Pendekar Pulau Neraka - Rahasia Dara Ayu(2)

LIMA
Bayu benar-benar tidak mengerti, kenapa dijebloskan dalam penjara. Bisa saja Pendekar Pulau Neraka memberontak, tapi melihat begitu banyak prajurit di sekitarnya, rasanya tidak mungkin mengambil resiko terlalu besar. Tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun, Pendekar Pulau Neraka itu dijebloskan dalam ruangan penjara yang kotor dan berbau tidak sedap.

Ada enam orang penjaga di depan pintu penjara ini, sehingga tak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Ruangan ini terbuat dari batu tebal dan berlumut. Tak ada lampu pelita. Satu-satunya penerangan hanyalah dari sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah batu kecil pada langit-langit. Pintu penjara ini terbuat dari jeruji besi baja yang kuat.

Mungkin jeruji besi ini bisa dipatahkan, tapi Bayu tidak tahu berapa penjaga yang harus dilewatinya. Di depan penjara ini saja ada enam penjaga. Belum lagi di pintu keluar, atau mungkin lebih banyak lagi di sekitar bangunan penjara ini. Yang pasti tidak mudah baginya untuk keluar. Namun selagi Pendekar Pulau Neraka itu berpikir keras, mendadak saja....

"Ughk!"
"Akh!"

Pekikan tertahan dan keluhan pendek terdengar beruntun. Bayu jadi terbengong melihat enam orang penjaga roboh dan tewas seketika. Sebelum Pendekar Pulau Neraka dapat mengerti, mendadak saja di depan pintu penjara muncul Seruni. Gadis ini membuka pintu penjara, lalu menyeretnya keluar dari ruangan pengap berbau tidak sedap ini.

"Seruni, kenapa kau...?" "Jangan banyak tanya! Ayo ikuti aku!" potong Seruni cepat sebelum Bayu menyelesaikan pertanyaannya.

Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi, dan langsung menuruti saja ke mana gadis itu membawanya pergi. Mereka menyusuri lorong bangunan penjara yang sempit dan pengap ini. Sampai di ujung lorong, Seruni membuka sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati tebal. Bunyi bergerit terdengar.

"Ayo, cepat!" sentak Seruni sambil menarik tangan Bayu. Mereka melewati pintu itu, dan Seruni menutupnya kembali. Keadaan begitu gelap, tak ada penerangan sama sekali. Bayu mengayunkan kakinya ketika Seruni menyentakkan tangannya. Mereka kembali berjalan pelahan. Bayu merasakan kalau mereka berjalan menurun. Suasana yang begini gelap membuat mereka tidak bisa bergerak cepat. Ditambah lagi, jalan yang dilalui begitu licin.

Tapi rupanya lorong gelap ini tidak begitu panjang. Dan kini mereka sudah dihadang lagi oleh sebuah pintu besi. Seruni mengeluarkan anak kunci dari balik lipatan bajunya untuk membuka pintu. Bayu membantu menarik pintu itu agar terbuka. Secercah cahaya bulan langsung menerobos menerangi.

Mereka bergegas keluar. Seruni menutup kembali pintu besi itu dan menguncinya. Disimpannya kembali kunci itu di balik lipatan bajunya. Sementara Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling.

"Di mana ini?" tanya Bayu.

"Di luar bagian Barat istana," sahut Seruni.

Bayu belum sempat bertanya lagi, karena Seruni sudah menyeretnya kembali. Mereka kemudian berlari kecil masuk ke sebuah hutan kecil yang tidak begitu lebat Tidak seperti bangunan-bangunan istana lainnya yang selalu berdiri di tengah-tengah kota, istana ini justru berada di tengah-tengah hutan.

Seruni berhenti berlari setelah cukup jauh mereka meninggalkan Istana Cagar Angin. Bayu juga ikut berhenti. Mereka benar-benar di dalam hutan sekarang ini. Tak ada yang bisa dilihat kecuali kegelapan dan pepohonan yang besar dan rapat Hanya gerit binatang malam yang terdengar.

"Kenapa aku kau bebaskan, Seruni?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Maaf, aku harus cepat kembali. Mereka tidak boleh tahu kalau aku telah membebaskanmu," kata Seruni tanpa menjawab pertanyaan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Tapi..."

Bayu tak sempat lagi meneruskan ucapannya, karena Seruni telah lebih cepat memeluk dan melumat bibir Pendekar Pulau Neraka itu. Kejadian yang begitu cepat dan tidak sempat disadari lagi. Sebelum Bayu bisa berkata apa-apa, gadis itu sudah berlari cepat meninggalkannya. Pemuda itu hanya bisa memandangi kepergian Seruni hingga lenyap ditelan kegelapan malam.

"Aneh...," desah Bayu seraya mengangkat bahunya. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tatapan matanya langsung tertumbuk pada kerlip cahaya yang timbul tenggelam di antara pepohonan yang menghitam. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung berjalan cepat menuju arah cahaya itu.

***

Bayu memandangi sebuah pondok kecil yang terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Cahaya yang dilihatnya tadi ternyata dari sebuah pelita kecil yang tergantung di beranda pondok kecil ini. Bayu melangkah mendekati kepintu yang terbuka. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berhenti dan melongok ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok ini.

Tapi....

Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu sempat berpikir jauh, mendadak saja mendengar suara mendesing dari arah belakang. Tak sempat lagi Bayu menoleh, tapi dengan cepat dimiringkan tubuhnya ke samping Maka sebuah benda seperti anak panah meluncur lewat di samping kepalanya. "

"Hup !"

Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat.

"Nyi Rampik...!" desis Bayu terkejut begitu melihat seorang perempuan tua tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh didepannya.

"Bayu...!" perempuan tua yang ternyata memang Nyi Rampik itu juga terkejut

"Kenapa ada di sini, Nyi?" tanya Bayu seraya menghampiri.

"Hhh...! Ceritanya panjang, Bayu," sahut Nyi Rampik bernada mengeluh.

Mereka kemudian duduk di beranda pondok kecil ini.

"Di mana Rampita, Nyi?" tanya Bayu yang teringat Rampita.

"Itulah, Bayu.... Kenapa aku pergi dan mencarimu"

"Katakan, Nyi. Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu mendesak.

"Tidak lama kau pergi, datang seorang laki-laki tua bertubuh cebol yang ingin menculik Rampita. Aku dan Rampita berusaha melawan, tapi laki-laki itu terlalu tangguh. Aku berhasil melukainya, tapi dia malah membuatku pingsan. Begitu sadar, ternyata Rampita sudah tidak ada lagi. Tapi sebelum aku pingsan, samar-samar aku dengar kalau laki-laki itu mencarimu," Nyi Rampik menceritakan dengan singkat.

Bayu tertegun diam membisu. Dia tahu, siapa laki-laki cebol itu. Seorang tua bertubuh kecil gemuk yang bernama Eyang Banadu. Tapi yang tidak bisa dimengerti adalah, kenapa Eyang Banadu mencarinya? Dan kini malah menyandera Rampita untuk jaminan kedatangannya.

Bayu teringat ketika kembali ke pondok perempuan tua ini dalam keadaan kosong, kecuali Nyi Rampik yang tengah pingsan. Dan di situ dia bertemu Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka menatap perempuan tua yang duduk di depannya. Tarikan napas berat terdengar dari hidung Pendekar Pulau Neraka itu.

"Di mana dia menungguku, Nyi?" tanya Bayu.

"Di Lembah Bunga. Kau tahu Padepokan Tongkat Sakti, bukan? Di sana dia menunggumu," sahut Nyi Rampik.

"Ya, aku tahu. Padepokan itu sudah hancur," desah Bayu.

"Kasihan anak itu. Penderitaan tidak pernah berhenti mengikutinya...," desah Nyi Rampik.

Bayu semakin dalam memandangi perempuan tua itu. Desahan Nyi Rampik tadi terasa aneh di telinganya. Dan rupanya perempuan tua itu baru menyadari. Dipalingkan mukanya, seakan-akan tak sanggup menerima tatapan Pendekar Pulau Neraka ini. Tatapan begitu tajam menusuk, seperti menuntut banyak darinya.

"Sepertinya kau sudah mengenal Rampita cukup lama, Nyi," ujar Bayu, bernada curiga.

Nyi Rampik tidak menjawab, tapi hanya menarik napas panjang saja. Sedangkan Bayu semakin dalam memandangi wajah tua di depannya ini.

"Kau menyembunyikan sesuatu, Nyi?" desak Bayu.

"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu. Bayu. Aku merasa bersalah karena tidak berterus terang padamu waktu itu. Aku memang sudah mengenal lama, bahkan sejak Rampita masih kecil," pelan sekali suara Nyi Rampik.

"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalnya, Nyi?" Bayu benar-benar tidak mengerti.

Memang terlalu banyak kepura-puraan yang ditemui Pendekar Pulau Neraka di sekitar Gunung Cakal ini. Bahkan sepertinya hampir semua orang selalu berpura-pura. Sukar baginya untuk bisa memahami. Bahkan sulit untuk mempercayai seorang pun di sini.

"Sukar untuk dijelaskan, Bayu. M asalahnya ini menyangkut kesetiaanku," kata Nyi Rampik pelan.

"Kesetiaan? Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi."

"Kau akan mengerti jika sudah bertemu Dewa Pengemis, Bayu."

Bayu tersentak kaget. Dia ingat, kalau pernah bertemu seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Bahkan sempat ditolongnya. Tapi laki-laki tua yang mengaku bernama Dewa Pengemis itu justru malah menyerangnya setelah Rampita muncul. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Rampita muncul lalu menuduhnya yang tidak tidak. Dan sekarang Nyi Rampik mengatakan kalau Rampita diculik Eyang Banadu.

Semakin sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mengetahui kebenaran semua ini. Terlalu banyak peristiwa yang sukar dipahami. Bayu merasakan dirinya masuk dalam lingkaran manusia-manusia aneh dengan segala tingkah polah yang membingungkan. Tapi hal ini justru membuat Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu, dan tidak mungkin diungkapkan sekaligus. Paling tidak dia harus mempercayai satu orang. Apakah mungkin Nyi Rampik bisa dipercayai? Atau Seruni, dara ayu penuh misteri yang sikapnya begitu aneh?

Sementara waktu terus berputar sesuai kodratnya. Terdengar ayam jantan berkokok, dan burung-burung berkicau, pertanda malam akan segera berganti. Namun kegelapan masih menyelimuti sekitarnya. Bayu baru tersadar, kalau sekarang berada di suatu tempat yang tidak diketahui apa namanya.

'Tempat apa ini, Nyi?" tanya Bayu.

"Sebelah Selatan Lembah Bunga. Kalau kau ingin ke Padepokan Tongkat Sakti, tidak berapa jauh lagi. Pondok ini baru kudirikan siang tadi," jelas Nyi Rampik.

"Kita tunggu sampai siang nanti, Nyi."

"Kau akan menemui si cebol itu, Bayu?"

"Ya," sahut Bayu mantap.

Bayu memang sudah memutuskan untuk pergi ke Padepokan Tongkat Sakti yang diketahuinya sudah hancur. Pendekar Pulau Neraka ingin membuktikan kata-kata Nyi Rampik. Jika memang benar, perempuan tua ini mungkin bisa dipercayainya. Paling tidak, ada satu orang yang bisa dipercaya daripada tidak sama sekali. Mungkin dengan begini bisa diungkapkan satu persatu dari semua teka-teki yang tengah dihadapinya.
***

Bayu memandangi sekitar Padepokan Tongkat Sakti yang telah rata dengan tanah. Pemandangan yang memang tidak sedap dinikmati. Di antara reruntuhan bekas padepokan itu, mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan rusak. Bahkan sebagian tinggal tulang belulang berserakan. Bau tidak sedap menyengat hidung. Pendekar Pulau Neraka mengalihkan perhatiannya ke suatu arah.

Dan memang di situ telah ada seorang laki-laki tua bertubuh kecil gemuk, dan berkepala gundul berkilat Dia berdiri tidak jauh di depan, di bawah sebatang pohon beringin yang cukup besar dan rindang. Tampak Rampita terikat di pohon itu.

"He he he.... Akhirnya kau datang juga, Bayu," suara laki-laki gemuk cebol itu terdengar serak dan berat

"Hati-hati, Bayu. Dia keturunan dari tanah India. Ilmu kedigdayaannya sangat tinggi," bisik Nyi Rampik yang berada di samping Pendekar Pulau Neraka.

Bayu hanya menggumam kecil saja. Diayunkan kakinya menghampiri laki-laki tua cebol itu. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Sedikit pun perhatiannya tidak dialihkan dari orang tua cebol keturunan India ini. Bayu memang sudah pernah bertemu sekali. Tapi, waktu itu Pendekar Pulau Neraka yakin kalau laki-laki yang bernama Eyang Banadu ini sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Sekarang mereka berdua berhadapan lagi. Saat ini Bayu sudah tahu kalau Eyang Banadu jelas ada hubungannya dengan Seruni dan Prabu Nata Kesuma. Di Istana Kerajaan Cagar Angin, Pendekar Pulau Neraka itu juga telah lihat delapan gadis murid laki-laki cebol ini. Bayu menghentikan langkahnya sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Eyang Banadu.

"Semula aku menghormatimu, Eyang Banadu. Kau bijaksana, tidak mendengarkan pengaduan sepihak. Tapi perbuatanmu ini sungguh memalukan. Membuat rasa hormatku pupus," terdengar dingin nada suara Bayu.

"He he he.... Sungguh pandai kau bermain kata-kata, Bayu. Maaf, aku telah memanfaatkan gadis ini. Tapi hanya itulah cara yang kuperoleh untuk mengundangmu datang ke sini," sambut Eyang Banadu ringan.

"Hm.... Kau hanya menginginkanku, Eyang Banadu. Kenapa tidak kau lepaskan gadis itu?" tetap dingin nada suara Bayu.

Sambil terkekeh Eyang Banadu cepat menggerakkan tongkatnya. Dan seketika itu juga tambang yang mengikat Rampita di pohon terputus.

"Nah! Sekarang tinggal urusan kita berdua, Bayu," ujar Eyang Banadu.

"Kenapa kau menantangku dengan cara licik seperti ini, Eyang Banadu?" tanya Bayu ingin tahu.

"Karena kau telah membunuh binatang piaraanku, dan harus ditebus dengan darahmu sendiri, Bayu!" tegas Eyang Banadu.

"Oh.... Jadi beruang putih itu milikmu?" Bayu langsung bisa menangkap.

"Benar! Sekarang aku ingin meminta tanggung jawabmu!"

"Kenapa tidak minta tanggung jawab pada Seruni? Dialah yang membawa beruang putih itu dan menyuruh menyerangku. Rasanya salah jika meminta tanggung jawabku, Eyang Banadu!"

"Jangan menyalahkan orang lain, Bayu! Muridku mencoba melindungi diri dari nafsu kotormu!" bentak Eyang Banadu.

"He...!" Bayu tersentak. "Apa lagi yang diperbuat Seruni... ?"

"Heh! Kau berpura-pura mengantarkan kotak kayu berisi Bunga Cubung Biru, padahal punya maksud buruk pada muridku. Kau tahu, Seruni adalah murid kesayanganku! Tak ada seorang pun yang bisa berlaku kurang ajar padanya. Nah! Bersiaplah, Bayu...!"

Bayu tak punya waktu lagi untuk menjelaskan, karena Eyang Banadu sudah melompat menyerang sambil berteriak keras. Laki-laki tua cebol itu mengebutkan tongkatnya beberapa kali, membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa jumpalitan menghindari. Sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan Eyang Banadu. Setiap kebutan tongkatnya mengandung hawa dingin membekukan disertai hembusan angin kencang bagai hendak menghempaskan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Yeaaah...!"
Wuk!

Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Kali ini Eyang Banadu bertarung sungguh-sungguh. Terbukti serangan-serangannya sungguh dahsyat, membuat Pendekar Pulau Neraka agak kelabakan menghadapinya. Tongkat kayu yang digunakan sebagai senjata, sungguh dahsyat luar biasa. Batu dan pepohonan hancur terkena hantamannya.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, tempat yang sudah berantakan semakin porak poranda akibat pertarungan itu. Namun sampai sejauh ini, Bayu belum balas menyerang. Meskipun sesekali melontarkan pukulan keras, namun tidak berarti sama sekali. Kelihatan sekali kalau Pendekar Pulau Neraka itu tidak sungguh-sungguh dalam pertarungan ini.

"Phuih! Kau menghinaku, Anak Muda!" bentak Eyang Banadu seraya mengirimkan satu pukulan tangan kiri yang keras.

"Uts!"

Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping, maka pukulan orang tua cebol itu luput dari sasaran. Namun sebelum Bayu bisa menarik tubuhnya kembali, Eyang Banadu sudah memberi satu sodokan tongkat ke arah dada.

Wuk!
"Yaaah...!"

Bayu terpaksa memutar tubuhnya ke belakang. Tapi Eyang Banadu terus mencecar dengan tusukan dan kibasan tongkat beberapa kali. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka harus berjumpalitan berputaran menghindari serangan beruntun ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuhnya ke udara ketika Eyang Banadu menghentakkan tongkatnya ke arah kaki.

"Hiyaaa...!"

Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian manis sekali hinggap di tanah sekitar dua batang tombak di belakang laki-laki tua cebol itu. Cepat sekali Eyang Banadu memutar tubuhnya.

'Tunggu! Dengarlah penjelasanku dulu!" bentak Bayu cepat

"Tidak ada lagi penjelasan, Anak Muda! Kau harus mampus hari ini! Hiyaaat..!"

Rupanya Eyang Banadu tidak bisa lagi diajak bicara. Kemarahannya sudah memuncak, sehingga kembali melompat menerjang dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Serangannya cepat luar biasa disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk memberi penjelasan yang sebenarnya. Pemuda itu terpaksa berkelit menghindari serangan orang tua cebol itu.

Serangan-serangan yang dilakukan Eyang Banadu semakin meningkat Dan Bayu tidak bisa lagi bermain main kali ini. Sedikit saja kelengahan akan berakibat fatal buat dirinya sendiri. Terpaksa Pendekar Pula Neraka itu melayani secara sungguh-sungguh pula. Di tempat yang tidak begitu jauh, Rampita menyaksikan! pertarungan itu disertai perasaan cemas. Dia mengharapkan Bayu dapat cepat menyelesaikan pertarungan ini. Sementara Nyi Rampik menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.

"Lepas...!"

Tiba-tiba Bayu berseru keras. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya, tepat saat Eyang Banadu menghantamkan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka itu. Tak dapat dihindari lagi. Tongkat kayu itu beradu keras dengan pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

Tring!

Sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan menggeledek ke dada orang tua cebol itu.

Deeesss!

"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek. Tak sempat menghindari lagi pukulan yang keras itu!

Trak!

"Eh...?!" Eyang Banadu terperanjat. Tongkat kayunya terbelah jadi dua bagian. Dan sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan keras menggeledek, mengarah ke bagian dada orang tua cebol itu.

"Yeaaah...!"
Duk!
"Ughk...!"

Eyang Banadu mengeluh pendek. Pukulan Bayu yang keras tak dapat dihindari lagi Tubuh gemuk cebol itu terpental sejauh tiga batang tombak. Beberapa kali Eyang Banadu bergulingan di tanah, namun mampu cepat bangkit kembali meskipun agak limbung. Darah menetes keluar dari sudut bibirnya. Orang tua cebol itu melemparkan tongkat yang terbelah, kemudian melepaskan untaian kalung hitam dari lehernya.

Wuk! Wuk...!
"Hiy aaat ..!"

Sambil memutar-mutar kalung batu hitamnya. Eyang Banadu melompat menerjang kembali. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping. Pada saat yang sama laki-laki cebol itu melemparkan kalungnya dengan kecepatan tinggi. Tak mungkin lagi bagi Bayu menghindarinya. Cepat-cepat dimiringkan tubuhnya ke kiri, lalu....

"Yeaaah...!
Swing!

Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak cepat seketika Cakra Maut bersegi enam melesat Senjata itu langsung menyambar untaian kalung hitam yang melayang deras di angkasa. Satu benturan keras terjadi, disertai ledakan dahsyat menggelegar. Seketika bunga api memercik menyebar
ke segala penjuru.

Untuk kedua kalinya Eyang Banadu terperangah. Untaian kalung hitamnya hancur berantakan. Sedangkan Cakra Maut bersegi enam melesat berbalik ke arah pemiliknya, dan menempel kembali di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan sebelum Eyang Banadu bisa menguasai keterkejutannya, Bayu sudah melesatkan kembali senjata mautnya.

Sing...!
"Uts!"

Buru-buru Eyang Banadu melompat ke samping menghindari senjata bulat bersegi enam itu. Namun belum juga bisa berdiri tegak sempurna, Cakra Maut sudah kembali melesat ke arahnya. Seketika laki-laki tua cebol itu hanya bisa membeliak.

Cras!
"Aaakh...!"

Eyang Banadu menjerit keras melengking. Ujung-ujung Cakra M aut berhasil merobek dada laki-laki tua cebol itu. Seketika darah muncrat keluar membasahi dadanya. Eyang Banadu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang sobek cukup panjang.

"Kau yang menghendaki kematianmu sendiri, Eyang Banadu! Hiya!" seru Bayu keras.

Saat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu, secepat itu pula dia melompat sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Eyang Banadu tak mungkin lagi berkelit Dan....

Bughk!
"Aaa...!"

Untuk kedua kalinya Eyang Banadu menjerit melengking tinggi. Pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam kepala gundul orang tua gemuk cebol itu. Terdengar suara berderak dari batok kepala yang pecah. Tampak darah merembes keluar dari kepala tanpa rambut itu. Sebentar Eyang Banadu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di tanah.

Bayu berdiri tegak memandangi tubuh cebol yang menggelepar meregang nyawa. Tak lama berselang, Eyang Banadu menghembuskan napasnya yang terakhir. Darah kini menggenang dari dada dan kepalanya. Bayu melangkah mundur beberapa tindak, kemudian berbalik. Pada saat itu Rampita berlari menghampiri diikuti Nyi Rampik.

"Kakang...!" seru Rampita.

***
ENAM
Belum juga Rampita sampai, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menyambar ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga pemuda berbaju kulit harimau itu tidak sempat menyadari. Dan tahu-tahu Bayu merasakan dadanya sesak, lalu tubuhnya terpental keras ke belakang hingga menghantam sebatang pohon.

"Uhk...!" Bayu mengeluh sambil berdiri. Sebelum Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri tegak, bayangan itu kembali meluruk deras ke arahnya. Cepat-cepat Bayu melompat ke samping dan menjatuhkan diri ke tanah. Dia bergulingan beberapa kali, lalu bergegas melompat bangkit Pada saat itu, terlihat bayangan itu kembali meluruk menyambarnya. Kali ini Bayu tidak menghindar, siap menerima dengan kaki terbuka lebar agak menekuk.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tepat pada saat itu, bayangan itu segera melesat ke atas menghindari benturan dengan Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu tak mau tinggal diam. Secepat kilat dilentingkan tubuhnya ke atas, dan kembali dilontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hiy aaat ..!"
Dughk!

Hantaman Bayu tepat mengenai sasaran, tapi tangannya jadi terasa nyeri. Bahkan tubuhnya terlontar jatuh, bergulingan di tanah. Demikian juga bayangan itu. Dia terjatuh keras ke tanah. Hampir bersamaan mereka bangkit berdiri.

"Dewa Pengemis...!" desis Bayu begitu mengenali bayangan yang menyerangnya tadi.

"Paman...!" Rampita tersentak begitu bisa mengenali pula.

Rampita buru-buru berlari dan berdiri di tengah-tengah ketika Dewa Pengemis hendak melancarkan serangan kembali. Pada saat itu Nyi Rampik juga menghampiri laki-laki tua kurus kering yang berpakaian compang camping itu.

"Hentikan, Kakang!" bentak Nyi Rampik.

"Heh...?!" Dewa Pengemis tampak terkejut melihat Nyi Rampik ada di sini.

"Apa-apaan ini...?!" bentak Nyi Rampik nampak gusar.

"Minggir, Rampik. Biar kuhajar bocah keparat itu!" dengus Dewa Pengemis dingin.

"Kenapa? Apa salahnya padamu, Kakang?" tanya Nyi Rampik tidak mengerti.

"Kau jangan coba-coba melindunginya, Rampik. Dia sudah berani mengganggu Rampita dan menculiknya!"

"Paman...!" Rampita terkejut

"Edan! Setan mana yang menutup matamu, Kakang?" dengus Nyi Rampik

"Heh...?!" Dewa Pengemis terlonjak.

Laki-laki tua kurus itu memandangi Nyi Rampik dan Rampita bergantian. Sinar matanya seperti tidak mempercayai apa yang didengarnya tadi. Kemudian matanya beralih menatap Bayu. Bahkan saat itu Rampita menghampiri Bayu dan berdiri di sampingnya. Hal ini semakin membuat Dewa Pengemis jadi bengong seperti orang tolol.

"Ada apa ini? Rampita...!" Dewa Pengemis seakan-akan meminta penjelasan.

"Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah! Pakai otakmu, Kakang...!" dengus Nyi Rampik bernada kesal.

Dewa Pengemis tampak semakin kebingungan. Dipandanginya ketiga orang di sekitarnya. Sementara Rampita menggandeng tangan Bayu dan mengajak menghampiri laki-laki tua pengemis itu. Gadis itu tersenyum, seperti mengerti kebingungan yang dialami Dewa Pengemis.

"Kenapa Paman membenci Kakang Bayu?" tanya Rampita lembut

"Aku..., aku...," Dewa Pengemis jadi gelagapan.

"Sudahlah, ini hanya salah paham saja," Bayu menengahi. Tidak tega juga hanya melihat laki-laki tua itu jadi serba salah.

"Aku tahu, ini pasti gara-gara si Seruni!" desis Nyi Rampik

''Jangan menuduh sembarang dulu, Nyi. Belum tentu ada sangkut pautnya dengan Seruni," sergah Rampita.

"Pasti! Anak nakal itu selalu saja bikin ulah. Kali ini sudah keterlaluan. Kau jangan membelanya terus, Rampita!" Nyi Rampik memperingatkan.

'Tapi, Nyi...."

"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Nyi Rampik, cepat memotong ucapan Rampita. "Aku kasihan padamu, Rampita. Sejak kecil selalu menderita, tapi kau terus mengalah. Kenapa ? Kenapa kau terus mengalah, Rampita...?"

Rampita diam saja. Sedangkan Bayu hanya memandangi kedua wanita itu, disertai sinar mata keheranan Sementara Dewa Pengemis sendiri masih diliputi ketidakmengertian akan semua kejadian ini. Diam-diam didekatinya Pendekar Pulau Neraka, lalu dicoleknya lengan pemuda itu. Bayu menoleh, lalu menggeser kakinya menjauhi Rampita. Dia berjalan mengikuti laki-laki tua pengemis itu.

"Jelaskan padaku, ada apa semua ini?" tanya Dewa Pengemis minta penjelasan.

"Aku sendiri tidak mengerti...," sahut Bayu. "Edan! Barangkali semua orang sudah gila. Huh! Kenapa aku jadi ikut-ikutan gila...?!" rungut Dewa Pengemis.

"Ki... Hm, boleh aku memanggilmu begitu?"

'Terserah."

"Kenapa kau tiba-tiba memusuhi dan menyerangku, Ki?" tanya Bayu.

"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu! Kenapa kau menculik Rampita?!" Dewa Pengemis malah balik bertanya.

"Aku tidak menculik Rampita. Aku justru ke sini untuk membebaskannya dari tangan Eyang Banadu."

"Heh!" Dewa Pengemis tampak terkejut

"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.

Dewa Pengemis menatap Bayu dalam-dalam, kemudian pandangannya beralih pada sosok tubuh cebol tua yang tergeletak tak bernyawa di tanah. Kembali ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak percaya.

"Kau mengalahkannya...?" nada suara Dewa Pengemis seperti tidak mempercayai kalau Bayu yang menewaskan Eyang Banadu.

"Benar. Kenapa?"

"Aku sendiri belum tentu sanggup menandinginya. Bagaimana kau bisa mengalahkannya, Bayu?"

"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena dia dirasuk kemarahan, sehingga tidak bisa mengendalikan diri," sahut Bayu seenaknya.

"Kau tahu, di daerah ini Eyang Banadu tidak ada yang menandingi. Ah, sudahlah.... Itu urusanmu. Tapi...," Dewa Pengemis kembali menatap Bayu dalam-dalam. "Benar kau tidak menculik Rampita?"

"Apa perlu bersumpah? Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Rampita sendiri."

"Aneh...! Padahal semalaman aku menjagainya. Kenapa bisa kecolongan...?" Dewa Pengemis bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Semalaman..?! Ki, Rampita sudah ada di sini sejak kemarin."

"Tidak mungkin! Semalam dia masih ada bersamaku!" bantah Dewa Pengemis.

"Ah..., mungkinkah ini ulah Seruni?" desah Bayu pelan.

"Ini bukan waktunya main-main, Bayu!"

"Aku tidak main-main. Hm.... Sebaiknya persoalan kita pecahkan bersama, lalu cari biang keladinya. Bagaimana?"

"Kau benar, Bayu."

Kedua laki-laki yang semula bersitegang itu, kemudian menghampiri Rampita dan Nyi Rampik yang juga tengah membicarakan persoalan yang sedang dihadapi. Mereka berempat kemudian berkumpul, duduk di sebuah batang pohon rindang. Mereka menyatukan pendapat dan mencari kebenaran yang selama ini seperti dipermainkan.

***

Memang sukar untuk dimengerti, namun akhirnya mereka menyadari kalau selama ini menjadi boneka permainan. Mereka sengaja diadu domba agar timbul perpecahan satu sama lain, sehingga saling bentrok. Terutama antara Pendekar Pulau Neraka dengan Dewa Pengemis. Terlebih lagi laki-laki tua berpakaian compang camping itu yang baru menyadari dirinya telah dipermainkan seorang wanita yang menyamar menjadi Rampita. Dan mereka semua tahu, siapa wanita itu. Tapi yang lebih penting lagi, semua persoalan ini ternyata bertumpu pada sekuntum Bunga Cubung Biru yang sampai sekarang belum ada seorang pun yang memilikinya.

Tak ada seorang pun yang tahu, di mana Bunga Cubung Biru kini. Namun di lain hal, semuanya jadi prihatin terhadap nasib Rampita. Gadis ini akan terus lemah tanpa daya jika tidak segera diobati oleh bunga itu. Bahkan mungkin nyawa gadis ini bakal terenggut jika sekali saja menggunakan ilmu tenaga dalam. Secara alamiah, penggunaan tenaga dalam akan membuka aliran darah. Dan itu akan mengakibatkan sejenis racun dan luka dalam di tubuh gadis itu akan meluas sehingga akan berakibat sangat parah baginya.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu memancing pendapat

Tak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya saling melemparkan pandang. Satu pertanyaan yang mudah dilontarkan, namun terasa sukar dijawab.

"Baiklah. Karena ini menyangkut keselamatan Rampita, aku mengusulkan untuk mencari Bunga Cubung Biru terlebih dahulu. Kita singkirkan semua persoalan dengan Seruni atau siapa saja. Bagaimana?" Bayu memberikan usul.

"Aku terserah saja...," Rampita menanggapi. Gadis itu memang sudah pasrah, karena tahu tidak akan bisa pulih tanpa Bunga Cubung Biru. Tak ada satu tabib pun yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Memang Rampita sendiri tidak tahu, dengan apa Seruni melukainya. Waktu itu Nyi Rampik sudah memberi usul agar meminta obat penawar pada Seruni, tapi hal itu tidak akan mungkin. Karena, mereka semua tahu siapa gadis itu. Hanya saja mereka memang tidak memberitahukan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri tidak suka mendesak. Dia yakin kalau antara Rampita dan Seruni ada suatu hubungan. Bisa saja mereka bersaudara, bahkan mungkin bisa dikatakan saudara kembar.

"Dari mana kita mulai mencari bunga itu?" tanya Dewa Pengemis.

'Yang kutahu, Anom Sura menyimpan bunga itu dalam kotak kayu yang disimpan di bawah altar semadinya," jelas Nyi Rampik.

"Kotak itu sudah ada di tangan Seruni, tapi katanya bunga itu tidak ada di dalam kotak. Bahkan Kakang Bayu dituduh sebagai orang yang mengambilnya," sergah Rampita.

"Sedangkan kita sendiri tahu, Bayu tidak memiliki bunga itu," sambung Nyi Rampik.

"Hm.". Ada satu tempat yang sangat rahasia...," gumam Dewa Pengemis. 'Tapi aku tidak yakin kalau Anom Sura menyimpannya di sana."

"Segala kemungkinan harus dilaksanakan, Ki," celetuk Bayu.

"Kau yang lebih dekat dengan Anom Sura, jadi pasti lebih tahu tentang dia, Kakang," tegas Nyi Rampik.

Dewa Pengemis bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya reruntuhan bangunan Padepokan Tongkat Sakti. Kemudian kakinya terayun melangkah. Bayu, Nyi Rampik, dan Rampita mengikuti dari belakang. Mereka hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan laki-laki tua pengemis ini.

Sedangkan Dewa Pengemis terus melangkah pelahan mendekati reruntuhan bangunan bekas padepokan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dilewatinya reruntuhan bangunan itu, lalu terus berjalan menuju sebuah bangunan batu yang sudah hancur berantakan. Laki-laki tua berpakaian compang camping itu berhenti di dekat situ.

"Bayu, bisa kau singkirkan batu-batu ini?" tanya Dewa Pengemis seraya berpaling menatap pada Pendekar Pulau Neraka.

Bayu tak menjawab, tapi lalu melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan Dewa Pengemis mundur mendekati Nyi Rampik dan Rampita. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping tubuhnya. Kemudian digeser kakinya hingga terentang. Pelahan sekali tangannya bergerak ke depan dada, lalu kedua telapak tangannya merapat. Pelan-pelan Bayu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kemudian tangan kanannya naik ke atas dan tangan kiri ditarik hingga sejajar pinggang. Cepat sekali ditarik tangan kanannya hingga sejajar dada. Lalu....

"Hiyaaa...!"

Seketika itu juga Bayu menghentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka lebar ke depan. Pada saat itu terdengar suara menggemuruh. Tampak batu-batuan yang bertumpuk tidak beraturan di depannya berpentalan. Sebentar saja semua batu telah berserakan ke segala arah. Tinggal sebuah batu besar yang tampaknya tertanam di dalam tanah, sehingga hanya bagian atasnya saja yang terlihat

"Hebat!" puji Dewa Pengemis tulus. "Ilmu apa yang kau gunakan itu, Bayu?"

"Aku menamakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra'," sahut Bayu.

"Sungguh dahsyat."

'Tapi itu belum sempurna, Ki," Bayu merendah.

"Ayolah, kita angkat batu itu," ajak Dewa Pengemis.

"Ki...."

Bayu menahan dada laki-laki tua pengemis itu yang hendak melangkah menghampiri. Dewa Pengemis menghentikan langkahnya, lalu tersenyum dan terangguk Bisa dimengerti maksud pemuda berbaju kulit harimau itu. Selangkah kakinya mundur.

Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, kemudian menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras. Tampak dari kedua telapak tangannya meluncur secercah cahaya kuning keemasan. Cahaya itu langsung menyambar batu yang terbenam ke dalam tanah itu. Ledakan keras terdengar menggelegar. Seketika batu itu hancur berkeping-keping, menimbulkan debu yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.

Begitu debu menyebar terbawa angin, tampak sebuah lubang yang cukup besar berbentuk segi empat. Di tengah-tengah lubang itu terlihat sebuah kotak terbuat dari besi berwarna kemerahan. Dewa Pengemis bergegas menghampiri, lalu masuk ke dalam lubang itu dan mengambil kotak besi. Bayu membantu laki-laki tua itu keluar dari dalam lubang.

Dewa Pengemis membuka tutup besi. Tampak di dalam kotak besi kemerahan itu terdapat sekuntum bunga berwarna biru yang mengeluarkan cahaya terang berkilauan. Bunga itu bentuknya mirip bunga teratai, tapi ukurannya lebih kecil. Wajah Dewa Pengemis, Nyi Rampik, dan Rampita berseri-seri.

"Sudah kuduga, pasti Anom Sura menyimpannya di situ," desah Dewa Pengemis seraya menyerahkan kotak besi yang sudah tertutup lagi pada Rampita. "Ini milikmu, jaga dengan baik"

Rampita menerimanya, namun bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Benda yang selama ini menjadi pangkal segala kerusuhan, ternyata berhasil dimilikinya lagi. Bunga ajaib yang akan memulihkan keadaan tubuhnya kembali seperti semula. Rampita menyerahkan kotak besi berisi Bunga Cubung Biru itu pada Nyi Rampik.

"Buatkan obat untukku, Nyi," ucap Rampita agak tersendat suaranya. "Baik, Gusti Ayu," sahut Nyi Rampak seraya menerima kotak besi itu, bersikap penuh rasa hormat.

"Gusti Ayu...?!" Bayu mendesis tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi Rampita dan Nyi Rampik bergantian. Sungguh hatinya terkejut dan tidak mengerti, kenapa Nyi Rampik memanggil Rampita dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan yang biasa digunakan putri-putri bangsawan atau kerabat kerajaan. Tapi Bayu belum bisa menanyakan, karena Dewa Pengemis sudah menggeret tangannya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Rampita dan Nyi Rampik yang langsung sibuk menyiapkan peralatan yang dibawa untuk membuat ramuan obat dari Bunga Cubung Biru.


***

Bayu mengayunkan kakinya pelahan-lahan, berjalan semakin jauh meninggalkan reruntuhan Padepokan Tongkat Sakti. Sementara di sampingnya berjalan Dewa Pengemis. Sesekali mereka berhenti dan menoleh ke belakang. Tampak Nyi Rampik masih sibuk mempersiapkan peralatan untuk membuat ramuan Bunga Cubung Biru. Tanpa terasa kedua orang itu sudah begitu jauh meninggalkan kedua wanita itu.

"Bayu...."

"Ya?" Bayu menghentikan langkahnya. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh menghadap Dewa Pengemis yang rupanya sudah lebih dahulu berhenti berjalan. Sesaat mereka hanya saling tatap saja.

"Maaf, aku telah berlaku buruk padamu," ucap Dewa Pengemis.

"Lupakan saja," desah Bayu seraya tersenyum.

"Bayu, boleh aku bertanya secara pribadi padamu?"

"Kenapa tidak?"

"Kenapa kau selalu membela Rampita?" tanya Dewa Pengemis.

"Aku...? Aku...," Bayu tidak bisa menyelesaikan jawabannya.

Terus terang, dia sendiri tidak tahu, kenapa selalu membela gadis itu. Rampita memang cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hatinya. Bayu dapat merasakan kecantikan seutuhnya pada gadis itu. Tapi untuk menjawab pertanyaan Dewa Pengemis, terasa sulit sekail

"Kenapa kau tanyakan itu, Ki?" Bayu malah balik bertanya.

"Jika kau tidak suka menjawabnya, lupakan saja. Ah! Pikiran orang tua memang selalu macam-macam. Lupakan saja, Bayu."

"Sikap yang sangat aneh!" dengus Bayu dalam hati. Benar-benar sulit memahami sikap laki-laki tua ini.

Sesaat kedua orang itu membisu, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk berbicara kembali.

"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bertanya padamu. Boleh?" Bayu mengalah.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

'Tentang Rampita."

Dewa Pengemis mengerutkan keningnya.

"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Bayu.

Baru sekarang pertanyaan yang selalu menjadi ganjalan di benaknya bisa dilontarkan. Dan Dewa Pengemis nampak terhenyak mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Sesaat laki-laki tua itu terdiam membisu. Sepertinya tengah berpikir keras, menimbang-nimbang untuk menjawab pertanyaan yang terasa sangat berat ini.

"Aku yakin, kau begitu dalam mengenalnya. Bahkan Rampita memanggilmu dengan sebutan Paman. Itu sudah menandakan antara kau dan Rampita punya hubungan," tegas Bayu lagi.

"Kenapa kau ingin tahu tentang dia, Bayu?" tanya Dewa Pengemis.

"Kenapa? Karena aku merasa ada keanehan pada dirinya. Dan itu selalu mengganggu pikiranku. Kau tahu, Ki. Hatiku tidak akan pernah puas jika hanya setengah jalan saja. Kau pasti bisa memahami maksudku," jelas Bayu.

"Kau mencintainya, Bayu?" tebak Dewa Pengemis langsung.

"Jangan tanyakan itu, Ki! Aku baru beberapa hari mengenalnya!" dengus Bayu kurang senang.

Tidak dipungkiri, Bayu sempat juga bergetar mendengar tebakan laki-laki tua pengemis itu. Dia sendiri tidak tahu dengan perasaannya kali ini. Belum pernah hatinya begitu penasaran ingin mengetahui diri seorang gadis. Bahkan belum pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Dalam petualangannya, sering dijumpainya gadis-gadis, tapi tidak ada yang sempat menggetarkan hatinya.

Entah kenapa, begitu bertemu Rampita, mendadak saja timbul berbagai macam perasaan yang sulit dicari arti dan sebabnya. Tapi yang jelas, Pendekar Pulau Neraka itu telah menumpahkan seluruh perhatiannya. Bahkan ada rasa cemas begitu mengetahui Rampita terluka dalam yang cukup parah dan sukar disembuhkan.

"Rampita memang membutuhkan seseorang yang bisa memberi perlindungan kepadanya. Sedangkan aku sudah tua, tidak mungkin bisa melindunginya terus menerus. Kasihan dia.... Mungkin sudah takdirnya harus bergelimang penderitaan yang tak kunjung reda," kata-kata Dewa Pengemis seakan-akan bernada mengeluh.

Bayu langsung bisa mengerti, tapi tidak bisa memutuskan secepat ini. Dia harus tahu betul, siapa Rampita itu sebenarnya, dan mengapa selalu mengalah pada Seruni. Apakah antara kedua gadis itu memiliki hubungan dekat? Berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab menghantui benak Pendekar Pulau Neraka itu.

"Rampita sebenarnya bukan orang lain bagiku. Dia keponakanku satu-satunya yang tersisa. Ayahnya adalah adik kandungku sendiri," Dewa Pengemis mulai membuka sedikit tabir yang menyelimuti Rampita.

Bayu hanya diam saja mendengarkan, karena inilah saat yang tepat untuk bisa mengetahui tentang diri Rampita sesungguhnya. Dan kesempatan seperti ini sudah lama dinantikan.

"Keluarga kami terpecah belah karena adanya Bunga Cubung Biru. Bunga itu memang banyak memberi manfaat, tapi juga tidak sedikit mendatangkan malapetaka. Kami harus selalu menghadapi tantangan dan bahaya yang tak pernah kunjung padam selama bunga itu masih ada, walaupun semua hal itu disadari betul. Pernah kami sepakat untuk memusnahkannya saja, tapi ayah Rampita tidak menyetujui. Dia rela menyimpan bunga itu dengan segala resiko yang akan dihadapinya," sambung Dewa Pengemis.

"Aku mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah menemukan tempat persembunyian bunga itu," gumam Bayu seperti untuk dirinya sendiri.

"Kau salah jika menyangka Anom Sura adalah ayah Rampita, Bayu," tegas Dewa Pengemis.

"O...?!" Bayu terhenyak. Langsung dikerutkan keningnya.

"Anom Sura sebenarnya bukan ayah kandung Rampita. Memang sejak masih bayi Rampita diasuh dan dibesarkan olehnya."

"Lalu, siapa Anom Sura itu?"

"Adikku, berarti juga pamannya Rampita."

"Lantas, di mana ayahnya sekarang?"

"Ayah Rampita sebenarnya bernama Ki Laban. Atau juga Wira Kerti, yang berjuluk Satria Pedang Perak."

"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.

"Waktu Rampita baru berusia satu bulan, datang bencana. Sekelompok orang persilatan menyerbu hendak merebut Bunga Cubung Biru. Dan malangnya, ibu gadis itu tewas. Tapi Wira Kerti berhasil menyelamatkan putrinya dan membawa ke Padepokan Tongkat Sakti ini. Dia sendiri kemudian mengembara untuk membalas dendam mencari pembunuh istrinya."

"Lalu, apakah dia membawa Bunga Cubung Biru?"

"Bunga itu berhasil jatuh ke tangan seorang wanita berkepandaian tinggi. Aku, Rampik, dan Anom Sura berhasil merebutnya kembali. Dan kami sepakat agar Anom Sura yang menyimpannya."

"Hm..., lalu, apa hubungannya Rampita dengan Seruni?" tanya Bayu, berusaha membuka tabir hubungan dua gadis itu.

"Inilah yang menyulitkan, Bayu. Setahun setelah Wira Kerti mengembara, datang seorang wanita membawa anak. Dia terluka berat, tapi bayi perempuannya dalam keadaan sehat. Wanita itu mengaku sebagai istri Wira Kerti. Semula kami tidak mau percaya. Tapi setelah satu minggu wanita itu meninggal, datang seorang tua bertubuh cebol mengakuinya sebagai saudaranya. Dan bayi perempuan itu diakuinya sebagai keponakannya. Kami tak bisa berbuat banyak, lalu menyerahkan bayi perempuan itu padanya."

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka tahu siapa laki-laki cebol itu. Dia tentu Eyang Banadu yang sudah tewas di tangannya. Dan dugaan Bayu hampir terbukti, bahwa antara Seruni dan Rampita tentu masih satu darah. Wajah mereka begitu mirip, bahkan seperti saudara kembar saja. Paling tidak, Seruni dan Rampita memiliki satu Ayah lain Ibu.

"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Bayu," sambung Dewa Pengemis.

"Apa itu?" tanya Bayu.

"Wira Kerti sebenarnya seorang raja di Cagar Angin. Kami semua bersaudara dan sepakat menyerahkan tahta padanya, karena dia lebih pantas dan selalu bertindak adil. Tapi usianya tidak berlangsung lama. Kami semua cerai berai. Bahkan jadi tidak mengenal satu sama lainnya karena harus menyelamatkan diri masing-masing."

"Kenapa?"

"Ada sekelompok orang yang tidak menyukai kehidupan kami. Dan kelompok itu akhirnya juga pecah. Tapi ada satu orang yang berhasil menguasai Istana Cagar Angin hingga sekarang ini."

"Siapa?" tanya Bayu ingin tahu.

"Nata Kesuma."

"Nata Kesuma..?!" Bayu tidak percaya.

Bagaimana mungkin Bayu bisa mempercayai? Nata Kesuma masih begitu muda. Dan kalau pun terlibat, tentu usianya sudah sama dengan Dewa Pengemis ini. Rasanya sukar dipercaya. Tapi setelah mendengar penjelasan Dewa Pengemis, Bayu semakin tercengang saja.

'Tapi, kenapa dia mengakui Seruni sebagai adiknya?" tanya Bayu.

Itulah, Bayu. Dia selalu memecah belah keluarga besar kami, sehingga tidak mengatakan dirinya yang sebenarnya pada Seruni. Dia sebenarnya sudah tua, bahkan usianya mungkin dua kali lipat dariku."

"Hebat! Ilmu apa yang dipakai untuk bisa awet muda...?" Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Ilmu 'Pati Sukma Bayangan'. Ilmu itu sudah dikuasainya dengan sempurna, sehingga bisa membuat dirinya tetap muda tanpa dipengaruhi usia. Ilmu itu sangat langka, dan tidak sembarangan orang bisa menguasainya."

Bayu berdecak kagum.

"Satu hal lagi, Bayu. Dengan ilmu itu, Nata Kesuma sukar ditandingi. Dia tidak akan mati walaupun tubuhnya tertembus ribuan senjata pusaka yang maha sakti sekali pun."

"O...?!" Bayu semakin kagum.

''Itu sebabnya kami lebih baik menyingkir daripada berhadapan dengannya. Mencari perkara dengannya sama saja bunuh diri."

"Setiap ilmu pasti punya kelemahan, Ki."

"Memang! Tapi Nata Kesuma sudah memindahkan kelemahan dirinya ke dalam sebuah cupu emas yang berada didalam sabuk pinggangnya. Tanpa cupu itu semua ilmunya lenyap, dan dia akan kembali tua."

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

***
TUJUH
Malam sudah demikian larut. Suasana di sekitar Istana Cagar Angin begitu sunyi. Hanya beberapa penjaga saja masih terlihat terkantuk menjalankan tugasnya. Namun di taman belakang istana, terlihat Seruni tengah duduk menyendiri di sebuah bangku taman tidak jauh dari kolam.

Dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau gadis itu gelisah. Beberapa kali dihembuskan napas panjang dan terasa berat. Sejak melepaskan Bayu dari penjara, gadis ini selalu diliputi perasaan gelisah. Padahal perbuatannya tidak ada yang mengetahui. Bahkan Prabu Nata Kesuma sendiri sampai sekarang tidak mengetahuinya.

Gadis itu tidak tahu kalau ada sepasang mata mengawasinya dari tempat tersembunyi. Dia baru tahu saat merasa ada seseorang berdiri di belakangnya. Saat menoleh....

"Oh...!" Seruni hampir terpekik.
"Ssst..."

"Kakang Bayu.... Ada apa ke sini?" agak berbisik suara Seruni. Yang mengawasi Seruni sejak tadi memang Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki berbaju kulit harimau itu menarik tangan Seruni dan membawanya ke tempat terlindung. Gadis itu menuruti saja tanpa membantah sedikit pun Hatinya sudah begitu terpikat pada pemuda tampan ini, dan tidak peduli kalau pernah bentrok. Bahkan sekarang Bayu menjadi buronan kakaknya.

"Kenapa kau ke sini, Kakang?" tanya Seruni.

"Aku rindu padamu, Seruni," sahut Bayu berbisik.

"Ah, Kakang...," desah Seruni langsung berbunga hatinya.

Tanpa malu-malu lagi, gadis itu menjatuhkan diri dan memeluk Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu membalasnya dengan hangat. Tapi saat Seruni hendak mendekatkan bibirnya ke bibir pemuda itu, Bayu cepat-cepat menahan dengan jarinya ke bibir gadis itu.

"Kenapa? Kau rindu padaku, bukan?"

"Ya, aku rindu padamu. Tapi tidak di sini"

"Di mana? Di kamarku?"

Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap Seruni dalam-dalam. Gadis itu masih melingkarkan tangannya ke leher pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Sudah kusiapkan sebuah pondok untuk kita, Seruni," kata Bayu berbisik dekat telinga gadis itu.

"Oh, benarkah...?" berbinar mata Seruni.

'Itu juga kalau kau suka."

'Tentu suka sekali, Kakang."

"Ayolah, selagi tidak ada yang melihat."

Seruni tersenyum manis sekali. Diberikannya satu kecupan lembut di bibir pemuda itu, sebelum Bayu dapat mencegahnya. Dan Seruni menuruti saja ketika Bayu mengajaknya melompati pagar benteng. Tak ada yang menyaksikan, sementara malam terus merayap semakin larut Dan kedua orang itu lenyap di balik pagar tembok benteng yang tinggi dan kokoh.

***

Bayu dan Seruni sambil berpegangan tangan berlari-lari kecil menembus hutan di malam gelap gulita ini Seruni tidak tahu, ke mana pemuda itu membawanya pergi. Tapi semua tak dipedulikannya karena hatinya begitu berbunga, melambung tinggi ke angkasa. Mereka berhenti di depan sebuah pondok kecil yang terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Hanya sebuah pelita kecil yang menyala redup di dalam pondok. Seruni memandangi pondok itu. Dilingkarkan tangannya ke pinggang Bayu. Bibirnya tersenyum manis dan bola matanya berbinar bagai bintang yang bergemerlapan di langit hitam.

"Hanya ini yang bisa kubuat untukmu," kata Bayu

"Indah sekali, Kakang. Aku suka," sambut Seruni semakin mengetatkan pelukannya pada pinggang pemuda itu.

"Masuk, yuk?" ajak Bayu.

Sebentar Seruni memandang wajah tampan pemuda itu, kemudian kembali tersenyum dan mengangguk. Mereka berjalan pelahan menuju ke pondok itu. Bayu membuka pintunya dan mempersilakan Seruni masuk. Gadis itu melangkah masuk dan memandangi bagian dalam pondok ini. Hanya pelita kecil dari buah jarak yang berada tergantung ditengah-tengah. Nyala api yang redup sepertinya sanggup menerangi seluruh bagian dalam pondok.

"Kakang.... akh!"

Seruni tak sempat lagi mengucapkan kata kata, dan langsung terkulai begitu membalikkan tubuh. Bayu cepat menangkap gadis itu, lalu membaringkannya ke lantai pondok. Pada saat itu masuk tiga orang ke dalam pondok. Bayu bangkit dan melangkah mundur.

"Aku hanya membuatnya pingsan sebentar," jelas Bayu.

"Kau hebat, Bayu," puji Dewa Pengemis.

"Sebenarnya aku benci dengan rencana ini," dengus Bayu.

"Aneh, kenapa kau membenci rencanamu sendiri?" tanya Nyi Rampik

"Pekerjaan seorang pengecut"

'Tapi tidak ada cara lain lagi, Bayu. Kau lihat apakah Rampita mirip Seruni?" Nyi Rampik mendorong Rampita agar maju.

Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Tak ada lagi yang bisa membedakan, mana Rampita dan mana Seruni. Kedua gadis ini serupa, seakan tak berbeda sedikit pun. Benar-benar seperti saudara kembar. Padahal mereka hanya satu ayah, lain ibu. Dan Rampita tahu kalau antara dirinya dengan Seruni satu Ayah. Itu sebabnya dia selalu mengalah, karena dia sendiri tidak bernapsu dengan segala macam urusan duniawi.

Sementara itu Dewa Pengemis sudah mengikat Seruni dengan tambang, dan membaringkannya di dipan bambu. Dihampirinya Rampita yang kini sudah berubah, baik tata rambut maupun pakaiannya. Gadis ini akan menyamar jadi Seruni, seperti yang sering dilakukan Seruni dalam melaksanakan aksinya. Sering orang menyangka kalau Rampita adalah gadis liar, binal, dan selalu membuat onar. Padahal sebenarnya yang melakukan adalah Seruni. Gadis itu memanfaatkan kesamaan antara mereka berdua untuk mengotori nama Rampita.

"Sebaiknya kau cepat ke Istana Cagar Angin, Rampita," tegas Dewa Pengemis.

"Aku tidak yakin kalau akan berhasil, Paman," kata Rampita ragu-ragu.

"Yakinkan dirimu, Rampita. Semua ini demi kebaikanmu sendiri," Nyi Rampik memberi semangat.

"Kau tidak lupa orang-orang di Istana Cagar Angin, Rampita?" tanya Dewa Pengemis.

