Pendekar Pulau Neraka - Cakar Harimau(1)

SATU
Dua ekor kuda berjalan perlahan menuruni lereng sebuah gunung yang berdiri megah dan angkuh menantang langit cerah yang membiru. Hari ini memang seluruh alam diliputi kecerahan. Langit tampak. bening, tanpa awan sedikit pun menggumpal. Matahari bersinar terang, namun tak begitu terik Memang saat. itu angin bertiup kencang seperti mengusir udara panas jauh-jauh. Dua ekor kuda itu terus bergerak perlahan. Penunggangnya yang terdiri dari dua orang gadis berparas cantik, terlihat lelah sekali.

"Berapa jauh lagi Desa Malanapa, Kak?" tanya seorang gadis yang mengenakan baju warna biru muda.

"Di kaki Gunung Parang ini," sahut gadis satunya lagi yang mengenakan baju warna merah. "Kau. sudah lelah, Suci?"
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Suci. "Kak Intan sendiri...?"

Gadis berbaju merah hanya tersenyum saja, tanpa menjawab sedikit pun. Langkah kaki kudanya dihentikan, tepat di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir menghadang melingkari gunung ini. Gerakannya indah dan ringan sekali saat turun dari punggung kudanya. Suci mengikuti. Mereka sama-sama menghempaskan diri, duduk di tepi sungai. 
Untuk beberapa saat mereka tidak ada yang membuka suara. Sama-sama diam memandangi kuda yang tengah mereguk sejuknya air sungai, Memang sejak kemarin kuda-kuda mereka tidak menemukan air. Dan mereka sendiri sebenarnya sudah terlalu lelah, lapar, dan haus sekali. Keadaan ini bisa terlihat dari raut wajah dan sorot mata mereka yang redup.
"Aku heran, Kak..," ujar Suci dengan nada suara terputus dan agak mengeluh. "Heran kenapa?" tanya Intan. "Mengapa kita yang diberi tugas begini? Mengapa bukan Kakang Seta atau Kakang Darmasaka saja, Kak..? Mereka kan kepandaiannya lebih tinggi dari kita," ungkap Suci, mengemukakan isi hatinya.

"Yang jelas, Eyang Purata tidak akan salah, sahut Intan. "Ah, sudahlah.... Kenapa harus mempersoalkan itu sih...?"
"Bukannya begitu, Kak. Aku yakin ada sesuatu dengan tugas ini."
"Maksudmu...? Aku kok tidak mengerti, Suci."

"Eyang Purata pasti punya maksud tertentu yang tidak kita ketahui, Kak. Aku yakin itu," mantap sekali suara Suci.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Suci Walau pun Eyang Purata punya maksud tertentu, tidak mungkin akan mencelakakan murid-muridnya sendiri. Aku yakin, seandainya perasaanmu itu benar, pasti ada baiknya untukmu dan untukku."

"Tapi, Kak..."
"Ah..., sudahlah. Hilangkan saja sangkaan buruk di kepalamu itu," potong Intan cepat.

Suci jadi diam membisu, namun masih tetap yakin kalau tugas yang diberikan gurunya mempunyai tujuan tertentu yang tidak diketahui secara pasti. Keyakinannya itu semakin menebal saat mereka sudah semakin dekat dengan Desa Malanapa yang terletak di kaki gunung Parang ini. Suci memang mengakui kebenaran kata-kata kakak seperguruannya ini. Yang pasti, meskipun Eyang Purata mempunyai tujuan tertentu, tidak akan mungkin mencelakakan muridnya sendiri. Terlebih lagi, sampai mengorbankannya.

Kecurigaan Suci muncul ketika kemarin secara tiba-tiba saja mereka diserang oleh empat orang yang tidak mau menunjukkan wajahnya. Empat orang itu meminta sesuatu yang sama sekali tidak diketahui kedua gadis ini. Kemudian mereka langsung menyerang setelah Intan mengatakan tidak memiliki yang diinginkan. Namun mereka seketika itu Juga pergi, sebelum kedua gadis ini memberi serangan balasan yang berarti.

Sejak kejadian kemarin itu, benak Suci jadi dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan yang sukar dijawab dengan cepat. Sedangkan setiap kali hal itu dibicarakannya, Intan seperti tidak ingin persoalan itu diperpanjang lagi. Suci memang tidak bisa menyalahkan. Dan itu memang sudah watak Intan, yang tidak pernah mau men perpanjang setiap persoalan. Apalagi memikirkannya, sehingga membuat kepala jadi berdenyut.

"Sudah cukup, ayo jalan lagi," ajak Intan seraya bangkit berdiri. Dengan malas, Suci ikut bangkit berdiri. Saat itu matahari memang sudah agak condong ke Barat. Dan tentu saja mereka tidak ingin bermalam lagi di tengah hutan. Sebelum matahari benar-benar tenggelam nanti, mereka harus sudah sampai di Desa Malanapa yang menjadi tujuan kedua gadis ini. 
***

Saat matahari tenggelam di balik peraduannya, Intan dan Suci sudah sampai di Desa Malanapa. Mereka turun dari kuda, lalu berjalan kaki sambil menuntun kuda masing-masing. Dua gadis itu berjalan perlahan-lahan sambil melihat-lihat suasana di desa yang tidak begitu besar ini. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan tanah yang berdebu ini, sebagian sudah menyalakan pelita. Memang suasana petang ini sudah mulai gelap. Dan pasti, sebentar lagi malam akan datang menyelimuti maya pada.

"Apakah kita langsung ke rumah kepala desa saja, Kak?" tanya Suci.

"Nanti saja. Yang penting, sekarang kita cari penginapan dulu," sahut Intan.

"Apa ada penginapan yang baik di desa ini?"

"Mudah-mudahan saja ada,"

Suci tidak bertanya lagi. Gadis itu yakin kalau di desa yang kecil ini, tidak ada penginapan yang baik. Kalaupun ada, pasti hanya sebuah penginapan kecil yang kumuh dan tidak sedap dipandang. Namun Suci harus bisa memaklumi. Dalam keadaan seperti ini, tidur di dalam kamar rumah penginapan masih lebih baik, daripada tidur di alam terbuka. Kedua gadis itu terus saja berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu.

Sementara, keadaan sudah semakin gelap saja. Di langit sana, bulan mulai menampakkan sebagian wajahnya yang besinar lembut. Cahayanya yang redup dan samar-samar, seakan enggan menyinari bumi ini. Kedua gadis itu berhenti melangkah di depan sebuah rumah yang cukup besar. Tampak di bagian depan rumah itu dipenuhi orang-orang yang sedang menikmati makanan dan minuman. Sebentar Intan memandang pada Suci.

"Kedai inilah yang terbaik di Desa Malanapa," jelas Intan. Terus, untuk menginapnya?" tanya Suci.

"Ada.... Kedai ini juga merangkap menyewakan kamar untuk bermalam," jelas Intan kembali.

"Kelihatannya kedai ini ramai sekali, Kak," kata Suci yang sejak tadi memperhatikan bagian dalam kedai di depannya.

"Kedai Ki Karta memang selalu ramai." "Apa masakannya enak, Kak?" tanya Suci lagi. "Bisa kau coba nanti."

Suci hanya tersenyum saja. Gadis itu tahu kalau Intan mendesaknya untuk memasuki kedai Ki Karta. Dan hal itu tidak bisa ditolaknya lagi. Tak berapa kemudian kedua gadis itu sudah melangkah memasuki kedai yang selalu ramai. Seorang laki-laki berusia setengah baya, menyongsong kedua gadis itu. Dengan sikap ramah, dipersilakannya kedua gadis itu duduk di tempat yang kebetulan kosong. Meskipun kedai ini kelihatannya ramai, tapi masih ada be berapa meja yang belum terisi. Suci merasa kalau kedai ini cukup besar dan bersih.

"Minta makanannya saja, Ki," Intan memesan.

"Tidak pakai arak?" laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Karta itu menawarkan.

"Tidak, air biasa saja," tolak Intan.

"Baiklah, Den Ayu. Sebentar disiapkan."

Ki Karta meninggalkan kedua gadis itu. Sebentar laki-laki tua itu berbicara dengan salah seorang pelayan kedai ini, kemudian sudah kembali sibuk menyambut tamu yang baru masuk lagi. Kali ini tamunya adalah seorang pemuda berpakaian yang sangat lain dengan orang-orang yang berada di kedai ini. 

Seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari kulit harimau. Sikapnya terlihat agak dingin. Sorot matanya memancar cukup tajam, namun tercermin suatu kelembutan dan ketegasan pribadinya. Dia tidak banyak bicara, dan hanya memesan seguci arak manis saja. Ki Karta tetap melayaninya dengan senyuman ramah di bibir.

"Ki...." Intan melambaikan tangannya memanggil pemilik kedai itu. Ki Karta bergegas menghampiri. 

"Ada apa, Den Ayu?" tanya Ki Karta setelah berada di dekat Intan.

"Masih ada kamar kosong?" tanya Intan. "Masih ada, perlu berapa kamar?" "Satu saja, Dan kalau bisa, yang menghadap langsung ke jalan."

"Ah, kebetulan sekali. Tinggal satu yang menghadap ke jalan, Den Ayu."

"Kalau begitu, siapkan saja, Ki. Selesai makan, kami berdua langsung ingin istirahat" "Baik, Den Ayu."

Baru saja Intan akan membuka mulut, mendadak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.

"Ki Karta, sini...!"

Laki-laki tua itu bergegas menghampiri orang yang memanggil dengan suara keras menggelegar bagaikan guntur. Sedangkan Intan hanya melirik sedikit saja. Tampak Ki Karta agak terbungkuk di depan sebuah meja yang tepat di belakang Intan. Dan di sana, duduk seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Namun wajah yang kasar dan penuh brewok, membuatnya kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya.

"Beri aku arak lagi," pinta laki-laki berwajah penuh brewok itu. Suaranya terdengar berat dan kasar sekali.

"Tapi, Den Basra.... Raden sudah terlalu banyak minum...," kata Ki Karta dengan sikap takut-takut.

"Sejak kapan kau berani membantah, heh...?!" bentak pemuda yang dipanggil Basra itu.

Dengan sikap kasar sekali, Basra menarik baju Karta, hingga jadi limbung. Hampir saja dia terjatuh kalau tidak cepat-cepat menekan bibir meja hingga tertahan.

"Iya.... Iya, Den. Sebentar disediakan," kata Karta tergagap. "Huh!" Basra menghentakkan tangannya yang mencengkeram baju laki-laki tua pemilik kedai ini. Hampir saja Ki Karta menabrak Intan. Untung, gadis itu cepat-cepat menahannya. Namun Intan masih tetap saja duduk kursinya.

"Oh.... Terima kasih, Den Ayu," ucap Ki Karta.

"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Intan. "Tidak," sahut Ki Karta.

"Ki Karta, sini...!" kembali Basra memanggil dengan suara keras menggelegar. Ki Karta akan menghampiri, tapi Intan sudah keburu mencegah dengan mencekal tangan Ki Karta. Bahkan dengan halus sekali, Intan meminta Ki Karta tetap melayaninya. Dan ini membuat laki-laki tua jadi kebingungan. Dia tidak tahu, yang mana harus didahulukan.

"Jangan hiraukan, Ki," tegas Intan. Ki Karta semakin kebingungan. Wajahnya seketika memucat begitu melihat Basra bangkit berdiri dan menghampiri. Laki-laki berwajah kasar itu menggeser gagang goloknya yang terselip di pinggangnya. Kemudian langkahnya berhenti di depan meja yang ditempati Intan.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Basra tertawa terbahak-bahak.

"Hm...," Intan hanya menggumam pelan saja.

Sedangkan Ki Karta semakin kelihatan pucat dan gemetar. Kakinya bergeser, dan berdiri di belakang Intan.

Tapi mendadak saja Basra mengibaskan tangannya ke arah laki-laki tua itu, melewati kepala Intan. Namun....

Bet!

"Heh...?!" Basra terkejut bukan main. Buru-buru tangannya ditarik kembali, begitu tiba-tiba sekali Intan mengebutkan tangan untuk menyampok kibasan tangan Basra. Kebutan tangan gadis itu demikian cepat. Walaupun Basra sudah bergegas menarik, namun ujung jari tangannya masih juga terkena kebutan tangan gadis itu. Dan hal ini membuatnya semakin terkejut saja, karena mendadak jari jari tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Nyeri dan menggetarkan sekali!

"Hih...!"

Basra melompat mundur satu tindak. Matanya tajam memandangi Intan, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Jari-jari tangannya masih bergetar, dan sedikit terasa nyeri. Memang sukar baginya untuk percaya. Ternyata gadis muda dan cantik seperti ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Rupanya kau ingin unjuk kebolehan di sini..." desis Basra dingin.

"Maaf, aku tidak ingin mengotori tanganku," balas Intan kalem.

"Setan...!" geram Basra langsung memerah wajahnya.

Kata-kata Intan yang terdengar kalem itu, namun sangat menusuk perasaan. Basra merasa kalau kata-kata itu sangat merendahkan dan mengejeknya. Dan baginya, itu merupakan tantangan yang dilontarkan halus, tapi nyata sekali. Pantang bagi Basra mendapatkan hinaan seperti ini. Apalagi datangnya dari seorang gadis cantik yang kelihatannya lemah.

Bet!

Mendadak saja Basra mengebutkan tangan kiri ke arah muka Intan. Kebutan yang cepat dan mendadak itu, sempat membuat Intan sedikit terperangah. Namun dengan sedikit menarik kepalanya, kebutan tangan yang dilancarkan Basra bisa dielakkan. Ujung jari tangan laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu. hanya lewat sedikit saja di depan muka Intan.

"Edan...!" geram Basra.

Kemarahan laki-laki kasar itu semakin memuncak karena dua kali dibuat terpana oleh tindakan Intan yang kalem dan manis sekali. Kejadian itu membuat pengunjung kedai jadi tertarik. Mereka semua memperhatikan, seakan-akan sedang disuguhi satu tontonan menarik. Beberapa orang mulai melontarkan kata-kata yang membuat telinga Basra jadi memerah panas.

"Bedebah...!" desis Basra geram.

"Yeaaah...!"

Dengan hati panas diliputi kemarahan dan perasaan malu, Basra langsung menyerang gadis itu. Di lontarkannya dua pukulan sekaligus, disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun tanpa diduga sama sekali, Intan hanya meliukkan tubuhnya saja. Bahkan tanpa memindah duduknya sedikit pun. Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi yang dilepaskan Basra tidak mengenai sasaran sama sekali.

Kembali terdengar suara suara usil mengejek Basra. Dan ini membuatnya semakin geram saja. Dia benar-benar marah, karena merasa sudah dipermainkan dan dipermalukan seorang gadis cantik yang lemah ini. Sambil menggereng marah, kembali dilancarkannya serangan serangan yang cepat dan beruntun. Beberapa serangan laki-laki brewok itu masih bisa di hadapi Intan tanpa beranjak dari kursinya. Namun ketika Basra mencabut golok dan langsung dikibaskan ke arah leher yang putih jenjang itu, Intan tidak lagi berdiam di kursinya.

Tepat ketika baru berhasil mengelakkan tebasan golok yang mengarah ke leher, bagaikan kilat tubuhnya melenting tinggi ke udara. Sambil berputaran ke belakang, Intan menghentakkan kakinya ke arah dada laki-laki bersenjata golok itu. Serangan yang dilancarkan gadis itu, membuat Basra terperangah tidak menyangka. Laki-laki kasar itu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang cepat dan tidak terduga. Sehingga....

"Yeaaah...!"
Diegkh!

"Akh...!" pekik Basra keras.

Tendangan yang dilancarkan Intan, tepat menghantam dada laki-laki bersenjata golok itu, akibatnya Basra terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya terbanting, menghantam sebuah meja hingga hancur berantakan. Dan pada baru saja bangkit berdiri, Intan sudah kembali melompat menerjangnya. Lagi-lagi gadis itu melontarkan tendangan keras menggeledek.

"Hiyaaa...!"
"Hah...?!"

Basra hanya bisa terperangah dengan mulut terbuka. Dan dia tidak bisa lagi melakukan sesuatu, karena tendangan keras Intan sudah kembali mendarat telak di dadanya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berotot itu kembali terpental ke belakang deras sekali.

Brak!

Dinding bagian depan kedai ini jebol terlanda tubuh yang tinggi besar dan berotot itu. Basra jatuh bergulingan di luar kedai setelah tubuhnya menghantam dinding yang terbuat dari belahan papan, hingga berantakan. Sedangkan Intan sudah kembali menghampiri mejanya. Namun sebelum sempat duduk, tiba-tiba terdengar tawa mengikik, disertai kata-kata bernada kering dan mengejek. Intan tidak jadi duduk di tempatnya semula. Gadis itu hanya menggumam kecil, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Hm...."

Tatapan mata gadis itu tertuju pada seorang perempuan tua yang mengenakan jubah warna biru terang. Perempuan tua itu duduk tepat di dekat jendela. Tidak jauh dari perempuan tua itu, duduk seorang pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu kelihatannya tidak Mempedulikan sama sekali dengan suasana yang mulai memanas di dalam kedai ini.

"Setan Kobra Betina...," desis Intan, mengenali perempuan tua yang duduk sekitar tiga batang tombak di hadapannya. Dan pandangan Intan beralih pada pemuda berbaju kulit harimau. Pada saat yang sama, pemuda itu mengarahkan pandangannya kepada gadis ini. Dan untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, tiba-tiba saja Intan merasakan darahnya berdesir mengalir cepat. Bahkan jantungnya berdetak kencang tidak seperti biasanya. Buru-buru pandangannya dialihkan ke arah perempuan tua berjubah biru terang.

"Hm...," lagi-lagi Intan menggumam kecil. 
***
DUA
"He he he.... Jurus 'Tendangan Halilintar' mu cukup dahsyat juga. Tapi rasanya tidak berarti jika diikutsertakan dalam perlombaan di Gunung Parang!" nada suara Si Setan Kobra Betina terdengar kering bergetar.

Intan tidak mempedulikan, lalu duduk di tempat nya semula. Diraihnya gelas yang terbuat dari bambu yang dihaluskan, lalu diteguknya air bening di dalamnya. Namun sebelum air di dalam gelas itu habis, mendadak saja gelas itu pecah. Seketika airnya tumpah membasahi baju gadis ini.

"Bedebah...!" desis Intan geram. Gadis itu langsung menatap si Setan Kobra Betina kemudian memandangi pecahan gelas yang tergeletak di atas meja di depannya. Di antara kepingan pecahan gelas bambu itu, tergeletak serpihan kulit kayu. Intan kembali menatap perempuan tua berjubah biru yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Tampak kulit kayu sudut meja di depan si Setan Kobra Betina terkelupas.

"Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Setan Kobra Betina," tegas Intan dingin menggetarkan.

"Kehadiranmu di sini menjadi urusanku, Intan." sahut Setan Kobra Betina, tidak kalah dingin.
"Aku disini hanya sekadar lewat, dan tidak pernah mengganggu segala macam urusanmu. Jangan mencari gara-gara tanpa alasan, Setan Kobra Betina," semakin dingin nada suara Intan.

Gadis itu tahu, kalau Setan Kobra Betina bukanlah tandingannya. Mereka pernah bentrok sekali, dan Intan hampir saja tewas kalau tidak segera diselamatkan Eyang Purata yang kini menjadi gurunya. Sejak itulah dia tinggal di padepokan milik Eyang Purata. Dan sekarang, dia bertemu lagi dengan perempuan tua itu. Yang pasti, Setan Kobra Betina tidak akan melupakan pertarungannya dengan Intan.

"Siapa dia, Kak Intan?" tanya Suci yang sejak tadi diam saja memperhatikan.

"Hm...," Intan hanya menggumam saja tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan adik seperguruannya itu. Sedangkan pandangan Intan tetap tertuju pada perempuan tua berjubah biru di depannya, dan hanya terhalang beberapa meja dan kursi yang sudah ditinggalkan pengunjung kedai ini. Dan sejak pertarungan yang singkat tadi, sebagian pengunjung kedai sudah berhamburan ke luar. 

Kini tinggal beberapa orang saja yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Sementara tak satu pun pelayan kedai ini yang terlihat. Ki Karta sendiri sudah menghilang entah ke mana. Suasana di dalam kedai yang besar ini semakin bertambah panas dan menegangkan sekali.

"Aku ingin menyelesaikan persoalan lama di antara kita di sini, Intan. Aku yakin, kau sudah bertambah maju sekarang," tegas si Setan Kobra Betina langsung mengajukan tantangan. Intan tidak menjawab. Dan sebenarnya, tantangan ini ingin dihindarinya. Tapi, perempuan tua itu sepertinya mengetahui jalan pikiran Intan. Maka, tantangan itu segera diungkapkan secara langsung, tanpa basa basi lagi. Intan melirik sedikit pada Suci yang saat tengah memandanginya. Gadis itu tahu kalau Suci meminta penjelasan tentang kejadian semua ini. Tapi saat ini, memang tidak ada waktu untuk bisa menjelaskan.

"Bersiaplah, Intan. Hiyaaa....!"

Si Setan Kobra Betina seketika mengebutkan tongkatnya yang berbentuk seekor ular kobra hitam yang mengembangkan leher ke arah gadis berbaju merah yang duduk di depannya.

Slap!
"Uts!"

Bergegas Intan memiringkan tubuh ke kanan ketika dari mulut tongkat berbentuk ular kobra, meluncur seberkas sinar merah berbentuk bulat sebesar mata kucing. Cepat sekali sinar merah itu meluruk, namun hanya lewat sedikit di samping tubuh Intan. Saat itu juga terdengar ledakan keras menggelegar ketika sinar merah bulat sebesar mata kucing itu menghantam dinding kedai di belakang gadis ini.

"Hm..," Intan menggumam kecil. Dalam hatinya, diakui kalau serangan yang dilancarkan si Setan Kobra Betina itu sangat dahsyat. Bisa dibayangkan kalau sinar merah itu mengenai tubuh manusia, pasti hancur berkeping-keping seperti dinding kedai di belakang Intan itu. Dan di saat gadis ini sedang diam dengan otak berputar keras, si Setan Kobra Betina sudah kembali melancarkan serangan.

"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"

Beberapa kali perempuan tua berjubah biru itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka sinar-sinar merah bulat sebesar mata kucing berdesiran deras ke arah Intan. Serangan yang beruntun ini tidak mungkin lagi dihadapi dengan hanya duduk sambil mengelakkan tubuhnya. Seketika Intan bergegas melentingkan tubuhnya ke udara. Kemudian gadis itu berputaran beberapa kali, menghindari serangan-serangan yang dahsyat itu.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras, Intan meluruk deras ke arah si Setan Kobra Betina. Itu dilakukannya ketika telah berhasil mengelakkan semua sinar-sinar merah yang keluar dari ujung tongkat perempuan tua berjubah biru itu. Begitu cepatnya Intan meluruk sambil melontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi, sehingga membuat si Setan Kobra Betina terperangah sesaat. Memang sungguh tidak disangka kalau Intan bisa meluruk begitu deras, selagi berada di udara.

"Hiyaaa...!"

Buru-buru perempuan tua berjubah biru itu melompat ke samping sambil mengibaskan tongkat, menghadang arus terjangan gadis itu. Dan tak dapat dihindarkan lagi ketika satu pukulan yang dilancarkan Intan, menghantam kepala tongkat yang berbentuk ular kobra itu.

Blarrr!

Ledakan keras terdengar menggelegar memekakkan telinga, begitu pukulan Intan menghantam kepala tongkat si Setan Kobra Betina. Tampak Intan memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali, lalu manis sekali mendarat di permukaan sebuah meja. Sedangkan si Setan Kobra Betina terdorong sekitar tiga langkah belakang.

"Edan...!" desis si Setan Kobra Betina.

"Ugh...!" Intan mengeluh kecil sambil menghembuskan napas panjang.

"Kau telah memperoleh kemajuan yang pesat Intan. Bagus...! Aku senang bila kau bisa menghadapiku lebih dari lima jurus," puji Setan Kobra Betina.

"Hm...," Intan hanya menggumam kecil saja.

Pada saat itu si Setan Kobra Betina sudah kembali melancarkan serangan. Tongkatnya berkelebat cepat mengincar tubuh Intan yang paling mematikan. Serangan-serangan yang cepat dan beruntun itu, sempat membuat Intan kelabakan menghindari. Namun pada serangan berikut, tepatnya saat si Setan Kobra Betina menusukkan ujung tongkat ke arah dada, Intan tak mungkin lagi berkelit. Jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah melompat ke belakang. Maka...

"Hiyaaa...!"
Brak!

Tubuh yang ramping itu menabrak dinding kedai yang terbuat dari belahan papan. Akibatnya dinding itu hancur berkeping-keping, dan tubuh melesat hingga keluar dari dalam kedai. Pada saat yang bersamaan, si Setan Kobra Betina sudah melesat mengejar. Dia melompat ke atas untuk menjebol atap kedai ini. Tubuhnya langsung meluruk ke halaman, tempat Intan berada di sana. 
***

Pertarungan terus berlanjut di depan halaman kedai Ki Karta. Jurus demi jurus berlalu cepat Lima jurus yang dijanjikan si Setan Kobra Betina, sudah terlewati. Namun demikian perempuan tua itu belum juga mampu mengalahkan Intan. Bahkan mendesak saja belum bisa. Intan ternyata masih cukup tangguh melayani beberapa jurus lagi. Sampai-sampai si Setan Kobra betina tertegun melihat kemajuan pesat yang dicapai gadis itu. 

Sementara itu Suci sudah keluar dari kedai. Gadis itu ingin sekali membantu Intan, tapi hati kecilnya tidak mengizinkan. Lebih-lebih dia tidak tahu permasalahan nya. Memang sedikit sudah bisa ditangkap kalau antara Intan dan perempuan tua itu ada persoalan lama, dan kebetulan bertemu di kedai ini. Persoalan yang tidak diketahui itulah yang membuat. Suci tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hatinya jadi penonton. Sedangkan pertarungan itu terus berlangsung sengit.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja tubuh Setan Kobra Betina melenting ke udara sambil berteriak nyaring. Dan secepat itu tongkatnya dikebutkan ke arah kepala Intan. Seketika itu juga kepala tongkat yang berbentuk ular kobra memancarkan cahaya merah bagai terbakar.

"Oh...?!" Intan terkejut setengah mati. Buru-buru gadis itu melompat ke samping, langsung menjatuhkan tubuh ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan, mencoba keluar dari naungan cahaya merah yang semakin lama semakin menyebar.

"Ha ha ha...!" Setan Kobra Betina tertawa terbahak-bahak. Perempuan tua berjubah biru itu kini sudah tegak dengan angkuhnya di tengah-tengah halaman depan kedai. Tangan kanannya agak bergetar memegangi tongkat yang terus memancarkan sinar merah. Pada saat itu, seekor burung lewat di atas kepalanya. Maka mendadak saja burung itu memekik keras langsung jatuh menggelepar di dekat kaki si Setan Kobra Betina.

"Ha ha ha...!"

Sementara Intan terus cepat bergulingan, tidak terkena cahaya merah yang semakin meluas. Namun gerakannya memang kalah cepat bila di banding penyebaran cahaya itu. Hingga....

"Aaakh...!" mendadak saja Intan menjerit melengking tinggi. Dan selagi tubuh gadis itu menggelepar, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat menyambarnya. Begitu cepatnya, tahu-tahu Intan sudah lenyap dari pandangan.

"Heh.?" Setan Kobra Betina terkejut setengah mati. Begitu tongkat di tangan kanannya terhentak, cahaya merah itu seketika lenyap. Matanya nyalang beredar berkeliling, tapi tidak lagi terlihat Intan di sekitar tempat ini. Dan pandangannya langsung tertuju pada Suci, gadis yang datang ke desa ini bersama-sama Intan. Dan Suci sendiri juga terkejut melihat ada bayangan berkelebat cepat menyambarnya.

"Grrrrr! Kau temannya. Maka, kau juga harus mampus, Bocah...!" geram Setan Kobra Betina. Perempuan tua ini mengalihkan kemarahannya Suci. Geramannya memang perlahan, namun terdengar jelas sekali. Tentu saja Suci terperangah setengah mati. Disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan sanggup menghadapi perempuan tua ini. Dari pertarungannya dengan Intan saja, Suci sudah bisa mengukur kemampuan diri sendiri. kepandaiannya tidak sebanding dengan kepandaian yang dimiliki perempuan tua ini.

"Hiyaaa..!"

Tiba-tiba saja si Setan Kobra Betina melompat cepat bagai kilat menerjang Suci. Begitu cepatnya, sehingga membuat gadis itu terhenyak, langsung membelalak lebar. Tapi dia cepat tersadar, dan buru-buru melompat ke samping.

"Hup...!"

Namun gerakan gadis itu memang kalah cepat dibanding serangan yang dilancarkan si Setan Kobra Betina. Terlebih lagi Suci sempat terperangah tadi. Akibatnya, satu pukulan keras yang dilepaskan perempuan tua itu masih sempat menyerempet bahu kirinya.

"Akh...!" Suci terpekik kaget. Gadis itu jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Ketika mencoba bangkit berdiri, namun bahu kirinya terasa sakit sekali. Seakan-akan, tulang-tulang bahu kirinya berpatahan terserempet pukulan yang dilepaskan perempuan tua itu. Dan sebelum Suci bisa berdiri tegak, kembali si Setan Kobra Betina sudah cepat melompat menerjang.

"Oh...," Suci hanya bisa terhenyak. Gadis itu benar-benar tidak bisa lagi melakukan sesuatu. Maka, telak sekali pukulan keras yang dilepaskan si Setan Kobra Betina menghantam dadanya. Begitu kerasnya, sehingga gadis, itu harus menjerit keras, tepat saat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Keras sekali gadis itu jatuh menghantam tanah.

"Hoaghk..!"

Suci memuntahkan darah kental begitu mencoba bangkit berdiri. Dia sendiri tidak tahu, apakah sudah mati atau masih hidup. Yang jelas, saat itu si Setan Kobra Betina sudah kembali melompat hendak menyerangnya. Kali ini tongkatnya yang sudah berwarna merah bagai terbakar, terayun ke arahnya. Dan Suci tidak mungkin akan bisa menghindar dari serangan!

"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"

"Mati aku...," desah Suci seraya memejamkan matanya sedikit
.
Wut! Slap!

Tepat ketika si Setan Kobra Betina mengayunkan tongkat ke kepala Suci, mendadak saja sebuah bayangan kembali berkelebat cepat menyambar gadis itu. Si Setan Kobra Betina terkejut setengah mati, dan tidak bisa menarik pukulan tongkatnya lagi.

Glaaar...!

Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat begitu tongkat berbentuk ular kobra itu menghantam tanah. Seketika tanah tempat Suci berada tadi, terbongkar. Kepulan debu seketika tercipta, dan langsung membumbung tinggi ke angkasa.

"Setan keparat...!" geram Setan Kobra Betina berteriak keras. Dua kali lawannya lenyap disambar bayangan-bayangan yang bergerak begitu cepat tanpa dapat di ketahui. Meskipun sempat melihat bayangan itu, tapi Setan Kobra Betina tidak bisa mengetahui jelas. Yang pasti, dua bayangan itu berbeda. 
***

Ke mana sebenarnya Intan dan Suci berada...? Malam sudah begitu jauh merambat, menyelimuti sekitar Gunung Parang. Malam ini terasa begitu pekat. Tak sedikit pun ada cahaya menerangi. Langit tampak kelam, tanpa cahaya bintang maupun bulan yang menerangi. Begitu pekatnya, sehingga Gunung Parang terlihat bagai sosok raksasa yang berdiri angkuh menentang langit yang menghitam pekat. 

Di bagian lain lereng Gunung Parang, terlihat orang tengah duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang tengah merentangkan tangan ke depan, sehingga kedua telapaknya menempel di dada orang yang di depannya. Mereka sama-sama memejamkan mata, dengan napas teratur dan perlahan sekali. Hampir tidak terdengar teriakan nafasnya.

"Huh...!"

Bersamaan dengan terdengarnya hembusan nafas panjang, kedua telapak tangan itu terlepas dari dada. Dan salah seorang langsung jatuh terkulai, menggeletak di tanah. Seorang lagi menggerak-gerakkan tangannya sebentar, lalu membetulkan letak orang yang kini tergeletak di tanah. Dibaringkannya tubuh itu di dekat bakaran api unggun.

"Kau akan sembuh kembali. Besok saat fajar tiba, kau pasti sudah segar," kata laki-laki muda yang mengenakan baju kulit harimau. Kemudian laki-laki muda itu duduk bersila di samping sosok tubuh ramping yang terbaring di dekat api. Terlihat jelas, kalau tarikan nafasnya begitu ringan dan teratur. Sebentar dipandanginya tubuh ramping di sampingnya, kemudian nafasnya ditarik dalam dan dihembuskan kuat-kuat.

"Hhh...!" kembali pemuda itu menghembuskan napas panjang. Setelah menarik napas dalam dalam, kemudian matanya dipejamkan perlahan-lahan. Sebentar kemudian jalan nafasnya diatur agar lebih teratur lagi. Kedua telapak tangannya berada di atas lutut yang menekuk. Namun tak lama melakukan semadi, telinganya mendengar rintihan lirih. Kembali matanya dibuka, langsung menatap sosok tubuh ramping yang terbaring di sampingnya.

Tampak orang yang terbaring itu mulai menggerakkan kepalanya sambil memperdengarkan rintihan kecil. Sebentar kemudian matanya terbuka, lalu mengerjap beberapa kali. Hatinya agak terkejut begitu melihat di sampingnya duduk seorang laki-laki yang tidak dikenal sama sekali. Dia mencoba bangkit, namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mencegah, agar tetap berbaring.

"Kau masih lemah, jangan bangkit dulu," lembut sekali suara pemuda itu.

"Siapa kau? Mengapa aku berada di tempat ini?" tanya gadis yang mengenakan baju biru muda itu.

"Aku Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.

"Aku...."

"Aku tahu siapa dirimu. istirahat saja dulu. Luka dalammu belum sembuh benar." potong pemuda yang mengaku bernama Bayu.

Dan memang, dia bernama Bayu yang lebih dikenal bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis berbaju biru muda itu adalah Suci, yang hampir saja tewas di tangan Setan Kobra Betina. Gadis itu. coba untuk mengingat-ingat, apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia bisa mengingat sedikit, tapi terus menghilang dan tidak tahu lagi. 

Suci masih sadar saat dirinya jatuh pingsan begitu tongkat si Setan Kobra Betina terarah ke kepalanya. Namun gadis itu tidak tahu, apakah tongkat itu sempat menghantam kepalanya atau tidak. Dan sama sekali tidak diketahuinya kalau Pendekar Pulau Neraka ini yang menyambarnya, sebelum ujung tongkat berbentuk seekor ular kobra itu menghantam kepalanya.

"Apa yang terjadi padaku...?" tanya Suci dengan suara lemah.

"Kau terluka dalam cukup parah, Suci," jelas Bayu. "Kau bertarung dengan perempuan tua yang mengaku bernama Setan Kobra Betina."

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suci lagi.

"Aku berada di kedai itu, sehingga melihat semua kejadiannya," jawab Bayu sambil tersenyum.

Suci menghembuskan napas panjang. Dia kini ingat. Jadi, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang duduk tidak jauh dari perempuan tua berjubah biru yang dikenal bernama Setan Kobra Betina. Perempuan tua itu pulalah yang telah memisahkannya dari kakak seperguruannya. Kembali Suci memandang pemuda tampan yang tetap duduk bersila di sampingnya. Dan Suci tidak bertanya, dari mana pemuda yang tidak pernah dikenal sebelumnya ini mengetahui tentang dirinya. Yang jelas, pasti pemuda berbaju kulit harimau ini bisa mendengar kalau Intan menyebut namanya.

"Apakah kau juga yang menolong Kak Intan?" tanya Suci begitu teringat kalau Intan juga menghilang begitu saja.

Bayu hanya menggelengkan kepalanya.

"Lalu, siapa yang membawa Kak Intan?"

"Aku tidak tahu. Mungkin guru kalian, atau juga kakak-kakak seperguruanmu," sahut Bayu lagi.

"Kau tahu tentang kami...?" Suci tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.

Bayu hanya tersenyum saja.

"Sebaiknya kau tidur saja, Suci. Tubuhmu perlu istirahat sepanjang malam ini," saran Bayu.

"Aku tidak bisa tidur," Suci menolak.

"Kenapa?"

"Aku harus tahu, apakah Kak Intan selamat atau tidak."

"Tidak mungkin mengetahui malam ini juga, Suci. Sudah terlalu larut, dan keadaanmu juga tidak memungkinkan untuk berjalan."

Suci mencoba menggerakkan tubuhnya. Tapi baru sedikit saja bergerak, seluruh rongga dadanya sudah terasa nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Gadis itu mencoba mengatur nafasnya, kemudian memandang Bayu yang hanya tersenyum saja memperhatikan.

"Kenapa kau tersenyum...?" tegur Suci merasa tidak suka dipandangi seperti orang tidak punya daya sama sekali.

"Kau terlalu keras, Suci. Sebaiknya sadarilah keadaan dirimu," sahut Bayu kalem.

"Kau pasti senang melihatku begini," dengus Suci memberengut.

Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja. Dalam hati Pendekar Pulau Neraka tersenyum geli melihat sikap gadis ini. Begitu manja dan mudah sekali tersinggung. Juga sangat keras kepala, tidak bisa menyadari keadaan dirinya yang tidak memungkinkan melakukan sesuatu.

"Aku berterima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku malam ini.. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya memerintah. Akan kubayar semua hutang ini," tegas Suci lagi.

"Terserahlah," sambut Bayu tersenyum.

"Hutang ini akan kubayar."

Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian duduknya bergeser agak menjauh. Dan kini Pendekar Pulau Neraka memejamkan matanya kembali. Sebentar ditarik napas panjang-panjang, kemudian diatur dengan baik sekali. Bayu memang melakukan semadi, untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang terkuras karena menyembuhkan luka dalam yang diderita Suci tadi. 

Sementara itu Suci hanya memandangi saja. Beberapa kali napas panjang dihembuskan dengan kepala menggeleng kecil. Entah kenapa, terasa sukar baginya untuk memejamkan mata. Bahkan untuk mengalihkan pandangan saja sulit sekali.

"Uh! Kenapa aku ini...?" dengus Suci dalam hati. 
***
TIGA
Suci mengayunkan kakinya perlahan-lahan di samping Pendekar Pulau Neraka. Sejak pagi tadi, mereka berjalan. Namun sampai saat ini, belum ada seorang pun yang membuka suara. Beberapa kali gadis itu menghembuskan napas panjang seraya melirik pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Sedangkan Bayu sendiri terus saja mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Mereka menembus hutan yang tidak begitu lebat di lereng Gunung Parang. Suci tahu, kalau sekarang ini arah yang dituju adalah Desa Malanapa.

"Seharusnya kau tidak perlu mengikutiku terus Kakang," kata Suci yang sudah membiasakan dengan memanggil kakang pada Pendekar Pulau Neraka.

"Tujuanku memang ke sana. Dan kau sendiri hendak ke desa itu juga. Jadi, tidak ada salahnya jika kita berjalan sama-sama," sahut Bayu kalem.

"Kau ada urusan di sana, Kakang?" tanya Suci ingin tahu.

Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan gadis itu.

"Kau sendiri...?" Bayu malah balik bertanya.

"Hanya sekadar lewat saja," sahut Suci, seenaknya.

"Bukan karena perintah gurumu?" Suci tersentak kaget mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu.

Bahkan sampai berhenti melangkah, lalu menatap Bayu dalam-dalam. Entah dari mana datangnya, di hati gadis ini mulai terselip rasa curiga. Pemuda berbaju kulit harimau ini baru dikenalnya tidak begitu lama, tapi mengapa sudah bisa menebak maksudnya? Dan dia tidak tahu, siapa sebenarnya Bayu. Tapi kata-kata dan pertanyaan yang selalu dilontarkannya, menandakan kalau dia sudah mengenal banyak tentang diri Suci. Dan ini membuat gadis itu jadi curiga.

"Siapa kau sebenarnya, Kakang?" tanya Suci, agak dalam nada suaranya.

"Namaku Bayu, dan hanya seorang pengembara biasa saja. Dan...."

"Cukup...!" sentak Suci agak keras.

Bayu mengangkat alisnya sedikit. Dipandanginya gadis ini dalam-dalam. Pada saat yang sama, Suci juga tengah memandang tajam padanya. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya diam saling melemparkan pandangan yang penuh arti. Entah kenapa, Suci merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasanya tidak sanggup lagi menatap bola mata pemuda itu.. Namun hatinya terus dikuatkan dan terus menatap tajam.

"Aku tidak percaya jika kau hanya kebetulan saja menolongku," tegas Suci. Jelas sekali kalau nada suara gadis itu mengandung kecurigaan.

"Kenapa kau berkata seperti itu, Suci?" kata lembut suara Bayu.

"Kau sepertinya mengetahui banyak tentang diri ku. Bahkan sepertinya juga tahu tentang Eyang Purata."

"Mungkin kau tidak percaya. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu tentang dirimu. Apalagi orang yang kau sebutkan tadi, Suci."

"Tapi, kenapa kau bertanya seperti itu?" desak Suci tetap curiga.

"Hanya menebak saja. Dan yang pasti, kau memiliki seorang guru, yang memberi tugas kepadamu." sahut Bayu, tetap kalem suaranya.

"Aku tidak percaya dengan jawabanmu, Kakang, dengus Suci.

Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Pulau Neraka kembali mengayunkan kakinya. Sebentar Suci masih diam memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Setelah Bayu berjalan sejauh dua batang tombak, gadis itu baru melangkah menyusul. Ayunan kakinya lebar-lebar dan cepat, sehingga sebentar saja sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka lagi.

Wus!

"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba. Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mendorong tubuh Suci, hingga terpental ke samping dan jatuh bergulingan di tanah. Sedangkan Bayu sendiri langsung melentingkan tubuh ke udara. Dan seketika tangan kirinya bergerak cepat mengibas ke bawah, tepat di saat sebatang ranting kering meluncur cepat bagai anak panah yang dilepaskan dari busur.

Tap!

Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menangkap sebatang ranting kering sepanjang tiga jengkal yang meluncur deras ke arahnya. Kemudian setelah memutar tubuhnya sekali di udara, kakinya mendarat ringan di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pada saat yang sama, Suci sudah bisa berdiri kembali.

"Apa yang kau lakukan, Kakang...?!" sentak Suci, tidak menerima perlakuan Bayu tadi.

"Ada yang menyambut kita, Suci," sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.

Pendekar Pulau Neraka segera menyodorkan ranting kering yang berhasil ditangkapnya tadi. Sebentar Suci memandangi, kemudian mengambil batang ranting kering sepanjang. tiga jengkal itu. Langsung gadis itu memandang Pendekar Pulau Neraka yang tengah memusatkan pandangan dan pendengarannya ke sekeliling tempat ini, Perlahan Suci mendekati pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu berdiri di sampingnya. 

Gadis itu juga ikut mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun, sebentar kemudian malah menatap dalam-dalam wajah tampan di sampingnya. Ada sedikit getaran menyelinap di hati gadis itu, saat ini Suci merasakan kalau di dalam hatinya tengah terjadi pertentangan hebat. Dan dia sendiri tidak tahu, pertentangan apa yang terjadi dalam dirinya.

"Tampaknya ada yang tidak menyukai kedatangan kita kembali ke Desa Malanapa, Suci. Entah untuk mencegahmu, atau mencegah ku ke sana," jelas Bayu pelan, setengah bergumam suaranya.

Suci tidak menyahuti. Dia diam saja dan kembali mengedarkan pandangannya berkeliling. Saat itu juga benaknya langsung berputar. Kedatangannya ke wilayah Gunung Parang ini memang karena tugas gurunya, Eyang Purata. Tapi dia tidak begitu jelas maksud gurunya yang sebenarnya. Walaupun sebagian sudah diketahui meski tidak jelas.

"Ayo, kita jalan lagi," ajak Bayu.

"He he he..., tidak perlu bersusah payah ke Malanapa, Pendekar Pulau Neraka...!"

"Heh...?!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema.

Bukan hanya Bayu yang terkejut. Suci pun ikut tersentak kaget mendengarnya. Pandangan mereka beredar ke sekeliling, dan tidak jadi melanjutkan perjalanan. Namun tidak ada seorang pun di tempat ini, kecuali mereka berdua. Sedangkan suara itu demikian jelas terdengar, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.

"Hm...," gumam Bayu perlahan.

Sementara itu Suci sudah menggeser pedangnya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya bergumam pelan. Dan sebelum mulutnya terbuka, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah hitam. Sebatang tongkat hitam tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan kanan. Sebentar Bayu memandangi orang tua berjubah hitam itu, kemudian melirik Suci yang berdiri di samping kanannya. 

Kembali ditatapnya orang tua berjubah hitam yang berdiri di depan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, seakan-akan tengah menyelidik dan mengukur kepandaian orang tua itu. Pada saat yang sama, orang tua berjubah hitam itu juga memandang Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan, dia juga sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Kau memang cukup tangguh, Pendekar Pulau Neraka. Tapi sebaiknya cepat tinggalkan wilayah Gunung Parang ini," dingin sekali nada suara laki-laki tua berjubah hitam itu.

"Hm.... Siapa kau, Orang Tua? Bagaimana kau tahu tentang diriku?" tanya Bayu kalem, meskipun sempat terkejut karena orang tua berjubah hitam itu mengetahui julukannya. 
***

Satu julukan yang bisa membuat orang gemetaran bila mendengarnya. Terlebih lagi, sikap, dan sepak terjang Pendekar Pulau Neraka memang sukar digolongkan. Pendekar itu bisa bertindak lebih kejam daripada seorang tokoh hitam. Tapi, dia juga bisa lembut dan berhati emas bagai seorang pendekar sejati. Meskipun Bayu jarang sekali memberi ampun pada setiap lawannya, tapi semua yang dilakukannya berdasarkan alasan yang tepat. Pendekar Pulau Neraka tidak akan menewaskan lawannya, kalau tidak terpaksa sekali.

"He he he...," orang tua berjubah hitam itu hanya terkekeh saja menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

"Kau kenal dia, Suci?" tanya Bayu pada Suci yang sudah berada di sampingnya lagi.

"Tidak," sahut Suci sambil tetap memandangi laki-laki tua di depannya.

"Hm...," lagi-lagi Bayu bergumam pelan.

Kembali dipandanginya laki-laki tua ini. Tapi, laki-laki tua itu sudah menyerangnya. Dan Bayu yakin kalau serangan itu bukan hanya sekadar main-main. Yang jelas, pasti mempunyai alasan kuat. Terlebih lagi tadi sudah meminta Pendekar Pulau Neraka untuk segera meninggalkan Gunung Parang ini.

"Kenapa kau meminta ku meninggalkan tempat ini, Orang Tua?" tanya Bayu lagi. Dari nada suaranya yang tenang, Pendekar Pulau Neraka masih mencoba menekan kesabarannya.

"Karena kau tidak ada urusan di sini, Pendekar Pulau Neraka," sahut orang tua itu tegas.

"Barangkali penyerangan mu tadi sudah memberi satu persoalan padaku," tandas Bayu.

"Kau memang keras kepala sekali, Pendekar Pulau Neraka. Mungkin memang harus digunakan cara lain untuk memaksamu keluar wilayah ini," semakin dingin nada suara orang tua ini.

"Cara apa yang akan kau gunakan...?"

Laki-laki tua berjubah hitam itu tidak menjawab. Pertanyaan Bayu barusan, sudah jelas maksudnya. Tantangan. Laki-laki tua itu menghentakkan tongkatnya sedikit ke tanah. Meskipun kelihatannya hanya sedikit saja ujung tongkatnya dipukulkan ke tanah, namun Bayu dan Suci merasakan kalau tanah yang dipijak agak bergetar.

"Hm...," lagi-lagi Bayu menggumam pelan. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir panjang, laki-laki tua itu sudah memutar tongkatnya di depan dada. Putarannya demikian cepat, sehingga yang terlihat hanya lingkaran hitam kecoklatan. Bahkan juga menimbulkan suara angin yang menderu-deru bagai hendak terjadi badai saja.

Wut!

Mendadak saja laki-laki tua berjubah hitam itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga berhembus angin kencang, disertai memancarnya seberkas sinar kilat yang mengarah ke tubuh Pendekar Pulau Neraka.

"Uts...!"

Cepat sekali Bayu mendorong tubuh Suci, sehingga untuk kedua kalinya gadis itu terhuyung. Dan pada saat yang sama, Pendekar Pulau Neraka melompat ke samping, Cahaya kilat yang keluar dari ujung tongkat berbentuk tak beraturan itu lewat sedikit saja di samping tubuh Bayu.

Glarr!

Ledakan keras terdengar saat ujung kilat itu menghantam pohon yang tadi tepat dibelakang Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat sedikit menoleh, begitu kakinya mendarat lagi. Dalam hatinya, Pendekar Pulau Neraka mengagumi kehebatan laki-laki tua berjubah hitam itu. Sungguh dahsyat serangannya barusan. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ujung tongkat itu mengenai dirinya.

"Itu baru permulaan, Pendekar Pulau Neraka," tegas laki-laki tua ini. "Dan sebaiknya jangan memaksa ku untuk memperingatkan kedua kalinya."

"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Orang Tua?" tanya Bayu agak jengkel juga jadinya.

"He he he..." lagi-lagi orang tua berjubah hitam itu hanya terkekeh saja menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

Orang tua itu masih tetap merentangkan tongkatnya lurus ke depan, terarah langsung ke dada Pendekar Pulau Neraka. Sementara tatapan matanya demikian tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Untuk waktu yang agak lama, mereka hanya berdiam diri sambil saling menatap tajam. Sepertinya mereka sedang mengukur kepandaian masing-masing. 
***

"Sebenarnya aku tidak ingin bersikap keras denganmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi tampaknya kau memaksaku untuk melakukan kekerasan," terdengar dingin sekali suara orang tua berjubah hitam itu.

"Aneh...! Semua pembicaraanmu tidak bisa kumengerti," desis Bayu pelan.

"Memang seharusnya kau tidak perlu mengerti, Pendekar Pulau Neraka. Jika tidak segera enyah dari sini, aku yang akan membantumu pergi," semakin dingin suara orang tua itu.

Belum juga Bayu sempat membuka mulut, mendadak saja orang tua itu memutar tongkatnya cepat bagai kilat. Lalu kembali berteriak nyaring melengking dia melompat cepat menerjang Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!
Hup!"

Bergegas Bayu melompat ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Maka sabetan tongkat orang tua itu tidak berhasil mendapatkan sasaran. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuhnya bisa memutar selagi kakinya belum juga menjejak tanah. Secepat itu pula tongkatnya dikibaskan ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Bet!

Kali ini Bayu tidak sempat lagi menghindar dari kebutan tongkat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Dengan cepat tangannya diangkat Lalu sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf sempurna, Pendekar Pulau Neraka membenturkan pergelangan tangan kanannya dengan tongkat hitam orang tua itu.

Trang!

Bunga api memercik begitu Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan Bayu membentur tongkat hitam orang tua itu. Tampak masing-masing terpental ke belakang sejauh lima langkah. Orang tua berjubah hitam itu kelihatan terkejut saat seluruh jari-jari tangannya terasa menegang kaku. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka mampu mengimbangi kekuatan tenaga dalamnya. 

Sedangkan Bayu sendiri sempat meringis. Dia juga terkejut begitu merasakan kekuatan tenaga dalam orang tua berjubah hitam itu demikian dahsyat. Tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Sebentar senjata andalannya yang selalu melekat kuat di pergelangan tangan kanan diperiksa. Sepertinya tak ada satu goresan sedikit pun pada Cakra Maut.

"Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat orang tua berjubah hitam itu kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. serangannya begitu dahsyat, sehingga ayunan tongkatnya saja sukar diikuti pandangan mata biasa. Namun Bayu yang sudah siap sejak tadi, manis sekali menghindari serangan yang dilancarkan orang tua ini. Bagai seekor burung sri gunting, Pendekar Pulau Neraka berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari serangan yang dilancarkan orang tua berjubah hitam itu. 

Beberapa kali tebasan ataupun tusukan tongkat hitam itu terpaksa harus di tangkis. Beberapa kali pula terdengar ledakan keras, percikan bunga api setiap kali tongkat hitam berbenturan dengan Cakra Maut yang berada di pergelangan Pendekar Pulau Neraka.

Pertarungan terus berjalan sengit. Jurus demi jurus berlalu, saling berganti dengan cepat. Tanpa terasa mereka sama-sama sudah menghabiskan lebih dua puluh jurus. Namun pertarungan belum juga berakhir. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak. Sementara Suci yang menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu seketika kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang, karena mengikuti setiap gerakan yang dilakukan dua orang yang bertarung itu.

"Oh...?!"

Tiba-tiba Suci menutup mulutnya ketika melihat orang tua berjubah hitam itu menyodokkan tongkat ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Itu terjadi tepat saat pemuda berbaju kulit harimau itu baru menangkis satu tendangan menggeledek yang dilepaskan orang tua itu.

Bet!

Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya ke depan dada untuk menyampok sodokan tongkat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Satu benturan keras bertenaga dalam tinggi pun tak terelakkan. Ledakan keras seketika terdengar menggelegar bagai guntur membelah angkasa. Bunga api memercik menyebar ke segala arah. Tampak orang tua berjubah hitam itu terpental balik ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan seketika itu juga mengibaskan tangan kanan ke depan sambil memutar tubuh di udara.

Wus!

Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat cepat ke arah orang tua berjubah hitam. Begitu cepatnya melesat, hingga membuat orang tua itu terperangah sejenak. Namun cepat sekali tongkatnya dikebutkan, menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka.

"Yeaaah...!"
Bet!
"Heh...?!" 
***

Bukan main terkejutnya orang tua berjubah hitam itu, ketika Cakra Maut yang meluncur deras itu tiba-tiba saja meliuk menghindari tebasan tongkatnya. Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak Cakra Maut bersegi enam itu sudah meluruk deras ke arah kepala orang tua berjubah hitam itu.

"Ih...! Uts!"

Buru-buru kepalanya di egoskan ke samping. Dan begitu Cakra Maut lewat ke samping kanan. Langsung tubuhnya diputar dan tongkatnya dikibaskan, menghajar Cakra Maut yang saat itu sudah kembali berputar berbalik hendak menyerang kembali.

Bet!
Tring!
"Ikh...!"

Orang tua berjubah hitam itu terkejut setengah mati ketika tongkatnya berbenturan dengan senjata cakra perak yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Cepat dia melompat mundur, lalu tubuhnya memutar menghadap kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Pada saat yang sama, Bayu menghentakkan tangan kanan ke atas kepalanya. Maka Cakra Maut membalik, langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.

Tap!

"Cakra Maut...," desis laki-laki tua itu seakan akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Hampir saja orang tua berjubah hitam itu tewas oleh senjata Pendekar Pulau Neraka yang begitu dahsyat dan tak ada bandingnya saat ini. Sama sekali pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tidak diperhatikannya. Sedangkan matanya memandang Bayu seperti melihat hantu saja. Sedangkan yang dipandang hanya berdiri tegak, membalas dengan tatapan tajam menusuk.

"Ada hubungan apa kau dengan Gardika si Cakra Maut?" tanya orang tua berjubah hitam itu.
"Dari mana kau tahu tentang Eyang Gardika?

Bayu malah batik bertanya. Pendekar Pulau Neraka terkejut juga mendengar pertanyaan orang tua berjubah hitam ini. Pandangan matanya semakin tajam dan penuh kecurigaan. Dia teringat gurunya, si Cakra Maut. Dalam sisa-sisa hidupnya, Eyang Gardika harus sengsara dengan kedua kaki buntung dan buta. Semua itu akibat ulah musuh-musuhnya. 

Dan Bayu harus mencari mereka yang telah membuntungi dan membutakan gurunya itu. Sedangkan di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua yang mengenal gurunya. Tentu saja setelah Pendekar Pulau Neraka menggunakan senjata andalan yang diperoleh dari gurunya. Bayu mencoba mengingat-ingat nama-nama yang telah diberikan gurunya. Nama-nama orang yang telah membuat si Cakra Maut cacat seumur hidup.

"Hm...," terdengar gumaman kecil dari bibir Pendekar Pulau Neraka. Ingatan Pendekar Pulau Neraka langsung teringat pada kata-kata gurunya, tentang nama-nama tokoh yang harus dihadapinya. Salah satu ciri-ciri orang yang disebutkan Eyang Gardika kini ada di depannya. Memang, sebelumnya Bayu tidak mengenal orang itu. Namun begitu Orang berjubah hitam itu menyebut nama Eyang Gardika, maka ingatannya langsung terarah ke situ. 
***
EMPAT
"Dari mana senjata itu kau dapatkan, Pendekar Pulau Neraka?" tanya orang tua berjubah hitam dingin.

"Ini senjataku. Kapan dan dari mana ku peroleh bukan urusanmu, Iblis Tongkat Hitam," sahut Bayu tidak kalah dinginnya.

"Heh....?! Kau tahu julukanku...?" orang tua berjubah hitam itu terkejut mendengar julukannya disebut Pendekar Pulau Neraka. Padahal sama sekali namanya tidak pernah disebutkan tadi.

Bayu hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan kakinya bergeser sedikit ke kanan dan kedua tangannya terlipat di depan dada. Sementara, sorot matanya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua berjubah hitam yang dikenali berjuluk Iblis Tongkat Hitam. Bayu bisa mengenalinya, setelah mengingat-ingat nama-nama yang diberikan gurunya. 

Juga, ciri-ciri serta jurus-jurus yang dimilikinya. Dan semua itu ada pada diri laki-laki tua berjubah hitam ini, sehingga Bayu tidak ragu-ragu lagi. Laki-laki tua ini adalah salah seorang tokoh persilatan yang mengeroyok si Cakra Maut sampai kedua kakinya buntung dan sepasang matanya buta.

"Asal tahu saja, Iblis Tongkat Hitam. Pemilik pertama senjata ini, meminta ku untuk membalaskan perlakuan orang-orang yang telah membuat sengsara selama hidupnya," tandas Bayu lagi, dengan suara yang tetap dingin.

"Hm.... Siapa sebenarnya kau, Pendekar Pulau Neraka?" tanya Iblis Tongkat Hitam mendesis.

"Aku hanya anak kemarin sore yang mencari manusia-manusia bejat sepertimu," sahut Bayu, semakin dingin nada suaranya.

"Bersiaplah untuk mati,

Iblis Tongkat Hitam...."

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berteriak keras menggelegar. Sebentar tangannya bergerak-gerak di depan dada, kemudian cepat sekali tubuhnya melompat menerjang laki-laki tua berjubah hitam itu. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat si Iblis Tongkat Hitam jadi terperangah sejenak.

"Uts...!?"

Buru-buru Iblis Tongkat Hitam mengegoskan tubuhnya, menghindari satu pukulan menggeledek mengandung tenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Tapi sebelum tubuhnya sempat ditarik kembali, Bayu sudah memberi lagi satu serangan cepat dan dahsyat Terpaksa si Iblis Tongkat Hitam melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari serangan yang begitu cepat dan dahsyat.

"Hiyaaa...!"

Melihat lawannya meleset ke udara, maka Bayu cepat menggenjot tubuhnya hingga melesat bagai kilat ke udara menyusul laki-laki tua berjubah hitam itu. Saat itu juga dilontarkannya beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts! Hup...!"

Beberapa kali Bayu melepaskan pukulan keras menggeledek, tapi si Iblis Tongkat Hitam masih mampu menghindarinya. Kelihatannya, laki-laki tua itu begitu kewalahan, bahkan hampir-hampir pukulan terakhir yang dilepaskan Bayu mengenai dadanya. Untung tongkatnya cepat dikibaskan untuk melindungi dadanya dari pukulan Pendekar Pulau Neraka.

Trak!

Bayu sengaja tidak menarik pulang pukulannya, sehingga menghantam tongkat hitam yang menyilang di depan dada. Seketika satu ledakan keras pecah menggelegar. Bersamaan dengan itu, tampak kedua orang yang bertarung di udara itu terpental ke belakang. Mereka sama-sama berputaran di udara, kemudian meluruk turun. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak tanah, dan sama-sama langsung terhuyung.

"Hup!"

Bayu cepat menggerak-gerakkan tangannya, sambil mengatur pernafasannya. Sedangkan si Iblis Tongkat Hitam cepat memutar tongkatnya, kemudian keras sekali menghentakkan ujungnya ke tanah. Untuk beberapa saat mereka terdiam berdiri tegak, dengan mata saling menyorot tajam

"Kau menggunakan jurus-jurus milik si Cakra Maut. Apakah kau muridnya, Pendekar Pulau Neraka?" si Iblis Tongkat Hitam ingin tahu, setelah mengetahui jurus-jurus yang dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka.

"Benar! Dan aku akan membalas perlakuanmu pada guruku," sahut Bayu dingin menggetarkan.

"Ha ha ha.!" tiba-tiba saja si Iblis Tongkat Hitam tertawa terbahak-bahak.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja. Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka tidak berkedip sedikit pun, dan tajam sekali. Sementara si Iblis Tongkat Hitam terus tertawa terbahak-bahak dengan suara keras sekali. Akibatnya, membuat telinga orang yang berada di sekitarnya terasa sakit, seperti akan pecah.

"Si Cakra Maut sendiri tidak sanggup menandingi ku, Bocah. Aku khawatir kau akan bernasib sama dengannya," ejek si Iblis Tongkat Hitam.

"Kau bisa mengalahkannya karena main keroyok, Iblis Tongkat Hitam," desis Bayu.

"Phuih! Tanpa mereka pun, aku mampu mengirimnya ke neraka, Bocah!"

"Dan sekarang kau yang akan kukirim ke neraka, iblis!"

"Setan...! Kau murid si Cakra Maut, maka tidak pantas rasanya hidup lebih lama lagi.!

Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, si Iblis Tongkat Hitam melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkat hitam yang tidak beraturan bentuknya itu berkelebat cepat mengurung ruang gerak pemuda berbaju kulit harimau. Namun Bayu yang sudah siap dan sudah mengetahui laki-laki tua ini sebenarnya, tidak lagi bertindak tanggung-tanggung. Segera dikerahkannya jurus-jurus yang dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

"Setan alas...!" desis si Iblis Tongkat Hitam geram. Betapa tidak...? Sungguh sama sekali tidak disangka kalau jurus-jurus si Cakra Maut yang dimainkan Pendekar Pulau Neraka lebih dahsyat dari pemiliknya sendiri. Bahkan beberapa kali laki-laki tua itu terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan balasan yang dilancarkan Bayu. 
***

"Hiyaaa....!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking tinggi. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melenting sambil mengebutkan tangan kanannya. Bagaikan kilat. Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat.

"Ufs!"

Cepat sekali si Iblis Tongkat Hitam meliukkan tubuhnya, menghindari terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum juga posisi tubuhnya bisa dikembalikan, mendadak saja Bayu sudah meluruk deras ke arahnya sambil melontarkan dua terjangan menggeledek secara beruntun.

"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya si Iblis Tongkat Hitam, mendapatkan serangan yang demikian cepat beruntun. Bergegas laki-laki tua itu melompat ke belakang. Namun satu tendangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dihindari lagi.

Begkh...!
"Akh...!"

Iblis Tongkat Hitam memekik keras. Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dada Iblis Tongkat Hitam yang lowong, Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga membuat tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak.

Bruk!

Keras sekali Iblis Tongkat Hitam jatuh tersuruk di tanah, namun cepat bangkit kembali, meskipun sempoyongan. Dan sebelum keadaan tubuhnya sempat dikuasai, Bayu sudah kembali melompat menyerang. Dua pukulan keras dilontarkan dengan cepat. Hal ini membuat si Iblis Tongkat Hitam terperangah beberapa saat.

"Hup!"

Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Manis sekali laki-laki tua itu mendarat di atas cabang sebuah pohon yang cukup tinggi. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak bertolak pinggang.

"Turun kau...!" bentak Bayu menggelegar suaranya.

"Kuakui, kau memang lebih hebat dari gurumu, Pendekar Pulau Neraka," puji si Iblis Tongkat Hitam agak terengah suaranya.

"Terima kasih. Tapi aku tidak butuh pujian. Pembalasan tetap berlangsung, Iblis Tongkat Hitam," sambut Bayu dingin.

"Sayang sekali, aku ada keperluan lain yang lebih penting. Maaf..."

"Hei...!"

Tapi Bayu tidak mungkin bisa mengejar orang tua berjubah hitam yang sudah melesat cepat sekali. Dalam sekejap saja, Iblis Tongkat Hitam itu sudah menghilang dari pandangan mata. Dan Bayu hanya menggerutu. Satu orang yang harus ditemui kini lenyap lagi, sebelum sakit hati gurunya terbalaskan. Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya mendengar suara gemerisik ayunan langkah yang halus. Ternyata dia adalah Suci yang tengah menghampiri pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Gadis itu berhenti melangkah setelah tinggal tiga tindak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka.

"Kau sudah tahu siapa aku, Suci. Sebaiknya kau pergi saja," kata Bayu sebelum Suci sempat membuka suara.

"Guruku sering menceritakan tentang dirimu, kang. Maaf, kalau sikapku selama ini tidak menyenangkan hatimu," lembut sekali suara Suci, nadanya terdengar menyesal atas sikapnya selama ini pada Bayu.

"Lupakan saja," desah Bayu seraya mengayunkan kakinya.

"Kakang, tunggu...!" seru Suci seraya bergegas mengejar.

Gadis itu mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri terus berjalan tanpa berpaling sedikit pun. Disadari kalau selama ini sepak terjangnya sudah menjadi buah bibir tokoh-tokoh rimba persilatan. Jadi, tidak heran jika guru gadis ini sudah mendengar dan mengetahui namanya. Dan memang hal itu yang tidak diinginkan Bayu. Mulai disadari kalau di sekitar Gunung Parang ini terdapat musuh-musuh gurunya. 

Sedangkan dirinya sendiri masih memiliki kewajiban darma bakti pada gurunya, meskipun terkadang sangat bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Tapi demi semua itu, Bayu harus menjalankan amanat terakhir yang diembannya. Sakit hati Eyang Gardika harus dibalaskan, pada orang-orang yang telah membuatnya cacat. Dan Pendekar Pulau Neraka tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam urusan pribadinya.

"Kenapa kau terus mengikutiku, Suci?" tanya Bayu seraya menoleh sedikit pada gadis yang berjalan di sampingnya.

"Aku ingin minta bantuanmu," sahut Suci langsung.

"Bantuan apa?" tanya Bayu.

"Mencari Kak Intan."

Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam.

"Kenapa kau berubah begitu cepat, Suci?" tanya Bayu ingin tahu.

Suci tidak menjawab, tapi malah tersenyum. Gadis itu kembali mengayunkan kakinya setelah berhenti sebentar. Dan Bayu hanya memandangi gadis itu beberapa saat, kemudian melangkah lagi. Ayunan kakinya disejajarkan di samping gadis ini. Mereka terus berjalan menuju Desa Malanapa. Tak ada lagi yang berbicara. Masing-masing sibuk berbicara dalam hatinya sendiri-sendiri. Beberapa kali Suci mencuri pandang pada pemuda tampan berbaju harimau di sampingnya. 

Di dalam hatinya, Suci tak bisa lagi membantah kalau hatinya tertarik setelah mengetahui pemuda ini sebenarnya. Dia sudah sering mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka. Dan sekarang, pendekar yang selalu menjadi buah bibir berjalan di sampingnya. Ada sedikit kebanggaan terselip di hatinya, karena bisa berjalan bersama seorang pendekar digdaya yang disegani lawan maupun kawan. 
***

Memang tidak mudah mencari seseorang yang tidak diketahui di mana adanya. Sudah tiga hari Bayu dan Suci menjelajahi Desa Malanapa dan sekitar Gunung Parang, tapi tidak juga bisa menemukan Intan. Kakak seperguruan Suci ini lenyap entah kemana, setelah bertarung dengan seorang perempuan tua yang mengaku berjuluk Setan Kobra Betina. 

Sedangkan perempuan tua itu sendiri seperti menghilang ditelan bumi saja. Tidak ada lagi kabar beritanya di sekitar Gunung Parang ini. Bukan hanya di Desa Malanapa. Bahkan desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Parang, sudah dimasuki Bayu dan Suci Tapi, mereka tetap belum menemukan jejak Intan saat ini.

"Ke mana lagi harus mencari kakak seperguruan mu, Suci?" tanya Bayu, saat mereka baru saja meninggalkan sebuah desa yang berada di sebelah Selatan kaki Gunung Parang.

"Hhh...!" Suci hanya menghembuskan nafasnya saja, seraya mengangkat bahu tinggi-tinggi. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana lagi harus mencari Intan. Tiga hari bukanlah waktu yang sedikit Dan mereka sudah menjelajahi daerah yang luas, meskipun belum sampai keluar dari wilayah Gunung Parang.

"Tidak ada lagi perkampungan di sekitar Gunung Parang ini, Suci. Dan itu tadi desa terakhir. Tapi di sana juga tidak ada tanda tandanya," sambung Bayu seraya melemparkan sebuah kerikil ke dalam sungai yang mengalir di depannya.

"Kita belum mencari ke puncak gunung, Kakang," tegas Suci mengingatkan."

"Tidak ada apa-apa di sana, Suci," sahut Bayu.

"Tapi kudengar, orang-orang persilatan saat ini tengah menuju ke sana. Barangkali saja disana kita bisa bertemu Kak Intan. Atau paling tidak, bisa menemukan petunjuk," Suci beralasan.

Bayu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Bukan hanya Suci saja yang tahu. Pendekar Pulau Neraka pun tahu kalau orang-orang persilatan kini tengah menuju Puncak Gunung Parang. Dan Bayu pun tahu, untuk apa tokoh-tokoh persilatan itu menuju ke sana. Sedangkan dirinya sendiri sebenarnya memang ingin ke sana, tapi yang pasti dengan tujuan yang berbeda dari mereka semua.

"Atau sebaiknya kita kembali lagi ke Desa Malanapa, Kakang," usul Suci lagi.

"Untuk apa?" tanya Bayu.

"Aku ada titipan yang harus disampaikan pada kepala desa," jawab Suci.

"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan?"

"Aku baru ingat sekarang."

Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Saat itu Suci sudah berdiri lebih dahulu. Tanpa mengeluarkan satu kata pun mereka kembali melanjutkan perjalanan. Hanya saja mereka berjalan tidak terburu-buru.

"Pesan apa yang ingin kau sampaikan, Suci?" tanya Bayu.

"Eyang Purata hanya menitipkan bingkisan saja. Aku tidak tahu, apa isinya," sahut Suci. "Penting?"

"Kelihatannya begitu. Soalnya Eyang Purata minta agar aku hati-hati menjaganya. Dan lagi, hanya Ki Gandul saja yang boleh menerimanya."

"Kalau memang penting, seharusnya jangan dilalaikan, Suci. Kita bisa mencari kakakmu, setelah pesan gurumu disampaikan," nada suara Bayu terdengar seperti menyesali Suci yang telah melalaikan tugas utama gurunya.

"Aku lupa, Kakang. Aku begitu khawatir pada Kak Intan," Suci mencoba membela diri.

"Aku bisa mengerti, Suci, Sebaiknya untuk saat ini, kau lupakan dulu masalah kakakmu. Nanti setelah titipan gurumu kau berikan pada Ki Gandul, baru seluruh perhatianmu bisa dipusatkan pada kakakmu."

"Baiklah," sahut Suci mendesah.

Bayu tidak berkata-kata lagi. Mereka terus ber jalan dengan bibir terkatup rapat Kedua orang itu sengaja memilih jalan yang biasa dilalui orang. Padahal bisa saja mereka merambah hutan, memotong jalan agar lebih cepat sampai. Tapi entah kenapa, baik Bayu maupun Suci malah memilih jalan biasa, yang menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya. 
***