Warok Ponorogo 9 - Kemilau Asap Kematian(2)

6
BALAS DENDAM 


Kematian Warok Surodilogo ditangan pimpinan 
penjahat Bledeg Ampar ternyata berbuntut panjang. 
Paling tidak muncul nama seseorang yang telah 
kondang namanya sebagai orang yang berperangai 
berangasan, bernama Jenggoio Kobro. Ia merasa tidak 
senang atas matinya pimpinannya Warok Surodilogo 
yang diagul-agulkan itu di tangan Warok Bledeg Ampar. 
Seseorang yang dianggap tidak ada artinya apa-apa, 
hanya bekas pemimpin gerombolan perusuh yang 
sekarang berubah tabiat baik dan mendapat gelar sebagai 
warok sakti. 


Kematian seorang warok telah menjadi aib bagi dunia 
perwarokan di Ponorogo, seseorang pemimpin penjahat 
yang bernama Bledeg Ampar yang berasal dari daerah 
wetan dapat membuatcelakaseorang warok yang tersohor 
namanya dari daerah selatan. Walaupun mantan 
penjahat Bledeg Ampar itu kini juga sudah bergelar 
Es Bledeg Ampar karena belakangan ini telah 
mengubah tabiatnya menjadi orang baik di kampung 
halamannya. Berita ini sungguh menyakitkan hati bagi 
para musuhnya. Membuat tidak mengenakan bagi 
kalangan tokoh persilatan di daerah selatan yang memihak 
kepada Warok Surodilogo almarhum. 


Suatu hari, Jenggolo Kobro mengumpulkan teman- 
temannya yang masih satu aliran. Mereka adalah yang 
pernah bergabung dalam mitra usaha yang waktu itu 
masih dipimpin oleh almarhum Warok Surodilogo. 
Mereka berkumpul di rumah Jenggolo Kobro yang 
masih berada dibilangan pinggir kota Dukuh Dawuan. 


"Bagaimana teman-teman, sebaiknya kita sekarang. 
Apakah yang harus kita perbuat. Belakangan ini banyak 
kawan-kawan kita yang tersisih dari pergaulan 
masyarakat Dawuan sejak meninggalnya Kangmas 
Surodilogo," kata Jenggolo Kobro membuka pertemuan 
para mantan anggota kelompok usahanya dulu itu. 


"Sebaiknya, kita memilih dahulu siapa yang pantas 
untuk kita jadikan pemimpin kita sebagai pengganti 
Kangmas Surodilogo," kata Surokepruk memberikan 
usulannya. 

"Nah, kalau demikian saya mengusulkan agar Kangmas 
Jenggolo Kobro saja yang memimpin kita ini. Beliau ini 
selama masih ada Kangmas- Surodilogo hanya satu- 
satunya orang yang sering menjadi wakilnya. Maka 
lebih tepat kalau Kangmas Kobro saja yang mengatur 
segalanya," kata Gempur Seco laki-laki yang pem- 
bawaannya kalem tetapi matanya memancarkan sorot 
tajam penuh kebengisan. 

"Baiklah kawan-kawan, kalau memang kalian memilih 
aku menjadi pengganti sementara Kangmas Surodilogo 
almarhum. Aku terima kepercayaan kawan-kawan. 
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita untuk meng- 
hadapi perubahan di Dukuh Dawuan yang kini 
pengaruh Wulunggeni semakin menjadi-jadi itu," kata 
Jenggolo Kobro. 


"Apa tidak sebaiknya kita lawan saja, Kangmas Kobro. 
Sampeyan berani tidak menghadapi dia," kata Gempur 
Seco lagi. 


"Masalah ini bukan soal berani atau tidak. Mengun- 
tungkan atau tidak bagi kelompok kita berurusan dengan 
si Wulunggeni itu. Itulah yang penting harus kita 
pertimbangkan," kata Jenggolo Kobro. 


"Kalau menurutku, kita sebagai orang yang pernah 
menikmati keberuntungan semasa Kangmas Surodilogo 
masih hidup, sebaiknya kita menuntut balas atas kerna- 
tian Kangmas Suro. Jadi yang kita hadapi terlebih 
dahulu adalah gerombolannya si Bledeg Ampar itu," 
kata Bardo Gunung, orang yang berasal dari gunung 
pegat yang bertubuh besar berkulit hitam keling. 


"Aku akur saja sama penemunya Kangmas Bardo. Kita 
semua wajib menuntut balas. Sukmanya Kangmas 
Surodilogo tidak akan tenteram di alam baka kalau kita 
sebagai anak buahnya membiarkan musuh yang satu ini 
hidup pongah menikmati kemenangannya. Aku berani 
berhadapan dengan si Bledeg Ampar itu," kata Gempur 
Seco dengan penuh semangat. 

"Baiklah kalau demikian. Lalu bagaimana caranya kita 
menghadapi gerombolan Bledeg Ampar yang anggotanya 
begitu banyak tersebar dimana-mana itu. Apa kita 
tantang dia satu lawan satu adu tanding. Apa kita mau 
main keroyokan," kata Jenggolo Kobro. 


"Kita tantang tanding. Satu lawan satu saja," kata Bardo 
Gunung. 

"Lalu siapa yang akan kita jagokan di antara kawan- 
kawan kita ini," tanya Jenggolo Kobro lagi. 

Semua terdiam, mereka saling pandang tidak ada yang 
memberikan suara. 

"Kamu saja Kangmas Bardo yang menghadapinya," usul 
Sastro Kecik laki-laki yang bertubuh kecil gempal itu. 
"Hah, jangan aku, Kangmas Kobro saja. Beliau iri kan 
ilmu kanuragannya lebih tinggi," kata Bardo Gunung 
nampak ragu. 

"Tadi Kangmas Gempur Seco katanya berani meng- 
hadapi Bledeg Ampar," kata Sastro Kecik. 

"Memang aku berani menghadapi dia. Tetapi kan masih 
ada Kangmas Kobro. jadi Kangmas Kobro dulusaja yang 
menghadapi, baru aku" balas Gempur Seco enteng. 

"Kalau demikian berat bagi kita untuk menantang adu 
tanding. Kita belum siap di antara kita yang mau maju 
melawan dia. Bagaimana kalau kita carikan lawan yang 
sekiranya ilmunya sepadan dengan si Bledeg jelek itu," 
kata Jenggolo Kobro kemudian. 


"Aku akur, Kangmas" kata mereka hampir berbarengan. 


"Lalu siapa kira-kira yang akan kita jagokan, Kangmas 
Kobro," tanya Bardo Gunung. 


"Kalau menurut pendapatku, memang agak sulit untuk 
mencari tandingannya si Bledeg itu. Tetapi di Dukuh 
Griyantoro ada Warok Singobeboyo, nampaknya hanya 
dia satu-satunya warok yang hingga kini masih bisa 
disegani ilmunya untuk ukuran daerah kidul ini." 


"Tetapi bagaimana caranya. Apa ia mau. Dia kan 
sekarang menjabat sebagai kepala pengamanan daerah. 
Tentu tidak mudah kalau ia dipancing untuk tiba-tiba 
menantang adu tanding, Tugasnya dia sebagai kepala 
pengamanan daerah justeru harus menenangkan 
kerusuhan. Tidak mungkin dia mau kita ajak untuk bikin 
gara-gara." 

"Kita harus cari akal lagi, Kangmas." 

"Ya. memang kita harus hati-hati dalam melakukan 
usaha pembalasan kepada Bledeg Ampar ini. Coba kita 
carikan pemecahan bersama," kata Jenggolo Kobro. 
"Apa sebaiknya kita coba saja Kangmas. Kita berkunjung 
ke rumah Warok Singobeboyo. Siapa tahu ia lagi butuh 
uang. Kita bisa bayar dia," usul Bardo Gunung. 


"Baik, kawan-kawan. Tidak ada jeleknya kita mencobanya," 
kata Jenggolo Kobro yang diikuti kesepakatan oleh kawan- 
kawannya itu. 


Memang agak sulit bagi gerombolan Jenggolo Kobro ini 
untuk mewujudkan balas dendamnya sebab mereka 
harus berhadapan dengan banyak kekuatan. Selama ini 
nama harum Warok Surodilogo yang disandangnya 
sejak ia berhasil mengalahkan Warok Wulunggeni 
dalam acara adu tanding di alun-alun Ponorogo hampir 
dua puluh tahun yang lalu itu, telah membuat bangga 
bagi para pengikutnya. Terutama Jenggolo Kobro 
sebagai orang dekat kepercayaannya, merasa kehilangan 
besar atas matinya Warok Surodilogo itu. Jenggolo 
Kobro sebagai pembantu setia Warok Surodilogo ingin 
membuat perhitungan lebih lanjut untuk menebus 
kematian Warok Surodilogo seorang pemimpin yang 
sangat dihormatinya itu. Untuk langsung menantang 
sabung dengan Warok Bledeg Ampar, masih pikir- pikir 
dulu. Mengingat reputasi Warok Bledeg Ampar di dunia 
hitam pada masa lalunya sangat menonjol. Ia sangat 
disegani oleh kalangan hitam. Demikian juga nama 
Warok Bledeg Ampar sering ditakuti oleh musuh- 
musuhnya di antara sesama kalangan hitam. Oleh 
karena itu, Jenggolo Kobro tidak ingin sembarangan 
menghadapi lawan yang bukan tandingnya seperti 
Warok Bledeg Ampar yang tersohor namanya sebagai 
warok sakti itu. Satu-satunya cara untuk melampi- 
askan kemarahannya itu diarahkan kepada Juragan 
Njenduk. 


Orang seperti Juragan Njenduk ini yang dianggap 
sebagai biang keladi kematian pemimpin mereka itu. 
Namun kemudian, kini diketahui ternyata Juragan 
Njenduk sedang menjalin kemitraan usaha dengan 
Warok Wulunggeni, musuh bebuyutan Warok 
Surodilogo di masa lalu. Oleh karena itu untuk langsung 
menguber si Juragan Njenduk, tidak mungkin. Sebab 
tidak ayal ia akan berhadapan pula dengan Warok 
Wulunggeni yang perkasa itu, dan urusan bisa 
berkepanjangan kalau mau berhadapan dengan Warok 
Wulunggeni itu. Hanya pimpinan mereka Warok 
Surodilogo almarhum yang dapat menandingi 
kedigdayaan Warok Wulunggeni ini. Oleh karena itu 
Jenggolo Kobro masih berusaha mencari akal. Satu- 
satunya jalan ia berusaha mencari centeng orang kuat 
lainnya. Tercetus gagasan untuk mendekati Warok 
Singobeboyo. Warok yang satu ini memegang jabatan 
sebagai kepala pengamanan daerah Dukuh Griyantoro. 
Jenggolo Kobro kemudian berusaha mengambil hati 
terhadap warok yang berusia lanjut itu untuk dapat 
dijadikan sebagai mitra kerjanya. Namun ternyata, 
ketika rombongan Jenggolo Kobro itu menghadap 
Warok Singobeboyo di Dukuh Griyantoro, mereka 
disambut baik dengan keramahan seorang bapak yang 
wicaksono, akan tetapi Warok Singobeboyo menolak 
untuk bergabung dengan mereka. 


"Aku memang punya musuh. Si Tanggorwereng kaki 
tangannya Si Wulunggeni itu memang pernah kurang 
ajar terhadap wargaku di Dukuh Griyantoro sini. Aku 
hampir beradu tanding dengan Tanggorwereng ketika 
aku peringatkan dia jangan bersikap kurang ajar suka 
mengganggu perempuan di Tempat Hiburan Nyai 
Lindri beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi bukan 
berarti aku sekarang mau menerima tawaran kalian 
untuk mencari gara-gara berurusan dengan Si Bledeg 
Ampar yang sekarang bergabung dengan rombongannya 
si Wulunggeni itu. Aku tidak sudi berurusan dengan 
mereka. Kecuali kalau memang mereka bikin gara-gara 
di daerah yang menjadi kewenanganku di Dukuh 
Griyantoro ini," kata Warok Singobeboyo nampak arif. 


“Bukankah dengan memberantas Warok Bledeg Ampar 
bersama Warok Wulunggeni, kekuatan Warok Tang- 
gorwereng akan berkurang, sehingga bapak tinggal 
menggulung Si Tanggorwereng," kata Jenggolo Kobro. 


"Aku jelaskan yaaaaa. Soal Bledeg Ampar itu tidak bisa 
diganggu gugat. Aku dapat bisikan langsung dari 
Warok Sawung Guntur yang mewakili penguasa kadi- 
paten agar jangan mengganggu sepak terjangnya si 
Bledeg Ampar itu. Memang, aku kurang tahu latar 
belakangnya ini semua. Tapi begitulah pesan dari 
Warok Sawung Guntur. Jadi sesuai kedudukanku 
sebagai punggawa, kadipaten Ponorogo yang di- 
tugaskan untuk mengamankan daerah Dukuh Griyantoro 
ini, tugasku hanya sebatas itu. Jadi, Adi sekalian ini 
sudah mengerti bagaimana posisiku ini," tegas Warok 
Singobeboyo. 


"Mengertiiii, Pakkk." Jawab para laki-laki itu hampir 
berbarengan. 


"Jadi, ya maafkan saja aku. Aku sebenarnya tidak ingin 
membuat kalian yang datang dari jauh-jauh ini kecewa. 
Jangan tersinggung oleh penolakanku ini. Tapi ya itu 
tadi, aku tidak bisa melakukan ajakan kalian. Aku ini 
sebagai warok yang tidak bisa bebas untuk berbuat 
sekehendak hatiku. Aku sudah terlanjur mengabdikan 
diriku kepada pemerintah Kadipaten Ponorogo. Jadi 
sekali lagi maafkan aku." 

"Tidak apa kok, Pak. Kami semua ini datang lantaran 
penghargaan kami kepada bapak sebagai orang sakti 
yang menurut pandangan kami bisa menegakkan 
keadilan atas terbunuhnya pimpinan kami Kangmas 
Surodilogo di tangan Bledeg Ampar." 

"Ya...ya...sudahlah relakan kematiannya. Sudah menjadi 
risikonya sebagai warok sejati harus berani menerima 
kekalahan. Apalagi kematian Surodilogo karena 
bertanding itu merupakan nilai tertinggi bagi seorang 
warok sejati yang berani mempertahankan martabat 
dirinya. Tapi kalau kalian mau menuntut balas atas 
kematian pimpinan kalian itu bukannya malahan 
menjadi balas dendam yang tidak pada tempatnya, 
mencari gara-gara. Itu jelas tidak baik Iho Diiii. Persoalan 
pribadi antara Warok Surodilogo dengan Warok Bledeg 
Ampar, adalah menjadi persoalan kedua orang itu. 
Mereka berdua telah mengambilsikap hidupnya dengan 
cara bertarung sampai mati itu. Jadi kalian sebagai bekas 
anak buahnya ya sebaiknya sekarang mencari pemimpin 
baru. Masih banyak kok warok sakti di daerah kita ini." 

"Baik, terima kasih atas nasehat bapak." 

"Nah, hayo dimakan dulu jadahnya ini, dan ini 
wedangnya diminum, jangan dibiarkan saja keburu 
dingin," kata Warok Singobeboyo ramah menyilakan 
tamunya itu. 


Tidak lama kemudian, nampak serombongan 
kuda yang dipimpin  oleh Jenggolo Kobro itu hampir 
berbarengan meninggalkan rumah sederhana di pinggir 
Dukuh Griyantoro itu pulang kembali ke Dukuh 
Dawuan dengan tanpa membawa hasil untuk mem- 
pengaruhi Warok Singobeboyo yang sudah berusia 
lewat setengah baya itu. 


6
MENJADI MURID 


KELIMA jagoan mantan anak buah Warok Surodilogo 
hum itu nampak lemas kehilangan akal sejak 
penolakan Warok Singobeboyo yang menyatakan tidak 
bersedia menjadi pelindungnya untuk diadu tanding 
menghadapi Warok Bledeg Ampar. 


Mereka kemudian berkumpul di rumah Jenggolo Kobro 
sebagai yang ditunjuk menjadi pemimpin mereka untuk 
mencari upaya menghadapi kerumitan yang menimpa 
gerombolannya ini. 


"Kalau tidak ada warok yang bersedia diadu tanding 
menghadapi si Bledeg Ampar itu, sekarang sudah saatnya 
kita berpikir untuk tidak perlu mengharapkan akan 
datangnya orang yang mau membantu kita," kata 
Jenggolo Kobro memecahkan kesunyian. 


"Lalu, apa yang akan kita lakukan Kangmas Kobro," 
tanya Surokepruk.  


“Kita harus mau berguru. Kita mencari guru warok sakti. 
yang setinggi-tingginya," kata Jenggolo Kobro.

 
"Kepada siapa kita akan berguru, Kangmas” tanya Gempur 
Seco laki-laki yang pembawaannya kalem tetapi 
matanya memancarkan sorot tajam penuh kebengisan 
itu. 


"Kita harus mencari tahu dimana ada warok sakti yang 
mau mengangkat kita menjadi muridnya," kata Jenggolo 
Kobro. 


Suasana menjadi hening. Nampak mereka berpikir 
keras, mengingat-ingat dimana saja pernah terdengar 
berita mengenai kehebatan warok yang memiliki kesaktian 
mandraguna. Tiba-tiba salah seorang dari kelima laki- 
laki itu berteriak lantang. 


"Aku baru ingat. Ini penting konco-konco. Ada seorang 
warok sakti yang kini sedang menjalani tapa brata. 
Namanya...nama...aku...ach siapa, aku lupa" kata Sastro 
Kecik laki-laki yang bertubuh kecil gempal itu sambil 
memutar-mutarkan kepalanya mengingat-ingat 
sesuatu. 


“Dimana kira-kiranya tempat tinggalnya,” tanya Bardo 
Gunung orang yang berasal dari gunung pegat yang 
bertubuh besar berkulit hitam keling seperti tidak sabar. 

"Di...di...di dekat Dukuh Badegan,” kata Sastro Kecik. 

Di pekuburan Pepunden, Ditunggui oleh ahli warisnya 
bernama Warok Suroyudho," kata Gempur Seco laki-laki 
yang pembawaannya kalem itu. 

"Ya. Benar," jawab Sastro Kecik dengan telunjuk tangannya 
mengarah ke muka Gempur Seco membenarkan ucapan 
Gempur Seco itu. 

"Mana mungkin orang tua itu mau mengangkat kita 
menjadi muridnya. Orang tua itu memang terkenal sakti, 
tetapi ia tidak mau lagi berurusan dengan pergolakan 
kanuragan lagi. Ia nampak sudah menjauhkan diri dari 
urusan tetek bengek orang hidup di dunia," kata Bardo 
Gunung orang yang bertubuh besar berkulit hitam 
keling itu dengan membelalakan matanya yang bulat itu. 


"Apa salahnya kita coba, Kang. Siapa tahu orang tua itu 
lagi enak hatinya dan mau menerima kita menjadi 
muridnya," kata Sastro Kecil lagi. 


Suasana menjadi hening kembali. Nampak mereka 
sedang menimbang-nimbang kemungkinan- 
kemungkinan yang lebih buruk menimpa gerombolan 
mereka ini. 


"Ada baiknya kita pertimbangkan usulan Dimas Sastro. 
Dalam situasi sulit sekarang ini, tidak ada buruknya 
segala jalan kita tempuh, Dan aku rasa, orang tua ini 
satu-satunya harapan saat sekarang. Bagaimana konco- 
konco kita temui orang tua itu," ajak Jenggolo Kobro. 

"Aku setuju," jawab Surokepruk. 

"Aku juga akur saja," kata Gempur Seco laki-laki yang 
pembawaannya kalem, matanya memancarkan sorot 
tajam penuh kebengisan yang mendalam. 


"Baiklah kalau demikian kita berangkat sekarang 
mumpung hari belum siang." 


"Hayoooo," kata Sastro Kecik laki-laki yang bertubuh 
kecil gempal itu segera bangkit dari duduknya dengan 
penuh semangat yang diikuti oleh para laki-laki lainnya. 
Tidak berapa lama terlihat kuda-kuda mereka telah ber- 
pacu kencang meninggalkan rumah Jenggolo Kobro di 
pinggiran Dukuh Dawuan itu. 


Pada siang hari rombongan yang dipimpin Jenggolo 
Kobro itu telah sampai di pinggir sebuah kuburan besar 
di tengah bulakan tandus. Di tengah kuburan itu terdapat 
pohon-pohon beringin besar yang daun-daunnya 
nampak sudah mulai mengering. Setelah mereka 
menambatkan kuda di pohon-pohon yang memagari 
kuburan itu, mereka nampak membisu saling meman- 
dang, apa yang harus mereka lakukan kemudian, Sebab, 
di lingkaran pagar kuburan itu terdapat tulisan-tulisan 
yang melarang orang lain memasuki pekuburan itu 
tanpa ada ijin dari penghuni pekuburan. 


"Bagaimana ini Kangmas Kobro. Kepada siapa kita harus 
minta ijin memasuki pekuburan ini. Menurut ceritera 
para sesepuh, orang tua yang bergelar Warok 
Suroyudho itu tinggalnya di bawah pohon beringin 
kering besar di tengah-tengah pekuburan ini. Di sana 
ada padepokan, rumah kayu besar yang terlindung 
pandangan oleh kayu-kayu kering besar itu. Sedangkan 
untuk mencapai kesana harus memasuki pekuburan ini. 
Untuk memasuki pekuburan ini harus ada ijin; Apakah 
Ef] artinya sama saja kita tidak boleh menemui Warok 
Suroyudho itu," tanya Surokepruk. 

"Ya, aku sendiri juga tidak mengerti," jawab Jenggolo 
Kobro dengan muka nampak kebingungan. 
"Bagaimana kalau kita kirim berita isyarat kepada dia," 
usul Gempur Seco laki-laki yang pembawaannya kalem 
itu. 

"Bagaimana kamu akan lakukan Kangmas Gempur," 
tanya Bardo Gunung. 

"Aku akan mencoba menyampaikan pesan dengan 
menggunakan mata hatiku," kata Gempur Seco. 
"Lakukanlah, Dimas Seco" kata Jenggolo Kobro. 


Tidak berapa lama nampak Gempur Seco duduk bersila. 
Mata dipejamkan. Pikiran dipusatkan kepada wajah 
Warok Suroyudho orang yang dulu pernah ditemui 
hampir lima belas tahun yang lalu ketika beliau pernah 
berkunjung ke Dukuh Dawuan atas undangan Warok 
Surodilogo semasa masih menjadi penguasa kegiatan 
usaha jasa-jasa pengamanan di daerah itu. 

Tidak berapa lama terdengar suara kranakkkkk pelan- 
pelan pintu pekuburan yang terbuat dari kayu itu 
terbuka. Entah kekuatan apa yang menggerakan pintu 
itu Tentunya ada semacam dorongan dari dalam pekuburan 
itu. Rupanya antara Gempur Seco dan Warok 
Suroyudho sudah terjadi pembicaraan lewat dunia gaib. 
Warok Suroyudho lalu mengijinkan mereka mene- 
muinya, kemudian ia membukakan pintu pekuburan itu 
sebagai jalan masuk ke padepokannya. 


"Dia telah menangkap isyarat kita," kata Jenggolo Kobro. 


"Benar Kangmas. Ini berarti kita telah dipersilakan 
masuk," kata Bardo Gunung orang yang bertubuh besar 
berkulit hitam keling itu. 


"Seco...Seco...bangun. Dia sudah menerima isyaratmu. 
Kita sudah dipersilakan masuk," kata Jenggala Kobra 
memudarkan semedi Gempur Seco. 

Tidak berapa lama kemudian Gempur Seco sudah 
kembali pada kesadarannya. Ia lalu bangkit dari duduk 
bersilanya, dan mengikuti mereka yang telah memasuki 
pekuburan itu. Dengan langkah hati-hati penuh 
kewaspadaan, kelima laki-laki itu mendekati pohon- 
pohon beringin kering di tengah-tengah pekuburan itu. 
Kemudian mereka telah sampai di depan pintu sebuah 
gubug besar yang terlindung pohon-pohon beringin 
kering itu. Pintunya terbuka tidak ada daun pintunya. 
Mereka satu per satu memasuki pintu kayu yang terbuat 
nampak kasar asal-asalan itu, Baru beberapa langkah 
melewati pintu itu, terlihat pemandangan seorang tua 
yang sedang duduk bersila di atas batu hitam besar. 
Rambutnya panjang terurai. Matanya terpejam. Mulutnya 
komat-kamit. Tidak jauh dari orang tua itu duduk bersila 
seorang pemuda tampan dengan tubuh kekar, tetapi 
matanya tidak dipejamkan memperhatikan kehadiran 
kelima laki-laki itu dengan raut muka yang ramah 
seperti mempersilakan tamu-tamunya itu. Pemuda itu 
ternyata Joko Manggolo. Telah beberapa bulan ini secara 
diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya, khususnya 
Paman Sadri, ia telah berguru ilmu kepada orang tua 
sakti ini. la tahu kalau hal ini dimintakan ijin kepada 
Paman Sadri pasti tidak disetujui, maka ia kemudian 
berpamit ingin berkelana, setelah beberapa lama 
kemudian memutar kembali ke daerah ini dan menemui 
Warok Suroyudho untuk menjadi muridnya. Tiap 
minggu Joko Manggolo memang selalu pulang ke 
Dukuh Badegan, tetapi kemudian pamit lagi untuk 
berkelana. Padahal ia kemudian bermukim di gubug 
reyot ini untuk memperdalam ilmu kanuragannya, 


"Maaf, Eyang. Mohon maaf mengganggu. Menyampaikan ° 
salam hormat kepada Panjenengan Warok Suroyudho," 
kata Jenggolo Kobro dengan hati-hati. 


"Duduklah kalian," kata Warok Suroyudho setelah 
matanya dibuka. "Ada keperluan apa kalian berlima 
jauh-jauh datang kemari." 


"Kak...kam...kami...menghaturkan hormat Eyang. 
Kam...kami berlima ingin berguru kepada Eyang. Ingin 
menjadi murid Eyang Suro..." kata Jenggolo Kobro 
terbata-bata. 


"Sudah, sudah, sudah cukup. Aku mengerti. Kalian 
sedang risau. Kalian mempunyai rencana. Aku tidak 
menerima murid yang akan mengamalkan ilmunya 
hanya untuk tujuan mau balas dendam." 

"Kami tidak ingin balas dendam Eyang. Kami ingin 
memohon keadilan." 


"Bagus, bagus. Apa pun menurut katamu. Tetapi aku 
tidak sudi ilmuku kalian kotori. Sebaiknya kalian 
mencari guru orang lain saja. Masih banyak orang 
sakti di daerah Ponorogo ini yang bisa kalian jadikan 
panutan." 


"Mohon ampun, Eyang. Kami mengharapkan Eyang 
sudi menerima kami menjadi murid. Menurut kami, 
Eyang adalah satu-satunya warok yang sangat bijaksana 
dibandingkan dengan banyak warok yang hanya 
mengandalkan kesaktiannya tetapi tidak memiliki 
kearifan seperti yang dimiliki Eyang Suroyudho," kata 
Jenggolo Kobro dengan takjim. 

Suasana kembali tenang tidak ada kata-kata yang keluar. 
Agaknya Warok Suroyudho sedang mencerna kata-kata 
terakhir Jenggolo Kobro yang menyarjungnya itu. 
"Apa benar katamu itu. Apakah engkau hanya mau 
menyanjung untuk menyenangkan aku saja." 


"Bukan untuk mencari muka, dan menyanjungnya, Eyang. 
Kami mengatakan yang sebenarnya," kata Jenggolo Kobro. 


"Baiklah kalau demikian. Kalau memang kalian mem- 
punyai tekad yang bulat. Aku ingin mengujimu." 

Kelima laki-laki itu saling berpandangan. Ujian apa 
gerangan yang akan diterapkan Warok Suroyudho 
orang tua ini. 

"Begini. Dihadapanmu ini adalah muridku bernama 
Manggolo. ia telah beberapa bulan ini menekuni ilmu 
kanuragan yang aku ajarkan. Nah, kalian ingin aku adu 
tanding dengan muridku iri. Kalau kalian beramai- 
ramai berhasil! mengalahkan dia dengan mengeroyok, 
maka kalian akan aku terima sebagai murid." 


Kelima laki-laki itu kembali saling berpandangan untuk 
meminta pendapat teman-temannya. 

“Baiklah, Eyang. Kami bersedia menerima ujian ini," kata 
Jenggala Kobro. 

"Bersiaplah Manggolo,” kata Surokepruk langsung berdiri 
kelihatan sudah tidak sabar lagi ingin menyerang Joko 
Manggolo yang masih duduk terdiam. Namun 
demikian, tidak berapa lama Joko Manggolo sudah 
bersiap. 


"Tunggu," kata Warok Suroyudho, "Kalian tidak bolch 
bertarung di ruangan sempit ini. Dan jangan sekali-kali 
bertarung di dalam lingkaran pekuburan pepunden ini. 
Kalian semua keluar dari lingkaran dalam pekuburan. 
Bertarunglah di luar sana." 


Tanpa banyak kata lagi, kelima laki-laki yang diikuti 
oleh Joko Manggolo itu segera beranjak keluar rumah 
gubug reyot iri, dan terus menuju luar lingkaran pekuburan 
pepunden. 


Joko Manggolo nampak telah siap menerima serangan 
dari kelima laki-laki itu. Mereka berlima tanpa tanya- 
tanya lagi langsung terus menyerang ganas kedudukan 
Joko Manggolo dari segala arah dengan penuh variasi 
jurus-jurus yang mematikan. Akan tetapi serangan yang 
datang secara bertubi-tubi itu dapat dipatahkan oleh 
gerakan-gerakan lincah Joko Manggolo yang sudah 
banyak berpengalaman menghadapi pertarungan berat. 
Beberapa kali memang Joko Manggolo nampak mulai 
terdesak mundur oleh serangan beruntun yang dilan- 
carkan berbarengan oleh kelima laki-laki itu yang ke- 
lihatan penuh perhitungan matang. Mereka kelihatan 
mulai berhasil memojokkan terus posisi Joko Manggolo 
yang terus mengambil gerakan mundur sampai 
beberapa langkah jauh ke belakang. Dalam beberapa 
langkah mundur yang dilakukan Joko Manggolo nampak 
ia semakin kesulitan mengimbangi kehebatan jurus- 
jurus serang yang dilancarkan oleh kelima laki-laki 
bekas kepercayaan Warok Surodilogo almarhum itu. 
Mereka berlima nampak cekatan memperagakan jurus- 
jurusnya. Dalam keadaan terdesak terus itu Joko Mang- 
golo masih berusaha mengatur permainan jurus-jurus 
bela serangnya secara tajam. Namun nampaknya kelima 
laki-laki itu sudah terbiasa menyerang serentak secara 
teratur sehingga mempersulit posisi Joko Manggolo. 
Tidak ada pilihan lagi bagi Joko Manggolo yang harus 
mengimbangi dengan melepaskan jurus-jurus mautnya 
sampai beberapa gerakan beruntun. Ia kemudian meng- 
geser langkahnya mundur kembali untuk menata irama 
jurus-jurusbertahannya. Dalam mengħadapi serangan 
bertubi-tubi yang dilancarkan serentak dari berbagai 
jurusan oleh para laki-laki yang mengeroyoknya itu, 
kembali Joko Manggolo mengembangkan jurus mem- 
babat kuda-kuda lawan. Melihat perubahan cara gerak 
Joko Manggolo itu, mereka kemudian mengubah taktik 
dengan melakukan gerakan surut ke belakang untuk 
menata posisi serang kembali. Joko Manggolo mulai 
kerepotan melawan kelima laki-laki itu yang mempunyai 
banyak tipu muslihat yang bisa mengecoh gerakan- 
gerakan Joko Manggolo. Untuk menyelesaikan 
pertarungan ini tidak ada jalan lain, terpaksa Joko 
Manggolo mengeluarkan jurus andalannya yang baru 
diterima dari ajaran Warok Suroyudho gurunya 
sekarang yang juga dengan tekun ikut mengamati 
pertarungan itu secara seksama. Jurus andalan babat 
bumi" yang dilambari aji-ajian itu ternyata mampu 
melumpuhkan pertahanan kelima laki-laki yang 
mengeroyoknya itu. Sehingga kelima laki-laki itu berhasil 
dihajar habis-habisan oleh Joko Manggolo, sehingga 
mereka kewalahan tergeletak lemas kehabisan tenaga. 


"Cukup, cukup. Hentikan Manggolo,” kata Warok 
Suroyudho, "Suruh mereka semua masuk ke gubug 
kita." 


"Baik Eyang," jawab Joko Manggolo. 


Setelah mereka dengan susah payah beriringan berjalan 
menuju gubug reyot, badan mereka seperti remuk 
redam, masih terasa benturan ajian babat bumi jurus 
andalan Joko Manggolo. Beberapa kali tangan Warok 
Suroyudho itu memberikan pengobatan penyembuhan 
terhadap bekas benturan. ajian yang dilemparkan Joko 
Manggolo itu pada tubuh kelima laki-laki itu. 


Beberapa saat kemudian mereka nampak telah duduk 
takjim dihadapan Warok Suroyudho. 


“Sekarang dengarkanlah aku," kata Warok Suroyudho 
dengan suara parau, "Walaupun ternyata kalian kalah 
tanding melawan Manggolo. Aku tetap terima kalian 
sebagai muridku walaupun seperti janjiku tadi kalian 
baru aku terima kalau dapat mengalahkan Manggolo. 
Namun karena aku tahu, sebenarnya kalian, bersama 
jaga Manggolo, mempunyai musuh yang sama yaitu 
Juragan Markhoni yang oleh masyarakat diparapi 
Juragan Njenduk itu. Bedanya, kalau Manggolo itu 
sedang diuber oleh para anak buah juragan Njenduk 
karena pernah menghajar kelima anak buahnya, padahal 
dia tidak pernah membuat gara-gara dengan mereka, 
hanya sekedar membela diri, dan juga tidak merasa 
dimusuhi mereka. Sedangkan kalian mau menghajar 
Juragan Njenduk yang kalian anggap sebagai biang 
keladi kematian pemimpin kalian Warok Surodilogo, 
akan tapi kalian tidak berani menghadapi laki-laki licik 
yang tidak punya pegangan ilmu kanuragan sama sekali 
itu. Hanya saja laki-laki itu bernasib beruntung karena 
banyak para jagoan yang menjadi sahabat Juragan 
Njenduk itu sudi membelanya hanya untuk mendapatkan 
sekeping uang," 

Kelima laki-laki dan Joko Manggolo itu mendengarkan 
uraian Warok Suroyudho yang waskita itu dengan 
seksama. Orang tua ini selalu dapat menebak isi hati 
orang itu dengan penuh perhatian sambil mereka duduk 
bersila di atas tanah lempung, 

"Aku sebenarnya tidak ada kepentingannya sama sekali 
mengenai urusan kalian dengan Juragan Njenduk itu. 
Tapi, aku hanya ingin memberikan pelajaran kepada 
laki-laki rakus itu yang sangat jauh dari sifat-sifat laki- 
laki sejati yang menjadi jati diri para warok di daerah kita 
ini, Oleh karena itu, aku akan turunkan ilmu-ilmuku 
untuk tujuan memberantas sifat-sifat manusia semacam 
Juragan Njenduk itu. Kini kalian bersatulah," kata Warok 
Suroyudho mengakhiri wejangannya. 

Akhirnya kelima laki-laki itu sejak hari ini diterima 
menjadi murid Warok Suroyudho. Dan konon hingga 
bertahun-tahun mereka tekun berguru kepada Warok 
Suroyudho bersama Joko Manggolo yang kini makin 
berkembang menguasai aneka ragam ilmu kanuragan 
dan jurus-jurus pamungkas lainnya. 


8
BALAS DENDAM


TELAH berjalan hampir satu tahun ini, Jenggolo 
Kubro dan teman-temannya berguru kepada Warok 
Suroyudho. Merasa sudah mendapatkan tambahan ilmu 
yang banyak, mereka kemudian berpamitan untuk 
pulang kampung. 


"Baiklah, kalau kalian sudah merasa puas memperoleh 
kemajuan dari ilmu-itmuku yang aku turunkan kepada 
kalian. Aku tidak keberatan engkau tinggalkan tempat 
ini. Kalau kalian menemui kesulitan, cobalah untuk 
kalian pecahkan bersama. Bermusyawarahlah. Akan 
tetapi kalau kalian tidak bisa memecahkan persoalan 
kalian bersama, datanglah kemari lagi barangkali aku 
bisa membantunya," kata Warok Suroyudho memperli- 
hatkan pandangan seorang tua yang sudah lanjut usia 
itu tampak bijak.


"Matur nuwun, Eyang. Kami berlima mohon pamit." 


"Apakah kalian tidak menunggu sampai Manggolo 
datang. Tidak berpamitan terlebih dulu dengan dia. 
Manggolo sedang pulang ke Badegan. Keluarganya 
katanya ada yang sakit." 


"Tolong sampaikan salam kami saja Eyang kepada 
Manggolo." 


"Ya, ya, ya, nanti aku sampaikan. Hati-hatilah kalian di 
jalan. Ingat jangan cari gara-gara dan perkara. Tapi kalau 
gara-gara dan perkara itu datang dimukamu, hadapilah 
dengan tabah dan gunakanlah imumu semampumu." 


"Terima kasih, Eyang. Kami mohon pamit." 


"Ya, berangkatlah." 


Setelah mereka menempuh perjalanan seharian, sesam- 
painya di rumah Dukuh Dawuan, mereka beristirahat 
sejenak. Tidak berapa lama kemudian nampak mereka 
berembug kembali dengan semangat baru sejak berbulan- 
bulan mereka menggembleng diri di bawah asuhan Warok 
Suroyudho, kini merasa lebih berbobot 


"Aku rasa-rasakan, Kang" celetuk Sastro Kecik, "Semua 
masalah yang membuat kematian Kangmas Surodilogo 
tempo hari itu, biang keladinya tidak lain ya si gendut 
Juragan Njenduk itu. Apalagi ketika waktu pertama kali 
kita diterima sebagai murid Eyeng Suroyudho, beliau 
nampaknya juga mendorong kita untuk menghajar Si 
Njenduk itu. Salah satu alasan yang membuat kita 
diterima sebagai muridnya, salah satunya adalah 
kebencian guru kita terhadap sifat semacam Juragan 
Njenduk itu. Oleh karena itu, Kang. Aku rasa sebaiknya 
kita habisi dulu si Juragan Njenduk itu. Baru kemudian 
Si Bledeg Ampar, orang yang selama ini diagul-agulkan 
oleh Juragan Njenduk itu." 


"Aku setuju dengan pendapatmu itu Kang," sela 
Surokepruk. 

"Kalau demikian kita cari saja si Juragan Njenduk. Kita 
hajar ramai-ramai sampai mampus laki-laki gendut itu," 
kata Gempur Seco penuh kebencian. 


"Aku juga setuju, hayo kita berangkat sekarang," kata 
Bardo Gunung. 


"Bagaimana menurut pendapat Kangmas Kobro," tanya 
Sastro Kecik. 

"Aku setuju saja. Aku rasa makin cepat kita bertindak 
akan makin baik," jawab Jenggolo Kobro nampak penuh 
dengan kehati-hatian. 


"Baik konco-konco sayookkkk. Hayo kita berangkat," 
teriak Gempur Seco seperti memberi aba-aba berangkat 
kepada teman-temannya. 


Kelima laki-laki dengan cekatan memacu kuda masing- 
masing menuju tengah kota Dukuh Balong, Pergi ke 
pasar, ke tempat-tempat keramaian untuk mencari tahu 
keberadaan Juragan Njenduk. Diperoleh informasi, ada 
orang yang melihat tadi pagi Juragan Njenduk dengan 
naik dokar pergi ke arah utara mungkin ke Dukuh 
Dawuan. 


"Wah kita simpangan jalan dengan dia. Tadi kita dari 
Dawuan tidak kita periksa dulu di sana. Hayo kembali 
konco-konco," teriak Gempur Seco kembali memutar 
kudanya ke arah utara yang diikuti oleh teman-temannya 
yang lain. 

Kebetulan dalam perjalanannya menuju ke Dukuh 
Dawuan dari kejauhan tidak jauh dari Dukuh Dawuan 
terlihat ada dokar yang menuju ke arahnya. Nampaknya 
akan pergi menuju ke arah Balong. 

"Itu dokar Juragan Njenduk," teriak Bardo Gunung nampak 
matanya masih awas. 

"Benar itu dia si gendut itu," balas Surokepruk mem- 
benarkan kata temannya itu. 

Juragan Njenduk yang lagi enak-enak duduk di atas 
dokarnya sambil ngantuk-ngantuk yang dikendalikan 
seorang kusir dan dua pengawainya yang duduk di 
depan, tiba-tiba dicegat oleh rombongan Jenggolo Kobro 
dan teman-temannya itu. 

"Berhentiiiiiii," teriak Bardo Gunung dengan suaranya 
yang lantang, 

"Haitttt,” sopir dokar itu menghentikan dokarnya. Juragan 
Njenduk terperanjat dokarnya dihentikan oleh lima laki- 
laki yang selama ini sepertinya sudah dikenalnya. 

"Selamat siang, Juragan," kata Jenggolo Kobro memper- 
lihatkan sikap ramah yang dibuat-buat. 

"Siapa kalian. Mau apa," kata Juragan Njenduk dengan 
memasang muka angker. 

"Langsung saja Juragan. Kami berlima ini mau menuntut 
balas atas kematian pemimpin kami Kangmas Warok 
Surodilogo. Utang nyawa harus dibayar nyawa." 

"Aku bukan yang membunuhnya. Itu urusan dia sendiri 
dengan Kangmas Warok Bledeg Ampar. Kalau kalian 
berani, urus saja sama Warok Biedeg Ampar. Dia yang 
membunuh pemimpin kalian, bukan aku." 

"Tapi dia itu kan selama ini yang melindungi juragan." 
"Buih, ngawur saja kamu kalau ngomong," kata Juragan 
Njenduk sambil meludah ke tanah yang membuat marah 
kelima laki-laki yang menghadangnya itu. 

"Sudahlah tidak usah banyak bacot. Hayooooo turun 
dari dokar, dan akan kami antar ke ajal kamu," kata kata 
Surokepruk nampak tidak sabar sudah mencabut senjata 
tajamnya sebilah motek, 

Melihat gelagat yang tidak aman ini, ketiga laki-laki 
pengawal dan sopir dokar Juragan Njenduk itu segera 
mengambil prakarsa. Mereka meloncat berdiri gagah di 
depan dokar untuk melindungi Juragan Njenduk dan 
serangan kelima laki-laki itu. 

"Weeeladalah. Kalian bertiga mau mati mendahulu: 
juraganmu yaaa. Boleh, boleh, kalau kamu kepengin 
mati duluan. Boleh saja. Itu soal mudah," ejek Sastro 
Kecik yang terus turun dari kudanya maju ke depan, 
mau menghadapi kedua pengawal dan seorang kusir 
dokar Juragan Njenduk itu yang diikuti oleh empat laki- 
laki lainnya. Mereka berari menghadapi Juragan Njenduk 
karena sekarang pengawalannya tidak seketat dulu lagi. 


Tiba-tiba dokar yang tadinya diam itu dengan cepat 
berputar haluan menghadap kembali ke arah Dukuh 
Dawuan dan dihardik kencang sehingga kudanya lari 
terbirit-birit meninggalkan orang-orang itu. Dokar itu 
dikendali sendiri oleh Juragan Njenduk. 


"Wahhh, dasar pengecut. Kita tidak ada gunanya lagi 
menghabisi nyawa ketiga orang yang tidak berdosa ini. 
Sebab kalian bertiga ini hanya orang upahan, bekerja 
menerima upah dari juragan kamu itu," kata Jenggolo 
Kobro sambil ia melemparkan segenggam kepingan 
uang yang jumlahnya agak banyak kepada ketiga laki- 
laki yang telah siap berlaga itu. "Silakan ambil, Kangmas." 


"Kangmas bertiga. Kita ini nasibnya sama, Sama-sama 
orang susah, ambillah uang-uang itu. Toh kalian juga 
biasa menerima upahan kepingan itu dari Si Gendut itu. 
Kita tidak ada gunanya lagi berkelahi di sini. Kita akan 
sama-sama mati konyol. Sementara orang yang kalian 
bela sudah lari dan tidak tahu apakah kalian telah 
melawan kami atau tidak. Dia tidak tahu Maka, ambillah 
uang keping ini. Kami akan berlalu," kata Jenggolo Kobro 
berusaha membujuk. Nampaknya ketiga laki-laki itu 
mulai ragu-ragu saling pandang di antara teman-temannya. 
Minta persetujuan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka 
menyarungkan senjata tajamnya dan berkata. 


"Silakan berlalu, Kangmas." 


"Nahhhh, itu baru punya pikiran waras sobat. Hayo 
konco-konco kita kejar si gendut itu," kata Jenggolo Kobro 
yang langsung menaiki kudanya diikuti teman-temannya 
meninggalkan ketiga laki-laki itu yang kemudian saling 
berebut mendapatkan kepingan uang yang dilempar 
Jenggolo Kobro tadi. 


Juragan Njenduk rupanya sempat melarikan diri 
menuju ke arah rumah Warok Wulunggeni di Dawuan. 
Kebetulan Warok Wulunggeni yang biasanya tinggal di 
Dukuh Jabung, sekarang ia lebih banyak tinggal di 
Dawuan. Tiba-tiba terdengar suara roda dokar yang 
berlari kencang memasuki rumahnya hampir tidak 
terkendali mau menabrak pintu masuk halaman rumah 
antik itu. 

"Kangmas, tolonggge. Tolong Kangmas Wulung," teriak 
Juragan Njenduk berlari-lari masuk rumah Warok 
Wulunggeni yang sedang asyik mengiris-iris racikan 
jamu. 


"Hae ada apa, Ndut” tanya Warok Wulunggeni dengan 
mata terbelalak kaget. 


"Mereka itu arak buah Surodilogo mau membunuh 
aku." 

"Apaaaa. Anak buah Surodilogo. Mana orangnya." Demi 
mendengar kata Surodilogo rasa sentimen Warok 
Wulunggeni bangkit ia ingat terhadap nama musuh 
bebuyutnya yang telah mati itu. Seketika ia meloncat lari 
ke depan rumahnya. Di dpan rumah itu telah berdiri 
lima laki-laki nampak dengan percaya diri penuh siap 
berlaga.

"Ohhhhh, kalian tho yang datang jagoan-jagoan kam- 
pung. Beraninya menguber sama orang lemah." 


"Ya. Aku memang datang mau menghabisi si gendut itu. 
Kamu tidak usah ikut campur. Yang aku cari si gendut 
itu sama pelindungnya si Bledeg Ampar." kata Jenggolo 
Kobro dengan sinis. 

"Husss, mbacot tidak ada aturan. Kalau kamu berani- 
beraninya memasuki halaman rumahku ini, tanpa 
permisi, itu berarti sudah menjadi urusanku. Ngertiii," 
kata Warok Wulunggeni dengan memelototkan 
matanya kelihatan seram. 


"Kalau Kangmas Surodilogo masih hidup, kamu ini 
bukan apa-apa dihadapannya. Ilmumu masih sebiji 
menir dibandingkan dengan beliau..." 


"Bajingan, tutup cocotmu itu. Kalau tidak pengin mati 
jangan umbar bacotmu Toleeee," geram Warok Wulunggeni 
dengan muka merah padam tanda marah. Ia kemudian 
tiba-tiba ingat akan petuah gurunya, harus dihindari 
kemarahan untuk menggunakan ajian harimau lodaya. 
Maka kemudian ia berusaha mengatur pernafasan, jurus 
pengendalian diri diterapkan. Tidak berapa lama ia 
menjadi berimbang hatinya. 


"Kami datang kemari memang juga sengaja mau 
mengambil nyawamu, Wulung." 


"Ambillah sekehendak hatimu, kalau bisa, Toleee. Ini 
aku serahkan nyawaku. Ambillah sendiri," jawab Warok 
Wulunggeni menjadi kalem. 


"Serbuuuu, konco-konco," Jenggolo Kobro mulai tidak 
sabar yang kemudian memberi aba-aba menyerang 
kepada Warok Wulunggeni. Maka perkelahian pun 
terjadi dengan seru. Warok Wulunggeni dengan geram 
menghajar kelima laki-laki bekas anak buah almarhum 
Warok Surodilogo. Terjadilah perkelahian hebat. Warok 
Wulunggeni dapat memenangkan perkelahian ini, 
setelah berhasil melumpuhkan lawannya satu per satu 
terhadap rombongan tamu yang tidak diundang ini. 
Mereka berlima sempat melarikan diri. Warok Wulunggeni 
sengaja tidak membuat mereka sampai mati. Tidak ada 
ajian pamungkas yang digunakan, hanya olah keteram- 
pilan. Walaupun demikian kelima laki-laki sudah 
merasa dihajar habis-habisan sampai luka parah. 
Dengan cara memperpanjang nyawa mereka itu, dimak- 
sudkan oleh Warok Wulunggeni agar mereka masih ada 
kesadaran di hari kemudian, dan terutama tidak menim- 
bulkan korban nyawa baru di daerah yang kini sedang 
diusahakan pembangunannya. Rupanya mereka yang 
dalam keadaan luka parah itu masih sempat memacu 
kudanya lari ke gurunya, Warok Suroyudho. 


Setelah mengobati luka-luka para muridnya itu, Warok 
Suroyudho menyatakan tidak mau membela murid- 
muridnya untuk menghadapi Warok Wulunggeni yang 
telah mencederai mereka. 


"Ketahuilah anak-anakku, aku bukannya takut kepada 
Wulunggeni. Sebenarnya sebagai gurumu aku dapat 
membelamu. Akan tetapi karena perbuatan kalian ini 
didasari oleh sikap balas dendam, maka aku tidak bisa 
terima. Sekarang sembuhkan dulu luka-lukamu, baru 
nanti aku akan beritahu bagaimana sebenarnya ilmu 
sejatinya hidup itu," petuah Warok Suroyudho singkat. 


Sementara itu, sepeninggal para laki-laki bekas anak 
buah Warok Surodilogo yang lari kabur meninggalkan 
halaman rumah Warok Wulunggeni, Juragan Njenduk 
dengan tergopoh-gopoh membawakan minuman menemui 
Warok Wulunggeni yang sedang duduk-duduk di atas 
batu besar halaman rumah sambil memijat-mijat 
kakinya yang hampir keseleo ketika menyarangkan 
tendangan-tendangan tadi. Kemudian ia melakukan 
pernafasan, guna mengembalikan keseimbangan jiwa- 
raganya. 

"Kangmas Wulung terima kasih telah menyelamatkan 
nyawaku. Ini ada minuman Kangmas,” kata Juragan 
Njenduk terbata-bata. 


"Njenduk, duduklah," kata Warok Wulunggeni, "Aku 
sebenarnya malas membela kamu. Tetapi karena kamu 
itu amanat dari sahabatku si Warok Bledeg Ampar, dan 
kebetulan orang-orang yang memburumu itu tadi, 
adalah bekas para anak buah almarhum Si Surodilogo. 
Jadi aku terpaksa mau membelamu. Bukan untuk kamu 
tetapi aku sendiri punya kepentingan untuk menghajar 
orang-orang itu. Jadi, kamu yang beruntung, Ndut. Dapat 
aku selamatkan. Tapi lain waktu aku tidak tahu. Maka 
cobalah ubah perangaimu selama ini agar kamu mendapat 
banyak pengikut dan mereka semua bersedia membe- 
lamu." 


"Ya, Kangmas Wulung, aku akan perhatikan pesan- 
pesan Kangmas." 

Sejak kejadian itu, Juragan Njenduk tidak berani pulang 
kembali kerumahnya di Balong. Hanya memang sekali- 
kali pulang ke Balong dengan pengawalan yang amat 
ketat oleh para anak buah Warok Wulunggeni. Ia lebih 
banyak tinggal di rumah Warok Wulunggeni di Dukuh 
Dawuan yang selama ini, sejak Warok Wulunggeni 
pindah ke Jabung, rumah ini diurus oleh anak buahnya, 
bernama Sarwo Dipo, seseorang yang berhati penyabar, 
lugu, dengan pekerjaan sebagai petani, sehingga waktu 
orang-orangnya Warok Surodilogo masih berjaya suka 
mengolok-olok atas kekalahan juragannya, Warok 
Wulunggeni, ia hanya diam saja. Keluguannya itu yang 
membuat Warok Wulunggeni amat menyayangi 
keluarga laki-laki ini dan dipercaya untuk mengurus 
rumah besar di Dukuh Dawuan ini. 


TAMAT