Pendekar Pulau Neraka - Istana Iblis(2)

LIMA
Tidak ada peristiwa yang berarti malam ini. Sampai lewat tengah malam, tidak juga terdengar sesuatu. Dan Bayu mulai diserang rasa kantuk yang amat sangat Padahal dia berusaha untuk tidak tertidur. Pendekar Pulau Neraka itu melirik Wurani yang sudah terlelap dibuai mimpi sejak tadi.

Plak!

"Mampus kau!" umpat Bayu.

Pendekar Pulau Neraka memandangi seekor nyamuk yang gepeng di telapak tangannya. Nyamuk di sini cukup besar. Gigitannya pun cukup pedih menusuk kulit. Bayu melirik Wurani yang terjaga. Gadis itu bangkit lalu duduk memeluk lutut. Udara malam ini memang terasa dingin. Angin bertiup cukup kencang, masih membawa bau tidak sedap meskipun sudah mulai berkurang.

"Ada apa?" tanya Wurani seraya memandangi pemuda yang duduk bersandar di dinding.

"Nyamuk," sahut Bayu seraya menunjukkan nyamuk yang masih melekat gepeng di tangannya.

"Uhhh...! Nyamuk saja bikin kaget orang tidur!" rungut Wurani.

Bayu tersenyum kecut. Disentilnya bangkai nyamuk di telapak tangannya. Lalu dibersihkan titik noda darah dengan ujung tikar. Wurani menguap lebar menutupi mulurnya.

"Kau tidak tidur, Kakang?" pelan suara gadis itu.

"Tidak," sahut Bayu singkat.

"Tidurlah. Biar aku yang menggantikan," ujar Wurani.

"Kau saja yang tidur."

"Uh! Sudah bangun, susah lagi tidurnya...!" keluh Wurani.

Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum kecut. Sementara Wurani menggosok-gosok matanya, lalu membasuh mukanya dengan air bening dari dalam kendi tanah liat. Wajahnya kelihaian segar kembali. Cantik juga, tapi Bayu tidak sempat memperhatikannya.

"Kau masih marah padaku, Kakang?" tegur Wurani merasa sepi karena Bayu hanya diam saja. Paling tidak hanya menjawab singkat dan datar.

"Tidak," sahut Bayu singkat.

"Tapi, kenapa sikapmu begitu dingin?"

"Aku tidak tahu."

"Hhh...!" Wurani mendesah panjang. "Kau kelihatannya masih juga belum percaya semua yang kukatakan, Kakang."

Bayu diam saja. Matanya menerawang jauh memperhatikan kegelapan yang menyelimuti seluruh Desa Walang ini. Tangannya kembali memukul kakinya. Lagi-lagi seekor nyamuk bernasib sial. Tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang. Kedatanganku ke sini memang sudah dalam keadaan seperti ini. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Bahkan kudapatkan keluarga kakakku sudah tewas semua. Aku sempat menguburkan mereka, tapi malamnya aku diserang beberapa orang berbaju hitam. Dugaanku merekalah yang membantai penduduk desa ini. 

Tapi mereka sangat tangguh. Bahkan sebuah benda kecil berhasil dihunjamkan ke punggungku. Hhh....Aku tidak tahu lagi kelanjutannya, dan tidak sadarkan diri saat itu juga. Yang aku tahu..., aku tersadar keesokan harinya. Di situ sudah ada Ki Sampang. Aku sempat bicara dan saling mengenal nama dengannya. Tapi setelah itu, aku sering tidak sadarkan diri," Wurani menceritakan panjang lebar. Padahal semua itu sudah dikatakannya sore tadi.

"Kau lahir di sini?" tanya Bayu.

"Benar. Tapi sejak berusia tujuh tahun aku tinggal diPertapaan Kali Anget. Aku belajar banyak di sana, termasuk ilmu olah kanuragan. Kedatanganku ke sini sebenarnya hanya untuk berkunjung saja. Tapi yang kudapatkan...," Wurani berhenti berkata.

Bayu diam saja, seraya menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Kau masih belum percaya, Kakang...?" pelan suara Wurani.

"Aku percaya," desah Bayu.

Wurani menghembuskan napas panjang.

"Kau lahir di desa ini. Aneh juga kalau sampai tidak tahu apa-apa yang telah terjadi di sini," kata Bayu setengah bergumam.

"Aku tidak pernah lagi ke sini sejak berumur tujuh tahun, Kakang. Baru kali inilah aku kembali."

"Hm...."

"Mungkin kau akan lebih jelas lagi kalau ada Ki Sampang."

Bayu menatap dalam-dalam gadis itu.

"Besok siang, Ki Sampang ke sini. Itu pun kalau dia sudah menemukan saudara gadis kecil itu. Dia kenal dan tahu keluarganya. Ki Sampang penduduk asli Desa Walang ini," jelas Wurani.

"Kau tahu itu, kenapa tidak kau katakan sebelumnya?" Bayu sedikit menyesali.

"Aku baru tahu setelah pergi dari sini kemarin," selak Wurani tidak ingin disalahkan terus.

Bayu terdiam.

"Dia banyak bercerita tentang keadaan di Desa Walang ini. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Bahkan Ki Sampang tidak tahu kalau aku ke sini lebih dahulu darinya," lanjut Wurani. 'Tapi...."

"Kenapa?" desak Bayu. "Anehnya, Ki Sampang selalu mengelak jika kudesak untuk menceritakan tentang kejadian sebenarnya...," sambung Wurani.

"Hm," Bayu mengerutkan keningnya.

"Bahkan waktu menyebut nama Istana Iblis, wajahnya langsung berubah dan terus mengalihkan pembicaraan. Setiap kali kuarahkan ke sana, Ki Sampang selalu mengelak," ujar Wurani lagi.

"Istana Iblis...," gumam Bayu pelan.

Bayu teringat kata-kata orang berjubah hitam yang misterius. Orang itu juga menyebut Istana Iblis. Bahkan juga mengatakan kalau dirinya pengikut atau penghuni Istana Iblis. Pendekar Pulau Neraka mengarahkan pandangannya ke Puncak Bukit Walang Jati. Tampaklah sebuah bangunan batu menyerupai sebuah istana berdiri megah di puncak bukit itu. Keadaannya sungguh mengerikan, bagaikan....

"Istana Iblis...!" lagi-lagi Bayu mendesis.
***

Malam terus beranjak semakin larut. Udara pun terasa dingin membekukan kulit. Suasana di Desa Walang semakin mencekam. Tak lagi terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin yang bertiup agak keras. Kabut pun ikut terbawa sehingga menyelimuti seluruh permukaan desa ini.

"Auuu...!"

Lolongan anjing hutan terdengar lirih, membuat hati siapa saja yang mendengarnya jadi tergiris. Lolongan anjing hutan itu semakin banyak dan terasa dekat terdengar. Wurani yang duduk di atas balai bambu, menggeser duduknya lebih mendekati Pendekar Pulau Neraka. Suasana malam ini memang sungguh mencekam. Sepertinya seluruh udara yang terhirup mengandung maut. Yang setiap saat dapat menyebar dan menjemputsiapa saja.

"Kang...," pelan dan agak tergetar suara Wurani.

"Kenapa?" tanya Bayu.

"Kau lihat di kaki bukit itu?"

Bayu yang memang sedang memperhatikan Kaki Bukit Walang Jati, tidak mengeluarkan suara apa pun. Pandangannya tidak berkedip, terus mengikuti cahaya yang bergerak timbul tenggelam di antara lebarnya pepohonan. Suara lolongan anjing hutan terus terdengar saling sambut Dan suasana pun semakin mencekam. Cahaya di kaki bukit itu semakin terlihat.

'Terus mendaki, Kang," desah Wurani.

Bayu tetap diam. Cahaya itu memang terus bergerak mendaki bukit. Semakin ke lereng, semakin jelas kalau itu merupakan cahaya obor. Entah berapa buah obor yang ada. Cahaya itu bergerak seperti ular menyusuri lereng bukit.

Bayu bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan. Pandangannya tidak berkedip, menatap lurus cahaya obor yang terus mendaki bukit itu. Wurani bergegas mengikuti, gadis itu berjalan di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Hmmm..., siapa mereka...?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Sepertinya mereka menuju ke...."

Belum habis Wurani berkata, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat dan langsung menyambar gadis itu. Namun Bayu lebih cepat lagi bertindak. Didorongnya tubuh Wurani, sehingga gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri melentingkan tubuhnya ke udara, lalu cepat menukik sambil melepaskan satu tendangan keras ke arah bayangan hitam itu.

Duk!

"Ughk!" satu keluhan pendek terdengar.

Bayu bergegas memburu, tapi secercah sinar keperakan melesat cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Uts!"

Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, maka benda kecil berwarna keperakan itu lewat di atas kepalanya. Dan belum lagi Bayu bisa menegakkan kepalanya kembali, satu tendangan menggeledek melayang ke arah dadanya.

"Hap!"

Tak mungkin lagi bagi Bayu untuk berkelit. Dan cepat-cepat diangkat tangannya, menangkis tendangan itu. Terdengar satu benturan keras menggelegar, disusul pekikan keras melengking tinggi.

Belum lagi Bayu bisa berbuat sesuatu, mendadak Wurani melentingkan tubuhnya. Dan tahu-tahu gadis itu sudah menghunus sebilah pedang yang langsung dibabatkan ke arah orang berbaju serba hitam yang tengah mengerang kesakitan.

Cras!

"Aaa...!" orang berbaju serba hitam itu menjerit keras melengking tinggi.

Tebasan pedang Wurani tepat membelah dadanya. Darah memuncrat deras dari dada yang terbelah lebar. Hanya sebentar orang itu masih mampu berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Wurani menarik napas panjang melihat orang itu langsung diam tanpa nyawa lagi.

"He...!" Wurani tiba-tiba tersentak kaget. Saat menoleh, ternyata tidak ada lagi Pendekar Pulau Neraka di sekitar tempat ini. Gadis itu jadi celingukan, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu benar-benar sudah lenyap tidak ketahuan lagi bekasnya.

"Kakang...!" panggil Wurani keras.

Suara teriakan gadis itu menggema, dipantulkan oleh dinding bukit dan terus terbawa angin malam. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Hanya desir angin dingin yang menyambut panggilan keras itu. Wurani kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tetapi tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bagaikan lenyap tertelan bumi. Tak ada bekas sama sekali.

"Huh!" Wurani mendengus kesal.

Bagaikan kilat gadis itu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Namun dari arahnya, jelas terlihat kalau gadis itu menuju ke Bukit Walang Jati.

Dan belum begitu lama Wurani pergi, dari sebuah rumah yang dindingnya penuh lubang muncul Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu memandang ke arah kepergian Wurani. Tampak bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, kemudian cepat sekali melesat mengejar.
***

Malam terus merayap semakin larut Bayu berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Matanya lurus ke depan, tanpa berkedip memperhatikan tubuh ramping yang berkelebatan cepat menyelinap di pepohonan. Tapi tiba-tiba saja....

"He.!" Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, dan mendarat ringan di atas sebongkah batu besar menghitam penuh lumut. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tidak lagi terlihat tubuh ramping yang diikutinya sejak dari Desa Walang tadi.

"Mustahil dia bisa menghilang begitu saja!" dengus Bayu menggumam.

Pendekar Pulau Neraka mendongak ke atas. Seketika itu juga tubuhnya melenting cepat, dan hinggap di atas pohon yang cukup tinggi. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Tetap saja tidak melihat adanya satu bayangan pun berkelebat. Malam begitu gelap, dan kabut sangat tebal menghalangi pandangan mata. Namun bagi Pendekar Pulau Neraka, hal itu bukan merupakan halangan berarti.

"Hm..., siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa menghilang begitu tiba-tiba di sini?" Bayu kembali bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka kembali melesat meluruk turun. Tak ada suara sedikit pun dari gerakannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, juga tidak menimbulkan suara apa-apa. Tapi belum juga mengedarkan pandangannya, mendadak sebatang tombak panjang melesat cepat ke arahnya.

"Uts!"

Bayu bergegas memiringkan tubuhnya sedikit dan tombak itu lewat di depan dada. Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya, kembali sebuah tombak melayang ke arahnya, disusul bertebarannya puluhan batang anak panah. Pendekar Pulau Neraka itu cepat melentingkan tubuhnya ke atas, dan bersalto beberapa kali menghindari hujan tombak dan anak panah.

Manis sekali pemuda berbaju kulit harimau itu menotokkan ujung jari kakinya pada sebatang tombak yang melesat lewat di bawah kakinya. Lalu dengan gerakan yang indah dan begitu ringan, tubuhnya melesat ke atas, dan hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi. Serbuan panah dan tombak berhenti seketika. Dan Bayu mengedarkan pandangannya ke arah datangnya serbuan tadi.

Sekilas dilihat adanya gerakan halus dari dalam semak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat ke arah semak itu. Namun belum juga sampai, kembali datang puluhan anak panah ke arahnya.

"Kampret! Hup...! Hiyaaa...!"

Terpaksa Bayu harus berpelantingan di udara, menghindari hujan panah itu. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dia melenting ke arah semak yang dicurigainya. Satu pukulan keras didaratkan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Bug!

Bayu merasakan pukulannya mengenai sesuatu. Dan seketika itu juga terdengar suara jeritan melengkiing tinggi, disusul terpentalnya satu sosok tubuh menghantam pohon. Bayu bergegas memburu. Namun belum juga sampai, dari balik semak dan pepohonan berlompatan tubuh berbaju hitam pekat. Mereka langsung memberikan serangan dahsyat tanpa berkata apa-apa lagi.

"Kadal tengik! Hiyaaa...!" Bayu mengumpat geram.

Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat lagi mengontrol kemarahannya. Merasa dirinya dipermainkan, maka dengan kecepatan yang luar biasa, tubuhnya melompat ke belakang sambil bersalto beberapa kali. Begitu kakinya menjejak sebatang pohon, langsung meluruk tajam disertai seruan keras menggelegar.

"Hiyaaat...!"
Sekitar enam orang berpakaian hitam yang seluruh wajahnya terselubung kain hitam pekat langsung berpelantingan berusaha menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi dua orang terlambat menghindar, dan langsung memekik keras. Tubuhnya terpental jauh, menghantam sebatang pohon hingga tumbang.

Bayu kembali berteriak keras menggelegar, lalu mengebutkan tangan kanannya dengan cepat. Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanannya melesat sebuah benda bulat pipih yang ujung-ujungnya melengkung berjumlah enam buah. Senjata yang dikenal sebagai Cakra Maut itu kontan meluruk menghantam dua orang berbaju serba hitam itu. Dua jeritan melengking terdengar saling sambut. Dan belum lagi ada yang menyadari, Bayu sudah melesat cepat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.

"Hiyaaat..!"
"Akh!"
"Aaa...!"

Dua orang yang tersisa tidak bisa lagi menghindar, meskipun sudah berusaha. Serangan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat dan sukar dibendung lagi. Tubuh mereka mencelat jauh ke belakang, dan tewas seketika itu juga. Bayu mengangkat tangan kanannya sedikit maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam merayapi enam sosok tubuh hitam yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir darah langsung tercium terbawa angin malam yang dingin.

Bayu memutar tubuhnya, tapi mendadak tersentak kaget. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu didepannya sudah berdiri puluhan orang berpakaian serba hitam. Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya, maka semakin tersentak kaget. Ternyata di sekelilingnya sudah berdiri orang berbaju hitam yang berjumlah puluhan.

"Gila! Dari mana mereka muncul...?!" desis Bayu. Belum lagi Bayu sempat berpikir jauh, mendadak secercah sinar merah melesat bagai kilat ke arahnya. Seketika Bayu melompat ke samping, namun dari arah lain meluncur lagi sinar merah. Kali ini Pendekar Pulau Neraka itu sukar untuk menghindar, dan langsung menggerakkan tangan kanannya, menangkis sinar merah itu.

Trang!

"Heh...!" Bayu tersentak kaget, karena merasakan tangan kanannya terbentur sebuah benda keras. Belum juga hilang terkejutnya, kembali sinar merah yang memancar dari sebuah benda kecil bagai jarum itu melesat ke arahnya dari tempat lain. Pendekar Pulau Neraka itu buru-buru merundukkan kepalanya. Namun satu serangan lagi yang mengarah kakinya tidak dapat dihindarkan lagi....

"Akh...!" Bayu memekik keras tertahan. Saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka merasakan kakinya jadi panas dan kaku. Rasanya sulit untuk menguasai keseimbangan tubuhnya yang langsung ambruk ke tanah. Saat itu juga dua orang yang mengurungnya melompat cepat sambil melemparkan tambang, yang langsung disambut dua orang lagi yang juga melompat cepat. Empat orang berlompatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.

Sukar dibayangkan, tahu-tahu tubuh Bayu sudah terikat tambang dari kaki sampai ke leher. Dan pemuda berbaju dari kulit harimau itu tidak berdaya lagi. Tubuhnya menggeletak terikat tambang. Ditambah lagi hawa panas yang menjalar dari kaki kirinya mulai merambat ke seluruh tubuhnya.

"Aaakh...!" Bayu berteriak keras melengking. Pendekar Pulau Neraka itu langsung jatuh pingsan ketika secercah sinar merah menghantam dadanya. Tampak, sebuah benda kecil seperti jarum menusuk dadanya. Dan benda yang sama juga tertanam pada kaki kiri. 

Dua orang bertubuh hitam dengan kepala terselubung kain hitam pekat bergegas menghampiri. Mereka segera menggotong tubuh Pendekar Pulau Neraka, lalu membawanya pergi dari tempat itu. Orang orang berbaju serba hitam yang kepalanya terselubung kain hitam ketat, juga bergegas pergi. Sebentar saja tempat itu sudah sepi, tak ada lagi yang terlihat.

Tak ada seorang pun yang tahu, kalau semua kejadian itu disaksikan seseorang yang sejak tadi berada di atas pohon yang cukup tinggi, terlindung daun-daun. Sosok tubuh itu terus mengawasi tanpa berkedip. Lalu mendadak saja dia melesat. Gerakannya sungguh ringan, cepat bagaikan kilat. Sekejap saja sudah tak terlihat lagi. Hilang di antara pohon-pohon yang merapat dan hitam oleh kabut tebal.
***
ENAM
Suara rintihan lirih terdengar dari bibir seorang pemuda berbaju kulit harimau yang tergeletak di atas pembaringan indah beralaskan kain sutra halus merah muda. Kepalanya bergerak lemah. Kelopak matanya mulai terbuka pelahan. Sebentar dia mengerjap, lalu bergegas bangkit. Namun sebuah tangan halus dan lembut menahan dadanya, membuat pemuda itu kembali terbaring.

"Oh..., di mana aku?" rintih pemuda itu lirih.

'Tenanglah, kau masih lemah. Jangan bergerak dulu," terdengar suara lembut.

Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Samar samar dilihatnya sesosok tubuh ramping berada di dekatnya. Pelahan namun pasti pandangannya mulai jelas. Kening pemuda itu agak berkernyit ketika melihat seorang wanita cantik dan berambut hitam meriap bergelombang. Wanita itu memakai baju biru muda yang sangat tipis, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping, membayang dari balik bajunya yang tipis.

"Siapa kau...?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Namun kembali tangan halus menahan dadanya.

"Berbaringlah, kau masih terlalu lemah," lembut suara wanita itu.

"Siapa kau?! Bagaimana aku bisa berada di sini?!" tanya pemuda itu tidak mempedulikan cegahan wanita cantik itu.

Pemuda berbaju kulit harimau itu menggelinjang bangkit, dan bergegas turun dari pembaringan ini. Dilangkahkan kakinya menuju jendela yang terbuka lebar. Jendela itu terhalang jeruji besi yang cukup tebal dan kuat. Sebentar diamati keadaan di luar. Tampak sebuah pemandangan yang cukup indah di sana. Sebuah taman yang tertata apik dihiasi kolam berair jernih. Beberapa gadis tampak tengah becanda ria di pinggir kolam. Mereka hanya mengenakan kain tipis membungkus tubuhnya. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, langsung menatap wanita yang masih duduk di tepi pembaringan.

"Katakan! Siapa kau dan di mana ini?!" desak pemuda itu. Sorot matanya tajam menusuk.

"Kau berada di surga, Bayu...," lembut suara wanita itu, diiringi senyuman manis menawan. "He...! 

"Kau tahu namaku...?!" pemuda berbaju kulit harimau itu tersentak kaget

"Tentu, aku tahu," jawab wanita itu lembut.

Pemuda berjubah dari kulit harimau yang memang bernama Bayu dan berjulukan Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menghampiri. Dia berdiri tegak di depan wanita itu. Pandangannya tetap tajam menusuk.

"Siapa namamu?" tanya Bayu.

"Mega Dara," sahut wanita itu lembut memperkenalkan dirinya.

Bayu mendesah panjang, kemudian memutar tubuhnya. Pada saat itu terdengar suara ketukan di pintu. Mega Dara dan Pendekar Pulau Neraka menoleh ke arah pintu hampir bersamaan. Saat itu pintu yang terbuat dari kayu jari berukir terbuka. Tak lama, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar dan bertelanjang dada. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan disertai senyum tipis seperti meremehkan.

"Kau dipanggil, Mega," kata pemuda itu tanpa menoleh sedikit pun pada Bayu.

"Siapa?" tanya Mega Dara.

"Ayah."

Mega Dara bangkit berdiri. Dengan langkah gemulai, wanita itu berjalan keluar. Sedangkan Bayu hanya memandangi saja. Pemuda yang menjemput, bergegas keluar, lalu menutup pintu kamar itu. Bayu bergegas menghampiri, tapi tidak dapat membuka pintu yang sudah terkunci dari luar. Pendekar Pulau Neraka itu berbalik, dan menyandarkan punggungnya pada pintu.

"Aku tidak mengerti. Apa sebenarnya yang terjadi...?" desah Bayu bergumam.

Pendekar Pulau Neraka mencoba mengingat-ingat semua yang terjadi pada dirinya. Mulai dari Desa Walang, saat malam itu melihat cahaya api yang panjang bergerak mendaki Bukit Walang Jati. Lalu datang serangan kilat. Kemudian Wurani menghilang di lereng bukit. Bayu hanya ingat saat dikepung puluhan orang berbaju hitam, lalu diserang jarum-jarum merah. Setelah itu..., Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit untuk bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu sudah tersadar dan berada di dalam kamar ini, bersama seorang wanita cantik yang mengaku bernama Mega Dara.

Bayu memeriksa setiap sudut kamar ini. Dinding, lantai, pintu, dan atap serta jendela. Semuanya diperiksa. Kamar ini tidak ada istimewanya sama sekali. Hanya sekali pukul.saja, pasti dinding atau pintunya jebol. Pendekar Pulau Neraka itu mendongak ke atas. Untuk keluar dari kamar ini, memang hanya melalui atap. Cara yang termudah dan cukup aman.

"Hup...!"

Bayu mencoba melompat, tapi....

"Akh...!" Bayu memekik tertahan.

Hampir tidak dipercaya. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi melompat tinggi. Sekali mencoba saja, sudah jatuh bergulingan. Tubuhnya terasa nyeri begitu menabrak dinding demikian keras. Bayu benar-benar tidak mengerti, kenapa dia begitu lemas dan tidak mampu melompat menembus atap itu.
Bayu bergegas bangkit berdiri. Dihampirinya dinding yang tadi terlanda tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaganya, lalu....

"Hiyaaa...!"

Keras sekali Bayu menghantam dinding yang terbuat dari belahan papan itu, disertai pengerahan tenaga yang besar. Tapi....

"Akh...!" Pendekar Pulau Neraka itu memekik keras.

Bukan main terkejutnya ketika disadari kalau dinding papan itu demikian keras. Tulang-tulang tangannya seperti remuk saat membentur dinding itu. Bayu meringis kesakitan, memijat-mijat tangannya yang berdenyut nyeri.

"Setan...!" jerit Bayu begitu menyadari apa yang terjadi pada dirinya.

Pendekar Pulau Neraka berteriak-teriak sambil memukul-mukul dinding kamar ini sekuat tenaga. Tapi sampai terjatuh lemas, dinding kamar itu tetap utuh. Bahkan seluruh tangannya memerah bengkak. Bayu sadar kalau semua tenaganya sudah lenyap. Tapi dia tidak tahu, bagaimana semua itu terjadi.

Bayu bangkit berdiri. Wajahnya memerah dan bola matanya menyala berang. Napasnya mendengus cepat bagai baru saja berlari jauh. Sebentar ditatapnya Cakra Maut di pergelangan tangannya, lalu pandangannya beralih pada pintu yang terbuat dari kayu tebal berukir. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan kakinya ke samping, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit doyong ke kiri.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan sambil berteriak keras. Tapi Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan itu tetap menempel pada pergelangan tangan kanannya. Bayu semakin gusar, lalu mengulangi sampai beberapa kali. Namun tetap saja senjata andalannya itu tidak terlepas dari pergelangan tangannya. Bukan main geramnya Pendekar Pulau Neraka itu. Dia berlari kencang dan menubruk pintu. Akibatnya tubuhnya terpental balik ke belakang, dan bergulingan beberapa kali. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti bergulingan setelah menabrak sebuah meja.

"Setan keparat...! Apa yang mereka lakukan padaku..?!" geram Bayu memaki.
***

Bayu tidak tahu, berapa lama dia terlelap setelah puas mengamuk, memporak porandakan seluruh kamar yang mengurungnya ini. Pendekar Pulau Neraka itu baru terbangun ketika merasakan sentuhan lembut pada keningnya. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bergegas menggelinjang bangkit. Tampak seraut wajah cantik menyunggingkan senyuman manis begitu dekat di depannya.

Bayu merayapi keadaan kamar yang berantakan. Meja, kursi, dan perabotan lainnya yang tidak karuan lagi. Ada yang patah-patah, jungkir balik, tidak tentu tempatnya. Bahkan pembaringan yang semula rapih indah itu, kini tidak berbentuk lagi. Kamarnya ini seperti baru saja diamuk puluhan ekor gajah.

"Apa yang kau lakukan padaku, Mega Dara?" tanya Bayu ketus. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. "Kenapa? Aku tidak melakukan apa-apa terhadapmu, Bayu," lembut dan terdengar tenang suara Mega Dara.

Dengan kasar, Bayu mencekal pergelangan tangan.gadis itu, sehingga membuat Mega Dara meringis kesakitan. Tapi Bayu tidak peduli. Bahkan disentakkan gadis itu, hingga jatuh ke lantai. Bayu menekan tangannya ke leher yang putih jenjang.

"Jangan coba-coba mempermainkan diriku, Mega Dara!" desis Bayu bernada mengancam.

"Kau menyakiti aku, Bayu," rintih Mega Dara seraya meringis kesakitan.

"Aku bisa berbuat lebih dari ini!" dingin sekali nada suara Pendekar Pulau Neraka.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Mega Dara. Mulutnya meringis, tapi nada suaranya begitu tenang dan tetap terdengar lembut.

"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Bayu dingin.

"Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh...!" sahut Mega Dara serius.

"Mungkin kau tidak, tapi yang lain!"

"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu."

"Hih!"

Bayu menyentakkan rubuh gadis itu, dan dengan kasar dipaksanya untuk berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu melingkarkan tangannya di leher Mega Dara dari belakang, sedangkan tangan yang lain memiting tangan gadis itu. Kembali Mega Dara meringis kesakitan. Tapi anehnya, wanita itu kelihatan tenang. Bahkan tidak bertindak apa pun juga. Mengaduh pun tidak.

"Kau lihat semua ini, Mega? Lihat..!" dingin nada suara Bayu

"Ya, aku lihat, Kamar ini berantakan. Dan yang pasti kau pelakunya," kata Mega Dara kalem.

"Kalau kau tahu namaku, tentunya tahu juga siapa aku sebenarnya. Kamar ini tidak seberapa kuat, mudah bagiku untuk menghancurkannya. Kau tahu, Mega! Kau tahu itu...?!"

"Ya."

"Ya..., kau memang tahu. Dan kau mengambil semua tenagaku! Hih...!" Bayu menyentakkan tubuh wanita itu.
Tak sedikit pun keluar suara pekikan, meskipun tubuh ramping itu terdorong kasar, sampai jatuh ke lantai keras. Tanpa mengeluh sedikit pun, Mega berusaha bangkit. Bibirnya malah tersenyum memandang wajah Bayu yang memerah menahan amarah.

"Kenapa tersenyum?!" bentak Bayu tidak senang.

"Aku tersenyum karena lucu," sahut Mega Dara semakin lebar senyumnya.

"Edan! Kau mengejekku, Mega Dara...!" rungut Bayu geram.

'Tidak."

"Phuih!"

Brak!

Bayu berbalik sambil menghantamkan tangannya ke dinding, sehingga ruangan ini bergetar. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya. Tatapan matanya masih tajam, menusuk langsung ke bola mata yang bening dan indah itu. Bola mata yang seperti tidak memiliki dosa sama sekali. Begitu bening dan indah dipandang.

"Seharusnya kau banyak beristirahat. Meluapkan kemarahan bisa berakibat lebih fatal lagi nantinya. Kau belum pulih benar, masih banyak yang harus dilakukan Ayah agar kau kembali seperti semula," ujar Mega Dara lembut.

"Kau bicara seperti berhadapan dengan orang sakit!" dengus Bayu menggerutu.

"Kau memang sedang sakit dan cukup parah," sahut Mega Dara tetap kalem.

Bayu baru akan membuka mulutnya, ketika pintu kamar itu terkuak. Muncul seorang laki-laki tua yang rambut dan janggutnya sudah memutih semua. Laki laki itu memakai jubah panjang berwarna putih bersih. Sorot matanya bening bagai telaga. Di belakangnya berdiri seorang pemuda yang cukup tampan, namun garis-garis ketegasan terlihat jelas pada wajah dan sorot matanya.

"Ayah...," ucap Mega Dara seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Gadis itu beringsut ke samping dengan sikap penuh rasa hormat.

Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk, dan berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dirayapi seluruh kamar yang berantakan. Kemudian pandangannya yang lembut menatap wajah pemuda di depannya. Sedangkan Bayu membalas dengan tajam.

"Kau terlalu banyak membuang tenaga dan kemarahan, Anak Muda," tenang dan lembut sekali suara laki-laki tua berjubah putih itu.

"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Bayu ketus.

"Orang-orang biasa memanggilku Eyang Tambak Baja. Itu anakku, dan kau pasti sudah mengenalnya lebih dahulu," laki-laki tua itu menunjuk Mega Dara. "Dan dia suaminya."

Bayu menatap laki-laki muda di samping laki-laki tua berjubah putih. Eyang Tambak Baja memperkenalkan. Namanya Padu Reksa. Laki-laki muda itu hanya menganggukkan kepala sedikit kemudian menggeser kakinya mendekati Mega Dara.

"Dulu pernah kualami hal yang sama denganmu, Anak Muda. Aku juga mengamuk, marah dan tidak bisa mengontrol diri. Memang menyakitkan menjadi orang yang lemah tanpa daya sama sekali," kata Eyang Tambak Baja.

"Aku tidak mengerti maksudmu...."

"Kau terkena racun yang dapat mematikan. Racun itu bekerja dengan terlebih dahulu menghilangkan semua kekuatan yang ada pada dirimu," celetuk Mega Dara.

Bayu menatap wanita cantik itu.

"Berbaringlah, akan kuperiksa keadaanmu. Mudah-mudahan masih bisa kukembalikan kekuatanmu," ujar Eyang Tambak Baja.

Bayu tidak menolak ketika dituntun ke pembaringan yang berantakan. Pemuda itu menurut saja ketika disuruh berbaring. Bahkan diam saja saat jari-jari tangan Eyang Tambak Baja memberikan beberapa pijatan ditubuhnya. Laki-laki tua itu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menoleh menatap Mega Dara.

"Bawa ke sini ramuan itu, Mega Dara," ujar Eyang Tambak Baja.

Mega Dara mengambil mangkuk kecil yang berada ditangan Padu Reksa. Segera dihampiri ayahnya, dan diserahkan mangkuk itu. Eyang Tambak Baja menerimanya, lalu meminumkan cairan kental berwarna merah ke mulut Bayu Hanggara. Pendekar Pulau Neraka itu meringis, merasakan pahit yang amat sangat saat minum cairan merah kental itu.

"Daya tahan tubuhmu sungguh luar biasa, Anak Muda. Aku yakin, dalam dua atau tiga hari saja kau akan pulih seperti sedia kala," jelas Eyang Tambak Baja seraya bangkit berdiri.

"Tungguh dulu!" cegah Bayu langsung duduk.

"Kalau kau ingin menanyakan sesuatu, bisa kau tanyakan pada putriku, atau menantuku ini," kata Eyang Tambak Baja seraya melangkah pergi.

Bayu menatap Mega Dara dan Padu Reksa bergantian.

"Kau bisa keluar, Kakang?" pinta Mega Dara.

"Baik, tapi harus kau katakan apa adanya, Ingat pesan Ayah. Jangan menutup-nutupi," kata Padu Reksa.

Mega Dara tersenyum manis. Padu Reksa berbalik dan melangkah keluar seraya menutup pintu kamar itu. Mega Dara menarik kursi yang menggeletak terbalik di lantai. Didekatkan kursi itu ke pembaringan, lalu duduk di sana dengan anggunnya. Bayu hanya memperhatikan saja tanpa berkedip.

"Apa yang akan kau tanyakan? Aku siap menjawab semuanya," ucap Mega Dara disertai senyuman menawan. "Aku belum tahu siapa kau dan semua yang ada di sini," kata Bayu mulai lunak suaranya.
"Kau sudah tahu nama kami semua, Bayu."

"Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?" tanya Bayu langsung.

"Apa yang kau ingat saat terbangun dari pingsan?" Mega Dara malah balik bertanya.

"Aku tidak tahu. Aku bertarung, dan....," suara Bayu terputus.

"Kau bertarung melawan orang-orang penghuni Istana Iblis,"sambung Mega Dara.

"Istana Iblis...?!" Bayu terperanjat

"Benar. Ayah melihat semuanya."

"Lalu?"

"Sebelum dibawa mereka, Ayah berhasil membebaskanmu. Tapi mereka begitu kuat. Tentu saja Ayah tidak mungkin bisa mengalahkannya. Ayah hanya mampu membawamu pergi dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hanya itu yang kutahu, Bayu," jelas Mega Dara.

Bayu terdiam. Ingatannya kembali pada semua peristiwa yang dialaminya. Dia memang pingsan dan tidak tahu apa-apa setelah terkena dua benda berwarna merah. Pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Mega Dara dalam-dalam.

"Kau berada di Puri Sapta Dewa. Tempat yang belum terjamah manusia-manusia iblis penghuni Istana Iblis di Puncak Bukit Walang Jati," sambung Mega Dara.

"Belum...?!" Bayu tidak mengerti. "Belum terjamah, tapi suatu saat nanti merek pasti akan menjarah ke sini. Seperti tempat-tempat lainnya. Kau pasti sudah tahu keadaan Desa Walang, atau mungkin juga kau telah ke Padepokan Gagak Hitam. Bisa kau lihat, bagaimana keadaannya di sana. Daerah yang sudah menjadi kekuasaan Ratu Istana Iblis," jelas Mega Dara lagi.

Bayu kembali diam membisu. Dicobanya mencerna semua kata-kata yang diucapkan Mega Dara. Mulai tumbuh keyakinan di hatinya kalau orang-orang di sini tidak bermaksud buruk, bahkan berusaha menolongnya. Bukan lagi berusaha, malah Eyang Tambak Baja sudah menyelamatkannya dari cengkeraman orang-orang yang tidak diketahuinya sama sekali. Orang-orang yang telah membunuh seluruh manusia di Desa Walang secara keji.

"Sudah beberapa kali mereka berusaha menjarah ke sini. Tapi kami masih bisa menghalaunya. Entah jika untuk lain kali. Ayah sudah berusaha meminta bantuan para pendekar, tapi semua tidak ada yang mampu melawannya. Ayah melihatmu, dan mengenali dirimu. Itu sebabnya kenapa Ayah nekad membebaskanmu dan berupaya menyembuhkanmu. Harapannya, jika kau kembali pulih seperti semula, pasti kau dapat menghancurkan Istana Iblis itu," kata Mega Dara lagi.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Bayu.

"Aku tidak tahu. Mungkin hanya Ayah yang tahu," sahut Mega Dara.

Bayu bergumam pelan. Dia melihat noda hitam pada dada dan betisnya. Noda seperti ini pernah dilihat pada Wurani, seorang gadis yang ditemuinya di Desa Walang. Pendekar Pulau Neraka itu kembali menatap Mega Dara yang masih tetap duduk di kursinya.

"Aku pernah menyembuhkan seseorang dari luka seperti ini," kata Bayu menunjuk luka pada dadanya.

"Oh, benarkah?" Mega Dara tampak terkejut.

"Ya. Dan kelihatannya dia tidak mengalami kehilangan tenaga sama sekali. Bahkan katanya sudah satu purnama terluka," kara Bayu lagi.

"Satu purnama...? Mustahil!"

Bayu menatap dalam-dalam Mega Dara yang menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya akan cerita Pendekar Pulau Neraka itu. Mega Dara bangkit berdiri dan berjalan mendekati jendela, lalu membukanya lebih lebar, sehingga sinar matahari lebih banyak lagi yang masuk ke kamar ini. Beberapa saat kesunyian menyelimuti kamar yang berantakan ini.
***
TUJUH
Hampir satu pekan lamanya Bayu berada di Puri Sapta Dewa. Dan kini mulai dirasakan kondisi tubuhnya membaik. Bahkan kekuatannya semakin bertambah pulih. Pendekar Pulau Neraka itu mulai berlatih jurus- jurus ringan dan kekuatan tenaga dalamnya. Selama itu pula Eyang Tambak Baja tidak pernah lepas mengawasinya.

Pagi ini Bayu baru saja selesai berlatih tenaga dalam. Dia puas, karena kekuatan tenaga dalamnya sudah benar-benar pulih. Bahkan pagi ini sudah berlatih jurus-jurus yang keras. Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau Eyang Tambak Baja selalu memperhatikannya sampai latihannya selesai. Bayu baru mengetahui saat berbalik hendak kembali ke puri.

"Oh...!" Bayu agak terkejut juga.

'Tampaknya kau sudah benar-benar pulih, Bayu," ucap Eyang Tambak Baja seraya mendekati.

"Terima kasih. Semua ini berkat usahamu, Eyang," ucap Bayu merendah.

"Karena kemauanmu dan ketekunanmu, Bayu."

Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja, kemudian duduk bersila di atas rerumputan di bawah batang pohon yang cukup rindang. Eyang Tambak Baja juga mengambil tempat, duduk di depan pemuda berbaju dari kulit harimau itu.

"Mereka mulai mencoba menjarah tempat ini lagi. Semalam tiga orang muridku tewas," jelas Eyang Tambak Baja setelah cukup lama terdiam.

"Oh...!" Bayu terkejut mendengarnya.

Semalam Pendekar Pulau Neraka itu tidur nyenyak sekali, sehingga tidak mengetahui ada peristiwa yang menewaskan tiga orang murid Puri Sapta Dewa. Pendekar Pulau Neraka menatap dalam-dalam laki-laki tua di depannya.

"Memang tinggal tempat ini yang belum dijamah. Sedangkan kekuatan yang kumiliki semakin berkurang. Keruntuhan Puri Sapta Dewa tinggal menunggu waktu lagi," sambung Eyang Tambak Baja bernada mengeluh.

"Itu tidak akan terjadi, Eyang," tegas Bayu.

"Aku juga berkeyakinan begitu, Bayu. Tapi setelah runtuhnya Padepokan Gagak Hitam, keyakinanku seperti luntur."

"Aku pernah ke Padepokan Gagak Hitam, dan tampaknya mereka tidak mengalami sesuatu apa pun," selak Bayu.

"Baru dua hari yang lalu mereka hancur. Tidak ada seorang pun yang hidup lagi."

"Oh!" Kali ini Bayu benar-benar tersentak kaget

"Bagaimana keadaan Eyang Jayaraga?"

'Tewas," pelan suara Eyang Tambak Baja.

Bayu mendesah lirih.

"Adi Jayaraga mencoba menentang keinginan Ratu Istana Iblis, karena tidak memiliki lagi orang-orang yang harus dipersembahkan. Dan dia mengambil resiko yang cukup tinggi," lanjut Eyang Tambak Baja.

"Persembahan...?" Bayu mengerutkan keningnya.

"Ya! Tujuh orang pemuda setiap purnama. Terutama mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi"

"Untuk apa?"

"Dijadikan prajurit, setelah otaknya terkuras. Mereka tidak bisa lagi mengetahui diri mereka sendiri. Yang diketahuinya hanya satu, perintah dari Ratu Istana Iblis."

"Ilmu hitam...!" desis Bayu.

Pendekar Pulau Neraka terdiam sambil menundukkan kepala. Kini baru dimengerti, kenapa sikap orang-orang yang ada di Padepokan Gagak Hitam selalu menutup diri. Bahkan Eyang Jayaraga sendiri sepertinya tidak ambil peduli dengan keadaan sekelilingnya. Rupanya sikap yang diambil hanya untuk keselamatan diri sendiri. 

Dan itu semua pecah dua hari yang lalu. Rupanya Eyang Jayaraga tidak bisa menahan lagi tekanan-tekanan yang datang. Maka diambillah resiko tinggi yang mengakibatkan kehancuran Padepokan Gagak Hitam. Memang sukar untuk dimengerti, tapi memang itulah kenyataannya yang harus dihadapi.

"Sekarang tidak ada lagi desa atau padepokan yang berdiri di Kaki Bukit Walang Jati. Tinggal Puri Sapta Dewa inilah satu-satunya," lanjut Eyang Tambak Baja lirih.

"Mereka harus dihentikan, Eyang!' tekad Bayu.

"Aku percaya pada kemampuanmu, Bayu. Tapi yang jelas aku tidak akan mengorbankan lagi seorang pendekar. Sudah begitu banyak pendekar yang kumintai bantuan, tapi semuanya tewas di tangan Ratu Istana Iblis. Tingkatan kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari tandingannya. Aku sendiri tidak akan sanggup menghadapinya," ujar Eyang Tambak Baja bernada mengeluh.

"Tidak ada yang langgeng di dunia ini, Eyang. Setiap kekuatan, pasti ada kelemahannya," kata Bayu mantap.

Eyang Tambak Baja hanya diam saja. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Bayu hanya memandanginya saja dengan mata tidak berkedip.

"Sudah berapa banyak pendekar yang kau mintakan bantuan, Eyang?" tanya Bayu.

"Entahlah! Aku tidak menghitungnya," sahut Eyang Tambak Baja.

"Eyang selalu melihat bagaimana mereka bertarung?"

"Tidak. Tidak ada yang berani mendekati Istana Iblis. Terlalu banyak penjagaan dan sangat ketat. Aku tidak tahu, apakah para pendekar itu dapat menembus masuk, atau tidak kuat menahan penjagaan yang begitu ketat. Yang jelas, tidak ada seorang pun yang pernah kembali lagi," sahut Eyang Tambak Baja menjelaskan.

"Hmmm...," Bayu bergumam pelan.

Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan. Eyang Tambak Baja mengikutinya, lalu mensejajarkan langkahnya disamping pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Bayu jadi teringat akan pertemuannya beberapa kali dengan orang aneh dan misterius yang selalu mengenakan jubah panjang yang wajahnya tertutup rambut panjang meriap. Orang itu pernah mengatakan kalau dirinya penghuni Istana Iblis. Apakah itu yang disebut Ratu Istana Iblis...?
***

Apa yang dikatakan Eyang Tambak Baja memang benar. Begitu banyak orang berbaju hitam dengan kepala terselubung kain hitam tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan tua yang terbuat dari batu berlumut tebal. Bangunan bagaikan sebuah istana yang sudah tidak terpakai lagi. Sangat cocok dengan julukannya "Istana Iblis".

Bayu mengamati bangunan itu dari tempat yang agak jauh dan cukup tersembunyi. Di sampingnya berdiri Mega Dara dan suaminya, Padu Reksa. Sebenarnya Bayu tidak ingin mereka ikut serta. Tapi keinginan Eyang Tambak Baja sulit ditolak. Beliau telah memerintahkan putri dan menantunya itu ikut bersama Pendekar Pulau Neraka ke Istana Iblis.

"Kita tidak mungkin masuk ke sana, Bayu. Penjagaannya terlalu ketat," kata Mega Dara setengah berbisik.

"Mereka terlalu banyak. Tidak mungkin menghadapi mereka semua,"sambung Padu Reksa.

Bayu membalikkan tubuhnya, menatap pasangan suami istri muda itu. Mereka memang benar, dan Pendekar Pulau Neraka tidak membantah sama sekali. Tapi Bayu tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih lagi sudah berjanji pada Eyang Tambak Baja untuk menghentikan dan menghancurkan orang orang di Istana Iblis itu. Kalau saja mereka memang benar terkena pengaruh ilmu hitam, tentu ada sesuatu yang bisa membuat mereka normal kembali. Dan sesuatu itu adanya di dalam Istana Iblis.

"Mega Dara! Kau tentu ingat kalau aku pernah menolong seseorang yang terluka sama persis denganku, bukan?" Bayu menatap wanita cantik di depannya.
"Tentu," sahut Mega Dara teringat cerita Pendekar Pulau Neraka itu.

"Apa yang kau katakan waktu itu?"

"Mustahil," sahut Mega Dara.

"Tepat'"

Mega Dara memandang Bayu tidak mengerti.

"Eyang Tambak Baja juga berkata seperti itu. Tidak ada seorang pun yang bisa tahan selama satu purnama. Dan gadis itu tidak mengalami gangguan apa pun, bahkan cepat sembuh hanya dalam waktu satu hari saja. Padahal sudah jelas, luka yang diderita sama persis dengan yang kualami."

"Maksudmu...?" Mega Dara masih belum mengerti.

"Dua kali aku berusaha menangkap salah seorang dari mereka. Tapi gadis itu sudah lebih dulu membunuhnya sebelum aku bisa berbuat apa-apa. Dan ketika kubuntuti, dia menghilang begitu saja. Bahkan kemudian muncul orang-orang berbaju hitam. Di situ aku kalah, dan selanjutnya kau sudah tahu."

"Siapa nama gadis itu?" tanya Padu Reksa yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Wurani," sahut Bayu.

"Perempuan Iblis...!" geram Padu Reksa mendesis.

Bayu menatap laki-laki muda yang usianya tidak jauh berbeda darinya itu. Sedangkan Mega Dara juga mendesis dengan wajah berubah memerah.

"Kalian kenal gadis itu?" tanya Bayu.

Belum Juga Padu Reksa dan Mega Dara menjawab, tiba-tiba berlompatan orang-orang berbaju hitam pekat yang langsung mengurung mereka bertiga. Kemunculan orang-orang berbaju hitam itu sungguh mengejutkan. Dan tanpa berkata apa-apa, langsung menyerang dengan ganas.

Padu Reksa segera menghunus pedangnya, demikian pula Mega Dara. Sedangkan Bayu menghadapi dengan tangan kosong saja. Dia memang tidak memiliki pedang atau senjata lain lagi, selain Cakra Maut kebanggaannya. Tapi senjata andalannya itu hanya digunakan kalau keadaan terpaksa saja.
***

Bayu melihat orang berbaju hitam pekat itu semakin banyak saja jumlahnya. Dan hatinya jadi cemas melihat Padu Reksa dan Mega Dara mulai kewalahan menghadapi keroyokan itu. Sedangkan dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu banyak yang mengeroyoknya tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk menggunakan senjata Cakra Maut.

"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.

Bayu tersentak kaget begitu melihat Padu Reksa terhuyung-huyung sambil menekap dadanya yang berdarah. Pendekar Pulau Neraka itu kontan melesat menghampiri Padu Reksa. Cepat sekali tangan kanannya mengibas, maka Cakra Maut melesat cepat bagaikan kilat menyambar dua orang berbaju hitam sekaligus. Suara jeritan melengking terdengar, dan Bayu langsung mendarat di depan Padu Reksa.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu melontarkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Seorang yang mencoba membabatkan pedangnya, langsung memekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Seketika itu juga orang itu tewas tanpa mampu mengerang lagi.

"Kau terluka, Reksa...," ujar Bayu sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu orang yang mencoba mendekat, kontan terjungkal dan tewas seketika.

"Cukup parah,"sahut Padu Reksa.

"Secepatnya kita harus pergi dari sini," kata Bayu.

"Tidak mungkin, Bayu. Jumlah mereka semakin bertambah banyak."

"Tapi..."

Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena orang-orang berbaju hitam itu kembali menyerang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu bertarung sambil mempergunakan Cakra Maut-nya. Digenggam senjata mautnya itu pada salah satu sisinya. Dengan senjata andalannya itu, Pendekar Pulau Neraka bagaikan singa gurun yang terluka. Dia mengamuk, berlompatan, dan menghajar orang-orang yang terus merangsek tanpa mengenal takut. Padahal sudah tidak terhitung lagi dari mereka yang tewas.

Sedangkan Padu Reksa, terus bertarung dengan sisa-sisa kekuatannya. Darah semakin banyak keluar dari dadanya yang terluka. Sedangkan di tempat lain, tampak Mega Dara juga sudah semakin terdesak. Keringat telah bercucuran membasahi tubuh wanita itu. Dan Bayu semakin cemas menyadari keadaan yang tidak menguntungkan ini.

"Mega! Bawa suamimu pergi! Dia terluka...!" seru Bayu keras.

"Apa...?" tanya Mega Dara juga dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara-suara teriakan pertarungan dan jerit lengking kematian.

"Suamimu terluka! Cepat bawa pergi..!"

"Hiyaaat...!"

Mega Dara cepat melompat menghampiri Padu Reksa begitu berhasil merobohkan dua orang, pengeroyoknya. Wanita itu segera menggamit tangan Padu Reksa. Mereka segera melompat melewati beberapa kepala, sambil mengayunkan pedangnya secepat kilat.

Sementara Bayu berusaha menghalangi orang orang berbaju hitam yang berusaha menghadang pasangan muda itu. Bayu melontarkan Cakra Maut-nya cepat maka jeritan melengking terdengar saling susul.

"Hup! Hiyaaa...!"

Bayu bergegas melompat begitu Mega Dara dan Padu Reksa sudah lenyap. Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi orang-orang berbaju hitam tidak memberi kesempatan pada Bayu untuk kabur, dan memusatkan perhatiannya pada Pendekar Pulau neraka itu. Mereka tidak lagi peduli pada dua orang yang berhasil kabur.

"Gunakan tambang...!" terdengar suara memerintah yang begitu keras.

Seketika itu juga beberapa orang mengeluarkan tambang, dan langsung berlompatan sambil membawa tambang terulur panjang, beberapa orang lagi menyambut ujung tambang satunya lagi. Bayu jadi kebingungan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, tambang-tambang itu sudah membelit tubuhnya erat-erat Bayu tidak kuasa lagi menguasai keseimbangan badan. Tubuhnya limbung, lalu jatuh tersungkur, dan telah terlilit tambang. Sepuluh orang yang memegangi ujung-ujung tambang itu langsung berlari cepat menyeret Pendekar Pulau Neraka.

"Ughk...!"

Bayu berusaha melepaskan diri dari belitan tambang-tambang ini, tapi simpulnya demikian kuat. Tubuhnya terus terseret, benar-benar tidak berdaya lagi. Sukar baginya untuk bisa melepaskan diri. Sementara sepuluh orang yang menyeretnya, terus berlari kencang menuju Istana Iblis.
***
DELAPAN
Bayu tergagap ketika dirasakan cairan dingin mengguyur tubuhnya. Dia tidak tahu, berapa lama telah jatuh pingsan. Pendekar Pulau Neraka itu mengerjapkan matanya, dan menjadi terkejut begitu menyadari dirinya sudah terikat di sebuah tiang. Seorang berbaju hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula berada di dekatnya. Dia memegang sebuah ember dari kayu yang sudah kosong. Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu basah kuyup tersiram air.

Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Disadari kalau dirinya berada di satu ruangan yang berdinding batu. Ruangan pengap yang hanya diterangi dua buah obor di dinding. Pandangan Pendekar Pulau Neraka kemudian tertuju pada seseorang yang duduk di sebuah kursi batu berhiaskan kepala-kepala tengkorak manusia. Orang itu mengenakan jubah hitam panjang. Rambutnya meriap tidak teratur, menutupi sebagian wajahnya. Namun yang menjadi perhatian Bayu adalah seorang gadis yang berada di sampingnya.

"Wurani...," desis Bayu mengenali gadis yang berdiri disamping orang berjubah hitam agak bungkuk itu.

Hampir saja Bayu terpekik ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh menggantung di sudut ruangan. Sosok tubuh gadis kecil yang pernah dilihatnya di Desa Walang. Di samping tubuh gadis kecil itu ada Ki Sampang yang juga tergantung. Mereka semua sudah tewas. Itu terlihat dari luka menganga di lehernya yang cukup besar,hampir membuat leher itu buntung.

"Biadab...!" desis Bayu berusaha memberontak. Tapi empat orang berpakaian hitam kontan bergerak, dan langsung menempelkan senjata mereka ke leher Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu langsung terdiam, dan hanya menggeram menahan amarahnya. Pandangannya begitu tajam menusuk langsung pada Wurani yang sudah melangkah menghampiri. Gadis itu tersenyum senyum, dan baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal dua tombak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana yang tidak enak...," kata Wurani diiringi senyumannya.
"Seharusnya kubunuh saja kau, perempuan iblis!" geram Bayu mendesis. "Ha ha ha...! Kau terlalu bodoh untuk bisa membunuhku, Bayu!" Wurani tertawa tergelak-gelak.

Seluruh tubuh Bayu menggelegar menahan geram. Bibirnya terkatup rapat, dan bola matanya memerah menahan amarah. Sementara Wurani terus tertawa terbahak-bahak sambil membalikkan tubuhnya. Suara tawanya berhenti, dan segera membungkukkan tubuhnya pada orang berjubah hitam yang duduk di singgasana batu berhiaskan kepala tengkorak manusia.

"Gusti Ratu, apa yang harus kulakukan terhadap pemuda dungu ini?" ujar Wurani.

"Kepandaiannya sangat tinggi, Wurani. Seperti biasanya, cuci otaknya dan jadikan dia anjing yang paling setia," sahut orang berjubah hitam itu. Suaranya serak dan kering.

"Baik, Gusti Ratu," sahut Wurani.

"Lakukan secepatnya. Aku berharap seluruh dunia persilatan gempar. Aku ingin menggunakan dia untuk menghancurkan orang-orang yang mencoba menantang kita,hihi hi...!"

Wurani membungkukkan tubuhnya. Sebentar kemudian orang berjubah hitam itu bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan ruangan batu yang cukup besar ini, namun berudara sangat lembab. Wurani baru berdiri tegak setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi. Kemudian disuruhnya semua orang yang ada di ruangan ini keluar. Tidak ada yang membantah. Semuanya menuruti perintah gadis itu.

"Kau dengar! Apa yang diinginkan Gusti Ratu tadi, Bayu?" ucap Wurani seraya mendekati Pendekar Pulau Neraka.

Bayu hanya diam saja. Segera diatur jalan napasnya, mencoba untuk melenturkan seluruh otot-otot di tubuhnya. Dengan bantuan hawa murni dan kelenturan otot, memang bisa diatur keseimbangan tubuhnya agar kenyal seperti karet. Dan ilmu itu dinamakan 'Ragaseda'. Satu ilmu yang belum pernah digunakan sebelumnya, dan didapatkan dari gurunya di Pulau Neraka. Memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit Bayu harus bisa memancing gadis ini agar tidak cepat-cepat mencuci otaknya.

"Apa yang akan kau lakukan padaku, Wurani?" tanya Bayu mencoba mengalihkan sedikit perhatian gadis itu. Sudah mulai dirasakan otot-ototnya mulai melentur, tapi belum cukup untuk melepaskan diri dari ikatan ini.

"Mencuci otakmu dan menjadikanmu budak yang sangat patuh pada perintah. Bahkan kau tidak akan bisa mengenal dirimu lagi. Kau hanya patuh pada perintahku saja,"sahut Wurani disertai senyum yang merekah.

"Seperti yang kau lakukan pada mereka?"

"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah tahu banyak, Pendekar Pulau Neraka!"

"Hanya sedikit. Tapi aku tidak percaya dengan kelanggengan ilmu hitammu."

"Mungkin kau sudah mendengar. Tapi mungkin juga kau tidak akan percaya kalau aku tidak menggunakan benda apa pun untuk melakukannya. Hanya menggunakan kekuatan batin yang sempurna. Tidak ada seorang pun yang bisa mengembalikan mereka, kecuali kematianku sendiri. Tapi itu sulit.., sulit."

"Hebat...!" desis Bayu sinis.

"Memang! Bahkan Ratu sendiri berada di bawah kekuasaanku," dengus Wurani bangga.

"Ratu.., heh!" Bayu tersenyum sinis.

"Dia memang bukan seorang Ratu, tapi hanya perempuan tua yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Aku hanya menjadikannya sebuah boneka agar istana ini memiliki ratu yang berada di bawah kendaliku. Dan sebenarnya, akulah Ratu Istana Iblis ini! Ha ha ha...!" Wurani tertawa terbahak-bahak.

Bayu diam saja. Semakin terasa muak mendengar ocehan gadis itu Tapi dalam diamnya, Pendekar Pulau Neraka terus berusaha mengerahkan Ilmu 'Ragaseda'. Sudah mulai dirasakan ikatan pada pergelangan tangannya mengendur. Dan tidak berapa lama lagi ikatan tambang iniakan terlepas.

"Wurani! Aku pernah terkena benda beracun, persis seperti yang kau alami...," kata Bayu kembali mencoba mengalihkan perhatian gadis itu.

"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Bayu. Aku yang memiliki senjata itu, dan tentu juga memiliki pemunahnya," sahut Wurani.

"Lalu, apa maksudmu berbuat begitu?"

"Kau terlalu banyak tanya, Bayu!" dengus Wurani mulai tidak senang. "Aku bisa melakukan apa saja sesuka ku. Dan Ki Sampang tolol itu hampir saja membocorkan rahasiaku di depanmu! Maka hanya kematianlah yang pantas untuknya!"

Bayu menggumam tidak jelas. Hatinya sudah bisa tersenyum karena ikatan di tangannya sudah terlepas, tapi masih dipegangi tambang itu agar tidak jatuh. Dia menunggu kesempatan yang baik untuk bergerak. 

Sementara itu Wurani mulai menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Pendekar Pulau Neraka. Dari bibirnya keluar suara mendesis. Dan Bayu mulai merasakan kepalanya pening, lalu mencium bau tidak sedap. Bayu sadar kalau Wurani mulai beraksi menggunakan kekuatan batin untuk mencuci otaknya agar menjadi budak yang patuh.

"Cukup, Wurani...!" bentak Bayu tiba-tiba disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna.

"Heh!" Wurani tersentak kaget Dan belum lagi gadis itu hilang dari keterkejutannya, mendadak Bayu menghentakkan tangannya ke depan. Begitu cepatnya gerakan itu, sehingga Wurani tidak sempat mengetahuinya. Dan....

Buk!

"Akh...!" Wurani memekik tertahan.

Gadis itu terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Hentakan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya. Namun gadis itu cepat bangkit berdiri, meskipun agak limbung tubuhnya. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah.

"Setan...!" geram Wurani mendesis. Disekanya darah yang mengalir di bibir.

"Bersiaplah untuk mati, iblis!" desis Bayu menggeram.
***

Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka cepat menerjang sambil mengirimkan dua pukulan secara beruntun. Wurani cepat-cepat berkelit dengan melompat ke samping, dan bergulingan beberapa kali. Gadis itu segera bangkit berdiri, dan melompat ke pintu. Tapi Bayu sudah kembali menerjang sambil melontarkan satu pukulan jarak jauh.

"Hiyaaa...!"

"Hup!"

Wurani melentingkan tubuhnya ke atas, maka pukulan Pendekar Pulau Neraka itu hanya menghantam dinding batu, sehingga jebol berentakan menimbulkan suara bergemuruh. Ruangan yang besar ini bergetar hebat. Pada saat itu, beberapa orang berbaju hitam berlarian masuk ke dalam.

"Bunuh setan keparat itu...!" perintah Wurani.

Sekitar sepuluh orang bersenjata pedang, serentak berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Namun terjangan mereka begitu mudah dapat dihindari. Bahkan Bayu membalasnya tidak kalah dahsyatnya. Jerit pekik kematian terdengar saling susul diiringi bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju hitam itu.

Wurani jadi geram. Dalam waktu sebentar saja, enam orang sudah tergeletak tak bernyawa di tangan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu berteriak keras memanggil yang lainnya. Tidak berapa lama, dari pintu bermunculan orang-orang yang mengenakan baju hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula. Tampak seorang bertubuh kurus bungkuk mengenakan jubah hitam ikut muncul.

"Ada apa Wurani?" tanya orang berjubah hitam itu.

"Huh! Setan keparat itu...!" dengus Wurani.

"Biaraku yang menanganinya."

"Bunuh saja, aku tidak memerlukannya lagi!"

"He he he...!" orang itu terkekeh, kemudian melompat cepat ke dalam kancah pertempuran.

"Mundur...!"

Mendengar teriakan keras itu, orang-orang yang tengah mengeroyok Bayu, kontan berlompatan mundur. Seketika orang berjubah hitam yang wajahnya tertutup rambut panjang itu mendarat lunak sekitar satu batang tombak jaraknya di depan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku sudah menawarkan dengan baik padamu, bocah. Tapi rupanya kau malah memilih mampus!" dingin nada suara orang itu.

Disibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Agak bergidik juga Pendekar Pulau Neraka saat melihat seraut wajah yang hampir tidak memiliki kulit dan daging lagi. Sebelah matanya bolong. Pipi kirinya terkelupas, menampakkan tulang pipinya, hingga bagian gigi-giginya terlihat.

Dan belum lagi Bayu bisa menghilangkan keterkejutannya, orang itu sudah melompat menyerang cepat luar biasa. Bergegas Bayu membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Cepat pula Pendekar Pulau Neraka itu melompat bangkit. Tapi belum juga berdiri sempurna, orang berjubah hitam itu sudah menyerang ganas kembali. 

Kali ini Bayu tidak ingin lagi berlama-lama. Langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, dari pergelangan tangan kanannya melesat secercah sinar keperakan yang datang dari senjata Cakra Maut. Senjata bersegi enam itu meluncur deras bagaikan kilat.

Crab!

Cakra Maut kontan menembus dada orang berjubah hitam itu yang masih di udara. Dia tidak sempat lagi berkelit menghindarinya.

"Aaa...!" orang itu menjerit melengking tinggi. Tubuh berjubah hitam itu ambruk dan menggelepar di tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat keluar dari dada yang berlumuran darah, langsung menempel kembali di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Semua orang yang melihat terkejut setengah mati. Kematian ratu mereka begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Demikian pula Wurani. Gadis itu sampai terbengong tidak percaya.

"Kenapa bengong...? Serang! Bunuh keparat itu...!" seru Wurani keras.

Teriakan-teriakan keras terdengar. Seketika berlompatanlah tubuh-tubuh berbaju hitam, meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Bayu tidak ingin lagi menguras tenaga menghadapi mereka yang sebenarnya tidak pernah menyadari akan semua perbuatannya. Bahkan tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya. Setelah menewaskan tiga orang yang terdepan, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat cepat ke udara. Tangannya yang terkepal erat menghantam atap yang terbuat dari batu cadas keras.

"Hiyaaa...!"

Glaaar...!

Atap batu itu hancur berhamburan. Batu batu besar dan kecil berjatuhan. Seluruh ruangan itu bergetar bagai terjadi gempa yang sangat dahsyat. Jerit dan pekik terdengar gaduh. Beberapa orang mulai menggelepar tertimpa batu-batu yang berguguran. Dua kali Pendekar Pulau Neraka itu menghantam dinding dan atap ruangan batu tersebut, kemudian melesat keluar begitu melihat Wurani bergegas berlari keluar menyelamatkan diri.
***

Tapi baru saja Bayu berada di luar, dua sinar merah meluruk ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka bergegas melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersalto tiga kali menghindari terjangan sinar merah itu. Kemudian dengan bertumpu pada dinding batu, pemuda berbaju kulit harimau itu segera menggenjot tubuhnya, langsung meluruk deras ke arah Wurani yang tengah melarikan diri dari dalam istana batu ini.

"Hiyaaa...!" Bayu berteriak keras melengking tinggi.

Dua kali pukulan dilontarkan, tapi Wurani gesit sekali bisa menghindarinya. Bahkan gadis itu langsung melesat keluar. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu menghantam sebuah pilar dan dinding bangunan istana di Puncak Bukit Walang Jati ini. Ledakan keras terdengar menggelegar dahsyat, membuat bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu itu bergetar semakin keras. Bayu bergegas melesat keluar, sebelum istana ini benar-benar runtuh seluruhnya.

"Heh...!" Bayu tersentak kaget begitu sampai di bagian depan halaman istana batu itu.

Tampak Eyang Tambak Baja tengah bertarung melawan Wurani. Sedangkan tidak jauh dari situ, terlihat Mega Dara tengah dikeroyok tidak kurang dari tiga puluh orang berbaju hitam pekat Di tempat lain lagi terlihat pula Padu Reksa yang juga tengah bertarung. Sementara di belakang Pendekar Pulau Neraka, istana batu di Puncak Bukit Walang Jati ini semakin keras bergetar. Suara bergemuruh terdengar dahsyat membuat tanah berguncang.

"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.

Tampak Eyang Tambak Baja terhuyung-huyung sambil menekap dadanya yang berlumuran darah. Saat itu Wurani sudah melompat cepat sambil menusukkan pedangnya yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan uap kebiru-biruan.

"Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat, Bayu melompat menghadang terjangan Wurani. Dikebutkan tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat bagai kilat. Senjata andalan Bayu itu langsung menghajar pedang yang hampir saja menusuk dada Eyang Tambak Baja.

Tring!

"Akh!" Wurani memekik tertahan.

Hampir saja pedang di tangan gadis itu terpental ketika terbentur Cakra Maut Untung saja Wurani cepat-cepat melompat mundur. Pada saat itu. Bayu cepat mengirimkan satu tendangan keras menggeledek yang tidak terduga sama sekali. Kembali gadis itu memekik keras terhantam tendangan yang mengandung tenaga dalam sangat sempurna itu. Tubuhnya terpelanting, bergulingan beberapa kali di tanah.

"Hoek..!" Wurani memuntahkan darah kental. Gadis itu berusaha bangkit berdiri, tapi tubuhnya limbung. Sementara Bayu segera menolong Eyang Tambak Baja berdiri. Laki-laki tua itu merintih, meringis menahan sakit pada dadanya yang terbelah cukup dalam dan panjang. Darah mengucur deras membasahi jubah putihnya.

Pada saat yang sama, Wurani sudah kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Secepat itu pula, Bayu memutar tubuhnya sambil mengebutkan tangan kanannya. Kembali Cakra Maut melesat cepat bagai kilat, menyongsong terjangan Wurani.

"Hiyaaa...!"

Wurani mengebutkan pedangnya, menghalau terjangan senjata Pendekar Pulau Neraka.

Trang!
"Hiyaaa...!"

Bayu langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan secepat itu pula dilontarkan dua pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Wurani cepat-cepat berkelit dengan menarik miring tubuhnya. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali. Kaki Pendekar Pulau Neraka itu melayang sebelum menjejak tanah, langsung menghantam iga gadis itu.

"Akh!" kembali Wurani memekik tertahan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Begitu Bayu mendarat di tanah, langsung dikebutkan tangan kanannya cepat. Dan Cakra Maut yang baru saja melesat balik, seketika kembali berkelebat ke arah Wurani yang sedang berusaha bangkit berdiri. Gadis itu terperangah, dan matanya membeliak lebar.
Dan....

"Aaa...!" Wurani menjerit melengking tinggi Cakra Maut menghunjam dalam membabat leher yang putih jenjang itu. Wurani menggelepar di tanah dengan leher hampir terpenggal buntung. Sementara Bayu mengangkat tangannya ke atas, maka senjata cakra bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi Wurani yang mengerang sambil menggelepar. Darah terus mengucur deras dari lehernya yang hampir buntung.

Cukup lama juga gadis itu meregang nyawa, dan pada akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi. Pendekar Pulau Neraka menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Dia menoleh pada Eyang Tambak Baja yang berdiri bertumpu pada tongkatnya. Darah di dadanya sudah berhenti mengalir. Tadi Bayu memang sempat memberikan totokan untuk menghentikan aliran darah di dada laki-laki tua berjubah putih itu.
***

Pendekar Pulau Neraka membalikkan tubuhnya ke arah Puncak Bukit Walang Jati yang masih bergetar hebat. Dan pelahan-lahan bangunan istana batu yang disebut Istana Iblis itu runtuh. Batu-batu berguguran memperdengarkan suara bergemuruh, membuat bukit ini berguncang bagai terjadi gempa dahsyat. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam berusaha keluar, berlarian di antara reruntuhan batu-batu Istana Iblis itu.

Pertempuran Mega Dara dan Padu Reksa melawan orang-orang berbaju hitam langsung berhenti seketika. Mereka semua memandangi runtuhnya Istana Iblis. Sebuah bangunan yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi semua orang. Satu suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan ambruknya Istana Iblis itu. Debu berkepul membumbung tinggi ke udara.

Tepat saat bangunan batu itu ambruk, terlihat orang-orang berbaju hitam yang berhasil selamat langsung bergelimpangan ke tanah. Eyang Tambak Baja, Mega Dara, Padu Reksa, dan Bayu Hanggara memandangi mereka yang bergelimpangan tanpa sebab itu. Sementara debu terus membumbung tinggi dari reruntuhan bangunan Istana Iblis di Puncak Bukit Walang Jati ini.

"Kenapa mereka, Ayah?" tanya Mega Dara tidak mengerti melihat ke arah orang-orang berpakaian serba hitam itu. 

"Pengaruh kekuatan batin mereka telah hilang. Mereka telah terbebas dari penguasa Istana Iblis," sahut Eyang Tambak Baja

"Aku tidak mengerti...," gumam Mega Dara.

"Selama ini mereka di bawah pengaruh kekuatan ilmu hitam, sehingga membuat mereka tidak ingat lagi dirinya sendiri, dan selalu patuh pada perintah Wurani," selak Bayu menjelaskan.

"Pencucian otak," sambung Eyang Tambak baja.

"Mempengaruhi jiwa dan pikiran manusia lewat kekuatan ilmu hitam. Bisa juga dari kekuatan suatu benda,atau kekuatan batin."

"Ilmu sihir, Ayah?" tebak Mega Dara.

"Sejenisnya, tapi ini lebih kuat pengaruhnya dan sangat berbahaya."

Sementara itu, orang-orang berbaju hitam pekat mulai siuman. Mereka bangkit sambil merintih memegangi kepalanya. Orang-orang itu tampak kebingungan, lalu membuka selubung kain yang membungkus kepalanya. Satu sama lain saling bertanya-tanya, tapi tak ada yang memberikan jawaban. Mereka memandangi reruntuhan puing-puing Istana Iblis, lalu sama-sama berpaling menatap Eyang Tambak Baja, Mega Dara, Padu Reksa dan Pendekar Pulau Neraka.

Dengan singkat, Eyang Tambak Baja memberikan keterangan tentang semua yang telah terjadi. Sebagian dari mereka belum bisa mengerti sepenuhnya. Tapi tak ada yang bertanya lagi. Eyang Tambak Baja meminta mereka semua untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing. Tapi ada beberapa orang yang kebingungan, karena tidak tahu harus pergi ke mana. Sebab Eyang Tambak Baja telah memberitahu mengenai beberapa desa yang hancur dan padepokan-padepokan yang kini sudah tidak ada lagi.

Eyang Tambak Baja ingin meminta pendapat pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu menoleh, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak nampak lagi di tempat ini. Mega Dara dan Padu Reksa juga tidak mengetahui ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka itu.

"Hhh...! Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa. Terlalu besar jasanya bagi kita semua," desah Eyang Tambak Baja.

"Ayah! Sebaiknya mereka yang tidak mempunyai tempat, bisa tinggal sementara di Puri Sapta Dewa," usul Mega Dara.

"Baiklah," sahut Eyang tambak Baja menyetujui.

"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita segera pulang."

Eyang Tambak Baja, Mega Dara, dan Padu Reksa berjalan menuruni Bukit Walang Jati ini. Sementara orang-orang berbaju hitam yang belum punya tujuan hanya mengikuti dari belakang. Tepat pada saat matahari muncul dari peraduannya, Bukit Walang Jati kembali tenang. Tampak puluhan orang tengah bergerak menuruni bukit itu, menuju Puri Sapta Dewa

TAMAT
Episode Selanjutnya: