menghindar. Dan...

Tek! Tuk!
"Ohhh...!"

Dua buah totokan yang mendarat di pinggang kanan Gendil Sugolo begitu cepat pengaruhnya. Maka....

Brugk!

Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh Gendil Sugolo ambruk tak berkutik. Laki-laki tak waras itu hanya mendelik garang sambil memaki-maki tak karuan, namun dengan tubuh tak berdaya.

"Bocah sial. Lepaskan totokanmu ini! Aku masih mampu memecahkan batok kepalamu! Ayo lepaskan cepaaat...!" dengus Gendil Sugolo.

"Cobalah lepaskan sendiri, Kisanak!" sahut Rangga tenang.

"Setan keparat! Gendeng! Bocah sial! Mau ke mana kau, he?! Lepaskan aku dulu. Awas, kau. Sekali lagi bertemu denganku, kupecahkan batok kepalamu!!" kembali Gendil Sugolo memaki-maki tak karuan.

Tapi, Rangga tetap tenang-tenang saja. Sambil tersenyum kecil, kakinya melangkah ke arah Pandan Wangi Kemudian diajaknya gadis itu pergi.

"Kisanak! Kalau kau terus berusaha seperti itu, maka totokanku itu akan semakin kuat membelenggumu. Tapi kalau kau tenang, maka tak sampai sore nanti tentu akan terbebas," kata Rangga, tanpa menoleh sedikit pun.

"Persetan dengan ocehanmu! Lepaskan totokanku cepaaat...!" sahut Gendil Sugolo membentak nyaring.

"Kakang! Kupingku sakit mendengar teriakannya. Kenapa tak sekalian saja dihajar supaya diam?" gerutu Pandan Wangi, sambil terus melangkah di sisi Pendekar Rajawali Sakti.

"Tak usah. Sekarang, lebih baik kita tinggalkan saja," jawab Rangga sambil tersenyum-senyum kecil. "Nanti totokan itu akan hilang dengan sendirinya, setelah kita sudah jauh meninggalkan tempat ini."

Pandan Wangi menoleh sekilas ke arah Gendil Sugolo, kemudian buru-buru memalingkan wajah ketika melihat Gendil Sugolo menyeringai buas.

"Bocah gendeng! Setaaan! Kau boleh pergi ke ujung langit sekalipun. Tapi, jangan bawa-bawa calon istriku! Keparat! He, jangan bawa calon istrikuuu..."

Meski Gendil Sugolo berteriak-teriak sampai urat lehernya pecah, mana mungkin keinginannya terpenuhi. Malah kedua orang itu semakin jauh saja meninggalkan tempat ini, kemudian lenyap dari pandangan matanya.

"Oh, Cah Ayu! Tega nian kau meninggalkanku? Apakah kau tak sayang lagi padaku? Apakah kau tak cinta lagi padaku? Kenapa kau malah mengikuti bocah gendeng itu? Apakah aku kurang tampan dibandingkan dengan dia? Apakah aku kurang gagah? Cah Ayu, kembalilah padaku...." ratap Gendil Sugolo.

Mendadak, baru saja selesai bicaranya, melesat dua sosok bayangan. Dan belum juga Gendil Sugolo menyadari, kedua bayangan itu langsung berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya langsung gembira ketika melihat seraut wajah gadis cantik berbaju ungu. Rambut gadis itu panjang, dikuncir ke belakang. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.

"Eh, Cah Ayu! Kau kembali! Kau kembali untukku, bukan?!" sentak Gendil Sugolo.

Sedang di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tegap, terbungkus baju lusuh dengan beberapa bagian terlihat sobek. Wajahnya keras, dan sedikit pun tak terlihat senyumnya. Sepasang tongkat terbuat dari batu karang, tampak terselip di pinggangnya.

"Siapa kalian?! Kalian bukan orang yang tadi?" tanya Gendil Sugolo, menyadari kalau dua orang di hadapannya bukan yang tadi. "Kaukah yang bernama Gendil Sugolo?" tanya pemuda berbaju lusuh itu. Suaranya terdengar berat dan penuh ancaman.

"Ha, ha, ha...! Tak kusangka, semua orang akhirnya mengenal namaku. He, bocah! Kau sungguh beruntung bertemu Gendil Sugolo. Hah, tolong bebaskan totokanku. Setelah itu, aku akan memberi hadiah pada kalian" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa senang.

