Pendekar Pulau Neraka - Pergolakan di Istana Langkat(1)

SATU

Brak!

“Goblok! Dungu...!”

Bentakan keras terdengar menggelegar, memecahkan kesunyian malam. Suara itu datang dari salah satu ruangan di sebuah rumah besar dan megah yang dikelilingi tembok batu tinggi dan kokoh. Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya tengah berkacak pinggang di depan empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berotot. Empat laki-laki itu duduk bersimpuh di lantai, dengan kepala tertunduk dalam.

Sebuah meja berukir dari kayu jati, terlihat hancur di samping kaki laki-laki setengah baya yang tubuh dan perutnya buncit seperti genderang. Wajahnya memerah, dan sinar matanya berkilatan tajam. Jelas, dia sedang dikuasai nafsu amarah yang membara. Untuk beberapa saat lamanya, suasana di ruangan besar dan megah itu jadi sunyi senyap. Dan kini yang terdengar hanya detak jantung dan dengus napas.

“Dasar gentong nasi! Kerja seperti itu saja tidak becus. Goblok...!” kembali laki-laki gemuk itu memaki dengan suara tinggi menggelegar.

“Maafkan kami, Gusti. Kami sudah melaksanakannya dengan baik sekali. Tapi...,” salah seorang yang duduk bersimpuh di lantai dan mengenakan baju warna merah muda mencoba menjelaskan. Suaranya terdengar pelan dan agak bergetar.

“Tapi apa...?!” bentak laki-laki gemuk berusia setengah baya itu.

“Ada orang lain yang ikut campur, Gusti Narata,” sahut orang berbaju merah muda itu lagi, seraya memberikan sembah dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung.

“Phuih! Alasan....”

“Kami tidak berdusta, Gusti. Orang itu berkepandaian tinggi sekali.”

“Benar, Gusti. Bahkan tujuh orang teman kami tewas di tangannya,” timpal seorang lagi yang mengenakan baju hijau daun.

“Mengapa kalian tidak sekalian ikut mati saja, hah...?!”

Empat orang itu terdiam dan kepalanya tertunduk semakin dalam. Kata-kata yang meluncur dari mulut laki-laki yang dipanggil Narata itu memang sangat pedas dan menyakitkan. Namun mereka tidak berani mengangkat kepalanya. Terlebih lagi untuk membalas tatapan mata yang memerah berapi-api itu.

“Kalian tunggu sebentar di sini,” ujar Narata.

Saat keempat orang itu memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung, Narata sudah berbalik, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Sedangkan empat orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu tetap saja duduk bersimpuh di lantai tanpa sedikit pun mengangkat kepalanya. Agak lama juga Narata meninggalkan ruangan itu. Dan kini telah kembali lagi sambil membawa segulungan surat yang tersimpan dalam selongsong bambu yang terikat pita warna biru muda.

“Ke sini...!” masih terdengar kasar nada suara Narata.
“Hamba, Gusti”

Salah seorang yang mengenakan baju kuning bergegas maju mendekati. Diberikannya sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

“Dengar! Kali ini kalian tidak boleh gagal,” tegas Narata, dalam sekali nada suaranya. “Berikan surat ini langsung kepada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Aku tidak ingin surat ini jatuh ke tangan orang lain. Jadi harus kalian sendiri yang menyampaikannya. Mengerti..?!”

“Mengerti, Gusti,” sahut keempat orang itu serempak. Orang yang berbaju kuning menerima gulungan surat itu dengan penuh hormat sekali, kemudian menyelipkan ke balik sabuk pinggangnya. Dia kembali mundur ke tempatnya semula tanpa berdiri tegak.

“Pergilah sekarang juga,” perintah Narata.

Keempat orang itu memberikan sembah, kemudian bergerak mundur. Hampir bersama-sama mereka bangkit berdiri, dan bergegas meninggalkan ruangan yang besar dan megah ini. Sementara laki-laki bertubuh gemuk berperut buncit itu meng-hempaskan tubuhnya di kursi berukir indah yang berwarna coklat muda agak kemerahan.

“Hhh...!” terasa berat sekali hembusan napasnya. Pada saat itu datang seorang anak muda bertubuh kurus kering. Begitu kurusnya, sehingga seperti sosok tengkorak hidup yang terbungkus selembar kulit tipis kuning langsat

''Kemari, Jarong. Duduklah di sini,” ujar Narata seraya memberi senyuman pada pemuda kurus kering yang wajahnya terlihat begitu pucat. Bahkan sorot matanya seperti redup tak bercahaya, bagai tak memiliki gairah hidup lagi.

“Ada yang bisa kulakukan, Paman?” tanya pemuda kurus kering yang tadi dipanggil Jarong. Pemuda kurus itu tetap saja berdiri di depan Narata, meskipun laki-laki setengah baya bertubuh gembur itu tadi meminta untuk duduk di sampingnya.

“Sedikit. Dan yang pasti, tidak berat bagimu,” sahut Narata.
“Katakan saja, Paman. Aku pasti akan melakukan apa saja demi Paman.”

Narata semakin tersenyum lebar. Memang, sungguh beruntung sekali mempunyai kemenakan yang begitu setia dan selalu berada di belakangnya dalam keadaan apa pun juga.
***

Malam terus merayap semakin larut. Hampir seluruh pelosok Kotaraja Langkat telah diselimuti kegelapan dan kesunyian. Hanya di beberapa tempat saja masih nampak beberapa orang yang belum terbuai di alam mimpi. Malam itu udara terasa begitu dingin. Tampak beberapa prajurit masih berjaga-jaga di sekitar bangunan istana yang megah dan dikelilingi tembok benteng tinggi kokoh. Mereka terkantuk-kantuk sambil sesekali bergidik mengusir udara dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang.

Dalam kegelapan malam ini, tampak empat orang laki-laki tengah bergerak cepat dan ringan sekali mendekati bangunan benteng istana yang memang dijaga ketat. Mereka berhenti tidak jauh dari bangunan megah dan indah sebelah Timur. Jelas sekali kalau mereka tengah mengamati keadaan sekitarnya, dengan pandangan tajam tak berkedip.

“Tampaknya malam ini penjagaan ketat sekali,” bisik salah seorang.

“Ya, hati-hatilah. Jangan sampai ada seorang pun yang ketahuan,” sahut seorang lagi. Juga dengan

suaranya yang pelan dan hampir tidak terdengar.

“Bagaimana? Kita bergerak sekarang?”

“Memang sebaiknya begitu.”

“Benar! Lebih cepat selesai, lebih baik.”

Empat orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap berotot itu segera bergerak cepat dan ringan sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Menandakan kalau mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Ringan sekali gerakan mereka saat melompat ke atas benteng yang tingginya sekitar dua batang tombak itu. Dan begitu kaki mereka menjejak tembok benteng, langsung melenting turun ke dalam. Mereka terus bergerak cepat begitu sampai di dalam benteng Istana. Namun belum juga sempat mendekati bangunan istana yang besar dan megah itu, mendadak saja....

“Berhenti...!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar dan mengejutkan. Empat laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu seketika tersentak kaget, dan menghentikan larinya. Dan selagi rasa keterkejutan mereka belum hilang, mendadak saja sebuah bayangan biru ber-kelebat cepat. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus kering mengenakan baju warna biru tua.

“Mau apa kalian, heh?! Menyelinap seperti maling...!” bentak laki-laki kurus kering itu.

Empat orang laki-laki itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan cepat sekali, mereka berlompatan mencabut golok masing-masing.

Bet!
Wut!
“Hat..! Uts!”

Orang bertubuh kurus kering itu terkejut begitu mendapat serangan mendadak dan tiba-tiba ini. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, sebilah golok berkelebat cepat mengarah ke dadanya. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga tebasan golok itu hanya lewat sedikit di depan dadanya yang kurus, sehingga tulang-tulang bersembulan terlapis kulit. 

Dan belum juga tubuhnya sempat ditarik kembali, sebuah golok mengibas dari arah samping ke kepalanya. Bergegas laki-laki bertubuh kurus kering itu merundukkan kepalanya sedikit. Maka golok itu pun kembali lewat di atas kepalanya. Sebelum ada serangan lagi yang datang, laki-laki kurus kering itu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara dan berputaran beberapa kali. Kemudian, tangannya bergerak cepat luar biasa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Slap!
Wus…!

Seketika itu juga dari balik lipatan lengan bajunya yang longgar, melesat benda-benda kecil sepanjang jengkal dan bersinar keperakan. Benda-benda itu meluncur deras, cepat bagai kilat. Dan sebelum empat orang itu bisa menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....

Creb!
“Aaakh...!”
“Wuaaa...!”

Dua jeritan melengking tinggi dan menyayat terdengar keras memecah kesunyian malam ini. Sedangkan dua orang lagi masih bisa melompat sambil mengibaskan goloknya beberapa kali, menghindari benda-benda berwarna keperakan itu. Tampak dua orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi, tertembus beberapa bilah pisau tipis, sepanjang jengkal tangan orang dewasa.

Sementara dua orang sisanya yang masih bisa selamat, saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang segera melesat menyerang orang bertubuh kurus kering yang baru saja mendaratkan kakinya di tanah. Sedangkan yang seorang lagi, bergegas melompat balik. Dengan satu gerakan ringan, dia melesat melompati benteng istana itu. Sementara temannya terus memecahkan perhatian orang bertubuh kurus kering itu dengan serangan-serangan yang cepat dan dahsyat.

“Hiya...!”
“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja satu sama lain melompat ke atas. Dan secara bersamaan, saling menghentakkan tangan ke depan. Tak pelak lagi, dua tangan saling beradu keras di udara. Seketika ledakan menggelegar terdengar dahsyat memecah kesunyian malam di sekitar bangunan istana itu.

“Aaakh...!”

Terlihat satu orang terpental ke belakang sambil menjerit panjang melengking tinggi. Sementara seorang lagi yang bertubuh kurus kering seperti tengkorak hidup, cepat meluruk ke bawah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangannya cepat dikibaskan ke arah orang yang jatuh bergulingan di atas tanah berumput basah oleh embun.

Wus!

Sebuah benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari balik lipatan lengan baju laki-laki kurus kering itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi, benda itu menghunjam dalam di dada orang yang berbaju biru tua dan bersenjata golok.

Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Hanya sebentar dia masih mampu bergerak menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Laki-laki kurus kering itu segera melompat mendekati mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Dia seperti mencari sesuatu pada setiap mayat itu.

“Setan...!” dengusnya keras.

Pada saat itu, terlihat beberapa orang berseragam prajurit berlarian berdatangan. Mereka tampak terkejut saat melihat tiga sosok mayat tergeletak berlumuran darah. Laki-laki kurus kering itu seperti tidak menghiraukan kedatangan para prajurit itu. Dicabutinya pisau-pisau yang tertancap di tubuh tiga orang yang datang secara menyelinap tadi. Kemudian pisau-pisau itu dimasukkan ke dalam lipatan lengan bajunya.

“Kalian urus mayat-mayat ini!” perintah laki-laki kurus kering itu.
“Segera, Raden...,” serempak para prajurit itu menyahut sambil membungkukkan badan, penuh rasa hormat

Laki-laki kurus kering yang kelihatan masih muda itu bergegas melangkah. Namun sebentar kemudian ayunan langkahnya terhenti. Kepalanya berpaling, memandang tembok benteng, ke arah perginya seorang yang berhasil lolos tadi.

“Hm....”

Setelah memperdengarkan suara gumaman kecil, kakinya kembali terayun meninggalkan bagian Timur Istana Langkat ini. Ayunan kakinya begitu ringan, sehingga tak memperdengarkan suara sedikit pun juga. Sementara prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu mengangkut tiga mayat yang tergeletak dengan darah masih mengucur.
***

Pagi-pagi sekali, Narata sudah memacu cepat kudanya melintasi jalan berdebu yang membelah Kotaraja Langkat. Belum ada seorang pun yang terlihat keluar dari dalam rumahnya, karena matahari memang belum menampakkan dirinya. Tanda-tanda datangnya pagi sudah nampak dari suara kokok ayam jantan dan kicauan burung-burung, yang seakan-akan mengajak sang mentari untuk segera bangkit dari peraduannya sepanjang malam. 

Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu ter-guncang-guncang di atas punggung kuda yang berpacu cepat bagai dikejar setan. Tak sedikit pun lari kudanya dikendurkan, meski sudah hampir mendekati gerbang Istana Langkat yang dijaga enam orang prajurit bersenjata pedang dan tombak.

“Hm.... Tidak seperti biasanya, di sini ditempatkan enam penjaga,” gumam Narata dalam hati. “Ada apa ya...?”

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu ber-gegas membuka pintu begitu melihat Narata di atas kudanya yang dipacu cepat menuju ke arah istana ini. Laki-laki berperut buncit itu terus menerobos masuk tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya. Enam orang prajurit penjaga segera membungkukkan badannya saat Narata melewati pintu gerbang.

“Hooop...!”

Narata menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda hitam belang putih itu berhenti tepat di depan tangga istana. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, laki-laki gemuk berperut buncit itu melompat turun dari punggung kudanya. Kakinya langsung melangkah cepat begitu menjejak undakan pertama tangga istana. Dengan langkah lebar, dia meniti anak-anak tangga yang panjang ini. Seorang laki-laki tua berlari-lari kecil menghampiri kuda Narata, kemudian membawanya ke samping kanan bangunan istana yang megah dan indah ini.

Sementara Narata terus berjalan dengan langkah lebar-lebar. Dua orang prajurit di samping pintu, segera membungkuk begitu laki-laki berperut buncit itu melintasi pintu depan istana yang selalu terbuka lebar. Hanya malam hari saja pintu itu tertutup. Narata terus berjalan menelusuri ruangan depan yang luas dan tertata indah. 

Langsung dimasukinya bagian tengah istana ini. Di sana, beberapa orang seperti sudah menunggunya. Tampak seorang wanita berparas cantik mengenakan baju sutra halus yang indah berwarna biru muda, tengah duduk di sebuah kursi berukir berwarna keemasan. Di sampingnya, berdiri enam orang gadis cantik. Sementara, delapan orang laki-laki bertubuh kekar berjajar di belakangnya.

Narata merapatkan kedua tangannya di depan hidung begitu berada sekitar satu tombak di depan wanita cantik itu. Dia tetap berdiri tegak di situ. Padahal, orang-orang yang berada sejak tadi di ruangan ini telah duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani bulu tebal berwarna merah menyala. Hanya beberapa orang saja yang duduk di kursi kecil terbuat dari ukiran kayu jati hitam.

“Mendekatlah, Kakang Narata,” lembut sekali suara wanita itu.

Narata melangkah maju, kemudian duduk di kursi yang berada di kanan agak ke depan dari wanita cantik itu. Sikapnya terlihat angkuh, dan dadanya sedikit dibusungkan. Sebentar dipandanginya orang-orang yang berada di dalam ruangan ini. Dan pandangannya terpaku sejenak pada seorang pemuda bertubuh kurus kering yang mengenakan baju biru tua. Pemuda itu duduk di kursi kecil bersama para pembesar kerajaan lainnya.

“Ada apakah gerangan, sehingga Dinda Nyai Ratu mengumpulkan seluruh pembesar?” tanya Narata ingin tahu. “Terus terang, aku terkejut mendapat panggilan mendadak ini.”

“Ada sesuatu yang penting, dan harus dibicarakan segera, Kakang Narata,” sahut wanita cantik yang ternyata memang Ratu Nyai Langas, penguasa tunggal Kerajaan Langkat ini.

''Persoalan penting...?” Narata mengerutkan keningnya.

“Benar, Kakang. Semalam empat orang tidak dikenal mencoba memasuki istana. Memang belum pasti tujuannya. Tapi Jarong, kemenakanmu telah mengetahuinya. Tiga orang berhasil dibunuh. Dan seorang lagi melarikan diri,” jelas Ratu Nyai Langas, singkat

“Hm...,” Narata hanya bergumam saja.

“Mereka masuk melewati benteng bagian Timur. Tentu kau tahu kalau itu merupakan taman keputren pribadiku. Dan tak seorang pun boleh memasukinya, kecuali keluarga istana,” lanjut Ratu Nyai Langas.

“Siapa mereka? Dan apa maksudnya, Dinda Ratu?” tanya Narata.

“Itulah yang aku tidak tahu, Kakang Mas Narata. Untuk itulah aku memanggilmu ke sini, agar kau mengetahui persoalannya. Dan kuharap, kau bisa mengetahui siapa dan apa maksud mereka menyelinap ke dalam keputren.”

Narata terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dari sudut ekor matanya, dia sempat melirik pada pemuda kurus kering yang mengenakan baju warna biru tua. Dan pemuda itu hanya memandang, namun sinar matanya kosong. Bahkan raut wajahnya tanpa ekspresi sama sekali.

“Apakah Dinda Ratu menginginkan agar aku menyelidiki mereka?” tanya Narata.

“Aku rasa itu memang sudah tugasmu, Kakang Mas Narata,” sahut Ratu Nyai Langas.

“Secepatnya aku akan mengetahui siapa mereka. Dinda Ratu,” janji Narata.

Ratu Nyai Langas tersenyum.

“Untuk langkah pertama, sebaiknya cari orang yang melarikan diri itu, Kakang Mas Narata,” ujar Ratu Nyai Langas memberikan saran.

“Aku yakin Jarong bisa melakukan itu, Dinda Ratu.”

Ratu Nyai Langas menatap pemuda bertubuh kurus kering. Dan pemuda itu hanya memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kembali Ratu Nyai Langas menatap Narata, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi orang-orang yang berada di depannya. Mereka semua memberi sembah dengan merapatkan tangan di depan hidung.

“Kuserahkan padamu untuk mengatur segala sesuatunya, Kakang Mas. Aku merasakan ada seseorang, ataupun sekelompok orang yang menginginkan agar aku terguling dari tahta,” duga Ratu Nyai Langas.

“Kalaupun ada, aku pasti akan cepat memberantasnya, Dinda Ratu,” ujar Narata mantap.

Ratu Nyai Langas kembali tersenyum, dan bangkit berdiri. Pada saat itu, semua orang menundukkan kepala seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidungnya. Sebentar wanita cantik itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian melangkah pelan dan gemulai meninggalkan ruangan ini. 

Enam orang gadis dan delapan orang laki-laki pengawal pribadinya, mengikuti dari belakang. Tak ada seorang pun yang mengangkat kepalanya, sebelum Ratu Nyai Langas menghilang dari ruangan besar dan indah ini. Hanya Narata saja yang tidak bersikap demikian. Laki-laki buncit itu tetap duduk tegak sambil membusungkan dadanya, memandangi wanita itu sampai lenyap di balik pintu.

“Jarong! Kau ikut aku,” kata Narata seraya bangkit berdiri.

Pemuda bertubuh kurus kering yang dipanggil Jarong segera bangkit berdiri. Dia langsung berjalan begitu Narata mengayunkan kakinya meninggalkan ruangan ini. Tak lama kemudian, mereka yang sejak tadi duduk bersimpuh di lantai ikut bangkit berdiri, lalu meninggalkan ruangan besar itu. Hanya ada dua orang saja yang masih tinggal dan duduk di kursi kecil. Mereka adalah dua orang laki-laki berusia sekitar lima puluh dan tujuh puluh tahun. Beberapa saat dua orang itu saling melemparkan pandangan. Sementara ruangan ini sudah sunyi, tak ada seorang pun lagi selain mereka berdua.

“Hhh.... Seharusnya Kanjeng Ratu tidak mem-berikan tugas itu pada Gusti Narata,” keluh salah seorang yang lebih tua dan mengenakan jubah putih panjang.

“Yaaah..., akan sia-sia saja nantinya,” sambut seorang lagi yang mengenakan baju ketat warna kuning.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Sebaiknya lihat saja dulu perkembangannya.”

“Hhh...!”

“Kita awasi terus Gusti Narata secara diam-diam, Kakang Jawala.”

“Ya. Kejadian semalam membuatku semakin curiga pada maksudnya yang tersembunyi. Mudah-mudahan Hyang Widi selalu melindungi Kanjeng Ratu Nyai Langas.”

Kedua laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, dan meninggalkan ruangan ini tanpa berkata-kata lagi. Mereka berjalan perlahan-lahan dengan bibir terkatup rapat, namun benaknya terus bekerja keras. Entah apa yang dipikirkan, hanya mereka berdua saja yang mengetahuinya.
***
DUA
Siang ini matahari bersinar begitu terik. Langit tampak bening. Sedikit pun tak ada awan yang menggantung di sana. Sehingga sinar matahari begitu leluasa membakar permukaan bumi, membuat daun-daun seperti merintih dan rerumputan meranggas kekurangan air. Di antara siraman teriknya sang mentari, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan mengenakan baju kuning gading berjalan tertatih-tatih.

“Uh! Panas sekali...,” dia mengeluh sambil menyeka keringat di wajahnya yang bercampur debu.

Sebentar langkahnya terhenti, dan kepalanya terdongak memandang matahari di atas sana. Kemudian kakinya kembali melangkah perlahan-lahan dan agak terseret. Keringat semakin banyak bercucuran. Walaupun kakinya terasakan seperti menginjak bara, namun dia terus melangkah menuju sebuah hutan yang tidak seberapa jauh lagi. 

Kembali langkahnya terhenti setelah sampai di tepi hutan itu. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu menghempaskan tubuhnya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Angin yang berhembus lembut sedikit mengusir kelelahannya. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri wajah dan lehernya.

Slap!
“Heh...?!”

Mendadak saja hatinya terperanjat ketika tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan beberapa kati. Anak panah itu menancap dalam di batang pohon. Bergegas laki-laki berbaju kuning gading itu melompat bangkit berdiri. Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari balik pepohonan dan gerumbul semak bermunculan orang-orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung mengepung rapat, tanpa ada celah sedikit pun. Laki-laki berbaju kuning gading itu langsung mengedarkan pandangannya berkeliling

“Hm...,” dia bergumam pelan.

Ada sepuluh orang bersenjata golok telanjang yang telah mengepung rapat. Mereka bergerak perlahan memutari laki-laki berbaju kuning gading itu. Golok-golok yang bergerak-gerak melintang di depan dada, berkilatan tertimpa cahaya matahari

“He he he...!” tiba-tiba terdengar tawa terkekeh.

Laki-laki berbaju kuning gading itu memutar tubuhnya. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang laki-laki kurus kering mengenakan baju agak longgar warna biru tua. Dia berdiri di atas sebatang pohon mati yang meng-geletak roboh di tanah.

“Jarong...,” laki-laki berbaju kuning gading itu mendesis pelan, mengenali pemuda bertubuh kurus kering itu.

Tentu saja dia mengenali, karena sering melihat pemuda kurus kering itu. Dia memang Jarong, kemenakan laki-laki bertubuh gembur dan berperut buncit, kakak sepupu dari Ratu Nyai Langas yang bernama Narata.

“Tidak sukar untuk menemukanmu kembali, Bokor,” terdengar kering dan datar sekali suara Jarang.

“Mengapa kau menggagalkan tugasku, dan membunuh teman-temanku?!” agak lantang suara laki-laki berbaju kuning gading yang dipanggil Bokor.

“Kau tidak punya hak untuk bicara, Bokor. Bersiaplah menyusul ketiga temanmu,” tetap dingin dan datar sekali suara Jarong.

“Huh!” dengus Bokor.

Jarong menjentikkah ujung jarinya. Maka seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata golok yang mengepung Bokor segera berlompatan menyerang. Melihat hal ini Bokor segera mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Dan secepat itu pula, tubuhnya diputar sambil cepat mengibaskan goloknya. Namun sebelum tubuhnya berhenti berputar, sebuah golok berkelebat cepat mengarah ke kepalanya. Sesaat Bokor terkesiap, namun cepat sekali goloknya dikibaskan ke atas kepala.

Tring!

Dua senjata golok beradu keras di atas kepala. Tampak orang yang menyerang Bokor tersentak kaget. Seluruh jari-jari tangannya jadi terasa kaku, begitu goloknya beradu dengan golok laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan sebelum sempat disadari apa yang terjadi pada dirinya, Bokor sudah melompat cepat sambil mengibaskan goloknya.

“Hiyaaa...!”
Bet!
Cras!
“Aaa...!”

Orang itu menjerit keras melengking tinggi. Tebasan golok Bokor tepat membelah dadanya. Seketika darah muncrat, bersamaan dengan tergulingnya tubuh laki-laki bertubuh sedang itu. Dan sebelum yang lain menyadari apa yang telah terjadi terhadap salah seorang temannya, Bokor sudah bergerak cepat memutar tubuhnya.

Bet!

Kembali laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengibaskan goloknya ke arah seorang penyerang yang berada dekat dengannya. Serangan Bokor yang cepat dan tidak terduga sama sekali tak mungkin dapat dihindari lagi.

Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat, disusul ambruknya seorang lagi dengan leher terpenggal hampir buntung. Darah mengucur deras dari leher yang menganga lebar itu. Hanya sebentar tubuh orang itu mampu menggeliat dan mengerang meregang nyawa, kemudian diam tak berkutik lagi. Mati.

“Keparat..!” geram Jarong melihat dua anak buahnya tewas begitu cepat

Sementara Bokor sudah kembali bergerak begitu cepat Tapi kali ini orang-orang yang mengepungnya tidak lagi terpaku pada kejadian yang begitu cepat dan menimbulkan dua nyawa melayang. Mereka segera mengambil tindakan untuk mendesak Bokor yang mengamuk seperti kesetanan.
***

Bokor yang menyadari kalau sebenarnya orang-orang yang menyerangnya ini memiliki tingkat kepandaian lumayan, tidak tanggung-tanggung menghadapinya lagi. Terlebih lagi di tempat ini juga ada Jarong. Meskipun sampai sekarang dia belum juga ikut terjun dalam pertarungan ini, tapi Bokor yakin kalau cepat atau lambat Jarong pasti akan terjun juga. Dan ini sebenarnya yang dicemaskannya. Bokor sadar betul kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan sanggup menandingi pemuda bertubuh kurus kering itu. Namun dia tidak ingin mati sia-sia. Sedapatnya separuh dari jumlah mereka yang mengeroyoknya dengan ganas harus bisa dikurangi

“Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Bokor mengebutkan goloknya sambil berputar, bertumpu pada satu kaki Gerakan yang cepat dan tak terduga ini, tak bisa lagi dihindari dua orang yang sudah keburu melompat sambil menghunus golok ke depan.

Bret!
Cras!
“Aaakh!”
“Aaa...!”

Dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang yang sudah keburu melompat. Darah seketika menyembur deras dari tubuh yang terbelah tertebas golok Bokor. Belum lagi ada yang sempat menyadari apa yang baru saja terjadi, mendadak saja tubuh Bokor melenting ke udara. Dia memang bermaksud kabur dari tempat ini.

“Yeaaah...!”

Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak saja tangan kanan Jarong sudah mengebut ke arah laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan seketika itu pula, dari balik lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau yang tipis sepanjang jengkal. Dua pisau itu meluruk deras ke arah Bokor yang sedang berada di udara.

“Hap!”

Cepat sekali Bokor memutar tubuhnya sambil mengibaskan golok untuk menyampok kedua pisau itu sekaligus.

Tring!

Kedua pisau itu langsung terpental. Dan seorang yang sedikit lengah tak bisa lagi menghindari pisau yang berbalik arah itu. Seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi ketika satu pisau menancap di dada orang itu. Sedangkan pisau satunya lagi menancap dalam di tanah.

''Yeaaah...!”

Melihat serangan pisaunya gagal, seketika Jarong melesat cepat mengejar Bokor yang mulai mendarat turun. Sebelum Bokor sempat berlari, Jarong sudah cepat melontarkan dua pukulan beruntun ke arahnya.

“Hup! Uts...!”

Cepat-cepat Bokor menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Maka dua pukulan yang dilepaskan Jarong tidak mengenai sasaran. Namun baru saja Bokor bisa melompat bangkit berdiri, Jarong sudah kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa.

“Hiyaaa...!”

Kali ini Bokor hanya bisa bertahan dan menghindar. Tapi sesekali masih juga mampu memberi serangan balasan. Namun semua serangan balasannya tidak berarti sama sekali. Karena sebelum mencapai sasaran, Jarong sudah membuat serangan itu mentah. Dan tanpa dapat dicegah lagi, Bokor sudah mendapat serangan kembali. Hanya beberapa gebrakan saja, Bokor sudah kelihatan terdesak sekali. Dan kini setelah melewati tiga jurus, laki-laki berbaju kuning gading itu benar-benar tidak mampu lagi balas menyerang. Dia hanya bisa menghindar dan berkelit semampunya. Serangan-serangan yang dilancarkan Jarong, begitu cepat dan dahsyat sekali. Hingga suatu saat...

“Jebol dadamu! Yeaaah...!”

Belum lagi teriakan itu hilang, mendadak saja Jarong melontarkan satu tendangan keras menggeledek seraya melompat sedikit Bokor terperangah, karena baru saja bisa menghindari satu pukulan ke arah kepala. Dan tendangan itu memang tak mungkin dapat dihindari lagi. Namun mendadak saja....

Plak!
“Akh...!”

Jarong mendadak terpekik. Pemuda kurus kering itu terpental balik ke belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum sepasang kakinya mendarat di tanah berumput. Sungguh tidak diduga kalau tendangannya tadi seperti membentur sebuah tembok baja yang begitu kuat Akibatnya, tulang pergelangan kakinya serasa remuk.

“Heh...?!”

Jarong tersentak kaget ketika tahu-tahu di depan Bokor sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau. Bahkan Bokor pun terlongong keheranan menyaksikan pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-garis kekerasan dan ketegasan membayang jelas di wajahnya itu. Tak terlihat senjata melekat di tubuhnya, kecuali sebuah cakra di tangan kanan. 

Memang, Jarong yakin betul kalau tendangannya tadi terhalang oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi yang membuatnya heran, sama sekali kedatangannya tidak terlihat. Bahkan kelebatan bayangannya pun tidak terlihat. Dan ini yang membuat pemuda kurus itu jadi keheranan. Dia yakin kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian tinggi.

“Setan alas...! Siapa kau?! Berani-beraninya mencampuri urusanku!” bentak Jarong. Suaranya kasar dan dingin sekali.

“Tidak perlu tahu siapa diriku. Yang jelas, aku paling tidak suka melihat kecurangan!” jawab pemuda berbaju kulit harimau itu, dingin.

“Sombong...! Kau belum tahu siapa aku, heh...?!” desis Jarong geram.
“Tengkorak hidup yang bisanya main keroyok.”
“Keparat..! Serang...!”

Jarong begitu marah, sehingga seketika itu juga sisa orang-orangnya diperintahkan untuk menyerang. Pada saat itu, dia juga bersiul nyaring. Siulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menyebar ke angkasa, terbawa angin yang bertiup lembut siang ini. Dan tak berapa lama kemudian, dari dalam hutan itu muncul orang-orang berbaju hitam bersenjatakan tongkat pendek kembar berwarna merah. Mereka berlompatan cepat ke arah Bokor dan pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Celaka...,” desis pemuda itu saat melihat puluhan orang meluruk cepat ke arahnya.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali cepat-cepat menyambar tubuh Bokor. Dan sebelum anak buah Jarong yang berseragam hitam bisa mencapainya, secepat kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat sambil membawa Bokor.

“Setan...!” geram Jarong.

Begitu cepatnya lesatan pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap seperti tertelan bumi saja. Hal ini membuat mereka yang baru berdatangan jadi bengong. Sementara Jarong tidak henti-hentinya memaki dan mengumpat geram.
***

Bruk!

“Ah...!” Bokor terpekik kecil, ketika tiba-tiba tubuhnya terbanting agak keras ke tanah. Sambil meringis, laki-laki berbaju kuning gading itu bangkit berdiri. Dia berdiri tepat sekitar dua langkah di depan pemuda berbaju kulit harimau yang telah menyelamatkan nyawanya dari kematian.

“Terima kasih atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawaku. Tapi aku yakin, setelah ini aku tidak akan lama menghirup udara segar,” ucap Bokor.

“Sebaiknya kau pergi saja sejauh mungkin. Kalau perlu, pergi ke balik dunia ini,” pemuda berbaju kulit harimau itu menyarankan.

“Percuma saja,” sahut Bokor seraya tersenyum.

Bokor tahu kalau saran tadi hanya sebuah gurauan saja, tapi memang dibenarkan juga. Dia memang harus pergi jauh agar tak mungkin bisa dicapai musuhnya seorang pun juga. Tapi itu tidak akan mungkin. Ke mana pun dirinya pergi, pasti Jarong dan orang-orangnya bisa menemukan. Bokor sendiri tidak mengerti, mengapa Jarong justru menjegalnya. Padahal dia sedang melaksanakan tugas yang diberikan paman pemuda kurus kering itu. Dan baru kali ini Bokor tahu kalau Jarong yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki ke-pandaian yang sangat tinggi.

Bahkan lebih tinggi dari yang didengarnya selama ini. Dan sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda bertubuh kurus kering itu, Bokor tidak tahu. Bokor meraba pinggangnya. Dan seketika itu juga keningnya berkerut. Jari-jari tangannya menyelusup ke balik sabuk yang membelit pinggangnya. Tapi mendadak saja dia jadi seperti kebingungan, dan wajahnya jadi memucat. Perubahan ini menjadi perhatian pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

“Ada apa? Kau mencari sesuatu?” tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Ya! Ada yang hilang,” sahut Bokor seraya memandang pemuda di depannya ini.

“Senjatamu?”

“Bukan, tapi surat.”

Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya, dan matanya agak menyipit menatap laki-laki kekar di depannya ini. Sedangkan dengan lesu sekali, Bokor menghempaskan tubuhnya, duduk di atas rerumputan. Di dalam hutan yang cukup lebat ini, udara terasa sejuk. Namun, tidak sesejuk hati dan perasaan Bokor yang jadi gelisah seketika. Terutama setelah menyadari kalau surat yang harus disampai-kan pada Ratu Nyai Langas tidak ada lagi di tempatnya.

“Hhh.... Gusti Narata pasti akan memenggal kepalaku...,” keluh Bokor lirih.

“Siapa itu Gusti Narata?” tanya pemuda berbaju kulit harimau lagi.

“Majikanku,” sahut Bokor, suaranya masih terdengar pelan. “Aku harus menyampaikan surat itu langsung pada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tapi sekarang surat itu hilang. Hhh.... Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan sekarang.”

Bokor benar-benar kebingungan. Dia tidak bisa lagi berpikir jernih. Tidak ada lagi keberanian dalam dirinya untuk kembali bertemu Narata. Sudah pasti junjungannya itu akan memenggal lehernya, karena tugas yang diembannya gagal lagi.

“Itu merupakan surat rahasia Gusti Narata, khusus untuk Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tidak boleh seorang pun yang boleh menerima, selain Kanjeng Ratu Nyai Langas...,” kembali Bokor mengeluh.

“Ingat-ingat dulu, barangkali kau lupa menyimpannya,” pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba mengingatkan.

“Aku tidak mungkin lupa, Kisanak.... Aku....”

“Bayu,” ujar pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan namanya, saat suara Bokor terhenti.

Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada lagi di dunia ini pendekar tangguh dan digdaya yang mengenakan baju dari kulit harimau, selain Pendekar Pulau Neraka. Memang tampaknya dia tidak membawa senjata apa pun juga. Tapi di pergelangan tangannya, melekat sebuah lempengan logam keras. Bentuknya jelas sebuah cakra yang sisinya bergerigi, berjumlah enam buah. Cakra itulah merupakan senjata andalannya, yang bernama Cakra Maut.

“Aku Bokor,” Bokor juga memperkenalkan namanya.

“Atau barangkali terjatuh,” duga Bayu.

“Ya..., hal itu lebih masuk akal lagi. Pasti terjatuh. Tapi di mana...?” Bokor seperti bertanya pada diri sendiri.

“Ingat-ingat dulu, ke mana saja kau selama membawa surat itu,” saran Bayu kembali.

Bokor terdiam dengan mata menerawang jauh ke depan. Dicobanya untuk mengingat-ingat di mana kira-kira surat yang berada di dalam selongsong bambu itu terjatuh. Sejak keluar dari rumah kediaman Narata, dia bersama ketiga temannya langsung menuju Istana Langkat. Di dalam keputren istana mereka sempat bertarung, sehingga hanya tinggal dirinya sendiri yang selamat. Sedangkan ketiga temannya tewas di tangan Jarong. Dari istana itu, dirinya langsung pergi hingga sampai ke tepi hutan, tempat dia mendapat serangan dari Jarong dan orang-orangnya lagi.

Rasanya terlalu sukar bagi Bokor untuk mengetahui persis, di mana surat itu terjatuh. Padahal diyakini betul kalau surat itu tersimpan di balik sabuk pinggangnya. Dan sekarang, benda yang menjadi tanggung jawabnya itu sudah lenyap. Entah berada di mana, yang jelas Bokor berharap agar surat itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Terlebih lagi Jarong, yang tidak jelas maksudnya menyerang dan menjegalnya. Padahal, dia sedang melaksanakan tugas dari paman pemuda kurus kering itu.

“Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?” keluh Bokor seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Kalau merasa bertanggung jawab, kau harus mencari surat itu,” Bayu menyahuti.

“Aku memang harus menemukannya. Tapi di mana...?” lagi-lagi Bokor bertanya tanpa ada yang bisa menjawabnya.

Dan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah pasti tidak bisa menjawab, karena memang tidak tahu menahu tentang surat itu. Dia tadi hanya kebetulan lewat saja. Kebetulan, jiwa kependekarannya tidak bisa melihat seseorang dikeroyok tanpa dapat memberi perlawanan sedikit pun. Walaupun diakui, Bokor berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya.

“Aku akan membantumu mencari surat itu,” kata Bayu menawarkan jasa.

“Terima kasih. Bukannya aku menolak, tapi ini merupakan tanggung jawabku,” sahut Bokor seraya bangkit berdiri lagi.

“Aku merasa, saat ini kau sendirian dan pasti membutuhkan seseorang yang bisa mengerti dan membantumu tanpa mengharapkan imbalan apa pun juga,” kata Bayu lagi.

Bokor tidak bisa menjawab lagi. Dia tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau ini akan membantunya secara sukarela dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan apa pun. Tak ada yang bisa dilakukannya, selain mengulurkan tangan dan menjabat tangan Pendekar Pulau Neraka.

“Kuharap kita bisa bekerja sama,” ujar Bokor. Bayu hanya tersenyum saja.
***
TIGA
Bokor berdiri agak berlindung di balik sebatang pohon yang cukup rindang. Pandangannya tidak berkedip ke arah bangunan istana yang berdiri megah di tengah-tengah Kotaraja Langkat. Di situ, tampak sesosok tubuh tengah merapat di atap bangunan besar dan megah itu. Sosok tubuh yang memakai baju dari kulit harimau.

“Oh...?!”

Mendadak Bokor tersentak kaget ketika pundaknya terasa ada yang menepuk dari belakang. Dan belum sempat berpaling, mendadak saja laki-laki bertubuh tinggi tegap itu merasakan punggungnya terhantam sesuatu dengan keras.

Diegkh!
“Akh...!”

Seketika itu juga, Bokor terpental keras ke belakang. Dia jatuh bergulingan ke tanah beberapa kali, namun cepat bangkit berdiri. Dan belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebat cepat menerjang ke arahnya.

“Uts!”

Bergegas Bokor memiringkan tubuhnya, maka bayangan biru itu lewat sedikit di samping tubuhnya.

Namun angin sambaran bayangan itu membuat Bokor sedikit terhuyung. Bergegas keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai, dan secepat itu pula tubuhnya diputar.

“Jarong..,” desis Bokor ketika melihat seorang pemuda bertubuh kurus kering tahu-tahu berdiri sekitar dua tombak di depannya.

“Kau terlalu berani untuk masuk ke kota, Bokor,” dingin sekali suara Jarong.

Bokor sempat melirik ke arah atap bangunan istana, dan langsung terkejut. Ternyata di atas atap itu sedang terjadi pertarungan sengit. Tampak seseorang berpakaian dari kulit harimau sedang bertarung sengit melawan empat orang bersenjata pedang. Pada saat itu, beberapa orang sudah berlompatan ke atas atap itu dan langsung mengeroyok laki-laki berbaju kulit harimau.

“Sebaiknya kau menyerah saja, Bokor. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan lagi,” kata Jarong lagi, tetap dingin dan datar nada suaranya.

“Walaupun harus mati, jangan harap aku menyerah,” sahut Bokor ketus.

“Pilihlah nasibmu sendiri, Bokor. Baiklah, aku tidak akan sungkan-sungkan lagi memenggal kepalamu...!”

Setelah berkata demikian, Jarong cepat sekali melesat menerjang laki-laki berbaju kuning gading itu. Hanya sedikit saja Bokor memiringkan tubuhnya maka satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Jarong berhasil dihindarinya. Namun tanpa menarik pulang pukulannya, Jarong sudah menghentakkan kakinya. Diberikannya satu tendangan keras menggeledek.

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Ughk...!”

Bokor mengeluh pendek. Tendangan pemuda bertubuh kurus kering itu tak dapat dihindari Bokor. Tak urung lagi telapak kaki yang bagaikan hanya terbalut kulit tipis, telak sekali mendarat di perut Bokor. Akibatnya laki-laki berbaju kuning gading itu terhuyung-huyung ke belakang.

Sret!

Bokor cepat menarik goloknya yang terselip di pinggang. Pada saat itu, Jarong sudah cepat mengibaskan tangannya sambil melompat menerjang.

“Hiyaaa...!”
Wus!
Bet!

Begitu pisau-pisau bertebaran deras ke arah tubuhnya, Bokor cepat sekali mengibaskan goloknya beberapa kali untuk menyampok pisau-pisau itu. Namun pada saat yang sama, Jarong sudah menerjang cepat. Langsung diberikannya dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang tak dapat terbendung lagi.

Plak!

“Akh...!” Bokor memekik keras ketika pukulan yang dilepaskan Jarong tepat menghantam dada. Seketika itu juga Bokor terpental deras sekali ke belakang. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, mendadak saja Jarong sudah cepat mengibaskan tangannya.

Slap!

Tampak dua bilah pisau tipis sepanjang jengkal melesat cepat dari balik lipatan lengan baju pemuda bertubuh kurus kering itu. Sementara Bokor yang sedang terhuyung, tak mampu lagi menghindar. Dua bilah pisau menancap tepat dan dalam sekali di dada pemuda berbaju kuning gading itu. Maka....

Crab!
“Aaa...!”

Bokor terpental ke belakang, dan dengan keras sekali terbanting di tanah. Hanya sebentar tubuhnya mampu menggeliat sambil mengerang, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah merembes keluar dari dada yang tertancap dua bilah pisau.

“Ha ha ha...!” Jarong tertawa terbahak-bahak melihat buruannya kini sudah tergeletak tak bernyawa lagi.

Pemuda bertubuh kurus kering itu menghampiri Bokor yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Diperiksa seluruh tubuh laki-laki itu. Tapi sebentar kemudian, wajahnya seketika berubah semakin memucat bagai tak teraliri darah lagi.

“Keparat..!” geram Jarong mendesis. “Hih!”

Keras sekali kakinya dihentakkan menendang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu. Mayat Bokor terpental cukup jauh, hingga menghantam dinding sebuah rumah sampai jebol berantakan. Penghuni rumah itu keluar, dan langsung berlari terbirit-birit begitu mengetahui yang menjebol dinding rumahnya adalah sesosok mayat.

“Setan keparat..!”

Tubuh Jarong berbalik sambil memaki geram. Matanya langsung memandang ke arah atap bangunan istana. Namun seketika itu juga jadi mendelik. Ternyata di atas atap itu hanya terlihat beberapa sosok tubuh yang tergeletak. Apalagi di sana tak ada pertarungan lagi.

“Hup!”

Cepat sekali pemuda bertubuh kurus kering itu melesat ke arah bangunan istana itu. Dan Jarong tidak melewati pintu gerbang yang tertutup rapat dan dijaga sekitar enam orang prajurit Lesatannya bagaikan kilat melompati tembok benteng istana itu. Siang ini, keadaan sekitar istana itu memang agak lain. Suasananya sunyi senyap. Bahkan tak seorang pun terlihat kecuali para prajurit yang berjaga di tempat-tempat tertentu.
***

Bayu berdiri tegak memandangi gundukan tanah yang masih terlihat baru. Di ujung gundukan tanah merah itu, terdapat sebuah batu sebagai pertanda kalau di dalamnya terbaring jasad seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalanya.

“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian, Bokor,” pelan sekali suara Bayu kedengarannya.

Gundukan tanah itu memang kuburan Bokor. Bayu menguburkannya di tepi hutan tidak jauh dari perbatasan Kotaraja Langkat. Tubuh Bokor ditemukan tergeletak tidak jauh dari tembok benteng Istana Langkat, setelah Pendekar Pulau Neraka lolos dari kepungan di atas atap bangunan istana itu.

“Maaf. Aku tidak bisa memilihkanmu tempat yang lebih baik lagi,” ujar Bayu lagi, tetap pelan suaranya.
“Itu sudah lebih baik, daripada dihanyutkan ke sungai....”

Bayu langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu agak jauh di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang pemuda bertubuh kurus kering mengenakan baju agak longgar warna biru tua. Di belakang pemuda yang perawakan tubuhnya seperti tengkorak hidup itu berdiri empat orang bertubuh tinggi tegap. Wajah mereka kasar, dengan mata menyorot bengis.

“Pasti kau yang membunuh Bokor,” tuduh Bayu langsung.

“Ha ha ha...,” pemuda kurus kering yang tak lain Jarong tertawa terbahak-bahak keras sekali.

Namun suara tawa Jarong begitu kering, dan terdengar serak menyakitkan telinga. Tanpa dijawab sekalipun, Bayu sudah tahu kalau pemuda kurus kering bagai tengkorak hidup inilah yang telah membunuh Bokor. Dan Pendekar Pulau Neraka pernah bertemu sekak, ketika menyelamatkan Bokor dari keroyokannya.

“Kisanak! Aku tidak akan memperpanjang persoalan ini, jika kau suka menyerahkan surat itu padaku,” tegas Jarong dengan suaranya yang selalu datar dan dingin.

“Aku tidak pernah punya surat,” sahut Bayu tak kalah tegas.

“Jangan membuat kesabaranku habis, Kisanak,” desis Jarong bernada mengancam.

“Mau habis, mau tidak, itu urusanmu,” balas Bayu tidak kalah dinginnya.

