Pendekar Pulau Neraka - Darah Menggenang di Candi Laksa(2)

LIMA
Siang ini matahari bersinar terik sekali, seakan-akan hendak membakar seluruh permukaan bumi..Begitu teriknya hingga daun-daun berguguran, dan seluruh penghuni hutan di Gunung Waru berlomba-lomba mencari sumber mata air. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis berpakaian serba putih yang menunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah Timur.

Kuda putih yang ditungganginya mendengus-dengus, dan mulutnya terbuka mengucurkan liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi penunggangnya tidak peduli Dia terus menggebah kudanya agar berlari cepat. Wajah gadis itu juga sudah memerah. Keringat tampak membanjir di sekujur tubuhnya. Sesekali di sekanya keringat di leher yang putih jenjang.

"Hop..." gadis itu menghentikan laju kudanya. Pandangannya lurus ke depan, ke arah sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi dari batang pohon yang bagian atasnya runcing. Dia melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya ringan sekali, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya.

"Sepi...," gumam gadis itu pelan. Pelahan kakinya terayun mendekati bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak berkedip meraya sekitarnya. Ayunan langkah kakinya begitu ringan, menimbulkan suara sedikit pun. Dia semakin me kari bangunan besar bagai benteng pertahanan itu. Tapi baru juga sampai setengah jalan, mendadak saja...

"Hiyaaa..."

"Yeaaah..."

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul bermuculannya manusia-manusia dari balik pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar tubuh dan menata ke sekelilingnya. Hatinya sungguh terkejut bukan main, karena di sekitarnya sudah dikelilingi orang bersenjata pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak, lebih dari lima puluh orang.

"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit, Anggrek Jingga," tiba-tiba terdengar suara lembut

"Heh...?" gadis itu terkejut dan langsung berpaling. Pandangan gadis itu seketika tertumbuk pada seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-tahu sudah berdiri di depan orang-orang yang mengepungnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah ada di sana.

"Eyang Palandara...," desis gadis itu mengenali .laki-laki tua yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti? Mana gurumu?" tanya Eyang Palandara. Suaranya begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.

"Kau tahu tentang diriku, Eyang Palandara...?" tanya gadis berbaju putih yang memang bernama Pinanti, salah seorang murid Kandita si Anggrek Jingga.

"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari Anggrek Jingga. Bahkan sebelum kalian muncul di Desa Coket aku sudah tahu. Malah kedatanganmu ke sini juga sudah kuketahui. Jadi, jangan heran jika aku menyambut kedatanganmu," jelas Eyang Palandara.

"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti mendengus. Gadis itu agak terkejut juga, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya jadi bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara mengetahui semua tentang Anggrek Jingga? Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu tersembunyi, bahkan tidak ada yang tahu berapa jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.

"Jika tidak keberatan, aku ingin mengundangmu melihat-lihat Padepokan Sangga Langit," ajak Eyang Palandara ramah.

"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang Palandara?" Pinanti jadi curiga.

"Kedatanganmu bermaksud mengetahui kekuatan padepokanku, bukan? Nah Marilah, kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan Sangga Langit. Dan kau bisa melaporkannya pada Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan ramah.

Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak disangka kalau kedatangannya ke sini sudah diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya, dan hendak memperlihatkan seluruh kekuatan padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang sangat janggal? Mereka satu sama lain berdiri berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti tidak bisa memahaminya.

"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku, nanti," tebak Eyang Palandara seperti mengetahui jalan pikiran gadis itu. Pinanti merayapi murid-murid Padepokan Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang Palandara menjentikkan jari tangannya, maka semua murid depokan itu bergerak masuk ke dalam benteng padepokan yang terbuat dari kayu gelondongan yang di tancapkan berkeliling ke tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan besar di tengah-tengah lingkaran benteng itulah yang menjadi tujuan mereka.

"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua muridnya masuk ke dalam benteng.

"Sikapmu membuatku curiga, Eyang Palandara," tegas Pinanti berterus terang.

"Ha ha ha..." Eyang Palandara tertawa terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata Pinanti tadi membuat tenggorokannya tergelitik.

"Kenapa tertawa, Eyang Palandara?" dengus Pinanti kurang senang.

"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika bukan kau yang datang, Pinanti," kata Eyang Palandara setelah reda tawanya.

"Kenapa? Apakah ada perbedaan antara aku dan yang lainnya?" tanya Pinanti tidak mengerti, sehingga jadi bingung juga dibuatnya."

Tentu saja ada perbedaannya. Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam," ujar Eyang Palandara seraya merentangkan tangannya. Sejenak Pinanti ragu-ragu. Tapi mendadak saja hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap laki-laki tua berjubah putih ini. Terlebih lagi perkataannya yang terakhir. Berbagai macam pertanyaan terlintas di benaknya. Sejenak Pinanti memandangi orang tua itu, kemudian menatap ke arah bangunan besar Padepokan Sangga Langit Pintu gerbang benteng padepokan itu terbuka lebar, seakan-akan sengaja dibuka untuknya.

"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku saja, aku akan membunuhmu, Eyang Palandara" kata Pinanti tajam.

"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara ramah diiringi senyuman. Pinanti memantapkan hatinya, kemudian mengayunkan kakinya menuju dalam benteng Padepokan Sangga Langit Sedangkan Eyang Palandara sudah lebih dahulu berjalan di depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang pintu gerbang. Mereka membungkuk memberi hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan pintu itu ditutup setelah kedua orang yang saling bermusuhan itu berada di dalam.


***

Pinanti memandangi ruangan besar yang dikelilingi jendela besar terbuka lebar, sehingga memberi keleluasaan pada matahari untuk menerangi ruangan ini dengan sinarnya yang memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat senjata-senjata berjajar rapi dari berbagai bentuk. Pinanti tahu kalau ruangan ini merupakan balai latihan bagi murid-murid Padepokan Sangga Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar anyaman daun pandan. Di depannya, duduk Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini mereka berdua.

"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua murid Padepokan Sangga Langit. Kau lihat sendiri, segala macam senjata harus mereka kuasai dengan baik," jelas Eyang Palandara.

"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?" tanya Pinanti.

"Bukankah itu yang hendak kau ketahui, Pinanti? Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja untuk menyelidiki kekuatan Padepokan Sangga Langit. Sudah beberapa hari ini aku melihatmu berada di sekitar padepokan," ujar Eyang Palandara.

"Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini padaku, Eyang Palandara" agak ketus nada suara Pinanti.

"Agar kau tidak bersusah payah menyelidikinya," jawab Eyang Palandara kalem.

"Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang."

"Tapi itulah jawabannya."

"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika bukan aku yang melakukannya, bukan?" selidik Pinanti curiga.

"Tentu," sahut Eyang Palandara seraya mengangkat alisnya.

"Kenapa?" desak Pinanti.

"Karena kau murid termuda dari si Anggrek Jingga," sahut Eyang Palandara tetap tenang.

"Maaf Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Eyang" dengus Pinanti gusar. Dia bergegas bangkit berdiri.

"Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah Eyang Palandara cepat.

"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan aku, Eyang" rungut Pinanti tidak senang.

"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan semuanya," bujuk Eyang Palandara.

"Untuk sekali ini, Eyang .Sekali lagi kau mempermainkan aku, pertarungan menjadi keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli kalau saat ini berada di tempatmu dan dikelilingi murid-muridmu yang setiap saat bisa merajamku" suara Pinanti terdengar bersungguh-sungguh.

"Tidak akan terjadi pertarungan di sini, Pinanti. Duduklah, tenangkan dirimu dulu."

Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah dan sorot matanya tajam menusuk langsung bola mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang Palandara kelihatan tenang. Bibirnya tampak selalu menyunggingkan senyuman lebar.

"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang dirimu sendiri? Tentang siapa, dan dari mana asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya terdengar sungguh-sungguh.

"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti kurang senang. Tapi keningnya terlihat berkerut juga. Pinanti memang mengakui bahwa selama ini tidak pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri. Bahkan tidak pernah mau tahu, darimana asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang diketahui, dirinya berada di sebuah tempat bersama wanita-wanita dan harus patuh pada seorang wanita cantik Kandita yang menjadi gurunya.

"Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah kunantikan. Aku sendiri tidak mengerti tujuan Kandita yang memberimu tugas untuk menyelidiki aku, kekuatan Padepokan Sangga Langit ini," sahut Eyang Palandara agak mendesah.

"Tampaknya kau sudah cukup banyak mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang Palandara," dengus Pinanti.

"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang Palandara.

Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek Jingga. Bahkan mengakui lebih dari yang diketahuinya sendiri selama ini.

"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa yang digunakan Kandita sehingga kau melupakan dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar mengeluh.

"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?" Pinanti jadi tidak mengerti.

"Yang kuinginkan hanyalah agar kau mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Pinanti," sahut Eyang Palandara.

"Aku...?" Pinanti tersedak.

Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu melihat bola mata Eyang Palandara berkaca-kaca. Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar dari bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti merasakan ada sesuatu yang tersembunyi pada diri Eyang Palandara.

"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, Eyang. Aku tahu siapa diriku. Dan kau tidak bisa berbuat licik padaku," tegas Pinanti ketus.

"Pinanti Dengar dulu..., Anakku...."

"Cukup" sentak Pinanti langsung bangkit berdiri. Gadis cantik itu cepat berbalik dan melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru bangkit dan mengejar.

"Pinanti, tunggu..." Tapi Pinanti terus berjalan cepat Beberapa murid Padepokan Sangga Langit memandangi disertai sinar mata penuh kecurigaan. Tapi gadis itu diam saja tidak peduli. Dia terus berjalan cepat melintasi halaman berumput yang cukup luas. Segera dilentingkan tubuhnya melompati pintu gerbang. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan sebentar saja sudah lenyap di balik benteng padepokan ini. Sementara Eyang Palandara hanya bisa terpaku memandangi dari ambang pintu bangunan besar padepokan itu. Dia tidak mencoba mengejar, dan hanya memandang dengan mata berkaca-kaca.

Pelahan dibalikkan tubuhnya, laki melangkah masuk kembali. Beberapa muridnya hanya memandangi disertai berbagai macam pertanyaan. Pinanti memacu cepat kudanya menyusuri Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan tegang. Kudanya digebah bagai dikejar setan saja. Padahal kuda putih itu telah mendengus-dengus kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah cukup jauh Padepokan Sangga Langit ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum juga dikendorkan.

"Yeaaah Hiyaaa..."

Pinanti semakin mempercepat lari kudanya, namun tiba-tiba saja kuda itu meringkik keras dan berhenti sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-buru menarik kekang kudanya, mencoba mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi liar ini. Dan belum juga gadis itu bisa menguasai kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya. Sejenak gadis itu terkesiap, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu terlonjak, langsung berlari cepat. Pinanti berkelit dengan berputaran dua kali di udara, maka cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah telapak kakinya. Dengan gerakan yang manis, didaratkan kakinya di tanah.

"Ha ha ha..."

"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Gadis itu melirik ke arah datangnya suara tawa itu, tapi mendadak jadi kebingungan. Ternyata suara tawa itu arah datangnya berpindah-pindah. Pinanti melayangkan pandangannya ke arah lesatan cahaya keperakan tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang pohon yang hangus. Pada batang pohon itu tertancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya bergerigi berwarna keperakan.

"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak bergetar nada suaranya.

"Hehehe..."

Pinanti langsung memalingkan mukanya ke depan begitu mendengar tawa terkekeh. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berambut putih bagai perak. Dia mengenakan jubah panjang juga berwarna perak. Tak ada senjata yang tergenggam. Laki-laki tua yang dikenal Pinanti berjuluk Kakek Iblis Perak itu memang tidak menggunakan senjata selain bintang-bintang bulat bergerigi berwarna perak. Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah senjata bulat pipih berwarna perak yang seluruh sisinya bergerigi. Senjata itu berlubang pada bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis Perak itu sangat ditakuti kalangan rimba persilatan.

"He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?" serak suara Kakek Iblis Perak itu.
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pinanti.

Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki tua serba perak ini. Mereka pernah satu kali bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman dan gurunya, sehingga Kakek Iblis Perak tidak mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu kabur sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam menghadapi lima wanita cantik yang berjuluk Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul menghadang salah seorang dari Anggrek Jingga, nanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti dendam Dan gadis itu sadar kalau dirinya mungkin menghadapi Kakek Iblis Perak sendirian.

"He he he.... Sebenarnya aku ingin membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada yang lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak dengan suaranya yang serak dan kering.

"Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus Pinanti.

"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan Sangga Langit He he he...," Kakek Iblis Perak terkekeh seraya melangkah mendekati gadis itu.

Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya menduga-duga, apa yang diinginkan Kakek Iblis Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut, karena laki-laki tua itu mengetahui kalau dirinya baru saja dari Padepokan Sangga Langit.

"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin melenyapkan si tua Palandara. Dan itu merupakan keinginanku yang sudah lama terpendam. Si tua keparat itu memang harus mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada lagi yang menghalangi. Dan kita bisa menguasai seluruh daerah di sekitar Gunung Waru ini He he he...," ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang terkekeh.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."

"He he he.... Kau akan mengerti jika kau mempertemukan aku dengan gurumu, Pinanti."

"Huh,.. Tadi Eyang Palandara bermaksud mempengaruhiku, sekarang kau juga ingin membujukku" dengus Pinanti.

"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan memperpanjang persoalan lama. Bahkan sudah lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba membuat gadis itu mengerti.

"Katakan saja terus terang, untuk apa kau ingin bertemu guruku?" Belum juga Kakek Iblis Perak menjawab pertanyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda. Mereka sama-sama berpaling ke arah datangnya suara kuda itu. Dan tak berapa lama kemudian, muncul empat ekor kuda yang ditunggangi gadis-gadis cantik berpakaian aneka warna. Baik Kakek Iblis Perak maupun Pinanti mengenali, siapa empat wanita cantik yang menunggang kuda itu. Mereka adalah Kandita dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung berlompatan turun begitu dekat.

"Orang tua iblis... Apa yang kau lakukan pada muridku?" bentak Kandita berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap mendengar bentakan keras itu. Dan sebelum laki-laki tua itu sempat menjelaskan, Kandita sudah mengegoskan kepalanya memberi isyarat Seketika itu juga Ranti dan Dewi berlompatan cepat sambil mencabut pedangnya. Kedua gadis itu langsung menyerang ganas si Kakek Iblis Perak.

"He, tunggu..." sentak Kakek Iblis Perak. "Kali ini kau harus mampus, tua bangka keparat Hiyaaa..." teriak Dewi lantang.

"Yeaaah..."
"Hup"
Trang

Serangan-serangan yang dilancarkan kedua gadis itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali. Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain lagi Dikeluarkan senjata anehnya dari balik jubahnya yang panjang. Sebuah senjata seperti tameng berbentuk bulat pipih yang sisinya bergerigi tajam. Dia memegang pada bagian tengahnya yang berlubang dengan bagian pegangan melintang di tengah-tengah lingkaran lubang.

Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis Perak memang sukar ditaklukkan. Beberapa kali kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil ditangkis. Dan setiap kali senjata mereka berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam yang dimiliki kedua gadis itu masih berada di bawah si Kakek Iblis Perak.

"Mundur kalian... Hiyaaat.."

Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita langsung berteriak lantang seraya melompat menerjang menggantikan kedua gadis itu. Terjunnya Kandita membuat Kakek Iblis Perak jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau kemampuannya masih di bawah wanita cantik ini.

"Kandita, tunggu. Akan kujelaskan..." seru Kakek Iblis Perak sambil berkelit menghindari pukulan si Anggrek Jingga itu.

"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua bangka keparat Hiyaaa" Kandita rupanya tidak mau kompromi lagi. Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat Kakek Iblis Perak jadi kelabakan setengah mati, dan sekuat tenaga berusaha menghindar. Dicobanya untuk menggunakan senjatanya. Tapi setiap kali menggunakan senjata berbentuk aneh itu, Kandita langsung cepat dapat meredamnya.

Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin kelabakan Kakek Iblis Perak mengakui dalam hati kalau Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali. Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat. Belum lagi angin sambaran pukulannya sangat luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya memiliki ilmu tenaga dalam tanggung, dapat dipastikan tidak akan mampu bertahan walau hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.

Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala berhasil menghindari pukulan Kandita. Disadari kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak memutar otaknya agar bisa lolos dari pertarungan ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak kompromi lagi.

"Hiyaaa..."

Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas ketika kaki Kandita melayangkan satu sampokan melingkar ke arah kaki Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Kakek Iblis Perak. Cepat dia melesat hendak kabur. Namun sungguh sukar diduga Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat mengecutkan tangan kanannya.

Wut

"Ikh..." Kakek Iblis Perak tersentak kaget Cepat dikibaskan senjatanya ketika sekuntum bunga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya. Dua senjata seketika beradu keras, menimbulkan percika api ke segala arah. Kakek Iblis Perak yang berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan. Dia terpental jatuh dan bergulingan di tanah.

"Yeaaah..."

Secepat kilat Kandita melompat sambil mencabut pedangnya. Pedang berwarna putih keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher si Kakek Iblis Perak

"Jangan..." tiba-tiba Pinanti berteriak lantang. Seketika ayunan pedang si Anggrek Jingga terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu melompat mundur, dan langsung menatap Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis Perak. Gadis itu membantu Kakek Iblis Perak berdiri. Tampak darah menetes ke luar dari sudut bibirnya. Beradunya senjata tadi memang sungguh dahsyat, karena masing-masing mempergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga, kekuatan tenaga dalam Kakek Iblis Perak yang satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga, menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit terguncang.

"Pinanti, apa-apaan kau ini...?" bentak Kandita gusar.

"Nini Guru, mohon sarungkan kembali pedangnya," pinta Pinanti.
"Pinanti...?"

"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya salah paham saja. Sungguh, hanya salah paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian gurunya. Kandita memandangi Pinanti dalam-dalam. Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan ketiga gadis lainnya yang berada di belakang Kandita juga menyarungkan pedangnya.

"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main," pinta Kandita tegas.

"Baik, Nini Guru...."


***
ENAM
Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis Perak. Sinar matanya begitu tajam, seakan-akan tidak percaya meskipun Pinanti sudah menjelaskan semuanya dengan gamblang. Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan dan mengutarakan niatnya untuk bergabung menghancurkan Padepokan Sangga Langit.

"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak...?" desis Kandita bernada tidak percaya.

"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek Iblis Perak tegas.

"Setelah semua ini selesai, di antara kita tidak ada lagi perselisihan. Bahkan akan saling bantu dalam segala hal."

"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis Perak?" ada nada kecurigaan pada suara Kandita.

"Setiap orang bisa berubah dengan sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya jika bergabung demi tercapai apa yang kita inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis Perak meminta pendapat Pinanti.

Pinanti tidak menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja.

"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak" tajam sekali nada suara Kandita.

"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku, Kandita."

Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke punggung kuda. Sementara Pinanti jadi kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.

"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti. Pinanti langsung melompat naik ke belakang Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang kebingungan, karena tidak mungkin mengikuti keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan rupanya kebingungan Kakek Iblis Perak diketahui Kandita.

"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak. Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah kami tinggal untuk sementara," kata Kandita.

"Candi Laksa...?" Kakek Iblis Perak terlongong.

"Kenapa?"

"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang Binarong?"

"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari ini dia berada di neraka," tenang sekali jawaban Kandita.

"Ah, kau...?" Kakek Iblis Perak semakin terbeliak. Kandita tertawa renyah. Dihentakkan tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun mengikutinya. Tinggal Kakek Iblis Perak masih terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Sementara si Anggrek Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh meninggalkan tempat itu.

"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak bertanya-tanya sendiri. Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, karena masih belum yakin kalau si Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang Binarong. Bahkan sekarang menguasai Candi Laksa, sebuah tempat yang dikeramatkan dan disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar Gunung Waru ini.

Candi Laksa merupakan tempat pemujaan bagi dewata. Tempat suci yang tidak sembarang orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi sekarang, Kandita yang dikenal berjuluk si Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis Perak sukar untuk mempercayainya, karena tahu betul kalau Eyang Binarong memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari tandingannya, sehingga Eyang Palandara sendiri belum tentu bisa menaklukkannya.

"Aku harus membuktikannya" dengus Kakek Iblis Perak jadi penasaran. "Bagaimana mungkin dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat ini..? Sungguh mengagumkan kalau sampai hal itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba persilatan pasti akan gempar"

Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat< mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuh laki-laki tua itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Saat itu terlihat sepasang mata mengawasi dari balik gerumbul semak. Pemilik mata itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dipandanginya arah kepergian si Kakek Iblis Perak sebentar, kemudian langsung berlari ke arah yang berlawanan. Tujuannya jelas, ke Padepokan Sangga Langit. 

***

Brak

"Mustahil..." desis Eyang Palandara menggeram. Meja kayu jati tebal di sampingnya terbelah jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua itu. Wajahnya terlihat memerah pertanda sedang menahan kemarahan yang amat sangat Namun sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak dalam nada suara Eyang Palandara. Tatapannya lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh satu tahun.

"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut pemuda yang dipanggil Odang itu. Eyang Palandara terdiam. "Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi Laksa sekarang sudah dikuasainya. Bahkan telah membunuh Eyang Binarong. Jelas sekali aku mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di dalam semak, tidak jauh jaraknya," sambung Odang.

"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan perempuan iblis itu," desis Eyang Palandara tidak percaya.

"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebenarannya," usul Odang.

"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan pergi ke Candi Laksa. Segera kabarkan apa saja yang kau ketahui di sana padaku," perintah Eyang Palandara.

"Segera, Eyang." Odang bergegas meninggalkan ruangan itu.

Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-mandir, dan wajahnya tampak muram. Memang, masih belum bisa dipercayai kalau Eyang Binarong bisa dikalahkan si Anggrek Jingga. Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu. Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa. Sukar diukur tingkat kepandaiannya. Pendeknya, Eyang Binarong bagaikan manusia setengah dewa. Saat itu seorang murid Padepokan Sangga Langit ini masuk. Eyang Palandara berbalik. Murid yang berusia muda itu membungkuk memberi hormat.

"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.

"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar pemuda itu penuh rasa hormat.

"Persilakan masuk."

"Segera, Eyang."

Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama kemudian datang lagi bersama seorang laki-laki tua. Seorang Pemuka Desa Coket yang sudah dikenal baik oleh semua murid Padepokan Sangga Langit ini. Eyang Palandara menggerakkan tangannya sedikit, maka pemuda itu menjura memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Eyang Palandara mempersilakan tamunya duduk. Ki Dampil mengambil tempat, duduk lantai beralaskan permadani tebal. Eyang Palandara duduk bersila di depannya.

Ruangan ini memang tidak memiliki perlengkapan meja atau kursi. Bahkan seluruh ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini tidak memiliki perabotan. Hanya beberapa lemari yang menyimpan peralatan serta pakaian saja yang terlihat.

"Tampaknya ada sesuatu yang penting, sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki Dampil," ujar Eyang Palandara ramah.

"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan apakah ada seorang pemuda berbaju kulit harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung menuju pokok pembicaraan.

"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang Palandara mengerutkan keningnya.

"Benar, Eyang. Namanya Bayu."

"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran.

"Tidak...? Padahal sudah tiga hari dia pergi. Dan katanya, hendak ke sini menemuimu, Eyang."

"Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau maksudkan? Rasanya namanya pernah kudengar...."

"Bayu, Dia seorang pengembara, Eyang. Dan telah menyelamatkannya...."

"Sebentar" potong Eyang Palandara cepat.

"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju kulit harimau...?"

"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah terbalik, Ki Dampil yang keheranan.

"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit harimau juga, dan di pergelangan tangannya ada sebuah benda berbentuk cakra?"

"Tidak salah, Eyang."

"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Palandara.

"Eyang mengenalnya? Kalau begitu dia sudah sampai di sini?" kejar Ki Dampil.

"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang pernah mendengar namanya. Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau bilang dia akan ke sini? Untuk apa...?"

"Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk mengetahui apakah Ki Sampar datang ke sini atau tidak," sahut Ki Dampil.

"Heh...? Kau datang membawa berita apa lagi ini..?" sentak Eyang Palandara terkejut.

Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh tidak disangka kalau Eyang Palandara begitu terkejut . Padahal belum begitu jelas mengutarakan maksudnya. Tapi nurani laki-laki tua itu sudah bisa merasakan, berita apa yang dibawa Ki Dampil.

"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki Sampar pergi meninggalkan Desa Coket. Sudah setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi, tapi tidak juga ditemukan," jelas Ki Dampil.

"Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari ke sini. Tapi setelah beberapa hari ditunggu-tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu sebabnya kususul sampai ke sini, sambil mencari barangkali bertemu Ki Sampar."

"Hhh... Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar. .?" keluh Eyang Palandara.

"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Eyang. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi Ki Sampar seperti lenyap ditelan bumi"

"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda itu?"

"Benar, Eyang. Padahal dia sangat kuharapkan, dan sudah berjanji hendak membantu seluruh warga desa untuk menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian warga desa sudah pindah mencari tempat yang aman, karena selama ini tersebar desas-desus kalau si Anggrek Jingga akan membumihanguskan Desa Coket"

"Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja memancing agar aku keluar" sentak Eyang Palandara.

"Oh..." Ki Dampil mengeluh memandangi Ketua Padepokan Sangga Langit itu dalam-dalam.

"Ah Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan bukannya aku tidak berani menghadapi perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah nasib dan kelangsungan Padepokan Sangga Langit ini. Meskipun...,"

Eyang Palandara tidak melanjutkan. Digeleng gelengkan kepalanya. Wajahnya tampak murung seperti terselimut kabut Ki Dampil memandangi dalam-dalam. Sulit dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sejak Santika didapati telah tewas, kemudian menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang disusul tersebarnya desas-desus kalau si Anggrek Jingga hendak membumihanguskan seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum bisa dipikirkan dan dimengerti.

Terlalu pelik bagi otak tuanya untuk bisa cepat memahami. Sekarang Ki Dampil dihadapkan pada satu teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau Eyang Palandara sebenarnya sudah mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu. Dan sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan si Anggrek Jingga ada hubungannya dengan Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang Palandara sendiri.

"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara setelah beberapa saat terdiam.

"Belum," sahut Ki Dampil.

"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar datang ke sana. Sudah dua tahun ini candi itu tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang."

"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang Binarong Dan...."

Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat kalau baru saja menerima laporan kalau Candi Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau memang hal itu benar, sudah tentu Ki Sampar berada di tangan mereka. Eyang Palandara yakin betul kalau Ki Sampar pasti pergi ke Candi Laksa jika sedang menghadapi sesuatu yang tidak bisa diatasinya sendiri. Antara Eyang Binarong dengan Ki Sampar terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki Sampar adalah murid pertapa sakti itu.

Eyang Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini pikirannya baru bisa terbuka. Dia tahu mengapa Anggrek Jingga membunuh Santika. Jelas ini karena Santika adalah putra Ki Sampar. Dan pemuda itu berguru kepada Eyang Palandara di Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar sendiri murid Ki Binarong. Sedangkan antara Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh besar Padepokan Sangga Langit. Jadi tidak mustahil kalau....

"Oh, tidak..." sentak Eyang Palandara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut Eyang Palandara tidak menyahut tapi malah segera berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan ini. Ki Dampil jadi kebingungan. Bergegas diikuti dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga Langit itu.

"Eyang, tunggu Ada apa ini...?" seru Ki Dampil. Tapi Eyang Palandara terus berjalan cepat ke luar.

 ***

Sementara itu, Odang dan empat orang temannya sudah sampai di pelataran Candi Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar duduk bersimpuh di depan pintu candi itu. Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah beberapa hari duduk di situ. Bergegas Odang menghampiri. Namun belum juga mendekat mendadak saja dari atas bangunan candi itu bertebaran bunga-bunga anggrek berwarna Jingga.

"Awas..." seru Odang sambil mencabut pedangnya.

Tring

Trang

Empat orang yang berada di belakang Odang juga segera cepat bertindak. Mereka memutar pedang bagaikan kilat sambil berlompatan menghindari serbuan anggrek-anggrek Jingga yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.

"Akh"
"Aaa..."

Dua kali pekikan melengking terdengar, disusul ambruknya dua orang teman Odang. Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum bunga anggrek Jingga. Odang dan dua orang teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan. Mereka segera berlompatan mundur sambil cepat mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu, mendadak saja....

"Aaa..."

Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak satu orang terjungkal roboh dengan dada tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah menyemburat keluar dari dada yang berlubang tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan berputaran ke belakang beberapa kali di udara. Sementara temannya yang tinggal seorang lagi bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan serangan anggrek Jingga itu. Seketika hujan anggrek berhenti.

"Keparat.." desis Odang menggeram.

"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya temannya.

"Tidak ada," sahut Odang. Kedua pemuda murid Padepokan Sangga Langit Itu memandang ke arah Candi Laksa yang tetap berdiri anggun pada tempatnya. Sedangkan di depan pintu candi itu Ki Sampar masih tetap duduk bersila. Sedikit pun Kepala Desa Coket itu tidak bergeming. Seolah-olah telinganya sudah tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar teriakan-teriakan keras membahana di belakangnya.

"Mereka benar-benar sudah menguasai Candi Laksa ini," dengus Odang.

"Kakang, sebaiknya kita kembali saja. Laporkan semua ini pada Eyang Guru," usul temannya.

"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu di sini," sahut Odang. 'Tapi, Kakang...."

"Tidak ada waktu untuk berdebat Cepatlah, sebelum mereka membunuh kita semua di sini" bentak Odang.

"Baik, Kakang."

Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga Langit itu melompat naik ke punggung kudanya, dan secepat itu pula digebah kudanya . Kuda coklat itu berpacu cepat meninggalkan pelataran Candi Laksa. Sementara Odang berdiri tegak memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung terpaku ketika dari dalam candi melesat sebuah bayangan biru. Dan saat itu juga di depan Odang sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan menggairahkan.

Namun Odang tidak sempat berpikir untuk merayapi tubuh dan wajah menggairahkan itu, karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia itu salah seorang dari si Anggrek Jingga yang telah menghebohkan dan menimbulkan banyak korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang Ranti, murid tertua si Anggrek Jingga.

"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian? Di sini bukan tempatmu lagi" terdengar dingin nada suara Ranti.

"Kau yang seharusnya pergi, perempuan iblis" bentak Odang sengit.

"Hhh Kau tampan, tapi bicaramu sungguh menyakitkan. Apa yang kau andalkan, heh?" geram Ranti memerah mukanya.

"Ini" Odang menghunus pedangnya ke depan, langsung ditujukan ke wajah Ranti. Gadis berbaju biru itu tertawa renyah, memperlihatkan baris-baris giginya yang rapi dan indah. Odang sempat menelan ludahnya mendengar tawa merdu dan menggairahkan itu. Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti kelihatan semakin cantik. Dada yang membusung indah itu terguncang-guncang, membuat mata Odang sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit putih mulus itu.

"Setan..." Odang menggeram. Pemuda itu mencoba melawan daya tarik yang dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau gadis berbaju biru itu tidak patut dikagumi, meskipun kecantikannya bagai bidadari yang baru turun dari kahyangan. Odang menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba dia berteriak keras melengking, langsung berlari sambil menghunus ujung pedangnya ke arah dada Ranti.

"Hiyaaat.."
"Uts"

Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pedang Odang lewat sedikit di depan dada gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih tangkas lagi. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke belakang, dan pedangnya dikibaskan cepat

"Setan" dengus Ranti. Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke belakang hingga doyong, maka pedang itu lewat di atas tubuhnya. Pada saat itu, Odang melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi. Tendangan yang datang secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi Terlebih-lebih, posisi tubuh Ranti memang tidak memungkinkan untuk menghindar.

Dughk

"Ugh..." Ranti mengeluh pendek. Seketika tubuh gadis itu limbung, terhuyung-huyung ke belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan tangannya, mencoba mengusir rasa mual akibat tendangan Odang yang bersarang di perutnya. Pada saat itu Odang sudah melompat memberi serangan lagi. Pedangnya berkelebatan cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.

"Hiyaaa..."

"Hup Hiyaaa..."

Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping. Dan sebelum ujung pedang Odang berhasil mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu bertindak. Dikibaskan tangannya ke arah pergelangan tangan kanan pemuda itu.

"Akh..." Odang memekik tertahan. Pukulan Ranti begitu keras, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan pergelangan tangannya patah. Pedangnya tidak mampu dipertahankan lagi, dan jatuh ke tanah. Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa menyadari apa yang terjadi, Ranti sudah memberi satu tendangan menggeledek ke arah dada.

"Hiyaaa..."
Des
"Aaakh..."

Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke angkasa begitu dadanya terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi Pada waktu berada di angkasa, Ranti mengibaskan tangannya dua kali. Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna Jingga meluncur deras, langsung menghantam dada Odang. Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.

"Aaakh..."
"Ha ha ha..."


***
TUJUH
Sementara itu, di dalam salah satu ruangan Candi Laksa, Bayu masih terbaring tak berdaya. Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi rupanya totokan itu begitu kuat, karena dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga dalam pada tingkat kesempurnaan.

Bayu tidak mengira kalau Kandita memiliki tenaga dalam yang sedemikian tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya ketika mendengar gerit pintu terbuka. Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik pintu itu, yang kemudian melangkah masuk. Dan dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali. Bayu memperhatikan gadis itu hingga sampai mendekat.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.

"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.

"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"

"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut Pinanti masih berbisik.

"Menolongku...?" Bayu mengerutkan keningnya, bingung.

"Sudah kubilang, jangan berisik Nanti ada yang tahu."

"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu berbisik suaranya.

"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab Pinanti enteng.

"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak Bayu lagi.

"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?" dengui Pinanti.

"Baik Cepat bebaskan totokan di tubuhku."

"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.

"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di pangkal lengan dan paha. Tapi kau harus hati-hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya memperingatkan.

"Persoalan mudah," Pinanti tersenyum. Cepat sekali jari-jari tangan gadis itu bergerak memberi totokan pada tempat-tempat yang disebutkan Pendekar Pulau Neraka tadi. Bayu agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan sekujur tubuhnya menegang, lalu pelahan aliran darahnya terasa kembali normal. Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri begitu bisa menggerakkan jari-jari tangannya. Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu menariknya kembali ke pembaringan. Bayu tersentak kaget, dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu jatuh kembali ke atas pembaringan.

"He Ap...?"

Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak mengerti akan sikap gadis ini. Pinanti merapatkan tubuhnya ke tubuh Bayu, seakan-akan hendak mencumbu Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang, namun Pinanti cepat cepat memeluk erat tubuhnya.

"Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus pura pura masih tertotok," bisik Pinanti dekat di telinga Bayu. Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan bibirnya. Pada saat itu terdengar suara pintu bergerit terbuka, dan muncul Kandita

"Pinanti Apa yang kau lakukan...?" bentak Kandita terkejut melihat Pinanti memeluk Bayu dan melumat bibir pemuda itu.

"Oh..." Pinanti tersentak, langsung melompat bangkit dari pembaringan. Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya berpaling menatap Kandita yang menghampiri Pinanti Tampak gadis itu berlutut dengan kepala tertunduk.

"Apa yang kau lakukan, Pinanti?" tanya Kandita tajam.

"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.

"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?" terdengar sinis nada suara Kandita.

"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.

"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum selesai, kau tidak berhak atasnya. Kau tahu, dia itu milikku Mengerti?"

"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti.

"Aku memberimu tugas untuk menjaganya, bukan mencumbunya"

"Iya, Nini Guru."

"Jalankan tugasmu. Aku tidak suka lagi melihatmu mencumbunya"

"Baik, Nini Guru." Kandita menatap Bayu yang masih terbaring di pembaringan. Sementara Bayu membalas tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar Pulau Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu. Tapi mengingat Pinanti masih ada di ruangan ini, niatnya harus ditahan.

"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan kesempatan ini" ancam Kandita.

Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. Bayu menggelinjang bangkit, duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip keluar dan ditutup lagi. Dia berbalik memandang Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar Pulau Neraka itu juga memandangi gadis yang sedang melangkah menghampirinya. Sesaat mereka saling melempar pandang.

Pelahan Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit berdiri dan mengangkat kepala gadis itu.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?" tanya Bayu "Kau bisa celaka nanti."

"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya kaulah yang mampu mengalahkannya," sahut Pinanti lirih.

"Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk menjelaskannya. Ini kulakukan karena terpaksa. Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti menghentikan ucapannya.

"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.

"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia akan membunuhmu kelak," jelas Pinanti cepat

"Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti," desak Bayu.

"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar. Sebentar lagi Candi Laksa ini akan digenangi darah. Kau harus membantu mereka menghadapi si Anggrek Jingga. Aku tidak ingin tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar, cegah pertumpahan darah itu," Pinanti memohon penuh harap.

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.

"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah Tidak lama lagi pasti ada yang menggantikanku. Aku yakin itu. Cepat pergi...." Bayu jadi ragu-ragu.

"Bagaimana denganmu sendiri?"

"Kau bisa menotok jalan darah, bukan?"

"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti."

"Lakukan, Bayu."

"Pinanti...."

"Lakukan, kataku. Apa tidak kau dengar ada langkah kaki menghampiri? Cepat Atau kita berdua akan mati di sini..." desak Pinanti.

Bayu benar-benar tidak bisa memahami maksud gadis ini. Tapi telinganya memang mendengar langkah kaki halus mendekati ruangan ini. Cepat Bayu menggerakkan jari-jari tangannya ke tubuh Pinanti, dan seketika itu juga Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu melompat mendekati jendela batu yang berjeruji kayu.

"Hih Yaaah..."

Bayu melompat cepat menerobos jendela berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat keluar memporakporandakan jeruji kayu jendela itu. Pada saat yang sama, pintu ruangan terbuka. Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.

"Oh, tidak... Pinanti..." jerit gadis itu terkejut. Gadis berbaju biru yang ternyata memang Ranti, langsung memburu menghampiri Pinanti yang terkulai di lantai. Matanya juga langsung terpaku ke jendela yang jebol berantakan.

"Keparat..." Ranti mendesis geram. Gadis itu berteriak memanggil guru dan teman-temannya. Sebentar kemudian di ruangan itu sudah bermunculan wanita-wanita cantik Mereka terkejut melihat Pinanti tergeletak di lantai. Dan lebih terkejut lagi, manakala mengetahui tawanan mereka sudah kabur dengan menjebol jendela.

"Setan..." geram Kandita memerah wajahnya.

"Kejar... Bunuh keparat itu"

"Baik, Nini Guru."

Tiga gadis segera berhamburan ke luar ruangan. Sementara Kandita menghampiri Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai. Sebentar diamati tubuh gadis berbaju putih itu, kemudian diperiksanya. Dia mendesis, gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang amat sangat

"Hih..." Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya ke beberapa bagian tubuh Pinanti. Pelahan gadis berbaju putih itu mulai mengeluh lirih seraya membuka mata nya. Pinanti menggerinjang bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung berlutut.

"Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah, hukumlah aku...," rintih Pinanti lirih.
"Bangun, Pinanti" desis Kandita.

Pelahan Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya masih tetap tertunduk. Sedangkan Kandita mengamati sekujur tubuh gadis berbaju putih itu.


***

"Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis Kandita tajam, begitu datar nada suaranya.

"Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-pura tidak mengerti, namun suaranya jelas terdengar.

"Kau yang membebaskan Bayu, bukan? Lalu kalian bersandiwara. Kau biarkan jalan darahmu ditotok. Benar begitu, Pinanti?" Kandita langsung mendesak.

Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi menjawab.
"Kenapa kau lakukan itu, Pinanti? Kenapa kau khianati aku?" bentak Kandita gusar.

Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah Kandita yang memerah sudah menandakan kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak mengerti, kenapa gurunya ini bisa cepat mengetahui. Padahal sandiwara yang dilakukannya begitu sempurna.

"Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku, meskipun hawa murni dan tenaga dalamnya sudah sempurna. Dan kau telah sengaja membebaskannya, Pinanti. Kenapa kau lakukan itu padaku, Pinanti? Kenapa...?" setengah menjerit suara Kandita.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Pinanti jadi punya keberanian. Diangkat kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek Jingga. Dia melangkah ke belakang tiga tindak.

"Karena kau musuh ayahku" desis Pinanti.

"Heh...? Apa yang kau katakan...?" Kandita terkejut.

"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku, Kandita. Aku sudah tahu semuanya. Kau sengaja menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-ramuanmu. Kau buat aku jadi tidak mengenal lagi diriku, dan dari mana asalku. Tapi sekarang, aku sudah tahu. Aku adalah anak Eyang Palandara, laki-laki yang hendak kau bunuh. Kau memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku. Kau kejam, Kandita. Kau iblis..."

"Tutup mulutmu, Pinanti" bentak Kandita geram. "Kau tidak bisa lagi mengelabuiku, Kandita. Kau harus membunuhku terlebih dahulu, sebelum membunuh ayahku"

"Kurang ajar. Siapa yang berkata begitu padamu, heh?" geram Kandita.

"Aku...."

"Heh...?"

Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-tiba di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah kumal. Tubuhnya kurus kering bagai tulang terbungkus kulit. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan kumis dan jenggot yang menyatu panjang juga sudah berwarna putih.

"Kau..., Binarong..." Kandita terbeliak begitu melihat laki-laki tua itu.

"Benar. Aku Binarong. Kau terkejut Kandita?" lembut sekali suara Eyang Binarong.

"Tidak. Kau sudah mati..." sentak Kandita.

"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi sayang, racun yang kau campurkan pada minumanku belum cukup untuk membunuhku. Kau memang ahli dalam segala jenis racun maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan semua keahlianmu untuk menolong, bukan untuk mencelakakan orang lain."

"Aku tidak butuh nasihatmu" sentak Kandita sengit.

"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita. Tapi aku yakin, kau masih bisa menyadari dan memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara Eyang Binarong.

"Tua bangka keparat.. Kubunuh kau. Hiyat.." Kandita jadi geram bukan main, dan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si Anggrek Jingga itu melompat menerjang Eyang Binarong. Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya sedikit, maka pukulan Kandita yang keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu luput dari sasaran. Kepalan tangan yang halus itu menghantam dinding batu Candi Laksa ini hingga bergetar hebat. Beberapa batu mulai berguguran, dan pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini jebol berantakan. Sementara Eyang Binarong menyambar tangan Pinanti yang berdiri terpaku, dan secepat kilat melesat sambil membawa gadis itu.

"Jangan lari kau, keparat.." geram Kandita berteriak lantang.

Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat melesat ke luar. Sementara ruangan itu terus bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan. Kandita segera melesat keluar dari ruangan itu. Seketika batu-batu atap ruangan ini berhamburan jatuh menimbulkan suara bergemuruh dahsyat. Runtuhnya ruangan itu rupanya merembet ke ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini. Batu-batu dinding dan atap candi ini berguguran. Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi seluruh bangunan Candi Laksa akan runtuh.

Sementara Kandita terus berlompatan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu runtuh. Suara bergemuruh terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa begitu seluruh bangunan candi yang terbuat dari batu itu ambruk. Kandita memandangi sekitarnya yang sepi. Ditatapnya candi yang hancur tak berbentuk lagi. Tampak debu masih berkepul di sekitarnya.

Gadis itu menatap seorang laki-laki tua yang duduk bersila di dekat candi yang sudah runtuh. Dia tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar, Kepala Desa Coket yang ingin bertemu Eyang Binarong. Hanya sayangnya keinginannya tidak kesampaian. Kandita menghampiri dan menyentuh pundak laki-laki itu. Tapi Ki Sampar malah jatuh terguling Tampak di dadanya tertancap lima buah anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid-murid si Anggrek Jingga menyerang murid-murid Padepokan Sangga Langit, beberapa buah anggrek Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga laki-laki tua itu tewas dalam penantiannya yang tidak terlaksana.

"Huh" dengus Kandita. Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar hingga terguling sampai sejauh dua tombak. Kandita merayapi empat mayat yang bergelimpangan di sekitar pelataran Candi Laksa ini. Tempat yang suci dan dikeramatkan ini benar-benar bergelimang darah. Dan memang, inilah yang sebenarnya dikehendaki Kandita. Dia ingin semua orang tahu kalau Candi Laksa yang disucikan dan dikeramatkan bisa juga bergelimang darah manusia.

"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis Kandita pelan.
***

Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi Laksa, tampak Bayu berdiri tegak memandangi dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya. Setelah dekat, baru terlihat jelas kalau mereka adalah Eyang Binarong dan Pinanti. Bayu menyambutnya disertai senyuman tersungging di bibir.

"Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.

"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.

"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan aku dari peti mati," jawab Eyang Binarong.

"Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah yang bercerita, membanggakan dirinya telah berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung Waru ini," sambung Bayu.

"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak Muda," Eyang Binarong merendah.

"Bayu, namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.

"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga memperkenalkan diri.

Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha mengatur jalan napasnya. Sedangkan Eyang Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan. Bahkan tak ada satu titik pun keringat di wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas kalau tingkat kepandaian yang dimiliki mereka jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah sampai pada tahap yang paling sempurna. Memang semua orang menyebut dirinya manusia setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.

"Oh Kalian harus cepat-cepat kembali ke Candi Laksa. Aku yakin, sebentar lagi, Ayahku dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti mengingatkan.

Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang Binarong sudah keburu mencekal lengan pemuda itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan niatnya, lalu memandang Eyang Binarong dalam-dalam.

"Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka menyelesaikan persoalannya. Semua ini sudah digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita merusak ketentuan takdir," ujar Eyang Binarong lembut dan bijaksana.

"Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah, Eyang" sentak Pinanti.

"Tidak ada yang bisa menentang kehendak Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun kalian berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak akan bisa dicegah. Biarlah semua terjadi menurut suratan takdir Hyang Widi Wasa."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Bayu.

"Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan, harus berpihak pada siapa? Jika melihat ada yang perlu di bantu, maka bantulah dia. Tapi jika tidak, jangan memaksakan diri."

"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung bisa menangkap maksud Eyang Binarong.

"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas," puji Eyang Binarong tulus.

"Terima kasih," ucap Bayu tersipu.

"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa," ajak Pinanti.

"Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu bisa habis nanti," goda Eyang Binarong. Pinanti memberengut.

Diayunkan kakinya menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa kecil, dan juga mengayunkan langkahnya mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di samping pertapa tua itu.

"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu meminta.

"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi bisa kujawab dengan jujur."

"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti kutotok jalan darahnya. Bagaimana mungkin kau bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu ingin tahu.

"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin tanya dulu. Siapa yang membebaskanmu?"

"Kau tahu aku ditawan?" Bayu terkejut.

"Pinanti yang mengatakannya padaku."

"Jadi...?" Bayu geleng-geleng kepala.

"Dia datang padaku sebelum kau, Anak Muda."

"Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika aku...," Bayu tidak melanjutkan ucapannya. Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar kagum pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara mereka terus berjalan, sedangkan Pinanti berjalan sekitar tiga tombak di depan.

"Waktu Pinanti menyediakan minuman untukku, saat itu aku sudah bisa mencium adanya racun yang mematikan dalam minuman itu. Aku juga sudah curiga, karena kudengar Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul. Sikapnya juga aneh, seperti berpura-pura dan sama sekali tidak mengenaliku. Padahal sebelumnya dia sering mengunjungiku sebelum diculik," Eyang Binarong mulai menceritakan.

"Tapi kau minum juga minuman itu, Eyang?" tanya Bayu ingin tahu.

"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh jaringan saluran darah di tubuhku"

"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.

"Kau cerdik sekali, Bayu."

"Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum mati, Eyang?"

"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan hawa murni setiap kali dia mengunjungiku dan meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh, tidak. Tadi, dia datang lagi. Aku langsung bangun dan menotok jalan darahnya. Di situ pengaruh si Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu bisa kulakukan karena aku yakin kalau pengaruh itu berasal dari ramuan, bukan dari perlakuan batin."

"Hebat," puji Bayu tulus.

"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa menebak sendiri," kata Eyang Binarong.

"Ah Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu tersipu.

"Tidak, kau tidak terlambat. Kau tahu, Kandita berniat menguburku hari ini. Itu sebabnya aku dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau tidak cepat datang membebaskanku, tentu aku sudah terkubur."

"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa mudah mendobraknya."

"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak ingin melakukan kekerasan dan paksaan. Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi kehendak Sang Dewata."

Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang Binarong tentu sudah jauh dari keinginan duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia Setengah Dewa. Dan Bayu sudah bisa menduga, tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya berlumur darah, karena hal itu akan mengotori kesuciannya. Dan tentu saja, apa yang dilakukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu saja.


***
DELAPAN
Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang Palandara dan murid-muridnya sudah dihadang Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya. Bahkah masih ditambah beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis Perak. Orang tua itu bisa dengan cepat mengumpulkan tokoh rimba persilatan golongan hitam, karena memang sudah merencanakan semuanya secara rapi untuk menghancurkan para penghalangnya.

Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa tidak bisa dihindari lagi. Kini darah benar-benar menggenang di Candi Laksa. Jerit pekik melengking menyayat hati terdengar saling bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan denting senjata beradu. Sungguh tidak diduga kalau murid-murid Padepokan Sangga Langit memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.

Mereka terlihat bertarung penuh semangat. Terlebih lagi begitu melihat Candi Laksa sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun banyak jatuh korban, namun murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun. Mereka sadar kalau yang dihadapi adalah orang-orang rimba persilatan yang sudah kenyang segala macam bentuk pertempuran.

"Ayah..." seru Pinanti begitu sampai. Tampak Eyang Palandara berdiri di garis belakang sambil mengawasi murid-muridnya bertarung. Eyang Palandara menoleh. Pinanti berlari cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi Eyang Palandara cepat-cepat membangunkan gadis itu.

"Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang Palandara. Pinanti menyeka air matanya cepat-cepat, lalu berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong. Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara saling bertatapan, kemudian berpelukan sebentar. Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi hanya sebentar. Dia memang lebih tertarik pada pertarungan yang sedang berlangsung.

"Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh seorang bocah, Kakang," ujar Eyang Palandara.

"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia sudah jadi seorang wanita tangguh," jelas Eyang Binarong.

"Ya Dan dia hendak menuntut balas kematian orang tuanya padaku"

"Sayang sekali Anak itu juga mengambil jalan sesat" gumam Eyang Binarong.

Pada saat itu pertarungan semakin terlihat sengit. Tapi sudah banyak orang bawaan Kakek Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri. Juga tidak sedikit murid Padepokan Sangga Langit yang gugur. Pertarungan sengit berjalan tidak seimbang, karena murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak mampu membendung gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek Jingga serta ketiga muridnya.

"Hiyaaa..."

Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si Anggrek Jingga.

"Mundur semua..." seru Bayu keras menggelegar.

Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang sedang mengeroyok Anggrek Jingga langsung berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka mendarat dengan manis di depan wanita cantik.

"Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan memaafkanmu jika kau bersedia bertobat dan menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.

"Cerewet Jangan banyak omong kau. Hiyaaa..." Rupanya Kandita sudah tidak bisa. lagi diajak berdamai, dan langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Wanita cantik berbaju merah itu mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya.

Tring

Setiap kali dua senjata itu berbenturan, mereka bergidik menggeletar. Dan mereka tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir seimbang. Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun dalam kancah pertempuran. Sedangkan Eyang Binarong dan Eyang Palandara hanya menyaksikan saja dari tempat yang cukup aman.

"Hiya Yeaaah..."

Kandita semakin meningkatkan serangan-serangannya. Beberapa kali wanita berbaju merah itu hampir berhasil menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak dengan kelitan manis. Bahkan tidak jarang serangan balik yang dilakukan Bayu membuat wanita itu kelabakan juga.

"Aaakh..." Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan kecil tidak jauh darinya. Tampak Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat Kakek Iblis Perak melompat sambil mengibaskan tangannya yang memegang senjata berbentuk tameng yang sisinya bergerigi tajam.

"Hiyaaat..."

Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil merobek tubuh Pinanti, mendadak saja Eyang Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan pedangnya menyampok senjata Kakek Iblis Perak.

Tring
"Akh..."

Kakek Iblis Perak memekik tertahan. Sebelum kakek itu sempat menyadari apa yang terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat memberi satu tendangan keras mengandung tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu.

Dughk
"Hughk"

Kakek Iblis Perak mengeluh pendek. Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke belakang. Pada saat itu, salah seorang murid Padepokan Sangga Langit yang kebetulan berada di belakangnya, langsung menusukkan pedangnya ke punggung Kakek Iblis Perak hingga tembus ke dada.

"Aaakh..."

Kakek Iblis Perak menjerit melengking tinggi. Tapi sebelum ambruk ke tanah, kakek itu berhasil memenggal orang yang menusuknya dari belakang. Leher pemuda itu langsung buntung, dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat tubuhnya ambruk. Kakek Iblis Perak masih berhasil merobohkan seorang lagi sebelum menggelepar di tanah dengan pedang menembus punggung hingga ke dada. Dia tewas seketika itu juga.


***

Kematian Kakek Iblis Perak membuat kegemparan bagi orang-orang yang berpihak padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah menyelamatkan diri. Beberapa murid Padepokan Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu dicegah Eyang Binarong dengan suaranya yang menggelegar.

"Jangan dikejar..."

Kaburnya orang-orang golongan hitam itu, membuat ketiga murid Anggrek Jingga jadi kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan Sangga Langit masih begitu banyak. Apalagi mereka sadar tidak mungkin bisa menghadapinya. Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa lagi melarikan diri, karena murid-murid Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya dengan ganas. Mereka terpaksa melayani sekuat tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan melengking tinggi.

"Aaa..."

"Dewi..." jerit Ranti begitu melihat Dewi terhuyung sambil mendekap dadanya yang sobek berlumuran darah. Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang membabat punggungnya. Dia menjerit keras. Darah langsung muncrat dari punggung yang terbelah cukup besar. Dan kini, satu tusukan tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak berdaya lagi. Entah, berapa tusukan dan sabetan pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas sebelum ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.

Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi panik. Tanpa berbicara lagi, mereka membuang pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang langsung mengurungnya. Dua orang menghampiri membawa tambang, lalu mengikat dua orang gadis murid si Anggrek Jingga itu. Sementara pertarungan antara Anggrek Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus berlangsung sengit Meskipun wanita itu mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga menyerah. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya.

"Keparat busuk Mampus kau Hiyaaa..." Kandita memaki-maki sambil berteriak-teriak, dan bertarung bagai kesetanan. Dia benar-benar tidak peduli lagi begitu menyadari tinggal sendirian. Hal ini membuat pikirannya tidak terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-serangannya jadi semakin dahsyat. Kandita mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tangan kanan yang memegang pedang berkelebat cepat membabatkan pedangnya, mengurung Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan tangan kirinya memberi pukulan-pukulan keras bertenaga dalam cukup sempurna.

 "Hiyaaat Yeaaah..."

Kandita bertarung sambil memutar-mutar tubuhnya. Pada saat itu, tangan kirinya berkelebat cepat menyebarkan bunga-bunga anggrek Jingga ke segala penjuru mata angin. Bunga-bunga anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan seketika terdengar jerit dan pekikan melengking menyayat Beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga yang ditebarkan Kandita.

 "Mundur..." teriak Eyang Palandara keras.

Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri, langsung berlompatan mundur menjauh dari jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi rupanya Kandita malah sengaja bertarung sambil mendekati mereka, dan terus melontarkan bunga-bunga mautnya.

 "Keparat licik..." geram Bayu murka menyaksikan kelicikan lawannya ini.

 Pendekar Pulau Neraka itu langsung melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu kakinya mendarat cepat dibungkukkan tubuh ke kiri. Secepat kilat dikibaskan tangan kanannya. Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang berupa Cakra Maut seketika melesat cepat bagai kilat karena dilontarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

Saat itu Kandita yang tengah melontarkan bunga-bunga anggrek jingga ke arah murid-murid Padepokan Sangga Langit jadi terkesiap. Tampak sebuah benda keperakan meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke belakang sambil berputaran beberapa kail Kandita menyangka kalau senjata itu sudah lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja dari arah samping kanannya Cakra Maut menyambar tiba.

 "Akh..."

Kandita memekik tertahan. Gadis itu begitu terkejut setengah mati. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra Maut itu melesat lewat sedikit di depan dadanya. Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba saja senjata itu berhenti, dan....

Crab
"Aaa..."

Kandita menjerit melengking tinggi. Sukar dikatakan Hanya dengan menggerak-gerakkan tangannya saja, Bayu dapat mengendalikan senjata mautnya. Dan Cakra Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita hingga tembus sampai ke punggung Darah langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut melesat dan langsung menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. 

***

"Bayu..."

Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru Bayu melepaskan pelukan gadis itu.

"Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti tidak mempedulikan rona wajah pemuda itu yang memerah menahan malu.

Tidak," sahut Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya menatap dua orang gadis yang terikat dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit. Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan kedua gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ranti, gadis yang mengenakan baju biru. Bayu teringat ketika Ranti menjaganya pada malam hari. Darahnya jadi menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya gadis ini mencumbu dirinya dalam keadaan tidak berdaya karena pusat jalan darahnya tertotok.

Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis berbaju hijau itu juga memperlakukan dirinya seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi, sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa muak. Seluruh wajahnya memerah, dan matanya bersorot tajam. Belum pernah dirinya diperlakukan seperti itu. Jelas, Bayu merasa terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur hidup. Pendekar Pulau Neraka akan terus merasa terhina dan malu jika kedua gadis ini masih dibiarkan hidup.

"Kau harus mampus, perempuan iblis..." desis Bayu menggeram.

Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu mencabut pedang dari pinggang Pinanti yang berdiri di sampingnya. Cepat sekali Begitu pedang tercabut, langsung dibabatkan ke leher kedua gadis itu.

Cras

"Aaa..."

"Aaakh..."

"Bayu..." sentak Eyang Palandara terkejut.

"Dewata Yang Agung...," desah Eyang Binarong.

Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh dengan kepala hampir terpisah dari badan Bayu menyerahkan pedang berlumuran darah itu pada Pinanti. Gadis itu menerima dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya memandangi wajah-wajah yang terlongong menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti pada dua laki-laki tua.

"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu. Setelah berkata demikian, Bayu mengayunkan kakinya berjalan pergi. Semua orang hanya bisa bengong tidak mengerti terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tega membunuh dua orang gadis dalam keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti perasaan pemuda itu, dan langsung berlari mengejar.

"Bayu, tunggu..."

Bayu menghentikan langkahnya ketika Pinanti sudah menghadang di depannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti mengambil tangan pemuda itu dan menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba melepaskan, tapi gadis itu malah membawanya ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat merasakan debaran jantungnya.

"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka memang pantas untuk mati," ujar Pinanti pelan, hampir berbisik.

"Seandainya kau juga berbuat yang sama seperti mereka, aku tidak peduli meskipun ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis Bayu datar.

"Tapi aku bukan mereka, Bayu."

Bayu memandang lurus ke bola mata gadis itu.

"Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis Bayu.

"Terpaksa," sahut Pinanti.

Seketika wajah Pinanti menyemburat merah. Sungguh, seumur hidup dia belum pernah mencium seorang pemuda. Saat itu memang terpaksa dilakukannya, karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan diakui, hatinya sempat bergetar juga waktu itu.

"Bayu, aku belum pernah melakukannya. Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja. Percayalah, aku bukan mereka."

Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan halus dari pelukan gadis itu. Memang diakui, waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga mengakui kalau debaran jantung Pinanti terasa begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya. Bayu memang bisa merasakan kalau ada rasa keterpaksaan pada diri gadis itu saat menciumnya.

"Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Bayu.

"Oh Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega.

Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau mempercayai dirinya. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu juga memberikan senyum, meskipun terasa agak hambar. Pendekar Pulau Neraka itu melirik orang-orang yang tengah sibuk mengumpulkan mayat teman-temannya, dan dimasukkan ke dalam tandu yang diikatkan pada kuda.

Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang Binarong menghampiri. Sedangkan Eyang Palandara tengah sibuk mengatur murid-muridnya untuk membawa murid-murid lain yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi menguburkan mayat-mayat lawannya. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah manusia, dan patut mendapat perlakuan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.

"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?" pinta Eyang Binarong. Bayu menganggukkan kepalanya.

"Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan tindakanmu tadi," kata Eyang Binarong langsung berterus terang.

"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang," ucap Bayu.

"Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan kuat sehingga berbuat sekejam itu pada mereka. Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama besarmu. Kau harus ingat, mereka yang bernaung di bawah panji Padepokan Sangga Langit adalah calon pendekar yang akan menggantikan orang-orang tua sepertiku ini. Mereka pasti tidak akan melupakan perbuatanmu. Mereka adalah manusia, dan aku tidak percaya kalau mereka akan diam saja. Paling tidak mereka pasti akan bercerita pada orang lain," jelas Eyang Binarong gamblang, membuka perasaan hatinya.

Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran kata-kata orang tua ini. Tapi gadis-gadis itu memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih parah lagi kalau mereka sampai bebas dan menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi dengan kejadian barusan, memang mungkin orang akan menganggap dirinya kejam, berdarah dingin, dan tidak mengenal belas kasihan.

Bahkan bisa juga kaum persilatan menggolongkannya ke dalam aliran hitam. Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang mengalami mendapat perlakuan seperti binatang. Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa tanpa dapat berbuat apa-apa. Orang lain memang bisa menuding. Tapi jika mereka mengalami, pasti akan berbuat yang sama dengan yang dilakukannya pada kedua gadis itu.

"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu. Kau harus bisa menempatkan diri, dan menghapus dampak buruk atas kejadian ini," kata Eyang Binarong lagi.

"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu. Eyang. Binarong menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian meninggalkannya.

Pinanti segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi. Gadis itu memandangi wajah tampan di depannya lekat-lekat.

"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang sebenarnya, Bayu?" tanya Pinanti.

"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku, Pinanti," sahut Bayu.

"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.

Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Dipandangi ayahnya yang masih sibuk memberi perintah dan mengatur murid-muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang berlutut di samping mayat Ki Sampar. Tak ada yang memperhatikan.

Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pinanti langsung melompat mengejar Bayu yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di Lereng Gunung Waru ini. Cepat sekali gadis itu melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu. Pinanti langsung berdiri menghadang di depan Bayu.

"Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu. Pinanti tidak menjawab, dan hanya memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam. Saat ini mereka sudah cukup jauh dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa melihat, karena mereka terhalang pepohonan dan semak yang rapat bertautan. Bayu jadi tidak mengerti akan sikap gadis ini.

"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut.

"Kau akan meninggalkanku begitu saja, Kakang?" Pinanti balik bertanya.

"Aku memang harus pergi. Masih banyak yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu mencoba meminta pengertian gadis ini.

"Tanpa memberi sesuatu yang berarti padaku?"

Bayu semakin tidak mengerti. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja Pinanti sudah menghambur memeluknya erat-erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher. Kepalanya mendongak dengan bibir merah sedikit terbuka. Bayu menelan ludahnya sendiri melihat bibir merah yang menantang itu.

"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk dikenang, dan kau boleh pergi, Bayu," ujar Pinanti agak mendesah.

"Aku...." Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya. Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh gairah.

"Ohhh...," rintih Pinanti lirih.

"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai, Pinanti."

"Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."

Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum. Kemudian mereka kembali berpagutan penuh gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka menyatu rapat bagai tak akan terpisahkan lagi. Desah napas dan rintihan lirih terdengar. Mereka tidak peduli pada suara Eyang Palandara yang berteriak memanggil gadis itu.

"Pinanti..., di mana kau...?"

"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti ketika Bayu melepaskan pagutannya. Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu lagi, dan Bayu pun jadi tidak peduli. Dibalasnya pagutan itu dengan hangat pula. Semakin ketat pelukannya, dan semakin menggelora lumatannya pada bibir gadis itu. "Ohhh...."

TAMAT
Episode Selanjutnya: