Warok Ponorogo 8 - Dendam Tari Gamyong(2)

5
KORBAN BACOKAN 


WARUNG makan yang berada di tengah Dusun 
Tempuran ini nampak masih sepi dari pengunjung, 
Penjual warung ini pun kelihatan masih sibuk berbenah 
diri, sejak pagi buta sebelum ayam jantan berkokoh ia 
telah terjaga dari tidurnya untuk melakukan pekerjaan 
rutinnya, bersiap diri menyalakan dapur, merebus air, 
menanak nasi, menggoreng lauk pauk, membuat 
adonan sayur, dan bersih-bersih rumah, peralatan 
dapur, bangku-bangku, meja kursi warung depan. 

"Selamat pagi, Bu. Apa boleh numpang makan," terdengar 
suara seorang laki-laki, tamu warung nasi itu yang 
ternyata Joko Manggolo dari perjalanannya yang hampir 
satu bulan ini meninggalkan kampung halamannya 
Dukuh Badegan. 

"Ohhh, silakan. Tapi belum ada makanan. Masakannya 
belum ada yang matang," 

"Tidak apa Bu. Saya menunggu sampai masak. Kalau 
ada tolong minta wedang kopinya dulu." 

"Ya. Maaf, tunggu sebentar, ya. Menunggu sampai 
aimya mendidih dulu, ya." 

“Baik, Bu. Terima kasih." 


Perempuan setengah baya itu meneruskan pekerjaannya. 
Sementara, Joko Manggolo duduk di bangku depan 
sebuah lincak yang terbuat dari bambu sambil memper- 
hatikan lalu-lalang orang-orang kampung yang hilir 
mudik nampak sibuk bersiap diri. Ada yang nampak 
sudah rapi mau bebergian berdagang keluar kampung 
dengan membawa barang dagangannya, ada yang 
mengembala ternak, ada yang membawa peralatan kebun, 
peralatan pengolah sawah, ada yang nampak menuju ke 
pasar mau berbelanja untuk keluarga, ada yang jalan 
pelan-pelan sambil ngobrol bersama teman seperjalanan- 
nya kelihatan habis mencuci di sungai, dan ada pula 
yang kelihatan berjalan terburu-buru, mungkin sedang 
menuju ke arah sungai keburu kebelet mau berak dan 
menahan kencing. 


Joko Manggolo nampak termangu memperhatikan 
kehidupan dusun ini yang nampak tenang di pagi hari. 
Orang-orangnya kelihatan bermuka ramah, memperli- 
hatkan orang-orang yang mempunyai hati bersih, sumeleh, 
dan nrimo ing pandum menerima atas pembagian yang 
diterimanya, rejeki yang diperolehnya sebagai berkah 
berapa pun besarnya. Kalau orang sudah berhati sumeleh, 
ia akan merasakan hidup tenteram itu, tidak grusa-grusu, 
tidak mudah iri, tidak dengki, lapang dada dan luas 
pandangan. Dari wajah orang-orang yang berlalu di 
depan Joko Manggolo itu dapat diterka wajah orang- 
orang itu yang sumeleh. 


"Iu wedang kopinya, Kangmas." Tiba-tiba terdengar 
suara halus dari arah belakang Joko Manggolo, rupanya 
ibu pemilik warung itu telah menyediakan secangkir 
wedang kopi beserta seonggok jagung rebus yang nam- 
pak masih hangat terlihat asap masih mengepul menembus 
embun udara pagi. 


"Terima kasih, Bu." Tanpa banyak kata lagi Joko Manggolo 
langsung menghirup wedang kopi hangat itu dan 
mencicipi jagung rebus yang nampak masih muda itu. 


Dalam suasana ketenangan itu, tiba-tiba Joko Manggolo 
dikejutkan oleh suara gaduh yang lama-lama makin 
mendekat ke arahnya. Terlihat dari kejauhan seperti ada 
beberapa orang yang sedang mengangkat usungan 
bambu, berjalan terburu-buru melintasi jalan yang 
sedang banyak orang lewat itu, di atasnya tergeletak 
seorang laki-laki yang mengerang kesakitan. Setelah 
dekat, lewat di depan jalan, Joko Manggolo dapat mem- 
perhatikan orang yang sedang digotong itu terlihat banyak 
berlumuran darah merah dari tubuh laki-laki itu. 


"Ada apa itu, Bu." tanya Joko Manggolo kepada ibu 
pemelik warung nasi itu. 


"Biasanya kalau pagi-pagi ini ada orang yang terluka, 
karena ada orang yang berkelahi di sawah berebut air." 

"Berebut air?." 

"Ya." 

"Mengapa mereka berebut air." 

"Dikampungini, terutama bagi para petani, air itu menjadi 
utama. Aliran air yang mengairi sawah-sawah mereka _ 
sering menjadi pangkal kegaduhan mereka. Ada yang 
menutup saluran air dan membelokkan ke arah 
sawahnya sendiri. Itulah yang biasanya sering mejadi 
biang keladinya. Pak Jogoboyo kalau tidak adil meaga- 
mankan pembagian air sawah ini, bisa berubah suasana 
menjadi bermusuhan ini. Orang-orang menyebutnya 
tajam, bisa arit, sabit, atau membawa motek. Perkelahian 
satu lawan satu ini bisa membawa korban nyawa, atau 
kalau beruntung ketahuan orang-orang kampung yang 
sedang lewat seperti orang itu tadi. Mereka dapat dilerai, 
dan korban dapat diselamatkan penduduk. Tapi kalau 
tidak ketahuan orang lain, mereka berkelahi sampai 
mati. Itu bahayanya." 

"Ohhh, begitu ya, Bu. Kelihatannya dusun ini tenang 
tetapi ternyata sering terjadi keributan masalah berebut 
air itu." 

"Benar, Kangmas. Memang bagi kita yang tidak punya 
sawah dan pekerjaannya dagang suasana kehidupan 
kita lebih tenang daripada para petani yang acapkali 
terjadi keributan yang bertartuh nyawa itu." 

“Mereka itu apa penduduk dusun ini juga, Bu." 


"Biasanya mereka bercekcok. dengan penduduk dari 
dusun lain. Kalau kita sama-sama satu dusun ini, jarang, 
terjadi. Kalau pun terjadi keributan biasanya bisa 
dimusyawarahkan antar warga. Yang salah mengaku 
salah dan yang benar juga berhak menerima kebenarannya." 


"Yaya "kata Joko Manggolo sambil mengangguk- 
anggukan kepalanya. "Jadi orang itu tadi dari dusun 
sini. 


"Ya, tentu saja. Kalau dari dusun lain ya mestinya 
dibawa pulang ke dusunnya sana." 


"Tapi apakah sering, terjadi perkelahian antar warga 
dusun yang bersebelahan itu." 


"Sepertinya belum pernah terjadi berkelahi keroyokan 
yang hingga melibatkan banyak warga dusun. Kalau 
ada masalah antar pribadi ya mereka sendiri yang 
menyelesaikan. Satu lawan satu. Begitu, Kangmas. Jadi 
para laki-laki di sini cukup satria. Kalau ada yang 
berkelahi masalah pribadi, penduduk lain berusaha 
melerai. Kalau mereka, tidak mau dilerai, ya akhirnya 
mereka tidak berbuat apa-apa, menyerahkan kepu- 
tusanya kepada mereka sendiri yang sedang berkelahi. 
Lainnya melingkari orang yang berkelahi sebagai 
penonton. Begitu rupanya adat kita ini di sini." 

"Ya, memang hampir terjadi di hampir pelosok daerah 
Ponorogo ini seperti itu." "Soal pribadi. diselesaikan 
secara pribadi tidak mau melibatkan orang lain untuk 
sama-sama berkorban membela orang yang 
sedang berkelahi itu. Itu biasanya sifat orang- 
orang disini." 


Pembicaraan Joko Manggolo dengan Ibu pemilik 
warung itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar telapak 
kuda yang berlari kencang dari arah timur. Dan tepat di 
depan warung ini, penunggang kuda itu menghentikan 
kudanya, Setelah menambatkan kudanya di pohon 
mahoni besar di pinggir jalan itu, laki-laki itu bergegas 
masuk ke warung ini. 


Sosok seorang laki-laki tinggi besar dengan menyilangkan 
sarungnya di pundaknya, nampak baru bangun tidur 
melihat mukanya yang masih penuh blolok, berkali-kali 
menguap dan mengusap-usap matanya, lalu duduk 
acuh tidak jauh dari tempat duduk Joko Manggolo. 


"Minta wedang kopi yang kental," kata laki-laki itu sambil 
menyilangkan kakinya yang kiri terangkat bersikap 
duduk jigang. 

"Tunggu sebentar, ya. Pak," kata ibu pemilik warung itu 
ramah. 

"Ini kopi siapa. Minta," kata laki-laki itu menghampiri 
tempat duduk Joko Manggolo, dan tanpa basa-basi 
wedang kopi Joko Manggolo itu langsung diteguknya 
sampai habis tanpa permisi terlebih dulu kepada Joko 
Manggolo. 


"Uahhhh, ngantuk. Kopinya pahit, bah, buuuahh" mulut 
laki-laki itu meludah ke tanah sepertinya membuang 
bubuk kopi yang menempel di mulutnya: Kemudian 
dengan sikap tak. acuh: kembali duduk jigang meng- 
angkatsatu kaki kanannya di atas bangku bah layaknya 
raja kampung. Melihat sikap kasar yang tidak tahu 
aturan laki-laki itu, Joko Manggolo hanya terdiam, 
rupanya ia tak ingin membuat perhitungan terhadap 
laki-laki yang bersikap merendahkan dirinya itu. 

"Ini, Pak wedang kopinya. Dan ini rebusan ketela rambat," 
kata ibu pemilik warung itu. 

"Hah, mengapa aku dikasih ketela rambat. Kenapa anak 
monyet itu dikasih jagung rebus." 

"Maaf, Pak. jagungnya masih di rebus. Tunggu sebentar." 

"Bawa kemari itu jagung di depan anak monyet itu. Aku 
mau makan jagung, tidak mau makan ketela rambat." 

"Ya, maaf ya, Nak. Ini jagungnya untuk bapak ini." 

"Silakan, Bu. Silakan ambil," kata Joko Manggolo kalem. 

Laki-laki itu tanpa banyak cingcong langsung, menyantap 
seonggok jagung rebus itu dengan rakusnya. Kulitnya 
dibuang kesana-kemari seenaknya, 

"Pak, maaf. Kulitnya jangan dibuangi. Tolong ditaruh di 
sini saja," kata ibu pemilik warung itu sambil menyo- 
dorkan tempat sampah di dekat laki-laki itu. 

"Masa bodoh, aku ini kan tamu. Semauku mau apa saja,” 
kata laki-laki itu tetap tidak peduli, dan terus melempari 
kulit jagung itu kesana-kemari. 

Tiba-tiba di luar halaman warung depan terdengar suara 
riuh.telapak-telapak kuda yang nampaknya berhenti di 
depan warung itu, dan serombongan penunggang kuda, 
berjumlah lima orang kelihatan menambatkan kudanya 
di pohon-pohon asam pinggir jalan, lalu mereka seperti 
berjajar memasuki warung ini. Nampak mereka datang 
dari luar Dusun ini. 

"Ada sarapan apa, Mbakyu." kata salah seorang dari 
mereka. 

"Nasi pecel, Kangmas." 

"Ya. Kasih kami enam bungkus." kata laki-laki itu sambil 
tak acuh mengambil tempat duduk tidak jauh dari Joko 
Manggolo. Tapi, tiba-tiba salah seorang laki-laki itu 
memukul keras kaki kanan laki-laki yang tadi enak-enak 
makan jagung sambil duduk kaki diangkat jigang. 
"Plakkk" suara keras pukulan tangan mengenai paha 


"Kalau duduk yang sopan," bentak salah seorang laki- 
laki yang baru datang itu. 


"Hah, apa urusanmu menganggu kesenangan orang." 
Nampak laki-laki kasar itu tidak rela diperlakukan 4 
demikian. Ia langsung berdiri dengan mata melotot.
 
"Aku hanya beritahu. Di sini ini tempat umum. Kalau 
duduk yang sopan." 

Tanpa banyak bacot tiba-tiba laki-laki yang tadi duduk 
Jigang itu melemparkan kulit-kulit jagung itu ke arah 
muka laki-laki yang memukulnya itu. 

"Ini hadiah buat kamu, ha...ha..." teriaknya sambil 
tertawa lebar. 

Rupanya laki-laki yang membawa rombongan lima 
orang itu tidak terima diperlakukan kasar dengan 
mukanya ditimpuk kulit jagung itu. Dengan geram laki- 
laki itu meloncat menerjang dengan menendang mulut 
laki-laki kasar yang sedang menikmati ketawa lebarnya. 
"brukkk". 


"Wadalah. Kurang ajar. Mau bikin ribu sama aku ya. 
Hayo di luar sana," kata laki-laki kasar itu sambil 
memegangi mulutnya yang baru saja terkena tendangan 
keras kaki lawannya itu. Ia segera meloncat keluar yang 
diikuti oleh laki-laki yang baru datang itu. 


Pergumulan seru tidak terelakkan lagi. Mereka ber- 
tarung gigih di halaman warung itu. Rupanya kelima 
kawanan laki-laki pendatang itu tidak terima melihat 
temannya berkelahi sendirian. Maka, tanpa dikomando, 
kelima laki-laki itu secara berbarengan mengeroyok 
laki-laki kasar itu. Perkelahian yang tidak seimbang itu 
telah membuat celaka laki-laki kasar itu. Ia dihajar oleh 
kelima laki-laki itu berbarengan sampai tidak berkutik 
memberikan perlawanan lagi. Ia terjatuh terkulai di 
tanah. Joko Manggolo sejak tadi hanya memperhatikan 
pertarungan tidak seimbang itu, tapi ia tidak berniatikut 
terlibat. Ia tidak ingin memihak kedua kelompok yang 
menurut Joko Manggolo sama-sama tidak simpatik untuk 
dibela. Laki-laki pertama tadi yang bersikap kasar. 
Kemudian gerombolan laki-laki pendatang yang mau 
unjuk kekuatan diri.

"Sudah. Sudah, Kangmas. Jangan diteruskan nanti kalau 
ketahuan Jogoboyo pengamanan dusun urusan bisa 
berkepanjangan," teriak ibu pemilik warung itu 
berusaha melerai dan melindungi laki-laki kasar yang 
tergeletak lemas, mukanya babak-belur mengeluarkan 
darah bercucuran, Dengan dibantu ibu itu, laki-laki itu 
berusaha berdiri dan menjauhi kelima kawanan laki-laki 
pendatang itu. 


"Ha...ha...dasar begajul mau sok jadi jagoan kampung," 
ledek salah seorang laki-laki pendatang itu. 


"Aw..awas, tunggu pern...pembalasanku..." kata laki- 
laki kasar itu sambil beringsut dengan menyeret kakinya 
yang nampak juga terluka sulit berjalan. 

"Sudah babak-belur begitu masih mau menunjukkan 
kesombongannya, ha...ha..." teriak seorang laki-laki 
pendatang itu. Dan kemudian kelima laki-laki itu 
memasuki warung itu, ketika dilihatnya laki-laki yang 
baru saja dihajar itu menghilang di belokan jalan depan 
sana itu. 

"Mana nasi pecelnya tadi, Mbakyu." 

"Maaf, sudah saya siapkan tadi. Sebentar, saya ambil di 
belakang," kata ibu pemilik warung itu tergopoh-gopoh 
kebilik belakang. Tidak berapa lama ibu itu telah kem- 
bali dengan membawa nasi pecel yang ditaruh di atas 
daun pisang, dengan ditambah lauk gorengan rempeyek. 

"Silakan, makan, Kangmas-kangmas." 

"Wah, ini baru nikmat," komentar salah seorang laki-laki 
itu dengan muka cerah dan langsung menyantapnya. 


"Kalau mau nambah lagi silakan Iho, Kangmas," kata ibu 
itu. 

"Ya. Terima kasih. Bikinkan aku satu lagi, Mbakyu. 
Rasanya aku masih kurang kalau cuma Satu pincuk." 
"Baik, saya mau bikinkan lagi. Pedas atau sumer-semuer, 
biasa." 

"Biasa saja, Mbakyu. Ehh, ngomong-ngomong mau 
nanya tahu enggak. Rumah Juragan Suroronggo di 
sebelah mana, Mbakyu," tanya laki-laki yang kepalanya 
diikat udeng hitam itu, 

"Di ujung jalan itu. Di depan ada monyetnya." 
"Monyet.?" 

"Ya. Monyet, binatang peliharaan." 

"Ha...ha...ha...aku kira monyet apa," kata ketiga laki-laki 
itu sambil tertawa kasar dihadapan perempuan pemilik 
warung itu. 

“Ada perlu apa tho Kangmas mencari Juragan Suro- 
ronggo," kata Ibu pemilik warungitu sambil menyerahkan 
enam bungkus nasi pecel itu. 

"Achhhh, ada urusan penting. Soal duwit." kata laki-laki 
itu sambil tanganya memperagakan menghitung uang. 
"Ohhh mau menagih.” 

"Ya, kira-kira begitulah." 

"Memang Juragan Ronggo punya utang sama bapak-bapak 
ini."  

"Bukan aku yang punya urusan utang-piutang ini sama 
dia, tapi juraganku. Aku ini hanya ditugaskan untuk 
menagih utang saja." 

"Ohhhh jadi-bapak-bapak ini jadi juru tagih." 

"Huss, jangan bilang kasar begitu. Apa aku ini dikira 
tukang tagih." 

"Ya. Maksud saya bapak-bapak ini pekerjaannya 
menagih utang sama orang-orang yang ngutang," 


"Enak saja sampeyan menganggap rendah pekerjaanku. 
Aku ini jelek-jelek begini pengusaha." 

"Ohhh pengusaha." 

"Ya." kata laki-laki itu sambil memperlihatkan matanya 
yang mendelik tajam. 


"Maafkan kalau saya salah ngomong tadi, Pak" kata 
perempuan pemilik warung itu dengan muka pucat. 
"Ya, begitu." 

Suasana jadi hening kembali. 

"Hee, kamu juga orang asing di sini ya," tiba-tiba seorang 
laki-laki yang bertubuh dempal itu menolehkan perhatian 
kepada Joko Manggolo yang sedang asyik menikmati 
minuman wedang kopi dan jagung rebus itu. 

"Ya, Pak" jawab Joko Manggolo nampak santun. 
"Kamu ada perlu apa memasuki dusun ini." 

"Saya tidak sengaja lewat dusun ini, kemudian mampir 
kemari untuk sekedar mencari minuman panas untuk..." 
belum habis kata Joko Manggolo sudah diputus orang 
itu. 

"Achhh, sudah. Sudah. Aku tidak tanya macam-macam. 
Aku hanya ingin tahu apa tujuan kamu kemari. Mau 
ketemu siapa dan ada urusan apa," bentak laki-laki dempal 
itu yang diiringi oleh teman-temannya yang lain dengan 
pandangan mata yang mencorong tajam nampak 
mencurigai joko Manggolo ini. 

"Tadi sudah saya jelaskan, saya hanya mam..." 

"Heh, goblok. Aku mau tanya apa tujuan kamu 
memasuki dusun ini dan mau ketemu siapa. Jawab goblok" 


"Tujuan saya mau mencari minuman. Ingin ketemu ibu 
pemilik warung ini." 

"Hehh, dungu. Jangan permainkan aku. Ditanya baik- 
baik, jawabnya meledek." 

"Lalu, harus saya jawab apa, Pakkkk" kata Joko Manggolo 
nampak juga mulai kesal menghadapi rombongan laki- 
laki kasar ini. 

"Ehhh, kamu mau meledek ya." 

"Tidak. Saya hanya menjawab pertanyaan bapak tadi." 
"Siapa nama kamu." 

"Joko Manggolo." 

"Kamu aku ganti nama Joko Gemblung, ha..-ha...ha..." 
kata laki-laki berbadan dempal itu sambil tertawa keras 
yang diikuti oleh teman-teman rombongan lainnya yang 
ikut mentertawai Joko Manggolo itu. 


"Heh, kenapa kamu diam saja. Sudah dengar tadi, aku 
namai kamu Joko Gemblung. Jawab siapa nama kamu." 


"Namaku Joko Manggolo,” kata Joko Manggolo nampak 
mantab. 


"Kurang ajar. Katakan namamu Joko Gemblung. 
Hayooo bilang.” 


Joko Manggolo hanya terdiam saja sambil kembali 
meminum wedang kopinya. 


"Bu, sudah. Berapa, Bu." kata Joko Manggolo sambil 
berdiri bersiap mau pergi meninggalkan warung ini. 
"Tiga keping," kata ibu penjaga warung itu. 

"Hehh, anak ingusan mau pergi kemana kamu," kata 
laki-laki dempal itu nampak masih penasaran ingin 
mempermainkan Joko Manggolo yang nampak seperti 
pemuda lugu yang masih ingusan itu. 

“Saya mau melanjutkan perjalanan, Pak" jawab Joko 
Manggolo kalem. 


"Sebentar, Sobat. Jangan pergi dulu. Kita kan bisa 
bercanda lebih lama di sini," kata laki-laki berbadan 
dempal itu sambil ia meloncat mendekati Joko Manggolo 
dan memegang kedua pundak Joko Manggolo itu dengan 
kasar ditekan ke bawah agar duduk kembali. Joko 
Manggolo hanya bersikap menuruti kemauan orang- 
orang kasar itu, walaupun ia mulai marah atas per- 
lakuan kasar laki-laki itu tetapi ia berusaha menahan 
diri. Tidak ingin bikin gara-gara di dusun yang baru 
diinjaknya ini bisa-bisa menimbulkan salah paham 
penduduk atas kehadirannya di dusun ini. 


"Nah, begini kan enak...tho Leeee," kata laki-laki itu 
dengan muka menyeringai kegembiraan merasa dapat 
mempermainkan Joko Manggolo yang dianggap laki- 
laki lugu itu untuk bahan permainan. Kemudian laki- 
laki itu mengambil daun ketikir dan terus diketik-ketikan 
pada lubang hidung Joko Manggolo sambil tertawa 
terpingkal-pingkal diikuti oleh para laki-laki lainnya 
yang melihatnya dengan geli. Kali ini kesabaran Joko 
Manggolo sudah benar-benar habis. Dengan cekatan 
lengan laki-laki dempal itu disambarnya kemudian dengan 
cepat dipuntir ke arah belakang. 

"Kamu sudah keterlaluan mempermainkan orang," kata 
Joko Manggolo. 


"Aduhhhh, lepaskan pegangan kamu. Kurang ajar, akan 
aku hajar kamu berani berbuat beg ... begi ... begini ... 
ad....aduhhhh...sak...sakitt," teriak laki-laki itu. Tapi, 
tanpa diduga Joko Manggolo, keempat laki-laki yang 
lainnya segera memberikan pertolongan terhadap 
temannya yang dikunci lengannya oleh Joko Manggolo 
itu. Seorang menendang muka Joko Manggolo, seorang 
lagi melemparkan kepalan tangannya tepat mengenai 
pelipis Joko Manggolo, dan lainnya menghujankan 
serangan berbarengan pada punggung Joko Mangggolo. 
Mereka rupanya dapat mengenali begitu melihat 
gerakan Joko Manggolo yang mengeluarkan jurus kuncian- 
nya itu, baru menyadari pemuda yang dikira lugu dan 
dungu itu ternyata memiliki ilmu kanuragan yang 
lumayan tinggi, maka nalurinya segera menggerakkan 
mereka untuk segera bertindak menolong temannya 
agar tidak terkena celaka ditangan pemuda perkasa ini. 


Menghadapi serangan serentak yang tiba-tiba itu Joko 
Manggolo yang tidak siap, terjatuh terguling-guling ke 
tanah. Kunciannya terlepas, sehingga nampak laki-laki 
yang tadi tangannya dikunci Joko Manggolo mengibas- 
ngibaskan lengannya kelihatan kesakitan keseleo. 