"Baiklah," sahut pemuda itu. Begitu selesai kata-katanya, kaki kiri pemuda itu segera terayun menghantam dada Gendil Sugolo.

Dess!
"Aaakh!"

***
TIGA
Gendil Sugolo seketika menjerit keras, begitu pemuda itu menendang bagian tubuhnya jadi terpental beberapa langkah dari tempat semula. Namun dengan cara begitu, Gendil Sugolo agaknya terbebas dari totokan. Terbukti kemudian, laki-laki kurang waras itu bangkit dengan wajah geram.

"Kurang ajar! Kelakuan anak muda sekarang memang makin kurang ajar saja. Siapa kalian?" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kenalkah kau dengan Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggolo?" pemuda itu malah balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaan Gendil Sugolo.

"Apa?" tanya Gendil Sugolo dengan suara keras.

"Orang tua budek! Jangan membuat kesabar-anku hilang! Kami adalah putra-putrinya. Dan kau adalah salah seorang dari keparat pembunuh orangtua kami. Maka, jangan harap bisa lepas dari tangan kami!" dengus pemuda itu tajam.

Gendil Sugolo menatap sepasang anak muda itu bergantian. Matanya sampai menyipit merayapi tubuh mereka dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Lalu...

"Ha, ha, ha...! Dasar orangtuanya geblek. Anaknya pun ikut-ikutan geblek. He, jadi kalian putra-putrinya. Apa maunya kalian padaku? Balas dendam? Membunuhku? Ayo, lakukanlah kalau mampu!" kata Gendil Sugolo sambil terkekeh-kekeh.

"Memang, kami akan lakukan. Nah, orangtua sinting. Jagalah nyawamu dari kejaran kami!" ujar pemuda itu, mantap.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu langsung meluruk menyerang Gendil Sugolo. Demikian pula gadis di sebelahnya. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga sejenak Gendil Sugolo tersentak kaget. Namun dengan segala pengalamannya selama puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan, cepat bagai kilat tongkat bambunya diayunkan untuk menghalau serangan kedua lawannya.

"Hiyaaa!"
Wutt!
Bet! Bet!

Ujung tongkat laki-laki sinting itu menyambar-nyambar bagian tubuh yang mematikan dari kedua lawannya. Namun sepasang anak muda itu gesit sekali menghindari. Bahkan melakukan sodokan cepat ke arah bagian tubuh Gendil Sugolo yang amat mematikan. Tentu saja hal ini membuat laki-laki sinting itu tersentak kaget Untung saja dia cepat bisa melenting ke belakang sejauh tiga tombak. Lalu, Manis sekali kakinya mendarat di tanah, menghadap ke arah sepasang anak muda yang tidak melanjutkan serangan.

"Gendil Sugolo! Ketahuilah, agar kau tak mati penasaran. Namaku Mintarja. Aku putra Ki Rogo Janggat. Dan kawanku ini, Kaniawati putri Ki Sampang Jinggolo!" kata pemuda yang tak lain Mintarja sambil tersenyum sinis, Mintarja menatap dalam-dalam wajah Gendil Sugolo. Sepertinya, lewat matanya, pemuda itu ingin menelan bulat-bulat laki-laki di hadapannya.

"Puihh! Apa peduliku dengan kalian? Biar anak setan sekalipun, jangan dikira bisa menakuti Gendil Sugolo?!" balas Gendil Sugolo dengan suara keras.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu melompat tinggi, seraya menggosok-gosokkan kedua tangannya. Dan seketika kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.

"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" dengus Mintarja.

"Hiyaaa!"
Werrr!

Bukan main terkejutnya Gendil Sugolo, ketika dari telapak tangan pemuda itu melesat gulungan api yang kuat dan terasa panas sekali. Untung dia cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga gulungan api sebesar kepala bayi itu hanya lewat pada jarak tiga jengkal di depan tubuhnya. Namun demikian kulitnya masih terasa terbakar oleh jilatan lidah api. Dan gulungan api itu terus meluncur ke arah sebuah pohon yang ada di belakang Gendil Sugolo. Begitu terhantam pukulan Mintarja, pohon itu hangus terbakar, disertai ledakan dahsyat.

Glarrr...!

Namun belum juga Gendil Sugolo menyadari apa yang terjadi...

"Yeaaa!"
"Hei?!"

Kembali Gendil Sugolo tersentak kaget, ketika tiba-tiba gadis berbaju ungu itu menghentakkan tangan kanan ke arahnya. Maka seketika hembusan angin dingin bagai es meluncur cepat ke arahnya laki-laki edan itu. Masih untung Gendil Sugolo mampu menghindari dengan melenting ke atas. Namun, tak urung angin semburannya sempat membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

"Bocah-bocah gendeng! Kalian kira aku bisa ditakut-takuti?!" maki Gendil Sugolo, geram bercampur marah.

Dan ketika kedua kaki Gendil Sugolo menyen-tuh tanah, saat itu juga telapak tangan kanannya dihentakkan ke depan. Maka dari telapak tangannya yang terbuka menderu angin kencang ke arah sepasang anak muda itu. Namun Mintarja dan Kaniawati serentak melenting ke udara, sehingga serangan angin itu hanya lewat di bawah kakinya. Dan begitu mereka mendarat di tanah...

Srak!
Sring!

Sepasang anak muda itu langsung mencabut senjata masing-masing. Dan mereka memang tak ingin tanggung-tanggung lagi.

"Gendil Sugolo. Sudah cukup peringatan itu bagimu. Sekarang, bersiaplah untuk mampus!" ujar Mintarja. Seketika tubuh pemuda itu terus meiesat ke arah Gendil Sugolo.

Demikian halnya Kaniawati yang wajahnya menyiratkan dendam kesumat!

"Hiyaaa!"

Gendil Sugolo tak punya pilihan ketika tongkat di tangan Mintarja menyodok ke arah jantungnya. Tubuhnya seketika melompat ke atas, sehingga serangan itu luput. Namun pada saat yang sama pedang Kaniawati menyambar kepalanya. Maka cepat-cepat tangannya bergerak ke atas, memapak serangan pedang itu! Gendil Sugolo tak sempat lagi menghindar, dan terpaksa tongkatnya dipakai untuk menangkis....

Trakkk!

"Heh?!" Lelaki tua itu kaget ketika tongkatnya patah dihantam tongkat Mintarja. Dan, belum habis keterkejutannya, Kaniawati sudah meluruk cepat dan membabatkan pedang ke arah punggungnya!

Trak!

Begitu habis memapak, tubuh Gendil Sugolo jadi terlempar ke belakang. Namun untung saja dia masih mampu menjaga keseimbangan. Sehingga waktu mendarat di tanah, dia tidak terpelannng. Se dangkan Kaniawati sudah terlebih dulu mendarat manis di tanah. Sementara itu Mintarja tak membiarkan lawannya begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk sambil mengibaskan tongkat di tangan kanan ke arah lawan yang baru saja mendarat. Tentu saja tak ada kesempatan bagi Gendil Sugolo untuk menghindar, sehingga terpaksa harus menangkis dengan tongkat bambu di tangannya.

Trakkk!
"Heh?!"

Betapa terkejutnya Gendil Sugolo ketika menyadari tongkat bambu di tangannya patah, begitu habis memapak. Belum habis keterkejutannya, tubuh Kaniawati juga sudah cepat meluruk, dan langsung membabatkan pedangnya ke punggung Gendil Sugolo.

Crasss!

Gendil Sugolo kontan memekik kesakitan begitu punggungnya tertebas pedang Kaniawati. Melihat kesempatan ini, Mintarja tidak mau menyia-nyiakan. Seketika tubuhnya meluruk melancarkan tusukan ke arah jantung Gendil Sugolo yang belum mampu berbuat apa-apa. Maka...

Blesss!

"Mampus, kau!" kata Mintarja.

Gendil Sugolo terhuyung-huyung sebentar sambil memegangi dadanya yang mengucurkan darah. Sebentar kemudian tubuhnya ambruk ke tanah, dan tak berkutik lagi. Mati!

Sebentar Mintarja memandangi mayat musuhnya, laki menatap Kaniawati yang masih menyaksikan kematian Gendil Sugolo.

"Mari, Kania. Kita tak boleh buang-buang waktu," ajak Mintarja.

Sebentar saja, kedua orang itu sudah melesat cepat meninggalkan mayat yang berlumuran darah. Dan angin pun menyapu sekitarnya, menebarkan bau anyir darah manusia.

