Pendekar Rajawali Sakti 110 - Sekutu Iblis(2)

LIMA
Rangga dan penjaga rumah kepala desa itu belum sampai di tempat kediaman Ki Wangsa, namun sudah berpapasan dengan seorang perempuan setengah baya. Wajahnya cantik. Dan didampingi se¬orang perempuan tua. Ketika telah beberapa tombak, laki-laki yang berada di sebelah Rangga menjura hormat.

"Nyai.... Aku telah membawa pemuda ini. Kenapa Nyai sampai keluar begini jauh.

"Terima kasih, Patijan. Kau di sini saja bersama Mbok Jayeng. Aku ingin bicara sebentar dengannya. Ingat! Jangan ceritakan hal ini pada suamiku!"

"Baik, Nyai," sahut kedua orang itu bersamaan.

Perempuan setengah baya itu kemudian berpaling ke arah Rangga, lalu tersenyum getir. Kemu¬dian tubuhnya membungkuk, memberi salam penghormatan.

"Aku Nyai Wangsa, istri Kepala Desa Watu Jajar."

"Ya.... Aku pun telah tahu dari Patijan. Namaku Rangga, Nyai," sahut Rangga sopan.

"Rangga, aku ingin meminta pertolonganmu. Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Wangsa.

"Pertolongan apa gerangan, Nyai?" tanya Rangga heran.

"Orang-orang desa mengatakan kalau kau adalah pengacau. Tapi aku tahu kalau sesungguhnya kau ingin berbuat baik pada kami. Sebenarnya, me¬reka hanya takut akan malapetaka yang akan menimpa jika bercerita pada orang luar. Sebab, hal itu seringkali terjadi. Bagi siapa saja yang menceritakan kejadian di desa ini pada orang luar, tak lama ke¬mudian kedapatan tewas. Sehingga, tak seorang pun yang berani membuka mulut. Terlebih-lebih suamiku yang menjabat kepala desa ini, ikut andil di dalamnya," jelas Nyai Wangsa lirih.

"Nyai, aku tak mengerti maksudmu...," kata Rangga, ragu mengutarakan kecurigaannya.

"Hm, ya. Aku sadar. Kau tentu curiga, karena aku istri kepala desa bukan? Ketahuilah. Aku telah lama menentangnya. Tapi, dia tak peduli. Dan lagi pula, aku tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan di desa ini. Aku hanya seorang perempuan lemah" sahut wanita setengah baya itu lirih.

Rangga diam memperhatikan, seolah mencoba meyakini kebenaran kata kata wanita itu.

"Tolonglah kami, Rangga. Tak seorang pun warga desa ini yang mampu menolong dirinya sen¬diri. Lepaskanlah kami dari belenggu yang tak mampu kami buka. Untuk saat ini, hanya kaulah satu-satunya harapan yang bisa menolong kami...." lanjut Nyai Wangsa.

"Nyai, aku akan berusaha semampuku. Yang penting berdoalah semoga aku berhasil. Nah! Tolong ceritakan, apa yang kau ketahui mengenai dewa gadungan itu," sahut Rangga dengan suara pelan.

"Hm.... Betul dugaanku. Ternyata kau pun sependapat kalau dewa itu memang gadungan. Namanya, Datuk Kraeng. Dia seorang tokoh hitam yang berkepandaian tinggi. Saat ini, orang itu sedang mempelajari ilmu hitam yang dahsyat sekali. Kau harus mencegahnya, sebab akan semakin ba¬nyak korban yang berjatuhan!"

"Dari mana kau mengetahui semua itu?"

"Patijan itu orang kepercayaanku. Dan dia kusuruh menguntit suamiku, ketika sedang pergi ke rumah kakaknya."

"Lalu?"

"Ternyata, dia dan kakaknya sama saja! Mereka berkomplot!" dengus wanita itu geram.

Rangga memandang heran, dengan kening berkerut dalam.

"Siapa yang kau maksud dengan kakak suamimu, Nyai?"

"Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Sukoco!"

"Ki Ageng Sukoco? Siapa dia?" tanya Rangga, semakin heran.

"Ah, maaf Rangga. Tentu saja kau tak tahu, karena bukan orang sini. Ki Ageng Sukoco adalah Ketua Perguruan Kelabang Emas yang sangat terkenal dan ditakuti seluruh penduduk Desa Watu Jajar," jelas Nyai Wangsa seraya menunjuk letak perguruan yang berada di sebelah timur desa.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.

"Ada hal lain yang perlu kau ketahui, Rangga..."

"Apa itu?"

"Dewa gadungan itu tidak hanya sekadar meminta korban. Mereka, melalui Ki Ageng Sukoco, berdagang benda terlarang di desa ini. Benda keparat itulah yang membuat penduduk Desa Watu Jajar sengsara, lemah, dan tak berdaya. Semangat mereka mati, sehingga mudah diperbudak," jelas Nyai Wangsa.

"Benda apa itu, Nyai?" tanya Rangga, semakin ingin tahu.

"Candu! Desa ini telah dipenuhi pemadat yang membuat pikiran sehat terlena," jelas Nyai Wangsa lagi.

"Astaga! Sungguh keji perbuatan mereka. Orang-orang seperti itu tak bisa dikasih hati!" geram Rangga.

"Rangga, bersungguh-sungguhkah kau ingin menolong kami?"

"Nyai, aku berjanji! Mereka tak akan kubiarkan begitu saja menyengsarakan orang banyak!" tegas Rangga.

"Tapi..., ada satu permintaan lagi," tambah wanita setengah baya itu sambil memalingkan wajah lesu.

"Apa itu?"

"Kalau kelak suamiku ikut terlibat, aku mohon jangan celakakan dia. Sebetulnya, dia bukan orang jahat..,," lirih suara Nyai Wangsa.

Rangga diam tak menjawab

"Rangga! Kau bersedia bukan, memenuhi permintaanku itu...?"

"Aku akan berusaha mengingatnya, Nyai..."

"Terima kasih. Kalau begitu, kami permisi dulu..." ucap Nyai Wangsa.

"Nyai, awasss...!" teriak Rangga.

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah wanita itu sambil mendorong tubuhnya. Hingga, wanita itu jadi terjajar beberapa langkah ke samping. Pendekar Rajawali Sakti lalu bergerak cepat, mengibaskan kedua tangannya ke depan. Dan.... Tap! Tap!

Wanita itu tersentak kaget dengan apa yang dilakukan Rangga, namun segera menyadari ketika beberapa bilah pisau menyambar ke arahnya. Kalau saja pemuda itu tak mendorongnya, niscaya pisau-pisau itu akan menembus tubuhnya!

Rangga telah menangkap dua bilah pisau yang tadi melesat, lalu setelah itu dilemparkannya pisau-pisau itu kembali pada sesosok tubuh yang hendak melesat pergi dari sebuah cabang pohon yang tak begitu jauh dari tempat mereka bicara tadi.

Wesss...! Wesss...!
"Hiyaaa...!"

Orang berpakaian serba hitam itu langsung berjumpalitan menghindari serangan balik Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat itu Rangga telah me¬lesat cepat ke arahnya sambil mengirim pukulan jarak jauh lewat telapak tangan kanan.

"Heaaa...!"
Bukkk!
"Uhhh...!"

Tubuh orang berpakaian serba hitam itu kontan terlempar ke bawah sambil mengeluh kesakitan, be¬gitu kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti meng¬hantam dadanya. Dia terus bergulingan, kemudian langsung melenting bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Rangga kembali melesat sambil melepaskan pukulan ke arah dada. Dengan gerakan mengagumkan, laki-laki berbaju serba hitam itu mengibaskan tangan kiri untuk menangkis, seraya mengayunkan satu tendangan keras.

Plak!

Sebuah benturan keras terjadi. Namun, tidak ada seorang pun yang terpengaruh oleh benturan itu. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti juga cepat menghindar ke samping untuk menghindar dari tendangan. Tubuhnya lalu berputar cepat, menga¬yunkan tendangan setengah lingkaran ke pinggang lawan. Namun orang berpakaian serba hitam itu te¬lah melompat ke belakang, sehingga terhindar dari nasib sial. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terus melenting mengikuti. Agaknya, pemuda itu kali ini tak mau melepaskan lawannya. Bahkan tangannya cepat menyodok dada, sedang orang itu menangkis dengan tangan kiri.

Plak!
"Uhhh...!"

Tapi pada benturan kali ini, orang berpakaian serba hitam itu mengeluh kesakitan. Dan Rangga tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tangan kirinya cepat bergerak, menotok jalan darah di tubuh lawan.

Tuk!
"Akh!"

Orang berpakaian serba hitam itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh tak berdaya. Matanya mendelik garang ketika Pendekar Rajawali Sakti melangkah dan berdiri di hadapannya.

"Pengecut! Bunuh saja aku daripada dilumpuhkan begini!" dengus orang itu geram.

Rangga tak langsung menjawab. Matanya malah memandang ke arah Nyai Wangsa beserta kedua pembantunya. Wajah mereka kelihatan ketakutan sekali. Rangga lalu menghampiri sambil tersenyum kecil berusaha meyakinkan mereka.

"Nyai, percayalah. Aku akan membereskan orang itu. Sekarang, kalian pulanglah. Orang itu tak akan membahayakanmu..."

"Tapi..."

Rangga kembali tersenyum. "Tidak. Aku berjanji, dia tak akan membahayakan keselamatanmu!" tegas Pendekar Rajawali Sakti.

Nyai Wangsa memandang sekilas pada orang berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam pula. Kemudian matanya memandang ke arah Rangga sambil mengangguk pelan.

"Baiklah. Aku percaya kata-katamu. Kami permisi dulu. Oh, ya. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu mau membantu kami...," ucap Nyai Wangsa.

"Kau tak perlu berkata begitu. Membantu sesama adalah kewajiban setiap manusia. Silakan, Nyai...," sahut Rangga.

Nyai Wangsa dan dua orang yang membantunya segera berlalu dari situ. Langkah mereka tampak terburu-buru, seperti takut ada yang mengawasi. Rangga memandang ketiga orang itu beberapa saat lamanya, sampai ketiganya hilang di ujung jalan. Kemudian kakinya melangkah mendekati orang bertopeng hitam itu, dan kembali berdiri tegak di hadapannya.

"Lepaskan aku, Keparat!" dengus orang itu garang dengan mata melotot lebar.

"Apa yang akan kau lakukan jika kulepaskan...?" tanya Rangga tenang.

"Huh! Aku akan mengadukan wanita itu, biar suaminya menghukum kelancangannya! Baru setelah itu, membunuhmu!"

"Sadarkah kau bahwa aku bisa membunuhmu sekarang juga?" kata Rangga, sambil tersenyum kecil.

"Huh! Lakukanlah kalau memang itu maumu!"

"Membunuhmu adalah persoalan mudah, Kisa¬nak. Tapi, itu amat enak bagimu. Kau akan mati dengan cara amat menyakitkan!" ancam Rangga, dingin.

"Apa maksudmu?!" sentak orang bertopeng itu.

"Maksudku begini... "

Rangga tak melanjutkan kata-katanya. Namun tiba-tiba ditendangnya perut orang itu dengan ujung kakinya.

Begkh!
"Aaakh...!"
"Dan begini...!"
Duk!
"Aaakh...!"

Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti menghantam dengan tendangan bertubi-tubi, sehingga tubuh orang itu terpental dan terjungkal beberapa kali sambil menjerit kesakitan. Kemudian Rangga menghentikan hantamannya ketika orang itu terlihat mulai megap-megap dan sulit bernapas. Dari mulutnya berkali-kali memuntahkan darah kental.

"Ini baru permulaan. Dan kau akan mendapatkan yang lebih hebat kalau tak memberi tahu orang yang menyuruhmu membunuh wanita itu...," kata Rangga dingin sambil memandang tajam pada lawannya.

"Keparat! Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, daripada disiksa begini! Ayo, bunuh aku!" teriak orang itu dengan amarah meluap-luap.

"Bukankah telah kukatakan, kalau hanya untuk membunuhmu adalah soal mudah. Tapi, sebaik¬nya nikmati dulu buah hasil dosa-dosamu selama ini!"

Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti berjongkok. Lalu dua buah jari kanannya kembali menotok beberapa jalan darah di tubuh orang bertopeng itu. Akibatnya, orang itu memekik kesakitan, karena aliran darahnya jadi tak beraturan. Maka tentu saja hal itu menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Apalagi, karena dia telah mengalami luka dalam yang cukup parah, akibat hajaran Rangga tadi.

"Nah! Selamat menikmati kematianmu sesaat lagi...," kata Rangga tenang, seraya bangkit dan berjalan meninggalkannya begitu saja.

"Keparat! Hei, mau ke mana kau?! Hentikan perbuatanmu! Hentikan! Aku akan mengatakannya padamu...!" teriak orang bertopeng itu.

Nah. katakanlah , sahut Rangga tenang sambil berbalik.

"Kembalikan keadaanku seperti semula, baru kukatakan padamu!"

"Hm.... Kau masih mempermainkanku, Kisanak. Kalau begitu, biarlah kau kutinggal saja di sini sampai menemui ajal," sahut Rangga kembali ber¬balik.

"Baiklah, akan kukatakan...!"

"Katakan saja, dan jangan berbelit-belit. Siapa orangnya?!" bentak Rangga tanpa berbalik.

"Orang itu..., Ki Ageng Sukoco...."

"Hm, bagus. Kalau begitu, istirahatlah saja di sini dulu!"

Bersamaan dengan selesai kata-katanya. Rangga cepat menghampiri orang itu. Kemudian dikembalikannya aliran darah laki-laki berbaju hitam itu seperti semula. Namun, totokannya tak dibebaskan. Malah, ditambahkannya dengan totokan yang da¬pat membungkam suara orang itu. Rangga lalu membawanya ke semak-semak yang tertutup, kemudian meninggalkannya di situ.

"Totokan itu akan membuatmu terbaring di sini seharian lamanya. Dan setelah itu, teman-temanmu akan kuringkus. Begitu juga dengan kau!" kata Rangga sebelum melesat ke satu arah. Sedangkan Dewa Bayu dibiarkannya merumput sendiri. 

***

Senja telah berlalu, ketika Rangga tiba di depan pintu gerbang Perguruan Kelabang Emas. Dengan mengendap-endap, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengintai apa yang terjadi di dalamnya. Per¬guruan yang halamannya luas dan dipagari oleh jajaran batang kayu rapat-rapat setinggi satu tombak itu terlihat sepi. Di depan rumah terlihat beberapa penjaga saja yang hilir mudik. Dan agaknya mereka mulai tugas jaga malam.

Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat ke atas, dan mendarat manis di sebuah cabang pohon di atasnya. Dia terus meloncat dari cabang pohon ke cabang pohon lain, menuju arah samping bangunan utama yang terletak di tengah-tengah halaman. Kini Pendekar Rajawali Sakti telah berada di dalam lingkungan bangunan itu. Di sebelah rumah utama yang besar itu masih terdapat barak-barak tempat tinggal para murid. Rangga terus menerobos masuk sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Dia mendarat di atas genteng, dan langsung merapatkan tubuhnya.

"Hm, sepi sekali. Jangan-jangan mereka te¬lah mengetahui kedatanganku...," gumam Rangga perlahan, terus tiarap di atas salah satu atap sebuah bangunan.

Sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' yang dimilikinya, Pendekar Rajawali Sakti terus mendekati bangunan utama dengan hati-hati sekali. Begitu tiba di bangunan utama, Rangga segera membuka sebuah genteng dan melihat ke bawah. Tak terlihat siapa-siapa. Suasana terlihat sepi, sehingga pemuda itu semakin curiga saja jadinya. Di periksanya ruangan lain, tapi juga hanya terlihat beberapa orang saja. Tak ada satu ciri-ciri pun yang dikatakan Nyai Wangsa tentang orang tua bernama Ki Ageng Sukoco. Pemuda itu tak habis pikir.

Dan kecurigaannya semakin menjadi-jadi saja. Maka dia bermaksud mencari tahu keadaan di tempat itu. Dan tentu saja dia harus menanyai salah seorang murid Perguruan Kelabang Emas. Rangga lalu segera turun dari atap, dengan gerakan tanpa suara. Tubuhnya langsung menyelinap di balik sebuah dinding bangunan ketika salah seorang murid Perguruan Kelabang Emas berjalan mendekati tempat itu. Begitu telah dekat, Rangga cepat melumpuhkan orang itu.

Tuk!
"Ohhh....!"

Begitu orang itu ambruk, Rangga menahan. Lalu Pendekar Rajawali Sakti menyeretnya ke tempat gelap sambil mendekap mulut orang itu.

"Jangan berteriak! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" ancam Rangga.

Orang itu memelototkan matanya dengan geram. Sementara, tangan kanan Rangga langsung mencekik keras lehernya.

"Aku tak ada waktu! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco?! Atau, kau mampus sekarang juga?!" desis Rangga geram.

"Eeekh... kekh...!"

"Kalau kau mau menjawabnya, cukup memberi isyarat dengan berdiam diri. Tapi kalau kau tak ingin mampus, jangan coba-coba berteriak!" ancam Rangga lagi.

Orang itu diam tak bersuara, sehingga Rangga melepaskan dekapan mulutnya. Namun, cekikan dari belakang leher orang itu tak dilepaskan. Hanya dikendurkan saja sedikit.

"Nah! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco?" "Dia tak di sini..."

"Jadi di mana?"

"Di pantai. Menjemput barang yang datang bersama beberapa orang murid utama..." sahut orang itu.

"Pantai? Pantai apa? Dan, di mana tepatnya mereka berada?"

"Dekat dua buah karang yang tinggi dan besar, serta di tengahnya bolong mirip sarang burung walet. Nama tempat itu, adalah Pantai Walet," jelas orang itu lagi.

"Satu lagi. Siapa yang memberi perintah agar Nyai Wangsa dibunuh?"

"Eh! Aku..., aku tak tahu...."

"Jangan berbohong!" Rangga mengancam dengan mengencangkan cekikannya.

"Ekh...! Hek..., lepaskan dulu. A..., aku tak berdusta...."

"Katakan yang benar!" sentak Rangga kembali mengendurkan cekikannya.

"Sungguh! Aku tak berdusta! Aku sama sekali tak tahu, siapa yang akan membunuh Nyai Wangsa. Ki Ageng Sukoco tak mungkin melakukannya, karena dia adalah adik iparnya sendiri!"

"Keparat! Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan topeng hitam pula. Dan dia mengaku, kalau Ki Ageng Sukoco telah membe¬ri perintah padanya untuk membunuh Nyai Wang¬sa!" geram Rangga.

"Astaga! Itu pasti orang-orangnya Datuk Kraeng! Kisanak! Aku berkata yang sesungguhnya. Ki Ageng Sukoco tak mungkin hendak membunuhnya. Lagi pula, kami tak pernah berkeliaran di desa dengan menggunakan pakaian serba hitam. Itu adalah seragam anak buah Datuk Kraeng...," sahut orang itu, terkejut.

"Hm.... Di mana Datuk Kraeng berada?"

"Di bukit kecil dekat Pantai Walet. Di situ terdapat sebuah goa yang menghadap ke utara. Di sanalah tempat tinggalnya."

"Bagus. Nah, sekarang istirahatlah dulu!"

Tuk!

Rangga cepat menotok urat suara orang itu, sebelum membuka dekapan pada mulut. Dan Pen¬dekar Rajawali Sakti cepat melesat menuju Pantai Walet. 

***
ENAM
Pendekar Rajawali Sakti memacu Dewa Bayu bagai dikejar setan saja. Untung saja, kuda hitam itu mampu berlari lebih cepat dari kuda biasa. Apalagi, kuda itu bukan kuda sembarangan. Seekor kuda yang memiliki daya tahan luar biasa! Sehingga tak heran bila sekarang Pantai Walet sudah kelihatan. Kini Pendekar Rajawali Sakti mengendurkan lari kudanya.

Dari kejauhan terlihat sebuah perahu layar yang berlabuh di pantai. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling, tampaklah sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Letaknya memang tak begitu jauh dari karang bolong yang berbentuk sarang burung walet itu.

"Hm… Ternyata murid Ki Ageng Sukoco itu berkata benar. Tapi, aku mesti hati-hati. Jangan-jangan dia berdusta. Bisa saja ketika aku memasuki goa, ternyata sebuah perangkap..." kata Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya, lalu melompat turun dengan gerakan indah. Kemudian kudanya ditambatkan di sebuah pohon nyiur, dan perlahan-lahan mendekati arah pantai. Tampak perahu-perahu kecil di bibir pantai. Beberapa orang juga tengah membongkar isi perahu-perahu, dan membawanya ke atas bukit.

"Hm… Kalau begitu, apa yang dikatakan orang itu ternyata benar. Aku harus bertindak sekarang...!" desis Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti langsung bergerak dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sempurna, menuju ke bukit kecil itu. Sementara berbagai macam pertanyaan terus bergayut di benaknya.

"Apakah peti-peti yang dibawa orang tadi berisi candu? Apa benar Ki Ageng Sukoco yang merupakan ketua perguruan silat justru malah meracuni penduduk Desa Watu Jajar dengan candu? Mengapa dia begitu tega?"

Rangga belum bisa menjawabnya. Sementara, kakinya terus melangkah. menaiki bukit kecil yang kini menghadang. Namun baru saja Rangga menemukan goa yang dimaksud...

"Heh, siapa kau?!" Terdengar bentakan keras, sehingga membuat langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti.

"Dia pasti memata-matai kegiatan kita di sini! Sebaiknya tangkap dan bunuh saja!" sambut sebuah suara lagi.

Maka mendadak saja dua sosok tubuh langsung melesat ke arah Rangga. Mereka langsung mengayunkan pedang yang ujungnya melengkung. Pen¬dekar Rajawali Sakti terkejut sejenak, lalu buru-buru menundukkan kepala. Maka serangan dahsyat dari dua penyerangnya dapat dihindari.

Untuk beberapa saat kening Rangga jadi berkerut, menyaksikan ilmu olah kanuragan mereka yang aneh. Bahkan sama sekali berbeda dengan yang terdapat di negeri ini. Diperhatikannya jurus-jurus itu secara seksama. Pendekar Rajawali Sakti juga melihat kalau wa¬jah mereka berbentuk agak persegi empat, dengan kedua rahang menonjol. Mereka memakai ikat ke¬pala berwarna merah dan bergaris-garis hijau.

Rompi yang mereka kenakan juga berwarna hijau lusuh. Bagian tepinya, terdapat garis berwarna merah. Sementara mereka juga bercelana pendek, sebatas paha. Kalau diperhatikan, usia mereka masih terhitung muda. Sekitar dua puluh lima tahun. Mungkin karena ditempa oleh kehidupan yang keras, membuat mereka tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya.

"Hiyaaa...!"

Kembali dua buah serangan sekaligus menyambar leher Pendekar Raiawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menundukkan kepala. Namun salah se¬orang cepat mengayunkan satu tendangan keras. Akibatnya, Rangga harus memiringkan tubuh untuk menghindarinya. Sementara pada saat yang sama, lawannya yang seorang lagi mengayunkan satu ten¬dangan ke arah dada. Terpaksa Rangga menangkis dengan tangan kiri.

Plak!
"Heh?!"

Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut ketika merasakan kalau tangannya seperti menghantam besi baja ketika menangkis tadi. Namun Rangga tak bisa terus-menerus terpaku dengan keterkejutannya. Tubuhnya langsung melenting ke atas, ke¬tika dari arah belakang terasakan adanya satu sambaran senjata mengincar punggungnya. Rangga cepat berbalik. Dan tangannya langsung bergerak ke atas, untuk memapak tebasan pa¬da punggungnya.

Plak.

Begitu Rangga berhasil memapak pergelangan tangan orang yang membokongnya, dia jadi terkejut sendiri. Seperti tadi, tangannya seperti menghantam benda keras saja!

"Ha ha ha...! Ayo! Pilihlah sesuka hatimu, bagian tubuh yang kau sukai!" ejek pembokongnya, sambil tertawa keras.

"Heh?!"

Rangga menatap tajam pembokongnya. Pada jarak kira-kira sepuluh langkah, tampak berdiri seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap. Rambutnya pendek dan berdiri kaku. Sepasang ma¬tanya agak sipit. Rahangnya yang menonjol, memperlihatkan kebengisannya. Dadanya bidang, de¬ngan otot bertonjolan di balik baju rompi berwarna hijau dan bergaris merah itu. Seperti kedua lawannya tadi, orang ini pun mengenakan celana pendek. Namun, sedikit lebih tinggi di atas lutut dengan ukuran agak ketat. Di pinggangnya terlihat sabuk kulit yang tebal dan berbulu hitam kasar. Di pinggang kirinya terselip senjata yang mirip kedua lawannya tadi.

Ketika Rangga merayapi ke sekeliling, tampak tempat itu telah dikepung. Mereka bersikap tenang, memandang orang yang tadi tertawa mengejek.

"Siapa kau?" tanya Rangga pelan.

"Namaku Sompong Suchinda, kepala perompak dari Negeri Siam. Nah, sekarang giliranmu. Siapa kau, dan apa kerjamu di sini?!" sahut orang yang mengaku bernama Sompong Suchinda de¬ngan suara keras.

"Aku Rangga. Dan aku hanya kebetulan lewat..."

"Ha ha ha....! Jangan coba-coba mengelabuiku, Kisanak. Tempat ini bukan jalan umum yang biasa dilalui orang. Lagi pula, gerak-gerikmu mencurigakan. Orang-orangku tak pernah menangkap orang yang salah jalan sepertimu!"

"Hm... Orang-orangmu? Sejak kapan kau berkuasa dengan menangkapi orang yang lewat di se¬kitar tempat ini? Dan, apa yang kau lakukan malam-malam begini di tepi pantai, lalu menurunkan barang-barang dari perahu? Kalau bukan sedang menyelundupkan barang terlarang, kau tentu sedang bersiap hendak menggempur negeri ini!" balas Rangga, enteng.

"Ha ha ha...! Kau pintar membalikkan kata-kata, Kisanak. Tapi aku tak tertarik untuk menjawabnya. Yang kutahu, kau telah mencelakakan dua anak buahku. Untuk itu, kau harus mendapat balasan setimpal. Baru setelah itu, kau kuserahkan pada Datuk Kraeng. Terserah, apakah dia akan membunuhmu atau membuangmu ke tengah lautan," kata Sompong Suchinda.

"Bicaramu seperti orang berkuasa sekali, Kisanak," sindir Rangga sambil tersenyum sinis.

"Kenapa tidak? Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Dan tak seorang pun boleh menghalanginya!" sahut Sompong Suchinda sambil terkekeh mengejek.

"Ya! Seperti dewa gadungan yang kau sebut Datuk Kraeng itu, bukan?" kata Rangga, bernada mengejek.

"Huh! Aku tak peduli dengan segala kegiatannya! Kedatanganku ke sini hanya untuk berdagang. Dan kalau di sini menguntungkan, kenapa tidak kujalani? Dan kalau ada seseorang yang menguntungkanku, maka kepadanya kami berkawan. Dan se¬orang kawan, sudah seharusnya dibela!" sahut Sompong Suchinda enteng.

"Huh! Kalian memang keparat-keparat terkutuk! Hm.... Jadi selama ini kalianlah yang mem¬bawa candu-candu itu ke sini, sehingga penduduk Desa Watu Jajar menjadi lemah akalnya," geram Rangga.

"Ha ha ha...! He? Kenapa kau, Kisanak. Agaknya kau tak senang dengan usaha kami? Bukankah ini lebih baik daripada merampok? Lagi pula, apa urusannya dengan penduduk Desa Watu Jajar? Orang-orang Perguruan Kelabang Emaslah yang menyebarkan candu-candu itu. Kami ke sini karena Datuk Kraeng yang memintanya. Kalau kau ingin jadi pahlawan kesiangan, pada Datuk Kraeng dan pada orang-orang Perguruan Kelabang Emaslah urusanmu!"

"Keparat! Kalian memang sama terkutuknya!" bentak Rangga semakin geram saja.

"He! Kau tak perlu marah-marah padaku. Sebentar lagi, kau boleh marah sepuas-puasmu di depan Datuk Kraeng. Itu pun kalau kau mampu menerima hajaranku!" sahut Sompong Suchinda sambil menyeringai lebar.

Setelah berkata demikian, Sompong Suchinda bersiap memasang jurus untuk menyerang lawan. Tapi belum juga ada serangan...

"Sompong! Apa yang kau lakukan di sini?"

Orang asing itu menoleh ke arah sumber suara. Tampaklah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Tangannya menggenggam sebilah pedang yang masih tersimpan dalam warangka. Beberapa orang lagi di belakangnya, tampak berjalan mengiringi.

"Hm... Ki Ageng Sukoco, kau kiranya. Kukira siapa..." sahut Sompong Suchinda perlahan.

"Apa yang terjadi? Dan, siapa pemuda itu?"

"Dia memata-matai kita!"

"Hm...," orang tua itu bergumam sambil memandangi pemuda berbaju rompi putih di depannya. Perlahan-lahan, didekatinya pemuda itu.

"Jadi, kaukah yang bernama Ki Ageng Sukoco?" tanya Rangga dingin.

"Oh! Rupanya kau mengetahui juga diriku! Kaukah orang yang belakangan ini mengacau Desa Watu Jajar? Hm.... Sungguh gegabah berani datang ke sini," tanya Ki Ageng Sukoco, sinis.

"Sungguh hebat bicaramu, Ki. Siapakah sebenarnya yang pengacau? Kau atau aku?"

"Kau pintar bicara, Anak Muda. Tapi, bicaramu justru akan mencelakakanmu. Kau terlalu ingin tahu urusan orang. Maka, kau akan menerima akibatnya," sahut Ki Ageng Sukoco, seraya berbalik. Ditinggalkannya pemuda itu, lalu berpaling ke arah Sompong Suchinda.

"Hm..... Agaknya kau mengenalnya juga, Ki Ageng Sukoco?" tanya Sompong Suchinda.

"Tidak. Tapi, beritanya banyak kudengar belakangan ini. Dia pengacau yang tak boleh diberi hati!" sahut orang tua itu.

"Ha ha ha...! Aku mengerti. Kau pun tentu berurusan dengannya, dan ingin menggunakan ta¬nganku untuk menghajarnya. Tentu saja, tawaran ini kuterima, Ki Ageng Sukoco. Mudah-mudahan kau bisa melampiaskannya, setelah dia menjadi bangkai!" sahut Sompong Suchinda.

Ki Ageng Sukoco hanya tertawa kecil. Sedangkan Sompong Suchinda sudah melangkah mendekati Rangga dengan wajah keras dan sorot mata tajam.

"Rangga! Keluarkan seluruh kemampuanmu, jika tak ingin cepat mampus di tanganku!" ancam Sompong Suchinda, jumawa.

"Sompong! Kau boleh bicara apa saja. Tapi kukira, bicaramu tak lebih dari tempayan kosong," sahut Rangga enteng.

"Kurang ajar! Yeaaa...!"

Sambil membentak nyaring, Sompong Suchinda melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Angin serangannya terasa deras dan kuat. Jelas, tenaga dalamnya cukup kuat. Sementara kedua tangannya yang terpentang membentuk cakar, siap mengancam pertahanan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan lima rangkaian jurus 'Raja¬wali Sakti'.

Plak!

Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti menangkis serangan itu dengan tangan kiri. Dan Rangga kembali merasakan kalau tangan lawannya begitu keras bagai baja. Untung saja seluruh tenaga dalamnya dikerahkan ke seluruh bagian tubuhnya. Sehingga, benturan tadi tidak terlalu banyak mempengaruhinya. Dan ketika tangan kiri Sompong Su¬chinda kembali menghantam bagian dada, tangan kanannya menangkis ke atas.

"Hiyaaa...!"
Plak!

Begitu habis berbenturan, Sompong Suchinda bergerak cepat berputaran sambil mengayunkan satu tendangan keras ke arah perut. Maka, Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas, mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Me¬ga'. Kaki kanannya cepat diangkat ke atas, karena tangan kiri lawan cepat menyapu bagian kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuh Sompong Suchinda langsung melenting ke atas. Dan tubuhnya cepat berbalik, lalu meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat di tanah. Kaki kanan Sompong Suchinda yang berisi tenaga dalam mengincar dada Pendekar Rajawali Sakti. Semen¬tara, Rangga tak punya pilihan, selain memapak. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga tanpa dapat dihindari benturan keras kembali terjadi.

Blarrr!
"Hup!"
"Yeaaa...!"

Kedua orang itu sama-sama terlempar ke belakang, namun cepat berputar ringan dan menjejakkan kaki di tanah dengan mantap. Sompong Su¬chinda telah langsung kembali melompat menyerang, dengan satu tendangan menggeledek. Nyaris tendangan itu memecahkan batok kepala, kalau sa¬ja Rangga tak cepat menunduk. Begitu Sompong Suchinda menjejakkan kakinya setelah serangannya hiput, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.

Tubuhnya langsung melesat ke arah Sompong Suchinda, dengan kedua kaki bergerak menyilang menghantam kepala. Orang asing itu terkejut bukan main melihat perubahan jurus yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Maka tubuhnya cepat bergulingan untuk menghindarinya. Dan begitu bangkit berdiri, Rang¬ga sudah melenting dan mencegat di depannya. Langsung diayunkannya satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.

Bukan main kagetnya Som¬pong Suchinda. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang telah membaca gerakannya cepat melesat ke atas pula, membawa sebuah pukulan maut dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali. Sehingga, tangan Rangga sudah berubah merah bagai besi terbakar. Melihat serangan ini, laki-laki bertubuh tinggi besar itu segera merangkapkan kedua tangannya untuk menangkis.

Plak!
Des!
"Uhhh...!"

Tubuh Sompong Suchinda terpental ke atas disertai keluhan kesakitan begitu pukulan Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam dadanya. Sayang Pendekar Rajawali Sakti tidak melanjutkan serangannya, seperti ingin memberi kesempatan pada lawan untuk bersiap kembali. Begitu mendarat di tanah, hanya diperhatikannya keadaan laki-laki dari negeri seberang itu.

Sungguh sama sekali tak disangka, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak begitu cepat. Untung saja Sompong Suchinda mampu mengendalikan tubuhnya, sehingga waktu meluncur ke ta¬nah, kakinya lebih dulu sampai walau agak terhuyung-huyung.

Melihat ketuanya terhuyung-huyung begitu rupa, anak buah Sompong Suchinda segera bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Tahan...!" cegah Sompong Suchinda, membentak nyaring.

Anak buah Sompong Suchinda seketika menatap ke arah ketuanya, seperti ingin meyakinkan cegahan tadi. Tapi, Sompong Suchinda telah mengangkat telapak tangan kirinya ke atas, pertanda kalau anak buahnya tak boleh menyerang. Kemu¬dian terlihat kakinya melangkah pelan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu. Lalu, dia berhenti ketika jaraknya telah lebih kurang tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm... Belum pernah kulihat orang yang mampu menyerang sedemikian cepat, seperti apa yang kau lakukan tadi. Tentu kau bukan orang sembarangan. Siapakah kau sebenarnya?" tanya Sompong Suchinda.

"Aku hanya pengembara yang tersesat. Hm... Kalau boleh kusarankan, sebaiknya pulanglah ke negerimu. Jangan kembali lagi ke sini untuk berdagang barang-barang terlarang itu," ujar Rangga kalem.

Sring!

Nasihat Rangga ternyata dijawab Sompang Suchinda dengan mencabut senjatanya. Dan mata¬nya langsung memandang tajam ke arah pemuda itu.

"Kisanak! Aku tak tertarik nasihatmu! Maaf. Nah, sekarang mari kita lanjutkan pertarungan dengan menggunakan senjata. Cabutlah pedangmu!"

"Pedangku tidak pantas berhadapan denganmu," sahut Rangga, enteng.

Dengan kata-kata itu, sama saja Pendekar Rajawali Sakti menganggap rendah lawannya. Maka sudah tentu Sompong Suchinda jadi naik darah. Matanya kian melotot lebar, dan kedua urat di pelipisnya mengembung. Bahkan rahangnya sudah berkerotokan menahan amarah. Hal itu memang disengaja Rangga, untuk membangkitkan amarah lawannya.

"Huh! Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak! Hanya perlu diingat, aku tak segan-segan mencabut nyawamu! Jagalah kepalamu! Yeaaa...!"

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Sompong Suchinda berlangsung semakin seru, ketika orang asing itu sudah menggunakan senjatanya yang demikian hebat. Dia mampu membuka pertahanan Rangga. Dan hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali Sakti. Ujung senjata lawan yang melengkung terkadang nyaris membabat lehernya kalau tak cepat menghindar. 

***
TUJUH
Sementara itu, cukup jauh dari Pantai Walet, Nyai Wangsa dan dua orang pembantunya tampak berjalan terburu-buru menuju tengah Desa Watu Jajar. Nyai Wangsa bukannya tak khawatir setelah peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Kini jiwanya betul-betul terancam. Kalau saja saat itu Rangga tak menyelamatkannya, entah apa jadinya. Mungkin tak dapat bernapas seperti saat ini. Tapi, apakah saat ini jiwanya betul-betul telah aman?

Bagaimana kalau ternyata ada orang berto¬peng lain yang mengikuti dan tiba-tiba membunuhnya dari belakang? Wanita itu berkali-kali menoleh ke belakang, kemudian matanya menyapu ke se¬keliling selama perjalanannya. Dia bersama dua orang pembantunya memang tengah menuju rumahnya di tengah-tengah Desa Watu Jajar.

"Ada apa, Nyai...?" tanya Patijan yang mengetahui perubahan wajah majikannya.

Nyai Wangsa memandang sekilas, kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling tempat itu lagi. Sementara, Patijan dapat merasakan kecemasan wanita itu. Juga ketika matanya melirik Mbok Jayeng, wanita tua itu pun menunjukkan wajah cemas. Laki-laki bertubuh kecil dan dekil itu meng¬hela napas pendek.

"Nyai tak perlu cemas. Bukankah Nyai mempercayai pemuda itu? Dia pasti dapat melindungi kita," hibur Patijan, berusaha meredakan kece¬masan hati wanita itu.

"Aku percaya padanya. Tapi saat ini, dia tak bersama kita. Bagaimana kalau tiba-tiba ada manusia bertopeng lain yang menghadang dan mem¬bunuh kita semua?" tanya Nyai Wangsa cemas.

Patijan baru menyadari hal itu. Dia terdiam be¬berapa saat lamanya. Wajahnya mulai pucat. Dilihatnya Mbok Jayeng yang membisu sejak tadi. Tapi, melihat wajah majikannya yang terus-menerus cemas, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Seolah dia ingin menyalakan keberanian dan mengusir jauh-jauh rasa takut di hatinya.

"Nyai tak perlu cemas. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mencoba membunuhmu!" tegas Patijan, mantap.

Nyai Wangsa terdiam. Tampak sikap Patijan berusaha gagah. Dia terharu, sekaligus tertawa geli dalam hati. Bagaimana mungkin Patijan yang sela¬ma ini penakut tiba-tiba saja bisa bicara lantang seperti itu?

"Terima kasih, Patijan. Kau memang baik...," sahut Nyai Wangsa.

"Oalah, Patijan! Lagakmu seperti pendekar saja. Melihat orang mencabut golok saja, kau sudah lari terbirit-birit!" timpal Mbok Jayeng yang sejak tadi diam saja.

"Eee... Jangan sembarangan omong, Mbok! Mbok belum tahu kalau aku punya jurus ampuh yang bisa diandalkan? Nih, lihat!" tangkis Patijan.

Kemudian laki-laki kerempeng itu memperagakan beberapa gerakan. Tapi dasar Patijan me¬mang tak becus apa-apa soal ilmu silat, maka gerakannya kacau-balau dan asal jadi saja.

"Tuh! Hebat, kan?" kata Patijan, setelah selesai memperagakan gerakan-gerakannya. Laki-laki kerempeng itu mengibas-ngibaskan debu di tubuhnya sambil tersenyum-senyum kecil.

Mbok Jayeng hanya mencibir melihat tingkah laki-laki itu. Tapi Nyai Wangsa sepertinya terhibur, meski kecemasan hatinya tak sirna juga. Kim mereka melanjutkan perjalanan, hingga tak lama sudah tiba di rumah yang paling besar dan mewah di desa itu.

Mereka mengendap-endap, masuk lewat jalan belakang. Ki Wangsa agaknya belum kembali ke rumah. Maka wanita itu mengajak kedua pembantunya untuk langsung ke kamar.

"Patijan! Pergilah ke kotaraja. Katakan pada pihak kerajaan kalau desa ini dalam bahaya. Kita tak bisa membiarkan pemuda itu berjuang sendiri, sementara kita diam-diam saja menunggu hasilnya," ujar Nyai Wangsa.

Patijan terkejut, langsung memandang wanita itu seolah tak percaya.

"Kenapa? Takut?" tanya Nyai Wangsa.

"Nyai, selama ini tak seorang pun yang pernah berhasil tiba di kotaraja untuk melaporkan keadaan desa kita. Mereka semua tewas di tengah jalan...," sahut Patijan, cemas.

"Hm... Kalau begitu, pergilah ke kadipaten. ceritakan semua persoalan ini pada adipati agar beliau membawa pasukannya ke sini untuk menghancurkan orang-orang itu!"

"Sama saja, Nyai. Ke kotaraja atau kadipaten, tak ada bedanya. Mereka menunggu orang desa mau keluar dari sini di perbatasan. Dan mereka langsung membunuhnya!" jelas Patijan.

"Patijan! Apakah kau selamanya ingin melihat desa kita begini terus? Tak tergerakkah hatimu untuk menolong dan membebaskan desamu sendiri?" tanya Nyai Wangsa mencoba menggugah semangat laki-laki kerempeng itu.

Patijan terdiam dan merenung beberapa saat. "Tapi, Nyai...," desah Patijan terputus.

"Kalau kita berusaha, pasti ada jalan untuk lolos!"

"Bagaimana aku bisa melewati mereka yang berjaga di tapal batas?"

"Bilang saja kalau kau utusan Ki Wangsa yang menyuruhmu pergi ke desa lain!"

"Ke desa lain? Dan..., memakai nama Ki Wangsa? Bagaimana kalau beliau tahu? Oh, Nyai. Aku bisa celaka!" kata Patijan.

"Tenang! Tenang dulu Patijan. Aku akan mengirim surat atas nama suamiku, yang ditunjukkan pada Kepala Desa Sukasari. Dia itu masih ada hubungan saudara dengan suamiku. Katakan kalau isi surat itu bersifat pribadi. Nah! Dengan begitu, kau akan lolos dari pemeriksaan mereka. Kemu¬dian, pergilah ke kadipaten. Begitu sampai di sana, laporkan apa yang terjadi di sini Soal surat itu, aku yang bertanggung jawab pada suamiku," jelas wanita itu singkat.

Patijan menimbang-nimbang beberapa saat.

"Bagamiana. Patijan? Kau bisa bukan? Aku tahu, semangatmu besar dan keberanianmu hebat. Kau pasti mampu melakukannya," desak wanita itu lagi.

Laki-laki kerempeng itu memandang Nyai Wangsa beberapa saat lamanya. Tak lama, kepalanya mengangguk pelan.

"Aku percaya, kau memang pemuda berani. Tunggulah sebentar. Aku akan menuliskan suratnya. Ingat! Surat itu tak perlu disampaikan. Ini hanya untuk mengelabui para penjaga perbatasan, kalau mereka memeriksamu," Nyai Wangsa mengingatkan.

"Baik, Nyai...."

***

Ki Wangsa menyesal bukan main setelah bertengkar dengan istrinya. Apalagi setelah menjatuhkan tangan pada wanita yang sebenarnya sangat dicintainya itu. Padahal, selama ini tak pernah dilakukannya. Memang, tadi Nyai Wangsa betul-betul membuatnya marah dan jengkel.

Kepala Desa Watu Jajar itu sore ini sedang menikmati makannya di sebuah kedai di desanya. Padahal untuk makan di luar, jarang dilakukannya. Dia lebih menyukai masakan istrinya sendiri. Setelah cukup kenyang, Ki Wangsa segera membayar makanannya. Dan dengan langkah gontai, dia ber¬jalan ke luar kedai. Segera dihampiri kudanya yang tertambat di depan. Begitu naik, kudanya langsung digebah sekencang-kencangnya, tanpa tujuan pasti.

Menjelang malam, Ki Wangsa juga masih enggan kembali ke rumahnya. Dan dia segera menuju ke rumah saudaranya, Ki Ageng Sukoco, Ketua Perguruan Kelabang Emas. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu seperti tersadar hati dari pikirannya. Selama menunggang kuda mengelilingi desa, tampak jelas kehidupan rakyatnya. Mereka menjadi malas dengan wajah pasrah penuh ketakutan, dibayang-bayangi sesuatu bencana yang amat mengerikan.