Setelah berguling-guling beberapa langkah, Joko Manggolo 
kemudian telah berhasil membangun kembali 
kedudukan kuda-kudanya dengan sikap "pasang" untuk 
menghadapi kemungkinan serangan lebih lanjut dari 
para begundal-begundal itu. 


Benar juga tidak berapa lama, kelima laki-laki itu sudah 
berpencar mengepung posisi gerak Joko Manggolo. Satu 
per satu membuka serangan kombinasi gerakan tendangan 
kaki dari berbagai jurusan dan lemparan pukulan tajam 
tangan-tangan yang kokoh-kokoh itu. Untung Joko 
Manggolo sempat memasang jurus tipuan-tipuan 
sehingga para laki-laki yang menyerang dengan ber- 
nafsu itu hanya mengenai teman-temannya sendiri. 
Mereka saling tendang. Saling pukul tidak sengaja. 
Lama-lama mereka lumpuh sendiri kehabisan tenaga. 


"Maafkan, anak muda. Kami mengaku kalah. 
Ma...maaf." 


"Baiklah, berdirilah," kata Joko Manggolo cukup arif. 


Lalu mereka nampak bersalaman, walaupun nampak 
para laki-laki itu begitu lungkrah. Tidak berdaya. 


Para laki-laki itu mendapatkan perawatan dari Ibu 
pemilik warung itu. Mereka dirawat luka-lukanya 
dibawa ke dalam bilik. Sementara itu Joko Manggolo 
pun kembali duduk-duduk sambil menikmati minuman 
dan makan jagung rebus yang sempat tertunda oleh 
adanya gangguan dari para begundal itu tadi. Tiba-tiba, 
masuk ke warung itu seorang laki-laki yang rambutnya 
sudah kelihatan memutih. 


"Maaf, anak muda. Saya kagum atas ketangkasan anak- 
mas tadi memperagakan ilmu kanuragan. Saya diutus 
oleh juragan saya untuk mengundang anakmas, ingin 
menjamunya. Tetapi, sssttt," tiba-tiba laki-laki tua itu 
membisikkan sesuatu ke telinga Joko Manggolo, "Jangan 
sampai ketahuan para laki-laki itu. Nanti saya akan 
dihajar kalau mengundang anakmas." 


Rupanya, kata-kata terakhir itu yang membuat tertarik 
Joko Manggolo mau menuruti ajakan laki-laki tua itu, 
"Mengapa mereka merasa takut dan perlu merahasiakan 
terhadap para laki-laki begundal itu, pasti ada ceritera 
di balik ini, mungkin ada latar belakangnya," guman 
Joko Manggolo dalam hati. 

"Bu, berapa ?." teriak Joko Manggolo mau pamit. 

"Tiga keping," kata ibu itu dari dalam, 

“Ini, Bu. Saya tinggal di sini uangnya," 

"Ya, terima kasih." 

"Pak, bapak-bapak, saya mohon diri dan mohon maaf." 
“Liya, ya. Juga maafkan kami," terdengar suara serak 
laki-laki agak terbata-bata dari dalam bilik yang tadi 
sempat dihajar Joko Manggolo itu. Kemudian, tidak 
berapa lama terlihat Joko Manggolo diiringi seorang tua 
itu meninggalkan warung nasi itu berjalan kaki menuju 
ke rumah Juragan Suroronggo. 


6
KERIBUTAN 


RUMAH besar di pinggir Dusun Tempuran ininampak 
Tokoh. Terdapat pintu besar yang dijaga oleh dua 
orang dengan bersenjata sebilah senjata tajam motek, 
kedua orang penjaga yang berkumis tebal itu nampak 
angker bagi yang bertatapan dengannya. 


Joko Manggolo yang diiringi orang tua tadi dengan 
lenggang melalui penjagaan kedua orang itu tanpa 
ditegur sapa, "Nampaknya orang tua ini sangat dikenal 
mereka dan menjadi sesepuh di sini," pikir Joko Manggolo 
dalam hati. 


Setelah memasuki rumah besar itu, di tengah ruangan 
itu telah duduk di atas kursi besar seorang laki-laki 
perkasa dengan jampangnya yang lebat, namun terlihat 
pada sosok tubuhnya perutnya buncit sebagai pertanda 
orangnya suka makan kenyang, bersenang-senang, dan 
kurang tirakat. 


"Silakan, silakan duduk anak muda," kata laki-laki 
berjambang lebat itu menyilakan Joko Manggolo dengan 
ramah setelah mereka berdua berjabat tangan penuh 
persaudaraan. 


“Terima kasih," jawab Joko Manggolo sambil mengambil 
tempat duduk yang nampak sudah disiapkan untuk 
dirinya, yang diikuti oleh laki-laki tua yang tadi mem- 
bawanyake sini. 


"Tuan Juragan, beliau ini yang tadi hamba laporkan," 
kata laki-laki tua itu memperkenalkan Joko Manggolo 
yang nampak penuh hormat kepada juragannya. 


"Ya, ya, aku senang anakmas bersedia bertandang ke 
rumahku ini. Perkenalkan namaku Suroronggo. Siapa 
nama anakmas," tanya laki-laki yang memperkenalkan 
bernama Suroronggo itu. 

"Nama saya Joko Manggolo." 


"Bagus. Nama yang baik," kata laki-laki itu sambil 
mengangguk-anggukan kepala. "Aku mengundang 
anakmas kemari, selain aku pengin berkenalan juga 
kepengin menjamu. Syukur-syukur anakmas bersedia 
tinggal di rumah ini untuk beberapa saat untuk mem- 
berikan latihan ilmu kanuragan kepada para anak buahku 
di sini. Maksudku untuk meningkatkan perbenda- 
haraan keilmuannya, sebab mereka rata-rata sudah 
memiliki dasar-dasarnya, tinggal anakmas meningkatkan 
kemampuan mereka. Apakah sekiranya tawaranku ini 
bisa berkenan di hati anakmas. Soal bayarannya jangan 
dipikirkan, aku akan memberikan imbalan yang 
menarik...ha...ha..." kata Suroronggo yang diiringi ketawa 
gembiranya yang menggeladak 

"Saya akan pikirkan dulu, Pak" jawab Joko Manggolo. 

"Ha..ha..jangan terlalu dipikirkan. Putuskan saja. Itu 
kan lebih baik. Kami semua di sini akan menganggap 
anakmas sebagai saudara. Nah, mari silakan minuman 
dan makanannya. Sinambi ngobrol begini makan 
minum kan geyeng. Hayo, jangan sungkan-sungkan 
anggap saja seperti di rumah sendiri, ha...ha...". 


"Terima kasih ," kata Joko Manggolo sambil menghirup 
wedang jahe hangat dan makanan jajanan pasar, getuk, 
tiwul, cenil, jongkong, dan lain-lain yang banyak digelar 
di meja bulat itu. Sebenarnya Joko Manggolo sudah 
kenyang tadi makan jagung di warung tetapi begitu 
melihat makanan jajanan pasar yang beraneka rupa itu 
seleranya bangkit juga. 

"Nah, bagaimana anakmas Manggolo. Mau kan 
menerima tawaranku ini," kembali terdengar kata-kata 
Suroronggo yang menunjukkan mimik mukanya berseri- 
seri. "Terus terang saja anakmas Manggolo, aku ini 
sekarang sedang banyak musuh. Banyak orang yang 
ngiri kepadaku. Oleh sebab itu aku harus menjaga diri. 
Memperkuat barisan pengawalku. Mereka harus cakap 
berkelahi. Itu tadi, aku harapkan anakmas Manggolo 
dapat memberikan darma baktinya untuk membagi 
kepandaiannya kepada sesama. Bagaimana ?." 


Joko Manggolo hanya tercenung. Terdiam. Entah apa 
yang sedang ia pikirkan. Kelihatannya ia keberatan untuk 
menerima penawaran ini. Lantaran ia merasa bukan 
sebagai guru ilmu kanuragan, ia hanya seorang 
pengelana. Pekerjaannya mengembara dari satu tempat 
ke tempat lain dengan tujuan untuk mencari keberadaan 
ayah bundanya yang sekarang entah di mana. Dalam 
suasana keheningan itu, tiba-tiba dipecahkan suara 
orang, seorang pengawal pintu depan rumah Suroronggo 
menghadap. 

"Maafkan, Tuan Juragan. Mau melapor. Ada tamu 
serombongan laki-laki mengendarai kuda berjumlah 
lima orang ingin ketemu juragan, apakah 
diperkenankan masuk." 

"Siapa mereka itu," tanya Juragan Suroronggo. 

"Mereka mengaku utusan Juragan Markhoni." 

"Hah, utusan Juragan Markhoni si gendut, perut buncit itu." 
"Benar, Tuan Juragan." 


Nampak Juragan Suroronggo itu mukanya jadi pucat. Ia 
tercenung sejenak, nampak gelisah. Kemudian ia berdiri, 
berjalan pelan mondar-mandir. 


"Ba...ba...baik, suruh dia masuk. Kalau bisa satu orang 
saja yang masuk kemari. Lainnya suruh tinggal di luar. 
Kasih mereka minum," perintah Juragan Suroronggo 
kepada penjaga itu. Kemudian penjaga itu berlalu. 
Suasana menjadi senyap kembali. Joko Manggolo hanya 
terdiam. Dan nampak Juragan Suroronggo masih 
menunjukkan rasa kekhawatirannya. 


Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar halaman rumah. 
Seperti terjadi perkelahian. Benar juga, rupanya kelima 
laki-laki berkuda yang hanya diperbolehkan masuk satu 
orang itu memaksakan diri untuk bersama-sama masuk 
ke rumah besar ini. Ketika dicegah oleh para penjaga- 
penjaga itu mereka nekat. Perkelahian tidak terhin- 
darkan. Dua penjaga itu yang kemudian mendapatkan 
bantuan dari banyak penjaga lain yang keluar dari 
dalam, jumlahnya makin banyak. 

Akhirnya setelah Juragan Suroronggo mendapatkan 
laporan apa yang terjadi di luar ia memutuskan untuk 
keluar halaman menemui mereka. Sementara itu, Joko 
Manggolo tetap tinggal diam, tetap duduk di situ 
ditemani laki-laki tua itu. 

"Hentikan perkelahian kalian," teriak Juragan Suroronggo. 
Seketika itu perkelahian tawuran itu berhenti mematuhi 
perintah Juragan Suroronggo yang menjadi tumpuhan 
nafkah hidup mereka selama ini. 

"Apa maksud kedatangan kalian ke rumahku ini," tanya 
Juragan Suroronggo. 

"Kami semua ini diutus oleh Juragan Markhoni untuk 
menagih utang kepada Juragan Suroronggo," kata salah 
seorang laki-laki yang nampaknya menjadi pimpinan 
mereka, tanpa tedeng aling-aling, bersikap terbuka terus 
mengatakan secara jelas maksud kedatangan mereka.
 
"Lho, utangku pada Juragan Markhoni kan sudah impas 
tho Adi. Aku telah menukar dengannya beberapa perem- 
puan yang ia gauli waktu ia datang kemari beberapa 
bulan yang lalu. Apa Juragan Markhoni sudah lupa itu 
semuanya. Berapa aku harus bayar perempuan-perem- 
puan itu untuk keperluan Juragan Markhoni. Ia sendiri 
yang bilang, bayarlah dengan perempuan-perempuan 
itu ketika aku ajak keliling ke Dusun Kembang tempo 
hari. Jadi utang apa lagi yang kalian maksud," kata Juragan 
Suroronggo dengan sikap berusaha tenang menghadapi 
para jagoan yang konon terkenal galak yang dihimpun 
oleh juragan Markhoni untuk keperluan penagihan 
demikian ini. 

"Kami semua ini hanya menjalankan perintah beliau, 
Juragan. Ini kalau Juragan mau lihat, ada daftar utang- 
utang Juragan kepada Juragan Markhoni yang harus 
kami tagih," kata laki-laki dempal itu sambil menyerahkan 
seikat daun lontar yang bertulisan huruf Jawa itu. 


Sepenerima daun lontar itu, Juragan Suroronggo terus 
membacanya, dan tidak berapa lama kemudian, nampak 
kepalanya mengangguk-angguk. 

"Memang benar catatan ini utang-utangku dulu. Tetapi 
semuanya sudah aku bayar. Impas dengan perempuan- 
perempuan yang tadi sudah aku jelaskan. Jadi sudah 
tidak ada utang lagi antara aku dan Juragan Markhoni." 

"Begini saja Juragan. Kedatangan kami kemari diperintahkan 
untuk menagih utang sesuai daftar yang sudah tadi kami 
serahkan. Maka mohon juragan Suro membayarnya 
kepada kami. Perkara Juragan Suro sudah merasa mem- 
bayar dengan menyediakan perempuan-perempuan 
kepada juragan Markhoni itu nanti dapat dibicarakan 
lagi antara Juragan Suro dengan Juragan Markhoni, 
kalau memang sudah dianggap impas kan pasti ada 
perhitungannya. Dan uang yang Juragan Suro berikan 
kepada kami kan besuk-besuk bisa diminta kembali. 
Perkara impas atau tidak impas itu urusan antara Juragan 
Suro dan Juragan Markhoni silakan bicara tersendiri. 
Yang jelas tugas kami kemari untuk mengambil uang 
atau benda apa saja yang bisa kami ambil, Perhitungannya 
belakang." 

"Jangan begitu Adi. Ini persoalan antara aku dan Juragan 
Markhoni. Coba kembalilah kepada beliau dan ingatkan 
mengenai utang yang sudah aku bayar dengan perem- 
puan-perempuan itu." 

"Rasanya bagi kami sulit untuk mengatakan hal itu 
kepada Juragan Markhoni, kecuali kami telah membawa 
hasil tagihan itu dihadapkan kepada beliau." 

"Aku tidak bisa menyediakan uang seperti yang Adi 
minta itu. Katakan saja dulu kepada Juragan Markhoni. 
Kalau beliau ingat mengenai perempuan-perempuan 
itu. Tentu, ia tidak akan memerintahkan Adi untuk 
menagih utang itu kemari lagi." 

"Maaf, Juragan Suro, Kami tidak bisa meninggalkan rumah 
ini tanpa harus membawa uang atau harta benda apa saja 
sebagai hasil kepergian kami kemari." 

Suasana jadi hening. Juragan Suroronggo nampak mulai 
terdesak. Kelima laki-laki itu nampak memasang wajah 
angker mereka. Matanya memeloti semua laki-laki yang 
berjajar bersiap diri di sebelah kiri kanan Juragan Suro- 
ronggo. 

"Aku tidak bisa menyediakan uang itu sekarang. Kalau 
demikian nanti aku akan utus pembantu kepercayaanku 
untuk bersama Adi menghadap kepada Juragan Markhoni 
untuk menjelaskan ini semua." 


"Tidak usah repot-repot, Juragan Suro mengirim orang 
kesana. Cukup kita selesaiakan antara Juragan Suro dengan 
kami ini di sini yang mewakili kepentingan Juragan 
Markhoni. Bukankah sudah jelas tertulis dalam surat 
Juragan Markhoni kalau kami berlima ini diberi keper- 
cayaan untuk menyelesaikan perkara tagihan ini. Jadi 
mau cari apa lagi. Sebaiknya, Juragan Suro segera 
menyediakan uang itu, atau dapat berupa harta benda 
lainnya. Kami berlima siap menunggu di sini sampai 
berapa lama pun." 

"Sudah aku jelaskan tadi. Aku tidak bisa menyediakan 
uang atau harta benda lainnya. Katakan saja demikian 
kepada Juragan Markhoni. Semuanya sudah impas. 
Juragan Markhoni telah mengambil uangnya melalui 
perempuan-perenmpuan itu tadi. Jadi sudah jelas jawabanku 
ini Sekarang kembalilah ke Juragan Markhoni," kata Juragan 
Suroronggo nampak tegas, ia merasa berani berbicara 
dengan para jagoan itu, karena ia merasa mendapatkan 
orang kuat, Joko Manggolo yang menurut laporan para 
anak buahnya tadi, membisikkan kepada telinga Juragan 
Suroronggo, Joko Manggolo lebih unggul daripada para 
jagoan juru tagih ini ketika tadi pagi mereka bertarung. 

"Wah...wah...weladalah. Ini namanya orang tidak mau 
Giuntung. Diajak bicara baik-baik, tapi jawabnya sengak. 
Hayo konco-konco kita paksa saja orang ini. Aku peringat- 
kan kepada kalian para penjaga juragan Suroronggo, 
sayangi nyawa kalian. Kalau mau pengin hidup jangan 
coba-coba menghadang aku," kata laki-laki berbadan 
dempal itu sambil telunjuknya ditujukan kepada para 
penjaga Juragan Suroronggo itu. 

Sementara itu Joko Manggolo yang duduk-duduk ngobrol 
ditemani laki-laki tua itu di dalam dapat mendengar 
jelas pembicaraan mereka di luar. 


"Sebenarnya, apa pekerjaan Juragan Suroronggo itu, 
Pak" tanya Joko Manggolo kepada laki-laki tua itu. 


"Beliau itu dulu memang bekerja menjadi kaki-tangan 
Juragan Markhoni untuk mengurus tengkulak-tengkulak 
padi di daerah sekitar daerah sini. Ya, semacam pengi- 
jonlah. Banyak petani yang memerlukan modal awal 
untuk menggarap sawahnya, perlu beli bibit, mengupah 
buruh, maka Juragan Suroronggo yang memberikan 
pinjaman kepada petani-petani di daerah sini, nanti hasil 
panenannya dibagi, dan hasil pembagiannya itu disetor 
kepada Juragan Markhoni karena memang uang dia. 
Tetapi belakangan ini usahanya sudah pisah. Juragan 
Suroronggo mendirikan usaha sendiri di daerah sini. 
Jelasnya beliau itu sekarang telah menjadi tuan tanah di 
daerah sini, 

"Ohhh, begitu awal mulanya," kata Joko Manggolo sambil 
mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Ya, begitu." 

"Tapi sampai sekarang, apakah Juragan Suro masih 
berurusan dengan Juragan Markhoni." 

"Sudah tidak lagi. Nampaknya sudah tidak ada keco- 
cokan kerjasama." 

"Tetapi tadi disebut-sebut orang-orang itu, Juragan Suro 
masih punya hutang kepada Juragan Markhoni. Apakah 
itu urusan utang lama ketika Juragan Suro masih menjadi 
kaki-tangannya Juragan Markhoni atau belakang ini 
setelah pisah jadi bawahannya kemudian beralih 
bermitra kerja dengan Juragan Markhoni," tanya Joko 
Manggolo penuh selidik. 


"Belakangan ini. Itu utang piutang dagang biasa. Kirim 
barang harus bayar. Begitu saja. Nah, itu tadi, sampeyan 
belum kenal itu yang namanya Juragan Markhoni rakusnya 
bukan main kalau sama perempuan. Kalau mungkin 
semua perempuan sekampung ini maunya digauli. Tiap 
kali dia datang kemari yang dicari perempuan, tentu saja 
bikin repot Juragan Suro, maka kemudian ada perundingan 
sendiri soal utang piutang itu dengan berapa banyak si 
Juragan Markhoni itu menggauli perempuan. Sudahada 
hitungan dan sudah ada kesepakatan waktu itu. Impas. 
Aku sendiri yang menyaksikan. Tapi ya itu tadi dasar 
laki-laki bandot. Lupa kalau sudah habis menggauli 
perempuan. Waktu sebelum ia menggauli perempuan 
da setuju-setuju saja menetapkan perundingan-perundingan 
barter itu," kata laki-laki tua itu dengan geram memberikan 
pembelaan terhadap juragannya, Juragan Suroronggo. 
Tidak berapa lama, nampak terdengar suara gaduh di 
luar. Rupanya perkelahian antara keliama laki-laki 
pendatang dengan para pengawal Juragan Suroronggo 
itu sudah tidak terhindarkan lagi. Suara keras, benturan 
senjata tajam dan teriakan kesakitan terdengar nyaring 
dari dalam rumah besar itu. Nampaknya Joko Manggolo 
hatinya tergugah, ingin tahu apa yang terjadi diluar. 
Maka ia bangkit dari tempat duduknya yang diiringi 
laki-laki tua itu berjalan pelan menuju halaman rumah 
besar itu. 


"Kangmas...lihat...kangmas, itu Manggolo,” teriak salah 
seorang laki-laki pendatang itu memberitahu kepada 
temannya. 


"Ya, mundur. Kita bisa mampus lagi menghadapi anak 
kadal itu," kata laki-laki berbadan dempal itu seperti 
memberi isyarat untuk berlari meninggalkan tempat itu 
demi yang dilihat Joko Manggolo keluar dari rumah 
besar milik Juragan Suroronggo, Mereka mengira Joko 
Manggolo adalah orangnya Juragan Suroronggo, 
sehingga mereka ketakutan karena sudah tahu kehebatan 
ilmu kanuragan Joko Manggolo tadi pagi ketika mereka 
bertarung keroyokan di warung nasi itu. 

“Minggirrrrr, konco-konco" teriak laki-laki berbadan 
dempal itu seperti memberi aba-aba untuk segera 
meninggalkan tempat itu sebelum kena hajar Joko 
Manggolo untuk kedua kalinya. Kelima laki-laki itu ber- 
hamburan lari terbirit-birit menaiki kudanya dan 
memacu dengan kencangnya meninggalkan rumah Juragan 
Suroronggo itu. 

Joko Manggolo sendiri tidak sadar apa yang sedang 
mereka risaukan, ia sebenarnya tidak ada niat untuk 
mencampuri urusan mereka itu. la sekedar nongol ingin 
mengetahui apa yang terjadi, tidak ada niat untuk mem- 
bantu Juragan Suroronggo yang ternyata diketahui 
sebagai laki-laki yang pekerjaannya sebagai lintah darat 
yang sama buruknya dengan musuhnya, Juragan Markhoni 
yang bekas juragannya juga. 

“Terima kasih, terima kasih, anakmas Manggolo," kata 
Juragan Suroronggo yang mengetahui benar, kaburnya 
para juru tagih Juragan Markhoni itu karena takut oleh 
kedatangan Joko Manggolo yang tadi pagi telah mengalahkan 
mereka. : 

"Ada apa, Pak, mesti berterima kasih kepada saya ?," 
tanya Joko Manggolo terbengong seperti tidak tahu 
maksud ucapan terima kasih Juragan Suroronggo itu, 
sebab ia merasa tidak membantu berkelahi, membantu 
anak buah Juragan Suroronggo. 

“Mereka kabur, sebab mereka tahu kehadiran anakmas Mang- 
golo. Mereka takut kena hajar anakmas Manggolo lagi." 


"Ach masak. Bukannya mereka tadi sudah terdesak oleh 
orang-orang bapak itu." 

"Ya, posisi mereka memang mulai terdesak, tetapi korban 
di pihak orang-orang saya cukup banyak. Dan belum 
tentu mereka akan terus terdesak kalau kekuatan orang- 
orang saya berkurang dengan banyaknya jatuh korban. 
Jadi kedatangan anakmas Manggolo sangat membantu 
kami.” 


Joko Manggolo hanya terdiam diri. Ia merasa tidak 
nyaman lagi dikatakan ikut membantu Juragan 
Suroronggo yang pemeras petani ini. la tidak sudi 
membantu pengijon. 

"Mari, anakmas Manggolo kita teruskan ngobrol di 
dalam. Biarlah para korban itu diurus anak-anak," kata 
Juragan Suroronggo penuh keramahan. 


Joko Manggolo hanya menuruti ajakan ramah Juragan 
Suroronggo itu. Ia kemudian dijamu makan siang 
lantaran hari sudah saatnya makan siang. Hidangan 
yang nampak begitu mewah disajikan di meja makan 
yang besar itu. Ayam goreng kampung, sayur daun-daunan, 
ikan mujahir, sambal tomat, dan rebusan macam-macam 
lauk pauk yang terkesan sangat berlimpah ruah. 
"Silakan anakmas Manggolo disantap apa adanya," kata 
Juragan Suroronggo. 

Joko Manggolo pun tanpa basa-basi melahap dengan 
gesitnya hidangan makanan yang nampak masih hangat 
itu lantaran memang perutnya sudah lapar berat, Setelah 
usai makan, Juragan Suroronggo memperkenalkan 
keluarganya, isterinya Bu Sumirah, kelima anak gadisnya, 
dua orang perjaka, dan seorang lagi perempuan anak 
sulungnya yang sudah berkeluarga beranak dua. 


"Nah, anakmas Manggolo. Kami semua sekeluarga berharap 
agar hendaknya anakmas Manggolo sudi tinggal 
beberapa lama di rumah kami ini bersama keluarga dan 
orang-orang saya. Di belakang sana, banyak tersedia 
kamar-kamar, Perkebunan, dan peliharaan ternak. Juga 
ada gladi untuk berlatih kanuragan anak-anak. Aku 
berharap anakmas Manggolo bisa membantu kami di 
sini. Tidak perlu bekerja apa-apa, kami akan sediakan 
makan-minum yang anakmas Manggolo sukai ditambah 
uang jasa dan keperluan apa pun yang anakmas 
inginkan. Semua kami sediakan. Kami memerlukan 
anakmas Manggolo untuk menjadi centeng yang dapat 
kami agul-agulkan di dusun sini dan dusun-dusun 
tetangga lainnya. Nanti akan banyak perawan-perawan 
di dusun-dusun sini yang melamar anakmas Manggolo. 
Berebut pengin diperisteri anakmas Manggolo," bujuk 
Juragan Suroronggo dengan senyuman yang tidak pernah 
terlepas dari bibirnya yang jebleh itu. 

S jadi sepi sejenak. Nampaknya mereka dengan 
berbesar hati akan mendapatkan jawaban kesediaan 
Joko Manggolo untuk menerima tawaran yang dianggap 
sangat menawan itu. 

"Mohon, maaf, Pak. Kami sangat berterima kasih atas 
segala penawaran yang memikat ini, dan juga terima 
kasih atas segala budi baik bapak sekeluarga..."belum 
selesai kalimat Joko Manggolo sudah disahut oleh Juragan 
Suroronggo itu. 

"Ya, ya, kami ikhlas kok menerima kedatangan anakmas 
disini, jangan berterima kasih, itu semua sudah menjadi 
kewajiban kami. Jadi anakmas Manggolo bersedia 
menerima tawaran kami." 


"Tapi, maaf Pak. Saya belum bisa menerima tawaran 
bapak yang sangat baik ini." 


"Lhooooo, kenapaaaa ?." 


"Masih banyak yang harus kami selesaikan. Kami harus 
segera meneruskan perjalanan." 


"Lhooo, ada pekerjaan apa. Ada masalah apa. Tentunya 
anakmas dapat mengurusnya di sini. Nanti kita bantu, 
kesulitan apa yang sedang anakmas alami." 


"Sulit rasanya untuk diceriterakan." 


"Katakan saja anakmas kepada bapak Coba kalian minggir 
semua. Tinggalkan kami berdua bersama anakmas 
Manggolo. Hayo pergi semua'" perintah Juragan 
Suroronggo yang menurut dugaannya, Joko Manggolo 
tidak mau bicara terbuka kalau didengar banyak orang. 


"Maaf, pak. Saya tidak bisa menceriterakan. Saya harus 
pergi sekarang dan terimakasih atasjamuan makannya," 
kata Joko Manggolo sambil berdiri akan memberi salam 
kepada Juragan Suroronggo yang menjulurkan kedua 
tangannya, tetapi Juragan Suroronggo tidak membalas 
uluran tangannya. 


"Sebentar, anakmas Manggolo. Tunggu sebentar," Juragan 
Suroronggo kemudian berdiri meninggalkan Joko 
Manggolo seorang diri, ia pergi ke balik pintu belakang. 
Tidak berapa lama, ia sudah kembali menemui Joko 
Manggolo, nampak pada raut wajahnya yang tadinya 
ramah berseri-seri kini berubah menjadi bengis, merah 
padam. 

"Joko Manggolo, kalau bisa aku sanak ya akan aku hormati 
kamu, tetapi kalau tidak mengerti aku sanak lebih baik 
kamu mati di rumah ini. Anak haram tidak mau diuntung 
kamu," kata kasar keluar dari mulut Juragan Suroronggo 
yang memperlihatkan kemarahannya. Juragan Suro- 
ronggo sangat kecewa berat terhadap Joko Manggolo yang 
ditawari untuk menjadi pelatih para anak buahnya dan 
sekaligus merangkap jadi Centeng menjaga keamanan 
Juragan Suroronggo, ternyata ditolaknya. 

"Hayooo pergilah kamu dari sini," bentaknya dengan 
mata melotot. 

"Baik, terima kasih. Mohon pamit, Pak." 

"Pergiiii, kamu" teriak Juragan Suroronggo seperti tidak 
mampu mengendalikan diri karena amarah yang 
memuncak. 


Setelah meninggalkan ruangan tamu yang luas itu, Joko 
Manggolo, ketika sampai di halaman depan rumah, 
terlihat pintu rego! besar itu nampak sudah terkunci 
rapat. Dihadapannya berjejer banyak laki-laki, ia 
dihadang oleh para anak buah Juragan Suroronggo agar 
ia tidak meninggalkan rumahnya dan mau tinggal sebagai 
Centengnya. 


Rupanya keadaan makin tidak terkendali, terpaksa 
terjadilah perkelahian yang keras. Joko Manggolo 
berusaha menghindar dari tiap serangan, tetapi ia tidak 
ingin membuat celaka pada orang-orang yang tidak 
bersalah ini. Mereka itu tahunya hanya menjalankan 
perintah sehingga tidak adil kalau ia sampai membuat 
binasa orang-orang itu. Pertarungan yang mulai 
dikuasai Joko Manggolo akhirnya memberikan kesem- 
patan kepada Joko Manggolo dapat meloloskan diri 
meninggalkan rumah besar di pinggir Dusun tempuran 
itu. 


7
DALAM PENCARIAN 


SUATU sore Juragan Markhoni sedang asyik 
bermalas-malasan duduk di kursi goyang 
dihadap oleh para pengawalnya sambil makan 
minum enak yang menjadi kegemarannya. Tiba-tiba 
dikejauhan dikejutkan oleh datangnya serombongan 
kuda sebanyak lima orang dengan kecepatan tinggi 
memasuki halaman rumahnya yang besar itu. 


Ternyata para penunggang kuda itu masih anak buah 
Juragan Markhoni sendiri yang kala itu ditugasi untuk 
menagih utang kepada Juragan Suroronggo di Dukuh 
Tempuran tempo hari. Setelah menambatkan kuda- 
kuda mereka, lalu serta-merta para juru tagih itu meng- 
hadap Juragan Markhoni. 


"Bagaimana kabar kalian, apa ada hasil atas segala pekerjaan 
yangaku tugaskan kepada kalian," tanya Juragan Markhoni 
setelah menerima salam sungkem dari kelima anak 
buahnya itu. 


“Ampun Juragan, sebenarnya kami berlima telah menemui 
Juragan Suroronggo dan sudah bersedia menyerahkan 
pembayaran utangnya," kata salah seorang laki-laki 
bertubuh kekar itu melaporkan hasil perjalanannya. 


"Bagus, lalu mana uangnya," sergah Juragan Markhoni 
nampak tidak sabar dikiranya kelima anak buahnya itu 
akan menyerahkan hasil tagihannya. 


"Ampun Juragan. Namun begitu, ketika saat itu uangitu 
akan kami terima dari Juragan Suroronggo, tiba-tiba 
muncul seorang pemuda gagah yang langsung menyerang 
kami berlima. Mereka membawa banyak pengawal 
sehingga kami berlima terdesak mundur, dan kalau 
tidak sempat menyelamatkan diri, mungkin kami 
berlima ini sudah jadi mayat...” celetuk laki-laki itu 
mencoba mengarang ceritera untuk tidak menceriterakan 
kejadian yang sebenarnya agar tidak mendapat amarah 
dari juragannya, Namun begitu, Juragan Markhoni tetap 
saja murka begitu mendengar kegagalan pekerjaan 
menagih itu dan langsung memotong pembicaraan laki- 
"Hai, kalian lebih baik jadi mayat daripada pulang mem- 
bawa berita buruk. Gagal menjalankan perintahku. 
Siapa pemuda yang kamu maksudkan itu." 


"Namanya, Manggolo. Joko Manggolo." 

"Manggolo?. Aku baru mendengar nama ini," 

"Kami juga baru kenal saat itu, Juragan." 

"Lalu, bagaimana maunya si Suroronggo itu, Kapan ia 
mau bayar utangnya.” . 

"Mak...maaf.. Juragan, surat Juragan sudah kami serahkan 
dan ia mengakui semua jumlah perhitungan utang- 
utangnya. Akan...ak...akan tetapi..." 

"Akan tetapi, bagaimana. Ngomong yang jelas," bentak 
Juragan Markhoni dengan muka keras pada wajahnya 
yang tembem itu. 

"Katanya, menurut Juragan Suroronggo, sudah dibayar 
impas dengan perempuan-perempuan pada waktu 
Juragan Markhoni berkunjung ke Dukuh Tempuran 
waktu dulu itu." 

"Hah, perempuan. Mana ada perempuan." 

"Menurut penuturan Juragan Suroronggo memang 
demikian itu, Juragan." 

"Ha...ha...si Suro bikin karangan, mana ada perempuan 
dikasihkan aku. Tidak pernah ada." 

"Te...tet..tetapi waktu juragan berkunjung ke sana pada 
musim panen itu, ada selusin perempuan yang 
kemudian juragan menginap di rumah besar itu..." 

"Husss, kamu itu orang saya. Kenapa kamu membela si 
Suro, bukannya kamu harusnya membela aku yang 
menjadi juraganmu," kata Juragan Markhoni berusaha 
menyembunyikan kelakuannya ketika waktu itu 
memang ia "menggarap" semalam suntuk selusin perem- 
puan yang disediakan oleh Juragan Suroronggo. 

"Maaf, juragan kami hanya mengingatkan juragan 
kejadian waktu itu barangkali juragan lupa..." 

"Sudah diam, kalian. Sekarang yang aku pikirkan bagai- . 
mana menangkap si anak ingusan Manggolo itu yang 
mau ikut campur urusan orang. Apakah anak itu juga 
orangnya si Suro." 

"Benar, juragan. Anak itu sekarang menjadi centeng 
Juragan Suroronggo. Sepertinya tinggal serumah dengan 
Juragan Suro." 

"Sampai seberapa sakti anak ingusan itu." 

"Melihat gerakannya, anak itu memiliki ilmu kanuragan 
yang sangat tinggi. Kami berlima yang biasa 
memenangkan pertarungan dimana-mana, tetapi 
begitu menghadapi anak itu yang hanya seorang diri, 
kami berlima dibuat tidak berkutik." 

"Dari perguruan mana asal anak ingusan itu. Atau siapa 
gurunya." 

"Kurang jelas, Juragan. Sepertinya anak itu seorang 
pendatang di kampung itu dan kemudian ngenger, mengabdi 
kepada Juragan Suro untuk mendapatkan uang tentunya." 
"Kalau begitu, kita tawari saja uang pesangon ia yang 
lebih besar jumlahnya daripada yang diterima dari si 
Suro. Asal saja ia mau meninggalkan Si Suro dan mau 
ikut bergabung bersama kita di sini," 

"Kami rasa terserah saja kepada juragan." 

Juragan Markhoni nampak termenung. Berpikir dalam. 
Semua orang yang hadir di rumah besar itu terdiam. 
Menunggu apa yang mau dikatakan oleh juragannya. 

"Baiklah kalau demikian, kalian berlima beristirahatlah. 
Aku akan tugaskan Sumirah, perempuan centil anak 
gadisnya di Bromoh Jonggrah itu agar ia bisa mendekati 
si pemuda ingusan Manggolo itu. Kelihatannya, si Sumirah 
itu pinter merayu pemuda-pemuda. Dan kawal tiga laki- 
laki untuk mengawasi dari jauh agar diperjalanan anak 
gadis itu aman. Cari penginapan di kampung, itu. 
Kerjakan sampai pemuda ingusan itu takluk pada 
Sumirah dan mau dibujuk untuk bergabung kemari. 
Sekarang kerjakan peintahku ini." 

"Baikkkk, Juragan" kata para laki-laki yang duduk 
melingkar mengerubungi Juragan Markhoni itu. 


00000000000 


SORE hari rombongan ketiga laki-laki yang 
membawa Sumirah atas perintah Juragan Markhoni 
itu sudah sampai di Dukuh Tempuran. Setelah mereka 
mencari sewa rumah, ketiga laki-laki itu berpencar untuk 
mencari informasi mengenai keberadaan pemuda Joko 
Manggolo yang menjadi sasaran mereka itu. Diperoleh 
keterangan dari para tetangga rumah Juragan 
Suroronggo kalau memang pernah terdengar berita 
mengenai pemuda Joko Manggolo itu ketika terjadi 
keributan di rumah Juragan Suroronggo, tetapi menurut 
ceritera para pengawal rumah Juragan Suroronggo yang 
diceriterakan kepada para tetangganya, pemuda Joko 
Manggolo itu yang menjadi pangkal keributan karena 
menolak ditawari menjadi pengawal Juragan Suroronggo. 
Sehingga, berita perkelahian di rumah Juragan Suroronggo 
yang tersebar Kepada para tetangga itu dianggapnya 
sebagai soal biasa. Para tetangga sudah sering mendengar 
keributan perkelahian antar jagoan di tempat itu. Tetapi 
mereka tidak mendengar berita soal melawan Joko 
Manggolo, maupun soal keributan waktu itu dengan 
para juru tagih anak buah Juragan Markhoni. 


Setelah ketiga, laki-laki utusan Juragan Markhoni 
mengetahui duduk soal mengenai Joko Manggolo itu, 
mereka lalu memutuskan untuk kembali melaporkan 
kepada Juragan Markhoni. Keesokan harinya, kelihatan 
ketiga laki-laki dengan membawa seorang anak perempuan, 
Sumirah itu, nampak telah meninggalkan Dukuh 
Tempuran. ý 


Begitu menerima laporan dari para anak buahnya itu 
Juragan Markhoni marah besar. Ia. kemudian tetap 
memerintahkan untuk mencari kembali dimana saja 
keberadaan Joko Manggolo itu. Ia sudah lupa mengenai 
persoalan utamanya mengenai utang-piutang antara dia 
dengan Juragan Suroronggo yang ternyata kini tidak 
dijaga oleh pemuda kuat Joko Manggolo itu. 


Beberapa orang andalan Juragan Markhoni diberangkat- 
kan untuk menelusuri kampung-kampung guna 
mencari keberadaan Joko Manggolo. Mereka tidak ada 
yang tahu dan tidak pernah berpikir untuk menjamah 
Dukuh Badegan, dimana sebenarnya Joko Manggolo 
berada di situ bersama keluarga Paman Sadri, karena 
Dukuh Badegan waktu itu belum banyak orang yang 
tahu. Hanya nama kampung-kampung termashur yang 
dihuni para warok temama. Kampung demikian itu 
akan ikut terbawa namanya oleh nama harum warok 
penghuni kampung yang bersangkutan, 

Siang malam para anak buah Juragan Markhoni mencari 
Joko Manggolo, sudah berbulan-bulan belum mene- 
mukan jejaknya. Namun mereka tidak ada yang berani 
kembali ke Juragan Markhoni sebelum mendapat hasil 
pekerjaannya itu untuk menangkap Joko Manggolo mati 
atau hidup. 

TAMAT
IKUTI WAROK PONOROGO 9 (Kemilau Asap Kematian)