Pendekar Pulau Neraka - Titisan Dewi Iblis(1)

SATU
SEORANG penunggang kuda berpacu cepat melintasi padang rumput luas, bagai tak bertepi. Sepanjang mata memandang hanya hamparan rerumputan hijau bagai permadani terhampar. Terik sengatan matahari hampir tak terasa, karena disapu tiupan angin yang kencang menaburkan hawa sejuk daerah perbukitan.

Penunggang kuda itu terus menggebah kuda hitamnya semakin cepat. Pandangannya lurus ke depan, ke arah tepian hutan yang mulai menghadang di depan. Semakin dekat dengan hutan itu, semakin tersirat ketegangan pada wajah tampannya. Sebaris kumis tipis menghiasi bibir yang terkatup rapat. Kuda hitam itu terus berpacu semakin mendekati tepian hutan yang kelihatan rapat oleh pepohonan besar dan kecil.

Swing!

Tiba-tiba saja melesat sebuah benda bersinar keperakan ke arah penunggang kuda itu.

"Hup...!"

Penunggang kuda itu cepat-cepat melompat. Tapi benda bercahaya keperakan itu menghantam badan kuda, sehingga binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Tepat saat pemuda itu mendaratkan kakinya, kuda hitam tunggangannya ambruk menggelepar di tanah. Tampak pada bagian perutnya berlubang dan mengepulkan asap.

Pemuda berwajah tampan itu merayapi hutan di depannya. Begitu sunyi, sampai-sampai suara serangga pun tak terdengar. Namun kesunyian ini semakin membuat pemuda tampan yang mengenakan baju warna biru muda itu menjadi lebih waspada. Pe-lahan digeser kakinya melangkah maju ke depan. Tatapan matanya tetap tajam tak berkedip merayapi hutan yang begitu lebat di depannya. Belum juga pemuda itu sampai di tepian hutan, mendadak saja....

Swing!
"Yeaaah...!"

Pemuda berbaju biru itu langsung melentingkan tubuhnya ke atas begitu melihat sebuah benda keperakan meluncur deras dari arah depan. Benda bulat sebesar kenari itu bagaikan kilat melesat lewat di bawah kaki pemuda itu.

Belum juga pemuda itu sempat mendarat turun, kembali melesat benda-benda keperakan yang memancarkan cahaya terang disertai kepulan asap. Benda-benda bulat sebesar kenari itu meluncur deras, memaksa pemuda berbaju biru harus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.

Sungguh indah gerakan saltonya, sehingga tak satu pun benda-benda keperakan itu menghajar tubuhnya. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu mendarat ringan di tanah. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kedua kakinya menjejak tanah berumput.

"Siapa kau?! Keluar...!" seru pemuda itu lantang. Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema sampai ke seluruh penjuru mata angin, namun tak ada sahutan sama sekali. Pemuda itu melirik kudanya yang telah tewas dengan perut berlubang sebesar jari. Kembali dirayapi hutan lebat di depannya.

"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa kecil nyaring mengikik. Pemuda tampan berbaju biru muda itu melompat satu langkah ke belakang. Suara tawa itu terdengar kering, dan seakan-akan datang dari segala arah. Siku pemuda itu segera menggeser gagang pedang yang tergantung dipinggang untuk menjaga kemungkinan.

"Kau terlalu berani datang sendiri ke sini, Raden Antawirya!"

Belum hilang suara kering melengking tinggi itu, mendadak saja di depan pemuda tampan itu muncul seorang perempuan berjubah merah panjang. Sebatang tongkat yang bagian ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan, tergenggam di tangan kanan. Rambutnya panjang terurai, sehingga hampir menutupi wajahnya yang lebih mirip muka tengkorak. Pemuda yang dipanggil Raden Antawirya itu agak bergidik juga melihatnya.

Memang, penampilan perempuan itu sungguh mengerikan. Seluruh wajahnya tak lagi memiliki daging. Dan kedua matanya bolong, namun berwarna merah menyala seperti sepasang bola api Baju merah yang dikenakannya sangat panjang, sehingga menutupi seluruh kaki dan tangannya. Mulutnya yang tanpa bibir itu meringis memperlihatkan baris-baris gigi yang tampak jelas menghitam.

"Mau apa kau datang ke sini, Raden Antawirya?" kering sekali suara perempuan berwajah tengkorak itu.
"Aku ingin meminta adikku kembali!" tegas Raden Antawirya.

"Hik hik hik... Adikmu sedang menjalani hukuman, Raden. Jadi kau harus bersabar menunggu selama seratus tahun, baru dia bebas dari hukuman."

"Kau lepaskan adikku, atau kuhancurkan purimu, perempuan setan!" bentak Raden Antawirya geram.
"Kata-katamu bisa membahayakan dirimu sendiri, Raden!" desis wanita berwajah tengkorak itu, mengancam.

"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?! Ayo, maju. Biar kubunuh kau sekalian, perempuan laknat!" geram Raden Antawirya.

"Bocah sinting! Pergi kau dari sini!" bentak perempuan berwajah tengkorak itu mulai gusar.

"Tidak! Sebelum kau lepaskan adikku!"
"Edan...!"

Perempuan berwajah tengkorak itu seketika mengebutkan tangannya yang tersembunyi di balik lengan jubah. Dan saat itu juga melesat beberapa butir benda berwarna keperakan yang langsung menerjang pemuda itu. Namun gesit sekali Raden Antawirya berlompatan menghindari serangan yang cepat dan riba riba itu.

Dan sebelum Raden Antawirya bisa menarik napas lega, mendadak perempuan berwajah tengkorak itu melompat sambil berteriak keras melengking tinggi. Maka secepat kilat dikebutkan tongkatnya ke arah kaki.

"Hup!"

Raden Antawirya melompat menghindari tebasan tongkat itu. Namun sungguh tidak terduga sama sekali, perempuan berwajah tengkorak itu menghentakkan tongkatnya ke atas sehingga menghantam keras telapak kaki Raden Antawirya.

Tak dapat dicegah lagi, tubuh pemuda berbaju biru itu melayang deras ke udara. Pada saat itu juga, perempuan berwajah tengkorak melesat ke angkasa, memburunya. Sementara tangan kirinya menghentak keras sambil berteriak melengking.

"Hiyaaat...!"

"Aaakh...!" Raden Antawirya menjerit melengking tinggi

Hentakan tangan kiri perempuan berwajah tengkorak itu tak bisa dihindari lagi. Tubuh Raden Antawirya meluncur deras ke angkasa, dan meluruk jatuh di tengah-tengah padang rumput yang menghampar bagai permadani. Namun sebelum pemuda itu menghantam tanah, mendadak sebuah bayangan menyambarnya cepat, dan langsung membawanya pergi

"Hm...," perempuan berwajah tengkorak hanya menggumam.

Dia sudah berdiri tegak di atas tanah berumput memandangi bayangan yang berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Antawirya. Meskipun matanya bolong sehingga yang terlihat hanya berupa cahaya merah, namun pandangannya demikian tajam. Baris-baris giginya yang tidak tertutup bibir itu bergerak-gerak. Mungkin tengah tersenyum atau menggumamkan sesuatu. Namun seketika itu juga perempuan itu melesat masuk ke dalam hutan. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.

***

SEMENTARA itu di balik sebuah bukit yang menjadi pembatas padang rumput, berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi pagar batu bagai sebuah benteng. Di tengah-tengahnya berdiri bangunan megah dan besar. Di sekeliling benteng bangunan megah itu terdapat rumah, baik besar maupun kecil yang letaknya saling merapat satu sama lain. Tempat itu merupakan sebuah kota Kerajaan Kali Jirak.

Suasana kota itu demikian ramai, seakan-akan tak pernah mati dari segala kegiatan rakyatnya. Namun dari wajah-wajah rakyat yang mendung, terlihat kalau mereka seperti tengah menghadapi masalah yang cukup berat. Bahkan para penjaga di perbatasan maupun di depan gerbang kelihatan lesu tak bergairah. Hal ini karena Prabu Truna Dilaga yang menjadi raja di situ, tengah dilanda gelisah.

Sudah beberapa hari ini Prabu Truna Dilaga selalu menyendiri dalam kamar atau di taman belakang istana. Semua orang tahu, apa yang sedang menjadi beban pikiran Prabu Truna Dilaga. Sejak kehilangan putrinya, Raja Kali Jirak itu memang selalu murung. Dan sekarang ini, putranya yang dipersiapkan untuk menggantikan kedudukannya menghilang tak tentu rimbanya. Berarti sudah tiga hari ini Raden Antawirya tidak terdengar kabarnya.

"Gusti Prabu...." "

Prabu Truna Dilaga mengangkat kepalanya ketika mendengar suara. Matanya kini terpaku pada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan namun mencerminkan ketegasan. Laki-laki itu duduk bersimpuh sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kepalanya tertunduk, seakan-akan ikut merasakan beban yang tengah diderita rajanya ini. Sorot mata Prabu Truna Dilaga begitu redup bagai tak memiliki gairah hidup lagi.

"Gusti Prabu, hamba membawa seorang perambah hutan yang melihat Raden Antawirya," lapor laki-laki itu sebelum diminta.

"Bawa ke sini, Patih Natabrata," ujar Prabu Truna Dilaga lesu.

"Hamba, Gusti Prabu."

Patih Natabrata memberikan sembah, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan Prabu Truna Dilaga yang masih tetap duduk di bangku taman. Tidak lama berselang, Patih Natabrata sudah kembali membawa seorang laki-laki tua bertelanjang dada dan bertubuh kurus. Mereka duduk bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga bersikap penuh rasa hormat.

"Siapa namamu?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Hamba bernama Ki Ebun, Gusti Prabu," sahut laki-laki tua itu seraya merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi sembah.

"Benar kau melihat putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga lagi.

"Benar, Gusti Prabu. Hamba melihat Raden Antawirya berkuda di dalam hutan. Hamba pun sempat bertanya hendak ke mana, tapi Raden Antawirya tidak menyahut. Bahkan beliau mendera kudanya lebih kencang lagi," tutur Ki Ebun.

"Kau tahu ke mana arah perginya?"

"Ke Utara, Gusti Prabu."

"Hutan Kamiaka...," desis Prabu Truna Dilaga pelan, hampir tidak terdengar.

Prabu Truna Dilaga memandangi laki-laki tua perambah hutan itu. Sorot matanya terlihat semakin redup tak bercahaya. Bahkan wajahnya seperti kehilangan cahaya kegairahan. Dua kali dihembuskan napas panjang dan berat. Sementara Ki Ebun dan Patih Natabrata hanya diam saja sambil menundukkan kepala.

"Patih Natabrata, antar orang tua ini pulang," perintah Prabu Truna Dilaga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata seraya memberikan sembah.

"Aku berterima kasih atas keteranganmu, Ki Ebun. Kau patut mendapatkan hadiah dariku," ujar Prabu Truna Dilaga.

"Oh terima kasih, Gusti Prabu."

Ki Ebun beberapa kali memberi sembah sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Patih Natabrata kemudian menggamit lengan laki-laki tua perambah hutan itu. Mereka memberi sembah sekali lagi, kemudian beranjak pergi meninggalkan Raja Kali Jirak itu sendirian. Prabu Truna Dilaga baru saja akan bangkit berdiri ketika tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun datang menghampiri. Dia diiringi enam orang gadis berparas cantik.

'Permaisuriku Rara Kuminten...," sambut Prabu Truna Dilaga seraya memberikan senyum, meskipun terasa getir dan amat dipaksakan.

"Kulihat ada seorang tua di sini tadi, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah duduk di samping laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu.

"Seorang perambah hutan yang kebetulan melihat Raden Antawirya," sahut Prabu Truna Dilaga.

Permaisuri Rara Kuminten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Disuruhnya enam orang gadis yang menyertainya untuk pergi. Setelah memberi sembah, keenam gadis itu beranjak pergi dengan sikap penuh hormat

"Apa yang dikatakannya, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah keenam dayangnya pergi.

"Dia hanya mengatakan kalau melihat Raden Antawirya di dalam hutan," sahut Prabu Truna Dilaga.

"Dia tidak mengatakan ke mana perginya?"

"Katanya ke arah Utara. Hah.., pasti ke Hutan Kamiaka."

"Anak nakal! Sudah kularang ke sana, masih juga membandel...!" dengus Permaisuri Rara Kuminten.

Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja dengan wajah semakin terselimut mendung. Kedua anaknya kini sudah tidak ada. Tak ada yang bisa diharapkan lagi untuk mengganti kedudukannya sebagai raja di Kali Jirak ini. Sedangkan usianya semakin menggerogoti tubuhnya.

"Mau ke mana, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten melihat Prabu Truna Dilaga bangkit dan melangkah hendak pergi.

"Aku ingin istirahat," sahut Prabu Truna Dilaga tanpa menghentikan ayunan kakinya.

Permaisuri Rara Kuminten tidak mencegah, dan hanya diam saja memandangi laki-laki tua itu meninggalkannya. Wanita yang masih kelihatan cantik itu tetap duduk di kursi taman, meskipun Prabu Truna Dilaga tidak kelihatan lagi punggungnya.

Malam sudah jatuh, dan kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan Kali Jirak. Malam ini angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan tulang. Sayup-sayup di kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang menyayat bagai mendendangkan irama kematian.

Seluruh rakyat Kali Jirak sudah terlelap dalam buaian mimpi. Hanya para prajurit yang bertugas ronda malam saja yang masih terlihat berjaga-jaga di tempat tertentu. Namun agak jauh dari kota, tepatnya dekat gerbang perbatasan kota sebelah Utara, seorang laki-laki tua masih duduk menyendiri di depan rumahnya yang kecil dan kumuh.

Laki-laki tua itu adalah Ki Ebun, yang setiap hari mencari nafkah dengan merambah hutan mencari kayu bakar dan berburu binatang untuk dijual ke kota. Laki-laki tua itu duduk mencangkung sambil menikmati kepulan asap daun tembakau. Mata tuanya lurus merayapi bulan purnama yang malam ini bersinar indah keemasan, menyirami bumi dalam selimut kegelapan.

"Ayah...."

"Oh...!" Ki Ebun tersentak dari lamunannya ketika mendengar sapaan lembut dari belakang. Ditolehkan kepalanya, lalu tersenyum melihat seorang gadis berparas manis tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu kemudian duduk di sampingnya. Pakaiannya sangat sederhana. Bahkan pada kain yang dikenakan terdapat satu tambalan. Meskipun begitu tidak menghilangkan kemanisan wajahnya yang sederhana.

"Kenapa Ayah belum tidur?" lembut sekali suaranya.

"Kau sendiri, kenapa belum tidur, Melati?" Ki Ebun malah balik bertanya.

"Tidak bisa," sahut gadis yang dipanggil Melati itu.

Nama yang sangat indah, seindah wajahnya. Mungkin Ki Ebun memberi nama anaknya ini dengan harapan akan menjadi seorang gadis yang dapat mengharumkan kaumnya, seharum bunga melati. Satu harapan yang wajar dari seorang tua seperti Ki Ebun ini.

"Kenapa?" tanya Ki Ebun lembut.

"Aku memikirkan hadiah dari Gusti Prabu, Ayah. Sebaiknya kita apakan, ya...?" tanya Melati seperti pada dirinya sendiri.

"Aku sendiri bingung, Melati. Padahal aku hanya mengatakan apa adanya. Eee..., kok malah diberi hadiah begitu besar. Ayah jadi takut, Melati...," semakin pelan suara Ki Ebun.

'Takut kenapa, Yah?" tanya Melati polos.

"Aku takut perampok," bisik Ki Ebun, seakan-akan suaranya takut terdengar orang lain.

"Ah, Ayah.... Jangan macam-macam, ah! Nanti kalau benar-benar kejadian, bagaimana?" Melati mencoba bergurau, padahal hatinya cemas juga.

"Melati! Tadi Ayah sedang berpikir-pikir, apa sebaiknya kita pindah saja dari sini...?" kali ini nada suara Ki Ebun terdengar sungguh-sungguh.

"Pindah ke mana lagi, Yah...? Kita sudah enam kali pindah, dan rasanya jadi bosan! Aku ingin menetap di sini saja," rungut Melati.

'Tapi di sini hidup kita juga tidak ada perubahan, Melati. Tetap saja aku jadi perambah hutan. Aku ingin memberimu kesenangan, seperti gadis-gadis lain. Bisa punya baju bagus, bisa punya kereta untukmu bepergian, dan punya segala macam."

"Jangan mengkhayal, Yah. Aku sudah cukup senang, kok."

'Tapi kau belum punya baju bagus, Melati."

"Untuk apa baju bagus, harta, dan kekayaan, kalau hidup kita selalu diliputi ketakutan, Ayah. Tidak, ah! Aku tidak mau. Aku sudah senang hidup begini Aman dan tentram tanpa harus memikirkan segala macam."

"Tapi hadiah itu saja sudah membuat kepala kita jadi seperti pecah."

Melati terdiam, dan Ki Ebun jadi membisu. Hadiah yang diberikan Prabu Truna Dilaga memang membuat mereka jadi gelisah, tidak seperti hari-hari yang lalu. Mereka jadi tidak tenang, seakan-akan selalu diintai ribuan pasang mata yang mencari kesempatan baik untuk menerkam.

Saat mereka terdiam, mendadak di depan mereka muncul seseorang yang mengenakan jubah merah panjang membawa tongkat yang ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan Ki Ebun dan Melati terperanjat, sehingga langsung melompat bangkit berdiri. Terlebih lagi gadis itu. Dia sampai terpekik dan hampir pingsan melihat raut wajah orang itu.

Wajah yang tidak memiliki daging dengan mata bolong memerah bagai bola api. Gigi-gigi yang tidak tertutup bibir itu menyeringai menyeramkan. Ki Ebun sampai bergetar dan seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah dialiri darah.

"Kau yang bernama Ki Ebun?" dingin dan kering sekali suara perempuan berwajah tengkorak itu.

"Iy.., iy..., iya," sahut Ki Ebun tergagap.

"Kau harus mati, orang tua!"

"Ap..."

Belum juga Ki Ebun bisa meneruskan ucapannya, mendadak saja perempuan berwajah tengkorak itu mengecutkan tongkatnya. Maka seketika itu juga tubuh Ki Ebun mengejang kaku dan bola matanya membeliak lebar. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu, laki-laki tua perambah hutan itu ambruk ke tanah. Kepalanya tergulir, terpisah dari lehernya.

"Aaakh...!" Melati menjerit melengking tinggi. Gadis itu langsung melorot jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya yang sangat menyayat itu. Jeritan Melati mengejutkan seluruh rakyat yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ki Ebun. Seketika saja suasana jadi terang benderang oleh nyala pelita dan obor. Perempuan berwajah tengkorak itu mendengus, kemudian dengan sekali lesat saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

Pada saat itu berdatangan orang-orang membawa obor. Mereka terperanjat begitu melihat mayat Ki Ebun tergeletak berlumuran darah. Lebih terperanjat lagi, setelah melihat leher laki-laki tua perambah hutan itu yang terpenggal buntung. Dan di dekatnya tergolek Melati yang tak sadarkan diri.

***
DUA
KEMATIAN Ki Ebun yang begitu mengerikan menjadi pembicaraan seluruh orang d Kerajaan Kali Jirak. Bahkan berita kematian laki-laki tua perambah hutan itu sampai ke telinga Prabu Truna Dilaga. Hal ini I membuat Raja Kali Jirak itu menjadi semakin murung. Dia ingat kalau perambah hutan itu yang memberitahu tentang kepergian putranya.

"Seharusnya dia tidak kuberi hadiah terlalu banyak," keluh Prabu Truna Dilaga menyesali diri.

"Tapi hadiah itu tidak hilang, Gusti Prabu," jelas Patih Natabrata.

Prabu Truna Dilaga memandangi patihnya ini.

"Ampun, Gusti Prabu Seharusnya hamba melaporkan hal ini sejak tadi," ucap Patih Natabrata seraya memberi sembah. "Bagaimana kau tahu, Patih?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Hamba sempat mengunjungi rumah Ki Ebun, Gusti. Menurut putrinya, hadiah yang diberikan Gusti Prabu masih utuh. Tak berkurang sedikit pun."

"Hm..., aneh...? Jadi untuk apa dia membunuh orang tua itu?" Prabu Truna Dilaga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang sedang hamba pikirkan, Gusti Prabu.

Menurut putri Ki Ebun, orang itu wajahnya menyerupai tengkorak, berjubah merah, dan memegang tongkat. Dan dengan tongkatnya itulah dia memenggal kepala Ki Ebun. Kejadian selanjutnya, gadis itu tidak tahu, karena telah pingsan saat itu juga."

"Dewi Iblis...," desis Prabu Truna Dilaga pelan. Hampir tak terdengar suaranya.

"Gusti Prabu...."

"Aku tidak mengerti, untuk apa perempuan iblis itu membunuh Ki Ebun...?" Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya sendiri.

"Siapa itu Dewi Iblis, Gusti?" tanya Patih Natabrata.

Prabu Truna Dilaga tidak langsung menjawab. Dipandangi patihnya dalam-dalam. Sorot matanya begitu dalam dan menyimpan sejuta arti yang sukar dimengerti. Wajahnya menyiratkan tekanan batin yang amat berat Patih Natabrata hanya menundukkan kepalanya saja, tidak sanggup membalas tatapan tajam junjungannya.

"Dulu ketika dia muncul di sini, kau masih kecil, Patih. Dan aku pun masih begitu muda. Belum menjadi raja...," pelan suara Prabu Truna Dilaga.

Sedangkan Patih Natabrata hanya diam saja mendengarkan.

"Ah..., aku tidak yakin kalau dia muncul lagi di sini. Aku yakin kalau iblis itu sudah tewas," desah Prabu Truna Dilaga setengah menggumam seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.

"Gusti...," agak tercekat suara Patih Natabrata.

"Kau harus mengetahuinya, Patih. Karena kalau memang dia belum tewas dan sekarang muncul lagi, maka kemunculannya ada sangkut pautnya denganmu," jelas Prabu Truna Dilaga.

Patih Natabrata terhenyak, sampai-sampai mendongakkan kepalanya menatap Prabu Truna Dilaga. Namun buru-buru laki-laki setengah baya itu memberi sembah dan menundukkan kepalanya kembali.

"Dulu, aku dan ayahmu bersahabat karib. Ayahmu juga seorang patih yang sangat gagah berani. Aku selalu memanggilnya paman, karena memang jauh lebih tua usianya dariku sendiri...," Prabu Truna Dilaga berhenti sebentar. "Aku waktu itu ingat sekali, saat Ayahanda Prabu mengajakku berburu. Lalu kuminta agar ayahmu ikut serta, dan Ayahanda Prabu tidak berkeberatan. Kami berburu bersama-sama dan berlomba-lomba mendapatkan buruan yang terbanyak"

Patih Natabrata masih diam mendengarkan. Dia memang sering mendengar cerita ayahnya sebelum meninggal. Ayahnya dan Prabu Truna Dilaga memang tidak bisa dipisahkan. Ke mana-mana mereka selalu berdua, seperti dua saudara kandung. Itu sebabnya, mengapa Patih Natabrata memutuskan untuk mengabdi sepenuhnya pada Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak ingin mengecewakan harapan mendiang ayahnya. Dan rupanya Prabu Truna Dilaga juga sangat kehilangan sahabatnya, sehingga langsung mengangkat Natabrata sebagai patih begitu ayahnya meninggal.

"Di dalam hutan, aku dan ayahmu berhasil memanah seekor kijang dalam waktu bersamaan. Tapi rupanya kijang itu milik seorang wanita. Akibatnya dia menuntut nyawa kijang itu dengan nyawaku setelah tahu kalau aku waktu itu seorang putra mahkota. Ayahmu membela, hingga akhirnya bertarung mengadu nyawa dengannya. Tapi kemudian Ayahanda Prabu melerai dan mengganti kijang itu dengan sejumlah uang," kembali Prabu Truna Dilaga menghentikan kisahnya.

Dan Patih Natabrata masih juga diam mendengarkan tanpa memberi tanggapan sedikit pun.

"Tapi rupanya perempuan itu tidak merasa puas, hingga akhirnya datang ke sini dan membuat keonaran selama bertahun-tahun. Segala tindakannya begitu kejam, sehingga dijuluki Dewi Iblis. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama sebenarnya. Kepandaiannya sungguh luar biasa, sehingga para prajurit maupun panglima pilihan mengalami kesukaran untuk membekuknya Hingga akhirnya dia kembali bentrok lagi dengan ayahmu. Pertarungan berlangsung seru, hingga memakan waktu tiga hari tiga malam. Namun akhirnya ayahmu berhasil menyudahi. Wanita itu tewas, tapi ayahmu mendapat luka parah sehingga dia...," Prabu Truna Dilaga tidak meneruskan kisahnya.

Patih Natabrata sendiri sudah mengerti lanjutannya. Ayahnya lumpuh setelah bertarung melawan wanita yang dijuluki Dewi Iblis itu. Hingga ajalnya, laki-laki berjasa dan penuh pengabdian itu dalam keadaan lumpuh. Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri membisu. Ruangan yang besar ini jadi sunyi.

"Gustri Prabu, apakah ada kuburan si Dewi Iblis itu?" tanya Patih Natabrata setelah cukup lama berdiam diri.

"Ada. Letaknya di Hutan Kamiaka," sahut Prabu Truna Dilaga pelan.

"Hutan Kamiaka...," desis Patih Natabrata.

***

PATIH NATABRATA memandangi padang rumput luas bagai permadani terhampar tak bertepi. Di seberang sanalah terletak Hutan Kamiaka. Sebuah hutan yang tidak pernah terjamah tangan-tangan manusia. Jadi sampai saat ini masih menjadi hutan perawan yang dianggap angker. Belum ada seorang pun yang berani menjamahnya. Dan mereka yang nekad, tak akan pernah lagi terdengar kabar beritanya.

"Hhh...!" Patih Natabrata menghembuskan napas panjang.

Dipandanginya dua puluh orang prajurit yang menyertai. Mereka memang prajurit pilihan yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Tapi dua puluh prajurit pilihan tidak berarti apa-apa, bila teringat cerita Prabu Truna Dilaga tentang seorang perempuan yang memiliki julukan sangat menggetarkan hati. Dewi Iblis! Patih Natabrata kembali mengarahkan pandangannya ke seberang padang rumput ini. 

Kepalanya menoleh ketika mendengar suara langkah kaki halus dari arah kanan. Tampak dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Seorang mengenakan baju dari kulit harimau, dan seorang lagi mengenakan baju warna biru muda. Hampir seluruh kepalanya tertutup caping besar dari anyaman bambu. Kedua laki-laki itu menghentikan langkahnya sekitar dua batang tombak di samping Patih Natabrata.

"Maaf, boleh kami lewat?" ucap orang yang mengenakan baju kulit harimau, sopan.

"Kisanak berdua hendak ke mana?" tanya Patih Natabrata.

"Kami hendak ke bukit sana," sahut laki-laki muda berbaju kulit harimau itu lagi.

Sedangkan yang seorang hanya diam saja sambil terus menundukkan kepala, seakan akan sengaja menyembunyikan wajah. Namun Patih Natabrata justru tertarik padanya. Diamati dalam-dalam sehingga matanya agak menyipit

"Boleh kami lewat?" pinta pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.

"Silakan," Patih Natabrata mempersilakan.

Kedua orang itu bergegas berjalan meninggalkan Patih Natabrata dan dua puluh orang prajuritnya. Sementara Patih Natabrata memperhatikan dengan kening berkerut dalam. Perhatiannya justru terpusat pada orang yang berjalan di sebelah pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ah, tidak mungkin...!" desah Patih Natabrata seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi..., bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Raden Antawirya...."

Patih Natabrata terus memperhatikan kedua orang itu hingga lenyap di balik kelebatan pepohonan. Dan segera diberinya isyarat agar para prajuritnya bersiap melanjutkan perjalanannya kembali. Sebentar kemudian, dua puluh satu kuda berpacu melintasi padang rumput.

Tanpa setahu mereka, dari balik kerimbunan pepohonan, tampak dua pasang mata tengah mengawasi tak berkedip. Dua pasang mata dari pemuda-pemuda yang tadi lewat di depan Patih Natabrata. Pemuda berbaju biru kini sudah melepaskan caping bambunya, dan membiarkan saja tersampir di punggung.

"Kau kenal dia, Raden Antawirya?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.

"Ya. Dia patih kepercayaan Ayahanda Prabu," sahut pemuda berbaju biru yang ternyata memang Raden Antawirya. "Bayu, mau apa dia ke sana...?"

"Mungkin tujuannya sama denganmu, Raden," sahut pemuda berbaju kulit harimau.

Pemuda itu memang bernama Bayu yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sementara Raden Antawirya terus memandangi rombongan kecil itu yang semakin jauh melintasi padang rumput Entah kenapa, Raden Antawirya jadi cemas setelah teringat pengalamannya yang sangat pahit. Hampir saja dia tewas kalau tidak ditolong pemuda di sampingnya ini.

"Mereka bisa tewas semua, Bayu," desah Raden Antawirya tak bisa menyembunyikan kecemasannya.

"Kau cemas, tapi kenapa tadi tidak mau menunjukkan dirimu?" Bayu memandangi wajah pemuda di sampingnya.

"Aku tidak akan kembali ke istana tanpa adikku, Bayu," sahut Raden Antawirya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu.

"Kita harus mencegah mereka mendekati hutan itu, Bayu. Aku tidak ingin Paman Patih tewas sia-sia."

Bayu mengangkat pundaknya.

"Cepat, Bayu. Sebelum mereka sampai ke hutan itu!" ajak Raden Antawirya.

Bayu tak punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti Raden Antawirya yang sudah berlari cepat mengejar rombongan kecil Patih Natabrata. Dalam hari, Pendekar Pulau Neraka itu kagum juga pada ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak ini. Namun belum cukup tinggi untuk bisa menyamainya. Dan Bayu hanya mengerahkan setengah saja dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Itu pun tampaknya jadi terbalik. Bukannya Bayu yang menyesuaikan diri, tapi malah Raden Antawirya yang harus menyesuaikan.

***

RADEN ANTAWIRYA terperanjat ketika tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan melengking saling susul. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu buru-buru mengenakan tudungnya, lalu berlompatan cepat. Tapi dua kali pemuda itu melompat pada saat yang sama Bayu sudah mendahului dengan hanya sekali lesatan saja.

Pada saat Pendekar Pulau Neraka tiba, tampak seluruh prajurit yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tubuh mereka berlubang mengeluarkan asap. Selagi Bayu memeriksa para prajurit itu, Raden Antawirya baru sampai Hati pemuda itu terkejut melihat semua prajurit yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi.

"Bayu, di mana Paman Patih?" tanya Raden Antawirya.

Bayu tersentak, karena seperti diingatkan oleh pertanyaan itu. Semua mayat ini berjumlah dua puluh, dan hanya para prajurit saja. Sedangkan Patih Natabrata tidak kelihatan. Kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian sama-sama mengalihkan pada kuda yang tadi ditunggangi Patih Natabrata.

"Pasti Paman Patih mengejar perempuan iblis itu, Bayu," desis Raden Antawirya menduga.

Bayu cepat menangkap tangan Raden Antawirya yang akan melangkah memasuki Hutan Kamiaka. Raden Antawirya mengurungkan niatnya, lalu menatap Bayu dalam-dalam.

"Jangan bertindak gegabah dulu, Raden. Kita belum tahu, siapa orang itu," kata Bayu mengingatkan. 'Tapi aku harus menyelamatkannya, Bayu" "Aku tahu. Tapi tidak dengan cara begini. Kita harus hati-hati dan jangan terbawa arus kemarahan."

Raden Antawirya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Diakui kebenaran kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu. Untuk menghadapi manusia misterius berkemampuan sangat tinggi memang tidak bisa dengan kepala panas. Raden Antawirya mengangkat bahunya, menyerahkan segalanya pada pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ayo kita kembali ke kotaraja," ajak Bayu.

"Kembali..?!" Raden Antawirya terperanjat

"Iya, nanti akan kujelaskan"

Raden Antawirya tidak bisa membantah lagi. Diikuti saja Pendekar Pulau Neraka yang sudah melangkah cepat meninggalkan tepian Hutan Kamiaka yang angker ini. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan tepian hutan.

"Kau punya rencana, Bayu?" tanya Raden Antawirya tidak sabar.

"Ya. Kudengar seorang perambah hutan tewas terbunuh semalam," sahut Bayu.

"Apa hubungannya dengan semua ini?"

"Jika perambah hutan itu tidak bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin aku tidak akan mengkaitkannya. Terlebih lagi, aku dengar dia sempat melaporkan pada ayahmu di istana. Hanya sayang sekali malamnya, perambah hutan itu tewas dengan leher terpenggal."

"Ohhh...," Raden Antawirya mendesah panjang.

"Aku akan memancingnya untuk menemuiku, Raden," jelas Bayu mengemukakan rencananya.

"Maksudmu?" Raden Antawirya tidak mengerti.

"Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan pernah melihatmu Dengan cara demikian, aku yakin orang itu akan menemuiku dan hendak membunuhku."

"Rencanamu terlalu berbahaya, Bayu," Raden Antawirya kurang setuju.

"Raden.... Adalah suatu perbuatan bodoh jika memasuki Hutan Kamiaka. Padahal masih ada cara lain yang lebih memungkinkan dan tidak terlalu berbahaya," Bayu mencoba memberi pengertian.

Kembali Raden Antawirya terdiam. Meskipun hatinya tidak setuju terhadap rencana Pendekar Pulau Neraka ini, tapi tidak bisa membantah lagi. Disadari kalau pengalamannya dalam menghadapi kejadian seperti ini belumlah seberapa bila dibandingkan Bayu yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan.

Meskipun baru sedikit, tapi cerita mengenai diri Pendekar Pulau Neraka itu sudah terserap ke dalam hati sanubari Raden Antawirya. Tidak mungkin orang biasa akan bisa menyambarnya begitu cepat ketika hampir saja terhempas ke tanah akibat serangan Dewi Iblis. Bahkan pemuda berbaju kulit harimau itu juga menyembuhkan luka-lukanya hanya dengan penyaluran hawa mumi. Bayu memang hanya mengatakan sedikit tentang dirinya, tapi itu sudah cukup bagi Raden Antawirya untuk menaruh kepercayaan padanya.

"Aku akan membuat pondok kecil di luar batas kota," kata Bayu kembali mengemukakan rencananya untuk bertemu orang misterius itu.

"Lalu?" tanya Raden Antawirya ingin tahu lebih lanjut.

"Sementara kau tetap tinggal di pondok, dan jangan ke mana-mana. Meskipun dia datang, jangan menampakkan diri. Biar aku yang akan menghadapinya sendiri. Aku yakin, dia bukan setan, jin, iblis dari neraka atau sejenisnya. Dia pasti manusia biasa yang memiliki tingkat kepandaian tinggi."

"Tapi, mukanya...," Raden Antawirya serasa tak sanggup membayangkan wajah orang itu.

"Bisa saja mengenakan topeng, Raden. Atau mungkin juga pernah terluka sehingga kulit wajahnya habis terkelupas."

"Yah..., terserah kau sajalah," desah Raden Antawirya menyerah.

Bayu hanya tersenyum saja.

"Bayu, ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku," ungkap Raden Antawirya pelan.

"Katakan saja, Raden."

"Mungkin aku sudah mengatakan padamu, tapi rasanya masih kupikirkan." "Hm...."

"Terus terang aku tidak mengerti, kenapa orang itu menculik adikku. Bahkan juga mengatakan kalau adikku harus menjalani hukuman selama seratus tahun lamanya...," Raden Antawirya mengeluarkan ganjalan di hatinya.

"Kau pernah menanyakan hal ini pada ayahmu, Raden?" tanya Bayu.

'Tidak," sahut Raden Antawirya, agak ngambang suaranya.

"Kenapa Raden tidak menanyakannya?"

"Ayah terlalu larut dalam kesedihan. Sedangkan aku tidak sampai hati untuk menanyakannya, Bayu. Itu sebabnya, kenapa aku nekad hendak membebaskan adikku sendiri tanpa sepengetahuan orang lain," jelas Raden Antawirya

"Selama ini, apakah kau tahu ayahmu punya musuh?" tanya Bayu lagi.

"Tidak. Belum pernah kudengar kalau Ayahanda Prabu punya musuh," sahut Raden Antawirya. 

"Aneh juga...," gumam Bayu pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti sampai sekarang, Bayu. Baik Ayahanda Prabu, aku, dan adikku tidak pernah menyakiti siapa pun juga. Kehidupan kami selalu damai, hingga sampai datang manusia aneh itu yang menculik adikku."

"Di mana adikmu diculik?"

"Di kaputren. Semua dayang dan emban pengasuhnya tewas. Bahkan pengawal yang menjaga kaputren pun tewas. Orang itu sudah lenyap sambil membawa adikku begitu aku, Ayahanda Prabu, dan Patih Natabrata serta beberapa prajurit datang."

"Lalu, bagaimana kalian bisa tahu kalau adikmu diculik?"

"Salah seorang pengawal memberitahu sebelum tewas."

Bayu terdiam membisu dengan kening agak berkerut Ayunan langkahnya tidak berhenti meskipun mereka sudah meninggalkan padang rumput, dan kini tengah menuju Kota Kerajaan Kali Jirak. Dari cerita yang didengar, Pendekar Pulau Neraka belum menemukan adanya kejanggalan. Tapi agak heran juga, karena seluruh dayang dan emban serta pengawal kaputren tewas. 

Sedangkan yang dia tahu, kaputren merupakan tempat terlarang. Dan hanya keluarga istana serta kerabat dekat saja yang boleh memasuki. Sekeliling kaputren sudah pasti dijaga ketat. Jika orang itu bisa masuk dengan menewaskanseluruh penjaga, tentu tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Dan yang pasti, orang itu sudah mengetahui seluk-beluk kaputren, sehingga bisa bergerak cepat dan leluasa sebelum diketahui penjaga lainnya.

"Raden, apakah benteng kaputren mudah dilompati?" tanya Bayu.

"Rasanya sulit, Bayu. Aku sendiri belum bisa mencapai puncaknya," sahut Raden Antawirya.

"Tapi entah jika memang dia memiliki kepandaian tinggi. Dan aku yakin, kau juga bisa melewatinya dengan sekali lompatan saja."

"Ada berapa pintu masuk ke dalam kaputren?" tanya Bayu lagi.

"Satu. Tapi...." '

'Tapi apa, Raden?

"Ada pintu khusus yang hanya dilalui Ibunda Permaisuri. Tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya, karena pintu itu langsung menembus kamar pribadinya."

"Hm...," gumam Bayu pelahan.

Sedangkan Raden Antawirya hanya diam saja. "Satu lagi pertanyaanku, Raden. Apakah di luar benteng kaputren ada penjaga selain di dalam?" tanya Bayu.

"Ada. Jumlahnya sekitar satu pasukan jika siang, dan dua pasukan di malam hari." "Penjaga-penjaga itu tewas juga?" 

'Tidak..."

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Raden Antawirya yang terakhir bernada ragu-ragu. Tapi untuk sementara jawaban itu dirasa cukup untuk menjadi bahan pertimbangannya. Dan otak Pendekar Pulau Neraka itu mulai bekerja keras. Dan kini mulai timbul berbagai macam dugaan di benaknya. Juga, berbagai macam pertanyaan yang disadari belum bisa terjawab secepat ini.

***
TIGA
BAYU memandangi bagian dalam bangunan Istana Kerajaan Kali Jirak yang begitu megah dan indah. Dua orang penjaga membawanya untuk bertemu Prabu Truna Dilaga yang menunggu di taman belakang istana. Ruangan demi ruangan dilalui, dan Bayu selalu mengamatinya. Setelah melalui satu lorong panjang yang di kanan dan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup, mereka tiba di depan sebuah pintu yang dijaga empat orang prajurit. Salah seorang prajurit yang membawa Bayu menjelaskan tentang maksud kedatangan pemuda berbaju kulit harimau ini yang hendak bertemu Prabu Truna Dilaga. Dan ketika pintu terbuka, aroma harum langsung menyerbu menyengat hidung.

Bayu mendesah kagum begitu kakinya menginjak taman yang indah bagai berada di dalam sorga. Pandangan Pendekar Pulau Neraka itu langsung tertumbuk pada seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang duduk di kursi taman. Di sebelahnya duduk seorang wanita berparas cantik, meskipun garis-garis ketuaan mulai menggurat wajahnya. Bayu menaksir kalau usia wanita ini mungkin sudah berkepala empat.

Dua prajurit yang membawa Bayu segera berlutut memberi sembah begitu sampai di depan Prabu Truna Dilaga dan permaisurinya. Bayu ikut berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah diajarkan Raden Antawirya, bagaimana jika berhadapan dengan Prabu Truna Dilaga.

"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba membawa seorang pemuda yang mengaku melihat Raden Antawirya," sahut salah seorang prajurit, bersikap penuh rasa hormat

"Hm...," Prabu Truna Dilaga menggumam sambil mengamati pemuda berbaju kulit harimau yang sudah duduk bersila di tanah berumput. "Kalian boleh pergi, Prajurit"

Kedua prajurit itu memberi sembah, lalu beranjak pergi meninggalkan taman ini.

"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Prabu Truna Dilaga setelah kedua prajurit itu pergi.

"Nama hamba Bayu, Gusti Prabu," sahut Baya Sikapnya telah seperti yang diajarkan Raden Antawirya, meskipun tidak pernah menyukainya.

"Pekerjaanmu?"

"Berburu, Gusti Prabu."

"Benar, kau telah bertemu putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga seraya menatap dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

"Benar, Gusti Prabu. Hamba bertemu di tepi padang rumput Dan Raden Antawirya menuju
Hutan Kamiaka."

"Lalu, kau bertemu lagi?"

"Tidak, Gusti. Tapi kemarin hamba bertemu Patih Natabrata dan dua puluh orang prajurit yang juga menuju Hutan Kamiaka."

"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga terperanjat bukan main. Dia sampai terlonjak berdiri mendengar Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka bersama dua puluh orang prajurit.

"Pengawal! Panggil Punggawa Dipa Praga!" perintah Prabu Truna Dilaga pada seorang pengawal yang berada di dekatnya.

Pengawal itu memberi sembah, kemudian bergegas berlari melaksanakan perintah itu. Prabu Truna Dilaga berjalan mondar-mandir dengan wajah membe-rengut Jelas terlihat kegelisahan melanda hatinya. Dari sudut ekor matanya, Bayu memperhatikan sikap Prabu Truna Dilaga. Dia juga memperhatikan wanita yang tetap saja duduk tanpa cahaya sedikit pun. 

Bahkan wanita itu memandangi pemuda berbaju kulit harimau di depannya dengan sinar mata sukar diartikan. Pengawal yang diperintahkan tadi, kini telah datang kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka langsung memberi sembah begitu sampai didepan Prabu Truna Dilaga. Pengawal kembali mengambil tempat, berdiri di belakang Raja Kali Jirak itu.

"Punggawa Dipa Praga," terdengar berat nada suara Prabu Truna Dilaga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Praga seraya memberi sembah.

"Di mana kau lihat Patih Natabrata?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Ampun, Gusti Prabu. Kemarin Gusti Patih berangkat ke Hutan Kamiaka," sahut Punggawa Dipa Praga.

"Heh...! Kau tahu, kenapa tidak melaporkan padaku?" bentak Prabu Truna Dilaga.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba dilarang untuk melaporkannya. Gusti Patih sendiri yang melarang."

Prabu Truna Dilaga bersungut-sungut sendiri, kemudian memerintahkan Punggawa Dipa Praga mengantarkan Bayu ke luar. Tanpa banyak kata lagi, mereka beranjak pergi meninggalkan taman itu. Prabu Truna Dilaga masih berjalan mondar-mandir, dan wajahnya masih memberengut. Memang disesali juga tindakan Patih Natabrata yang nekad pergi ke Hutan Kamiaka. Sedangkan Raden Antawirya sendiri sampai sekarang belum kembali juga.

"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Paman Patih. Kenapa dia begitu nekad pergi ke hutan itu...?" gumam Prabu Truna Dilaga seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Mungkin ingin membebaskan anakmu, Kanda Prabu," celetuk Permaisuri Rara Kuminten yang sejak tadi diam saja.

'Tapi tidak seharusnya bertindak sendiri seperti itu...? Paling tidak hal itu bisa dibicarakan padaku lebih dahulu. Hhh.... aku tidak yakin bisa bertemu lagi dengannya. Tidak ada seorang pun yang bisa keluar dalam keadaan hidup dari hutan itu," nada suara Prabu Truna Dilaga terdengar menyesali.

"Kenapa tidak kau kirim saja prajurit ke sana, Kanda?" usul Permaisuri Rara Kuminten.

"Terlalu riskan mengirim prajurit ke hutan itu, Dinda."

"Kau sudah kehilangan kedua anakmu, dan sekarang ditambah patih kesayanganmu Apa kau ingin ada lagi korban berikutnya dari orang-orang yang kau sayangi? Malah tidak mustahil, aku pun bisa hilang diculik."

"Jangan punya pikiran yang bukan-bukan, Dinda."

"Aku hanya mengemukakan pendapatku saja, Kanda:"

Permaisuri Rara Kuminten bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Enam orang gadis yang selalu bersamanya mengikuti dari belakang. Sedangkan Prabu Truna Dilaga masih di taman ini bersama dua orang pengawal saja. Wajah Raja Kali Jirak itu semakin terlihat kusut.

***

BAYU duduk mencangkung di beranda pondok yang dibangunnya siang tadi bersama Raden Antawirya. Pondok yang tidak begitu bagus, tapi cukup buat melancarkan rencananya untuk bertemu manusia bermuka tengkorak. Sementara malam terus merambat semakin larut. Kesunyian begitu terasa mencekam sekitarnya. 

Di halaman pondok itu, Bayu membuat api unggun untuk sedikit memberi kehangatan di malam yang cukup dingin itu. Pendekar Pulau Neraka masih tetap menunggu dengan sikap penuh waspada. Namun, beranda yang hanya diterangi lampu minyak jarak itu, tidak mampu menyingkap ketegangan di wajah Pendekar Pulau Neraka.

"Dia sudah datang, Bayu?" terdengar suara dari dalam pondok.

"Belum. Jangan menampakkan dirimu, Raden," sahut Bayu berbisik.

"Kapan datangnya?" tanya Raden Antawirya yang bersembunyi di balik dinding pondok. Sengaja pintunya dibuka sedikit agar nanti bisa melihat ke luar.

"Aku tidak tahu, Raden," sahut Bayu lagi.

"Uh! Nyamuk-nyamuk ini membuatku tidak tahan lagi, Bayu!" rungut Raden Antawirya.

Bayu hanya tersenyum kecut. "Dasar anak raja!" umpat Pendekar Pulau Neraka dalam hati.

Beberapa kali memang terdengar tepukan yang cukup keras. Pasti Raden Antawirya sedang berperang melawan nyamuk.

"Jangan berisik, Raden. Nanti dia tidak mau datang..!" bisik Bayu.

"Kulitku pedas digigiti nyamuk terus, Bayu!" rungut Raden Antawirya.

'Tahanlah sedikit. Kau bukan perempuan yang bisanya hanya mengeluh saja."

Kini tak ada lagi suara. Mungkin Raden Antawirya memberengut atau mengumpat dalam hati. Dan Bayu hanya tersenyum-senyum saja. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin kelakuan Raden Antawirya yang membuatnya jadi tertawa geli di dalam hati. Memang sukar hidup di alam terbuka bagi yang tidak terbiasa.

"Heh...!" tiba-tiba Bayu terperanjat ketika mendadak saja pelita dari minyak jarak padam. Demikian pula api unggun yang dibuatnya tadi.

Belum hilang rasa keterkejutan Pendekar Pulau Neraka itu, mendadak saja di depannya muncul seorang perempuan berambut panjang terurai hampir menutupi wajahnya yang tidak memiliki daging. Wanita itu mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan tergenggam di tangan yang tertutup lengan jubah merahnya. Bayu menggelinjang bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak ke depan

"Kau yang bernama Bayu?" serak dan kering sekali suara wanita berwajah tengkorak itu.

"Benar, dan kau siapa?" balas Bayu.

"Kau tidak periu tahu siapa aku, Bayu!" desis wanita berwajah tengkorak itu sengit.

"Hm..., lalu apa maksudmu datang ke sini?" dengus Bayu tidak kalah dinginnya.

"Aku datang hendak mencabut nyawamu, keparat!"

"Apa salahku...?"

Tapi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu tidak terjawab. Bahkan jawaban yang diterima adalah serangan dari kibasan tongkat yang begitu cepat luar biasa. Sejenak Bayu terperangah, namun cepat menarik lehernya ke belakang. Maka sabetan tongkat itu lewat di depan lehernya.

Namun Bayu sempat terkejut juga, karena angin tebasan tongkat itu mengandung hawa panas dan hempasan yang begitu kuat Akibatnya Pendekar Pulau Neraka itu sedikit terhuyung, terdorong ke belakang.

"Bagus! Rupanya kau punya kebolehan juga, Bayu!" dengus wanita berwajah tengkorak itu.

"Kau belum menjelaskan, kenapa ingin membunuhku?" sentak Bayu.

"Tidak perlu penjelasan bagi manusia lancang sepertimu!"

Setelah berkata demikian, perempuan bermuka tengkorak itu langsung saja melompat menyerang kembali. Dan kali ini lebih dahsyat dari semula. Bayu cepat-cepat melompat ke samping sambil menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan tongkat itu kembali luput dari sasaran. Hal ini membuat perempuan bermuka tengkorak itu jadi geram bukan main.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu memperhebat serangannya. Tongkat berujung bintang segi delapan itu berkelebatan cepat mengurung setiap gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kali ini wanita itu mendapat lawan yang memiliki segudang pengalaman bertarung dan kepandaian yang sangat tinggi. Makanya, hingga kini serangannya belum juga bisa mendapatkan hasil yang diharapkan.

Bahkan beberapa kali Bayu melancarkan serangan balik yang membuat perempuan bermuka tengkorak itu jadi kelabakan menghindarinya. Beberapa kali dia menyumpah dan memaki menyemburkan ludahnya saat Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan balik yang dahsyat dan membuatnya kerepotan untuk menghindar.

Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus cepat terlewati. Sementara dari balik pintu pondok, Raden Antawirya memperhatikan tanpa berkedip. Sungguh tidak diduga kalau Bayu mampu menandingi perempuan bermuka tengkorak itu. Walaupun pertarungan sudah berlangsung lebih dari sepuluh jurus, tapi belum ada tanda tanda bakal ada yang terdesak. Bahkan pertarungan ini kelihatan akan berlangsung lama.

Dan setelah dua puluh jurus berlalu, Bayu tidak hanya menerima serangan. Bahkan sekarang dia malah lebih banyak memberi serangan. Tentu saja hal ini membuat perempuan bermuka tengkorak itu semakin kelabakan saja. Sambil bertarung, mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah, karena tidak akan menyangka bakal mendapatkan lawan begini tangguh.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi Bayu tidak berusaha berkelit. Bahkan tangan kanannya diangkat, dan dibiarkan saja tongkat itu beradu dengan pergelangan tangan kanannya.

Trang!

Satu benturan keras terjadi. Seketika percikan bunga api menyebar ke segala penjuru. Tampak perempuan bermuka tengkorak itu bergetar tangannya, dan buru-buru menarik pulang tongkatnya. Tapi belum juga sempurna menarik tongkatnya, mendadak saja Bayu melayangkan satu tendangan keras menggeledek.

"Yeaaah...!"

Tendangan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak bisa dihindari lagi. Terlebih lagi perempuan tua bermuka tengkorak itu tengah berusaha menahan getaran pada tangannya akibat benturan ujung tongkatnya dengan pergelangan tangan Bayu tadi.

Dughk!

"Hughk..!" perempuan bermuka tengkorak itu mengeluh pendek. Tendangan Bayu tepat menghantam perutnya, membuat tubuh berjubah merah itu terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu Bayu sudah melompat cepat sambil melancarkan dua pukulan sekaligus ke arah dada. Tapi perempuan bermuka tengkorak itu masih mampu menghindari dengan menarik kakinya cepat-cepat ke samping. Sungguh sukar diikuti pandangan mata biasa. Karena tanpa diduga sama sekali, dalam keadaan tubuh masih berada di udara, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuh sambil mengibaskan tangan kirinya langsung ke arah muka perempuan bermuka tengkorak itu.

Plak!

"Akh...!" perempuan bermuka tengkorak itu terpekik keras. Pukulan Bayu demikian keras, sampai-sampai tubuh perempuan bermuka tengkorak itu berputar bagai gasing. Dan pada saat itu terlihat sebuah benda keperakan terlontar. Seketika itu juga, perempuan bermuka tengkorak cepat melesat kabur. Begitu cepatnya, sehingga sebelum Bayu bisa mengejar, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.

***

RADEN Antawirya keluar dari pondok setelah cukup lama menunggu akhir pertarungan. Dihampainya Bayu yang sedang membungkuk memungut sesuatu dari tanah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memutar tubuhnya menghadap Raden Antawirya.

"Ini...!" Bayu menyodorkan tangannya yang memegang benda berwarna keperakan.
"Apa ini...?" tanya Raden Antawirya seraya menerima benda keperakan itu. "Topeng...?"

Raden Antawirya memandang Bayu dalam-dalam, kemudian kembali merayapi benda perak di tangannya. Benda berbentuk topeng tengkorak yang begitu halus berwarna keperakan, tapi lentur bagai karet

"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah di balik topengnya," desah Bayu.

Raden Antawirya kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Bayu menghampiri tumpukan kayu api unggun yang tadi padam akibat terlempar sebuah benda keperakan. Bayu menyalakan kembali api dengan batu pemantik, kemudian duduk di dekat api. Beberapa ranting ditambahkan agar nyala api lebih besar. Raden Antawirya ikut duduk di samping Pendekar Pulau Neraka itu, sambil mengamati topeng tengkorak di tangannya.

"Sudah kuduga, dia pasti manusia biasa yang hanya mengenakan topeng," jelas Bayu lagi setelah menghembuskan napas panjang.

'Tapi, siapa orang itu, ya...?" gumam Raden Antawirya seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang harus kau selidiki, Raden."

"Aku...?!" Raden Antawirya menatap Bayu dalam-dalam.

"Siapa lagi kalau bukan kau yang menyelidiki, Raden."

"Lalu, kau sendiri...?"

Bayu tersenyum. Meskipun Raden Antawirya tidak mengemukakan secara langsung, tapi dari nada suaranya sudah bisa dipastikan kalau bantuan Pendekar Pulau Neraka ini sangat diharapkan. Memang, Raden Antawirya telah menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Pertama, ketika dia bentrok dan hampir tewas kalau Bayu tidak segera menolongnya. 

Dan yang kedua telah disaksikan sendiri betapa dahsyatnya pertarungan tadi. Dari situ saja Raden Antawirya sudah bisa mengukur kemampuannya sendiri. Tak mungkin manusia misterius itu bisa dihadapi seorang diri kalau tidak meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat ini, tidak mungkin mencari orang lain lagi.

"Bayu, kau bersedia membantuku?" tanpa sungkan-sungkan lagi Raden Antawirya meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Kalau kau percaya padaku?"

"Kenapa tidak? Aku tentu menaruh kepercayaan penuh padamu, Bayu."

Bayu tersenyum, dan Raden Antawirya juga tersenyum senang. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak berbicara, namun benak masing-masing terus berputar. Memang sangat disayangkan kalau wajah di balik topeng tengkorak itu tidak sempat terlihat. Orang itu begitu cepat melarikan diri begitu topengnya terbebas. Bahkan Raden Antawirya sendiri belum sempat melihat wajah aslinya.

"Bayu, kita sudah tahu kalau dia manusia biasa. Apa tidak sebaiknya kita ke Hutan Kamiaka saja?" saran Raden Antawirya.

"Untuk apa ke sana, Raden?" tanya Bayu.

"Aku merasa adikku dan Paman Patih masih hidup, dan kini dikurung di dalam hutan itu."

"Dan kau akan menjelajahinya?"

Raden Antawirya tidak menjawab.

"Hutan itu sangat luas, Raden. Dan tidak mungkin bisa menjelajahinya dalam waktu singkat. Lagi pula akan memakan waktu yang tidak sedikit."

"Lalu, apa pikiranmu, Bayu?" tanya Raden Antawirya meminta pendapat.

"Aku rasa kita bisa mendapatkan orang itu di sini, Raden."

"Di sini...?!" Raden Antawirya tidak mengerti.

"Ya, di Istana Kafi Jirak."

"Kau jangan main-main, Bayu!" sentak Raden Antawirya.

"Sebaiknya kita telaah setiap kejadian yang telah berlalu, Raden. Dan jebakanku berhasil baik. Dari situ saja sudah bisa kuduga kalau orang yang kita maksud ada di dalam istana. Dan dia tahu kedatanganku, serta mengetahui apa yang kukatakan pada Prabu Truna Dilaga. Dan aku yakin, orang itu juga mengetahui kedatangan perambah hutan itu, sehingga dengan mudah bisa membunuhnya," Bayu memaparkan jalan pikirannya.

'Teruskan, Bayu," pinta Raden Antawirya mulai tertarik

"Pertama dari ceritamu. Sudah kuduga kalau orang itu ada di dalam istana dan mengetahui seluk beluknya dengan pasti. Itu sebabnya kenapa aku menggunakan cara ini. Aku memang ingin membuktikan, apakah dia akan membunuh setiap orang yang melaporkan tentang dirimu, Raden," lanjut Bayu.

"Lalu?"

"Dia bisa mengetahui siapa saja yang pergi ke Hutan Kamiaka, dan mencegatnya di sana sebelum orang itu datang. Itu sebabnya kedatanganmu ke sana sudah diketahuinya. Bahkan dia juga menunggu kedatangan Patih Natabrata."

"Hm..., aku tidak mengatakan kepergianku pada siapa pun," gumam Raden Antawirya.

'Ingat-ingatlah, Raden. Mungkin Raden lupa, atau secara tidak sadar pernah mengucapkan sesuatu."
Raden Antawirya diam termenung.

"Ya. Aku memang pernah bilang, akan mencari adikku di Hutan Kamiaka. Tapi aku tidak mengatakan kapan dan dengan siapa akan pergi."

"Kepada siapa Raden bicara?" tanya Bayu.

"Pada Ayahanda Prabu. Tapi di situ juga ada Ibunda Permaisuri dan Paman Patih Natabrata. Juga ada beberapa punggawa serta prajurit."

'Terlalu banyak. Sukar mencurigai salah satunya," gumam Bayu pelan.

"Kau mencurigai salah satu dari mereka, Bayu?"

"Raden! Waktu aku datang menemui ayahanda-mu, hanya ada Prabu Truna Dilaga, Gusti Permaisuri, dan dua orang prajurit pengawal. Tidak ada yang lain. Tapi...."

"Tapi apa, Bayu?"

"Punggawa Dipa Praga tahu kalau Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka, tapi tidak melaporkannya pada ayahmu."

"Aneh...," desah Raden Antawirya.

***
EMPAT
BAYU tersentak bangun dari tidurnya, dan langsung melihat Raden Antawirya yang sudah terbangun. Bumi yang mereka pijak bergetar, disertai gemuruh bagai terjadi gempa. Belum lagi mereka sempat berpikir, tiba-tiba saja asap mengepul di atap pondok ini. Dan....

"Cepat keluar dari sini...!" seru Bayu begitu melihat api cepat melahap atap pondok

Raden Antawirya langsung menyambar tudung tikar, lalu mengenakannya. Kemudian dia melompat ke atas mengikuti Pendekar Pulau Neraka yang sudah lebih dahulu melompat menerjang atap yang terbakar. Mereka berputar di udara, kemudian hinggap di sebuah batang pohon yang cukup besar.

Kedua pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat di sekeliling pondok telah dikepung orang-orang berbaju merah dengan kepala terselubung kain merah juga. Wajah mereka mengenakan topeng ber-bentuk tengkorak manusia. Mereka semua menunggang kuda, berjumlah sekitar dua puluh orang.

"Itu di atas pohon! Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang menunjuk ke atas pohon tempat Bayu dan Raden Antawirya berada. Seketika itu juga benda-benda bulat kecil berwarna keperakan bertebaran ke arah Bayu dan Raden Antawirya. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian secepat kilat berlompatan, berputaran di udara menghindari terjangan benda-benda kecil keperakan itu.

Pohon yang mereka naiki tadi meledak dan hancur berkeping-keping tersambar benda-benda keperakan yang dilontarkan orang orang berbaju merah dan mengenakan topeng tengkorak itu. Bayu dan Raden Antawirya mendarat manis di tanah, agak jauh jaraknya dari dua puluh orang bertopeng tengkorak itu.

Tapi belum juga mereka bisa menarik napas lega, orang-orang bertopeng tengkorak itu sudah menggebah kudanya dan menerjang kedua pemuda itu. Terpaksa Raden Antawirya harus mencabut pedangnya, dan langsung melompat menyongsong. Sedangkan Bayu menunggu dengan tangan terkepal erat.

"Hiya!"
"Yeaaah...!"

Pertempuran pun tak dapat dihindari tagi. Raden Antawirya mengamuk bagai banteng terluka. Dengan pedang di tangan, pemuda itu benar-benar sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Pedangnya berkelebat cepat dan sukar diduga arahnya. Namun orang-orang bertopeng tengkorak itu rupanya memiliki tingkat kepandaian tinggi juga. Mereka mampu mengimbangi amukan Raden Antawirya. Bahkan tidak jarang membuat putra mahkota itu kerepotan.

Sementara Bayu hanya dengan tangan kosong saja sudah berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya. Sambil bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu selalu memperhatikan Raden Antawirya yang kelihatannya masih kerepotan menghadapi lawan-lawannya. Melihat posisi Raden Antawirya semakin terdesak dan kewalahan, Bayu segera meningkatkan serangan-serangannya.

Jerit dan pekikan terdengar saling sahut, disusul robohnya orang-orang berbaju merah yang wajahnya tertutup topeng tengkorak. Dalam waktu tidak berapa lama saja, semua pengeroyok Pendekar Pulau Neraka sudah tergeletak tak bernyawa lagi.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat membantu Raden Antawirya. Meskipun putra mahkota itu selalu terdesak, tapi sudah merobohkan tiga orang lawannya. Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka membuat lawan-lawan semakin porak poranda. Pukulan dan tendangan Bayu sungguh keras luar biasa, dan tak terbendung lagi. Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar, dan sebentar kemudian suasana jadi sunyi senyap.

Bayu dan Raden Antawirya berdiri tegak berdampingan, dan sama-sama menghembuskan napas panjang sambil memandangi dua puluh mayat bergelimpangan. Raden Antawirya membuka topeng tengkorak salah satu mayat dengan ujung pedangnya. Tampak seraut wajah yang masih tergolong muda tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.

"Kau kenal dia?" tanya Bayu.

Raden Antawirya hanya menggelengkan kepalanya saja. Ujung pedangnya kemudian menyingkap satu persatu topeng-topeng tengkorak. Tak ada satu pun yang bisa dikenali. Mereka semua masih muda-muda, dan mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan putra mahkota ini. Bayu memandangi pemuda yang mengenakan tudung tikar pandan itu. Raden Antawirya memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya di pinggang.

"Aku tidak tahu, siapa mereka...?" desah Raden Antawirya.

"Siapa pun mereka, yang jelas maksudnya akan membunuh kita, Raden," kata Bayu.

"Apakah mereka suruhan manusia tengkorak itu?" nada suara Raden Antawirya seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak bisa memastikan, Raden. Hhh...! Sayang sekali, seharusnya kita tadi membiarkan salah seorang hidup."

"Ya, kita terlalu terbawa amarah."

Kedua pemuda itu terdiam. Mereka sama-sama memandangi pondok yang sudah hancur terbakar. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pondok yang sudah jadi arang. Hampir bersamaan kedua pemuda itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Bayu, apa tidak sebaiknya semua ini kita selidiki dari dalam istana?" usul Raden Antawirya seraya memandang Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.

"Tidak mungkin kita masuk ke sana, Raden," sergah Bayu. "Aku akan kembali terang-terangan. Aku ingin tahu, ada perubahan apa di dalam istana." .

"Apakah itu tidak membahayakan diri Raden sendiri?"

"Kau pernah bilang, Bayu. Segala sesuatu selalu mengandung bahaya, tinggal tergantung kita sendiri. Apakah mampu meredam bahaya itu ataukah pasrah menghadapinya... ?"

Bayu tersenyum lebar. Memang hal itu pernah dikatakannya pada Raden Antawirya, saat pemuda ini tengah putus asa akibat nyaris tewas di tangan manusia aneh bermuka tengkorak. Cukup banyak yang dikatakan Bayu untuk membangunkan semangat putra mahkota ini. Dan rupanya setiap kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka meresap ke dalam hatinya.

"Baiklah. Aku akan tetap menjagamu, Raden," ujar Bayu.

"Aku percaya itu, Bayu."

***

KEMUNCULAN Raden Antawirya di istana kembali, sungguh mengejutkan. Semua orang menyangka kalau putra mahkota itu sudah tewas di Hutan Kamiaka. Ini baru pertama kali terjadi, orang bisa selamat keluar dari Hutan Kamiaka yang terkenal angker. Kedatangan Raden Antawirya disambut gembira. Bahkan Prabu Truna Dilaga sendiri ingin berdua dengan putranya di dalam kamar pribadi yang tidak seorang pun diijinkan masuk. 

Terlebih lagi Raden Antawirya memang ingin bicara saja berdua bersama ayahnya, tanpa orang lain. Malah Permaisuri Rara Kuminten tidak diijinkan masuk ke dalam kamar khusus ini. Prabu Truna Dilaga tidak puas-puasnya memandangi putranya, yang seakan-akan baru saja bangkit kembali dari kematian.

"Bagaimana kau bisa keluar dari Hutan Kamiaka, Putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga tidak sabar lagi hendak mendengar cerita pengalaman anaknya.

"Ceritanya sangat panjang, Ayahanda Prabu. Tapi bukan itu yang hendak ananda bicarakan," kata Raden Antawirya.

"O...," Prabu Truna Dilaga mengerutkan alisnya.

"Ada sesuatu yang lebih penting, yang hendak ananda bicarakan, Ayahanda Prabu," jelas Raden Antawirya lagi.

"Pembicaraan apa?" tanya Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya dalam hati.

"Ananda mohon, Ayahanda Prabu tidak bergusar hati. Ananda memang selamat dari Hutan Kamiaka, tapi itu bukan karena usaha ananda sendiri. Ada seorang pendekar perkasa yang telah menyelamatkan ananda, Ayahanda Prabu."

"Oh...," desah Prabu Truna Dilaga semakin berkerut keningnya.

"Pendekar perkasa itu tentu sudah Ayahanda Prabu kenal," lanjut Raden Antawirya.

"Siapa?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Dia bernama Bayu, dan pernah menemui Ayahanda Prabu di sini."

"Bayu...," gumam Prabu Truna Dilaga mencoba mengingat-ingat. "Oh, ya.... Memang pernah datang ke sini seorang pemburu muda yang bernama Bayu. Apakah pemuda gagah itu yang kau maksudkan, Anakku?"

"Benar, Ayahanda Prabu. Bayu sengaja datang ke sini dengan satu siasat."

"Siasat..?"

"Maksud Bayu sebenarnya baik, Ayahanda Prabu. Dan ananda yang menyetujui siasatnya itu. Hasilnya juga sungguh mengejutkan."

"Ceritakan selengkapnya padaku," pinta Prabu Truna Dilaga semakin tertarik.

"Sepulangnya dari sini, malamnya Bayu didatangi seseorang yang mukanya seperti tengkorak. Ananda jelas melihatnya. Mereka kemudian .bertarung, tapi orang itu berhasil kabur setelah Bayu melepaskan topeng tengkorak yang dikenakannya. Dan pagi tadi, ananda dan Bayu diserang dua puluh orang bertopeng tengkorak Kami berhasil mengalahkan mereka. Dan itu pun berkat Bayu juga, Ayahanda Prabu," dengan singkat Raden Antawirya mengisahkan pengalamannya bersama Pendekar Pulau Neraka.

"Hm." Teruskan, Anakku," pinta Prabu Truna Dilaga.

"Dari situ ananda yakin, kalau orang bertopeng tengkorak itu ada di dalam istana ini, Ayahanda Prabu," lanjut Raden Antawirya.

"Bagaimana kau bisa menduga begitu, Anakku?" tanya Prabu Truna Dilaga.

"Dari setiap kejadian yang terjadi, orang itu mengetahui persis keadaan dan orang-orang istana. Bahkan dia tahu kalau aku, Paman Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka."

"Kau tahu...?!" Prabu Truna Dilaga terhenyak kaget.

"Ananda memang telah tahu kepergian Paman Patih Natabrata ke Hutan Kamiaka. Bahkan ananda dan Bayu berusaha menolong, tapi terlambat Paman Patih Natabrata lenyap, sedangkan dua puluh prajuritnya tewas."

"Oh...," keluh Prabu Truna Dilaga langsung tertunduk kepalanya. "Maafkan ananda, Ayahanda Prabu. Ananda terpaksa memberitahukan hal ini," ucap Raden Antawirya.

"Tidak apa, Anakku. Lanjutkanlah, apa saja yang sudah kau ketahui?"

"Tidak banyak yang ananda ketahui, Ayahanda Prabu. Itu sebabnya ananda pulang kembali ke istana untuk memancing tanggapan manusia bermuka tengkorak itu."

Prabu Truna Dilaga diam membisu dengan wajah terselimut mendung. Pelahan diangkat kepalanya, ditatapnya dalam-dalam bola mata pemuda di depannya.

"Seharusnya kau tidak kembali ke sini, Anakku," ujar Prabu Truna Dilaga lirih.
"Kenapa?" tanya Raden Antawirya tidak mengerti.

"Karena aku juga sebenarnya sudah berpikir ke arah itu, tapi belum punya cukup bukti. Aku tahu siapa orang yang menculik adikmu, dan yang membuat resah seluruh Kerajaan Kali Jirak ini...."

"Siapa orangnya, Ayahanda Prabu?" desak Raden Antawirya.

"Dewi Iblis."

"Dewi Iblis...?!" Raden Antawirya mengerutkan keningnya.

Tanpa diminta lagi, Prabu Truna Dilaga menceritakan tentang perempuan berwajah tengkorak itu. Apa yang diceritakan kini, sama persis dengan yang pernah diceritakan pada Patih Natabrata. Sedangkan Raden Antawirya mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau pada masa mudanya dulu, ayahnya punya musuh yang sangat tangguh. Hanya saja yang masih sulit dimengerti, apakah mungkin seseorang yang sudah mati bisa bangkit kembali sehingga mampu melancarkan pembalasan dendam sekarang ini?

Kalau memang benar manusia bertopeng tengkorak itu adalah Dewi Iblis, itu berarti mereka berhadapan dengan sosok makhluk halus, bukan manusia biasa. Tapi Raden Antawirya tidak percaya dengan segala macam hantu. Dia teringat kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang meyakinkan dirinya kalau yang sedang dihadapi saat ini adalah manusia biasa berkepandaian sangat tinggi.

Tapi kalau mengingat cerita ayahnya, Raden Antawirya jadi bimbang juga. Prabu Truna Dilaga mengenali betul kalau orang itu adalah Dewi Iblis. Wanita yang pernah menjadi musuh besar keluarga Istana Kerajaan Kali Jirak ini. Sedangkan menurut Prabu Truna Dilaga, Dewi Iblis sudah tewas di tangan orang tua Patih Natabrata. Rasanya sukar dipercaya kalau orang yang sudah mati bisa bangkit lagi, dan sekarang melancarkan aksi balas dendamnya.

"Ayah, apakah Dewi Iblis mempunyai murid?" tanya Raden Antawirya, yang tiba-tiba mendapat pikiran begitu.

"Setahuku tidak, Anakku," sahut Prabu Truna Dilaga.

"Hm.... Pasti ada orang lain yang menggunakan nama Dewi Iblis, dan ingin meruntuhkan Kerajaan Kali Jirak ini...," gumam Raden Antawirya seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya terdiam saja membisu. Persoalan yang mereka hadapi sekarang semakin bertambah pelik. Mereka sadar kalau tengah menghadapi seseorang yang sangat licin dan berbahaya. Terlebih lagi ketika menyadari kalau orang itu berada di dalam istana ini. Memang sulit untuk membuktikan siapa di antara sekian banyak orang yang bisa dicurigai dalam lingkungan istana. 

Hal ini bagaikan mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Karena semua pembesar istana dan pengurus istana ini adalah orang-orang yang mereka kenal, dan sudah mengabdi secara turun-temurun. Rasanya tidak mungkin salah seorang dari mereka yang mencoba memberontak meruntuhkan kekuasaan.

Mereka terus -berbicara bertukar pikiran hingga jauh malam. Baru pada lewat tengah malam, mereka keluar dari kamar itu dan kembali ke kamarnya masing-masing. Di dalam kamarnya, Raden Antawirya tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, melayang jauh pada semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak percaya kalau kejayaan Kali Jirak akan runtuh dalam waktu dekat.

***

SEMENTARA itu di dalam kamar lain, Prabu Truna Dilaga juga belum bisa memejamkan matanya. Pembicaraannya dengan Raden Antawirya tadi benar-benar tidak diduga sama sekali. Hampir-hampir penguasa Kali Jirak ini tidak percaya kalau ada musuh yang menghendaki keruntuhan kerajaan di dalam istana ini Terlebih lagi, orang yang menghendaki itu ada hubungan dengan Dewi Iblis yang dulu menjadi musuh besar keluarga istana.

"Kau sudah kembali, Kanda...?"

Prabu Truna Dilaga berpaling saat mendengar sapaan lembut dari arah belakang. Tampak Permaisuri Rara Kuminten menggeliat bangkit dari pembaringan, lalu duduk ditepinya sambil memandangi laki-laki yang telah lama menjadi suaminya itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga sendiri masih tetap berdiri di samping jendela kamar ini.

"Sudah malam, kenapa belum tidur...?" lembut sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.

'Tidurlah dulu, aku belum mengantuk," ujar Prabu Truna Dilaga kembali memandang ke luar melalui jendela.

Permaisuri Rara Kuminten beranjak bangkit dari pembaringan. Dilangkahkan kakinya menghampiri suaminya, lalu memeluk pinggang laki-laki tua itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja tidak memberi tanggapan.

"Ada yang kau pikirkan, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.

"Hhh...!" Prabu Truna Dilaga hanya menarik napas panjang saja.

"Apa yang kau bicarakan dengan Antawirya?" tanya Permaisuri Rara Kuminten lagi.

"Tidak ada," sahut Prabu Truna Dilaga seraya melepaskan pelukan istrinya.

Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu melangkah menghampiri pembaringan Kemudian direbahkan tubuhnya di sana. Permaisuri Rara Kuminten menghampirinya, lalu duduk di tepi pembaringan kembali.

Dipandanginya wajah laki-laki tua itu. Tangannya bergerak lembut memainkan rambut di dada Prabu Truna Dilaga.

"Rasanya kau belum pernah menyimpan rahasia padaku, Kanda. Apakah pembicaraanmu dengan Antawirya begitu penting, sehingga aku tidak boleh tahu?" rajuk Permaisuri Rara Kuminten.

Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Namun matanya tidak juga mau terpejam, meskipun terasa berat dan lelah sekali. Sementara Permaisuri Rara Kuminten merebahkan rubuhnya di samping laki-laki tua -itu. Diletakkan kepalanya di dada yang berbulu lebat itu.

"Kanda, Antawirya memang bukan anakku. Tapi apakah aku tidak boleh mengetahui rahasianya? Aku menyayangi dan menganggapnya anakku sendiri, walau aku sendiri tidak bisa memberimu seorang keturunan," pelan sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.

"Jangan persoalkan itu lagi, Dinda. Aku tidak suka lagi mendengar keluhanmu tentang anak. Aku sudah cukup bahagia kau dampingi. Kaulah penyelamat hidupku di saat aku kehilangan pegangan karena kehilangan seorang pendamping. Ah, sudahlah.... Lupakan semua itu, Dinda."

"Bagaimana aku bisa tinggal diam saja, Kanda. Sementara kau terus gelisah dalam ketidakmenentuan. Aku tahu, kau sangat memikirkan keselamatan Intan Wandira yang sampai sekarang belum jelas nasibnya. Dan aku yakin kalau kedatangan Antawjrya tidak akan mengobati kegelisahan hatimu. Sedangkan aku...."

Prabu Truna Dilaga buru-buru menutup mulut istrinya dengan dua jari tangan, maka kata kata Permaisuri Rara Kuminten terputus seketika. Prabu Truna Dilaga menggeser tubuhnya, lalu duduk bersandar di pembaringan. Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten memandanginya, sambil duduk dengan tangan bertumpu pada tubuh suaminya.

"Terlalu banyak yang telah kau lakukan untukku, Dinda. Dan aku tidak ingin membebanimu dengan segala macam pikiran yang akan membuatmu susah," kata Prabu Truna Dilaga.

"Tapi, untuk apa aku mendampingimu jika kau masih saja menyimpan rahasia," rungut Permaisuri Rara Kuminten.

"Ini rahasia keselamatan negeri, Dinda. Dan aku...."

"Aku bisa membantu mencari jalan keluarnya, Kanda," potong Permaisuri Rara Kuminten cepat Prabu Truna Dilaga menarik napas panjang. Memang diakui kalau Rara Kuminten selalu mempunyai pikiran cemerlang. Tidak sedikit buah pikirannya terpakai untuk membantu meningkatkan kemajuan negeri. Bahkan di kala sedang menghadapi masa sulit sekalipun, buah pikiran cemerlang wanita ini tiba-tiba saja muncul.

"Ayolah, Kakang.... Untuk apa menyimpan rahasia jika akhirnya aku toh tahu juga...," bujuk Permaisuri Rara Kuminten.

"Baiklah...," desah Prabu Truna Dilaga menyerah.

Laki-laki tua ini memang selalu saja tidak'kuasa menyimpan rahasia sekecil apa pun di depan Permaisuri Rara Kuminten. Sedangkan wanita itu selalu saja dapat membujuk sehingga membuat hati laki-laki tua ini lemah. Prabu Truna Dilaga akhirnya menceritakan juga tentang pembicaraan bersama Raden Antawirya. Bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekalipun tuntas diceritakannya.

Sementara Rara Kuminten mendengarkan penuh perhatian. Sepertinya setiap kata yang diucapkan laki-laki tua ini disimak, dan ditelannya bulat-bulat. Raut wajahnya sedikit berubah ketika Prabu Truna Dilaga mengatakan bahwa kepulangan Raden Antawirya bermaksud menyelidiki setiap orang yang ada di dalam istana. 

Hal ini karena putra mahkota itu menduga segala yang telah terjadi bersumber dari dalam istana sendiri. Permaisuri Rara Kuminten masih berdiam diri meskipun Prabu Truna Dilaga telah menyelesaikan ceritanya. Bahkan untuk beberapa lamanya mereka hanya membisu saja. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat.

"Kanda..., apakah Kanda percaya pada pemuda yang bernama Bayu itu?" Permaisuri Rara Kuminten baru membuka suara setelah cukup lama diam membisu.

"Rasanya pemuda itu bermaksud baik, Dinda," sahut Prabu Truna Dilaga.

"Justru aku sebaliknya, Kanda. Aku malah jadi curiga. Jangan-jangan justru dialah yang memanfaatkan Raden Antawirya. Toh kita tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Sedangkan Raden Antawirya sendiri baru beberapa hari mengenalnya."

"Maksudmu...?" Prabu Truna Dilaga meminta penjelasan.

"Pertolongan tidak akan selamanya tulus, Kanda. Bahkan banyak dari pertolongan yang mengharapkan sesuatu. Bisa saja pemuda itu berpura-pura membantu Raden Antawirya, padahal sebenarnya hendak meruntuhkan kerajaan ini. Kau harus menyelidiki siapa dia sebenarnya, Kakang. Kalau perlu penjarakan dia," tegas Permaisuri Rara Kuminten.

Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras. Sementara Permaisuri Rara Kuminten terus berbicara mengemukakan pendapatnya yang sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Raden Antawirya.

***