***

Seorang perempuan tua tampak tengah duduk di sebatang pohon yang roboh, di depan pondok kecil. Rambutnya sebagian telah memutih terma- kan usia. Di depannya duduk bersila seorang gadis berusia enam belas tahun. Gadis berpipi tembam itu tampak dengan seksama mendengarkan wejangan yang diberikan wanita tua di hadapannya.

"Purwasih.... Kurasa, semua ilmu kanuragan yang kumiliki telah kuajarkan padamu. Dan seka-rang tibalah hari perpisahan kita. Kau harus turun gunung dan mengabdikan ilmu yang kamu miliki," ujar perempuan tua itu, yang sepertinya adalah guru dari gadis di hadapannya.

"Eyang Kumala, aku tak ingin meninggalkanmu sendiri di tempat ini. Siapa yang akan mengurusmu nanti...?" tanya gadis yang dipanggil Purwasih, dengan nada sedih.

Perempuan tua yang dipanggil Eyang Kumala, bangkit Dihampirinya Purwasih yang duduk sekitar satu tombak di depannya. Lalu dibelai rambut gadis itu. Tampak tersenyum bibir tuanya. Sementara kepalanya menggeleng pelan.

"Tidak. muridku. Aku bisa mengerjakan segalanya sendiri. Lagi pula, aku punya firasat. Rasanya usiaku tak akan lama lagi berakhir...," lirih suara Eyang Kumala.

Purwasih kontan tersentak, lalu bangkit berdiri. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah gurunya itu.

"Eyang! Kau tak boleh berkata demikian! Eyang harus tetap hidup! Eyang harus tetap hidup!" gadis itu langsung memeluk tubuh perempuan tua itu dengan wajah haru dan terisak pelan.

"Purwasih, tenanglah. Bukankah setiap manusia pasti akan menemui Penciptanya? Jadi tak perlu takut akan kematian. Hanya saja bila aku telah tiada, hati-hatilah membawa diri. Dan ingat pesanku. Kalau suatu saat bertemu orang yang amat membenciku, hati-hatilah. Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu. Dan, kau bebas menentukan sikap," ujar Eyang Kumala. seraya berusaha melepaskan pelukan Purwasih dengan lembut.

"Maksud Eyang tentang peristiwa dua puluh tahun yang silam itu?" tanya Purwasih, langsung menatap gurunya.

Eyang Kumala mengangguk. "Kedua orang itu sering berbuat kejahatan. Dan, tak seorang pun yang bisa menghentikan. Sehingga, para tokoh golongan putih serta orang-orang yang merasa dirugikan segera bersatu untuk menggempur, sehingga mereka berhasil ditewaskan." tambah Eyang Kumala.

"Eyang hanya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang akan menuntut balas pada para tokoh itu?" Purwasih seperti minta penegasan.

Eyang Kumala tak langsung menjawab. Maka ditatapnya wajah Purwasih dalam-dalam. Pada sinar matanya, terlihat jelas rasa kekhawatiran yang sangat dalam.

"Aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi dirimu. Seperti apa yang telah kuceritakan padamu, putra-putri mereka diselamatkan oleh tokoh berkepandaian tinggi yang sama sekali tak kami kenal," lanjut Eyang Kumala.

Purwasih mendesah pelan, lalu kembali memeluk gurunya.

"Lalu, apa yang Eyang khawatirkan?"

"Purwasih... Aku tak tahu, seberapa hebat tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh yang kami bunuh itu. Aku juga tak tahu siapa. dan berasal dari golongan mana. Tapi aku yakin tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Dan kalau dia termasuk golongan hitam, maka tentu akan mendidik kedua bocah itu, untuk membalaskan dendam kematian orang tua mereka," jelas Eyang Kumala sambil menghela napas berat.

"Eyang! Aku akan berusaha sebaik-baiknya mengamalkan ilmu yang kupelajari. Dan aku berjanji tak akan mengecewakanmu!" sahut gadis itu dengan wajah sungguh sungguh. Eyang Kumala tersenyum kecil, kemudian kembali mengelus kepala gadis itu.

"Nah! Kalau demikian, pergilah segera. Orang-tuamu past sudah teramat rindu padamu. Juga kakakmu. Dia pasti merasa kehilanganmu. Bukankah sudah lama sekali kau tak menemui mereka?" ujar Eyang Kumala, seraya melepaskan pelukannya.

"Tapi Eyang...."

"Jangan khawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri," sahut perempuan tua itu dengan wajah meyakinkan.

Dengan hati berat terpaksa gadis itu menuruti kara-kata gurunya. Namun baru saja akan berbalik, mendadak mereka kedatangan dua orang tamu. Sepasang muda-mudi yang gagah tampan dan cantik.

"Kisanak dan Nisanak siapakah kalian. Dan, apa yang bisa kubantu?" sapa Eyang Kumala.

"Kaukah yang bernama Eyang Kumala?" tanya pemuda yang memakai baju compang-camping dengan wajah dingin.

"Hm.... Kalau kau ingin bertemu, kau tengah berhadapan dengan orangnya," sahut Eyang Kumala bernada curiga.

"Bagus! Kalau demikian, bersiaplah kau, karena kami akan mencabut nyawamu!" geram pemuda itu dengan wajah kalem, terselimut dendam sangat dalam yang terbias dari wajahnya.

"Hm... Jadi kalian putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggala?" tanya Eyang Kumala, masih bersikap tenang.

"Syukur kau menyadari hal itu. Berarti, kau juga mengakui dosa-dosamu!" sahut gadis berbaju ungu dan berwajah cantik itu.

"Kau salah, Cah Ayu. Aku sama sekali tak merasa bersalah atas kematian kedua orangtua kalian. Mereka orang jahat. Bahkan juga pengacau yang selalu dikutuk semua golongan. Dan nasib kalian akan sama dengan kedua orangtuamu jika sekarang menuruti hawa nafsu belaka," ujar Eyang Kumala.

"Perempuan busuk! Jangan asal bicara kau! Terimalah kematianmu!" bentak gadis berbaju ungu itu.

Gadis itu langsung menyerang Eyang Kumala, tapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, memapak serangannya.

Plak!

"Gadis tak tahu aturan! Hadapilah aku lebih dulu sebelum berhadapan dengan guruku!" sentak orang yang memapak dan tak lain adalah Purwasih.

"Huh! Bocah tolol! Kau pikir mampu menahanku? Rasakanlah akibatnya!" Gadis itu langsung melayangkan satu tendangan ke arah Purwasih. Namun dengan berani gadis berpipi tembam itu memapak dengan tendangan pula.

Plak!
"Uhhh...!"

Begitu kedua kaki mereka beradu, Purwasih seperti menghantam tembok baja yang tebal. Kakinya kontan terasa nyeri. Dalam keadaan begini, tiba-tiba kembali datang serangan. Untung Purwasih masih cukup gesit melompat ke belakang. Sehingga, serangan itu luput. Melihat keadaannya berbahaya, Purwasih segera mencabut pedangnya. Ketika gadis berbaju ungu itu siap menyerang kembali.

"Hiyaaa!"

Purwasih langsung mendahului, dengan meluruk sambil mengibas-ngibaskan pedangnya.

Wut! Wut!

Ujung pedang itu lurus menyambar ke arah leher, dada, dan pinggang lawan. Namun, manis sekali tubuh gadis berbaju ungu itu meliuk-liuk menghindari. Bahkan tiba-tiba dia melenting seraya berputaran sedemikian cepat. Akibatnya Purwasih jadi tersentak kaget dan bingung. Maka di tengah kebingungannya, tiba-tiba gadis lawannya meluruk cepat sambil melepaskan satu hantaman keras ke punggung kanan.

Begkh!
"Akh!"

Purwasih terjajar ke depan, namun masih untung mampu bersalto ke depan. Lalu, kakinya hinggap di tanah manis sekali. Sementara pemuda itu sudah pula bertarung sengit melawan Eyang Kumala. Serangan yang dilancarkan bertubi-tubi dan dahsyat sekali. Masih untung, sampai saat ini Eyang Kumala masih bisa menghindari.

"Kania! Kau tak boleh membuang-buang waktu! Habisi gadis tolol itu segera. Dan biar perempuan busuk ini akan merasakan tanganku!" teriak pemuda yang bernama Mintarja sambil melompat menyerang Eyang Kumala.

"Baiklah, Kakang Mintarja!" sambut gadis berbaju ungu yang memang Kaniawati.

"Yeaaa...!"

Sambil membentak nyaring, satu tendangan Mintarja menderu mengincar batok kepala Eyang Kumala. Namun perempuan tua itu hanya tersenyum sinis begitu tendangan hampir mendarat, cepat tangan kirinya menangkis.

Plak!
"Uhhh...!"

Bukan main terkejutnya perempuan tua itu, ketika merasakan tangannya bergetar akibat benturan dengan kaki Mintarja. Belum lagi habis rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan kaki kanan pemuda itu kembali menyapu dadanya. Buru-buru Eyang Kumala melompat ke belakang, seraya mengibaskan tongkatnya menghalau serangan.

Bet!
"Uts, ha...!"

Mintarja cepat memutar tubuhnya dengan gerakan menyamping. Sehingga, ujung tongkat Eyang Kumala hanya lewat beberapa rambut dari tubuhnya. Kemudian cepat, dia melenting ke atas. Dan begitu meluncur turun, kepalan tangan kanannya disiapkan bagai kilat dengan tenaga kuat ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga kali ini Eyang Kumala tak punya pilihan untuk melepaskan satu pukulan selain menangkis.

Plak!
"Aaakh...!"

Kembali perempuan tua itu merasa tangannya nyeri akibat benturan barusan. Namun tanpa mempedulikan rasa sakit, tongkat di tangan kanannya kembali berkelebat menyambar tubuh Mintarja. Untung Mintarja telah melompat ke atas sambil menekuk kedua kakinya. Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu laksana kilat menukik turun. Begitu cepat gerakannya. Sehingga ketika Mintarja langsung melepaskan tendangan, Eyang Kumala tidak bisa bertindak apa-apa. Dan...

Des!
"Aaah...!"

Perempuan tua itu kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terlempar lima langkah sambil meneteskan darah di sudut bibirnya. Dan rupanya teriakan gurunya membuat Purwasih tersentak kaget. Akibatnya, dia jadi lengah.

"Eyang...?!"

Begitu Purwasih berpaling, sebuah serangan meluncur datang. Sehingga....

Desss!
"Aaakh...!"

Satu kepalan tangan Kaniawati langsung menghantam dada Purwasih, sehingga membuatnya terjajar beberapa langkah. Mulutnya jadi meringis merasakan sakit yang bukan main, akibat pukulan geledek yang amat keras tadi. Dan Kaniawati tak berhenti sampai di situ saja. Tanpa memberi kesempatan pada lawan, tubuhnya hendak melepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"

"Purwasih, cepat lari dari sini! Cepaaat..! Hiyaaa...!"

***
EMPAT
Pada saat yang gawat bagi Purwasih, Eyang Kumala berteriak keras sambil melompat cepat bagai kilat meninggalkan lawannya. Langsung dihadangnya serangan Kaniawati.

Plak!

Dua benturan kontan terjadi, begitu tangan Eyang Kumala menghantam tangan Kaniawati. Tapi Eyang Kumala yang sudah terluka dalam akibat terkena tendangan tadi, tentu saja tenaganya jadi kalah jauh. Maka tubuhnya jadi terjajar beberapa langkah. Untung saja tangan yang satunya tadi sempat mendorong tubuh Purwasih tadi. Dan Eyang Kumala sendiri, kini hanya berdiri limbung dengan sorot mata tajam ke arah Mintarja.

Sementara itu mana mau Mintarja membiarkan Eyang Kumala begitu saja. Tubuhnya langsung melesat, mengirim satu tendangan keras ke arah dada.

Diagh!
"Aaakh...!"

Diiringi pekik kesakitan tubuh Eyang Kumala terjajar ke depan. Namun dia kembali harus menerima hajaran Kaniawati yang telah menunggu kesal, karena serangan tadi digagalkan. Maka tak heran kalau kembali terdengar jerit kesakitan. Dari mulut itu menyembur darah. Tubuhnya yang limbung me-nahan rasa sakit, dihadapkan ke arah Purwasih yang hanya terbengong-bengong. Kemudian tangannya mengibas-ngibas menyuruh muridnya pergi.

"Purwasih, pergi! Pergi dari sini, cepaaat...!"

Gadis itu jadi bingung. Dia bermaksud akan menghampiri, namun gurunya itu malah menyuruh pergi. Purwasih jadi bimbang. Tapi sebagai murid, dia harus membela nama baik gurunya. Dan dia bertekad tak akan meninggalkan tempat itu, dan harus menolong guninya. Tapi...

"Purwasih, cepat pergi.... Aaakh....!" Kata-kata perempuan tua itu terputus, Mintarja telah lebih dulu kembali menghantam leher dengan kecepatan dahsyat.

"Purwasih, cepat pergi.. Aaakh!"

"Eyaaang...?!"

Tubuh Eyang Kumala terjajar kembali, dengan keadaan sempoyongan Darah semakin banyak ke luar dari mulutnya. Sementara dari arah belakang, Kaniawati kembali meluruk melepaskan tendangan dahsyat ke arah punggung perempuan tua yang telah terhuyung-huyung itu. Akibatnya, Eyang Kumala terjungkal dan ambruk di tanah sambil menyemburkan darah kental. Dia berusaha bangkit namun Mintarja tanpa ada rasa kasihan langsung menghantamkan telapak kakinya ke leher Eyang Kumala.

Krek!
"Aaa...!"

Perempuan tua itu menjerit tertahan. begitu kaki Mintarja mendarat di lehernya hingga patah. Maka nyawa Eyang Kumala lepas dari raga saat itu juga.

"Jahanam! Terkutuk! Kalian harus bayar nyawa guruku! Hiyaaat..!"

Purwasih yang telah kalap langsung menyerang kedua orang itu. Tidak lagi dipedulikan kemampuannya yang terbatas.

"Yeaaa...!"

Sementara Kaniawati tak kalah sigap. Langsung dilemparkannya sesuatu ke arah Purwasih.

"Aaakh!"

Beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan Kaniawati, hanya satu yang berhasil menancap di punggung kanan Purwasih. Tapi itu cukup membuat Purwasih mengeluh kesakitan, dan langsung ambruk di tanah. Pingsan.

"Dia bisa membahayakan kita kelak?" tanya Mintarja, sambil memperhatikan keadaan gadis yang telah terbaring di tanah.

"Kenapa? Apakah Kakang mulai takut? Siapa di jagad ini yang mampu menghalangi kita berdua? Dia boleh menuntut balas pada kita dengan bantuan siapa pun. Tapi orang itu akan mampus di tangan kita!" tegas Kaniawati.

"Ya, Kau benar..." balas Mintarja sambil mengangguk kecil.

"Nah, kalau demikian, mari kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan tentang gadis itu,"

"Baiklah. Mari..."

Keduanya segera melesat cepat dari tempat itu, disertai ilmu meringankan tubuh yang tinggi, sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap dari situ, meninggalkan mayat Eyang Kumala yang terbujur kaku tak bergerak lagi, dan Purwasih yang tergolek pingsan.


Dua sosok tubuh tampak tengah berjalan tenang melintasi pinggiran hutan kecil. Yang seorang adalah laki-laki tua bertubuh kurus. Jenggot dan kumisnya telah memutih. Rambut yang kepalanya juga telah putih tampak tergerai dengan gelungan di atasnya yang diikat pita hitam. Di pinggangnya terselip pedang besar dengan warangka berukir indah.

Sementara di sampingnya, adalah seorang gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat. Rambutnya yang panjang diikat pita hijau, sama seperti warna bajunya. Di pinggang kirinya, terlihat sebatang pedang kecil yang amat pas dengan pinggangnya yang ramping.

Jalan dilalui memang agak lebar, dan biasa dilintasi orang. Sehingga, tak heran, kalau mereka sejak tadi sering berpapasan dengan orang lain. Namun ketika saat ini menjelang sore, suasana mulai sepi.

Saat itulah mendadak dari arah kanan terlihat seorang sempoyongan berjalan mendekati jalan itu. Tangannya menggapai-gapai, kemudian langsung tersungkur di tanah. Kalau melihat ciri-cirinya orang itu jelas Purwasih.

Memang, setelah siuman dari pingsannya, dengan berat hati Purwasih meninggalkan mayat gurunya. Dia terus berjalan tak tentu arah, mencari pertolongan. Yang jelas, dalam tubuhnya seperti mengalir sesuatu yang membuatnya terus menderita.

