Sapta Siaga - 1. Serikat Sapta Siaga(2)



Pembicaraan dengan Pak Penjaga 

Peter, Colin, Jack, dan Skippy juga mengalami 
hal-hal seru. Mereka menyusuri jalan, sambil 
memperhatikan jejak roda mobil di situ. Se- 
sampainya di rumah tua, mereka melihat pintu 
pagar pekarangan ditutup. Mereka menyandar- 
kan diri ke pintu itu dan melihat jejak roda 
yang menuju ke rumah. 

”Itu jejak kakiku kemarin,” kata Peter sambil 
menunjuk. ”Dan ctu kelihatan jejak kaki-kaki 
Skippy. Tapi perhatikanlah, jejak kita terlihat 
samar karena ada jejak lain di atasnya. Jejak 
kaki yang lebih besar, dan jejak-jejak lain— 
kelihatannya aneh.” 

”Tampaknya seperti jejak seseorang yang 
memakai sandal berbentuk bundar,” kata Jack 
heran. "Siapa yang memakai sandal seperti 
itu? Lihatlah! Jejak-jejak aneh kelihatan di 
mana-mana. Seakan-akan orang yang me- 
ninggalkan jejak itu sedang berontak! Mungkin 
karena diseret masuk.” 

Ketiga anak laki-laki itu bersandar di pintu 
pagar, sambil memperhatikan jejak-jejak di 
salju dengan saksama. Mereka mengikuti jejak- 
jejak itu sampai tidak kelihatan lagi. 

”Bisakah kalian melihat, apakah jejak-jejak 
itu menuju ke pintu depan?” kata Colin. ”Dari 
sini aku bisa melihatnya. Tapi kalau tak salah 
lihat, salju di depan pintu itu masih halus. 
Jadi belum diinjak orang.” 

”Aku dapat melihatnya dengan jelas dari 
sini,” kata Peter. ”Ayo kita masuk. Lagi pula 
kita masih harus menanyakan pada penjaga, 
apakah dia mendengar sesuatu tadi malam. 
Jadi kita memang harus masuk.” 

”Apa yang kita katakan nanti, jika dia me- 
nanyakan kenapa kita ingin tahu?” kata Colin. 
'Maksudku, jika dia terlibat dalam rahasia ini, 
dia pasti akan marah jika mengira kita menge- 
tahuinya.” 

"Ya, mungkin dia akan marah,” kata Peter. 
''Kita harus pintar bertanya. Lebih baik kita 
pikirkan dulu masak-masak.” 

Mereka berpikir. 

"Ya, aku tak tahu cara lain. Bagaimana 
kalau kita memancingnya saja? Kita tanyakan 
padanya apakah dia tidak takut kalau ada 
pencuri,” kata Peter pada akhirnya. ''Kita coba 
saja, barangkali dia mau bicara.” 

"Baiklah,” kata Colin. "Tapi rasanya, cara 
begitu kurang meyakinkan. Lebih baik kita 
masuk saja.” 

Skippy lari mendahului, lalu menghilang di 
pojok rumah. Ketiga anak laki-laki mengikuti 
jejak dengan hati-hati. Mereka melihat jejak 
sandal bundar tampak di mana-mana. Seakan- 
akan pembuat jejak itu memberontak, dan me- 
loncat ke sana kemari! 

”Jejaknya tidak menuju ke pintu depan,” 
kata Colin. ”Sudah kukira sejak tadi! Jejak- 
jejak ini mengitari rumah lewat samping. 
Lihatlah, arahnya melewati pintu samping, tem- 
pat si penjaga keluar kemarin. Jejak itu me- 
lewati jalan ini, dan menuju pintu dapur!” 

”Eh, aneh sekali!” ujar Peter heran. ”Kenapa 
ada orang yang berjalan melompat-lompat ke 
pintu dapur, padahal ada pintu depan dan 
pintu samping? Ya, di sini ada tiga bentuk 
jejak. Dua jejak sepatu biasa, dan satu yang 
seperti memakai sandal bundar. Aku tidak me- 
ngerti!” 

Mereka mencoba untuk membuka pintu da- 
pur. Tapi tak berhasil karena terkunci. Mereka 
mengintip lewat jendela. Di dapur tak kelihatan 
ada orang. Yang ada cuma kompor gas, bak 
cuci piring yang penuh dengan perabotan kotor, 
serta sebuah ember di dekatnya. 

”Rupanya Pak Penjaga hanya memakai dapur 
dan kamar depan,” kata Jack. 

Tiba-tiba Peter berseru, ”Awas—itu dia da- 
tang!” 

Pak Penjaga berjalan terseok-seok masuk ke 
dalam dapur. Ia melihat ketiga anak laki-laki 
yang sedang mengintip. Dengan marah, jendela 
dibukanya. 

”Jika kalian mencari anjing, dia ada di pe- 
karangan depan!” teriaknya. "Sekarang pergi 
dari sini! Aku tidak senang ada anak-anak 
yang bermain di sini. Nanti tahu-tahu kalian 
sudah memecahkan jendela!” 

"Tidak, kami bukan hendak bermain-main 
di sini!” Jack berteriak agar kata-katanya ter- 
dengar oleh bapak tua yang tuli itu. "Kami 
hanya hendak mengambil anjing kami lalu 
pergi kembali. Maaf, karena dia berani-berani 
masuk kemari.” 

"Bapak tidak kesepian sendirian di sini?” 
teriak Colin. "Tidak takut pencuri?” 

"Tidak. Aku tidak takut,” seru bapak tua itu 
agak meremehkan. ”Aku punya senjata, tongkat 
besarku ini. Lagi pula, di sini tak ada barang 
berharga untuk dicuri.” 

"Tapi kenyataannya, ada orang yang berjalan 
menuju pintu belakang!” jerit Peter. Ia melihat 
kesempatan untuk membicarakan persoalan 
jejak rahasia dengan penjaga tua itu, sambil 
menyelidiki kalau-kalau ia mengetahui sesuatu. 
Peter menunjukkan jari ke arah jejak yang 
menuju ke pintu belakang. Pak Penjaga men- 
julurkan badan ke luar jendela dan memperhati- 
kan jari telunjuk Peter. 

”Itu kan jejak kalian sendiri. Menginjak- 
injak pekarangan orang tanpa izin!” bentaknya. 

”Bukan, itu bukan jejak kami. Aku berani 
taruhan, pasti ada pencuri atau orang lain 
datang kemari semalam!” seru Peter. Ketiga 
anak laki-laki itu memperhatikan wajah Pak 
Penjaga. Mereka ingin melihat, apakah air 
mukanya berubah. 

”Eh!” teriaknya. ”Kalian rupanya ingin me- 
nakut-nakuti aku ya!” 

”Tidak, aku bukan mau menakut-nakuti!” 
balas Peter dengan suara nyaring. '"Apakah 
Bapak mendengar sesuatu tadi malam? Jika 
ada pencuri mencoba masuk, apakah Bapak 
mendengarnya?” 

”Aku ini tuli!” seru Pak Penjaga. ”Aku tak 
bisa mendengar apa-apa—eh, nanti dulu. Ya, 
rasanya aku mendengar sesuatu tadi malam. 
Tapi aku lupa. Eh, benar juga. Aneh!” 

Ketiga anak yang berdiri di depan jendela 
hampir-hampir tak bernapas karena terlalu ber 
minat. 

”Apa yang Bapak dengar?” tanya Jack. Tapi 
ia lupa berteriak. Karena itu Pak Penjaga tidak 
memedulikannya. Orang tua itu mengerutkan 
dahi. Mukanya yang sudah keriput kelihatan 
semakin keriput. 

"Rasanya aku mendengar suara memekik 
atau bunyi lain seperti itu,” katanya perlahan. 
”Kukira telingaku yang mendengung. Telingaku 
memang sering mendengung. Karena itu aku 
tidak bangun untuk memeriksa. Tetapi tidak 
ada barang yang dicuri. Juga tidak terjadi 
kerusakan sama sekali. Jadi untuk apa aku 
repot-repot? Kalau ada orang mau menjerit, 
biarlah dia menjerit!” 

”Apakah pekikan itu terjadi di dalam ru- 
mah?” pekik Peter. 

”Kalau pekikannya teijadi di luar, aku tak 
mungkin mendengarnya,” kata orang tua itu. 

”Aku ini sudah tuli benar.” Tiba-tiba Pak Pen- 
jaga mulai curiga. ”Ah, kalian ini cuma mau 
mempermainkan aku. Mau menakut-nakuti 
orang tua. Kurang ajar!” 

”Bolehkah kami masuk dan memeriksa ke 
dalam?” seru Colin. Kedua temannya meman- 
dang penjaga itu dengan penuh harapan. Me- 
reka mengharapkan orang tua itu akan meng- 
izinkan. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi. 

”Berani benar kalian ini, meminta masuk!” 
teriak Pak Penjaga. ”Aku tahu anak-anak se- 
perti kalian ini. Kegemarannya mengganggu 
orang lain, membuang-buang waktuku. Seka- 
rang keluar semuanya! Jangan berani datang 
kemari dengan dongeng tentang pencuri dan 
sebagainya. Ayo pergi!” 

Tepat pada saat itu Skippy datang berlari- 
lari. Ia melihat penjaga tua yang sedang marah 
di jendela. Skippy meloncat ke arahnya, mak- 
sudnya hendak memberi salam. Pak Penjaga 
meloncat mundur ketakutan. Dikiranya Skippy 
hendak menggigit. Pak tua itu menjulurkan 
badan ke luar, dan mengayunkan tongkat hen- 
dak memukul. Skippy mengelak lalu meng- 
gonggong. 

"Kuhajar nanti anjing kalian!” seru pak tua 
itu. ”Ya, dan kalian juga sekaligus. Berani- 
berani menggoda orang tua. Tunggu saja! Tahu 
rasa nanti!” 

Penjaga tua pemarah itu menghilang, keluar 
dari dapur. 

”Dia pasti akan muncul dari pintu sam- 
ping,” kata Peter. ”Ayo, kita pergi saja. Kita 
sudah mengetahui hal-hal yang ingin kita ke- 
tahui. Lagi pula, suaraku sudah serak karena 
berteriak-teriak! ” 


Sekali Lagi Rapat 

Pertemuan sore itu ramai dan menarik, semua- 
nya membawa laporan. Mereka tiba di gudang 
tua tepat pada waktunya. Kata sandi terdengar 
disebutkan berturut-turut. 

”Pekan!” 

”Pekan!” 

”Pekan!” 

Ketujuh anggota masuk satu per satu dan 
tak lama kemudian semuanya sudah lengkap 
duduk di dalam gudang. Semuanya kelihatan 
seperti orang penting. Skippy duduk di dekat 
Peter dan Janet. Telinganya yang panjang ter- 
kulai ke bawah, memberikan kesan pintar. 

”Pam dan George, kalian yang menyampai- 
kan laporan pertama,” kata Peter. 

Kedua anak itu menyampaikan laporan. 
Mereka bercerita bahwa mereka berhasil me- 
nyelidiki rumah tua yang kosong itu, dan 
bahwa rumah itu telah dijual beberapa waktu 
yang lalu kepada seseorang bernama J. 
Holikoff. Tapi pemiliknya tak pernah tinggal 
di sana. 

”Kau mencatat alamatnya?” tanya Peter. 
”Mungkin penting artinya.” 

”Oh ya,” kata George. Ia mengeluarkan buku 
catatannya, lalu membaca alamat yang tertulis 
di dalamnya. 

”Bagus! Mungkin kita harus menghubungi- 
nya jika nanti ternyata ada hal-hal aneh yang 
terjadi di rumah kosongnya,” kata Peter. 

Pam dan George merasa sangat bangga. 

Kemudian menyusul laporan Janet dan Bar- 
bara. Mereka bercerita bahwa jejak mobil da- 
tang dari arah kota Templeton, kemudian mobil 
itu berhenti di depan pintu pagar rumah tua, 
seperti yang dilihat Jack semalam. Selanjutnya 
mereka juga melaporkan bahwa jejak mobil 
mengarah ke lapangan di pinggir sungai, masuk 
ke lapangan, berputar di situ, kemudian keluar 
lagi. Dilaporkan juga bahwa dari jejak roda, 
tampak jelas kendaraan itu bolak-balik melalui 
jalan yang sama. 

"Pekerjaan kalian memuaskan,” kata Peter. 

Janet mengeluarkan buku catatannya, wajah- 
nya agak memerah. ”Aku juga masih mem- 
punyai laporan lain,” katanya. Ia menunjuk- 
kan gambar jejak roda yang telah dibuatnya. 
”Aku tak tahu apakah ada gunanya bagi kita. 
Tapi ini gambar jejak roda mobil atau gero- 
bak gandengannya. Aku juga mengukur lebar- 
nya. 

Semua memperhatikan gambar yang di- 
tunjukkan Janet. Kelihatannya sama sekali tidak 
mengesankan, tetapi Peter puas. 

"Walaupun gambar ini tidak ada gunanya, 
gagasanmu untuk membuatnya bagus sekali,” 
ujarnya. "Misalkan saja jejak roda ini penting 
artinya—sedangkan salju sudah mencair— 
gambarmu ini satu-satunya pegangan yang kita 
punya untuk mengetahui jenis roda.” 

"Ya, menurut pendapatku, kau telah bekerja 
dengan baik, Janet,” Colin memuji adik teman- 
nya itu. 

Janet kelihatan sangat bangga. Buku catatan 
disimpannya kembali. "Sekarang giliran kalian 
bertiga untuk menyampaikan laporan,” kata 
Janet, meskipun ia sendiri sudah mendengar 
sebagian dari Peter, sewaktu menunggu teman- 
teman datang. 

Peter yang menyampaikan laporan, mewakili 
Colin dan Jack. Yang lain-lain mendengarkan 
dengan serius. Kelihatan semuanya sangat ter- 
tarik. 

"Jadi, tadi malam memang ada orang yang 
datang ke rumah tua itu, kemudian masuk 
lewat pintu dapur, karena jejak kaki di salju 
mengarah ke situ,” kata Peter mengakhiri 
laporannya. "Dan menurut perkiraanku, di situ 
ditinggalkan seorang tawanan.” 

Napas Pam tersentak. "Tawanan? Apa mak- 
sudmu?” 

"Bukankah sudah jelas bahwa ada tawanan 
dalam mobil gandeng yang tak berjendela itu? 
Seorang tawanan yang tak boleh dilihat maupun 
didengar orang lain. Seseorang yang diseret ke 
dapur dan dipaksa masuk, kemudian disem- 
bunyikan di salah satu tempat dalam rumah 
itu. Seseorang yang disakiti dan memekik, 
begitu nyaring pekikannya sehingga Pak Penjaga 
yang tuli juga mendengarnya,” ujar Peter. 

Teman-temannya kelihatannya kurang enak 
dan gelisah. 

”Wah, aku tidak suka mendengarnya,” kata 
Colin. Tak ada yang senang mendengarnya. 
Seram rasanya membayangkan seorang ta- 
wanan malang yang menjerit-jerit, terkurung 
di salah satu tempat dalam rumah tua yang 
kosong. 

"Bagaimana dengan makanannya?” kata 
Colin pada akhirnya. 

"Ya, dan bagaimana dengan air minumnya,” 
sambung Janet. ”Lagi pula, mengapa orang 
itu terkurung di situ?” 

"Mungkin dia diculik,” kata Jack. ”Wah, 
kalau dugaan kita ini benar—persoalannya 
benar-benar gawat.” 

Beberapa saat lamanya semua membisu, si- 
buk dengan pikiran masing-masing. 

"Apakah sebaiknya kita katakan pada orang- 
tua kita?” tanya Pam. 

"Atau barangkali ke polisi saja?” sambung 
Jack. 

"Nanti dulu! Kita harus menyelidiki dulu 
lebih jauh,” kata Peter menenangkan. "Mungkin 
saja persoalan biasa. Misalnya saja mobil salah 
jalan atau hal semacam itu.” 

”Eh, aku dapat kesimpulan bani!” kata Jack. 
"Mobil gandengannya—mungkin saja semacam 
ambulans, bukan? Maksudku, ambulans yang 
dipakai orang-orang untuk mengangkut pasien 
ke rumah sakit! Mungkin mobil itu ambulans 
yang salah jalan, kemudian berhenti ketika 
tahu telah tersasar. Sedang suara pekikan ada- 
lah pasien yang menjerit kesakitan.” 

"Tapi Pak Penjaga mengatakan dia juga men- 
dengar suara orang memekik di dalam rumah,” 
kata Peter. "Tapi tentu saja mungkin cuma 
dengungan di kepalanya. Katanya, hal itu 
kadang-kadang dialaminya. Memang, Jack, 
mungkin saja yang datang itu sebuah ambulans 
yang ditarik mobil. Meskipun harus kukatakan, 
aku belum pernah melihat ambulans seperti 
itu.” 

"Pokoknya, kita jangan bilang siapa-siapa 
dulu, sebelum kita sendiri membuktikan bahwa 
hal yang aneh benar-benar telah terjadi,” kata 
Colin. "Kita nanti akan malu jika sudah me- 
laporkan pada polisi, tapi ternyata semuanya 
cuma persoalan biasa.” 

"Betul katamu. Kita jangan terburu-buru 
menceritakan rahasia ini pada orang lain,” 
ujar Peter. "Tapi tentu saja kita sendiri harus 
berbuat sesuatu. Kita tidak bisa membiarkannya 
begitu saja.” 

”Tentu saja kita harus berbuat sesuatu,” kata 
George "Tapi apa yang harus kita lakukan?” 

"Sebaiknya kita pikirkan dulu,” kata Peter. 
Sekali lagi ketujuh anak itu berpikir. Langkah 
manakah yang sebaiknya diambil sekarang? 
Akhirnya Jack yang membuka mulut. 

”Aku mendapat akal!” katanya. ”Tapi agak 
menyeramkan. Sebaiknya para anggota perem- 
puan tak usah ikut.” 

"Kami tak boleh ikut?” protes ketiga anak 
perempuan serempak. 

”Persoalannya begini. Jika betul ada seorang 
tawanan terkurung dalam rumah itu, dia pasti 
harus diberi makan dan minum,” kata Jack 
menerangkan. ”Dan orang yang memberi 
makan-minum harus datang ke situ pada ma- 
lam hari. Betul, kan? Jadi, bagaimana jika 
kita bergiliran setiap malam untuk mengawasi 
rumah tua itu? Kita perhatikan siapa yang 
masuk, barangkali juga membuntuti untuk me- 
lihat ke mana dia pergi, serta melihat siapa 
yang ditahan di dalam rumah.” 

"Kelihatannya gagasanmu bagus juga,” kata 
Peter. ”Tapi giliran menjaga harus dilakukan 
berdua. Aku tak mau pergi sendiri dan ber- 
sembunyi di sana malam hari!” 

"Kwrasa, barangkali malam ini akan ada 
orang datang,” kata George. "Mengapa tidak 
kita berempat saja yang mengintai di sana?” 

”Wah, susah jika berempat! Di mana harus 
bersembunyi supaya tidak kelihatan?” kata 
Colin. 

”Aku ada akal! Lebih baik kita membungkus 
badan kita dengan kain putih. Kita meng- 
gabungkan diri dengan boneka salju di la- 
pangan!” Sebetulnya Peter berkata begitu untuk 
berkelakar saja. Tetapi ketiga anggota yang 
laki-laki menyambut usulnya dengan gembira. 

”Oh ya, Peter! Itu bagus! Jika kita mem- 
bungkus badan dengan kain putih, pasti takkan 
ada yang mengira kita bukan boneka salju,” 
ujar Colin. 

"Dari tempat itu kita bisa memperhatikan 
jalan. Kita dapat mendengar dan melihat semua 
orang yang datang,” sambung George. 

”Kalau ada yang datang, dua orang dari 
kita bisa membuntuti masuk ke rumah. Dua 
orang lagi menjaga di luar dengan menyamar 
sebagai boneka salju. Kalau yang di dalam 
mengalami kesulitan, kedua teman yang di 
luar bisa meminta tolong,” kata Jack. ”Aku 
kepingin berdiri di luar, di antara boneka- 
boneka salju. Tapi kita harus membungkus 
badan supaya hangat.” 

”Kami tak boleh ikut?” tanya Pam. 

”Aku tak mau ikut!” kata Barbara dengan 
segera. 

”Memang kalian sebaiknya tidak ikut,” kata 
Peter. ”Malam ini yang beraksi hanya para 
anggota laki-laki!” 

”Wah, hebat!” seru Jack. Matanya berkilat- 
kilat karena gembira. ”Bagaimana dengan 
Skippy, apakah dia juga ikut?” 

"Rasanya lebih baik kita mengajaknya,” 
jawab Peter. "Kalau kusuruh diam, dia bisa 
diam.” 

"Akan kubuatkan jubah kecil putih untuk- 
nya,” kata Janet. "Dengan begitu dia juga tak 
bisa terlihat lagi. Dia akan kelihatan seperti 
sebongkah salju!” 

Ketujuh anak itu mulai bersemangat. 

"Pukul berapa kita pergi nanti?” tanya 
Colin. 

"Bukankah semalam orang-orang itu datang 
sekitar pukul setengah sepuluh?” kata Jack. 
"Jadi, malam ini kita beraksi pada saat yang 
sama. Kalian berkumpul di sini sekitar pukul 
sembilan malam nanti. Wah, bukan main! 
Rahasia ini mulai asyik!” 


Aksi Malam Hari 

Sepanjang sore Janet sibuk membuat jubah 
putih untuk Skippy. Peter mengambil sehelai 
seprai putih, dan menemukan mantel tua ber- 
warna putih. Seprai putih itu sangat lebar. 
Peter berpendapat sebaiknya seprai itu dipotong 
menjadi empat bagian, untuk dipakai ketiga 
temannya dan dirinya sendiri. 

Janet membantunya memotong seprai, lalu 
membuatkan lubang-lubang untuk leher dan 
lengan. Ia tertawa geli ketika Peter mencoba 
mengenakan salah satunya. 

”Kau kelihatan aneh,” katanya. ”Tapi bagai- 
mana dengan kepalamu? Bagaimana hendak 
kausembunyikan rambutmu yang cokelat tua 
itu? Malam ini terang bulan!” 

”Kau harus membuatkan topi putih atau 
barang sejenis itu untuk kami berempat,” kata 
Peter. "Sedangkan wajah kami akan dicat 
putih!” 

”Di gudang ada kapur sedikit,” kata Janet. 
Ia cekikikan lagi. ”Ya ampun, kau pasti akan 
kelihatan aneh! Boleh kan, aku datang ke 
gudang pukul sembilan nanti? Aku ingin me- 
lihat penampilan kalian sebelum berangkat.” 

"Baiklah, jika kau bisa menyelinap keluar 
tanpa dilihat siapa-siapa,” kata Peter. "Kalau 
tidak salah, Mom akan keluar malam ini. Jadi 
mestinya bisa! Tetapi kalau Mom tidak jadi 
keluar, jangan pergi. Karena jika kau membuat 
ribut, nanti semuanya gagal!” 

Ternyata ibu mereka malam itu pergi. Janet 
bersyukur. Sekarang ia bisa menyelinap ke 
gudang dengan mudah. Peter mengatakan pada- 
nya agar jangan lupa membungkus badan de- 
ngan pakaian hangat. Dan kalau sampai ter- 
tidur, jangan bangun lagi! 

”Aku pasti takkan tertidur!” kata Janet kesal. 
”Kau tahu hal itu takkan terjadi. Kau sendiri 
yang seharusnya berjaga-jaga, jangan sampai 
tertidur!” 

"Jangan mengejek,” tukas Peter. "Mana 
mungkin ketua Serikat sampai tertidur dalam 
menghadapi rencana sepenting ini! Janet, kali 
ini Sapta Siaga benar-benar menghadapi pe- 
tualangan hebat!” 

Pukul setengah sembilan malam lampu da- 
lam kamar kedua anak itu dipadamkan. Dari 
luar, kedua kamar kelihatan gelap. Tapi di 
dalam dinyalakan lampu senter. Janet sibuk 
sekali memasangkan jubah putih ke badan 
Skippy. Tapi anjing itu sama sekali tidak me- 
nyukainya. Jubah yang membungkus badannya 
digigit-gigitnya. 

”Oh, Skippy, jangan membandel! Kau tak 
boleh ikut kalau tidak kelihatan seperti anjing 
salju,” kata Janet hampir putus asa. Entahlah, 
apakah Skippy memahami kata-katanya atau 
tidak—tapi pokoknya sejak saat itu Skippy 
membiarkan Janet memasangkan jubah. Setelah 
selesai terpasang, anjing itu kelihatan aneh 
dan sangat sedih. 

”Ayo, jika kau masih ingin ikut. Sudah 
hampir pukul sembilan sekarang,” terdengar 
suara berbisik. Ternyata Peter sudah menunggu 
di luar. Mereka berdua menuruni tangga de- 
ngan diam-diam, diikuti oleh Skippy. Badan 
mereka bertiga terbungkus hangat. Tetapi begitu 
mereka sampai di luar, ternyata udara tidak 
sedingin yang diperkirakan. 

"Salju mencair! Malam ini suhu rupanya 
tidak turun,” bisik Janet. 

”Mudah-mudahan boneka salju kita belum 
mencair,” kata Peter khawatir. 

”Ah, pasti belum” ujar Janet. ”Cepat, aku 
bisa melihat salah satu dari teman-teman kita.” 

Kata sandi dibisikkan pelan-pelan di pintu 
gudang. Tak lama kemudian lima dari ketujuh 
Sapta Siaga telah hadir. Peter menyalakan lilin. 

Mereka berpandangan dengan perasaan gem- 
bira. 

”Kita harus mengecat muka kita dengan 
kapur, serta mengenakan jubah putih,” kata 
Peter. ”Setelah itu kita siap untuk pergi.” 

Jack tertawa cekikikan. ”Coba lihat si 
Skippy! Ia juga berpakaian putih! Skip, rupamu 
aneh.” 

Skippy menggonggong dengan suara lesu. 
Ia memang merasa aneh. Skippy yang malang. 

Sambil tertawa-tawa, keempat anak laki-laki 
itu mengecat muka mereka dengan kapur. Se- 
belumnya mereka memakai jubah putih agar 

mantel mereka tidak kotor. Janet memasangkan 
topi-topi kecil putih yang telah dibuatnya ke 
kepala setiap anak. 

”Aduh! Aku tak mau ketemu kalian di jalan 
malam ini!” ujar Janet. ”Kalian kelihatan me- 
nakutkan!” 

”Sudah waktunya kita pergi,” kata Peter. 
”Janet, sekarang kau tidur saja. Besok pagi 
akan kuceritakan pengalaman kami. Nanti aku 
akan masuk dengan hati-hati, supaya kau tidak 
terbangun.” 

”Aku takkan tidur sebelum kau pulang!” 
kata Janet. 

Anak itu melihat Peter pergi bersama ketiga 
temannya. Mereka bergerak di jalan yang di- 
terangi sinar bulan. Empat sosok tubuh ber- 
jubah putih, dengan wajah dilaburi kapur. Me- 
reka memang kelihatan seperti boneka salju 
yang sedang berbaris. 

Dengan hati-hati mereka bergerak di jalan 
yang menuju ke rumah tua. Mata mereka 
bergerak kian kemari, kalau-kalau ada orang 
lewat. 

Tapi mereka tidak berpapasan dengan siapa 
pun juga. Hanya ada seorang anak laki-laki 
yang tiba-tiba muncul di pojok jalan. Karena 
tempat itu bersalju, keempat anggota Sapta 
Siaga tak sempat mendengar langkahnya. Me- 
reka tertegun ketika anak itu muncul. 

Anak itu berhenti. Matanya melotot, me- 
mandang keempat boneka salju hidup dengan 
penuh ketakutan. 

’liiih!” erangnya. ”Hii—siapa kalian?” 

Peter mengeluarkan suara erangan. Suaranya 
menyeramkan sekali, sehingga anak laki-laki 
itu gemetar karena ngeri. ”Toloong! Ada bo- 
neka salju hidup! Tolooong!” 

Ia lari kocar-kacir sambil berteriak-teriak. 
Keempat anggota Sapta Siaga yang sedang 
menyamar tak mampu menahan rasa geli. Me- 
reka tertawa cekikikan, sambil menyandarkan 
diri di pagar. 

”Aduh, ya ampun!” kata Jack di sela-sela 
tawanya. "Hampir meledak tawaku tadi, ketika 
kau mengerang seseram itu. Hahaha, kau hebat, 
Peter!” 

