Pendekar Pulau Neraka - Istana Iblis(1)

SATU
"Aaa...!"

Suatu jeritan panjang melengking tinggi, memecah kesunyian malam yang mencekam. Jeritan itu membangunkan seorang laki-laki tua yang tengah tertidur melingkar di bawah pohon. Tubuh tua berkeriput itu bergegas bangun. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri, seolah-olah mencari arah sumber suara tadi. Sesaat kemudian tatapan matanya terpaku pada sebuah bangunan hitam di atas sebuah bukit batu.

Laki-laki tua berbaju compang-camping penuh tambalan itu bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri sempurna, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam tidak jauh di depannya. Laki-laki tua itu tersentak kaget Secepat kilat dia melesat mengejar bayangan hitam yang berkelebat tadi.

"Berhenti...!"serunya keras.

Seketika sosok tubuh hitam itu berhenti berlari. Laki-laki tua berpakaian penuh tambalan itu juga berhenti mengejar. Jarak mereka tinggal sekitar empat batang tombak lagi. Sosok tubuh hitam itu membelakangi, seakan-akan menyembunyikan wajahnya.

"Siapa kau?!" tanya orang tua itu sedikit dibuat galak.

"Hi hi hi...!"

Tiba-tiba saja sosok tubuh hitam agak bungkuk itu tertawa terkikik. Dan belum lagi suara tawanya hilang, dengan cepat dibalikkan tubuhnya. Seketika laki-laki tua itu terperanjat kaget. Kedua matanya membeliak lebar, dan mulutnya terbuka menganga. Tak ada kata-kata terucapkan keluar dari mulutnya. Sebelum laki-laki tua berpakaian pengemis itu bisa menyadari apa yang dilihatnya itu, mendadak saja sosok tubuh hitam bungkuk itu berkelebat cepat menyambar.
Dan....

"Aaa...!" Laki-laki tua itu menjerit melengking tinggi.

"Hi hi hi...!"

Kembali jeritan melengking terdengar disertai tawa mengikik, membelah udara malam yang dingin ini. Dan sebelum suara itu lenyap dari pendengaran, sosok tubuh hitam itu sudah berbalik cepat, lalu melesat pergi menuju lereng bukit batu. Sedangkan laki-laki tua berpakaian pengemis itu masih berdiri tegak dengan mata terbuka dan mulut menganga lebar.

Sebentar kemudian, tubuh tua itu ambruk ke tanah. Bersamaan dengan itu darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal. Kepala orang tua itu menggelinding terpisah dari lehernya. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tak ada lagi gerakan dari tubuh pengemis tua itu. Laki-laki tua itu seketika tewas tanpa dapat melakukan gerakan apa pun juga. Sementara malam terus merayap semakin larut Udara pun semakin terasa menggigit tulang. Tak ada yang menyaksikan kejadian mengerikan itu. Sangat cepat, sukar disadari sepenuhnya.


***
Suasana pagi masih agak gelap. Matahari belum lagi menampakkan diri dengan penuh. Hanya cahaya merah jingga menyemburat di ufuk Timur. Kokok ayam jantan mengalun bersahutan membangunkan seluruh makhluk di mayapada ini. Dalam keremangan pagi buta ini, terlihat seorang laki-laki muda tengah mengayunkan kakinya pelahan-lahan menyibak kabut.

Rambutnya yang panjang tergerai sebatas bahu, melambai-lambai mengikuti irama langkah kakinya. Sesekali dihembuskan napas panjang, berusaha mengusir hawa dingin menggigilkan tubuh. Mendadak langkah kakinya terhenti, dan tatapan matanya terpaku pada sosok tubuh tergeletak tanpa kepala. Darah yang keluar dari lehernya sudah membeku. 

Pelahan-lahan pemuda itu menghampiri, dan berlutut di samping tubuh tanpa kepala itu. Matanya menatap kepala tua yang teronggok tidak berapa jauh. Sebentar diperiksanya bagian leher yang buntung itu, kemudian terdengar tarikan napasnya yang panjang. Pemuda itu kembali bangkit berdiri.

"Aneh.... Begitu banyak orang mati di sini. Semuanya dengan leher buntung. Hmmm.... Apa yang terjadi di sini...?" pemuda itu bergumam pelan, bicara pada dirinya sendiri.

Sebentar matanya merayap ke sekeliling, kemudian kakinya kembali terayun melangkah pelahan. Pemuda itu mulai memasuki sebuah jalan tanah berbatu yang cukup besar. Jalan ini cukup untuk dilalui sebuah pedati pengangkut barang. Agak tertegun juga dia melihat jalan ini telah ditumbuhi rerumputan. Meskipun belum begitu banyak, namun sudah menandakan kalau jalan ini sudah lama tidak digunakan lagi.

Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah menyusuri jalan, menuju arah yang berlawanan dengan matahari terbit. Langkah kakinya kembali terhenti ketika memasuki sebuah perkampungan yang nampak sepi bagai tak berpenghuni. Kembali ditemukan sesosok mayat tanpa kepala. Sosok mayat perempuan yang hanya terbungkus selembar kain lusuh.

Pemuda itu menyingkirkan tubuh tanpa kepala itu ke tepi, dan menyatukan dengan kepalanya yang terpisah. Kemudian kembali langkahnya terayun. Pandangannya tidak berkedip merayapi ruman-rumah yang berjajar di sepanjang jalan ini. Begitu sepi, tak terdengar adanya napas kehidupan di perkampungan ini. Tak terlihat adanya cahaya pelita. Semua pintu dan jendela tertutup rapat. Sementara cahaya matahari semakin membias terang.

"Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu menggumam pelan.

Ayunan langkahnya semakin pelahan. Matanya menatap sebuah rumah kecil yang kelihatannya ringkih. Dindingnya banyak yang berlubang. Tampak seorang laki-laki setengah baya duduk memeluk lutut di atas balai bambu yang beralaskan anyaman tikar pandan lusuh. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan. Sementara pemuda itu berhenti tidak jauh di depannya.

Tampak wajah laki-laki setengah baya itu demikian murung, dan sinar matanya redup tanpa sedikit pun memancarkan gairah kehidupan.

Pemuda itu menyapa lembut dan sopan, namun laki-laki tua itu hanya menyambut dengan senyuman tipis. Hampir tidak terlihat gerak bibirnya.

"Boleh numpang beristirahat sebentar di sini, Kisanak?" pinta pemuda itu sopan.

Laki-laki setengah baya itu tidak menyahut tapi digeser juga duduknya sedikit Pemuda itu menganggukkan kepalanya, dan tersenyum, kemudian melangkah mendekati. Dia duduk di samping laki-laki setengah baya itu. Suasana kaku sangat terasa, dan tidak menyenangkan sama sekali.

"Apa nama desa ini, Pak?" tanya pemuda itu mengisi kebisuan.

"Walang," sahut laki-laki setengah baya itu singkat Begitu datar nada suaranya.

"Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu hanya bergumamsaja.

Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang bicara lagi. Semua bisu, tapi hati berbicara sendiri-sendiri. Sementara pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hari semakin terang, dan matahari mulai tinggi. Tapi suasana desa ini masih juga sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat keluar dari rumahnya. Pemuda itu menatap laki-laki setengah baya yang duduk memeluk lutut di sampingnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara rintihan lirih dari dalam pondok ini. Laki-laki setengah baya itu bergegas bangkit dan melangkah masuk ke dalam. Sepertinya tidak mau peduli lagi dengan pemuda yang jadi bengong tidak mengerti. Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi sampai laki-laki setengah baya itu masuk ke dalam pondok ini. Pintunya tidak ditutup, sehingga bagian dalam pondok dapat terlihat jelas.

Tampak di atas sebuah dipan bambu yang hanya beralaskan tikar lusuh, tergolek seorang wanita yang hanya mengenakan pakaian lusuh dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, dan wajahnya pucat. Laki-laki setengah baya itu duduk di tepi dipan. Diambilnya waskom tanah liat dan dicelupkan selembar kain ke dalam air dalam baskom itu untuk membasuh wajah wanita yang terbaring lemah itu. Wajahnya pucat. Sinar matanya redup tanpa cahaya kehidupan.

Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk pelahan-lahan. Dipandangi wajah wanita yang kelihatan masih berusia muda, namun begitu pucat. Gerak napasnya sangat pelan, hampir tidak terlihat.

"Sakit, Kisanak?" pelan suara pemuda itu.

"Ya," laki-laki setengah baya itu menjawab lirih.

"Boleh aku lihat?"

Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab, tapi hanya menoleh menatap pemuda berbaju dari kulit harimau yang sudah berada dekat di belakangnya. Kemudian dia berdiri dan menggeser memberi tempat Pemuda itu melangkah maju, lalu duduk di tepi pembaringan. Tangannya ditempelkan ke bagian leher dekat rahang gadis itu.

"Sudah berapa lama sakitnya, Ki?" tanya pemuda itu tanpa menoleh. Jari-jari tangannya bergerak lembut memberikan beberapa pijatan di beberapa bagian tubuh gadis itu.

"Hampir satu purnama," sahut laki-laki setengah baya itu.

"Ah...," wanita itu merintih lirih ketika jari tangan pemuda berbaju kulit harimau menekan dadanya.

"Hm...," pemuda itu bergumam, kemudian membalikkan tubuh wanita itu.

Tampak pada punggung yang terbuka lebar, terlihat noda merah kehitaman. Tidak begitu besar dan bulat seperti kuku ibu jari. Pemuda itu langsung menekan noda itu dengan telapak tangan kanannya.

"Akh...!" wanita itu memekik tertahan.

"He...!" laki-laki setengah baya itu terkejut, dan menyentakkan pundak pemuda itu.

'Tidak apa-apa, Ki. Akan kukeluarkan racun di dalam tubuhnya," kata pemuda itu tidak bergeming sedikit pun.

'Tapi...."

Pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja. Wajahnya nampak menegang dan memerah bagai kepiting rebus. Dan tangan kanan yang menempel pada punggung berkulit putih halus itu agak bergetar. Sedangkan laki-laki setengah baya itu hanya memperhatikan saja. Raut wajahnya begitu tegang, dan sinar matanya memancarkan kecemasan yang amat sangat

"Akh! Hoek...!"

Wanita itu memuntahkan darah kental agak kekuningan. Dua kali muntah, kemudian terkulai lemas. Napasnya memburu bagai baru saja berlari jauh. Pemuda berbaju kulit harimau itu membalikkan tubuh gadis itu, kemudian menghentakkan tangannya, tepat di dada wanita itu.

"Ugh! Hoeeek..!"

"Hhh...!" Pemuda itu menghembuskan napas panjang.

Pelahan pemuda itu bangkit berdiri, dan melangkah mundur. Dipandanginya wajah wanita muda yang tampak diam dengan mata agak terpejam. Pelahan namun pasti, wajahnya mulai memerah. Napasnya juga mulai teratur kembali. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu membalikkan tubuhnya, dan mengajak laki-laki setengah baya itu keluar. Saat itu wanita yang tergolek di atas dipan bambu sudah terlihat tertidur tenang. Tarikan napasnya lembut dan teratur. Wajahnya tidak lagi memucat seperti tadi.
***

Siang ini terasa begitu lambat berlalu. Pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu tengah duduk di sebuah kursi reyot yang hampir tidak kuat menahan beban tubuhnya. Matanya kelihatan setengah terpejam. Sedang tidak jauh di sampingnya berdiri laki-laki tua yang menamakan dirinya Ki Sampang. Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tidak lepas ke arah sosok tubuh seorang gadis yang masih tergolek di atas dipan. Ki Sampang mengatakan kalau gadis itu
bernama Wurani.

"Dia sudah sadar. Den Bayu," ujar Ki Sampang.

Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dari duduknya. Dilangkahkan kakinya mendekati dipan itu, lalu duduk di tepinya. Sedangkan Ki Sampang masih tetap berdiri dekat pintu. Gadis yang bernama Wurani mulai menggeliat, dan matanya mengerjap terbuka. Dia bergelinjang akan bangkit, tapi Bayu Hanggara lebih cepat mencegah.

"Jangan bangun dulu."

"Oh! Siapa kau?" tanya Wurani masih lirih suaranya.

"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka itu memperkenalkan diri.

Wurani memalingkan mukanya, menatap pada Ki Sampang yang masih tetap berdiri dekat pintu pondok kecil yang reyot ini.

"Kau kutemukan tergeletak di jalan, lalu kubawa ke sini," kata Ki Sampang, seolah-olah bisa mengerti pandangan gadis itu.

'Terima kasih," ucap Wurani pelan.

"Kau mengigau dan menyebut namamu Wurani. Benar?" sambung Ki Sampang lagi seraya melangkah menghampiri. Laki-laki setengah baya itu berdiri saja dibelakang Pendekar Pulau Neraka.

"Benar. Aku memang bernama Wurani," pelan, hampir tidak terdengarsuara gadis itu.

"Pemuda ini yang menyembuhkanmu," sambung Ki Sampang lagi

"Terima kasih," ucap Wurani seraya berusaha tersenyum.

Sesaat lamanya mereka terdiam membisu. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing. Sementara Bayu kembali memeriksa kondisi gadis itu, kemudian tersenyum lega.

"Bagaimana kau bisa terluka seperti itu, Nisanak?" tanya Bayu.

"Jangan panggil aku Nisanak, Panggil saja Wurani,"
pinta gadis itu.

Bayu kembali tersenyum, dan dibalas oleh Wurani dengan manis. Sementara itu Ki Sampang menyingkir dan duduk di kursi, tempat Pendekar Pulau Neraka duduk tadi.

"Lukamu bukan luka biasa. Aku tahu, kau juga memiliki daya tahan yang luar biasa...," kata Bayu lagi, terdengar mengambang nada suaranya.

"Dan aku yakin, kau juga bukan orang sembarangan, Kisa...."

"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu cepat

"Hm..., kau dapat menyembuhkan lukaku. Sebenarnya aku sendiri sudah pasrah. Terima kasih," Wurani kembali tersenyum. Begitu manis senyum gadis itu.

'Terlalu banyak kau mengucapkan terima kasih. Tapi belum juga kau ceritakan tentang lukamu itu, Wurani," Bayu mengingatkan pertanyaannya yang belum terjawab.

"Maaf,apakah itu penting untukmu?" tanya Wurani.
"Mungkin..., tidak," Bayu memang tidak punya kepentingan terhadap luka yang diderita gadis itu.
Keberadaannya di sini hanya kebetulan saja, lalu menolong dan menyembuhkan luka wanita itu.

"Sebaiknya kau memang tidak perlu tahu," ujar Wurani.

"Aku tidak memaksa," desah Bayu seraya mengangkat bahunya. Tapi, asal kau tahu saja. Racun di dalam tubuhmu belum semuanya punah. Dan paling tidak kau harus bersemadi satu hari penuh."

"Terima kasih," ucap Wurani lagi seraya tersenyum.

Bayu menepuk punggung tangan gadis itu, kemudian bangkit berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati Ki Sampang, lalu memberi isyarat dengan matanya. Dan Ki Sampang bisa mengerti, kemudian bergegas bangkit dan melangkah mengikuti pemuda berbaju dari kulit harimau itu. 

Mereka keluar dari pondok itu dan sama-sama duduk di dipan bambu yang sudah reyot, hampir rubuh. Sebentar Bayu menarik napas, dan memandang berkeliling. Suasana di desa ini masih tetap sunyi. Hampir setengah harian Pendekar Pulau Neraka itu berada di Desa Walang ini, tapi tidak melihat orang lain lagi, selain Ki Sampang dan Wurani.

"Ada yang ingin kau katakan, Den Bayu?" tanya Ki Sampang.

"Aku merasa ada kelainan di sini, Ki," desah Bayu pelahan.

"Kesunyian ini...?" tebak Ki Sampang langsung. "Satu di antaranya."

"Sudah beberapa bulan ini Desa Walang mati. Tidak ada lagi orang yang suka tinggal di sini. Bahkan untuk melintasinya saja enggan," pelan kata-kata Ki Sampang. "Ada tanda-tanda kemakmuran di sini. Aku tidak mengerti, mengapa semua penduduk meninggalkannya, Ki?" tanya Bayu lagi, makin ingin tahu saja.

"Bukan pada tempatnya kalau kau bertanya seperti itu padaku, Den. Aku sendiri hanya pendatang di sini. Aku datang, desa ini sudah seperti ini. Tidak ada lagi penduduknya."

"Oh...?!" Bayu terkejut tidak menduga.

"Aku rasa Wurani lebih tahu. Ketika aku datang ke sini dia sudah tergeletak di tepi jalan, dan kubawa ke pondok ini," sambung Ki Sampang.

Bayu tidak bertanya lagi. Namun tatapan matanya begitu dalam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya di sampingnya. Seolah-olah Pendekar Pulau Neraka itu tidak percaya terhadap keterangan yang diberikan Ki Sampang barusan.

"Aku siapkan makan siang dulu," ujar Ki Sampang seraya bangkit berdiri.

Dan sebelum Bayu bisa mengucapkan sesuatu, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju garis-garis dan memakai ikat kepala dari kain coklat itu sudah melangkah masuk kembali ke dalam pondok. Sebentar Bayu memandangi, sampai Ki Sampang lenyap dari depan matanya. Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat

"Aneh...?!" desah Bayu seraya bangkit berdiri. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Sungguh tidak jelas, apa yang sedang terjadi di Desa Walang ini.

Semua yang dilihat dan dirasakan memang terasa aneh. Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mempercayai. Sepanjang jalan yang dilalui menuju ke desa ini, tidak sedikit ditemukan mayat tergeletak dengan kepala buntung. Dari bekas penggalannya, tidak ditemukan adanya bekas senjata tajam. Leher dari mayat-mayat yang ditemukannya, seperti tercabut begitu saja. Dari pengalamannya dalam berkecimpung di rimba persilatan, Pendekar Pulau Neraka itu bisa mengenali setiap luka. Paling tidak bisa menentukan senjata atau pukulan yang digunakan. Tapi kali ini sungguh lain.

Juga luka di punggung Wurani. Meskipun Bayu bisa memastikan adanya aliran racun yang lambat dan dapat mematikan, tapi sukar untuk menentukan jenisnya. Sulit untuk bisa diduga apakah itu akibat dari pukulan atau akibat senjata. Noda hitam di punggung gadis itu ada sedikit lubang seperti bekas tusukan jarum. Namun lebih besar lagi. Dan tusukan itu bergerigi, sehingga mengoyak sedikit kulit punggungnya.

Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Langkahnya terhenti setelah sampai di tengah-tengah jalan di depan pondok kecil itu. Kembali matanya memandang berkeliling. Tampak beberapa ekor anjing liar tengah berpesta mengoyak sosok mayat yang nampaknya sudah membusuk. Udara di sekitar Desa Walang ini juga terasa lain. Sedikit bau. Mungkin saja akibat dari banyaknya mayat yang berceceran dengan kepala terpisah tanpa sempat dikuburkan lagi.

"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang.

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melangkah, mendekati satu sosok mayat yang sebagian tubuhnya tenggelam dalam parit. Dia berhenti dekat mayat itu. Agak menggiris juga hatinya ketika melihat mayat itu, yang ternyata seorang gadis kecil. Mungkin usianya baru sekitar sepuluh tahun. Tak ada kepala lagi di lehernya. Bau busuk sudah terasa menyengat hidung. Namun Pendekar Pulau Neraka itu memeriksa sekitar leher yang buntung tanpa kepala.

"Hm..., seperti bekas tarikan yang kuat. Tidak ada tanda-tanda bekas tersayatsenjata tajam," gumam Bayu.

"Den Bayu...!" terdengar panggilan. Bayu menoleh. Tampak Ki Sampang sudah berdiri di depan pintu pondok kecil itu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu kembali mengayunkan kakinya menghampiri pondok. Benaknya masih sibuk memikirkan mayat-mayat yang tergeletak tanpa kepala lagi. Juga sikap Ki Sampang dan Wurani yang dirasakannya sangat aneh. Bayu tidak akan menduga-duga dulu, meskipun hatinya diliputi rasa penasaran yang sangat kuat
***

DUA
Bayu terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara jeritan melengking yang sangat menyayat. Pendekar Pulau Neraka itu menggelinjang bangkit dari dipan yang ditidurinya. Sebentar ditatapnya Wurani dan Ki Sampang yang juga tidur di dipan itu. Mereka juga terjaga, dan langsung duduk. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka itu sudah melangkah menghampiri jendela.

"Bayu...," terdengar suara Wurani ketika Bayu akan membuka jendela itu.

Bayu mengurungkan niatnya, lalu berbalik memandang Wurani dan Ki Sampang secara bergantian. Jeritan melengking tadi tidak lagi terdengar. Dan suasana malam ini kembali sunyi lengang. Hanya desiran angin dingin saja yang masih terdengar mengusik gendang telinga. Angin malam yang menyebarkan bau tidak sedap.

"Kalian dengar suara jeritan tadi?" tanya Bayu ingin mengetahui sikap kedua orang itu.

"Ya," sahut Ki Sampang pelan tanpa tekanan sama sekali pada nada suaranya.

"Hm.... Sepertinya kalian sudah biasa mendengarnya," gumam Bayu mulai dihinggapi rasa curiga. Ki Sampang dan Wurani hanya diam saja. "Aku akan melihat keluar," kata Bayu seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah mendekati pintu.

"Apa yang akan kau lakukan di luar?" tanya Ki Sampang.

"Barangkali aku masih bisa menemukan seorang manusia," sahut Bayu seraya membuka pintu pondok itu.

"Bayu, jangan...!" sentak Ki Sampang seraya melompat turun dari dipan.

Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah melangkah keluar. Ki Sampang mengejar, namun laki-laki setengah baya itu hanya sampai di depan pintu saja. Sebentar dipandangi Bayu yang melangkah tegap menjauhi pondok ini, kemudian menatap Wurani. Laki-laki setengah baya itu menutup pintu pondok kembali. Ditariknya napas panjang dan berat. Sedangkan Wurani hanya diam saja memandangi laki-laki setengah baya itu.

Sementara di luar, Pendekar Pulau Neraka terus melangkah pelahan-Iahan menyusuri jalan tanah berdebu. Udara malam yang berhembus agak kencang, semakin tidak sedap tercium hidung. Mayat busuk begitu banyak tergeletak di sepanjang pinggir jalan ini. Bahkan tidak sedikit yang sudah koyak disantap binatang liar. Bayu berhenti melangkah di depan sebuah rumah yang cukup besar yang berdinding sebagian dari batu, dan sebagian lagi dari belahan papan. Rumah itu nampak sepi lengang, namun terlihat ada sedikit cahaya menyemburat dari dalam.

Pendekar Pulau Neraka langsung melompat begitu melihat adanya satu bayangan berkelebat keluar dari atap rumah itu. Ringan sekali gerakan pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah mendarat di atas atap rumah itu. Dan pada saat yang sama, bayangan hitam yang dilihatnya sudah berlari cepat ke bagian belakang rumah.

"Hup!"

Bayu segera melompat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Lesatannya begitu cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pendekar Pulau Neraka itu bisa menyusul dalam waktu singkat Bahkan langsung berbalik menghadang.

"Berhenti...!" bentak Bayu keras.

Sosok tubuh hitam itu langsung berhenti dari larinya.

"Siapa kau?" tanya Bayu.

Keadaan malam yang begitu gelap, sukar bagi Bayu untuk mengenali wajah sosok tubuh itu yang hampir sebagian wajahnya tertutup rambut panjang tergerai tidak teratur. Tubuhnya kurus dan agak bungkuk. Baju yang dikenakannya berwarna hitam pekat dan longgar. Bayu mencoba untuk melihat wajah orang itu. Tapi karena orang itu selalu menunduk, sukar untuk dilihat jelas.

Dan belum lagi Bayu sempat untuk bertanya, tiba-tiba saja orang aneh itu bergerak cepat bagaikan kilat menerjangnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu tidak sempat menyadari lagi. Tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah terpental deras ke belakang. Sebatang pohon beringin sangat besar, langsung hancur seketika terlanda tubuhnya.

"Sial...!" rutuk Bayu sambil melompat bangkit berdiri.

Pendekar Pulau Neraka itu mengatur napasnya yang mendadak saja terasa sesak. Dadanya seperti remuk, terasa nyeri sekali. Namun belum juga hilang nyeri didadanya, kembali orang aneh itu menerjang dengan kecepatan yang luar biasa. Sesaat Bayu terperangah, namun cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. Cepat pula tubuhnya melompat bangkit berdiri.

Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu mampu berpijak kokoh, orang aneh berjubah hitam itu kembali melompat menerjang bagai kilat. Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan untuk berkelit lagi. Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya ke depan. Maka satu benturan keras tidak dapat terhindarkan lagi.

"Akh...!" Bayu terpekik keras agak tertahan.

Pendekar Pulau Neraka itu terpental sejauh dua batang tombak. Sedangkan orang aneh berjubah hitam itu hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Sebentar dia berdiri tegak, kemudian melesat demikian cepat, sehingga tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Bayu berusaha mengejar, namun dadanya terasa begitu sesak Napasnya pun jadi tersengal.

Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu duduk bersila dan mengambil sikap bersemadi. Cukup lama Bayu bersemadi menyalurkan hawa murn ke seluruh tubuh untuk mengatur jalan napasnya. Pendekar Pulau Neraka itu kembali bangkit berdiri setelah kondisi tubuhnya kembali seperti semula. Ditekannya dada sebelah kiri. Masih terasa nyeri, namun tidak lagi sakit seperti tadi.

"Hm, siapa dia? Apa yang dilakukannya di rumah itu?" Bayu bertanya-tanya dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melangkah menuju ke rumah yang tidak seberapa jauh dari tempat ini. Nyala pelita masih terlihat redup, dari bagian dalam rumah itu. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati sekitarnya, lalu melesat ke udara, dan hinggap di atas atap. Tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu langsung saja meluruk masuk ke dalam melalui atap yang jebol.

"Ah...!" Seketika mata Bayu membelalak lebar begitu kakinya mendarat di lantai rumah.
***

Sukar untuk dipercaya akan apa yang disaksikan Pendekar Pulau Neraka di dalam rumah ini. Seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, tengah menangis memeluk mayat seorang wanita tanpa kepala lagi. Tidak jauh di sampingnya tergeletak mayat seorang laki-laki yang juga buntung kepalanya.

Mungkin merasakan adanya orang lain, gadis kecil itu menoleh. Hampir saja Bayu memekik melihat wajah gadis kecil itu hampir tidak terlihat karena tertutup darah. Entah darah siapa, karena kedua tangannya juga penuh darah. Bayu buru-buru menghampiri dan menggendong gadis kecil itu.

"Mari adik kecil, kita keluar dari sini," ucap Bayu lembut.

"Ibuuu...," rintih gadis kecil itu lirih.

"Aku akan mengurusmu nanti," kata Bayu berjanji.

Pendekar Pulau Neraka itu tidak membuang-buang waktu lagi. Langsung tubuhnya melesat menembus atap rumah yang memang sudah jebol berantakan. Gadis kecil yang berada dalam gendongannya, masih menangis memanggil-manggil ibunya. Bayu terus melenting begitu berada diatas atap. Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka itu. Lentingannya bagai seekor burung, dari atas atap langsung meluruk ke tanah. Dia berlari cepat menuju pondok kecil, tempat Ki Sampang dan Wurani berada. Dalam waktu tidak berapa lama, Bayu sudah berada di depan pintu. Diketuknya pintu itu beberapa kali.

"Siapa...?" terdengarsuara dari dalam.

"Aku. Bayu.... Cepat buka pintunya!"sahut Bayu.

Pintu pondok itu terbuka. Muncul Ki Sampang. Laki-laki setengah baya itu hampir memekik melihat seorang gadis kecil berlumuran darah berada dalam gendongan Bayu. Ki Sampang bergegas mengambil gadis itu, dan membawanya ke dipan. Sementara Bayu melangkah masuk, lalu menutup pintu pondok itu. Wurani jadi sibuk membersihkan darah yang melumuri wajah, tangan dan tubuh gadis itu, sambil mencoba membujuk agar anak itu tidak menangis lagi.

Agak lama juga gadis kecil itu baru dapat berhenti menangis. Sesekali masih juga terisak lirih. Sementara Bayu sudah menghenyakkan tubuhnya di kursi. Ki Sampang menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Wurani mencoba menenangkan gadis kecil itu agar tidur. Bayu hanya memperhatikan saja, tapi benaknya masih terus dipenuhi berbagai macam pikiran. Masih belum bisa dipahami semua yang terjadi di desa ini, juga pada malam ini. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan cepat, sukar untuk bisa dimengerti.

"Di mana kau temukan gadis itu, Bayu?" tanya Ki Sampang yang sudah menghilangkan panggilan Raden pada Pendekar Pulau Neraka itu. Dan memang pemuda itu sendiri yang memintanya.

"Di sebuah rumah yang di depannya ada pohon kamboja," sahut Bayu seraya melirik ke arah dipan. Nampak gadis kecil itu sudah tidur, sedangkan Wurani duduk saja di sampingnya.

'Tidak kuduga masih ada yang hidup di sini...," gumam Ki Sampang setengah mendesah.

"Ayah dan ibunya baru saja tewas," ujar Bayu seperti untuk dirinya sendiri.

"Oh...!" Ki Sampang tampak terkejut.

"Barangkali masih ada orang lain lagi yang masih hidup. Aku memang tidak yakin kalau semua orang di sini telah tewas," kata Bayu lagi dengan nada bergumam.

Ki Sampang menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dibalikkan tubuhnya, lalu dihampiri dipan, dan duduk di sisinya. Sedangkan Wurani hanya tertunduk saja memandangi wajah gadis kecil yang telah lelap walau hanya beralaskan tikar pandan lusuh. Wajah dan tubuhnya sudah bersih. Tidak ada lagi darah yang melekat, karena memang tidak ada satu luka pun. Darah itu pasti darah ibunya yang tewas malam ini.

"Kau seperti menyembunyikan sesuatu, Ki," tebak Bayu sambil menatap tajam laki-laki tua itu. Ki Sampang kembali menghembuskan napas panjang, seakan hendak melegakan rongga dadanya. Hembusan napasnya begitu terasa berat.

"Apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini?" tanya Bayu mendesak.

"Sungguh aku tidak tahu. Aku juga sama sepertimu. Hanya pendatang," sahut Ki Sampang sambil mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Kau juga begitu, Wurani?" Bayu mengalihkan pandangannya pada Wurani.

Wurani tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk dalam. Sementara malam merambat semakin larut. Dan Bayu semakin yakin kalau tidak Ki Sampang, pasti Wurani yang mengetahui peristiwa yang tengah melanda Desa Walang ini. Hanya mereka berdua saja yang dijumpai di desa mati ini. Desa yang dipenuhi mayat bergelimpangan tanpa kepala.

Bayu menghembuskan napas panjang dan terasa berat. Memang sukar mendesak orang yang lebih suka diam menutup mulut. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dibukanya pintu pondok itu, lalu kakinya terus melangkah keluar.

Ki Sampang bergegas menyusul, dan langsung menutup pintu begitu berada di luar. Sementara Bayu hanya berdiri saja merayapi kesunyian dan kegelapan malam ini. Ki Sampang menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju dari kulitharimau itu.

"Jangan paksa aku atau Wurani untuk mengatakan apa-apa, Bayu. Sungguh kami tidak tahu apa-apa. Terlebih lagi aku yang hanya pendatang di sini, sama sepertimu," tegas Ki Sampang mencoba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Kau cukup lama berada di sini, Ki. Tentunya bisa mengetahuisedikit keadaan di desa ini," kata Bayu pelan.

'Tidak! Aku tidak tahu apa-apa. Ketika aku datang, desa ini memang sudah seperti ini. Tidak ada yang kutemui selain Wurani. Dan gadis itu sendiri dalam keadaan terluka," sergah Ki Sampang.

"Dan kau menungguinya?" agak sinis nada suara Bayu. Sama sekali tidak dipercayainya keterangan laki-laki setengah baya itu.

"Aku berkata sejujurnya, Bayu. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian begitu saja. Sudah kucoba untuk menyembuhkannya, tapi aku tidak mampu. Untungnya kau cepat datang dan berhasil menyembuhkan lukanya," Ki Sampang tetap berusaha meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang-panjang.

Ki Sampang terdiam membisu, lalu berbalik dan duduk di balai bambu yang sudah reyot. Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak memandang lurus ke depan. Cukup lama juga mereka membisu dengan pikiran masing-masing yang sukar untuk diterka.
"Bayu, mengapa kau begitu tertarik dengan keadaan di sini?" tanya Ki Sampang memecah kebisuan yang terjadi cukup lama.

"Hanya naluri," sahut Bayu pelan.

"Kau seorang pendekar?" tanya Ki Sampang lagi.

"Hanya pengelana."

"Kita akan menyelidiki keadaan di sini bersama-sama, Bayu," kata Ki Sampang lagi.

"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, seperti tidak mendengar kata-kata laki-laki tua itu.
***

Siang ini udara terasa begitu panas menyengat Matahari bersinar terik, seakan akan hendak menghanguskan semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Di bawah sengatan teriknya sinar matahari, Bayu berjalan menyusuri jalan berdebu. Setiap rumah yang dilalui, tidak pernah terlewatkan untuk diperiksa. Dan semua rumah yang dimasuki, dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Padahal hampir semua rumah di Desa Walang ini telah diperiksa. Tapi tak satu pun manusia dijumpai. Bahkan binatangsaja tidak dilihatnya.

Pendekar Pulau Neraka itu tiba di sebuah bangunan batu bertumpuk sebagai tanda batas Desa Walang. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu berhenti melangkah. Pandangan matanya langsung tertuju ke puncak bukit di depannya. Sebuah bangunan batu berdiri menantang langit di puncak bukit itu. Bayu tahu kalau bukit itu disebut Bukit Walang Jati dari gadis kecil yang ditemukan di dalam rumah saat menangisi mayat ibunya.

"Bayu...!" tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah belakang.

Bayu hanya menolehkan kepala saja. Tampak Wurani berjalan cepat menghampirinya. Bayu kembali memalingkan wajah setelah Wurani berada di sampingnya. Gadis itu kelihatan segar dan cantik siang ini. Baju biru yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih halus. Bajunya ketat, sehingga memetakan lekuk tubuhnya yang ramping.

"Apa yang kau kerjakan di sini, Bayu?" tanya Wurani ingin tahu.

"Tidak tahu," sahut Bayu singkat dan datar.

"Ki Sampang sudah siap, tinggal menunggumu saja," kata Wurani lagi.

"Jadi dia meninggalkan desa ini?" tanya Bayu.

"Benar. Gadis kecil itu juga ikut"

"Kau sendiri?"

"Tergantung dirimu, Bayu. Kalau kau juga pergi, maka aku ikut pergi. Tapi kalau kau tetap akan menyelidiki keadaan di sini, maka aku akan ikut juga bersamamu," tegas jawaban Wurani.

"Kau perlu menentukan sikap, Wurani."

"Hanya itu sikapku, Bayu. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Maka tidak akan kubiarkan kau sendirian berada di sini. Mungkin aku akan menyulitkan, tapi paling tidak kau masih punya teman untuk diajak bicara," tetap tegas nada suara Wurani.

"Sebaiknya kau pergi, Wurani. Aku merasa tempat ini dipenuhihawa iblis dan kematian."

"Dan kau..., akan tetap di sini?"

"Tidak. Aku akan meneruskan pengembaraanku. Ada hal penting yang harus kukejar secepatnya. Bagiku tidak ada gunanya lagi lama-lama disini"

"Kalau begitu, sebaiknya kita bersama sama. Saat waktunya berpisah, aku tidak akan menghalangimu," ujar Wurani.

Bayu tersenyum, kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke Desa Walang. Sedangkan Wurani mengikutinya, mensejajarkan langkahnya disamping Pendekar Pulau Neraka itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.

Dari kejauhan, tampak Ki Sampang dan seorang gadis kecil sudah menunggu. Laki-laki setengah baya itu memegangi tali kekang kuda coklat yang diduduki seorang gadis kecil di punggungnya. Mereka menunggu dengan sabar sampai Bayu dan Wurani mendekat.

"Ayo kita berangkat" ujar Bayu setelah berada di depan Ki Sampang.

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera berjalan meninggalkan Desa Walang itu menuju ke arah Barat. Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka berjalan terus tanpa menoleh atau memandang sekelilingnya, kecuali Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak pernah berhenti memandang berkeliling. Dan setiap kali melihat seonggok mayat tanpa kepala, hatinya selalu tergiris.

Mereka terus berjalan sampai melewati perbatasan desa sebelah Barat. Masih tetap belum ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara matahari sudah begitu tinggi, tegak lurus di atas kepala. Perjalanan mereka baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih. Mereka membersihkan diri dari debu yang melekat. Tempat ini begitu tenang. Udaranya pun sangat segar, meskipun matahari bersinar sangat terik.

"Agaknya kita harus berpisah di sini," kata Bayu setelah mereka cukup beristirahat.

Tak ada yang bicara. Bayu bisa mengerti arti pandangan mata mereka yang menginginkannya terus ikut pergi. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah mantap, harus berpisah di tempat ini. Dia kenal daerah ini. Setelah menyeberangi sungai, dan melintasi padang rumput, maka akan ditemukan sebuah perkampungan yang tidak begitu besar. Mungkin di sana akan didapat tempat yang layak

"Kalian terus saja berjalan menyeberangi sungai ini, lalu melintasi padang rumput Ada sebuah perkampungan tidak jauh dari padang rumput itu," jelas Bayu.

"Bayu, kenapa kau tidak ikut saja sekalian bersama kami?" tanya Ki Sampang.

"Sebenarnya aku ingin bersama kalian, tapi ada hal lebih penting yang harus kukerjakan," sahut Bayu beralasan.

"Aku tidak bisa mendesakmu, Bayu. Mudah mudahan kita bisa bertemu lagi," ujar Ki Sampang menyerah. Bayu hanya tersenyum saja.

"Selamat tinggal, Bayu. Aku senang bisa bertemu denganmu," ucap Ki Sampang seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.

"Semoga kalian selamat" balas Bayu.

Ki Sampang menuntun kuda coklat yang membawa gadis kecil di punggungnya. Laki-laki setengah baya itu melangkah menyeberangi sungai. Sementara Wurani masih tetap berdiri di depan Pendekar Pulau Neraka itu. Pandangan gadis itu tidak berkedip ke arah wajah tampan di depannya.

"Pergilah," ujar Bayu lembut.

"Aku berhutang padamu.... Hm, boleh aku memanggilmu Kakang?"

"Dengan senang hati."

"Terima kasih."

Bayu menepuk lembut bahu gadis itu.

"Mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku ingin membalas kebaikanmu, Kakang," ucap Wurani

Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Wurani membalikkan tubuhnya, lalu menyeberangi sungai, menyusul Ki Sampang yang sudah tiba di tepi. Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri memandang kepergian mereka dari seberang sungai. Ki Sampang dan Wurani terus berjalan semakin jauh. Beberapa kali gadis itu menoleh, dan pada tolehan ke sekian kalinya Pendekar Pulau Neraka sudah tidak ada lagi di tempatnya.
***
TIGA
Malam sudah demikian larut. Lolongan anjing saling bersahutan, terbawa hembusan angin dingin membekukan tulang. Malam yang begitu hening, mendadak pecah oleh suara hiruk pikuk dan denting senjata beradu. Tampak di Kaki Bukit Walang Jati sebelah Selatan, beberapa orang tengah bertarung mengeroyok seseorang berjubah hitam panjang.

Di sekitar pertarungan itu sudah tidak terhitung lagi tubuh yang bergelimpangan. Yang membuat hati tergiris melihatnya, tubuh-tubuh berlumuran darah itu semuanya berkepala buntung. Sedangkan sekitar sepuluh orang bersenjata golok dan pedang masih bertarung sengit mengeroyok seorang berjubah hitam dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya.

"Aaa...!"satu jeritan melengking terdengar menyayat. Tepat saat ada seorang yang ambruk dengan kepala buntung, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat cepat menghantam orang berjubah hitam agak bungkuk itu. Orang itu mengerang lirih. Tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah. Namun dia cepat bangkit berdiri.

Sekitar sembilan orang hanya terlongong begitu melihat seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau menerjang orang berjubah hitam itu. Mereka jadi terpaku, karena pertarungan itu langsung pecah tanpa ada yang bisa mencegah lagi.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Seketika tubuh hitam itu melesat cepat ke udara, dan dalam sekejap saja lenyap dari pandangan mata. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa lagi mengejar. Sembilan orang yang memegang senjata terhunus, bergegas menghampiri. Salah seorang yang mengenakan baju ketat putih dan memegang pedang, membungkukkan badan memberi hormat di depan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Terima kasih. Kisanak datang tepat pada waktunya," ucap laki-laki setengah baya berbaju putih itu seraya menyarungkan pedangnya di pinggang.

Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi sembilan orang yang berada di depannya. Mereka semua memakai baju putih ketat berikat kepala juga putih. Melihat sulaman bergambar burung gagak di dada kiri, pemuda itu menduga kalau mereka tentu berasal dari sebuah padepokan. Pemuda itu memandang mayat-mayat yang bergelimpangan. Semuanya mengenakan baju putih bersulamkan gambar burung gagak berwarna hitam pada bagian dada sebelah kiri.

"Oh, ya. Siapakah Kisanak ini? Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebaikan hati Kisanak menolong kami!" kata laki-laki setengah baya itu dengan nada suara sopan.

"Namaku Bayu, aku kebetulan saja lewat di sini," pemuda itu menyahut memperkenalkan namanya.

"Aku Tepasena. Ah, Kisanak telah berjasa pada kami. Jika tidak berkeberatan, aku atas nama Eyang Resi Jayaraga mengundang Kisanak ke Padepokan Gagak Hitam," ujar laki-laki setengah baya itu memperkenalkan dirinya.

"Rasanya sukar bagiku menolak undangan ramah ini,"sahut Bayu.

"Ah, terima kasih. Mari, Kisanak."

Bayu mengayunkan langkahnya di samping Tepasena. Sedangkan delapan orang berseragam putih ketat mengikuti dari belakang. Mereka masih terlihat muda-muda, dan mungkin usianya sebaya Pendekar Pulau Neraka itu.

"Ki Tepasena, boleh bertanya sesuatu?" pinta Bayu.

"Silakan, Kisanak,"sahut Tepasena ramah.

"Ah, sebaiknya panggil saja aku Bayu. Hmmm..., siapa sebenarnya orang yang bertarung denganmu tadi itu?" tanya Bayu setelah meminta agar Tepasena memanggil namanya saja.

"Sukar untuk dikatakan, Ki..., oh, Bayu. Kami waktu itu sedang dalam perjalanan kembali ke padepokan. Tiba-tiba saja orang itu datang mencegat dan langsung menyerang tanpa berkata apa-apa lagi," jelas Tepasena singkat.

"Hm..., jadi kau tidak tahu siapa dia?" tanya Bayu agak kecewa. Padahal harapannya tadi, laki-laki setengah baya ini mengetahui tentang orang aneh yang juga pernah bertemu sekali dengannya di Desa Walang.

"Tampaknya kau pernah berhadapan dengannya, Bayu. Paling tidak, sekali," tebak Tepasena langsung.

Bayu hanya tersenyum saja. Tebakan lelaki setengah baya itu tepat, tidak meleset sedikit pun. Pendekar Pulau Neraka itu sempat mengagumi di dalam hati terhadap pandangan tajam Tepasena.

"Aku memang sedang memburunya, Ki Tepasena. Tapi tidak tahu siapa dia sebenarnya," kata Bayu.

"Oh! Kenapa?" Tepasena tampak terkejut.

"Sukar untuk dijelaskan."

"Tidak mengapa, Bayu."

Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka mengagumi sikap lelaki setengah baya itu. Sangat arif. Setiap kata yang diucapkan begitu sopan, berwibawa, dan terdengar agung. Dalam hati, Bayu menduga kalau Tepasena pasti seorang yang memiliki ilmu tinggi. Paling tidak seorang guru pengajar pada Padepokan Gagak Hitam.

Mereka terus berjalan menembus kegelapan malam tanpa bicara lagi. Sebenarnya Bayu ingin menceritakan kejadian di Desa Walang. Tapi rasanya belum ada alasan kuat. Lagi pula dugaannya, orang-orang dari Padepokan Gagak Hitam ini tidak tahu menahu sama sekali. Tapi sedikit ada harapan di hati Pendekar Pulau Neraka saat Tepasena mengatakan Padepokan Gagak Hitam tidak jauh dari Bukit Walang Jati sebelah Selatan ini. 

Hanya dibatasi hutan kecil dan aliran sungai yang tidak begitu besar. Bayu berharap, mungkin di dalam padepokan itu bisa didapat banyak keterangan. Dia tahu kalau sebuah padepokan, tentu tidak jauh dari sebuah perkampungan. Kalau pun menyendiri, itu paling tidak di sebuah lembah, puncak gunung, atau sebuah bukit Tapi tetap juga tidak jauh dari perkampungan.
***

Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau Eyang Jayaraga tidak seperti yang dibayangkannya semula. Biasanya, sebuah padepokan selalu dipimpin oleh orang tua berjubah panjang dan berjanggut memutih. Nada suaranya lembut penuh kewibawaan. Tapi yang sekarang berada di depan Pendekar Pulau Neraka kali ini...,sungguh tidak mudah dipercaya.

Bayu sendiri sampai terpana tidak percaya.ketika Tepasena memperkenalkannya pada Ketua Padepokan Gagak Hitam. Seorang pemuda cukup tampan yang usianya mungkin baru dua puluh delapan tahun, atau mungkin tiga puluhan. Kulitnya kuning langsat dan sinar matanya tajam menusuk. Pakaiannya sangat sederhana, terbuat dari kulit binatang Sengaja dibuat tanpa lengan, dihiasi tali-tali dari urat binatang menyilang pada bagian dadanya. Sebilah pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung gagak bertengger di punggungnya.

"Senang sekali bisa bertemu denganmu, Pendekar Pulau Neraka," ucap laki-laki muda yang ternyata bernama Eyang Jayaraga itu menyambut kedatangan Bayu Hanggara.

'Terima kasih...," ucap Bayu, agak kaku juga.

Betapa tidak? Bayu merasa tidak pantas memanggil laki-laki yang usianya sangat jauh jika dipanggil Eyang. Paling tidak dia memanggilnya Kakang.

"Silakan duduk," ujar Eyang Jayaraga.

Bayu duduk di kursi menghadap meja bundar kecil. Sedangkan Eyang Jayaraga kembali duduk di kursinya, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada lagi orang lain di ruangan yang cukup besar ini. Tepasena yang mengantarkan tadi, sudah sejak tadi keluar dari ruangan ini. Sebentar Bayu merayapi keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.

"Sukar rasanya bagiku untuk memanggilmu...," Bayu tak jadi meneruskan ucapannya.

"Ha ha ha...!" Eyang Jayaraga hanya tertawa saja. Bayu terdiam membisu.

"Panggil saja aku Jayaraga. Tidak perlu kau panggil aku Eyang," kata Eyang Jayaraga polos disertai senyuman di bibir.

"Sulit. Meskipun kau masih kelihatan muda, tapi sudah memimpin padepokan. Sebutan Eyang sudah melekat di depan namamu," ujar Bayu.

"Kalau begitu, terserah kau sajalah."

Kembali Bayu terdiam.

"Terus terang, aku begitu gembira menerima kunjunganmu, Pendekar Pulau Neraka. Sudah lama aku ingin dapat bertemu denganmu. Dan sekarang sepertinya aku mendapat kehormatan atas kunjunganmu ke sini," ucap Eyang Jayaraga pelan dan cukup lembut

"Hm..., kau tahu nama julukanku," gumam Bayu. Pendekar Pulau Neraka selalu memotong akhir ucapannya. Sepertinya berusaha untuk menghindar menyebut nama laki-laki muda pemimpin Padepokan Gagak Hitam ini. Terasa risih bagi lidahnya.

"Hanya ada satu Pendekar Pulau Neraka di dunia ini. Dan aku tahu siapa dirimu, meskipun belum kau sebutkan julukanmu," kata Eyang Jayaraga kalem.

"Bagaimana kau bisa tahu? Sedangkan baru kali ini kita bertemu," selidik Bayu ingin tahu.

"Pakaianmu, dan senjata anehmu itu."

Bayu tersenyum seraya mengangkat bahunya sedikit Pakaian yang dikenakannya memang terlalu menyolok, tapi dia sangat menyukainya. Terlebih senjata Cakra Maut yang setiap saat menempel di pergelangan tangan kanannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak ada yang bicara. Dalam hati, Bayu mengagumi juga kejelian penglihatan laki-laki muda yang sudah dipanggil eyang itu. 

Pemimpin besar Padepokan Gagak Hitam ini memang masih menjadi beban pertanyaan di benak Pendekar Pulau Neraka. Sama sekali tidak diketahuinya tentang padepokan ini. Meskipun semua penghuninya ramah, tapi Bayu tetap ingin tahu banyak mengenai Padepokan Gagak Hitam yang berada di sebelah Selatan Bukit Walang Jati.
***

Dua hari Bayu berada di lingkungan Padepokan Gagak Hitam. Dan selama itu pula dia belum memperoleh apa-apa tentang manusia aneh dan misterius yang membantai penduduk Desa Walang secara kejam. Eyang Jayaraga sendiri tidak tahu tentang kekejaman itu. Bahkan sepertinya tidak tahu kalau ada sebuah desa di balik Bukit Walang Jati. Bahkan semua orang yang ada di padepokan ini, tidak ada yang bisa memberi jawaban memuaskan.

Sukar untuk dipercayai. Letak Padepokan Gagak Hitam dengan Desa Walang, tidak seberapa jauh. Mustahil kalau mereka tidak tahu menahu terhadap semua yang terjadi di desa itu. Beberapa kali Bayu menanyakan tentang hal ini pada Eyang Jayaraga, tapi laki-laki muda pemimpin padepokan itu seperti sengaja menghindar.

"Kau akan pergi juga, Bayu?" tanya Tepasena siang itu ketika melihat Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap- siap akan meninggalkan Padepokan Gagak Hitam ini.

"Ya,"sahut Bayu singkat.

"Eyang Jayaraga sangat senang atas kehadiranmu disini. Bahkan dia menginginkan agar kau tetap tinggal untuk beberapa hari lagi," kata Tepasena.

"Aku juga senang berada di sini. Tapi masih ada yang harus kukerjakan di luar sana,"sahut Bayu.

"Hm.... Kau tetap akan menyelidiki orang misterius itu, Bayu?"

"Ya. Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan mataku," tegas jawaban Pendekar Pulau Neraka.

"Bukankah semua tindakanmu juga dikatakan kejam, Bayu."

Bayu Hanggara seketika tertegun. Pandangannya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu. Sungguh tidak disangka kalau Tepasena bisa bicara seperti itu. Kata-kata yang meluncur lancar bagai tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

"Maaf, kalau ucapanku membuatmu tersinggung," ucap Tepasena buru-buru menyadari kata-katanya.

"Seberapa jauh kau mendengar tentang diriku, Paman?" tanya Bayu datar.

'Tidak banyak. Hanya mendengar saja dari cerita orang-orang," sahut Tepasena.

"Orang-orang..? Tidak kulihat adanya desa di sekitar sini. Hanya padepokan ini saja yang ada. Siapa yang dimaksud orang-orang itu, Paman?" nada suara Bayu terdengarseperti mencurigai dan penuh selidik.

Tepasena terdiam, tidak bisa segera menjawab. Raut wajahnya berubah seketika. Sepertinya baru saja kepergok mencuri. Sikap laki-laki setengah baya itu membuat Pendekar Pulau Neraka semakin curiga, dan ingin tahu lebih banyak lagi. Tapi waktu yang dimilikinya saat ini begitu sedikit. Dia sudah berpamitan pada Eyang Jayaraga, dan harus segera pergi dari Padepokan Gagak Hitam ini.

"Aku pergi dulu, Paman. Mudah-mudahan bisa bertemu lagi dalam suasana masih penuh persahabatan," ucap Bayu seraya menjura memberi hormat.

Tepasena hanya diam seraya menganggukkan kepalanya sedikit membalas penghormatan Pendekar Pulau Neraka itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, Bayu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Pendekar Pulau Neraka lewat di depan bangunan utama Padepokan Gagak Hitam ini. Langkahnya terhenti saat melihat Eyang Jayaraga berdiri di ambang pintu bangunan utama padepokan itu.

Bayu membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat, kemudian terus saja berjalan cepat keluar dari Padepokan Gagak Hitam. Dua orang penjaga pintu gerbang bergegas membuka pintu yang terbuat dari kayu tebal dan cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka terus saja berjalan. Sementara Eyang Jayaraga memandangi sampai pintu gerbang kembali tertutup. Digerakkan tangannya untuk memanggil Tepasena.

Bergegas laki-laki setengah baya itu menghampiri, lalu menjura memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Eyang Jayaraga yang masih muda dan berwajah cukup tampan itu melangkah beberapa tindak menuruni anak-anak tangga beranda depan bangunan besar Padepokan Gagak Hitam itu. Langkahnya berhenti setelah dekat di depan laki-laki setengah baya itu.

"Apa saja yang ditanyakan padamu, Paman?" tanya Jayaraga datar nada suaranya.

"Seperti yang kemarin, Nanda Jayaraga. Selalu ingin tahu," sahut Tepasena.

"Hmmm...," Jayaraga menggumam dengan kepala terangguk-angguk.

Pemuda yang selalu dipanggil eyang itu membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah masuk ke dalam bangunan besar itu. Tepasena masih tetap berdiri dan tubuhnya agak membungkuk. Dia baru menegakkan tubuhnya setelah Jayaraga hilang di dalam bangunan utama padepokan itu.
***

Sementara itu, Bayu sudah cukup jauh berjalan meninggalkan Padepokan Gagak Hitam. Arahnya sudah jelas, kembali ke Desa Walang yang berada di balik bukit sebelah Timur. Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka itu tidak tergesa-gesa, namun terasa ringan seperti tidak menapak tanah.

"Heh...!" tiba-tiba Bayu berseru terkejut.

Mendadak saja beberapa orang berpakaian serba hitam muncul dari balik semak dan meluncur turun dari atas pohon. Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya. Di sekelilingnya kini sudah mengepung tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja masih terlihat.

"Siapa kalian?! Kenapa mencegat jalanku?!" bentak Bayu keras.

"Jangan banyak omong! Bunuh...!" terdengar bentakan dari arah belakang.

Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa memutar tubuhnya, mendadak dua puluh orang berbaju serba hitam itu berlompatan sambil mencabut pedangnya masing-masing. Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Seketika itu juga tubuhnya berputar, dan berkelit menghindari beberapa tebasan pedang yang datang beruntun. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Beberapa kali Bayu mencoba bertanya, tapi tak ada yang menyahuti setiap pertanyaannya.

Serangan dua puluh orang berbaju serba hitam itu sangat luar biasa dahsyatnya. Beberapa kali Bayu harus membanting tubuhnya, atau berputaran di udara menghindari setiap serangan. Sebentar sebentar mulutnya mendesis menahan geram menghadapi pedang-pedang yang bisa merobek tubuhnya, atau mungkin juga bisa memenggal kepalanya. Orang-orang berbaju hitam itu bertarung tanpa banyak mengeluarkan suara. Namun setiap serangannya sungguh dahsyat, dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.

'Tahan..! Kenapa kalian menyerangku?! Siapa kalian?!" keras suara Baya

Tapi orang-orang berbaju hitam itu tidak ada yang menjawab, bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya. Beberapa kali Bayu bertanya, tapi tak ada yang menjawab. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka itu kian berang. Terlebih lagi ketika sebuah pedang hampir saja membabat buntung lehernya. Untung pemuda berbaju kulit harimau itu cepat-cepat berkelit menghindarinya.

"Setan! Kalian yang memaksa...! Jangan menyesal, keparat!" geram Bayu memuncak amarahnya.

Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berteriak keras menggelegar. Kedua tangannya segera mengembang ke samping, lalu bergerak cepat diikuti gerakan kakinya yang lincah. Saat itu juga dua orang berpakaian hitam terjungkal terhantam tangan yang bergerak bagai kilat dan mengandung pengerahan tenaga dalam cukup sempurna.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Jeritan melengking terdengar saling sambut, disusul berpelantingannya orang-orang berbaju serba hitam itu. Bayu sengaja memilih bagian tubuh yang tidak mematikan, meskipun pukulannya mengandung tenaga dalam sangat tinggi. Tapi begitu mereka menggeletak ditanah, langsung menghunjamkan pedangnya ke tubuhnya sendiri.

"Keparat..!" geram Bayu tersentak kaget. Sebentar saja, tinggal dua orang yang masih hidup. Namun tanpa diduga sama sekali, mereka menusukkan pedangnya sendiri, tepat di dada. Bukan main terkejutnya Pendekar Pulau Neraka menyaksikan lawan-lawannya bunuh diri dalam keadaan kalah. Bayu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan terpanggang pedang masing-masing. Tak ada lagi yang hidup, semuanya tewas seketika.

Bayu menghampiri salah sebuah mayat yang tidak berapa jauh darinya, lalu membuka kain yang menyelubungi kepala orang itu. Pendekar Pulau Neraka menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dibukanya satu persatu kain-kain hitam yang menyelubungi mereka. Bayu berdiri setelah membuka selubung kepala mayat yang terakhir. Mereka semua masih muda, dan mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Hebatnya, tingkat kepandaian mereka sudah cukup tinggi. Hanya yang tidak bisa dimengerti, mereka bunuh diri sendiri setelah menyadari kekalahannya.

"Aku tidak tahu siapa mereka. Kenapa menyerang dan membunuh diri sendiri...?" desah Bayu sambil menggelengkan kepala beberapa kali.

Tak ada tanda-tanda yang dapat dikenali. Dan Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa mengenali wajah-wajah mereka yang begitu asing. Pelahan-lahan Bayu melangkah mundur, kemudian berbalik dan kembali berjalan cepat menuju Desa Walang. Saat itu hari sudah mulai senja. Dan Bayu tidak sampai kemalaman tiba diDesa Walang, karena berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
EMPAT
Malam belum begitu larut Namun suasana di Desa Walang begitu senyap. Tak ada satu suara pun terdengar, kecuali desir angin saja mengusik gendang telinga. Begitu sunyi, seakan-akan binatang malam pun enggan memperdengarkan suaranya.

Seorang pemuda berbaju kulit harimau yang tengah duduk memeluk lutut di beranda sebuah rumah kecil yang reyot mendadak mengangkat kepalanya ketika mendengar lolongan anjingan hutan. Lolongan itu begitu panjang dan menyayat hati. Pemuda itu menggelinjang bangkit saat matanya menangkap bayangan berkelebat cepat dari satu atap rumah ke atap lainnya.
"Hup...!"

Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya, langsung hinggap di atas atap. Ringan sekali gerakannya, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun. Tatapan matanya begitu tajam, mengamati bayangan yang berkelebat cepat di atas atap rumah penduduk. Dan begitu bayangan itu meluruk turun ke jalan, pemuda berbaju dari kulit harimau itu langsung melesat menghadangnya.

Tunggu...!" sentak pemuda itu keras. Tampak seorang berjubah hitam yang rambutnya meriap panjang dan tidak teratur, sangat terkejut melihat kemunculan seorang pemuda berbaju kulit harimau yang begitu tiba-tiba. Sesaat mereka hanya saling pandang dalam jarak sekitar tiga batang tombak. Orang berjubah hitam dan bertubuh agak bungkuk itu menggumam kecil. Hampir tidak terdengarsuara gumamannya itu.

"Hik hik hik...!" tiba-tiba saja orang itu tertawa mengikik. Suaranya terdengar kecil dan serak.

"Hm..., siapa kau?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.

"Hik...! Anak muda, kau bukan penduduk sini. Aku tidak ingin berurusan denganmu. Pergilah, sebelum nasibmu sama dengan yang lain!" serak suara orang berjubah hitam itu.

"Pasti kau yang membantai semua penduduk di sini!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju harimau itu.

"Apa pedulimu, bocah?" bentak orang berjubah hitam itu kasar. "Aku selalu peduli pada setiap kekejaman yang terjadi di depan mataku!"

"Phuih! Kau cari penyakit, Anak Muda! Berani berurusan dengan penghuni Istana Iblis!"

"Sekalipun dari neraka, aku tidak peduli! Perbuatanmu sudah melampaui batas!"

"Hik hik hik...! Kau pikir dirimu sendiri bersih, bocah?! Sepak terjangmu tidak jauh berbeda dengan manusia iblis! Seharusnya kau bergabung denganku untuk menumpas manusia-manusia dungu tidak berguna. Menjadikan kerajaan iblis yang terbesar dan tidak tertandingi! Hik hikhik...!"

"Impianmu akan pupus, iblis busuk!" geram Bayu.

"Tidak seorang pun bisa menentangku, bocah!"

"Aku yang akan menghentikan!"

"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa tergelak-gelak.

Seketika orang berjubah hitam itu menepuk tangannya tiga kali. Tiba-tiba saja dari balik rumah, pohon, dan atap, bermunculan orang orang berbaju hitam terselubung kain hitam pada kepalanya. Bayu tersentak kaget. Tidak diduga sama sekali kalau ditempat ini begitu banyak orang berpakaian hitam. Sama sekali tidak diketahui. Bahkan telinganya juga tidak mendengar keberadaan mereka.

Bayu menyadari kalau orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Terbukti kehadirannya tidak diketahui sama sekali. Pendekar Pulau Neraka itu menatap tajam orang berjubah hitam dan agak bungkuk di depannya. Orang itu terkikik serak sehingga bahunya sedikit terguncang.

"Aku percaya akan kemampuanmu, Anak Muda. Dua puluh orang anak buahku dengan mudah dapat kau kalahkan. Dan aku yakin, kau juga tidak mengalami kesulitan menandingi mereka sekaligus. Tapi kau pasti akan berpikir dua kali, Pendekar Pulau Neraka...," kata orang berjubah hitam yang wajahnya sukar untuk dilihat, karena tertutup rambut panjang yang tidak teratur itu.

"Heh! Kau tahu namaku...?!" sentak Bayu agak terkejut juga dia.

"Nama aslimu pun aku tahu. Semua sepak terjangmu selalu kuikuti. Itu sebabnya kau masih kuberi kesempatan hidup. Aku ingin kau ikut memperkuat pasukanku. Pasukan Istana Iblis,ha ha ha...!"

Bayu menggeram pelan. Disadari kalau semua sepak terjang serta dirinya sudah diketahui. Tapi dia tidak tahu, siapa orang berjubah hitam dan mereka yang mengepung tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu merasakan dirinya seperti tengah diadili saat ini. Memang diakui kalau selama ini tindakannya selalu tegas dan tanpa kompromi. Sehingga tidak heran kalau tokoh-tokoh rimba persilatan sukar untuk memasukkannya ke dalam golongan hitam atau putih.

Padahal jelas, kalau selama ini Bayu selalu menolong yang lemah. Memang tidak bisa dipungkiri kalau Pendekar Pulau Neraka itu kerap juga bentrok dengan tokoh beraliran putih. Dan yang lebih menyolok lagi, Bayu tidak pernah memberi kesempatan pada setiap lawannya untuk menghirup udara kembali. Bayu memang berada di antara dua kutub yang begitu kuat menariknya. 

Darahnya adalah darah seorang pendekar, tapi semua kepandaiannya berasal dari seorang tokoh hitam beraliran sesat. Tidak heran kalau dalam diri Pendekar Pulau Neraka terdapat dua jiwa yang saling bertentangan. Dan ini belum bisa dikendalikan. Bayu masih menuruti apa kata hatinya. Jika dianggap harus bertindak, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.

"Bagaimana, Bayu? Sudah ada pilihan?" tegur orang berjubah hitam itu membangunkan lamunan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku kira, kau terlalu banyak berharap untuk bisa merangkulku, manusia iblis!" sahut Bayu dingin dan tegas nada suaranya.

"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa terbahak-bahak.

Bayu jadi tidak mengerti ketika melihat orang berjubah hitam itu memberi isyarat agar anak buahnya yang mengepung tempat ini pergi. Dan tanpa diminta dua kali, mereka segera berlompatan menghilang. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja sudah tidak ada lagi yang mengepung tempat ini. Tinggal Bayu dan orang berjubah hitam itusaja yang ada.

"Biasanya aku tidak pernah memberi kesempatan dua kali. Tapi untukmu, kuberi waktu untuk berpikir. Waktumu hanya dua hari, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha...!"

"Hey...!"

Bayu ingin mencegah, tapi orang berjubah hitam itu sudah lebih cepat melesat. Sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Pendekar Pulau Neraka berdiri memandangi arah kepergian manusia misterius itu. Terlalu banyak yang ada dalam benak Bayu. Dan ini membuat kepala Pendekar Pulau Neraka itu jadi pening. Masih belum bisa dipahami semua peristiwa yang terjadi ini.
***

Semalaman penuh Pendekar Pulau Neraka berdiri di tengah-tengah jalan berdebu. Sampai matahari muncul, Pendekar Pulau Neraka belum juga bergeming dari tempatnya. Pandangan matanya lurus menatap ke arah Puncak Bukit Walang Jati. Di situ terlihat sebuah bangunan batu bagai istana kuno yang sudah tidak terpakai lagi. Ke arah sanalah orang aneh misterius itu pergi. Tepatnya kearah Bukit Walang Jati.

Bayu mengalihkan perhatiannya pada segumpal debu yang membumbung tinggi di angkasa. Semakin lama debu itu semakin terlihat jelas dan dekat. Dari balik gumpalan debu itu terlihat seekor kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan. Di punggung kuda itu duduk seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju putih ketat. Semakin dekat semakin jelas terlihat.

"Paman Tepasena...," desis Bayu mengenali penunggang kuda itu. Kuda warna coklat yang kedua kaki depannya putih itu berhenti tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan penunggang kuda itu bergegas melompat turun, lalu menghampiri pemuda berbaju dari kulit harimau. Laki-laki setengah baya itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

"Hm.... Ada apa, Paman?" tanya Bayu ingin tahu.

"Bayu, aku mohon maafkanlah aku...," ucap Tepasena dengan tubuh masih agak membungkuk. 

"He...! Apa aku tidak salah dengar?" sentak Bayu terkejut tidak mengerti.

"Aku mohon, Bayu. Maafkanlah aku...," pinta Tepasena berharap. Begitu serius nada suaranya.

Bayu jadi berkernyit juga keningnya. Dipandanginya dalam-dalam wajah laki-laki setengah baya itu, mencoba mencari sesuatu di matanya. Dan Bayu jadi keheranan, karena sikap Tepasena begitu bersungguh-sungguh.

"Ada apa? Kenapa meminta maaf padaku?" tanya Bayu.

"Aku.... Aku telah mendustaimu, Bayu. Aku mohon maaf. Aku terpaksa berbuat itu karena.... Akh!"

"Paman...!" Bayu tersentak kaget.

Tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat cepat dan menancap tepat di punggung laki-laki setengah baya itu. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Dan Bayu tidak membuang-buang waktu lagi. Segera dilentingkan tubuhnya mengejar bayangan hitam itu.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu sudah mencapai taraf kesempurnaan Gerakannya demikian cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya berkelebat dari atap-atap rumah penduduk Desa Walang ini. Tatapan matanya tidak berkedip mengamati sosok tubuh hitam yang berkelebatan di depannya. Jarak mereka semakin dekat saja. Dan begitu Bayu melompat tiba-tiba....

"Hey...!" Pendekar Pulau Neraka kembali tersentak kaget.

Tiba-tiba saja sebuah bayangan memotong, dan langsung menghajar sosok tubuh yang tengah dikejar Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian cepat gerakan orang berbaju biru muda itu, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sosok tubuh hitam itu sudah menggelepar di tanah dengan dada sobek mengucurkan darah segar.

Tunggu...!" seru Bayu ketika orang berbaju biru muda yang membelakanginya hendak pergi.

Orang berbaju biru muda itu membalikkan tubuhnya, setelah sosok tubuh berbaju hitam di depannya sudah tidak bergerak lagi. Dan seketika itu juga Bayu jadi membeliak dan mulutnya terbuka lebar. Hampir tidak dipercaya apa yang dilihatnya saat itu.

"Wurani...," desis Bayu tidak percaya akan penglihatannya.

"Apa kabar, Kakang?" orang berbaju biru muda itu ternyata memang Wurani. Gadis yang telah diselamatkan Bayu dari kematian akibat terkena sesuatu yang mengandung racun.

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" dengus Bayu sambil melirik tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi dibelakang Wurani.

Wurani tidak menjawab, tapi malah berpaling menatap tubuh tak bernyawa di belakangnya. Perlahan digeser kakinya mendekati Pendekar Pulau Neraka.

"Maaf, aku mendahuluimu," ucap Wurani perlahan. Namun tidak ada nada penyesalan di dalam suaranya.

Bayu tidak menanggapi. Ditariknya napas panjang, kemudian berbalik Pendekar Pulau Neraka langsung saja melangkah cepat kembali ke Desa Walang. Dia teringat Tepasena yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Panah yang menancap di punggungnya begitu dalam. Kalau sampai menembus jantung, jelas tidak ada harapan hidup lagi. Padahal Bayu sudah merasa kalau laki-laki setengah baya itu akan mengatakan sesuatu yang penting

"Kakang...!" panggil Wurani seraya berlari mengejar.

Bayu terus saja berjalan cepat tidak mempedulikan Wurani yang sudah berjalan cepat pula di sampingnya.

"Kau marah padaku, Kakang?" tegur Wurani melihat Bayu diam saja tanpa menoleh sedikit pun padanya.

'Tidak!"sahut Bayu singkat.

'Tapi, sikapmu...."

"Lupakan saja."

Mereka terus berjalan cepat memasuki Desa Walang. Bayu langsung menghampiri sosok tubuh berbaju putih yang tengkurap di tanah. Sebatang anak panah masih terbenam di punggungnya. Darah merembes keluar mengotori baju putih itu. Bergegas Bayu membalikkan laki-laki setengah baya itu, lalu memeriksa detak jantungnya.

"Hhh...," Bayu menarik napas panjang, dan kembali berdiri. Ujung panah itu tembus ke dada. Tepasena sudah tidak bisa tertolong lagi. Dia tewas sebelum mengucapkan sesuatu yang penting. Padahal itu sangat diharapkan Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa dia?" tanya Wurani yang berdiri di samping Bayu.

"Tepasena," sahut Bayu.
***

Hari itu Bayu menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan di Desa Walang. Udara di sekitar desa itu jadi tidak sedap oleh banyaknya mayat bergelimpangan membusuk tanpa kepala. Bayu tidak mungkin bisa menguburkan satu persatu. Sungguh sulit untuk menentukan, mana kepala yang cocok dengan tubuhnya. Dia menggali lubang besar dan mengubur mereka jadi satu. Tapi lubang yang dibuatnya tidak cukup, sehingga terpaksa harus menggali lagi.

Sudah tiga lubang yang dibuat dan telah terisi penuh oleh mayat. Namun belum juga cukup. Masih banyak mayat yang belum terkuburkan. Sementara senja sudah mulai turun. Suasana mulai meremang. Bayu menyeka keringat setelah selesai menggali lubang yang keempat. Sebuah lubang yang cukup besar, dan mampu untuk mengubur tiga bangkai gajah.

"Kau tidak mungkin mengubur mereka semua, Kakang," kata Wurani.

Bayu menoleh, menatap gadis itu. Sejak membuat lubang pertama, Wurani hanya diam saja memperhatikan. Tidak sedikit pun gadis itu membantu. Dan Bayu memang tidak meminta bantuannya. Memang hatinya masih kesal terhadap kecerobohan Wurani yang telah membunuh orang yang telah menewaskan Tepasena secara licik.

"Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Kakang," kata Wurani lagi.

"Apa maksudmu, Wurani?" tanya Bayu bernada menyelidik.

Entah kenapa, selama ini Pendekar Pulau Neraka jadi mudah menaruh curiga. Mungkin karena orang-orang yang dijumpainya selalu bertingkah aneh dan misterius. Termasuk juga Wurani. Bayu belum tahu jelas tentang gadis itu. Juga bagaimana sampai bisa terluka parah, bahkan mungkin bisa menghilangkan nyawanya. Sedangkan sikap Wurani sendiri, seperti menyembunyikan sesuatu.

Wurani tidak menjawab, tapi malah mengangkat bahunya dan berbalik. Gadis itu melangkah mendekati sebuah rumah yang terlihat lebih baik dari yang lainnya. Sedangkan Bayu menguburkan mayat yang sudah dikumpulkannya di dekat lubang. Diuruknya lubang itu setelah mayat yang dikumpulkan masuk ke dalam lubang. Memang masih banyak yang belum dikuburkan, dan masih berserakan di mana-mana. Pendekar Pulau Neraka menghampiri Wurani yang sudah duduk mencangkung di beranda rumah itu, setelah ia selesai dengan tugasnya menguruk lubang kuburan.

"Mau minum?" Wurani menawarkan begitu Bayu menghenyakkan tubuhnya di sampingnya.

Bayu mengambil kendi yang disodorkan gadis itu, dan meneguk isinya. Diletakkan kendi itu di meja berdebu. Wurani membersihkan tikar pandan dan menggelarnya di dipan bambu yang didudukinya. Sedangkan Bayu pindah duduknya ke kursi dekat dipan.

"Lumayan, buat tidur malam ini," kata Wurani.

Sepertinya sudah dilupakan semua yang terjadi, dan membuat Pendekar Pulau Neraka itu gusar.

"Hm...," Bayu hanya menggumam saja. Hanya sedikit melirik, kemudian perhatiannya dialihkan ke arah jalan.

"Kau masih marah padaku, Kakang? Maaf ya..., aku memang ceroboh," ucap Wurani seraya mendekati dan duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tidak dipedulikan kalau kursi yang didudukinya penuh debu.

"Hhh...," Bayu hanya menarik napas panjang saja.

"Kakang, kau tidak menanyakan kenapa aku kembali lagi ke sini. Atau menanyakan bagaimana keadaan Ki Sampang dan gadis kecil itu," kata Wurani mencoba membuka mulut Pendekar Pulau Neraka agar bicara.

"Untuk apa? Dengan caramu menyerang dan membunuh orang itu saja sudah bisa kutebak," sahut Bayu datar. Sedikit pun tidak berpaling. Pandangannya lurus menatap jalan yang lengang.

Wurani langsung terdiam membisu. Kata-kata Bayu terasa sinis di telinganya. Tapi gadis itu malah tersenyum, mencoba untuk tidak tersinggung. Disadari kalau tindakannya tadi salah, padahal sudah terlihat kalau Bayu sedang mengejar orang itu. Tapi Wurani masih belum bersedia mengatakan alasannya kenapa langsung membunuh orang berbaju hitam itu.

"Sejak pertama aku sudah tidak percaya kalau kau tidak tahu menahu tentang keadaan di sini. Dan tindakanmu tadi, semakin menebalkan ketidakpercayaanku," kata Bayu setelah bergumam, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.

"Kenapa bicara begitu, Kakang?"

"Kenapa...? Seharusnya bisa kau jawab sendiri, Wurani. Kau terluka cukup parah di tengah-tengah lingkungan yang sangat mengenaskan. Ditunggui seorang laki-laki setengah baya, dan kalian berpura-pura tidak saling mengenal. Aku tahu itu, Wurani. Semula aku tidak ingin tahu. Tapi belakangan ini aku merasa dilibatkan, dan kau masih juga menutupi. Untuk apa...?!" agak kesal nada suara Bayu terhadap sikap Wurani.

"Kau tidak mengerti, Kakang," pelan suara Wurani.

"Justru aku mengerti dan jadi peduli akan keadaan di sini!" dengus Bayu. Wurani terdiam.

"Aku bisa saja menutup telinga dan membutakan mata untuk tidak mau tahu terhadap semua ini, Wurani. Tapi hati kecilku tidak bisa begitu saja menyaksikan semua kekejaman di sini. Terlebih lagi setelah kujumpai orang-orang aneh yang bersikap penuh kepalsuan. Mereka semua tahu, tapi pura-pura tidak tahu! Sama seperti halnya kau, Ki Sampang, dan mereka...!"

Wurani tetap diam membisu.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini, Wurani?" tanya Bayu seraya menatap dalam dalam pada gadis itu.

"Aku tidak tahu," sahut Wurani.

"He...! Kau masih juga pura-pura tidak tahu? Kenapa?! Untuk apa kau biarkan semua kepalsuan menyelimuti dirimu? Kenapa, Wurani?! Takut..? Apa yang ditakutkan?" Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis itu.

"Sudah, Kakang. Jangan mendesakku terus. Aku tidak tahu!"agak keras suara Wurani.

"Lalu, kenapa kau bunuh orang itu? Padahal kau tahu kalau aku sedang mengejarnya, bukan?" tebak Bayu mendesak.

"Aku..., aku...," Wurani jadi tergagap. "Kau membunuhnya karena sebenarnya kau tahu semua apa yang sedang terjadi di sini, bukan?" desak Bayu memotong cepat.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Wurani bangkit, lalu melangkah ke dipan bambu. Dihenyakkan tubuhnya di atas dipan itu. Dia menelungkup, menutupi mukanya. Tak ada suara terdengar, tapi bahunya terguncang pelahan. Bayu menarik napas panjang. Dia tahu kalau gadis itu menangis, tapi dibiarkannya saja.

Cukup lama juga Wurani menelungkup di dipan itu, lalu pelahan-lahan bangkit dan duduk. Kepalanya tertunduk, tapi pelahan-lahan mendongak sambil menarik napas panjang Bayu sempat memperhatikan bola mata yang memerah sedikit sembab. Tidak ada air mata terlihat, meskipun mata itu berkaca-kaca. Dalam hati, Bayu kagum juga. Seorang gadis yang bisa menahan tangis, tentulah memiliki hati baja dan tegar.
***