Sapta Siaga - 1. Serikat Sapta Siaga(1)

SERIKAT SAPTA SIAGA 
Oleh Enid Blyton

Rapat Rahasia S.S. 

Peter memandang adiknya, Janet. Adik perem- 
puannya itu sedang asyik membaca buku. Tapi 
Peter terpaksa mengganggunya karena ada se- 
suatu yang perlu dibicarakan. 

”Kita mesti mengadakan pertemuan Sapta 
Siaga lagi,” ujarnya. ”Sudah lama kita tidak 
rapat.” 

”0h—betul juga!” seru Janet. Gadis itu me- 
nutup bukunya keras-keras. "Sebetulnya kita 
tidak melupakan perkumpulan kita, Peter. Tapi 
selama liburan Natal ini banyak sekali hal 
yang mengasyikkan. Jadi kita tak sempat 
mengadakan pertemuan.” 

"Tapi itu perlu,” bantah Peter. ”Tidak ada 
gunanya membentuk perkumpulan rahasia, jika 
sesudahnya kita tidak mengadakan pertemuan. 
Sebaiknya cepat-cepat saja kita kirimkan 
undangan rapat kepada para anggota.” 

”Ya ampun! Kalau begitu, kita harus menulis 
lima surat,” erang Janet. Tapi ia ada akal. 

”Eh, Peter! Kalau menulis, kau lebih cepat 
daripada aku. Sebaiknya kau menulis tiga, 
sedangkan aku dua saja.” 

Skippy, anjing spaniel kuning mereka, meng- 
gonggong ribut. 

”Ya, ya. Aku tahu, kau juga ingin menulis. 
Sayang kau tidak bisa,” kata Janet sambil 
menepuk-nepuk kepala Skippy. ”Tapi kau boleh 
menggondol satu, dan mengantarkannya pada 
anggota kita. Itu tugas mu. Skip.” 

"Enaknya kita tulis apa ya?” tanya Peter 
sambil mengambil kertas surat. Ia mencari- 
cari kata yang cocok. Sibuk sekali kelihatan- 
nya, menggigit-gigit ujung pena. 

”Well, sebaiknya mereka kita undang saja 
kemari,” kata Janet. ”Untuk tempat pertemuan, 
kita bisa menggunakan gudang tua di ujung 
kebun. Bagaimana pendapatmu? Sewaktu mu- 
sim dingin, Mom mengizinkan kita bermain 
di sana.” 

”Betul,” jawab Peter. Dia mulai menulis. 
Memang betul, ibu mereka mengi zinkan me- 
reka bermain dalam gudang tua itu, karena di 
situ hangat. Letaknya berdekatan dengan ketel 
pemanas rumah kaca. Sambil menulis, Peter 
berbicara lagi pada adiknya, ”Kusiapkan dulu 
surat pertama ini, nanti kau bisa menyalinnya. 
Coba kauhitung dulu, kita perlu menulis satu 
untuk Pam, satu untuk Colin, satu untuk Jack, 
dan satu surat lagi untuk Barbara... Eh, siapa 
anggota kita yang ketujuh? Aku lupa ” 

”Tentu saja George,” ujar Janet. ”Pam, Colin, 
Jack, Barbara, George, dan kita berdua. Jadinya 
tujuh anggota. Tujuh anggota Sapta Siaga. 
Asyiiik!” 

Perkumpulan tujuh orang anak, yang diberi 
nama Sapta Siaga, merupakan perkumpulan 
yang dibentuk oleh Peter dan Janet. Mereka 
beranggapan, pasti asyik bila membentuk suatu 
kelompok rahasia. Para anggotanya yang ter- 
diri atas anak-anak lelaki dan perempuan, ha- 
rus hafal kata sandi yang dirahasiakan. Dan 
juga harus memasang lencana—berbentuk 
kancing dengan tulisan S.S.—pada baju me- 
reka. 

”Nah, siap!” kata Peter, lalu menyodorkan 
surat yang sudah selesai dibuatnya pada Janet. 
"Sekarang kau bisa menyalinnya.” 

”Aku kan tak perlu menulis sebagus mung- 
kin, Peter?” kata Janet agak khawatir. ”Kalau 
aku harus menulis dengan rapi, akan lama 
sekali.” 

"Sudahlah! Pokoknya masih bisa dibaca,” 
jawab Peter. ”Kan tidak kita kirimkan lewat 
pos. 

Janet membaca surat yang ditulis Peter, 
"PERHATIAN! PENTING! Besok akan diada- 
kan rapat Sapta Siaga. Tempat pertemuan di 
gudang pinggir kebun, pukul sepuluh. Jangan 
lupa KATA SANDI!” 

”Ya Tuhan—apa kata sandi yang kita tentu- 
kan dulu?” kata Janet bingung. ”Sudah lama 
sekali kita tidak mengadakan pertemuan. Jadi- 
nya aku lupa!” 

”Nah, itu dia! Untung ada aku yang bisa 
mengingatkan,” kecam Peter. ”Kata sandi kita 
yang terakhir adalah Baltasar. Waktu itu kita 
menyesuaikan diri dengan perayaan Natal. 
Masa kau sampai lupa!” 

”Oh ya—benar juga. Baltasar, orang bijak 
dari Timur,” kata Janet. ”Wah, aku jadi salah 
tulis. Benar deh, aku tak boleh ngomong kalau 
sedang menulis.” 

Setelah itu ruangan menjadi sunyi. Keduanya 
sibuk menulis surat. Janet mempunyai ke- 
biasaan kocak. Kalau menulis, lidahnya terjulur 
keluar. Tapi katanya, ia tidak bisa menulis 
dengan rapi jika lidahnya tidak terjulur. Jadi 
ia menjulurkan lidahnya. 

Peter selesai lebih dulu. Amplop disodorkan- 
nya pada Skippy, untuk dijilat. Skippy paling 
pintar menjilat amplop, karena lidahnya besar 
dan selalu basah. 

”Sayang kita tidak perlu memakai perangko, 
Skip. Kalau pakai, kau juga boleh menjilatnya,” 
kata Peter menggoda. 

"Bagaimana, kita pergi mengantar surat-surat 
ini sekarang?” usul Janet. ”Kata Mom, kita 
boleh main keluar. Pagi ini cerah. Tapi mung- 
kin udaranya dingin. Brrr!” 

Begitu mendengar kata ”keluar”, dengan 
segera Skippy meloncat-loncat. Kaki depannya 
mengais-ngais pintu dengan tidak sabar. 

Tak lama kemudian mereka bertiga sudah 
berjalan di tengah salju. Udara dingin, tapi 
cerah. Mula-mula mereka ke rumah Colin. 
Sayang ia tidak di rumah, karena itu surat 
undangan dititipkan pada ibunya. 

Sesudah itu mereka menuju ke rumah 
George. Ia ada dan sangat gembira ketika 
mengetahui bahwa akan diadakan rapat rahasia. 

Kemudian mereka mampir di tempat Pam. 
Jack kebetulan ada di sana, jadi Peter me- 
nyerahkan dua pucuk surat. Tinggal satu lagi, 
untuk Barbara. Tapi sial! Ia sedang bepergian. 

”Wah, repot nih!” kata Peter kesal. Tapi ia 
tenang kembali ketika mendengar bahwa Bar- 
bara malam ini juga akan pulang. "Bisakah 
dia datang ke tempat kami besok pagi?” tanya 
Peter pada ibu Barbara. Ia mendapat jawaban, 
kemungkinan besar Barbara akan datang. 

”Kalau begitu, kelima-limanya Lengkap,” ujar 
Janet dalam peijalanan pulang. ”Ayo, Skippy. 
Kita ke taman! Nanti kita meluncur di kolam. 
Es di sana tebal sekali!” 

Mereka tampak asyik bermain di taman, 
main lempar-lemparan salju dan berseluncur 
di kolam yang airnya telah membeku. Peter 
dan Janet tertawa terpingkal-pingkal melihat 
tingkah Skippy yang lucu! Anjing itu berusaha 
lari di atas es, tapi kakinya selalu terpeleset. 
Begitu mulai berlari, langsung jatuh ter- 
jerembap! Akhirnya Skippy meluncur sambil 
telentang. Dengan badan lemas karena terlalu 
banyak tertawa, mereka berdua terpaksa me- 
narik anjing itu ke luar kolam. 

Skippy jengkel sekali. Ia memandang kolam 
sambil menggeram. Anjing itu bingung. Di 
musim panas, ia bisa minum di kolam dan 
berenang-renang di dalamnya. Sekarang tiba- 
tiba terjadi hal yang aneh. Ia tak mengerti, 
dan sama sekali tidak menyukai perkembangan 
baru itu. 

Sorenya Peter dan Janet pergi ke gudang. 
Tentu saja Skippy harus ikut! Ruangannya 
hangat, karena api ketel menyala besar. Ta- 
naman dalam rumah kaca memerlukan udara 
hangat. Peter memandang berkeliling. 

"Rasanya menyenangkan juga tempat ini. 
Kita atur saja beberapa peti untuk tempat 
duduk. Di atasnya kita taruh bantal-bantal ke- 
bun yang sudah usang. Nanti kita tanyakan 
pada Mom, apakah boleh meminta limun atau 
minuman lain. Dan tentu saja kue-kue. Kita 
mengadakan rapat sungguhan!” 

Mereka menarik beberapa peti ke tengah. 
Beberapa bantal tua diletakkan di atas peti- 
peti itu. Di lantai dibentangkan beberapa buah 
karung. Itu permadaninya. Janet sibuk mem- 
bersihkan sebuah rak kecil. Di situ nanti di- 
tempa kan limun dan kue-kue. Itu kalau di- 
berikan oleh ibu mereka. 

"Kita cuma punya lima peti yang bisa di- 
pakai untuk tempat duduk,” kata Peter. ”Dua 
orang terpaksa duduk di lantai.” 

Ah, tidak perlu,” bantah Janet. ”Di pojok 
situ ada dua pot bunga yang besar, kita keluar- 
kan saja dan kita telungkupkan. Kan bisa juga 
untuk tempat duduk.” 

Akhirnya tersedia juga tujuh tempat duduk: 
lima peti dan dua pot bunga. 

”Nah, selesai juga persiapan kita,” ujar Peter. 
Ia menggosok-gosokkan tangan, merasa puas. 
”Aku tahu apa yang akan kulakukan malam 
ini."

”Apa yang hendak kaukerjakan?” tanya 
Janet. 

”Aku mau membuat dua huruf S yang besar- 
besar,” kata Peter. "Kuberi wama hijau. Setelah 
itu kugunting dan kutempelkan pada karton. 
Kemudian kutempelkan pada pintu gudang.” 

”Oh—hebat! S.S,-—Sapta Siaga!” ujar Janet 
gembira. ”Itu namanya— hebat-' 


2
Serikat Sapta Siaga 

Keesokan harinya, lima orang anak beijalan 
menuju ke rumah yang dikenal dengan nama 
"Rumah Penggilingan Tua”. Di situlah tempat 
Peter dan Janet tinggal. Nama itu diambil dari 
tempat penggilingan rusak yang terdapat di 
atas bukit. Bekas penggilingan gandum itu 
sudah tak dipergunakan lagi selama bertahun- 
tahun. 

George yang datang paling dulu. Ia melintasi 
kebun, dan sampai di depan gudang. Yang 
pertama-tama dilihatnya adalah tanda yang ter- 
pampang di pintu: S.S. Dua huruf besar-besar, 
tertulis jelas dengan cat hijau. 

Ia mengetuk pintu. Ia mendengarkan se- 
bentar, tapi tak terdengar apa-apa. Ia mengetuk 
sekali lagi. Masih tetap tak ada jawaban. Pada- 
hal ia tahu pasti, Peter dan Janet ada di 
dalam. Tadi kelihatan wajah Janet di balik 
jendela kecil. 

Ia mendengar suara mengendus di bawah 
pintu. Pasti itu Skippy. George mengetuk pintu 
sekali Lagi. Ia sudah tidak sabar. 

”Sebutkan kata sandi kita dulu, tolol!” ter- 
dengar suara Peter mendesis. 

”Oh, aku lupa!” ujar George. "Baltasar!” 

Dengan segera pintu dibuka dari dalam. 
George masuk sambil meringis. Ia meman- 
dang berkeliling. ”Wah, nyaman juga tempat 
ini. Di sinikah tempat pertemuan kita liburan 
ini?” 

”Ya. Di sini enak dan hangat,” kata Peter. 
”Hai, mana lencanamu? Maksudku kancing 
yang ada tulisan S.S.-nya?” 

”Sialan! Aku lupa,” ujar George menyesal. 
”Mudah-mudahan saja tidak hilang.” 

”Kau ini bukan anggota yang baik,” kecam 
Janet dengan suara galak. ”Sudah lupa me- 
nyebutkan kata sandi, sekarang lupa memakai 
lencana!” 

”Maaf deh,” kata George. ”Terus terang 
saja, aku juga hampir melupakan Serikat 
Rahasia kita.” 

”Wah, kalau begitu kau ini tak pantas men- 
jadi anggota,” tukas Peter. 

”Hanya karena kita lama tak berjumpa saja! 
Kurasa kau ini...” George tak sempat menye- 
lesaikan kecaman balasannya, karena ada yang 
mengetuk pintu. 

Yang datang Pam dan Barbara. Ketiga anak 
yang sudah dalam gudang cepat-cepat menutup 
mulut. Mereka menunggu kata sandi. 

”Baltasar,” bisik Barbara. Suaranya terdengar 
aneh sekali, sehingga yang mendengarnya kaget. 

"Baltasar,” menyusul bisikan Pam. Pintu ter- 
buka, dan kedua anak perempuan itu masuk. 

'’Bagus! Kalian berdua memakai lencana,” 
kata Peter senang. ”Mana Colin dan Jack? 
Mereka terlambat datang.” 

Ternyata Jack menunggu Colin di pintu 
kebun. Ia lupa kata sandi yang harus disebut- 
kan. Ya ampun, apa ya? Jack sibuk memikir- 
kannya: Sinterklas—Orang Bijak—ah! Ia sudah 
lupa pada kata itu. Tapi ia merasa, pasti ada 
hubungannya dengan Natal. 

Ia tak ingin pergi ke tempat pertemuan 
tanpa mengetahui kata sandi yang harus di- 
sebutkan. Peter pasti akan sangat keras me- 
megang peraturan. Sedangkan Jack tak mau 
diomeli di depan anak-anak lain. Karena itu 
dia memeras otak, mencoba mengingat kata 
itu. Ketika dilihatnya Colin di kejauhan, ia 
memutuskan untuk menunggu temannya itu. 
Colin pasti masih ingat! 

"Hai!" sapa Colin ketika sudah dekat. ”Kau 
melihat teman-teman yang lain?” 

"Tadi kulihat Pam dan Barbara masuk,” 
sahut Jack. ”Kau masih ingat kata sandi kita, 
Colin? 

”Tentu saja,” balas Colin. 

Aaah—pasti kau sudah lupa!” ejek Jack. 

”Aku masih ingat! Baltasar!” bentak Colin, 
karena kesal dibilang sudah iupa. ”Nah, apa— 
kaukira aku lupa!” 

”Terima kasih atas pemberitahuanmu,” kata 
Jack sambil nyengir lebar. "Sebetulnya aku 
yang lupa. Tapi jangan bilang pada Peter nanti. 
Ayo, kita masuk. Eh, coba lihat itu.” Jari Jack 
menunjuk ke depan. ”Tertulis besar-besar di 
pintu gudang. S.S.—Sapta Siaga!” 

Mereka mengetuk pintu. 

"BALTASAR," teriak Colin dengan nyaring. 

Pintu terbuka cepat. Kepala Peter menjulur 
keluar. Kelihatannya ia marah. ”He! Untuk 
apa berteriak begitu! Kau ini rupanya ingin 
seluruh desa mengetahui kata sandi kita ya, 
keledai bodoh!” 

”Maaf,” ujar Colin singkat. Ia masuk ke 
gudang. ”Kan tak ada orang lain yang bisa 
mendengarnya.” 

”Baltasar,” ujar Jack, karena dilihatnya Peter 
tak mau memberi jalan kepadanya sebelum 
kata itu diucapkan. Pintu ditutup kembali. Ke- 
tujuh anak itu mengambil tempat duduk 
masing-masing. Sebagai tuan rumah yang baik, 
Peter dan Janet duduk di atas pot bunga yang 
dibalik. Kelima anak lainnya duduk di atas 
peti. 

"Tempat pertemuan kita ini memang enak,” 
puji George. ”Hangat dan menyenangkan. Lagi 
pula dekat ke rumah.” 

“Betul! Kau dan Janet memang betul-betul 
membuatnya nyaman,” kata Barbara. ”Jendela- 
nya pakai tirai, lagi!” 

Peter memandang anggota-anggota Sapta 
S aga yang duduk berkeliling. ”Mula-mula kita 
rapat dulu. Setelah itu hidangannya menyusul.” 

Lima pasang mata langsung menatap rak 
kecil yang terdapat di belakang Colin. Di atas 
rak itu diatur tujuh buah gelas, sebuah piring 
berisi kue-kue, dan sebuah botol. Isinya cairan 
berwarna kehitam-hitaman. Minuman apa itu? 
Tapi dengan segera mata mereka terarah pada 
Peter lagi, yang mendeham kecil. 

"Pertama-tama, kita harus memilih kata sandi 
baru.” katanya menyambung pidato yang ter- 
putus tadi. ”Untuk masa sesudah Natal, 
Baltasar tak cocok lagi. Selain itu, tadi Colin 
meneriakkannya begitu keras. Barangkali seka- 
rang semua orang sudah mengetahuinya.” 

"Ah. kau ini! Jangan suka...” Colin tak mau 
menerima dampratan itu. Tapi Peter mengerut- 
kan dahi. 

"Jangan memotong. Aku ketua perkumpulan 
ini. Kukatakan, kita harus memilih kata sandi 
baru. Juga kulihat, dua orang dari kalian tidak 
memakai lencana. George dan Colin!” 

”Aku sudah bilang tadi, aku lupa,” ujar 
George membela diri. ”Nanti kalau pulang ke 
rumah, pasti ketemu.” 

”Kalau lencanaku—kurasa punyaku sudah 
hilang ,” kata Colin. ”Aku tidak lupa. Aku 
sudah mencarinya di mana-mana. Ibuku bilang, 
dia akan membuatkannya lagi nanti.” 

"Baiklah kalau begitu,” ujar Peter. "Sekarang 
mengenai kata sandi yang baru. Ada usul?” 

"Dangdut,” kata Pam sambil tertawa ce- 
kikikan. 

"Yang betul dong,” tukas Peter. ”Per- 
kumpulan kita ini serius, bukan main-main.” 

"Tadi malam aku sudah memikirkan sesuatu 
yang baru,” kata Jack. "Bagaimana jika kita 
pilih kata ’Pekan’?” 

"Maksudnya apa?” tanya Peter. 

”Kan seminggu atau sepekan itu terdiri atas 
tujuh hari. Dan kita merupakan perkumpulan 
tujuh orang,” balas Jack. ”Menurut pendapatku, 
kata sandi itu cocok.” 

”Oh ya. Boleh juga,” kata Peter. "Sekarang 
kita adakan pemungutan suara. Yang setuju, 
angkat tangan.” 

Tujuh tangan terangkat ke atas. Ya, ternyata 
"Pekan” adalah kata sandi yang cocok untuk 
Sapta Siaga mereka. Jack kelihan puas. 

"Sebetulnya tadi aku tak ingat pada kata 
sandi kita,” ujarnya berterus terang. ”Aku men- 
dapatkannya dari Colin. Karena itu aku senang 
juga bahwa aku yang menciptakan kata sandi 
yang baru.” 

”Tapi lain kali tak boleh seorang pun yang 
lupa lagi,” kata Peter. ”Suatu waktu nanti 
mungkin sangat penting artinya. Sekarang 
bagaimana kalau kita berpindah ke acara hi- 
dangan?” 

”Nikzaat!” seru Barbara. Yang lain-lain ter- 
tawa mendengarnya. 

”Maksudmu nikmat atau lezat?” tanya Janet. 

”Tentu saja kedua-duanya,” balas Barbara. 
”Apa cairan yang kelihatannya aneh dalam 
botol itu, Janet?” 

Dilihatnya Janet sedang asyik mengguncang- 
guncang botol berisi cairan tersebut. Cairannya 
berwarna ungu tua. Di dalamnya tampak 
benda-benda kecil hitam turun-naik karena gun- 
cangan. 

”Mom tadi mengatakan bahwa limun sudah 
habis. Aku dan Peter juga tidak begitu kepingin 
minum susu lagi, karena sewaktu sarapan su- 
dah banyak,” kata Janet. ”Tiba-tiba kuingat, 
kami masih punya satu stoples selai kismis. 
Inilah hasilnya—sirop kismis!” 

”Kami mencampurnya dengan air mendidih, 
ditambah gula,” ujar Peter menerangkan. 
”Rasanya enak. Bisa juga dibilang lemaat!” 

”Hahaha! Lemat —itu juga gabungan dari 
kata lezat dan nikmat!” Barbara tertawa ce- 
kikikan. ”Nikzat dan lemat. Dua kata yang 
cocok sekali untuk melukiskan segala-gala- 
nya. 

Ternyata sirop kismis buatan Peter dan Janet 
enak rasanya, dan cocok dengan kue-kue yang 
dihidangkan. ”Rasanya juga cocok untuk obat 
pilek,” ujar Janet mengomentari dengan mulut 
yang sibuk mengunyah-ngunyah kismis. ”Jadi 
kalau yang pilek tidak jadi pilek.” 

Tampaknya mereka semua memahami per- 
nyataan aneh itu, karena semuanya mengang- 
gukkan kepala. Ketujuh anak itu meletakkan 
gelas, lalu mengecapkan bibir mereka. 

”Sayang, sudah habis,” kata Janet menyesal. 
’Tapi selainya juga memang tinggal sedikit. 
Kalau tidak, pasti kami buatkan lebih banyak.” 

"Sekarang masih ada beberapa hal lagi yang 
harus dibicarakan,” kata Peter sambil memberi- 
kan beberapa remah kue pada Skippy. ”Tak 
ada gunanya kita mempunyai perkumpulan, 
jika tidak ada rencana yang bisa diikuti. Kita 
harus mempunyai kesibukan.” 

”Oh ya, seperti musim panas lalu,” sambut 
Pam. ”Kau tentu masih ingat, ketika kita me- 
ngumpulkan uang untuk membiayai Pak 
Timpang berobat sambil bertamasya ke laut.” 

”Betul. Nah, ada yang punya saran tertentu?” 
tanya Peter. 

Tapi tak ada seorang pun yang mengajukan 
usul. 

”Rasanya waktunya tidak tepat jika meno- 
long orang sesudah Natal,” kata Pam mengaju- 
kan pendapat. ”Maksudku, setiap orang baru 
saja menerima hadiah dan mendapat perhatian. 
Sampai-sampai penduduk desa yang paling tua 
dan miskin, tak seorang pun yang terlewat.” 

”Tidak bisakah kita berusaha memecahkan 
rahasia atau semacam itu?” tanya George. ”Jika 
tidak ada masalah yang perlu dibereskan, 
barangkali saja kita berhasil menemukan ra- 
hasia yang harus dipecahkan.” 

"Rahasia seperti apa maksudmu?” tanya 
Barbara. Ia kurang mengerti. 

”Aku pun tak tahu,” kata George. ”Kita 
harus siap menantikannya. Kita perhatikan sam- 
pai teijadi sesuatu yang aneh. Lalu kita bong- 
kar rahasianya.” 

"Kedengarannya asyik juga,” ujar Colin. 
”Cuma kurasa, kita takkan menemukan se- 
suatu yang mengandung rahasia. Dan kalau 
kita sampai menemukannya, pasti sudah didului 
polisi.” 

"Pokoknya, kita harus siap siaga menunggu 
dengan mata awas,” kata Peter. "Jika seseorang 
di antara kalian mendengar suatu perbuatan 
baik yang dapat kita lakukan, atau rahasia 
yang harus dipecahkan, maka dengan segera 
harus memberitahu Sapta, Siaga. Dan kita 
langsung mengadakan rapat. Semuanya me- 
ngerti?” 

Semua mengangguk. ”Dan jika ada yang 
perlu dilaporkan, kami boleh datang ke gudang 
pertemuan Sapta Siaga ini untuk meninggalkan 
surat, bukan?” tanya George. 

"Sebaiknya memang begitu,” kata Peter me- 
nyetujui. ”Aku dan Janet akan datang kemari 
setiap pagi. Kami akan melihat apakah ada di 
antara kalian yang meninggalkan surat. Mudah- 
mudahan saja hal itu terjadi!” 

"Begitu juga harapanku. Rasanya kurang 
puas, punya perkumpulan rahasia yang tidak 
aktif,” ujar Colin. "Mataku akan kubuka lebar- 
lebar. Siapa tahu, barangkali saja teijadi se- 
suatu.” 

"Sekarang, kita membuat boneka salju di 
lapangan seberang rumah tua, di dekat sungai,” 
kata George. Ia segera berdiri. ”Di sana salju- 
nya tebal. Pasti menyenangkan. Kita bisa mem- 
buat sepasukan boneka salju. Nantinya pasti 
lucu.” 

”Oh ya. Ayo,” kata Janet. Ia sudah bosan 
duduk diam-diam saja. "Kubawa topi tua ini. 
Nanti kupasangkan ke kepala boneka salju. 
Lagi pula topi ini sudah bertahun-tahun ter- 
geletak saja di sini.” 

”Dan aku membawa mantel ini!” ujar Peter. 

Ditariknya sebuah mantel yang kotor dan robek 
dari paku tempatnya digantungkan. ”Entah pu- 
nya siapa ini dulunya.” 

Mereka bertujuh berjalan beriringan, menuju 
ke arah sungai. 


Orang Tua yang Pemarah 

Tentu saja mereka tak sampai membuat se- 
pasukan boneka salju. Waktu yang ada hanya 
cukup untuk menyelesaikan empat buah saja. 
Salju yang terhampar di lapangan itu lembut 
dan tebal. Karena itu mereka mudah meng- 
gelindingkannya hingga menjadi bola-bola 
besar yang kemudian menjadi boneka salju. 
Skippy sibuk membantu. 

Janet memasangkan topi usang di atas kepala 
salah satu boneka salju, sedangkan Peter meng- 
gantungkan mantel tua ke bahu yang dingin. 
Tentu saja dingin, karena bukankah dari salju! 
Mereka memungut beberapa batu untuk dijadi- 
kan mata dan hidung. Sedangkan sepotong 
kayu dipasang melintang, membentuk mulut 
yang tertawa lebar. Kemudian mereka mengam- 
bil ranting kayu dan menyelipkannya ke badan 
boneka itu. Kelihatannya seperti seorang tuan 
yang sedang berdiri sambil mengepit tongkat. 
Boneka mereka tampak paling bagus! 

”Kurasa sekarang sudah waktunya pulang,” 
kata Colin ”Di rumah aku makan siang puku 
setengah satu. Sial!” 

”Kita pulang saja semua,” sambung Pam. 
”Kita masih harus membersihkan badan, ber- 
ganti pakaian, dan mengeringkan sarung ta- 
ngan. Punyaku sudah basah kuyup. Aduh, 
tanganku kedinginan!” 

"Tanganku rasanya juga beku. Nanti pasti 
akan sakit kalau sudah mulai hangat kembali,” 
ujar Barbara. Tangannya yang basah dikibas- 
kibaskannya. ”Nah, sekarang sudah mulai 
terasa nyeri.” 

Mereka pergi meninggalkan keempat boneka 
salju yang tegak berbaris di lapangan. Mereka 
memilih jalan ke luar melewati pintu pagar 
yang dekat tempat mereka bermain tadi. Di 
seberang jalan terdapat sebuah rumah tua. Ru- 
mah itu kosong, kecuali sebuah kamar di lantai 
bawah. Tampak tirai yang sudah kotor ter- 
antung menutupi jendela. 

“Siapa yang tinggal di situ ya?” tanya Pam 
ingin tahu. 

“Ah, cuma seorang penjaga,” jawab Janet. 
Orangnya sudah sangat tua. Pendengarannya 
sudah tak sempurna lagi. Tapi pemarahnya 
bukan main!” 

Mereka bertujuh berdiri menyandarkan tubuh 
ke pagar, sambil memperhatikan rumah tua 
m. 

“Besar juga rumah ini,” kata Colin. ”Aku 
ingin tahu siapa pemiliknya. Kenapa rumah 
ini tidak mereka diami?” 

“Coba lihat itu. Halus sekali salju yang 
terhampar di jalan menuju rumah itu,” kata 
Janet yang sudah memperhatikan agak lama. 
"Belum ada kaki orang yang menginjaknya. 
Pak Penjaga juga belum. Barangkali dia keluar- 
masuk rumah lewat jalan belakang. Hei, Skip! 
Anjing bandel. Ayo kembali!” 

Ternyata, sewaktu mereka sedang asyik 
memperhatikan rumah, Skippy menerobos 
masuk lewat lubang di bawah pagar. Tanpa 
memedulikan panggilan Janet, anjing itu 
meloncat-loncat di atas permadani salju yang 
putih bersih. Jejak kakinya kelihatan jelas. 
Skippy menggonggong dengan riang. 

Tirai penutup jendela kamar bawah kelihatan 
bergerak. Wajah orang tua yang penuh kerut 
muncul di situ. Kelihatannya ia sangat marah. 
Dengan gerakan cepat, daun jendela dibanting- 
nya hingga terbuka. 

”Ayo, kalian pergi dari sini! Bawa anjing 
itu pergi! Aku tak suka ada anak atau anjing 
ribut-ribut di sini. Anak-anak kurang ajar!” 

Skippy tidak peduli. Dengan berani ia me- 
nyalak seolah-olah menantang penjaga tua itu. 
Pak Penjaga menghilang dari jendela. Tapi 
segera sesudah itu pintu samping rumah di- 
buka dari dalam. Pak Penjaga muncul mem- 
bawa tongkat besar. Tongkat itu diacung- 
acungkannya, anak-anak diancamnya hingga 
ketakutan. 

”Kupukul anjing kalian, biar babak belur!” 
teriak orang itu dengan marah. 

”Skip. Skippy. Kemari, Skip!” seru Peter 
cemas. Tapi Skippy seakan-akan ikut menjadi 
tuli. Ia terus menggonggong. Pak Penjaga men- 
dekat dengan wajah galak, sambil mengangkat 
tongkatnya untuk memukul anjing spaniel yang 
masih ribut di depannya. 

Peter mendorong pintu pagar hingga terbuka. 
Ia lari bergegas untuk mengambil Skippy. Ia 
khawatir anjingnya itu benar-benar akan di- 
pukul. 

”Kuambil dia sekarang. Jangan pukul, dia 
kuambil!” teriaknya pada Pak Penjaga. 

”Apa katamu?” kata si pemarah. Tongkat 
yang sudah terangkat diturunkannya lagi. 
"Kenapa tadi anjingmu kausuruh masuk ke- 
mari?” 

”Bukan aku yang menyuruh. Dia sendiri 
yang masuk!” jawab Peter, sambil menyelipkan 
jari untuk memegang ikat leher Skippy. 

”Buka mulut kalau bicara. Aku tak men- 
dengar kata-katamu!” kata Pak Penjaga se- 
tengah berteriak. Ia bertingkah seakan-akan 
Peter yang tuli, dan bukan dia sendiri. Peter 
ikut-ikutan menjerit. 

”AKU TIDAK MENYURUH ANJINGKU MASUK!” 

”Ya, ya, sudah. Jangan berteriak-teriak!” ge- 
rutu Pak Penjaga. "Jangan berani lancang 
masuk kemari lagi. Awas! Lain kali kupanggil 
polisi.” 

Penjaga tua itu menghilang kembali, masuk 
ke rumah. Peter menggiring Skippy sampai ke 
luar pekarangan. 

”Ih! Pemarahnya bukan main,” omelnya di 
depan teman-temannya. "Kalau tadi dia sampai 
memukul, Skippy bisa cedera berat!” 

Janet menutup pintu pagar. ”Karena kalian, 
salju halus di pekarangan menjadi morat-marit,” 
ujarnya menyesali Peter dan Skippy. ”Ya 
ampun, dengar itu! Jam gereja berbunyi. Pukul 
satu kurang seperempat. Kita harus cepat-cepat 
pulang!” 

”Kami akan memberi kabar, kapan diadakan 
rapat berikut!” seru Peter ketika mereka ber- 
pisah di pojok jalan. ”Dan jangan lupa! Pakai 
lencana kita, dan hafalkan kata sandi!” 

Mereka semua pulang ke rumah. Jack yang 
paling dulu tiba, karena rumahnya tidak begitu 
jauh. Dengan terburu-buru ia masuk ke kamar 
mandi untuk mencuci tangan. Kemudian disisir- 
nya rambut sampai rapi. 

"Sebaiknya kusimpan saja lencanaku,” kata- 
nya dalam hati. Tangannya meraba-raba untuk 
melepaskan lencana yang disematkan. Eh, di 
mana lencana itu? Kenapa tidak ada di tempat- 
nya? Jack mengerutkan dahi, lalu masuk kem- 
bali ke kamar mandi. Mestinya teijatuh ketika 
ia membasuh tangan. 

Tapi lencana itu tak dapat ditemukannya di 
mana-mana. Kalau begitu, mestinya terjatuh di 
lapangan, sewaktu ia sibuk membuat boneka 
salju bersama teman-temannya. Wah, repot! 
Sialan! 

Mom sedang bepergian, jadi dia tak mungkin 
bisa membuatkan yang baru, pikir Jack. Se- 
dangkan Miss Ely pasti tidak mau. 

Miss Ely adalah wanita setengah baya yang 
bekerja di tempat mereka sebagai pengasuh 
Susie, adik perempuan Jack. Miss Ely senang 
pada Susie. Tapi kalau Jack selalu dikatakannya 
pengotor, berisik, dan tak tahu aturan. Padahal 
sebenarnya Jack tidak begitu. Tapi entah 
kenapa, tingkah lakunya selalu tak baik di 
mata Miss Ely. 

”Akan kutanyakan padanya, apakah dia mau 
membuatkan lencana untukku,” kata Jack 
mengambil keputusan. "Bagaimanapun, selama 
dua hari belakangan ini aku selalu patuh pada- 
nya. 

Mungkin Miss Ely saat itu akan mau mem- 
buatkan, jika Jack meminta padanya. Tapi dasar 
sedang sial, saat makan siang teijadi sesuatu 
ang kurang enak. 

"Aku tahu, kau ke mana saja sepanjang pagi 
mi.” ujar Susie saat mereka bertiga duduk di 
meja makan. Susie memang senang menggoda 
kakaknya. ”Hahaha! Kau berkumpul dengan 
Serikat Sapta Siaga sintingmu itu. Kaukira 
aku tidak mengetahuinya. Huh! Aku tahu, 
Jack!” 

Jack melotot. "Tutup mulutmu! Kau mesti- 
nya tahu, tak boleh membicarakan rahasia 
orang lain di depan umum. Kunci rapat-rapat 
mulut jahatmu yang cerewet itu!” 

"Jack, jangan bicara seperti itu!” tukas Miss 
Ely segera. 

”Apa kata sandi kalian sekarang?!’ sambung 
Susie. Ia menggoda terus. ”Aku tahu katai 
sandi kalian yang terakhir. Kau menulisnya 
dalam buku catatan, supaya jangan sampai 
lupa. Dan aku membacanya! Kata itu adalah...” 

Jack menendangkan kakinya keras-keras di 
bawah meja. Maksudnya hendak mengenai tu- 
lang kering Susie. Tapi malang baginya, kaki 
Miss Ely terlalu panjang. Sepatu Jack tepat 
menendang mata kaki Miss Ely. 

Wanita itu menjerit kesakitan. ”Aduh! 
Kenapa kakiku kautendang? Tak tahu aturan 
kau ini, Jack! Ayo, tinggalkan meja. Kau tak 
usah makan. Aku tak mau bicara lagi dengan- 
mu sepanjang hari, kalau kau sekurang ajar 
itu!” 

"Maaf, Miss Ely,” gumam Jack. Mukanya 
merah karena malu. ”Aku tadi tidak bermaksud 
mfenendang kakwzw.” 

”Yang menjadi persoalan bukan orangnya, 
tapi tendanganmu,” tukas Miss Ely dengan 
marah. ”Aku tak peduli apakah kau bermaksud 
menendang Susie, dan bukan kakiku. Ayo 
keluar!” 

Jack terpaksa keluar. Ia tak berani mem- 
banting pintu. Padahal ia kepingin sekali, untuk 
memuaskan rasa jengkelnya. Tapi ia tidak ma- 
rah lagi pada Susie, karena masih sempat 
melihat wajah adik perempuannya itu ketika 
pergi ke luar ruang makan. Susie kelihatan 
kaget dan agak cemas. Ia memang hendak 
mengganggu kakaknya itu, tapi sama sekali 
tak bermaksud menyebabkan Jack tak boleh 
makan siang. 

Jack menaiki tangga rumah menuju lantai 
atas. Kakinya ditendang-tendangkan pada tiap 
anak tangga yang dilewatinya. Sayang ia sudah 
harus pergi sebelum kue tar lapis selai keluar 
dari dapur. Sebenarnya Jack sangat menyukai 
hidangan itu. Sialan Miss Ely! Sekarang pasti 
dia takkan mau membuatkan sebuah lencana 
baru. Dan mungkin sekali Jack akan dikeluar- 
kan dari Sapta Siaga, karena menghilangkan 
lencana yang lama. Bukankah Peter sudah 
mengancam akan mengeluarkan anggota yang 
datang tanpa lencana! 

”Rasanya aku ingat, ada sesuatu yang ter- 
jatuh ketika aku sedang sibuk membuat boneka 
salju terakhir,” pikir Jack. "Sebaiknya kucari 
saja ke sana sore ini. Aku harus mencari 
sebelum salju turun lagi, karena kalau tidak, 
pasti tak mungkin kutemukan.” 

Tapi Miss Ely memergokinya, ketika Jack 
hendak menyelinap keluar. Miss Ely menahan- 
nya. ”Tidak, Jack. Hari ini kau harus tinggal 
di rumah. Kau harus dihukum karena tingkah- 
mu yang aneh sewaktu makan tadi,” kata 
wanita itu dengan sikap keras. ”Hari ini kau 
tak boleh lagi bermain keluar.” 

”Tapi aku harus mencari barangku yang 
hilang, Miss Ely,” ujar Jack. Sambil menjawab, 
ia beringsut mendekati pintu. 

”Kau tak mendengar apa yang kukatakan 
tadi?” kata Miss Ely dengan suara yang ter- 
dengar agak bertambah keras. Jack yang ma- 
lang! Ia beringsut masuk kembali. 

Baiklah! Kalau begitu ia terpaksa menyelinap 
ke luar nanti malam, dan mencari dengan 
pertolongan lampu senter. Pokoknya, Miss Ely 
tak bisa menghalangi niatnya yang sudah bulat. 
Lencananya harus ditemukan kembali. 


Pengalaman Jack yang Aneh 

Jack menepati janji pada dirinya sendiri. Ia 
masuk ke kamar tidur pada waktu seperti 
biasa, sesudah mengucapkan selamat tidur de- 
ngan sopan pada Miss Ely. Tapi sesampainya 
di kamar, ia sama sekali tidak berganti pakaian. 
Malahan dikenakannya mantel dan topi! Ia 
berpikir-pikir sambil menajamkan telinga. Apa- 
kah ia sudah bisa ke bawah lagi, lalu pergi ke 
luar? 

”Ah, lebih baik tunggu dulu. Barangkali 
saja Miss Ely cepat masuk ke kamar tidur,” 
pikirnya. ”Kadang-kadang dia berbaring di tem- 
pat tidur sambil membaca. Aku tak mau ke- 
tahuan olehnya. Pasti Miss Ely akan mengadu- 
kannya jika Mom pulang.” 

Jack mengambil buku, lalu duduk sambil 
membaca. Miss Ely menunggu warta berita 
pukul sembilan di radio. Sesudah itu Miss Ely 
mematikan radio, mengunci pintu-pintu dan 
jendela, lalu naik ke lantai atas. Jack 
mendengar bunyi pintu kamar Miss Ely di- 
tutup. 

Beres! Sekarang ia bisa pergi. Jack menye- 
lipkan lampu senter ke dalam saku mantelnya, 
karena di luar malam gelap gulita. Bulan belum 
muncul. 

Ia merayap, menuruni tangga. Sambil ber- 
jingkat, ia berjalan sampai ke pintu yang me- 
nuju kebun. Gerendel dibukanya dengan hati- 
hati. Ia terkesiap, ketika gerendel menimbulkan 
bunyi berderit. Tapi hanya sebentar saja ia 
kaget. Setelah itu Jack masuk ke kebun. Kaki- 
nya terbenam dalam permadani salju yang 
empuk. 

Jack terus berjalan. Melewati jalan di depan 
rumah, menuju ke lapangan tempat mereka 
bermain tadi pagi. Ia berjalan sambil meng- 
gerak-gerakkan senternya ke sana kemari. Salju 
putih memantulkan cahaya samar. Dengan 
segera Jack sampai ke lapangan tempat ia 
bersama keenam temannya membuat boneka- 
boneka salju tadi pagi. Jack memanjat pintu 
pagar, dan masuk ke lapangan. 

Keempat boneka salju masih berdiri sejajar. 
Keempat-empatnya tegak membisu, seperti se- 
dang memperhatikan. Jack merasa agak ngeri. 
Sesaat ia mendapat kesan, seakan-akan salah 
satu dari boneka itu bergerak. Napasnya ter- 
sentak karena kaget. Ah, mana mungkin ada 
boneka yang bisa bergerak. Cuma khayalannya 
saja yang tidak menentu! 

"Hei, jangan tolol!” katanya memarahi diri 
sendiri. ”Boneka itu kan terbuat dari salju! 
Pakai otakmu, dan cari lencanamu yang 
hilang!” 

Jack menyalakan lampu senternya. Sekarang 
ooneka-boneka salju kelihatan semakin putih. 
Boneka yang diberi topi dan mantel, tegak 
seperti penuh perhatian. Jack memutar tubuh- 
nya, dan meneruskan pencarian sambil mem- 
belakangi boneka. 

"Biarpun matamu cuma dari batu, sepertinya 
kau bisa melihat,” gumamnya pada boneka 
yang bisu itu. ”Jangan menyentuh bahuku, ya. 
Nanti aku bisa kaget!” 

Tapi tiba-tiba ia berteriak. Jack menemukan 
lencananya yang hilang! Lencana itu terletak 
di salju. Lencana yang dihiasi dengan sulaman 
huruf-huruf S.S.—Sapta Siaga! Hore! Rupanya 
lencana itu memang benar-benar terjatuh di 
situ. 

Jack memungut lencana yang basah kena 
salju. Dengan hati-hati disematkannya kembali 
ke mantel. Untung dia berhasil menemukannya 
kembali dengan mudah. Sekarang ia bisa pu- 
lang, lalu segera tidur. Badannya kedinginan. 
Matanya juga sudah mengantuk. 

Namun tiba-tiba lampu senternya padam. 

"Sialan!” umpat Jack. "Baterainya habis. 
Mengapa matinya tidak di rumah saja nanti? 
Dasar sial! Untung aku mengenal jalan ini.” 

Tiba-tiba ia mendengar bunyi mendekat dari 
arah jalan. Ia melihat cahaya lampu mobil 
yang berjalan perlahan. Jack mefasa heran. 
Bukankah jalan ini buntu? Barangkali mobil 
itu salah jalan. Sebaiknya ia memberi bantuan, 
menunjukkan arah yang benar pada pengen- 
daranya. Orang-orang memang sering tersasar 
bila jalan-jalan penuh salju. 

Jack pergi ke pintu pagar. Mobil datang 
semakin dekat. Kemudian Jack melihat mobil 
mi ada gandengannya. Kelihatannya besar juga. 
Gandengan apakah yang ditarik dengan hati- 
hati itu? 

Jack memicingkan mata. Ditajamkannya 
penglihatannya. Gandengan itu bukan mobil 
yon pengangkut barang-barang pindahan, ka- 
rena terlalu kecil. Karavan juga bukan, karena 
tak ada jendela lebar di sisinya. Adakah jendela 
pada gandengan itu? Jack tak melihat sebuah 
pun. Nah, kalau begitu, gandengan itu untuk 
apa? 

Dan ke mana tujuannya? Pengemudinya pasti 
Tersasar. Jack sudah melangkahkan sebelah 
kakinya melewati pintu pagar, tapi tiba-tiba ia 
tertegun. 

Lampu sen mobil itu dipadamkan. Mobil 
berhenti. Jack masih bisa mengenali bentuk 
mobil beserta gandengannya, kelihatan samar 
dalam gelap. Ada apa lagi ini? 

Ia mendengar dua orang sedang berbicara 
lengan suara pelan. Dilihatnya satu atau dua 
orang keluar dari mobil. Tapi ia tak bisa 
mendengar langkah kaki mereka, karena salju 
embut menghambat semua bunyi. 

Jack sangat mengharapkan bulan muncul. 
Kalau ada sinar bulan yang menerangi, ia bisa 
bersembunyi di balik pagar tanaman. Jadi ia 
bisa mengintip, memperhatikan hal-hal yang 
terjadi di jalan. Ia mendengar suara seseorang 
yang berbicara, sekarang agak keras. 

"Tidak ada seorang pun di sini?” 

"Cuma si tua tuli itu saja,” jawab suara 
lain. 

"Coba kaulihat sebentar,” ujar suara pertama. 
"Untuk berjaga-jaga.” 

Begitu melihat sinar senter yang terang me- 
nyambar ke arahnya, dengan cepat Jack me- 
rosot turun dari pintu pagar. Ia mengendap di 
balik semak pagar yang diselimuti salju. Ter- 
dengar bunyi salju beku berderik-derik pelan 
di seberang semak, terinjak kaki yang berjalan 
mendekat. Sinar senter menerangi bidang salju 
di lapangan. Pemegangnya berteriak kaget. 

"Siapa itu? Siapa kalian?” 

Jack merasa jantungnya berdebar keras. 
Akibatnya ia jadi sesak napas. Ia hampir bang- 
kit untuk menampakkan diri, ketika terdengar 
suara orang tertawa di dekat pagar. 

"Ya ampun! Hei, Nibs, kemarilah! Coba 
lihat itu—sepasukan boneka salju, tadi kukira 
benar-benar manusia yang sedang memperhati- 
kan kita. Aku benar-benar takut!” 

Yang dipanggil datang mendekat. Ia juga 
tertawa. "Pasti itu buatan anak-anak tadi siang,” 
ujarnya. "Ya, kelihatannya benar-benar seperti 
manusia, apalagi di malam gelap begini. Ah, 
takkan ada orang yang masih di luar pada 
saat selarut ini, Mac. Ayo—kita selesaikan 
saja urusan kita!” 

Keduanya berjalan kembali menuju mobil. 
Jack terduduk. Badannya gemetar. Untuk apa 
kedua orang itu datang kemari? Mau apa me- 
reka dalam gelap, di luar sebuah mobil ko- 
song? Apakah sebaiknya ia mengintip untuk 
memperhatikan tindak-tanduk mereka selanjut- 
nya? Ia sama sekali tak ingin melakukannya. 
Ia ingin pulang selekas mungkin! 

Jack merayap kembali, mendekati pintu pa- 
gar. Ia mendengar bunyi-bunyi aneh dari arah 
kedua orang itu. Seperti bunyi gerendel yang 
ditarik membuka. Mungkin gerendel mobil 
gandeng! 

Tiba-tiba terdengar bunyi yang menyebabkan 
Jack cepat-cepat melompati pintu pagar dan 
lari tunggang-langgang. Ia mendengar bunyi 
dengusan marah yang disusul pekik melengking 
tinggi. Sesudah itu keributan pergumulan, di- 
selingi napas terengah-engah yang datang dari 
kedua orang yang dilihatnya tadi. 

Jack tak bisa menerka, bunyi apa yang me- 
nyebabkan ia terkejut tadi. Ia tak peduli, ia 
hanya ingin sampai di rumah selekas mungkin, 
sebelum teijadi sesuatu pada diri nya. Pasti 
ada sesuatu yang terjadi pada kedua orang itu. 
Itu sudah pasti! Seseorang mengalami bencana 
di jalan bersalju. Yang menolongnya harus 
orang yang sangat berani. Padahal malam itu 
Jack jauh dari berani. 

Jack sampai di rumah. Napasnya terengah- 
engah karena lelah berlari. Ia menyelinap lewat 
pintu kebun. Begitu masuk ke dalam rumah, 
dengan cepat ia menutup pintu dan mengunci- 
nya. Ia berjalan naik tangga. Tak dipedulikan- 
nya lagi anak tangga yang berderik-derik di- 
pijak olehnya. Sesampainya di kamar tidur, 
dengan segera dinyalakannya lampu. Ah—seka- 
rang lumayan rasanya. Ia jadi tidak begitu 
takut lagi, karena sudah ada cahaya yang me- 
nerangi. 

Dipandangnya bayangan dirinya dalam cer- 
min. Wajahnya pucat pasi. Mantelnya penuh 
salju, karena tadi ia berbaring di parit di 
bawah pagar semak. Diliriknya lencana yang 
masih tersemat pada mantel. Setidak-tidaknya 
lencananya berhasil ditemukan! 

”Aku tadi pergi untuk mencari lencana. 
Entah apa yang kujumpai selain lencana ini 
tadi,” p kir Jack. ”Wah, ini harus kuceritakan 
pada teman-teman. Besok kami harus rapat. 
Ini petualangan yang cocok untuk Sapta Siaga. 
Benar—pasti mereka akan gembira!” 

Tak sabar lagi Jack menunggu hari esok. 
Saat itu juga ia akan menyelinap keluar lagi. 
Ia harus pergi ke gudang tua untuk meninggal- 
kan surat yang meminta supaya diadakan rapat 
dengan segera! 

"Ini penting, penting, penting sekali!” kata- 
nya pada diri sendiri, saat sibuk menuliskan 
pesannya pada secarik kertas. ”Ini merupakan 
rahasia yang harus dipecahkan Sapta Siaga!” 

Ia beijingkat lagi menuruni tangga, dan me- 
nyelinap lewat pintu kebun. Ia sudah tak takut 
lagi. Ia berlari sepanjang jalan, sampai ke 
rumah Peter. Rumah itu gelap dan sunyi. Rupa- 
nya semua sudah tidur. Memang para petani 
tidak biasa tidur larut malam. 

Jack pergi ke gudang tua. Ia berusaha untuk 
membuka pintu, tetapi ternyata terkunci. Ka- 
rena itu diselipkannya surat ke celah di bawah 
pintu. Peter pasti akan menemukannya besok 
pagi. 

Sesudah itu Jack kembali ke rumah. Kali 
ini ia sungguh-sungguh berniat hendak tidur. 
Tapi matanya tetap tak bisa terpejam. Siapakah 
yang menimbulkan keributan aneh tadi? Apa- 
kah sebenarnya mobil gandeng yang berbentuk 
aneh itu? Siapakah orang-orang yang dilihat- 
nya? Memang, semuanya cukup untuk mem- 
buat orang tidak bisa tidur. 


Rencana Penyelidikan yang Hebat 

Keesokan harinya Janet pergi seorang diri ke 
gudang. Peter sedang sibuk menyikat Skippy. 
Anjing itu selalu disikatnya dengan rajin setiap 
pagi. Karena itu tidak mengherankan jika bulu 
Skippy sangat mengilat. 

”Buka saja pintu gudang supaya udara segar 
bisa masuk,” Peter menyuruh adiknya. ”Hari 
ini kita tidak akan memerlukannya, karena 
belum ada rapat.” 

Janet berlari-lari kecil ke gudang sambil 
bernyanyi. Diambilnya kunci dari tempat ter- 
sembunyi di bawah atap gudang, lalu dimasuk- 
kannya ke dalam lubang kunci. Pintu dibuka- 
nya. 

Gudang itu agak bau pengap, karena itu 
pintu dibiarkannya terbuka. Ia juga membuka 
jendela kecil gudang itu. Ketika ia berpaling, 
dilihatnya surat dari Jack terletak di lantai. 

Mula-mula Janet mengira surat itu cuma 
kertas bekas biasa. Karena itu ia memungutnya 
dan meremas-remasnya. Maksudnya hendak di- 
buang. Tetapi tiba-tiba matanya melihat tulisan 
di luar kertas yang terlipat. 

”PENTING. BENAR-BENAR SANGAT 
MENDESAK.” 

Janet heran melihatnya. Lipatan kertas di- 
buka, lalu dibaca isinya. Ia heran membaca isi 
surat itu, sehingga lupa menutup mulutnya 
kembali. Janet lari keluar sambil menjerit-jerit 
memanggil Peter. 

”Peter! PETER! Di mana kau? Cepat, ada 
sesuatu yang terjadi!” 

Ibunya mendengar Janet memanggil-manggil. 
Karena itu ia bertanya, ”Janet, ada apa? Apa 
yang terjadi?” 

”0h, tidak ada apa-apa, Mom,” jawab Janet. 
Tiba-tiba ia teringat bahwa itu rahasia. 

”Lalu, kenapa kau menjerit-jerit memanggil 
Peter?” tukas ibunya. ”Mom jadi kaget.” 

Janet lari seperti terbang ke tingkat atas. 
Peter masih sibuk menyikat Skippy. ”Peter! 
Kau tidak mendengar kalau kupanggil ya? 
Ada sesuatu yang terjadi!” 

”Ada apa?” ujar Peter heran. 

”Lihat ini! Kertas ini kutemukan di gudang,” 
kata Janet sambil menyerahkan surat dari Jack. 
”Di bagian luarnya dia menulis, ’Penting. v 
Benar-benar sangat mendesak’.” 

Peter, kita harus segera mengadakan rapat 
Sapta Siaga. Ada rahasia penting yang harus 
dipecahkan. Rahasianya kualami semalam kira- 
kira pukul setengah sepuluh. Kalau bisa, para 
anggota berkumpul pukul sepuluh pagi ini. 
Aku akan datang. 

Jack 

”Apa lagi maksudnya ini?” ujar Peter heran. 

”Jack mengalami sesuatu semalam? Kalau 
begitu mengapa dikatakannya rahasia? Pasti 
dia mengada-ada.” 

”Ah, tidak, aku yakin dia tidak mengada- 
ada!” seru Janet. Anak itu melompat-lompat 
karena tak dapat menahan perasaannya. ”Kau 
tahu sendiri, Jack tidak senang mengada-ada. 
Bagaimana, apakah sebaiknya aku meminta 
teman-teman untuk datang pukul sepuluh, kalau 
mereka bisa? Wah, Peter, ini mengasyikkan. 
Kita menemukan rahasia!” 

”Kita tunggu dulu untuk mengetahui apa 
rahasianya. Kau jangan suka ribut-ribut,” ujar 
Peter. Padahal ia sendiri juga sudah mulai 
tertarik. ”Aku akan memanggil Colin dan 
George—kau memberitahu anggota-anggota 
perempuan.” 

Janet cepat-cepat lari ke satu arah, se dan g kan 
Peter menuju ke arah yang lain. Wah, ini baru 
asyik. Mereka akan rapat—membicarakan hal 
penting. 

Setengah sepuluh pagi Peter dan Janet su- 
dah kembali. Semua sudah didatangi, dan 
semua berjanji akan datang. Para anggota 
sangat ingin tahu apa yang hendak dikatakan 
oleh Jack. 

”Jangan lupa lencana kalian,” ujar Janet 
kepada kedua teman perempuannya. ”Kalian 
takkan diperbolehkan masuk menghadiri rapat 
penting ini, kalau tidak memakai lencana dan 
menyebutkan kata sandi.” 

Semua cepat-cepat datang, karena ingin men- 
dengar berita rahasia. Tak seorang pun melupa- 
kan kata sandinya. 

”Pekan!” 

Pintu terbuka, lalu ditutup kembali dengan 
cepat. 

”Pekan,” dan sekali lagi pintu terbuka dan 
tertutup. Baik Colin maupun George mengena- 
kan lencana masing-masing. George berhasil 
menemukan lencananya yang hilang, sedangkan 
Colin dibuatkan yang baru oleh ibunya. 

Jack datang paling akhir. Itu membuat 
teman-temannya kesal, karena semuanya sudah 
tak sabar lagi. Mereka ingin mendengar apa 
yang hendak dikatakannya. Tapi Jack datang 
paling akhir. 

”Pekan,” bisiknya di depan pintu gudang. 
Pintu terbuka, dan Jack menyelinap masuk. 
Semua memandangnya dengan rasa ingin tahu. 

”Kami menerima suratmu, dan memanggil 
para anggota untuk menghadiri rapat,” kata 
Peter. ”Ada apa, Jack? Apa persoalannya benar- 
benar penting?” 

”Kalian dengar saja dulu,” jawab Jack. Ia 
duduk di atas sebuah peti kosong. ”Kejadian- 
nya tadi malam.” 

Jack mulai bercerita bahwa setibanya di 
rumah, ia baru sadar bahwa lencananya hilang, 
dan ia yakin lencananya tercecer sewaktu mem- 
buat boneka salju. Diceritakannya juga bahwa 
ia menyelinap ke luar rumah untuk mencari, 
serta hal-hal yang dilihat dan didengarnya di 
lapangan. 

”Wah, suaranya benar-benar menakutkan! 
Suara mendengus, disambung dengan pekik 
melengking!” katanya. ”Aku merinding dibuat- 
nya. Kenapa kedua orang itu datang ke sana 
larut malam? Bukankah jalan di situ buntu? 
Dan apakah yang ditarik oleh mobil mereka?” 

”Apakah bentuknya seperti kandang, atau 
mungkin juga mobil tertutup untuk mengangkut 
tahanan?” ujar Barbara dengan suara setengah 
berbisik. 

”Bukan, menurutku bukan kandang,” kata 
Jack. ”Aku sama sekali tidak melihat jendela. 
Bentuknya lebih mirip gerobak tertutup untuk 
mengangkut barang. Tetapi isinya pasti bukan 
barang. Sungguh, aku mendengar suara men- 
dengus dan menjerit. Apa pun yang diangkut 
dalam gandengan itu, pokoknya isinya beron- 
tak.” 

”Mungkinkah isinya manusia?” tanya Pam. 
Matanya terbuka lebar karena asyik dan te- 
gang. 

”Ah, tidak. Rasanya bukan. Tapi kemung- 
kinan bisa saja,” jawab Jack. ”Tapi manusia 


tidak mungkin mendengus seperti itu. Kecuali 
jika mulutnya tersumbat.” 

Ini kemungkinan baru dan hal itu agaknya 
mengecutkan hati mereka. Sesaat lamanya tak 
ada yang bicara. Akhirnya Jack membuka 
mulut. 

”Yang pasti, ini merupakan persoalan yang 
patut diselidiki oleh Sapta Siaga. Itu sudah 
pasti, karena semuanya serbarahasia.” 

”Bagaimana cara kita menyelidikinya?” tanya 
George. 

Semuanya sibuk berpikir. 

”Mungkin sebaiknya kita memeriksa dulu, 
barangkali saja kita bisa mendapatkan petunjuk 
dari jejak-jejak di salju,” ujar Peter. ”Kita 
periksa juga, apakah ada jejak ban mobil yang 
menuju ke rumah tua.” 

”Oh ya. Kita juga bisa menanyakan pada 
Pak Penjaga apakah dia mendengar sesuatu 
tadi malam,” usul Colin. 

”Wah, jangan aku yang disuruh,” kata Pam 
dengan segera. ”Aku takut menemuinya, apa- 
lagi bertanya-tanya.” 

”Tapi salah seorang dari kita harus me- 
lakukannya,” kata George. "Barangkali itu 
penting.” 

”Ya,” sambung Peter. "Sebaiknya kita me- 
nyusun kelompok untuk melakukan penye- 
lidikan ini. Pam, kau ikut George. Kalian 
berdua harus mencari keterangan siapa pemilik 
rumah tua itu.” 

”Bagaimana caranya?” tanya Pam. 

"Pakai otakmu!” bentak Peter. Aku tak bisa 
mengurus semuanya. Janet, kau bersama Barbara 
pergi ke jalan di depan rumah tua. Perhatikan 
keadaan salju di situ, dan carilah jejak roda 
mobil atau hal-hal lain yang terlihat.” 

”Beres!” kata Janet dengan segera. Dalam 
hati ia gembira, karena tidak disuruh menanyai 
Pak Penjaga tua. 

”Aku, Colin, dan Jack akan masuk peka- 
rangan. Kami akan menanyakan pada si pen- 
jaga di situ apakah dia mendengar sesuatu 
semalam,” kata Peter dengan suara tegas. Ia 
merasa penting karena dialah yang mengatur 
segala-galanya. 

”Dan Skippy? Apa yang harus dilakukan 
Skippy?” tanya Janet. 

”Skippy ikut kami” kata Peter. ”Dia harus 
ikut, untuk menjaga kalau-kalau si tua nanti 
marah. Kalau perlu, Skippy juga bisa marah!” 

”Betul! Bagus, kita bawa Skippy,” ujar Jack. 
Ia merasa lega, karena ditemani anjing. ”Nah, 
kita berangkat sekarang?” 

”Ayolah. Nanti siang kita berkumpul lagi di 
sini untuk memberi laporan,” kata Peter. ”Jack, 
kau benar-benar telah menemukan rahasia 
hebat. Sekarang Sapta Siaga bisa beraksi!” 


Penyelidikan Dimulai 

Ketujuh anggota Sapta Siaga berangkat serem- 
pak. Semua merasa penting. Skippy ikut de- 
ngan Peter, Colin, dan Jack. Ekor anjing itu 
diluruskan ke atas, seperti tiang bendera. 
Skippy juga merasa sangat penting. Ia diajak 
ikut menyelidiki rahasia bersama Sapta Siaga. 
Tidak mengherankan kalau anjing itu tak mau 
lagi memedulikan anjing-anjing lain yang ber- 
papasan dengannya. Skippy sudah menjadi 
sombong! 

Sesampainya di pojok jalan, Pam dan George 
berpisah dari kelima temannya. Kedua anak 
itu berpandang-pandangan dengan agak bi- 
ngung. 

”Bagaimana caranya mengetahui pemilik ru- 
mah tua itu?” tanya Pam. 

”Kita tanyakan ke kantor pos!” kata George. 
Ia merasa mendapat ide. ”Jika rumah itu di- 
miliki seseorang yang menempatkan penjaga 
di sana, pasti ada surat-surat yang datang.” 

”Idemu bagus juga!” kata Pam. Mereka ber- 
dua pergi ke kantor pos. Mereka beruntung! 
Seorang pegawai pos sedang mengambil surat- 
surat dari kotak pos yang ada di luar. George 
menyenggol Pam. 

”Ayo! Kita harus mulai. Kita tanyakan saja 
padanya!” 

Mereka berdua mendatangi petugas itu. 

”Permisi, Pak,” kata George dengan sopan. 
"Bolehkah kami bertanya, siapa yang tinggal 
di rumah tua yang terletak di tepi sungai? 
Maksud saya, di rumah yang kosong?” 

”Bagaimana mungkin ada orang yang tinggal 
di rumah kosong?” tukas Pak Pos. ”Jangan 
tanya yang bukan-bukan, menghabiskan waktu- 
ku saja! Kalian ini mau melucu ya?” 

”Kami bukan hendak melucu atau berbuat 
kurang ajar,” kata Pam terburu-buru. ”Maksud 
George, siapa pemilik rumah itu? Kami tahu 
di sana ada penjaga. Kami cuma ingin tahu 
siapa pemiliknya.

”Kenapa? Kalian mau membeli rumah itu?” 
kata Pak Pos. Ia tertawa sendiri mendengar 
leluconnya. Anak-anak ikut tertawa. Padahal 
dalam hati, mereka ingin petugas pos itu cepat- 
cepat menjawab pertanyaan. 

"Bagaimana aku bisa tahu siapa pemilik- 
nya?” katanya sambil memasukkan surat-surat 
terakhir ke dalam kantong surat. ”Aku tak 
pemah membawa surat-surat ke sana, kecuali 
untuk Dan. Dia itu penjaga di sana. Dia pun 
hanya menerima surat sebulan sekali. Barang- 
kali isinya gaji bulanannya. Sebaiknya kalian 
tanyakan saja ke kantor makelar di sana itu. 
Mereka juga menjual-belikan rumah. Mungkin 
mereka mengetahui siapa pemilik rumah itu.” 

”Terima kasih. Pak,” kata Pam dengan gem- 
bira. Kedua anak itu bergegas mendatangi kan- 
tor makelar. ”Kenapa tak sampai ke situ pikiran 
kita tadi?” kata Pam. ”Tapi, apa yang harus 
kita katakan di sana nanti, jika mereka me- 
nanyakan kenapa kita ingin tahu? Makelar 
rumah hanya dihubungi jika kita hendak men- 
jual atau membeli rumah.” 

Setibanya di kantor itu, mereka mengintip 
ke dalam. Seorang pemuda berumur enam 
belasan tampak sedang duduk menghadap meja 
sambil menulis alamat pada beberapa amplop 
surat. Ah, penampilannya sama sekali tidak 
menakutkan. Barangkali saja dia mengetahui— 
dan tidak akan menanyakan kenapa mereka 
ingin tahu nama si pemilik rumah. 

Mereka memberanikan diri masuk. Pemuda 
itu menengadah. 

”Mau apa kalian?” tanyanya. 

”Kami disuruh menanyakan, siapa pemilik 
rumah yang di pinggir sungai,” kata George. 
Ia mengharapkan pemuda itu mengira orang 
dewasalah yang menyuruh menanyakan. Pada- 
hal yang menyuruh cuma Peter. Tapi itu kan 
tak perlu dijelaskan. 

”Rasanya rumah itu tidak ditawarkan untuk 
dijual,” kata pemuda itu sambil membalik- 
balik halaman buku besar. ”Barangkali orangtua 
kalian yang ingin membelinya?” 

Kedua anak itu tidak memberikan jawaban, 
karena memang tak tahu apa yang harus di- 
katakan. Sementara itu si pemuda masih sibuk 
membalik-balik halaman buku. 

”Ah—ini dia!” katanya. ”Benar kataku tadi, 
rumah itu tidak ditawarkan. Sudah terjual be- 
berapa waktu yang lalu pada seseorang ber- 
nama J. Holikoff. Aku tak mengerti kenapa 
rumah itu tidak dihuni sendiri olehnya.” 

”Apakah Mr. Holikoff itu tinggal di sini 
juga?” tanya Pam. 

”Tidak. Alamatnya di Jalan' Heycom Nomor 
64 di Covelty,” kata pemuda itu sambil mem- 
bacakan alamat di buku keras-keras. ”Tentu 
saja, aku tak tahu apakah dia masih tinggal di 
sana atau tidak. Apakah orangtuamu ingin 
menghubunginya? Jika kalian mau, aku bisa 
memeriksa apakah alamatnya masih sama. Dia 
juga meninggalkan nomor telepon di sini.” 

”Oh, tidak, jangan,” kata George terburu- 
buru. ”Cukup itu saja, karena rumahnya— 
eh—tidak dijual. Terima kasih banyak.” 

Mereka keluar dari kantor itu dengan pe- 
rasaan puas. 

”J. Holikoff,” kata Pam pada George. "Nama- 
nya agak aneh ya? Kau masih ingat alamatnya?” 

”Ya,” kata George. Ia mengeluarkan buku 
catatannya lalu menulis: J. Holikoff. Jalan 
Heycom Nomor 64, Covelty. Sambil menulis 
ia berkata, ”Nah, tugas kita sudah beres! Aku 
ingin tahu bagaimana hasil teman-teman yang 
lain.” 

Usaha kelima teman mereka juga berjalan 
lancar. Janet dan Barbara sibuk memeriksa 
jejak di jalan yang menuju ke sungai. Mereka 
merasa seperti detektif sungguhan. 

"Lihat itu, mobil dengan gandengan di bela- 
kangnya masuk ke jalan ini dari arah 
Templeton. Jadi bukan dari desa,” kata Janet. 
”Ini, terlihat jelas jejaknya membelok. Roda- 
nya hampir terjeblos ke parit.” 

”Ya, betul,” kata Barbara sambil ikut mem- 
perhatikan. "Jejak roda gandengan lebih sempit 
daripada jejak roda mobilnya. Dan itu lihat! 
Di salju sana itu kelihatan jelas jejak roda 
gandengan. Tapi jejak roda mobil tidak jelas.” 

"Bagaimana, apakah tidak sebaiknya kita 
buat gambar jejak roda ini?” tanya Janet. 
"Barangkali saja ada gunanya. Dan kita juga 
bisa mengukur lebar rodanya.” 

"Kurasa tak ada gunanya,” ujar Barbara. Ia 
sudah tak sabar lagi ingin bergabung dengan 
teman-teman lain. Terutama ketiga anak laki- 
laki yang bertugas menanyai Pak Penjaga. 

"Pokoknya, jejak roda ini hendak kugambar,” 
kata Janet tegas. ”Aku ingin membawa sesuatu 
yang dapat kutunjukkan kepada teman-teman.” 

Dengan hati-hati Janet menggambar jejak 
roda. Jejak itu aneh, dengan garis-garis, ling- 
karan-lingkaran, serta tanda-tanda yang ber- 
bentuk huruf V. Tapi ketika ia selesai meng- 
gambar, hasilnya tidak begitu bagus. Kemudian 
ia berusaha mengukur lebar jejak roda dengan 
ukuran sebenarnya. Ia merasa puas, tetapi ia 
juga ingin hasil gambarnya lebih baik. Barbara 
tertawa ketika melihat gambarnya. 

”Ya ampun! Gambar apa itu?” katanya. 

Janet agak marah. Dengan cepat ditutupnya 
buku catatannya. "Sekarang sebaiknya kita ikuti 
jejak di sepanjang jalan ini,” katanya. "Kita 
ikuti sampai ke mana tujuannya. Tidak banyak 
mobil gandeng yang datang kemari. Jadi kita 
akan mudah mengikuti jejaknya.” 

Ternyata Janet benar. Mereka mengikuti jejak 
dengan mudah. Arahnya menyusuri jalan, dan 
berhenti di depan rumah tua. Di situ banyak 
sekali jejak yang bermacam-macam. Ada jejak 
kaki, roda mobil, juga jejak lain di salju yang 
sudah morat-marit. Jadi sukar sekali menentu- 
kan jejak apa saja yang tampak. Tapi jelas di 
situlah kedua orang yang diceritakan Jack 
keluar dari mobil, dan di situ pula tempat 
kemungkinan terjadi pergulatan tadi malam. 

”Lihat! Jejak roda mobil meninggalkan tem- 
pat ini, dan menyusuri jalan kembali,” kata 
Janet. Ia berdiri di pintu pagar, sambil me- 
mandang ke dalam pekarangan rumah. Apakah 
ketiga temannya itu sudah ada di dalam rumah 
bersama Pak Penjaga? 

”Kita ke dalam saja. Barangkali Peter ada 
di situ bersama Colin dan Jack,” kata Barbara. 

”Jangan. Tugas kita belum selesai,” kata 
Janet. ”Kita harus menyelidiki, sampai di mana 
jejak roda ini. Ayo kita lihat, barangkali menuju 
ke sungai. Di jalan ini kelihatan dua jejak roda. 
Jadi jelas mobil dengan gandengannya pulang- 
pergi. Kita lihat di mana mereka membelok.” 

Tugas itu tidak sukar. Jejak yang pergi ber- 
asal dari rumah tua menuju ke pintu pagar 
sebuah lapangan di pinggir sungai. Seseorang 
membuka pintu pagar, dan mobil masuk ber- 
sama gandengannya. Di tengah lapangan roda 
kendaraan meninggalkan jejak melingkar, se- 
sudah itu keluar lagi lewat pintu pagar. Semua- 
nya kelihatan jelas dari jejak di salju. 

”Nah, itulah yang terjadi kemarin malam,” 
kata Janet dengan puas. ”Mobil dengan benda 
beroda yang ditariknya datang dari arah 
Templeton. Kemudian masuk ke jalan ini, ber- 
henti di depan rumah tua. Di situ penumpang- 
nya turun dan berbuat sesuatu yang menyebab- 
kan salju berserakan. Kemudian mobil bergerak 
menuju lapangan di tepi sungai. Di sana ada 
yang membuka pagar, mobil dan gandengannya 
masuk dan berputar, kemudian keluar lagi, 
masuk ke jalan kembali, lalu menghilang. Tapi 
siapa mereka dan apa yang dibawa dalam 
gandengan—entahlah! ” 

”Aneh, hal seperti itu dilakukan malam- 
malam,” kata Barbara. 

”Memang aneh,” kata Janet menyetujui. "Se- 
karang, sebaiknya kita kembali ke rumah tua. 
Kita menunggu teman-teman di sana.” 

"Sekarang sudah hampir pukul satu,” kata 
Barbara. "Menurut pendapatmu, mereka bertiga 
masih di sana?” 

Barbara dan Janet bersandar di pintu pagar 
pekarangan. Mereka memperhatikan sambil me- 
mandang ke arah rumah. Kedua anak perem- 
puan itu sangat terkejut ketika melihat Pak 
Penjaga bergegas keluar sambil mengacung- 
acungkan tongkat. 

”Ada lagi yang datang kemari!” teriaknya. 
"Awas, kalau sampai berhasil kupegang. Kalian 
akan merasakan pukulan tongkatku ini. Anak- 
anak bandel! Tunggu saja!” 

Tapi Barbara dan Janet tidak mau menunggu! 
Mereka lari pontang-panting ketakutan.