”Ayo! Kita pergi saja dari sini sebelum 
anak itu datang lagi bersama orang lain,” kata 
Peter. Mereka meneruskan peijalanan sambil 
tertawa-tawa. Mereka membelok ke jalan yang 
menuju ke rumah tua. Tak lama kemudian, 
mereka sudah sampai. Rumah itu kelihatan 
sepi dan gelap. Hanya atapnya yang putih 
ditimpa sinar bulan. 

”Rupanya belum ada orang,” kata Peter. 
”Di mana-mana belum kelihatan lampu me- 
nyala. Juga tak terdengar suara sama sekali.” 

”Kalau begitu, kita masuk saja dan meng- 
gabungkan diri dengan barisan boneka salju,” 
ujar Jack. ”Peter! Coba kaularang Skippy, ja- 
ngan terus-terusan menyelinap di antara kakiku. 
Aku nanti tersandung!” 

Mereka berempat memanjat pintu pagar, lalu 
masuk ke lapangan. Keempat boneka salju 
masih tegak di sana. Tapi sayang, keempat- 
empatnya sudah mulai mencair, dan sudah tak 
sebesar tadi pagi lagi. Skippy maju dan mengen- 
dus boneka-boneka itu. Peter memanggilnya. 

”Skip, kemari! Kau hams diam seperti kami! 
Dan awas, kau tidak boleh menggonggong. 
Mendengking pelan-pelan juga tidak boleh!” 

Skippy mengerti. Anjing itu berdiri seperti 
patung di sebelah Peter. Keempat anak dan 
seekor anjing berdiri di lapangan. Kelihatannya 
seperti boneka-boneka salju di atas lapangan 
bersalju. 

Mereka menunggu di situ. Mereka terus 
menunggu. Tapi tak seorang pun yang datang. 
Mereka menunggu selama setengah jam. Lam- 
bat laun mereka mulai ked ingina n. 

”Salju di bawah kakiku mulai mencair,” 
keluh Jack. ”Peter, menurutmu, masih berapa 
lama lagi kita hams berdiri di sini?” 

Kedua temannya juga sudah mulai bosan. 
Padahal tadinya mereka sudah bertekad, kalau 
perlu akan menunggu hingga tengah malam di 
situ, bersama keempat boneka salju. Tapi ter- 
nyata setengah jam saja sudah terasa terlampau 
lama. 

”Tidak bisakah kita berjalan-jalan sebentar?” 
usul Colin. Rupanya ia sudah tak sabar lagi. 
”Pokoknya, asal badan kita menjadi hangat 
kembali.” 

Peter baru saja hendak menjawab usul itu, 
tapi tak jadi. Tiba-tiba ia memasang telinga. 
Peter mendengar sesuatu. ”Apa itu?” 

Colin hendak berkata, tapi dilarang oleh 
Peter. Dengan segera Colin menutup mulut. 
Mereka berempat menajamkan telinga. Ter- 
dengar sesuatu di kejauhan. 

”Itu suara orang menjerit,” ujar Jack. ’Ttu 
dia yang kudengar kemarin. Tapi kali ini hanya 
samar-samar, dan jauh sekali. Kedengarannya 
datang dari arah rumah. Terbukti memang ada 
seseorang di situ!” 

Tengkuk mereka merinding. Mereka me- 
masang telinga lagi. Dan sekali lagi terdengar 
suara aneh di kejauhan, memecah kesunyian 
malam. 

”Wah, pasti ada yang tidak beres,” ujar 
Peter. ”Aku akan pergi ke rumah itu. Aku 
ingin tahu, apakah di situ juga masih terdengar 
suara pekikan tadi. Sebenarnya kita hams mem- 
beritahu orang lain.” 

”Ayo kita pergi bersama-sama,” ujar Colin. 
Tapi Peter bersikap tegas. 

”Tidak! Dua dari kita masuk. Yang dua lagi 
tinggal di sini untuk berjaga-jaga. Itu kan 
sudah kita tentukan tadi. Jack, kau ikut aku. 
Colin dan George, kalian menunggu di sini. 
Jaga kalau ada orang datang.” 

Peter dan Jack menuju ke pintu gerbang 
lapangan. Dua sosok tubuh putih dengan wajah 
putih memanjat pintu gerbang, menyeberangi 
jalan, dan berjalan menuju pintu pagar pe- 
karangan rumah tua. Mereka membuka pintu, 
dan menutupnya kembali sesudah mereka ma- 
suk. Kini tidak terdengar apa-apa lagi. 

Mereka berdua berjalan dengan hati-hati me- 
nuju ke rumah tua, menjaga agar bayangan 
mereka tak terlihat, bersiap-siap jika Pak 
Penjaga kebetulan melihat ke luar. Sesampainya 
di pintu depan, Peter mengintip ke dalam 
lewat celah kotak surat. Tapi tak kelihatan 
apa-apa. Tak ada lampu yang menyala di 
dalam. 

Lalu mereka berjalan menuju pintu samping, 
mencoba untuk membukanya. Tentu saja pintu 
itu terkunci. Kemudian mencoba pintu bela- 
kang. Juga terkunci! Tapi tiba-tiba mereka 
mendengar bunyi aneh. Bunyi mengetuk-ngetuk 
terdengar nyaring dari dalam rumah. Kedua 
anak itu berpegangan tangan. Ada apa di dalam 
rumah tua yang kosong ini? 

”He! Pak Penjaga lupa menutup jendela 
tempat dia bicara dengan kita tadi pagi,” bisik 
Jack tiba-tiba. ”Itu—jendelanya terbuka se- 
dikit!” 

”Eh, betul! Selanjutnya bagaimana? Kita ma- 
suk saja dan berusaha menemukan orang yang 
ditawan itu,” ujar Peter penuh semangat. 

Dalam sekejap mata, kedua anak itu sudah 
berada di dalam rumah. Mereka berdiri di 
dapur yang gelap dengan hati berdebar keras. 
Peter dan Jack menajamkan telinga. Tapi seka- 
rang tak terdengar apa-apa lagi. Di mana ta- 
wanan itu dikurung? 

”Kita berani atau tidak memeriksa seluruh 
rumah ini?” tanya Peter. Ia masih ragu. ”Aku 
membawa senter.” 

”Tentu saja berani, karena kita harus me- 
lakukannya,” jawab Jack. Mereka pun ber- 
jingkat-jingkat, mula-mula ke ruangan kecil 
tempat menyimpan makanan. Sesudah itu ke 
ruangan berikutnya! Tapi tak ada siapa-siapa 
di situ. 

"Sekarang kita masuk ke ruang depan. Dari 
situ kita mengintip ke kamar-kamar,” ujar Peter. 

Kamar-kamar depan terang bermandikan 
sinar bulan. Tapi kamar-kamar sebelah bela- 
kang gelap. Kedua anak itu mendorong pintu 
tiap-tiap kamar, lalu menyorotkan senter ke 
dalam. Tapi semua kamar itu kosong dan 
sunyi. 

Akhirnya mereka sampai di depan pintu 
yang tertutup. Dari baliknya terdengar suara 
sesuatu. Peter memegang lengan Jack. 

”Ada orang di dalam. Pintu ini mungkin 
terkunci. Tapi kucoba saja. Bersiaplah untuk 
lari, jika kita dikejar!” 


10 
Terjebak! 

Ternyata pintu itu tidak terkunci. Peter men- 
dorongnya pelan-pelan. Tiba-tiba saja, suara 
yang terdengar tadi menjadi lebih jelas. Me- 
mang betul ada orang di dalamnya. Seseorang 
yang sedang tidur mendengkur! 

Kedua anak itu serempak mendapat pikiran 
yang sama. Pasti itu Pak Penjaga! Peter 
menjengukkan kepala lebih jauh ke dalam 
kamar. 

Sinar bulan menerangi kamar. Pak Penjaga 
tidur di atas sebuah tempat tidur rendah yang 
berantakan. Pak Penjaga rupanya sangat letih, 
sehingga tak sempat berganti pakaian! Peter 
berpaling. Maksudnya hendak keluar lagi. Tapi 
tiba-tiba lampu senternya terbentur pintu, dan 
jatuh ke lantai. Nyaring sekali kedengarannya! 

Peter tidak berani bergerak karena ketakutan. 
Tapi Pak Penjaga tetap mendengkur. Barulah 
Peter ingat kembali, bahwa penjaga tua itu 
tuli. Bunyi senter jatuh seribut itu pun tidak 
didengarnya. Dengan hati-hati Peter menutup 
pintu kembali. Mereka berdua berdiri di ruang , 
depan. Peter memeriksa lampu senternya, 
kalau-kalau rusak karena jatuh. Tidak, lampu- 
nya masih menyala. Bagus. 

”Sekarang kita naik ke lantai atas,” bisiknya. 
”Kau tidak takut kan, Jack?” 

”Takut juga, tapi sedikit. Ayo!” 

Mereka menuju ke tangga yang mengarah 
ke atas. Anak tangganya berderik-derik di ba- 
wah kaki mereka. Untung pak tua itu tuli! 
Mereka sampai di tingkat pertama. Di situ ada 
enam kamar. Keenam-enamnya diperiksa. 
Semuanya kosong. Kemudian mereka naik lagi  
ke lantai teratas. 

”Sekarang kita harus hati-hati,” bisik Jack. 
Ia berbisik pelan sekali, sehingga Peter hampir 
tidak mendengarnya. ”Kamar-kamar di atas 
ini saja yang belum kita periksa. Jadi, tawanan 
itu pasti dikurung di dalam salah satu kamar 
di sini.” 

Tapi semua pintu kamar terbuka. Kalau 
begitu, mana mungkin ada tawanan di dalam- 
nya? Kecuali jika ia diikat! Kedua anak itu 
mengintip ke dalam setiap kamar. Jantung 
mereka berdebar-debar. Mereka khawatir kalau- 
kalau melihat sesuatu yang mengerikan. 

Tapi semua kamar di lantai teratas itu ter- 
nyata juga kosong. Ada kamar yang gelap, 
tapi kosong. Ada lagi yang terang disinari 
bulan. Tapi juga kosong. 

"Aneh!” bisik Jack. ”Terus terang, aku tak 
mengerti! Mestinya suara yang kita dengar 
tadi datang dari salah satu tempat dalam rumah 
ini. Tapi sudah kita periksa semua kamar, 
ternyata tak ada seorang pun—kecuali si Pak 
Penjaga!” 

Mereka berdiri di situ, sambil berpikir-pikir. 
Mereka tak tahu apa yang harus mereka laku- 
kan selanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara je- 
ritan samar. Kedengarannya seperti meringkik, 
disusul oleh bunyi mendepak-depak dan 
gedebak-gedebuk. Aneh! 

”Memang benar! Ada yang ditawan di dalam 
rumah ini. Orang itu mengetuk-ngetuk minta 
tolong, sambil menjerit-jerit,” kata Peter. Ia 
lupa berbisik. ”Orangnya ada di lantai bawah. 
Tapi tadi kita sudah memeriksa seluruh 
ruangan!” 

Jack sudah berjalan menuruni tangga. ”Ayo! 
Pasti kita tadi melupakan sesuatu. Barangkali 
lemari besar, atau pintu rahasia,” serunya. 

Mereka turun ke lantai bawah. Kedua anak 
itu tak peduli lagi, kini berjalan dengan cepat. 
Mereka sampai di dapur kembali. Bunyi yang 
tadi terdengar kini berhenti. Kemudian ter- 
dengar lagi. Jack memegang lengan Peter erat- 
erat. 

”Aku tahu dari mana datangnya bunyi itu. 
Dari ruangan di bawah kita. Di situ ada gudang 
di bawah tanah. Di situlah rupanya tawanan 
itu dikurung!” 

”Kalau begitu, kita harus segera memeriksa 
ke situ,” ujar Peter. Akhirnya mereka menemu- 
kan pintu yang menuju ke bawah. Letaknya di 
pojok gelap, dalam lorong antara dapur dan 
ruang penyimpanan makanan. Peter mencoba 
membukanya. Eh, tertanya tak terkunci! 

”Pintunya tak terkunci,” bisik Jack. ”Kalau 
begitu, kenapa tawanan itu tidak melarikan 
diri?” 

Di balik pintu terdapat tangga batu yang 
menuju ke bawah. Tempat itu gelap gulita. 
Peter menyorotkan lampu senternya. Tidak ke- 
lihatan apa-apa. Ia berseru dengan suara yang 
agak gemetar, ”Siapa di situ? Ada orang di 
bawah?” 

Tapi tak terdengar jawaban. Peter dan Jack 
mendengarkan dengan teliti. Dengan jelas ter- 
dengar suara napas berat. 

”Kami dengar napasmu!” seru Jack. ”Ayo, 
katakan—siapa kau. Kami datang untuk menye- 
lamatkanmu!” 

Tapi tetap tak ada jawaban. Wah, ini benar- 
benar menyeramkan! Kedua anak itu sekarang 
sangat ketakutan. Mereka tak berani turun ke 
bawah. Kaki mereka tak mau melangkah, 
meskipun dipaksa. Tapi mereka juga berang- 
gapan, hanya orang penakut yang pada saat 
itu mundur dan lari keluar. Jadi mereka tetap 
di situ. 

Tiba-tiba mereka mendengar suara-suara lain. 
Suara-suara yang berbicara dengan pelan di 
tempat lain. Kemudian menyusul bunyi kunci 
dimasukkan ke dalam lubang—dan bunyi pintu 
yang didorong terbuka! 

Jack panik. Dipegangnya Peter erat-erat. 

"Ttu dia kedua orang yang kudengar kemarin 
malam. Mereka sudah datang kembali. Cepat! 
Kita harus bersembunyi sebelum ketahuan!” 

Kedua sosok tubuh kecil terbungkus kain 
putih tertegun sesaat. Mereka tidak tahu harus 
ke mana. Kemudian Peter membuka jubah 
dan topi putihnya. ”Jack, buka juga jubah dan 
topimu,” ujarnya pada Jack. "Kalau hanya 
bermantel, kita takkan mudah kelihatan, karena 
warnanya gelap. Kita bisa bersembunyi di salah 
satu sudut gelap.” 

Bergegas mereka mencampakkan pakaian 
samaran ke sebuah pojok, lalu menyelinap 
masuk ke ruang depan. Di situ mereka me- 
ringkuk di sebuah sudut. Mudah-mudahan saja 
orang-orang yang datang itu langsung pergi 
ke gudang bawah tanah! 

Namun harapan mereka tak terkabulkan. 
”Coba lihat sebentar, apakah si penjaga tua 
sudah tidur,” kata suara yang satu! Dua sosok 
tubuh masuk ke dalam ruang depan, untuk 
membuka pintu kamar Pak Penjaga. 

Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat 
wajah Peter yang dilabur dengan kapur, ke- 
lihatan samar dan aneh dalam gelap. Peter 
lupa menghapus coretan kapur di wajahnya! 

”Astaga—lihat itu—di pojok! Apa itu?” seru 
satu dari kedua orang yang masuk. ”Lihat— 
itu, di sana. Apa itu, Mac?” 

Keduanya memandang ke pojok, tempat 
Peter dan Jack sedang meringkuk. ”Kelihatan- 
nya seperti wajah orang! Wajah yang putih!” 
kata orang yang dipanggil Mac. ”Aneh! Coba 
nyalakan sentermu. Pasti itu cuma pantulan 
sinar bulan!” 

Orang kedua menyalakan senternya. Cahaya 
terang memancar, dan seketika itu juga kedua 
anak yang sedang meringkuk ketakutan ke- 
tahuan. Dengan beberapa langkah panjang, 
orang yang bernama Mac datang mendekat. 
Peter dan Jack dipegangnya, diguncang- 
guncangkan, lalu diberdirikan di depannya. 

”Apa lagi ini? Bersembunyi di sini dengan 
wajah dicat seperti itu! Apa yang kalian laku- 
kan di sini?” 

”Aduh! Lepaskan lenganku. Kau menyakiti 
aku!” jerit Jack dengan marah. ”Kalian mau 
apa di sini?” 


”Apa maksudmu!” bentak orang yang ber- 
nama Mac dengan kasar. 

Bunyi gedebak-gedebuk mulai terdengar lagi. 
Peter dan Jack memandang kedua orang yang 
tak dikenal itu. 

’Ttu yang kumaksudkan,” ujar Jack. ”Siapa 
di bawah itu? Siapa yang kalian kurung di 
situ?” 

Jawaban yang diterimanya bukan kata-kata. 
Kepalanya ditempeleng sehingga matanya ber- 
kunang-kunang. Kemudian ia dan Peter diseret 
ke sebuah lemari dan dikurung di dalamnya. 
Entah mengapa, kedua orang itu kelihatannya 
marah sekali. 

Peter menempelkan telinga pada sebuah 
celah yang terdapat pada pintu lemari. Ia ber- 
usaha menangkap kata-kata kedua orang yang 
mengumng mereka. Keduanya sedang berun- 
ding. 

”Apa yang harus kita lakukan sekarang? 
Jika anak-anak itu memanggil orang, habis 
riwayat kita!” 

”Benar! Jadi kita terpaksa menahan mereka. 
Kita kurung saja bersama-sama Kilat Biru! 
Besok malam kita menjemputnya. Setelah itu 
kita lari. Takkan ada orang yang mengetahui. 
Saat itu proyek kita sudah selesai!” 

”Bagaimana dengan kedua anak itu?” 

”Kita tinggalkan saja terkurung di- sini. Kita 
kirimkan surat pada Pak Penjaga, supaya turun 
sebentar ke gudang. Surat itu sebaiknya harus 
diterimanya lusa. Pasti dia akan kaget jika 
melihat ada dua orang anak terkurung dalam 
gudang! Biar tahu rasa mereka! Anak-anak 
rewel!” 

Peter masih mendengarkan terus. Siapa yang 
disebut ”Kilat Biru”? Aneh benar nama itu! Ia 
gemetar, ketika mendengar kedua orang yang 
tak dikenal tadi datang mendekati lemari. 
Tetapi pintu tidak mereka buka. Salah se- 
orang—mungkin Mac—berseru lewat celah. 

"Kalian boleh mengeram di situ, sampai 
pekerjaan kami selesai.” 

Kemudian bermacam-macam suara aneh me- 
nyusul. Ada sesuatu yang kedengarannya se- 
dang diangkut ke mang penyimpanan makanan. 
Peter dan Jack mendengar bunyi meretih, se- 
perti kayu yang sedang dibakar. Setelah itu 
tercium bau menusuk hidung lewat celah-celah 
pintu. 

”Wahh! Mereka sedang merebus sesuatu. 
Apa itu ya?” kata Peter. ”Baunya minta ampun. 
Busuk sekali!” 

Mereka tak bisa menerka, bau apa yang 
tercium itu. Kemudian terdengar lagi suara 
ribut seperti ada yang menjerit, bercampur 
dengan dengusan. Lalu bunyi gedebak-gedebuk, 
seakan-akan ada barang berat yang dientak- 
entakkan ke lantai batu. Aneh, benar-benar 
aneh! 

Lemari tempat Jack dan Peter dikurung se- 
benarnya lemari tempat menggantungkan 
mantel. Tempatnya sempit, dingin, dan pengap. 
Kedua anak itu gelisah. Senang juga hati me- 
reka ketika datang salah seorang membukakan 
pintu. Mereka disumh keluar. 

”Sekarang, lepaskan kami,” kata Peter. Baru 
saja ia membuka mulut, bahunya sudah dipukul 
dengan keras. 

"Jangan banyak bicara!” bentak salah satu 
dari kedua orang yang memandang mereka 
dengan marah. Jack dan Peter didorong dari 
belakang, ke arah pintu gudang bawah tanah. 
Keduanya didorong kuat-kuat, sehingga hampir- 
hampir terjatuh di tangga. Pintu ditutup, lantas 
dikunci dari luar. Wah, gawat! Sekarang mereka 
juga terkurung! 

Dari gudang di bawah mereka mendengar 
suara. Astaga, Kilat Biru-kah yang di bawah 
itu? Siapa sebenarnya Kilat Biru? 

”Nyalakan lampu sentermu,” bisik Jack. 
”Aku ingin tahu, siapa orang yang ditawan di 
sini. Aku ingin melihat wujudnya! 


11 
Tawanan 


Peter menyalakan lampu senter. Tangannya 
gemetar. Apa yang akan mereka lihat sebentar 
lagi? 

Pemandangan yang tampak di bawah begitu 
tak terduga, sehingga napas kedua anak itu 
tersentak. Mereka memandang seekor kuda 
yang bagus sekali. Dari telinga yang meruncing 
ke atas serta mata yang terputar-putar, kelihatan 
jelas bahwa kuda itu sama takutnya seperti 
kedua anak yang memandangnya. 

”Kuda!” ujar Jack dengan suara lemah. ”Ya 
ampun, kuda!” 

"Betul! Suara pekikan yang kita dengar tadi, 
rupanya suara kuda ini meringkik. Sedang 
gedebak-gedebuk adalah bunyi kukunya di 
lantai batu, ketika dia sedang ribut ketakutan,” 
ujar Peter. ”Oh, Jack, kasihan kuda ini! Jahat 
benar kedua orang itu, mengurung seekor kuda 
dalam kamar ini di bawah tanah! Untuk apa 
mereka melakukannya?” 

”Kudanya bagus. Kelihatannya seperti kuda 
pacuan,” ujar Jack. ”Mungkinkah mereka yang 
di atas itu mencurinya? Barangkali mereka 
menyembunyikannya di sini untuk mengubah 
warna bulunya, atau untuk melakukan hal-hal 
lain. Pencuri kuda biasa melakukannya, supaya 
pemiliknya tidak mengenali kudanya lagi. Se- 
telah itu dijual dengan nama lain.” 

”Aku tak tahu. Barangkali dugaaanmu 
benar,” kata Peter. ”Aku hendak mendekati- 
nya. 

”Kau tak takut?” tanya Jack. ”Lihat itu, 
matanya berputar-putar!” 

"Tidak, aku tak takut,” jawab Peter. Ia biasa 
bergaul dengan kuda di tempat pertanian ayah- 
nya. Ia sudah mengenal kuda sejak kecil. 
"Kasihan! Dia ingin diajak bicara dan ditenang- 
kan.” 

Peter menuruni tangga sambil bicara. "Rupa- 
nya kau yang bernama Kilat Biru ya? Namamu 
bagus sekali. Kau juga kuda yang bagus. Ja- 
ngan takut, Manis. Aku temanmu. Biarkan 
aku mengusap hidungmu yang lembut. Nanti 
kau akan tenang!” 

Kuda itu meringkik sambil beijingkrak men- 
jauh. Tapi Peter tidak takut. Ia terus maju 
mendekati kuda yang sedang ketakutan itu. 
Diusap-usapnya hidung lembut binatang itu. 
Kuda itu berdiri tak bergerak, tapi tiba-tiba ia 
menempelkan hidungnya ke bahu Peter sambil 
mendengus-dengus pelan. 

"Kemarilah, Jack. Kuda ini sudah tenang 
sekarang,” panggil Peter. "Coba lihat, bukan 
main bagusnya! Jahat sekali orang-orang itu— 
mengurung kuda dalam gudang gelap seperti 
ini. Benar-benar keterlaluan!” 

Jack ikut turun ke bawah. Diusap-usapnya 
punggung kuda itu, lalu berseru, "Ih! Pung- 
gungnya basah dan lengket!” 

Peter mengarahkan cahaya senter ke pung- 
gung kuda. Ternyata benar, kelihatan basah 
dan berkilat. "Jack! Kau benar! Rupanya kedua 


orang tadi mengecat bulunya!” seru Peter. 
"Punggungnya masih basah karena cat!” 

"Rupanya ini bau yang kita cium tadi. Rupa- 
nya mereka sedang merebus cat untuk mengu- 
bah warna bulunya,” ujar Jack. "Kilat Biru 
yang malang! Kau diapakan oleh mereka?” 

Untuk tempat berbaring kuda itu, tersedia 
setumpuk jerami di satu pojok. Sedang di 
pojok lainnya terdapat palung berisi rumput 
kering. Dalam sebuah ember besar ada gandum 
makanan kuda, sedang dalam ember lain ter- 
sedia air. 

"Nah, kalau kita ingin berbaring, kita ter- 
paksa mengambil jerami itu sedikit,” ujar Peter. 
"Untuk makan, itu ada gandum!” 

"Ah, rasanya kita tak perlu khawatir,” jawab 
Jack. "Aku berani bertaruh, sebentar lagi Colin 
dan George akan datang mencari kita. Begitu 
kita mendengar mereka datang, kita berteriak- 
teriak sekuat tenaga!” 

Keduanya duduk di atas jerami sambil me- 
nunggu. Kilat Biru juga memutuskan untuk 
ikut berbaring. Jack dan Peter menyandarkan 
badan ke tubuh kuda yang hangat. Mereka 
hanya menyayangkan bau cat celup yang ter- 
lalu menusuk hidung. 

Di luar, di lapangan bersalju yang mulai 
mencair, Colin dan George menunggu dengan 
perasaan tak sabar. Rasanya sudah terlalu lama 
mereka berdua menunggu. Mereka melihat Jack 
dan Peter menghilang di balik pagar peka- 
rangan rumah tua. Dengan susah payah, mereka 
berhasil juga menahan Skippy yang berusaha 
menyusul. Setelah itu mereka berdiri diam- 
diam selama setengah jam, sambil menunggu 
Peter dan Jack kembali. Tiba-tiba Skippy mulai 
menggeram. 

”Rupanya dia mendengar sesuatu,” kata 
Colin. ”Ya, betul—ada mobil datang. Mudah- 
mudahan saja bukan orang yang kemarin. 
Kalau mereka yang datang, Peter dan Jack 
pasti akan terjebak!” 

Tapi yang datang memang orang yang ke- 
marin. Kali ini mobil mereka tidak meng- 
gandeng apa-apa. Mobil itu berhenti di depan 
pintu pagar rumah tua. Dua orang keluar dari 
dalam mobil. Tiba-tiba Skippy menyalak de- 
ngan keras. Colin segera memukulnya. ”Tolol!” 
desis anak itu. ”Sekarang kau membuka rahasia 
kita. Kita akan ketahuan!” 

Satu dari kedua orang yang turun dari mobil 
datang ke dekat pagar lapangan. Ia memandang 
keenam "boneka salju”. 

”Hei! Kemari sebentar!” katanya memanggil 
temannya. Yang dipanggil datang menghampiri. 
Colin dan George gemetar ketakutan. 

”Apa? Ah, itu. Kemarin kan kita sudah 
melihat boneka-boneka itu. Kau sudah lupa 
ya?” katanya. ”Rupanya hari ini ada lagi anak- 
anak yang bermain di sini, dan membuat be- 
berapa boneka lagi. Ayo, kita pergi saja. Anjing 
yang menggonggong tadi rupanya tersasar.” 

Kedua orang itu meninggalkan pagar, lalu 
beijalan menuju ke rumah tua. Colin dan 
George menarik napas lega. Wah, nyaris me- 
reka celaka! Untung mereka mengenakan pa- 
kaian samaran yang berwarna putih. Dan 
untung Skippy juga serbaputih. 

Lama setelah itu keadaan sunyi. Tak ter- 
dengar bunyi sama sekali. Colin dan George 
semakin kedinginan. Keduanya juga semakin 
tak sabar. Apa yang sedang teijadi dalam ru- 
mah tua itu? Mereka ingin sekali mengetahui- 
nya. Apakah Jack dan Peter dijebak oleh kedua 
orang yang baru datang itu? 

Mereka merasa perlu meninggalkan tempat 
itu, dan pergi menyelidiki sendiri ke rumah 
itu untuk melihat apa yang teijadi. Tapi tiba- 
tiba mereka mendengar sesuatu. Ada orang 
bicara. Ah, rupanya kedua orang yang tadi 
datang sudah kembali. Terdengar bunyi pintu 
mobil terbuka, dan kemudian tertutup kembali 
dengan pelan-pelan. Mesin dihidupkan. Mobil 
meluncur ke ujung jalan, memutar di pintu 
pagar lapangan, lalu melaju pergi di atas salju 
lembut yang mulai mencair. 

”Mereka sudah pergi,” ujar Colin. ”Dan 
kita ini benar-benar tolol. Kenapa tadi tidak 
menyelinap ke pagar, dan mencatat nomor 
polisi mobil itu. Sekarang sudah terlambat!” 

”Ya, mestinya itu kita lakukan tadi,” kata 
George membenarkan. ”Apa yang harus kita 
lakukan sekarang? Apakah sebaiknya kita tung- 
gu saja sampai Peter dan Jack keluar lagi?” 

”Ya, tapi jangan terlalu lama,” ujar Colin. 
”Kakiku sudah beku rasanya.” 

Mereka menunggu lagi selama lima menit. 
Tapi baik Jack maupun Peter masih belum 
muncul juga. Karena itu kedua anak itu pergi 
ke pintu pagar. Kaki mereka teijeblos-jeblos 
ke dalam salju yang mulai mencair. Mereka 
memanjat pagar, dan tak lama kemudian me- 
reka sudah berjalan di pekarangan rumah tua. 
Keduanya bergegas ke pintu depan, dibuntuti 
Skippy. 

Tapi seperti sudah dapat diduga, Colin dan 
George tidak bisa masuk lewat pintu itu. Me- 
reka juga tak bisa masuk lewat pintu samping, 
begitu pula pintu belakang. Kemudian, seperti 
yang dialami Jack dan Peter, mereka melihat 
jendela terbuka! Mereka menyelinap ke v dalam, 
dan sampai di dapur. Keduanya menajamkan 
telinga. Tapi tak ada yang terdengar. 

Mereka memanggil-manggil dengan suara pe- 
lan. 

"Jack! Peter! Di mana kalian?” 

Tak ada yang menjawab. Rumah itu tetap 
sunyi. Kemudian Skippy menyalak dengan lan- 
tang, lalu lari ke lorong yang terdapat di 
antara dapur dan ruang penyimpanan makanan. 
Anjing itu mengorek-ngorek di depan sebuah 
pintu. 

Dengan segera Colin dan George mengikuti 
ke lorong. Sesampainya di sana, segera ter- 
dengar suara Peter. 

”Siapa itu? Colin? George? Kalau itu kalian, 
sebutkanlah kata sandi kita!” 

"Pekan!” seru George. ”Di mana kalian?” 

”Di sini! Dalam gudang bawah tanah. Kami 
akan naik ke atas,” terdengar suara Peter ber- 
seru dari bawah. ”Kami tak apa-apa. Bisakah 
kalian membuka pintu—atau barangkali kunci- 
nya dibawa orang-orang itu?” 

”Tidak! Kuncinya ditinggal di sini!” jawab 
Colin. 

Pintu itu dibukanya, lalu didorong sehingga 
terbuka lebar. Tepat pada saat itu Jack dan 
Peter sampai di ujung atas tangga. 

Mereka disusul oleh Kilat Biru. Rupanya 
kuda itu tak mau ditinggal sendiri dalam gu- 
dang yang gelap. Ia ingin bersama-sama kedua 
teman kecilnya yang baik hati. 

Colin dan George melongo karena heran. 
Mata mereka melotot memandang Kilat Biru, 
seakan-akan belum pemah melihat kuda se- 
umur hidup mereka. Seekor kuda—terkurung 
dalam gudang bawah tanah—bersama Peter 
dan Jack. Benar-benar luar biasa! 

”Orang-orang itu sudah pergi?” tanya Peter. 
Cobn mengangguk. 

”Ya, mereka pergi dengan mobil mereka. 
Karena itulah kami datang kemari untuk men- 
cari kalian. Mereka melihat kami di lapangan, 
karena tiba-tiba Skippy menggonggong. Tapi 
mereka menyangka kami boneka salju. Dan 
kalian—apa yang tadi teijadi di sini?” 

"Sebaiknya kita keluar saja dari rumah ini,” 
ujar Peter. ”Aku tak tahan lagi lama-lama di 
sini.” Kemudian ia pergi menuntun Kilat Biru. 

Colin heran, mengapa kuda itu tidak me- 
nimbulkan bunyi berisik pada saat beijalan di 
lantai papan. Dipandangnya kuku kuda, lalu 
berseru, "Lihatlah! Apa yang di kakinya itu?” 

"Sandal bulu yang dibuat pas untuk kuku- 
kukunya,” jawab Peter sambil meringis. "Jejak- 
nyalah yang kelihatan aneh di salju. Rupanya 
kedua orang itu sengaja memasangkannya, agar 
tidak terlalu ribut di gudang bawah tanah! 
Wah, tadi kuda ini ketakutan sekali sewaktu 
kami menemukannya. Ayo—aku mau pulang 
saja!” 


12 
Rahasia Terbongkar 

Enam sosok tubuh melangkah di jalan ber- 
salju. Dua orang anak bermantel hitam, dua 
lagi mengenakan pakaian serbaputih yang aneh 
kelihaiannya. Kemudian seekor anjing beijubah 
putih kedodoran, dan seekor kuda yang ba- 
gus. Wajah keempat anak itu dicat putih. 
Kelihatannya benar-benar aneh. Tapi tak ada 
yang berpapasan dengan mereka, jadi tak apa- 
lah! 

Sambil beijalan, Peter asyik bercerita. Colin 
dan George mendengarkan dengan mulut me- 
longo. Mereka sebenarnya agak iri, karena 
.tidak ikut mengalami peristiwa gawat itu. 

"Kilat Biru akan kumasukkan ke dalam salah 
satu kandang kuda di tempat pertanian kami,' 
ujar Peter. "Sekarang dia aman! Pasti kedua 
orang itu akan bingung jika melihat Kilat 
Biru sudah lenyap. Besok akan kita laporkan 
semuanya pada polisi. Kita besok bertemu 
pukul setengah sepuluh pagi di gudang dan 
jangan lupa jemput Pam dan Barbara! Wah, 
bukan main, kita benar-benar mengalami pe- 
tualangan seru. Dan menurut pendapatku, Sapta 
Siaga telah berhasil menyelesaikan tugas de- 
ngan baik! Aduh, aku mengantuk sekali. Aku 
pasti nanti langsung tertidur!” 

Setengah jam kemudian mereka sudah ber- 
baring dan tidur nyenyak. Janet sama sekali 
tidak bangun ketika Peter masuk. Kilat Biru 
sudah dimasukkan ke dalam kandang sebelum- 
nya. 

Keesokan harinya, seisi rumah gempar! Peter 
melaporkan pengalaman mereka kemarin ma- 
lam pada orangtuanya. Ayahnya mendengarkan 
dengan heran, lalu pergi ke kandang untuk 
memeriksa Kilat Biru. 

”Wah, ini kuda pacuan hebat,” ujarnya se- 
sudah selesai memeriksa. ”Dan kelihatan jelas, 
bulunya diolesi semacam cat sehingga berwarna 
cokelat. Menurut perasaanku, orang-orang itu 
berniat menjualnya untuk diikutkan ke per- 
lombaan dengan nama lain. Wah, wah, wah! 
Kau dan Sapta Siaga berhasil menghalang- 
halangi niat penjahat itu, Peter!” 

"Apakah sebaiknya sekarang kita laporkan 
saja pada polisi?” ujar ibunya dengan cemas. 
"Menurutku, polisi harus cepat-cepat menang- 
kap bandit-bandit itu.” 

”Serikat Sapta Siaga akan mengadakan rapat 
di gudang pukul setengah sepuluh pagi ini,” 
kata Peter. "Bagaimana kalau polisi kita undang 
untuk menghadirinya?” 

”Tak mungkin—kurasa polisi pasti tak mau 
duduk di atas pot kembang dan peti-peti 
kalian,” bantah ibunya. "Sebaiknya kalian ber- 
kumpul semua di kamar kerja Dad. Tempat 
itu cocok untuk para polisi.” 

Jadi pukul setengah sepuluh, ketujuh ang- 
gota Sapta Siaga sudah siap menanti dalam 
kamar keija ayah Peter. Mereka gelisah. Apa- 
lagi anggota tak resmi, Skippy. Anjing itu 
sudah tak tahu apa yang harus diperbuatnya. 
Lari ke sana kemari, menggigit-gigit ujung 
permadani. 

Tepat pukul setengah sepuluh, bel berbunyi. 
Pintu dibuka ibu Peter, dan dua orang polisi 
berbadan tegap masuk. Keduanya memandang 
dengan heran ketika melihat banyak anak- 
anak duduk membentuk lingkaran. 

"Selamat pagi,” ujar Pak Inspektur memberi 
salam. "Eh—ada apa ini sebenarnya? Anda 
tadi tak mau bicara banyak sewaktu me- 
nelepon.” 

"Memang saya sengaja. Saya ingin Pak 
Inspektur mendengar sendiri ceritanya dari mu- 
lut anak-anak ini,” jawab ayah Peter. Ia mem- 
bentangkan koran pagi, dan meletakkannya ke 
atas meja. Anak-anak berkerumun. 
     
Pada halaman depan tertera gambar seekor 
kuda dalam ukuran besar. Bagus sekali kuda 
itu. Di bawahnya tertulis dengan huruf-huruf 
besar: 

KILAT BIRU DICURI ORANG. 

KUDA PACUAN TERKENAL 
HILANG LENYAP. 

POLISI BELUM MENGETAHUI TEMPAT 
DISEMBUNYIKAN. 

”Tentu Anda melihatnya juga pagi ini,” kata 
ayah Peter lagi. ”Peter, katakanlah pada Pak 
Inspektur, di mana Kilat Biru sekarang!” 

”Dalam kandang kami!” seru Peter. Senang 
sekali anak itu, ketika melihat wajah kedua 
polisi yang keheranan. 

Kedua polisi itu mengeluarkan buku catatan 
masing-masing. ”Ini penting sekali,” ujar Pak 
Inspektur pada ayah Peter. "Benarkah kuda itu 
ada dalam kandang Anda?” 

”Saya rasa begitu,” jawab ayah Peter. ”Anda 
silakan melihatnya, kalau mau. Peter, ceritakan- 
lah pengalaman kalian.” 

”Sebaiknya kami bergiliran saja mencerita- 
kannya,” kata Peter. Kemudian ia mulai ber- 
cerita. Dikisahkannya, mereka bertujuh mem- 
buat boneka salju di lapangan. Kemudian gi- 
liran Jack memaparkan pengalamannya. Ia me- 
maparkan, di malam itu ia sibuk mencari len- 
cana anggota Sapta Siaga-nya yang teijatuh di 
lapangan. Sesudah itu ia melihat mobil datang 
dengan menggandeng sebuah kotak besar 
beroda. 

”Sekarang saya tahu, kotak itu gerobak 
pengangkut kuda,” ujarnya. ”Tapi kemarin saya 
belum tahu. Saya tak bisa menerka—dan saya 
kira semacam gerobak pengangkut barang pin- 
dahan. Saya juga sama sekali tidak melihat 
jendela-jendela. ” 

Ketujuh anak itu bercerita sambung- 
menyambung. Akhirnya sampai pada bagian 
yang menegangkan. Peter dan Jack menyelinap 
masuk ke dalam rumah untuk mencari tempat 
tawanan dikurung—kemudian mereka teijebak. 
Selanjutnya Colin dan George. Keduanya 
berebutan bercerita, bahwa mereka kemudian 
ikut menyelinap masuk ke rumah tua lewat 
jendela, untuk mencari Jack dan Peter. 

”Anak-anak ini gemar bertualang rupanya!” 
ujar Pak Inspektur sambil memandang ibu 
Peter. Matanya memancarkan sinar geli. 

”Ya, memang,” balas ibu Peter. ”Tapi saya 
tak senang kalau mereka berkeliaran di malam 
hari. Pak Inspektur. Seharusnya saat itu mereka 
berada di tempat tidur, dan tidur pulas.” 

”Betul,” kata Pak Inspektur lagi, ”saya setuju 
dengan pendapat Anda. Seharusnya mereka 
segera melaporkannya pada polisi. Memecah- 
kan rahasia adalah urusan kami. Berkeliaran 
tengah malam, menyamar sebagai boneka 
salju—belum pernah saya dengar kelakukan 
seperti itu!” 

Pak Inspektur berbicara dengan suara galak, 
sehingga ketiga anak perempuan anggota Sapta 
Siaga merasa ketakutan. Tapi kemudian mereka 
melihat Pak Inspektur tersenyum. Barulah ke- 
tiganya sadar, bahwa sebenarnya polisi itu 
senang melihat hasil penyelidikan mereka. 

”Sekarang saya harus menyelidiki nama pe- 
milik rumah tua itu,” katanya melanjutkan, 
”sesudah itu akan saya tanyakan padanya, 
barangkali dia mengetahui hal-hal yang terjadi 
di rumahnya itu.” 

”Pak Inspektur tak perlu susah-susah lagi. 
Namanya Mr. Holikoff. Dia tinggal di Covelty, 
di Jalan Heycom Nomor 64!” seru George 
dengan segera. ”Kami—maksudku, Pam dan 
saya sendiri yang menyelidikinya.” 

”Bagus!” ujar Pak Inspektur. Petugas polisi 
yang satu lagi dengan segera mencatat ke- 
terangan itu. ”Bagus sekali kerja kalian!” 

”Tapi kalian barangkali tidak mencatat nomor 
polisi mobil mereka,” ujar polisi yang kedua. 
”Kalau kalian lakukan, akan sangat menolong 
tugas kami.” 

”Ah, sayang tidak kami lakukan,” ujar Colin 
menyesal. ”Tapi kedua teman perempuan kami 
ini mengetahui sesuatu tentang gerobak kuda- 
nya. Mereka sempat mengukur lebar roda, 
bahkan menggambar jejak-jejak roda itu yang 
membekas pada salju lembut.” 

”Janet yang membuatnya,” ujar Barbara de- 
ngan jujur. Ia menyesal karena menertawakan 
temannya itu ketika sedang sibuk menggambar. 
Janet mengeluarkan lembaran kertas yang ber- 
gambar jejak roda gerobak. Pak Inspektur de- 
ngan segera mengambilnya. Ia kelihatan puas 
sekali! 

"Hebat! Kalian benar-benar bekerja dengan 
sangat teliti. Sekarang tak ada gunanya lagi 
memeriksa jejak itu, karena salju sudah me- 
leleh. Ini bukti yang sangat penting. Wah, 
kalian ini banyak sekali akalnya!” 

Muka Janet merah padam karena malu ber- 
campur bangga. Peter memandang adiknya de- 
ngan senyum senang. Adik perempuaiinya itu 
memang hebat. Seorang anggota Sapta Siaga 
sejati! 

”Rupanya anak-anak ini sudah melakukan 
hampir semua tugas yang harus kami kerja- 
kan,” ujar Pak Inspektur sambil menyimpan 
buku catatannya kembali. ”Mereka sudah men- 
catat alamat pemilik rumah. Kalau ternyata 
dia memiliki gerobak pengangkut kuda yang 
roda-rodanya cocok dengan gambarmu ini... 
nah, dia terpaksa harus menjawab beberapa 
pertanyaan yang tak enak baginya!” 

Kedua polisi itu pergi ke kandang untuk 
melihat Kilat Biru. Anak-anak ikut berkerumun. 
Telinga si Kilat Biru mulai tegak meruncing 
lagi, pertanda ia mulai takut. Peter cepat-cepat 
menenangkannya. 

”Betul! Warna bulunya sudah diubah oleh 
penjahat-penjahat itu,” ujar Pak Inspektur 
sambil meraba-raba punggung Kilat Biru. ”Ka- 
lau mereka sempat mengecatnya dengan wama 
cokelat, pasti takkan ada yang bisa me- 
ngenalinya. Menurutku, kedua penjahat yang 
kalian ceritakan itu berniat untuk melakukan- 
nya malam ini, dan sesudah itu memindahkan 
Kilat Biru ke kandang lain! Tentu saja se- 
mentara mereka mengubah wama, kuda ini 
harus disembunyikan di suatu tempat sepi. 
Jadi mereka memilih gudang bawah tanah rum- 
ah tua kosong—yang dimili k i oleh Mr. J. 
HolikofF. Aku ingin tahu sekarang—apa yang 
diketahui Mr. Holikoff itu mengenai persoalan 
ini! 

Anak-anak tak sabar lagi menunggu kabar 
mengenai akhir pengalaman mereka. Kabar itu 
mereka dengar pada rapat Sapta Siaga berikut- 
nya. Yang mengadakan bukan mereka sendiri, 
melainkan orangtua Peter dan Janet. 

Rapat dilangsungkan dalam gudang. Ayah 
dan ibu Peter duduk di atas peti-peti terbesar. 
Sedangkan Peter dan Janet duduk bersila di 
lantai. 

”Anak-anak,” kata ayah Peter membuka la- 
porannya. "Ternyata Mr. Holikoff memang pe- 
milik gerobak pengangkut kuda itu. Mobil itu 
juga miliknya. Polisi menunggu dua orang 
yang kalian lihat di mmah tua kemarin malam. 
Dan mereka ternyata benar-benar datang kem- 
bali! Sekarang mereka sudah masuk ke dalam 
tempat tahanan. Mereka begitu terkejut ketika 
melihat Kilat Biru sudah tak ada lagi, sehingga 
tidak memberikan perlawanan ketika di- 
tangkap!” 

”Siapakah pemilik Kilat Biru yang se- 
benarnya, Dad?” tanya Peter. ”Dalam koran 
tertulis, namanya Kolonel James Healey. Apa- 
kah dia mengirim orang untuk menjemput Kilat 
Biru?” 

”Ya,” jawab ayahnya. ”Hari ini Kilat Biru 
akan dijemput dengan gerobak kuda miliknya. 
Dia juga mengirimkan sesuatu untuk Sapta 
Siaga. Maukah kau memeriksa apa kiriman 
itu, Peter?” 

Peter menerima sepucuk surat yang disodor- 
kan ayahnya. Dengan cepat sampul surat itu 
dibukanya. Seberkas karcis jatuh berhamburan 
ke lantai. Janet meraih selembar. 

”Wah! Karcis untuk menonton sirkus, se- 
kaligus untuk menonton pertunjukan pantomim. 
Ada berapa lembar? Barangkali tujuh?"

Betul. Karcisnya berjumlah tujuh lembar.
Ketujuh anggota Sapta Siaga menerima hadiah 
atas kediagaan mereka. Hanya Skippy yang
tidak kebagian.

"Ah, sudahlah, Skip! Nanti kau kami beri
tulang yang lezat dan nikmat! Boleh ya,
Mom?" seru Janet sambil memeluk anjingnya 
erat-erat.

"Apa lagi ysnh ksu kstsksn itu, Janet?
Mengapa kau memakai bahasa asing?"tanya
ibunya dengan heran. Teman-teman yang lain
tertawa.

Di atas sampul tertulis, "Untuk Serikat Sapta
Siaga, dengan ucapan salam dan terima kasih.
J.H

"Pak Kolonel itu baik yam," ujar Peter. "Padahal
kami sama sekali tak menginginkan hadiah.
Pengalaman kami saja sudah merupakan hadiah 
yang hebat!"

"Terserah kalian sajalah, untuk bercerita 
panjang-lebar mengenainya," ujar ibu Peter 
sambil bangkit. "Kalau kami berdua lama-lama
duduk disini, tahu-tahu kami sudah menjadi
anggota pula. Kalau begitu namanya harus
diubah menjadi Sembilan Siaga. Bukan
Sapta Siaga lagi!"

"Tidak Perkumpulan kami harus tetap Sapta
Siaga," ujar Peter tegas. "Serikat yang 
paling sigap! Hidup Sapta Siaga!"

TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA