Pendekar Pulau Neraka - Pertentangan Dua Datuk(1)

SATU
Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu merdu menggelitik gendang telinga, ditingkahi gemercik suara air sungai mengalir. Seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun tengah bermain-main di tepi sungai, berlarian, berkejaran dengan ayahnya. Sementara ibunya mengawasi disertai senyuman, sambil berteduh di bawah sebatang pohon rindang. Kegembiraan mewarnai raut wajah mereka.

"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari-jari tangan ayahnya menggelitik seluruh pinggangnya.

Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya. Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong dengan kedua tangan terbuka. Sedangkan ayahnya pura-pura mengejar. Namun belum juga laki-laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya, mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah wanita muda yang bagian bahunya terbuka itu.

"Lasmi, awas...!" teriak laki-laki itu memperingatkan.

Bagaikan kilat, laki-laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan di udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang hampir saja menghunjam punggung anak laki-laki yang berada di dalam dekapan ibunya. Tap!

Laki-laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat bagai kilat. Dia langsung mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak panah berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya. Kedua jnatanya tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram, dihentakkan tangan yang menggenggam anak panah itu.

"Hih!"
Wut..!

Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur. Dan seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh keluar dari dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang anak panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.

"Cepat pulang...!" desis laki-laki itu.
"Kakang...."

Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di sekitar mereka berlompatan empat orang. Laki-laki muda yang tidak mengenakan baju itu langsung menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah memeluk erat putra mereka dalam gendongan.

Laki-laki muda itu menatap tajam empat laki-laki tua di depannya yang sorot matanya memancarkan kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan beraliran hitam. Laki-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil membawa istri dan anaknya ke tempat yang cukup terlindung dan aman. Kehadiran empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak dikenal.

"Siapa kalian?" tanya laki-laki muda itu dingin.

"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil saling melirik.

"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.

"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'» laki-laki muda yang panggil Sundrata itu terperanjat.

"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus orang tua yang mengenakan baju hitam.

"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung suaminya.

"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.

Lasmi memandangi keempat orang tua itu. Diserahkannya golok bergagang gading pada suaminya. Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah Inundur perlahan-lahan. Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan begitu mendalam tak dapat disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu suaminya adalah seorang pendekar yang sudah melanglang buana. Sedangkan dirinya sendiri, meskipun bukan seorang wanita pendekar, tapi memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat laki-laki tua itu, kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.

Sementara keempat laki-laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan Sundrata sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat orang tua itu satu persatu dengan sinar mata tajam menusuk.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau tua, berteriak kencang sambil melompat menerjang. Sundrata buru-buru merundukkan tubuhnya ketika orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat kilat, dibabatkan goloknya ke atas.

Trang!

Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya terbabat golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke samping. Tapi belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan gada besar berduri ke arah kepala.

"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"

Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat besar itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga angin tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.

Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu. Hatinya begitu cemas melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat-erat. Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi-tubi, mengancam nyawa Sundrata. Tapi laki-laki muda itu temyata bukanlah orang sembarangan. Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa kali serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis. Bahkan tidak jarang serangan balasan yang diberikan membuat lawan-lawannya jadi kerepotan.
***

"Auwh...!”

Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di dadanya. Tampak Sundrata terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Dari sudut bibimya mengalir darah kental.

Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai, kembali datang satu totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, sebuah cambuk menggeletar menyengat pung-gungnya.

Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.

Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata, sehingga membuat laki-laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit punggung yang sobek cukup panjang.

"Hiyaaa...!"

Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat sambil menghunjamkan pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah. Buru-buru Sundrata menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya menghunjam tanah.

"Hup!"

Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilangkan goloknya di depan dada. Namun belum sem-pat melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah kepala. Cepat-cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.

"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"

Buru-buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan cepat sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga, dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.

Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.

Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga membuat Sundrata terhuyung-huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju hitam melompat maju sambil menusukkan pedangnya.

Crab!

"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut Sundrata.

“Yeaaah...!"

Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata, dan seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata terpental ke belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan gadanya.

“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!

Gada berduri itu langsung menghantam kepala Sundrata hingga hancur berantakan. Sebelum tubuh laki-laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat leher. Itu pun masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju hijau yang menembus dada.

Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepala yang pecah, tergulir pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit histeris. Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia memang sudah tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu tragis.

Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri. Tak dipedulikan lagi duri-duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.

"Akh...!" tiba-tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan mcrengkuh dan menariknya dengan kasar.

Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar. Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra laki-lakinya.

"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.

Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian melintasi mereka. Empat orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.

"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.

"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.

"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"

"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas orang tua berbaju hitam.

"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.

"Ayo, jangan buang-buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang berbaju biru.

Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di balik semak, sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu. Cepat-cepat Lasmi melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya masih dipeluk erat-erat.

Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya terbuat dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak belukar itu. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja memandangi.

"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini. Mereka pasti akan kembali lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada suaranya.

"Siapa kau?" tanya Lasmi.

"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya tersenyum.

Lasmi memalingkan muka menatap ke arah kepergian empat orang tua itu. Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda ini, yang jelas memang tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki-laki tua itu tadi.

"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak," ujar pemuda itu lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.

Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan ditumpangkan ke lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata, empat orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang laki-laki muda duduk bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan menghampiri.

"Anak muda, apakah kau melihat seorang perempuan membawa anak kecil di sekitar sini?" tanya orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar sekali.

"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak bertemu seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.

"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua berbaju biru.

"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah perginya Lasmi.

"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.

"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."

Keempat laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat orang tua itu, kemudian meme-jamkan matanya sambil bersandar ke pohon.

"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.

Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun aimya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi sungai duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang sudah koyak menutupi sebagian wajahnya. Pengail itu menoleh saat mendengar langkah kaki menuju ke arahnya.

"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara Lasmi.

"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.

"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.

"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"

"Heh...?!" Lasmi terkejut

Buru-buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan pengail itu membuang jorannya sambil bangkit berdiri. Dibukanya tudung yang menutupi kepala". Seketika mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua yang rambutnya telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya berwama putih.

"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.

"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He he he...," ujar laki-laki tua itu seraya terkekeh.

"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan terus bergerak mundur.

Sementara laki-laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat-cepat Lasmi berbalik dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya dan tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan baris-baris gigi yang kecil, masih teratur rapi.

"He he he.... Ke mana keperkasaan dan ke-angkuhanmu, Lasmi? Kau seperti seekor kelinci saja!"

Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah pucat, dan terus bergerak mundur sambil mendekap putranya erat-erat Sementara laki-laki tua itu semakin dekat saja.

"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"

"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.

Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki-laki tua itu sudah merengkuhnya. Lepas dari terkaman laki-laki tua itu, Lasmi langsung membalikkan tubuh dan berlari. Namun....

Bret!
"Auw...!"

Tangan laki-laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak. Tampak kulit punggung yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru-buru menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, laki-laki tua itu sudah merengkuhnya ke dalam peluk-annya.

"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak. "Huh! Aku tidak perlu bocah ini!" dengus laki-laki tua itu.

"Jangan...!"

Tapi laki-laki tua itu sudah merenggut anak laki-laki di dalam dekapan ibunya. Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh tersuruk ke tanah.

"Ibuuu...!" jerit anak laki-laki itu.

"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.

Tapi laki-laki tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Dicengkerarnnya tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja dilemparkan anak itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.

"Tidaaak...!"

"Ibuuu...!"

"Ha ha ha...!"

Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke udara, dan Lasmi hanya bisa meraung-raung. Laki-laki tua itu sudah mencekal tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung-raung sambil berusaha meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.

"Ibuuu..., tolooong...!"

Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi putranya yang tidak lama lagi bakal terbanting ke tanah. Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua ini. Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menyambar. Dan tahu-tahu di depan Lasmi berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.

Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu-tahu tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali cepat-cepat didorongnya tubuh Lasmi.

"Ahk...!" Lasmi terpekik.

Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap Lasmi. Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di batang pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi bersama Lasmi dan anak tunggalnya.

"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.

Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya hinggap di cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.

"Sial!" dengusnya.

Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan pemuda yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini begitu luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki-laki tua itu bersungut-sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan sekali, pertanda tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup tinggi.

"Monyet keparat...!"
***
DUA
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah. Perlahan-lahan dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya lurus tertuju pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Tampak seorang bocah tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang Lasmi yang beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alas ranjang bambu itu.

"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.

Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan ke pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.

Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat ini berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.

"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.

"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.

"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri. "Boleh aku tahu siapa namamu?"

"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah Lasmi berubah mendung. Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat kepalanya, langsung memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu sendu dan redup sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan kecantikan wajahnya.

"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.

"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang mengaku bemama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.

"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru-buru Lasmi berkilah.

"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar-kejar empat orang," jelas Bayu.

"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi memutuskan kalimatnya.

"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Untung tidak terlambat," sahut Bayu cepat

"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.

Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya. Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah, dan kain itu juga koyak di punggung.

"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi pakaian.

"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"

"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.

"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?" tanya Lasmi dengan pandangan agak dalam.

"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh membelakangi Lasmi.

Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian dia beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima, dan langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.

Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah. Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak buah jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan-akan tak mampu mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk menggigilkan.

"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?" Lasmi membuka suara lagi.

Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara," ujar Bayu.

"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"

"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk berteduh. Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu merendah.

"Ah...," Lasmi mendesah.

"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.

"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.

"Menjaga di luar."

Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke luar. Sebentar Lasmi memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Lasmi mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu duduk di samping-nya. Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir udara dingin.

Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api. Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa. Pendekar Pulau Neraka itu berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sama-sama menarik napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi pelan.

"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.

Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Digeleng-gelengkan kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang-panjang dan dihembuskan kuat-kuat.

"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.

"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat

"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.

Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum. Namun terasa hambar sekali, bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan Lasmi semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam dadanya. Dia ndak ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan nyawa.

"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.

"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.

Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam-dalam wanita di sampingnya. Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika melihat raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk. Dibiarkan saja pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas bayangan wajah suaminya. Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan pemuda tampan itu.

"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak. Katakan. Mungkin aku bisa mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.

Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas beberapa wajah di depan matanya. Wajah-wajah yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Wajah-wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka, dan telah memisahkannya dari suaminya untuk selama-lamanya. Lasmi mendesah panjang saat teriintas wajah seorang laki-laki tua dengan rambut putih, kumis dan jenggot yang juga putih panjang. Perlahan-lahan digeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang yang melintas di depan mata.

"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam," kata Bayu lembut.

"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang dipaksakan.

"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu jika kau terlalu lelah besok pagi," Bayu mencoba mendesak.

Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat ini perhatiannya harus tertumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam pondok. Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
***

Pagi-pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong anaknya yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya agak menyipit melihat Lasmi seakan-akan hendak pergi diam-diam. Bayu menghampiri dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di tempat Lasmi yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bayu.

"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.

"Ke mana kau akan pergi?"

Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi bola mata jernih di depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka. Saat ini memang masih terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit rona merah menyemburat dari pucuk-pucuk pepohonan di sebelah Timur.

"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya melangkah mundur beberapa tindak.

Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi Pendekar Pulau Neraka itu. Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun terasa sukar diungkapkan. Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di depan Bayu sekitar lima langkah jaraknya.

"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak ingin kau ikut terlibat. Maaf...," ucap Lasmi perlahan.

Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu, Kakang," kata Lasmi lagi.

"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari bibir Rendekar Pulau Neraka itu.

Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di depannya, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri tegak memandangi kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam gendongannya.

Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung Lasmi telah samar-samar terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik bayang-bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang. Tampaknya memang ada sesuatu pada diri wanita itu. Sesuatu yang seakan ndak ingin diketahui siapa pun, tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu dapat terbaca dari raut wajah maupun sorot matanya yang sangat lelah.

"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang-orang yang mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa-apa pada dirinya."

Entah kenapa, Bayu jadi bertanya-tanya tentang diri wanita yang mengaku bemama Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi measa cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan menyelinap di dalam hatinya?

Slap!

"Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini. Kecemasan Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah melihat empat orang laki-laki tua yang mengejar Lasmi. Sedangkan jelas sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.

Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Namun setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan tidak mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.

"Hm...," gumam Bayu pelan.

Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat ini menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang tebal. Dan Bayu teringat kata-kata empat orang tua yang mengejar Lasmi. Mereka sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.

Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pandangannya ke tanah berumput di sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus. Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak-jejak kaki Lasmi? Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
***

Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang-orang yang memadati jalan tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong anaknya.

Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan kakinya cepat sambil memeluk anak laki-laki yang berusia sekitar lima tahun erat-erat, seakan-akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada seorang pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.

Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal. Pintu yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang temyata sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki-laki kecil yang kelihatan tenang menyem-bunyikan kepalanya di dada.

"Bu...."

"Mudah-mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu perlahan.

Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat. Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada yang melihatnya.

Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit. Suara gerit engsel yang berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik kerudung tampak pucat. Sebuah kepala dari seorang laki-laki muda yang cukup tampan menyembul ke luar.

"Mau apa?" tanya laki-laki itu agak kasar.

"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.

"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya merayapi wanita yang berdiri di depan pintu.

Tapi belum juga ada jawaban, tiba-tiba laki-laki itu terbeliak melihat anak laki-laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru-buru dibukanya pintu lebar-lebar, lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah menoleh sebentar ke belakang.

"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki-laki itu setengah berbisik, seakan takut terdengar orang lain.

"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan kerudung yang menutupi wajahnya.

Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang wanita bemama Lasmi. Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut saja sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah berbisik.

Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah menundukkan kepala. Tangannya yang berjari lentik halus mengeius-elus rambut bocah kecil di dalam gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat-erat. Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung pada titik bola matanya.

"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di pondokku," usul Parita pelan.

"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat suaranya.

"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku ingin mendengar ceritamu. Ayo...?"

Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka kemudian berjalan bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal. Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan sedikit hidung bagian atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang dalam gendongan.

Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri jalan kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi, tidak seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan bersih.

Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati pondok. Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok, dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.

"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.

Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya tersenyum, lalu masuk ke dalam pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian tubuhnya berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang pintu.

"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak berkaca-kaca.

"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.

"Kenapa?"

"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."

Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata-kata pemuda itu. Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. Temyata bocah itu sudah tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam gendongan seharian penuh. Parita mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar. Lasmi menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul lagi.

"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.

"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.

"Kenapa tidak menikah saja?"

Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan Lasmi jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup sendiri sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.

Bagi murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan memang ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah membedakan ilmu apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah sama. Yang penting tergantung dari yang menggunakannya.

"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus menjaga agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya bangkit berdiri.

"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.

"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.

"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"

"Mungkin dua atau tiga hari lagi."

Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi, pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi di masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan Lasmi.

"Parita...," pelan suara Lasmi.

"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan wanita itu.

"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.

"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.

"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu diingat lagi," ujar Parita lembut.

"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu seperti ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.

"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahatlah. Kau pasti letih. Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.

Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman tipis, dan sebentar saja. Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang, rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau sekali, mirip gembel jalanan.

Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan. Digenggamnya tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam-dalam. Parita membalas menggenggam tangan itu, dan menepuk-nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah senyuman, tapi sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.

"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk Maringgih sedang bersemadi," pamit Parita seraya bangkit berdiri.

"Kau melatih sekarang, Parita?"

"Ya, coba-coba saja," sahut Parita nyengir.

Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini. Lasmi mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu setelah Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dipandanginya bocah laki-laki yang tampak lelap dalam tidumya. Tersungging sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan kamar itu.
***
TIGA
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika seorang laki-laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu, kalau pemuda itu adalah murid padepokan ini.

"Ada apa?" tanya Parita.

"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi," sahut pemuda belasan tahun itu.

Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik semadi yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga hatinya, karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi. Belum pemah hal ini terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tengah melakukan semadi.

Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi. Hatinya masih bertanya-tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang terasa amat aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu yang tertutup itu.

"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.

Parita membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan. Tampak di tengah-tengah ruangan duduk bersila seorang laki-laki berjubah putih dengan ikat kepala putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya yang panjang berwama putih. Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan terkepal di depan dada.

"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki-laki tua itu.

Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki-laki tua berusia hampir seratus tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam, mengandung daya pancar kewibawaan yang sangat besar.

"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa hormat.

"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai menutupi leher.

Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.

"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk Maringgih.

Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan malah semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita juga kagum luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi, ternyata laki-laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya. Itu merupakan suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar-benar sudah sempurna dalam kemurnian jiwa dan raganya. Laki-laki tua ini bagaikan manusia setengah dewa.

"Kau terkejut, Parita?"

"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata-kata lagi.

"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak menyalahkan, tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.

"Segera, Datuk," sahut Parita.

Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian keluar dari bilik semadi itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka pintu bilik semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah kosong, tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.

"Oh...," desah Parita kagum.

Bergegas laki-laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali. Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat padanya.
***

Ragu-ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih. Kepalanya menoleh, memandang Parita yang berada di belakang.

"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu," desak Parita.

"Aku takut..," pelan suara Lasmi.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!" terdengar suara dari dalam.

Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedangkan Parita hanya menggerakkan kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi mendorong pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk. Sementara Parita masih mengikuti dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk memandang laki-laki tua itu yang duduk di sebuah dipan kayu beralaskan permadani tebal berwama hijau daun. Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita mengikuti, duduk bersila di sampingnya.

"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada suara Datuk Maringgih.

"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.

"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.

Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita, lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.

"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.

Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri tidak tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...

"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri. Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari laki-laki yang kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk Maringgih.

"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.

Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita.

"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan sudah bertekad menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.

Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.

"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga seorang pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar-pendekar muda. Tapi aku tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.

'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah," sergah Lasmi seraya mengangkat kepalanya.

"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir. Terus terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak laki-lakimu."

"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"

"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar yang berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."

"Ayah...."

"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk Maringgih cepat.

Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan napas panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.

"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.

"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.

"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut

"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk Maringgih.

Lasmi kembali diam membisu.

"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah.... Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih pelan.

"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."

"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.

"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."

Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun, ayahnya melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air matanya baru bisa ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah mengabaikan segala nasihat dan kata-kata laki-laki tua yang sangat dihormati ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.

Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki-laki tua ini masih mau menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang telah terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan Datuk Maringgih padanya.

"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk Maringgih.

Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita. Rasanya sulit untuk mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang bisa dilakukan hanyalah menuruti kata-kata ayahnya, tanpa mampu membantah lagi.

"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari ruangan ini.

"Wijaya," sahut Lasmi.

"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.

Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Lasmi. Sebentar ditatapnya anak laki-laki di dalam gendongan wanita itu. Tangannya terulur dan membelai kepala bocah itu. Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan menerima Wijaya dengan penuh kasih.

Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan hatinya ketika laki tua itu mencium ubun-ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa menggigit-gigit bibirnya sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.

"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk Maringgih, agak tertahan suaranya.

Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki-laki tua itu dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pemah didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak ingin di hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.

Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai anaknya lenyap di balik pintu. Laki-laki tua berjubah putih itu menarik napas dalam-dalam. Rupanya Lasmi sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang langsung pecah begitu sampai di luar ruang pribadi. Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk bersila dengan kepala tertunduk. Laki-laki tua itu kembali duduk di tempatnya semula.

"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah menarik napas panjang.

"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.

"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga," desah Datuk Maringgih dalam.

Perlahan-lahan Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun melihat wajah laki-laki tua itu murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini. Biasanya Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi meninggalkannya bersama Sundrata, laki-laki tua ini tidak menampakkan kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang ini.... Belum pernah Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu mendung.

"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar kau bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu," pinta Datuk Maringgih.

"Baik, Datuk," sahut Parita.

"Hm...."
***

Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar. Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun, berjalan-jalan mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.

Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan dibesarkan. Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak bisa keluar dari Desa Kaung. Lasmi benar-benar menikmati udara segar di pagi hari ini sambil mengenang saat-saat ketika masih tinggal di sini, di lingkungan yang terpisah dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning berdiri di tengah-tengah sebuah desa yang besar dan ramai.

"Pagi yang indah, Lasmi...."

"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.

Lasmi tersenyum saat Parita tahu-tahu sudah berada dekat di sampingnya. Pemuda itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak. Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak Parita. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan ini.

"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.

"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...! Kau tidak memanggilku kakak lagi, Parita?"

"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa. Baru semalam...."

"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya di telinga."

"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."

"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."

"Untuk menghilangkan ketegangan."

"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."

Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan. Dia tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya Parita cukup rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.

"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata Lasmi.

Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari gadis lain. Lasmi ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan Bambu Kuning ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan apa pun juga.

Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja. Keterusterangan Parita dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya Parita memang bukan bergurau. Kata-katanya itu dibuktikan hingga sekarang.

"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.

Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap pemuda di sampingnya. Mereka terus berjalan perlahan-lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.

"Apa kau benar-benar tidak mengenal orang-orang yang membunuh suamimu?" tanya Parita, serius nada suaranya.

"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya. "Kenapa kau tanyakan itu, Parita?"

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu mereka dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.

"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas dendam, Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan titik penyelesaian yang tak akan pemah berakhir sepanjang masa."

"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu, tentu tidak akan kubiarkan begitu saja."

"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.

"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.

Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang nembuat Lasmi sukar untuk melupakan adalah kemunculan seorang laki-laki tua yang tentu sudah sangat dikenalnya.

Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang menolongnya pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya sekarang. Yang pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan berkemampuan tinggi sekali.

"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.

"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.

Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung berlari-lari mendahului. Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah memikirkan apa-apa selain kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua yang pemah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir merenggut nyawanya.

"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.

"Katakan saja," sahut Parita.

"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi seperti untuk dirinya sendiri

"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.

"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."

"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"

"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling-paling yang dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal. Dan Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin, hanya itu. Tidak lebih...!"

"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu," tegas Parita bema-da lembut.

"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat-sifat ayahnya. Bahkan justru memusuhi anak buah ayahnya. Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak sedikit Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa. Bahkan yang tidak ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."

Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata, ada kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita tidak pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.

"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau tidak membantu?" tanya Parita mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus memuji-muji mendiang suaminya.

"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.

"Kenapa?"

"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."

Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam -dalam.

"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki-laki tua yang sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang aku tidak tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."

"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"

Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tidak mungkin hal ini diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan bisa membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar bagi Lasmi untuk membayangkannya.
***
EMPAT
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya dalam-dalam. Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap racun dalam tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan ilmu tenaga dalam. Dan laki-laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun seperti itu. Hanya saja yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?

"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita. Permintaan yang sudah beberapa kali diucapkan.

"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin membocorkan rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.

"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.

"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.

"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena ditolong seseorang, Datuk," sahut Parita.

"Siapa?"

"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang itu masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."

"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.

"Datuk mengenalnya?"

"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar Pendekar Pulau Neraka sering kudengar."

"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.

"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya terkadang masih menggemaskan."

"Maksud, Datuk?"

"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun lawan-lawannya. Ilmunya memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan kepala.

"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.

"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk Maringgih malah balik bertanya.

"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.

"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan undanganku padanya," perintah Datuk Maringgih.

"Datuk mengundangnya...?"

"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman dengannya."

"Baik, Datuk."

"Cepatlah, jangan sampai keduluan yang lain. Terutama...." terdengar ketukan di pintu. Laki-laki tua itu menatap pintu, demikian pula Parita.

"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.

Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun. Dia menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.

"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.

"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.

"Siapa?"

"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Katanya ingin bertemu langsung dengan Datuk."

"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.

Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi Datuk Maringgih cepat mencegah. Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning menyingkir memberi jalan. Parita mengikuti dari belakang.
***

Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari bulu binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.

"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?" tanya Datuk Maringgih.

"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa lantang.

"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.

"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak Ki Rampoa lantang.

"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih terkejut.

"Kau jangan berpura-pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke sini setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh! Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh menentangku. Benar-benar licik!"

"Jaga kata-katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.

"Seharusnya kau jaga anakmu!"

"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.

"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Serahkan Lasmi, atau kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan bemada ancaman.

"Tidak dua-duanya!" tegas Datuk Maringgih.

"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih keduanya," kata Ki Rampoa.

"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.

"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak.

Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam kemarahannya. Sikap dan kata-kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah sedang diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang menginginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.

Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang-nya, hanya saja namanya belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa dengan memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya, mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut-larut, meskipun putra-putri pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga bisa membuat kedua kelompok itu menyatu. Bahkan kini malah semakin genting.

"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung, dan bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali suara Ki Rampoa.

Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.

"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi. Ingat! Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan tentunya Lasmi akan berada di tanganku.

Ha ha ha...!"

Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi. Suara tawanya terus bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam memandangi dengan wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.

Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya, kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam. Sedikit pun wanita itu tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tua itu.

"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.

Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata itu. Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan mata ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus dilakukan. Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah dari suaminya.

"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi mencoba bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.

"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa," tegas Lasmi.

"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh?!" rungut Datuk Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.

"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi pertumpahan darah di sini.

"Lasmi rela meskipun mati."

"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!" tegas kata-kata Datuk Maringgih.

"Tapi...."

"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.

"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang? Ayah ingin melihat padepokan yang kita cintai ini hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan mengatakan kalau putri seorang Guru Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya hanya berlindung di ketiak ayahnya. 

Apa kata sahabat-sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah mengorbankan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah lari bersama laki-Jaki putra musuhnya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak keras nada suara Lasmi.

Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu. Sungguh tidak diduga kalau Lasmi akan berkata begitu. Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya. Tapi juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan kalau hal itu sampai terjadi, cibiran akan datang lebih menyakitkan lagi. 

Datuk Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di tangan seorang pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan...? Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan Bambu Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena! menelorkan pendekar-pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.

"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.

"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."

"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk Maringgih cepat.

"Baik, Ayah."

Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih terduduk di kursi dengan wajah kusut Memang sukar mengambil keputusan dalam saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena merasa dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat ayahnya. Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan adanya kepurusasaan. Dan ini belum pemah dialami Lasmi. Kepurusasaan itu datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
***

Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain dari biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah-wajah penghuninya. Malam begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga menyelimuti seluruh Desa Kaung. Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu sudah diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka ini mengepung Padepokan Bambu Kuning.

Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan menikmati udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan taman samping bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali kejadian siang tadi tidak dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya sejak petang tadi tidak dipedulikan.

"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa berat.

"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.

"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad. Aku tahu kau putus asa, karena...."

"Tidak," potong Lasmi cepat.

"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti semula," nada suara Parita terdengar membujuk.

"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki Rampoa hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."

"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri. Dia pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang memanfaatkannya. Dan kau tahu, siapa-siapa saja orangnya," kata Parita lagi.

Lasmi terdiam.

"Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi. Aku tidak lagi melihat Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus asa," keluh Parita pelan.

"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata Lasmi seraya bangkit berdiri.

Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum juga pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat-kuat.

"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku memang sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan memendamnya terus menerus," jelas Parita sungguh-sungguh.

Lasmi hanya diam saja.

"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu? Apakah terlalu hina di matamu?" sambung Parita lagi.

Lasmi masih tetap diam.

"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu yang membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu. Dan itu tidak akan bisa kubalas sampai mati. Yaaah.... Aku memang tidak sepadan denganmu. Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat seperti ini," keluh Parita.

Lasmi memandang pemuda itu dalam-dalam. Sementara Parita melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya, mereka hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser kakinya, dan duduk di kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di samping wanita itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.

"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah kecil yang melingkar di pembaringan.

"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.

"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata. Lagi pula bukan kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita yang terakhir.

Lasmi menatap pemuda itu dalam-dalam.

"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak akan melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani mengungkapkan perasaan hatinya.

"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.

"Aku tidak peduli."

"Aku bekas istri orang yang...."

"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam-macam alasan lagi darimu, Lasmi. Bagiku kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."

"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan. Aku tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang di tubuhku sewaktu-waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."

"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin mempertebal rasa cintaku padamu."

"Parita..."

"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi" desak Parita.

"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur panjang, aku akan memberi jawaban yang kau minta."

"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki Rampoa," sahut Parita.

Lasmi hanya tersenyum saja.

"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.

"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti," sahut Lasmi.

"Kau jangan macam-macam, Lasmi."

"Tidak! Kau lihat saja nanti."

"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."

Lagi-lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju ke pembaringannya. Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita masih duduk di kursi memandangi.

"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.

Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring menelentang. Tampak bagian dadanya yang membusung sungguh indah dipandang. Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.

"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.

Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak. Tubuhnya mengejang seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini. Pintu sudah tertutup rapat.

"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.

Inilah ciuman pertama dari seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sungguh tidak diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti, kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut dan.... Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pemah merasakan hal serupa dengan yang sekarang.

Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia tidak bisa tidur ketika pertama kali Sundrata mencium bibimya. Dan selama tiga hari masih terasa terus. Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang lagi. Apakah malam ini dia tidak bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman pertama, tapi yang pertama dari laki-laki lain.

"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?" desah Lasmi lirih.

Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah. Sampai-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat. Tapi Lasmi memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang berani mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa dikatakan laki-laki pendiam dan tertutup pada gadis-gadis. Padahal dia cukup tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.

Lasmi benar-benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita benar-benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan mengintip keluar.

"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.

Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah duduk memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru-buru Lasmi menutup pintu dan membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.

"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya sendiri.

Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan dirinya dan dicobanya untuk melupakan pemuda itu. Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam hati.

"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta! Edan...! Kenapa jadi begini...?" Lasmi memaki-maki dirinya sendiri.

Sementara malam terus beranjak semakin larut. Beberapa kali mulutnya mengumpat, mencoba melupakan bayang-bayang wajah Parita. Bahkan menggantinya dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras berusaha, bayangan wajah suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin jelas mengganggu pelupuk matanya.

"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
***