Pendekar Rajawali Sakti 110 - Sekutu Iblis(1)

SATU
JALAN menuju Desa Watu Jajar melalui sebelah utara tampaknya memang tak begitu bagus. Lagi pula terlihat sempit, seperti membatasi sebuah sungai yang lebar dengan hutan yang lebat di sebelah kiri. Tak heran, karena itu hanyalah jalan setapak. Namun jalan itu adalah jalan pintas menuju daerah utara. Meskipun demikian, tampaknya jalan yang hanya cukup dilalui pedati itu, banyak juga dilalui orang.

Memang pemandangan di sekitar tempat ini cukup mempesona. Jauh di depan sana, terlihat barisan gunung yang menjulang tinggi. Sedangkan di seberang sungai, akan terlihat sawah-sawah menghijau bagai permadani yang amat luas.

Siang ini, matahari tak terlalu menyengat. Sedangkan angin bertiup sepoi-sepoi, membuat seorang pemuda yang tengah menunggang kuda tampak terkantuk-kantuk. Jalan tampak sepi. Dan sejak tadi, dia hanya berjalan seorang diri, tanpa berpapasan dengan siapa pun. Pemuda tampan berambut panjang terurai itu memakai baju rompi putih. Tampak sebilah pedang tersampir di punggungnya.

"Hm.... Indah sekali pemandangan di tempat ini. Dan padi-padi yang subur itu tentu menandakan kalau penduduk desa ini hidup lebih makmur." gumam pemuda itu.

Pemuda itu terus menjalankan kudanya dengan kecepatan sedang. Kini dia memasuki daerah perkampungan. Dan tampak orang-orang mulai ramai. Sesungguhnya, penduduk Desa Watu Jajar itu cu¬kup padat. Dan bentuk rumah tiap penduduknya, bisa terlihat bahwa mereka cukup makmur. Pendu¬duknya juga sehat-sehat. Tak ada anak-anak menangis di tengah jalan karena kelaparan. Tak ada keributan atau perkelahian yang memperebutkan sekerat makanan.

"Hm.... Sungguh beruntung kerajaan di negeri ini, jika setiap wilayahnya seperti desa ini. Di Karang Setra saja, belum tentu aku mampu membuat seluruh rakyatku hidup makmur serta damai," lanjut pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Raja¬wali Sakti.

Rangga lalu menghentikan lari kudanya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Namun beberapa saat kemudian, terlihat sesuatu yang aneh dan tak dirasakan Pendekar Rajawali Sakti sejak awal. Ada suatu hal yang amat menarik perhatiannya. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, karena lama-kelamaan dirinya merasa asing di tempat ini. Agaknya penduduk desa ini tak begitu ramah terhadap orang asing. Mereka seolah tak mempedulikan kehadirannya. Bahkan ada kecurigaan lain yang dirasakan pemuda itu. Ternyata wajah mereka banyak menunjukkan rasa putus asa, ketakutan dan tak tenang. Seolah-olah ada kejadian hebat. Entah berupa bencana, atau yang lainnya. Tapi sepanjang yang diperhatikannya, Pendekar Rajawali Sakti tak melihat bencana apa yang menimpa desa ini.

"Ada baiknya aku menanyakan hal ini pada mereka!" bisik Pendekar Rajawali Sakti dalam hati. Rangga kemudian turun dari punggung kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Dituntunnya Dewa Bayu sambil berjalan memasuki desa lewat jalan utama, seperti membelah desa menjadi dua bagian. Tak lama, Rangga berpapasan dengan seorang laki-laki setengah baya.

"Maaf, Ki. Bolehkah aku bertanya?"

Laki-laki setengah baya itu tak menyahut. Di pandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala. Sebentar ke¬mudian, dia seperti enggan. Bahkan berusaha untuk berlalu, tanpa mempedulikan pemuda itu. Hal itu amat mengherankan Rangga. Dan laki-laki sete¬ngah baya itu segera berlalu, begitu Rangga bergerak ke samping, memberi jalan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah kembali, setelah mengangkat bahu dengan kening berkerut dalam. Tak lama, dia berpapasan kembali dengan seorang laki-laki tua. Rasa penasaran, membuat Rangga kembali mengungkapkan rasa ingin tahunya. Namun sikap orang itu pun sama. Bahkan kelihatan takut sekali, dan langsung berlalu dari situ. Tentu saja hal itu semakin menimbulkan keheranan di hati pemuda itu.

"Kenapa mereka? Apa yang telah terjadi di desa ini...?" tanya Rangga pada diri sendiri dengan wajah semakin heran.

Rangga segera melangkahkan kaki ke sebuah kedai kecil yang terletak beberapa tombak di depannya. Begitu tiba di depan pintu kedai, Rangga melihat tak terlalu banyak orang. Paling tidak, ha¬nya terdapat sekitar lima orang di dalam kedai ini. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah ke da¬lam, menghampiri seorang laki-laki agak tua yang sepertinya pelayan kedai ini.

"Kisanak, numpang tanya. Apakah di desa ini tengah terjadi bencana? Kenapa orang-orang di sini takut berbicara?"

Pelayan kedai itu terkejut. Kemudian dipandanginya pemuda itu dalam-dalam dengan wajah takut. Matanya segera melirik ke kiri dan kanan, kemudian kembali memandang pemuda itu dengan wajah tak senang.

"Kisanak, maaf... Kami tak bisa melayani. Sebaiknya, lekaslah pergi dari tempat ini," kata pelayan itu, tegas.

Kini Rangga yang kaget. "Kenapa? Apakah kedai ini tak menjual makanan?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

"Maaf, sudah habis," sahut pelayan itu singkat, sambil berlalu ke belakang dan tak kembali lagi.

Dengan perasaan kesal, Rangga segera berbalik dan keluar dari kedai itu. Dia tahu, pelayan kedai tadi berdusta. Buktinya ketika sudah berada di pintu depan kedai, matanya sempat melirik salah seorang pengunjung kedai yang tengah menambah makanannya. Dan matanya juga bisa melihat kalau persediaan makanan di kedai ini masih banyak. Hanya saja pemuda itu tak mau ribut-ribut, meskipun hatinya kesal dibohongi begitu.

"Gila! Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa mereka takut untuk membicarakannya? Apakah desa ini tengah dilanda bencana hebat yang dilakukan seseorang? Hm... Aku harus mencari tahu, apa yang terjadi di sini. Tapi pada siapa? Mereka semua takut berbicara padaku," gumam Rangga dalam hati sambil terus berjalan menghampin kuda¬nya.

Mendadak saat itu seseorang lewat di dekatnya.

"Kisanak, aku bisa menjawab pertanyaanmu. Ikuti aku. Dan, jangan membuat curiga orang lain," bisik orang itu, tanpa menoleh.

"Heh?!"

Rangga langsung merubah sikapnya, dan pura-pura tak melihat laki-laki bertubuh sedang berkumis tipis yang terus berjalan ke arah yang berlawanan. Pendekar Rajawali Sakti sendiri terus berjalan ke depan. Setelah jaraknya agak jauh, tubuhnya berbalik. Langsung dibuntutinya laki-laki itu dari jarak jauh dengan perlahan-lahan.

Ketika mereka tiba di ujung desa, laki-laki itu memasuki sebuah rumah yang berada paling ujung, dan sedikit jauh dari yang lain. Rangga juga sudah tiba di depan rumah tua itu. Ditunggunya sesaat, sebelum masuk.

"Kisanak, silakan masuk!" ujar laki-laki itu sambil membukakan pintu ketika Rangga mengetuknya.

Bola mata laki-laki itu melirik ke sekelilingnya, kemudian melangkah ke luar. Dituntunnya kuda tunggangan pemuda itu.

"Maaf, kudamu harus kusembunyikan di belakang," lanjut laki-laki itu.

Rangga mengangguk setuju, melihat kewaspadaan laki-laki itu. Segera kakinya melangkah ma¬suk. Tak lama kemudian, laki-laki tadi sudah muncul lagi, menyusul Rangga yang sudah ada di da¬lam.

Ternyata, di dalam sudah ada seorang wanita setengah baya, tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Wajahnya manis, kulitnya kuning langsat. Dia memakai baju putih agak lusuh.

"Dia istriku. Namanya, Laksmi," kata laki-laki itu, ketika Rangga agak terpaku, tidak menyangka di dalam rumah ini ada seorang wanita.

Pendekar Rajawali Sakti lalu membungkukkan tubuhnya sedikit disertai senyum manis. Sementara wanita itu membalas penghormatan Rangga dengan anggukan kepala yang lembut.

"Kisanak, maafkan atas cara-caraku mengajakmu ke sini...," ucap laki-laki itu.

"Mari silakan duduk."

"Ah, tidak apa. Nah, katakanlah. Mengapa kau mengajakku ke sini?" tanya Rangga, setelah duduk di bangku dekat jendela yang sedikit terbuka.

Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu tak buru-buru menjawab. Malah diperhatikannya pemuda itu dengan seksama, beralih pada istrinya. Sebentar dia memberi isyarat dengan kepala agar istrinya segera ke belakang.

"Kisanak..., eh! Ng...," laki-laki itu membuka suara, setelah istrinya menghilang di balik pintu.

"Namaku Rangga...."

"Eh, aku Widura. Rangga, kulihat kau membawa-bawa pedang. Kalau tak salah, kau pasti seo¬rang pendekar berkepandaian tinggi. Hm.... Bila kuceritakan sesuatu padamu, maukah kau menolong kami?"

Rangga tersenyum mendengar kata-kata laki-laki yang ternyata bernama Widura.

"Paman Widura, aku hanya seorang pengembara. Dan kalau aku punya kepandaian, tidak se¬perti yang kau duga. Namun, dengan senang hati aku akan menolong jika memang amat diperlukan. Nah, apakah yang bisa kubantu?" tanya Rangga, merendah. Dan dia juga sudah memanggil paman pada Widura.

"Desa ini...!" desis Paman Widura, murung.

"Kenapa dengan desa ini, Paman?" tanya Rangga tertarik.

"Aku tadi sempat melihatmu tengah bertanya-tanya tentang keadaan desa ini pada orang-orang. Aku tahu, mereka takut bicara. Tapi begitu melihat¬mu, aku lantas berharap mudah-mudahan kau bisa membebaskan kami dari ulah dewa keparat itu!" geram Paman Widura, sambil menggerutkan geraham.

"Dewa? Dewa apa, Paman?"

"Beberapa bulan lalu, ada orang asing yang datang ke desa ini. Dan dia mengaku sebagai utusan dewa. Bila kami menuruti kata-katanya, maka desa ini akan makmur dan sentosa. Namun bila membantah, maka bencana akan menimpa. Tentu saja hal itu amat menggelikan. Malah, tak seorang pun penduduk desa ini yang mempercayai ocehannya. Tapi beberapa hari kemudian, terjadi peristiwa aneh yang amat mengejutkan. Beberapa penduduk desa ditemukan tewas dengan tubuh membusuk dan kulit terkelupas, setelah menderita sakit terlebih dahulu. Peristiwa ini terus berlanjut, sehingga menimbulkan ketakutan bagi seluruh penduduk desa ini," tutur Paman Widura.

"Lalu, apa tindakan penduduk desa?"

"Beberapa tabib telah didatangkan untuk mengobati mereka yang sakit. Dan beberapa orang dukun pun berusaha melawan setan jahat yang menguasai desa ini. Tapi, justru merekalah yang ke¬mudian tewas. Kemudian bencana lain kembali menimpa. Sumur-sumur di setiap rumah mulai tak aman, karena mengandung racun. Akibatnya, sebagian besar penduduk desa ini lemah tak berdaya, dan dibayangi ketakutan hebat. Akhirnya, jalan kami memang buntu. Maka, terpaksa kami minta pada orang asing itu agar menghentikan kutukan dewanya...," lanjut Paman Widura.

"Apakah dewa itu berhasil menghentikan kutukan?" tanya Rangga semakin tertarik. Paman Widura mengangguk.

"Apa keinginan dewa itu?"

"Setiap purnama kami wajib menyerahkan seorang perawan berwajah cantik, serta benda-benda berharga sebagai persembahan. Siapa saja yang tak setuju, bisa dipastikan akan tewas dalam waktu singkat..."

Rangga mengangguk-angguk mengerti. "Paman Widura, di mana aku bisa menjumpai dewa itu?"

"Tak seorang pun penduduk desa ini yang mengetahuinya. Kami hanya memberikan persembah¬an pada utusannya yang sering berkeliaran di te¬ngah desa, dengan mengadakan sedikit upacara di kaki Bukit Belimbang, di sebelah barat desa ini," jelas Paman Widura.

"Hm.... Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana keberadaan utusan dewa itu berada."

"Maaf, Rangga Aku tak bisa mempertemukanmu dengannya. Ini sangat berbahaya bagi keselamatanmu sendiri. Tapi, kau bisa menemui seorang laki-laki berkulit hitam. Tubuhnya pendek. Telinganya agak lebar dengan hidung pesek besar. Dia memakai penutup kepala berwarna coklat, dan rompi putih sepertimu. Pokoknya, dia sering berkeliaran di keramaian desa," jelas Paman Widura lagi.

"Baiklah. Aku akan mencarinya sendiri nanti...."

"Rangga! Betulkah kau sudi menolong kami untuk menghancurkan dewa keparat itu?" Paman Widura seperti tak percaya.

Rangga mengangguk disertai senyum ramah di bibir.

"Dan jika kau membutuhkan penginapan selama berada di desa ini, anggaplah rumahku seperti rumahmu sendiri. Pintuku selalu terbuka untukmu. Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantu kami," tambah laki-laki bertubuh kecil itu.

"Paman Widura, sudahlah. Jangan terlalu repot-repot atau sungkan denganku. Bukankah kewajiban setiap manusia adalah saling tolong-menolong?" Rangga jadi tak enak sendiri, karena terlalu dihormati oleh Paman Widura.

Paman Widura tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dan mereka terus berbincang-bincang panjang lebar tentang keadaan desa ini, sambil makan singkong rebus dan kopi hangat. Sehingga, Rangga dapat mengetahui lebih banyak tentang keadaan Desa Watu Jajar ini. 

***

Menjelang sore hari, Rangga sudah berada kembali di tengah-tengah Desa Watu Jajar. Diperhatikannya dengan seksama orang-orang yang lalu lalang di sekitar desa. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mencocokkan ciri-ciri orang yang dianggap sebagai utusan dewa itu, seperti yang dituturkan Paman Widura. Benar saja tak berapa lama, orang yang tengah dicari tampak sedang ber¬bicara dengan sekelompok orang. Laki-laki itu persis seperti yang digambarkan Paman Widura. Usianya sekitar lima puluh tahun. Rambutnya yang tipis telah memutih sebagian. Jubahnya hitam, agak lusuh. Di tangannya, tampak tergenggam sebatang tongkat panjang yang pangkalnya berbentuk bulat.

Pendekar Rajawali Sakti diam-diam segera mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' dari jarak sekitar sepuluh tombak, untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Tak ada seorang pun yang tahu, kalau pemuda itu sedang mencuri dengar.

Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika orang yang mengaku sebagai utusan dewa itu membicarakan tentang persembahan yang harus dilakukan penduduk desa pada bulan purnama yang tinggal beberapa hari lagi saja. Setelah pembicaraan selesai, laki-laki berjubah hitam itu segera berlalu diikuti yang lainnya. Sementara Rangga segera mengikuti utusan itu dari jauh sambil menuntun ku¬danya. Namun agaknya utusan itu mengerti kalau tengah diikuti seseorang. Terbukti beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang.

Belum begitu lama membuntuti, Rangga sudah terperangkap dalam keramaian orang yang lalu-lalang di jalan utama desa itu. Akibatnya, buruannya jadi hilang. Rangga menjulurkan lehernya sambil memandang ke sekelilingnya. Dia tahu betul laki-laki berjubah hitam itu belum begitu jauh. Dugaannya, orang itu pasti bersembunyi di suatu tempat. Rangga terus melangkah pelan sambil menajamkan pandangannya. Dan begitu sampai, di sebatang pohon besar, langkahnya terhenti. Sebentar ditepuk-tepuknya leher kuda hitam tunggangannya.

"Dewa Bayu! Kau pasti sudah letih sekali, bukan? Nah, sebaiknya kita beristirahat dulu di sini. Nanti kita mencari air untuk menghilangkan dahaga," ujar Rangga, mengajak bicara kudanya.

Sedangkan Dewa Bayu langsung mengangguk-angguk, seperti mengerti. Pendekar Rajawali Sakti segera menambatkan tunggangannya di salah satu cabang pohon. Kembali ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu duduk tenang di atas sebuah batu besar, yang terdapat di bawah pohon. Dan belum juga Rangga melepaskan lelahnya, mendadak sesosok tubuh meluncur ringan dari atas pohon. Ringan sekali kakinya mendarat, pertanda kepandaiannya sudah cukup tinggi. Kini jelas, siapa yang baru turun dari atas pohon itu.

"Kisanak! Apa yang kau inginkan, sehingga membuntutiku sampai ke tempat ini?" tanya orang yang tak lain laki-laki berjubah hitam. Dialah yang mengaku sebagai utusan dewa. Rangga bangkit dari duduknya sambil tersenyum. Kemudian diberikannya salam penghormatan pada laki-laki berjubah hitam di depannya.

"Kisanak! Aku hanya ingin minta petunjuk, bagaimana caranya agar bisa bertemu dewamu..."

"Apa yang kau inginkan?" tanya laki-laki itu, masih curiga.

"Bukankah seorang hamba akan merasa bahagia sekali dan merasa mendapat anugerah, bila bisa bertemu dengan dewanya? Dan salahkah aku bila ingin mendapat kemuliaan bila dapat bertemu dengannya?" kata Rangga, mulai bersiasat.

"Hm.... Kau kelihatannya bukan orang bodoh, Kisanak. Lagi pula kau bukan orang sini. Kulihat, di hatimu tersimpan niat-niat busuk. Bahkan isi kepalamu berisi kegelapan yang akan digunakan un¬tuk menghina dewa kami. Kau masih belum bisa bertemu dengannya! Nanti jika hati dan pikiranmu sudah bersih, barulah bisa bertemu," sahut utusan itu tegas.

"Tapi, Kisanak. Bukankah hanya dewa yang bisa demikian? Aku hanya seorang hamba hina, lagi papa. Jadi, mana mampu membuat hati dan pikiranku bersih tanpa bantuan dewa. Tolonglah, Kisanak. Aku ingin mensucikan diri...."

"Maaf. Aku tak bisa membantu. Bersihkanlah hatimu dahulu dari niat-niat buruk. Dan, jernihkanlah pikiranmu dari kekeruhan. Setelah itu, barulah aku bisa membantumu agar bisa bertemu dengan¬nya," kata laki-laki berjubah hitam itu, segera berlalu.

Rangga hanya tersenyum. Dibiarkannya laki-laki itu pergi. "Hm.... Aku tahu. Hanya dewa gadungan saja yang tak mau menolong hambanya!" ejek Rangga langsung, ketika utusan dewa itu telah berjalan beberapa langkah.

Laki-laki berjubah hitam itu kontan menghentikan langkahnya, dan berbalik. Ditatapnya Rangga dengan sorot mata penuh kebencian.

"Kisanak! Apa maksudmu bicara begitu, heh?!" bentak utusan itu.

"Hm.... Ternyata dewamu tak bisa memberi anugerah agar telingamu mampu mendengar lebih tajam. Dan itu semakin memperkuat dugaanku, ka¬lau dewa yang kau katakan itu pasti gadungan," sahut Rangga seenaknya.

"Kisanak! Cabutlah kata-katamu kalau tak ingin celaka dikutuk dewata!" bentak laki-laki berjubah hitam itu keras. Wajahnya tampak semakin merah, menahan amarah bercampur geram.

"Ingin kulihat, apakah dewa yang kau katakan itu mampu mencegahku untuk menghajar dan membunuhmu!" gertak Rangga, dingin. Pendekar Rajawali Sakti mulai melangkah tenang, mengham¬pin laki-laki itu.

Laki-laki berjubah hitam itu mulai bersiap-siap menjaga segala kemungkinan. Tubuhnya mulai menggeletar, mendengar kata-kata pemuda itu. Apalagi ketika jarak mereka semakin dekat saja.

Srak!
"Hm...."

Rangga terpaksa langsung mengalihkan perhatiannya begitu mendengar suara gesekan semak-semak. Memang, mendadak saja melesat sesosok tubuh dari arah semak-semak. Sosok tubuh itu lang¬sung menerjangnya dengan gerakan cepat. Dari angin serangan yang datang, disadari kalau orang yang baru datang ini tak bisa dianggap enteng. Sehingga, dipapaknya serangan yang meluncur da¬tang ke arahnya.

Plak! Plak! 

***
DUA
Seketika terdengar benturan dahsyat, begitu Rangga memapak serangan dahsyat ke arah penyerangnya.

"Uhhh...!"

Sosok yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah, begitu habis berbenturan disertai keluhan kesakitan. Rangga membiarkan orang itu mengatur pernapasannya, sambil menunggu kalau kalau mendapat serangan kembali. Sosok yang menyerang Rangga adalah laki-laki dengan pakaian dari lilitan kain hitam. Hampir seluruh tubuhnya tak terlihat, kecuali bagian mata¬nya yang menyorot tajam ke arah Pendekar Raja¬wali Sakti.

Pada mulanya, Rangga tak ingin meladeni orang itu kembali. Dan dia bermaksud untuk menangkap orang yang mengaku sebagai utusan dewa itu. Namun begitu matanya melirik, laki-laki ber¬jubah hitam itu telah tidak ada lagi. Dan belum juga Rangga menduga ke mana arah kepergiannya, tiba-tiba...

"Yeaaaah...!"

Orang yang tubuhnya terbalut kain hitam itu cepat melesat, sambil melepaskan pukulan dahsyat.

"Uts, sial!" maki Rangga seraya memutar tubuhnya ke kiri. Sehingga, pukulan itu dapat dihindarinya.

"Kaulah yang sial hari ini, Kisanak. Kematianmu telah dekat! dengus laki-laki bertubuh sedang itu, setelah menjejak kembali di tanah.

"Hm... Hubunganmu agaknya dekat sekali dengan dewa yang disebut laki-laki berbaju hitam temanmu tadi. Apakah kau pun utusan yang lain?" kata Rangga, bertanya.

"Phuih! Apa pedulimu?! Berdoa-lah untuk keselamatanmu, karena sebentar lagi kau akan mampus!" dengus orang yang wajahnya terbalut kain hitam itu.

"Bicaramu sungguh hebat, Kisanak. Aku justru ingin menangkap dan menghukummu, agar dewamu datang dan menyelamatkanmu!" sahut Rangga, enteng.

"Keparat!" dengus orang bertopeng kain hitam itu.

"Uts...!"

Rangga cepat-cepat melenting ke atas ketika satu sapuan dilepaskan laki-laki bertopeng kain hitam itu ke arah perutnya. Tubuhnya langsung berputaran dan cepat meluncur turun dengan sebuah tendangan keras tanpa tenaga dalam ke arah wajah. Orang bertopeng itu terlihat gugup. Memang, gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat bukan main. Bahkan tak ada waktu lagi untuk menghindar. Maka....

Begk!
"Aaakh...!"

Orang bertopeng itu kontan menjerit kesakitan begitu tubuhnya terjungkal terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti pada wajahnya. Dan belum lagi dia dapat menarik napas, Rangga sudah melesat cepat dengan satu pukulan keras tanpa tenaga dalam. Melihat hal ini, laki-laki bertopeng hitam itu semakin kaget saja. Maka dengan untung-untungan, dia menyelamatkan diri. Tubuhnya dijatuhkan ke tanah. Tapi ternyata saat itu juga kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambutnya.

Dugk!
"Aaakh...!"

Diiringi pekik kesakitan, orang bertopeng hitam itu terpental beberapa tombak ke belakang. Lalu, tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali telah melesat mengejar. Terpaksa orang bertopeng itu bergulingan, menghindari diri. Kemudian, tubuhnya cepat melenting ke atas. Tapi pada saat yang sama, Pen¬dekar Rajawali Sakti juga melenting sambil melepaskan serangan cepat ke arah lawan. Begitu cepatnya, sehingga kedua telapak kaki Pendekar Ra¬jawali Sakti kembali menghantam keras dada orang bertopeng hitam itu.

Desss!
"Aaakh...!"

Kembali orang bertopeng itu terjungkal, dan jatuh keras di tanah. Tampak darah menembus kain hitam yang menutupi wajahnya, tepat di bagian mulut. Agaknya orang bertopeng itu telah terluka. Meskipun begitu, Rangga tak bermaksud menghabisinya. Dia butuh keterangan dari orang itu tentang dewa gadungan yang sedang dicarinya. Itulah sebabnya, serangan yang dilakukan tidak menggunakan tenaga dalam penuh. Dan hanya cukup untuk melukai saja.

"Sekarang, rasakanlah. Yeaaa...," gertak Pendekar Rajawali Sakti.

Tubuh Rangga cepat bagai kilat melesat ke arah orang bertopeng yang belum siap bangkit. Kali ini agaknya sulit bagi orang bertopeng itu untuk menyelamatkan diri. Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba melesat dua sosok tubuh bertopeng lain. Dan mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti de¬ngan pedang.

"Hiyaaa...!"
"Uts, sial..!"

Rangga terpaksa menghentikan serangannya, karena harus menghindari kelebatan pedang-pedang lawan yang mengincar tubuhnya. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melayani serangan pedang dari kedua lawannya.

Namun, kesempatan itu cepat digunakan oleh orang bertopeng yang pertama untuk kabur. Pende¬kar Rajawali Sakti bermaksud mengejar, namun kedua orang bertopeng yang baru datang seakan tak memberi kesempatan sedikit pun. Gerakan me¬reka begitu gesit. Dan agaknya, kepandaian mereka lebih tinggi setingkat dibanding orang bertopeng sebelumnya. Apalagi, kini mereka berdua bersenjata. Sehingga, semakin mempersulit gerakan Pen¬dekar Rajawali Sakti saja.

"Yeaaa...!"
Bet! Bet!
"Sial!" dengus Rangga.

Memang, serangan yang dilakukan kedua orang itu amat cepat dan kompak. Agaknya mereka betul-betul telah terlatih untuk menyerang secara bersamaan. Ujung kedua pedang masing-masing te¬rus berputar-putar, membentuk gulungan. Pende¬kar Rajawali Sakti terpaksa harus bergerak cepat menghindar ke sana kemari, karena ujung-ujung pedang itu terus mengejar. Belum lagi, Pendekar Rajawali Sakti juga harus menghadapi tendangan-tendangan yang membuatnya agak sulit untuk bertarung pada jarak pendek.

Namun dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sampai saat ini belum ada pukulan maupun sabetan pedang yang mampir di tubuhnya. Dalam satu kesempatan, Rangga mencelat jauh ke belakang untuk menghindari jangkauan se¬rangan lawan. Tubuhnya melayang ringan bagai sehelai daun kering. Namun ketika kedua kakinya menjejak tanah, kedua orang bertopeng yang menyerangnya telah hilang dari tempat itu.

"Sial!" dengus Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mencari-cari ke sekeliling tempat itu. Namun yang dicari tak juga ditemuinya. Orang-orang itu lenyap seperti ditelan bumi. Dengan langkah lesu akhirnya Rangga kem¬bali ke tempat kediaman Paman Widura 

***

Senja baru saja berlalu ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di tempat kediaman Paman Widura. Laki-laki setengah baya itu menyambutnya dengan wajah suka cita.

'Bagaimana, Rangga? Apakah kau telah bertemu dengannya?" tanya Paman Widura, ketika me¬reka telah duduk-duduk di ruang tengah.

"Ya. Tapi, tadi kulihat dia memakai jubah hitam. Sehingga, agak terkecoh. Tampaknya dia tadi sedang memberikan penjelasan tentang persembahan korban di bulan purnama ini...," jelas Rangga sambil mengangguk pelan.

"Ya. Aku lupa kalau hari ini dia akan memberitahukan tentang acara persembahan itu. Lalu, apa yang kau lakukan terhadapnya?" tanya Paman Wi¬dura kembali.

Rangga pun segera menceritakan semua yang dialaminya, tanpa ditambah-tambahi. Sedangkan Paman Widura mengangguk-angguk, mendengarkan dengan seksama penuturan pemuda itu.

"Oh! Apakah kau terluka, Rangga?" tanya Paman Widura, cemas.

Rangga menggeleng, lalu tersenyum kecil ketika istri Paman Widura keluar. Wanita bernama Laksmi itu menghidangkan kopi hangat dan kue-kue.

"Aku tak apa-apa, Paman... "

"Ah! Aku hanya menyusahkan kau saja jadinya. Persoalan ini memang berat. Dan salah-salah bisa mencelakakan dirimu sendiri," kata Paman Wi¬dura gundah.

"Paman! Bukankah aku telah mengatakan, kalau masalah ini adalah kewajibanku untuk saling tolong-menolong? Nah! Janganlah bersikap menyesali diri seperti itu," sanggah Rangga, bijaksana.

"Tapi, apa jadinya jika kau sampai tewas dalam persoalan ini?"

Rangga hanya tersenyum melihat kecemasan laki-laki setengah baya itu. "Paman! Persoalan hidup dan mati ada di tangan Yang Maha kuasa. Kalau memang aku ditakdirkan untuk mati dalam persoalan ini, apa boleh buat. Dan aku tak akan mati penasaran. Bahkan aku merasa bangga karena selagi hidup bisa berbuat sesuatu bagi orang banyak kilah Rangga, tanpa bermaksud menyombongkan diri.

Paman Widura memandang pemuda itu dengan seksama, kemudian tersenyum tulus. "Hm... Rasanya, seluruh penduduk desa ini akan merasa malu mendengar kata-katamu, Rangga. Termasuk juga aku. Rasanya semangatku sekarang mulai bangkit. Dan kini, aku tak takut mati demi membela kebenaran. Nah, Rangga.... Adakah sesuatu yang dapat kubantu dalam persoalan ini?"

Rangga kembali tersenyum mendengar kata-kata laki-laki itu. "Paman, tentu aku akan suka sekali bila kau bisa membantu. Hanya saja untuk sementara ini, sebaiknya kau diam saja dulu di rumahmu. Tapi kau harus selalu waspada. Siapa tahu, ada mata-mata utusan dewa itu. Jika mereka sampai tahu ka¬lau kau telah menceritakan persoalan di desa ini pada orang luar, tentu bisa celaka...," ujar Rangga.

"Hm... Sekarang aku tak takut lagi, Rangga. Aku siap mati untuk membereskan persoalan ini! seru Paman Widura dengan wajah bersemangat.

"Aku bangga dengan tekadmu, Paman. Namun ada hal yang perlu diingat. Manusia tak boleh mati sia-sia. Artinya, janganlah membabi buta dalam menghadapi persoalan gawat yang bisa mencelakakan jiwa. Sebaiknya, pikirkanlah masak-masak sebelum bertindak."

"Betul, Rangga. Aku pun setuju dengan pendapatmu itu!" sahut Paman Widura cepat.

Pendekar Rajawali Sakti kembali tersenyum kecil sambil memperbaiki duduknya. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah. Bahkan langsung memberi isyarat pada laki-laki itu untuk tidak ribut dengan tangannya. Memang, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam, telah menangkap suara-suara mencurigakan di luar sana.

"Ada apa?" bisik Paman Widura dengan wajah tegang.

Ranggga menempelkan jari telunjuknya ke bibir, kemudian bangkit. Kakinya segera melangkah ke arah pintu dan membuka perlahan-lahan.

"Paman! Waspadalah. Sebaiknya berjaga-jaga...," bisik Rangga lirih.

"Kau mau ke mana, Rangga?"

"Ada tamu tak diundang yang mengintai kita. Aku ingin mengajaknya masuk," desis Rangga.

Wajah Paman Widura jadi tegang. Begitu pula istrinya yang sejak tadi diam saja. Buru-buru laki-laki itu mencabut golok yang terselip di pinggang. Dia langsung bangkit, dan bersiaga di depan pintu rumahnya. Rangga yang sejak tadi mendengar suara mencurigakan di luar rumah, segera keluar. Matanya langsung merayapi sekelilingnya dengan seksama.

"Kisanak yang bersembunyi di balik pohon, keluarlah! Percuma terus bersembunyi. Lebih baik, mari kita berbincang-bincang. Mari masuk saja kedalam. Dan kau bisa menceritakan maksudmu!" teriak Rangga.

Krosak!

Baru saja Rangga selesai bicara, mendadak me¬lesat sesosok bayangan dari balik cabang pohon yang berada di samping rumah Paman Widura. Bayangan itu bukannya mendekat ke arah Pende¬kar Rajawali Sakti, melainkan terus melesat menjauhi. Melihat hal ini tentu saja Rangga tak membiarkannya lolos begitu saja. Seketika kakinya digenjot, mengejar bayangan itu.

"Huh! Kau pikir bisa seenaknya kabur setelah menguping pembicaraan orang?!" dengus Rangga jengkel.

Tapi agaknya sesosok bayangan itu mampu bergerak cepat dan lincah sekali. Seluk-beluk tem¬pat ini diketahuinya betul, sehingga agak sulit bagi Rangga mengikutinya. Bahkan tiba di sebuah perempatan jalan, pemuda itu betul-betul kehilangan buruannya. Meskipun Rangga telah mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', namun sedikit pun tak terdengar tanda-tanda adanya sosok ba¬yangan tadi di tempat itu. Dia menghilang bagaikan setan saja. Maka dengan perasaan jengkel bercampur geram, Rangga kembali ke rumah Paman Wi¬dura yang belum begitu jauh ditinggalkannya.

Namun belum juga Rangga tiba, mendadak dikejutkan jeritan yang melengking dari rumah Paman Widura. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat rnemburu ke arah rumah sederhana itu.

"Keparat! Kalau memang terjadi apa-apa terhadap Paman Widura, mereka tak akan kuberi ampun!" geram Rangga dengan amarah meluap.

Dugaan Rangga memang tepat. Ternyata rumah Paman Widura sebagian seperti akan ambruk. Sebagian dindingnya yang terbuat dari bilik bambu sudah hancur berantakan. Sementara di bagian atapnya, seperti habis dilanda topan. Ketika Pende¬kar Rajawali Sakti menerobos masuk ke dalam, tampak Paman Widura dan istrinya tergeletak tak bernyawa dalam keadaan menyedihkan. Darah mereka berceceran di seluruh ruangan rumah. Agak¬nya, hal itu memang disengaja oleh pembunuhnya. untuk memberi peringatan pada Rangga. Rangga memandang ke sekeliling. Dan matanya langsung tertumbuk pada tulisan yang terbuat dari darah di dinding rumah Paman Widura.

Siapa pun yang mencoba ikut campur urusan dewa kami, akan mengalami nasib seperti kedua orang ini.

"Keparat! Orang-orang biadab!" desis Rangga dengan wajah memerah menahan geram dan ama¬rah.

Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah keluar dari rumah ini. Matanya segera merayapi sekelilingnya. Seketika dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dan mendadak telinganya menangkap sesuatu yang mencurigakan di atas pohon, tepat di depan rumah ini. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepal erat. Dan dengan mata beringas dia kembali memandang tajam ke sekeliling. Sebentar kakinya melangkah, kemudian mendadak melesat ke atas sebatang pohon.

"Yeaaa...!"
Brusss!

Benar saja. Dari pohon yang dituju Pendekar Rajawali Sakti, melesat sesosok bayangan yang mencoba kabur. Namun tentu saja Rangga tak mau membiarkan buruannya lepas begitu saja. Begitu mendarat di salah satu cabang pohon, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat cepat, mendahului buruannya. Seketika kepalan tangannya yang bertenaga dalam kuat diayunkan.

"Heh...?!"

Bayangan itu terkejut setengah mati. Sungguh tak dikira kalau pengejarnya mampu bergerak secepat itu. Maka dengan untung-untungan kepalanya dimiringkan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti memang berhasil dihindari. Tapi serangan berikut, rasanya sulit bagi orang itu untuk menghindar. Begitu serangannya luput Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali menyapu perut orang itu dengan kaki kanannya. Begitu cepatnya sehingga...

Begkh!
"Akh!"

Sosok itu kontan menjerit keras dan tubuhnya terjungkal beberapa langkah, begitu perutnya terhantam sapuan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti. Kini Rangga telah kembali melayang di atas kepala lawannya yang tengah berusaha bangkit. Pendekar Rajawali Sakti memang tak akan memberi kesempatan sedikit pun. Tangan kanannya cepat diayunkan ke arah kepala orang itu, walau tanpa pengerahan tenaga dalam.

Des!
"Aaakh...!"

Sosok bayangan yang ternyata juga bertopeng itu kembali menjerit keras ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pelipis kanannya. Tubuhnya seketika ambruk dan menggelepar di tanah sambil menjerit kesakitan. Tapi Rangga tak berhenti sampai di situ. Langsung dijambaknya leher orang itu. Seketika disingkapnya topeng di wajah laki-laki berpakaian serba hitam ini dengan kasar.

"Kau akan mampus saat ini juga, kalau tak mengatakan padaku tempat dewa keparat itu berada! Dia harus bertanggung jawab atas kematian Paman Widura dan istrinya!" dingin suara Rangga.

"Ekh...! Aku..., aku tak tahu! Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak orang itu sambil berusaha melepaskan diri.

Tapi Rangga yang memang tengah diamuk amarah, jadi tak sabar melihat sikap orang itu. Kepalan tangan kanannya langsung melayang menghajar perut.

Des!
"Aaakh...!"

Laki-laki yang topengnya telah terbuka itu kontan menjerit kesakitan.

"Katakan! Kalau tidak, kau akan mampus sekarang juga!" gertak Rangga sambil mengayunkan tangan, siap menghajar batok kepala laki-laki yang ternyata berusia setengah baya itu.

"He he he..! Kau boleh berkata apa saja, Pemuda Tolol. Aku lebih suka mati daripada bicara denganmu. Di mulutku telah kusimpan racun yang dapat mengakhiri hidupku," kata laki-laki setengah baya itu.

Rangga terkejut bukan main mendengar penuturan laki-laki di hadapannya. Dia bermaksud mencegah, namun laki-laki setengah baya itu telah lebih dulu menelan racunnya. Maka sebentar kemu¬dian...

"Akh...!"

Orang itu kontan menjerit tertahan. lalu ambruk ke tanah. Wajahnya seketika menegang dan urat-urat di tubuhnya bertonjolan. Kemudian terlihat seluruh permukaan kulitnya membiru serta mulutnya mengeluarkan busa berbau busuk. Setelah menggelepar sesaat, orang itu telah tewas tanpa dapat dicegah lagi. Kini terlihat kulit orang itu perlahan-lahan membusuk seperti bangkai.

"Kurang ajar!" rutuk Rangga.

Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti kembali ke dalam rumah Paman Widura yang hampir ambruk. Segera diurusnya mayat suami istri itu untuk dikuburkan. 

***
TIGA
Malam merangkak jauh. Debur ombak sayup-sayup terdengar dari sini. Dan tempat ini termasuk Pantai Walet. Kalau memandang pantai dari bukit ini akan terasa indah sekali. Namun keindahan itu jadi tak terasa, ketika terlihat dua orang bertampang seram tengah berjaga-jaga di depan sebuah goa. Mereka berpakaian serba hitam dengan pedang terselip di pinggang masing-masing. Wajah mereka yang berkilat karena cahaya obor yang terpancang di dinding goa, tampak tegang.

Sementara di ruangan yang paling dalam dari goa itu, suasana tampak begitu tegang. Duduk di bangku yang paling besar dan indah adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, kekar, dan berotot menonjol. Sepasang matanya tajam bagai mata elang. Di pinggangnya tampak sebuah senjata cakra yang tajam berkilatan. Jubahnya besar berwarna biru gelap yang pada ujungnya terdapat garis kuning. Rambutnya panjang diikat merah. Wajahnya kasar dengan bibir tebal dan kulit hitam kecoklatan.

Di hadapan laki-laki bertampang seram itu, duduk bersila beberapa orang yang juga berwajah seram. Rata-rata mereka mengenakan pakaian hitam. Sementara persis di hadapannya, bersila seorang laki-laki berkulit legam. Tubuhnya pendek dengan kepala tertunduk dalam. Wajahnya yang berhidung pesek, tampak memancarkan rasa bersalah.

"Hm.... Jadi kau tak tahu siapa dia, Darwoto?" tanya laki-laki bertubuh besar yang duduk di atas kursi besar dan indah.

"Ampun, Gusti Datuk Kraeng. Hamba benar-benar tak tahu. Dia orang asing. Tapi, ilmu olah kanuragannya cukup hebat..," jelas orang yang dipanggil Darwoto itu.

"Hm. Apa benar begitu?" desak laki-laki bertampang seram dengan jubah biru, yang dipanggil Datuk Kraeng itu.

"Gusti.... Hamba tak berani berbohong. Bukankah kawan-kawan yang lain telah membuktikan hal itu, ketika mencoba mencegahnya? Kalau saja mereka tak buru-buru kabur, aku tak tahu nasib mereka...."

Datuk Kraeng termenung beberapa saat la manya sambil memandang orang-orang yang ada di ruangan itu satu persatu. Kepala mereka semakin tertunduk, tak berani melawan tatapan Datuk Kraeng.

"Dia telah membunuh salah seorang kawan ka¬lian. Maka, kalian harus menangkapnya hidup-hidup. Atau, bunuh saja kalau tak mampu menang¬kapnya," ujar Datuk Kraeng, dingin.

Orang orang yang berada di ruangan itu jadi diam membisu.

"Apa kalian takut?" tegur Datuk Kraeng, sinis. Sepertinya dia bisa menangkap arti kebisuan anak buahnya.

"Ti..., tidak. Datuk. Ta... tapi...," sahut beberapa orang, tergagap.

"Diam!" bentak Datuk Kraeng garang.

Kata-kata mereka langsung terhenti, dan kepala tertunduk penuh ketakutan. Datuk Kraeng lalu bangkit dari kursinya, dan berdiri tegak sambil me¬mandang anak buahnya satu persatu. Wajahnya tampak menyiratkan kemarahan yang amat sangat.

"Kalian memandang rendah padaku, heh?!" tegur Datuk Kraeng.

"Bukan begitu, Datuk. Tetapi...."

Belum juga salah seorang menuntaskan bicaranya, Datuk Kraeng telah lebih cepat menerjang ke salah seorang yang tengah bersimpuh. Seketika, senjatanya yang berupa arit dengan gagangnya yang panjang mengarah ke orang yang mencoba bicara tadi. Maka...

Wuttt!
Cras!
"Aaa...!"

Orang itu kontan menjerit keras dan menyayat, begitu senjata yang semula berada di pinggang Datuk Kraeng tiba-tiba menyambar lehernya. Tu¬buhnya langsung ambruk dengan leher terluka le¬bar. Tampak darah mengucur deras ke lantai. Tepat ketika orang itu tak bergerak lagi, senjata cakra Da¬tuk Kraeng melesat kembali ke arahnya. Dengan gerakan manis sekali, ditangkapnya senjata itu, dan kembali diselipkan di pinggang. Maka tentu saja hal itu membuat yang lain tersentak dan semakin ketakutan saja.

"Kalian tahu? Sebagai anak buahku, tak seorang pun yang bersikap pengecut. Daripada kalian membuatku malu, lebih baik mampus. Nah! siapa lagi yang akan menyusul?" dengus Datuk Kraeng. Semua diam membisu, tak memberi jawaban.

"Nah! Sekarang, pikirkanlah cara untuk menangkap pemuda itu. Bawa dia hidup-hidup ke si¬ni, atau bunuh di tempat jika melawan. Bawa mayatnya ke sini! Mengerti kalian?!" ujar Datuk Kraeng.

"Mengerti, Datuk!" sahut mereka serentak.

"Pergilah. Oh, ya. Buang mayat ini ke hutan agar menjadi santapan anjing liar!"

"Baik, Datuk!"

"He, Darwoto! Ke sini kau!" teriak Datuk Kraeng ketika melihat laki-laki berkulit legam itu hendak berlalu.

Dengan wajah ketakutan, Darwoto menghampiri Datuk Kraeng. Langsung dia bersimpuh di hadapan junjungannya.

"Ampun, Gusti Datuk Kraeng. Apakah yang bisa hamba lakukan?"

"Hm... Bagaimana dengan upacara persembahan itu?"

"Mudah-mudahan besok berjalan lancar, Gusti."

"Hm, bagus. Ingat! Jika sampai terjadi keributan. Kaulah yang bertanggung jawab. Mengerti?"

"Me… , mengerti, Datuk."

"Katakan pada yang lain. Sebaiknya bunuh diri saja jika tak berhasil menjalankan tugas. Demikian juga kau! Jika tidak, mereka akan mampus di tanganku. Mengerti?!"

"Me..., mengerti, Gusti Datuk Kraeng!" sahut Darwoto cepat.

Datuk Kraeng lalu melangkah ke arah kursinya kembali. Kemudian diambilnya sebuah gulungan kecil terbuat dari kulit hewan, yang terletak di meja sebelah kursinya.

"Hm.... Antarkan suratku kepada Ki Ageng Sukoco hari ini juga!" ujar Datuk Kraeng sambil menyerahkan gulungan di tangannya.

"Baik, Gusti Datuk Kraeng. Apakah ada pesan lain yang harus hamba katakan pada beliau?" lanjut Darwoto, sambil menerima gulungan itu.

Datuk Kraeng berpikir sesaat. "Tidak perlu. Dia akan tahu, apa yang harus dikerjakannya," sergah laki-laki berjubah biru itu.

"Baiklah. Kalau demikian, hamba pamit dulu, Gusti Datuk Kraeng."

"Pergilah...," sahut Datuk Kraeng, menganggukkan kepala.

Darwoto langsung berbalik, setelah memberi salam penghormatan.

"Sebentar!"

"Eh! Ada lagi yang harus hamba kerjakan, Gusti Datuk Kraeng?" sahut Darwoto cepat sambil berbalik.

"Ingat! Tak boleh seorang pun yang mengetahui surat itu selain kau!"

"Hamba mengerti dan akan hamba ingat, Gusti Datuk Kraeng! Amanat ini akan hamba junjung tinggi dengan taruhan nyawa!" tegas Darwoto.

"Hm... Ya..., bagus! Kalau begitu, kau boleh pergi...."

"Terima kasih, Gusti Datuk Kraeng!" sahut Darwoto sambil berlalu dari tempat itu.

"Hm.... Siapa sebenarnya pemuda itu? Rasa-rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang memiliiki ciri-ciri demikian. Apakah dia orangnya...?" gumam Datuk Kraeng ragu-ragu, ketika Darwoto telah menghilang di balik pintu.

Beberapa saat lamanya Datuk Kraeng bergumam sambil termenung sendiri. Kemudian perlahan dia masuk ke dalam sebuah pintu yang ber¬ada di ujung ruangan, dan lenyap seketika. 

***

Seorang laki-laki berusis sekitar lima puluh tahun tengah berjalan mondar-mandir di dalam sebuah ruangan besar. Dia seperti gelisah, menanti sesuatu. Rambutnya yang panjang, dan digulung ke atas, sebagian telah memutih. Tubuhnya tinggi dan agak kurus. Kumis dan jenggotnya panjang. Kulitnya coklat kekuning-kuningan.

Sepasang ma¬tanya agak sipit namun memancarkan wibawa yang kuat. Tangan kirinya tak lepas menggenggam sebatang pedang yang tersimpan dalam warangka indah penuh ukiran dari bahan kuningan bercampur baja. Di hadapannya, duduk bersila beberapa orang laki-laki berpakaian kuning keemasan. Masing-masing menggenggam sebilah pedang. Di kalangan persilatan, dia dikenal sebagai Ketua Perguruan Kelabang Emas. Namanya, Ki Ageng Sukoco.

"Eyang! Sekarang kami telah berkumpul. Apakah gerangan yang hendak Eyang bicarakan?" ta¬nya salah seorang murid yang melihat gurunya seperti gelisah.

"Aku mendapat kabar dari Datuk Kraeng, Sumanto. Katanya, desa kita telah kedatangan seorang pemuda asing yang ingin mengacau. Maka, kuminta kalian harus waspada dan selalu mengawasi segala tindakannya," ujar Ki Ageng Sukoco.

"Eyang! Aku pun memang pernah melihatnya. Tapi kupikir, bagaimana mungkin dia bisa menga¬cau desa kita?" tanya salah seorang murid lain.

"Hm.... Kau pernah melihatnya, Bajanegara? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Ageng Sukoco.

"Dia masih muda. Rambutnya panjang, dan wajahnya tampan. Bajunya rompi berwarna putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggungnya. Dan dia menunggang kuda hitam. Memang kelihatannya dia bukan orang kebanyakan. Tapi paling tidak, mengerti ilmu silat. Lalu, kenapa kita harus mengawasinya, Eyang?" jelas pemuda yang dipanggil Bajanegara.

"Pemuda itu telah menewaskan seorang anak buah Datuk Kraeng," sahut Ki Ageng Sukoco.

"Hm... Sungguh gegabah dia!" desis salah seorang murid lain.

"Tapi juga cukup hebat. Seperti kita ketahui bersama, anak buah Datuk Kraeng memiliki kepandaian sangat tinggi. Jadi kalau sampai bisa dibinasakannya, pastilah pemuda asing itu bukan orang sembarangan!" lanjut seorang murid yang bernama Sumanto sambil mendesah kecil.

"Kita tak tahu, apa yang diinginkannya di desa ini. Tapi cepat atau lambat, jelas dia telah menanamkan bibit permusuhan dengan kita. Orang seperti itu tak bisa dikasih hati. Dia harus dihukum dan diberi pelajaran!" tandas Ki Ageng Sukoco, geram.

"Apakah Eyang akan menugaskan kami untuk menangkapnya?" tanya seorang muridnya yang bernama Wijaya.

Ki Ageng Sukoco tersenyum. "Tadi kalian katakan, dia hebat dan berkepandaian tinggi. Apakah kalian mampu menangkap¬nya?"

"Kenapa tidak? Kalau memang Eyang menugaskan, mana kami bisa membantah," sahut Wijaya cepat.

Murid-murid yang lain pun menyatakan setuju tentang rencana ini. Tapi, Ki Ageng Sukoco tak buru-buru menjawab. Beliau malah tersenyum sambil menggeleng-geleng.

"Kalian tak perlu melakukan hal itu..."

"Kenapa tidak, Eyang? Kenapa tidak kita tangkap saja kalau tindakannya memang mencurigakan?!" tanya Wijaya bernafsu.

"Tak perlu tergesa-gesa, Wijaya. Lagi pula, hal itu telah dikerjakan anak buah Datuk Kraeng. Kita cukup mengawasi saja dan melaporkan setiap tindakannya," jelas Ki Ageng Sukoco.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan selain mengawasinya, Eyang?" tanya Wijaya kembali.

"Tugas kita yang paling utama adalah mengawasi daerah pantai utara dari orang-orang yang coba-coba usil ikut campur tangan dalam urusan kita bersama Datuk Kraeng. Mengertikah kalian?"

"Mengerti, Eyang!" sahut semua murid Ki Ageng Sukoco nyaris bersamaan.

"Nah! Kalau demikian, urusan mengenai pemuda asing itu kita selesaikan sampai di sini. Dan sekarang kita lanjutkan pembicaraan mengenai urusan kita dengan orang-orangnya Datuk Kraeng," lanjut Ki Ageng Sukoco.

"Eyang! Ada hal yang membuat kami merasa tak enak mengenai orang-orang asing itu...," pelan suara Bajanegara.

"Kenapa?"

"Mereka seolah memandang rendah terhadap kita. Bahkan menganggap diri mereka hebat," sahut Bajanegara.

"Betul, Eyang. Hal itu pun kurasakan dan kulihat sendiri. Beberapa hari lalu, adik Banujaya sempat berkelahi dengan salah seorang di antara mereka!" sambung Wijaya, geram.

"Hm, begitukah? Persoalan apa yang membuatnya sampai demikian?"

"Mereka merendahkan ilmu silat yang kita miliki!"

"Katanya ilmu silat dari negeri mereka lebih hebat dan tak satu pun yang mampu menyamainya. Hal itulah yang menyebabkan adik Banujaya mera¬sa marah. Dan kemudian, dia bertarung dengannya," jelas Sumanto, ikut membela.

"Hm, ya.... Sebaiknya, kalian tak meributkan masalah itu. Kelak mereka akan tahu, siapa sebenarnya yang lebih rendah," sahut Ki Ageng Sukoco tenang.

"Tapi kita tak bisa terus-menerus hanya diam saja, Eyang. Lambat laun, mereka akan berbuat sesuka hati!" desak Wijaya.

Ki Ageng Sukoco memandang sekilas pada muridnya. "Kita masih memerlukan mereka. Selagi kita masih memerlukannya, sudah sepatutnya jika bersikap mengalah. Tapi jika kita tak memerlukannya lagi, mereka akan kita tendang jauh-jauh. Dan kalau mereka hendak membuat keributan lebih dulu, aku akan serahkan pada Datuk Kraeng. Dialah yang membawa mereka ke sini. Nah! Jelas su¬dah persoalannya, bukan?" kata orang tua itu, pelan.

Semua muridnya diam membisu. Kebanyakan, mereka tak puas mendengar jawaban gurunya. Ta¬pi, mereka tak bisa berbuat apa-apa, selain menyetujui sikap Ki Ageng Sukoco.

"Aku tahu, apa yang kalian rasakan. Tapi untuk sementara waktu, jangan mengambil tindakan apa-apa terhadap mereka. Aku tahu, apa yang harus kulakukan. Nah! Pertemuan ini selesai. Kembalilah menjalankan tugas masing-masing," lanjut Ki Ageng Sukoco.

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera beranjak dan pergi dari ruangan itu, setelah memberi salam penghormatan pada orang tua itu. Sementara Ki Ageng Sukoco hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas pendek, sampai semua muridnya hilang dari hadapannya. 

***

Hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti berkeliling desa, namun orang yang dicarinya tak kunjung tiba. Hal itu semakin membuatnya geram bukan main.

"Hm.... Mungkin utusan dewa gadungan itu tak berani menunjukkan diri pada hari ini. Tapi, aku tak bisa menunggu sampai esok hari!" desis Rang¬ga, bergumam kecil.

Kehidupan orang-orang di Desa Watu Jajar berjalan seperti biasa. Kebanyakan dari mereka ma¬sih mencurigai Rangga. Bahkan tak seorang pun yang mau mendekatinya untuk sekadar menyapa. Dan memang, mereka cenderung tak menyukai kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pemilik ke¬dai makanan selalu menolak kehadirannya. Demi¬kian pula rumah-rumah penginapan. Bahkan orang-orang yang berpapasan dengan Rangga lebih suka mencari jalan lain atau menyingkir jauh-jauh. Seolah-olah pemuda berbaju rompi putih itu membawa wabah penyakit yang amat menjijikkan.

Melihat keadaan itu, Rangga tak bisa menunggu lebih lama lagi. Segera kudanya dipacu ke ru¬mah kepala desa yang terletak di tengah-tengah desa. Memang tidak begitu jauh. Karena sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di depan sebuah rumah yang luas, memiliki halaman lebar. Tampak beberapa tukang pukul yang bersenjata lengkap, berjaga-jaga di tiap sudut dan depan ru¬mah itu. Dan begitu melihat kehadiran Rangga, me¬reka kontan berdiri. Langsung dihadangnya pemuda itu.

"Kisanak! Apa perlumu ke sini?! Pergilah jauh-jauh dari desa ini!" bentak salah seorang tukang pukul.

"Beginikah cara kalian memperlakukan seorang tamu?" Rangga mencoba tenang.

"Kami tahu, siapa kau! Kau bukan tamu, tapi pengacau! Kami sudah terlalu baik terhadapmu. Nah, pergilah sebelum kami bertindak keras!" sahut tukang pukul yang berpakaian biru tua itu, semakin kesal.

"Aku tak akan pergi sebelum bertemu kepala desamu dan bicara dengannya. Tolong sampaikan kalau aku bermaksud baik. Dan aku bukan seorang pengacau seperti yang dituduhkan," tegas Rangga dingin.

"Kisanak! Aku sudah terlalu banyak bicara padamu. Tapi, kau tak juga mengerti gelagat. Jangan salahkan kami bila bertindak kasar padamu!" dingin suara tukang pukul itu seraya memberi isyarat pada kawan-kawannya.

Bersamaan dengan itu beberapa tukang pukul lain yang sudah berkumpul langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan golok terhunus. Rangga memandang sekilas, kemudian kembali menatap orang yang tadi bicara dengannya. Lalu Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kudanya, dan melangkah mendekati orang itu. Kini jarak me¬reka hanya dua tindak saja.

"Kisanak! Kedatanganku ke sini secara baik-baik. Lalu kenapa kalian memaksaku untuk bertin¬dak kasar?" tanya Rangga halus.

"Keparat! Kau pikir, siapa dirimu hingga berani mengancamku?! Huh! Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu! Serang dia!" perintah tukang pukul berpakaian biru tua yang bertampang seram itu. Rupanya, dialah yang bertindak sebagai pemimpin.

"Yeaaat…!"

Begitu selesai dengan kata-katanya, laki-laki bertampang seram itu sendiri langsung mencabut goloknya. Langsung dibabatnya perut Rangga, diikuti kawan-kawannya. Rangga segera melompat ke belakang untuk menghindari babatan golok laki-laki bertampang seram di depannya. Tubuhnya langsung melenting ke atas sambil mengangkat kaki kanan. Dan begitu mendarat manis di tanah kepalanya langsung direndahkan, karena dua orang lawan mengincar lehernya. Bersamaan dengan itu, kaki kirinya melepaskan tendangan, menghantam pergelangan ta¬ngan lawan yang berada di dekatnya, yang dibarengi kibasan tangan kiri. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Plak! Duk!
"Akh...!"

Kedua orang itu kontan mengeluh kesakitan, dan langsung terjajar beberapa langkah ke belakang. Kedua golok mereka terlepas dari genggaman. Namun dua orang lainnya langsung menerkam Rangga dengan amarah meluap, disertai babatan goloknya.

"Yeaaah...!"
"Mampus...!"
"Uts, ha...!"

Namun dengan gesit, Rangga mengelak. Tubuhnya diputar dan dimiringkan sedikit ke kanan. Dan seketika, ujung kaki kirinya cepat bergerak menghantam rahang kedua lawannya.

Begk!
"Akh...!"
"Ugkh!"

Kedua orang itu langsung menjerit kesakitan dengan tubuh sempoyongan ke belakang. Melihat kesempatan itu, Rangga cepat melesat meninggalkan mereka menuju ke dalam rumah ke¬pala desa. Sedikit pun dia tidak mempedulikan para tukang pukul itu.

"Keparat! Ayo kejar dia!" bentak salah seorang, geram.

"Huh! Akan kutebas lehernya kalau kena!" dengus yang lain.

Tanpa mendapat kesulitan sedikit pun, Rangga sudah menerobos ke dalam rumah lewat jendela yang terkuak lebar, karena pintu depan kelihatan terkunci. Begitu tiba di dalam, terdengar teriakan terkejut dari beberapa orang perempuan serta anak-anak.

"Jangan takut! Aku tak bermaksud menyakiti kalian. Aku hanya ingin bertemu kepala desa. Tapi, orang-orang di luar sana menghalangiku!" teriak Rangga, keras.

Orang-orang di dalam ruangan itu masih menunjukkan wajah ketakutan. Sementara, Rangga memandang mereka satu persatu, hingga pandangannya tertuju pada seorang laki-laki berpakaian mewah warna hitam, yang bagian tepinya bersulam kain emas. Kepalanya memakai blangkon warna coklat berkembang-kembang hitam. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dengan perut buncit itu langsung mencabut kerisnya, dengan sikap mengancam.

"Kaukah Kepala Desa Watu Jajar?" tanya Rangga menyelidik.

"Mau apa kau?!" bentak laki-laki setengah baya itu, garang.

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, jawablah dulu pertanyaanku. Apakah kau kepala desa ini?"

"Kalau betul, apa yang kau kehendaki?!"

"Aku hanya ingin bicara. Dan, bukan bermaksud mengacau... "

Belum selesai bicara pemuda itu, keempat tukang pukul yang tadi berada di luar, telah melompat masuk ke dalam. Dan mereka langsung mengurung pemuda itu dengan golok terhunus. Wajah mereka tampak memancarkan kemarahan yang amat sangat.

"Orang asing tak tahu diri! Menyerahlah sekarang juga! Kalau tidak, kau akan mampus sekarang juga! Kuhitung sampai tiga. Satu...!" 

***
EMPAT
"Kisanak! Kuharap jangan memaksaku kembali...," ujar Rangga perlahan sambil tersenyum kecil.

Tapi, keempat tukang pukul itu agaknya tak mempedulikan.

"Dua!"

Tukang pukul yang menjadi pimpinan itu kem¬bali menghitung. Sementara Rangga memandang ke arah kepala desa itu dengan sinar mata penuh kekesalan.

"Huh! Rupanya kau tak patut menjadi kepala desa. Wilayahmu terancam dan wargamu menderita, tapi kau diam saja. Bahkan kau tak punya keberanian sedikit pun untuk menanggulanginya. Kau halangi orang lain untuk membantu demi harga dirimu. Atau, barangkali kau menjadi bagian dari persoalan ini sendiri?"

Setelah berkata demikian, Rangga melesat bagai kilat dari tempat itu. Begitu cepat melesatnya, sehingga bayangannya sudah tak terlihat lagi. Se¬mua orang yang berada dalam ruangan itu terhenyak kaget, tidak menyangka kalau pemuda tadi begitu cepat berkelebat. Sementara laki-laki berpa¬kaian mewah yang merupakan Kepala Desa Watu Jajar hanya memandang bengong, tak tahu harus berbuat apa.

"Kau tak apa-apa, Ki Wangsa?" tanya salah seorang tukang pukul, sambil menghampiri.

Kepala Desa Watu Jajar itu menggeleng lesu sambil menyarungkan keris di tangannya. Wajahnya tampak menyiratkan kebingungan.

"Kalau begitu, kami akan segera mengejarnya, Ki. Dia telah membuat resah banyak penduduk," kata tukang pukul itu. Kemudian tubuhnya berbalik, hendak berlalu dari rumah itu, diikuti teman-temannya.

Kepala desa yang ternyata bernama Ki Wangsa, hendak mencegah, namun suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Sedangkan keempat tukang pukulnya telah cepat berlalu. Sambil menghela napas pendek, Ki Wangsa menghempaskan diri di kursi tepat di belakangnya.

"Kakang! Lebih baik hentikan semua ini. Bertindaklah secara tegas. Dan jangan lagi diperbudak saudaramu yang nyata-nyata menyesatkan dirimu serta seluruh penduduk desa ini," desah seorang wanita berusia setengah baya sambil duduk di dekat Ki Wangsa.

Walaupun telah berumur, namun gurat-gurat kecantikan pada wajahnya masih kentara. Kulitnya juga putih bersih, terbungkus pakaian biru dari sutera halus dengan hiasan kembang kembang warna putih. Dia memang Nyai Wangsa, istri Kepala Desa Watu Jajar.

Ki Wangsa memandang istrinya sebentar, kemudian memberi isyarat pada dua orang pembantunya agar membawa ketiga.anaknya keluar dari ruangan itu. Segera dua orang wanita agak tua itu menggiring tiga anak kepala desanya yang masih kecil-kecil. Setelah mereka tak terlihat lagi, kembali kepala desa itu menghela napas berat.

"Aku tak bisa...," desah Ki Wangsa sambil menggelengkan kepala.

"Kenapa? Bukankah kau adalah kepala desa? Kau berkuasa menentukan sesuatu atas desa ini! Apa kau tidak malu melihat orang lain yang sama sekali bukan penduduk desa ini, mau berjuang un¬tuk orang-orang yang justru tak menyukai kehadirannya? Apakah keadaan ini memang kau harapkan akan berlangsung terus, sehingga kehancuran desa ini akan semakin cepat? Kau lihat, orang-orang mu¬lai malas bekerja! Sementara, korban berjatuhan semakin bertambah, akibat kebiasaan baru mereka menghisap benda laknat itu?!" sentak Nyai Wangsa kesal.

"Sudah! Sudah! Jangan paksa aku untuk melakukan sesuatu yang tak mampu kulakukan!" bentak laki-laki setengah baya itu garang.

"Huh! Kau hanya seorang pengecut rendah! lnikah tanggung jawabmu sebagai kepala desa? lnikah yang akan kau banggakan pada anak-anakmu kelak?!" sahut Nyai Wangsa seolah tak mempedulikan kemarahan suaminya.

Ki Wangsa yang sejak tadi memang mulai tak tenang dan sedikit bingung, kini terlihat kesal mendengar ocehan-ocehan istrinya. Wajahnya terlihat garang. Dan dengan geram, tangannya mela¬yang ke mulut istrinya.

Plak!
"Aouw...!"

Perempuan itu menjerit kesakitan, seraya mendekap bibir dengan telapak tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung, hampir jatuh ke belakang.

"Diam kataku! Diam! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Apa yang kau ketahui dan apa yang kau pikirkan, tak semudah apa yang bisa kau lakukan. Ini urusanku! Dan akulah yang akan bertanggung jawab!" bentak Ki Wangsa garang.

"Huh! Itu memang urusanmu. Tapi kau tak bisa melihat kenyataan, bahwa bukan hanya pendu¬duk yang menjadi korban. Bahkan juga aku dan anak-anakmu! Matamu buta dan hatimu busuk! Se¬hingga, akalmu menjadi buntu. Kau kelihatan men¬jadi binatang liar yang pengecut!" sentak Nyai Wangsa, tak mengenai rasa takut.

Laki-laki setengah baya itu melotot garang, dan sudah hendak kembali menampar mulut istrinya. Namun tanpa kenal rasa takut, Nyai Wangsa menyodorkan wajahnya.

"Kau ingin menamparku lagi, karena aku bicara benar? Nah, lakukanlah! Ayo, lakukan!"

"Huh!" Ki Wangsa mendengar geram, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar.

Melihat suaminya berlalu, perempuan itu segera memanggil salah seorang penjaga rumah. Tak lama, muncul seorang laki-laki kurus berkulit sawo matang. Dengan tubuh membungkuk, dia menghadap Nyai Wangsa.

"Kau tadi melihat pemuda berbaju rompi itu, Patijan?"

Laki-laki kurus yang bernama Patijan itu mengangguk cepat.

"Nah! Temui dia, dan katakan kalau aku mengundangnya ke sini!"

"Tapi...," Patijan berusaha menolak.

"Patijan! Kau berani membantah perintahku?!" bentak Nyai Wangsa kesal.

"Eh! Tentu saja aku tak berani, Nyai!"

"Nah! Kalau demikian, segera kerjakan!"

"Tapi, bagaimana kalau Den Wangsa mengetahuinya? Dia pasti menghukumku, Nyai..."

"Katakan, kalau ini perintahku."

"Baiklah kalau demikian. Hamba pamit dulu, Nyai."

Patijan segera berbalik, dan melangkah cepat. Sebentar saja, dia sudah keluar dari ruangan itu.

"Hm...!" perempuan itu hanya menggumam sambil mengangguk.

Ekor mata Nyai Wangsa memperhatikan Patijan sampai lenyap di balik pagar depan. Kemudian, terlihat dia menghela napas pendek sebelum berlalu ke belakang. 

***

Sementara itu, di sebuah jalan di Desa Watu Jajar, Pendekar Rajawali Sakti tengah berjalan tenang sambil menuntun kudanya. Sengaja Dewa Bayu tak ditungangi, karena dia ingin lebih seksama lagi memperhatikan keadaan desa ini. Dan sejak keluar dari rumah Kepala Desa Watu Jajar tadi, Rangga bukannya tak menyadari kalau dirinya diikuti keempat tukang pukul Ki Wangsa. Tapi dia pura-pura tidak tahu, dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Namun mendadak langkahnya terhenti, ketika dari semak-semak yang ada dipinggir jalan, bermunculan lima orang la¬ki-laki bertubuh besar. Dan mereka langsung berdiri tegak menghalangi jalannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap tajam ke arah mereka, de¬ngan kening agak berkerut.

"Kisanak semua, menepilah. Aku ingin lewat di jalan ini," pinta Rangga, sopan.

"Lewatlah kalau memang kau ingin lewat. Siapa yang melarangmu?" dengus salah seorang yang berbaju merah.

Rangga hanya tersenyum kecil karena mengetahui kalau kelima orang ini sengaja mencari gara-gara. Meskipun salah seorang berkata begitu, tapi tak seorang pun yang mau beranjak. Mereka tetap berdiri tegak dengan sikap mengancam.

"Baiklah, kalau kalian memang mengizinkan. Terima kasih...," sahut Rangga sambil mengambil jalan menyamping.

"Awas! Di situ berbahaya!" teriak salah seorang yang berbaju biru tua sambil menendang sebuah kerikil yang cukup besar ke arah pemuda itu.

Werrr!
"Hup!"

Rangga yang sudah menangkap gejala tak enak, cepat mengangkat kaki kirinya ke atas, dengan tubuh miring ke belakang. Sehingga, kerikil itu lewat satu jengkal saja di depan perutnya. Dan belum juga Rangga memperbaiki keadaan tubuh¬nya...

"Di sini juga tak aman. Sebaiknya, berhati-hati!" lanjut orang memakai baju hitam. Laki-laki itu cepat mengayunkan satu tendangan keras ke batok kepala Rangga.

"Uts!"

Rangga cepat-cepat berdiri tegak dengan tangan kiri menangkis tendangan laki-laki berbaju hitam itu.

Plak!
"Ugkh...!"

Orang berbaju hitam itu kontan terjajar beberapa langkah, dengan mulut meringis. Tampaknya, tenaga dalam yang tidak seberapa dikeluarkan Rangga, cukup membuatnya kesakitan.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti cepat menundukkan kepala, ketika laki-laki berbaju merah di sebelah kanannya sudah mengayunkan ta¬ngan menghantam pelipis. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja. Dan Pendekar Ra¬jawali Sakti cepat memutar tubuhnya, lalu terus melompat ke atas. Ternyata, benar. Dua orang yang masing-masing berpakaian hijau dan coklat ber¬samaan mengayunkan tendangan ke arahnya.

"Maaf, Kisanak semua. Aku tak bisa lama-lama melayani kalian!" sahut Rangga begitu terbebas dari dua serangan. Dan dengan gerakan cepat, Pen¬dekar Rajawali Sakti langsung melenting ketika ke¬dua kakinya baru saja menjejak tanah. Sebentar dia berputaran, lalu hinggap di punggung Dewa Bayu.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya, sehingga Dewa Bayu seketika mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi lalu melesat cepat bagai kilat dan pergi dari situ.

"Keparat! Kau pikir bisa seenaknya kabur begitu saja?!" bentak orang yang berbaju merah, kalap.

"Jangan biarkan dia lolos! Ayo kejar!" teriak yang lain.

Dengan kemarahan yang meluap, mereka mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuh untuk mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang terus kabur dengan Dewa Bayu. Sementara itu, keempat tukang pukul Kepala Desa Watu Jajar mengurungkan niat untuk menge¬jar Pendekar Rajawali Sakti. Karena, mereka meli¬hat pemuda itu sudah dikejar oleh lima orang yang menghadangnya tadi.

"Sudahlah. Lebih baik, kita kembali Pemuda itu sudah ada yang mengurusnya," kata salah satu tukang pukul dengan wajah sedikit lega.

"Menurutmu, siapa kira-kira mereka?" tanya laki-laki yang berkumis tipis.

"Mana kutahu! Yang pasti, mereka bermusuhan. Biar saja sekalian berkelahi. Jadi, kita tak repot-repot membekuknya!" desis laki-laki yang men¬jadi pemimpin tukang pukul kepala desa itu. 

***

Rangga harus kabur dari tempat itu, karena tidak ingin terjadi keributan di tengah-tengah desa. Malah bisa-bisa menjadi tontonan banyak orang. Namun sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak kabur terlalu jauh. Karena begitu telah berada di daerah sepi dan banyak ditumbuhi pepohonan, ku¬danya seketika dihentikan. Dengan gerakan manis, Rangga melompat dari punggung kudanya dan mendarat empuk di tanah. Kini, Pendekar Rajawali Sakti berdiri dengan sikap menanti.

"Huh! Akhirnya kau tak bisa lari ke mana mana!" dengus salah seorang pengejar yang berba¬ju hijau, begitu mereka tiba di tempat Rangga ber¬diri.

"Sudah, jangan banyak omong! Lebih baik secepatnya pemuda ini dibereskan!" lanjut yang berbaju merah, geram.

"Hm... Kelihatannya kalian bernafsu sekali untuk melenyapkan nyawaku. Apa sebenarnya yang kalian ingini dariku?" tanya Rangga tenang.

"Kau terlalu banyak ingin tahu di desa ini. Untuk itulah kau patut mati!" desis orang yang berbaju coklat.

Rangga menatap tajam satu persatu orang di depannya. Kini matanya terpaku pada laki-laki yang berbaju merah. Wajah orang itu terlihat keras, de¬ngan sepasang mata tajam. Kulitnya hitam kecoklatan. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di tangannya tampak tergenggam sebilah pedang besar.

"Hm... Kalian pasti ada sangkut-pautnya dengan dewa gadungan itu," lanjut Rangga, menyelidik.

"Kau tak perlu banyak omong, Bocah! Bersiaplah menghadapi kematianmu di tangan Lima Utusan Setan!"

"Serang dia dan jangan dikasih hati!" lanjut yang lain sambil terus melompat menyerang Rangga.

Rangga menundukkan kepala, ketika tendangan salah seorang dari kelompok yang ternyata berjuluk Lima Utusan Setan itu menghantam ke arah wajahnya. Sementara tangan kanannya bergerak menangkis tendangan serangan lain.

Plak!

Orang yang tendangannya tertangkis itu kontan terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis kesakitan. Begitu terbebas dari serangan, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke depan. Karena saat itu salah seorang dari Lima Utusan Setan de¬ngan geram mengayunkan pedangnya membabat ke arah perut.

Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke depan, menjauhi lawan-lawannya. Namun Lima Utusan Setan seperti tak sudi memberi kesempatan. Mereka langsung merangsek pemuda itu. Maka seketika pertarungan sengit kembali terjadi.

Serangan-serangan Lima Utusan Setan memang amat deras dan bertenaga kuat. Jelas sekali kalau mereka menginginkan kematian Rangga. Se¬hingga tanpa tanggung-tanggung lagi, segenap kemampuan mereka dikerahkan. Dalam beberapa jurus saja, Rangga amat kerepotan menghindari serangan-serangan gencar Lima Utusan Setan. Me¬mang saat itu Rangga baru mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Namun demikian, belum ada satu pukulan pun yang mendarat di tubuhnya.

"Huh! Kalian hanya memancing kemarahanku saja. Baiklah. Aku akan memberi pelajaran yang tak akan kalian lupakan! Yeaaa...!" dengus Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menyerang salah seorang lawannya yang terdekat. Seketika jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkannya, walaupun masih pada tingkat permulaan.

Wuttt!

Salah satu dari Lima Utusan Setan kontan terkejut dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, begitu tangan Rangga yang bergerak bagai sayap menyambar ke arahnya. Namun Rangga tak meneruskan serangannya, karena ada serangan dari arah belakang. Cepat bagai kilat tubuhnya berputar sam¬bil mengibaskan tangan kanannya yang terus ber¬gerak seperti sayap. Dan...

Plak!

Begitu tangan kanannya menangkis, cepat sekali kepalan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti menyodok ke perut pembokongnya dengan keras.

"Hih!"
"Uts..!"
Orang itu tersentak dan cepat mengelak ke kanan. Untung saja Rangga tak meneruskan serang¬an. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bahkan lang¬sung melenting ke atas dan berputar beberapa kali. Tapi di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Mem¬belah Mega', disertai tendangan keras ke arah salah satu dari Lima Utusan Setan. Sementara, laki-laki berbaju merah yang menjadi sasaran Pendekar Rajawali Sakti dalam kea¬daan belum siap. Maka sebisa mungkin ditangkisnya tendangan itu dengan tangan kanannya.

Plak!
"Akh!"

Lelaki berbaju merah itu kontan menjerit kesakitan, merasakan tulang tangannya retak akibat benturan dengan kaki Rangga. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, kaki Pendekar Rajawali Sakti yang satu lagi menghantam dadanya.

Degkh!
"Aaakh...!"

Kembali orang itu memekik kesakitan ketika dadanya seperti dihantam palu besar. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa beberapa tombak seraya memuntahkan darah kental kehitaman. Napasnya tampak megap-megap, seperti tercekik.

Dan baru saja Rangga menjejak manis di tanah, datang bahaya lain. Sebuah tendangan dari laki-laki berbaju coklat menderu keras dari arah belakang. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri, sehingga serangan lawan luput. Kemudian dengan cepat dia bangkit. Dan seketika tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran, ketika melihat salah seorang yang berbaju hijau melompat dengan satu tendangan keras. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti dalam memapak serangan itu, sehingga...

Duk!
Begkh!
"Wuaaa...!"

Laki-laki berbaju hijau itu kontan menjerit kesakitan, ketika kaki kanannya dihantam papakan bertenaga dalam lumayan dari Pendekar Rajawali Sakti. Tulang kakinya terasa patah, tanpa dapat digerakkan lagi. Dan begitu mereka sama-sama mendarat di tanah, Rangga dengan leluasa bergerak menghantam pinggang kirinya.

Degkh!
"Aaakh...!"

Kembali orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke samping dan jatuh ke tanah, sambil memegangi tulang pinggangnya yang patah, akibat tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau harus mampus, yeaaa...!" dengus orang yang memakai baju biru tua sambil mengayunkan pedangnya.

Sementara dua anggota Lima Utusan Setan yang berbaju hitam dan coklat mengurung dari samping kiri dan kanan. Namun sebentar kemudian salah seorang malah melemparkan senjata rahasia ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Serrr! Serrr!
"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menundukkan kepalanya untuk menghindari tebasan pedang laki-laki berbaju biru tua itu. Lalu seketika tubuhnya berputar, dan langsung melenting ke atas untuk menghindari senjata rahasia yang hampir bersarang di tubuhnya. Maka senjata itu meluncur, menghantam pohon yang berada tepat di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

Dalam keadaan masih di udara, Pendekar Rajawali Sakti meluncur turun disertai tendangan keras menderu ke arah batok kepala laki-laki berbaju biru tua. Namun dengan tangkas, tendangan Pendekar Rajawali Sakti ditangkisnya. Akibatnya, tangannya jadi terasa kesemutan. Maka sambil meringis kesa¬kitan, dia bergerak ke samping. Namun Rangga yang sudah mendarat cepat memberikan satu sodokan keras menderu ke arahnya. Dengan agak terkesiap, laki-laki berbaju biru itu langsung menjatuhkan diri untuk menyelamatkan nyawanya.

Pendekar Rajawali Sakti yang berusaha mendesak, terpaksa harus melompat sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Karena salah seorang yang memakai baju hitam membabatkan pedang ke arahnya. Tubuhnya terus mencelat mengejar laki-laki berbaju biru, tanpa mempedulikan laki-laki yang berbaju hitam. Sedan Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi orang itu untuk memperbaiki kedudukan. Padahal, laki-laki berbaju biru itu baru saja bangkit berdiri.

Pendekar Rajawali Sakti langsung memberikan kepalan tangan kiri ke arah dada laki-laki berbaju biru itu. Namun, kepalannya dapat ditangkis. Maka Rangga menyusuli dengan satu tendangan kaki kanan ke arah ulu hati. Melihat hal ini laki-laki ber¬baju biru itu bergerak ke kanan. Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Seketika tendangannya ditarik pulang, dan langsung menyapu ke arah punggung. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak dapat dielakkan orang itu lagi.

Desss!
"Aaakh...!"

Laki-laki berbaju biru itu kontan memekik kesakitan, begitu punggungnya terhantam sapuan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya seketika terjerembab ke tanah keras sekali.

"Yeaaa...!"

Dari arah belakang, sebilah pedang membabat leher Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menundukkan kepala. Dan tubuhnya sege¬ra berputar menghadapi laki-laki berbaju hitam yang menyerangnya. Namun, saat itu meluncur sambaran senjata rahasia dari laki-laki berbaju coklat. Pendekar Rajawali Sakti cepat menekuk kedua lututnya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa melesat ke atas. Dan begitu menukik turun, Rangga melepaskan dua pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang berisi tenaga dalam lumayan. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga...

Duk! Duk!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"

Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan, begitu terhantam pukulan yang dilepaskan Pende¬kar Rajawali Sakti. Tubuh mereka terjungkal ke tanah sambil mendekap tulang dahinya yang bocor. Mereka menggelepar-gelepar sambil bergulingan, dan terus menjerit kesakitan.

"Huh! Kalian cari penyakit sendiri! Masih untung hari ini aku masih bisa menahan sabar. Kalau tidak, kalian akan mampus hari ini juga!" dengus Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti hendak berlalu dari tempat itu, tapi tiba-tiba terdengar jeritan tertahan dari Lima Utusan Setan. Rangga buru-buru berba¬lik. Tampak kelima orang itu tengah meregang me¬nahan ajal.

"Heh?!" Rangga tersentak kaget dan buru-buru menghampiri.

Tampak dari mulut Lima Urusan Setan keluar cairan busa bercampur darah. Bola mata mereka melotot keluar, seperti dicekik. Selintas saja bisa ditebak kalau Lima Utusan Setan telah bunuh diri dengan jalan menelan racun ganas. Dia tak habis pikir, kenapa mereka bertindak senekat itu. Belum juga Rangga menemukan jawabannya, mendadak terdengar seseorang memanggilnya dari belakang.

"Kisanak...."

"Hm.... Siapa kau?" tanya Rangga dengan sikap waspada. Tampak dari balik sebatang pohon besar, muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya lusuh, dengan celana sebatas betis.

"Aku penjaga rumah Kepala Desa Watu Jajar. Nyai Wangsa meminta Kisanak agar bertemu dengannya," jelas laki-laki bertubuh kurus itu, sambil menghampiri.

"Siapa Nyai Wangsa itu?"

"Istri Ki Wangsa, Kepala Desa Watu Jajar," jelas orang tua itu kembali.

"Hm.... Apa perlunya dia ingin bertemu denganku?"

"Aku tidak tahu, sebab hanya diperintahkan untuk mengatakan pesan itu saja."

Rangga berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Segera dihampirinya Dewa Bayu yang masih merumput tenang. Diambilnya tali kekang kuda itu, lalu diikutinya laki-laki ku¬rus yang mengaku penjaga rumah Kepala Desa Watu Jajar itu. 

***