Pendekar Pulau Neraka - Lingkaran Rantai Setan(1)

SATU
Di pagi buta yang seharusnya hening, tiba-tiba pecah oleh suara jeritan melengking tinggi. Tidak berapa lama kemudian terdengar suara-suara teriakan orang bertarung, disertai denting senjata beradu. Tapi suara pertarungan itu hanya sebentar. Lalu pertarungan itu pun berhenti, disusul terdengarnya jeritan melengking tinggi yang kemudian tenggelam terbawa angin pagi.

Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi terang benderang oleh cahaya pelita dan obor yang dinyalakan dari rumah-rumah. Sebentar saja sudah banyak orang berlarian dari dalam rumahnya masing-masing, menuju ke arah datangnya suara tadi. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak rusak. Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api cepat membesar melahap rumah yang terbuat dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh begitu sampai di luar. Orang yang memadati sekitar rumah itu langsung bergerak menolongnya.

"Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki setengah baya dan berkumis tebal hampir menutupi bibirnya. Lengannya menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah terbakar itu.

"Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu langsung terkulai.

"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu menggoyang-goyangkan tubuh Jruda, tapi tetap saja pemuda itu tidak bergerak.

"Dalaga...," terdengar sapaan lembut dari arah belakang.

Laki-laki setengah baya itu mengangkat kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak seorang kakek berjubah putih telah berdiri di belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut dan janggutnya juga memutih semua. Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit berdiri , sambil memondong tubuh Jruda yang berlumuran darah.

"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu lembut, namun terdengar penuh wibawa.

"Baik, Eyang," sahut Dalaga.

Dalaga melangkah sambil memondong tubuh Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai mencoba memadamkan api yang semakin membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi buta yang masih gelap ini jadi terang benderang oleh cahaya api d ari rumah yang terbakar. Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar itu.

Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang bersenjata golok terselip dipinggang. Dalaga membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda, kemudian kepalanya terangguk-angguk. Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka yang terus mengucurkan darah. Totokan itu ternyata untuk menghentikan darah.

"Eyang Paladi...," tertahan suara Dalaga.

"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan. Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga siuman," kata Eyang Paladi kalem.

Dalaga membersihkan darah yang mengotori tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi air dari tempayan di samping dipan kayu ini. Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam orang pemuda yang bersenjata golok di pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga sudah selesai membalut luka-luka di tubuh adiknya.

"Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga. Kurasa sudah waktunya kau katakan semua yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak saudaramu yang terancam, tapi juga ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini," tegas Eyang Paladi.

"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga sungguh-sungguh.

"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.

Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari sinar matanya. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat itu, dua orang bersenjata golok di pinggang datang. Mereka segera membungkuk hormat pada Eyang Paladi.

"Eyang, kami menemukan benda ini di depan rumah Jruda," jelas salah seorang sambil menyerahkan sebuah rantai yang bertaut membentuk lingkaran.

Eyang Paladi menerima rantai berwarna merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang saling bertaut Sejenak Eyang Paladi merayapi benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.

"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan benda jenis seperti ini. Hmmm.... Aku menduga kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang Paladi setengah bergumam.

Eyang Paladi kembali menatap dua orang muridnya yang masih berdiri di depan beranda. Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi. Dua orang pemuda itu menjura memberi hormat, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih belum sadarkan diri, kemudian pandangannya beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk merayapi wajah adiknya.

"Dalaga, kuminta besok siang temui aku di pesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.

"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan langsung menjura memberi hormat

"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-baiknya, besok siang kau harus membawanya serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.

"Baik, Eyang."

"Hm...."

Eyang Paladi melangkah meninggalkan beranda rumah yang kecil, namun berhalaman cukup luas ini. Dalaga bergegas menggotong tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke dalam. Di dalam, seorang perempuan yang keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia bergegas membantu Dalaga membawa Jruda, dan membaringkannya di pembaringan yang ada di ruangan tengah.

"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan sambil menggelung rambutnya.

"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut Dalaga.

"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya terkejut. "Lalu, istri dan anaknya...?"

Dalaga tidak menjawab. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya kosong, langsung menangkap sosok tubuh ramping yang berdiri membelakangi pintu sambil bersandar pada dinding sebuah kamar. Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah menghampiri pembaringan. Diambilnya kendi dan waskom, lalu dituangkan air kendi itu ke dalam waskom. Diambilnya secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah kering.

"Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata Dalaga berpesan.

Dalaga langsung bangkit dan melangkah keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah itu saling berpandangan. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan rasa kecemasan.

***

Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah tempat yang memiliki bangunan bagai kuil. Bangunan kecil terdiri dari batu-batu bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.

Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi orang lain di sekitar pesanggrahan ini. Hanya mereka bertiga.

Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda. Wajahnya juga masih terlihat pucat.

"Kami datang memenuhi panggilanmu, Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat, diikuti Jruda.

"Ikut aku," kata Eyang Paladi.

Dalaga dan Jruda melangkah di belakang Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga orang itu berhenti di depan sebuah pendopo kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang Paladi.

Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang Paladi pasti akan membicarakan hal penting yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu. Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi selalu dijadikan tempat untuk mengadakan pembicaraan penting.

"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah bertanya.

'Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa hormat.

"Peristiwa malam itu adalah yang ketiga kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan aku tidak ingin lagi melihat korban-korban lainnya," kata Eyang Paladi memulai percakapannya.

"Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya Dalaga.

"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi mengeluarkan tiga buah rantai berwarna merah menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan tiga rantai yang masing-masing berjumlah sepuluh lingkaran itu di lantai.

Dalaga memandangi benda-benda itu dengan kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua orang itu hanya diam saja sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi memandangi dengan tajam.

"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda. Kalian berdua adalah muridku yang paling kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi pelan suaranya.

"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya mengangkat kepalanya.

"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak jelas. Dia menatap Jruda. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih menutupi tangan kiri sampai ke siku dari pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat.

"Dari semua korban, hanya kau yang bisa selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya, hingga kau mendapat luka seperti itu," pinta Eyang Paladi.

"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya melihat dua orang berbaju serba hitam. Mereka membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda mencoba menceritakan singkat

"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang Paladi.

"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya matanya saja yang terlihat," sahut Jruda berusaha mengingat-ingat.

"Jruda, apa kedua orang tersebut mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.

"Tidak. Mereka datang membongkar jendela, dan langsung membunuh anak dan istriku yang sedang tidur. Salah seorang mencoba membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang. Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku mencemaskan.... Oh...," Jruda berhenti, dan kembali tertunduk.

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda. Bukannya aku ingin membangkitkan kembali dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan persoalan ini," kata Eyang Paladi.

Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang sudah menduga bakal ada peristiwa pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak habis pikir, kenapa hanya keluarga dan sanak keluarga kalian saja yang menjadi korban. Apa kalian punya musuh? Atau, mungkin sanak keluarga kalian...?"

"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri tidak punya musuh," sahut Dalaga lebih dahulu.

"Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap pemuda di samping Dalaga.

"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena hidup dari hasil kerja memeras keringatku sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh. Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang," jelas Jruda.

"Sejak kecil aku sudah mengenal kalian berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang Paladi.

Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang dalam. Mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan Jruda menangkap adanya nada ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi. Ketidakpercayaan itu datang karena tiga peristiwa yang meminta korban jiwa tidak sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan malam itu menginap di sana. Dan mereka semua adalah murid Eyang Paladi.

Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian melangkah meninggalkan bangunan pendopo itu. Dalaga dan Jruda masih tetap duduk bersila saling melempar pandang. Mereka kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini. Tak ada lagi yang membuka suara. 

Semuanya diam membisu mengiringi ayunan kaki yang semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu. Sementara senja mulai merayap turun. Matahari hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak langsung kembali ke rumah, tapi menengok tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari pesanggrahan itu.

***

Dalaga menghenyakkan tubuhnya di rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan, menembus cakrawala yang memerah jingga. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada kita, Jruda," desah Dalaga agak mengeluh.

"Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi kita harus berbuat apa...? Kita memang tidak tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda seraya menempatkan diri, duduk di samping kakaknya.

"Benar tidak dapat kau kenali orang itu, Jruda?" tanya Dalaga.

"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku, Kakang."

"Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh.

Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi, belum pernah aku bertarung secara sungguh sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan kehidupanku selama ini."

"Kau pikir aku juga punya musuh?"

"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Hm.... Apa mungkin persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau mungkin juga saudara-saudara kita...?" Dalaga menebak-nebak.

"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang. Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong gelap, tanpa tahu jalan yang harus ditempuh," Jruda memperingatkan.

'Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran. Siapa orang yang akan membantai keluarga kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya sendiri.

Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu siapa kedua orang yang membantai keluarganya, juga lima orang temannya yang kebetulan menginap malam itu di rumahnya. Meskipun sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa mengenali dua pembunuh itu.

Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak mudah dikenali sumbernya.

Agak lama juga kakak beradik itu terdiam membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat Sementara suasana semakin meremang. Angin pun sudah mulai menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat di tempat ini. Semua penduduk Desa Kiting tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini membuat mereka dicekam perasaan takut.

"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda seraya bangkit berdiri.

"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini," ujar Dalaga tetap duduk.

"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"

"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku pulang."

"Baiklah."

Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap duduk bersandar pada batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, memikirkan kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini Desa yang selama ini tentram dan damai, kini berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap saat bisa saja merenggut nyawa. Kabut maut itu bermula dari terbantainya satu keluarga kakak sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.

Trrek!

"Eh...!" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ranting patah.

Secepat kilat laki-laki setengah baya itu melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke arahnya. Dalaga langsung memiringkan tubuh ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit. Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan terus menghantam sebatang pohon kelapa hingga tumbang.

"Hup!"

Dalaga bergegas melompat ke kanan, menghindari pohon kelapa yang jatuh ke arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu, mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tegap berisi.

Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua orang yang memakai topeng berbentuk muka babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir di punggung. Mereka juga memakai sabuk dengan bola-bola emas melilit pinggangnya. Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah satu dari bola-bola kecil berwarna kuning keemasan dari sabuk orang itu.

"Siapa kalian?!" tanya Dalaga agak membentak.

"Hm...," salah seorang bergumam.

Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah seorang langsung melompat bagai kilat menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun begitu melompat bangkit, salah seorang lagi sudah melompat cepat sambil melayangkan satu tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.

Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka tendangan keras itu langsung menghantam dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu besar terguling terlanda tubuh Dalaga.

"Hiaaat...!"

Dalaga membeliak lebar begitu orang yang menendangnya kembali melompat sambil mencabut pedang. Cahaya keperakan dari pedang yang terhunus, berkelebat cepat mengarah ke leher Dalaga. Dan sesaat kemudian...

"Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi.

Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak, kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah terpisah dari leher! Sebelum Dalaga diam, dua orang bertopeng muka babi itu sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang buntung tanpa kepala, mengalir darah segar membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada cukup jauh dari lehernya.

***
DUA
Kematian Dalaga makin menggemparkan penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis! Kepalanya buntung, dan hampir seluruh tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan. Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah Jruda.

Semua orang tahu kalau kemarin Jruda bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan, mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis dan bernada menuduh terlontar dari mulut penduduk untuk pemuda itu. Jruda semakin tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga mencurigainya, meskipun dia sudah mengatakan yang sebenarnya. 

Dia dan Dalaga memang ke tegalan itu setelah pulang dari pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana. Tapi keterangan Jruda tidak ada yang mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak percaya.

"Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?" datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus menatap istri kakaknya yang tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata.

Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan dia kini sendirian harus mengurus empat orang anak. Mereka semua duduk di balai bambu diruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya duduk tertunduk saja di samping ibunya.

"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!" desis Jruda geram.

"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya Rimah tersendat

Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu memandang keluar jendela. Tampak empat orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar rumah itu. Jruda tahu kalau masih ada beberapa lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini selama dia masih berada di dalam. 

Sakit hati Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit. Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala buntung.

"Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan, namun terdengar tegas nada suara Jruda.

"Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh tinggal di sini. Kami semua membutuhkan perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut air matanya.

"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini," sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar delapan belas tahun.

"Aku akan melindungi kalian semua, tapi tidak di rumah ini Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Percayalah pada Eyang Paladi. Beliau pasti melindungi kalian semua," kata Jruda terharu. Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah menewaskan Dalaga.

"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.

'Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan orang lain," sahut Jruda.

"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak melimpahkan tuduhan seperti itu padamu, Jruda. Aku menyesal...," desah Rimah.

"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah. Aku yakin, ada orang yang menginginkan keluarga kita hancur," tegas Jruda.

"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang ini kita semua belum tahu. Aku yakin, satu saat nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.

Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah menghampiri jendela. Matanya mengarah keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang berani keluar rumah, meski hari masih siang. Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga di rumah keluarga Jruda yang lain, serta tempat-tempat yang cukup memungkinkan.

Memang banyak murid Eyang Paladi. Semuanya tidak kurang dari lima puluh orang. Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh tahun. Masih muda-muda, namun memiliki kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri sebenarnya masih memiliki murid utama yang berjumlah sepuluh orang. Rata-rata kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.

Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi setelah berusia sekitar tujuh belas tahun. Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting. Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi setelah ayah Jruda meninggal.

"Hhh...!" Jruda menghembuskan napas panjang.

Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya pelahan mendekati pintu, dan membukanya. Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di depan pintu. Mereka d sempat melirik sedikit pada Jruda.

"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah seorang bernada sinis.

"Hmm," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun berbaju kuning gading itu melangkah setelah menutup kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa. Semua murid Eyang Paladi memandanginya dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat menyembul keluar dari dalam rumah. Para penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang dari balik pintu dan jendela.

Jruda bisa merasakan pandangan mereka semua, dan hanya mampu meredam semua yang bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus melangkah menuju arah Timur, ke arah sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan pohon-pohon tumbuh subur merapat

"Akan kubuktikan...!" desis Jruda bertekad dalam hati.

***

Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat. Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.

Siang itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun di langit Tak ada angin bertiup, sehingga menambah panasnya udara siang ini. Seorang penunggang kuda hitam membelah jalan berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih muda, berkulit kuning langsat bagai kulit wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau itu seorang pemuda.

Penunggang kuda itu sempat melirik seorang laki-laki yang tengah duduk di tepi jalas sambil berteduh di bawah pohon yang cukup rindang. Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada kuda yang melintas pelahan di depannya. Malah matanya agak terpejam dengan kepala bersandar pada batang pohon.

Kuda hitam tegap itu terus berjalan membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya tetap lurus mengarah pada sebuah bangunan yang cukup besar dan memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang bersenjata golok terselip di pinggangnya.

"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya pemuda itu ramah.

"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut penunggang kuda itu.

Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda hitam itu pun kembali berjalan memasuki halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.

"Hup...!"

Pramana melompat turun sebelum kuda hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas undakan beranda bangunan besar dengan bagian samping memanjang bagai barak. Tepat pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari dalam muncul Eyang Paladi didampingi dua orang murid utamanya.

"Eyang...," ucap Pramana langsung berlutut memberi hormat.

"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.

Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu menjura sekali lagi dengan membungkukkan tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi wajah tampan di depannya. Kemudian bola matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang mengenakan baju putih ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang tegap padat dan berotot.

"Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membawa cucunya itu masuk ke dalam. Dua orang murid laki-laki tua itu meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi membawa cucunya ke bagian tengah dari salah satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting, yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini. Perguruan silat itu memang sudah cukup lama terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu. Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena merupakan sahabat kental pendekar itu.

"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi setelah mereka duduk di kursi saling berhadapan. Hanya sebuah meja bundar menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?" tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya yang pertama saja belum terjawab.

"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.

Eyang Paladi mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap. Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.

'Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini. Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," kata Eyang Paladi senang.

'Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.

"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?" tanya Eyang Paladi.

"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut Pramana diiringi senyuman tipis. "Aku senang mendengarnya. Kau ingin tinggal di sini sudah pamitan dengan pamanmu?"

"Sudah! Bahkan Paman sendiri yang menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni bisa menambah kepandaian di sini."

"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan padamu, Pramana? Aku yakin, Paman Darwala sudah memberikan semua yang dimiliki. Buktinya, pedang kesayangan pamanmu sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."

Pramana hanya tersenyum saja. Terasa hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih lagi Pramana mengatakan hendak menetap di pesanggrahan ini, yang memang sudah diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati kedua orang tuanya.

"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.

Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri dan melangkah mengikuti Eyang Paladi. Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi sempat juga melirik pemuda yang berjalan di belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-pura tidak tahu.

***

Seekor kuda hitam berpacu cepat meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan, dan berkulit kuning langsat seperti wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat larinya.

Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Penunggang kuda itu terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Tampak kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah.

"Hm.... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu," gumam pemuda itu pelan.

Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah, lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula secercah cahaya merah melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu meluncur deras menembus semak belukar didepannya.

Siap!

Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga batang tombak di depan pemuda berbaju putih itu.

"Siapa kau?! Kenapa menghadang jalanku?!" bentak pemuda berbaju putih itu.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu!" dengus orang yang ternyata Jruda.

"Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu," gumam pemuda itu dengan kening agak berkerut.

'Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin nada suara Jruda.

"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana terkejut, karena orang di depannya mengenal dirinya.

"Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau ketahui hanya satu. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak hidup di Desa Kiting. Jelas...!" dingin sekali suara Jruda.

"Hey...! Apa hakmu melarangku tinggal di sana?"

"Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan jangan kembali lagi!" bentak Jruda.

"Kau mengancam, Kisanak."

'Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku lebih kejam darimu!"

"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar juga sehingga berani menantangku."

"Tidak ada yang kutakuti, termasuk gurumu!"

"Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat..!"

Pramana langsung saja membuka jurus. Dan bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap. Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari lagi. Meskipun Pramana tidak mengetahui alasan orang itu membencinya, tapi pantang baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul tinggi ke udara, membentuk awan yang menyesakkan dada. Namun pertarungan itu tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja. Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-masing sudah menghunus senjata. Mereka bertarung dengan pedang tergenggam, siap mencabik siapa saja yang lebih rendah kepandaiannya.

Trang!

"Ikh...!' Jruda tersentak ketika menangkis tebasan pedang Pramana. Dia langsung melompat mundur tiga tindak.

Dan belum lagi Jruda bisa menguasai tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi, Pramana sudah melompat sambil mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali Jruda melompat ke samping menghindari tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan kesalah satu ranting.

"Hait..!"
Cras!

Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal. Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.

"Hup...!"

Jruda melompat turun, dan berdiri tegak bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya mendongak memandang Pramana yang berusaha melepaskan jaring yang membelenggu tubuhnya, hingga tergantung seperti itu.

"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan, Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru Jruda tertawa terbahak-bahak. Pramana menggeram, memaki, dan menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah menghampiri pohon besar. Seutas tambang terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan diturunkan Pramana pelahan-lahan. Setelah jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat lagi tambang itu ke pohon.

Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar masih terdengar suara tawanya, kemudian pelahan-lahan menghilang tersapu angin. Sementara Pramana berusaha melepaskan diri dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk memutuskan jaring. Meskipun sudah mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.

"Setan!" rutuk Pramana sengit. Pemuda itu memandang pedangnya yang tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang dilakukannya. Pramana merutuk dan memaki habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam tempat ini dipenuhi anjing hutan yang kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak mau mati sia-sia begini.

Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan hati ini. Baginya lebih baik mati dalam pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti ini. Otaknya berpikir keras mencari cara untuk bisa terlepas. Namun segala cara yang digunakan hanya membuatnya memaki, mengumpat habis-habisan.

"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di tanganku!" maki Pramana geram.

***

TIGA
Senja terus merayap lambat menjelang malam. Pramana masih tergantung di dalam jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak berhasil untuk melepaskan diri dari jaring keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika mendengar siulan yang timbul tenggelam terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.

"Hey...!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.

Teriakan Pramana menggema, terpantul dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan. Beberapa kali Pramana berteriak disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap terdengar berirama sumbang.

"Hey...! Siapa kau di situ?! Cepat kesini...!" teriak Pramana keras.

Suara siulan itu berhenti. Pramana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar, berharap ada orang yang datang dan bersedia menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan kalau binatang buas yang muncul.

"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika dari dalam semak muncul seorang laki-laki muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu tertegun melihat seseorang tengah tergantung dalam jaring seperti ikan. Dia berhenti melangkah dan memandangi dengan perasaan heran.

"Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta Pramana.

"He...! Kau bisa bicara...?! Kukira kau monyet yang terperangkap!" seru pemuda itu.

"Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak!Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana gusar.

"Ck ck ck... Galak juga," pemuda berbaju kulit harimau itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pelahan pemuda itu melangkah semakin mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi Pramana berusaha meredam kemarahannya.

Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat dibutuhkan pertolongannya untuk melepaskannya dari jaring keparat ini. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu malah melangkah memutarinya. Beberapa kali mulutnya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang saudagar yang tengah mengagumi barang indah dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa menahan diri.

"Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.

"Oh...! Kau bicara lagi...?" pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Pramana.

"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu imbalan yang pantas," bujuk Pramana.

"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

'Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus Pramana tidak sabar.

"Hm...," pemuda itu bergumam dan memandangi Pramana yang nampak gusar, namun penuh harap untuk bisa terlepas dari perangkap jaring ini.

Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang itu, kemudian langsung berusaha berdiri. Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring yang masih mengurung dirinya.

Pramana berusaha keluar dari jaring itu. Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya, setelah lepas dari jaring yang membelenggunya. Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau yang menolongnya, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik dan melangkah cepat menghampiri kuda hitamnya yang setia menunggui sambil merumput sekenyang-kenyangnya.

"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung kuda itu.

Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung melesat pergi meninggalkan debu yang mengepul bercampur daun-daun kering. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya memandangi saja sambil menggeleng gelengkan kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama yang pasti.

"Berhenti...!"

Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sebilah pedang panjang tergantung dipinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau itu terhenti seketika.

"Kau yang melepaskan tawananku...?" laki-laki yang ternyata adalah Jruda itu menunjuk jaring yang tergeletak di sampingnya.

'Tawanan...?" pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya.

"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.

"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia sendiri yang melakukannya," bantah pemuda berbaju harimau itu kalem.

"Mustahil! Tidak ada yang mampu memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang menolongnya!"

"Menolong siapa? Aku hanya memberikan pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia sendiri yang memutuskan tambang itu, dan keluar dari jaringmu."

"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He...! Kenapa marah?"

"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda.

Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja melompat menerjang.

"Hey...! Tunggu!"

Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa pukulan beruntun dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan menghindari serangan yang dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena beberapa serangannya selalu gagal.

"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila!

Tidak ada urusan main serang saja...!"

lenguh pemuda berbaju kulit harimau itu seraya tidak berhenti berkelit. Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras. Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung menghantam bahu kanan Jruda.

"Hegh!"

Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya tertotok. Sebentar pemuda itu memandangi, kemudian berbalik hendak pergi.

"Hey...! Tunggu!" seru Jruda berusaha menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa lumpuh, sukar digerakkan lagi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap laki-laki yang tergeletak tak berdaya.

"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di sini," kata Jruda memohon.

"Heran.... Kenapa semua orang takut di sini sendirian? Apakah tempat ini sarang dedemit?" gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya sendiri.

"Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan sebelum...." '

Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya, tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya bisa bergerak, mungkin sudah gemetar. Suara lolongan anjing hutan itu semakin terdengar dekat. Terlebih, bukan hanya satu. Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.

"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!" sentak Jruda.

"Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda berbaju dari kulit harimau itu kelihatan tenang saja, dan malah duduk di samping Jruda.

"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!" rungut Jruda berusaha menggelinjang. Sementara lolongan anjing semakin banyak terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia berusaha menggelinjang, mencoba membebaskan totokan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi totokan itu sangat kuat sekali, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak mungkin terbebas dari totokan kalau bukan pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang melakukannya.

"Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar pemuda itu terputus seketika.

Satu ekor anjing hutan muncul dari semak. Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan jumlahnya pun semakin bertambah banyak. Datang dari segala penjuru, langsung membentuk lingkaran mengepung kedua orang itu.

"Huh! Bodoh...! Cari mampus!" gerutu Jruda putus asa.

"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam pelahan. Hampir tidak terdengar gumamannya. Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak, dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit berdiri. Tapi seekor anjing hutan menggerung. Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Kedua bola matanya membeliak begitu melihat puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu masih tetap duduk tenang.

"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu kalem.

"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.

"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."

"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak akan jadi begini. Huh...!" gerutu Jruda habis-habisan.

Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun. Jruda masih menggerutu. Segera ditarik pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu pedangnya keluar, mendadak seekor anjing hutan liar itu meraung keras, lalu melompat menerjang cepat.

"Hait...!"
Wut!

Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing hutan itu menggerung keras, dan jatuh menggelepar dengan perut sobek terbabat pedang. Melihat temannya tewas seketika, anjing-anjing lainnya menggeram marah memperlihatkan taring-taringnya yang tajam mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang terhunus.

"Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau.

"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini gara-garamu!"

"Sebentar lagi mereka akan menyerang, mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Suaranya tetap tenang.

Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar ditelinga, dan begitu dalam mengandung banyak arti.

Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu, mendadak saja dua ekor anjing hutan yang mengepung tempat ini melompat sambil bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda kontan melompat sambil mengibaskan pedangnya. Seekor meraung keras, dan terjungkal bersimbah darah. 

Jruda kembali membabatkan pedangnya untuk yang seekor lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah melompat lagi. Jruda berpelantingan, berlompatan menghindari serangan anjing anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatat cepat membabat binatang-binatang liar yang kelaparan itu.

"Setan...!" dengus Jruda menggeram.

Matanya sempat melirik pemuda berbaju kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila. Tidak ada anjing seekor pun yang memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda. Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat pedang. Dan anjing-anjing hutan itu bukannya takut, tapi malah semakin ganas saja.

"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ! Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan menghadapi keroyokan anjing liar yang ganas ini.

Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak sempat memperhatikan dan berpikir banyak. Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya repot. Apalagi jumlahnya semakin banyak saja, meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat pedangnya.

"Huh! Bisa habis napasku kalau begini!" dengus Jruda tersengal.

Jruda melirik sebuah pohon yang berada di dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka tiga ekor anjing menggerung terbabat pedang itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat mencapai dahan, tubuhnya sudah meluncur kebawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu sudah menunggu sambil menggonggong memperlihatkan taringnya.

"Mati aku...!" Keluh Jruda.

Mendadak Jruda melihat sebuah benda meluncur deras ke arah kakinya. Maka dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut menggonggong di bawah pohon. 

Mereka berebut hendak naik, tapi tidak berhasil. Jruda menarik napas panjang. Diliriknya sebuah serat kulit kayu yang tertancap cukup dalam di batang pohon ini. Kemudian dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan nyawanya.

"Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit pun. Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja tidak terlihat.

Suara yang begitu pelan, namun terdengar sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda itu berkata benar, dan dia menurutinya. Hatinya kagum juga dengan ilmu memindahkan suara yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak sama sekali.

***

Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur disekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak menghiraukan, atau mungkin tidak melihat. Binatang-binatang liar itu malah menunggui Jruda di bawah pohon.

"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru Jruda

"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda mereka!" pemuda itu memperingati disertai pengerahan ilmu memindahkan suara.

Jruda langsung menggelinjang, karena peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya. Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip memandangi binatang-binatang liar yang banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.

Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai menggerung tidak sabar. Sementara perut mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu mulai meninggalkan tempat itu. Jruda memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi. Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang liar itu pergi semua.

"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit harimau itu memperingatkan.

Jruda yang akan melompat turun, mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi yang belum meninggalkan tempat ini. Binatang liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih berada di atasnya. Binatang buas itu menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak ke atas, lalu berjalan lemah gemulai meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi masih tetap di dahan pohon itu. Dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.

"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya Jruda.

"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda itu kalem.

"Kampret!" gerutu Jruda.

Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah mendekati pemuda yang masih duduk tenang.

"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda mulai ramah.

"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik bertanya seraya bangkit berdiri.

"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalkan namanya.

"Nama yang bagus."

Pemuda berbaju dari kulit harimau itu melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.

"Kau belum menyebutkan namamu, Kisanak," desak Jruda.

"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda yang memakai baju dari kulit harimau itu kalem, sambil terus mengayunkan langkahnya.

"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau seorang pendekar?" tebak Jruda.

"Hanya pengembara yang kebetulan lewat," sahut Bayu tetap kalem.

"Ilmu apa yang kau gunakan untuk menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda ingin tahu.

"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta, tidak melihatmu," Jruda tidak percaya.

Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang menggunakan ilmu 'Halimun'  yang diperoleh dari seorang pertapa tua. Bayu mampu meningkatkan ilmu itu dan menyempurnakannya dalam waktu tidak lama. Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap anjing-anjing hutan itu. 

Binatang-binatang liar itu tidak bisa melihatnya, bahkan tidak bisa mencium bau badannya. Tapi karena ilmu itu tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang masih kelihatan muda itu masih bisa jelas melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang menentang, membuat ilm 'Halimun' tidak ada kekuatan.

Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa menyamarkan seseorang agar tidak terlihat, asalkan orang itu pasrah dan tidak menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Meskipun Jruda masih penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu watak seorang pendekar yang selalu merendah.

***

EMPAT
Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-duduk di beranda depan bersama sepuluh orang murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-bincang tentang suasana Desa Kiting yang semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang yang melihat bahwa yang membuat neraka di desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan topeng berbentuk muka babi!

Orang misterius itu semakin sering berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan bentrok dengan murid-murid Padepokan Mega Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa menemukan dua orang misterius itu.

Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid utamanya sedang berbincang-bincang, tiba tiba seorang muridnya datang tergopoh-gopoh. Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat, napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit dan menghampiri.

"Ada apa?" tanya Eyang Paladi.

"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah Paman Gering...," lapor anak muda itu tersendat.

Eyang Paladi tidak berkata-kata lagi, langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman Gering adalah orang yang amat dekat dengannya. Dia termasuk saudara sepupu pendiri Padepokan Mega Kiting ini.

"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba didepan rumah Paman Gering.

Sekitar delapan orang murid laki-laki tua berjubah putih itu berlompatan mundur. Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu.

Eyang Paladi melangkah menghampiri dua orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, kemudian menggeser kakinya lebih merapatkan jarak. Eyang Paladi berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.

"Apa maksud kalian membuat resah penduduk desa ini?!" tanya Eyang Paladi tegas.

Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari bola mata yang tersembunyi di balik topeng, sudah dapat dipastikan kalau mereka merencanakan untuk melarikan diri.

"Siapa kalian sebenarnya? Dari mana kalian datang?" tanya Eyang Paladi lagi.

"Eyang, mereka tidak pernah bicara! Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid yang tadi bertarung.

"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku ingin tahu, apa benar kalian bisu?"

Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu pula kedua orang itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan langsung melesat kabur dengan arah yang berlawanan. Sejenak Eyang Paladi kebingungan, namun dengan cepat melompat mengejar salah seorang.

"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi keras.

Lima orang murid utama orang tua itu bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-murid yang tadi bertarung, segera membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu malam sudah demikian larut. Eyang Paladi berhenti berlari pada persimpangan jalan yang menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya menghilang di tempat ini.

"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.

Lima orang muridnya tiba dan segera menghampiri. Mereka semua melayangkan pandang, berusaha menembus kegelapan malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus kesal, karena buruannya lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.

"Kalian tetap mencari, aku menunggu di padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu seraya membungkuk memberi hormat. Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan lima orang muridnya. Tapi belum jauh melangkah, datang tema orang yang mengejar ke arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.

"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan, cepat laporkan padaku!" perintah Eyang Paladi. Kelima orang muridnya itu menjura memberi hormat, kemudian kembali mencari buruan yang hilang begitu saja bagai hantu. Eyang Paladi kembali melangkah cepat menuju padepokannya. Dia singgah dulu di rumah Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena tidak satu pun keluarga Paman Gering yang tewas. 

Hanya Paman Gering saja menderita luka ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah terbalut kain putih. Eyang Paladi kembali ke padepokannya setelah memastikan semuanya selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih dari separuh murid Padepokan Mega Kiting yang tewas, setelah munculnya si pembunuh misterius bertopeng muka babi!

Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja melangkah menaiki undakan beranda rumah Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka adalah Pramana dan adiknya yang bernama Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di kursi kayu berukir.

"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur Rawuni.

"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi ringan.

"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata Rawuni.

"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan Rawuni sudah membuat Eyang Paladi menoleh menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda itu.

"Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya Eyang Paladi.

"Eyang gelisah karena...."

"Rawuni!" sentak Pramana. "Jangan mencampuri urusan Eyang Paladi."

"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus menutupi?"

"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang Paladi mendesak.

'Tentang dua orang bertopeng muka babi," sahut Rawuni.

"Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang Paladi agak terkejut juga.

Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang Paladi, mereka belum keluar dari padepokan, walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh sangat disesali sikap Rawuni yang dianggap berlaku lancang.

"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.

"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut Rawuni.

"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.

"Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur, beristirahat," usul Pramana.

"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu murid-muridku," tolak Eyang Paladi.

Pramana menggamit tangan adiknya, lalu sama-sama melangkah masuk ke dalam. Sementara Eyang Paladi tetap duduk di kursinya, menunggu murid-muridnya yang tengah mengejar dua orang bertopeng muka babi.

Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir jatuh. Pramana langsung menutup pintu kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-dalam.

"Untuk apa kau katakan itu pada Eyang, Rawuni?!" tajam nada suara Pramana.

"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa mempercayai alasanku," sahut Rawuni tidak kalah tajamnya.

"Tapi untuk apa...?!"

"Untuk apa...?! Hhh...! Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Kakang. Jangan berpikiran picik," Rawuni tersenyum sinis.

Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian tangannya memukul dinding. Sebentar dia berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ. Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja. Pramana menatap jauh ke langit-langit kamarnya.

"Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan, Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya satu yang kuinginkan, jagalah keselamatan diri kita masing-masing," kata Pramana pelan.

"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."

"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."

"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita berada di sini, adalah untuk meneruskan cita-cita Ayah."

"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya memejamkan matanya.

Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.

"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.

"Kau sudah tahu orang yang menggantungku?" tanya Pramana seraya memiringkan tubuhnya.

"Aku heran, mengapa kau bisa digantung seperti itu?"

Pramana memang sudah menceritakan peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal di pesanggrahan ini. Pemuda itu jadi penasaran, karena belum dapat mengetahui orang itu sampai sekarang. Demikian pula orang yang sudah menolong membebaskannya. 

Tapi Pramana kesal, karena orang itu malah mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu suatu penghinaan yang harus dibalas dengan penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk memenggal kepalanya.

"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu licik! Curang! Menggunakan jebakan!" rungut Pramana menggerutu.

Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya memang sudah diketahui dari cerita Pramana sendiri.

"Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?" tanya Pramana lagi.

"Belum. Tapi orang yang menolongmu bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka," sahut Rawuni.

"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Pramana seraya menelentangkan tubuhnya kembali.

"Aku tahu hal itu dari salah seorang murid utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari ciri-ciri yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata Rawuni lagi.

"Dia pernah bertemu?"

"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar muda yang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia belum bisa dimasukkan dalam golongan mana pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah..., termasuk kita juga. Aku sendiri belum yakin ke...."

"Rawuni...!" sentak Pramana kembali menggelimpang memandang adiknya.

"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.

"Kau harus membiasakan diri untuk menyimpan rahasia, Rawuni."

"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang sukar sekali untuk mengunci mulut..."

"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi tadi!" rungut Pramana.

Rawuni hanya diam saja.

"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau adikku sendiri," ujar Pramana. Rawuni mengangkat bahunya, kemudian berbalik dan membuka pintu.
"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu," kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.

"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa sudah bisa mengetahuinya," sahut Rawuni langsung melangkah keluar dan menutup kembali pintu kamar itu.

"Kau memang adikku yang baik, Rawuni," desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau terlalu baik, polos, dan lugu."

Pramana menarik napas panjang-panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh menembus langit-langit kamar ini. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Terdengar suara percakapan di depan. Begitu pelan dan sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.

"Heh...! Aku seperti mengenal suara itu?" Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.

Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-samar. Pramana berusaha menajamkan telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak terdengar lagi. Sunyi...! Pramana kembali menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap langit-langit kamar.

"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang Paladi? Sepertinya pernah kukenal suaranya...," gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya...?"

***