Sementara para pemuda desa telah diracun kesenangan baru, yaitu menghisap candu. Mereka tak mempedulikan lagi bahaya besar yang menimpa desanya. Para wanita pun sebagian mulai ikut-ikutan mencoba candu yang mudah diperoleh. Hanya sebagian kecil penduduk desa yang masih mempedulikan keadaan desanya. Namun, mereka tak mampu berbuat apa-apa Memang, bayangan ketakutan selalu melintas di depan mata. Begitu sampai di depan pintu gerbang Perguruan Kelabang Emas, Ki Wangsa segera turun dari kudanya. Dan belum juga dia masuk, seorang murid Perguruan Kelabang Emas sudah menyambutnya.

"Ki Ageng Sukoco belum kembali. Silakan masuk, Ki...," sambut penjaga pintu gerbang.

"Kemana?" tanya Ki Wangsa.
"Entahlah..."
"Boleh aku masuk dan menunggu?"
"Silakan, Ki...!"

Ki Wangsa melangkah pelan. Beberapa orang murid Perguruan Kelabang Emas yang melihat kehadirannya, segera memberi salam penghormatan. Orang tua itu membalasnya sambil tersenyum. Di bangunan utama, salah seorang murid mempersilakan untuk menunggu. Orang itu kemudian berlalu, setelah menyiapkan minuman dan makanan kecil.

Ki Wangsa memandang ke sekeliling sambil melangkah ke dekat jendela. Dari situ bisa terlihat dan mendengar pembicaraan beberapa orang mu¬rid Perguruan Kelabang Emas yang sedang duduk-duduk tak jauh dari jendela. Mulanya, dia tak begitu tertarik. Namun ketika percakapan mulai terdengar seru, orang tua itu tergerak untuk menguping.

"Wah, siapa dia?! Sungguh hebat! Dia mampu ke sini tanpa diketahui seorang pun dari kita!" tanya salah seorang.

"Entahlah. Kata Sarwen, dia masih muda, tampan, dan memakai baju rompi putih. Serta..., membawa pedang di punggungnya," jelas kawannya.

"Jangan-jangan, pemuda yang belakangan ini berkeliaran di sini!" desis orang pertama.

"Bisa jadi!"

"Masih untung, si Sarwen selamat dan hanya ditotok saja. Kalau dibunuh. Wah, celaka dia!"

"lya! Eh! Ngomong-ngomong, aku tak yakin kalau pemuda itu bermaksud buruk terhadap pen¬duduk desa ini!"

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Entahlah..."

"Percakapan kedua orang itu terhenti, ketika mendengar suara ribut-ribut dari arah luar. Ki Wangsa yang berada di dalam, tersentak dan buru-buru keluar menghampiri kerumunan beberapa orang murid Perguruan Kelabang Emas.

"Ada apa?" tanya orang tua itu pada salah seorang murid.

"Anu, Ki. Pemuda itu ," sahut murid itu ragu.

"Pemuda yang mana?"

"Pemuda berbaju rompi putih yang belakangan ini berada di desa kita," sahut murid perguruan itu lagi.

"Memangnya, ada apa dengan dia?"
"Dia membuat kekacauan!"
"Membuat kekacauan? Di mana?"

Murid Perguruan Kelabang Emas itu tak langsung menjawab. Dipandanginya kawan-kawannya terlebih dulu.

"Di Pantai Walet, sahut murid itu, setelah melihat beberapa kawannya mengangguk.

"Hm.... Apa yang dilakukannya di sana?"

"Mengacaukan hubungan dagang Ki Ageng Sukoco dengan orang-orang asing dari Siam itu Ki...."

"Hm.... Dari mana kalian tahu?"

"Aku baru saja dari sana. Ki Ageng Sukoco berpesan, agar aku membawa beberapa orang mu¬rid perguruan ke sana untuk menangkap pemuda itu," sahut murid tadi.

"Hm... Ya..., ya," sahut Ki Wangsa seraya mengangguk-angguk.

"Maaf. Ki. Kami harus buru-buru," sahut murid itu sambil menyiapkan beberapa orang murid Per¬guruan Kelabang Emas yang dapat diandalkan un¬tuk ikut dengannya.

Ki Wangsa sendiri terdiam beberapa saat lamanya melihat kesibukan mereka. Kemudian dipanggilnya salah seorang murid perguruan itu, sebelum melangkah pulang.

"Tolong katakan pada Ki Ageng Sukoco, aku tak bisa lama-lama berada di sini. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan," pesan orang tua itu pada salah seorang murid.

"Baiklah. Ki!"

Tak lama, Ki Wangsa terlihat buru-buru menghampiri kudanya. Setelah berada di punggung kudanya, dia menggebah sekencang-kencangnya.

***

Di Pantai Walet, pertarungan Pendekar Rajawali Sakti dengan orang asing dari Negeri Siam semakin meningkat dahsyat. Sudah puluhan jurus digelar, tapi belum ada tanda-tanda yang keluar sebagai pemenang. Padahal, Sompong Suchinda telah menggunakan senjata mirip sebilah pedang, dengan ujung sedikit melengkung.

Setiap sisi tajam senjatanya, silih berganti mengincar kulit Pendekar Ra¬jawali Sakti. Jika dibabatkan ke arah leher, maka tangannya membabat ke kanan. Lalu, gerakan tangannya turun menghajar pinggang. Kemudian meliuk kembali menyambar ke arah kaki. Hal itu memang amat merepotkan Pendekar Rajawali Sak¬ti.

Selain itu, pedang Sompong Suchinda juga mengandung daya sedot yang mampu menarik tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin mendekat, ketika senjata itu menyambar. Tak heran jika kali ini keadaan Rangga betul-betul terdesak hebat. Tubuh Sompong Suchinda terus melompat, ketika Pendekar Rajawali Sakti masih berada di udara, setelah menghindari serbuannya yang bertubi-tubi.

Memang, Sompong Suchinda tak mau melepaskannya begitu saja. Dalam keadaan masih di udara, ujung senjatanya disambarkan ke leher. Rangga cepat menukik ke bawah, sementara ujung pedang terus mencecarnya. Begitu sampai di tanah langsung dilepaskannya satu tendangan ke arah pergelangan tangan Sompong Suchinda yang menggenggam senjata. Sementara, kaki kanannya menyilang menghantam ke arah perut.

"Uts...!"
Plak!

Tangan kiri Sompong Suchinda menangkis ten¬dangan kaki kiri Rangga yang mengarah ke perutnya. Sementara tangan kanannya yang memegang senjata ditarik pulang, tapi langsung dikelebatkan ke arah perut. Tak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar, selain menggunakan tena¬ga dorongan tendangannya yang beradu dengan tangan kiri lawan, untuk melesat ke belakang. Namun itu pun tak cukup kuat Karena...

Crasss!

Tetap saja ujung pedang Sompong Suchinda menyambar dadanya.

"Akh!"

Pendekar Rajawali Sakti berteriak kesakitan, ketika senjata orang asing itu melukai dadanya. Me¬mang, sakitnya terasa hingga ke tulang sumsum. Untung saja, Rangga masih sempat menguasai diri. Tubuhnya langsung melenting, menjauhi Sompong Suchinda yang siap mengirim serangan berikut. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat lima tombak, lalu kedua kakinya menjejak ringan di tanah. Sambil mendekap luka di dada dengan tangan kiri, Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam ke arah lawannya. Tangan kanannya perlahan-lahan terangkat naik, memegang gagang pe¬dang pusakanya. Melihat hal itu bukan main girangnya Sompong Suchinda. Dia tertawa lebih keras.

"Ha ha ha...! Akhirnya kau terpaksa harus menggunakan pedangmu juga, bukan!? Ayo, keluarkanlah seluruh kemampuan ilmu pedangmu, kalau ingin mati secara gagah!" ejek orang asing itu.

Cring!

Rangga sudah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tersandang dipunggung. Seketika cahaya biru menyilaukan mata menerangi tempat itu.

'"Pedang Pemecah Sukma'!" teriak Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat, dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' pada tingkat yang terakhir. Dia memang tak mau tanggung-tanggung lagi. Sementara Sompong Suchinda begitu terkejut melihat perbawa Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan belum lagi keterkejutannya lenyap, kibasan pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir menyambar tubuhnya. Maka buru-buru dia menjatuhkan diri ke tanah sambil terus bergulingan.

Kini Sompong Suchinda terlihat pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat ting¬gi. Namun cahaya biru yang keluar dari batang pedang Rangga seperti tak memberi kesempatan sedikit pun. Apalagi, perbawa pedang itu seperti mempengaruhi jiwanya. Dan ketika tubuhnya me¬lenting ke atas, cahaya biru itu menyambar bagian bawah tubuhnya.

Setelah berputaran beberapa kali, orang asing itu mendarat di tanah manis sekali. Dan itu ternyata memang sudah ditunggu Pendekar Rajawali Sakti. Dengan gerakan cepat bukan main, Rangga mele¬sat sambil melepaskan tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi, lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat gerakannya, sehing¬ga Sompong Suchinda tak mampu mengelak lagi. Dan...

Desss!
"Aaakh...!"

Sompong Suchinda memekik keras, ketika satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam dadanya. Tubuhnya terjungkal ke tanah sejauh tiga tombak sambil memuntahkan darah kental berkali¬-kali. Orang asing itu berusaha bangkit dengan sempoyongan dan tertatih-tatih. Tampak lawannya te¬ngah berdiri tegak pada jarak lima langkah di depannya sambil memandang dengan sepasang mata tajam berkilat.

"Sia..., siapa kau sebenarnya? Ke..., kepandaianmu sungguh hebat...," lirih suara Sompong Suchinda sambil menahan sakit di dadanya.

"Pedangku telah keluar dari sarangnya. Dan itu, berarti kematian bagimu. Aku tak mampu mencegahnya, karena kaulah yang memintaku un¬tuk mencabutnya!" dingin suara Rangga.

Wajah Sompong Suchinda menggigil ketakutan. Seumur hidupnya belum pernah dia melihat senjata sedahsyat itu. Dan kini, senjata itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.

Anak buah Sompong Suchinda yang tadi hendak bersiap-siap membantu ketuanya, kini berpikir seribu kali untuk turun tangan. Mereka dibuat terkesima oleh tindakan pemuda itu. Demikian juga, Ki Ageng Sukoco beserta beberapa orang murid¬nya. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Namun mendadak saja....

"Ha ha ha...! Dugaanku ternyata benar. Siapa sangka Pendekar Rajawali Sakti yang termahsyur itu ternyata sudi hadir di tempat terpencil ini...!" Terdengar suara tawa yang berisi tenaga dalam, sehingga memenuhi sekitarnya.

***
DELAPAN
Di atas sebuah batu besar, tak jauh dari tempat mereka berada, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Badannya kekar dengan otot-otot menonjol. Wajahnya kasar dan bibirnya tebal, dengan sepasang mata menyorot tajam. Orang itu memakai jubah biru yang tiap tepinya terdapat garis kuning. Rambutnya yang panjang diikat pita merah. Di pinggangnya terlihat sebuah senjata cakra.

"Datuk Kraeng...!" seru mereka yang hadir di tempat itu.

"Ha ha ha...! Kalian sungguh gegabah menganggap enteng Pendekar Rajawali Sakti. Dia me¬mang bukan tandingan kalian. Tak heran kalau anak buahku pun tak ada yang mampu menghadapinya!" kata laki-laki yang dipanggil Datuk Kraeng, seraya melompat dengan gerakan indah ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan kakinya men¬darat beberapa tombak di depan Rangga.

"Hm... Jadi kaukah Datuk Kraeng, yang mengangkat dirimu sebagai dewa?" desis Rangga, sinis.

"Oh! Rupanya kau pun telah mengenalku. Hm.... Suatu perkenalan yang bagus sekali!" sahut Datuk Kraeng tenang.

"Kisanak! Perbuatanmu sudah di luar batas. Tapi, aku masih berusaha sebijak mungkin. Menyerahlah, atau kau harus mati di tanganku!" lantang suara Rangga.

"Ha ha ha...! Kesombongan Pendekar Rajawali Sakti yang kudengar ternyata memang benar. Tidak tahukah kau, kalau saat ini sedang berada di mana? Kau berada di wilayahku! Dan orang-orang ini, siap merencahmu! Lagi pula, perbuatan apa yang pernah kulakukan sehingga mesti menyerahkan diri," sahut Datuk Kraeng, mengejek.

"Hm.... Dewa macam apa yang bisanya hanya meminta korban gadis-gadis perawan, serta harta benda berharga?" kata Rangga, kalem.

"Ha ha ha...! Aku hanya membiasakan mereka untuk menghisap candu, agar tidak bodoh, malas, dan mempunyai semangat lagi," kata Datuk Kraeng.

"Huh! Kau mencoba lari dari tanggung jawab!"

"He he he...! Sebenarnya, kau salah, Kisanak. Aku tak pernah mengurusi hal sepele itu. Ki Ageng Sukoco-lah yang melakukannya. Sedangkan aku hanya menjaga keamanannya saja."

"Datuk Kraeng! Apa maksudmu?!" sentak Ki Ageng Sukoco.

"Hm… Kau lihat? Bukankah dia marah setelah kedoknya terbuka?" sinis nada suara Datuk Kraeng, sambil melirik ke arah Ki Ageng Sukoco.

"Datuk Kraeng! Jangan memutarbalikkan kenyataan. Kaulah yang semula menawarkan pada kami, untuk mendatangkan barang-barang terlarang itu ke sini! Bahkan kau minta persembahan gadis-gadis desa untuk dijadikan korban dalam memenuhi persyaratan mempelajari ilmu hitam! Dan kau juga yang meminta perlindungan padaku. Lalu, kuminta pada saudaraku, agar melindungimu dari kejaran tentara kerajaan yang akan menangkapmu. Aku tahu, kau adalah buronan kerajaan! Inikah balasanmu terhadapku?" geram Ki Ageng Sukoco.

"Ha ha ha...! Orang tua tolol, kau adalah orang tamak. Aku tak pernah ikut campur hasil keuntunganmu dalam berdagang candu. Malah, aku membantumu mendapatkan keuntungan besar, dengan mendatangkan orang-orang asing itu ke sini. Apakah kau pikir aku berhutang budi padamu?! Huh! Kini, aku tak membutuhkanmu setelah apa yang kuinginkan terpenuhi!" dingin suara Datuk Kraeng.

"Keparat! Aku harus membunuhmu lebih dulu!" sentak orang tua itu.

Sring!

Ki Ageng Sukoco segera mencabut pedangnya, dan melompat menyerang Datuk Kraeng.

"Yeaaa...!"

Datuk Kraeng hanya mendengus sinis. Dan tiba-tiba saja telapak tangannya dijulurkan ke arah Ki Ageng Sukoco.

"Hiyaaa...!"
Werrr!

Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Ageng Sukoco tak mampu mengelak lagi. Dan...

Desss!
"Aaa...!"

Ki Ageng Sukoco menjerit keras ketika tubuhnya terjungkal terhantam selarik sinar kuning yang menebarkan bau busuk ke seluruh tempat itu. Tubuh orang tua itu langsung jatuh ke tanah dan menggelepar-gelepar beberapa saat. Tak lama tu¬buhnya diam, namun kulitnya mulai mengelupas. Bahkan dagingnya cepat sekali membusuk dan meleleh. Sehingga dalam beberapa saat saja, tubuh Ki Ageng Sukoco tinggal tulang-belulang saja!

"Biadab!" desis salah seorang murid Ki Ageng Sukoco.

"Huh, akan kubunuh kau! lanjut yang lain sambil melompat menyerang Datuk Kraeng. Tapi Datuk Kraeng telah memberi isyarat pada anak buahnya. Sehingga, beberapa orang berpakaian serba hitam langsung berlompat menghadapi beberapa orang murid Ki Ageng Sukoco. Sementara, Datuk Kraeng sendiri perlahan-lahan kembali melangkahkan kakinya menghampiri Pen¬dekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Setelah mengetahui siapa yang paling bersalah, kau tentu mau melupakan persoalan ini, bukan? Kuharap kita bisa menjadi sahabat yang baik," bujuk Datuk Kraeng.

"Huh! Siapa yang sudi berkawan dengan manusia biadab sepertimu! Datuk Kraeng, menyerahlah! Serahkan dirimu pada kerajaan. Mereka tentu akan mengampuni kematianmu!" desis Rangga.

"Hm… Bicaramu seperti tak memandang sebelah mata sedikit pun padaku. Baiklah. Ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu yang diagung-agungkan orang itu!"

Setelah berkata demikian, Datuk Kraeng bersiap membuka jurus untuk menyerang lawan. Namun belum sempat menyerang Pendekar Rajawali Sakti, saat itu juga terdengar suara ribut ribut. Ternyata banyak orang kini berdatangan ke tempat itu.

"Kawan-kawan! Datuk Kraeng telah membunuh guru kita secara keji dan biadab! Bunuh dia! Cincang!" teriak salah seorang murid Ki Ageng Su¬koco, ketika mengetahui siapa orang-orang yang datang itu.

Mendengar berita itu, bukan main kalapnya murid-murid Perguruan Kelabang Emas yang baru tiba di tempat itu. Maka tanpa pikir panjang lagi mereka langsung menyerang Datuk Kraeng dengan kemarahan yang meluap-luap. Sementara, sebagian lagi membantu kawan-kawannya yang terdesak tiga orang anak buah Datuk Kraeng yang memang berkepandaian tinggi.

"Cacing-cacing dungu! Mampuslah kalian, yeaaa...!"

Dengan geram Datuk Kraeng menggunakan senjata cakranya yang bisa berbalik lagi, setelah dilemparkan. Dan cakra itu langsung menghajar murid-murid Perguruan Kelabang Emas.

Cras!
Breeet!
"Aaa...!

Sesaat saja terdengar pekik kematian murid-murid Ki Ageng Sukoco. Mereka kontan ambruk dalam keadaan menyedihkan. Kini darah mulai menggenangi sekitar Pantai Walet.

Melihat keadaan itu tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tak mau berpangku tangan. "Minggir kalian semua...!"

Bersamaan dengan itu pula, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyerang Datuk Kraeng sambil menggunakan pedang yang masih dalam genggamannya sejak tadi. Datuk Kraeng terkesiap. Dia tahu betul, bagaimana hebatnya pedang Pendekar Rajawali Sakti. Itulah sebabnya, dia tak mau ber¬tindak gegabah dengan melemparkan senjatanya. Salah salah, senjatanya sendiri yang akan putus dibabat pedang lawan. Datuk Kraeng sengaja terus mengelak dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf sempurna.

Hal itu memang disengaja, untuk mencari peluang yang tepat dalam membalas serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti bukannya tak menger¬ti siasat Datuk Kraeng. ltulah sebabnya sedikit pun tak diberikannya kesempatan pada lawan untuk memperbaiki keadaan. Pengalamannya yang telah cukup matang dalam bertarung, membuatnya tak begitu mudah dikecoh lawan. Dan justru dialah yang sebaliknya bermaksud mengecoh, menggu¬nakan siasat yang digunakan Datuk Kraeng.

"Hiyaaa...!" Datuk Kraeng membentak nyaring sambil mengerahkan segenap kecepatan geraknya ketika me-lihat ada peluang untuk itu.

Siiing!

Senjata cakranya melesat cepat, menyambar leher Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan dengan itu, tubuhnya sendiri mengikuti sambil melakukan tendangan menggeledek.

Wut!
"Uts...!"

Pendekar Rajawali Sakti yang telah menduga siasat Datuk Kraeng, gesit sekali mengelak dari sambaran senjata cakra dengan memiringkan kepala ke kiri. Dan dia terus melompat ke samping, menghin¬dari tendangan berikutnya yang dilancarkan Datuk Kraeng. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menghantam pinggang kiri atas Datuk Kraeng. Sementara pedangnya dikibaskan ke belakang, memapak serangan balik senjata cakra yang menderu ke arahnya.

Duk! Trasss!
"Aaakh...!"

Datuk Kraeng menjerit keras begitu pinggangnya terhantam kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus-jurus rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Sementara senjata cakra kebanggaannya, terpecah menjadi beberapa bagian, begitu tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Tubuh¬nya kontan terjungkal ke belakang menahan rasa sakit. Meskipun begitu, dia masih mampu berjumpalitan dan menjejakkan kedua kakinya dengan manis di tanah.

Tapi pada saat itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah melesat ke arahnya. Pedang Pusaka Ra¬jawali Sakti telah tersilang di depan wajah, dan ta¬ngan kiri memegang mata pedang. Datuk Kraeng mendengus geram, melihat kedahsyatan pedang lawan. Barusan senjatanya terbelah menjadi dua tertebas pedang itu. Dan kini, satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menghancurkan lawan adalah pukulan mautnya yang diperdalam selama ini!

"Huh! Kau akan merasakan pukulan Api Neraka Kematianku yang dahsyat tiada bandingannya!" geram Datuk Kraeng buas. Datuk Kraeng langsung menyorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Maka seketika dari telapak tangannya melesat selarik sinar kuning yang menyebarkan bau busuk menyengat.

Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah menduga, telah bersiap pula memapakinya. Ma¬ka... "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" bentak Pende¬kar Rajawali Sakti nyaring, seraya menyorongkan telapak tangan kiri ke depan, setelah mengusap batang pedang.

Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika melesat selarik sinar biru yang mengeluarkan bunyi gemuruh bagai angin topan. Dan si¬nar itu terus meliuk-liuk memapak pukulan Datuk Kraeng.

Glarrr!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan keras, ketika kedua pukulan berlawanan jenis bertemu. Kemudian disusul terpentalnya tubuh Datuk Kraeng ke belakang, saat sinar biru dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti masih menyelubunginya.

Orang-orang yang sedang bertarung kontan terkejut mendengarnya. Mereka seketika menghentikan pertarungan, dan melihat tubuh Datuk Kraeng sudah terkapar terselubung sinar biru yang perlahan-lahan memudar. Kemudian, terlihat tubuh tuanya menghitam bagai arang. Mati! Ketika mereka melihat ke arah lainnya, tampak Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak. Perlahan-lahan pedang¬nya disarungkan kembali ke dalam warangka. Maka seketika sinar biru yang menyilaukan lenyap.

"Datuk Kraeng telah tewas akibat kesombongannya dan kejahatan yang telah dilakukan. Kalian pun akan mengalami nasib yang sama, bila tak menyerahkan diri pada pihak kerajaan!" kata Rang¬ga dengan suara lantang.

Orang-orang itu terdiam sesaat, sambil meman¬dang satu sama lain. Namun mendadak saja...

"Kalian semua, menyerahlah! Tempat ini telah dikepung tentara kadipaten!" Mereka semua seketika berpaling ke arah sumber suara. Benar saja. Puluhan orang berpakaian seragam prajurit kadipaten dengan senjata tombak telah mengepung tempat itu. Karena tak punya harapan lagi, mereka meletakkan senjata satu persatu. Pasukan kadipaten itu mendekat perlahan-lahan.

"Kau juga! Buang senjatamu itu...!" bentak salah seorang prarjurit kadipaten pada Pendekar Rajawali Sakti.

Pemuda itu tersenyum.

"Jangan! Dialah yang membereskan orang-orang ini!" terdengar sebuah suara lantang, sebelum Pendekar Rajawali Sakti menjawab.

"Hm.... Kepala Desa Watu Jajar! Kau pun ada di sini!" kata Rangga sinis ketika melihat orang yang berkata lantang.

"Ya.... Maaf, atas sikapku yang keliru selama ini, Kisanak,' ucap laki-laki tua yang tak lain Ki Wangsa penuh penyesalan.

Rangga diam saja memperhatikan orang tua yang kini tengah menundukkan kepala dengan wa¬jah tertunduk malu. Kemudian pandangannya dialihkan pada prajurit-prajurit kerajaan yang sedang meringkus ketiga anak buah Datuk Kraeng serta murid-murid Perguruan Kelabang Emas. Sedangkan Sompong Suchinda dan anak buahnya telah raib dari tempat itu, termasuk juga kapal-kapal mereka. Agaknya ketika terjadi pertarungan tadi, secara diam-diam mereka pergi menyelamatkan di¬ri.

"Secara langsung, aku memang tak terlibat. Walaupun, hal itu kuketahui. Kakakku, Ki Ageng Sukoco adalah orang yang paling berpengaruh dan ditakuti di desa ini. Beliau pula yang memperjuangkan aku menjadi kepala desa. Sehingga, ke¬tika dia datang dan memintaku agar merahasiakan kehadiran seorang buronan kerajaan, aku menyetujuinya saja. Tapi, ternyata yang diminta tidak hanya itu. Dia juga minta izin untuk melakukan perdagangan candu. Tak lama, dia juga memintaku untuk mengatakan pada penduduk, kalau Datuk Kraeng yang juga temannya itu adalah dewa yang harus diberi persembahan. Aku semakin tak berdaya ketika mereka dengan leluasa mengobrak-abrik desa ini, dan berbuat sesuka hati terhadap rakyat..," jelas Ki Wangsa.

"Hm... Lalu, kenapa tiba-tiba kau datang dengan membawa pasukan kadipaten segala?" tanya Rangga.

"Istriku yang memberitahukan mereka..."

"Nyai Wangsa?" lanjut Rangga kaget.

"Ya! Dia telah menceritakan semuanya padaku, ketika aku mengutarakan keprihatinanku, sete¬lah melihat apa yang terjadi terhadap warga desaku ini. Aku sadar, bahwa aku telah membiarkan mereka menderita selama ini..."

Rangga terdiam. Sementara Ki Wangsa pun membisu.

"Kakakku telah menerima dosa akibat perbuatannya. Demikian juga Datuk Kraeng. Terima kasih, Rangga. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan kalau kau tak membantu kami...," lanjut Ki Wangsa lirih.

"Sudahlah. Semua telah berlalu. Dan mereka yang bersalah telah mendapat ganjarannya. Tugasmu saat ini adalah membenahi rakyatmu. Bertindaklah tegas kalau memang itu benar," ujar Rang¬ga.

"Aku akan mengingat pesanmu itu, Rangga."

Pemuda itu tersenyum kecil, kemudian bersuit nyaring. Dari kejauhan, terlihat seekor kuda berbulu hitam tengah berlari kencang ke arahnya. Kuda Dewa Bayu berhenti di dekat kedua orang itu. Dan Rangga langsung melompat ke punggungnya.

"Ki Wangsa! Tugasku di sini telah selesai. Aku mohon pamit dulu. Sampaikan salamku pada istrimu. Dia wanita terbaik yang pernah kutemui. Dia patut jadi contoh wanita-wanita di desa ini. Selamat tinggal!" kata Rangga, sebelum memacu kudanya yang berlari kencang meninggalkan tempat itu.

Ki Wangsa tak sempat menyahut, karena Rang¬ga cepat sekali telah lenyap dari pandangannya. Dia hanya bisa melambaikan tangannya sambil mendesah pelan. "Selamat jalan, Kisanak. Selamat jalan, Pendekar Rajawali Sakti...."

Malam semakin larut. Dan angin mulai berhembus ketika titik-titik embun mulai menetes. Semua orang mulai melangkah pelan, meninggalkan pantai yang membawa sejarah baru bagi Desa Watu Jajar!

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: