Warok Ponorogo 8 - Dendam Tari Gamyong(1)

1
PERCEKCOKAN 


PERTUNJUKAN tari gambyong itu belum juga reda 
Walaupun hari sudah lewat tengah malam, menjelang 
pagi hari. Para pesinden masih bersemangat melantunkan 
tembang-tembang yang kata-katanya mulai membara 
berisi sindiran-sindiran cabul perangsang birahi. 
Beberapa perempuan muda yang berdandan menor- 
menor menari menggoyang-goyangkan pinggulnya 
yang erotis memakai kain ketat, pantatnya diputar-putar, 
mereka nampak asyik menemani tamu-tamu. yang 
bersemarak, rata-rata para lelaki berewokan yang terus 
bersemangat berjoget ria seperti tidak kenal lelah, dan 
tidak jemu-jemunya terus melenggang-lenggok dihadapan 
perempuan-perempuan pesolek itu. 


Para laki-laki itu kelihatan sudah pada mabuk kepayang, 
kebanyakan minum arak. Di antara barisan tempat 
duduk itu, terdapat sepasang mata lelaki berumur baya 
yang duduk-duduk gelisah di sudut lingkaran tarian itu. 


Sejak tadi mata laki-laki itu terus-menerus memelototi 
Seorang perempuan penari gambyong di sudut sana itu. 
Mata laki-laki itu sepertinya tidak pernah lepas meman- 
dangi bangkekan perempuan, pinggang Tarsinem, 
seorang janda muda yang sedang menari bergoyang- 
goyang memutar-mutar bokongnya yang bulat menjembul, 
nampak sedhet, mendesak jarit ketat yang dikenakan itu. 
Membuat liur laki-laki perkasa itu tak terasa meleleh 
keluar meresap ke jenggotnya yang lebat kehitaman. 
Laki-laki yang dikenal bernama Jogoboyo Singobeboyo 
itu memang agaknya sudah lama menaksir Tarsinem, 
penari gambyong yang sudah menjanda tiga tahun, 
ditinggal mati suaminya yang juga pernah menjabat 
sebagai Jogoboyo sebelumnya di Padukuhan Griyantoro 
ini. Namun niatnya untuk meminang perempuan kenes 
yang banyak dikerubungi laki-laki itu tidak pernah 
kesampaian. Halangannya, isterinya sekarang masih 
terhitung agak kerabat dekatnya. Bagi adat daerah ini, 
memecah persaudaraan dengan kerabat dekat itu bisa 
menjadi aib yang tidak tertanggungkan. Bahkan dapat 
mendatangkan bencana yang membahayakan nyawa, 
atau bisa menimbulkan pertentangan antar jagoan di 
keluarga-keluarga dekat, sehingga tak urung akan bisa 
mendatangkan korban jiwa. 


Dalam suara gamelan yang tiada henti itu, tiba-tiba ter- 
dengar suara keras perempuan menjerit "Aduh...hhh. Jangan 
kurang ajar. Kalau mau menari jangan pegang-pegang begitu 
thooo", datangnya suara teriak itu ternyata dari Tarsinem 
yang sedang digoda oleh seorang tamu yang sudah 
mulai mabuk kepayang, seorang laki-laki tinggi tegap, 
jampangnya melebat, bajunya agak terbuka memperli- 
hatkan bulu dadanya yang lebat. "Ha...hah...ha...ha. Aku 
senang sama kamu, Nem. Mau enggak, kamu aku jadikan 
isteriku", teriak laki-laki itu makin garang memegangi 
bokong Tarsinem yang terkenal perempuan paling 
bahenol di antara para penari di tempat hiburan Nyai 
Lindri ini. 

"Huss. Jangan kurang ajar, berani pegang-pegang bokong 
segala. Berani bayar berapa kamu," teriak Tarsinem sambil 
mencibirkan bibirnya yang penuh gincu merah menyala 
itu, sehingga makin membuat gemes laki-laki berewokan 
itu. 

"Kamu sendiri mau aku bayar berapa, he...he...he...," 
tantang laki-laki berewokan itu makin nekat. Para 
penonton yang mendengarkan percakapan dua 
manusia yang sudah mabuk kepayang itu hanya pada 
tertawa geli terkekeh-kekeh. 

Tarian laki-laki berewokan itu sudah makin tidak beraturan. 
Penuh nafsu birahi. Laki-laki ita berusaha memeluk 
tubuh Tarsinem yang sudah makin terpepet di pojok. 
Tapi, tiba-tiba terdengar suara blukkkkkk seperti suara 
tendangan keras mengenai tubuh seseorang yang ber- 
tubuh keras, laki-laki berewokan tinggi besar yang 
berusaha mendesak tubuh Tarsinem itu sempoyongan 
hampir jatuh ke belakang. Sebuah telapak kaki dari 
seorang laki-laki kekar perkasa tiba-tiba menghujan 
keras pada dada laki-laki berewokan itu, sehingga membuat 
jarak makin jauh dari Tarsinem yang hampir tidak 
berkutik menghadapi himpitan tubuh besar laki-laki 
berewokan yang bernafsu itu. 


"Weladalah...siapa yang berani-beraninya menghalangi 
aku ini, heh. Anak kadal kamu," teriak laki-laki tinggi 
besar berewokan itu setengah agak sadar. Kemudian ia 
nampak bangkit berdiri tegak di atas kakinya yang 
kokoh. Setelah melihat seorang laki-laki kekar telah berdiri 
dihadapannya yang baru saja memberikan tendangan 
dahsyat ke arah dadanya tadi, laki-laki itu memperlihatkan 
mukanya yang murka. Matanya melotot mencereng. 


"Jangan coba ganggu perempuan ini," teriak laki-laki 
yang memberikan tendangannya tadi, kelihatan sudah 
berumur baya bersikap melindungi tubuh Tarsinem dari 
jamahan laki-laki tinggi besar berewokan itu. 

"Heh. siapa kamu, hah. Datang-datang mau bikin 
perkara sama aku. Rupanya kamu sudah tidak tedas 
bacok apa, yahh," teriak laki-laki tinggi besar itu menahan 
amarah sambil mengatur posisi "pasang" untuk bersiap 
beradu tanding menghadapi laki-laki yang berani 
memberikan tendangan keras tadi. 


"Aku Singobeboyo. Punggawa Kadipaten yang 
ditugaskan mengamankan daerah di sini," jawab laki- 
laki kekar yang sejak tadi kerjanya hanya duduk-duduk 
sambil mengawasi tiap orang yang menari di halaman 
tempat hiburan ini. 


"Apa urusanmu mengganggu orang yang lagi senang- 
senang. Hah. Aku datang ke sini enggak gratis Iho. Aku 
mbayar. Aku tidak mau bikin onar. Aku mau bayar 
perempuan itu. Ada apa kamu ikut campur." Bela laki- 
laki berewokan tinggi besar itu kelihatan makin geram. 


"Kamu tadi sudah keterlaluan hampir membuat celaka 
Tarsinem itu. Kalau terus kamu desak ia akan terjepit 
badan kamu yang bau tuak kecut itu," jelas Jogoboyo 
Singobeboyo berusaha menahan emosi. 


Tabuhan gamelan tiba-tiba berhenti. Orang-Orang yang 
semula riang gembira, kini menjadi miris demi yang 
dilihat orang tinggi besar itu adalah bekas begal 
Tanggorwereng dari kampung Dukuh Sawo yang 
terkenal kesaktiannya mampu berubah menjadi macan 
hitam jadian, dikenal memiliki aji Lodaya dari perguruan 
ilmu hitam yang berpusat di daerah Blitar selatan. Begitu 
merturut anggapan orang-orang yang baru dengar ceriteranya, 
dan belum pernah pergi berguru ke Lodaya. Konon 
laki-laki berewokan ini kini menurut ceritera beberapa 
orang, ia telah menjadi anak buah Warok Wulunggeni 
yang pernah menaklukkan dia beberapa tahun yang lalu 
ketika membegal Warok Wulunggeni di hutan Lodaya. 
Dan nyawanya masih selamat karena ditolong oleh 
Warok Wulunggeni yang hampir menyudahi hidupnya 
ketika terjadi pertarungan sengit waktu itu. Kini ia 
memimpin para begal dan sering membuat keonaran 
dimana-mana walaupun di kampungnya dinamai sebagai 
Warok Tanggorwereng, sebagai orang sakti yang baik 
hati. Akan tetapi karena tabiatnya yang dulu suka ber- 
gulat di dunia hitam, kebiasaannya itu rupanya sampai 
kini belum ditinggalkan, meskipun daerah operasinya 
membegal di luar kampung halamannya sekarang, 
maka sebenarnya ia lebih tepat disebut sebagai 
Warokan, bukan Warok sejati. Warokan, orang yang 
memiliki ilmu kanuragan tinggi tapi tabiatnya masih 
kurang ajar. Jadi sebenarnya ia itu warok palsu, suka 
membuat keonaran, suka main perempuan, suka judi, 
suka mabuk-mabukan, suka madat, dan rupa-rupa bentuk 
kejahatan lainnya. Tapi kalau Warok Sejati, umumnya 
mempunyai keseimbangan antara ilmu tinggi yang 
dimiliki dan budi pekertinya yang juga tinggi, sehingga 
membuat aman bagi masyarakat sekelilingnya. 


Tarsinem yang sedari tadi ngumpet di belakang badan 
Jogoboyo Singobeboyo yang juga berperawakan tinggi 
besar itu, ia kini berusaha menyingkir mendekati pang- 
gung para penabuh gamelan. Ia tahu selama ini merasa 
diperhatikan terus oleh Jogoboyo Singobeboyo, orang 
yang juga dikenal brangasan di daerah sini. 


"Sudahlah Singobeboyo, menyingkirlah kamu sebelum 
amarahku timbul. Tak sepantasnya punggawa kadi- 
paten mengganggu rakyatnya untuk bersenang- 
senang," jawab lak-laki yang dipanggil Warok Tang- 
gorwereng itu, sambil matanya melotot bengis meman- 
carkan sinar kebencian kepada laki-laki yang berdiri 
gagah dihadapannya itu. 


Tiba-tiba dari balik pintu rumah gedung yang gemerlapan 
itu terdengar suara melengking seorang perempuan 
memanggil-manggil nama Jogoboyo Singobeboyo. 


*Kangmas, Kangmas Singobeboyo...mohon 
maaf...Kangmas. Jangan diganggu tamu-tamu saya 
Kangmas," seorang perempuan setengah baya yang 
menggunakan baju kusut berwarna merah menyala itu 
jalan terburu-buru setengah berlari kecil mendekati dua 
laki-laki yang sudah berhadapan memasang diri untuk 
siap bertarung itu. 

Perempuan itu. yang dikenal bernama Nyai Lindri 
pemilik tempat hiburan ini berusaha melerai terjadinya 
keributan di tempat usaha hiburannya itu. Ia selama ini 
memang banyak mengumpulkan janda-janda cantik, 
entah mereka itu yang ditinggal mati suami, atau 
dicerai, dan macam-macam sebab dari keluarga- 
keluarga berantakan yang ditampung jadi satu di 
rumahnya yang besar itu untuk diberi pekerjaan sebagai 
pemain penari gambyong. 

"Maaf Nyai Lindri, aku tidak mengganggu tamu-tamumu. 
Aku hanya menjalankan tugas pengamanan, berusaha 
menjaga ketenteraman di tempatmu ini dari segala 
gangguan orang-orang luar yang mau berbuat liar di 
kampung ini seperti cecunguk bau pesing ini," celetuk 
Jogoboyo Singobeboyo sambil telunjuk tangan kanannya 
menunjuk ke arah hidung Warok Tanggorwereng, laki- 
laki berbadan tinggi besar berdada dempal, kekar dengan 
otot-ototnya yang menonjol nampak perkasa, berdiri 
kokoh di atas kedua kakinya yang sudah bersikap 
"pasang" untuk berlaga. 


Walaupun Jogoboyo Singobeboyo pun juga telah bersikap 
serupa untuk berlaga, tapi agaknya ia masih berusaha 
mengambil simpati agar ia mendapatkan kesempatan 
untuk mendekati perempuan kenes, Tarsinem, penari 
gambyong yang tadi dibela itu. 

"Ya...ya...sudah, Kangmas. Aku terima kasih kepada 
Kangmas Singobeboyo. Mari masuk ke dalam Kangmas 
Singobeboyo. Kita ngobrol di dalam saja." sambil berkata 
begitu tangan Nyai Lindri segera menarik lengan 
Jogoboyo Singobeboyo yang kekar itu untuk dibawa ke 
dalam rumahnya. "Kangmas Tanggorwereng silakan 
meneruskan menarinya," Kata Nyai Lindri yang 
terkenal luwes dalam melayani tamu-tamunya itu. 
Kemudian, Nyai Lindri itu memberi isyarat kepada para 
penabuh gamelan untuk membunyikan kembali 
tetabuhannya yang makin malam makin erotis itu. 


Warok Tanggorwereng jadi tidak bernafsu lagi berjoget. 
Ja mengambil tempat duduk di sudut belakang yang 
agak gelap sambil dikerumuni para anak buahnya yang 
berjumlah hampir satu lusin. 


"Kalau aku tidak menaruh hormat kepada Nyai Lindri, 
sudah aku pisahkan kepala Singobeboyo itu dari 
lehernya," sergah Warok Tanggorwereng nampak 
masih kesal. Teman-temannya berusaha menenangkan 
pemimpinnya yang disegani itu dengan memberikannya 
minuman tuak kental sambil menarik beberapa perem- 
puan cantik lainnya anak buah Nyai Lindri yang sengaja 
disodorkan untuk menghibur Warok Tanggorwereng 
yang sedang kesal berat itu, 


Warok Tanggorwereng sebenarnya bukan orang baru di 
tempat hiburan milik Nyai Lindri ini. Ia sangat royal 
melepaskan uangnya untuk dihamburkan di tempat ini. 
‘Oleh karena itu Nyai Lindri pun sering mengistime- 
wakan. Walaupun sebenarnya ia juga sering berbuat 
tidak senonoh. Semaunya sendiri terhadap para anak 
buah Nyai Lindri. Namun dihadapan Nyai Lindri ia 
tidak pernah berbuat kurang ajar. Ia bagaikan macan 
ompong dihadapan Nyai Lindri, Konon menurut ceritera 
kampung di sini, Nyai Lindri memiliki aji-aji sirep- 
kepepet, sehingga tiap laki-laki dibuatnya tidak berkutik 
dihadapannya. Namun demikian, Nyai Lindri juga tahu 
persis bagaimana mengatur para punggawa Kadipaten 
seperti Jogoboyo Singobeboyo itu. Sebab kalau izin 
usaha hiburannya itu dicabut pihak Kadipaten, maka 
mata pencahariannya akan mampet. Oleh karena itu, ia 
pun berusaha keras untuk mengambil hati para pung- 
gawa Kadipaten yang bertugas keliling mengawasi 
tempat-tempat hiburan, sebab biasanya di tempat-tempat 
hiburan itu sering dijadikan sarang para penjahat. 
Sehingga pihak Kadipaten menugaskan para warok 
andalan yang diangkat menjadi pengaman daerah-daerah 
yang dianggap rawan di tempat-tempat hiburan ini. 

Suara gending terus bertalu, para penari gambyong 
makin lama makin banyak lagi yang turun ke halaman 
rumah hiburan itu untuk berjoget. Sementara itu, Nyai 
Lindri sedang berusaha keras memperlakukan 
Jogoboyo Singobeboyo bagaikan raja kahyangan. 
Setelah disuguh minuman istimewa, madu telor dicampur 
ramuan galian ledender, Jogoboyo Singobeboyo perangainya 
lama-lama menjadi berubah. Ia mukanya nampak agak 
pucat, dan lemas. 


Nyai Lindri berusaha mengerti apa yang sedang bergolak 
pada diri JogoboyoSingobeboyo itu, lalu katanya "Kang- 
mas Singobeboyo, beristirahatlah di kamar saya sebelah 
sana," sambil menarik lengan Jogoboyo Singobeboyo, 
Nyai Lindri masuk ke dalam bilik yang tertata apik itu. 
Ruangan bilik itu sebenarnya hanya khusus untuk tamu- 
tamu istimewa. Setelah Jogoboyo Singobeboyo dalam 
kondisi antara sadar dan tidak sadar, Nyai Lindri mem- 
beri isyarat kepada salah seorang anak buahnya, Retni 
Pinasih, untuk menemani Jogoboyo Singobeboyo yang 
sedang mabuk berat tergeletak di kamar Nyai Lindri itu. 


Sementara itu diluar sana, Warok Tanggorwereng 
sedang bercengkerama kembali dengan para pemain 
gambyong yang agaknya juga memanfaatkan situasi 
baik itu untuk berusaha menjerat kantung tebal Warok 
Tanggorwereng yang berisi segenggam kepingan uang 
itu untuk beralih ke dompetnya. 

"Ha...ha..aku senang sama kamu Putri Keniken ini," 
gelak tawa Warok Tanggorwereng sudah mulai lupa 
daratan. Sudah lupa dengan apa yang baru saja terjadi 
dengan Jogoboyo Singobeboyo. Para anak buahnya 
hanya ketawa lebar melihat tingkah pimpinannya yang 
selama ini dikenal angker menakutkan tetapi tiba-tiba 
jadi seperti anak kecil ingusan dihadapan para perem- 
puan-perempuan molek yang ramah menemaninya. 
Kemudian tidak berapa lama mereka nampak sudah 
menari berjoget ria kembali bersama Putri Keniken itu 
dengan gelak tawa yang tidak henti-hentinya. 


2
KERIBUTAN 


DIANTARA deretan meja-meja minum tamu di Tem- 
pat Hiburan milik Nyai Lindri di Padukuhan Griyan- 
toro itu ternyata terdapat Joko Manggolo. la rupanya 
baru kali ini melihat pemandangan aneh yang 
menghibur itu, sehinga nampak ia terkagum-kagum. 
Bengong. Selama ini ia belum pernah melihat tempat 
keramaian seperti ini, yang penuh dengan perempuan- 
perempuan cantik yang berjoget ria. Ia hanya memesan 
minuman wedang kopi dan makanan nyamikan ketela 
goreng. 


Beberapa kali pelayan perempuan yang kenes-kenes itu 
menawarkan tuak kepada Joko Manggolo selalu ditolaknya. 


"Maaf saya sedang tidak ingin minum tuak," mendengar 
jawaban Joko Manggolo kepada pelayan perempuan itu 
tiba-tiba mengundang perhatian laki-laki yang duduk di 
meja seberangnya mentertawai diri Joko Manggolo. 


"Ha...ha...ha...anak banci. Mana berani kamu minum 
arak. Minum susu kali kesukaannya, ha...ha...," ledek 
laki-laki berewokan yang sedang bercengkerama dengan 
salah seorang perempuan muda pemain gambyong itu 
sambil berdiri meneriaki Joko Manggolo yang dianggap anak 
kampungan yang tidak doyan enaknya minuman tuak. 


Melihat tingkah laki-laki berewokan yang kemudian 
disambut gelak ketawa mengejek tamu-tamu laki-laki 
lainnya, Joko Manggolo hanya berdiam diri, berusaha 
menahan amarah. la tidak tahu harus bersikap bagai- 
mana di tempat keramaian seperti ini. 


"Hae, anak ingusan, dari mana datangmu, sepertinya 
baru kali ini aku melihat tampangmu yangjelek ini," kata 
seorang laki-laki yang bertubuh bulat pendek yang tadi 
mentertawai Joko Manggolo itu, tiba-tiba berdiri dari 
Guduknya dan mendatangi meja Joko Manggolo sambil 
bertolak pinggang dihadapannya. Joko Manggolo masih 
tetap diam, tidak tahu harus menjawab apa. 

"He, kamu bisu atau tuli. Ditanya diam saja." Bentak 
laki-laki bulat pendek itu sambil menggebrak meja Joko 
Manggolo. Wedang kopi panas di atas meja itu muncrat 
hampir mengenai muka Joko Manggolo. 


"Aku datang dari arah barat, Kangmas. Dari Dukuh 
Ngudisari. Tujuanku datang kemari untuk mencari 
hiburan di tempat ini," jawab Joko Manggolo tenang. 



“Ha...ha...ha...itu baru begini ini yang namanya punya 
mulut. Mau buka suara," ujar laki-laki bulat pendek itu 
sambil tertawa keras merasa gertakannya itu berhasil 
membuat takut tamu baru Joko Manggolo itu. 


"Kamu orang baru di sini, ya. Jangan coba-coba ganggu 
perempuan di sini, ya. Kalau kamu berani ganggu perem- 
puan di tempat ini, aku bekuk batang lehermu. Tahu." 
Bentak laki-laki bulat pendek itu kembali dengan 
memasang wajah angker. 

"Baik Kangmas," jawab Joko Manggolo kembali. 


"Bagus. Bayar itu minuman saya di meja saya itu," kata 
laki-laki bulat itu nampaknya berusaha memeras Joko 
Manggolo. 


"Kkk...Ka...Kangmas, saya tidak punya uang. Uang saya 
hanya cukup untuk membayar wedang kopi dan 
makanan kecil ini. Maafkan saya," jawab Joko Manggolo 
agak terbata-bata, agaknya ia mulai marasa sulit 
berhadapan dengan laki-laki kasar di tempat yangasing 
begini ini. 

"Peduli amat. Pokoknya kamu harus bayar. Mengerti." 
Sekali lagi laki-laki bulat pendek itu menggebrakkan 
tangannya ke meja Joko Manggolo. 

"Baik Kangmas, saya akan bayarkan." 
"Ha...ha...ha...bagus. Itu Bagus," kata laki-laki itu makin 
bangga merasa dapat memperdaya Joko Manggolo. 


"Hai, pelayan. Kemari." Teriak laki-laki itu memberi 
isyarat memanggil pelayan perempuan yang sedang 
nampak melayani tamu di meja sebelah. 


"Ada apa, Kangmas," tanya pelayan perempuan itu. 
"Berapa semua minuman di meja rombonganku di meja 
ini,” tanya laki-laki itu sambil bertolak pinggang. 


"Semuanya, tiga puluh keping," jawab pelayan perem- 
puan itu setelah menghitung semua minuman tuak yang 
tersaji di meja laki-laki itu, 

"Hai, anak ingusan bayar itu tiga puluh keping. 
Cepattttt" Hardik laki-laki itu kepada Joko Manggolo. 


"Baik, Kangmas," jawab Joko Manggolo sambil merogoh 
kantongnya dari dalam baju hitamnya. Ia nampaknya 
tidak ingin mencari perkara di tempat yang baru pertama 
kali dikunjungi ini. Barangkali memang adat kebiasaan 
pergaulan di lingkungan begini ini harus begini. 


Ketika Joko Manggolo mengambil uangnya, terpaksa ia 
harus membuka bundelan berisi uang kepingnya itu. 
Demi terlintas nampak bundelan uang di kantong Joko 
Manggolo, laki-laki itu sekali lagi menggeram. 


"Heh, mana uang kamu itu, aku yang akan bayarkan 
kepada pelayan itu. Serahkan semua yang engkau bawa 
itu, Bunglon." Sergah laki-laki itu masih berusaha 
memeras Joko Manggolo. 


"Ini uangku sendiri. Kalau aku serahkan semua, nanti 
aku tidak punya sangu untuk pulang. Tadi Kangmas 
hanya minta saya membayarkan minumannya saja. 
Tolong jangan meminta semua uang ini," jawab Joko 
Manggolo berusaha memberi pengertrian kepada laki- 
laki bulat pendek itu. 


“Hae, cocotmu. Tampang kamu jelek, mulut banyak 
bacot. Sudah serahkan saja itu uang. Kau makan minum 
sesukamu. Nanti aku yang bayar. Mana, cepat serahkan," 
teriak laki-laki itu nampak geram, teman-temannya 
yang duduk-duduk melingkari meja minum itu pada 
tertawa terkekeh-kekeh melihat temannya laki-laki bulat 
pendek itu berhasil memperdaya laki-laki muda, Joko 
Manggolo yang nampak lugu itu. 

"Kangmas, sekali ini aku menolak permintaanmu," tiba- 
tiba Joko Manggolo berdiri dari duduknya siap meng- 
hadapi segala kemungkinan. Melihat sikap berani yang 
tiba-tiba ditunjukkan oleh Joko Manggolo itu, laki-laki 
bulat pendek itu beringsut sedikit ke belakang. Hatinya 
sedikit kecut, rupanya anak muda ini punya keberanian 
juga. 


"Ha...ha...ha...anak ingusan. Berani juga kamu menolak 
permintaanku," kata laki-laki bulat pendek itu sambil 
berusaha tertawa untuk mengendalikan diri dari gejolak 
ketakutannya. 

"Diam." Tiba-tiba Joko Manggolo membentak laki-laki 
yang sedang tertawa lebar itu. Seketika itu juga ketawa 
laki-laki itu terhenti. Joko Manggolo maju melangkah 
mendekati laki-laki itu, dan laki-laki ita mundur pelan-pelan. 
Telunjuk Joko Manggolo menuding pada salah seorang 
yang ikut tergabung dalam meja orang-orang liar itu. 
"Hae bajingan perampok, kamu. Kalian semua kumpul 
disini rupanya mau merampok yah," bentak Joko Manggolo 
yang tiba-tiba mengenali muka salah seorang dari rom- 
bongan laki-laki itu yang pernah merampok di Warung, 
Randil malam-malam itu. Muka orang yang ditunjuk 
Joko Manggolo itu menjadi pucat pasi, lamat-lamat ia 
agak ingat muka Joko Manggolo yang sempat menen- 
dangnya terhenyak dari pintu warung Randil itu, untung 
ia masih mampu melarikan diri. 

"Kamu yang malam-malam itu merampok di warung 
Randil, ya." Hardik Joko Manggolo langsung tertuju 
kepada orang itu. 


"Bu...buk...buk...buka...bukan aku...beb...benar...bukan 
aku," jawab laki-laki hitam yang nampak mulai gusar 
dari tempat duduknya itu. Ia tahu kehebatan Joko Manggolo 
ketika menghajar kawan-kawannya ketika merampok 
malam itu di Warug Randil. 


Keadaan menjadi panas, agaknya pertarungan tidak dapat 
dihindarkan, Joko Manggolo dikeroyok habis- 
habisan oleh para perampok itu, tetapi ia masih 
dapat memenangkan perkelahian itu. Seorang laki-laki 
pendek gempal yang tadi memperdaya Joko Manggolo 
dihajar habis oleh Joko Manggolo, beberapa tendangannya 
telah meremukkan tulang iga laki-laki pemeras itu, 
sehingga ia tergeletak menggelepar. Kawan-kawannya 
pun dengan gencar melancarkan serangan dari berbagai 
jurusan, namun Joko Manggolo rupanya cukup tangguh 
menghadapi kawanan perampok yang walaupun 
memiliki keterampilan bertarung lumayan, masih dapat 
dirontokkan pertahannya oleh sabetan kaki Joko Manggolo 
yang terus berputar-putar menohok mengenai para 
kawanan perampok itu. 


Pertarungan keroyokan itu telah memporak-poran-
dakan bangku-bangku di barisan belakang yang terkena 
henyakan tubuh-tubuh para perampok yang besar 
kokoh itu. Suasana itu telah membuat keonaran dan 
mengganggu tamu lainnya yang lagi enak-enaknya ber- 
main joget dengan perempuan-perempuan pemain tari 
gambyong itu. 


Tak urung Warok Tanggorwereng pun merasa terganggu 
kenyamanannya dengan adanya perkelahian ini, 
sehingga amarahnya timbul. Sebenarnya rombongan 
Warok Tanggorwereng itu tempat duduknya jauh di 
depan , diluar arena perkelahian mereka, akan tetapi 
karena banyak perempuan pemain gambyong yang 
tiba-tiba menghentikan tariannya, sehingga ia merasa 
terganggu ketenangannya oleh adanya kegaduhan di 
bangku-bangku belakang itu, maka ia pun kemudian 
ikut turut campur, padahal dia bukan dari rombongan 
para perampok itu. Naas bagi nasib Joko Manggolo yang 
sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan jauh berjalan 
kaki sepanjang siang hari, dan baru berkelahi dengan 
rombongan perampok itu, kemudian harus berhadapan 
dengan rombongan Warok Tanggorwereng yang jum- 
lahnya selusin itu. Joko Manggolo langsung dihajar 
habis-habisan, beramai-ramai hampir mati klenger. 

Namun agaknya nasib mujur masih memihak Joko 
Manggolo, sebelum ia mati terbunuh oleh permainan 
keroyokan itu, ketika itu Warok Singobeboyo yang sedang 
tertidur pulas berada dalam dekapan salah seorang 
pemain gambyong anak buah Nyai Lindri, segera diban- 
gunkan oleh para pemain gambyong itu. 

"Kangmas, Kangmas Singobeboyo. Bangun. Ada keributan 
di luar," teriak Nyai Lindri membangunkan Warok 
Singobeboyo sebagai penguasa pengamanan daerah ini 
yang mewakili kepentingan penguasa pemerintahan 
Kadipaten. 

"Hah, apa. Ada keributan,” kata Warok Singobeboyo 
kaget dan segera meloncat keluar sambil berteriak lantang 
: "Hentikan". Semua anak buah Warok Tanggorwereng 
seketika itu menghentikan menghajar Joko Manggolo 
yang sudah babak belur terkapar, menggelepar di halaman 
yang luas itu. 


"Masih kamu juga Wereng yang bikin onar," teriak 
Warok Singobeboyo sambil matanya melotot tajam 
memandang lurus muka Warok Tanggorwereng. 


"Bukan aku, Singobeboyo. Tapi orang-orang itu yang 
bikin keributan mengganggu aku. Jadi aku terpaksa turut 
campur untuk mengamankan. Ikut membereskan 
mereka, Maksudku agar tidak terjadi kegaduhan. Kalau 
sekarang sudah ada kamu yang mau membereskan. Lha, 
sekarang juga saya tidak perlu ikut campur. Saya mau 
pergi," jawab Warok Tanggorwereng sambil melangkah 
mendekati Nyai Lindri yang berdiri gugup tidak jauh 
dari tempat itu mau pamitan. Setengahnya, Warok 
Tanggorwereng minta perlindungan dari Nyai Lindri 
pemilik tempat hiburan itu agar tidak terjadi salah paham 
dengan Warok Singobeboyo. 


Warok Singobeboyo yang merasa sebagai Jogoboyo 
Dukuh Griyantoro ini, sebagai pelindung keamanan 
penduduk, ia segera meloncat mendekati tubuh Joko 
Manggolo yang tergelepar tidak sadar diri di tanah. 


"Cepat bawa masuk anak ini ke ruang sana," perintah 
Jogoboyo Singobeboyo kepada seorang laki-laki yang 
berperawakan tinggi tegap yang segera memapah tubuh 
Joko Manggolo menuju ke suatu ruangan tertutup di 
dalam rumah Nyai Lindri. 


"Mbakyu Lindri, aku mohon pamit dulu. Hari sudah 
mau pagi, dan ini uang pembayaran untuk semua 
rombonganku," kata Warok Tanggorwereng sambil 
menyerahkan segepok uang untuk membayar biaya 
minum-minum, ia bersama anak buahnya semalam suntuk 
itu. 

"Terima kasih Kakangmas Tanggorwereng, sering-sering 
saja kemari ya, dan jangan kapok, mohon maaf kalau 
ada kekurangannya," kata Nyai Lindri kenes setengah 
merayu tamu langganannya yang royal itu. 


"Ya...ya...Mbakyu...mohon pamit dulu," jawab Warok 
Tanggorwereng, nampak hormat kepada Nyai Lindri, 
pimpinan dan pemilik tempat hiburan yang biasa 
memanjakan dia dan rombongannya tiap kali mampir 
ke tempat hiburannya ini. 


"Hae, sompret, mau kemana kamu," tiba-tiba terdengar 
teriakkan Jogoboyo Singobeboyo menghentikan 
langkah Warok Tanggorwereng bersama segerombol 
anak buahnya. 


"Aku mau pulang, Singobeboyo. Hari sudah pagi. Wajar 
kan. Aku tidak ngutang di tempat Mbakyu Lindri ini. 
Semua urusanku sudah beres," jawab Warok Tang- 
gorwereng kalem sambil memberi isyarat kepada anak 
buahnya untuk berangkat meninggalkan tempat 
hiburan ini. 

"Berhenti dulu," teriak Jogoboyo Singobeboyo lagi, 
"Siapa tadi yang memukuli anak malang itu," sambil 
langkahnya mendekati rombongan Warok Tanggorwereng 
yang sudah melangkah keluar ruangan itu. 


"Kangmas Singobeboyo, sudahlah Kangmas,” teriak 
Nyai Lindri sambil menubruk tubuh Jogoboyo Singobeboyo 
yang tinggi besar itu, segera menghalangi langkah 
Jogoboyo Singobeboyo untuk maju mau menghajar 
rombongan Warok Tanggorwereng yang perkasa itu. 
"Aku mohon memaafkan tamu-tamuku Kangmas." 


Nampaknya Jogoboyo Singobeboyo juga tidak dapat 
berbuat apa-apa dihadapan perempuan cantik jelita itu 
yang ketika gerak langkah kakinya dihalangi oleh tubuh 
Nyai Lindri yang berbau harum semerbak penuh olesan 
parfum itu memeluknya erat-erat badan Jogoboyo 
Singobeboyo yang tinggi kekar itu. Hati laki-laki 
Jogeboyo Singobeboyo dibuat luluh seketika, Sementara 
itu rombongan gerombolan Warok Tanggorwereng 
pun dengan tenang meninggalkan rumah hiburan Nyai 
Lindri 


Di tengah jalan Warok Tanggorwereng masih 
mengomel dihadapan para anak buahnya yang 
semuanya mengendarai kuda warna hitam-hitam itu. 


"Suatu hari nanti, aku akan bikin perhitungan sama si 
dungu, Singobeboyo itu. Kita bikin kekacauan di mana- 
mana agar pihak penguasa Kadipaten kewalahan dan 
memecat para Pengaman di daerah seperti Singobeboyo 
itu. Mulai besuk kita susun rencana untuk membikin 
keonaran di mana-mana, di seluruh daerah Kadipaten," 
teriak Warok Tanggorwereng yang mengendarai kuda 
hitam paling depan diikuti oleh anak buahnya yang 
berjumlah selusin itu dengan semangat memacu kuda- 
kuda mereka ke arah perbukitan selatan. 


3
DALAM PERAWATAN 


Paman Sadri, nama seorang pedagang kayu, dan 
pemburu ternak di hutan yang kemudian hasil 
buruannya itu dijadikan barang dagangannya, biasa 
mampir ke tempat hiburan Nyai Lindri ini, sehabis pulang 
dari berjualan kayu atau ternak di kota Kadipaten 
Ponorogo, ia mengaku sebagai masih saudara Joko 
Manggolo. Jelasnya ia masih terhitung sebagai pamannya 
Joko Manggolo. 


Ketika ia memperhatikan kalung manik-manik yang 
terikat tali sisal di leher Joko Manggolo sebagai pertanda 
ia adalah masih satu keluarga dengannya. Kalung 
manik-manik itu yang dipakai oleh trah keluarga seperti 
Paman Sadri dan orang tua Joko Manggolo agar dimana 
saja mereka menemukan orang yang memakai kalung 
manik-manik khusus itu sebagai pertanda mereka masih 
satu keturunan, berasal dari satu eyang. Oleh karena itu 
ketika tadi terjadi keributan, dan setelah dilihat yang 
menjadi korban pengeroyokan itu seorang anak muda 
yang di lehernya terdapat kalung manik-manik itu, 
segera ia dapat memastikan, anak muda itu masih satu 
trah dengannya. 


Setelah menjelaskan panjang lebar kepada Warok 
Singobeboyo sebagai orang yang menjabat Jogoboyo di 
Dukuh Griyantoro ini, ia sebagai yang bertanggung 
jawab terhadap keamanan daerah itu, maka kemudian 
atas keyakinannya, orang yang mengaku bernama Sadri 
itu dapat dipastikan benar-benar masih ada hubungan 
keluarga dengan anak muda yang bernama Joko Manggolo 
itu. Oleh karena itu, malam itu juga atas seijin Warok 
Singobeboyo dan Nyai Lindri, Paman Sadri bersama 
para anak buahnya segera membawa pergi Joko Manggolo 
dari tempat hiburan itu untuk diamankan dan dirawat 
lebih lanjut, ia dibawa pulang menuju ke Dukuh Badegan, 
kampung halaman Paman Sadri di seberang kulon 
daerah Ponorogo. 


Berbekal pengetahuan cara pengobatan seperlunya, 
Paman Sadri berusaha membalut luka-luka di tubuh 
Joko Manggolo dengan ramu-ramuan dedaunan di tempat- 
tempat sekeliling. Darah-darah yang mengucur keluar 
di berbagai tubuh Joko Manggolo itu akhirnya dapat 
terhenti. Joko Manggolo mulai siuman kembali, walaupun 
tubuhnya masih nampak lemas. Segera diberi minuman 
jamu-jamu untuk memulihkan kekuatannya. Dengan 
dibantu oleh para anak buahnya yang mengendarai dua 
buah gerobak Kelutuk Sapi, Paman Sadri pagi itu me- 
boyong Joko Manggolo dibawa pulang ke kampungnya 
mengarah ke sebelah barat Dukuh Griyantoro ini. 


Perjalanan setengah hari rombongan Paman Sadri itu 
baru sampai di Dukuh Badegan, sebuah perkampungan 
di pinggir alas Badegan yang masih belukar ganas. 
Paman Sadri kebetulan adalah adik sepupu dari ayah 
Joko Manggolo, Pak Kartosentono yang juga sama-sama 
bekerja sebagai pedagang. Ia rupanya baru ingat kalau 
dahulu ia sangat mengenal Joko Manggolo sejak masih 
kecil. Dan belakangan ia mendengar berita, perginya Ibu 
kandung Joko Manggolo, Waijah Sarirupi yang hingga 
kini tidak tahu rimbanya dimana keberadaannya. Ter- 
masuk juga kepergiannya Joko Manggolo yang 
sebenarnya ingin diangkatnya menjadi anak pungutnya 
ketika masih bocah. Akan tetapi anak bocah yang baru 
berumur sebelas tahun itu pergi menghilang meninggalkan 
kampung halaman yang tidak tahu rimbanya lagi. 


Kebetulan malam itu ada keributan di tempat hiburan 
Nyai Lindri, Paman Sadri dan rombongannya yang biasa 
mampir untuk sekedar minum-minum sambil berjoget 
melepaskan lelah tiba-tiba dikejutkan oleh perkelahian 
yang begitu brutal, dan ternyata Joko Manggolo yang 
menjadi korban dikeroyok secara tidak seimbang oleh 
para begundal-begundal itu. Paman Sadri berusaha 
mencoba membantunya, tapi tidak berani. Sebab Paman 
Sadri dan rombongannya itu bukanlah sebagai orang- 
orang yang mengusai ilmu kanuragan, tahunya hanya 
berdagang dan mencari uang. Seperti halnya ayah Joko 
Manggolo dahulu, hanya uang dan kesenangan yang 
dipikirkan. 


Setelah beberapa hari Joko Manggolo dalam perawatan 
keluarga Paman Sadri, kondisi tubuhnya mulai mem- 
baik. Luka-lukanya mula sembuh. Hanya saja di dalam 
tubuhnya masih terasa nyeri. Mungkin akibat serangan 
tenaga dalam orang-orang itu yang dilambari aji-aji 
kekuatan bathin sehingga kemampuan daya tahan Joko 
Manggolo lumpuh seketika dibuatnya. 


Paman Sadri berusaha keras untuk mencarikan Dukun 
manjur yang dapat memulihkan keadaan Joko Manggolo. 
Beberapa Dukun terkenal di dekat perkampungan Badegan 
didatangi, dan nampaknya usaha Paman Sadri yang 
tidak kenal putus asa itu telah membantu penyembuhan 
Joko Manggolo. Sudah dua hari ini, nampak Joko Manggolo 
telah mulai dapat berdiri dan berjalan pelan di halaman 
rumah Paman Sadri yang rindang penuh tumbuh- 
tumbuhan hutan itu. Wajah Joko Manggolo nampak 
juga mulai cerah tidak sebagaimana semula yang tertutup 
penuh luka, kini luka-luka di mukanya mulai mengering 
dan mengelupas sehingga nampak wajah Joko Manggolo 
yang asli begitu ganteng. 


Melihat kemajuan kesehatan Joko Manggolo itu, Paman 
Sadri sekeluarga nampak suka cita, isterinya Nyai 
Mekarsari nampak gembira. Selama ini keluarga Paman 
Sadri sudah lama mendambakan kehadiran anak di tengah- 
tengah keluarga yang nampak makmur itu, tetapi 
rupanya sampai sekarang belum dikaruniai seorang 
anak pun. Oleh karena itu, kehadiran Joko Manggolo, 
sebagai keponakannya, telah dianggapnya sebagai 
layaknya anaknya sendiri. 


Selang beberapa bulan kemudian, Joko Manggolo telah 
dapat membantu Paman Sadri mencari kayu di hutan 
untuk dijual. Kayu-kayu dagangan itu dibawa ke kota 
Kadipaten Ponorogo. Dan sejak peristiwa malam itu, 
Paman Sadri jarang sekali mampir ke Tempat Hiburan 
Nyai Lindri lagi, apalagi kalau membawa Joko Manggolo 
takut kepergok rombongan perampok, dan rombongan 
gerombolan anak buah Warok Tanggorwereng yang 
terkenal buas itu. 


Pada suatu hari di Dukuh Badegan, ketika keluarga 
Paman Sadri sedang duduk-duduk santai di halaman 
depan rumah menjelang malam tiba. Mereka nampak 
sedang asyik ngobrol segala rupa masalah perihal 
kehidupan. 


"Paman Sadri, apakah ayahku masih hidup," tiba-tiba 
muncul pertanyaan Joko Manggolo yang membuat 
Paman Sadri agak gugup dibuatnya. 


*Lhooooo, kan ayahmu Kangmas Kartosentono sudah 
lama meninggal." 


"Menurut penuturan Eyang Guru Warok Wirodigdo 
dulu, katanyaayahku masih hidup. Sebelum menghem- 
buskan nafas terakhirnya. Eyang Warok Wirodigdo 
masih sempatmengatakan, Joko sebenarnya ayahmu itu 
masih hidup. Ayahmu adalah...Tidak dilanjutkan dan 
terus keburu wafat. Timbul pertanyaan dalam diri Joko, 
Paman Sadri. Barangkali ayah hamba bukan Pak Karto- 
sentono. Kalau bukan beliau lalu siapa,” tanya Joko 
Manggolo. 


Suasana hening sejenak. Paman Sadri tidak segera bicara. 
Rupanya ia sedang berpikir. Banyak hal yang menjadikan 
pertimbangan untuk mengatakan sesuatu kepada Joko 
Manggolo yang kini menjadi anak angkatnya itu. 


"Sebaiknya engkau jangan mempunyai pikiran begitu, 
Joko. Kalau engkau tidak mau mengakui almarhum Pak 
Kartasentono sebagai ayahmu sendiri, ini akan mem- 
bawa celaka bagimu. Berkhianat kepada orang tuamu 
sendiri. Beliau itu yang sebenarnya ayah kandungmu 
sendiri. Tidak ada laki-laki lain yang menjadi ayahmu 
selain Pak Kartosentono itu. Yakinlah itu. Barangkali, 
Kangmas Warok Wirodigdo mengatakan begitu lan- 
taran ia dalam keadaan sekarat, antara sadar dan tidak 
sadar. Jadi ucapannya sulit dipercaya kebenarannya," 
kata Paman Sadri berusaha menenangkan Joko 
Mangggolo. 


Namun agaknya Joko Manggolo masih percaya benar 
terhadap kata-kata gurunya Warok Wirodigdo itu. Akan 
tetapi untuk tidak membuat Paman Sadri gusar, maka 
Joko Manggolo diam saja, tidak ingin lagi menanyakan 
hal itu kepada Paman Sadri. Sejak percakapan mereka 
itu, selama ini rasa ingin tahu Joko Manggolo untuk 
mengetahui keberadaan ayahanda dan ibundanya yang 
sebenarnya itu hanya dipendamnya sendiri. Dalam hati 
ia berkata, pada suatu hari kelak ia terpaksa harus pergi 
lagi meninggalkan Dukuh Badegan ini untuk pergi 
'berkelana lagi, namun hal itu akan disesuaikan menurut 
perkembangan keadaan agar keluarga Paman Sadri 
yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri tidak 
tersinggung oleh ulah Joko Manggolo. Ia sudah 
berpendirian untuk menjadikan Dukuh Badegan ini 
sebagai kampung halamannya yang baru. Oleh karena 
itu kalaupun ia terpaksa harus pergi berkelana, ia harus 
kembali lagi ke Dukuh Badegan ini. 


PEPUNDEN 


Dan kehidupan keluarga Paman Sadri yang 
temyata sampai sekarang belum dikaruniai 
seorang anak pun itu, sebagai salah satu alasannya, 
keluarga ini telah memutuskan untuk mengangkat 
seorang anak perempuan yang terhitung masih 
keponakannya sendiri, bernama Sri Sulaksmi. Sejak 
kehadiran Joko Manggolo di tengah keluarga Paman 
Sadri ini, bertambah ramailah kehidupan keluarga 
Paman Sadri di kampung Dukuh Badegan sebuah 
perkampungan kecil yang terletak di pinggir hutan jati 
ini. 


Joko Manggolo nampak telah pulih dari luka-luka 
dalamnya, ia nampak telah sehat kembali. Hampir pada 
tiap pagi buta, hari masih gelap menyongsong matahari 
terbit, Joko Manggolo nampak sering berjalan berdua 
bersama dengan Paman Sadri yang berpenampilan 
lugu, keras hati, mukanya bersih, berpikiran lurus, dan 
terlihat sebagai orang yang jujur, berwibawa. Namun, 
sayang selama ini ia tidak pernah berusaha menguasai 
dan kalau ia mempelajari ilmu kanuragan, maka tak 
urung ia pun akan sering terlibat pada tindakan 
kekerasan. la lebih suka berpasrah diri saja kepada Sang 
Hyang Tunggal untuk menjaga keamanan dirinya. 
Tanpa ada usaha untuk memperteguh kekuatan dirinya 
misalnya berlatih ilmu kanuragan itu, hanya sekali-kali 
memang ia melakukan latihan olah bathin. 


Perjalanan kedua laki-laki itu telah sampai di suatu tempat 
gundukan yang rimbun, berjarak lumayan jauh dari 
kampung Dukuh Badegan. Di tempat itu ditemui banyak 
patok-patok berjejer-jejer yang ternyata merupakan 
tempat kuburan para leluhur, para warok dari daerah 
kulon yang kebanyakan dikubur di tempat ini. 


"Dulu, di daerah ini pernah terjadi perkelahian yang 
menghebat antar para warok yang bersabung memper- 
tahankan kedigdayaannya masing-masing, sampai 
maut merenggut nyawa mereka. Kemudian penduduk 
setempat, memutuskan memakamkan jenazah mereka 
di tempat ini sebagai peringatan kepada kita semua yang 
masih hidup agar pertentangan berebut keunggulan 
harga diri, dan kewibawaan ini tidak terulang lagi pada 
anak cucu berikutnya." 


"Apa yang sebenarnya mereka pertentangkan, Paman" 
tanya Joko Manggolo. 


"Ya. Itu tadi yang saya katakan mereka memperebutkan 
gengsi kewibawaan. Ingin menjadi orang yang dianggap 
paling kuat, paling berwibawa, paling berpengaruh paling 
banyak pengikut, dan paling macam-macam, sehingga 
mereka bersedia mempertaruhkan jiwa raganya hanya 
ingin mendapatkan pengakuan masyarakat, ia adalah 
warok unggulan yang tiada tanding. Pernyataan yang 
kelewatan ini, keblabasen kemudian tidak enak didengar 
ditelinga warok yang lain. Nah, terjadilah tantang menan- 
tang antar warok itu untuk adu kesaktian. Akhirnya 
pertarungan antar dua warok tangguh itu terjadi secara 
kesatria di tempat ini sampai pati. Sampai menemui 
ajalnya masing-masing. Mereka rupanya tidak 
sendirian. Masing-masing mempunyai pengikut. Melihat 
pimpinannya yang dijagokan kalah, maka para anak 
buahnya tidak terima, Terjadilah tawuran keroyokan. 
Tidak ada yang hidup antar kedua pihak, Semuanya 
mati dan dikubur berjejer-jejer di sini ini," kata Paman 
Sadri menceriterakan kejadian yang sudah berlangsung 
sekitar empatratus tahun yang lalu sebagai ceritera yang 
dipercaya penduduk setempat turun-temurun. 


"Apakah mereka tidak ada sanak keluarga, isteri dan 
anak turunnya, Paman." 


"Tidak ada. Mereka yang bertarung di tempat ini dulu 
para warok sejati. Tidak kawin dan tidak punya anak. 
Sehingga ketika mati pun tidak meninggalkan garis 
keturunan, seakan nama kebesarannya pun tidak ada 
yang mewarisi, ikut terkubur bersama mayat mereka di 
tempat ini. Tapi, menurut para sesepuh ahli ilmu 
kanuragan dan olah bathin, ilmu-ilmu yang dimiliki oleh 
para warok itu tidak ikut terkubur bersama jasadnya. 
Masih hidup gentayangan di alam baka ini. Banyak 
warok lain yang memiliki kemampuan linuih, 
menangkap ilmu-ilmu itu untuk memperkaya kesak- 
tiannya. Ilmunya masih hidup tidak ikut lenyap. Itulah 
yang dipercaya para sesepuh." 

"Benar, Paman. Manggolo pun mendapatkan pelajaran 
mengenai ini dari Eyang Guru Warok Wirodigdo. 
Namun barangkali ketika itu Manggolo masih bocah 
saat Eyang Guru meninggal dunia, maka hanya 
sebagian kecil ilmunya yang dapat Manggolo kuasai. 
Namun ada pengalaman menarik yang sampai sekarang 
masih Manggolo ingat, Paman. Yaitu pada saat men- 
jelang wafatnya eyang Warok Wirodigdo. Tiba-tiba dari 
jasadnya seperti keluar asap lembut yang menyerupai 
gambaran tombak berbentuk ular naga. Wujud itu 
kemudian berubah seperti kabut putih menghambur 
mengawan meninggalkan bumi. Dan pada saat itu pula 
tiba-tiba Manggolo dapat melihat seperti ada kekuatan 
cahaya merah menyala yang datang dari ufuk timur 
yang dengan gesit menyambar kekuatan kabut putih itu 
kemudian terserap seperti kabur meninggalkan 
angkasa," kata Joko Manggolo dengan muka serius yang 
didengarkan oleh Paman Sadri dengan muka serius pula 
sambil kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk 
tanda memahami kejadian gaib seperti itu. 


"Menurut penuturan para sesepuh," kata Paman Sadri 
kemudian menimpali pembicaraan Joko Manggolo, 
"ilmu gurumu itu terlepas ketika sukmanya meninggalkan 
jasadnya. Dan barangkali ketika-itu-ada kekuatan lain 
yang dimiliki oleh para warok sakti lainnya yang dapat 
menangkap daya energi kekuatan ilmu yanng terlepas 
dari jiwa raga Warok Wirodigdo itu yang kemudian 
dicaploknya untuk dimilikinya sebagai tambahan 
kekuatan kesaktiannya." 


"Ohh, begitu ya, Paman Sadri kejadiannya." 


"Ya. Itu kejadian gaib. Hanya kalangan tertentu yang 
berilmu tinggi yang paham soal ilmu-ilmu demikian ini. 
Dan tentu para warok yang berilmu linuih itu yang bisa 
mengincar kekuatan-kekuatan kesaktian bagi para 
warok yang meninggal itu untuk menambah perbenda- 
haraan keilmuannya," urai Paman Sadri. 


Udara dingin pagi mulai terasa, kegelapan malam telah 
berganti suasana yang makin terang, di belahan timur 
terlihat sinar cahaya matahari remang-remang yang 
menandakan tidak lama lagi pagi akan tiba. Joko Manggolo 
dan Paman Sadri berarjak dari tempat pinggir pekuburan 
itu, tempat yang menjadi pepunden, kuburan keramat 
sebagai tempat dimakamkannya para warok yang 
menemui ajalnya berlaga adu kesaktian di masa lalu itu, 
sehingga kini dianggap tempat angker untuk sesirah, 
ngudi doyo bagi orang-orang yang ingin berhubungan 
dengan roh para leluhur. 


Tiba-tiba Joko Manggolo melihat seperti ada cahaya 
kuning kemerahan yang memantul dari arah batu nisan 
patok kuburan itu, menyerupai bayangan manusia 
setinggi pohon beringin lewat begitu cepat mengarah ke 
ujung kulon perbukitan pinggir hutan jati itu. 


"Hah, sepertinya ada kekuatan mahkluk halus...Paman. 
Kita harus berhati-hati, Paman. Sebaiknya kita tidak 
usah berjalan meneruskan ke arah belokan itu, Paman" 
bisik Joko Manggolo, suaranya seperti tidak terdengar. 


*Memang ada apa, Angger Manggolo," tanya Paman 
Sadri penuh keheranan, sebab ia tidak bisa menangkap 
dengan mata hatinya apa yang terjadi di alam peralihan 
yang maya itu. 

"Apakah Paman tidak melihat ada kekuatan dahsyat 
sedang berlalu dari patok kuburan yang sebelah tengah 
itu." 

"Tidak. Sama sekali aku tidak melihat apa-apa." 

"Kita harus berusaha konsentrasi untuk melihat 
kekuatan-kekuatan gaib itu, Paman." 

"Aku tidak menguasai ilmu olah bathin seperti itu, Angger 
Manggolo". 

"Lihatlah dengan mata hati, Paman. Itu ada pancaran 
kekuatan yang luar biasa. Barangkali masih banyak sisa- 
sisa kekuatan ilmu kesaktian yang ditinggalkan oleh 
para leluhur para warok dahulu di tempat keramat ini." 
Peluh dinginnya mengalir cepat membasahi sekujur 
tubuhnya. Ia nampak mulai gemetaran menahan takut. 


"Sebentar, Paman. Aku akan melihat ke dalam sepertinya 
ada sesuatu yang bergerak di antara pohon-pohon kamboja 
itu. Aku mau periksa ke dalam kuburan itu. Paman 
sebaiknya tunggu di sini saja." 

"Awas, hati-hati, Angger Manggolo." 

Dengan sigap Joko Manggolo telah memasuki lingkaran 
tanah gundukan di pekuburan itu. Mengendap-endap 
mendekati tempat yang dicurigai seperti ada asap yang 
mengepul dari tempat itu. Makin dekat terasa ada bau 
yang menyengat. Bau kemenyan bakar. Joko Manggolo 
makin yakin, pasti ada sesuatu yang sedang berjalan di 
balik pepohonan kamboja yang rindang itu. 

Setelah dekat, Joko Manggolo dapat mengamati dari 
persembunyiannya di balik pohon-pohon yang lebat itu, 
tapi belum sempat ia melihat apa yang terjadi di balik 
pohon beringin di tengah pekuburan itu, tiba-tiba seperti 
terlihat bayangan besar hitam yang meloncat cepat dari 
balik pohon itu langsung menerjang kearah Joko Manggolo 
membungkuk yang sedang terbengong. "Brukkkk" suara 
keras telah menghantam tubuh joko Manggolo sehingga 
ia terguling-guling beberapa kali surut ke belakang. 
Kemudian, Joko Manggolo berusaha bangkit dan 
melakukan sikap "pasang" untuk menghadapi 
kemungkinan menerima serangan lebih lanjut, dari 
orang tua perkasa ini yang tiba-tiba saja menyerangnya 
tanpa tanya ini dan itunya. 


"Engkau telah mengganggu semediku, orang asing," teriak 
suara berat seorang laki-laki yang kelihatannya sudah 
berumur lanjut. Melihat sikap orang itu mau menyerang 
kembali, Joko Manggolo segera memasang kuda- 
kudanya Untuk menghadapi serangan lanjutan dari se- 
seorang laki-laki bertubuh tinggi besat gempal menan- 
dakan laki-laki lanjut usia ini seorang pekerja keras yang 
berilmu kanuragan tinggi. 

"Apakah maksudmu mengintip orang yang sedang 
semadi, anakmas” tanya laki-laki kekar dengan otot-otot 
yang menonjol sekujur tubuhnya itu. 

“Mak...maafkan, hamba, Bapak" kata Joko Manggolo 
tergagap. 

"Aku tidak ingin semadiku terganggu oleh ulahmu di 
tempat suci ini. Engkau tahu, tempat apa ini. Di sini 
dimakamkan para leluhurku, kakekku. Seorang warok 
berilmu tinggi.” 

"Maaf, Pak. Saya tidak tahu. Saya hanya ingin tahu tempat 
apa ini." 

“Disini pekuburan suci. Makam keramat. Pepunden. Aku 
penunggunya, dan di balik pohon beringin itu aku tinggal 
untuk bersemedi. Engkau memasuki pekuburan suci ini 
tanpa permisi dan memberi tanda isyarat yang bersopan 
santun. Apakah kamu perlu aku hajar dulu, baru akan 
tahu bagaimana tata caranya orang hidup itu harus saling 
harga-menghargai. Siapa namamu, dan dari mana 
asalmu, Nakkk." 


"Maafkan saya, Pak. Nama saya Joko Manggolo. Saya 
tinggal tidak jauh dari tempat ini di Dukuh Badegan." 


“Emmm. Hemmm. Nahhh, begitu baru jelas. Kamu 
bukan orang liar thoo. Jadi tahu diri." 


"Kami sedang berjalan-jalan pagi hari dan kebetulan 
lewat pekuburan ini, Pak." 

"Di sini tata caranya kalau mau memasuki pekuburan 
orang harus ada tata kramanya harus minta ijin kepada 
juru kuncinya. Di sini aku yang berkuasa. Sudah tahu." 


“Sekarang saya sudah tahu, Pak." 


"Bagus. Kali ini aku maafkan kesalahanmu. Lain kali 
kalau kamu berbuat kesalahan yang sama akan aku 
hajar. Tahu. Sekarang perkenalkan, namaku Warok 
Suroyudho. Aku di sini sebenarnya sedang menunggu 
wangsit. Menurut perkiraanku, ketika raja Prabu Kelana 
Swandana dahulu kala ketika berburu binatang ternak 
untuk hadiah kepada calon isterinya Dewisri Sang- 
galangit putri kerajaan Doho itu, beliau berburu di 
daerah hutan sini dengan menggunakan cemetinya. 
Maka aku berharap cemeti itu dapat aku peroleh kembali 
di tempat ini. Pusaka sakti Raja penguasa Kerajaan 
Bantaran Angin itu melenyap begitu beliau wafat." 


"Ohhh, begitu tho, Pak" kata Joko Manggolo kelihatan 
terbengong-bengong keheranan. 


"Ya. Ini aku beritahukan kepada kamu yang masih 
muda. Barangkali aku tidak sampai menemukan pusaka 
cemeti itu karena usiaku sudah lanjut, riantinya bisa 
kamu lanjutkan pencarian cemeti sakti ini," jelas Warok 
Suroyodho itu dengan pandangan mata yang tajam 
menandakan orang yang berilmu dalam. 


"Terima kasih, Pak atas pemberitahuan ini," lanjut Joko 
Manggolo, "Nah anak muda, jangan lagi sekali-kali 
mengganggu aku di sini. Sekarang pergilah." 

"Terima kasih, Pak." 

“Ya. Sana, pergilah." 

Setelah memberi hormat kepada laki-laki kekar yang 
rambutnya telah memutih semua itu, Joko Manggolo 
kemudian meninggalkan laki-laki itu. Di luar halaman 
pekuburan itu, Paman Sadri yang menunggu dengan 
cemas sambil sembunyi di balik gerumbul pepohonan 
itu, segera menyongsong ketika melihat Joko Manggolo 
telah kembali dengan selamat berjalan di mukanya. 

"Angger Manggolo, apa yang terjadi di pekuburan." 

"Ohh, Paman." Joko Manggolo segera menceriterakan 
pengalaman barunya tadi sambil kedua laki-laki itu ber- 
jalan pulang rumah menuju Dukuh Badegan meninggalkan 
pekuburan keramat itu. 

“Nah, ini memang benar seperti yang disampaikan 
kepadaku oleh beberapa penduduk di Dukuh Badegan 
yang sering melihat cahaya mencorong di malam hari 
dari pekuburan ini. Mereka rata-rata mengeramatkan 
pekuburan ini, dan tidak ada yang berani mendekatinya. 
Memang ceritera menganai cemeti atau “pecut sakti" itu 
masih berkembang di antara para warok di daerah 
tetangga kita yang diyakini sebagai peninggalan milik 
Prabu Kala Swandana, raja Kerajaan Bantaranangin 
yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. 
Orang yang sedang bertapa itu bernama Warok 
Suroyudho, orang sakti yang berumur sudah satu abad 
belum juga wafat. Ia merasa bersalah atas kematian eyang 
buyutnya yang juga warok kenamaan yang bertarung 
sampai ajalnya di pekuburan itu empat ratus tahun yang 
lalu. Ia ingin menguasai ilmu-ilmu kenuragan milik Eyang 
buyutnya dari keluaraga Batoroyudho itu. Menurut 
penuturan para sesepuh, keluarga Batoroyudho itu se- 
benarnya tidak mempunyai keturunan karena tidak ber- 
isteri, tetapi ia mengangkat anak laki-laki sebagai gemblak 
yang kemudian laki-laki anak angkat Warok 
Batoro yudho itu ketika berkeluarga menurunkan anak 
cucu yang semuanya bergelar warok hingga yang terakhir 
cicitnya bernama Warok Suroyudho sekarang ini yang 
dahulu kala sejakeyang buyutnya dikenal sebagai pengabdi 
setia secara turun-temurun kepada kerajaan Wengker. 
Sejak raja Wengker Pertama, anak turunnya semuanya 
terus bergelar warok dan menjadi ompleng-omplengnya di 
kerajaan Wengker. Urutan nama raja-raja Wengker ar- 
tara Jain, Raja Djoko Warok Tuwo adalah nama raja kera- 
jaan Wengker Pertama. Raja Bhre Wengker adalah nama 
raja Wengker Kedua, Raja Pandan Alas nama raja 
Wengker Ketiga, dan Raja Surya Ngalam nama raja 
Wengker Keempat. Anak turun keluarga Warok 
Batoroyudho ini terus mengabdikan diri di kerajaan 
Wengker itu." 


"Lalu, Warok Suroyudho itu, hidu zaman siapa, Paman." 

"Ia itu masuk generasi Eyang Buyutmu." 

"Ohhhh. Sudah sangat tua, Paman." 

"Ya. Ya, ya, tapi ia tidak mati-mati karena ilmu kesak- 
tiannya itu belum lepas dari raganya sampai berumur 
setua itu." 


"Manggolo sepertinya bersedia menjadi muridnya, 
Paman." 


"Jangan, Angger, nanti engkau juga akan mengalami 
nasib yang sama dengan dia, tidak mati-mati sebelum 
engkau menurunkan ilmumu. Ilmu aneh itu memang 
masih beredar dimiliki oleh sebagian para warok di 
daerah barat sini. Untuk segera mati ia harus mencari 
tandingan lawan yang berat agar dapat mengalahkannya 
dan atau sanggup membunuhnya. Nah, susahnya kalau 
sudah bergelar warok demikian ini kesaktiannya ngudu- 
bilahi sehingga tidak mati-mati. Jadi itu tadi ia tetap saja 
hidup walaupun sudah tua bangka." 


Joko Manggolo dengan takjim terus mendengarkan 
uraian Paman Sadri yang dianggap sebagai sesepuh 
yang tahu banyak mengenai ceritera- ceritera kelebihan 
para warok yang sudah menginjak usia lanjut. 


Sesampai di rumah, Bulik Sadri, isteri Paman Sadri telah 
menyiapkan sarapan di atas meja tengah, sebakul nasi 
putih berikut lauk pecel disertai rempeyek kedelei. 


Kedua laki-laki, Paman dan kemonakannya itu, begitu 
memasuki pintu rumah itu disambut ramah oleh Bulik 
Sadri dengan senyum keramahan. 


"Itu Kangmassarapannya, nanti keburu dingin nasinya." 


"Ya. Hayo angger Manggolo, sarapan sekalian. Kamu, 
Nduk Laksmi sudah sarapan. Hayo sarapan sama- 
sama," kata Paman Sadri begitu dilihatnya kemonakannya, 
Sri Sulaksmi yang nampak baru pulang dari pasar mem- 
bawa jajanan pasar, ikan asin, dan ayam potong untuk 
bahan masak nanti siang. 

“Sudah, Paman. Tadi sarapan sama-sama Bulik," kata Sri 
Sulaksmi dengan senyum-senyum di kulum ketika 
dilihatnya Joko Manggolo makan lahap di dekat Paman 
Sadri. Kemudian ia berlalu membantu Buliknya di 
belakang. 


"Paman. Manggolo mau minta ijin Paman. Besuk pagi 
Manggolo mau berkeliling ke daerah-daerah tetangga 
"ingin mengenal lebih jauh lagi, sambil mencari tahu 
siapa tahu Ibu dapat Manggolo temukan," tiba-tiba 
suara Joko Manggolo memecahkan kesunyian yang 
membuat kaget Paman Sadri. 

"Engkau mau pergi kemana, Angger." 

"Mencoba berkelana kembali, Paman." 

"Keadaan tubuhmu belum pulih benar. Sebaiknya 
engkau beristirahat dulu, dan jalan-jalan di seputar kam- 
pung sini saja." 

Suasana jadi hening, Joko Manggolo nampaknya berpikir 
sejenak. Lalu kemudian. 

"Paman, Manggolo mau berkelana tidak terlalu lama, 
nanti Manggolo kembali lagi kemari. Mungkin cuma 
satu minggu, atau paling lama satu bulan." 


Suasana kembali hening. Paman Sadri berpikir 
keras, tetapi akhirnya.


"Baiklah, angger Manggolo, terserah saja kepadamu. 
Pesanku hati-hati di perjalanan. Dan setelah engkau 
merasa perlu kembali ke Badegan segeralah kembali. 
Aku dan Bulikmu, juga Sulaksmi senantiasa menunggu 
kedatangmu." 

"Ya, Paman. Matur nuwun, Terima kasih." 

"Lalu, kapan engkau akan berangkat." 

"Besuk pagi,Paman." 

"Ya, persiapkan apa saja yang akan engkau perlukan 
selama di perjalanan." 

"Baik, Paman." 

Sejak percakapan itu, esuk harinya Joko Manggolo nampak 
telah berangkat meninggalkan Dukuh Badegan menuju 
kearah selatan. Paman Sadri, isterinya, dan keponakannya, 
Sri Sulaksmi, mengantarkan kepergian Joko Manggolo 
sampai di pintu depan rumah dengan perasaan haru. 


Suatu hal yang menjadi alasan ia harus tetap berkelana 
karena ada tujuan utama dalam hidupnya yaitu ingin 
mengabdikan dirinya kepada kedua orang tuanya, dan 
menuntut ilmu setinggi mungkin di kala masih muda. 
Joko Manggolo tahu bahwa ia tingga! dengan keluarga 
Paman Sadri, ia akan mendapatkan ilmu ketinggian 
budi, tetapi sayangnya, Paman Sadri orang tua yang 
tidak suka kekerasan. Sejak mudanya pun ia menghin- 
darkan diri dari belajar ilmu kanuragan. Hal ini yang 
menimbulkan perbedaan pandangan dengan Joko 
Manggolo. "Budi baik harus tetap ditegakkan, tetapi 
kekuatan pun harus tetap digali, Hanya berbaik budi 
tanpa kekuatan menjadikan diri kita lemah, tetapi hanya 
kekuatan tanpa budi baik menjadikan diri kita buta, 
menjadi orang yang bersombong diri," begitu pendapat 
Joko-Manggolo yang diutarakan kepada Paman Sadri. 
Ketika mendengar pendapat Joko Manggolo itu, Paman 
Sadri hanya terdiam, sehingga membuat tidak enak Joko 
Manggolo, apakah Paman Sadri tersinggung, atau 
mungkin ia merasa membenarkan pendapat Joko Manggolo, 
dan macam-macam tanda tanya yang tidak terjawabkan. 
Oleh karena itu, Joko Manggolo memutuskan untuk 
sementara ia perlu mengembara lagi. 


Joko Manggolo dalam perjalanannya kali ini agaknya 
banyak merenung. Walaupun ia terus berkelana, keluar 
masuk kampung, menelusuri tanah-tanah gersang, 
menyelinap ke dalam hutan, mendaki bukit-bukit terjal, 
menghindari jurang-jurang curam, dan di setiap 
keramaian di kampung-kampung yang ditemui, apabila 
ia bertemu perempuan yang sekiranya sebaya dengan 
ibunya selalu diamati tajam, apakah di antara perem- 
puan-perempuan itu terdapat ibunya. Siang malam Joko 
Manggolo bermimpi-mimpi untuk mencari petunjuk 
dimana sekarang keberadaan ibunya, Waijah Sarirupi 
yang hingga kini dianggapnya tetap sebagai misteri 
dalam hidupnya.