“Sudah besar kepala rupanya kau...!”

Bayu hanya tersenyum sinis saja. Kemudian tubuhnya berputar ke kanan. Tanpa mempedulikan geraman pemuda kurus kering itu, Bayu mengayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat ini.

''Keparat..! Kau meremehkan aku, heh...?!” geram Jarong jadi gusar bukan main melihat sikap Pendekar Pulau Neraka yang sepertinya tidak memandang sebelah mata padanya.

Namun Bayu tetap saja berjalan, tidak peduli. Dan ini semakin membuat Jarong geram. Seketika tangan kanannya dihentakkan ke depan. Maka, dari balik lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau kecil tipis sepanjang jengkal tangan berwarna keperakan.

Wus...!

Mendengar desiran angin yang halus dari arah belakang, Bayu cepat sekali memutar tubuh. Dan saat itu juga tangan kanannya digerakkan dengan cepat ke depan dada.

Tap!

“Heh...!” Jarong terkejut melihat kedua senjatanya mudah sekali ditangkap Pendekar Pulau Neraka.

Dan kini, kedua pisau tipis keperakan itu terselip di antara kedua jari tangan Bayu. Belum lagi Jarong bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya untuk melemparkan kedua pisau tadi kepada pemiliknya kembali.

“Yeaaah...!”
Wus!

Kedua pisau itu meluncur lebih cepat daripada yang dilemparkan Jarong tadi. Dan ini membuat pemuda bertubuh kurus kering itu jadi terbeliak semakin terkejut. Namun cepat sekali, tubuhnya melenting ke udara. Maka kedua pisau itu melesat lewat di bawah telapak kakinya. Empat orang yang berdiri di belakang pemuda itu juga bergegas berlompatan menghindari terjangan pisau. Mereka menjatuhkan diri di tanah dan bergulingan beberapa kali. Tepat di saat Jarong menjejakkan kakinya kembali ke tanah, empat orang laki-laki berwajah kasar itu sudah berlompatan bangkit berdiri.

“Kurang ajar...,” desis Jarong geram. “Serang! Bunuh keparat itu...!”

Tanpa diperintah dua kali, empat orang yang semuanya bersenjatakan golok segera berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka yang langsung tercabut seketika itu dikibaskan ke tubuh Bayu. Namun lewat gerakan indah dan ringan sekali, tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu meliuk-liuk, menghindari setiap serangan yang dilancarkan empat orang bersenjata golok itu.

Sedangkan Jarong hanya memperhatikan saja jalannya pertarungan itu. Saat memperhatikan, matanya tidak berkedip sama sekali. Sementara, empat orang bersenjata golok itu terus mencecar hebat Pendekar Pulau Neraka. Mereka menyerang secara bergantian dari empat arah. Dan Bayu sendiri tampaknya masih mampu menandinginya, meskipun pada saat ini hanya berkelit dan menghindar saja. Dan ini memang disengaja, karena ingin mengetahui dulu, sampai di mana tingkat kepandaian empat orang pengeroyoknya ini.

“Uts! Yeaaah...!”

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka merunduk sambil memiringkan tubuh ke kiri, ketika sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Dan pada saat itu, tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke depan.

“Yeaaah...!”

Secercah cahaya keperakan berkelebat cepat dari pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Sementara orang yang berada di depannya tidak sempat menyadari lagi. Tahu-tahu....

Crab!
“Aaa...!”

Satu jeritan melengking dan menyayat terdengar, tepat saat orang yang berada di depan Pendekar Pulau Neraka terpental. Tampak di lehernya tertancap sebuah benda pipih bulat, yang sisinya bergerigi enam.

“Hap!”

Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, tepat begitu tubuhnya tegak kembali. Seketika benda berbentuk cakra perak melesat keluar dari leher yang langsung memuncratkan darah segar. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.

“Hup...!”

Bayu melompat keluar dari kepungan itu, di saat tiga orang yang menyerangnya tadi tengah terpaku melihat kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Mereka seperti tidak percaya kalau seorang temannya kini telah tergeletak tak bernyawa. Lehernya robek mengeluarkan darah segar. Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras ke arah Jarong. Pemuda kurus kering bagai tengkorak hidup itu menjadi terkejut bukan main. Bergegas dia melompat ke samping ketika Bayu melontarkan dua pukulan keras beruntun, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Glarrr!

Suara ledakan keras terdengar begitu pukulan Bayu menghantam pohon di belakang Jarong tadi. Pohon yang cukup besar itu langsung hancur berkeping-keping.

“Gila...!” desis Jarong terkejut begitu melihat akibat pukulan pemuda berbaju kulit harimau yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Dan sebelum pemuda kurus kering itu bisa menghilangkan keterkejutannya, Bayu sudah kembali melesat menerjang. Gerakan Pendekar Pulau Neraka sungguh cepat luar biasa. Dan ini berarti tak ada lagi kesempatan buat Jarong untuk menghindar dari serangan yang cepat dan dahsyat itu.

“Yeaaah...!”

Jarong cepat menghentakkan tangannya ke depan, menyambut pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka. Tak dapat dihindari lagi, dua kekuatan tenaga dalam yang saling bertentangan beradu keras hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.

Blarrr!

Tampak kedua pemuda yang mengadu tenaga dalam itu sama-sama terpental ke belakang. Tiga kali Bayu berputaran di udara, dan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Sementara itu, Jarong agak terhuyung begitu mendarat

“Phuih!”

Jarong menyemburkan ludahnya. Dan semburan ludah itu ternyata berwarna merah agak kental. Jarong menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dibandingkan lawan. Juga disadari kalau tubuhnya sedikit terluka dalam. Ludah yang bercampur darah itu sudah menandakan kalau tubuhnya terluka dalam, akibat benturan tenaga dalam tadi.

“Keparat..!” geram Jarong.

Pemuda bertubuh kurus kering itu menjentikkan jari tangannya. Maka mendadak saja, dari atas pohon yang banyak tumbuh di tepi hutan ini meluncur anak-anak panah ke arah Pendekar Pulau Neraka.

“Kadal...!” maki Bayu gusar.

Namun tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu. Dengan cepat sekali, tubuhnya melenting, lalu membuat putaran beberapa kali di udara. Sementara, tangannya bergerak cepat untuk menyampok anak panah yang menghujani tubuhnya. Bayu harus berpelantingan di udara sambil memutar cepat tubuhnya. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali cepat melesat ke udara. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menghadapi hujan anak panah yang datang dari segala arah ini. Namun juga disadari kalau tidak akan mungkin bisa bertahan lama. Cara seperti ini menguras tenaga terlalu banyak.

“Hiyaaa...!”

Cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan mendekati tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan panah-panah itu terus berdesingan di sekitar tubuhnya.

“Hap!”

Cepat Bayu melenting bangkit setelah bisa menyambar golok yang tergeletak tidak jauh dari mayat laki-laki itu. Dan dengan golok ini, setiap anak panah yang datang mengancam tubuh dibabatnya. Kini Bayu tidak perlu lagi menguras tenaga terlalu banyak. Dengan sedikit kelincahan kaki, dan gerakan tangan yang cepat, serangan panah-panah itu berhasil dipatahkan.

“Seraaang...!” tiba-tiba saja Jarong berteriak keras memberi perintah.

Dan seketika itu juga, dari atas pepohonan dan dari balik semak belukar berlompatan manusia-manusia berbaju hitam bersenjata tombak pendek kembar berwarna merah. Mereka seperti berlomba, langsung meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka.

“Monyet celaka...!” geram Bayu mendesis.

Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa menghindar. Karena sebelum sempat berpikir, dari samping kanan dan kirinya sudah datang serangan orang-orang berbaju hitam. Mereka langsung menusuk dan mengibaskan tongkat pendeknya cepat sekali.

Wut!
“Hap...!”

Bayu tak mempunyai pilihan lain lagi. Segera dia bergerak menyambut serangan yang datang dari segala arah itu secara beruntun dan cepat sekali. Dengan mengandalkan kelincahan gerak kaki dan ketinggian pengerahan tenaga dalam, Pendekar Pulau Neraka langsung mengamuk dan menghajar siapa saja yang dekat dari jangkauannya.

Sebentar saja sudah terdengar jerit dan pekikan keras melengking tinggi, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Pukulan yang dilepaskan Bayu, memang dahsyat sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Namun, jumlah mereka semakin bertambah banyak saja. Dan tentu saja ruang gerak Pendekar Pulau Neraka semakin terbatas. Rasanya sukar sekali untuk bisa keluar dari keroyokan ini. Meskipun dirinya seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi, tapi tetap saja kodratnya hanyalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Dan ini sangat disadarinya. Tidak mungkin mereka semua yang jumlahnya seperti satu pasukan prajurit bisa dikalahkan.

“Huh! Bisa habis napasku kalau begini terus,” dengus Bayu dalam hati.

Di saat Pendekar Pulau Neraka sedang berpikir keras sambil terus menghalau serangan, mendadak keroyokan orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi terpecah belah. Ini karena tiba-tiba saja sepasukan prajurit Kerajaan Langkat telah datang dan langsung menyerang para pengeroyok Bayu. Seketika terdengar jeritan-jeritan diselingi denting senjata beradu. Saat itu Bayu memiliki sedikit kesempatan untuk bisa keluar dari kepungan ini. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara dan ber-putaran beberapa kali.

“Hap!”

Begitu kakinya mendarat di batang pohon, dia segera bersiap melepaskan senjata Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan. Namun mendadak saja niatnya diurungkan.

“Lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan memberi perintah.

Seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba hitam berlompatan cepat, masuk ke dalam hutan. Gerakan mereka memang cepat sekali. Maka dalam waktu sebentar saja, tempat ini sudah ditinggalkan. Bayu yang berada di atas pohon jadi tercenung melihat orang-orang berpakaian prajurit berada di tempat itu, di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

“Hup...!” Bayu melompat turun dari atas pohon.

Prajurit-prajurit itu terkejut, dan langsung bergerak mengepung. Namun seorang laki-laki berjubah putih yang membawa tombak pendek bermatakan keemasan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang mengenakan baju warna kuning ketat, membawa cambuk hitam berduri halus.

“Siapa kau. Anak Muda?” tanya laki-laki tua berjubah putih itu.

“Bayu,” sahut Bayu memperkenalkan namanya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya orang tua berjubah putih itu lagi.

“Hm.... Mungkin Kisanak tidak melihat kalau aku yang tadi dikeroyok mereka,” sahut Bayu.

“Oh, maaf. Tapi mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka muncul dan menyerangku.”

Laki-laki tua berjubah putih panjang itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dia kemudian berpaling, memandang laki-laki berbaju kuning ketat di samping kanannya agak ke belakang sedikit Yang dipandang juga menganggukkan kepalanya sedikit.

“Kau tahu siapa mereka itu tadi?” tanya laki-laki tua itu lagi.

Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja. Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu tentang sekelompok orang berseragam hitam yang menyerangnya tadi, setelah mendapatkan isyarat dari pemuda bertubuh kurus kering. Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang membuka suara. Sementara itu orang-orang yang mengenakan seragam prajurit, sudah sibuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan berlumur darah.
***
EMPAT
“Siapa mereka itu, Paman?” tanya Bayu.

“Mereka kaum pemberontak yang menguasai hutan ini,” jelas Jawala.

“Pemberontak...?” Bayu mengerutkan keningnya.

“Benar! Sudah lama kami ingin menumpas, tapi mereka begitu menguasai hutan ini. Dan sukar sekali untuk mengejarnya jika mereka sudah memasuki hutan ini, Anak Muda,” timpal Rahseta menjelaskan.

Bayu terdiam dengan kepala berkerut dalam. Sebentar dipandanginya kedua laki-laki tua itu, kemudian beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan. Benaknya seketika dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan. Pandangan Bayu beralih pada kuburan Bokor.

“Makam siapa itu?” tanya Jawala.

“Bokor,” sahut Bayu.

“Temanmu?” tanya Jawala lagi.

“Bisa dikatakan begitu, kami baru kenal beberapa hari saja,” jelas Bayu singkat. “Dia tewas dibunuh oleh pemimpinnya di Kotaraja Langkat. Apakah paman berdua mengenalinya?”

Jawala dan Rahseta tidak langsung menjawab, namun hanya saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama menggeleng. Bayu yang semula berharap kalau kedua laki-laki tua itu mengetahui tentang Bokor, ternyata jadi sedikit kecewa. Tapi Pendekar Pulau Neraka sepertinya tidak percaya. Jawala dan Rahseta adalah orang penting di Kerajaan Langkat. 

Sedangkan Bokor pernah bercerita kalau beberapa orang penting sedang merencanakan satu pemberontakan untuk menggulingkan ke-kuasaan Ratu Nyai Langas. Dan Bokor sendiri mengakui kalau dirinya bekerja untuk salah satu orang penting yang bebas keluar masuk di dalam istana itu. Tapi, kedua laki-laki tua ini tidak mengenal Bokor. Dan ini membuat Bayu semakin bertanya-tanya dalam benaknya.

“Anak muda. Tampaknya, kau punya urusan dengan mereka itu. Jika tidak berkeberatan, sebaiknya kau bergabung bersama kami untuk menumpas mereka,” ajak Jawala.

“Terima kasih. Sebenarnya....”

“Kau tidak perlu khawatir, Anak Muda,” potong Jawala cepat. “Jika kau bersedia, kami akan mengusahakan kedudukan penting di istana nanti. Tapi kau jika tidak menghendaki, dan tidak ingin keterikatan, kami juga tidak memaksa.”

Bayu terdiam membisu, dan matanya kembali memandang pusara Bokor. Pendekar Pulau Neraka masih terdiam membisu, dengan kening sedikit berkerut. Memang tidak ada salahnya jika ikut bersama kedua laki-laki tua ini. Barangkali saja bisa mendapatkan suatu petunjuk penting. Persoalan ini memang bukan urusannya, tapi Bayu sudah telanjur masuk. 

Kalau toh Pendekar Pulau Neraka itu tidak ingin melanjutkan lagi, pasti pemuda bertubuh kurus kering dan orang-orang berbaju serba hitam itu akan mencarinya. Bayu seketika teringat akan pengakuan Bokor. Katanya dia sedang melaksanakan tugas dari junjungannya untuk menyampaikan sebuah surat penting. Dan Bokor juga mengatakan kalau beberapa pembesar kerajaan, bermaksud memberontak.

“Baiklah. Aku memang ingin membalas kematian temanku ini,” ujar Bayu beralasan menerima tawaran itu setelah memikirkannya cukup lama juga.

“Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja dulu ke kota,” sambut Jawala senang atas kesediaan Pendekar Pulau Neraka yang menerima tawarannya.

Tak berapa lama kemudian, mereka berangkat menuju Kotaraja Kerajaan Langkat Jawala memberi pinjaman kuda dari prajurit yang tewas kepada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu yang memang tidak menyukai kuda sebenarnya ingin menolak, tapi tidak ingin mengecewakan orang-orang yang baru dikenalnya. Dengan perasaan terpaksa, Pendekar Pulau Neraka menunggang kuda bersama yang lainnya.
***

Bayu mengatakan apa yang diketahuinya dari Bokor semasa hidupnya, setelah diyakini kalau Jawala dan Rahseta berada di jalan yang benar. Sedangkan dua orang tua itu juga mengatakan segalanya yang diketahui. Namun setelah saling menukar cerita, belum juga ditemukan satu titik terang yang diinginkan. Jawala dan Rahseta jadi tercenung setelah mendengar cerita Pendekar Pulau Neraka. Katanya, Bokor sebenarnya hendak menyerahkan sesuatu berupa selembar surat yang tersimpan dalam selongsong bambu. Yang membuat mereka tercenung, ternyata surat itu khusus untuk Ratu Nyai Langas.

“Apakah dia mengatakan tentang isi surat itu, Bayu?” tanya Jawala.

“Sayang sekali, dia tidak tahu,” sahut Bayu.

“Lalu, siapa yang memerintahkannya?” kini Rahseta yang bertanya.

“Itu juga tidak dikatakannya. Bokor hanya mengatakan kalau dirinya bekerja untuk salah seorang pembesar di istana ini Maaf, aku tidak bertanya lebih banyak lagi. Saat itu aku sendiri semula tidak ingin ikut campur. Aku hanya menolongnya saja ketika dia dikeroyok,” Bayu mencoba menutupi cerita yang pernah didengarnya dari Bokor. Pendekar Pulau Neraka ini masih merasa belum perlu menceritakan perihal yang sesungguhnya. Sebab Bayu masih belum menemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung kebenaran cerita Bokor.

“Hm..., persoalan ini memang masih gelap. Tapi dari ciri-ciri yang kau sebutkan tentang pemimpin pengeroyok itu, aku yakin kalau pemuda itu adalah Jarong,” tebak Jawala, agak bergumam nada suaranya.

“Jarong...? Siapa itu?” tanya Bayu.

''Pemuda kurus yang kau ceritakan tadi, Bayu,'' sahut Jawala.

“Apakah dia orang dalam istana ini juga?” tanya Bayu lagi.

“Dia kemenakan Narata, kakak sepupu Kanjeng Ratu Nyai Langas,” jelas Jawala. “Terus terang, aku dan Rayi Rahseta memang mencurigai Narata. Terlebih lagi, asal-usul Jarong yang sebenarnya tidak jelas. Baru tiga bulan dia berada di sini. Dan itu bertepatan dengan munculnya kelompok pemberontak yang bersarang di Hutan Landaka.”

“Benar, Bayu,” sambung Rahseta. “Kami memang tidak tahu, dari mana asalnya kemenakan Gusti Narata itu. Sedangkan yang kami ketahui, Gusti Narata tidak mempunyai istri, apalagi anak. Saudara satu-satunya hanyalah Kanjeng Ratu Nyai Langas.”

“Apa selama ini tidak ada yang menyelidiki tentang asal-usulnya?” tanya Bayu lagi.

“Tidak ada yang diperbolehkan menyelidiki asal-usul seseorang yang diakui sebagai anggota keluarga istana. Itu merupakan larangan yang tidak bisa ditawar lagi, Bayu. Sangat besar hukumannya jika dilanggar,” sahut Rahseta menjelaskan.

Bayu terdiam beberapa saat. Sementara, kedua laki-laki tua itu juga tidak berbicara lagi. Dari raut wajah, jelas sekali kalau mereka sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkan saat ini, hanya mereka sendiri yang tahu. Dan Pendekar Pulau Neraka merasakan kalau dirinya tidak akan mungkin lagi bisa keluar dari masalah ini. Secara tidak sengaja, Bokor telah menyeretnya. Dan itu juga karena Bayu tidak bisa melihat kecurangan berlangsung di depan matanya.

Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak menolong Bokor saat itu, sudah pasti tidak akan terlibat dalam kemelut yang melibatkan orang-orang berdarah biru ini. Ya..., suatu gerhana telah terjadi di lingkungan Istana Langkat. Gerhana darah biru yang melibatkan orang-orang bangsawan dan pembesar serta anggota keluarga istana. Apakah Pendekar Pulau Neraka akan terperosok semakin dalam di dalam kemelut ini..?
***

Bayu tertegun di ambang pintu kediaman Jawala. Kakinya tidak jadi melangkah keluar ketika melihat seorang pemuda bertubuh kurus sedang berbicara dengan Jawala dan Rahseta di halaman depan rumah besar ini. Pada saat yang sama pemuda kurus kering itu melihat ke arah Bayu. Tampak sekali kalau dia terkejut melihat Bayu baru keluar dari dalam rumah Jawala.

“Bayu...,” Jawala memanggil Pendekar Pulau Neraka dengan lambaian tangannya.

Bayu melangkah menghampiri, kemudian berhenti setelah tiba di samping Jawala yang dipanggilnya dengan sebutan paman. Pandangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak berkedip ke arah pemuda kurus kering dan berwajah pucat di depannya. Saat itu juga, pemuda kurus kering itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.

“Bayu. Kenalkan, ini Jarong. Kemenakan Gusti Narata,” Jawala memperkenalkan.

“Aku sudah pernah bertemu dengannya,” ujar Jarong. Suaranya dingin dan datar.

“Oh..., benarkah?” tampak Jawala terkejut

Bayu sempat melirik laki-laki tua berjubah putih itu. Tampak kalau sinar mata Jawala tidak terkejut seperti nada suaranya tadi. Dan Pendekar Pulau Neraka tahu kalau Jawala hanya berpura-pura saja.

“Di mana kalian bertemu?” tanya Jawala.

Sementara Rahseta yang berada di samping kiri Jawala, hanya diam saja tanpa membuka suara sedikit pun. Namun tatapan matanya selalu berganti-ganti dari Bayu kemudian kepada Jarong. Dia seperti hendak mengetahui sikap kedua pemuda itu.

“Ada hubungan apa antara dia dan Paman?” tanya Jarong, jelas penuh selidik dan penuh kecurigaan.

“O.... Bayu ini kemenakanku. Dia baru datang dari Kadipaten Pantur,” jelas Jawala.

“Hm...,” Jarong hanya bergumam saja, dan tampaknya tidak percaya penjelasan Jawala yang singkat itu.

Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri, namun suasana begitu kaku. Yang jelas, penuh dengan kecurigaan dan segala macam perasaan dan ketegangan. Hal ini bisa dirasakan dari sorot mata yang selalu tajam mengandung pancaran kecurigaan mendalam.

“Aku permisi dulu, Paman,” pamit Jarong. Sebelum Jawala menyahuti, Jarong sudah memutar tubuhnya. Dan dengan gerakan ringan sekali, pemuda kurus kering berwajah pucat itu melompat naik ke punggung kudanya. Secepat itu pula kuda hitam dengan kaki belang putih itu digebahnya. Sementara Jawala, Rahseta, dan Bayu masih berdiri memandangi sampai pemuda kurus kering itu tidak terlihat lagi.

“Kelihatannya dia tidak percaya, Kakang,” ujar Rahseta dengan suara sedikit bergumam.

“Biarlah. Toh, kalau dia berbuat macam-macam, kita juga bisa membalikkan asal-usulnya,” sahut Jawala kalem.

Tanpa bicara lagi, mereka kemudian masuk ke rumah yang cukup besar dan indah ini. Rumah kediaman Paman Jawala yang dikelilingi pagar tembok cukup tinggi dan tebal, seperti rumah-rumah pembesar lainnya. Beberapa orang berseragam prajurit terlihat berjaga-jaga di tempat-tempat yang telah ditentukan.

Ketiga orang itu kemudian duduk menghadapi sebuah meja bundar beralaskan batu pualam putih yang licin dan berkilat di ruangan depan. Sampai saat ini masih belum ada yang membuka suara. Pertemuan Bayu dengan Jarong tadi memang membuat suasana jadi terasa kaku. Baik Jawala maupun Rahseta sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu setelah hari ini. Hanya saja sulit untuk dipastikan, kejadian apa yang akan menimpa mereka berdua.
***

“Oaaah...!”

Bayu membuka mulutnya lebar-lebar seraya menggeliatkan tubuhnya. Suara bergemeretak ter-dengar dari seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Saat ini, malam sudah demikian larut Suasana di dalam rumah kediaman Jawala ini sudah terasa sunyi sekali. Sebagian penghuninya sudah sejak tadi terlelap dalam buaian mimpi. Namun di dalam salah satu kamar, mata Pendekar Pulau Neraka belum juga bisa terpejam.

Pikiran pemuda itu masih terus dipenuhi kejadian siang tadi. Sungguh tidak disangka kalau pemimpin orang-orang berbaju serba hitam ternyata kemenakan kakak sepupu Ratu Nyai Langas sendiri. Bahkan mereka sudah dikenal sebagai satu kelompok orang yang merasa tidak puas pada Ratu Nyai Langas. Dan mereka sudah beberapa kati mencoba menggulingkan tahta, namun selama ini selalu gagal. Dan sekarang gerakan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“Huuuh...! Rasanya malam ini lain sekali,” desah Bayu agak mengeluh.

Kembali Pendekar Pulau Neraka menguap lebar. Kantuk yang menyerang kelopak matanya terasa amat berat Namun, Bayu belum juga mau jatuh tidur. Seluruh tubuhnya terasa penat sekali. Dia ingin sekali beristirahat tenang dalam kamar yang cukup besar dan tertata apik ini.

Bet!
Bet!

Bayu menggerak-gerakkan tangannya, membuat beberapa persiapan. Kemudian dia duduk bersila di atas pembaringan. Kedua telapak tangannya menempel di lutut yang tertekuk. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam. Pemuda berbaju kulit harimau itu sejenak ingin melemaskan otot-otot dan urat syarafnya yang terasa menegang.

Namun, saat matanya hendak dipejamkan untuk bersemadi, mendadak saja telinganya yang terlatih mendengar desiran yang begitu halus.

“Hup!”

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melesat turun dari pembaringan. Pada saat itu, terlihat seberkas cahaya keperakan melesat masuk dari celah-celah jendela, dan langsung menghantam pembaringan. Padahal, tadi Bayu duduk bersila di sana. Sekilas Pendekar Pulau Neraka melirik.

“Hm...” Bayu hanya menggumam kecil saja. Di atas pembaringan beralaskan kain merah muda itu, jelas tertancap sebilah pisau kecil tipis sepanjang jengkal. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melompat mendekati jendela. Dan begitu jendela kamar ini dibuka, mendadak saja secercah cahaya keperakan kembali meluruk deras ke arahnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat. Tubuhnya kemudian melenting dan berputar ke belakang. Cahaya keperakan yang memang berupa sebilah pisau kecil tipis itu, lewat sedikit di bawah tubuhnya. Dan tepat saat pisau itu menancap di dinding, kaki Bayu menjejak lantai.

Hanya sekali saja tubuhnya digenjot, dan secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke luar. Begitu kakinya menjejak tanah berumput halus, seketika itu juga empat buah bayangan hitam berkelebatan cepat meluruk deras ke arahnya. Dan sebelum Bayu bisa menyadari, mendadak saja empat buah cahaya keperakan berkelebat cepat mengarah ke tubuhnya.

“Yeaaah...!”

Bergegas tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar sambil melesat ke udara. Sinar keperakan yang berasal dari empat senjata golok, lewat di bawah telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan pada saat itu, cepat sekali Bayu memutar tubuhnya, hingga kepala berada di bawah dan kaki lurus ke atas.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan kedua tangannya beberapa kali dengan kecepatan bagaikan kilat. Kemudian tubuhnya kembari melenting ke udara, dan mendarat manis sekali di tanah berumput

Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangan Pendekar Pulau Neraka itu sudah tergenggam empat bilah golok yang cukup besar bercahaya keperakan tersiram cahaya rembulan. Tampak tidak jauh di depan Bayu, berdiri empat orang berbaju serba hitam. Nampaknya, semuanya anak-anak muda yang mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Mereka tampak terkejut setelah melihat orang yang diserangnya tahu-tahu sudah merampas senjata mereka semua.

“Siapa kalian?!” tanya Bayu dengan suara tegas dan datar.

Tapi empat orang pemuda berbaju hitam itu, tidak menjawab sama sekali. Bahkan mencabut sepasang senjata yang terselip di pinggang, berupa sepasang tongkat pendek sepanjang tiga jengkal berwarna merah menyala. Dan sebelum Bayu sempat bertanya lagi, tiga orang serentak berlompatan mengepung Pendekar Pulau Neraka dari empat jurusan.

“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja. Perlahan tubuhnya memutar, dan pandangannya berkeliling merayapi empat pemuda berbaju hitam bersenjata sepasang tongkat merah yang digerak-gerakkan di depan dada. Dari desiran angin akibat gerakan tongkat itu, Bayu sudah bisa menduga kalau keempat orang berbaju serba hitam ini memiliki tingkat kepandaian lumayan.

“Hm..., apa yang kalian kerjakan di tempat ini?” kembali Bayu membuka mulutnya bertanya.

Namun tetap saja tidak ada sahutan sama sekali. Bahkan, mendadak saja empat orang anak muda berbaju serba hitam itu melesat cepat secara bersamaan untuk menerjang Bayu.

“Yeaaah...!”