"Heh?!" Orang tua itu terkejut dan melangkah lebar ke arah sosok yang baru saja tersungkur.

"Eyang! Aku curiga! Jangan-jangan itu Purwasih!" desis gadis berbaju hijau itu buru-buru mengikuti langkah orang tua itu.

"Purwasih...! Oh! Bangun. Dik! Bangun! Apa yang telah terjadi padamu?!" teriak gadis berbaju hijau itu, cemas.

"Tenanglah, Ratih. Biar eyang akan memeriksanya...," ujar orang tua itu pelahan. Seketika diperiksanya sekujur tubuh Purwasih. Dan seketika wajah orangtua itu pucat.

"Celaka! Dia terkena racun ulat salju!" desis orangtua itu kaget.

"Racun ulat salju? Apa itu, Eyang? Berbaha-yakah?! Eyang, bagaimana keadaan adikku?!" tanya gadis berbaju hijau yang dipanggil Ratih. Dia tampak bingung.

"Purwasih kelihatannya terluka dalam dan lemah sekali. Sehingga racun ulat salju itu bekerja lebih cepat. Denyut nadinya lemah sekali. aku tak tahu, apakah dia bisa tertolong," desah laki-laki tua itu.

"Eyang...?! Oh, tidak! Tidaaak! Adikku harus hidup! Adikku harus hidup...!" teriak Ratih memelas, sambil mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri.

"Ratih, jangan! Kau hanya menambah cepat kematiannya saja!" cegah orangtua itu.

"Eyang, berbuatlah sesuatu! Jangan biarkan adikku mati sia-sia...!" jerit Ratih memilukan.

"Kisanak, apa yang terjadi? Dan siapakah orang yang tengah kalian hadapi itu?"

Tiba-tiba terdengar sapaan dari belakang, yang membuat kedua orangtua itu cepat berpaling. Tampaklah sepasang anak muda tengah duduk diatas punggung kuda masing-masing. Yang menunggang kuda hitam adalah seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai kain putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebatang pedang berhulu kepala burung. Sedangkan yang menunggang kuda putih di sebelahnya, adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebuah kipas dari baja putih tampak terselip di pinggang, sedangkan sebilah pedang bergagang kepala naga tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Siapakah kalian?" tanya orang tua itu dengan wajah curiga.

Sepasang anak muda kemudian turun dari kuda masing-masing. Lalu mereka menyapa memberi hormat, yang dibalas oleh orangtua itu dengan menyapa pula.

"Kisanak, aku Rangga. Dan temanku, Pandan Wangi. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Adakah sesuatu yang bisa kami bantu?" kata pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti.

Orang tua itu diam saja ketika Rangga membungkuk, hendak memeriksa gadis yang tergeletak di pangkuan gadis berbaju hijau. Rangga tersentak dan buru-buru meraba nadinya.

"Lemah sekali! Tapi masih ada harapan!" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa?! Kisanak! Bisakah kau menolongnya? Oh, tolonglah adikku! Aku mohon, tolong selamatkan adikku!" teriak Ratih dengan wajah memohon.

"Nisanak, tenanglah dulu. Aku akan berusaha semampuku. Nah! Baringkanlah dia di situ. Biar aku coba mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya," ujar Rangga tenang.

Ratih segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Sementara Pandan Wangi ikut membantu memegangi gadis yang pingsan itu. Dan kini mereka menunggu dengan harapan yang cemas terlebih-lebih, gadis berbaju hijau. Tampak pemuda berbaju rompi putih ini membalikkan tubuh adiknya, sehingga berada dalam keadaan miring. Sementara Rangga duduk bersila dengan sikap tenang. Telapak tangan kanan pemuda yang bernama Rangga itu lalu ditempelkan ke punggung kanan gadis itu sesaat.

"Tolong pegang dia, sehingga bisa duduk bersila membelakangiku," ujar Rangga pelan, kepada gadis berbaju hijau.

Pandan Wangi cepat membantu kembali dengan memegangi sisi yang lain. Dengan demikian, agak lebih mudah bagi Rangga untuk menyalurkan hawa murninya. Dan yang lebih penting lagi, dia bisa menarik racun yang berada di tubuh gadis itu ke arah yang paling mudah, yaitu melalui lubang mulut. Sudah lumayan lama Rangga mengobati, namun belum