'Tidak," sahut Rampita.

"Bagus. Hanya kau harus berhati-hati pada Panglima Gajah Sodra. Dia punya pandangan tajam," Nyi Rampik memperingatkan.

"Baiklah, aku berangkat sekarang," ujar Rampita memantapkan hatinya.

"Hati-hati, Rampita. Ingat! Begitu memperoleh cupu itu, kau harus segera ke sini," pesan Nyi Rampik.

Rampita mengangguk, kemudian melangkah keluar pondok Bayu bergegas mengikuti gadis itu.

"Kau kuantar sampai ke istana," kata Bayu menawarkan jasa.

Rampita tidak menolak, karena memang membutuhkan seseorang untuk teman dalam perjalanan Mereka berjalan cepat meninggalkan pondok itu. Namun di tengah perjalanan, mereka berhenti. Rampita memutar tubuhnya. Dipandanginya dalam-dalam bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Aku tahu, setelah semua ini berakhir kau pasti meninggalkanku," pancing Rampita pelan.

Bayu tidak berkata apa-apa.

"Kakang, apakah salah jika seorang gadis mengatakan isi hatinya lebih dahulu?"

'Tidak," sahut Bayu.

'Tapi...."

Bayu cepat menutup bibir gadis itu dengan dua jari tangannya. Pemuda itu melangkah semakin dekat Begitu dekatanya, sehingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. Pelahan Bayu menurunkan tangannya, dan berhenti di bahu. Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling pandang.

Pelahan wajah Bayu mendekati wajah gadis itu. Sedangkan Rampita hanya bisa memejamkan mata dengan wajah terdongak. Bibir yang memerah sedikit terbuka itu agak bergetar. Bayu memandangi bibir yang bergetar terbuka itu, kemudian melumat bibir itu disertai kecupan lembut membangkitkan gairah.

"Oh...," Rampita mendesah lirih.

"Kakang, aku...."

"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Rampita," potong Bayu cepat. Rampita terdiam.

"Ayolah, kau harus sampai di istana malam ini juga," Bayu mengingatkan.

Mereka melepaskan pelukan, dan kembali berjalan cepat menuju Istana Cagar Angin. Mereka berjalan bergandengan tangan. Sesekali Rampita mencuri pandang menatap wajah tampan di sampingnya. Gadis itu tidak tahu, kalau hati Bayu sendiri tengah bergolak.

Kelembutan, ketegaran, dan segala sikap gadis ini telah menggoyahkan benteng pertahanan Pendekar Pulau Neraka. Entah, Bayu sendiri tidak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta? Pemuda itu memang belum pernah merasakan yang namanya cinta. Dan memang dia tidak bisa membohongi diri sendiri. Sekeping hatinya telah terkoyak oleh panah asmara yang tertanam dalam. Sukar baginya untuk membantah. Bayu benar-benar menyukai gadis ini, tapi tidak ingin larut dalam gelombang cinta.

***

Rampita ragu-ragu juga untuk mengetuk pintu kamar pribadi Prabu Nara Kesuma. Tapi akhirnya dimantapkan hatinya. Namun belum juga mengetuk pintu, tiba-tiba saja muncul Panglima Gajah Sodra.

"Gusti Ayu...."

"Oh!" Rampita terkejut.

Cepat Rampita menghilangkan kegugupannya. Namun sorot mata Panglima Gajah Sodra membuat hatinya bergetar dan jantungnya berdebar tidak menentu. Menyamar seperti ini merupakan pengalaman terbaru dalam hidupnya. Tidak heran jika gadis itu harus bisa menguasai perasaannya.

"Maaf, Gusti Ayu. Gusti Prabu tidak ada di dalam kamar ini," kata Panglima Gajah Sodra memberitahu.

"Oh, di mana?" tanya Rampita.

"Apakah Gusti Ayu lupa? Ini hari ketujuh, purnama kelima. Gusti Prabu selalu berada di ruang semadi setiap hari ketujuh, dan baru keluar setelah matahari tenggelam nanti."

"Oh, iya. Aku lupa," desah Rampita buru-buru.

"Apakah ada sesuatu, Gusti Ayu?"

'Tidak," buru-buru Rampita menjawab.

Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera meninggalkan pintu kamar itu. Sementara Panglima Gajah Sodra memperhatikan sambil mengerutkan kening.

"Gusti Ayu...," panggil Panglima Gajah Sodra.

Rampita menghentikan langkahnya disertai gemuruh dadanya. Dia teringat pesan Nyi Rampik agar selalu waspada pada Panglima Gajah Sodra. Mengingat pesan itu, dadanya semakin bergemuruh kencang. Hatinya khawatir kalau penyamarannya akan terbongkar sebelum maksudnya tercapai.

"Maaf, Gusti Ayu. Mengapa Gusti tidak membawa pedang?" tanya Panglima Gajah Sodra yang sudah berada didepan Rampita kembali.

"Ada di kamar," sahut Rampita sekenanya.

'Tidak biasanya Gusti meninggalkan pedang," ada nada kecurigaan pada suara Gajah Sodra.

"Apakah ada larangan untuk tidak membawa pedang?" Rampita mendelik, mencoba menghalau kegugupannya.

"Ampun, Gusti Ayu. Hamba hanya mengingatkan saja."

"Sudahlah! Aku akan ke kamar. Jangan ganggu aku. Dan beritahu kalau Kakang Prabu sudah selesai bersemadi."

Rampita buru-buru meninggalkan Panglima Gajah Sodra yang membungkukkan badan sedikit memberi hormat. Tapi laki-laki setengah baya itu malah memandangi dengan kening berkerut dan mata agak menyipit.

Sementara Rampita terus berjalan menuju kamarnya. Dengan tergesa-gesa dibukanya pintu kamar dan terus masuk. Gadis itu mengunci kamar itu dan menghamburkan diri ke pembaringan. Tapi mendadak saja hatinya tersentak ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.

"Oh!"

"Sss...."

"Kakang...," desah Rampita langsung duduk begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah duduk di tepi pembaringan ini.

"Bagaimana Kakang bisa masuk ke sini?"

"Sejak semalam aku sudah berada di sini," sahut Bayu kalem.

"Seharusnya Kakang bersama Paman Dewa Pengemis dan Nyi Rampik."

"Aku mencemaskanmu, Rampita."

"Ah, Kakang...."

Bayu memberi senyuman. Tapi sesaat kemudian mata Pendekar Pulau Neraka itu menyipit. Dipandanginya wajah Rampita yang agak memucat.

"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu. "Kau mendapat kesulitan?"

'Panglima Gajah Sodra. Kelihatannya mencurigaiku," sahut Rampita memberitahu. "Dia menanyakan pedang. Aku tidak tahu kalau Seruni tidak pernah melepaskan pedangnya."

"Itu di meja," Bayu menunjuk sebuah meja.bundar disamping pintu. Di sana tergeletak sebilah pedang.

"Bagaimana pedang itu ada di sini?"

"Waktu kau masuk ke sini, Ki Dewa Pengemis datang membawa pedang itu untuk diberikan kepadamu. Makanya aku berada di sini menunggumu. Ke mana saja kau semalaman?"

"Menghafal istana ini. Semalaman aku mengelilinginya."

Untuk beberapa saat tak ada lagi yang berbicara. Dan mereka hanya saling pandang saja, kemudian sama-sama tersenyum. Entah apa yang membuat mereka tersenyum. Yang jelas Rampita langsung menundukkan wajahnya. Tapi Bayu kembali mengangkat wajah gadis itu dengan dua jari tangannya.

"Kau sudah bertemu Prabu Nata Kesuma?" tanya Bayu

"Belum. Hari ini dia bersemadi sampai malam nanti," sahut Rampita.

"Hm..., sebaiknya kau beristirahat saja. Tenangkan hati dan pikiranmu. Kesalahan kecil saja bisa menyulitkanmu, Ram ita."

"Baik, Kakang. Tapi...."

"Kenapa?"

"Panglima Gajah Sodra. Rasanya hatiku tidak sanggup menerima sorot matanya. Dia sepertinya tahu kalau aku bukan Seruni."

"Kau tenang saja. Biar aku yang menanganinya."

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

"Menjauhkan dia darimu. Tenang saja, pokoknya usahakan agar mendapatkan cupu itu."

"Aku usahakan, Kakang."

"Bagus!"

Bayu memberi satu kecupan lembut di bibir gadis Itu.

"Kakang...."

Rampita menahan tangan Pendekar Pulau Neraka yang akan bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana?" tanya Rampita.

"Aku akan membereskan Panglima Gajah Sodra. Dialah satu-satunya orang yang berbahaya bagi kita."

Kecemasan jelas terpancar dari sorot mata Rampita. Dan Bayu menepuk punggung tangan gadis itu yang mencekal tangannya, berusaha memberi ketenangan. Tapi Rampita malah menarik tangan Pendekar Pulau Neraka itu, dan melingkarkan tangannya di leher. Pemuda itu terpaksa menahan dengan tangan bertumpu di pembaringan.

"Beri aku ketenangan, Kakang," bisik Rampita agak mendesah.

Bayu melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis itu Dan kini bibir mereka sudah menyatu rapat Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Hanya desah napas dan suara kecupan yang terdengar. Pelahan-lahan tubuh mereka rebah diatas pembaringan. Rampita mendesah panjang, menahan berat badan Pendekar Pulau Neraka. Saat gadis itu menggelinjang, tanpa disadari bagian bawah pakaiannya tersingkap.

Rampita merintih lirih ketika merasakan jari-jari tangan Bayu menjalari kulit pahanya yang gempal. Gadis itu buru-buru mencekal tangan Bayu yang hampir saja nyasar ke daerah terlarang. Rampita membawanya ke tempat lain di samping tubuhnya. Kembali tangan Bayu menjalar. Gadis itu buru-buru menepis, lalu menggelinjang keluar dari himpitan pemuda itu.

"Jangan, Kakang...," desah Rampita. Bayu memandangi gadis itu, kemudian bangkit dan turun dari pembaringan. Rampita merapikan pakaiannya yang sempat berantakan, sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.

"Maafkan aku, Kakang," ucap Rampita lirih.

'Tidak ada yang perlu dimaafkan Kau benar, Rampita," tegas Bayu.

"Aku mencintaimu, Kakang. Tapi aku tidak ingin...."

"Ssst.., sudahlah. Seharusnya aku yang minta maaf padamu"

Bayu melangkah mendekati jendela. Dibukanya pintu jendela sedikit, lalu mengawasi keadaan luar.
"Aku pergi dulu, Rampita."

Sebelum Rampita memberikan jawaban, Bayu sudah melesat keluar melalui jendela. Rampita bergegas memburu, dan berhenti di ambang jendela yang terbuka lebar. Tak terlihat lagi bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Rampita mendesah panjang. Entah merasa bersyukur atau menyesali, karena kesuciannya telah terselamatkan.

***
DELAPAN
"Panglima Gajah Sodra mengatakan kalau kau ingin bertemu denganku. Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kakang," kata Rampita. Prabu Nata Kesuma memang belum sadar kalau gadis yang berada di depannya ini bukan Seruni.

"Katakan saja."

"Aku takut Kakang marah," Rampita mencoba merajuk

"Ha ha ha...! Kenapa harus marah, Seruni? Katakan saja.

Apa yang ingin kau bicarakan?"

'Tentang Bunga Cubung Biru."

"Hm..., kau sudah mendapatkannya?" Prabu Nata Kesuma langsung bersungguh-sungguh mendengar Bunga Cubung Biru disebut.

"Belum. Tapi aku ingin tahu, untuk apa bunga itu bagimu, Kakang?"

"Kau kan tahu, Seruni. Bunga Cubung Biru banyak sekali kegunaannya. Salah satu kegunaannya bisa menyempurnakan hidup dan seluruh ilmu-ilmu yang kumiliki. Apa kau tidak bangga mempunyai Kakak yang digdaya? Pertanyaanmu aneh-aneh saja, Seruni."

'Tapi, kenapa Kakang tidak memberiku ilmu ilmu yang Kakang miliki?"

"Untuk apa? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang pun sudah sukar dicari tandingannya. Ilmu yang kau peroleh dari Eyang Banadu sudah cukup tinggi."

'Tapi aku ingin seperti Kakang," rajuk Rampita.

"Itu tidak mungkin, Seruni. Semua ilmuku tidak boleh ada yang bisa menyamai. Tidak sembarang orang bisa menguasainya. Ah, sudahlah. Kenapa kau mempermasalahkan itu? Yang penting tugasmu adalah mendapatkan Bunga Cubung Biru."

Rampita terdiam. Gadis itu melihat ke pinggang pemuda tampan yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun.

"Ke mana sabukmu, Kakang?" tanya Rampita tidak melihat Prabu Nata Kesuma memakai sabuk.

"Oh!" Prabu Nata Kesuma terperanjat seperti baru tersadar kalau tidak lagi mengenakan sabuk emasnya. "Pasti tertinggal di bilik semadi."

"Ah, Kakang sudah sudah mulai pelupa. Biasanya sabuk itu tidak pernah ketinggalan."

"Aku terburu-buru tadi. Seruni, bisa tolong ambilkan sabukku?"

Rampita tersenyum. Entah kenapa, hatinya menjadi gembira mendengar permintaan Prabu Nata Kesuma. Sungguh tidak disangka akan semudah ini tugasnya. Tanpa menunggu waktu lagi, gadis itu langsung bangkit dan melangkah keluar dari kamar itu. Tapi belum juga melewati pintu, Prabu Nata Kesuma sudah memanggilnya.

"Cepat kau bawa ke sini, aku harus segera membersihkan diri," pesan Prabu Nata Kesuma.

"Baik, Kakang," sahut Rampita.

Bergegas gadis itu keluar dari kamar pribadi raja yang kelihatannya muda itu. Sementara Prabu Nata Kesuma masih duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna biru muda. Diraba-raba pinggangnya yang tidak mengenakan sabuk emas. Di dalam sabuk itu tersimpan sebuah cupu kecil yang menjadi segala pusat kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya.

"Hhh...! Untung Seruni mengingatkan," desahnya.

***

Rampita menimang-nimang sabuk emas di tangannya. Bibirnya tersenyum mengamati sabuk yang indah ini. Kemudian dikenakannya sabuk itu di pinggangnya. Pas! Tidak kekecilan atau kebesaran. Padahal ukuran pinggangnya dengan pinggang Prabu Nata Kesuma tidak sama. Tapi, sabuk ini pas sekali.

Rampita menutupi sabuk itu dengan melilitkan selendang berwarna biru muda, kemudian keluar dari bilik semadi itu. Dua orang penjaga membungkukkan badan memberi hormat. Rampita bergegas meninggalkan bilik semadi itu. Tapi baru saja berjalan sekitar tiga batang tombak, tampak di depannya berjalan Panglima Gajah Sodra. Ayunan kakinya lebar-lebar dan nampak tergesa-gesa.

"Gusti Ayu, hamba diminta untuk membawa sabuk Gusti Prabu," jelas Panglima Gajah Sodra begitu dekat di depan Rampita.

"Justru aku baru dari bilik semadi, tidak ada sabuk Kakang Prabu di sana," ujar Rampita.

'Tapi, tadi Gusti Prabu mengatakan kalau Gusti, Ayu sedang mengambil sabuknya yang tertinggal di bilik semadi."

"Kenyataannya tidak ada! Kalau tidak percaya, cari saja sendiri!" dengus Rampita.

Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke dalam bilik semadi Sedangkan Rampita tersenyum tipis memperhatikan. Tidak lama kemudian laki-laki setengah baya itu keluar lagi, dan berhenti di depan Rampita yang tersenyum sinis.

"Percaya tidak? Sabuk itu tidak ada," ujar Rampita sinis. "Hamba harus segera melaporkannya, Gusti Ayu."

"Sekalian katakan, aku akan berburu ke hutan."

Rampita bergegas pergi meninggalkan Panglima Gajah Sodra. Sedangkan laki-laki setengah baya itu segera melangkah pergi menuju kamar pribadi Prabu Nata Kesuma. Beberapa prajurit yang berpapasan dan memberi hormat, tidak ditanggapi sama sekali Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke kamar yang besar dan indah itu.

"Mana sabukku?" tanya Prabu Nata Kesuma langsung.

"Tidak ada, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Sodra seraya memberi hormat.

'Tidak ada...?!" Prabu Nata Kesuma mendelik.

"Gusti Ayu Seruni juga tidak menemukannya di...."

"Panggil Seruni ke sini!" bentak Prabu Nata Kesuma memotong cepat.

'Tapi, Gusti. Gusti Ayu Seruni sudah pergi berburu ke hutan."

"Apa kau bilang...?!" Prabu Nata Kesuma semakin berang.

"Ampun Gusti Prabu," buru-buru Panglima Gajah Sodra memberikan sembah.

"Cepat kejar, dan bawa ke sini! Aku tidak mau tahu, hidup atau mati. Bawa anak itu ke sini dan serahkan sabuknya padaku!"

"Hamba laksanakan segera, Gusti Prabu."

Panglima Gajah Sodra bergegas keluar dari ruangan itu. Sementara Prabu Nata Kesuma tampak gusar. Wajahnya memerah dan gerahamnya bergemeletuk menahan geram.

"Edan! Malam-malam begini berburu!" dengus Prabu Nata Kesuma.

Tapi mendadak saja Prabu Nata Kesuma tersentak, dan buru-buru berlari keluar kamar pribadinya. Tapi Panglima Gajah Sodra sudah tidak terlihat lagi. Laki-laki itu bergegas menuju kamar Seruni. Ditendangnya pintu kamar itu hingga jebol berantakan. Dipandanginya setiap sudut kamar itu. Matanya langsung tertuju pada sebilah pedang yang tergeletak di atas meja.

"Setan! Dia pasti bukan Seruni! Pasti Rampita...!" geram Prabu Nara Kesuma baru tersadar.

Bergegas Prabu Nata Kesuma keluar dari kamar itu. Laki-laki yang sebenarnya sudah tua itu berteriak-teriak memanggil semua prajuritnya sambil terus berlari keluar istana. Seluruh prajurit langsung berlarian dan berkumpul di depan istana. Prabu Nata Kesuma berdiri bertolak pinggang di ujung tangga beranda.

"Mana Panglima Gajah Sodra?" tanya Prabu Nata Kesuma lantang.

"Gusti Panglima membawa seratus-prajurit menyusul Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang punggawa.

"Siapkan kudaku' Bawa seluruh senjata dan kerahkan kekuatan kalian. Kejar Seruni hidup atau mati!" perintah Prabu Nata Kesuma keras menggelegar.

Tak ada seorang prajurit pun yang berani membantah. Mereka bergegas melaksanakan perintah itu. Dan tidak lama kemudian serombongan besar bergerak meninggalkan Istana Cagar Angin. Prabu Nata Kesuma berkuda paling depan didampingi empat punggawa. Hampir seribu prajurit yang mengiringinya. Itu pertanda seluruh kekuatan Kerajaan Cagar Angin telah meninggalkan istana.

***

Sementara itu di pinggiran hutan, Bayu sudah menghadang rombongan yang dipimpin Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka itu langsung mengamuk menghajar para prajurit hingga berantakan. Jerit dan pekikan melengking memecah kesunyian di tengah malam ini Tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah. Bayu bertarung menggunakan jurus-jurus cepat Senjata mautnya tergenggam di tangan, membabat setiap prajurit yang tak sempat lagi menghindar.

Saat hampir seluruh prajurit tewas, muncul Rampita yang langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Kemunculan gadis itu membuat sisa-sisa prajurit itu semakin kelabakan, bahkan berusaha melarikan diri. Bayu melihat Panglima Gajah Sodra mencoba kabur, namun cepat-cepat dihadangnya. Pada saat itu, Rampita juga sudah menghabiskan sisa prajurit yang ada dan sudah berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.

"Sejak semula aku sudah curiga padamu, Rampita!" dengus Panglima Gajah Sodra dingin.

"Sayang terlambat, Panglima Gajah Sodra. Aku sudah menguasai sabuk emas Nata Kesuma," ujar Rampita disertai senyum sinis.

Rampita melepaskan selendang biru yang membelit pinggangnya, dan melemparkan begitu saja ke samping. Tampak di pinggangnya melilit sebuah sabuk berwarna keemasan. Panglima Gajah Sodra mendelik, melihat sabuk emas itu berada di pinggang Rampita. Sedangkan gadis itu tersenyum-senyum penuh kemenangan.

"Bersiaplah menerima hukumanmu, pengkhianat!" geram Rampita.

Seketika itu juga Rampita melompat menerjang Panglima Gajah Sodra. Terjangan gadis itu demikian dahsyat. Hal ini membuat laki-laki setengah baya itu terperangah sejenak, namun cepat berkelit dan memberi serangan balasan.

Tapi Rampita bukanlah wanita sembarangan. Apalagi derita akibat luka dalam yang dialaminya sudah lenyap oleh Bunga Cubung Biru. Bahkan kini dengan sabuk emas dipinggang, gadis ini bergerak begitu cepat seringan kapas. Hal ini membuat lawannya sebentar saja sudah terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rampita mendarat di tubuhnya.

Panglima Gajah Sodra menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi Rampita yang mengenakan sabuk emas itu. Bahkan ketika ujung pedangnya berhasil menggores bahu kanan gadis itu, tak ada luka sedikit pun. Kulit Rampita jadi kebal, bahkan tenaga dalamnya berlipat ganda. Sabuk emas yang dikenakan gadis itu sudah merasuk, sehingga membuatnya semakin tangguh dua kali lipat

"Mampus kau! Hiyaaa...!" seru Rampita keras.

Seketika itu juga Rampita melontarkan satu pukulan keras ke dada Panglima Gajah Sodra. Pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada lawan.

Dughk!
"Aaakh...!"

Panglima Gajah Sodra menjerit keras. Tubuh laki-laki setengah baya itu terlontar hebat sejauh beberapa batang tombak. Rampita langsung melompat mengejar, dan memberi satu tendangan menggeledek disertai pukulan dahsyat ke bagian kepala. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Panglima Gajah Sodra kembali menjerit melengking. Tubuhnya seketika ambruk, langsung diam tak berkutik lagi. Darah merembes keluar dari kepala yang remuk.

Rampita berdiri tegak memandangi mayat Panglima Gajah Sodra Kepalanya menoleh ketika merasakan bahunya disentuh lembut. Ternyata Bayu sudah berdiri di sampingnya. Rampita menyandarkan kepalanya di dada Pendekar Pulau Neraka itu.

"Ayo, Rampita. Kita harus segera menemui Dewa Pengemis dan Nyi Rampik," ajak Bayu.

"Ayo, Kakang."

Tapi belum juga mereka berjalan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar suara menggemuruh dari arah belakang. Kedua anak muda itu langsung memutar tubuhnya berbalik. Tampak debu mengepul di udara. Semakin jelas terdengar. Suara ratusan ekor lkuda dipacu cepat disertai teriakan-teriakan keras menggelegar. Bayu dan Rampita saling berpandangan.

"Mereka mengejar, Kakang," desah Rampita.

"Ya! Jumlah mereka begitu banyak," sahut Bayu.

"Bagaimana, Kakang?"

Bayu tidak segera menjawab. Dan sebelum bisa mengeluarkan suara, ribuan prajurit berkuda yang langsung dipimpin Prabu Nata Kesuma sudah muncul. Bayu dan Rampita saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau Prabu Nata Kesuma akan membawa begitu banyak prajurit.

***

"Rampita! Serahkan sabuk itu padaku!" bentak Prabu Nata Kesuma lantang.

"Heh, enak saja! Sabuk ini milikku!" dengus Rampita ketus.

"Dengar, Rampita. Aku akan mengampunimu, asal kau serahkan sabuk itu padaku," Prabu Nata Ke-suma mencoba membujuk.

"Sekali tidak, tetap tidak!" tegas Rampita. "Setan...!" geram Prabu Nata Kesuma.

Kemarahan laki-laki muda tampan itu semakin memuncak melihat sabuk emasnya sudah membelit pinggang Rampita. Dan dia tahu, orang yang mengenakan sabuk itu akan sukar dikalahkan. Meskipun tanpa sabuk itu dia masih memiliki kekuatan, tapi sebagian besar sudah lenyap.

"Hari ini riwayatmu tamat, Prabu Nata Kesuma!" desis Rampita dingin

"Setan keparat...! Seraaang...!" seru Prabu Nata Kesuma tak dapat lagi menahan kemarahannya.

Seketika itu juga, ribuan prajurit yang sejak tadi sudah siap menunggu perintah langsung berhamburan menyerbu Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Tentu saja kedua orang itu jadi gelagapan. Meskipun mereka memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu tidak mungkin sanggup menghadapi ribuan prajurit ini.

"Mati kita, Kakang...," desis Rampita.

Namun belum juga para prajurit itu mencapai Bayu dan Rampita, mendadak saja bertebaran ribuan anak panah menghujani para prajurit itu. Seketika terdengar jerit dan pekikan melengking, disusul tumbangnya prajurit-prajurit dengan tubuh tertancap panah.

Belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja dari segala arah berlarian orang-orang berpakaian compang camping membawa tongkat yang beraneka ragam bentuknya. Mereka langsung menyerang para prajurit yang masih dihinggapi kepanikan. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran masal pun terjadi. Jerit dan pekik melengking disertai teriakan-teriakan pertempuran bercampur menjadi satu. Tampak Prabu Nata Kesuma kelabakan mengatur para prajuritnya yang berantakan. Teriakan-teriakannya yang keras memberi perintah, tenggelam dalam hiruk pikuknya suara pertempuran.

Saat itu Bayu melihat seorang laki-laki tua kurus kering tengah mengamuk membantai para prajurit dengan tongkatnya. Tidak jauh darinya, tampak seorang perempuan tua berjubah kumal yang juga mengamuk menggunakan tongkat Bayu mengenali mereka. Dan ternyata Rampita juga melihat. Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak.

"Bagaimana, Kakang?" tanya Rampita meminta pendapat

"Kau bantu Dewa Pengemis dan Nyi Rampik, sementara aku akan menghadapi Prabu Nata Kesuma," kata Bayu.

"Baik, Kakang," sahut Rampita.

Gadis itu tidak membuang-buang waktu lagi, langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Sementara Bayu melompat mendekati Prabu Nata Kesuma yang tengah menggempur para pengemis yang mengeroyoknya. Meskipun tanpa sabuk emas, namun Prabu Nata Kesuma tidak bisa dianggap enteng. Pukulan dan tendangannya masih berbahaya, walau kadar kekuatannya jauh berkurang.

"Mundur semua...!" seru Bayu keras.

"Bayu...," desis Prabu Nata Kesuma.

Para pengemis yang mengeroyok Prabu Nata Kesuma langsung berlompatan mundur. Mereka kemudian menyatu bersama yang lainnya, menggempur para prajurit yang semakin kedodoran. Entah sudah berapa orang bergelimpang tak bernyawa. Tapi banyak juga yang berhasil melarikan diri. Pertempuran terus berlangsung meskipun para prajurit Kerajaan Cagar Angin semakin terdesak hebat

"Aku lawanmu, Prabu Nata Kesuma!" desis Bayu dingin.

"Huh! Menyesal kau kubiarkan hidup!" dengus Prabu Nata Kesuma.

"Tidak ada gunanya lagi penyesalan. Bersiaplah, Prabu Nata Kesuma!"

Bayu langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Pandangannya tajam menusuk langsung bola mata Prabu Nata Kesuma. Sedikit Bayu menggeser kakinya ke samping. Sedangkan Prabu Nata Kesuma sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Juga, digeser kakinya pelahan mengikuti gerak kaki Pendekar Pulau Neraka itu.

"Hiy aaa...!"

"Yeaaah...!"

Mereka sama-sama berlompatan menyerang. Prabu Nata Kesuma mengibaskan pedangnya ke arah leher. Namun manis sekali Bayu berkelit, bahkan dengan cepat melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.

Pukulan Bayu yang cepat dan keras, masih dapat dihindari lawannya. Namun pertarungan tidak berhenti sampai di situ. Masing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, tapi pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu sangat dahsyat. Setiap tebasan pedang Prabu Nata Kesuma selalu ditangkis de ngan pergelangan tangannya yang terdapat Cakra Maut Senjata andalan yang jarang digunakan jika tidak dalam keadaan terdesak.

Dalam waktu sebentar saja, puluhan jurus telah terlewati. Namun pertarungan masih berlangsung sengit Bayu mengakui kalau lawannya ini sangat tangguh, meskipun sebagian kekuatannya telah sirna akibat sabuk emas yang menyimpan kekuatannya sudah berpindah tangan.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Prabu Nata Kesuma berteriak keras. Seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat mengarah ke kepala. Tak ada lagi kesempatan bagi Bayu yang baru saja menghindari tendangan menggeledek lawannya ini. Dengan cepat digerakkan tangan kanannya menangkis pedang itu.

Tring!

Benturan keras terjadi sehingga menimbulkan bunga api. Selagi pedang Prabu Nata Kesuma terpental balik, cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya. Dan secepat itu pula dikibaskan tangan kanannya ke atas. Cakra Maut melesat cepat bagai kilat ke arah dada Prabu Nata Kesuma yang tidak menyadari akan serangan kilat itu.

Crab!
"Aaa...!"

Prabu Nata Kesuma menjerit keras melengking. Cakra Maut yang dilepaskan Bayu menembus dada Prabu Nata Kesuma hingga tembus ke punggung. Dan sebelum laki-laki itu bisa menguasai tubuhnya, Cakra Maut yang melesat melalui punggung, berbalik cepat Senjata itu langsung membabat lehernya. Sekali lagi Prabu Nata Kesuma menjerit melengking tinggi. Darah muncrat dari dada dan leher.

Cakra Maut kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu juga Bayu melentingkan tubuhnya sambil berteriak keras. Dan dengan satu tendangan keras menggeledek yang mendarat di tubuh Prabu Nata Kesuma, Pendekar Pulau Neraka membuat lawannya seketika itu juga ambruk menggelepar ke tanah. Sebentar kemudian, tubuh penguasa Kerajaan Cagar Angin itu diam tak bergerak-gerak lagi.

Keanehan terjadi Laki-laki muda tampan itu berangsur-angsur berubah tua keriput. Prabu Nata Kesuma kembali ke asalnya, seorang laki-laki tua yang berusia lebih dari seratus tahun Bayu memandangi sambil bergerak mundur beberapa tindak. Pada saat yang sama, para prajurit Kerajaan Cagar Angin sudah melarikan diri setelah melihat rajanya tewas. Sebagian pengemis mengejar, tapi sebagian lagi diam saja sambil mengurangi lelah.

Bayu memutar tubuhnya ketika mendengar langkah menghampiri. Rampita berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka diikuti Dewa Pengemis dan Nyi Rampik. Gadis itu langsung memeluk Bayu dan memberi satu kecupan dibibir.

'Terima kasih. Untung kau cepat datang, Ki," ucap Bayu setelah Rampita melepaskan pelukannya.

"Sudah kuduga hal ini akan terjadi, jadi cepat-cepat kukumpulkan rakyatku," jelas Dewa Pengemis.

Bayu memandangi para pengemis yang berjajar di belakang laki-laki tua itu. Meskipun dari kalangan pengemis, tapi kemampuan yang dimiliki sungguh luar biasa.

"Bagaimaan dengan Seruni?" tanya Bayu.

"Biar aku yang menangani. Bagaimanapun juga dia masih keponakanku," celetuk Nyi Rampik.

"Dan kau bisa kembali ke istana, Rampita," sambung Dewa Pengemis.

Rampita tidak menyahut, tapi malah memandangi Bayu. Seakan-akan gadis itu meminta pendapat Pendekar Pulau Neraka. Dewa Pengemis menggamit lengan Nyi Rampik dan mengajaknya pergi. Kedua orang tua itu seperti sengaja membiarkan dua anak muda ini berbicara berdua saja.

"Maaf, Rampita. Aku harus pergi," kata Bayu pelan

"Ya. Kita memang tidak bisa bersama-sama. Aku juga akan kembali ke Gunung Cakal. Di sanalah tempatku, bukan diistana," desah Rampita.

Sesaat mereka saling berpandangan.

"Kapan kau akan pergi, Kakang?" tanya Rampita.

"Secepatnya," jawab Bayu singkat

"Boleh minta sesuatu?"

"Katakan saja." "Aku ingin kau tinggal bersamaku untuk beberapa hari."

Sukar bagi Bayu untuk menolak permintaan gadis ini. Dipandanginya bola mata bening indah itu, kemudian dilingkarkan tangannya di pinggang yang ramping. Tubuh mereka merapat, sementara wajah mereka juga begitu dekat Rampita melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Tak ada kata-kata terucapkan. Tahu-tahu bibir mereka sudah menyatu rapat, mengikuti alur gelombang asmara yang disadari tak akan bisa bersatu.

TAMAT
Episode Berikutnya :